PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTERAMAN MASYARAKAT DI KABUPATEN KENDAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan tata kehidupan masyarakat Kabupaten Kendal yang bersih, indah, barokah, damai, aman dan tertib, maka diperlukan adanya pengaturan di bidang ketertiban umum yang mampu melindungi masyarakat dan prasarana beserta kelengkapannya sebagai cerminan kehidupan masyarakat yang modern dan religius; b. bahwa penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat menjadi urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten Kendal yang dalam pelaksanaannya harus dijalankan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, maka perlu membentuk Peraturan Daerah Kabupaten Kendal tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat di Kabupaten Kendal; Mengingat : 1. Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang UndangUndang Hukum Pidana (Berita Republik Indonesia II Nomor 9) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3850); 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik 2 Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2013); 4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Tengah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II Batang dengan mengubah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2757); 5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); 6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886); 7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235); 8. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247); 9. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377); 10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59,, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 11. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444); 12. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4674); 13. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 3 14. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851); 15. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966); 16. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025); 17. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049 ); 18. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059 ); 19. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 20. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 21. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3177); 22. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655); 23. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 24. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741); 25. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5094); 4 26. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655); 27. Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan; 28. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Kendal Nomor 6 Tahun 1981 tentang Kebersihan, Kerapian dan Ketertiban Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Kendal Seri C Tahun 1981 Nomor 6); 29. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Kendal Nomor 1 Tahun 1988 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Kendal (Lembaran Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Kendal Nomor 1 Tahun 1989 Seri D No. 1); 30. Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 14 Tahun 2007 tentang Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang menjadi Kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten Kendal (Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Tahun 2007 Nomor 14 Seri E No.8, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Nomor 12); 31. Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 6 Tahun 2011 tentang Bangunan Gedung di Kabupaten Kendal (Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Tahun 2011 Nomor 6 Seri E No. 6, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Nomor 70); 32. Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 19 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Lain Daerah dan Satuan Polisi Pamong Praja (Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Tahun 2011 Nomor 19 Seri D No.5, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Nomor 83); 33. Peraturan Daerah Kabupaten Kendal Nomor 5 Tahun 2012 tentang Penyusunan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Tahun 2012 Nomor 5 Seri E No.4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kendal Nomor 97); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN KENDAL dan BUPATI KENDAL MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTERAMAN MASYARAKAT DI KABUPATEN KENDAL. 5 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Kendal. 2. Pemerintah Daerah adalah Bupati beserta Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 3. Bupati adalah Bupati Kendal. 4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kendal. 5. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah unsur pembantu Bupati dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan dan Kelurahan. 6. Ketertiban adalah suatu keadaan kehidupan yang serba teratur dan tertata dengan baik sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku guna mewujudkan kehidupan masyarakat yang dinamis, aman, tenteram, lahir dan batin. 7. Ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat adalah suatu keadaan dinamis yang memungkinkan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dapat melakukan kegiatannya dengan tenteram, tertib, dan teratur. 8. Kepentingan Dinas adalah kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. 9. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. 10. Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran. 11. Jalur Hijau adalah jalur tanah terbuka yang meliputi taman, lapangan olah raga dan taman monumen yang pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah. 12. Taman adalah sebidang tanah yang merupakan bagian dari ruang terbuka hijau kota yang mempunyai fungsi tertentu, ditata dengan serasi, lestari dengan menggunakan material taman, material buatan, dan unsur-unsur alam dan mampu menjadi areal penyerapan air. 13. Orang adalah orang per-orangan atau individu. 6 14. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 15. Pedagang Kaki Lima yang selanjutnya disingkat PKL adalah Pedagang yang melakukan usaha non formal dengan menggunakan lahan terbuka atau tertutup, sebagian fasilitas umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sebagai tempat kegiatan usahanya baik dengan menggunakan peralatan bergerak maupun tidak bergerak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. 16. Parkir adalah keadaan kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya. 17. Hiburan adalah segala macam atau jenis keramaian, pertunjukan, permainan atau segala bentuk usaha yang dapat dinikmati oleh setiap orang dengan nama dan dalam bentuk apapun, dimana untuk menonton serta menikmatinya atau mempergunakan fasilitas yang disediakan baik dengan dipungut bayaran maupun tidak dipungut bayaran. 18. Ternak Potong adalah hewan untuk keperluan dipotong yaitu sapi, kerbau, domba, babi, kuda dan hewan lainnya yang dagingnya lazim dikonsumsi. 19. Rumah Potong Hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan beserta peralatannya dengan desain yang memenuhi persyaratan sebagai tempat menyembelih hewan, antara lain, sapi, kerbau, kambing, domba, babi dan unggas bagi konsumsi masyarakat. 20. Pemasukan Ternak adalah kegiatan memasukkan ternak dari luar Daerah untuk keperluan dipotong dan/atau diperdagangkan. 21. Pencemaran Lingkungan Hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. 22. Tuna Sosial adalah penyandang masalah kesejahteraan sosial termasuk diantaranya gelandangan, pengemis, pengamen dan tuna susila. 23. Tuna Susila adalah orang yang mengadakan hubungan seksual tanpa didasari dengan perkawinan yang sah dengan imbalan/upah sebagai balas jasa. 24. Pelacur adalah seseorang atau sekelompok orang baik pria, wanita, atau waria/banci, yang menyediakan dirinya kepada umum atau seseorang tertentu untuk melakukan perbuatan/kegiatan cabul atau hubungan seksual atau 7 untuk melakukan perbuatan yang mengarah pada hubungan seksual di luar perkawinan yang dilakukan di hotel/penginapan, restoran, tempat hiburan, lokasi pelacuran atau di tempat-tempat lain di Daerah dengan tujuan untuk mendapatkan imbalan berupa uang dan/atau jasa lainnya. 25. Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan kehidupan normal yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap diwilayah tertentu dan hidup mengembara ditempat umum. 26. Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. 27. Pengamen adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih dengan alat musik tertentu untuk memperoleh imbalan jasa ditempat-tempat umum. BAB II TUJUAN Pasal 2 Pengaturan tentang ketertiban umum dan ketenteraman bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat pada usaha menjaga dan memelihara ketertiban umum dan kelestarian lingkungan hidup, yang secara tidak langsung menunjang pembangunan yang berkesinambungan. BAB III RUANG LINGKUP Pasal 3 Peraturan Daerah ini mengatur hal-hal yang berkenaan dengan upaya-upaya untuk mewujudkan terselenggaranya ketertiban umum dan ketenteraman di Daerah yang meliputi : a. kewajiban dan wewenang Pemerintah Daerah; b. hak, kewajiban dan larangan bagi masyarakat; c. tertib jalan dan angkutan jalan; d. tertib sungai, saluran, kolam dan lepas pantai; e. tertib lingkungan; f. tertib tempat dan usaha tertentu; g. tertib bangunan; h. tertib sosial; i. tertib kesehatan; j. tertib tempat hiburan dan keramaian; k. tertib peran serta masyarakat; 8 l. kerja sama dan koordinasi; dan m. pembinaan dan pengendalian. BAB IV KEWAJIBAN DAN WEWENANG PEMERINTAH DAERAH Pasal 4 (1) Pemerintah Daerah berwenang mengatur ketertiban, kebersihan dan keindahan Daerah. (2) Pemerintah Daerah bertanggung jawab memberikan penyuluhan/pengertian, menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran masyarakat akan tanggung jawabnya terhadap ketertiban, kebersihan dan keindahan sebagai upaya memelihara ketertiban umum dan melestarikan lingkungan hidup. (3) Setiap Instansi dan/atau Lembaga Pemerintah bertanggung jawab memelihara ketertiban, kebersihan dan keindahan dalam lingkungan yang menjadi wewenangnya dengan memperhatikan ketentuanketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. BAB V HAK, KEWAJIBAN DAN LARANGAN BAGI WARGA MASYARAKAT Bagian Kesatu Hak dan Kewajiban Pasal 5 (1) Ketertiban, kebersihan dan keindahan adalah bagian yang tak terpisahkan dengan lingkungan hidup, oleh karenanya menjadi hak setiap orang untuk menikmatinya. (2) Setiap orang berkewajiban berperan serta terhadap ketertiban, kebersihan dan keindahan serta mencegah adanya kerusakan dan gangguan. (3) Orang yang menyelenggarakan kegiatan bidang usaha wajib memelihara ketertiban, kebersihan dan keindahan dalam lingkungan yang menjadi wewenangnya dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah. (4) Setiap orang berkewajiban : a. menanam pohon pelindung atau tanaman hias di halaman/pekarangan bangunan atau rumah sepanjang tidak mengganggu/merugikan ataupun membahayakan kepentingan umum; b. membersihkan saluran-saluran, gorong-gorong, selokan-selokan yang ada di sekitar bangunan atau rumah halaman/pekarangan; 9 c. mengatur sumur gali dengan memberi tembok pasangan atau srumbung/selubung yang kuat, yang tingginya paling sedikit 70 cm (tujuh puluh centi meter) dari permukaan tanah dan bagi sumur gali yang terletak di halaman serta terlihat dari jalan umum harus diberi pagar/tembok keliling yang tingginya paling sedikit 150 cm (seratus lima puluh centi meter) dari permukaan tanah; d. menebang pohon-pohon yang ada di halaman/ pekarangan yang dapat merugikan/ membahayakan kepentingan umum atau membahayakan keselamatan penduduk sekitarnya serta yang dapat merusak milik orang lain; e. memotong dahan-dahan dari pohon yang ada di halaman/pekarangan yang tergantung di atas saluran air, jalan umum, bangunan/rumah dan jaringan listrik/telepon yang ada di sekitarnya; f. memberikan penerangan lampu di halaman untuk menerangi jalan di depan bangunan atau rumah yang belum ada lampu penerangannya dengan mentaati ketentuan-ketentuan yang berlaku; g. membersihkan halaman/pekarangan dari kotoran/ sampah secara teratur dan baik; dan h. memelihara sarana dan prasarana fasilitas umum. Bagian Kedua Larangan Pasal 6 Setiap orang dilarang merusak pohon, tanaman atau bungabunga yang ada di taman, lapangan atau disepanjang tepi jalan umum. Pasal 7 Setiap orang dilarang menggali tanah yang dapat mengakibatkan timbulnya genangan air, dan sebagainya kecuali dengan izin tertulis dari Bupati atau Instansi yang ditunjuk. Larangan ini tidak berlaku bagi pembuatan sumur air dan tempat pembuangan sampah untuk kebutuhan rumah tangga yang sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Pasal 8 Setiap orang dilarang membunyikan bunyi-bunyian secara berlebihan sehingga mengganggu ketenteraman penduduk sekitarnya kecuali atas izin Bupati atau Instansi yang ditunjuk. 10 Pasal 9 Setiap orang atau badan dilarang menggunakan tepi-tepi jalan umum, trotoar, emperan/depan toko, pasar atau bangunan umum, kolong jembatan, taman-taman dan areal penghijauan sebagai tempat menginap, tempat tinggal dan/atau tempat melakukan kegiatan usaha. BAB VI TERTIB JALAN DAN ANGKUTAN JALAN Pasal 10 (1) Setiap pejalan kaki wajib berjalan di tempat yang telah ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Setiap orang yang akan menyeberang jalan wajib menggunakan sarana jembatan penyeberangan atau rambu penyeberangan/zebra cross yang telah disediakan. (3) Setiap orang yang akan menggunakan/menumpang kendaraan umum wajib menunggu di halte atau tempat pemberhentian yang telah ditetapkan. (4) Setiap pengemudi kendaraan umum wajib menunggu, menaikkan dan/atau menurunkan orang dan/atau barang pada tempat pemberhentian yang telah ditentukan. (5) Setiap kendaraan umum harus berjalan pada setiap ruas jalan yang telah ditetapkan. Pasal 11 Setiap orang atau badan tanpa izin Bupati atau pejabat yang berwenang dilarang : a. menutup jalan; b. membuat atau memasang portal; c. membuat atau memasang tanggul jalan; d. membuat atau memasang pintu penutup jalan; e. membuat, memasang, memindahkan atau membuat tidak berfungsi rambu-rambu lalu lintas; f. menutup terobosan atau putaran jalan; g. membongkar trotoar dan memasang jalur pemisah, rambu-rambu lalu lintas, pulau-pulau jalan dan sejenisnya; h. membongkar, memotong, merusak atau membuat tidak berfungsi pagar pengamanan jalan; i. menggunakan bahu jalan (trotoar) tidak sesuai dengan fungsinya; 11 j. melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat berakibat merusak sebagian atau seluruh badan jalan dan membahayakan keselamatan lalu lintas; dan k. menempatkan benda dan/atau barang bekas pada tepitepi jalan raya dan jalan-jalan di lingkungan permukiman. Pasal 12 Setiap orang dilarang : a. mengangkut bahan berdebu dan bahan berbau busuk dengan menggunakan alat angkutan yang terbuka; b. mengangkut bahan berbahaya dan beracun, bahan yang mudah terbakar, bahan yang mudah meledak, dan/atau bahan-bahan lain yang dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan umum dengan menggunakan alat angkutan yang terbuka; dan c. melakukan galian, urugan dan menyelenggarakan angkutan tanah tanpa izin Bupati atau Pejabat yang ditunjuk. Pasal 13 Setiap pengendara kendaraan bermotor dilarang membunyikan klakson dan wajib mengurangi kecepatan kendaraannya pada waktu melintasi tempat ibadah selama ibadah berlangsung, dan/atau lembaga pendidikan serta rumah sakit. Pasal 14 (1) Setiap orang yang menumpang kendaraan umum dilarang : a. membuang sampah; b. meludah; dan c. merokok. (2) Setiap kendaraan umum harus menyediakan tempat sampah di dalam kendaraan. Pasal 15 (1) Setiap orang wajib memarkir kendaraan di tempat yang telah ditentukan. (2) Setiap orang atau badan dilarang memungut uang parkir di jalan-jalan ataupun di tempat-tempat umum, kecuali mendapat izin dari Bupati atau pejabat yang ditunjuk. Pasal 16 Setiap orang atau badan dilarang menyelenggarakan dan/atau mengatur perparkiran tanpa izin Bupati atau pejabat yang ditunjuk. 12 BAB VII TERTIB SUNGAI, SALURAN, KOLAM DAN LEPAS PANTAI Pasal 17 Kecuali dengan izin Bupati atau pejabat yang ditunjuk, setiap orang atau badan dilarang : a. membangun tempat mandi cuci kakus, hunian/tempat tinggal atau tempat usaha di atas saluran sungai dan bantaran sungai serta di dalam kawasan waduk; dan b. memasang/menempatkan kabel atau pipa di bawah atau melintasi saluran sungai serta di dalam kawasan waduk. Pasal 18 (1) Setiap orang dilarang mandi, membersihkan anggota badan, mencuci pakaian, kendaraan atau benda-benda dan/atau memandikan hewan di kolam-kolam kelengkapan keindahan lingkungan Daerah. (2) Setiap orang dilarang mengambil air dari air mancur, kolam-kolam kelengkapan keindahan Daerah dan tempat lainnya yang sejenis kecuali untuk kepentingan dinas. (3) Setiap orang dilarang memanfaatkan air sungai dan danau untuk kepentingan usaha kecuali atas izin Bupati atau pejabat yang berwenang. Pasal 19 Setiap orang atau badan dilarang mengambil, memindahkan atau merusak tutup got, selokan atau saluran lainnya serta komponen bangunan pelengkap jalan, kecuali dilakukan oleh petugas untuk kepentingan dinas. Pasal 20 (1) Setiap orang atau badan dilarang menangkap ikan dan hasil laut lainnya dengan menggunakan bahan peledak atau bahan/alat yang dapat merusak kelestarian lingkungan di perairan lepas pantai. (2) Setiap orang atau badan dilarang mengambil pasir laut di pantai dan terumbu karang yang dapat merusak kelestarian lingkungan biota laut di perairan lepas pantai. (3) Setiap orang atau badan dilarang membuang limbah bahan berbahaya dan beracun ke saluran pemukiman, sungai dan laut sebatas 12 (dua belas) mil laut. 13 BAB VIII TERTIB LINGKUNGAN Pasal 21 (1) Setiap orang atau badan dilarang menangkap, memelihara, memburu, memperdagangkan atau membunuh hewan tertentu yang jenisnya ditetapkan dan dilindungi oleh undang-undang. (2) Setiap pemilik binatang peliharaan wajib menjaga hewan peliharaannya untuk tidak berkeliaran di lingkungan pemukiman. Pasal 22 Setiap orang atau badan dilarang merusak hutan mangrove dan hutan kota. Pasal 23 Setiap orang atau badan dilarang membangun dan/atau bertempat tinggal di pinggir rel kereta api, jalur hijau, taman dan tempat umum. Pasal 24 Setiap orang atau badan dilarang : a. mencoret-coret, menulis, melukis, menempel iklan di dinding atau di tembok, jembatan lintas, halte, tiang listrik, pohon, dan sarana umum lainnya; b. membuang dan menumpuk sampah di jalan, jalur hijau, taman, sungai dan tempat-tempat lain yang dapat merusak keindahan dan kebersihan lingkungan; dan c. membuang air besar dan/atau air kecil di jalan, jalur hijau, taman, sungai dan saluran air. Pasal 25 Setiap orang atau badan dilarang : a. merusak jaringan pipa air minum; b. membalik arah meter air dengan cara merusak, melepas, dan/atau menghilangkan segel pabrik dan segel dinas; c. menyadap air minum langsung dari pipa distribusi atau pipa dinas sebelum meter air; d. menjual air minum persil lapangan; e. mengubah ukuran dan/atau menambah bak penampungan air minum pada hydrant; dan f. mendistribusikan air minum dari hydrant dengan segala jenis pipa kepada pihak lain. 14 Pasal 26 (1) Setiap pengambilan air permukaan dan air tanah untuk keperluan air minum komersial, industri, peternakan dan pertanian, irigrasi, pertambangan dan untuk kepentingan lainnya yang bersifat komersial hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat izin Bupati atau dari pejabat yang berwenang. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari izin pengeboran air tanah dan izin pemakaian air tanah dan air permukaan. BAB IX TERTIB TEMPAT DAN USAHA TERTENTU Bagian Kesatu Tertib Tempat Pasal 27 (1) Setiap orang atau badan yang dalam melakukan kegiatan usahanya menimbulkan dampak terhadap lingkungan wajib memiliki izin berdasarkan peraturan perundangundangan. (2) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bupati atau pejabat yang berwenang setelah memenuhi persyaratan. Pasal 28 (1) Setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) harus bertanggung jawab terhadap ketertiban, kebersihan dan menjaga kesehatan lingkungan serta keindahan di sekitar tempat usaha yang bersangkutan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur penetapan tempat usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati. Bagian Kedua Tertib Usaha Tertentu Pasal 29 (1) Setiap orang/badan dilarang menempatkan benda-benda dengan maksud untuk melakukan sesuatu usaha di jalan, di pinggir rel kereta api, jalur hijau, taman dan tempattempat umum, kecuali di tempat-tempat yang telah diizinkan oleh pejabat berwenang atau oleh Bupati. (2) Setiap orang/badan dilarang menjajakan barang dagangan, membagikan selebaran atau melakukan 15 usaha-usaha tertentu dengan mengharapkan imbalan di jalan, jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum, kecuali tempat-tempat yang ditetapkan oleh Bupati. Pasal 30 (1) Setiap orang/badan dilarang melakukan pekerjaan atau bertindak sebagai perantara karcis kendaraan umum, pengujian kendaraan bermotor, karcis hiburan dan/atau kegiatan lainnya yang sejenis. (2) Setiap orang atau badan dilarang memanfaatkan/ mempergunakan perantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 31 (1) Setiap pemotongan hewan ternak wajib dilakukan di Rumah Potong Hewan yang ditetapkan oleh Bupati. (2) Kewajiban untuk melakukan pemotongan hewan di Rumah Potong Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal pemotongan hewan dilakukan untuk keperluan peribadatan atau upacara-upacara adat, untuk kepentingan konsumsi pribadi. Pasal 32 (1) Setiap orang atau badan yang melakukan tata niaga daging yang dikonsumsi oleh konsumen muslim wajib mencantumkan label halal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Setiap orang atau badan dilarang menjual, mengedarkan, menyimpan, mengelola daging dan/atau bagian-bagian lainnya yang : a. berupa daging gelap; b. berupa daging selundupan; dan c. tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan dan tidak layak dikonsumsi. (3) Setiap orang atau badan yang menyelenggarakan usaha restoran/rumah makan yang makanannya dikonsumsi oleh konsumen muslim wajib mencantumkan label halal sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 33 Setiap pengusaha daging, pemasok daging, penggilingan daging dan pengolahan daging wajib memiliki izin dari Bupati atau Pejabat yang ditunjuk. 16 Pasal 34 (1) Setiap usaha untuk memasukkan dan/atau mengeluarkan ternak ke dan dari Daerah harus mendapat rekomendasi dari pejabat berwenang atau Pejabat yang ditunjuk oleh Bupati. (2) Setiap pemasukan ternak ke Daerah harus disertai surat kesehatan hewan dan tujuan pengiriman dari Pejabat Instansi yang berwenang dari daerah asal ternak. Pasal 35 Setiap orang/badan dilarang melakukan usaha pengumpulan, penampungan, penyaluran tenaga kerja atau pengasuh tanpa izin dari Bupati atau Pejabat yang berwenang. Pasal 36 Setiap orang atau badan dilarang melakukan kegiatan dan/atau usaha pengumpulan, penampungan barangbarang bekas yang menimbulkan gangguan dan ketidaknyamanan bagi warga masyarakat sekitarnya. BAB X TERTIB BANGUNAN Pasal 37 (1) Setiap orang atau badan dilarang : a. mendirikan bangunan atau benda lain yang menjulang, menanam atau membiarkan, tumbuh pohon atau tumbuh-tumbuhan lain di dalam kawasan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTET) pada radius sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan; dan b. mendirikan bangunan pada ruang milik jalan, ruang milik sungai, ruang milik waduk, ruang milik danau, taman dan jalur hijau, kecuali untuk kepentingan dinas. (2) Setiap orang atau badan wajib menjaga serta memelihara lahan, tanah, dan bangunan di lokasi yang menjadi miliknya. (3) Setiap orang atau badan wajib menggunakan bangunan miliknya sesuai dengan izin yang telah ditetapkan. Pasal 38 (1) Setiap orang atau badan dilarang membangun menara/tower komunikasi, kecuali mendapat izin dari Bupati atau pejabat yang berwenang. 17 (2) Pemilik/pengelola menara/tower komunikasi wajib menjamin keamanan dan keselamatan dari berbagai kemungkinan yang dapat membahayakan dan/atau merugikan orang lain dan/atau badan dan/atau fungsi menara/tower komunikasi tersebut. Pasal 39 Setiap orang atau badan pemilik bangunan atau rumah diwajibkan : a. memelihara pagar pekarangan dan memotong pagar hidup yang berbatasan dengan jalan; b. membuang bagian dari pohon, semak-semak dan tumbuhtumbuhan yang dapat mengganggu keamanan dan/atau ketertiban; dan c. memelihara dan mencegah pengrusakan bahu jalan atau trotoar. BAB XI TERTIB SOSIAL Pasal 40 (1) Setiap orang atau badan yang meminta bantuan atau sumbangan yang dilakukan sendiri-sendiri dan/atau bersama-sama untuk kepentingan sosial wajib mendapatkan izin Bupati atau Pejabat yang berwenang. (2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal permintaan bantuan atau sumbangan dilakukan di tempat umum. Pasal 41 Setiap orang atau badan dilarang melakukan : a. pengemisan dan pergelandangan diperempatan traffic light, tempat-tempat ibadah, di lingkungan kantor pemerintahan dan lingkungan sekolah; dan b. menyuruh orang lain untuk melakukan pengemisan dan pergelandangan. Pasal 42 (1) Setiap orang dilarang melanggar norma dan/atau berbuat asusila di jalan, jalur hijau, taman dan/atau tempat-tempat umum lainnya. (2) Setiap orang dilarang : a. melakukan kegiatan sebagai pelacur; b. menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi pelacur; dan/atau c. memakai jasa pelacur. 18 Pasal 43 Setiap orang atau badan dilarang menyediakan dan/atau menggunakan bangunan atau rumah sebagai tempat untuk berbuat asusila. Pasal 44 Setiap orang atau badan dilarang mengedarkan, menyimpan dan menjual minuman beralkohol tanpa izin dari pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XII TERTIB KESEHATAN Pasal 45 (1) Setiap orang atau badan dilarang : a. menyelenggarakan dan/atau melakukan praktek pengobatan tradisional; b. menyelenggarakan dan/atau melakukan praktek pengobatan kebatinan; dan c. membuat, meracik, menyimpan dan menjual obat-obat ilegal dan/atau obat palsu. (2) Penyelenggaraan praktek pengobatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dapat diizinkan dalam hal memenuhi syarat-syarat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan Bupati atau pejabat yang berwenang. BAB XIII TERTIB TEMPAT HIBURAN DAN KERAMAIAN Pasal 46 (1) Setiap orang atau badan dilarang menyelenggarakan tempat usaha hiburan tanpa izin Bupati atau pejabat yang berwenang. (2) Setiap penyelenggaraan tempat usaha hiburan yang telah mendapat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melaksanakan kegiatan lain yang menyimpang dari izin yang dimiliki. (3) Setiap orang atau badan yang menyelenggarakan permainan ketangkasan yang bersifat komersial di lingkungan pemukiman wajib mendapatkan izin dari Pejabat yang berwenang. 19 Pasal 47 Setiap penyelenggaraan kegiatan keramaian wajib mendapat izin dari Bupati atau pejabat yang berwenang. Pasal 48 (1) Bupati menetapkan jenis-jenis kegiatan keramaian yang menggunakan tanda masuk. (2) Ketentuan lebih lanjut tentang bentuk dan persyaratan tanda masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 49 Penyelenggaraan kegiatan keramaian di luar gedung dan/atau memanfaatkan jalur jalan yang dapat mengganggu kepentingan umum wajib mendapat izin dari Bupati atau pejabat yang berwenang. BAB XIV TERTIB PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 50 (1) Setiap orang atau badan dilarang menempatkan atau memasang lambang, simbol, bendera, spanduk, umbulumbul, maupun atribut-atribut lainnya pada pagar pemisah jembatan, pagar pemisah jalan, jalan, halte, terminal, taman, tiang listrik dan tempat umum lainnya. (2) Penempatan dan pemasangan lambang, simbol, bendera, spanduk, umbul-umbul maupun atribut-atribut lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Bupati atau pejabat yang berwenang. (3) Setiap orang atau badan yang menempatkan dan memasang lambang, simbol, bendera, spanduk, umbulumbul maupun atribut-atribut lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mencabut serta membersihkan sendiri setelah habis masa berlakunya. Pasal 51 Setiap orang atau badan dilarang memasang lambang, simbol, bendera, spanduk, umbul-umbul dan atribut-atribut yang bersifat komersial maupun non komersial di lingkungan kantor pemerintahan, ditempat ibadah, dan di lingkungan sekolah. 20 Pasal 52 (1) Setiap orang atau badan dilarang merusak prasarana dan sarana umum pada waktu berlangsungnya penyampaian pendapat, unjuk rasa dan/atau pengerahan massa. (2) Setiap orang atau badan dilarang membuang bendabenda dan/atau sarana yang digunakan pada waktu penyampaian pendapat, unjuk rasa, rapat-rapat umum dan pengerahan massa di jalan, jalur hijau, dan tempat umum lainnya. Pasal 53 Setiap orang atau badan pemilik rumah dan/atau bangunan/gedung wajib memasang bendera Merah Putih pada peringatan hari besar nasional dan daerah pada waktu tertentu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pasal 54 Setiap orang yang bermaksud tinggal dan menetap di wilayah Daerah wajib memiliki identitas kependudukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 55 (1) Setiap orang yang berkunjung atau bertamu lebih dari 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam wajib melaporkan diri kepada Ketua Rukun Tetangga setempat. (2) Setiap pemilik rumah kost, rumah kontrakan, atau rumah sewa wajib melaporkan penghuninya kepada Kepala Desa/Lurah melalui pengurus Rukun Tetangga setempat secara periodik. (3) Setiap penghuni rumah kontrak wajib melapor kepada Kepala Desa/Lurah melalui pengurus Rukun Tetangga setempat secara periodik. (4) Setiap pengelola rumah susun dan apartemen wajib melaporkan penghuninya kepada Kepala Desa/Lurah melalui pengurus Rukun Tetangga setempat secara periodik. BAB XV KERJA SAMA DAN KOORDINASI Pasal 56 (1) SKPD yang tugas pokok dan fungsinya bertanggung jawab dalam bidang ketenteraman dan ketertiban umum dalam melaksanakan tugasnya dapat meminta bantuan dan/atau bekerja sama dengan SKPD terkait, dan/atau 21 Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau lembaga lainnya. (2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas hubungan fungsional, saling membantu, dan saling menghormati dengan mengutamakan kepentingan umum dan memperhatikan hierarki dan kode etik birokrasi. BAB XVI PEMBINAAN DAN PENGENDALIAN Pasal 57 (1) Pembinaan terhadap penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum dilakukan Bupati. (2) Pengendalian terhadap penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum dilakukan oleh SKPD yang tugas pokok dan fungsinya bertanggung jawab dalam bidang ketenteraman dan ketertiban umum bersama SKPD terkait lainnya. (3) Pembinaan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Satuan Polisi Pamong Praja bersama Penyidik Pegawai Negeri Sipil SKPD terkait sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Pasal 58 (1) Setiap orang atau badan yang melihat, mengetahui dan menemukan terjadinya pelanggaran atas ketertiban umum harus melaporkan kepada petugas yang berwenang. (2) Setiap orang atau badan yang melaporkan terjadinya pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak mendapat perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menindaklanjuti dan/atau memproses secara hukum terhadap laporan yang disampaikan oleh orang atau badan. (4) Setiap petugas yang tidak menindaklanjuti dan/atau memproses secara hukum terhadap laporan orang atau badan atas terjadinya pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan hukuman disiplin kepegawaian sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. 22 BAB XVII PENYIDIKAN Pasal 59 (1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Pemerintah Daerah diberi kewenangan khusus untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam peraturan daerah ini. (2) Dalam melaksanakan tugas penyidikan, para pejabat PPNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang : a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan melakukan pemeriksaan; c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penyitaan benda atau surat; e. mengambil sidik jari dan memotret orang lain/seseorang; f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya; dan i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. (3) PPNS membuat berita acara setiap tindakan tentang : a. pemeriksaan tersangka; b. pemasukan rumah; c. penyitaan benda; d. pemeriksaan surat; e. pemeriksaan saksi; dan f. pemeriksaan di tempat kejadian dan mengirimkan berkasnya kepada Pengadilan Negeri dengan tembusan kepada Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia. BAB XVIII SANKSI ADMINISTRASI Pasal 60 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan di dalam Peraturan Daerah ini dikenakan sanksi melalui tindakan sebagai berikut : 23 a. teguran lisan; b. peringatan tertulis; c. penyegelan/penghentian kegiatan sementara; d. pencabutan izin; e. penyitaan; f. pembongkaran; dan g. pemusnahan. (2) Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh SKPD yang dalam tugas pokok dan fungsinya bertanggung jawab dalam bidang penyelenggaraan ketertiban umum bersama SKPD terkait lainnya. (3) Tata cara pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. BAB XIX KETENTUAN PIDANA Pasal 61 (1) Setiap orang atau badan yang melanggar ketentuan Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), Pasal 11 huruf i, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 16, Pasal 18 ayat (1), ayat (2), Pasal 21 ayat (2), Pasal 23, Pasal 25 huruf a, huruf b, dan huruf c, Pasal 29 ayat (2), Pasal 31 ayat (1), ayat (2), Pasal 32 ayat (2), Pasal 34, Pasal 41, Pasal 42 ayat (1), Pasal 43, dan Pasal 54 dikenakan ancaman pidana kurungan paling lama 60 (enam puluh) hari atau denda paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). (2) Setiap orang atau badan yang melanggar ketentuan Pasal 10 ayat (4), Pasal 11 huruf a, huruf f, huruf k, Pasal 15, ayat (2), Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 ayat (3), Pasal 19, Pasal 26, Pasal 32 ayat (1), Pasal 33, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 41, pasal 43,Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, dan Pasal 55 ayat (1), ayat (3) dikenakan ancaman pidana kurungan paling lama 90 (sembilan puluh) hari atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). (3) Setiap orang atau badan yang melanggar ketentuan Pasal 11 huruf g, huruf h, huruf j, Pasal 12 huruf b, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 38, Pasal 40 ayat (1) dan Pasal 46 dikenakan ancaman pidana kurungan paling lama 90 (sembilan puluh) hari atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (4) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) adalah pelanggaran. 24 Pasal 62 Setiap orang atau badan yang melanggar ketentuan dalam Pasal 20, Pasal 21 ayat (1), Pasal 22, Pasal 26, Pasal 45, Pasal 47, Pasal 49, Pasal 50 ayat (3), Pasal 54, dan Pasal 55 ayat (1) dikenakan hukuman pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB XX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 63 Produk hukum daerah yang mengatur mengenai ketertiban umum dan ketenteraman sebelum ditetapkannya Peraturan Daerah ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini. BAB XXI KETENTUAN PENUTUP Pasal 64 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Kendal. Ditetapkan di Kendal pada tanggal 30 Desember 2013 BUPATI KENDAL, Cap. ttd. WIDYA KANDI SUSANTI Diundangkan di Kendal pada tanggal 30 Desember 2013 SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN KENDAL, ttd. BAMBANG DWIYONO LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KENDAL TAHUN 2013 NOMOR 11 SERI E NO. 7 25 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN UMUM DAN KETENTERAMAN MASYARAKAT DI KABUPATEN KENDAL I. UMUM. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, oleh karena itu Pemerintahan Daerah berkomitmen untuk menyelenggarakan urusan wajib dimaksud dalam rangka penegakan Peraturan Daerah, menjaga ketenteraman dan ketertiban guna terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Pengaturan mengenai ketertiban umum harus diarahkan guna pencapaian kondisi yang kondusif bagi seluruh aspek kehidupan masyarakat Kabupaten Kendal, dinamika perkembangan dan kebutuhan masyarakat Kendal yang dinamis dirasakan memerlukan Peraturan Daerah yang menjangkau secara seimbang antara subjek dan objek hukum yang diatur. Oleh karena itu, dalam upaya menampung persoalan dan mengatasi kompleksitas permasalahan dinamika perkembangan masyarakat diperlukan penyempurnaan terhadap Peraturan Daerah dimaksud. Dengan Peraturan Daerah ini diharapkan implementasi terhadap penyelenggaraan ketenteraman masyarakat dan ketertiban umum dapat diterapkan secara optimal guna menciptakan ketenteraman, ketertiban, kenyamanan, kebersihan dan keindahan. Peraturan Daerah ini mempunyai posisi yang sangat strategis dan penting untuk membangkitkan motivasi dalam menumbuhkembangkan budaya disiplin masyarakat guna mewujudkan tata kehidupan masyarakat Kendal yang BERIBADAT (Bersih, Indah, Barokah, Damai, Aman, Tertib) yang dibangun berdasarkan partisipasi aktif seluruh komponen masyarakat. Upaya untuk mencapai kondisi tertib sebagaimana yang menjadi jiwa dalam Peraturan Daerah ini tidak semata-mata menjadi tugas dan tanggung jawab aparat, akan tetapi menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat, perorangan maupun badan untuk secara sadar ikut serta menumbuhkan dan memelihara ketertiban. Namun demikian, tindakan tegas terhadap pelanggar Peraturan Daerah ini perlu dilakukan secara konsisten dan konsekuen oleh Satuan Polisi Pamong Praja dan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang profesional sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 148 dan Pasal 149 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. 26 Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “pemberhentian yang telah ditentukan” adalah terminal dan halte. Fungsi halte hanya untuk menaikkan dan menurunkan orang, sedangkan terminal untuk menunggu, menaikkan dan menurunkan orang dan/atau barang. Oleh karena itu, setiap kegiatan menunggu, menaikkan dan menurunkan orang dan/atau barang yang dilakukan di luar halte dan terminal seperti pool kendaraan umum adalah kegiatan ilegal yang dikenal orang dengan istilah terminal liar/bayangan. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 11 Huruf a Yang dimaksud “menutup jalan” adalah baik menutup sementara atau selamanya. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud “tanggul” adalah tanggul pengaman jalan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. 27 Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kolam” adalah sarana penampungan air yang dibuat sebagai kelengkapan keindahan kota. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. 28 Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “tempat umum” adalah sarana yang diselenggarakan oleh Pemerintah, swasta atau perorangan yang digunakan untuk kegiatan bagi masyarakat termasuk tempat umum milik Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, gedung perkantoran umum,dan tempat pelayanan umum. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. 29 Pasal 48 Cukup Pasal 49 Cukup Pasal 50 Cukup Pasal 51 Cukup Pasal 52 Cukup Pasal 53 Cukup Pasal 54 Cukup Pasal 55 Cukup Pasal 56 Cukup Pasal 57 Cukup Pasal 58 Cukup Pasal 59 Cukup Pasal 60 Cukup Pasal 61 Cukup Pasal 62 Cukup Pasal 63 Cukup Pasal 64 Cukup jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. jelas. TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 120 -1-