BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam setengah abad terakhir, banyak negara menerapkan kebijakan intervensi dalam penetapan nilai mata uangnya untuk mempertahankan nilai tukar yang menguntungkan bagi pasar domestik dan untuk memperoleh keuntungan dalam perdagangan internasional. Republik Rakyat China (China) merupakan salah satu negara yang dari waktu ke waktu secara konstan terus mengintervensi atau memanipulasi nilai mata uangnya agar tetap bernilai rendah (undervalued) sebagai upaya untuk mempertahankan harga ekspor barang China tetap murah di pasar internasional. Intervensi mata uang juga pernah dilakukan oleh sejumlah negara lainnya, namun tidak berdampak sesignifikan seperti yang diakibatkan oleh kasus intervensi mata uang China.1 Umumnya, negara-negara yang merasakan pengaruh dari intervensi mata uang China ialah negara yang memiliki pasar konsumer dan merupakan importir berjumlah massal (semisal Uni Eropa dan Amerika Serikat). Akibat murahnya barang impor dari China, negara partner dagang China menjadi semakin dependen terhadap barang impor untuk konsumsi domestik dan harus mereduksi produksi lokal dan barang ekspornya. negara-negara seperti ini terus melakukan tekanan internasional terhadap kebijakan penetapan nilai mata uang di China.2 Tekanan yang sama juga dilakukan terhadap berbagai badan organisasi internasional yang memiliki mandat regulasi perdagangan Wayne Morrison. (2011). China’s Economic Conditions. CRS Report for Congress. Diakses dari http://www.fas.org/sgp/crs/row/RL33534.pdf, tanggal 14 Februari 2012., hal. 3 2 Ibid 1 1 internasional dan stabilisasi moneter internasional agar menciptakan suatu aturan (code of conduct) terkait praktik ini.3 Banyak pakar yang memandang bahwa intervensi mata uang memiliki pembenaran yang serupa dengan bentuk subsidi ekspor, sama halnya dengan subsidi regular yang biasanya diterapkan untuk mendongkrak dan mempertahankan pertumbuhan pasar.4 Debat mengenai apakah intervensi mata uang memang diperlukan oleh China masih terus memanas. Upaya untuk menghentikan manipulasi mata uang di sisi lain dapat membawa suatu negara mengalami resesi dan krisis ekonomi. Secara sederhana, intervensi atau manipulasi mata uang diartikan sebagai fenomena dimana suatu pihak (dalam hal ini, negara melalui pemerintah atau bank sentral) menaikkan atau menurunkan nilai mata uangnya terhadap nilai mata uang negara lain. Terdapat suatu hubungan yang erat antara kebijakan moneter seperti intervensi mata uang ini dengan hubungan dagang internasional.5 Stimulus moneter domestik dapat meningkatkan kesempatan ekspor negara yang bersangkutan terhadap partner dagang, sama halnya dengan kebijakan kontraksioner dapat melemahkan kesempatan ini. Intervensi mata uang oleh bank sentral misalnya, dalam keadaan tertentu, mampu menstimulasi nilai ekspor dan menurunkan impor atau sebaliknya tergantung dari arah kebijakan intervensi. Dalam teori, intervensi mata uang dengan membeli suatu mata uang asing dan menjual mata uang negara sendiri mengakibatkan nilai mata uang yang lebih rendah sehingga menolong eksportir negara bersangkutan menurunkan harga ekspor atau 3 The G-20 Torronto Summit Declaration. (2010). Point no. 47. Diakses dari http://www.dfat.gov.au/trade/g20/index.html, tanggal 26 September 2011. 4 The Economist (2010). The Clock Ticks: Global Rebalancing. Diakses dari: htpp://www.economist.com/node/16379927, tanggal 23 Mei 2011. 5 Robert Staiger dan Alan Saykes. (2008). “CurrencyManipulation” and World Trade. National Bureau of Economic Research (NBER), Working Paper 14600, hal.1-2 2 mempertahankan harga ekspor untuk keuntungan bersih yang lebih banyak. Kebijakan ini juga akan membuat harga barang impor menjadi relatif lebih mahal. Harga ekspor yang rendah dan harga impor yang meninggi akan menciptakan suatu surplus perdangangan yang pada gilirannya akan berkontribusi dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi.6 Bank sentral dapat mensterilkan sirkulasi kurs dengan menjual surat hutang secara lokal untuk menjaga suplai kurs tetap konstan. Dalam pemahaman ekonomi, ketika intervensi tidak disterilisasi, pembelian mata uang asing sama halnya dengan meningkatkan suplai uang yang beredar karena bila pelaku pasar membeli mata uang asing melalui eksportir lokal dengan mata uang domestik, mata uang asing ini kemudian memasuki arus suplai mata uang.7 Namun demikian, dalam praktik nyata, operasi pasar mata uang dapat mengalami penyimpangan. Secara khusus, hubungan jangka panjang antara intervensi dan nilai tukar mata sulit untuk dibuktikan secara empiris. Walau intervensi memiliki efek-efek jangka pendek, efek-efek jangka panjang pada nilai tukar dan arus perdangangan yang dimilikinya cukup kabur – terutama karena intervensi biasanya dilakukan dengan melihat arus pasar, kemudian melawan arus ini agar tetap konstan, namun sama sekali tidak dapat mengubahnya.8 Kebijakan China dalam mengintervensi pasar mata uang dengan menghambat atau membatasi apresiasi nilai mata uangnya, Renminbi (Renmimbi atau RMB), terhadap dolar Amerika Serikat (United States Dollar atau USD) dan mata uang lainnya telah menjadi suatu isu yang hangat dalam pertemuan kongres pemerintahan di Amerika Serikat. Kritisi menduga kebijakan penetapan nilai mata uang China ditujukan untuk 6 Ibid Murray Gibbs. (2010) Trade Policy, UN Department for Economic and Social Affairs, hal.35. Diakses dari http://esa.un.org/techcoop/documents/pn_tradepolicynote.pdf, tanggal 26 September 2011. 8 Robert Staiger dan Alan Saykes. op.cit., hal. 23 7 3 membuat harga barang-barang ekspor China menjadi sangat murah, dan harga barang impor ke China menjadi lebih mahal, dibandingkan dengan apabila nilai mata uangnya dibiarkan mengikuti mekanisme pasar bebas.9 Mereka beranggapan bahwa kebijakan manipulasi RMB terhadap USD merupakan salah satu kontributor besar terciptanya defisit tahunan dari perdagangan AS-China yang berujung pada hilangnya lapangan pekerjaan di berbagai sektor di Amerika Serikat.10 Anggota kongres Amerika Serikat terus mendesak Obama untuk mengambil tindakan yang lebih agresif dalam menanggapi kebijakan mata uang China, misalnya dengan memberikan label China sebagai “manipulator mata uang” dalam undangundang perdagangan Amerika.11 Beberapa anggota perlemen Amerika lain telah memperkenalkan beberapa proposal peraturan legislasi untuk menanggulangi dampak yang diakibatkan oleh kebijakan moneter China terhadap Amerika Serikat. Contohnya, dalam Kongres ke-112, proposal UU H.R. 639, S. 328, dan S. 1130 menyatakan bahwa kebijakan mata uang dapat ditindaklanjuti sebagai kebijakan subsidi penghambat perdagangan.12 Dari bulan Juli 2005 sampai pada Juli 2008, Bank Sentral China melepaskan RMB untuk terapresiasi terhadap dolar sebesar 21%. Namun demikian terjadi perubahan kebijakan pada saat dampak krisis ekonomi tahun 2008 mulai terasa. China kemudian kembali menahan apresiasi RMB untuk membantu industri-industri China dapat bertahan dalam perdagangan global.13 9 World Trade Talks End in Collapse. (2008). BBC News. Diakses dari: http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/7531099.stm, tanggal 12 Januari 2012. 10 World Trade Contracted 12 Percent in 2009: WTO’s Lamy. (2010, 24 Februari) Reuters., hal. 27 11 Ibid 12 Ibid 13 Ibid 4 Dari bulan Juli 2008 sampai pertengahan Juni 2010, China kemudian menahan nilai tukar RMB secara konstan di angka 6.83 yuan (unit dasar RMB) terhadap dolar. Pada tanggal 19 Juni 2010, Bank Sentral China kemudian mengumumkan secara publik bahwa pemerintah China akan melanjutkan apresiasi nilai tukar RMB. Sejak saat itu, China memperbolehkan nilai tukar RMB-USD meningkat sebesar 6% (Agustus 2011).14 Banyak pakar moneter di AS tetap mengkritisi bahwa angka ini masih terlalu kecil, terutama jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi China yang sangat signifikan di beberapa tahun terakhir ini, termasuk dalam sektor perdagangan serta cadangan devisa yang mencapai angka 3,2 triliun dolar AS per bulan Juni 2011.15 Hal yang serupa dengan intervensi mata uang yang dilakukan oleh China sekarang juga pernah dilakukan oleh pemerintah Jepang. Pada tahun 1971, ketika hubungan antara dolar Amerika Serikat dan emas memburuk dan dolar dibiarkan berfluktuasi dalam batasan tertentu, nilai yen juga mulai terapresiasi. Nilai tukar yen dan dolar, dimulai sejak masa okupasi AS di Jepang pada tahun 1949, ditetapkan pada angka 360 yen per dolar untuk kurun waktu selama 22 tahun. Sejak itu, nilai yen terapresiasi menjadi 105 yen per dolar pada awal tahun 2005, namun pada akhir tahun 2005 nilai tukar yen menurun menjadi 120 yen per dolar sebelum kemudian naik menguat kembali ke angka 119 yen per dolar pada bulan Maret 2007.16 Pemerintah Jepang melakukan intervensi terhadap nilai mata uangnya dengan cara membeli dolar atau mata uang asing lainnya di masa ketika yen terapresiasi dengan kecepatan yang dianggap terlalu signifikan. Jepang juga telah melakukan intervensi dengan menjual dolar pada saat nilai mata uang dolar terdepresiasi dengan cepat. Don’t Starve Thy Neighbor. (2011, 9 September). The Economist print edition., hal. 87. Ibid 16 Dick K. Nanto. (2007). Japan’s Currency Intervention. CRS Report for Congress. Diakses dari http://www.fas.org/sgp/crs/row/RL33178.pdf, tanggal 14 Februari 2012, hal. 9 14 15 5 Sebagai hasilnya, cadangan devisa Jepang meningkat menjadi sekitar 888 miliar dolar pada bulan Maret 2007.17 Intervensi Jepang paling signifikan untuk mencegah apresiasi yen terjadi pada perantara tahun 1976-1978, 1985-1988, 1992-1966, dan 1998-2004. Sejak bulan Maret 2004, pemerintah Jepang tidak lagi mengintervensi pasar mata uangnya secara signifikan.18 Walaupun intervensi ini dilakukan dengan membeli (atau menjual) dolar secara besar-besaran, intervensi ini hanya mampu memperlambat perubahan nilai yen sedangkan dampak jangka panjang yang ditimbulkannya sangatlah minim karena apresiasi (atau depresiasi) nilai yen akhirnya tetap berlangsung. Fenomena nilai tukar mata uang Jepang menunjukkan kecenderungan bahwa kebijakan mata uang hanya bersifat berlawanan arus pasar namun tidak mampu mengubah arah arus perubahan nilai mata uang itu sendiri. Dalam banyak kasus, intervensi Jepang hanyalah memperhalus fluktuasi dalam pertukaran mata uang dan tidak mengubah arah pergerakannya sama sekali. Bisa dikatakan Jepang berhasil memenangkan pertarungan harian pasar pertukaran, namun kalah dalam keseluruhan peperangan nilai mata uang.19 Walaupun Jepang telah menginvestasikan ratusan miliar dolar untuk membeli asset dolar sebagai cadangan devisa, banyak pengamat yang menganggap transaksi intervensi seperti ini masih sangat kecil jika dibandingkan dengan perputaran mata uang sehari-hari di Jepang yang dapat mencapai 1,9 triliun dolar AS pada pasar mata uang tradisional dan mencapai 2,4 triliun dolar AS pada pasar turunan suku bunga dan mata uang secara langsung. Transaksi mata uang yang terjadi melalui ekspor dan impor, 17 Ibid Robert Staiger dan Alan Saykes. op.cit. hal. 2 19 Dick K. Nanto. op.cit. hal. 3 18 6 investasi, remitansi, dan tujuan lain mengecilkan upaya intervensi yang dilakukan oleh Bank Sentral Jepang.20 Namun tetap saja, adalah efek intervensi pemerintah secara keseluruhan yang membuat perbedaan karena impor dan ekspor umumnya mampu mencapai keseimbangan dalam akumulasi global (teori mengenai keseimbangan global penulis bahas dalam bab 2 skripsi ini). Pembelian dan penjualan mata uang oleh pemerintah menjadi tambahan pada atau pengurangan dari akumulasi permintaan dan penawaran global. Intervensi pemerintah juga dapat menjadi efek sinyal yang kuat bagi pelaku pasar yang kemudian dapat mengurangi pembelian spekulatif apabila transaksinya berlawanan dengan arah perilaku transaksi oleh pemerintah.21 Dalam laporan IMF bulan Agustus 2005 mengenai Jepang, dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Eropa, Jepang secara mencolok tampak menggunakan intervensi pasar pertukaran mata uang sebagai instrumen kebijakan makro ekonominya. IMF melaporkan bahwa sejak tahun 1991, Bank Jepang telah mengintervensi selama 340 hari, Bank Sentral Eropa sebanyak 4 hari (sejak didirikannya pada tahun 1998), dan Bank Sentral AS sebanyak 22 hari. Lebih lanjut IMF menyatakan terdapat beragam bukti bahwa intervensi ini memiliki dampak terhadap pergerakan yen.22 IMF mengutip Takashi Ito, seorang ekonom Jepang, yang menemukan intervensi sebesar 2,5 triliun yen (sekitar 250 miliar dolar AS) secara rerata mampu mengubah nilai tukar 1 yen terhadap dolar sebesar 1%.23 Mengikuti tindakan Jepang, nilai dolar juga meningkat terhadap mata uang Korea, Taiwan, Singapura, dan juga yuan China. Tindakan Jepang untuk melemahkan nilai yen merupakan suatu tindakan 20 Ibid Ibid 22 Ibid, hal 4. 23 Ibid 21 7 yang berani, meskipun pemerintah Jepang sangat sadar bahwa kebijakan seperti ini memiliki rekam sukses yang relatif tidak stabil.24 Studi kasus intervensi serupa juga pernah terjadi di Eropa. Di awal tahun 2010, Bank Nasional Swiss memulai pembelian besar-besaran terhadap Euro. Tujuannya ialah untuk menghambat kenaikan besar nilai franc Swiss dan untuk mempertahankan daya saing ekonomi Swiss.25 Namun demikian, nilai franc terus naik dan pada bulan Juli. Nilai franc bahkan menyentuh nilai tertinggi terhadap euro dari masa sebelumnya. Sejak saat itu, pemerintah Swiss semakin gencar melakukan intervensi untuk menekan harga franc. Bank Sentral Swiss melakukan ini secara sembunyi-sembunyi dan informasi mengenai besaran intervensi pun cenderung ditutupi. Akibatnya terjadi rumor besar-besaran terkait nilai franc, dan Bank Nasional Swiss menjadi subyek spekulasi akibat intervensi yang dilakukannya. Banyak ekonom berpendapat bahwa upaya intervensi ini akhirnya sia-sia.26 Namun demikian, walaupun banyak skeptisme oleh para pakar ekonomi mengenai keefektifan kebijakan intervensi mata uang, banyak pembuat kebijakan melihat tindakan ini sebagai salah satu senjata utama kebijakan moneter yang mampu melindungi daya saing dalam kompetisi dagang internasional. Dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak negara berkembang seperti Indonesia, Meksiko, Polandia, serta Rusia yang juga melakukan tindakan-tindakan serupa untuk melindungi nilai mata uangnya.27 Di tahun terakhir, Rusia diisukan telah menghabiskan sejumlah 210 miliar dolar untuk mempertahankan rouble pada angka 41 terhadap dolar dan euro. Rouble 24 Ibid, hal.4-5, hal.7 Jonathan E. Sanford. (2010). Currency Manipulation: The IMF and WTO. Congressional Research Service. Diakses dari http://www.fas.org/sgp/crs/misc/RS22658.pdf, tanggal 27 September 2011. 26 Ibid 27 Ibid 25 8 kini bernilai 34.86 dan menjadi contoh lain dimana upaya intervensi tidak sanggup bertahan terus-menerus. Swis dan Rusia merupakan contoh gagal dari intervensi mata uang namun tidak ada yang dapat memprediksikan seberapa kuat nilai franc dan rouble bila saja kedua pemerintahnya tidak melakukan intervensi sama sekali.28 Salah satu contoh lain kegagalan intervensi terjadi pada tahun 1992, ketika Inggris berupaya menutupi nilai Deutschmark Jerman. Hanya dalam satu hari, Inggris mengeluarkan sejumlah miliaran poundsterling untuk mempertahankan nilai pound terhadap mata uang Jerman. Namun pengamat pasar perdagangan valuta asing tahu benar bahwa upaya ini tidak ada gunanya dan apresiasi terus terjadi.29 Kembali pada kasus China, pendapat pakar ekonomi mengenai dampak yang diakibatkan dari kebijakan moneter China terkait nilai tukar mata uangnya terhadap Amerika Serikat cukup beragam. Nilai RMB yang berada di bawah nilai sebenarnya dapat dipandang sebagai bentuk subsidi ekspor tak langsung yang mengakibatkan menurunnya harga produk buatan China dalam pasar Amerika Serikat. Hal ini akan menguntungkan konsumer di Amerika Serikat dan perusahaan yang menggunakan komponen barang setengah jadi dari China, namun dapat secara negatif mempengaruhi perusahaan yang sensitif terhadap keberadaan barang substitusi impor.30 RMB yang berada di bawah nilai tukar sebenarnya juga dapat mengakibatkan penurunan ekspor AS ke China bila dibandingkan apabila mata uang China berfluktuasi secara bebas mengikuti mekanisme pasar. Permasalahan ini menjadi semakin kompleks akibat besarnya pembelin cadangan sekuritas AS oleh China yang mencapai 1,2 trilyun Russel Hotten. (2010). Currency Intervention’s Mixed Record of Success. BBC Business. Diakses dari: http://www.bbc.co.uk/news/business-11311802, tanggal 16 September 2011. 29 Ibid 30 Ibid 28 9 dolar AS pada akhir tahun 2010.31 Pembelian ini dapat dilakukan oleh China akibat intervensi mata uang China mengakibatkan akumulasi devisa yang sangat besar bagi China, terutama dalam bentuk dolar AS. Surplus devisa China yang menggunung kemudian digunakan untuk membeli surat hutang AS. Pembelian surat hutang AS oleh China dapat membantu pemerintah AS mendanai defisit kas negara serta dapat membantu menjaga suku bunga pinjaman AS tetap rendah. Hal ini menunjukkan bahwa apresiasi nilai RMB mampu memberikan dampak positif pada beberapa sektor di Amerika Serikat dan di saat bersamaan memberikan dampak negatif pada sektor lainnya. 32 Efek dari krisis ekonomi global membuat perhatian internasional terfokus pada bagaimana cara mengurangi ketidakseimbangan global (misalnya yang terjadi dalam investasi, devisa, dan perdagangan), terutama yang berkaitan dengan hubungan China dan Amerika Serikat. Banyak ekonom yang berpendapat bahwa China harus mengambil langkah-langkah untuk dapat mengurangi ketergantungannya terhadap pendapatan hasil ekspor dan investasi tetap untuk pertumbuhan ekonominya dan beralih pada pendapatan dari konsumsi domestik. Kebijakan penetapan nilai mata uang yang berdasarkan atas kinerja pasar bebas merupakan faktor yang penting untuk mencapai tujuan ini.33 Meskipun intervensi mata uang di berbagai negara banyak yang terbukti tidak berhasil, hasil yang berbeda nampak terjadi di China.34 Intervensi yang secara konsisten dilakukan selama bertahun-tahun lamanya tampak begitu berhasil dalam menjaga konstan nilai mata uang China dan membuat negara pesaing dengan pasar yang besar, seperti Amerika Serikat merasakan dampaknya secara tidak langsung. Keberhasilan 31 Heller & Carrel. (2010). Germany says U.S. Monetary Easing Policy is Wrong. Reuters. Diakses dari: http://www.reuters.com/article/idUSLDE69M02P20101023, tanggal 23 Oktober 2011 32 Jonathan E. Sanford. loc. cit. 33 Ibid 34 Russel Hotten. op. cit. hal. 4-6 10 intervensi mata uang China dan besarnya dampak global yang ditimbulkannya, terutama terhadap AS, membuat fenomena ini sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut. Perdebatan mengenai efektifitas kebijakan intervensi mata uang masih sangat hangat dibicarakan oleh pakar politik ekonomi internasional dan belum banyak solusi yang dapat ditawarkan oleh badan-badan internasional untuk meregulasi kecenderungan untuk yang dianggap dapat menghambat praktik pasar bebas ini. B. Batasan dan Rumusan Masalah Penelitian ini difokuskan untuk melihat pengaruh politik dan ekonomi kebijakan intervensi nilai mata uang China terhadap hubungan perekonomian China dan Amerika Serikat. Walaupun China diduga telah melakukan praktik intervensi mata uang sebagai bagian dari kebijakan makroekonomi dan moneternya sejak tahun 1994,35 penelitian ini secara khusus akan difokuskan kepada perkembangan kebijakan China mulai tahun 2005 hingga tahun 2011, dimana intervensi mata uang beberapa kali dilakukan oleh China sebagai respon untuk mencegah dampak krisis ekonomi global bagi perdagangan dan pertumbuhan ekonomi domestiknya.36 Di samping itu, skripsi ini juga akan menguraikan bagaimana kebijakan intervensi nilai mata uang China memiliki dampak yang signifikan secara global, yang juga secara akumulatif kemudian memberikan dampak bagi Amerika Serikat serta bagaimana keduanya berinteraksi sebagai bagian pemain utama perekonomian global dalam kaitannya dengan kebijakan intervensi mata uang China ini. Dengan batasan tersebut, berikut merupakan formulasi rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini: 35 Edward Wong. (2009, 25 Januari). China Rejects Currency Manipulation Charge. New York Times, hal. 30. 36 The Economist. (2010). The Clock Ticks: Global Rebalancing. [Online]. Diakses dari web: htpp://www.economist.com/node/16379927, tanggal 23 Mei 2011. 11 1. Apa perspektif China dalam menjustifikasi kebijakan intervensi penetapan nilai mata uangnya? 2. Bagaimana dampak kebijakan intervensi nilai mata uang China terhadap hubungan ekonomi dan politik China – Amerika Serikat? 3. Bagaimana strategi Amerika Serikat dalam menanggapi dampak yang dihasilkan oleh kebijakan nilai mata uang China? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Adapun tujuan dan kegunaan penelitian ini sebagai berikut: 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui dan menjelaskan perpektif China dalam menjustifikasi kebijakan intervensi penetapan nilai mata uangnya. b. Untuk menganalisa dan menjelaskan dampak yang diakibatkan kebijakan intervensi penetapan nilai mata uang China terhadap hubungan ekonomi dan politik China – Amerika Serikat. c. Untuk mengetahui dan menjelaskan strategi Amerika Serikat dalam menanggapi dampak yang dihasilkan oleh kebijakan intervensi nilai mata uang China. 2. Kegunaan Penelitian Melalui tujuan penelitian tersebut, maka penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai: a. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan gambaran mengenai kebijakan intervensi nilai mata uang China dan dampaknya terhadap hubungan perekonomian China – AS; serta dapat menjadi bahan bacaan bagi peneliti lain yang tertarik membahas objek yang sama dalam tulisan ini. 12 b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan rujukan pemerintah dan lembaga terkait dalam memahami dan menanggapi kebijakan intervensi nilai mata uang China dan dampaknya terhadap hubungan perekonomian China – AS. D. Kerangka Konseptual Dalam penilitian ini, penulis menggunakan rasional Ekonomi Politik Internasional (EPI) dalam menjelaskan fenomena yang terjadi terkait dampak yang diakibatkan dari intervensi mata uang China. EPI merupakan bidang ilmu yang menjelaskan pendekatan terhadap perdagangan dan keuangan internasional dalam pengaruhnya dengan kebijakan negara, seperti kebijakan fiskal dan moneter.37 EPI, secara sederhana, berbicara mengenai saling keterkaitan aspek ekonomi dan politik dalam isu-isu internasional. Pertanyaan utama dalam EPI umumnya dirumuskan untuk menjelaskan kejadian-kejadian isu perekonomian dunia dan hal-hal apa saja yang mendorong terjadinya hal tersebut.38 Pendekatan ekonomi politik internasional menjadi acuan pokok kerangka ilmiah penulisan ini. Menguraikan faktor-faktor yang memengaruhi fenomena dalam ekonomi politik internasional jauh lebih kompleks dibandingkan dengan ekonomi politik domestik. Kompleksitas ini umumnya timbul akibat banyaknya aktor yang terlibat, seperti negara, perusahaan multinasional, yang juga dibentuk oleh beragam norma, aturan, organisasi bahkan kebiasaan. EPI berupaya melihat apa yang mendorong aksireaksi dari aktor-aktor yang berbeda ini dan bagaimana dampak yang dihasilkannya.39 Terdapat dua paradigma utama yang membentuk ekonomi politik internasional: liberalism dan merkantilisme. Seberapa jauh peran negara dalam menegaskan pengaruh 37 Joan E. Spero (2002), The Politics of International Economic Relations, 4 th ed., hal. 4-5. Ibid 39 Benjamin J. Cohen. (2007). The Transatlantic Divide: Why are American and British IPE so Different?, Review of International Political Economy, Vol. 14, No. 2., hal. 31 38 13 dan kontrolnya terhadap aktifitas ekonomi menjadi tolak ukur utama yang membedakan kedua pendekatan ini.40 Secara sederhana, liberalisme meyakini pasar bebas bersifat mampu membawa keteraturan sendiri (self-regulatory) dan menginginkan peran negara diminimalisir sedangkan merkantilisme menginingkan kontrol negara yang lebih dominan untuk mengakumulasi kekuatan negara.41 Dalam penelitian ini, penulis melakukan pengkajian dengan menggunakan sudut pandang paradigma liberal. Paradigma liberal dipandang penulis dapat membantu menjelaskan seberapa besar dampak intervensi nilai tukar mata uang China terhadap hubungan ekonomi politik China dengan Amerika Serikat dalam perbandingannya dengan sistem penetapan nilai mata uang universal yang mengambang bebas (fee floating) didasarkan atas permintaan dan penawaran global. Perspektif liberalisme juga membantu menunjukkan dampak intervensi mata uang China ini terhadap ekonomi global secara lebih luas, yang kemudian dikerucutkan bagaimana fenomena global ini secara akumulatif memberikan dampak pada Amerika Serikat. Dalam mempelajari EPI, kebijakan fiskal dan moneter dikenal sebagai kebijakan utama yang digunakan oleh pemerintah untuk memperoleh situasi makroekonomi yang positif bagi perkembangan ekonomi dalam negeri. Kebijakan moneter terkait dengan pengaturan nilai suku bunga (interest rates) dan asset, sedangkan kebijakan fiskal terkait dengan jumlah pemasukan dan pengeluaran pemerintah, melalui penyesuaian besaran pajak dan belanja negara. Pengaturan kebijakan makroekonomi ini dapat bersifat ekspansif maupun kontraksioner bergantung pada situasi yang ingin dikendalikan oleh pemerintah. Kedua kebijakan ini dapat 40 41 Ibid, hal. 35 Ibid 14 berkontribusi secara signikan terhadap nilai mata uang satu negara terhadap nilai mata uang negara lain.42 Bentuk kebijakan makroekonomi yang akan dibahas dalam tulisan ini ialah kebijakan intervensi nilai tukar mata uang yang memiliki sifat intrisik yang sangat kompleks, bukan hanya melibatkan kebijakan moneter saja melainkan juga kebijakan fiskal suatu negara. Intervensi nilai tukar mata uang atau manipulasi kurs merujuk pada suatu fenomena dimana suatu pihak meningkatkan atau menurunkan nilai satu mata uang terhadap mata uang lainnya. Dalam konteks ini, pihak yang dimaksud umumnya melibatkan negara atau bank sentral negara tersebut. 43 Terdapat suatu hubungan yang dekat antara kebijakan moneter dan perdagangan internasional. Stimulus moneter domestik dapat meningkatkan kesempatan ekspor ke negara-negara partner dagang, demikian pula kebijakan kontraksioner dapat mengurangi kesempatan ini. Intervensi bank sentral terhadap pasar mata uang, pada kondisi tertentu, dapat menstimulasi jumlah ekspor dan menghambat jumlah impor, begitu pula sebaliknya tergantung dari arah kebijakan intervensi. Dalam teori, intervensi mata uang melalui pembelian mata uang asing dan penjualan mata uang lokal dapat mengakibatkan nilai mata uang menjadi lebih murah yang kemudian dapat membantu eksportir negara tersebut, dengan memungkinkan mereka untuk menurunkan harga barang ekspor mereka atau mempertahankan harga barang ekspor untuk mendapat keuntungan yang lebih. Upaya ini juga akan membuat harga barang impor menjadi lebih murah. Harga ekspor yang lebih murah dan harga impor yang lebih mahal akan meningkatkan surplus dagang negara, sehingga meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi. 42 Sullivan, Arthur, Sheffrin, dan Steven. (2003). Economics: Principles in Action. New Jersey: Pearson Prentice Hall Internaional, Inc., hal. 76. 43 Ibid 15 Bank sentral dapat menjual surat hutang negara untuk menjaga suplai mata uang lokal tetap konstan. Dalam logika EPI, jika suatu intervensi tidak disterilisasi melalui penjualan surat hutang, pembelian mata uang asing sama dengan peningkatan suplai uang. Hal ini dapat dimengerti karena kementerian keuangan membeli mata uang asing dari eksportir lokal dengan menggunakan mata uang lokal, yang kemudian memasuki siklus perputaran uang domestik. Terakhir, implikasi multinasional yang diakibatkan oleh intervensi kebijakan mata uang China dianalisa menggunakan konsep ketidakseimbangan global (Global Imbalances). Konsep ketidakseimbangan global umumnya dipahami sebagai besar defisit transaksi berjalan dan surplus yang mencerminkan perdagangan dan arus keuangan dalam skala global, dalam hal ini yakni antara Amerika Serikat (juga negaranegara importir besar sepeti Uni Eropa dan negara tetangga di Asia Timur) dan China.44 Isu utama yang menjadi kajian dalam konsep ini mencakup ketidakseimbangan perdagangan yang dapat membahayakan kesejahteraan global dan karena itu menjadi tanda akan perlunya pengambilan kebijakan yang tepat untuk memperbaikinya. Lebih lanjut, skripsi ini dielaborasi menggunakan paradigma teori kritis, secara spesifik yang berhubungan bidang ilmu hubungan internasional. Pemahaman lanjut mengenai teori kritis dapat menjadi teori utama mengenai dinamika dan struktur sistem internasional. Teori kritis internasional merupakan suatu upaya untuk merefleksikan alur kritis fenomena dalam hubungan internasional dan memfokuskan pada baik 44 Oliver Blanchard. (2007). Global Imbalances. Diakses dari http://economics.mit.edu/files/762, tanggal 21 Mei 2012. 16 kesamaan maupun perbedaan antaranya dengan menaruhnya dalam kerangka kritisisme yang konstruktif. 45 Teori kritis menawarkan suatu pendekatan isu-isu normatif yang berhubungan dengan ilmu-ilmu sosial melalui metode yang non-reduktif. Domain teori ini mencakup pertanyaan terhadap dimensi normatif akifitas sosial secara khusus bagaimana aktor hubungan internasional mengaplikasikan pengetahuan praktis dan sikap normatif mereka dari suatu perspektif yang kompleks dalam konteks yang beragam.46 Dalam hal ini, teori ini menganalisa faktor-faktor relevan yang memengaruhi formulasi kebijakan dari intervensi nilai tukar mata uang China, dari perspektif tradisional dan ideologi komunal hingga pada perspektif kontemporer (terkadang dianggap sebagai perspektif liberalistik) terkait pertumbuhan ekonomi. Teori ini juga dapat membentuk pola pikir yang menjelaskan dampak-dampak apa saja yang diakibatkannya terhadap negara lain, secara khusus pada Amerika Serikat, dan bagaimana, pada gilirannya, AS merespon balik fenomena ini yang terefleksikan dalam formulasi kebijakan luar negerinya. Dalam kepentingan penulisan skripsi ini, kebijakan luar negeri menjelaskan bagaimana suatu negara bersikap terhadap negara lain, baik yang terkait isu politik maupun ekonomi.47 Interaksi ini dievaluasi dan dimonitor untuk memaksimalkan keuntungan dari kerjasama internasional, baik secara bilateral maupun multilateral. Karena kepentingan nasional bersifat sangat penting, kebijakan luar negeri didesain oleh pemerintah melalui suatu proses pengambilan keputusan tingkat tinggi. Pencapaian 45 Baaz Mikael. Critical Theory as an International Relations Theory. Diakses dari http://asrudiancenter.com/2008/06/25/critical-theory-as-an-international-relations-theory.htm, tanggal 5 November 2011 46 Ibid 47 Anissimov Michael. (2011). What is Foreign Policy. Diakses dari htpp://wisegeek.com/what-isforeign-policy.html, tanggal 5 November 2011. 17 kepentingan nasional dapat terjadi sebagai hasil dari penerapan kebijakan luar negeri secara efektif, baik melalui kerjasama maupun eksploitasi.48 E. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Dalam tulisan ini, penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif. Metode ini dilakukan dengan menggambarkan dampak kebijakan penetapan mata uang China secara ekonomi dan politik terhadap Amerika Serikat. Metode deskriptif digunakan dalam menjabarkan dampak ini dimulai dari perspektif dalam justifikasi kebijakan China sampai pada implikasinya terhadap perekenomian AS dan respon balik AS terhadap kebijakan ini. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam tulisan ini, adalah telaah pustaka (library research), yaitu dengan mengumpulkan berbagai data dari literaturliteratur seperti jurnal, buku, artikel, dan bahan tertulis lainnya. Serta pemberitaan dari media elektronik dan cetak yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. Data-data yang didapat dari berbagai literatur tersebut, digunakan sebagai bahan untuk membantu menganalisa fenomena yang dibahas dalam penelitian. Adapun tempat yang menjadi sumber literatur selama pengumpulan data dilakukan yaitu Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin di Makassar, Perpustakaan Ali Alatas Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia di Jakarta, City Public Library di Melbourne, serta ditambah beberapa literatur dari koleksi pribadi penulis serta dari media online dengan sumber yang telah tervalidasi sebelumya. 48 Ibid 18 3. Jenis Data Berdasarkan pembahasan yang telah ditentukan maka, jenis data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data teoritis yang berhubungan dengan penelitian yang ditulis. Data ini diperoleh dari berbagai literatur dan hasil olahan dari berbagai sumber terkait. Data teoritis inilah yang kemudian dianalisis untuk menjawab permasalahan yang ditentukan. Di samping itu juga terdapat berbagai data numerik dan statistik, untuk membantu pembuktian praktis proses analisa kajian skripsi ini. 4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam tulisan ini adalah teknik analisis data kualitatif. Dengan teknik ini, analisis ditekankan pada data kualitatif yang analisisnya akan diarahkan pada data non-matematis. Namun untuk data pelengkap, juga disertakan data kuantitatif berupa angka-angka statistik serta bantuan ilustrasi melalui kurva dan grafik yang memiliki keterkaitan dengan obyek penelitian, yang penekanannya tetap diarahkan pada interpretasi serta analisa dari data kuantitatif ini. 5. Metode Penulisan Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deduktif. Penulisan dimulai dengan menggambarkan permasalahan secara umum. Kemudian berdasarkan teori-teori dan data-data yang didapat ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. 19 BAB II TELAAH PUSTAKA Dalam telaah pustaka penulis akan menjabarkan beberapa teori dan konsep yang menjadi acuan dasar pengembangan pemikiran. Teori yang digunakan ialah teori ekonomi politik internasional secara khusus mengenai ekonomi liberal dan perdagangan internasional, sedangkan konsep dasar yang digunakan meliputi konsep mengenai valuta asing dan kurs, intervensi pemerintah dalam penentuan nilai tukar, dan ketidakseimbangan global. Berikut, pemaparan dan ulasan telaah pustaka skripsi ini: A. Ekonomi Politik Internasional Secara sederhana, ekonomi politik internasional didefinisikan sebagai interaksi global antara politik dan ekonomi. Robert Gilpin mendefinisikan ekonomi-politik sebagai: Dinamika interaksi global antara pengejaran kekuasaan (politik) dan pengejaran kekayaan (ekonomi). Dalam definisi ini terdapat hubungan timbal balik antara politik dan ekonomi.49 Ekonomi politik internasional merupakan studi yang mempelajari saling keterhubungan antara ekonomi internasional dengan politik internasional, ekonomi internasional dengan politik internasional yang muncul akibat berkembangnya masalahmasalah yang terjadi dalam sistem internasional. Dalam mengkaji teori ini dibutuhkan integrasi antara konsep-konsep ekonomi serta politik, misalnya masalah-masalah dalam isu perdagangan internasional, moneter, dan pembangunan. Menurut Robert Jackson & George Sorensen, “...Ekonomi Politik Internasional pada dasarnya membahas tentang 49 Perwira dan Yani. (2005). Pengembangan Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. hal. 75. 20 siapa mendapatkan apa dalam sistem ekonomi politik internasional...”.50 Terutama dalam era globalisasi, pemahaman bahwa terdapat jalinan yang saling tergantung dan tidak dapat dipisahkan antara faktor ekonomi dan politik, serta antara negara dengan pasar semakin tak terelakkan.51 Ekonomi politik internasional yang merupakan suatu bagian dari studi hubungan internasional mempunyai sub-studi dengan penekanan pada analisa kebijakan (politik) suatu negara dalam menghadapi permasalahan ekonomi internasional. Dapat pula dinyatakan, bahwa ekopolinter adalah sebuah studi tentang masalah yang terfokus pada elemen-elemen interdependen kompleks yang sering terjadi pada kehidupan kita seharihari. Dalam interaksi internasional secara umum terdapat terdapat mekanisme pasar yang cukup rumit seperti penentuan kurs/valuta asing, faktor produksi, serta fluktuasi pasar akibat pergerakan dinamis dari permintaan dan penawaran, spekulan-spekulan pasar dan beberapa kasus internasional menjadi acuan yang penting dalam menentukan pola-pola interaksi tersebut hingga melahirkan suatu kesepakatan (harga di dalam) pasar internasional. Salah satu konsep besar yang paling umum dijadikan sebagai acuan dalam sudut pandang liberal ekonomi politik internasional ialah perdagangan bebas (free trade). Dalam perspektif ini, perdagangan bebas, yang juga berkaitan erat dengan konsep interdependensi, dapat mengoptimalkan perolehan manfaat tiap-tiap negara yang mampu melakukan efisiensi dalam interaksi ekonominya, serta dianggap sebagai bentuk paling adil dalam mengatur jalannya mekanisme pasar. Hal ini dapat terjadi akibat penghilangan hambatan perdagangan seperti tarif (tariffs) dan kuota (quota), kesepakatan masyarakat internasional dalam perjanjian umum mengenai tariff dan 50 Ibid. Hal 76 Hamdy Hady. (2004). Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 36 51 21 perdagangan dalam WTO bisa berlangsung dan diterapkan melalui kesepakatan perdagangan internasional secara multilateral. Secara khusus dalam tulisan ini, bagian EPI yang menjadi pusat bahasan ialah sistem moneter internasional dan dampak ekonomi-politik yang ditimbulkannya. Sistem moneter internasional dapat dipahami mencakup semua fitur utama dari hubungan moneter lintas batas nasional - proses dan lembaga intermediasi keuangan (mobilisasi tabungan dan alokasi kredit) serta pembuatan dan pengelolaan uang itu sendiri. Sebagaimana tulisan Susan Strange: "Struktur keuangan benar-benar memiliki dua aspek tak terpisahkan. Ini terdiri atas, bukan hanya struktur ekonomi politik di mana kredit dibuat, tetapi juga sistem moneter atau sistem yang menentukan nilai relatif dari uang yang berbeda di mana kredit adalah mata uang."52 Kedua aspek tersebut dipengaruhi oleh distribusi kekuatan di antara aktor. Dan apa yang dimaksud dengan kekuatan dalam hubungan moneter? Secara singkat meringkas argumen yang telah dikembangkan kekuatan moneter internasional dapat dipahami terdiri dari dua dimensi kritis, otonomi dan pengaruh. Dimensi yang lebih umum didengar adalah dimensi pengaruh, yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk membentuk peristiwa atau hasil. Secara operasional, dimensi ini secara alami setara dengan kapasitas untuk mengontrol perilaku para aktor - "membiarkan orang lain melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan aktor lain," cukup serupa dengan definisi sederhana dari diplomasi.53 52 Susan Strange. (2004). States and Markets, 2nd Edition. Diakses dari: http://books.google.co.id/books/about/States_and_Markets.html?id=YkjtEOM5LbkC&redir_esc=y, tanggal 18 Oktober 2011. 53 Benjamin Cohen. (2006). The Macrofoundations of Monetary Power, dalam David M. Andrews, ed. International Monetary Power. Ithaca, NY: Cornell University Press. 14:31-50. 22 Aktor, dalam pengertian ini, bersifat sangat kuat sampai-sampai secara efektif dapat menekan atau memaksa orang lain. Singkatnya, sejauh itu dapat melaksanakan suatu perintah atau kewenangan manajerial. Sebagai dimensi kekuasaan, pengaruh penting adalah sine qua non dari kepemimpinan sistemik. Dimensi kedua, otonomi, sesuai dengan definisi kamus kekuasaan merupakan kapasitas untuk bertindak. Seorang aktor juga memiliki kekuatan dimana ia mampu menggunakan kebebasan operasional – untuk bertindak secara bebas, bebas dari tekanan luar. Dalam hal ini, kekuasaan tidak berarti mempengaruhi orang lain, melainkan berarti tidak membiarkan orang lain untuk mempengaruhi seorang aktor – dengan kata lain membiarkan aktor ini memiliki kebijakan sendiri, walaupun, mungkin, bertentangan dengan keinginan aktor lainnya. Untuk aktor negara dalam sistem moneter, kunci otonomi terletak pada distribusi yang tidak pasti dari beban penyesuaian ketidakseimbangan eksternal. Ekonomi nasional tak dapat dipungkiri lagi terkait melalui neraca pembayaran internasional. Risiko ketidakseimbangan pembayaran tidak berkelanjutan merupakan ancaman kuat bagi kebebasan kebijakan. Ketidakseimbangan yang berlebihan secara otomatis menghasilkan tekanan saling menyesuaikan, untuk membantu pembayaran bergerak menyeimbangkan kembali ke kondisi ekuilibrium. Namun penyesuaian dapat berarti pertentangan atau bahkan dapat berpotensi menciptakan konflik baik secara ekonomi dan politik. Pemerintah tidak ada yang menyukai apabila dipaksa untuk berkompromi dengan tujuan kebijakan utama demi mengembalikan keseimbangan eksternal. Negara, jika diberi pilihan, akan lebih memilih bukan untuk melihat aktor lain yang membuat pengorbanan yang diperlukan. Untuk negara, oleh karena itu, dasar dari kekuatan 23 moneter adalah kapasitas untuk menghindari beban penyesuaian yang diperlukan oleh ketidakseimbangan pembayaran. Beban lainnya adalah pengorbanan yang terjadi ketika transisi penyesuaian, yang didefinisikan sebagai biaya perubahan itu sendiri. Dimana proses penyesuaian tidak dapat ditunda, kekuatan untuk mengalihkan merupakan kapasitas untuk menghindari biaya transisi penyesuaian dengan mengalihkan sebanyak mungkin biaya itu kepada aktor lain. Kekuatan untuk menunda sebagian besar merupakan fungsi dari posisi likuiditas internasional suatu negara relatif terhadap negara lain, yang terdiri dari kedua cadangan yang dimiliki dan kapasitas pinjaman. Kekuatan untuk mengalihkan bersumber pada beberapa variabel struktural mendasar yang menentukan derajat relatif suatu perekonomian terbuka dan kemampuan beradaptasi. Untuk aktor sosial dalam sistem moneter, kunci otonomi terletak pada hubungan pasti antara domain pasar yang relevan dan yurisdiksi hukum. Di dunia yang semakin global, jangkauan pasar keuangan terus menerus berkembang. Namun otoritas politik tetap berakar pada masing-masing negara, masing-masing memiliki prinsip kedaulatan dalam batas-batas teritorial sendiri. Oleh karena ketidaksinkronan yang berlaku antara domain pasar dan yurisdiksi hukum yang menciptakan banyak ruang untuk perilaku oportunistik oleh perusahaan atau perorangan. Independensi kebijakan yang sangat dihargai oleh pemerintah cenderung menciptakan perbedaan kendala pasar dan insentif yang mungkin dimanfaatkan untuk keuntungan. Sebagai aktor sosial, dasar kekuasaan moneter adalah kemampuan untuk menavigasi dengan sukses dalam celah antara rezim politik.54 54 Benjamin Cohen. op. cit., hal. 46 24 Kedua mode mulai dengan otonomi moneter sebagai syarat dasar dan perlu, dan dalam kedua kasus aktor lain yang terkait mungkin merasa terdorong untuk mematuhinya. Tapi dalam eksternalitas mode pasif bersifat insidental dan tak dapat diduga-duga sebelumnya, sedangkan pada tekanan modus aktif berlaku langsung dan sengaja. Modus aktif, pada dasarnya, mempolitisasi hubungan, yang bertujuan untuk menerjemahkan pengaruh pasif ke kontrol praktis melalui penggunaan instrumen kekuasaan. Dari sudut pandang ekonomi politik, perbedaan antara dua mode sangat penting. Fenomena inilah yang sering menimbulkan konflik kepentingan politik dan ketidakseimbangan global ekonomi, yang menjadi bagian dari fokus skripsi ini. Yang mana, China sebagai seorang aktor hubungan internasional yang independen dalam menentukan kebijakannya untuk memperoleh kepentingannya (dalam hal ini, pengembangan ekonomi) dihadapkan dengan kepentingan negara lain (dalam hal ini, Amerika Serikat). Penjabaran teori ekonomi politik internasional yang kompleks ini diperlukan untuk melihat bagaimana aktor-aktor hubungan internasional mengimplementasikan kekuasaannya dan saling pengaruh satu sama lain dalam mencapai kepentingannya masing-masing. B. Pasar Valuta Asing dan Kurs 1. Pengertian Valuta Asing dan Pasar Valuta Asing Valuta Asing merupakan mata uang yang bukan merupakan alat pembayaran sah utama di suatu negara. Contoh Dollar AS di China, walaupun dapat menjadi alat transaksi, namun tidak dapat diterima di semua tempat transaksi dan harus ditukarkan terlebih dahulu dengan uang sah di China di pasar valuta asing. 25 “Valuta asing, dalam referensi keuangan international disebut juga foreign exchange atau foreign currency adalah mata uang asing atau alat pembayaran lainnya yang digunakan dalam transaksi ekonomi internasional berdasarkan kurs resmi yang ditetapkan oleh bank sentral. (Khalwaty, Tajul 2000:172)”55 Dalam keadaan tanpa adanya intervensi, besarnya nilai tukar mata uang suatu negara terhadap mata uang lainnya biasanya ditentukan oleh keadaan perekonomian suatu negara. Foreign exchange market ini tidak tetap, melainkan selalu berubah mengikuti penawaran dan permintaan. “Pasar valas dapat diartikan sebagai suatu tempat atau wadah atau sistem dimana perorangan, perusahaan dan bank dapat melakukan transaksi keuangan internasional dengan jalan melakukan pembelian atau permintaan dan penjualan dan penawaran”. (Hady, Hamdy 2001:23)”56 Sementara Levi, Maurice (2006) dalam bukunya “International Finance” menjelaskan bahwa peran valas yang terwujud dalam pertukaran mata uang dapat bervariasi di pasar valas internasional. Sebagai konsekuensinya maka diperlukan nilai tukar yang rasional antara mata uang yang diperdagangkan. Nilai uang yang terbentuk akan dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor teknikal, fundamental, psikologis, dan lain-lain yang terakomodasi dalam periode tertentu. Ketiga faktor tersebut berimplikasai pada suatu kondisi nilai tukar yang cenderung fluktuatif dan penuh ketidakpastian dalam suatu perekonomian internasional.57 2. Kurs Kurs adalah jumlah satuan atau unit dari mata uang tertentu yang diperlukan untuk memperoleh atau membeli satu unit atau satuan jenis mata uang lainnya. Menurut Samuelson definisi kurs adalah: the price of one unit foreign is currency in term of 55 Tajul Khalwaty. (2000). Inflasi dan Solusinya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, hal. 23. Hamdy Hady. op. cit., hal. 72. 57 Ibid 56 26 domestic currency is determined, and the price is called the foreign exchange rates.58 Sedangkan menurut Sawaldjo Puspopranoto, definisi kurs adalah harga dimana mata uang suatu negara dipertukarkan dengan mata uang negara lain disebut nilai tukar (kurs).59 Dari definisi-definisi tersebut di atas dapatlah disimpulkan secara singkat bahwa kurs adalah nilai suatu mata uang dibandingkan degan mata uang lainnya. Misalnya nilai mata uang RMB terhadap Dolar AS. Pemerintah umumnya memiliki kecenderungan untuk mengambil peran dalam penentuan kurs agar sampai pada tingkat yang kondusif bagi dunia usaha. Kurs, khususnya nilainya terhadap Dolar AS, sangat berkaitan erat dan mempengaruhi arus barang dan jasa serta modal dari dalam dan keluar negara bersangkutan. 3. Jenis Kurs Terdapat beberapa jenis kurs atau nilai tukar, yaitu: 1. Kurs Beli (bid price) adalah besar satuan mata uang negara lain yang harus diserahkan untuk membeli tiap unit uang asing kepada Bank atau money changer. 2. Kurs Jual (selling price) adalah besaran satuan mata uang negara lain yang akan diterima dari bank atau money changer jika kita membeli mata uang asing. 3. Kurs Spot adalah nilai valuta asing yang digunakan untuk transaksi spot di pasar valuta asing. 4. Kurs Forward, adalah nilai tukar yang berlaku dan digunakan untuk transaksi forwad di pasar valas. 58 Paul A. Samuelson. (2005). Theoretical Notes on Trade Problems. Review of Economics and Statistics. 46:2., hal. 145–54. 59 Sawaldjo Puspopranoto. (2004), Manajemen Bisnis: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Jakarta: Penerbit PPM, hal. 212 27 5. Kurs Silang adalah nilai antara dua valas yang diperoleh dari nilai tukar masingmasing valuta terhadap valuta lain. 6. Kurs Opsi adalah kurs yang ditetapkan dimuka sesuai dengan pendapat Shapiro yaitu, “Call option give the customer the right to purchase, but option give the right to sell the contracted currencies at the expected date”60 4. Penentuan Nilai Tukar atau Kurs Terdapat tiga jenis sistem nilai tukar, yakni kurs tetap (fixed exchange rate), kurs mengambang terkendali (managed floating exchange rate), dan kurs mengambang bebas (free floating rate).61 Kurs tetap merupakan sistem dimana intervensi nilai mata uang berlaku, dimana pemerintah atau bank sentral menetapkan suatu nilai tetap mata uangnya terhadap nilai mata uang negara lain, tanpa memperhitungkan aktifitas penawaran dan permintaan di pasar uang. Dalam kurs mengambang terkendali, hal yang sama yakni intervensi nilai mata uang juga terjadi namun dalam skali yang lebih kecil, dimana nilai mata uang tidak sepenuhnya mengikuti nilai riil dalam pasar bebas melainkan tetap mendapatkan perlakuan kontrol dari pemerintah dan bank sentral. Sebaliknya, dalam kurs mengambang bebas, nilai tukar mata uang sepenuhnya ditentukan dari jumlah penawaran dan permintaan mata uang dalam pasar bebas untuk mencapai kondisi equilibrium sesuai dengan kondisi eksternal dan internal dengan tidak melibatkan campur tangan pemerintah. Pasar valas merupakan sebuah contoh baik dari pasar yang sangat kompetitif. Di pasar ini ada banyak pembeli dan penjual dari suatu produk yang homogen. Setiap 60 A. C. Saphiro. (2006). Multinational Financial Management. New Jersey: Pearson Prentice Hall International, Inc., hal. 116. 61 Kurs Tetap, Kurs Mengambang Bebas, Kurs Mengambang Terkendali dan Penerapannya di Indonesia, (2012). Diakses dari http://economicwatcher.com/2012/06/kurs-tetap-kurs-mengambang-bebas-kurs.html, tanggal 13 September 2012. 28 pembeli dan penjual relatif kecil dibanding seluruh pasar, sehingga tidak ada seorang pembeli atau penjual pun yang dapat mempengaruhi nilai tukar secara berarti. Pada sistem nilai tukar ‘mengambang bebas’, pemerintah tidak melakukan intervensi di pasar valas dan membiarkan nilai tukar dikendalikan sepenuhnya oleh kekuatan-kekuatan di pasar bebas. Di lain pihak, pada sistem nilai tukar ‘mengambang terkendali’, pemerintah kadang kala melakukan intervensi sebagai upaya untuk mencegah pergerakan nilai tukar yang dipandang ekstrim atau bertentangan dengan kepentingan nasional.62 Hasil yang diperoleh dari intervensi nilai mata uang umumnya sangat terbatas, yaitu hanya menahan nilai kurs untuk sementara waktu dan tak mampu menolong kurs itu sendiri dari keterpurukan. Namun perlu disadari, bahwa dewasa ini walaupun pemerintah ikut melakukan intervensi, volume dari kegiatan tersebut relatif kecil sekali terhadap jumlah total kegiatan pihak swasta di pasar valas. Hal ini juga merupakan fenomena global. Di dalam rumusan pendekatan Salvatore yang diterjemahkan oleh Drs. Haris Munandar, terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan dalam penentuan nilai tukar mata uang asing yaitu: 1. Pendekatan tradisional, yakni pendekatan berdasarkan pada arus perdagangan dan paritas daya beli (PPP) yang kedudukannya sangat penting untuk menjelaskan pergerakan kurs jangka panjang. 2. Pendekatan keuangan, yakni pendekatan yang memusatkan perhatiannya pada pasar modal dan arus permodalan internasional dan berusaha menjelaskan gejolak kurs jangka pendek yang kecenderungannya mengalami lonjakanlonjakan tak terduga.63 62 63 Ibid, hal. 219 D. Salvatore. (2007). Ekonomi Internasional. Edisi kelima, Jakarta: Penerbit Erlangga, hal. 84. 29 C. Ketidakseimbangan Global (Global Imbalances) Ketidakseimbangan perdagangan yang besar dan terus berlanjut dari berbagai negara dalam perekonomian dunia telah menyebabkan kekhawatiran di antara pengambil kebijakan dan kritikus ekonomi politik internasional. Hal ini memancing tekanan global yang mengarah pada keinginan untuk "penyeimbangan kembali" di mana negara-negara dengan defisit perdagangan terus-menerus, seperti Amerika Serikat, akan mengurangi impor bersih, sementara negara-negara dengan surplus perdagangan terusmenerus, seperti China, akan mengurangi ekspor bersih.64 Isu utama yang menjadi kajian dalam konsep ini mencakup ketidakseimbangan perdagangan yang dapat membahayakan kesejahteraan global dan karena itu menjadi tanda bahwa kebijakan yang tepat diperlukan untuk memperbaikinya. Konsep mengenai ketidakseimbangan global bukanlah merupakan suatu konsep yang baru dan merupakan fenomena yang telah ada sejak tahun 1970-an. Konsep ini kemudian marak dipergunakan kembali saat terjadi krisis finansial global tahun di tahun 2008. Ketidakseimbangan global biasanya dipahami sebagai besar defisit transaksi berjalan dan surplus yang mencerminkan perdagangan dan arus keuangan dalam skala global, dalam hal ini yakni antara Amerika Serikat (juga negara-negara importir besar sepeti Uni Eropa dan negara tetangga di Asia Timur) dan China. Pemahaman di atas, namun demikian, tidak mencerminkan bagian penting dari ketidakseimbangan global dan dengan demikian risiko sistemik dan penyimpangan dari keseimbangan, yaitu intervensi kebijakan tersebut termasuk kegagalan kebijakan ke dalam perdagangan global dan mekanisme keuangan. Definisi yang lebih tepat menjelaskan ketidakseimbangan global sebagai "posisi eksternal ekonomi yang secara Corden W. Max. (2009). China’s Exchange Rate Policy, Its Current Account Surplus and the Global Imbalances. Dalam Ross Garnaut, Ligang Song dan Wing Thye Woo (Ed). China’s New Place in a World in Crisis. Canberra: Australia National University Press. 64 30 sistemik penting dan mencerminkan distorsi atau mengandung resiko bagi perekonomian global".65 Kondisi ketidakseimbangan global didasarkan atas perdagangan (current account) dan keuangan (neraca berjalan dan posisi keuangan), serta kekhawatiran yang dipahami lebih dari sekedar cermin dari satu sama lain (perdagangan dan globalisasi keuangan keduanya diperhitungkan di sini).66 Dari perspektif perdagangan, ketidakseimbangan perdagangan tidak berarti menjadi tanda akan adanya suatu disequilibrium. Sebaliknya, hal ini dapat menjadi suatu tanda yang menunjukkan bahwa memang terjadi perdagangan dalam kurun waktu dan tempat tertentu. Hal ini diilustrasikan dalam Kurva 2.1. yang menunjukkan teori perdagangan mengenai kemungkinan jumlah produksi yang berbeda di dua negara, A dan B, bersama-sama dengan kurva indiferen menunjukkan kesejahteraan yang mereka dapat capai baik dalam autarki dan dengan perdagangan bebas. Namun demikian, kurva ini tidak menampilkan jumlah dari dua barang yang berbeda pada titik waktu yang sama, melainkan menunjukkan barang yang sama namun pada waktu yang berbeda. Yakni, bahwa Negara A relatif lebih baik pada, dan demikian memiliki keuntungan komparatif dalam, memproduksi barang pada masa sekarang, sedangkan kemungkinan produksi barang Negara B cenderung lebih baik hanya di masa yang akan datang.67 Dari kurva 2.1., perbedaan keduanya direfleksikan dalam harga relatif yang lebih rendah di masa kini dibandingkan dengan di masa depan pada Negara A dan dengan di Negara B. Hal ini juga dapat dikorespondensikan dengan suku bunga riil yang lebih rendah di Negara A dibandingkan dengan di Negara B. Dalam perdagangan 65 Pavel Hnat. (2009). Global Imbalances and Their Impact on Global Economic Governance (case of IMF). Diakses dari http://stockholm.sgir.eu/uploads/Hn%C3%A1t_stockholm_final.pdf, tanggal 2 Juli 2012. 66 Goldstein, Morris dan Nicholas R. Lardy. (2009). The Future of China’s Exchange Rate Policy. Washington DC: Peterson Institute for International Economics, hal. 125. 67 Ibid 31 bebas, ditunjukkan oleh garis harga melengkung yang serupa yang berarti tingkat suku bunga bernilai sama, Negara A mengekspansi produksi di masa kini, mengekspor kelebihan produk ke Negara B, sedangkan Negara B melakukan hal sebaliknya. Di masa kini, berlaku bahwa Negara A memproduksi barang lebih dari jumlah yang dikonsumsinya dan dengan demikian mengalami surplus perdangan, sedangkan Negara B mengalami defisit.68 Kurva 2.1. Perdagangan Bebas Temporal dengan Preferensi Identik Sumber: Global Imbalances and Their Impact on Global Economic Governance (case of IMF). Diakses dari http://stockholm.sgir.eu/uploads/Hn%C3%A1t_stockholm_final.pdf Tentu saja setiap negara memperoleh dan mengeksploitasi keuntungan komparatif inter temporal dari situasi ini. Keduanya bahkan akan mampu mencapai kurva indiferens yang lebih tinggi, mewakili kesejahteraan yang lebih tinggi. Tidak akan terjadi masalah jika ekonomi internasional mengikuti keadaan ini.69 Namun apabila diperhatikan lebih dekat dari apa yang membedakan kedua negara, Negara A memiliki keuntungan komparatif dalam produksi masa kini, sedangkan Negara B memiliki keuntungan komparatif untuk produksi masa depan. Perbedaan dua kemungkinan kurva produksi ini berarti bahwa rasio output riil di masa 68 Ibid Huang, Yiping dan Kunyu Tao. (2010). Causes and Remedies of China’s Current Account Surpluses. CCER Working Paper 2010002, 25 February. Beijing: China Center for Economic Research. Diakses dari http://en.ccer.edu.cn/ReadNews.asp?NewsID=6802, tanggal 12 Oktober 2011. 69 32 depan, dibandingkan dengan masa sekarang, lebih besar di Negara B dibandingkan dengan di Negara A, atau dengan kata lain output riil bertumbuh dengan lebih cepat, dari waktu ke waktu, di Negara B. Hal ini menjelaskan mengapa konsumen di Negara B mengalami defisit harus melakukan perubahan jumlah konsumsi dari waktu ke waktu.70 Namun jika ingin mencocokkan skenario teori ini dengan kenyataan yang sedang terjadi, terdapat suatu masalah. Negara yang mengalami surplus perdagangan yang sangat besar secara mengejutkan ialah negara berkembang China, bukan Amerika Serikat yang mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi. Sehingga jika dicocokkan antara Negara A dan Negara B dengan situasi nyata, Amerika Serikat identik dengan Negara A, sedangkan China identik dengan Negara B. Teori akan berbicara bahwa AS seharusnya mengalami suplus sedangkan China seharusnya sedang mengalami defisit perdagangan. Bagaimana kita menjelaskan, dalam konteks model ini, karena kenyataannya ialah bahwa secara spesifik dalam kasus China-Amerika Serikat, keduanya justru mengalami hal sebaliknya? Salah satu kemungkinannya ialah dengan membiarkan kedua negara ini memiliki preferensi yang berbeda. Diandaikan apabila Negara A memili preferensi lebih besar terhadap konsumsi di masa sekarang dibandingkan dengan kemampuan untuk memproduksi di masa sekarang, sedangkan Negara B memiliki preferensi ekstrim yang serupa mengenai tingkat konsumsi di masa yang akan datang. Kurva 2.2 memberikan ilustrasi terkait dalam kondisi equilibrum pada perdagangan bebas. Yiping Huang. (2010). Krugman’s Chinese Renminbi Fallacy. VoxEU.org. Diakses dari http://www.voxeu.org/article/china-us-and-renminbi-rejoinder-krugman, tanggal 26 Maret 2012. 70 33 Kurva 2.2. Perdagangan Bebas Temporal dengan Preferensi Non-identik Sumber: Global Imbalances and Their Impact on Global Economic Governance (case of IMF). Diakses dari http://stockholm.sgir.eu/uploads/Hn%C3%A1t_stockholm_final.pdf Kurva di atas merupakan kurva yang mengilustrasikan perdagangan temporal dengan preferensi non-identik, dimana Negara A memiliki preferensi atas konsumsi masa sekarang sedangkan Negara B memilih konsumsi masa depan. Kurva ini menunjukkan bahwa kedua negara memperoleh keuntungan dari perdangan intertemporal, yang dimotivasi oleh perbedaan dalam preferensi ketimbang perbedaan dalam kapasitas produksi. Apakah Kurva 2.2 telah mampu menggambarkan apa yang terjadi dalam fenomena nyata? Tampaknya demikian, memang benar bahwa banyak dari penduduk di AS, bertindak seolah-olah cenderung memiliki preferensi konsumsi untuk masa sekarang dibanding dengan untuk masa yang akan datang, dan tingkat simpanan (savings) di China dan negara berkembang lainnya menunjukkan preferensi yang berlawanan. Namun demikian, hal ini belum dapat merefleksikan keseluruhan fenomena yang terjadi.71 Jika gambar pada Kurva 2.2 merupakan refleksi utuh, maka diharapkan nilai suku bunga riil di AS lebih tinggi dibandingkan dengan di China, kecuali bahwa perdagangan 71 Ibid 34 dan / atau arus modal memiliki tingkat bunga yang saling menyamakan kedudukan secara internasional. Hal demikian tidak terjadi. Dan dalam hal apapun, mengandalkan penjelasan tentang perilaku yang bertumpu terlalu banyak perbedaan pada preferensi memiliki tingkat realibilitas yang rendah. Teori keseimbangan global menyediakan alternatif melalui kebijakan yang dapat mengintervensi perdagangan inter-temporal bebas dalam Kurva 2.1. di atas yang dapat memengaruhi output akhir. Dalam teori perdagangan, umumnya dipertimbangkan hambatan perdagangan seperti tarif, tetapi ini tidak akan membantu dalam kasus ini. Hambatan perdagangan hanya akan mendorong ketidakseimbangan perdagangan menjadi nol, bukan membalikkan mereka. Apa yang dibutuhkan adalah kebijakan yang merangsang secara artifisial perdagangan melebihi keunggulan komparatif. Secara sederhana, diumpamakan bahwa suatu negara menerapkan kebijakan subsidi, atau mendukung kebijakan serupa untuk ekspor barang yang merupakan bagian dari kerugian komparatif (atau impor dari negara lain).72 Secara khusus, teori ini berasumsi bahwa Negara A mensubsidi ekspor barang untuk masa yang akan datang sedangkan Negara B mensubsidi ekspor barang di masa kini. Hasil dari sepasang kebijakan ini ditunjukkan dalam Kurva 2.3. dimana perdagangan ditunjukkan melalui garis putus-putus indikator harga. Karena subsidi ekspor untuk barang di masa datang oleh Negara A, harga relatifnya lebih mahal di dalam pasar domestik, baik bagi produser maupun konsumen, dibanding dengan harga dalam pasar dunia. Hal sebaliknya berlaku bagi Negara B. Dan di kedua negara, anggaran konsumen dengan harga dalam negeri berkurang di bawah nilai produksi oleh kebutuhan untuk memungut pajak dengan tujuan membiayai subsidi. 72 Ibid 35 Kurva 2.3. Perdagangan Bebas Temporal dengan Distorsi Kebijakan Subsidi Sumber: Global Imbalances and Their Impact on Global Economic Governance (case of IMF). Diakses dari http://stockholm.sgir.eu/uploads/Hn%C3%A1t_stockholm_final.pdf Hasil yang ditunjukkan pada Kurva 2.3. mengilustrasikan kesejahteraan kedua negara menurun dibawah tingkat autarki. Hal ini tidaklah selalu demikian, karena cukup mungkin bagi suatu negara untuk memperoleh keuntungan jika subsidi yang diterapkan bernilai lebih kecil dibandingkan dengan lainnya. Namun rugi bersih dalam lingkaran perdagangan internasional secara keseluruhan, dibandingkan dengan autarki, adalah perlu, karena dengan perdagangan bertentangan dengan keunggulan komparatif, perdagangan internasional mengalami inefisiensi. Kurva 2.3. menunjukkan suatu kisah dramatis mengenai seberapa buruknya akibat dari ketidakseimbangan yang timbul dari kebijakan yang meningkatkan perdagangan inter-temporal yang tidak sesuai dengan keuntungan komparatif.73 Fakta bahwa beberapa ekonomi dunia yang sedang bertumbuh pesat seperti China mengalami surplus perdagangan sedangkan ekonomi yang sedang melambat seperti AS mengalami defisit menunjukkan adanya kemungkinan bahwa asumsi teori ketidakseimbangan global sedang berlangsung. Meskipun semua konsepsi ini terlihat agak asing, hal ini hanyalah analog ekspor subsidi dengan tarif impor, yang juga dapat diidentikkan 73 Ibid 36 dengan kebijakan intervensi nilai tukar mata uang yang serupa dengan subsidi perdagangan.74 Dalam kasus pemerintah China, kebijakan subsidi dalam bentuk intervensi nilai tukar mata uang ini terlihat sangat jelas. Dalam jangka waktu bertahun-tahun, pemerintah China telah mengakumulasikan aset luar negeri sebagai salah satu produk sampingan dari intervensi pasar pertukaran mata uang ini. Sebagai hasilnya, China mampu menyediakan pinjaman secara besar-besaran kepada banyak negara lain di dunia. Hasil kebijakan ini kurang lebih serupa dengan hasil yang dapat diraih suatu negara melalui subsidi ekspor barang produksi masa kini. Di Amerika Serikat, tidak begitu nampak suatu kebijakan yang dapat diidentikkan sebagai bentuk subsidi ekspor barang untuk masa yang akan datang maupun untuk impor barang di masa sekarang. Namun demikian, keadaan kebijakan moneter dan fiskal terlihat cenderung mendukung konsumsi untuk masa kini dibanding untuk konsumsi di masa depan, dan dengan demikian terdapat nilai simpanan yang rendah. Interpretasi dari ketidakseimbangan global ini, dari perspektif teori perdagangan, menunjukkan adanya kecenderungan yang dapat membahayakan stabilitas ekonomi global serta taraf kesejahteraan secara luas. Hal ini tidak secara tepat sesuai dengan penggambaran dalam teori ketidakseimbangan global ini, namun nampaknya memiliki efek yang cukup serupa75. Hal inilah yang juga akan dikaji lebih lanjut di dalam bab-bab selanjutnya dari skripsi ini. 74 Yu Yongding. (2007). Global Imbalances and China. Australian Economic Review 40(1):1-33. Diakses dari http://www.gibs.ac.za/SiteResources/Uploads/ABN_Uploads/9785_Cap_markets_Africa07.pdf, tanggal 25 Februari 2012. 75 Justin Yifu. (2010). Dealing with Global Imbalances, presentation at the KDI/IMF conference. Reconstructing the World Economy. Seoul, Korea, 25 Februari. 37 BAB III GAMBARAN UMUM ASPEK-ASPEK EKONOMI-POLITIK PENDORONG KEBIJAKAN PENETAPAN NILAI MATA UANG RRC A. Kebijakan Penetapan Nilai Mata Uang RRC Kebijakan pemerintah China untuk membatasi apresiasi nilai tukar mata uangnya, Renminbi (RMB), atau yuan, terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) dan mata uang asing lainnya telah menjadi sumber ketegangan hubungan politik ekonomi internasional antara China dengan partner dagangnya, utamanya Amerika Serikat.76 Beberapa analis menduga bahwa China dengan sengaja “memanipulasi” nilai mata uangnya untuk memperoleh keuntungan dari partner dagangnya. Lebih lanjut, mereka berpendapat bahwa nilai mata uang China yang dijaga tetap konstan merupakan penyebab utama terjadinya defisit dagang tahunan Amerika Serikat terhadap China dalam jumlah yang sangat besar sehingga menyebabkan hilangnya lapangan pekerjaan juga secara besar-besaran di Amerika Serikat, terutama dalam industri manufaktur. Pada bulan Februari 2010, Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama, menyatakan bahwa intervensi nilai mata uang China telah menempatkan perusahaanperusahaan Amerika Serikat pada keadaan “kerugian kompetitif (competitive disadvantage) yang besar”. Lebih lanjut Obama menegaskan akan menanggapi kebijakan mata uang China ini sebagai salah satu prioritas utamanya.77 Dalam suatu konferensi berita di bulan November 2011, Presiden Obama juga menyatakan bahwa China perlu untuk “maju selangkah menuju sistem pasar besar dalam menentukan nilai 76 Nama resmi mata uang China ialah renminbi (RMB), yang didenominasikan dalam unit yuan. Baik RMB maupun yuan sering digunakan secara bergantian untuk mangacu pada unit mata uang China. 77 Paul Krugman. (2010). Taking on China. The New York Times. 14 Maret. Diakses dari http://www.nytimes.com/2010/03/15/opinion/15krugman.html?_r=1 tanggal 15 April 2012. 38 tukar mata uangnya” dan Amerika Serikat dan negara lainnya telah merasa bahwa kebijakan intervensi ini telah “cukup berbahaya”.78 Beberapa rancangan undang-undang telah diperkenalkan untuk menanggulangi dampak akibat nilai mata uang China pada kongres AS yang ke 112. Termasuk di dalamnya S.1619, yang disahkan oleh Senat pada tanggal 11 Oktober 2011.79 Rancangn undang-undang ini akan menerapkan beberapa tindakan bagi negara-negara yang dianggap memiliki nilai mata uang yang telah diintervensi. Nilai RMB telah terapresiasi sebesar 30.4% terhadap dolar Amerika Serikat di antara bulan Juli 2005 (ketika reformasi siginifikan nilai kurs China diterapkan) sampai pada tanggal 30 November 2011. Namun demikian, apresiasi ini dilaksanakan dengan sangat perlahan dan bertahap, dan di beberapa masa tertentu, tetap bernilai konstan. Tingkat apresiasi RMB dikritisi oleh banyak partner dagang China, termasuk oleh Amerika Serikat, karena dinilai terlalu lambat, dan banyak analis yang berargumentasi bahwa nilai mata uang China masih tetap di bawah nilai sebenarnya. Walaupun terdapat pertentangan di antara para analis ekonomi politik internasional mengenai dampak ekonomi yang diakibatkan oleh intervensi nilai mata uang China terhadap Amerika Serikat (banyak yang menyatakan dampak positif juga negatif), kebanyakan dari analis ini setuju bahwa fleksibilitas mata uang menjadi salah satu faktor utama untuk mengurangi ketidakseimbangan global, yang diyakini menjadi kontributor utama yang mengakibatkan krisis finansial global dan melambatnya perekonomian dunia. Lebih lanjut, mereka berpendapat bahwa reformasi kurs China merupakan salah satu bagian dari kepentingan nasional China sendiri. China telah 78 The White House, News Conference by President Obama, 14 November 2011. Diakses dari http://www.whitehouse.gov/briefing-room/press-briefings, tanggal 17 Maret 2012. 79 Wayne M. Morrison dan Marc Labonte. (2011). China’s Holdings of U.S. Securities: Implications for the U.S. Economy. CRS Report for Congress, RL34314, 26 September. Diakses dari http://www.fas.org/sgp/crs/row/RL34314.pdf, tanggal 3 Juli 2012. 39 sepakat untuk melanjutkan reformasi nilai kurs China menjadi lebih fleksibel, namun di saat yang bersamaan menyatakan kekhawatirannya bahwa apresiasi China yang terlalu cepat akan mengakibatkan hilangnya lapangan pekerjaan (utamanya di sektor ekspor China), yang kemudian dapat membahayakan laju ekonomi domestik. Beberapa ekonom mempertanyakan apakah apresiasi RMB akan menghasilkan keuntungan signifikan bagi ekonomi AS. Mereka berpendapat bahwa harga produk China akan meningkat tajam sehingga akan merugikan konsumer AS dan perusahaan AS yang menggunakan komponen produksi asal China. Selain itu, apresiasi RMB dapat mengurangi kebutuhan pemerintah China untuk membeli sekuritas AS, yang dapat mempengaruhi nilai suku bunga AS. Lebih lanjut dikatakan bahwa mata uang yang menguat tidak akan mendorong relokasi aktifitas industri manufaktur yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan investasi asing (termasuk perusahaan-perusahaan AS) di China ke Amerika Serikat. Sebaliknya, perusahaan tersebut kemungkinan akan mengalihkan produksi ke negaranegara murah lainnya Asia Timur. Di samping itu, apresiasi RMB diduga dapat meningkatkan jumlah ekspor AS ke China, tetapi efek dari penurunan harga produk AS di China bisa dinegasikan melalui kebijakan hambatan dagang dan diinvestasi yang juga diterapkan China. Para analis melihat bahwa reformasi kebijakan intervensi mata uang sebagai salah satu bagian dari tujuan yang sesuai dengan kebijakan dagang AS. Tujuan-tujuan ini mencakup bahwa China perlu untuk: a. Menyeimbangkan ekonominya dengan cara menjadikan permintaan konsumen, bukan investasi tetap dan ekspor, sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi China; 40 b. Mengeliminasi kebijakan-kebijakan industri yang ingin mempromosikan dan melindungi perusahaan-perusahaan China (khususnya perusahaan milik negara); c. Mengurangi rintangan-rintangan perdagangan dan investasi; dan d. Menjamin perlindungan terhadap hal kekayaan intelektual barang produksi AS.80 Sebelum tahun 1994, China mempertahankan sistem tukar ganda. Sistem ini terdiri atas sistem tukar resmi (yang digunakan oleh pemerintah), dan sistem tukar yang sedikit lebih dekat dengan nilai tukar asli berdasarkan sistem pasar, yang digunakan oleh importir dan eksportir dalam “pasar tukar” (swap market).81 Walaupun demikian, akses untuk tukar menukar mata uang asing sangatlah terbatas dengan tujuan untuk membatasi impor. Hal ini kemudian mendorong maraknya pasar gelap untuk transaksi penukaran mata uang. Kedua jenis nilai tukar mata uang di China pada masa itu memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Nilai tukar mata uang resmi dengan USD pada tahun 1993 berada pada angka 5.77 yuan sedangkan nilai tukar dengan USD pada pasar tukar pada angka 8.70. Sistem nilai tukar ganda China beserta kebijakan dagang lainnya menuai kritik dari Amerika Serikat karena dipandang sebagai kebijakan yang sangat membatasi (restrictionist) impor dari luar negeri.82 Pada tahun 1994, pemerintah China menyatukan nilai tukar mata uangnya dengan nilai awal pada angka 8.70 yuan terhadap Amerika Serikat. Angka ini kemudian diapresiasi menjadi 8.28 pada tahun 1997 dan kemudian dijaga terus konstan sampai 80 Ibid Ibid 82 Edward Wong. (2009). China Rejects Currency Manipulation Charge. The New York Times, 24 Januari. Diakses dari http://www.nytimes.com/2009/01/25/world/asia/25beijing.html, tanggal 25 Januari 2012. 81 41 pada Juli 2005.83 RMB kemudian menjadi lebih mudah untuk didapatkan dan ditukar melalui kegiatan perdagangan internasional, namun tidak dalam bentuk modal, yang berarti bahwa yuan masih sulit untuk didapatkan untuk tujuan investasi di masa itu. Pada tahun 1994 sampai pada Juli 2005, China mempertahankan suatu kebijakan mematok (pegging) RMB terhadap USD pada angka kurang lebih 8.28 yuan per satu USD. Standar patok ini dijustifikasi oleh pemerintah China untuk menjaga kestabilan lingkungan bagi perdagangan asing dan investasi di China (karena kebijakan ini dapat mencegah pergeseran besar dalam nilai tukar mata uang). Kebijakan yang serupa umumnya diterapkan oleh banyak negara di masa awal perkembangannya. 84 Bank sentral China mempertahankan nilai patok ini dengan cara membeli (atau menjual) aset-aset dengan denominasi dalam USD dan ditukarkan dengan pencetakan baru mata uang yuan sesuai dengan kebutuhan untuk mencegah kelebihan permintaan (atau penawaran) terhadap yuan. Sebagai hasilnya, nilai tukar mata uang antara yuan dan dolar relatif konstan, meskipun banyak faktor ekonomi lain yang terjadi yang dapat mengakibatkan nilai tukar RMB terapresiasi (atau depresiasi) relatif terhadap dolar. Dalam sistem nilai tukar mengambang yang dipakai secara universal dalam perdagangan bebas, permintaan relatif terhadap produk dan aset kedua negara menjadi penentu nilai tukar mata uang RMB terhadap USD.85 1. 2005: Reformasi Rezim Mata Uang RRC Pemerintah China memodifikasi kebijakan terkait mata uangnya pada tanggal 21 Juli 2005. Seperti yang dipublikasikan, nilai tukar mata uang China akan “disesuaikan, berdasarkan permintaan dan penawaran dengan referensi pergerakan nilai kurs yang 83 Ibid Ibid 85 Ibid 84 42 ada,”86 dan bahwa nilai tukar USD terhadap RMB akan disesuaikan dari 8.28 yuan menjadi 8.11, terapresiasi sebesar 2.1%. Namun tidak persis halnya dengan sistem nilai tukar mengambang, RMB hanya diperbolehkan untuk berfluktuasi dalam rentang 0.3% (kemudian diubah menjadi 0.5%) setiap harinya terhadap nilai kurs yang ada.87 Setelah bulan Juli 2005, China memperbolehkan RMB untuk terapresiasi secara berangsur-angsur, dengan sangat perlahan. Dari tanggal 21 Juli 2005 sampai pada tanggal 21 Juli 2008 nilai tukar USD-RMB berubah dari 8.11 menjadi 6.83, terapresiasi sebesar 18.7% (atau sebesar 20.8% jika apresiasi awal sebesar 2.1% dimasukkan dalam perhitungan). 88 Situasi hasil kebijakan pada waktu tersebut dapat dikatakan sebagai “sistem mengambang yang terkontrol”—kekuatan pasar menentukan arah umum pergerakan RMB, namun pemerintah menahan nilai apresiasinya melalui intervensi pasar valas. 2. 2008: Penghentian Apresiasi RMB China menghentikan apresiasi nilai mata uangnya sekitar pertengahan tahun 2008 (lihat Grafik 3.1.). Justifikasi pegging ini utamanya karena penurunan permintaan global terhadap produk ekspor China akibat dari krisis finansial global. Pada tahun 2009, ekspor dan impor China menurun sebesar 15,9% dan sebesar 11,3% dibandingkan level pada tahun 2008.89 86 Baru kemudian diumumkan bahwa komposisi nilai kurs yang dimasukkan merujuk pada dolar, yen, euro, dan beberapa kurs lainnya, akan tetapi komposisi nonimal yang sebenarnya tidak pernah dipublikasikan. Jika nilai yuan memang ditentukan berdasarkan sekolompok nilai kurs lainnya, nilai yuan tidak akan sebegitu stabilnya terhadap dolar pada pertengahan tahun 2008 sampai pada pertengahan tahun 2010, kecuali apabila nilai yuan memang sengaja dibuat demikian terhadap nilai dolar. 87 Jonathan E. Sanford. op. cit. hal. 2-6. 88 Ibid 89 Kathryn. (2003). Foreign Exchange Intervention: Did it Work in the 1990s? Dalam Fred B. & John W. (ed.). Dollar Overvaluation and the World Economy. Washington: Institute for International Economics, hal. 217-245 43 Grafik 3.1. Nominal Nilai Tukar RMB-Dolar: Januari 2008 - Mei 2010 (yuan per U.S. dolar [rerata per bulan]) Sumber: Global Insight. Catatan: Grafik dibalik secara vertikal untuk tujuan ilustratif. Garis yang menukik naik menunjukkan apresiasi nilai RMB terhadap USD dan garis menurun menunjukkan depresiasi. Pemerintah China melaporkan bahwa ribuan pabrik berbasis ekspor terpaksa ditutup dan lebih dari 20 juta pekerja imigran kehilangan mata pencahariannya di tahun 2009 karena terkena efek langsung dari dampak penurunan pertumbuhan ekonomi global. Nilai tukar mata uang RMB/USD ditahan konstan pada angka 6.83. Situasi ini terus berlanjut sampai pada sekitar pertengahan Juni 2010.90 3. 2010: Pelanjutan Apresiasi RMB Berikut merupakan grafik nilai tukar RMB terhadap USD pada bulan Juni 2010 sampai pada November 2011: 90 Ibid 44 Grafik 3.2. Rerata Bulanan Nilai Tukar RMB-USD: Juni 2010-November 2011 (yuan per dolar AS) Sumber: China Money and Global Insight. Catatan: Grafik diputar secara vertikal dengan tujuan ilustratif untuk menunjukkan apresiasi dan depresiasi nilai tukar RMB terhadap Dolar. Pada tanggal 19 Juni 2010, bank sentral China, the People’s Bank of China (PBC), berdasarkan pada situasi ekonomi saat itu, memutuskan untuk “meneruskan lebih lanjut inisiatif reformasi nilai tukar RMB dan meningkatkan fleksibilitas nilai tukar mata uangnya”. Namun ini bukan berarti terjadi revaluasi besar-besaran dalam sekejap, dengan alasan bahwa “penting untuk menghindari fluktuasi tajam dan besarbesaran dari nilai tukar RMB”. Dengan demikian, korporasi korporasi China dapat lebih mudah menyesuaikan dengan apresiasi nilai tukar yuan. Banyak pengamat berpendapat bahwa pengaturan waktu dimana kebijakan ini diambil dan dipublikasikan ialah dimaksudkan untuk mencegah nilai tukar RMB menjadi fokus utama dalam pertemuan G-20 di Toronto pada bulan Juni 2010. Seperti yang diilustrasikan dalam Grafik 3.2., nilai tukar RMB terhadap dolar mengalami perubahan naik dan turun semenjak kebijakan apresiasi RMB dilanjutkan. Secara garis besar, nilai RMB terus meningkat.91 Dari tanggal 19 Juni 2010 (ketika apresiasi mata 91 Fakta bahwa nilai mata uang China terapreasiasi dalam kurun waktu tertentu dan terdepresiasi dalam kurun waktu lainnya menimbulkan pertanyaan akan seberapa jauh Bank Sentral China akan memperbolehkan nilai RMB terapresiasi dari waktu ke waktu. Banyak pengamat yang menyimpulkan bahwa hal ini merupakan indikasi bahwa apreasiasi RMB akan terjadi dalam jangka waktu yang sangat 45 uang dilanjutkan) sampai pada tanggal 3 November 2011, nilai tukar RMB-USD meningkat dari angka 6.83 ke angka 6.35, terapresiasi sebesar 7.6%.92 B. Perspektif dan Justifikasi RRC dalam Kebijakan Penentuan Nilai Mata Uang Pemerintah China berargumentasi bahwa kebijakan intervensi nilai mata uang China tidak dimaksudkan untuk meningkatkan ekspor agar melebihi impor, namun untuk menjaga stabilitas ekonomi melalui stabilitas nilai mata uang. Kebijakan ini merefleksikan tujuan pemerintah dalam memanfaatkan ekspor untuk membuka lapangan pekerjaan bagi penduduk China dan menarik investasi asing untuk memperoleh akses teknologi dan pengetahuan. Pemerintah China telah menyatakan dalam berbagai kesempatan bahwa reformasi nilai mata uang China merupakan salah satu tujuan jangka panjang pemerintah yang akan dicapai secara bertahap. Para anggota pemerintah secara tegas mengutuk tekanan internasional yang terus mendesak China untuk mengapresiasi mata uangnya, dengan alasan bahwa tekanan ini sama saja dengan pelanggaran “kedaulatan” China dalam memberlakukan kebijakan ekonomi domestiknya sendiri. Pada bulan Desember 2009, media China melaporkan bahwa anggota pemerintah, yang namanya tak ingin disebut, menyatakan bahwa “sangatlah sulit untuk mengharapkan adanya apresiasi langsung nilai RMB di suatu negara dimana 40 juta penduduknya hidup dengan penghasilan di bawah 1 dolar AS per harinya.”93 Media ini juga melaporkan Perdana Menteri China Wen Jiabao menyatakan bahwa “beberapa panjang, namun dengan metode yang tidak dapat diprediksi sebagai upaya untuk membatasi spekulasi terhadap RMB dan aliran masuk “uang panas” yang justru dapat mengganggu stabilitas ekonomi China. 92 B. Amy. (2011). Will Currency Manipulation Bill Ignite Trade War with China? ABC News. Diakses dari: http://abcnews.go.com/politics/2011/10/will-currency-manipulation-bill-trade-war-with-China/, tanggal 11 Oktober 2011. 93 Liu Wei. (2008). The Exchange Rate Adjustment Should be Based on the Judgment of Major Domestic Contradiction. China Center for National Accounting and Economic Growth, Peking University. Diakses dari: http://www.nepku.com/read.asp? id=461, tanggal 26 September 2011. 46 negara menginginkan apreasiasi nilai yuan, di saat yang bersamaan juga menerapkan berbagai macam kebijakan proteksi pasar terhadap China. Hal ini tidak adil dan sebenarnya membatasi perkembangan China.”94 Walaupun memang terdapat beberapa langkah yang diambil pemerintah terkait reformasi nilai mata uang, langkah ini diambil dengan sangat berhati-hati. Pemerintah China memandang pertumbuhan ekonomi sangatlah kritis untuk mempertahankan kestabilan politik, dan oleh karenanya menjadi acu untuk menerapkan kebijakan yang dapat menimbulkan gangguan perekonomian dan menciptakan pengangguran secara meluas yang dapat mengarah pada aksi protes massa.95 Selain itu, anggota pemerintah China menolak pernyataan dari berbagai ekonom bahwa kebijakan rezim nilai kurs China telah melemahkan ekonomi global atau bahwa apresiasi RMB diperlukan untuk mendorong perbaikan ekonomi global. Sebaliknya, mereka berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi yang drastis merupakan bagian dari kebijakan yang dapat diambil China untuk membantu memulihkan kondisi ekonomi global. Mereka mencatat bahwa impor China telah meningkat secara drastis di tahun-tahun belakangan ini sebesar 38.8% di 2010 (dibandingkan tahun sebelumnya) dan sebesar 28.7% selama 10 bulan pertama di tahun 2011 (basis tahun per tahun) (lihat Grafik 3.3). Pejabat China berpendapat bahwa pertumbuhan yang cepat jumlah impor membuktikan bahwa kebijakan mata uang tidak membatasi perdagangan atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi China dengan mengorbankan negara-negara lain. Selain itu, mereka mencatat, barang surplus perdagangan China turun pada tahun 2009 94 Ibid Telah terdapat banyak laporan akan adanya protest massa di berbagai kawasan di China, sebagian besar mengenai isu upah buruh. Pemerintah China mengkhawatirkan bahwa apresiasi nilai mata uang China memberikan alasan bagi eksportir China untuk menahan upah buruh seminimal mungkin atau bahkan terpaksa untuk memecat karyawannya, sehingga dapat mengakibatkan lebih banyak pengangguran dan ketidakstabilan sosial. 95 47 dan 2010, dan berdasarkan data Januari-Oktober 2011, kemungkinan akan menurun pada tahun 2011. Surplus perdagangan China menurun dari puncaknya sebesar $297 miliar pada tahun 2008 menjadi $198 miliar pada tahun 2009 dan menjadi $185 miliar pada tahun 2010. Grafik 3.3. Arus Perdagangan Bulanan China: Januari 2008-Oktober 2011 (dalam $ juta dolar) Sumber: Global Trade Atlas menggunakan statistik resmi China. Surplus perdagangan China juga menurun pada 10 bulan pertama tahun 2011 sebesar 15,4%, yang mengindikasikan bahwa surplus perdagangan China dalam setahun kini berada dia angka $156 miliar. Kritik menyanggah dalih ini dengan argumentasi bahwa ekspor China telah berkembang dengan pesat sejak awal 2009 dan telah melampaui tingkat sebelum krisis, sedangkan pertumbuhan PDB riil China selama dua tahun terakhir ini merupakan yang tertinggi (sebesar 9,2% pada tahun 2009 dan 10,3% pada tahun 2010) dibandingkan ekonomi negara besar lainnya. Akibatnya, kritikus 48 berpendapat, upaya China untuk menekan nilai mata uangnya tidak dapat dibenarkan karena alasan ekonomi.96 C. Hubungan Ekonomi Politik RRC – Amerika Serikat 1. Hubungan Ekonomi RRC – Amerika Serikat Terdapat suatu implikasi kritis yang dimiliki oleh pertumbuhan ekonomi China dan liberalisasi gradual ekonominya terhadap perekonomian dan kepentingan strategis AS. Pertumbuhan ekonomi China yang luar biasa pesat ini juga berjalan seiring dengan pengaruhnya secara politis terhadap dunia internasional. Untuk memenuhi kebutuhannya yang besar akan sumber daya, modal, dan teknologi, China dengan sukses telah mulai menjalin kerjasama dagang, menyepakati kontak minyak bumi dan gas, perjanjian kerjasama teknologi dan ilmu pengetahuan, dan perjanjian pertahanan keamanan secara multilateral dengan berbagai negara lain, baik dengan negara tetangga, maupun dengan negara-negara lain di berbagai penjuru dunia. Pengaruh ini bahkan telah dipenetrasi hingga ke wilayah-wilayah dimana AS juga memiliki kepentingan dan pengaruh yang sebelumnya tidak tertandingi oleh negara manapun. Seusai reformasi dan liberalisasi perekonomian China, neraca dagang China yang pada mulanya mengalami defisit mulai mengalami peningkatan pesat hingga mencapai surplus yang dari tahun ke tahun terus meningkat secara fantastis. Pada tahun 2010, surplus perdagangan China mencapai US$ 184,5 miliar. China mengalami surplus umumnya dengan negara-negara industri maju dan cenderung mengalami defisit dengan negara-negara berkembang. Namun dengan besarnya volume perdagangan China dengan negara-negara maju, neraca dagang China secara akumulatif tetap bernilai positif. 96 Liu Wei. loc. cit. 49 Beberapa ahli menyatakan bahwa peningkatan keterlibatan hubungan internasional China meningkatkan adanya persaingan yang kuat antara China dan AS atas penguasaan sumber daya, kekuatan dan pengaruh. Republik Rakyat China merupakan partner dagang ketiga terbesar Amerika Serikat, dengan total nilai dagang sebesar AS$ 285 miliar pada tahun 2005.97 Isu-isu yang sedang marak antara hubungan perekonomian AS dan China, mencakup meningkatnya defisit dagang AS terhadap China (sebesar AS$ 202 miliar pada tahun 2005), kegagalan China melindungi hak cipta dan hak kekayaan intelektual inovasi dari AS, pemberlakuan kebijakan yang menghalangi pasar bebas, seperti subsidi serta kebijakan intervensi nilai mata uangnya itu sendiri, serta upaya pemerintah China dalam membeli kepemilikan surat hutang AS.98 Para kritisi AS menganggap bahwa intervensi nilai mata uang China menjadi kontributor besar defisit perdagangan AS terhadap China dan dengan demikian menginginkan China untuk segera melakukan penyesuaian. Penyesuaian ini, oleh pemerintah AS, diharapkan dengan segera mampu merefleksikan harga mata uang China yang sebenarnya berdasarkan sistem pasar bebas. Pemerintah AS secara proaktif menyuarakan kekhawatirannya melalui berbagai forum internasional. Pada bulan Juli 2005, pemerintah China merespon kekhawatiran pemerintah AS dengan mengumumkan bahwa nilai mata uang China akan disesuaikan terhadap beberapa nilai mata uang partner dagang utamanya, termasuk dolar Amerika Serikat. Namun demikian, proses apreasiasi yang lambat dan dengan nilai yang tidak begitu signifikan ini rupanya tidak cukup untuk menahan kekhawatiran AS dan Senator AS Charles Schumer dan Lindsay Graham untuk memperkenalkan rancangan undang97 98 Ibid Ibid 50 undang (S. 295) yang, apabila disahkan, akan menaikkan tariff AS terhadap barangbarang impor asal China sebesar 27.5% kecuali apabila nilai mata uang China diapresiasi secara signifikan. 2. Hubungan Politik RRC – Amerika Serikat Meningkatnya intensitas perdagangan antara China dan Amerika Serikat juga memberikan arti penting peningkatan interaksi politik antar kedua negara. Pada tanggal 7 Desember 2005, Wakil Sekretaris Negara AS Robert Zoellick dan Wakil Menteri Luar Negeri China Dai Bingguo melaksanakan pertemuan bilateral Dialog Senior yang kedua di Washington untuk membahas kerangka konsep dan strategis hubungan China-AS serta membahas isu-isu lainnya.99 Ide penyelenggaraan pertemuan bilateral ini awalnya diusulkan oleh Presiden China Hu Jintao pada saat bertemu dengan Presiden AS Bush pada bulan November 2004 dalam pertemuan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) di Chili. Amerika Serikat secara politis memandang China memiliki arti yang sangat penting utamanya sebagai pemain utama politik internasional secara khusus di Asia dan secara umum pada skala global, sekaligus sebagai salah satu pemegang hak veto dalam Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa. Dengan dikembangkannya kerangka kerjasama bilateral antara AS dan China, pemerintah AS secara proaktif terus melakukan upaya untuk membentuk kerangka diplomasi yang sesuai dengan kebutuhan kedua negara. Amerika Serikat lebih menekankan pada peran serta China untuk menjadi “aktor bertanggungjawab” dalam konstalasi politik internasional—agar tidak hanya sekedar berkepentingan untuk memperoleh keuntungan ekonomi, namun juga mulai memegang peran tanggung jawab terhadap perekonomian global dan diplomasi politik. Zoellick menyatakan bahwa AS 99 Ibid 51 siap untuk menjalin kerjasama bilateral yang lebih erat dengan pemerintahan China yang masih berlandaskan atas ideologi komunis, di saat bersamaan tetap mengharapkan adanya peningkatan nilai-nilai demokrasi oleh pemerintah China. Perubahan situasi ekonomi China secara drastis tidak lepas dari adanya perselisihan antara berbagai kelompok sosial di China. Para petani di wilayah pedesaan China pada mulanya harus menanggung bebas pajak yang sangat besar sehingga terjadi kesenjangan pendapatan antara masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan dan yang tinggal di daerah pedesaan. Beberapa lahan petani bahkan disita oleh pemerintah untuk dijadikan wilayah pembangunan industri, dengan memberikan kompensasi yang sangat minim. Salah satu kasus penahanan lahan pertanian oleh angkatan bersenjata China terjadi pada tanggal 6 Desember 2005 di kota Dongzhou (Shanwei), ketika pemerintah China ingin membangun konstruksi sumber energi di wilayah pertanian, yang kemudian mengakibatkan beberapa rakyat sipil meninggal akibat bentrok antar sipil dan militer yang mencoba mangambil alih kepemilikan lahan tersebut. Dalam upaya menanggapi keluhan masyarakat di wilayah pinggiran China, pemerintah China mengusulkan suatu mekanisme baru di awal tahun 2005 untuk mengurangi pajak petani pedesaan, meningkatkan subsidi pertanian, dan berupaya menutupi kesenjangan pendapatan antara masyarakat wilayah perkotaan dan pedesaan China. Meningkatnya demonstrasi dan protes buruh, terutama di wilayah utara dan sebelah dalam China menjadi sumber kekhawatiran tersendiri bagi rezim politik China yang dibangun atas dasar semangat komunisme yang memprioritaskan kepentingan kaum buruh. Meningkatnya aktifitas protes ini memberikan tekanan yang lebih besar 52 bagi pemerintah China utamanya melalui satu-satunya organisasi buruh yang sah di China, yakni All-China Federation of Trade Unions (ACFTU).100 Keberhasilan ekonomi China membuat negara ini mampu memperluas pengaruhnya ke berbagai negara. Namun, berbeda halnya dengan AS, cara yang dilakukan oleh China dalam memberikan bantuan sama sekali tidak terkait dengan berbagai prasyarat demokratisasi dan pasar bebas. Bantuan China ke berbagai negara dijadikan China semata-mata sebagai diplomasi perdagangan, dimana bantuan tersebut membantu China mendapatkan kontrak ekonomi di berbagai negara. Bagi China, kondisi dalam negeri suatu negara tidak menjadi persoalan dalam melakukan kerjasama ekonomi, karena menurutnya hal tersebut merupakan urusan dalam negeri suatu negara yang tidak bisa dicampuri oleh negara lain. Berkat pola pendekatannya yang berbeda dengan Amerika Serikat, China dipercaya kini lebih disenangi oleh negara-negara berkembang yang berada di Afrika dan Amerika Latin, khususnya negara-negara yang anti Amerika Serikat. Makin besarnya pengaruh China di berbagai kawasan, perlahan menggeser posisi Amerika Serikat yang selama ini mendominasi perpolitikan internasional. Pemberlakuan sistem komunisme berkarakteristik China, yang berhasil mengubah China menjadi pemain utama dalam dunia internasional juga menjadi tantangan bagi sistem liberalisme dan demokratisasi yang dijalankan Amerika Serikat yang sealma ini dianggap sistem terbaik dalam menjalankan suatu negara. Sampai sekarang Amerika Serikat masih menjadi nomor satu dalam perpolitikan internasional, namun, dengan keberadaan China, Amerika Serikat tidak lagi menjadi satu-satunya pemain utama. Amerika Serikat bahkan 100 All China Federation of Trade Unions. (2007). A Brief Introduction of the All-China Federation of Trade Unions (ACFTU). Diakses dari http://english.acftu.org/template/10002/file.jsp?cid=63&aid=156, tanggal 17 Maret 2012. 53 akan memikirkan reaksi China dalam pengambilan keputusannya ataupun kebijakannya baik dalam negeri maupun luar negeri yang terkait dengan China. 54 BAB IV PENGARUH KEBIJAKAN PENETAPAN NILAI TUKAR MATA UANG RRC TERHADAP HUBUNGAN EKONOMI POLITIK RRC – AMERIKA SERIKAT A. Dampak Kebijakan Nilai Tukar terhadap RRC Pada tahun 2004, sebagai bentuk respon terhadap perdebatan internasional, Perdana Menteri China Wen Jiabao mengumumkan bahwa China akan mengambil langkah yang lebih lanjut terkait reformasinya dan membentuk mekanisme yang lebih fleksibel yang mampu beradaptasi dengan perubahan permintaan dan penawaran internasional. Ia mengakui bahwa reformasi ini merupakan suatu proyek sistematis yang melibatkan banyak aspek yang perlu dipertimbangkan.101 Sepanjang masa reformasi ini, pemerintah China mempertimbangkan banyak faktor, termasuk keberlangsungan makroekonomi China, perkembangan sosial, pemasukan dan pengeluaran internasional, kemajuan reformasi perbankan, pertumbuhan ekonomi, lapangan pekerjaan, tingkat regulasi finansial, ketahanan perusahaan-perusahaan dan efek dari perdagangan asing, dan situasi keuangan dan perekonomian dunia. Kemudian, Wen juga menambahkan bahwa China harus menegakkan prinsipprinsip inisiatif independen, pengendalian, dan kemajuan bertahap saat melakukan reformasi nilai tukar RMB. Prinsip ini diharapkan bergerak menuju rezim yang lebih berorientasi pasar dan fleksibel.102 Keputusan pengambil kebijakan pemerintah China Guo, Kai, dan N’Diaye. (2009). Is China’s Export-Oriented Growth Sustainable. IMF Working Paper, Agustus. Diakses dari http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2009/wp09172.pdf, tanggal 21 Maret 2012. 102 China to Improve RMB Exchange Rate System. (2004). Xinhua. Diakses dari http://www.Chinadaily.com.cn/english/doc/2004-09/29/content_378700.htm, tanggal 26 September 2011. 101 55 tidak dipengaruhi hanya oleh tekanan eksternal saja karena pemerintah China menganut prinsip kemandirian yang memperhitungkan kepentingan-kepentingan nasional.103 Apresiasi sejumlah 2,1% pada tanggal 21 Juli 2005 dapat dilihat sebagai keputusan yang diambil setelah menimbang secara cermat pro dan kontra dari apresiasi itu sendiri, dan dampak yang dapat dihasilkannya pada kepentingan ekonomi, sosial, dan politik China.104 Kekhawatiran akan konsekuensi negatif yang ditimbulkan dari perubahan drastis rezim nilai tukar mata uang China telah membawa para pemimpin China untuk mengambil pendekatan yang gradual. Berikut merupakan penjabaran dampak-dampak yang dapat dihasilkan dari inisiasi reformasi nilai tukar mata uang China sejak tahun 2005. 1. Dampak terhadap Ekspor RRC Para pemimpin China sangat khawatir mengenai kemungkinan bahwa revaluasi nilai tukar RMB dapat membawa dampak buruk terhadap ekspor dan pertumbuhan ekonomi China, terutama karena adanya kasus negatif yang sama yang terjadi pada Jepang di pertengahan tahun 1980-an. Di tahun 1985, dalam upaya untuk menekan ekspor Jepang, Amerika Serikat dan beberapa negara industrialis lainnya memaksa Jepang untuk menandatangani Perjanjian Plaza (Plaza Accord) dimana yen direvaluasi sebanyak 30%. Perjanjian ini dianggap sebagai salah satu penyebab utama resesi ekonomi yang terjadi setelahnya di Jepang pada tahun 1990-an. Setelah revaluasi awal yen, industri ekspor Jepang kehilangan seluruh keuntungan komparatif harganya dan juga harus memindahkan basis manufakturnya ke negara Asia Timur lain. Ekonomi Jepang, yang 103 Premier Wen on Principles for RMB Exchange Rate Reform. (2005, 27 Juni) Renmin ribao. Diakses dari http://english.people.com.cn/200506/27/eng20050627_192511.html, tanggal 26 September 2011. 104 Ibid 56 pada saat itu sedang berada pada puncaknya, tiba-tiba kehilangan daya saing dan dengan demikian masuk pada “dekade kehilangan” (lost decade). Hal yang serupa merupakan hal yang mungkin terjadi bahwa revaluasi RMB memiliki dampak yang negatif terhadap ekspor China, menaikkan harga barang setelah dikonversi ke mata uang asing dan dengan demikian akan menurunkan permintaan. Karena margin keuntungan yang sangat sempit, hal ini akan membawa tekanan yang berat terhadap eksportir China untuk menyesuaikan produksi mereka untuk memastikan keberlangsungan usaha mereka di pasar internasional yang menjadi lebih kompetitif. Yu Yongding (余永定) berpendapat bahwa karena ekspor China, sebagian besar berkaitan dengan kegiatan pemrosesan dan kegiatan manufaktur yang sangat mudah mengalami penyesuaian, situasi perdagangan China tidak akan mendapatkan pengaruh yang fundamental apabila nilai RMB meningkat dalam jumlah margin yang kecil.105 Namun demikian, apresiasi RMB yang terus berlangsung sejak tahun 2005, ketika China mulai meninggalkan nilai patok RMB terhadap USD, dapat menjadi tantangan bagi adaptabilitas perdagangan tersebut. Walaupun pergerakan reformasi dan apresiasi RMB yang lambat dan dilakukan secara bertahap menyediakan ruang bagi para eksportir untuk menyesuaikan pada perubahan, dalam jangka panjang apresiasi RMB akan mengurangi kemampuan eksportir ini untuk menghasilkan produk yang memiliki daya saing yang lebih nyata (terutama dari segi kualitas barang dan bukan harga). Revaluasi RMB juga dapat membawa dampak positif bagi kualitas eksport China karena tekanan kompetisi pasar memberikan insentif bagi para pengusaha untuk meningkatkan produksi dan efisiensi mereka. Yu Yongding meyakini bahwa apresiasi 105 Yu Yongding. (2011). What If the RMB Chooses Appreciation. Ershiyi shiji jingji baodao. Diakses dari http://www.nanfangdaily.com.cn/southnews/zt/2004nztk/jj/jr/200412290065.htm, tanggal 23 Maret 2012. Yu Yongding adalah seorang pakar ekonomi dari Institute of World Economics and Politics, Chinese Academy of Social Sciences. 57 dapat mendorong (atau memaksa) eksportir dengan efisiensi rendah untuk keluar dari industri dan memberikan keleluasaan bagi kompetisi pasar internasional yang begitu keras. Rekonstruksi sektor perdagangan akan memberikan ruang efisiensi bagi eksportir agar dapat bertahan dan dengan demikian kualitas barang ekspor di masa yang akan datang akan meningkat. Sebagai hasilnya, diiringi dengan perbaikan dari segi perdagangan, surplus China akan tetap meningkat. Lebih lagi, perusahaan-perusahaan China termotivasi untuk mengembangkan daya saing dengan memajukan efisiensi operasional dan tidak bergantung semata-mata terhadap pekerja murah. Singkatnya, revaluasi akan membawa dampak negatif jangka pendek terhadap ekspor China. Akan tetapi, hal ini dapat memperbaiki dan mengoptimalisasi struktur dagang China, mengurangi perdagangan sektor pemrosesan, mengembangkan teknologi, dan merelokasikan sumber daya pada sektor non-dagang dalam jangka panjang. Hal ini dapat lebih memajukan perkembangan sektor jasa dan mendorong permintaan domestik sebagai dukungan sumber pertumbuhan ekonomi China, mengurangi ketergantungannya terhadap permintaan eksternal. 2. Dampak terhadap Investasi Luar Negeri oleh dan ke RRC Investasi asing menjadi hal yang sangat penting bagi perkembangan ekonomi China. Sektor ini telah berkontribusi secara luar biasa besar terhadap kesuksesan reformasi pasar China, terutama terkait kebijakan China untuk menjadi lebih terbuka terhadap pasar asing untuk manggalakkan pertumbuhan ekonomi. Akibat yang dapat dihasilkan dari perubahan rezim mata uang China terhadap investasi asing juga menjadi sumber kekhawatiran pemerintah China. Hal ini bersifat paradoks: di satu sisi revaluasi dapat menaikkan biaya investasi bagi perusahaan asing dan dengan demikian menghalangi keinginan untuk berinvestasi, namun di sisi lain dapat meningkatkan 58 keuntungan dengan cara menaikkan pemasukan. Dampak offset akumulatifnya kemudian akan bersifat netral. Dua faktor yang memiliki daya tarik paling besar bagi investor asing ialah pekerja murah dan potensi pasar yang sangat besar di China. Pertama, Biaya upah pekerja di China cukup rendah bila dibandingkan dengan di negara lain, hal ini memberikan kontribusi kepada daya saing internasional China. Untuk alasan ini, ditambah dengan harga yang murah untuk barang mentah impor, revaluasi RMB tidak memiliki dampak yang begitu signifikan dalam mengubah keuntungan kompetitif harga di pasar internasional dari perusahaan-perusahaan yang menerima pendanaan asing. Rerata selisih keuntungan yang didapatkan perusahaan-perusahaan asing di China berkisar sekitar 13%, sehingga tingkat sederhana apresiasi tahunan RMB terhadap USD (sebesar 3.2% di tahun 2006 dan 6.5% di tahun 2007) tidak akan memengaruhi sebagian besar keputusan investor asing.106 Kedua, salah satu jenis inflow modal asing ialah FDI (Foreign Direct Investment), dan yang menjadi daya tarik masuknya FDI ialah potensi pasar China yang begitu besar. Dengan daya tarik yang demikian, revaluasi RMB akan memiliki dampak yang sangat kecil bagi masuknya modal asing ini. Jenis lain dari inflow modal asing berasal dari dana spekulasi (speculative money). Revaluasi RMB akan secara langsung memberikan keuntungan bagi spekulan di balik pemasukan dana dan dengan demikian terus mendorong masuknya dana spekulasi, yang akan terus memenuhi lingkaran ekspektasi revaluasi RMB. Selain itu, kebanyakan dari uang panas (hot money) ini dipercaya telah memasuki sektor perumahan (real estate) atau sektor investasi domestik lainnya yang menyebabkan harga domestik meningkat secara cepat dan dapat mengarah 106 Ibid 59 pada pemanasan (overheat) ekonomi. Seorang ekonomis Liu Manping (劉滿平) memperkirakan bahwa lebih dari 70 miliar dolar AS dana spekulasi mengalir ke pasar perumahan di tahun 2004 dan figur ini diperkirakan meningkat secara signifikan di tahun 2005.107 FDI untuk perumahan di China mendapatkan legalitas pada tahun 2002. Sejak tahun tersebut, investor asing menaruh fokus pada pasar perumahan yang sangat menguntungkan di wilayah perkotaan dan memetik keuntungan yang luar biasa besar. Hal ini terlihat dari nominal jumlah transaksi perumahan yang diperoleh Macquarie Bank, Goldman Sachs, dan Morgan Stanley di Shanghai pada tahun 2005. Konsekuensinya, dalam jangka pendek, revaluasi RMB hanya akan memengaruhi kualitas tinggi perumahan di kota-kota besar China, dan sebagian kecil, memengaruhi keputusan transaksi dalam pasar menengah dan menengah ke bawah. Akan tetapi, ekspektasi pasar akan revaluasi RMB melemah di akhir tahun 2005. Stephen Green menyimpulkan bahwa nilai suku bunga AS yang lebih tinggi di tahun 2005 dan pasar properti yang melemah telah menurunkan arus masuk modal.108 Selain itu, terdapat tanda akan terjadinya depresiasi RMB dalam jangka waktu menengah, sebagai reaksi perubahan fundamental ekonomi. Hal ini ditulis dalam laporan resmi oleh Xia Bin (夏斌) dan Chen Daofu (陳道富), yang dipublikasikan pada tanggal 15 December 2005.109 Laporan Green menunjukkan bahwa China memiliki celah dana lebih dari 2.000 miliar yuan dana jaminan sosial, lebih dari 1.000 miliar yuan dari kredit 107 Liu Manping. (2011, 22 Agustus). After the RMB Appreciation What Will Be the Impacts of Foreign Capital on the Chinese Real Estate Markets?. Zhongguo jingji ribao (Chinese Economic Times). 108 Stephen Green. (2006, 16 Januari). China's Foreign Exchange Reserves Soar to $819bn. Financial Times. Diakses dari http://news.ft.com/cms/s/f9d7a456-85fe-11da-bee0-0000779e2340.html, tanggal 27 September 2011. Stephen Green adalah seorang ekonom dari Standard Chartered di Shanghai. 109 Xia Bin dan Chen Daofu. (2011, 15 Desember). Zhongguo huilu zhidu baogao 2005 (Report on China's exchange rate system 2005). Diyi caijing ribao (China Business News). 60 bermasalah (NPL) di bank BUMN, dan utang pemerintah daerah yang besar.110 Data transaksi RMB juga menunjukkan bahwa apresiasi RMB melambat di pasar, seperti yang digambarkan oleh Grafik 4.1. Grafik 4.1. Transaksi RMB Tingkat Menengah Tahun 2005-2007 Yuan per U.S. dolar 8.4 Source: Administrasi Negara China untuk Devisa, 2008. Diakses http://news.ft.com/cms/s/f9d7a456-85fe-11da-bee0-0000779e2340.html. dari Hanya pada pergerakan awal pada bulan Juli 2005, terakumulasi suatu kekuatan pasar yang kuat mendorong RMB. Mulai dari bulan September 2005, tren kenaikan RMB melemah dan pada akhir tahun itu telah berubah menjadi cenderung stabil. Namun demikian, data ini menunjukkan bahwa pada tahun 2006-07 terdapat suatu ekspektasi pasar bahwa RMB akan terus mengalami apresiasi walaupun ekspektasi akan apreasiasi dan perubahan drastis cukup rendah. RMB kemudian mulai terapresiasi terhadap dolar AS jauh lebih cepat dari sebelumnya. 3. Dampak terhadap Lapangan Pekerjaan di RRC Pemerintah China mengkhawatirkan bahwa penurunan di sektor ekspor akan 110 Ibid 61 memperparah masalah pengangguran, seperti yang dapat terlihat di Propinsi Zhejiang (浙江省) pada kurun waktu dimana Amerika Serikat dan Uni Eropa memotong kuota impor produk tekstil dari China. Akan tetapi, jika revaluasi RMB mendorong rekonstruksi sektor ekspor, ini dapat meningkatkan efisiensi sektor tersebut dan kualitas ekspornya di masa depan. Permintaan eksternal untuk ekspor kemudian akan meningkat di masa depan. Pengangguran dapat menjadi fenomena ekonomi sementara dalam masa transisi China. Efisiensi dan permintaan yang meningkat akan membantu menambah pendapatan negara serta meningkatkan lapangan pekerjaan. Yu Yongding juga berpendapat bahwa efisiensi investasi yang terjadi akibat mersotnya surplus perdagangan akan membantu perkembangan ekonomi dan lapangan pekerjaan di masa yang akan datang. Kondisi Amerika Serikat di akhir tahun 1990-an merupakan contoh yang mendukung hipotesis Yu ini. Untuk meredakan masalah lapangan pekerjaan, pemerintah China harus mempertahankan pertumbuhan ekonomi pada level yang tinggi, yang akan berpengaruh menimbulkan apresiasi nilai tukar RMB. Liu Wei (劉偉) mengestimasikan bahwa setiap 1 persen pertumbuhan PDB (Pertumbuhan Domestik Bruto) dapat menyediakan 1,7 juta kesempatan lapangan pekerjaan di China.111 Liu menyarankan bahwa dalam konteks ini, China harus tetap mengimplementasikan kebijakan bertahapnya dalam mempertahankan kestabilan nilai RMB untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan. 4. Dampak terhadap Sektor Pertanian RRC Pemerintah China telah menjadikan wilayah pedesaan mereka sebagai salah satu 111 Liu Wei. loc. cit. 62 prioritas utama. Pemerintah China, khawatir akan revaluasi nilai RMB dapat berdampak buruk terhadap sektor pertanian, berupaya menghindari goncangan yang dapat membahayakan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosialnya. Sektor pertanian China belum diindustrialisasi dan produknya tidak memiliki keuntungan kompetitif di pasar internasional. Kebanyakan hasil pertanian China dikonsumsi dalam pasar domestik dan sebagian besar tidak dikomersialisasikan secara besar-besaran. Jika nilai RMB meningkat secara drastis, harga produk impor pertanian akan merosot tajam di pasar internasional dan permintaan akan produk pertanian impor akan meningkat. Dengan demikian, permintaan akan produk pertanian domestik akan menurun begitu pula dengan harganya. Sektor pertanian yang menjadi lapangan pekerjaan dari 60 persen penduduk China akan semakin melemah. Seorang ekonom China, Tao Dong (陶冬), menyarankan di tahun 2005 agar China harus tetap bertahan pada strategi apresiasi gradual RMB seperti di masa sekarang untuk mempertahankan pendapatan, stabiltas sosial, dan keamanan wilayah pedesaan China.112 Dalam pandangan Perdana Menteri Wen Jiabao, reformasi nilai tukar harus dilakukan dengan membangun suatu sistem tukar yang berdasarkan atas mekanisme pasar dan mengambang secara terkendali serta menjaga nilai tukar RMB tetap stabil dan berada pada nilai yang masuk akal.113 Tak diragukan lagi, China harus melanjutkan upaya reformasi nilai tukar mata uangnya dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip inisiatif yang independen, terkontrol, dan dilakukan melalui proses yang bertahap. Namun demikian, perubahan apapun yang terjadi tetap ditargetkan pada upaya menjaga pertumbuhan dan stabilitas ekonomi dan sistem finansial China. 112 Tao Dong, (2005, 15 Agustus). There Will Be Further RMB Appreciation in the Coming Two Years, USD/RMB Could Be 1:5 in Ten Years. Xin caifu (New Fortune). 113 RMB Exchange Rate Reform Gradual Process. (2005). Xinhua. Diakses dari http://news.xinhuanet.com/english/2005-10/14/content_3617557.htm, tanggal 26 September 2011. 63 Wen telah mengakui bahwa China butuh mengintensifkan reformasi nilai tukar mata uangnya dan mengembangkan layanan pada sektor terkait, termasuk mengembangkan pasar tukar asing dan menyediakan lebih banyak layanan finansial kepada perusahaan-perusahaan agar memberikan ruang manajemen resiko, mengembangkan mekanisme pengaturan nilai tukar RMB, dan mengintensifkan pengawasan aliran modal antar negara untuk memastikan kelancaran mekanisme nilai tukar mata uang yang baru. Li Deshui (李德水), seorang anggota Komite Kebijkan Moneter (Monetary Policy Committee) Bank Sentral China, telah mengindikasikan bahwa China tidak akan membiarkan pergerakan bebas nilai RMB dalam kurun waktu lima tahun ke depan karena situasi pasar finansial yang sangat riskan.114 Dengan melihat kecenderungan besarnya dampak negatif yang dapat terjadi pada ekonomi China, revaluasi besar-besaran nilai tukar RMB tidak akan menjadi bagian dari kepentingan China, dimana suatu pengaturan bertahap kursnya akan menjadi lebih menguntungkan. Tao Dong telah mengungkapkan bahwa apreasiasi RMB secara pesat dan besar-besaran akan merugikan bukan hanya eksportir China namun juga konsumer asing.115 Dalam opini ini, memperluas kisaran nilai mengambang RMB dan terus mengapresiasi nilainya menjadi dua kondisi yang berbeda. Kondisi pertama bergantung pada volume dagang jangka pendek sedangkan kondisi kedua merefleksikan perubahan pada kondisi dasar makroekonomi jangka panjang. Tao percaya bahwa penyesuaian pada nilai RMB harus mengikuti proses yang bertahap dan hati-hati, dengan melihat dampak yang dapat diakibatkannya terhadap ekonomi nasional dan penghidupan penduduk, khususnya lapangan pekerjaan. 114 Ibid The U.S. Trade Deficit with China Continues to Enlarge, Urging on Appreciation Increases Again. (2005, 15 November). Jingji zoushi genzong (The Pursuit of Economic Trends), 87., hal. 62. 115 64 Sejak diberlakukannnya apresiasi pada bulan Juli 2005, RMB terus menghadapi tekanan untuk revaluasi akibat surplus dan cadangan devisa China yang sangat besar. Pada tahun 2007, surplus dagang China meningkat menjadi US$ 262,2 triliun dan cadangan devisa mencapai US$ 1.528,2 triliun.116 Secara khusus, kenaikan mendadak dan cepat dalam nilai cadangan devisa ini mengakibatkan isu pengelolaan cadangan berlebihan telah menjadi fokus dari kebijakan nilai tukar China dalam beberapa tahun terakhir. Sejak tahun 2004, sumber cadangan devisa China dengan pertumbuhan paling pesat berasal dari “transaksi kredit”—pinjaman luar negeri dolar Amerika oleh perusahaan-perusahaan China dan bank-bank asing yang dikonversikan ke RMB di China.117 Pinjaman ini didorong sama kuatnya oleh spekulasi akan adanya kemungkinan revaluasi RMB dengan kesempatan investasi dalam ekonomi China yang sangat dinamis. Pada tahun 2005, pemerintah China menguatkan kendali pinjaman asing, terutama oleh bank-bank asing. Aliran yang kuat akan mempertahankan tekanan terhadap China untuk membuat RMB menjadi lebih fleksibel dan responsif terhadap kekuatan pasar di saat yang bersamaan juga tetap dapat berfokus pada bagaimana China menginvestasikan tumpukan cadangan devisanya. Dengan pemikiran ini, pemerintah China memusatkan perhatian pada kebijakan nilai tukar mereka pada tiga hal berikut pada tahun 2006: pertama, menjaga tingkat nilai tukar RMB stabil dan lancar, sedang tetap memungkinkan untuk peningkatan yang penting dalam fleksibilitas; kedua, mempromosikan neraca pembayaran internasional; dan ketiga, mengelola pertukaran cadangan devisa besar China untuk mempertahankan fungsi efektif dari kebijakan 116 117 Ibid Ibid 65 moneter.118 Kelebihan cadangan devisa dapat menyebabkan kesulitan dalam manajemen aset asing dan kekayaan asing China dapat menyusut, akibat dari apresiasi RMB terus menerus. Zhang Bin (張斌) menyarankan bahwa membalikkan tren pertumbuhan yang cepat dalam cadangan devisa harus menjadi prioritas dalam manajemen cadangan China.119 Metode yang berguna untuk melakukan hal ini meliputi peningkatan permintaan domestik, modernisasi sistem keuangan, mengurangi kebutuhan simpanan, dan memungkinkan RMB terapresiasi. Dalam jangka panjang, mengoptimalkan struktur ekonomi akan menjadi kunci untuk mengatasi permasalahan tersebut. Badan regulator devisa China—the State mengindikasikan pada Administration tanggal for Foreign 6 Januari 2006, bahwa Exchange China (SAFE)— akan mulai mendiversifikasikan devisanya yang terus bertumbuh dari dolar Amerika dan surat hutang negara.120 Pergeseran semacam ini memiliki implikasi signifikan bagi pasar keuangan dan komoditas global. SAFE mengumumkan bahwa mereka menghendaki optimasi struktur keuangan dan aset devisa China untuk meningkatkan hasil investasi secara aktif. 121 Langkah baru ini konsisten dengan tujuan pemerintah China mengelola cadangan devisa dengan secara efektif mendukung strategi nasional untuk menciptakan ekonomi terbuka dan melakukan penyesuaian makroekonomi. 118 Statistical Data Shows That up to the End of Last Year Official Foreign Reserve Balance Reached $818.9bn. (2006). Xinhua. Diakses dari http://news.xinhuanet.com/fortune/200601/15/content_4053666.htm, tanggal 26 September 2011. 119 The Accumulation of Foreign Reserves Increased Again at the Year, Expert: $7.4bn is Suspected to Be Hot Money. (2006). Xinhua. Diakses dari http://news.xinhuanet.com/fortune/ 200601/16/content_4057667.htm, tanggal 26 September 2011. Zhang Bin adalah seorang ekonomi dari Institute of World Economics and Politics, Chinese Academy of Social Sciences. 120 Questions Grow over China's Foreign Exchange Strategy. (2006, 6 Januari) Financial Times. Diakses dari http://news.ft.com/cms/s/5413c5d6-7ee7-11da-a6a2-0000779e2340.html, tanggal 26 September 2011. 121 Ibid 66 Menurut Xia Bin dan Chen Daofu, proses memajukan kebijakan nilai tukar China dalam dua tahun berikut dapat digambarkan sebagai "terukur dan mudah beradaptasi."122 Bank sentral mampu menjaga stabilitas nilai tukar RMB dalam sekelompok kecil fluktuasi, meskipun RMB terapresiasi secara perlahan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam jangka menengah dan panjang, masih ada kemungkinan bahwa RMB terdepresiasi, tergantung pada proses reformasi ekonomi China dan keadaan keuangan internasional. Dengan revaluasi kecil RMB sebesar 2,1 persen terhadap dolar AS dan apresiasi yang sederhana lebih lanjut sejak itu, Bank Sentral menunjukkan bahwa mereka mampu bertahan dengan kebijakan independen sambil mengelola tekanan internal dan eksternal. Dalam beberapa dekade terakhir, China telah memperoleh manfaat yang sangat besar dengan mengadopsi pendekatan bertahap reformasi, baik itu dalam bidang ekonomi atau politik. China mungkin akan terus mereformasi nilai tukar dengan cara bertahap. Sementara tekanan eksternal untuk reformasi terus meninggi, kapasitas China untuk melawan tekanan seperti ini juga diperkuat dengan pertumbuhan ekonominya. Merupakan kepentingan China sendiri untuk mereformasi nilai tukarnya, dan China kemungkinan akan melakukan hal ini sesuai dengan perencanaan domestiknya. Faktor eksternal tentu akan menjadi penting ketika merumuskan rencana ini, dengan melihat fakta bahwa China sekarang merupakan bagian penting dari ekonomi global. Namun demikian, yang lebih penting adalah persepsi kepemimpinan China terhadap prioritas domestik dan kemampuannya untuk mengatasi masalah yang lebih mendesak di dalam negeri. Inilah yang dimaksud Wen Jiabao ketika ia berulang kali menekankan bahwa reformasi nilai tukar merupakan bagian dari "kedaulatan” China. 122 Ibid 67 Reformasi radikal tidak mungkin dilakukan, tetapi masuk akal untuk mengharapkan bahwa transparansi operasi di bawah rezim nilai tukar yang baru akan meningkat dan rentang di mana RMB akan berfluktuasi meluas dari waktu ke waktu. Suatu rezim nilai tukar fleksibel merupakan bagian dari tujuan jangka panjang China dan rezim ini akan mendorong pembangunan ekonomi China di masa depan. Namun, akan membutuhkan waktu lama bagi pemerintah China untuk mencapai target ini jika, seperti yang diperkirakan, pemerintah China harus melakukan pendekatan gradualis. B. Dampak Kebijakan Nilai Tukar RRC terhadap Amerika Serikat 1. Dampak Ekonomi Politik Internasional terhadap Perdagangan Global Pertumbuhan ekspor China yang luar biasa menjadi bahan diskusi yang sangat hangat dibicarakan oleh para pakar ekonomi politik internasional, terutama akibar kecurigaan bahwa pertumbuhan ini terjadi dengan mengorbankan pertumbuhan ekonomi negara lain. Pertanyaan mendasar yang perlu dijabarkan melalui skripsi ini ialah apakah ledakan ekspor China ke negara lain dapat terjelaskan melalui kebijakan nilai tukar mata uang China. Untuk melihat apakah suatu mata uang bernilai sesuai dengan seharusnya cukup sulit dilakukan secara matematis namun dengan melihat peran China yang sangat penting dalam rantai suplai perekonomian global, hal ini menjadi semakin penting. Pada kenyataannya, kebijakan China mengenai nilai tukar mata uang China bukan hanya penting secara global melainkan juga terhubung secara erat dengan rantai produksi banyak negara lain, terutama partner dagang China (AS dan Eropa) serta negara-negara tetangga China di wilayah Asia Timur. Seperti yang dapat dilihat dari Grafik 4.2 (halaman 72)., China telah menjadi tujuan ekspor utama banyak negara Asia Timur. Sebagai salah satu contoh paling dramatis, dari seluruh jumlah ekspor Korea 68 seperempatnya pertama-tama ditujukan ke China, baik itu kepada pasar domestik China maupun seringkali juga ditujukan pada sektor pengolahan untuk kemudian dikirim lagi ke negara tujuan lain. 1.1. Peran China dalam Rantai Suplai Global Isu mengenai dampak nilai tukar menjadi semakin kompleks oleh fakta bahwa China merupakan suatu pusat perkumpulan perusahaan-perusahaan asing terkemuka. Banyak analis berpendapat bahwa peningkatan yang tajam pada impor AS dari China dalam beberapa tahun terakhir ini (dan dengan demikian menumbuhkan ketidakseimbangan perdagangan) utamanya merupakan hasil dari perpindahan fasilitas produksi dari negara lain (utamanya di Asia) ke China. Ini berarti, berbagai macam produk yang dulunya disusun atau dirakit di tempat-tempat lain, seperti Jepang, Taiwan, Hong Kong, dan lainnya, sebelum kemudian diekspor ke AS kini dibuat di China (dalam banyak kasus, oleh perusahaan AS sendiri maupun perusahaan asing lainnya yang berlokasi di China) lalu kemudian diekspor di China. Berdasarkan data milik China, perusahaan dengan investasi asing di China terhitung sebesar lebih dari separuh dari total aliran dagang di China (baik ekspor maupun impor). Perusahaan-perusahaan ini mengimpor bahan-bahan mentah, bahan setengah jadi (seperti komponen), dan mesin-mesin produksi ke China. Salah satu studi dengan iPod milik Apple Inc. menemukan bahwa produk ini sendiri diproduksi di China di dalam pabrik yang dimiliki oleh perusahaan China dengan menggunakan komponen-komponen yang diproduksi dari berbagai perusahaan asing lainnya. Jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh pekerja China yang merakit iPod ini diperkirakan lebih kecil dibandingkan total biaya yang diperlukan untuk memproduksi tiap unitnya 69 (berkisar 3%), dan lebih kecil lagi dibandingkan dengan harga jual tiap unitnya di Amerika Serikat.123 Beberapa analis berpendapat bahwa, karena tingginya jumlah produk impor yang diperlukan untuk menyusun produk ekspor China, nilai RMB yang terapresiasi akan memiliki dampak yang sangat kecil terhadap harga produk ekspor China, dan dengan demikian juga memiliki efek yang minim terhadap arus dagang bilateralnya. Analis lain berpendapat bahwa, walaupun perusahaan-perusahaan bermodal asing di China mengalami kenaikan biaya akibat nilai RMB yang terapresiasi, mereka akan berpindah ke negara berbiaya rendah lain. Dengan demikian, walaupun defisit perdagangan AS terhadap China akan menurun, defisit dagang AS terhadap negara lain sebaliknya akan meningkat. Pada riset terkini,124 dapat disusun suatu analisa secara empiris bagaimana nilai tukar China mempengaruhi perdagangan luar negerinya. Dapat dipastikan bahwa hasil yang diduga terjadi ialah menurunnya kuantitas ekspor akibat apreasiasi nilai mata uang China, barang-barang impor ke China tenyata juga bereaksi secara tak terduga; kuantitas impor juga menurun akibat apresiasi ini. Sebagaimana yang akan terlihat dengan mengestimasikan persamaan impor bilateral bagi partner dagang utama China, hal ini dijelaskan oleh peran kunci China sebagai importir suku cadang dan komponen dari negara-negara Asia Timur. Bahkan, penurunan ekspor China akibat apresiasi nilai tukar juga menyiratkan penurunan impor China dari barang-barang investasi serta bagian dan komponen untuk sektor ekspor. Selain itu, tidak dapat ditemukan bukti bahwa negara-negara Asia Timur Greg Linden. (2009). Who Captures Value in a Global Innovation Network? The Case of Apple’s iPod, March 2009. Communication of the ACM, Maret 52:3. Diakses dari http://pcic.merage.uci.edu/papers/2008/WhoCapturesValue.pdf, tanggal 15 Januari 2012., hal. 4-5. 124 Garcia-Herrero, Alicia dan Tuuli Koivu. (2008). China’s exchange rate policy and Asian trade. Economie Internationale, 116:53-92 123 70 bisa mengimbangi dampak negatif dari apresiasi renminbi pada ekspor mereka dengan meningkatkan ekspor ke negara lain. Ini berarti bahwa keputusan China mengenai nilai tukarnya memiliki dampak besar pada perekonomian lain di wilayah tersebut. Secara akumulatif hal ini juga membawa dampak berlipat kali ganda terhadap perekonomian Amerika Serikat sebagai bahan pembicaraan utama dalam skripsi ini. Beberapa studi terkini telah menganalisa faktor-faktor di balik perdagangan asing China.125 Berdasarkan penelitian-penelitian ini, ekspor China secara hampir menyeluruh utamanya karena terdorong oleh permintaan, secara khusus setelah China menjadi anggoa WTO pada bulan Desember 2001 (Tabel 4.1.). Penelitian tersebut juga memberikan afirmasi bahwa ekspor China memiliki elastisitas harga; apreasiasi dari nilai RMB akan berpengaruh pada penurunan ekspor. Tabel 4.1. Dampak Jangka Panjang Nilai Tukar Mata Uang Riil dan Permintaan Pasar Dunia terhadap Ekspor dan Impor China Dampak 10% apresiasi RMB Dampak 1% peningkatan permintaan global Ekspor komoditas biasa Ekspor komoditas proses Impor komoditas biasa Impor komoditas proses -13% -11% -17% -6% +1.6% +1.5% +1.9% +0.3 Sumber: Garcia-Herrero dan Koivu (2008). Diakses dari http://news.ft.com/cms/s/f9d7a456-85fe-11dabee0-0000779e2340.html. Akan tetapi dengan cukup mengejutkan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa impor ke dalam China juga akan menurun – bukan meningkat seperti yang dihipotesiskan sebelumnya – ketika nilai tukar efektif RMB diapresiasi. Sebagai contohnya, Garcia-Herrero dan Koivu (2010) menemukan bahwa 10% apreasiasi RMB 125 Ibid 71 akan menyebabkan penurunan sebesar 6% dari kuantitas impor di sektor prosesing. Impor di sektor lain dapat menurun dengan presentasi yang bahkan lebih besar lagi. 126 Tabel 4.2. Dampak Jangka Panjang Nilai Tukar Mata Uang Bilateral dan Permintaan terhadap Impor China oleh Mitra Dagang Utamanya Impor China dari: Dampak 10% apresiasi RMB Dampak 1% peningkatan permintaan China Australia Jerman Jepang Korea Malaysia Thailand AS (0%) 6% (-1%) -4% (2%) -6% (-16%) (0.4%) (0.9%) 1% 0.4% (-1%) (0.2%) 0.6% Catatan : Nilai di dalam kurung tidak begitu signifikan secara statistik Sumber : Garcia-Herrero dan Koivu (2008). Diakses dari http://news.ft.com/cms/s/f9d7a45685fe-11da-bee0-0000779e2340.html. Ketika melihat pada besaran impor lebih dekat, dapat diketahui bahwa impor dari negara-negara Asia Timur yang akan menurun ketika RMB terapreasiasi (Tabel 4.2). Penemuan yang tidak sesuai dugaan ini merujuk pada pentingnya berada pada posisi kunci dalam rantai produksi global. Pada kenyataannya, apresiasi kurs yang menyebabkan penurunan pada daya saing ekspor China juga menyebabkan penurunan pada permintaan akan barang-barang investasi, bahan-bahan dan komponen-komponen impor dari sektor tersebut. Hal ini juga mengakibatkan suatu implikasi yang perlu diperhatikan, bahwa barang-barang ekspor China cenderung lebih menjadi barang komplementer bagi ekonomi negara-negara Asia dan bukan barang substitusi. Dari hasil studi yang ada tergambarkan bahwa kebangkitan China menjadi efek crowding out127 pada ekspor dari negara yang lain. Hal ini terjadi walaupun, di Asia khususnya, dampak negatif dari kebangkitan China sebagai ekonomi ekspor utama telah diimbangi sebagian besar oleh impor China yang meningkat dari daerah 126 Ibid Offset dalam permintaan agregat yang terjadi ketika kebijakan fiskal ekspansif menaikkan tingkat bunga dan dengan demikian mengurangi pengeluaran investasi. Termwiki. Diakses dari http://id.termwiki.com/ID:crowding-out_effect, tanggal 25 Juni 2012. 127 72 terdekat.128 Impor China meningkat mencerminkan sebagian fakta bahwa dalam waktu yang relatif singkat China telah menjadi platform utama bagi ekspor barang yang dihasilkan tidak hanya di China daratan tetapi juga melalui rantai produksi internasional. Hal ini tercermin melalui dualisme neraca perdagangan bilateral China; surplus terhadap ekonomi maju - sebagian besar negara Eropa dan AS - dan defisit terhadap hampir semua negara Asia (Grafik 4.2). Grafik 4.2. Neraca Perdagangan Beberapa Negara terhadap China (dalam %PDB) Sumber : IMF Direction of Trade, CEIC. Diakses dari http://www.ceicdata.com/WorldTrend/CeicData/WorldTrend.pdf Penemuan empiris beberapa penelitian menunjukkan bahwa apresiasi riil RMB, yang dapat menurunkan baik ekspor maupun impor China, mengharuskan negaranegara Asia untuk berkompetisi secara langsung dengan China pada pasar ketiga dengan melewatkan China sebagai negara perantara atau negara pengolah. Di sisi lain, beberapa penelitian lain tidak sejalan dengan penemuan ini (Garcia-Herrero dan Koivu 2008 dan 2010). Sebenarnya tampaknya apresiasi renminbi efektif riil akan mengakibatkan penurunan total ekspor dari banyak negara Asia Timur (Tabel 4.3). Greenaway, David, Mahabir, dan Chris Milner. (2008). Has China displaced other Asian countries’ exports?. China Economic Review, 19:152-169. 128 73 Dengan kata lain, ekspor dari negara-negara Asia lain tampaknya lebih bersifat komplementer dan bukan pengganti untuk produk-produk China. Tabel 4.3. Dampak Jangka Panjang Nilai Tukar Mata Uang China Riil, Nilai Tukar Mata Uang Riil dan Permintaan terhadap Total Ekspor Negara-negara Asia Timur Negara Eksporter: Dampak 10% apresiasi RMB Dampak 10% apreasiasi kurs negara masing-masing Dampak 1% peningkatan permintaan global Jepang Korea Malaysia Filipina Singapura Thailand -9% -6% -8% -15% -17% -7% -4% (-2%) (-6%) +17% 12% +6% +0.8% +0.8% +0.9% (0.0%) -0.5% 0.8% Catatan : Nilai di dalam kurung tidak begitu signifikan secara statistik Sumber : Garcia-Herrero dan Koivu (2008). Diakses dari http://news.ft.com/cms/s/f9d7a45685fe-11da-bee0-0000779e2340.html. Akibat dari rantai produksi yang ketat di Asia Timur, apresiasi RMB yang mengurangi impor dari negara Asia lain ke dalam China menjadi suatu kekhawatiran yang besar bagi banyak negara Asia lain. Fakta bahwa ekspor dari negara Asia Timur lebih bersifat komplementer dan bukan substitusi produk China sangat berkaitan dengan meningkatnya nilai penting China dalam rantai perdagangan global di masa ini. Dengan kata lain, China dapat mengontrol pembelian yang mengurangi kemungkinan bahwa negara lain tidak akan melangkahi China sebagai negara perantara. Akhirnya, fakta bahwa impor China bisa mengalami penurunan - bukan kenaikan - akibat apresiasi nilai tukar juga memiliki konsekuensi penting. Meskipun apresiasi renminbi akan mengurangi ekspor China, dampak pada surplus perdagangan China terbatas karena impor ke China juga akan menurun. Penurunan impor ini memiliki konsekuensi yang besar bagi lebih banyak negara karena impor utama China yang berasal dari wilayah Asia Timur ini akan menurun. Dengan alasan ini, kebijakan nilai tukar China bukan hanya relevan bagi negara-negara Barat, namun juga bagi 74 negara-negara di kawasan Asia. Hasil ini sesuai dengan kekhawatiran banyak negara Asia yang disuarakan melalui berbagai forum internasional – bahwa China harus terus mengimplemetasikan kebijakan nilai tukar mata uangnya melalui pendekatan yang sangat hati-hati. 1.2. Akselerasi Ketidakseimbangan Makroekonomi Global Secara perhitungan, defisit perdagangan secara keseluruhan adalah sama dengan selisih antara simpanan domestik dan investasi, sementara surplus perdagangan secara keseluruhan adalah sama dengan surplus simpanan domestik relatif terhadap investasi. Selama bertahun-tahun, China merupakan negara dengan jumlah simpanan yang sangat tinggi dan secara keseluruhan mengalami surplus perdagangan. Sebaliknya, Amerika Serikat merupakan negara dengan tingkat simpanan yang rendah dan secara keseluruhan mengalami defisit perdagangan. Pemakaian patok terhadap nilai tukar mata uang dan kontrol modal oleh China merupakan salah satu kontributor terhadap tingkat simpanannya yang besar ini, namun demikian perubahan rezim nilai tukar mata uang China bukan berarti dapat mengeliminasi kesenjangan yang besar terkait tingkat simpanan AS dan China. Dengan demikian, sangatlah mungkin bahwa Amerika Serikat akan terus menjadi negara penghutang dan China akan terus menjadi negara kreditor (pemberi pinjaman) bahkan apabila nilai RMB meningkat. Jika begitu, konsep mengenai ketidakseimbangan perdagangan bilateral akan terus berlanjut. Ketidakseimbangan perdagangan China-AS ini juga dapat tergantikan dalam bentuk ketidakseimbangan perdagangan dengan negara ketiga lainnya. 2. Dampak Akumulatif terhadap Perekonomian di Amerika Serikat 75 Banyak pengambil kebijakan AS menduga bahwa apabila China mengapresiasi nilai mata uangnya secara signifikan, kondisi ekonomi AS akan membaik. Ekspor AS ke China akan meningkat, impor dari China ke AS akan menurun, dan defisit perdagangan AS terhadap China akan menurun dalam jangka waktu yang relatif pendek. Sebagai contoh, C. Fred Bergsten berpendapat bahwa apabila RMB memiliki nilai yang reflektif terhadap kondisi pasar, hal ini akan menurunkan defisit tahunan neraca perdagangan AS antara $100 triliun sampai $150 triliun.129 Namun efek yang dapat ditimbulkan dari apreasiasi RMB terhadap perekonomian AS sangatlah kompleks. Hal ini dikarenakan dampak yang terjadi dapat dibedakan ke dalam efek jangka pendek dan efek jangka panjang, dan bahwa nilai tukar hanyalah merupakan satu dari sekian banyak faktor yang memengaruhi arus perdagangan. Faktor-faktor lain yang juga akan memainkan peran penting akan dibahas dalam analisa berikut. 2.1.Pertumbuhan Defisit Bilateral AS-China selama Periode Apreasiasi RMB Sebelumnya Untuk mengilustrasikan bahwa nilai tukar hanyalah salah satu faktor yang menetukan arus perdagangan, dapat dilihat dari efek yang ditimbulkan oleh apreasiasi 21% RMB terhadap dolar pada bulan Juli 2005 sampai pada bukan Juli 2008 terhadap aliran dagang AS-China. Di satu sisi, selama periode ini impor barang AS dari China meningkat sebesar 39%, dibandingkan dengan kenaikan sebesar 92% dari tahun 2001- 129 Fred Bergsten. (2010). Correcting the Chinese Exchange Rate: An Action Plan, Peterson Institute for International Economics, Testimony before the Committee on Ways and Means, U.S. House of Representatives. Diakses dari http://www.iie.com/publications/testimony/bergsten20100915.pdf., tanggal 16 April 2012. 76 2004 (ketika nilai tukar RMB ditahan pada nilai konstan).130 Di sisi lain, ekspor barang AS ke China pada periode 2005-2008 tidak bertumbuh secepat pada periode 2001-2004 (masing-masing bernilai 71% dan 81%).131 Walaupun terjadi apreasiasi nilai tukar RMB di tahun 2005-2008, defisit neraca perdagangan AS tetap bertumbuh sebesar 30.1% (walaupun defisit neraca perdagangan AS secara keseluruhan menurun sebesar hampir 6%).132 Dengan demikian, Apreasiasi RMB cenderung terlihat memiliki efek yang sangat minim terhadap keseimbangan perdagangan antara China dan AS pada tahun 2005-2008. Pada masa ini, surplus dagang China meningkat dari $102 triliun hingga $297 triliun, suatu peningkatan sebesar 191%, dan surplus neraca serta akumulasi devisa China dalam periode ini keduanya meningkat sebesar 165%.133 2.2.Akumulasi Dampak terhadap Ekonomi Amerika Serikat Para ekonom umumnya menolak kebijakan (seperti subsidi dan perlindungan dagang) yang dapat melemahkan kekuatan pasar dan mengganggu distribusi sumber daya yang paling efisien ini. Nilai tukar yang terpatok maupun terkontrol dimana level naik turunya tidak sesuai dengan kondisi nyata perubahan ekonomi dipandang sebagai suatu gangguan. Dengan demikian, dari perspektif ekonomi, mengadopsi nilai tukar mata uang berdasarkan atas mekanisme pasar merupakan suatu solusi menang-menang (win-win solution) baik bagi China, Amerika Serikat, maupun bagi ekonomi global secara menyeluruh. Dalam perspektif ini, mekanisme pasar akan mengarah pada suatu 130 Bloomberg News. (2012). China Plans Lower Budget Deficit for This Year as Economic Growth Cools. Diakses dari http://www.bloomberg.com/news/2012-03-05/china-plans-lower-budget-deficit-forthis-year-as-economic-growth-cools.html, tanggal 30 April 2012. 131 Ibid 132 Ibid 133 Ibid 77 bentuk alokasi sumber daya yang efisien di kedua negara (namun bukan berarti berpengaruh serupa terhadap tingkat pengangguran, dan sebagainya). Dari sudut pandang kebijakan, dapat dikatakan bahwa kebijakan nilai tukar China yang sekarang menghasilkan “sisi menang dan kalah” di kedua negara, dengan demikian suatu penyesuaian terhadap kebijakan ini hanya akan membentuk perubahan “menang-kalah” dari sisi lain. Walaupun terdapat berbagai macam faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi global dan aliran dagang, apreasiasi nilai mata uang (terutama RMB) memainkan peran yang sangat signifikan dalam arus perdagangan ini. Pertanyaan yang kemudian muncul: apa dampak yang akan ditimbulkannya terhadap situasi di Amerika Serikat? Setidaknya dampak yang diakibatkan kebijakan intervensi mata uang China dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yakni: dampak terhadap eksportir dan kompetitor importir AS, dampak terhadap konsumer dan beberapa produsen AS, dan dampak terhadap debitor AS. Dampak pada kelompok pertama, ketika kebijakan nilai tukar membuat nilai RMB menjadi lebih murah dari kondisi ketika nilainya ditentukan oleh permintaan dan penawaran, hal ini menyebabkan ekspor China menjadi tidak mahal dan ekspor AS ke China menjadi relatif mahal. Sebagai hasilnya, barang dan jasa ekspor dan kegiatan produksi AS yang berkompetisi dengan impor China menurun, dalam jangka waktu pendek. Banyak dari perusahaan-perusahaan yang mendapatkan imbasnya berada pada sektor manufaktur. Buruh yang bekerja pada sektor manufaktur AS menurun dari 31.8% pada tahun 1960, menjadi 22.4% di 1980, dan menjadi 13.1% di tahun 2000, dan 8.9% di tahun 2010.134 Hal ini mengakibatkan defisit perdagangan meningkat dan menurunkan 134 Bureau of Labor Statistics. (2012). Workforce Statistics. United States Department of Labor. Diakses dari http://www.bls.gov/iag/tgs/iag31-33.htm, tanggal 5 Mei 2012. 78 permintaan agregat dalam jangka waktu pendek, hal lainnya cenderung relatif tetap stabil seperti sedia kala. Kebijakan yang didasarkan atas mekanisme pasar dapat membangkitkan ekspor AS dan menyediakan ruang bagi perusahaan AS untuk berkompetisi secara langsung dan secara adil dengan perusahaan China. Kedua, berdasarkan teori ekonomi, kesejahteraan ekonomi masyarakat tidak diukur dari seberapa banyak mereka dapat memproduksi, melainkan dari seberapa banyak mereka mengkonsumsi. Nilai RMB dimanipulasi yang menyebabkan harga yang lebih murah untuk impor dari China mengakibatkan penduduk AS dapat mengkonsumsi lebih banyak. Karena perubahan dalam agregat pengeluaran hanya bersifat sementara, dari perspektif jangka panjang, dampak berkelanjutan dari manipulasi nilai RMB mengakibatkan meningkatkan daya beli (purchasing power) konsumen AS. Barang impor dari China tidak hanya terbatas dalam bentuk barang-barang konsumsi. Perusahaan-perusahaan AS juga mengimpor alat-alat modal dan barang input dari China untuk memproduksi barang jadi. Nilai RMB yang dimanipulasi menurunkan biaya yang dibutuhkan untuk perusahaan ini, dengan demikian menurunkan harga jual, meningkatkan intensitas output, dan menambah daya saing produknya pada pasar internasional. Apresiasi nilai mata uang China dapat meningkatkan harga produk bagi konsumen AS, menyebabkan turunnya kesejahteraan ekonomi, sehingga mengakibatkan semakin sedikit barang dan jasa yang dapat dibeli oleh penduduk AS. Selain itu, perusahaan-perusahaan AS yang menggunakan produk impor asal China akan menghadapi biaya produksi yang lebih tinggi, sehingga menurunkan daya saing produk mereka. 79 Ketiga, nilai RMB yang dimanipulasi juga memiliki dampak bagi peminjam (borrower) di AS. Ketika AS mengalami defisit perdagangan terhadap China, sejumlah dana yang sama mengalir dari China ke AS, seperti yang terlihat dari neraca pembayaran AS. Hal ini timbul karena Bank Sentral China atau penduduk China berinvestasi dalam aset AS, yang mengakibatkan lebih banyak dana investasi untuk pabrik dan peralatan AS dibandingkan jika nilai RMB tidak termanipulasi. Investasi modal meningkat karena permintaan yang lebih besar akan aset AS menekan nilai suku bunga AS, sehingga perusahaan-perusahaan kini ingin melakukan investasi yang dahulunya tidak membawa keuntungan. Aliran ini kemudian mendorong kenaikan dalam belanja agregat dalam jangka pendek. Hal ini juga meningkatkan ukuran ekonomi AS dalam jangka panjang dengan meningkatkan modal saham. Efek yang ditimbulkan terhadap tingkat suku bunga menjadi lebih besar pada masa pertumbuhan ekonomi yang pesat, ketika permintaan investasi menguat, dibandingkan ketika ekonomi AS melemah. Bukan hanya perusahaan-perusahaan swasta yang menjadi penerima nilai suku bunga rendah akibat arus masuk modal (defisit perdagangan) dari China. Bentuk pengeluaran rumah tangga yang sensitif bunga, seperti kebutuhan tahan lama dan perumahan, juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi apabila modal tidak mengalir dari China ke Amerika Serikat. Lebih lanjut, sejumlah besar aset-aset AS yang dibeli oleh China, utamanya oleh Bank Sentral, ialah sekuritas atau surat obligasi negara, yang membiayai defisit Negara AS. Menurut Department Keuangan AS, China memiliki sedikitnya $1.15 triliun dalam surat obligasi AS per September 2011, 80 membuat China sebagai pemegang asing surat hutang terbesar sebesar 24.6% dari total pemegang asing.135 Defisit anggaran pemerintah federal AS telah meningkat pesat sejak tahun anggaran 2008, menyebabkan peningkatan tajam dalam jumlah surat obligasi yang harus dijual. Sementara Pemerintahan Obama terus mendorong China untuk mengapresiasi mata uangnya, Obama juga mendorong China untuk terus membeli surat berharga AS. Beberapa analis berpendapat bahwa, meskipun apresiasi mata uang China dapat membantu meningkatkan ekspor AS ke China, hal ini juga bisa mengurangi kebutuhan China untuk membeli surat berharga AS, yang bisa mendorong kenaikan suku bunga AS. Dalam skenario kasus terburuk, jika China berhenti membeli surat berharga pada saat AS mengalami defisit anggaran yang luar biasa tinggi, hal ini dapat mengguncang pasar keuangan dengan meningkatnya keraguan akan kemampuan pemerintah AS dalam mempertahankan kebijakan fiskal saat ini. Dalam jangka menengah, menurut teori ekonomi, nilai RMB yang rendah tidak meningkatkan atau menurunkan permintaan agregat di Amerika Serikat. Sebaliknya, hal tersebut menyebabkan pergeseran komposisi dalam produksi AS, dari perusahaan sektor impor-impor AS menjadi perusahaan yang mendapatkan keuntungan dari arus modal China. Dengan demikian, nilai RMB diharapkan tidak membawa pengaruh jangka panjang atau menengah terhadap lapangan kerja agregat di AS ataupun pengangguran. Sebagai bukti, dapat dianggap bahwa sejak 1980-an, defisit perdagangan AS cenderung naik ketika pengangguran jatuh (dan ekonomi tumbuh) dan jatuh ketika pengangguran meningkat (dan ekonomi melambat). Misalnya, defisit neraca transaksi Wayne M. Morrison dan Marc Labonte. (2011). China’s Holdings of U.S. Securities: Implications for the U.S. Economy. CRS Report for Congress, RL34314, 26 September. Diakses dari http://www.fas.org/sgp/crs/row/RL34314.pdf, tanggal 3 Juli 2012. 135 81 berjalan AS mencapai puncaknya pada 6,0% dari PDB pada 2006, ketika tingkat pengangguran sebesar 4,6%, dan turun menjadi 2,7% dari PDB pada 2009, ketika tingkat pengangguran mencapai 9,3%.136 Namun, keuntungan dan kerugian dalam pekerjaan dan produksi yang disebabkan oleh defisit perdagangan tidak akan terdispersi secara merata di seluruh daerah dan sektor ekonomi: secara seimbang, beberapa daerah akan memperoleh keuntungan sementara yang lain akan mengalami kerugian. Dan dengan mengubah komposisi output AS ke basis modal yang lebih tinggi, ukuran ekonomi AS akan menjadi lebih besar dalam jangka panjang sebagai akibat dari defisit arus masuk / perdagangan modal (meskipun keuntungan dari modal asing tidak akan mengalir ke Amerika). Meskipun pergeseran komposisi dalam output tidak berpengaruh negatif pada output agregat AS dan kesempatan kerja dalam jangka panjang, namun terdapat konsekuensi negatif jangka pendek. Jika output AS di sektor perdagangan jatuh lebih cepat dari peningkatan output dari penerima modal China di AS, agregat belanja AS dan lapangan kerja bisa menurun sementara waktu. Hal ini lebih mungkin menjadi perhatian jika perekonomian sedang lamban dibandingkan bila perekonomian sedang berada pada kondisi dimana lapangan kerja tercukupi. Jika tidak, ada kemungkinan bahwa kebijakan penyesuaian makroekonomi dan kekuatan pasar dapat mengkompensasi penurunan output di sektor perdagangan dengan memperluas elemen lain dari permintaan agregat. Defisit perdagangan AS dengan China (atau dengan pasar dunia secara keseluruhan) tidak dapat mencegah ekonomi AS mengalami pertumbuhan tingkat tinggi di masa lalu. 136 Ibid 82 Sebuah studi Yale University memperkirakan bahwa 25% dari apresiasi RMB awalnya akan mengurangi impor AS dari China dan menyebabkan produksi dalam negeri lebih besar di Amerika Serikat dan peningkatan ekspor ke China. Namun, penelitian ini memperkirakan bahwa manfaat terhadap ekonomi AS akan diimbangi oleh penurunan pertumbuhan ekonomi China (karena penurunan ekspor), yang akan mengurangi permintaan untuk impor, termasuk dari Amerika Serikat. Selain itu, apresiasi RMB akan meningkatkan biaya AS untuk produk impor dari China (menurunkan kekayaan riil dan upah riil), dan menyebabkan suku bunga jangka pendek AS menjadi lebih tinggi. Akibatnya, efek akumulasi dari apresiasi RMB sebesar 25% diperkirakan berdampak negatif pada permintaan AS dan output agregat dan mengakibatkan hilangnya 57.100 pekerjaan AS-kurang dari sepersepuluh dari 1% dari jumlah total tenaga kerja AS.137 Analisis oleh IMF menunjukkan bahwa apresiasi mata uang saja oleh China akan menghasilkan manfaat yang terbatas untuk ekonomi global (termasuk ekonomi AS) kecuali apabila apreasiasi ini disertai dengan peningkatan konsumsi China dan ekspansi sektor jasa. Diperkirakan bahwa apresiasi RMB 20% akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi AS sebesar antara 0,05% hingga 0,07%, sementara apresiasi RMB 20% ditambah reformasi lainnya untuk menyeimbangkan kembali perekonomian China akan meningkatkan pertumbuhan AS lebih dari 0,15%.138 Penelitian yang sama juga memperkirakan bahwa apresiasi RMB 20% saja bisa mengurangi pertumbuhan ekonomi China sebesar 2,0% hingga 8,8%, sedangkan menggabungkan apresiasi RMB 137 Ray C. Fair. (2010). Estimated Macroeconomic Effects Of A Chinese Yuan Appreciation, Cowles Foundation Discussion Paper 1755. 138 International Monetary Fund. (2011). People’s Republic of China, 2011 Article IV Consultation, hal. 36. 83 dengan reformasi untuk penyeimbangan kembali bisa meningkatkan pertumbuhan hingga 1%.139 2.3. Kekhawatiran Amerika Serikat akan Kebijakan Mata Uang China: Defisit Perdagangan dan Lapangan Pekerjaan Walaupun pendapat para ahli cukup beragam dalam memandang fenomena intervensi nilai mata uang China, pemerintah AS telah menyatakan posisi dan kekhawatiran mereka sendiri terkait isu ini. Banyak pengambil kebijakan AS dan beberapa kelompok bisnis dan pekerja AS menuduh bahwa China dengan sengaja memanipulasi nilai mata uangnya terhadap dolar AS dengan tujuan agar harga ekspor China yang masuk ke AS menjadi lebih murah dibandingkan harga pasar sebenarnya.140 Lebih jauh lagi, kelompok kepentingan ini berargumentasi bahwa nilai patok kurs mata uang China dapat ditolerir hanya pada masa awal perkembangan ekonomi China. Di masa sekarang, melihat betapa besarnya ukuran ekonomi, arus perdagangan keluarmasuk di China, serta besaran surplus tahunan yang diperoleh China, serta dampak yang diakibatkannya terhadap ekonomi global, kebijakan China seperti ini tidak dapat lagi dibenarkan. Para kritisi lebih lanjut berpendapat bahwa mata uang China yang bernilai rendah telah menjadi faktor utama di balik defisit perdagangan AS dengan China yang sedang berkembang, yang melonjak dari $ 10 miliar pada 1990 menjadi $ 273 miliar pada tahun 2010, dan diproyeksikan akan mencapai sekitar $ 295 miliar pada tahun 2011. Faktor lain yang dipandang oleh beberapa sebagai bukti manipulasi mata uang China ialah akumulasi cadangan devisa China yang, berdasarkan perhitungan akhir 139 Ray C. Fair. loc. cit. Pada umumnya, perusahaan-perusahaan AS di China tidak sebegitu khawatirnya terhadap nilai tukar mata uang China jika dibandingkan dengan kekhawatiran perusahaan-perusahaan yang sensitif terhadap sektor impor yang berkompetisi langsung dengan produk China dengan harga murah. 140 84 tahun, tumbuh dari $403 miliar di tahun 2003 menjadi $2.85 triliun di tahun 2010, serta surplus tahunan, yang bertumbhuh dari $46 milliyar di tahun 2003 menjadi $412 miliar di tahun 2008, (lihat Grafik 4.3.).141 Dalam laporan tahun 2010, International Monetary Fund (IMF) memperingatkan bahwa, dalam jangka waktu menengah, akan terdapat potensi pertumbuhan yang lebih besar terhadap surplus perdagangan China akibat kebijakan stimulus yang berkurang dan membaiknya kondisi perekonomian global.142 Grafik 4.3. Neraca Perdagangan China dan Perubahan Tahunan Cadangan Devisa: 2001-2010 (dalam miliar dolar) Sumber: Economist Intelligence Unit, IMF, dan Chinese State Administration of Foreign Exchange. Diakses dari http://fpc.state.gov/documents/organization/154184.pdf International Monetary Fund (2010). People’s Republic of China: 2010 Article IV Consulatation— Staff Report. In Staff Statement; Public Information Notice on the Executive Board Discussion, Juli 2010, hal. 1. 142 Surplus ekonomi China dalam persentasi PDB saat ini diprediksikan oleh IMF akan meningkat dari 5,2% pada tahun 2010 menjadi 7,8% pada tahun 2016. Sumber IMF, World Economic Outlook Database, April 2011. Diakses dari http://www.worldtradelaw.net/articles/ahnimf.pdf, tanggal 10 Maret 2012. 141 85 Laporan World Economic Outlook terbitan IMF pada bulan September 2011 memperkirakan bahwa neraca keuangan China akan meningkat dari $305 miliar di tahun 2010 menjadi $361 miliar di tahun 2011, dan diproyeksikan menjadi $852 miliar pada tahun 2016.143 Global Insight memprediksikan bahwa cadangan devisa China akan meningkat mencapai besaran $4.6 trilyun pada tahun 2014, yang berarti peningkatan sebesar $1.7 triliun dari jumlah pada tahun 2010.144 Jumlah pengangguran yang sangat tinggi di Amerika Serikat saat ini dikhawatirkan merupakan salah satu output tidak langsung dari kebijakan manipulasi mata uang China terhadap perekonomian AS. Banyak pakar ekonomi yang beranggapan bahwa apresiasi nilai RMB akan memompa tingkat ketersediaan lapanga pekerjaan di Amerika Serikat. Beberapa ekonom berpendapat bahwa terdapat korelasi langsung antara defisit perdagangan AS dengan tingkat pengagguran di AS. Penelitian yang dilakukan oleh Institusi Kebijakan Ekonomi (Economic Policy Institute (EPI)) mengklaim bahwa defisit perdagangan AS dengan China (yang menurut klaim EPI juga diakibatkan oleh kebijakan mata uang China) mengakibatkan dipecatnya 2.8 juta pekerja (69% pada sektor manufaktur) antara tahun 2001 dan 2008.145 Laporan EPI mencatat bahwa, walaupun ekspor AS ke China menciptakan lapangan kerja bagi penduduk AS, impor AS dari China “menggantikan kesempatan penduduk AS yang berpeluang dipekerjakan dalam pembuatan produk tersebut bila tak 143 Ibid IHS Global Insight, China, Interim Forecast, Juni 2011. Diakses dari http://www.ihs.com/products/global-insight/index.aspx, tanggal 23 September 2011. 145 Economic Policy Institute. (2010). Unfair hina Trade Costs Local Jobs 2.4 Million Jobs Lost, Thousands Displaced in Every U.S. Congressional District, Briefing Paper #260. Diakses dari http://epi3.cdn.net/91b2eeeffce66c1a10_v5m6beqhi.pdf, tanggal 23 Maret 2012. Sebagai catatan, beberapa analis mengkritisi metodologi yang digunakan dalam laporan ini, yang secara langsung mengasumsikan bahwa defisit perdagangan AS (dimana impor AS lebih besar dari ekspornya) memiliki efek langsung terhadap jumlah lapangan pekerjaan di AS. 144 86 harus diimpor dari China.”146 Hasil penelitian EPI ini, seringkali disebut-sebut sebagai referensi oleh para anggota Senat dalam pembuatan rancangan Undang-undang S.1619 (dibahas selanjutnya). Beberapa analis berpendapat bahwa kebijakan mata uang China menyebabkan ekonomi Asia Timur lainnya melakukan intervensi di pasar mata uang dan menjaga mata uang mereka lemah terhadap dolar sehingga mereka dapat bersaing dengan produk asal China. Hal ini dianggap mencegah penyusutan lebih lanjut dari dolar relatif terhadap mata uang Asia lainnya, dan dengan demikian mengurangi ekspor AS di seluruh Asia. Berdasarkan asumsi bahwa nilai mata uang China tertahan sebesar 40% dari nilai sebenarnya terhadap dolar dan 25% dari nilai pasar sesungguhnya, C. Fred Bergsten dari Peterson Institute for International Economics memperkirakan nilai mata uang China yang berdasarkan atas nilai pasar akan menyebabkan apresiasi nilai RMB dan nilai mata uang negara Asia lainnya (atau dengan kata lain depresiasi nilai USD terhadap kurs negara-negara Asia), yang kemudian dapat mendorong ekspor AS dan menciptakan sekitar 600.000 hingga 1,2 juta lapangan pekerjaan di Amerika Serikat.147 Ekonom AS, Paul Krugman, berargumen bahwa nilai termanipulasi RMB telah menjadi faktor pencegah yang signifikan terhadap proses pemulihan krisis ekonomi global. Krugman memperkirakan bahwa kebijakan China telah menyebabkan penurunan angka PDB global sebesar 1,4% dan secara khusus menimbulkan kerugian bagi negara-negara berkembang.148 Klaim mengenai dampak negatif dari nilai tukar RMB terhadap lapangan pekerjaan serta perdagangan AS seringkali diampuradukkan 146 Ibid. Fred Bergsten. (2010). Peterson Institute for International Economics, Testimony before the Committee on Ways and Means, U.S. House of Representatives, March 24, 2010. Diakses dari http://www.iie.com/publications/testimony/bergsten20100915.pdf., tanggal 16 April 2012. 148 New York Times, 14 Maret 2010 dan 31 Desember 2009. Krugman juga mengestimasikan bahwa kebijakan mata uang China telah menyebabkan hilangnya 1,4 juta lapangan pekerjaan di Amerika Serikat. 147 87 dengan observasi bahwa ekonomi China telah bertumbuh dengan luar biasa pesar dalam lima tahun terakhir (PDB riil bertumbuh pada nilai rerata 10 persen dari tahun 20082010 bahkan pada saat krisis ekonomi terjadi), di saat negara lainnya tengah mengalami pertumbuh yang stagnan bahkan negatif. Hal ini memancing kecurigaan bahwa kebijakan mata uang China mengandung prinsip kebijakan “mengemis pada sesamamu - beggar thy neighbor” (dimana pertumbuhan ekonomi China terjadi dengan konsekuensi yang mengakibatkan kerugian bagi negara-negara lain) terutama pada saat krisis ekonomi global. 149 Beberapa analis lain berpendapat bahwa apresiasi nilai RMB secara signifikan akan mengurangi ketidakseimbangan perdagangan antara China dan Amerika Serikat. Misalnya, suatu laporan oleh Bloomberg, diperkirakan bahwa apresiasi tahunan nilai RMB sebesar 7% terhadap dolar akan memotong separuh dari defisit perdagangan AS dengan China di tahun 2014.150 Penelitian ini juga menunjukkan bahwa apresiasi nilai RMB akan membawa efek domino terhadap apresiasi nilai mata uang negara-negara Asia lainnya, yang pada gilirannya akan menurunkan secara signifikan defisit perdagangan AS yang sebelumnya berkisar $368 miliar pada tahun 2011 menjadi $59 miliar di tahun 2014. Akibat dari faktor-faktor ini, beberapa anggota legislatif AS berpendapat bahwa China harus diposisikan oleh Kementerian Keuangan sebagai negara yang telah memanipulasi nilai mata uangnya untuk memperoleh keuntungan dagang secara tidak wajar. Dengan demikian, AS dapat melakukan pembenaran terhadap legislasi untuk membalas perlakuan kebijakan China melalui kebijakan domestik dan internasionalnya. 149 150 Ibid Bloomberg Government. (2011). A Higher Yuan Would Half the U.S.-China Trade Deficit, hal. 53 88 C. Strategi Amerika Serikat dalam Menanggulangi Dampak Kebijakan Nilai Tukar RRC Banyak rancangan undang-undang telah diperkenalkan di Kongres selama beberapa tahun terakhir yang ditujukan untuk mendorong China (dan negara lain) mereformasi kebijakan mata uangnya atau untuk mengatasi efek yang dirasakan oleh kebijakan terkait terhadap ekonomi AS. Sebagai contoh, salah satu rancangan undangundang yang diperkenalkan oleh Senator Schumer pada Kongres AS ke-108 (S. 1586). Undang-undang ini menginginkan tambahan pajak sebesar 27.5% pada barang-barang produk impor China kecuali apabila China memutuskan untuk mengapresiasi nilai tukar mata uangnya menyamai nilai pasar sesungguhnya.151 Selama beberapa tahun terakhir, beberapa usulan legislatif telah berupaya menerapkan langkah-langkah penanggulangan anti-dumping dan countervailing (antisubsidi) AS untuk mengatasi efek dari manipulasi nilai mata uang China. Usulan ini meliputi langkah dimana produk kebijakan nilai mata uang China dianggap sebagai bentuk sebagai subsidi ekspor (langkah-langkah countervailing) atau sebagai faktor yang disertakan dalam penentuan anti-dumping. Pasca diberlakukan, usulan ini akan memperbolehkan penaikkan harga barang-barang impor China melalui sistem perpajakan anti-dumping. Salah satu pertentangan paling sengit terkait usulan peraturan ini adalah apakah tindakan tersebut akan konsisten dengan kewajiban AS di WTO. Sebagian berpendapat bahwa WTO memungkinkan negara (dalam kondisi tertentu) negara anggotanya untuk mengelola regulasi pemulihan perdagangan mereka sendiri, dan dengan demikian mereka berpendapat bahwa kebijakan manipulasi nilai mata uang China dapat dijadikan 151 Sandar Levin dan Sherrod Brown. (2011). Currency Reform for Fair Trade Act. Diakses dari http://waysandmeans.house.gov/media/pdf/111/hr2378_one-pager.pdf, tanggal 15 April 2012. 89 alasan dalam menentukan prasyarat kebijakan countervailing atau anti-dumping sehingga akan konsisten dengan aturan WTO. Kritik terhadap usulan ini menegasikan pernyataan tersebut dengan argumen bahwa aturan WTO tidak secara spesifik menyertakan manipulasi mata uang sebagai faktor yang dapat digunakan untuk melaksanakan tindakan pemulihan perdagangan, dan dengan demikian, usulan tersebut, jika diberlakukan, dapat ditantang oleh China (dan mungkin oleh anggota WTO lainnya) sebagai tindak pelanggaran aturan WTO.152 Tujuan utama lain dari berbagai rancangan undang-undang terkait di AS ialah untuk menghapus ketentuan dalam undang-undang perdagangan AS yang mensyaratkan Departemen Keuangan dalam mengidentifikasi negara-negara yang sengaja "memanipulasi" mata uangnya. Kementerian Keuangan belum pernah mengidentifikasi negara manapun yang memanipulasi nilai mata uangnya sejak tahun 1994. Beberapa rancangan undang-undang telah berupaya untuk merancang suatu mekanisme dan proses dimana Kementerian Keuangan dapat mengidentifkasi negaranegara dengan kebijakan manipulasi nilai mata uang (berdasarkan kriteria tertentu), terlepas dari maksud kebijakan terkait. Rancangan undang-undang tersebut menyusun beberapa tindakan (beberapa diantaranya bersifat hukuman) yang akan diambil oleh Amerika Serikat untuk memberikan respon nyata terhadap negara-negara tertentu. Beberapa pendukung dari legislasi yang ditujukan untuk China berharap bahwa dengan adanya tindakan nyata ini akan mendorong China untuk mengapresiasi kursnya dengan lebih cepat. Kritik dari rancangan undang-undang ini berpendapat bahwa tindakan AS dapat menimbulkan kebencian dari pihak China dan membuat kebijakan apresiasi menjadi lebih lama. Kekhawatiran lainnya berupa ketakutan bahwa China 152 Business Groups Letter Proposing China Currency Legislation. (2011). Diakses dari http://businessroundtable.org/news-center/business-groups-letteropposing-China-currency-legislation, tanggal 15 April 2012. 90 membalas kembali kebijakan ini dengan melakukan pelarangan yang sama terhadap ekspor AS ke China apabila rancangan ini disahkan menjadi undang-undang. 1. Legislasi Kongres Amerika ke-112 Hingga pada akhir tahun 2011, telah terdapat 5 rancangan undang-undang yang telah diperkenalkan dalam Kongres AS ke-112, yakni H.R. 639, S. 328, S. 1130, S. 1238, S. 1619 (yang berhasil disahkan oleh Senat pada bulan Oktober 2011).153 Berikut merupakan penjabarannya masing-masing: 1.1. H.R. 639/S. 328 H.R. 639 (Sander Levin) dan S. 328 (Sherrod Brown), Undang-undang Reformasi Kurs untuk Perdagangan yang Adil (Currency Reform for Fair Trade Act), diperkenalkan pada tanggal 14 Februari 2011. Rancangan undang-undang ini cukup identik dengan rancangan H.R. 2378 yang disahkan oleh DPR AS dalam Kongres ke111.154 Rancangan undang-undang ini ingin mengklarifikasikan beberapa ketentuan mengenai hukum bea cukai (terkait subsidi ekspor pemerintah asing) yang memperbolehkan Department Perdagangan untuk memperbolehkan kebijakan manipulasi nilai tukar mata uang sebagai suatu bentuk subsidi yang perlu diberikan penanganan khusus.155 Sebagai contoh, undang-undang ini akan mengklarifikasi bahwa kurs yang termanipulasi secara signifikan dianggap oleh Badan Perdagangan sebagai suatu bentuk keuntungan yang diraih oleh pemerintah asing melalui ekspornya. Lebih lanjut, RUU ini juga ingin mengklarifikasi bahwa bentuk subsidi (termasuk di dalamnya yang 153 Sandar Levin dan Sherrod Brown. loc. cit. Ibid. 155 Department of Commerce, International Trade Administration. (2010). Aluminum Extrusions from the People’s Republic of China: Initiation of Countervailing Duty Investigation, Federal Register, 75:80. Diakses dari https://www.federalregister.gov/articles/2010/09/07/2010-22204/aluminum-extrusions-fromthe-peoples-republic-of-china-preliminary-affirmative-countervailing-duty, tanggal 15 April 2012. 154 91 bersangkutan dengan nilai mata uang) juga dapat menguntungkan perusahaanperusahaan non-ekspor (selain perusahaan ekspor itu sendiri). Dengan alasan itu saja, bukan berarti bahwa kebijakan manipulasi mata uang bukanlah merupakan bentuk subsidi yang tidak perlu ditangani di dalam undang-undang bea cukai. Dengan kata lain, interpretasi intervensi nilai tukar mata uang dapat dilakukan dengan melihat kinerja ekspor suatu negara. RUU ini akan mengarahkan Departemen Perdagangan untuk menggunakan, apabila dimungkinkan, data dan metodologi yang digunakan oleh International Monetary Fund (IMF) dalam memperkirakan besaran manipulasi nilai suatu mata uang. Faktor-faktor yang akan digunakan oleh Department Perdagangan untuk menentukan nilai mata uang ini untuk pengukuran dalam undang-undang bea cukai termasuk, antara lain: (1) intervensi mata uang besar-besaran pada pasar kurs dalam jangka waktu yang lama; (2) kisaran besaran intervensi nilai tukar mata uang sebesar 5%; dan (3) cadangan devisa dan aset negara yang bersangkutan melebihi: i. jumlah yang diperlukan negara tersebut untuk membayar kembali surat berharga di tahun yang akan datang; ii. 20% dari keseluruhan persediaan uang dalam negeri; iii. Nilai impor negara yang bersangkutan dalam kurun waktu 4 bulan terakhir.156 RUU ini mengarahkan Departemen Perdagangan untuk memperkirakan subsidi dalam bentuk manipulasi nilai tukar mata uang asing dengan tujuan untuk mengenakan 156 Ibid 92 pajak tambahan, yang kemudian didefinisikan sebagai selisih antara nilai tukar riil dan equilibriumnya (disesuaikan dengan tingkat inflasi negara bersangkutan). RUU ini, lebih lanjut, mengarahkan Badan Perdagangan untuk menggunakan rerata sederhana dalam metodologi yang digunakan IMF dalam penentuan nilai tukar. Jika data yang diperlukan ini tidak dapat diperoleh dari IMF, Badan Perdagangan akan diperbolehkan untuk menggunakan teknik ekonometrik dan metodologi umum ekonomi untuk mengukur nilai manipulasi mata uang. 1.2. S. 1619 S. 1619 (Sherrod Brown) merupakan RUU Reformasi Pengawasan Nilai Tukar Mata Uang (Currency Exchange Rate Oversight Reform Act) tahun 2011, yang diperkenalkan pada tanggal 22 September 2011, dan diloloskan oleh Senat pada tanggal 11 Oktober 2011. RUU ini menyediakan sistem untuk identifikasi mata uang dimanipulasi dan menginginkan tindakan untuk menanggulangi kebijakan pemerintah asing ini. RUU ini menginginkan Departement Perdagangan untuk mengeluarkan laporan untuk Kongres sebanyak dua kali dalam setahun terkait kebijakan moneter internasional dan nilai tukar mata uang, sebagai tambahan dari beberapa ketentuan yang telah ada dalam UU yang telah berlaku.157 Laporan ini meliputi, antara lain sebagai berikut: (1) Deskripsi bentuk intervensi mata uang yang dilakukan baik oleh AS sendiri maupun oleh negara-negara partner dagang AS, atau bentuk tindakan lain yang dilakukan untuk menyesuaikan nilai tukar mata uang negara lain relatif terhadap dolar AS; 157 Sherrod Brown. (2011). 3004 of Omnibus Trade and Competitiveness Act of 1988 (22 U.S.C 5305). Diakses dari http://www.usitc.gov/publications/docs/tata/hts/bychapter/1000htsa.pdf, tanggal 17 Maret 2012. 93 (2) Evaluasi faktor-faktor global dan domestik yang menjadi dasar kondisi pasar kurs; (3) Terkait dengan negara-negara yang menjadi partner dagang AS maupun negara-negara yang memainkan peranan penting dalam ekonomi global, suatu ketentuan oleh Department Keuangan mengenai apakah nilai mata uang mereka dimanipulasi atau tidak; (4) Suatu daftar nilai mata uang yang menjadi fokus perhatian utama (priority action); (5) Suatu identifikasi akan nilai nominal nilai tukar equilibrium jangka menengah relatif terhadap dolar bagi tiap-tiap mata uang yang berada dalam daftar perhatian utama; dan (6) Suatu deskripsi dari setiap konsultasi, termasuk tindakan yang diambil untuk melenyapkan manipulasi mata uang. Departement Keuangan diharapkan untuk melakukan negosiasi dengan negara-negara yang berada dalam daftar perhatian utama.158 Faktor-faktor yang digunakan untuk menentukan negara yang menjadi perhatian utama, termasuk antara lain: (1) Terlibat dalam intervensi pasar mata uang secara besar-besaran, terkhusus apabila tindakan ini disertai dengan ukuran-ukuran sterilisasi tertentu; (2) Terlibat dalam akumulasi devisa untuk menyeimbangkan neraca pembayaran secara besar-besaran dan dalam jangka waktu yang lama; (3) Memperkenalkan atau memodifikasi batasan atau insentif (untuk tujuan neraca pembayaran) terhadap arus modal masuk dan keluar, yang tidak 158 Ibid 94 konsisten dengan tujuan pencapaian konvertibilitas mata uang secara menyeluruh; dan (4) Memberlakukan bentuk-bentuk kebijakan atau tindakan lain yang dianggap oleh Department Keuangan memenuhi prasyarat untuk dimasukkan dalam daftar negara yang harus mendapatkan perhatian utama.159 Apabila suatu negara tergolong ke dalam daftar perhatian utama ini tidak melakukan tindakan untuk memperbaiki kondisi kebijakan manipulasi nilai tukar mata uangnya terhadap dolar Amerika Serikat dalam kurun waktu 90 hari, tindakan-tindakan sebagai berikut akan dikenakan: (1) Suatu investigasi pajak anti-dumping, Department Pedagangan akan diarahkan untuk memperkirakan taraf intervensi yang tengah diberlakukan pada saat membandingkan harga barang import dengan nilai normalnya (yakni harga barang bersangkutan di dalam negeri asal importir) ketika ingin menentukan kebijakan anti-dumping yang tepat; (2) Presiden diharapkan untuk melarang pembelian barang maupun jasa oleh pemerintah pusat dari suatu negara kecuali apabila negara tersebut merupakan anggota dari World Trade Organization (WTP) Government Procurement Agreement (GPA). Walaupun China kini tengah menegosiasikan keanggotannya dalam GPA, China belum menjadi anggota. (3) The Overseas Private Investment Corporation (OPIC) dilarang menyetujui segala bentuk pembiayaan (termasuk asuransi, re-asuransi, atau penjaminan) yang terkait dengan proyek berlokasi di negara bersangkutan. 159 Ibid 95 Ketentuan ini tidak akan memengaruhi China karena OPIC sendiri sudah dilarang beroperasi di China dalam UU AS. (4) Direktur Eksekutif AS pada bank multilateral akan diarahkan untuk menolak persetujuan segala bentuk pembiayaan pemerintah untuk negara, atau proyek yang berlokasi di negara bersangkutan; (5) Amerika Serikat akan meminta kepada IMF untuk memberikan konsultasi khusus kepada negara tersebut sehubungan dengan upaya untuk menghapuskan manipulasi mata uang. 160 Jika negara yang berada pada daftar perhatian utama gagal untuk mengambil langkah yang diharapkan dalam mengurangi intervensi selang 360 hari setelah penetapannya oleh Kementerian Keuangan, hal-hal sebagai berikut akan ditindaklanjuti: (1) Perwakilan Dagang AS akan diminta untuk melakukan konsultasi dengan WTO dengan negara terkait konsistensi negara yang bersangkutan dengan kewajibannya dalam WTO; (2) Sekretaris Kementerian Keuangan akan diminta untuk berkonsultasi dengan Kepala Sistem Bank Federal untuk mengambil tindakan-tindakan intervensi perbaikan terhadap pasar kurs internasional sebagai tanggapan terhadap kebijakan intervensi mata uang dan mengkoordinasikan upaya intervensi ini dengan otoritas moneter lainnya serta IMF 161 S. 1619 juga akan mengubah hukum bea cukai AS untuk mensyaratkan Department Perdagangan memulai suatu investigasi untuk menentukan apakah suatu bentuk kebijakan intervensi nilai mata uang perlu ditanggapi, baik secara langsung 160 161 Ibid Ibid 96 maupun tidak langsung, dengan tanggapan pada bentuk subsidi countervailing apabila suatu petisi diajukan oleh pihak terkait dan disertai dengan informasi yang mendukung tuduhan terkait. RUU ini juga akan mengklarifikasi, fakta terkait subsidi yang berhubungan intervensi nilai mata uang, fakta bahwa suatu subsidi (yakni nilai mata uang termanipulasi) juga dapat menguntungkan perusahaan dari sektor non-ekspor, dan karena alasan ini saja, berarti bahwa subsidi ini tidak dapat dianggap memiliki kaitan dengan perkembangan besaran ekspor. RUU ini mencakup ketentuan pengecualian terhadap negara dalam daftar prioritas utama dan proses dimana Kongres dapat tidak menyutujui pengecualian ini. S. 1619 juga akan menambah ketentuan terhadap hukum anti-dumping AS yang akan mensyaratkan Department Perdagangan untuk memasukkan negara dalam daftar perhatian utama sebagai salah satu faktor untuk dipertimbangkan selama peninjauan kembali dilakuakan untuk menentukan apakah perubahan terkait ekonomi negara berbasis non-pasar menjadi ekonomi negara berbasis pasar. Untuk tujuan mengukur keuntungan yang diperoleh dari intervensi nilai tukar mata uang dalam kasus bea cukai pada umumnya, pihak Perdagangan akan diarahkan untuk membandingkan rerata sederhana dari tingkat nilai tukar nyata dari penerapan pendekatan nilai tukar riil equilibrium dan pendekatan keseimbangan makroekonomi terhadap nilai tukar sehari-hari yang resmi. Metode ini akan berdasarkan pada data IMF dan Bank Dunia, jika tersedia, atau pada organisasi internasional dan pemerintah lainnya jika data yang dibutuhkan tidak tersedia. Untuk kasus yang melibatkan negara dengan manipulasi nilai mata uang dalam daftar perhatian khusus, S. 1619 akan memberikan arahan terhadap pihak Perdagangan untuk mengkalkulasikan keuntungan dari manipulasi nilai mata uang dengan membandingkan nilai nominal diasosiaikan 97 dengan sistem nilai tukar seimbang dari mata uang negara eksportir terhadap nilai tukar resmi dalam keseharian. Untuk tujuan kasus pajak anti-dumping bagi negara di dalam daftar perhatian utama, S. 1619 akan mengarahkan Departement Perdagangan untuk menyesuaikan harga sesuai dengan harga ekspor atau harga ekspor nyata untuk merefleksikan besaran manipulasi nilai mata uang negara eksportir. Manipulasi mata uang didefinisikan sebagai suatu pengurngan nilai mata uang secara signifikan dan berkelanjutan dari nilai mata uang efektif riil yang sebenarnya, disesuaikan dengan faktor-faktor transisi dan berulang, dari nilai seimbang jangka menengahnya. Istilah manipulasi mata uang dan ukuran manipulasi ini dalam H.R. 639/S. 328 dam S. 1619 nampaknya dirancang sebagian besar dari Keputusan atas Pengawasan Bilateral Kebijakan Anggota (Decision on Bilateral Surveillance over Members’ Policies) IMF pada tahun 2007. 1.3. S. 1130 S. 1130 dan S. 1267 (John Rockefeller) akan, antara lain, memperlakukan “manipulasi nilai tukar mata uang” sebagai subsidi yang dapat ditindaklanjuti di bawah undang-undang bea cukai AS. Manipulasi nilai tukar mata uang dideginisikan sebagai intervensi besar-besaran dalam kurun waktu yang panjang untuk mengurangi nilai mata uang suatu negara di pasar pertukaran. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mencegah pencegahan efektif neraca pembayaran atau memperoleh keuntungan sepihak dari negara lainnya.162 1.4. S. 1238 S. 1238 (Olympia Snowe) menginginkan, sebelum Kongres menyutujui rancangan UU manapun yang menerapkan perjanjian perdagangan bebas atau 162 Senator John Rockefeller, Press Release, 21 Juni 2011. Diakses dari http://www.whitehouse.gov/briefing-room/press-briefings, tanggal 17 Maret 2012. 98 memperluas status hubungan dagang permanen terhadap negara lain; Presiden harus pertama-tama mengakui bahwa pemerintah yang bersangkutan memiliki potensi sebagai partner dagang namun dalam kurun 10 tahun setelah pengakuan tetap melakukan intervensi nilai mata uang dengan tujuan memperoleh keuntungan dari partner dagangnya melalui pasar internasional. Sebagai tambahan, Senat akan menahan pertimbangan mengenai perjanjian perdagangan apabila suatu peryataan klarifikasi dikeluarkan oleh anggota senat siapapun dan tidak disertai dengan persetujuan Presiden. Sponsor dari rancangan undang-undang ini menginginkan suatu model yang memberikan insentif bagi negara-negara lain agar tetap mampu bersaing dengan produk ekspor China dengan harga yang rendah. Rancangan undang-undang ini, seperti yang dikutip melalui pernyataan Senator Olympia, “intended to send the message that a key precondition to entering into any trade agreement with the U.S. should be the clear absence of any governmental currency intervention or manipulation.”163 Dengan demikian, seluruh barang impor yang masuk ke dalam Amerika Serikat hanyalah barang yang bebas dari segala bentuk intervensi dan manipulasi nilai tukar mata uang. 2. Posisi Pemerintahan Obama dan Respon Kebijakan Amerika Serikat Presiden Obama menyatakan pada bulan Februari 2010 bahwa nilai mata uang China yang dimanipulasi menempatkan perusahaan-perusahaan AS pada posisi yang tidak menguntungkan. Presiden Obama menyatakan akan menjadikan fenomena ini sebagai salah satu prioritas kebijakan moneternya.164 Dalam suatu konferensi berita 163 Senator Olympia Snowe, Press Release, 21 Juni 2011. Diakses dari http://www.whitehouse.gov/briefing-room/press-briefings, tanggal 17 Maret 2012. 164 The White House, Remarks by the President at the Senate Democratic Policy Committee Issues Conference, 3 Februari 2010. Diakses dari http://www.whitehouse.gov/briefing-room/statements-andreleases, tanggal 17 Maret 2012. 99 pada bulan November 2011, Obama juga menyatakan bahwa China perlu untuk meneruskan inisiatif untuk bergerak ke arah sistem dimana nilai mata uangnya ditentukan berdasarkan kondisi pasar dan bahwa AS dan negara-negara lain merasa bahwa kebijakan seperti ini harus segera dihentikan.165 Pemerintah AS menyambut keterlibatan Kongres dalam menanggapi kebijakan moneter China sepanjang proposal legislasi yang diajukan tidak bertentangan dengan kewajiban AS dalam keanggotaan WTO dan tidak mempersulit negosiasi AS-China, baik secara bilateral maupun multilateral terkait isu manipulasi ini. Pemerintah eksekutif AS tidak mengindikasikan secara publik bahwa mereka mendukung atau menolak RUU DPR yang disahkan H.R. 2378 dalam Kongres ke-111. Pada masa pertimbangan RUU S. 1619 oleh Senat pada bulan Oktober 2011, salah seorang perwakilan eksekutif AS menyatakan bahwa “kami memiliki kesamaan tujuan dengan legislasi yang sedang dibahas dalam mengambil tindakan untuk memastikan bahwa pekerja dan perusahaan AS bersaing secara adil dengan China, termasuk terkait manipulasi nilai mata uang China, isu yang telah kami bicarakan, serta Sekretaris Geithner dan lainnya telah bicarakan sebelumnya. Aspek-aspek dalam legislasi, seperti yang saya maksudkan sebelumnya, mengangkat kekhawatiran mengenai konsistensi AS dengan kewajiban internasionalnya, yang menyebabkan mengapa kami masih sedang berada dalam proses mendiskusikannya dengan Kongres. Apabila RUU ini disahkan, kami berharap kekhawatiran ini terselesaikan.”166 Pemerintah Obama telah mengupayakan negosiasi langsung dengan pihak China terkait isu ini melalui Dialog Ekonomi dan Strategis (Strategic & Economic 165 The White House, News Conference by President Obama, 14 November 2011. Diakses dari http://www.whitehouse.gov/briefing-room/statements-and-releases, tanggal 17 Maret 2012. 166 The White House, Press Briefing by Press Secretary Jay Carney, 12 Oktober 2011. Diakses dari http://www.whitehouse.gov/briefing-room/press-briefings, tanggal 17 Maret 2012. 100 Dialogue (S&ED)) dam Komisi Gabungan Perdagangan (Joint Commission on Commerce and Trade (JCCT)).167 Pada akhir sesi S&ED pada bulan Mei 2011, Sekretaris Keuangan Tim Geithner menyatakan: “Kami berharap bahwa China bergerak ke arah dimana nilai tukar mata uangnya diapresiasikan secara meluas terhadap nilai mata uang partner dagangnya. Dan penyesuaian ini, tentunya, sangat kritis bukan hanya bagi upaya China yang sedang berlangsung melainkan juga untuk menahan tekanan inflasi dan untuk mengatur risiko yang dibawa oleh arus modal masuk terhadap pasar aset dan kredit, serta untuk mendorong pergesaran besar ini terhadap suatu strategi pertumbuhan yang dipimpin berdasarkan permintaan domestik.”168 Sebagai tambahan, AS juga berupaya menggunakan jalur multilateral, seperti Group of 20 (G-20) negara-negara ekonomi maju dan berkembang serta IMF, sebagai cara untuk mendorong kerjasama internasional terkait neraca eksternal dan kebijakan nilai tukar dan untuk membawa lebih banyak tekanan terhadap China untuk mengapresiasi mata uangnya. Sebagai contoh, pada tanggal 20 Oktober 2010 Sekretaris Geithner mengeluarkan proposal yang ditujukan terhadap pertemuan G-20 antara menteri keuangan dan gubernur bank sentral pada tanggal 23 Oktober 2010. Proposal ini memuat setidaknya tiga poin utama:169 (1) Negara-negara G-20 harus berkomitmen untuk mengambil langkahlangkah untuk mengurangi ketidakseimbangan eksternal (surplus dan defisit) dibawah porsi khusus dari PDBnya dalam beberapa tahun ke depan. 167 Isu nilai tukar mata uang China juga merupakan salah satu topic utama dalam China-AS Strategic Economic Dialogue (SED) yang dimulai sejak pemerintahan Bush tahun 2006. 168 U.S. Department of State, Joint Closing Remarks for the Strategic and Economic Dialogue, 10 Mei 2011, diakses dari http://www.state.gov/secretary/rm/2011/05/162969.htm tanggal 26 September 2011. 169 United States Department of Treasury. (2010). Dear G-20 Colleagues Letter, 20 Oktober. Diakses dari http://www.thechicagocouncil.org/UserFiles/File/GlobalAgDevelopment/Newsletter/Letter%20to%20G2 0%20Food%20Security%20October%2018.pdf, tanggal 17 Maret 2012. 101 (2) Negara-negara G-20 harus berkomitmen untuk tidak melakukan kebijakan yang sengaja dibuat untuk memperoleh keuntungan sepihak, baik dengan cara melemahkan nilai mata uang sendiri atau dengan mencegah apresiasi nilai mata uangnya sendiri. Negara-negara berkembang G-20 dengan nilai mata uang yang dimanipulasi (dengan jumlah devisa yang cukup) perlu untuk membiarkan nilai tukarnya menyesuaikan diri dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi ekonomi. Negara-negara maju G-20 harus bekerja sama untuk memastikan pencegahan volatilitas berlebihan dan pergerakan tak teratur dari nilai tukar mata uang. (3) G-20 perlu menyerukan agar IMF mengambil peran khusus dalam memonitor perkembangan komitmen-komitmen terkait dan perlu untuk mengeluarkan laporan semi tahunan yang mengavaluasi perkembangan negara-negara G-20 dalam pencapaian tujuan ini. China dan beberapa negara anggota G-20, walaupun menyatakan persetujuannya akan upaya menyeimbangkan perekonomian global, menolak untuk sepakat dalam penentuan target matematis. Banyak pakar ekonomi AS berpendapat bahwa nilai mata uang China yang ditahan di bawah nilai sesungguhnya menimbulkan dampak global yang mencegah keseimbangan makroekonomi global. Bagian akhir skripsi ini akan memaparkan analisa mengenai opsi kebijakan yang tersedia bagi AS; dimana kebijakan melalui jalur multilateral dianggap berjalan lebih lamban, namun opsi ini memiliki kecenderungan yang lebih minim dalam memprovokasi repson politik yang negatif. Namun demikian, hal pertama yang perlu dilakukan oleh AS ialah menentukan prinsip yang kuat dalam mengambil sikap. 102 Dalam dinamika politik Amerika Serikiat yang semakin memanas terkait kebijakan nilai mata uang China, terdapat berbagai macam desakan agar AS segera mengambil tindakan. Namun setidaknya, sebelum AS benar-benar mengambil kebijakan respon untuk China, harus dipertimbangkan terlebih dahulu tindakan seperti apa yang AS inginkan agar dilakukan oleh China. AS harus dengan hati-hati melihat dampak yang akan ditimbulkan oleh kebijakan tertentu dan bagaiman reaksi balik China terhadap kebijakan tersebut. Terdapat suatu opini publik yang kuat di AS bahwa nilai tukar mata uang China telah secara signifikan membawa kerugian bagi kestabilan situasi ekonomi global. Bagi mereka yang percaya akan pandangan ini, mereka beranggapan bahwa nilai patok mata uang yang diberlakukan China tidak dapat ditolerir. Lalu, kebijakan seperti apa yang dapat diterima oleh AS? Dan bagaimana seharusnya sikap terbaik AS dalam menanggapi isu ini? Dalam upaya untuk menjawab pertanyaan analisa di atas, dapat dipertimbangkan beberapa kemungkinan skenario. Pertama ialah bahwa China dapat melanjutkan kebijakan apresiasi yang diberlakukan pada tahun 2005-2008, pada besaran rata-rata 6% setiap tahun. Kebijakan seperti ini mungkin tidak akan memiliki dampak yang signifikan terhadap AS dalam jangka waktu menengah. Dengan merujuk pada sejarah, kebijakan apresiasi sejarah justru mendorong pertumbuhan surplus dan cadangan devisa China. Kemungkinan kedua ialah apresiasi besar-besaran yang dilakukan “sekaligus”. Namun dengan besaran total nilai RMB yang dimanipulasi berkisar antara 25% sampai 40%, apreasiasi besar-besaran seperti ini akan menimbulkan ancaman pergeseran dalam 103 perekonomian China, yang kemudian akan lepas kendali nantinya.170 Lebih lanjut, kebijakan ekstrim seperti ini tidak akan menstimulasi konsumsi China, setidaknya bukan dalam jangka waktu menengah. Kemungkinan ketiga ialah bahwa China dapat menghindari pertanyaan mengenai seberapa cepat China harus mengapresiasi nilai dolar dengan membiarkannya mengambang sesuai dengan situasi pasar sekarang. Hal ini dapat membuka kesempatan dimana RMB dapat diperjual belikan secara lebih bebas. Namun demikian, hal ini juga hanya akan menambah ketidakpastian yang dapat menyebabkan kejutan ekonomi terhadap China dan belum begitu pasti bahwa nilai mata uang China akan tetap terapresiasi sesuai dengan harapan melalui metode seperti ini. Apabila nasabah China bebas memutuskan dimana mereka ingin menyimpan uangnya di mana pun di dunia ini, akan terdapat arus modal keluar RMB secara besar-besaran terhadap mata uang lain sehingga menimbulkan depresiasi. Permasalahan utama dari kebijakan AS ialah sulitnya mengadakan perbedaan antara tindakan China yang seperti apa yang dapat diterima dan tidak dapat diterima. Pada saat AS menempatkan dirinya pada posisi sebagai pihak yang mengeluarkan peringatan, AS harus mengetahui bagaimana membedakan respon China yang sesuai dengan harapan dan yang tidak. Apakah 1% tingkat apresiasi tahunan cukup? Bagaimana dengan persentase tingkat pertumbuhan? Apakah penerimaan terhadap sikap China ditentukan dari persentasi apreasiasi nilai tukar mata uangnya? Tidak ada jawaban yang mudah atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Tanpa suatu basis prinsip sikap, kebijakan AS akan terlihat semena-mena saja. Dengan tidak adanya tolak ukur standar respon yang jelas, pendekatan yang paling 170 Wayne M. Morisson dan Marc Labonte. (2011). op. cit. hal. 6. 104 masuk akal saat ini ialah bekerja sama dengan negara lain dengan posisi yang sama dalam mengklarifikasi aturan-aturan internasional terkait. Merupakan hal yang umum bagi para politisi China untuk menjadikan dua hal berikut sebagai sumber legitimasi kebijakan: kinerja ekonomi dan nasionalisme (Shirk 2007).171 Pemerintah China harus mengendalikan situasi yang sulit antara inflasi yang timbul akibat adanya kelebihan suplai uang dalam negeri dan pengagguran yang dapat timbul dari kebijakan apresiasi mata uang. Posisi China yang cenderung menunda-nunda dalam menentukan sikap membuat pilihan antara kedua opsi ini menjadi semakin sulit untuk diambil. Kendala sentimen nasionalis yang melekat di China seringkali tidak begitu nyata dan seingkali dihubungkan dengan trauma masa lalu dalam sejarah China. Trauma ini memang nyata dan spesifik, seperti perang antara China dan Jepang, atau berhubungan dengan masa-masa suram bagi ekonomi China yang ditandai dengan istilah “abad memalukan - century of humiliation" yang terjadi pada masa perang opium di pertengahan abad ke-19. Masa-masa dikenal sebagai masa awal upaya membuka perdagangan China ke dunia luar. Implikasi praktis dari nasionalisme China dalam konteks ini adalah bahwa masih ada kepekaan bangsa China terhadap penghinaan di panggung internasional. Pejabat pemerintah dapat merasa dibatasi dalam tindakan mereka dan mungkin hal ini semakin mempertebal rasa sentimen nasionalis China. Bukan hanya karena keberhasilan ekonomi China tahun terakhir yang membuat pemimpin China menjadi lebih berani bersikap menentang tuntutan internasional, tetapi karena meningkatnya Susan Shirk. (2007). Fragile Superpower: How China’s Internal Politics Could Derail Its Peaceful Rise. Oxford: Oxford University Press. 171 105 persaingan politik dalam negeri membuat pemerintah berupaya sekeras mungkin agar tidak terlihat lemah di depan publik.172 Dalam konteks apresiasi mata uang China, pemimpin China kemungkinan akan mempertimbangkan tidak hanya implikasi ekonomi namun juga dampak politik dalam negeri apabila pemerintah China tunduk terhadap ancaman atau tuntutan asing. Dari perspektif kepemimpinan itu, hasil terburuk yang mungkin akan menjadi konsesi kebijakan yang mengkombinasikan risiko gejolak ekonomi dengan kehilangan muka akibat tunduk terhadap tekanan Barat. Hal ini cukup dipahami, terutama karena pemerintahan China masih bersifat sangat sentralistis. 3. Opsi-opsi Kebijakan Alternatif Sampai pada masa ini, dua gelombang pemerintahan terakhir telah berupaya untuk merumuskan strategi diplomasi diam yang memiliki catatan kesuksesan yang tidak selalu berhasil. China terpaksa mengapresiasi nilai mata uangnya sebesar 20% pada tahun 2005-2008. Di luar periode ini, namun demikian, nilai RMB tetap konstan terhadap nilai dolar AS.173 Kebijakan-kebijakan alternatif dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yakni pendekatan unilateral dan multilateral. Pendekatan ini bukan berdasarkan atas otoritas mana yang akan mengajukan komplain terhadap China, namun sematamata berdasarkan kondisi apakah AS perlu melakukan tekanan sendiri atau bersamasama dengan negara lain. Ketika AS melakukan tekanan ini sendiri, kemungkinan respon balasan politik dari pemerintah China cenderung bersifat negatif, demikian sebaliknya. 172 Michael Wines. (2010). China Blames US for Strained Relations. New York Times, 7 Maret. 173 Wayne M. Morrison dan Marc Labonte. (2009). op. cit. hal. 11. 106 3.1. Opsi kebijakan unilateral 3.1.1. Label manipulasi mata uang Kementerian Keuangan menunda keputusan mengenai apakah China telah memanipulasi nilai mata uangnya, namun pada akhirnya harus mengambil keputusan terkait. Memberikan label yang bersifat peyoratif kepada China akan membuat kondisi politik yang semakin sulit bagi China untuk memaksa mengubah kebijakannya. Namun demikian, juga diperlukan langkah-langkah tambahan yang akan memberikan konsekuensi secara ekonomi bagi China bila perubahan substansial memang sangat diperlukan. 3.1.2. Subsidi countervailing Salah satu ide yang paling terkemuka berkenaan dengan tindakan yang dapat diambil oleh AS ialah dengan memperlakukan manipulasi nilai mata uang China sebagai tindakan subsidi perdagangan yang perlu ditindaklanjuti. Akan tetapi, terdapat tiga masalah dengan pendekatan ini. Pertama, kasus pemberlakuan bea cukai subsidi pedagangan memiliki cakupan yang sempit dan sulit untuk disimpulkan. Hal ini membatasi dampak ekonomi yang diharapkan baik terhadap China maupun terhadap melambatnya perekonomian global dunia. Kedua, cukup diragukan bahwa kebijakan ini sejalan dengan ketentuan WTO. Gary Hufbauer dari Peterson Institute berpendapat bahwa bea cukai subsidi perdagangan harus melibatkan kontribusi finansial pemerintah dan bersifat spesifik, bukan general seperti dalam kebijakan manipulasi perdagangan. Kebijakan manipulasi perdagangan berlaku umum, dan bukan khusus ditujukan kepada industri tertentu, dan belum ada kasus pendahulu dimana kebijakan ini dianggap sebagai pemberian kontribusi finansial. Terakhir, keputusan pemberlakuan bea cukai subsidi perdagangan 107 akan mengusik China namun tidak akan cukup kuat dalam memberikan alasan bagi China untuk menjadikannya landasan perubahan kebijakan. 174 3.1.3. Gugatan World Trade Organization (WTO) Ide opsi kebijakan ketiga ialah dengan menggugat kasus China sebagai bentuk pelanggaran ketentuan dalam pasal XV WTO.175 Pasal ini menyebutkan, seperti berikut: "Angota WTO tidak diperbolehkan, melalui metode pertukaran, menggagalkan tujuan yang dibangun dalam perjanjian ini." Apabila panel tim penyelesaian masalah WTO memutuskan memihak terhadap gugatan AS dengan landasan komplain terhadap pelanggaran Pasal XV, AS akan diperbolehkan untuk meningkatkan tarif tambahan terhadap produk China apabila China menolak untuk mengubah kebijakannya. Akan tetapi, juga terdapat dua permasalahan utama dengan pendekatan ini. Pertama, upaya penyelesaian sengketa dagang oleh WTO dapat memakan waktu selama bertahuntahun; dengan demikian hasil yang diinginkan tidak akan didapatkan dalam waktu dekat ini. Kedua, tidak terdapat metode pendahulu tentang bagaimana cara menginterpretasi Pasal XV WTO, juga tidak terdapat bahasa negosiasi maupun panduan yang akan dijadikan acuan oleh panel penyelesaian sengketa dagang WTO dalam menetapkan keputusan sejauh mana kebijakan China dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap ketentuan ini. Dengan demikian, panel penyelesaian sengketa dagang AS mungkin tidak akan mengabulkan gugatan AS, atau mengabulkannya atas dasar prinsip-prinsip yang kabur. Walaupun AS seringkali menentang tindakan 174 Gary Hufbauer. (2007). The US Congress and the Chinese Yuan. Paper presented at the conference on China’s Exchange Rate Policy, Peterson Institute for International Economics, Washington DC, 19 Oktober. 175 International Monetary Fund. (2006). Agreement Between the International Monetary Fund and the World Trade Organization. Diakses dari http://www.worldtradelaw.net/articles/ahnimf.pdf, tanggal 10 Maret 2012. 108 keputusan panel WTO atas prinsip demikian, keputusan panel yang mendukung gugatan AS hanya bisa dilakukan dengan cara tersebut. 3.1.4. Tarif Sepihak Tindakan unilateral paling tegas yang dapat diambil oleh AS ialah dengan menggunakan tarif lintas sektor yang baru-baru ini sering diadvokasikan oleh Paul Krugman.176 Berbeda dengan tindakan lainnya, kebijakan ini akan mengakibatkan kerugian ekonomi langsung bagi China, namun di saat yang bersamaan akan memaksimalkan kemungkinan penghindaran konflik politik di dalam pemerintahan China terkait nasionalisme yang menyebabkan China dipandang tidak diperbolehkan untuk menurut terhadap tuntutan negara-negara barat. Akan tetapi, dengan terangterangan melanggar komitmen AS di bawah WTO, tarif sepihak akan melakukan kerusakan permanen pada sistem berbasis ekonomi multilateral. Ini bisa menjadi bencana bagi ekonomi AS yang terintegrasi ke dalam ekonomi dunia dan cenderung menjadi lebih bergantung pada ekspor untuk pertumbuhannya. Selain itu gangguan dalam kerja sama dan hubungan akan tidak akan terbatas hanya pada batas-batas sempit hubungan perdagangan dan mata uang. Pendukung pemberlakuan tarif sepihak tidak begitu memerdulikan adanya konsekuensi jangka panjang ini selama bahwa tarif sepihak dapat segera membantu mencapai tujuan jangka pendek AS terlepas dari keinginan China untuk turut memperbaiki kebijakannya atau tidak. Hal ini sangat mengkhawatirkan. Tindakan bilateral demikian dapat segera dielakkan oleh penataan kembali arus perdagangan dunia, secara efektif membalikkan pergeseran pola perdagangan yang mengiringi kenaikan perekonomian China. 176 Paul Krugman. (2010). Capital Export, Elasticity Pessimism, and the Renminbi (Wonkish), The Conscience of a Liberal. New York Times, 16 Maret. 109 Bagi banyak produsen barang China dengan harga yang sangat murah, pesaing utama produk mereka bukanlah perusahaan AS melainkan perusahaan-perusahaan dari negara-negara berkembang. Meskipun jika AS ingin masuk dalam jalur bisnis dimana China menjadi kurang diuntungkan, penyesuaian tersebut membutuhkan waktu. Dengan demikian, hanya ada sedikit peluang dimana keuntungan jangka pendek dapat mengimbangi biaya jangka panjang yang nantinya lebih mengejutkan. Pada kesimpulannya, setiap pendekatan sepihak akan menghadapi ketegangan bilateral yang tak terhindarkan akan selalu menyertainya dan oleh sulitnya menetapkan aturan global tanpa sebuah konsensus yang lebih luas, terutama dengan tidak adanya jawaban teknis yang jelas. 3.2. Pendekatan Multilateral Pendekatan multilateral akan mampu menghindari dampak politis yang lebih negatif. Namun demikian, pendekatan multilateral memiliki tantangannya sendiri. Mengkoordinasi tindakan secara multilateral membutuhkan waktu yang panjang sehingga dapat memperlambat pencapaian kepentingan AS dalam hal ini. Namun demikian, perlu diketahui opsi-opsi apa saja yang dimiliki oleh dalam jalur penyelesaian isu ini secara multilateral. 3.2.1. Peran World Trade Organization (WTO) Aaditya Mattoo dan Arvind Subramanian (2008) pernah mengajukan suatu aturan baru dan lebih jelas di bawah WTO mengenai sikap terhadap penentuan nilai tukar mata uang.177 Yurisdiksi dari WTO ialah untuk memberikan pengawasan dan memberlakukan ketentuan segala hal yang berkaitan dengan kegiatan perdagangan antar negara, maupun hal-hal yang dapat berpotensi menghambat kegiatan perdagangan 177 Aaditya Mattoo dan Arvind Subramanian. (2008). Currency Undervaluation and Sovereign Wealth Funds: A New Role for the World Trade Organization. Peterson Institute Working Paper WP 08-2, January. 110 tersebut. Mattoo dan Subramanian menyatakan terdapat keterbatasan kompetensi oleh sekretariat WTO terkait kasus manipulasi keuangan, namun demikian WTO dapat menjalin kolaborasi dengan IMF.178 Namun demikian, terdapat tantangan yang besar bagi kemungkinan keberhasilan WTO dalam mengadopsi peraturan demikian. Metode utama untuk mengadopsi perubahan peraturan dalam Doha Development Agenda, mengalami kendala. Ada pun segala bentuk perubahan peraturan atau pemberlakuan peraturan baru, memerlukan konsensus dari seluruh anggota WTO, termasuk China sendiri. 3.2.2. Peran International Monetary Funds (IMF) Direktur Manager IMF telah menyatakan pandangan IMF bahwa nilai tukar RMB memang mengalami ketidaksesuaian harga (Wall Street Journal 2010).179 Manipulasi nilai tukar merupakan subyek dimana IMF memiliki keahlian dan pengetahuan yang cukup dan sesuai dengan mandat pendirian perjanjian dan penetapan perannya yang disetujui oleh negara-negara anggotanya untuk memperbaiki kondisi terkait. Tapi daya kerja IMF untuk memberlakukan suatu tindakan pada negara anggota umumnya terbatas pada kondisi persyaratan pinjaman. Ini hanya bekerja jika negara berusaha untuk meminjam dan memiliki relevansi ketika negara seperti China terlibat dalam pinjaman yang berlebihan. Dengan mengesampingkan masalah penegakan, IMF akan menjadi lembaga yang tepat di mana untuk menetapkan norma-norma baru untuk perilaku keuangan internasional, jika kesepakatan tentang norma-norma ini dapat terbangun. 178 Ibid Nicholas Winning. (2010). IMF Strauss-Kahn: China’s Currency Is Undervalued. PEDaily. Diakses dari http://www.pedaily.cn/Item.aspx?id=189323, tanggal 17 Maret 2012. 179 111 3.2.3. Kesepakatan Norma Internasional Jika ternyata bahwa kesepakatan mengenai norma-norma baru tidak bisa dibangun di bawah naungan IMF, alternatifnya adalah dengan mendorong kesepakatan mengenai prinsip-prinsip yang diinginkan melalui organisasi kelompok seperti G7 atau G20. Sementara G20 menawarkan legitimasi yang lebih tinggi dengan memasukkan negara-negara seperti Brazil, China, dan India, tentu membuat konsensus lebih sulit untuk dicapai. Kembalinya pengelompokan yang lebih kecil dapat memfasilitasi konsensus dan memudahkan pengambilan tindakan dan keputusan. Tak satu pun dari pendekatan multilateral menawarkan jalan pintas yang cepat atau mudah dalam meluluskan suatu kepentingan. Pendekatan ini, bagaimanapun, menawarkan kemungkinan pengembangan seperangkat aturan untuk perilaku keuangan internasional yang bisa mengatur ekonomi internasional selama bertahun-tahun yang akan datang. Selanjutnya, dengan menghindari antagonisme konflik bilateral, pendekatan multilateral bisa membuat kondisi secara politis menjadi lebih mudah bagi China untuk menyetujui aturan baru. Kemungkinan terakhir adalah bahwa pemerintah AS menunjukkan kesabaran dan menunggu ruang bagi tekanan domestik China sendiri untuk pemberlakuan revaluasi di China. Inilah yang pemerintahan Obama tampaknya inginkn dengan keputusannya untuk menunda laporannya mengenai manipulator mata uang. Jika harapan ini tercapai dan China dengan cepat melonggarkan patokan nilai mata uangnya, tekanan internasional diharapkan terus berkurang. Jika China melakukan tindakan penundaan lebih lanjut, seruan keras akan kembali disuarakan dengan tekanan yang lebih besar. 112 3.3. Opsi Kombinasi Kebijakan Unilateral dan Multilateral Inisiatif untuk peningkatan substansial dalam nilai renminbi demikian jelas dan cukup terlihat. Beberapa pengamat percaya bahwa China sebenarnya mempersiapkan untuk segera memperbaharui apresiasi bertahap nilai tukar RMB seperti pada pertengahan tahun 2005 sampai pertengahan 2008 (5% sampai 7% per tahun) atau bahkan akan melakukan (5% sampai 10%) revaluasi sekali secara cukup dramatis (dengan atau tanpa upaya melanjutkannya secara lebih perlahan sesudahnya).180 Di sisi lain, Perdana Menteri Wen Jiabao baru-baru ini membantah bahwa renminbi mereka kurang terapresiasi sama sekali dan menuduh negara-negara lain berusaha untuk memperluas ekspor dan menciptakan lapangan kerja secara tidak adil melalui depresiasi nilai tukar mereka. Sayangnya, dua strategi yang lebih disukai untuk mendorong tindakan China alasan manis dan pelaksanaan peraturan multilateral, terutama di IMF – memiliki rekam keberhasilan yang belum cukup memuaskan. Kedua upaya harus terus berlanjut, bagaimanapun, dan ini sangat penting bahwa setiap inisiatif desakan terhadap China dilakukan secara multilateral. China jauh lebih mungkin untuk merespon secara positif terhadap suatu koalisi multilateral dibandingkan terhadap tekanan bilateral dari AS, terutama jika koalisi tersebut berisi sejumlah pasar berkembang dan negara berkembang dimana China senantiasa mengklaim sebagai pemimpin. Selain itu, upaya multilateral yang tersedia harus lebih dioptimalkan lagi dan ini secara khusus menjadi sangat penting bagi AS untuk mengupayakan segala bentuk pendekatan multilateral terlebih dahulu sebelum berpikir untuk mengambil langkah-langkah sepihak yang lebih tegas. 180 Ibid 113 Sebagian besar kesalahan atas kegagalan kebijakan sampai saat ini jatuh pada Pemerintah AS, yang belum bersedia untuk memberi label China sebagai manipulator mata uang yang telah begitu jelas berlangsung selama beberapa tahun. Keengganan AS untuk menerapkan bahasa sederhana dari Undang-Undang Perdagangan Tahun 1988 telah secara substansial menurunkan kredibilitasnya dalam mencari aksi internasional melawan China di IMF, WTO, G20, atau di tempat lain. Sebuah strategi yang masuk akal dan efektif harus dimulai dengan membalikkan posisi tidak berdaya ini. Berikut direkomendasikan agar pemerintah AS membentuk suatu strategi tiga lapis untuk mendorong apreasiasi substansial yang lebih cepat dari nilai RMB: (1) Memberikan label China sebagai negara "manipulator nilai mata uang" dalam laporan nilai tukar berikutnya pada tanggal 15 April di Kongres, seperti yang diisyaratkan dalam undang-undang, dan mamasukkannya ke dalam negosiasi dengan China agar menyelesaikan permasalahan terkait mata uang ini. (2) Diharapkan melalui dukungan dari negara-negara Eropa, dan sebanyak mungkin negara dengan pertumbuhan ekonomi yang stagnan maupun negara berkembang, untuk berkonsultasi dengan keputusan IMF (melalui pengambilan keputusan 51% mayoritas suara voting negara anggota) untuk membentuk suatu badan konsultasi “spesial” atau “ad hoc” untuk mendesak China dalam penerapan apreasiasi nilai mata uangnya dan perbaikan situasi yang telah diakibatkan kebijakannya. Jika upaya konsultasi ini tidak membuahkan hasil, AS perlu meminta Badan Eksekutif IMF untuk memutuskan (melalui 70% suara mayoritas) untuk menerbitkan suatu 114 laporan yang mengkritisi kebijakan penetuan nilai tukar mata uang China.181 (3) Diharapkan dengan koalisi besar-besaran, AS dapat mempergunakan haknya untuk meminta WTO menyusun suatu badan koalisi yang berfungsi untuk mengukur apakah China telah melanggar ketentuan dalam Pasal XV (“gangguan secara sengaja terhadap mekanisme pasar melalui kegiatan tukar-menukar”) yang telah disetujui China di dalam Deklarasi pembentukan WTO, serta mewajibkan China untuk mengambil langkahlangkah tertentu dengan tujuan mengurangi dampak negatif dari intervensi nilai mata uangnya ini. Suatu inisiatif dengan tiga lapisan kebijakan ini akan memfokuskan perhatian dunia global terhadap ketidaksesuain nilai mata uang China dan keengganannya dalam mengambil tindakan untuk memperbaikinya hingga sampai pada masa ini. Upaya ini akan membuahkan hasil yang optimum apabila dilakukan secara simultan oleh negaranegara yang memiliki kepentingan serupa, karena besaran ekonomi dan bagiannya dalam ekonomi global yang serupa, baik itu negara berkembang maupun negara maju seperti Eropa dan negara berpendapatan tinggi lainnya. Negara-negara Asia, seperti Jepang dan India juga mengalami hantaman yang kuat akibat ketidaksesuaian nilai mata uang China ini, juga diharapkan untuk turut serta menyuarakan desakan yang sama untuk menumbuhkan koalisi dan dengan demikian menambah ukuran tekanan internasional yang diarahkan ke China. Tujuan dari desakan ini tentu saja untuk membujuk China ke dalam tindakan korektif. Sayangnya, IMF tidak memiliki sanksi yang dapat digunakan terhadap tindak 181 International Monetary Fund. (2006). Agreement Between the International Monetary Fund and the World Trade Organization. Diakses dari http://www.worldtradelaw.net/articles/ahnimf.pdf, tanggal 10 Maret 2012. 115 penyimpangan seperti ini (kecuali dalam bentuk prasyarat pinjaman, seperti austerity measures yang diberlakukan pada Italia). Oleh karena itu WTO, yang dapat mengotorisasi sanksi perdagangan terhadap kasus pelanggaran anggaran dasar, perlu dilibatkan. Sayangnya, ada masalah teknis dan hukum dengan aturan WTO (seperti aturan IMF) sehingga aturan dasar WTO juga mungkin perlu diubah untuk tujuan masa depan. AS tentu saja dapat meningkatkan inisiatif dengan mengambil tindakan sepihak terhadap perdagangan China. Misalnya, pemerintah dapat memutuskan bahwa penurunan nilai dari RMB merupakan sebuah bentuk subsidi ekspor dalam menentukan apakah akan menerapkan bea masuk countervailing terhadap impor dari China. Kongres bisa mengubah undang-undang kewajiban countervailing saat ini untuk membuat jelas bahwa penentuan tersebut telah sesuai dengan hukum. Dalam kedua kasus, China bisa mengajukan banding ke WTO dan AS harus membela tindakannya menurut pedoman penerapan subsidi (melalui WTO Dispute Settlement Mechanism). Bea masuk countervailing duties dan langkah-langkah spesifik terhadap produk atau sektor khusus dari impor China bukanlah suatu langkah yang akan membuahkan hasil yang diinginkan, karena sifatnya yang hanya akan mengaburkan penyimpangan kebijakan China. Kebijakan ini hanya akan berlaku pada sektor maupun produk spesifik dan tidak akan memengaruhi ekonomi secara menyuruh namun justru akan menimbulkan implikasi politik yang buruk. Seperti yang telah dianalisa sebelumnya, suatu kebijakan peyimpangan nilai mata uang merepresentasikan bentuk subsidi ke segala sektor ekspor dan bentuk tarif ke segala sektor impor. Dengan demikian, diperlukan respon yang komprehensif pula melalui malalui pengaturan rezim nilai tukar itu sendiri. Kombinasi upaya AS yang mencakup upaya unilateral dalam pelabelan 116 negara manipulator mata uang, serta upaya multilateral melalui IMF dan WTO nampaknya akan menjadi solusi serta strategi ekonomi politik internasional yang paling efektif untuk kondisi sekarang ini. 117 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN A. Kesimpulan Dari pembahasan yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, kesimpulan yang dapat ditarik sebagai berikut: 1. Perspektif utama China dalam menjustifikasi kebijakan intervensi mata uangnya umumnya berasal dari sudut pandang ekonomi, yakni untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi, melalui: ekspor, investasi asing, lapangan pekerjaan, dan sektor pertanian. Perkembangan ekonomi China ini juga berkaitan sangat erat dengan aspek sosial serta politik dalam negeri. Dalam aspek sosial, kegagalan pemerintah dalam menyediakan kebutuhan ekonomi masyarakatnya dapat mendorong terjadinya ketidakpuasan sosial-ekonomi dan menyebabkan terjadinya masalah-masalah sosial-ekonomi yang dapat berujung pada instabilitas dalam negeri. Pemerintahan China yang masih bersifat sangat sentralistis juga membuat pemerintah China berupaya untuk mempertahankan kebijakannya yang ekstrim, terlepas dari tekanan luar negeri yang terus ditujukan kepada China. 2. Hubungan ekonomi-politik antara China dan Amerika Serikat seringkali digambarkan sebagai hubungan internasional yang bipolar dan sensitif. Kebijakan intervensi mata uang China diduga telah menjadi salah satu penyebab utama terus meningkatnya defisit perdagangan dan angka pengangguran di Amerika Serikat, yang memperlambat upaya perbaikan ekonomi AS. Ketidaksesuaian nilai mata uang China juga diduga mendorong negara-negara Asia lainnya untuk mengambil kebijakan yang serupa, sehingga menimbulkan 118 distorsi perdagangan bebas secara global, terkhusus mematikan industri ekspor Amerika Serikat. Akan tetapi, beberapa analis lain mengemukakan bahwa perubahan kebijakan mata uang China tidak akan membawa pengaruh positif terhadap ekonomi AS, sebaliknya akan menurunkan produktifitas industri AS yang berbasis komponen import China serta menekan daya beli masyarakat AS. 3. Pemerintah China beberapa kali telah mereformasi rezim mata uangnya dan memperbolehkan nilai RMB terapreasiasi secara perlahan. Namun demikian, tingkat apresiasi ini, oleh beberapa pihak, dianggap terlalu lambat dan belum sesuai dengan refleksi nilai RMB riil dalam pasar bebas. Sejauh ini, belum ada kebijakan dalam bentuk kebijakan eksplisit yang dilakukan oleh pemerintah AS untuk menanggulangi dampak akibat ketidaksesuaian nilai mata uang China. Namun demikian, berbagai tekanan internasional terus dilancarkan oleh AS melalui pidato-pidato kenegaraan maupun pernyataan di berbagai forum internasional, seperti dalam G-20 Summit, pertemuan WTO maupun IMF. Kongres AS juga berulangkali mengajukan rancangan undang-undang, dimana kementerian perdagangan dan keuangan AS dapat mengambil tindakan tegas secara konstitusional untuk menyesuaikan harga jual produk impor negaranegara dengan kebijakan intervensi mata uang. Upaya lain juga secara multilateral melalui negosiasi dalam organisasi internasional terkait, seperti WTO dan IMF untuk mengambil tindakan tegas terhadap China. Akan tetapi, belum ada tindak lanjut dari upaya-upaya ini. 119 B. Saran-Saran 1. Penggunaan kebijakan unilateral saja oleh AS sama sekali tidak disarankan dalam menyikapi kebijakan intervensi mata uang China. Kebijakan unilateral dapat meretakkan hubungan ekonomi-politik AS-China, dan dapat menjadi sangat riskan bagi AS apabila China merespon balik kebijakan ini secara negatif. 2. Berbagai opsi alternatif kebijakan mulatilateral dapat menjadi pilihan yang lebih aman bagi percaturan ekonomi politik internasional AS. Kebijakan multilateral, seperti adjudikasi melalui IMF dan WTO dapat menciptakan desakan secara kolektif bagi China untuk menyesuaikan nilai mata uangnya, tanpa harus menargetkan suatu kebijakan respon balik terhadap Amerika Serikat. 3. Dengan melihat angka surplus perdagangan dan pertumbuhan PDB tahunan China, sudah saatnya China untuk lebih terbuka dalam mengatur nilai mata uangnya agar lebih reflektif terhadap kondisi pasar yang sebenarnya. Peran China yang sangat signifikan dalam perdagangan internasional menyebabkan perekonomian dunia sangat bergantung pada kebijakan ekonomi politik yang diambil oleh China. Akan tetapi, perubahan nilai mata uang yang drastis juga akan berakibat pada spekulasi besar-besaran dan instabilitas perekonomian global. Dengan demikian, pemerintah China diharapkan dapat melanjutkan pendekatan gradual penyesuaian nilai mata uangnya secara lebih terbuka. 120 DAFTAR PUSTAKA Buku Cooley, John. (2008). Currency Wars: How Forged Money is the New Weapon of Mass Destruction. New York: Skyhorse Publishing. Dharmawan, Bagus. (ed.). (2006). Cermin dari China: Geliat Sang Naga di Era Globalisasi. Jakarta: Kompas. Friedman, Michael Jay (ed.) (2009). Outline of the U.S. Economy. Washington: Bureau of International Information Programs United States Department of State. Goldstein, Morris dan Nicholas Lardy. (2009). The Future of China’s Exchange Rate Policy. Washington DC: Peterson Institute for International Economics. Hady, Hamdy. (2004). Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia. Haryono, Endi dan Ilkodar, Saptopo B. (2005). Menulis Skripsi: Panduan untuk Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tajul Khalwaty. (2000). Inflasi dan Solusinya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka. Kathryn, M.D. (2003). Foreign Exchange Intervention: Did it Work in the 1990s? In: Fred B. & John W. (ed.). Dollar Overvaluation and the World Economy. Washington: Institute for International Economics. Lin, Yifu, dan Li Zhou. (2005). The China Miracle: Development Strategy and Economic Reform. Hong Kong: The Chinese University of Hong Kong Press. Ma, Guonan dan Haiwen Zhou (2009). China’s Increasing External Wealth. Dalam Ross Garnaut, Ligang Song dan Wing Thye Woo (Ed.). China’s New Place in a World in Crisis. Canberra: Australia National University Press. Mas’oed, Mohtar. (1990). Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Yogyakarta: LP3ES. Max, Corden. (2009). China’s Exchange Rate Policy, Its Current Account Surplus and the Global Imbalances. Dalam Ross Garnaut, Ligang Song dan Wing Thye Woo (Ed). China’s New Place in a World in Crisis. Canberra: Australia National University Press. 121 Naisbitt, John dan Naisbitt, Doris. (2010). China’s Megatrends: 8 Pilar yang Membuat Dahsyat China. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Nolan, Cathal J. (2002). The Greenwood Encyclopedia of International Relations A-E, 1, 331. Park dan Charles Wyplosz. (2010). Monetary and Financial Integration in East Asia: The Relevance of European Experience. Oxford: Oxford University Press. Perwira dan Yani. (2005). Pengembangan Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Rickards, James. (2011). Currency Wars: the Making of the Next Global Crisis. New York: Penguin Group, Inc. Salvatore, D. (2007). Ekonomi Internasional, Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga. Shapiro, A.C. (2006). Multinational Financial Management. New Jersey: Pearson Prentice Hall International, Inc. Shirk, Susan. (2007). Fragile Superpower: How China’s Internal Politics Could Derail Its Peaceful Rise. Oxford: Oxford University Press. Strange, Susan. (2004). States and Markets. London: Continuum. Diakses dari: http://books.google.co.id/books/about/States_and_Market s.html?id=YkjtEOM5LbkC&redir_esc=y, tanggal 18 Oktober 2011. Sullivan, Arthur, Sheffrin, dan Steven. (2003). Economics: Principles in action. New Jersey: Pearson Prentice Hall Internaional, Inc. Jurnal Chang dan Raymond Yip. (2006). Impact of Exchange Rate Movements on the Chinese Economy. Hong Kong Monetary Authority, Juli 2010, 3/06. Chang, Shu dan Raymond Yip. (2006). Impact of Exchange Rate Movements on the Chinese Economy. Hong Kong Monetary Authority, Number 3/06. Clark, Ian. (2011). China and the United States: A Succession of Hegemonies?. International Affair,s 87 (1), 13–28. Diakses dari http://www.chathamhouse.org/sites/default/files/public/Int ernational%20Affairs/2011/87_1clark.pdf, tanggal 30 Desember 2011. 122 Cohen, Benjamin J. (2006). The Macrofoundations of Monetary Power, alam David M. Andrews, ed. International Monetary Power. Ithaca, NY: Cornell University Press. 14:31-50. ________________ (2007). The transatlantic divide: Why are American and British IPE so different?. Review of International Political Economy, Vol. 14, No. 2 Eichengreen, B., Yeongseop Rhee, dan Hui Tong. (2007). China and the Exports of Other Asian Countries. Review of World Economics, 143:201-226. Eichengreen, Barry. (2012). When Currencies Collapse. Foreign Affairs, the Clash of Ideas, 91:117-134. Garcia-Herrero, Alicia dan Tuuli Koivu. (2008). China’s exchange rate policy and Asian trade. Economie Internationale, 116:53-92 Greenaway, David, Mahabir, dan Chris Milner. (2008). Has China displaced other Asian countries’ exports?. China Economic Review, 19:152-169. Linden, Greg. (2009). Who Captures Value in a Global Innovation Network? The Case of Apple’s iPod, March 2009. Communication of the ACM, Maret 52:3. Diakses dari http://pcic.merage.uci.edu/papers/2008/WhoCapturesValu e.pdf, tanggal 15 Januari 2012. Mallaby and Wethington. (2012). The Future of Yuan. Foreign Affairs, the Clash of Ideas, 91:135-146. Marquez, Jaime dan John Schindler. (2006). Exchange-Rate Effects on China’s Trade: An Interim Report. Board of Governors of the Federal Reserve System, International Finance Discussion Papers No. 861. Puspopranoto, Sawaldjo. (2004), Manajemen Bisnis: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Jakarta: Penerbit PPM. Samuelson, Paul A. (1964). Theoretical Notes on Trade Problems. Review of Economics and Statistics. 46:2. Thorbecke, Willem dan Gordon Smith. (2009). How Would an Appreciation of the Renminbi and Other East Asian Currencies Affect China’s Exports. Review of International Economics, 18:95-108. Woo, Wing Thye. (2006). The Structural Nature of Internal and External Imbalances in China. Journal of Chinese Economic and Business Studies, 4(1): 1- 19. 123 Wu, Zhonmg, Karp, Phil, dan Wang. (2010). China’s International Poverty Reduction Center a Platform for South-South Learning. Development Outreach, Oktober 2010, 32-34. Yongding, Yu. (2007). Global Imbalances and China. Australian Economic Review 40(1):1-33. Diakses dari http://www.gibs.ac.za/SiteResources/Uploads/ABN_Uplo ads/9785_Cap_markets_Africa07.pdf, tanggal 25 Februari 2012. Dokumen Aziz, Jahangir, dan Xiangming Li. (2007). China’s Changing Trade Elasticities. IMF Working Paper 07/266. Diakses dari http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2007/wp07266.pd f, tanggal 17 Desember 2011. Bank Indonesia. (2011). Perkembangan Ekonomi dan Kebijakan Moneter: Perkembangan Ekonomi Dunia. Tinjauan Kebijakan Moneter: Ekonomi, Moneter, dan Perbankan, 2011 (5). Diakses dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/4A917924-52DD4D5C-B376D7ADECEA4A8D/23095/zTKMMei2012.pdf, tanggal 5 Januari 2012. Cheung, Yin-Wong, Menzie D Chinn, dan Eiji Fujii. (2008). China’s Current Account and Exchange Rate. NBER Working Paper 14673. Diakses dari http://www.ssc.wisc.edu/~mchinn/NBER_China.pdf, tanggal 26 September 2011 Gibbs, Murray. (2010) Trade Policy, UN Department for Economic and Social Affairs, hal.35. Diakses dari http://esa.un.org/techcoop/documents/pn_tradepolicynote. pdf, tanggal 26 September 2012. Guo, Kai, dan N’Diaye. (2009). Is China’s Export-Oriented Growth Sustainable. IMF Working Paper, Agustus. Diakses dari http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2009/wp09172.pd f, tanggal 21 Maret 2012. IMF Resident Representative Office People’s Republic of China. (2012). China Economic Outlook, 6 Feberuari, hal. 1. Diakses dari http://www.imf.org/external/country/CHN/rr/2012/02061 2.pdf, tanggal 10 Maret 2012. International Monetary Fund. (2006). Agreement Between the International Monetary Fund and the World Trade Organization. Diakses dari 124 http://www.worldtradelaw.net/articles/ahnimf.pdf, tanggal 10 Maret 2012. International Monetary Fund. (2010). People’s Republic of China: 2010 Article IV Consulatation—Staff Report. In Staff Statement; Public Information Notice on the Executive Board Discussion, Juli 2010. Diakses dari http://www.imf.org/external/pubs/ft/scr/2010/cr10238.pdf , tanggal 10 Maret 2012. Mattoo, Aaditya dan Arvind Subramanian. (2008). Currency Undervaluation and Sovereign Wealth Funds: A New Role for the World Trade Organization. Peterson Institute Working Paper WP 08-2, January. Diakses dari http://petersoninstitute.org/publications/wp/wp08-2.pdf, tanggal 27 September 2011. Morrison, Wayne. (2011). China’s Economic Conditions. CRS Report for Congress, 24 Juni. Diakses dari http://www.fas.org/sgp/crs/row/RL33534.pdf, tanggal 14 Februari 2012. Morrison, Wayne M dan Marc Labonte. (2009). China’s Currency: A Summary of the Economic Issues. CRS Report for Congress, RS 1625, 17 Juni. Diakses dari http://fpc.state.gov/documents/organization/125960.pdf, tanggal 26 September 2011. Morrison, Wayne M dan Marc Labonte. (2011). China’s Holdings of U.S. Securities: Implications for the U.S. Economy. CRS Report for Congress, RL34314, 26 September. Diakses dari http://www.fas.org/sgp/crs/row/RL34314.pdf, tanggal 3 Juli 2012. Nanto, Dick K. (2007). Japan’s Currency Intervention. CRS Report for Congress. Diakses dari http://www.fas.org/sgp/crs/row/RL33178.pdf, tanggal 14 Februari 2012. Sanford, Jonathan E. (2010). Currency Manipulation: The IMF and WTO. Congressional Research Service. Diakses dari http://www.fas.org/sgp/crs/misc/RS22658.pdf, tanggal 27 September 2011. Staiger, Robert dan Sykes. (2008). Currency Manipulation and World Trade. National Bureau of Economic Research (NBER), Working Paper 14600. Diakses dari http://www.nber.org/papers/w14600.pdf?new_window=1, tanggal 15 April 2012. 125 The G-20 Torronto Summit Declaration. (2010). Point no. 47. Diakses dari http://www.dfat.gov.au/trade/g20/index.html, tanggal 26 September 2011. Majalah Bin, Xia dan Chen Daofu. (2011, 15 Desember). Zhongguo Huilu Zhidu Baogao 2005 (Report on China's exchange rate system 2005). Diyi caijing ribao (China Business News). Bloomberg Government. (2011, Desember). A Higher Yuan Would Half the U.S.-China Trade Deficit. China, Interim Forecast. (2011, Juni). IHS Global Insight. Don’t Starve Thy Neighbor. (2011, 9 September). The Economist Print Edition. Dong, Tao. (2005, 15 Agustus). There Will Be Further RMB Appreciation in the Coming Two Years, USD/RMB Could Be 1:5 in Ten Years. Xin caifu (New Fortune). Manping, Liu. (2011, 22 Agustus). After the RMB Appreciation What Will Be the Impacts of Foreign Capital on the Chinese Real Estate Markets?. Zhongguo jingji ribao (Chinese Economic Times). The Economist (2010). The Clock Ticks: Global Rebalancing. [Online]. Diakses dari web: htpp://www.economist.com/node/16379927, tanggal 23 Mei 2011. The U.S. Trade Deficit with China Continues to Enlarge, Urging on Appreciation Increases Again. (2005, 15 November). Jingji zoushi genzong (The Pursuit of Economic Trends), no. 87. World Trade Contracted 12 Percent in 2009: WTO’s Lamy. (2010, 24 Februari) Reuters. Koran Capital Export, Elasticity Pessimism, and the Renminbi: The Conscience of a Liberal Krugman, Paul. (2010). New York Times, 16 Maret, hal. 18 China Bisa Bantu Ekonomi Dunia. (2011). Kompas, 6 September, hal. 10. China Rejects Currency Manipulation Charge. (2009). New York Times. 25 Januari. China resmi Salib Jepang. (2010). Kompas, 18 Agustus, hal. 9. 126 China: Nasionalisme di Balik Visi Pembangunan. (2010). Kompas, 27 September, hal. 11. Chinese New Year. (2010). New York Times, 1 Januari. Negara-negara Pemberi Utang Kepada AS. (2011). Kompas, 11 Januari. Perang Dagang: AS-China Saling Serang. (2010). Kompas, 1 Oktober, hal. 9. Taking on China. (2010). NewYork Times, 14 Maret. Wines, Michael. (2010). China Blames US for Strained Relations. New York Times, 7 Maret. Internet All China Federation of Trade Unions. (2007). A Brief Introduction of the All-China Federation of Trade Unions (ACFTU). Diakses dari http://english.acftu.org/template/10002/file.jsp?cid=63&aid=15 6, tanggal 17 Maret 2012. Amy, B. (2011). Will Currency Manipulation Bill Ignite Trade War with China? ABC News. Diakses dari: http://abcnews.go.com/politics/2011/10/will-currencymanipulation-bill-trade-war-with-China/, tanggal 11 Oktober 2011. Bergsten, Fred. (2010). Correcting the Chinese Exchange Rate: An Action Plan, Peterson Institute for International Economics, Testimony before the Committee on Ways and Means, U.S. House of Representatives. Diakses dari http://www.iie.com/publications/testimony/bergsten20100 915.pdf., tanggal 16 April 2012. Bednarz, Ann. (2012). U.S. Losing High-TechJjobs, R&D Dominance to Asia. Diakses dari http://www.networkworld.com/news/2012/011912science-tech-jobs-255072.html, tanggal 3 Maret 2012. Blanchard, Oliver. (2007). Global Imbalances. Diakses dari http://economics.mit.edu/files/762, tanggal 21 Mei 2012. Bloomberg News. (2012). China Plans Lower Budget Deficit for This Year as Economic Growth Cools. Diakses dari http://www.bloomberg.com/news/2012-03-05/chinaplans-lower-budget-deficit-for-this-year-as-economicgrowth-cools.html, tanggal 30 April 2012. Brookes, Adam. (2011). US Watches China Warily. BBC, 12 Maret. Diakses dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/americas/4342527.stm, tanggal 27 Oktober 2011. 127 Bureau of Labor Statistics. (2012). Workforce Statistics. United States Department of Labor. Diakses dari http://www.bls.gov/iag/tgs/iag3133.htm, tanggal 5 Mei 2012. China Finance / Banking. (2012). Diakses dari http://www.chinatoday.com/fin/a.htm, tanggal 20 Februari 2012. China GDP Annual Growth Rate. (2012). Diakses dari http://www.tradingeconomics.com/china/gdp-growthannual, tanggal 14 Februari 2012. China to Improve RMB Exchange Rate System. (2004). Xinhua. Diakses dari http://www.Chinadaily.com.cn/english/doc/200409/29/content_378700.htm, tanggal 26 September 2011. Ching, Pao Yu. (2012). American Imperialism and its Domination over Asia Refuting The Myth That China is Becoming an Economic Super Power. Diakses dari www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=4999, tanggal 18 Maret 2012. Department of Commerce, International Trade Administration. (2010). Aluminum Extrusions from the People’s Republic of China: Initiation of Countervailing Duty Investigation, Federal Register, 75:80. Diakses dari https://www.federalregister.gov/articles/2010/09/07/201022204/aluminum-extrusions-from-the-peoples-republicof-china-preliminary-affirmative-countervailing-duty, tanggal 15 April 2012. Economic Policy Institute. (2010). Unfair China Trade Costs Local Jobs 2.4 Million Jobs Lost, Thousands Displaced in Every U.S. Congressional District. Briefing Paper #260. Diakses dari: http://epi3.cdn.net/91b2eeeffce66c1a10_v5m6beqhi.pdf, tanggal 23 Maret 2012. Efek Crowding Out. (2011). Term Wiki. Diakses dari http://id.termwiki.com/ID:crowding-out_effect, tanggal 25 Juni 2012. Green, Stephen. (2006, 16 Januari). China's Foreign Exchange Reserves Soar to $819bn. Financial Times. Diakses dari http://news.ft.com/cms/s/f9d7a456-85fe-11da-bee00000779e2340.html, tanggal 27 September 2011. Heller G., Carrel P. (2010). Germany says U.S. monetary easing policy is wrong. Reuters. Diakses dari: http://www.reuters.com/article/idUSLDE69M02P201010 23, tanggal 23 Oktober 2011 128 Hnat, Pavel. (2009). Global Imbalances and Their Impact on Global Economic Governance (case of IMF). Diakses dari http://stockholm.sgir.eu/uploads/Hn%C3%A1t_stockholm _final.pdf, tanggal 2 Juli 2012. Hotten, Russel. (2010). Currency intervention’s mixed record of success. BBC Business. Diakses dari: http://www.bbc.co.uk/news/business11311802, tanggal 16 September 2011. Huang, Yiping. (2010). Krugman’s Chinese Renminbi Fallacy. VoxEU.org. Diakses dari http://www.voxeu.org/article/china-us-and-renminbirejoinder-krugman, tanggal 26 Maret 2012. Huang, Yiping dan Kunyu Tao. (2010). Causes and Remedies of China’s Current Account Surpluses. Beijing: China Center for Economic Research. Diakses dari http://en.ccer.edu.cn/ReadNews.asp?NewsID=6802, tanggal 12 Oktober 2011. Kementerian Keuangan RI. (2011). Kinerja Perekonomian 2010 dan Proyeksi 2011. Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok kebijakan Fiskal 2012, 2012, hal. 10. Diakses dari http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/adoku/2011/KEM_P PKF_2012.pdf, tanggal 4 Desember 2011. Krugman, Paul. (2010). Taking on China. The New York Times. 14 Maret. Diakses dari http://www.nytimes.com/2010/03/15/opinion/15krugman. html?_r=1 tanggal 15 April 2012. Kurs Tetap, Kurs Mengambang Bebas, Kurs Mengambang Terkendali dan Penerapannya di Indonesia, (2012). Diakses dari http://economicwatcher.com/2012/06/kurs-tetap-kursmengambang-bebas-kurs.html, tanggal 13 September 2012. Marshall, Tyler. (2006). China Poised to Dominate Influence in Asia. Diakses dari http://pulitzercenter.org/articles/china-poised-dominateinfluence-asia, tanggal 26 Oktober 2011. Michael, Anissimov. (2011). What is Foreign Policy. Diakses dari htpp://wisegeek.com/what-is-foreign-policy.html, tanggal 5 November 2011 . Mikael, Baaz. (2005). Critical Theory as an International Relations Theory. Diakses dari http://asrudiancenter.com/2008/06/25/critical-theoryas-an-international-relations-theory.htm, tanggal 5 November 2011 Prasad, Eswar. (2011). The U.S.-China Economic Relationship: Shifts and Twists in the Balance of Power. Diakses dari 129 http://www.brookings.edu/testimony/2010/0225_us_china _debt_prasad.aspx, tanggal 27 Oktober 2011. President Barrack Obama’s Administration Pess Briefings. (2012). The White House. Diakses dari http://www.whitehouse.gov/briefingroom/press-briefings, tanggal 21 Mei 2012. President Barrack Obama’s Administration Statements and Releases. (2012). The White House. Diakses dari: http://www.whitehouse.gov/briefing-room/statements-andreleases, tanggal 21 Mei 2012. Tim Riset Global Future Institute. (2009Premier Wen on Principles for RMB Exchange Rate Reform. (2005, 27 Juni) Renmin ribao. Diakses dari http://english.people.com.cn/200506/27/eng20050627_19 2511.html, tanggal 26 September 2011. Questions Grow over China's Foreign Exchange Strategy. (2006, 6 Januari) Financial Times. Diakses dari http://news.ft.com/cms/s/5413c5d67ee7-11da-a6a2-0000779e2340.html, tanggal 26 September 2011. Rosdiansyah. (2011). IMF Ungkap Pertumbuhan Ekonomi BRICs 2011. Diakses dari http://www.lensaindonesia.com/2011/09/21/imf-ungkappertumbuhan-ekonomi-brics-2011.html, tanggal 7 Desember 2011. Statistical Data Shows That up to the End of Last Year Official Foreign Reserve Balance Reached $818.9bn. (2006). Xinhua. Diakses dari http://news.xinhuanet.com/fortune/200601/15/content_4053666.htm, tanggal 26 September 2011. The Accumulation of Foreign Reserves Increased Again at the Year, Expert: $7.4bn is Suspected to Be Hot Money. (2006). Xinhua. Diakses dari http://news.xinhuanet.com/fortune/ 200601/16/content_4057667.htm, tanggal 26 September 2011. The Clock Ticks. Global Rebalancing. (2010, 17 Juni). (The) Economist. Diakses dari http://www.economist.com/node/16379927, tanggal 26 September 2011 U.S. Department of State. (2011). Joint Closing Remarks for the Strategic and Economic Dialogue. Diakses dari http://www.state.gov/secretary/rm/2011/05/162969.htm, tanggal 10 November 2011. U.S. International Reserve Position. (2012). Diakses http://www.treasury.gov/resource-center/data-chartcenter/IR-Position/Pages/2102012.aspx, tanggal Februari 2012. dari 21 130 Wei, Liu. (2008). The Exchange Rate Adjustment Should be Based on the Judgment of Major Domestic Contradiction. China Center for National Accounting and Economic Growth, Peking University. Diakses dari: http://www.nepku.com/read.asp? id=461, tanggal 26 September 2011. RMB Exchange Rate Reform Gradual Process. (2005). Xinhua. Diakses dari http://news.xinhuanet.com/english/200510/14/content_3617557.htm, tanggal 26 September 2011. What If the RMB Chooses Appreciation. (2011). Ershiyi shiji jingji baodao. Diakses dari http://www.nanfangdaily.com.cn/southnews/zt/2004nztk/j j/jr/200412290065.htm, tanggal 23 Maret 2012. Winning, Nicholas. (2010). IMF Strauss-Kahn: China’s Currency Is Undervalued. PEDaily. Diakses dari http://www.pedaily.cn/Item.aspx?id=189323, tanggal 17 Maret 2012. Wong, Edward. (2009). China Rejects Currency Manipulation Charge. The New York Times, 25 Januari. Diakses dari http://www.nytimes.com/2009/01/25/world/asia/25beijing .html, tanggal 25 Januari 2012. World Bank. (2011). World Trade Talks GDP per capita growth (annual%). Diakses dari, http://search.worldbank.org/quickview?view_url=http%3 A%2F%2Fdatabanksearch.worldbank.org%2FDataSearch %2FLoadReport.aspx%3Fdb%3D2%26cntrycode%3D%2 6sercode%3DNY.GDP.PCAP.KD.ZG%26yrcode%3D, tanggal 15 Februari 2012. End in Collapse. (2008). BBC News. Diakses dari http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/7531099.stm, tanggal 12 Maret 2012 131