BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Dalam setengah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam setengah abad terakhir, banyak negara menerapkan kebijakan intervensi
dalam penetapan nilai mata uangnya untuk mempertahankan nilai tukar yang
menguntungkan bagi pasar domestik dan untuk memperoleh keuntungan dalam
perdagangan internasional. Republik Rakyat China (China) merupakan salah satu
negara yang dari waktu ke waktu secara konstan terus mengintervensi atau
memanipulasi nilai mata uangnya agar tetap bernilai rendah (undervalued) sebagai
upaya untuk mempertahankan harga ekspor barang China tetap murah di pasar
internasional. Intervensi mata uang juga pernah dilakukan oleh sejumlah negara lainnya,
namun tidak berdampak sesignifikan seperti yang diakibatkan oleh kasus intervensi
mata uang China.1
Umumnya, negara-negara yang merasakan pengaruh dari intervensi mata uang
China ialah negara yang memiliki pasar konsumer dan merupakan importir berjumlah
massal (semisal Uni Eropa dan Amerika Serikat). Akibat murahnya barang impor dari
China, negara partner dagang China menjadi semakin dependen terhadap barang impor
untuk konsumsi domestik dan harus mereduksi produksi lokal dan barang ekspornya.
negara-negara seperti ini terus melakukan tekanan internasional terhadap kebijakan
penetapan nilai mata uang di China.2 Tekanan yang sama juga dilakukan terhadap
berbagai badan organisasi internasional yang memiliki mandat regulasi perdagangan
Wayne Morrison. (2011). China’s Economic Conditions. CRS Report for Congress. Diakses dari
http://www.fas.org/sgp/crs/row/RL33534.pdf, tanggal 14 Februari 2012., hal. 3
2
Ibid
1
1
internasional dan stabilisasi moneter internasional agar menciptakan suatu aturan (code
of conduct) terkait praktik ini.3
Banyak pakar yang memandang bahwa intervensi mata uang memiliki
pembenaran yang serupa dengan bentuk subsidi ekspor, sama halnya dengan subsidi
regular yang biasanya diterapkan untuk mendongkrak dan mempertahankan
pertumbuhan pasar.4 Debat mengenai apakah intervensi mata uang memang diperlukan
oleh China masih terus memanas. Upaya untuk menghentikan manipulasi mata uang di
sisi lain dapat membawa suatu negara mengalami resesi dan krisis ekonomi.
Secara sederhana, intervensi atau manipulasi mata uang diartikan sebagai
fenomena dimana suatu pihak (dalam hal ini, negara melalui pemerintah atau bank
sentral) menaikkan atau menurunkan nilai mata uangnya terhadap nilai mata uang
negara lain. Terdapat suatu hubungan yang erat antara kebijakan moneter seperti
intervensi mata uang ini dengan hubungan dagang internasional.5 Stimulus moneter
domestik dapat meningkatkan kesempatan ekspor negara yang bersangkutan terhadap
partner dagang, sama halnya dengan kebijakan kontraksioner dapat melemahkan
kesempatan ini. Intervensi mata uang oleh bank sentral misalnya, dalam keadaan
tertentu, mampu menstimulasi nilai ekspor dan menurunkan impor atau sebaliknya
tergantung dari arah kebijakan intervensi.
Dalam teori, intervensi mata uang dengan membeli suatu mata uang asing dan
menjual mata uang negara sendiri mengakibatkan nilai mata uang yang lebih rendah
sehingga menolong eksportir negara bersangkutan menurunkan harga ekspor atau
3
The G-20 Torronto Summit Declaration. (2010). Point no. 47. Diakses dari
http://www.dfat.gov.au/trade/g20/index.html, tanggal 26 September 2011.
4
The Economist (2010). The Clock Ticks: Global Rebalancing. Diakses dari:
htpp://www.economist.com/node/16379927, tanggal 23 Mei 2011.
5
Robert Staiger dan Alan Saykes. (2008). “CurrencyManipulation” and World Trade. National Bureau
of Economic Research (NBER), Working Paper 14600, hal.1-2
2
mempertahankan harga ekspor untuk keuntungan bersih yang lebih banyak. Kebijakan
ini juga akan membuat harga barang impor menjadi relatif lebih mahal. Harga ekspor
yang rendah dan harga impor yang meninggi akan menciptakan suatu surplus
perdangangan yang pada gilirannya akan berkontribusi dalam peningkatan pertumbuhan
ekonomi.6
Bank sentral dapat mensterilkan sirkulasi kurs dengan menjual surat hutang
secara lokal untuk menjaga suplai kurs tetap konstan. Dalam pemahaman ekonomi,
ketika intervensi tidak disterilisasi, pembelian mata uang asing sama halnya dengan
meningkatkan suplai uang yang beredar karena bila pelaku pasar membeli mata uang
asing melalui eksportir lokal dengan mata uang domestik, mata uang asing ini kemudian
memasuki arus suplai mata uang.7 Namun demikian, dalam praktik nyata, operasi pasar
mata uang dapat mengalami penyimpangan. Secara khusus, hubungan jangka panjang
antara intervensi dan nilai tukar mata sulit untuk dibuktikan secara empiris. Walau
intervensi memiliki efek-efek jangka pendek, efek-efek jangka panjang pada nilai tukar
dan arus perdangangan yang dimilikinya cukup kabur – terutama karena intervensi
biasanya dilakukan dengan melihat arus pasar, kemudian melawan arus ini agar tetap
konstan, namun sama sekali tidak dapat mengubahnya.8
Kebijakan China dalam mengintervensi pasar mata uang dengan menghambat
atau membatasi apresiasi nilai mata uangnya, Renminbi (Renmimbi atau RMB),
terhadap dolar Amerika Serikat (United States Dollar atau USD) dan mata uang lainnya
telah menjadi suatu isu yang hangat dalam pertemuan kongres pemerintahan di Amerika
Serikat. Kritisi menduga kebijakan penetapan nilai mata uang China ditujukan untuk
6
Ibid
Murray Gibbs. (2010) Trade Policy, UN Department for Economic and Social Affairs, hal.35. Diakses
dari http://esa.un.org/techcoop/documents/pn_tradepolicynote.pdf, tanggal 26 September 2011.
8
Robert Staiger dan Alan Saykes. op.cit., hal. 23
7
3
membuat harga barang-barang ekspor China menjadi sangat murah, dan harga barang
impor ke China menjadi lebih mahal, dibandingkan dengan apabila nilai mata uangnya
dibiarkan mengikuti mekanisme pasar bebas.9 Mereka beranggapan bahwa kebijakan
manipulasi RMB terhadap USD merupakan salah satu kontributor besar terciptanya
defisit tahunan dari perdagangan AS-China yang berujung pada hilangnya lapangan
pekerjaan di berbagai sektor di Amerika Serikat.10
Anggota kongres Amerika Serikat terus mendesak Obama untuk mengambil
tindakan yang lebih agresif dalam menanggapi kebijakan mata uang China, misalnya
dengan memberikan label China sebagai “manipulator mata uang” dalam undangundang perdagangan Amerika.11 Beberapa anggota perlemen Amerika lain telah
memperkenalkan beberapa proposal peraturan legislasi untuk menanggulangi dampak
yang diakibatkan oleh kebijakan moneter China terhadap Amerika Serikat. Contohnya,
dalam Kongres ke-112, proposal UU H.R. 639, S. 328, dan S. 1130 menyatakan bahwa
kebijakan mata uang dapat ditindaklanjuti sebagai kebijakan subsidi penghambat
perdagangan.12
Dari bulan Juli 2005 sampai pada Juli 2008, Bank Sentral China melepaskan
RMB untuk terapresiasi terhadap dolar sebesar 21%. Namun demikian terjadi
perubahan kebijakan pada saat dampak krisis ekonomi tahun 2008 mulai terasa. China
kemudian kembali menahan apresiasi RMB untuk membantu industri-industri China
dapat bertahan dalam perdagangan global.13
9
World Trade Talks End in Collapse. (2008). BBC News. Diakses dari:
http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/7531099.stm, tanggal 12 Januari 2012.
10
World Trade Contracted 12 Percent in 2009: WTO’s Lamy. (2010, 24 Februari) Reuters., hal. 27
11
Ibid
12
Ibid
13
Ibid
4
Dari bulan Juli 2008 sampai pertengahan Juni 2010, China kemudian menahan
nilai tukar RMB secara konstan di angka 6.83 yuan (unit dasar RMB) terhadap dolar.
Pada tanggal 19 Juni 2010, Bank Sentral China kemudian mengumumkan secara publik
bahwa pemerintah China akan melanjutkan apresiasi nilai tukar RMB. Sejak saat itu,
China memperbolehkan nilai tukar RMB-USD meningkat sebesar 6% (Agustus 2011).14
Banyak pakar moneter di AS tetap mengkritisi bahwa angka ini masih terlalu kecil,
terutama jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi China yang sangat signifikan
di beberapa tahun terakhir ini, termasuk dalam sektor perdagangan serta cadangan
devisa yang mencapai angka 3,2 triliun dolar AS per bulan Juni 2011.15
Hal yang serupa dengan intervensi mata uang yang dilakukan oleh China
sekarang juga pernah dilakukan oleh pemerintah Jepang. Pada tahun 1971, ketika
hubungan antara dolar Amerika Serikat dan emas memburuk dan dolar dibiarkan
berfluktuasi dalam batasan tertentu, nilai yen juga mulai terapresiasi. Nilai tukar yen
dan dolar, dimulai sejak masa okupasi AS di Jepang pada tahun 1949, ditetapkan pada
angka 360 yen per dolar untuk kurun waktu selama 22 tahun. Sejak itu, nilai yen
terapresiasi menjadi 105 yen per dolar pada awal tahun 2005, namun pada akhir tahun
2005 nilai tukar yen menurun menjadi 120 yen per dolar sebelum kemudian naik
menguat kembali ke angka 119 yen per dolar pada bulan Maret 2007.16
Pemerintah Jepang melakukan intervensi terhadap nilai mata uangnya dengan
cara membeli dolar atau mata uang asing lainnya di masa ketika yen terapresiasi dengan
kecepatan yang dianggap terlalu signifikan. Jepang juga telah melakukan intervensi
dengan menjual dolar pada saat nilai mata uang dolar terdepresiasi dengan cepat.
Don’t Starve Thy Neighbor. (2011, 9 September). The Economist print edition., hal. 87.
Ibid
16
Dick K. Nanto. (2007). Japan’s Currency Intervention. CRS Report for Congress. Diakses dari
http://www.fas.org/sgp/crs/row/RL33178.pdf, tanggal 14 Februari 2012, hal. 9
14
15
5
Sebagai hasilnya, cadangan devisa Jepang meningkat menjadi sekitar 888 miliar dolar
pada bulan Maret 2007.17
Intervensi Jepang paling signifikan untuk mencegah apresiasi yen terjadi pada
perantara tahun 1976-1978, 1985-1988, 1992-1966, dan 1998-2004. Sejak bulan Maret
2004, pemerintah Jepang tidak lagi mengintervensi pasar mata uangnya secara
signifikan.18 Walaupun intervensi ini dilakukan dengan membeli (atau menjual) dolar
secara besar-besaran, intervensi ini hanya mampu memperlambat perubahan nilai yen
sedangkan dampak jangka panjang yang ditimbulkannya sangatlah minim karena
apresiasi (atau depresiasi) nilai yen akhirnya tetap berlangsung.
Fenomena nilai tukar mata uang Jepang menunjukkan kecenderungan bahwa
kebijakan mata uang hanya bersifat berlawanan arus pasar namun tidak mampu
mengubah arah arus perubahan nilai mata uang itu sendiri. Dalam banyak kasus,
intervensi Jepang hanyalah memperhalus fluktuasi dalam pertukaran mata uang dan
tidak mengubah arah pergerakannya sama sekali. Bisa dikatakan Jepang berhasil
memenangkan pertarungan harian pasar pertukaran, namun kalah dalam keseluruhan
peperangan nilai mata uang.19
Walaupun Jepang telah menginvestasikan ratusan miliar dolar untuk membeli
asset dolar sebagai cadangan devisa, banyak pengamat yang menganggap transaksi
intervensi seperti ini masih sangat kecil jika dibandingkan dengan perputaran mata uang
sehari-hari di Jepang yang dapat mencapai 1,9 triliun dolar AS pada pasar mata uang
tradisional dan mencapai 2,4 triliun dolar AS pada pasar turunan suku bunga dan mata
uang secara langsung. Transaksi mata uang yang terjadi melalui ekspor dan impor,
17
Ibid
Robert Staiger dan Alan Saykes. op.cit. hal. 2
19
Dick K. Nanto. op.cit. hal. 3
18
6
investasi, remitansi, dan tujuan lain mengecilkan upaya intervensi yang dilakukan oleh
Bank Sentral Jepang.20
Namun tetap saja, adalah efek intervensi pemerintah secara keseluruhan yang
membuat perbedaan karena impor dan ekspor umumnya mampu mencapai
keseimbangan dalam akumulasi global (teori mengenai keseimbangan global penulis
bahas dalam bab 2 skripsi ini). Pembelian dan penjualan mata uang oleh pemerintah
menjadi tambahan pada atau pengurangan dari akumulasi permintaan dan penawaran
global. Intervensi pemerintah juga dapat menjadi efek sinyal yang kuat bagi pelaku
pasar yang kemudian dapat mengurangi pembelian spekulatif apabila transaksinya
berlawanan dengan arah perilaku transaksi oleh pemerintah.21
Dalam laporan IMF bulan Agustus 2005 mengenai Jepang, dibandingkan
dengan Amerika Serikat dan Eropa, Jepang secara mencolok tampak menggunakan
intervensi pasar pertukaran mata uang sebagai instrumen kebijakan makro ekonominya.
IMF melaporkan bahwa sejak tahun 1991, Bank Jepang telah mengintervensi selama
340 hari, Bank Sentral Eropa sebanyak 4 hari (sejak didirikannya pada tahun 1998), dan
Bank Sentral AS sebanyak 22 hari. Lebih lanjut IMF menyatakan terdapat beragam
bukti bahwa intervensi ini memiliki dampak terhadap pergerakan yen.22
IMF mengutip Takashi Ito, seorang ekonom Jepang, yang menemukan
intervensi sebesar 2,5 triliun yen (sekitar 250 miliar dolar AS) secara rerata mampu
mengubah nilai tukar 1 yen terhadap dolar sebesar 1%.23 Mengikuti tindakan Jepang,
nilai dolar juga meningkat terhadap mata uang Korea, Taiwan, Singapura, dan juga
yuan China. Tindakan Jepang untuk melemahkan nilai yen merupakan suatu tindakan
20
Ibid
Ibid
22
Ibid, hal 4.
23
Ibid
21
7
yang berani, meskipun pemerintah Jepang sangat sadar bahwa kebijakan seperti ini
memiliki rekam sukses yang relatif tidak stabil.24
Studi kasus intervensi serupa juga pernah terjadi di Eropa. Di awal tahun 2010,
Bank Nasional Swiss memulai pembelian besar-besaran terhadap Euro. Tujuannya ialah
untuk menghambat kenaikan besar nilai franc Swiss dan untuk mempertahankan daya
saing ekonomi Swiss.25
Namun demikian, nilai franc terus naik dan pada bulan Juli. Nilai franc bahkan
menyentuh nilai tertinggi terhadap euro dari masa sebelumnya. Sejak saat itu,
pemerintah Swiss semakin gencar melakukan intervensi untuk menekan harga franc.
Bank Sentral Swiss melakukan ini secara sembunyi-sembunyi dan informasi mengenai
besaran intervensi pun cenderung ditutupi. Akibatnya terjadi rumor besar-besaran
terkait nilai franc, dan Bank Nasional Swiss menjadi subyek spekulasi akibat intervensi
yang dilakukannya. Banyak ekonom berpendapat bahwa upaya intervensi ini akhirnya
sia-sia.26
Namun demikian, walaupun banyak skeptisme oleh para pakar ekonomi
mengenai keefektifan kebijakan intervensi mata uang, banyak pembuat kebijakan
melihat tindakan ini sebagai salah satu senjata utama kebijakan moneter yang mampu
melindungi daya saing dalam kompetisi dagang internasional. Dalam beberapa tahun
terakhir ini, banyak negara berkembang seperti Indonesia, Meksiko, Polandia, serta
Rusia yang juga melakukan tindakan-tindakan serupa untuk melindungi nilai mata
uangnya.27 Di tahun terakhir, Rusia diisukan telah menghabiskan sejumlah 210 miliar
dolar untuk mempertahankan rouble pada angka 41 terhadap dolar dan euro. Rouble
24
Ibid, hal.4-5, hal.7
Jonathan E. Sanford. (2010). Currency Manipulation: The IMF and WTO. Congressional Research
Service. Diakses dari http://www.fas.org/sgp/crs/misc/RS22658.pdf, tanggal 27 September 2011.
26
Ibid
27
Ibid
25
8
kini bernilai 34.86 dan menjadi contoh lain dimana upaya intervensi tidak sanggup
bertahan terus-menerus. Swis dan Rusia merupakan contoh gagal dari intervensi mata
uang namun tidak ada yang dapat memprediksikan seberapa kuat nilai franc dan rouble
bila saja kedua pemerintahnya tidak melakukan intervensi sama sekali.28
Salah satu contoh lain kegagalan intervensi terjadi pada tahun 1992, ketika
Inggris berupaya menutupi nilai Deutschmark Jerman. Hanya dalam satu hari, Inggris
mengeluarkan sejumlah miliaran poundsterling untuk mempertahankan nilai pound
terhadap mata uang Jerman. Namun pengamat pasar perdagangan valuta asing tahu
benar bahwa upaya ini tidak ada gunanya dan apresiasi terus terjadi.29
Kembali pada kasus China, pendapat pakar ekonomi mengenai dampak yang
diakibatkan dari kebijakan moneter China terkait nilai tukar mata uangnya terhadap
Amerika Serikat cukup beragam. Nilai RMB yang berada di bawah nilai sebenarnya
dapat dipandang sebagai bentuk subsidi ekspor tak langsung yang mengakibatkan
menurunnya harga produk buatan China dalam pasar Amerika Serikat. Hal ini akan
menguntungkan konsumer di Amerika Serikat dan perusahaan yang menggunakan
komponen barang setengah jadi dari China, namun dapat secara negatif mempengaruhi
perusahaan yang sensitif terhadap keberadaan barang substitusi impor.30
RMB yang berada di bawah nilai tukar sebenarnya juga dapat mengakibatkan
penurunan ekspor AS ke China bila dibandingkan apabila mata uang China berfluktuasi
secara bebas mengikuti mekanisme pasar. Permasalahan ini menjadi semakin kompleks
akibat besarnya pembelin cadangan sekuritas AS oleh China yang mencapai 1,2 trilyun
Russel Hotten. (2010). Currency Intervention’s Mixed Record of Success. BBC Business. Diakses dari:
http://www.bbc.co.uk/news/business-11311802, tanggal 16 September 2011.
29
Ibid
30
Ibid
28
9
dolar AS pada akhir tahun 2010.31 Pembelian ini dapat dilakukan oleh China akibat
intervensi mata uang China mengakibatkan akumulasi devisa yang sangat besar bagi
China, terutama dalam bentuk dolar AS.
Surplus devisa China yang menggunung kemudian digunakan untuk membeli
surat hutang AS. Pembelian surat hutang AS oleh China dapat membantu pemerintah
AS mendanai defisit kas negara serta dapat membantu menjaga suku bunga pinjaman
AS tetap rendah. Hal ini menunjukkan bahwa apresiasi nilai RMB mampu memberikan
dampak positif pada beberapa sektor di Amerika Serikat dan di saat bersamaan
memberikan dampak negatif pada sektor lainnya. 32
Efek dari krisis ekonomi global membuat perhatian internasional terfokus pada
bagaimana cara mengurangi ketidakseimbangan global (misalnya yang terjadi dalam
investasi, devisa, dan perdagangan), terutama yang berkaitan dengan hubungan China
dan Amerika Serikat. Banyak ekonom yang berpendapat bahwa China harus mengambil
langkah-langkah untuk dapat mengurangi ketergantungannya terhadap pendapatan hasil
ekspor dan investasi tetap untuk pertumbuhan ekonominya dan beralih pada pendapatan
dari konsumsi domestik. Kebijakan penetapan nilai mata uang yang berdasarkan atas
kinerja pasar bebas merupakan faktor yang penting untuk mencapai tujuan ini.33
Meskipun intervensi mata uang di berbagai negara banyak yang terbukti tidak
berhasil, hasil yang berbeda nampak terjadi di China.34 Intervensi yang secara konsisten
dilakukan selama bertahun-tahun lamanya tampak begitu berhasil dalam menjaga
konstan nilai mata uang China dan membuat negara pesaing dengan pasar yang besar,
seperti Amerika Serikat merasakan dampaknya secara tidak langsung. Keberhasilan
31
Heller & Carrel. (2010). Germany says U.S. Monetary Easing Policy is Wrong. Reuters. Diakses dari:
http://www.reuters.com/article/idUSLDE69M02P20101023, tanggal 23 Oktober 2011
32
Jonathan E. Sanford. loc. cit.
33
Ibid
34
Russel Hotten. op. cit. hal. 4-6
10
intervensi mata uang China dan besarnya dampak global yang ditimbulkannya, terutama
terhadap AS, membuat fenomena ini sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Perdebatan mengenai efektifitas kebijakan intervensi mata uang masih sangat hangat
dibicarakan oleh pakar politik ekonomi internasional dan belum banyak solusi yang
dapat ditawarkan oleh badan-badan internasional untuk meregulasi kecenderungan
untuk yang dianggap dapat menghambat praktik pasar bebas ini.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Penelitian ini difokuskan untuk melihat pengaruh politik dan ekonomi
kebijakan intervensi nilai mata uang China terhadap hubungan perekonomian China dan
Amerika Serikat. Walaupun China diduga telah melakukan praktik intervensi mata uang
sebagai bagian dari kebijakan makroekonomi dan moneternya sejak tahun 1994,35
penelitian ini secara khusus akan difokuskan kepada perkembangan kebijakan China
mulai tahun 2005 hingga tahun 2011, dimana intervensi mata uang beberapa kali
dilakukan oleh China sebagai respon untuk mencegah dampak krisis ekonomi global
bagi perdagangan dan pertumbuhan ekonomi domestiknya.36 Di samping itu, skripsi ini
juga akan menguraikan bagaimana kebijakan intervensi nilai mata uang China memiliki
dampak yang signifikan secara global, yang juga secara akumulatif kemudian
memberikan dampak bagi Amerika Serikat serta bagaimana keduanya berinteraksi
sebagai bagian pemain utama perekonomian global dalam kaitannya dengan kebijakan
intervensi mata uang China ini.
Dengan batasan tersebut, berikut merupakan formulasi rumusan masalah yang
dibahas dalam penelitian ini:
35
Edward Wong. (2009, 25 Januari). China Rejects Currency Manipulation Charge. New York Times, hal.
30.
36
The Economist. (2010). The Clock Ticks: Global Rebalancing. [Online]. Diakses dari web:
htpp://www.economist.com/node/16379927, tanggal 23 Mei 2011.
11
1. Apa perspektif China dalam menjustifikasi kebijakan intervensi penetapan
nilai mata uangnya?
2. Bagaimana dampak kebijakan intervensi nilai mata uang China terhadap
hubungan ekonomi dan politik China – Amerika Serikat?
3. Bagaimana strategi Amerika Serikat dalam menanggapi dampak yang
dihasilkan oleh kebijakan nilai mata uang China?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan dan kegunaan penelitian ini sebagai berikut:
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui dan menjelaskan perpektif China dalam menjustifikasi
kebijakan intervensi penetapan nilai mata uangnya.
b. Untuk menganalisa dan menjelaskan dampak yang diakibatkan kebijakan
intervensi penetapan nilai mata uang China terhadap hubungan ekonomi dan
politik China – Amerika Serikat.
c. Untuk mengetahui dan menjelaskan strategi Amerika Serikat dalam menanggapi
dampak yang dihasilkan oleh kebijakan intervensi nilai mata uang China.
2. Kegunaan Penelitian
Melalui tujuan penelitian tersebut, maka penelitian ini diharapkan dapat berguna
sebagai:
a. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan gambaran mengenai kebijakan
intervensi nilai mata uang China dan dampaknya terhadap hubungan
perekonomian China – AS; serta dapat menjadi bahan bacaan bagi peneliti lain
yang tertarik membahas objek yang sama dalam tulisan ini.
12
b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan rujukan pemerintah
dan lembaga terkait dalam memahami dan menanggapi kebijakan intervensi nilai
mata uang China dan dampaknya terhadap hubungan perekonomian China – AS.
D. Kerangka Konseptual
Dalam penilitian ini, penulis menggunakan rasional Ekonomi Politik
Internasional (EPI) dalam menjelaskan fenomena yang terjadi terkait dampak yang
diakibatkan dari intervensi mata uang China. EPI merupakan bidang ilmu yang
menjelaskan pendekatan terhadap perdagangan dan keuangan internasional dalam
pengaruhnya dengan kebijakan negara, seperti kebijakan fiskal dan moneter.37 EPI,
secara sederhana, berbicara mengenai saling keterkaitan aspek ekonomi dan politik
dalam isu-isu internasional. Pertanyaan utama dalam EPI umumnya dirumuskan untuk
menjelaskan kejadian-kejadian isu perekonomian dunia dan hal-hal apa saja yang
mendorong terjadinya hal tersebut.38 Pendekatan ekonomi politik internasional menjadi
acuan pokok kerangka ilmiah penulisan ini.
Menguraikan faktor-faktor yang memengaruhi fenomena dalam ekonomi
politik internasional jauh lebih kompleks dibandingkan dengan ekonomi politik
domestik. Kompleksitas ini umumnya timbul akibat banyaknya aktor yang terlibat,
seperti negara, perusahaan multinasional, yang juga dibentuk oleh beragam norma,
aturan, organisasi bahkan kebiasaan. EPI berupaya melihat apa yang mendorong aksireaksi dari aktor-aktor yang berbeda ini dan bagaimana dampak yang dihasilkannya.39
Terdapat dua paradigma utama yang membentuk ekonomi politik internasional:
liberalism dan merkantilisme. Seberapa jauh peran negara dalam menegaskan pengaruh
37
Joan E. Spero (2002), The Politics of International Economic Relations, 4 th ed., hal. 4-5.
Ibid
39
Benjamin J. Cohen. (2007). The Transatlantic Divide: Why are American and British IPE so
Different?, Review of International Political Economy, Vol. 14, No. 2., hal. 31
38
13
dan kontrolnya terhadap aktifitas ekonomi menjadi tolak ukur utama yang membedakan
kedua pendekatan ini.40 Secara sederhana, liberalisme meyakini pasar bebas bersifat
mampu membawa keteraturan sendiri (self-regulatory) dan menginginkan peran negara
diminimalisir sedangkan merkantilisme menginingkan kontrol negara yang lebih
dominan untuk mengakumulasi kekuatan negara.41
Dalam penelitian ini, penulis melakukan pengkajian dengan menggunakan
sudut pandang paradigma liberal. Paradigma liberal dipandang penulis dapat membantu
menjelaskan seberapa besar dampak intervensi nilai tukar mata uang China terhadap
hubungan ekonomi politik China dengan Amerika Serikat dalam perbandingannya
dengan sistem penetapan nilai mata uang universal yang mengambang bebas (fee
floating) didasarkan atas permintaan dan penawaran global. Perspektif liberalisme juga
membantu menunjukkan dampak intervensi mata uang China ini terhadap ekonomi
global secara lebih luas, yang kemudian dikerucutkan bagaimana fenomena global ini
secara akumulatif memberikan dampak pada Amerika Serikat.
Dalam mempelajari EPI, kebijakan fiskal dan moneter dikenal sebagai
kebijakan utama yang digunakan oleh pemerintah untuk memperoleh situasi
makroekonomi yang positif bagi perkembangan ekonomi dalam negeri. Kebijakan
moneter terkait dengan pengaturan nilai suku bunga (interest rates) dan asset,
sedangkan kebijakan fiskal terkait dengan jumlah pemasukan dan pengeluaran
pemerintah, melalui penyesuaian besaran pajak dan belanja negara. Pengaturan
kebijakan makroekonomi ini dapat bersifat ekspansif maupun kontraksioner bergantung
pada situasi yang ingin dikendalikan oleh pemerintah. Kedua kebijakan ini dapat
40
41
Ibid, hal. 35
Ibid
14
berkontribusi secara signikan terhadap nilai mata uang satu negara terhadap nilai mata
uang negara lain.42
Bentuk kebijakan makroekonomi yang akan dibahas dalam tulisan ini ialah
kebijakan intervensi nilai tukar mata uang yang memiliki sifat intrisik yang sangat
kompleks, bukan hanya melibatkan kebijakan moneter saja melainkan juga kebijakan
fiskal suatu negara. Intervensi nilai tukar mata uang atau manipulasi kurs merujuk pada
suatu fenomena dimana suatu pihak meningkatkan atau menurunkan nilai satu mata
uang terhadap mata uang lainnya. Dalam konteks ini, pihak yang dimaksud umumnya
melibatkan negara atau bank sentral negara tersebut. 43
Terdapat suatu hubungan yang dekat antara kebijakan moneter dan perdagangan
internasional. Stimulus moneter domestik dapat meningkatkan kesempatan ekspor ke
negara-negara partner dagang, demikian pula kebijakan kontraksioner dapat mengurangi
kesempatan ini. Intervensi bank sentral terhadap pasar mata uang, pada kondisi tertentu,
dapat menstimulasi jumlah ekspor dan menghambat jumlah impor, begitu pula
sebaliknya tergantung dari arah kebijakan intervensi.
Dalam teori, intervensi mata uang melalui pembelian mata uang asing dan
penjualan mata uang lokal dapat mengakibatkan nilai mata uang menjadi lebih murah
yang kemudian dapat membantu eksportir negara tersebut, dengan memungkinkan
mereka untuk menurunkan harga barang ekspor mereka atau mempertahankan harga
barang ekspor untuk mendapat keuntungan yang lebih. Upaya ini juga akan membuat
harga barang impor menjadi lebih murah. Harga ekspor yang lebih murah dan harga
impor yang lebih mahal akan meningkatkan surplus dagang negara, sehingga
meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi.
42
Sullivan, Arthur, Sheffrin, dan Steven. (2003). Economics: Principles in Action. New Jersey: Pearson
Prentice Hall Internaional, Inc., hal. 76.
43
Ibid
15
Bank sentral dapat menjual surat hutang negara untuk menjaga suplai mata uang
lokal tetap konstan. Dalam logika EPI, jika suatu intervensi tidak disterilisasi melalui
penjualan surat hutang, pembelian mata uang asing sama dengan peningkatan suplai
uang. Hal ini dapat dimengerti karena kementerian keuangan membeli mata uang asing
dari eksportir lokal dengan menggunakan mata uang lokal, yang kemudian memasuki
siklus perputaran uang domestik.
Terakhir, implikasi multinasional yang diakibatkan oleh intervensi kebijakan
mata uang China dianalisa menggunakan konsep ketidakseimbangan global (Global
Imbalances). Konsep ketidakseimbangan global umumnya dipahami sebagai besar
defisit transaksi berjalan dan surplus yang mencerminkan perdagangan dan arus
keuangan dalam skala global, dalam hal ini yakni antara Amerika Serikat (juga negaranegara importir besar sepeti Uni Eropa dan negara tetangga di Asia Timur) dan China.44
Isu utama yang menjadi kajian dalam konsep ini mencakup ketidakseimbangan
perdagangan yang dapat membahayakan kesejahteraan global dan karena itu menjadi
tanda akan perlunya pengambilan kebijakan yang tepat untuk memperbaikinya.
Lebih lanjut, skripsi ini dielaborasi menggunakan paradigma teori kritis, secara
spesifik yang berhubungan bidang ilmu hubungan internasional. Pemahaman lanjut
mengenai teori kritis dapat menjadi teori utama mengenai dinamika dan struktur sistem
internasional. Teori kritis internasional merupakan suatu upaya untuk merefleksikan
alur kritis fenomena dalam hubungan internasional dan memfokuskan pada baik
44
Oliver Blanchard. (2007). Global Imbalances. Diakses dari http://economics.mit.edu/files/762, tanggal
21 Mei 2012.
16
kesamaan maupun perbedaan antaranya dengan menaruhnya dalam kerangka kritisisme
yang konstruktif. 45
Teori kritis menawarkan suatu pendekatan isu-isu normatif yang berhubungan
dengan ilmu-ilmu sosial melalui metode yang non-reduktif. Domain teori ini mencakup
pertanyaan terhadap dimensi normatif akifitas sosial secara khusus bagaimana aktor
hubungan internasional mengaplikasikan pengetahuan praktis dan sikap normatif
mereka dari suatu perspektif yang kompleks dalam konteks yang beragam.46 Dalam hal
ini, teori ini menganalisa faktor-faktor relevan yang memengaruhi formulasi kebijakan
dari intervensi nilai tukar mata uang China, dari perspektif tradisional dan ideologi
komunal hingga pada perspektif kontemporer (terkadang dianggap sebagai perspektif
liberalistik) terkait pertumbuhan ekonomi. Teori ini juga dapat membentuk pola pikir
yang menjelaskan dampak-dampak apa saja yang diakibatkannya terhadap negara lain,
secara khusus pada Amerika Serikat, dan bagaimana, pada gilirannya, AS merespon
balik fenomena ini yang terefleksikan dalam formulasi kebijakan luar negerinya.
Dalam kepentingan penulisan skripsi ini, kebijakan luar negeri menjelaskan
bagaimana suatu negara bersikap terhadap negara lain, baik yang terkait isu politik
maupun ekonomi.47 Interaksi ini dievaluasi dan dimonitor untuk memaksimalkan
keuntungan dari kerjasama internasional, baik secara bilateral maupun multilateral.
Karena kepentingan nasional bersifat sangat penting, kebijakan luar negeri didesain oleh
pemerintah melalui suatu proses pengambilan keputusan tingkat tinggi. Pencapaian
45
Baaz Mikael. Critical Theory as an International Relations Theory. Diakses dari
http://asrudiancenter.com/2008/06/25/critical-theory-as-an-international-relations-theory.htm, tanggal 5
November 2011
46
Ibid
47
Anissimov Michael. (2011). What is Foreign Policy. Diakses dari htpp://wisegeek.com/what-isforeign-policy.html, tanggal 5 November 2011.
17
kepentingan nasional dapat terjadi sebagai hasil dari penerapan kebijakan luar negeri
secara efektif, baik melalui kerjasama maupun eksploitasi.48
E. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Dalam tulisan ini, penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif. Metode
ini dilakukan dengan menggambarkan dampak kebijakan penetapan mata uang China
secara ekonomi dan politik terhadap Amerika Serikat. Metode deskriptif digunakan
dalam menjabarkan dampak ini dimulai dari perspektif dalam justifikasi kebijakan
China sampai pada implikasinya terhadap perekenomian AS dan respon balik AS
terhadap kebijakan ini.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam tulisan ini, adalah telaah
pustaka (library research), yaitu dengan mengumpulkan berbagai data dari literaturliteratur seperti jurnal, buku, artikel, dan bahan tertulis lainnya. Serta pemberitaan dari
media elektronik dan cetak yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.
Data-data yang didapat dari berbagai literatur tersebut, digunakan sebagai bahan untuk
membantu menganalisa fenomena yang dibahas dalam penelitian. Adapun tempat yang
menjadi sumber literatur selama pengumpulan data dilakukan yaitu Perpustakaan Pusat
Universitas Hasanuddin di Makassar, Perpustakaan Ali Alatas Kementerian Luar Negeri
Republik Indonesia di Jakarta, City Public Library di Melbourne, serta ditambah
beberapa literatur dari koleksi pribadi penulis serta dari media online dengan sumber
yang telah tervalidasi sebelumya.
48
Ibid
18
3. Jenis Data
Berdasarkan pembahasan yang telah ditentukan maka, jenis data yang digunakan
dalam penelitian ini berupa data teoritis yang berhubungan dengan penelitian yang
ditulis. Data ini diperoleh dari berbagai literatur dan hasil olahan dari berbagai sumber
terkait. Data teoritis inilah yang kemudian dianalisis untuk menjawab permasalahan
yang ditentukan. Di samping itu juga terdapat berbagai data numerik dan statistik, untuk
membantu pembuktian praktis proses analisa kajian skripsi ini.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam tulisan ini adalah teknik analisis data
kualitatif. Dengan teknik ini, analisis ditekankan pada data kualitatif yang analisisnya
akan diarahkan pada data non-matematis. Namun untuk data pelengkap, juga disertakan
data kuantitatif berupa angka-angka statistik serta bantuan ilustrasi melalui kurva dan
grafik yang memiliki keterkaitan dengan obyek penelitian, yang penekanannya tetap
diarahkan pada interpretasi serta analisa dari data kuantitatif ini.
5. Metode Penulisan
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deduktif.
Penulisan dimulai dengan menggambarkan permasalahan secara umum. Kemudian
berdasarkan teori-teori dan data-data yang didapat ditarik kesimpulan yang bersifat
khusus.
19
BAB II
TELAAH PUSTAKA
Dalam telaah pustaka penulis akan menjabarkan beberapa teori dan konsep yang
menjadi acuan dasar pengembangan pemikiran. Teori yang digunakan ialah teori
ekonomi politik internasional secara khusus mengenai ekonomi liberal dan perdagangan
internasional, sedangkan konsep dasar yang digunakan meliputi konsep mengenai
valuta asing dan kurs, intervensi pemerintah dalam penentuan nilai tukar, dan
ketidakseimbangan global. Berikut, pemaparan dan ulasan telaah pustaka skripsi ini:
A. Ekonomi Politik Internasional
Secara sederhana, ekonomi politik internasional didefinisikan sebagai interaksi
global antara politik dan ekonomi. Robert Gilpin mendefinisikan ekonomi-politik
sebagai:
Dinamika interaksi global antara pengejaran kekuasaan (politik) dan pengejaran
kekayaan (ekonomi). Dalam definisi ini terdapat hubungan timbal balik antara
politik dan ekonomi.49
Ekonomi politik internasional merupakan studi yang mempelajari saling
keterhubungan antara ekonomi internasional dengan politik internasional, ekonomi
internasional dengan politik internasional yang muncul akibat berkembangnya masalahmasalah yang terjadi dalam sistem internasional. Dalam mengkaji teori ini dibutuhkan
integrasi antara konsep-konsep ekonomi serta politik, misalnya masalah-masalah dalam
isu perdagangan internasional, moneter, dan pembangunan. Menurut Robert Jackson &
George Sorensen, “...Ekonomi Politik Internasional pada dasarnya membahas tentang
49
Perwira dan Yani. (2005). Pengembangan Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. hal. 75.
20
siapa mendapatkan apa dalam sistem ekonomi politik internasional...”.50 Terutama
dalam era globalisasi, pemahaman bahwa terdapat jalinan yang saling tergantung dan
tidak dapat dipisahkan antara faktor ekonomi dan politik, serta antara negara dengan
pasar semakin tak terelakkan.51
Ekonomi politik internasional yang merupakan suatu bagian dari studi hubungan
internasional mempunyai sub-studi dengan penekanan pada analisa kebijakan (politik)
suatu negara dalam menghadapi permasalahan ekonomi internasional. Dapat pula
dinyatakan, bahwa ekopolinter adalah sebuah studi tentang masalah yang terfokus pada
elemen-elemen interdependen kompleks yang sering terjadi pada kehidupan kita seharihari. Dalam interaksi internasional secara umum terdapat terdapat mekanisme pasar
yang cukup rumit seperti penentuan kurs/valuta asing, faktor produksi, serta fluktuasi
pasar akibat pergerakan dinamis dari permintaan dan penawaran, spekulan-spekulan
pasar dan beberapa kasus internasional menjadi acuan yang penting dalam menentukan
pola-pola interaksi tersebut hingga melahirkan suatu kesepakatan (harga di dalam) pasar
internasional.
Salah satu konsep besar yang paling umum dijadikan sebagai acuan dalam sudut
pandang liberal ekonomi politik internasional ialah perdagangan bebas (free trade).
Dalam perspektif ini, perdagangan bebas, yang juga berkaitan erat dengan konsep
interdependensi, dapat mengoptimalkan perolehan manfaat tiap-tiap negara yang
mampu melakukan efisiensi dalam interaksi ekonominya, serta dianggap sebagai bentuk
paling adil dalam mengatur jalannya mekanisme pasar. Hal ini dapat terjadi akibat
penghilangan hambatan perdagangan seperti tarif (tariffs) dan kuota (quota),
kesepakatan masyarakat internasional dalam perjanjian umum mengenai tariff dan
50
Ibid. Hal 76
Hamdy Hady. (2004). Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia, hal.
36
51
21
perdagangan dalam WTO bisa berlangsung dan diterapkan melalui kesepakatan
perdagangan internasional secara multilateral.
Secara khusus dalam tulisan ini, bagian EPI yang menjadi pusat bahasan ialah
sistem moneter internasional dan dampak ekonomi-politik yang ditimbulkannya. Sistem
moneter internasional dapat dipahami mencakup semua fitur utama dari hubungan
moneter lintas batas nasional - proses dan lembaga intermediasi keuangan (mobilisasi
tabungan dan alokasi kredit) serta pembuatan dan pengelolaan uang itu sendiri.
Sebagaimana tulisan Susan Strange: "Struktur keuangan benar-benar memiliki dua
aspek tak terpisahkan. Ini terdiri atas, bukan hanya struktur ekonomi politik di mana
kredit dibuat, tetapi juga sistem moneter atau sistem yang menentukan nilai relatif dari
uang yang berbeda di mana kredit adalah mata uang."52 Kedua aspek tersebut
dipengaruhi oleh distribusi kekuatan di antara aktor.
Dan apa yang dimaksud dengan kekuatan dalam hubungan moneter? Secara
singkat meringkas argumen yang telah dikembangkan kekuatan moneter internasional
dapat dipahami terdiri dari dua dimensi kritis, otonomi dan pengaruh. Dimensi yang
lebih umum didengar adalah dimensi pengaruh, yang didefinisikan sebagai kemampuan
untuk membentuk peristiwa atau hasil. Secara operasional, dimensi ini secara alami
setara dengan kapasitas untuk mengontrol perilaku para aktor - "membiarkan orang lain
melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan aktor lain," cukup serupa dengan definisi
sederhana dari diplomasi.53
52
Susan Strange. (2004). States and Markets, 2nd Edition. Diakses dari:
http://books.google.co.id/books/about/States_and_Markets.html?id=YkjtEOM5LbkC&redir_esc=y,
tanggal 18 Oktober 2011.
53
Benjamin Cohen. (2006). The Macrofoundations of Monetary Power, dalam David M. Andrews, ed.
International Monetary Power. Ithaca, NY: Cornell University Press. 14:31-50.
22
Aktor, dalam pengertian ini, bersifat sangat kuat sampai-sampai secara efektif
dapat menekan atau memaksa orang lain. Singkatnya, sejauh itu dapat melaksanakan
suatu perintah atau kewenangan manajerial. Sebagai dimensi kekuasaan, pengaruh
penting adalah sine qua non dari kepemimpinan sistemik.
Dimensi kedua, otonomi, sesuai dengan definisi kamus kekuasaan merupakan
kapasitas untuk bertindak. Seorang aktor juga memiliki kekuatan dimana ia mampu
menggunakan kebebasan operasional – untuk bertindak secara bebas, bebas dari tekanan
luar. Dalam hal ini, kekuasaan tidak berarti mempengaruhi orang lain, melainkan berarti
tidak membiarkan orang lain untuk mempengaruhi seorang aktor – dengan kata lain
membiarkan aktor ini memiliki kebijakan sendiri, walaupun, mungkin, bertentangan
dengan keinginan aktor lainnya.
Untuk aktor negara dalam sistem moneter, kunci otonomi terletak pada distribusi
yang tidak pasti dari beban penyesuaian ketidakseimbangan eksternal. Ekonomi
nasional tak dapat dipungkiri lagi terkait melalui neraca pembayaran internasional.
Risiko ketidakseimbangan pembayaran tidak berkelanjutan merupakan ancaman kuat
bagi kebebasan kebijakan. Ketidakseimbangan yang berlebihan secara otomatis
menghasilkan tekanan saling menyesuaikan, untuk membantu pembayaran bergerak
menyeimbangkan kembali ke kondisi ekuilibrium. Namun penyesuaian dapat berarti
pertentangan atau bahkan dapat berpotensi menciptakan konflik baik secara ekonomi
dan politik.
Pemerintah tidak ada yang menyukai apabila dipaksa untuk berkompromi
dengan tujuan kebijakan utama demi mengembalikan keseimbangan eksternal. Negara,
jika diberi pilihan, akan lebih memilih bukan untuk melihat aktor lain yang membuat
pengorbanan yang diperlukan. Untuk negara, oleh karena itu, dasar dari kekuatan
23
moneter adalah kapasitas untuk menghindari beban penyesuaian yang diperlukan oleh
ketidakseimbangan pembayaran.
Beban lainnya adalah pengorbanan yang terjadi ketika transisi penyesuaian,
yang didefinisikan sebagai biaya perubahan itu sendiri. Dimana proses penyesuaian
tidak dapat ditunda, kekuatan untuk mengalihkan merupakan kapasitas untuk
menghindari biaya transisi penyesuaian dengan mengalihkan sebanyak mungkin biaya
itu kepada aktor lain. Kekuatan untuk menunda sebagian besar merupakan fungsi dari
posisi likuiditas internasional suatu negara relatif terhadap negara lain, yang terdiri dari
kedua cadangan yang dimiliki dan kapasitas pinjaman. Kekuatan untuk mengalihkan
bersumber pada beberapa variabel struktural mendasar yang menentukan derajat relatif
suatu perekonomian terbuka dan kemampuan beradaptasi.
Untuk aktor sosial dalam sistem moneter, kunci otonomi terletak pada hubungan
pasti antara domain pasar yang relevan dan yurisdiksi hukum. Di dunia yang semakin
global, jangkauan pasar keuangan terus menerus berkembang. Namun otoritas politik
tetap berakar pada masing-masing negara, masing-masing memiliki prinsip kedaulatan
dalam batas-batas teritorial sendiri.
Oleh karena ketidaksinkronan yang berlaku antara domain pasar dan yurisdiksi
hukum yang menciptakan banyak ruang untuk perilaku oportunistik oleh perusahaan
atau perorangan. Independensi kebijakan yang sangat dihargai oleh pemerintah
cenderung menciptakan perbedaan kendala pasar dan insentif yang mungkin
dimanfaatkan untuk keuntungan. Sebagai aktor sosial, dasar kekuasaan moneter adalah
kemampuan untuk menavigasi dengan sukses dalam celah antara rezim politik.54
54
Benjamin Cohen. op. cit., hal. 46
24
Kedua mode mulai dengan otonomi moneter sebagai syarat dasar dan perlu, dan
dalam kedua kasus aktor lain yang terkait mungkin merasa terdorong untuk
mematuhinya. Tapi dalam eksternalitas mode pasif bersifat insidental dan tak dapat
diduga-duga sebelumnya, sedangkan pada tekanan modus aktif berlaku langsung dan
sengaja. Modus aktif, pada dasarnya, mempolitisasi hubungan, yang bertujuan untuk
menerjemahkan pengaruh pasif ke kontrol praktis melalui penggunaan instrumen
kekuasaan. Dari sudut pandang ekonomi politik, perbedaan antara dua mode sangat
penting.
Fenomena inilah yang sering menimbulkan konflik kepentingan politik dan
ketidakseimbangan global ekonomi, yang menjadi bagian dari fokus skripsi ini. Yang
mana, China sebagai seorang aktor hubungan internasional yang independen dalam
menentukan kebijakannya untuk memperoleh kepentingannya (dalam hal ini,
pengembangan ekonomi) dihadapkan dengan kepentingan negara lain (dalam hal ini,
Amerika Serikat). Penjabaran teori ekonomi politik internasional yang kompleks ini
diperlukan
untuk
melihat
bagaimana
aktor-aktor
hubungan
internasional
mengimplementasikan kekuasaannya dan saling pengaruh satu sama lain dalam
mencapai kepentingannya masing-masing.
B. Pasar Valuta Asing dan Kurs
1. Pengertian Valuta Asing dan Pasar Valuta Asing
Valuta Asing merupakan mata uang yang bukan merupakan alat pembayaran sah
utama di suatu negara. Contoh Dollar AS di China, walaupun dapat menjadi alat
transaksi, namun tidak dapat diterima di semua tempat transaksi dan harus ditukarkan
terlebih dahulu dengan uang sah di China di pasar valuta asing.
25
“Valuta asing, dalam referensi keuangan international disebut juga foreign
exchange atau foreign currency adalah mata uang asing atau alat pembayaran
lainnya yang digunakan dalam transaksi ekonomi internasional berdasarkan kurs
resmi yang ditetapkan oleh bank sentral. (Khalwaty, Tajul 2000:172)”55
Dalam keadaan tanpa adanya intervensi, besarnya nilai tukar mata uang suatu
negara terhadap mata uang lainnya biasanya ditentukan oleh keadaan perekonomian
suatu negara. Foreign exchange market ini tidak tetap, melainkan selalu berubah
mengikuti penawaran dan permintaan.
“Pasar valas dapat diartikan sebagai suatu tempat atau wadah atau sistem dimana
perorangan, perusahaan dan bank dapat melakukan transaksi keuangan
internasional dengan jalan melakukan pembelian atau permintaan dan penjualan
dan penawaran”. (Hady, Hamdy 2001:23)”56
Sementara Levi, Maurice (2006) dalam bukunya “International Finance”
menjelaskan bahwa peran valas yang terwujud dalam pertukaran mata uang dapat
bervariasi di pasar valas internasional. Sebagai konsekuensinya maka diperlukan nilai
tukar yang rasional antara mata uang yang diperdagangkan. Nilai uang yang terbentuk
akan dipengaruhi oleh banyak faktor seperti faktor teknikal, fundamental, psikologis,
dan lain-lain yang terakomodasi dalam periode tertentu. Ketiga faktor tersebut
berimplikasai pada suatu kondisi nilai tukar yang cenderung fluktuatif dan penuh
ketidakpastian dalam suatu perekonomian internasional.57
2. Kurs
Kurs adalah jumlah satuan atau unit dari mata uang tertentu yang diperlukan
untuk memperoleh atau membeli satu unit atau satuan jenis mata uang lainnya. Menurut
Samuelson definisi kurs adalah: the price of one unit foreign is currency in term of
55
Tajul Khalwaty. (2000). Inflasi dan Solusinya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, hal. 23.
Hamdy Hady. op. cit., hal. 72.
57
Ibid
56
26
domestic currency is determined, and the price is called the foreign exchange rates.58
Sedangkan menurut Sawaldjo Puspopranoto, definisi kurs adalah harga dimana mata
uang suatu negara dipertukarkan dengan mata uang negara lain disebut nilai tukar
(kurs).59
Dari definisi-definisi tersebut di atas dapatlah disimpulkan secara singkat bahwa
kurs adalah nilai suatu mata uang dibandingkan degan mata uang lainnya. Misalnya
nilai mata uang RMB terhadap Dolar AS. Pemerintah umumnya memiliki
kecenderungan untuk mengambil peran dalam penentuan kurs agar sampai pada tingkat
yang kondusif bagi dunia usaha. Kurs, khususnya nilainya terhadap Dolar AS, sangat
berkaitan erat dan mempengaruhi arus barang dan jasa serta modal dari dalam dan
keluar negara bersangkutan.
3. Jenis Kurs
Terdapat beberapa jenis kurs atau nilai tukar, yaitu:
1. Kurs Beli (bid price) adalah besar satuan mata uang negara lain yang harus
diserahkan untuk membeli tiap unit uang asing kepada Bank atau money changer.
2. Kurs Jual (selling price) adalah besaran satuan mata uang negara lain yang akan
diterima dari bank atau money changer jika kita membeli mata uang asing.
3. Kurs Spot adalah nilai valuta asing yang digunakan untuk transaksi spot di pasar
valuta asing.
4. Kurs Forward, adalah nilai tukar yang berlaku dan digunakan untuk transaksi
forwad di pasar valas.
58
Paul A. Samuelson. (2005). Theoretical Notes on Trade Problems. Review of Economics and Statistics.
46:2., hal. 145–54.
59
Sawaldjo Puspopranoto. (2004), Manajemen Bisnis: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Jakarta: Penerbit
PPM, hal. 212
27
5. Kurs Silang adalah nilai antara dua valas yang diperoleh dari nilai tukar masingmasing valuta terhadap valuta lain.
6. Kurs Opsi adalah kurs yang ditetapkan dimuka sesuai dengan pendapat Shapiro
yaitu, “Call option give the customer the right to purchase, but option give the
right to sell the contracted currencies at the expected date”60
4. Penentuan Nilai Tukar atau Kurs
Terdapat tiga jenis sistem nilai tukar, yakni kurs tetap (fixed exchange rate),
kurs mengambang terkendali (managed floating exchange rate), dan kurs mengambang
bebas (free floating rate).61 Kurs tetap merupakan sistem dimana intervensi nilai mata
uang berlaku, dimana pemerintah atau bank sentral menetapkan suatu nilai tetap mata
uangnya terhadap nilai mata uang negara lain, tanpa memperhitungkan aktifitas
penawaran dan permintaan di pasar uang. Dalam kurs mengambang terkendali, hal yang
sama yakni intervensi nilai mata uang juga terjadi namun dalam skali yang lebih kecil,
dimana nilai mata uang tidak sepenuhnya mengikuti nilai riil dalam pasar bebas
melainkan tetap mendapatkan perlakuan kontrol dari pemerintah dan bank sentral.
Sebaliknya, dalam kurs mengambang bebas, nilai tukar mata uang sepenuhnya
ditentukan dari jumlah penawaran dan permintaan mata uang dalam pasar bebas untuk
mencapai kondisi equilibrium sesuai dengan kondisi eksternal dan internal dengan tidak
melibatkan campur tangan pemerintah.
Pasar valas merupakan sebuah contoh baik dari pasar yang sangat kompetitif. Di
pasar ini ada banyak pembeli dan penjual dari suatu produk yang homogen. Setiap
60
A. C. Saphiro. (2006). Multinational Financial Management. New Jersey: Pearson Prentice Hall
International, Inc., hal. 116.
61
Kurs Tetap, Kurs Mengambang Bebas, Kurs Mengambang Terkendali dan Penerapannya di Indonesia,
(2012). Diakses dari http://economicwatcher.com/2012/06/kurs-tetap-kurs-mengambang-bebas-kurs.html,
tanggal 13 September 2012.
28
pembeli dan penjual relatif kecil dibanding seluruh pasar, sehingga tidak ada seorang
pembeli atau penjual pun yang dapat mempengaruhi nilai tukar secara berarti. Pada
sistem nilai tukar ‘mengambang bebas’, pemerintah tidak melakukan intervensi di pasar
valas dan membiarkan nilai tukar dikendalikan sepenuhnya oleh kekuatan-kekuatan di
pasar bebas. Di lain pihak, pada sistem nilai tukar ‘mengambang terkendali’, pemerintah
kadang kala melakukan intervensi sebagai upaya untuk mencegah pergerakan nilai tukar
yang dipandang ekstrim atau bertentangan dengan kepentingan nasional.62
Hasil yang diperoleh dari intervensi nilai mata uang umumnya sangat terbatas,
yaitu hanya menahan nilai kurs untuk sementara waktu dan tak mampu menolong kurs
itu sendiri dari keterpurukan. Namun perlu disadari, bahwa dewasa ini walaupun
pemerintah ikut melakukan intervensi, volume dari kegiatan tersebut relatif kecil sekali
terhadap jumlah total kegiatan pihak swasta di pasar valas. Hal ini juga merupakan
fenomena global.
Di dalam rumusan pendekatan Salvatore yang diterjemahkan oleh Drs. Haris
Munandar, terdapat dua pendekatan yang dapat digunakan dalam penentuan nilai tukar
mata uang asing yaitu:
1. Pendekatan tradisional, yakni pendekatan berdasarkan pada arus perdagangan
dan paritas daya beli (PPP) yang kedudukannya sangat penting untuk
menjelaskan pergerakan kurs jangka panjang.
2. Pendekatan keuangan, yakni pendekatan yang memusatkan perhatiannya pada
pasar modal dan arus permodalan internasional dan berusaha menjelaskan
gejolak kurs jangka pendek yang kecenderungannya mengalami lonjakanlonjakan tak terduga.63
62
63
Ibid, hal. 219
D. Salvatore. (2007). Ekonomi Internasional. Edisi kelima, Jakarta: Penerbit Erlangga, hal. 84.
29
C. Ketidakseimbangan Global (Global Imbalances)
Ketidakseimbangan perdagangan yang besar dan terus berlanjut dari berbagai
negara dalam perekonomian dunia telah menyebabkan kekhawatiran di antara
pengambil kebijakan dan kritikus ekonomi politik internasional. Hal ini memancing
tekanan global yang mengarah pada keinginan untuk "penyeimbangan kembali" di mana
negara-negara dengan defisit perdagangan terus-menerus, seperti Amerika Serikat, akan
mengurangi impor bersih, sementara negara-negara dengan surplus perdagangan terusmenerus, seperti China, akan mengurangi ekspor bersih.64 Isu utama yang menjadi
kajian dalam konsep ini mencakup ketidakseimbangan perdagangan yang dapat
membahayakan kesejahteraan global dan karena itu menjadi tanda bahwa kebijakan
yang tepat diperlukan untuk memperbaikinya.
Konsep mengenai ketidakseimbangan global bukanlah merupakan suatu konsep
yang baru dan merupakan fenomena yang telah ada sejak tahun 1970-an. Konsep ini
kemudian marak dipergunakan kembali saat terjadi krisis finansial global tahun di tahun
2008. Ketidakseimbangan global biasanya dipahami sebagai besar defisit transaksi
berjalan dan surplus yang mencerminkan perdagangan dan arus keuangan dalam skala
global, dalam hal ini yakni antara Amerika Serikat (juga negara-negara importir besar
sepeti Uni Eropa dan negara tetangga di Asia Timur) dan China.
Pemahaman di atas, namun demikian, tidak mencerminkan bagian penting dari
ketidakseimbangan global dan dengan demikian risiko sistemik dan penyimpangan dari
keseimbangan, yaitu intervensi kebijakan tersebut termasuk kegagalan kebijakan ke
dalam perdagangan global dan mekanisme keuangan. Definisi yang lebih tepat
menjelaskan ketidakseimbangan global sebagai "posisi eksternal ekonomi yang secara
Corden W. Max. (2009). China’s Exchange Rate Policy, Its Current Account Surplus and the Global
Imbalances. Dalam Ross Garnaut, Ligang Song dan Wing Thye Woo (Ed). China’s New Place in a World
in Crisis. Canberra: Australia National University Press.
64
30
sistemik penting dan mencerminkan distorsi atau mengandung resiko bagi
perekonomian
global".65
Kondisi
ketidakseimbangan
global
didasarkan
atas
perdagangan (current account) dan keuangan (neraca berjalan dan posisi keuangan),
serta kekhawatiran yang dipahami lebih dari sekedar cermin dari satu sama lain
(perdagangan dan globalisasi keuangan keduanya diperhitungkan di sini).66
Dari perspektif perdagangan, ketidakseimbangan perdagangan tidak berarti
menjadi tanda akan adanya suatu disequilibrium. Sebaliknya, hal ini dapat menjadi
suatu tanda yang menunjukkan bahwa memang terjadi perdagangan dalam kurun waktu
dan tempat tertentu. Hal ini diilustrasikan dalam Kurva 2.1. yang menunjukkan teori
perdagangan mengenai kemungkinan jumlah produksi yang berbeda di dua negara, A
dan B, bersama-sama dengan kurva indiferen menunjukkan kesejahteraan yang mereka
dapat capai baik dalam autarki dan dengan perdagangan bebas. Namun demikian, kurva
ini tidak menampilkan jumlah dari dua barang yang berbeda pada titik waktu yang
sama, melainkan menunjukkan barang yang sama namun pada waktu yang berbeda.
Yakni, bahwa Negara A relatif lebih baik pada, dan demikian memiliki keuntungan
komparatif dalam, memproduksi barang pada masa sekarang, sedangkan kemungkinan
produksi barang Negara B cenderung lebih baik hanya di masa yang akan datang.67
Dari kurva 2.1., perbedaan keduanya direfleksikan dalam harga relatif yang
lebih rendah di masa kini dibandingkan dengan di masa depan pada Negara A dan
dengan di Negara B. Hal ini juga dapat dikorespondensikan dengan suku bunga riil
yang lebih rendah di Negara A dibandingkan dengan di Negara B. Dalam perdagangan
65
Pavel Hnat. (2009). Global Imbalances and Their Impact on Global Economic Governance (case of
IMF). Diakses dari http://stockholm.sgir.eu/uploads/Hn%C3%A1t_stockholm_final.pdf, tanggal 2 Juli
2012.
66
Goldstein, Morris dan Nicholas R. Lardy. (2009). The Future of China’s Exchange Rate Policy.
Washington DC: Peterson Institute for International Economics, hal. 125.
67
Ibid
31
bebas, ditunjukkan oleh garis harga melengkung yang serupa yang berarti tingkat suku
bunga bernilai sama, Negara A mengekspansi produksi di masa kini, mengekspor
kelebihan produk ke Negara B, sedangkan Negara B melakukan hal sebaliknya. Di masa
kini, berlaku bahwa Negara A memproduksi barang lebih dari jumlah yang
dikonsumsinya dan dengan demikian mengalami surplus perdangan, sedangkan Negara
B mengalami defisit.68
Kurva 2.1. Perdagangan Bebas Temporal dengan Preferensi Identik
Sumber: Global Imbalances and Their Impact on Global Economic Governance (case of IMF).
Diakses dari http://stockholm.sgir.eu/uploads/Hn%C3%A1t_stockholm_final.pdf
Tentu saja setiap negara memperoleh dan mengeksploitasi keuntungan
komparatif inter temporal dari situasi ini. Keduanya bahkan akan mampu mencapai
kurva indiferens yang lebih tinggi, mewakili kesejahteraan yang lebih tinggi. Tidak
akan terjadi masalah jika ekonomi internasional mengikuti keadaan ini.69
Namun apabila diperhatikan lebih dekat dari apa yang membedakan kedua
negara, Negara A memiliki keuntungan komparatif dalam produksi masa kini,
sedangkan Negara B memiliki keuntungan komparatif untuk produksi masa depan.
Perbedaan dua kemungkinan kurva produksi ini berarti bahwa rasio output riil di masa
68
Ibid
Huang, Yiping dan Kunyu Tao. (2010). Causes and Remedies of China’s Current Account Surpluses.
CCER Working Paper 2010002, 25 February. Beijing: China Center for Economic Research. Diakses dari
http://en.ccer.edu.cn/ReadNews.asp?NewsID=6802, tanggal 12 Oktober 2011.
69
32
depan, dibandingkan dengan masa sekarang, lebih besar di Negara B dibandingkan
dengan di Negara A, atau dengan kata lain output riil bertumbuh dengan lebih cepat,
dari waktu ke waktu, di Negara B. Hal ini menjelaskan mengapa konsumen di Negara B
mengalami defisit harus melakukan perubahan jumlah konsumsi dari waktu ke waktu.70
Namun jika ingin mencocokkan skenario teori ini dengan kenyataan yang
sedang terjadi, terdapat suatu masalah. Negara yang mengalami surplus perdagangan
yang sangat besar secara mengejutkan ialah negara berkembang China, bukan Amerika
Serikat yang mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi. Sehingga jika dicocokkan
antara Negara A dan Negara B dengan situasi nyata, Amerika Serikat identik dengan
Negara A, sedangkan China identik dengan Negara B. Teori akan berbicara bahwa AS
seharusnya mengalami suplus sedangkan China seharusnya sedang mengalami defisit
perdagangan.
Bagaimana kita menjelaskan, dalam konteks model ini, karena kenyataannya
ialah bahwa secara spesifik dalam kasus China-Amerika Serikat, keduanya justru
mengalami hal sebaliknya? Salah satu kemungkinannya ialah dengan membiarkan
kedua negara ini memiliki preferensi yang berbeda. Diandaikan apabila Negara A
memili preferensi lebih besar terhadap konsumsi di masa sekarang dibandingkan
dengan kemampuan untuk memproduksi di masa sekarang, sedangkan Negara B
memiliki preferensi ekstrim yang serupa mengenai tingkat konsumsi di masa yang akan
datang. Kurva 2.2 memberikan ilustrasi terkait dalam kondisi equilibrum pada
perdagangan bebas.
Yiping Huang. (2010). Krugman’s Chinese Renminbi Fallacy. VoxEU.org. Diakses dari
http://www.voxeu.org/article/china-us-and-renminbi-rejoinder-krugman, tanggal 26 Maret 2012.
70
33
Kurva 2.2. Perdagangan Bebas Temporal dengan Preferensi Non-identik
Sumber: Global Imbalances and Their Impact on Global Economic Governance (case of IMF).
Diakses dari http://stockholm.sgir.eu/uploads/Hn%C3%A1t_stockholm_final.pdf
Kurva di atas merupakan kurva yang mengilustrasikan perdagangan temporal
dengan preferensi non-identik, dimana Negara A memiliki preferensi atas konsumsi
masa sekarang sedangkan Negara B memilih konsumsi masa depan. Kurva ini
menunjukkan bahwa kedua negara memperoleh
keuntungan dari perdangan
intertemporal, yang dimotivasi oleh perbedaan dalam preferensi ketimbang perbedaan
dalam kapasitas produksi.
Apakah Kurva 2.2 telah mampu menggambarkan apa yang terjadi dalam
fenomena nyata? Tampaknya demikian, memang benar bahwa banyak dari penduduk di
AS, bertindak seolah-olah cenderung memiliki preferensi konsumsi untuk masa
sekarang dibanding dengan untuk masa yang akan datang, dan tingkat simpanan
(savings) di China dan negara berkembang lainnya menunjukkan preferensi yang
berlawanan. Namun demikian, hal ini belum dapat merefleksikan keseluruhan fenomena
yang terjadi.71
Jika gambar pada Kurva 2.2 merupakan refleksi utuh, maka diharapkan nilai suku
bunga riil di AS lebih tinggi dibandingkan dengan di China, kecuali bahwa perdagangan
71
Ibid
34
dan / atau arus modal memiliki tingkat bunga yang saling menyamakan kedudukan
secara internasional. Hal demikian tidak terjadi. Dan dalam hal apapun, mengandalkan
penjelasan tentang perilaku yang bertumpu terlalu banyak perbedaan pada preferensi
memiliki tingkat realibilitas yang rendah.
Teori keseimbangan global menyediakan alternatif melalui kebijakan yang dapat
mengintervensi perdagangan inter-temporal bebas dalam Kurva 2.1. di atas yang dapat
memengaruhi output akhir. Dalam teori perdagangan, umumnya dipertimbangkan
hambatan perdagangan seperti tarif, tetapi ini tidak akan membantu dalam kasus ini.
Hambatan perdagangan hanya akan mendorong ketidakseimbangan perdagangan
menjadi nol, bukan membalikkan mereka. Apa yang dibutuhkan adalah kebijakan yang
merangsang secara artifisial perdagangan melebihi keunggulan komparatif. Secara
sederhana, diumpamakan bahwa suatu negara menerapkan kebijakan subsidi, atau
mendukung kebijakan serupa untuk ekspor barang yang merupakan bagian dari
kerugian komparatif (atau impor dari negara lain).72
Secara khusus, teori ini berasumsi bahwa Negara A mensubsidi ekspor barang
untuk masa yang akan datang sedangkan Negara B mensubsidi ekspor barang di masa
kini. Hasil dari sepasang kebijakan ini ditunjukkan dalam Kurva 2.3. dimana
perdagangan ditunjukkan melalui garis putus-putus indikator harga. Karena subsidi
ekspor untuk barang di masa datang oleh Negara A, harga relatifnya lebih mahal di
dalam pasar domestik, baik bagi produser maupun konsumen, dibanding dengan harga
dalam pasar dunia. Hal sebaliknya berlaku bagi Negara B. Dan di kedua negara,
anggaran konsumen dengan harga dalam negeri berkurang di bawah nilai produksi oleh
kebutuhan untuk memungut pajak dengan tujuan membiayai subsidi.
72
Ibid
35
Kurva 2.3. Perdagangan Bebas Temporal dengan Distorsi Kebijakan Subsidi
Sumber: Global Imbalances and Their Impact on Global Economic Governance (case of IMF).
Diakses dari http://stockholm.sgir.eu/uploads/Hn%C3%A1t_stockholm_final.pdf
Hasil yang ditunjukkan pada Kurva 2.3. mengilustrasikan kesejahteraan kedua
negara menurun dibawah tingkat autarki. Hal ini tidaklah selalu demikian, karena cukup
mungkin bagi suatu negara untuk memperoleh keuntungan jika subsidi yang diterapkan
bernilai lebih kecil dibandingkan dengan lainnya. Namun rugi bersih dalam lingkaran
perdagangan internasional secara keseluruhan, dibandingkan dengan autarki, adalah
perlu, karena dengan perdagangan bertentangan dengan keunggulan komparatif,
perdagangan internasional mengalami inefisiensi.
Kurva 2.3. menunjukkan suatu kisah dramatis mengenai seberapa buruknya
akibat dari ketidakseimbangan yang timbul dari kebijakan yang meningkatkan
perdagangan inter-temporal yang tidak sesuai dengan keuntungan komparatif.73 Fakta
bahwa beberapa ekonomi dunia yang sedang bertumbuh pesat seperti China mengalami
surplus perdagangan sedangkan ekonomi yang sedang melambat seperti AS mengalami
defisit menunjukkan adanya kemungkinan bahwa asumsi teori ketidakseimbangan
global sedang berlangsung. Meskipun semua konsepsi ini terlihat agak asing, hal ini
hanyalah analog ekspor subsidi dengan tarif impor, yang juga dapat diidentikkan
73
Ibid
36
dengan kebijakan intervensi nilai tukar mata uang yang serupa dengan subsidi
perdagangan.74
Dalam kasus pemerintah China, kebijakan subsidi dalam bentuk intervensi nilai
tukar mata uang ini terlihat sangat jelas. Dalam jangka waktu bertahun-tahun,
pemerintah China telah mengakumulasikan aset luar negeri sebagai salah satu produk
sampingan dari intervensi pasar pertukaran mata uang ini. Sebagai hasilnya, China
mampu menyediakan pinjaman secara besar-besaran kepada banyak negara lain di
dunia.
Hasil kebijakan ini kurang lebih serupa dengan hasil yang dapat diraih suatu
negara melalui subsidi ekspor barang produksi masa kini. Di Amerika Serikat, tidak
begitu nampak suatu kebijakan yang dapat diidentikkan sebagai bentuk subsidi ekspor
barang untuk masa yang akan datang maupun untuk impor barang di masa sekarang.
Namun demikian, keadaan kebijakan moneter dan fiskal terlihat cenderung mendukung
konsumsi untuk masa kini dibanding untuk konsumsi di masa depan, dan dengan
demikian terdapat nilai simpanan yang rendah.
Interpretasi dari ketidakseimbangan global ini, dari perspektif teori perdagangan,
menunjukkan adanya kecenderungan yang dapat membahayakan stabilitas ekonomi
global serta taraf kesejahteraan secara luas. Hal ini tidak secara tepat sesuai dengan
penggambaran dalam teori ketidakseimbangan global ini, namun nampaknya memiliki
efek yang cukup serupa75. Hal inilah yang juga akan dikaji lebih lanjut di dalam bab-bab
selanjutnya dari skripsi ini.
74
Yu Yongding. (2007). Global Imbalances and China. Australian Economic Review 40(1):1-33. Diakses
dari http://www.gibs.ac.za/SiteResources/Uploads/ABN_Uploads/9785_Cap_markets_Africa07.pdf,
tanggal 25 Februari 2012.
75
Justin Yifu. (2010). Dealing with Global Imbalances, presentation at the KDI/IMF conference.
Reconstructing the World Economy. Seoul, Korea, 25 Februari.
37
BAB III
GAMBARAN UMUM ASPEK-ASPEK EKONOMI-POLITIK PENDORONG
KEBIJAKAN PENETAPAN NILAI MATA UANG RRC
A. Kebijakan Penetapan Nilai Mata Uang RRC
Kebijakan pemerintah China untuk membatasi apresiasi nilai tukar mata
uangnya, Renminbi (RMB), atau yuan, terhadap Dolar Amerika Serikat (USD) dan
mata uang asing lainnya telah menjadi sumber ketegangan hubungan politik ekonomi
internasional antara China dengan partner dagangnya, utamanya Amerika Serikat.76
Beberapa analis menduga bahwa China dengan sengaja “memanipulasi” nilai mata
uangnya untuk memperoleh keuntungan dari partner dagangnya. Lebih lanjut, mereka
berpendapat bahwa nilai mata uang China yang dijaga tetap konstan merupakan
penyebab utama terjadinya defisit dagang tahunan Amerika Serikat terhadap China
dalam jumlah yang sangat besar sehingga menyebabkan hilangnya lapangan pekerjaan
juga secara besar-besaran di Amerika Serikat, terutama dalam industri manufaktur.
Pada bulan Februari 2010, Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama,
menyatakan bahwa intervensi nilai mata uang China telah menempatkan perusahaanperusahaan Amerika Serikat pada keadaan “kerugian kompetitif (competitive
disadvantage) yang besar”. Lebih lanjut Obama menegaskan akan menanggapi
kebijakan mata uang China ini sebagai salah satu prioritas utamanya.77 Dalam suatu
konferensi berita di bulan November 2011, Presiden Obama juga menyatakan bahwa
China perlu untuk “maju selangkah menuju sistem pasar besar dalam menentukan nilai
76
Nama resmi mata uang China ialah renminbi (RMB), yang didenominasikan dalam unit yuan. Baik
RMB maupun yuan sering digunakan secara bergantian untuk mangacu pada unit mata uang China.
77
Paul Krugman. (2010). Taking on China. The New York Times. 14 Maret. Diakses dari
http://www.nytimes.com/2010/03/15/opinion/15krugman.html?_r=1 tanggal 15 April 2012.
38
tukar mata uangnya” dan Amerika Serikat dan negara lainnya telah merasa bahwa
kebijakan intervensi ini telah “cukup berbahaya”.78
Beberapa rancangan undang-undang telah diperkenalkan untuk menanggulangi
dampak akibat nilai mata uang China pada kongres AS yang ke 112. Termasuk di
dalamnya S.1619, yang disahkan oleh Senat pada tanggal 11 Oktober 2011.79 Rancangn
undang-undang ini akan menerapkan beberapa tindakan bagi negara-negara yang
dianggap memiliki nilai mata uang yang telah diintervensi.
Nilai RMB telah terapresiasi sebesar 30.4% terhadap dolar Amerika Serikat di
antara bulan Juli 2005 (ketika reformasi siginifikan nilai kurs China diterapkan) sampai
pada tanggal 30 November 2011. Namun demikian, apresiasi ini dilaksanakan dengan
sangat perlahan dan bertahap, dan di beberapa masa tertentu, tetap bernilai konstan.
Tingkat apresiasi RMB dikritisi oleh banyak partner dagang China, termasuk oleh
Amerika Serikat, karena dinilai terlalu lambat, dan banyak analis yang berargumentasi
bahwa nilai mata uang China masih tetap di bawah nilai sebenarnya.
Walaupun terdapat pertentangan di antara para analis ekonomi politik
internasional mengenai dampak ekonomi yang diakibatkan oleh intervensi nilai mata
uang China terhadap Amerika Serikat (banyak yang menyatakan dampak positif juga
negatif), kebanyakan dari analis ini setuju bahwa fleksibilitas mata uang menjadi salah
satu faktor utama untuk mengurangi ketidakseimbangan global, yang diyakini menjadi
kontributor utama yang mengakibatkan krisis finansial global dan melambatnya
perekonomian dunia. Lebih lanjut, mereka berpendapat bahwa reformasi kurs China
merupakan salah satu bagian dari kepentingan nasional China sendiri. China telah
78
The White House, News Conference by President Obama, 14 November 2011. Diakses dari
http://www.whitehouse.gov/briefing-room/press-briefings, tanggal 17 Maret 2012.
79
Wayne M. Morrison dan Marc Labonte. (2011). China’s Holdings of U.S. Securities: Implications for
the U.S. Economy. CRS Report for Congress, RL34314, 26 September. Diakses dari
http://www.fas.org/sgp/crs/row/RL34314.pdf, tanggal 3 Juli 2012.
39
sepakat untuk melanjutkan reformasi nilai kurs China menjadi lebih fleksibel, namun di
saat yang bersamaan menyatakan kekhawatirannya bahwa apresiasi China yang terlalu
cepat akan mengakibatkan hilangnya lapangan pekerjaan (utamanya di sektor ekspor
China), yang kemudian dapat membahayakan laju ekonomi domestik.
Beberapa ekonom mempertanyakan apakah apresiasi RMB akan menghasilkan
keuntungan signifikan bagi ekonomi AS. Mereka berpendapat bahwa harga produk
China akan meningkat tajam sehingga akan merugikan konsumer AS dan perusahaan
AS yang menggunakan komponen produksi asal China. Selain itu, apresiasi RMB dapat
mengurangi kebutuhan pemerintah China untuk membeli sekuritas AS, yang dapat
mempengaruhi nilai suku bunga AS.
Lebih lanjut dikatakan bahwa mata uang yang menguat tidak akan mendorong
relokasi aktifitas industri manufaktur yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
investasi asing (termasuk perusahaan-perusahaan AS) di China ke Amerika Serikat.
Sebaliknya, perusahaan tersebut kemungkinan akan mengalihkan produksi ke negaranegara murah lainnya Asia Timur. Di samping itu, apresiasi RMB diduga dapat
meningkatkan jumlah ekspor AS ke China, tetapi efek dari penurunan harga produk AS
di China bisa dinegasikan melalui kebijakan hambatan dagang dan diinvestasi yang juga
diterapkan China.
Para analis melihat bahwa reformasi kebijakan intervensi mata uang sebagai
salah satu bagian dari tujuan yang sesuai dengan kebijakan dagang AS. Tujuan-tujuan
ini mencakup bahwa China perlu untuk:
a. Menyeimbangkan
ekonominya
dengan
cara
menjadikan
permintaan
konsumen, bukan investasi tetap dan ekspor, sebagai sumber utama
pertumbuhan ekonomi China;
40
b. Mengeliminasi kebijakan-kebijakan industri yang ingin mempromosikan dan
melindungi perusahaan-perusahaan China (khususnya perusahaan milik
negara);
c. Mengurangi rintangan-rintangan perdagangan dan investasi; dan
d. Menjamin perlindungan terhadap hal kekayaan intelektual barang produksi
AS.80
Sebelum tahun 1994, China mempertahankan sistem tukar ganda. Sistem ini
terdiri atas sistem tukar resmi (yang digunakan oleh pemerintah), dan sistem tukar yang
sedikit lebih dekat dengan nilai tukar asli berdasarkan sistem pasar, yang digunakan
oleh importir dan eksportir dalam “pasar tukar” (swap market).81 Walaupun demikian,
akses untuk tukar menukar mata uang asing sangatlah terbatas dengan tujuan untuk
membatasi impor. Hal ini kemudian mendorong maraknya pasar gelap untuk transaksi
penukaran mata uang.
Kedua jenis nilai tukar mata uang di China pada masa itu memiliki perbedaan
yang cukup signifikan. Nilai tukar mata uang resmi dengan USD pada tahun 1993
berada pada angka 5.77 yuan sedangkan nilai tukar dengan USD pada pasar tukar pada
angka 8.70. Sistem nilai tukar ganda China beserta kebijakan dagang lainnya menuai
kritik dari Amerika Serikat karena dipandang sebagai kebijakan yang sangat membatasi
(restrictionist) impor dari luar negeri.82
Pada tahun 1994, pemerintah China menyatukan nilai tukar mata uangnya
dengan nilai awal pada angka 8.70 yuan terhadap Amerika Serikat. Angka ini kemudian
diapresiasi menjadi 8.28 pada tahun 1997 dan kemudian dijaga terus konstan sampai
80
Ibid
Ibid
82
Edward Wong. (2009). China Rejects Currency Manipulation Charge. The New York Times, 24 Januari.
Diakses dari http://www.nytimes.com/2009/01/25/world/asia/25beijing.html, tanggal 25 Januari 2012.
81
41
pada Juli 2005.83 RMB kemudian menjadi lebih mudah untuk didapatkan dan ditukar
melalui kegiatan perdagangan internasional, namun tidak dalam bentuk modal, yang
berarti bahwa yuan masih sulit untuk didapatkan untuk tujuan investasi di masa itu.
Pada tahun 1994 sampai pada Juli 2005, China mempertahankan suatu kebijakan
mematok (pegging) RMB terhadap USD pada angka kurang lebih 8.28 yuan per satu
USD. Standar patok ini dijustifikasi oleh pemerintah China untuk menjaga kestabilan
lingkungan bagi perdagangan asing dan investasi di China (karena kebijakan ini dapat
mencegah pergeseran besar dalam nilai tukar mata uang). Kebijakan yang serupa
umumnya diterapkan oleh banyak negara di masa awal perkembangannya. 84
Bank sentral China mempertahankan nilai patok ini dengan cara membeli (atau
menjual) aset-aset dengan denominasi dalam USD dan ditukarkan dengan pencetakan
baru mata uang yuan sesuai dengan kebutuhan untuk mencegah kelebihan permintaan
(atau penawaran) terhadap yuan. Sebagai hasilnya, nilai tukar mata uang antara yuan
dan dolar relatif konstan, meskipun banyak faktor ekonomi lain yang terjadi yang dapat
mengakibatkan nilai tukar RMB terapresiasi (atau depresiasi) relatif terhadap dolar.
Dalam sistem nilai tukar mengambang yang dipakai secara universal dalam
perdagangan bebas, permintaan relatif terhadap produk dan aset kedua negara menjadi
penentu nilai tukar mata uang RMB terhadap USD.85
1. 2005: Reformasi Rezim Mata Uang RRC
Pemerintah China memodifikasi kebijakan terkait mata uangnya pada tanggal 21
Juli 2005. Seperti yang dipublikasikan, nilai tukar mata uang China akan “disesuaikan,
berdasarkan permintaan dan penawaran dengan referensi pergerakan nilai kurs yang
83
Ibid
Ibid
85
Ibid
84
42
ada,”86 dan bahwa nilai tukar USD terhadap RMB akan disesuaikan dari 8.28 yuan
menjadi 8.11, terapresiasi sebesar 2.1%. Namun tidak persis halnya dengan sistem nilai
tukar mengambang, RMB hanya diperbolehkan untuk berfluktuasi dalam rentang 0.3%
(kemudian diubah menjadi 0.5%) setiap harinya terhadap nilai kurs yang ada.87
Setelah bulan Juli 2005, China memperbolehkan RMB untuk terapresiasi secara
berangsur-angsur, dengan sangat perlahan. Dari tanggal 21 Juli 2005 sampai pada
tanggal 21 Juli 2008 nilai tukar USD-RMB berubah dari 8.11 menjadi 6.83, terapresiasi
sebesar 18.7% (atau sebesar 20.8% jika apresiasi awal sebesar 2.1% dimasukkan dalam
perhitungan).
88
Situasi hasil kebijakan pada waktu tersebut dapat dikatakan sebagai
“sistem mengambang yang terkontrol”—kekuatan pasar menentukan arah umum
pergerakan RMB, namun pemerintah menahan nilai apresiasinya melalui intervensi
pasar valas.
2. 2008: Penghentian Apresiasi RMB
China menghentikan apresiasi nilai mata uangnya sekitar pertengahan tahun
2008 (lihat Grafik 3.1.). Justifikasi pegging ini utamanya karena penurunan permintaan
global terhadap produk ekspor China akibat dari krisis finansial global. Pada tahun
2009, ekspor dan impor China menurun sebesar 15,9% dan sebesar 11,3% dibandingkan
level pada tahun 2008.89
86
Baru kemudian diumumkan bahwa komposisi nilai kurs yang dimasukkan merujuk pada dolar, yen,
euro, dan beberapa kurs lainnya, akan tetapi komposisi nonimal yang sebenarnya tidak pernah
dipublikasikan. Jika nilai yuan memang ditentukan berdasarkan sekolompok nilai kurs lainnya, nilai yuan
tidak akan sebegitu stabilnya terhadap dolar pada pertengahan tahun 2008 sampai pada pertengahan tahun
2010, kecuali apabila nilai yuan memang sengaja dibuat demikian terhadap nilai dolar.
87
Jonathan E. Sanford. op. cit. hal. 2-6.
88
Ibid
89
Kathryn. (2003). Foreign Exchange Intervention: Did it Work in the 1990s? Dalam Fred B. & John W.
(ed.). Dollar Overvaluation and the World Economy. Washington: Institute for International Economics,
hal. 217-245
43
Grafik 3.1. Nominal Nilai Tukar RMB-Dolar: Januari 2008 - Mei 2010
(yuan per U.S. dolar [rerata per bulan])
Sumber: Global Insight.
Catatan: Grafik dibalik secara vertikal untuk tujuan ilustratif. Garis yang menukik naik
menunjukkan apresiasi nilai RMB terhadap USD dan garis menurun menunjukkan
depresiasi.
Pemerintah China melaporkan bahwa ribuan pabrik berbasis ekspor terpaksa
ditutup dan lebih dari 20 juta pekerja imigran kehilangan mata pencahariannya di tahun
2009 karena terkena efek langsung dari dampak penurunan pertumbuhan ekonomi
global. Nilai tukar mata uang RMB/USD ditahan konstan pada angka 6.83. Situasi ini
terus berlanjut sampai pada sekitar pertengahan Juni 2010.90
3. 2010: Pelanjutan Apresiasi RMB
Berikut merupakan grafik nilai tukar RMB terhadap USD pada bulan Juni 2010
sampai pada November 2011:
90
Ibid
44
Grafik 3.2. Rerata Bulanan Nilai Tukar RMB-USD: Juni 2010-November 2011
(yuan per dolar AS)
Sumber: China Money and Global Insight.
Catatan: Grafik diputar secara vertikal dengan tujuan ilustratif untuk menunjukkan apresiasi
dan depresiasi nilai tukar RMB terhadap Dolar.
Pada tanggal 19 Juni 2010, bank sentral China, the People’s Bank of China
(PBC), berdasarkan pada situasi ekonomi saat itu, memutuskan untuk “meneruskan
lebih lanjut inisiatif reformasi nilai tukar RMB dan meningkatkan fleksibilitas nilai
tukar mata uangnya”. Namun ini bukan berarti terjadi revaluasi besar-besaran dalam
sekejap, dengan alasan bahwa “penting untuk menghindari fluktuasi tajam dan besarbesaran dari nilai tukar RMB”. Dengan demikian, korporasi korporasi China dapat lebih
mudah menyesuaikan dengan apresiasi nilai tukar yuan.
Banyak pengamat berpendapat bahwa pengaturan waktu dimana kebijakan ini
diambil dan dipublikasikan ialah dimaksudkan untuk mencegah nilai tukar RMB
menjadi fokus utama dalam pertemuan G-20 di Toronto pada bulan Juni 2010. Seperti
yang diilustrasikan dalam Grafik 3.2., nilai tukar RMB terhadap dolar mengalami
perubahan naik dan turun semenjak kebijakan apresiasi RMB dilanjutkan. Secara garis
besar, nilai RMB terus meningkat.91 Dari tanggal 19 Juni 2010 (ketika apresiasi mata
91
Fakta bahwa nilai mata uang China terapreasiasi dalam kurun waktu tertentu dan terdepresiasi dalam
kurun waktu lainnya menimbulkan pertanyaan akan seberapa jauh Bank Sentral China akan
memperbolehkan nilai RMB terapresiasi dari waktu ke waktu. Banyak pengamat yang menyimpulkan
bahwa hal ini merupakan indikasi bahwa apreasiasi RMB akan terjadi dalam jangka waktu yang sangat
45
uang dilanjutkan) sampai pada tanggal 3 November 2011, nilai tukar RMB-USD
meningkat dari angka 6.83 ke angka 6.35, terapresiasi sebesar 7.6%.92
B. Perspektif dan Justifikasi RRC dalam Kebijakan Penentuan Nilai Mata Uang
Pemerintah China berargumentasi bahwa kebijakan intervensi nilai mata uang
China tidak dimaksudkan untuk meningkatkan ekspor agar melebihi impor, namun
untuk menjaga stabilitas ekonomi melalui stabilitas nilai mata uang. Kebijakan ini
merefleksikan tujuan pemerintah dalam memanfaatkan ekspor untuk membuka
lapangan pekerjaan bagi penduduk China dan menarik investasi asing untuk
memperoleh akses teknologi dan pengetahuan. Pemerintah China telah menyatakan
dalam berbagai kesempatan bahwa reformasi nilai mata uang China merupakan salah
satu tujuan jangka panjang pemerintah yang akan dicapai secara bertahap. Para anggota
pemerintah secara tegas mengutuk tekanan internasional yang terus mendesak China
untuk mengapresiasi mata uangnya, dengan alasan bahwa tekanan ini sama saja dengan
pelanggaran
“kedaulatan”
China
dalam
memberlakukan
kebijakan
ekonomi
domestiknya sendiri.
Pada bulan Desember 2009, media China melaporkan bahwa anggota
pemerintah, yang namanya tak ingin disebut, menyatakan bahwa “sangatlah sulit untuk
mengharapkan adanya apresiasi langsung nilai RMB di suatu negara dimana 40 juta
penduduknya hidup dengan penghasilan di bawah 1 dolar AS per harinya.”93 Media ini
juga melaporkan Perdana Menteri China Wen Jiabao menyatakan bahwa “beberapa
panjang, namun dengan metode yang tidak dapat diprediksi sebagai upaya untuk membatasi spekulasi
terhadap RMB dan aliran masuk “uang panas” yang justru dapat mengganggu stabilitas ekonomi China.
92
B. Amy. (2011). Will Currency Manipulation Bill Ignite Trade War with China? ABC News. Diakses
dari: http://abcnews.go.com/politics/2011/10/will-currency-manipulation-bill-trade-war-with-China/,
tanggal 11 Oktober 2011.
93
Liu Wei. (2008). The Exchange Rate Adjustment Should be Based on the Judgment of Major Domestic
Contradiction. China Center for National Accounting and Economic Growth, Peking University. Diakses
dari: http://www.nepku.com/read.asp? id=461, tanggal 26 September 2011.
46
negara menginginkan apreasiasi nilai yuan, di saat yang bersamaan juga menerapkan
berbagai macam kebijakan proteksi pasar terhadap China. Hal ini tidak adil dan
sebenarnya membatasi perkembangan China.”94
Walaupun memang terdapat beberapa langkah yang diambil pemerintah terkait
reformasi nilai mata uang, langkah ini diambil dengan sangat berhati-hati. Pemerintah
China memandang pertumbuhan ekonomi sangatlah kritis untuk mempertahankan
kestabilan politik, dan oleh karenanya menjadi acu untuk menerapkan kebijakan yang
dapat menimbulkan gangguan perekonomian dan menciptakan pengangguran secara
meluas yang dapat mengarah pada aksi protes massa.95 Selain itu, anggota pemerintah
China menolak pernyataan dari berbagai ekonom bahwa kebijakan rezim nilai kurs
China telah melemahkan ekonomi global atau bahwa apresiasi RMB diperlukan untuk
mendorong perbaikan ekonomi global. Sebaliknya, mereka berpendapat bahwa
pertumbuhan ekonomi yang drastis merupakan bagian dari kebijakan yang dapat
diambil China untuk membantu memulihkan kondisi ekonomi global. Mereka mencatat
bahwa impor China telah meningkat secara drastis di tahun-tahun belakangan ini
sebesar 38.8% di 2010 (dibandingkan tahun sebelumnya) dan sebesar 28.7% selama 10
bulan pertama di tahun 2011 (basis tahun per tahun) (lihat Grafik 3.3).
Pejabat China berpendapat bahwa pertumbuhan yang cepat jumlah impor
membuktikan bahwa kebijakan mata uang tidak membatasi perdagangan atau
meningkatkan pertumbuhan ekonomi China dengan mengorbankan negara-negara lain.
Selain itu, mereka mencatat, barang surplus perdagangan China turun pada tahun 2009
94
Ibid
Telah terdapat banyak laporan akan adanya protest massa di berbagai kawasan di China, sebagian besar
mengenai isu upah buruh. Pemerintah China mengkhawatirkan bahwa apresiasi nilai mata uang China
memberikan alasan bagi eksportir China untuk menahan upah buruh seminimal mungkin atau bahkan
terpaksa untuk memecat karyawannya, sehingga dapat mengakibatkan lebih banyak pengangguran dan
ketidakstabilan sosial.
95
47
dan 2010, dan berdasarkan data Januari-Oktober 2011, kemungkinan akan menurun
pada tahun 2011. Surplus perdagangan China menurun dari puncaknya sebesar $297
miliar pada tahun 2008 menjadi $198 miliar pada tahun 2009 dan menjadi $185 miliar
pada tahun 2010.
Grafik 3.3. Arus Perdagangan Bulanan China: Januari 2008-Oktober 2011
(dalam $ juta dolar)
Sumber: Global Trade Atlas menggunakan statistik resmi China.
Surplus perdagangan China juga menurun pada 10 bulan pertama tahun 2011
sebesar 15,4%, yang mengindikasikan bahwa surplus perdagangan China dalam setahun
kini berada dia angka $156 miliar. Kritik menyanggah dalih ini dengan argumentasi
bahwa ekspor China telah berkembang dengan pesat sejak awal 2009 dan telah
melampaui tingkat sebelum krisis, sedangkan pertumbuhan PDB riil China selama dua
tahun terakhir ini merupakan yang tertinggi (sebesar 9,2% pada tahun 2009 dan 10,3%
pada tahun 2010) dibandingkan ekonomi negara besar lainnya. Akibatnya, kritikus
48
berpendapat, upaya China untuk menekan nilai mata uangnya tidak dapat dibenarkan
karena alasan ekonomi.96
C. Hubungan Ekonomi Politik RRC – Amerika Serikat
1. Hubungan Ekonomi RRC – Amerika Serikat
Terdapat suatu implikasi kritis yang dimiliki oleh pertumbuhan ekonomi China
dan liberalisasi gradual ekonominya terhadap perekonomian dan kepentingan strategis
AS. Pertumbuhan ekonomi China yang luar biasa pesat ini juga berjalan seiring dengan
pengaruhnya
secara
politis
terhadap
dunia
internasional.
Untuk
memenuhi
kebutuhannya yang besar akan sumber daya, modal, dan teknologi, China dengan
sukses telah mulai menjalin kerjasama dagang, menyepakati kontak minyak bumi dan
gas, perjanjian kerjasama teknologi dan ilmu pengetahuan, dan perjanjian pertahanan
keamanan secara multilateral dengan berbagai negara lain, baik dengan negara tetangga,
maupun dengan negara-negara lain di berbagai penjuru dunia. Pengaruh ini bahkan telah
dipenetrasi hingga ke wilayah-wilayah dimana AS juga memiliki kepentingan dan
pengaruh yang sebelumnya tidak tertandingi oleh negara manapun.
Seusai reformasi dan liberalisasi perekonomian China, neraca dagang China
yang pada mulanya mengalami defisit mulai mengalami peningkatan pesat hingga
mencapai surplus yang dari tahun ke tahun terus meningkat secara fantastis. Pada tahun
2010, surplus perdagangan China mencapai US$ 184,5 miliar. China mengalami surplus
umumnya dengan negara-negara industri maju dan cenderung mengalami defisit dengan
negara-negara berkembang. Namun dengan besarnya volume perdagangan China
dengan negara-negara maju, neraca dagang China secara akumulatif tetap bernilai
positif.
96
Liu Wei. loc. cit.
49
Beberapa
ahli
menyatakan
bahwa
peningkatan
keterlibatan
hubungan
internasional China meningkatkan adanya persaingan yang kuat antara China dan AS
atas penguasaan sumber daya, kekuatan dan pengaruh. Republik Rakyat China
merupakan partner dagang ketiga terbesar Amerika Serikat, dengan total nilai dagang
sebesar AS$ 285 miliar pada tahun 2005.97 Isu-isu yang sedang marak antara hubungan
perekonomian AS dan China, mencakup meningkatnya defisit dagang AS terhadap
China (sebesar AS$ 202 miliar pada tahun 2005), kegagalan China melindungi hak cipta
dan hak kekayaan intelektual inovasi dari AS, pemberlakuan kebijakan yang
menghalangi pasar bebas, seperti subsidi serta kebijakan intervensi nilai mata uangnya
itu sendiri, serta upaya pemerintah China dalam membeli kepemilikan surat hutang
AS.98
Para kritisi AS menganggap bahwa intervensi nilai mata uang China menjadi
kontributor besar defisit perdagangan AS terhadap China dan dengan demikian
menginginkan China untuk segera melakukan penyesuaian. Penyesuaian ini, oleh
pemerintah AS, diharapkan dengan segera mampu merefleksikan harga mata uang
China yang sebenarnya berdasarkan sistem pasar bebas. Pemerintah AS secara proaktif
menyuarakan kekhawatirannya melalui berbagai forum internasional.
Pada bulan Juli 2005, pemerintah China merespon kekhawatiran pemerintah AS
dengan mengumumkan bahwa nilai mata uang China akan disesuaikan terhadap
beberapa nilai mata uang partner dagang utamanya, termasuk dolar Amerika Serikat.
Namun demikian, proses apreasiasi yang lambat dan dengan nilai yang tidak begitu
signifikan ini rupanya tidak cukup untuk menahan kekhawatiran AS dan Senator AS
Charles Schumer dan Lindsay Graham untuk memperkenalkan rancangan undang97
98
Ibid
Ibid
50
undang (S. 295) yang, apabila disahkan, akan menaikkan tariff AS terhadap barangbarang impor asal China sebesar 27.5% kecuali apabila nilai mata uang China
diapresiasi secara signifikan.
2. Hubungan Politik RRC – Amerika Serikat
Meningkatnya intensitas perdagangan antara China dan Amerika Serikat juga
memberikan arti penting peningkatan interaksi politik antar kedua negara. Pada tanggal
7 Desember 2005, Wakil Sekretaris Negara AS Robert Zoellick dan Wakil Menteri Luar
Negeri China Dai Bingguo melaksanakan pertemuan bilateral Dialog Senior yang kedua
di Washington untuk membahas kerangka konsep dan strategis hubungan China-AS
serta membahas isu-isu lainnya.99 Ide penyelenggaraan pertemuan bilateral ini awalnya
diusulkan oleh Presiden China Hu Jintao pada saat bertemu dengan Presiden AS Bush
pada bulan November 2004 dalam pertemuan Asia Pacific Economic Cooperation
(APEC) di Chili. Amerika Serikat secara politis memandang China memiliki arti yang
sangat penting utamanya sebagai pemain utama politik internasional secara khusus di
Asia dan secara umum pada skala global, sekaligus sebagai salah satu pemegang hak
veto dalam Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa.
Dengan dikembangkannya kerangka kerjasama bilateral antara AS dan China,
pemerintah AS secara proaktif terus melakukan upaya untuk membentuk kerangka
diplomasi yang sesuai dengan kebutuhan kedua negara. Amerika Serikat lebih
menekankan pada peran serta China untuk menjadi “aktor bertanggungjawab” dalam
konstalasi politik internasional—agar tidak hanya sekedar berkepentingan untuk
memperoleh keuntungan ekonomi, namun juga mulai memegang peran tanggung jawab
terhadap perekonomian global dan diplomasi politik. Zoellick menyatakan bahwa AS
99
Ibid
51
siap untuk menjalin kerjasama bilateral yang lebih erat dengan pemerintahan China
yang masih berlandaskan atas ideologi komunis, di saat bersamaan tetap mengharapkan
adanya peningkatan nilai-nilai demokrasi oleh pemerintah China.
Perubahan situasi ekonomi China secara drastis tidak lepas dari adanya
perselisihan antara berbagai kelompok sosial di China. Para petani di wilayah pedesaan
China pada mulanya harus menanggung bebas pajak yang sangat besar sehingga terjadi
kesenjangan pendapatan antara masyarakat yang tinggal di wilayah perkotaan dan yang
tinggal di daerah pedesaan. Beberapa lahan petani bahkan disita oleh pemerintah untuk
dijadikan wilayah pembangunan industri, dengan memberikan kompensasi yang sangat
minim. Salah satu kasus penahanan lahan pertanian oleh angkatan bersenjata China
terjadi pada tanggal 6 Desember 2005 di kota Dongzhou (Shanwei), ketika pemerintah
China ingin membangun konstruksi sumber energi di wilayah pertanian, yang kemudian
mengakibatkan beberapa rakyat sipil meninggal akibat bentrok antar sipil dan militer
yang mencoba mangambil alih kepemilikan lahan tersebut.
Dalam upaya menanggapi keluhan masyarakat di wilayah pinggiran China,
pemerintah China mengusulkan suatu mekanisme baru di awal tahun 2005 untuk
mengurangi pajak petani pedesaan, meningkatkan subsidi pertanian, dan berupaya
menutupi kesenjangan pendapatan antara masyarakat wilayah perkotaan dan pedesaan
China. Meningkatnya demonstrasi dan protes buruh, terutama di wilayah utara dan
sebelah dalam China menjadi sumber kekhawatiran tersendiri bagi rezim politik China
yang dibangun atas dasar semangat komunisme yang memprioritaskan kepentingan
kaum buruh. Meningkatnya aktifitas protes ini memberikan tekanan yang lebih besar
52
bagi pemerintah China utamanya melalui satu-satunya organisasi buruh yang sah di
China, yakni All-China Federation of Trade Unions (ACFTU).100
Keberhasilan ekonomi China membuat negara ini mampu memperluas
pengaruhnya ke berbagai negara. Namun, berbeda halnya dengan AS, cara yang
dilakukan oleh China dalam memberikan bantuan sama sekali tidak terkait dengan
berbagai prasyarat demokratisasi dan pasar bebas. Bantuan China ke berbagai negara
dijadikan China semata-mata sebagai diplomasi perdagangan, dimana bantuan tersebut
membantu China mendapatkan kontrak ekonomi di berbagai negara. Bagi China,
kondisi dalam negeri suatu negara tidak menjadi persoalan dalam melakukan kerjasama
ekonomi, karena menurutnya hal tersebut merupakan urusan dalam negeri suatu negara
yang tidak bisa dicampuri oleh negara lain.
Berkat pola pendekatannya yang berbeda dengan Amerika Serikat, China
dipercaya kini lebih disenangi oleh negara-negara berkembang yang berada di Afrika
dan Amerika Latin, khususnya negara-negara yang anti Amerika Serikat. Makin
besarnya pengaruh China di berbagai kawasan, perlahan menggeser posisi Amerika
Serikat yang selama ini mendominasi perpolitikan internasional. Pemberlakuan sistem
komunisme berkarakteristik China, yang berhasil mengubah China menjadi pemain
utama dalam dunia internasional juga menjadi tantangan bagi sistem liberalisme dan
demokratisasi yang dijalankan Amerika Serikat yang sealma ini dianggap sistem terbaik
dalam menjalankan suatu negara. Sampai sekarang Amerika Serikat masih menjadi
nomor satu dalam perpolitikan internasional, namun, dengan keberadaan China,
Amerika Serikat tidak lagi menjadi satu-satunya pemain utama. Amerika Serikat bahkan
100
All China Federation of Trade Unions. (2007). A Brief Introduction of the All-China Federation of
Trade Unions (ACFTU). Diakses dari http://english.acftu.org/template/10002/file.jsp?cid=63&aid=156,
tanggal 17 Maret 2012.
53
akan memikirkan reaksi China dalam pengambilan keputusannya ataupun kebijakannya
baik dalam negeri maupun luar negeri yang terkait dengan China.
54
BAB IV
PENGARUH KEBIJAKAN PENETAPAN NILAI TUKAR MATA UANG RRC
TERHADAP HUBUNGAN EKONOMI POLITIK RRC – AMERIKA SERIKAT
A. Dampak Kebijakan Nilai Tukar terhadap RRC
Pada tahun 2004, sebagai bentuk respon terhadap perdebatan internasional,
Perdana Menteri China Wen Jiabao mengumumkan bahwa China akan mengambil
langkah yang lebih lanjut terkait reformasinya dan membentuk mekanisme yang lebih
fleksibel yang mampu beradaptasi dengan perubahan permintaan dan penawaran
internasional. Ia mengakui bahwa reformasi ini merupakan suatu proyek sistematis
yang melibatkan banyak aspek yang perlu dipertimbangkan.101 Sepanjang masa
reformasi ini, pemerintah China mempertimbangkan banyak faktor, termasuk
keberlangsungan makroekonomi China, perkembangan sosial, pemasukan dan
pengeluaran internasional, kemajuan reformasi perbankan, pertumbuhan ekonomi,
lapangan pekerjaan, tingkat regulasi finansial, ketahanan perusahaan-perusahaan dan
efek dari perdagangan asing, dan situasi keuangan dan perekonomian dunia.
Kemudian, Wen juga menambahkan bahwa China harus menegakkan prinsipprinsip inisiatif independen, pengendalian, dan kemajuan bertahap saat melakukan
reformasi nilai tukar RMB. Prinsip ini diharapkan bergerak menuju rezim yang lebih
berorientasi pasar dan fleksibel.102 Keputusan pengambil kebijakan pemerintah China
Guo, Kai, dan N’Diaye. (2009). Is China’s Export-Oriented Growth Sustainable. IMF Working Paper,
Agustus. Diakses dari http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2009/wp09172.pdf, tanggal 21 Maret
2012.
102
China to Improve RMB Exchange Rate System. (2004). Xinhua. Diakses dari
http://www.Chinadaily.com.cn/english/doc/2004-09/29/content_378700.htm, tanggal 26 September 2011.
101
55
tidak dipengaruhi hanya oleh tekanan eksternal saja karena pemerintah China menganut
prinsip kemandirian yang memperhitungkan kepentingan-kepentingan nasional.103
Apresiasi sejumlah 2,1% pada tanggal 21 Juli 2005 dapat dilihat sebagai
keputusan yang diambil setelah menimbang secara cermat pro dan kontra dari apresiasi
itu sendiri, dan dampak yang dapat dihasilkannya pada kepentingan ekonomi, sosial,
dan politik China.104 Kekhawatiran akan konsekuensi negatif yang ditimbulkan dari
perubahan drastis rezim nilai tukar mata uang China telah membawa para pemimpin
China untuk mengambil pendekatan yang gradual. Berikut merupakan penjabaran
dampak-dampak yang dapat dihasilkan dari inisiasi reformasi nilai tukar mata uang
China sejak tahun 2005.
1. Dampak terhadap Ekspor RRC
Para pemimpin China sangat khawatir mengenai kemungkinan bahwa revaluasi
nilai tukar RMB dapat membawa dampak buruk terhadap ekspor dan pertumbuhan
ekonomi China, terutama karena adanya kasus negatif yang sama yang terjadi pada
Jepang di pertengahan tahun 1980-an. Di tahun 1985, dalam upaya untuk menekan
ekspor Jepang, Amerika Serikat dan beberapa negara industrialis lainnya memaksa
Jepang untuk menandatangani Perjanjian Plaza (Plaza Accord) dimana yen direvaluasi
sebanyak 30%.
Perjanjian ini dianggap sebagai salah satu penyebab utama resesi ekonomi yang
terjadi setelahnya di Jepang pada tahun 1990-an. Setelah revaluasi awal yen, industri
ekspor Jepang kehilangan seluruh keuntungan komparatif harganya dan juga harus
memindahkan basis manufakturnya ke negara Asia Timur lain. Ekonomi Jepang, yang
103
Premier Wen on Principles for RMB Exchange Rate Reform. (2005, 27 Juni) Renmin ribao. Diakses
dari http://english.people.com.cn/200506/27/eng20050627_192511.html, tanggal 26 September 2011.
104
Ibid
56
pada saat itu sedang berada pada puncaknya, tiba-tiba kehilangan daya saing dan
dengan demikian masuk pada “dekade kehilangan” (lost decade). Hal yang serupa
merupakan hal yang mungkin terjadi bahwa revaluasi RMB memiliki dampak yang
negatif terhadap ekspor China, menaikkan harga barang setelah dikonversi ke mata
uang asing dan dengan demikian akan menurunkan permintaan. Karena margin
keuntungan yang sangat sempit, hal ini akan membawa tekanan yang berat terhadap
eksportir
China
untuk
menyesuaikan
produksi
mereka
untuk
memastikan
keberlangsungan usaha mereka di pasar internasional yang menjadi lebih kompetitif.
Yu Yongding (余永定) berpendapat bahwa karena ekspor China, sebagian besar
berkaitan dengan kegiatan pemrosesan dan kegiatan manufaktur yang sangat mudah
mengalami penyesuaian, situasi perdagangan China tidak akan mendapatkan pengaruh
yang fundamental apabila nilai RMB meningkat dalam jumlah margin yang kecil.105
Namun demikian, apresiasi RMB yang terus berlangsung sejak tahun 2005, ketika
China mulai meninggalkan nilai patok RMB terhadap USD, dapat menjadi tantangan
bagi adaptabilitas perdagangan tersebut. Walaupun pergerakan reformasi dan apresiasi
RMB yang lambat dan dilakukan secara bertahap menyediakan ruang bagi para
eksportir untuk menyesuaikan pada perubahan, dalam jangka panjang apresiasi RMB
akan mengurangi kemampuan eksportir ini untuk menghasilkan produk yang memiliki
daya saing yang lebih nyata (terutama dari segi kualitas barang dan bukan harga).
Revaluasi RMB juga dapat membawa dampak positif bagi kualitas eksport
China karena tekanan kompetisi pasar memberikan insentif bagi para pengusaha untuk
meningkatkan produksi dan efisiensi mereka. Yu Yongding meyakini bahwa apresiasi
105
Yu Yongding. (2011). What If the RMB Chooses Appreciation. Ershiyi shiji jingji baodao. Diakses
dari http://www.nanfangdaily.com.cn/southnews/zt/2004nztk/jj/jr/200412290065.htm, tanggal 23 Maret
2012. Yu Yongding adalah seorang pakar ekonomi dari Institute of World Economics and Politics,
Chinese Academy of Social Sciences.
57
dapat mendorong (atau memaksa) eksportir dengan efisiensi rendah untuk keluar dari
industri dan memberikan keleluasaan bagi kompetisi pasar internasional yang begitu
keras. Rekonstruksi sektor perdagangan akan memberikan ruang efisiensi bagi eksportir
agar dapat bertahan dan dengan demikian kualitas barang ekspor di masa yang akan
datang akan meningkat. Sebagai hasilnya, diiringi dengan perbaikan dari segi
perdagangan, surplus China akan tetap meningkat. Lebih lagi, perusahaan-perusahaan
China termotivasi untuk mengembangkan daya saing dengan memajukan efisiensi
operasional dan tidak bergantung semata-mata terhadap pekerja murah.
Singkatnya, revaluasi akan membawa dampak negatif jangka pendek terhadap
ekspor China. Akan tetapi, hal ini dapat memperbaiki dan mengoptimalisasi struktur
dagang China, mengurangi perdagangan sektor pemrosesan, mengembangkan
teknologi, dan merelokasikan sumber daya pada sektor non-dagang dalam jangka
panjang. Hal ini dapat lebih memajukan perkembangan sektor jasa dan mendorong
permintaan domestik sebagai dukungan sumber pertumbuhan ekonomi China,
mengurangi ketergantungannya terhadap permintaan eksternal.
2. Dampak terhadap Investasi Luar Negeri oleh dan ke RRC
Investasi asing menjadi hal yang sangat penting bagi perkembangan ekonomi
China. Sektor ini telah berkontribusi secara luar biasa besar terhadap kesuksesan
reformasi pasar China, terutama terkait kebijakan China untuk menjadi lebih terbuka
terhadap pasar asing untuk manggalakkan pertumbuhan ekonomi. Akibat yang dapat
dihasilkan dari perubahan rezim mata uang China terhadap investasi asing juga menjadi
sumber kekhawatiran pemerintah China. Hal ini bersifat paradoks: di satu sisi revaluasi
dapat menaikkan biaya investasi bagi perusahaan asing dan dengan demikian
menghalangi keinginan untuk berinvestasi, namun di sisi lain dapat meningkatkan
58
keuntungan dengan cara menaikkan pemasukan. Dampak offset akumulatifnya
kemudian akan bersifat netral.
Dua faktor yang memiliki daya tarik paling besar bagi investor asing ialah
pekerja murah dan potensi pasar yang sangat besar di China. Pertama, Biaya upah
pekerja di China cukup rendah bila dibandingkan dengan di negara lain, hal ini
memberikan kontribusi kepada daya saing internasional China. Untuk alasan ini,
ditambah dengan harga yang murah untuk barang mentah impor, revaluasi RMB tidak
memiliki dampak yang begitu signifikan dalam mengubah keuntungan kompetitif harga
di pasar internasional dari perusahaan-perusahaan yang menerima pendanaan asing.
Rerata selisih keuntungan yang didapatkan perusahaan-perusahaan asing di China
berkisar sekitar 13%, sehingga tingkat sederhana apresiasi tahunan RMB terhadap USD
(sebesar 3.2% di tahun 2006 dan 6.5% di tahun 2007) tidak akan memengaruhi sebagian
besar keputusan investor asing.106
Kedua, salah satu jenis inflow modal asing ialah FDI (Foreign Direct
Investment), dan yang menjadi daya tarik masuknya FDI ialah potensi pasar China yang
begitu besar. Dengan daya tarik yang demikian, revaluasi RMB akan memiliki dampak
yang sangat kecil bagi masuknya modal asing ini. Jenis lain dari inflow modal asing
berasal dari dana spekulasi (speculative money). Revaluasi RMB akan secara langsung
memberikan keuntungan bagi spekulan di balik pemasukan dana dan dengan demikian
terus mendorong masuknya dana spekulasi, yang akan terus memenuhi lingkaran
ekspektasi revaluasi RMB. Selain itu, kebanyakan dari uang panas (hot money) ini
dipercaya telah memasuki sektor perumahan (real estate) atau sektor investasi domestik
lainnya yang menyebabkan harga domestik meningkat secara cepat dan dapat mengarah
106
Ibid
59
pada pemanasan (overheat) ekonomi.
Seorang ekonomis Liu Manping (劉滿平) memperkirakan bahwa lebih dari 70
miliar dolar AS dana spekulasi mengalir ke pasar perumahan di tahun 2004 dan figur ini
diperkirakan meningkat secara signifikan di tahun 2005.107 FDI untuk perumahan di
China mendapatkan legalitas pada tahun 2002. Sejak tahun tersebut, investor asing
menaruh fokus pada pasar perumahan yang sangat menguntungkan di wilayah
perkotaan dan memetik keuntungan yang luar biasa besar. Hal ini terlihat dari nominal
jumlah transaksi perumahan yang diperoleh Macquarie Bank, Goldman Sachs, dan
Morgan Stanley di Shanghai pada tahun 2005. Konsekuensinya, dalam jangka pendek,
revaluasi RMB hanya akan memengaruhi kualitas tinggi perumahan di kota-kota besar
China, dan sebagian kecil, memengaruhi keputusan transaksi dalam pasar menengah
dan menengah ke bawah.
Akan tetapi, ekspektasi pasar akan revaluasi RMB melemah di akhir tahun 2005.
Stephen Green menyimpulkan bahwa nilai suku bunga AS yang lebih tinggi di tahun
2005 dan pasar properti yang melemah telah menurunkan arus masuk modal.108 Selain
itu, terdapat tanda akan terjadinya depresiasi RMB dalam jangka waktu menengah,
sebagai reaksi perubahan fundamental ekonomi. Hal ini ditulis dalam laporan resmi
oleh Xia Bin (夏斌) dan Chen Daofu (陳道富), yang dipublikasikan pada tanggal 15
December 2005.109 Laporan Green menunjukkan bahwa China memiliki celah dana
lebih dari 2.000 miliar yuan dana jaminan sosial, lebih dari 1.000 miliar yuan dari kredit
107
Liu Manping. (2011, 22 Agustus). After the RMB Appreciation What Will Be the Impacts of Foreign
Capital on the Chinese Real Estate Markets?. Zhongguo jingji ribao (Chinese Economic Times).
108
Stephen Green. (2006, 16 Januari). China's Foreign Exchange Reserves Soar to $819bn. Financial
Times. Diakses dari http://news.ft.com/cms/s/f9d7a456-85fe-11da-bee0-0000779e2340.html, tanggal 27
September 2011. Stephen Green adalah seorang ekonom dari Standard Chartered di Shanghai.
109
Xia Bin dan Chen Daofu. (2011, 15 Desember). Zhongguo huilu zhidu baogao 2005 (Report on
China's exchange rate system 2005). Diyi caijing ribao (China Business News).
60
bermasalah (NPL) di bank BUMN, dan utang pemerintah daerah yang besar.110 Data
transaksi RMB juga menunjukkan bahwa apresiasi RMB melambat di pasar, seperti
yang digambarkan oleh Grafik 4.1.
Grafik 4.1. Transaksi RMB Tingkat Menengah Tahun 2005-2007
Yuan per U.S. dolar 8.4
Source: Administrasi
Negara
China
untuk
Devisa,
2008.
Diakses
http://news.ft.com/cms/s/f9d7a456-85fe-11da-bee0-0000779e2340.html.
dari
Hanya pada pergerakan awal pada bulan Juli 2005, terakumulasi suatu kekuatan
pasar yang kuat mendorong RMB. Mulai dari bulan September 2005, tren kenaikan
RMB melemah dan pada akhir tahun itu telah berubah menjadi cenderung stabil.
Namun demikian, data ini menunjukkan bahwa pada tahun 2006-07 terdapat suatu
ekspektasi pasar bahwa RMB akan terus mengalami apresiasi walaupun ekspektasi akan
apreasiasi dan perubahan drastis cukup rendah. RMB kemudian mulai terapresiasi
terhadap dolar AS jauh lebih cepat dari sebelumnya.
3. Dampak terhadap Lapangan Pekerjaan di RRC
Pemerintah China mengkhawatirkan bahwa penurunan di sektor ekspor akan
110
Ibid
61
memperparah masalah pengangguran, seperti yang dapat terlihat di Propinsi Zhejiang
(浙江省) pada kurun waktu dimana Amerika Serikat dan Uni Eropa memotong kuota
impor produk tekstil dari China. Akan tetapi, jika revaluasi RMB mendorong
rekonstruksi sektor ekspor, ini dapat meningkatkan efisiensi sektor tersebut dan kualitas
ekspornya di masa depan. Permintaan eksternal untuk ekspor kemudian akan meningkat
di masa depan.
Pengangguran dapat menjadi fenomena ekonomi sementara dalam masa transisi
China. Efisiensi dan permintaan yang meningkat akan membantu menambah
pendapatan negara serta meningkatkan lapangan pekerjaan. Yu Yongding juga
berpendapat bahwa efisiensi investasi yang terjadi akibat mersotnya surplus
perdagangan akan membantu perkembangan ekonomi dan lapangan pekerjaan di masa
yang akan datang. Kondisi Amerika Serikat di akhir tahun 1990-an merupakan contoh
yang mendukung hipotesis Yu ini.
Untuk meredakan masalah lapangan pekerjaan, pemerintah China harus
mempertahankan pertumbuhan ekonomi pada level yang tinggi, yang akan berpengaruh
menimbulkan apresiasi nilai tukar RMB. Liu Wei (劉偉) mengestimasikan bahwa setiap
1 persen pertumbuhan PDB (Pertumbuhan Domestik Bruto) dapat menyediakan 1,7 juta
kesempatan lapangan pekerjaan di China.111 Liu menyarankan bahwa dalam konteks ini,
China harus tetap mengimplementasikan kebijakan bertahapnya dalam mempertahankan
kestabilan nilai RMB untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan.
4. Dampak terhadap Sektor Pertanian RRC
Pemerintah China telah menjadikan wilayah pedesaan mereka sebagai salah satu
111
Liu Wei. loc. cit.
62
prioritas utama. Pemerintah China, khawatir akan revaluasi nilai RMB dapat berdampak
buruk terhadap sektor pertanian, berupaya menghindari goncangan yang dapat
membahayakan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosialnya. Sektor pertanian China
belum diindustrialisasi dan produknya tidak memiliki keuntungan kompetitif di pasar
internasional. Kebanyakan hasil pertanian China dikonsumsi dalam pasar domestik dan
sebagian besar tidak dikomersialisasikan secara besar-besaran.
Jika nilai RMB meningkat secara drastis, harga produk impor pertanian akan
merosot tajam di pasar internasional dan permintaan akan produk pertanian impor akan
meningkat. Dengan demikian, permintaan akan produk pertanian domestik akan
menurun begitu pula dengan harganya. Sektor pertanian yang menjadi lapangan
pekerjaan dari 60 persen penduduk China akan semakin melemah. Seorang ekonom
China, Tao Dong (陶冬), menyarankan di tahun 2005 agar China harus tetap bertahan
pada strategi apresiasi gradual RMB seperti di masa sekarang untuk mempertahankan
pendapatan, stabiltas sosial, dan keamanan wilayah pedesaan China.112
Dalam pandangan Perdana Menteri Wen Jiabao, reformasi nilai tukar harus
dilakukan dengan membangun suatu sistem tukar yang berdasarkan atas mekanisme
pasar dan mengambang secara terkendali serta menjaga nilai tukar RMB tetap stabil
dan berada pada nilai yang masuk akal.113 Tak diragukan lagi, China harus melanjutkan
upaya reformasi nilai tukar mata uangnya dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip
inisiatif yang independen, terkontrol, dan dilakukan melalui proses yang bertahap.
Namun demikian, perubahan apapun yang terjadi tetap ditargetkan pada upaya menjaga
pertumbuhan dan stabilitas ekonomi dan sistem finansial China.
112
Tao Dong, (2005, 15 Agustus). There Will Be Further RMB Appreciation in the Coming Two Years,
USD/RMB Could Be 1:5 in Ten Years. Xin caifu (New Fortune).
113
RMB Exchange Rate Reform Gradual Process. (2005). Xinhua. Diakses dari
http://news.xinhuanet.com/english/2005-10/14/content_3617557.htm, tanggal 26 September 2011.
63
Wen telah mengakui bahwa China butuh mengintensifkan reformasi nilai tukar
mata uangnya dan mengembangkan layanan pada sektor terkait, termasuk
mengembangkan pasar tukar asing dan menyediakan lebih banyak layanan finansial
kepada
perusahaan-perusahaan
agar
memberikan
ruang
manajemen
resiko,
mengembangkan mekanisme pengaturan nilai tukar RMB, dan mengintensifkan
pengawasan aliran modal antar negara untuk memastikan kelancaran mekanisme nilai
tukar mata uang yang baru. Li Deshui (李德水), seorang anggota Komite Kebijkan
Moneter (Monetary Policy Committee) Bank Sentral China, telah mengindikasikan
bahwa China tidak akan membiarkan pergerakan bebas nilai RMB dalam kurun waktu
lima tahun ke depan karena situasi pasar finansial yang sangat riskan.114
Dengan melihat kecenderungan besarnya dampak negatif yang dapat terjadi
pada ekonomi China, revaluasi besar-besaran nilai tukar RMB tidak akan menjadi
bagian dari kepentingan China, dimana suatu pengaturan bertahap kursnya akan
menjadi lebih menguntungkan. Tao Dong telah mengungkapkan bahwa apreasiasi RMB
secara pesat dan besar-besaran akan merugikan bukan hanya eksportir China namun
juga konsumer asing.115 Dalam opini ini, memperluas kisaran nilai mengambang RMB
dan terus mengapresiasi nilainya menjadi dua kondisi yang berbeda. Kondisi pertama
bergantung pada volume dagang jangka pendek sedangkan kondisi kedua merefleksikan
perubahan pada kondisi dasar makroekonomi jangka panjang. Tao percaya bahwa
penyesuaian pada nilai RMB harus mengikuti proses yang bertahap dan hati-hati,
dengan melihat dampak yang dapat diakibatkannya terhadap ekonomi nasional dan
penghidupan penduduk, khususnya lapangan pekerjaan.
114
Ibid
The U.S. Trade Deficit with China Continues to Enlarge, Urging on Appreciation Increases Again.
(2005, 15 November). Jingji zoushi genzong (The Pursuit of Economic Trends), 87., hal. 62.
115
64
Sejak diberlakukannnya apresiasi pada bulan Juli 2005, RMB terus menghadapi
tekanan untuk revaluasi akibat surplus dan cadangan devisa China yang sangat besar.
Pada tahun 2007, surplus dagang China meningkat menjadi US$ 262,2 triliun dan
cadangan devisa mencapai US$ 1.528,2 triliun.116 Secara khusus, kenaikan mendadak
dan cepat dalam nilai cadangan devisa ini mengakibatkan isu pengelolaan cadangan
berlebihan telah menjadi fokus dari kebijakan nilai tukar China dalam beberapa tahun
terakhir.
Sejak tahun 2004, sumber cadangan devisa China dengan pertumbuhan paling
pesat berasal dari “transaksi kredit”—pinjaman luar negeri dolar Amerika oleh
perusahaan-perusahaan China dan bank-bank asing yang dikonversikan ke RMB di
China.117 Pinjaman ini didorong sama kuatnya oleh spekulasi akan adanya kemungkinan
revaluasi RMB dengan kesempatan investasi dalam ekonomi China yang sangat
dinamis. Pada tahun 2005, pemerintah China menguatkan kendali pinjaman asing,
terutama oleh bank-bank asing.
Aliran yang kuat akan mempertahankan tekanan terhadap China untuk membuat
RMB menjadi lebih fleksibel dan responsif terhadap kekuatan pasar di saat yang
bersamaan juga tetap dapat berfokus pada bagaimana China menginvestasikan
tumpukan cadangan devisanya. Dengan pemikiran ini, pemerintah China memusatkan
perhatian pada kebijakan nilai tukar mereka pada tiga hal berikut pada tahun 2006:
pertama, menjaga tingkat nilai tukar RMB stabil dan lancar, sedang tetap
memungkinkan
untuk
peningkatan
yang
penting dalam
fleksibilitas;
kedua,
mempromosikan neraca pembayaran internasional; dan ketiga, mengelola pertukaran
cadangan devisa besar China untuk mempertahankan fungsi efektif dari kebijakan
116
117
Ibid
Ibid
65
moneter.118 Kelebihan cadangan devisa dapat menyebabkan kesulitan dalam manajemen
aset asing dan kekayaan asing China dapat menyusut, akibat dari apresiasi RMB terus
menerus. Zhang Bin (張斌) menyarankan bahwa membalikkan tren pertumbuhan yang
cepat dalam cadangan devisa harus menjadi prioritas dalam manajemen cadangan
China.119
Metode yang berguna untuk melakukan hal ini meliputi peningkatan permintaan
domestik, modernisasi sistem keuangan, mengurangi kebutuhan simpanan, dan
memungkinkan RMB terapresiasi. Dalam jangka panjang, mengoptimalkan struktur
ekonomi akan menjadi kunci untuk mengatasi permasalahan tersebut. Badan regulator
devisa
China—the
State
mengindikasikan pada
Administration
tanggal
for
Foreign
6 Januari 2006, bahwa
Exchange
China
(SAFE)—
akan mulai
mendiversifikasikan devisanya yang terus bertumbuh dari dolar Amerika dan surat
hutang negara.120
Pergeseran semacam ini memiliki implikasi signifikan bagi pasar keuangan dan
komoditas global. SAFE mengumumkan bahwa mereka menghendaki optimasi struktur
keuangan dan aset devisa China untuk meningkatkan hasil investasi secara aktif.
121
Langkah baru ini konsisten dengan tujuan pemerintah China mengelola cadangan devisa
dengan secara efektif mendukung strategi nasional untuk menciptakan ekonomi terbuka
dan melakukan penyesuaian makroekonomi.
118
Statistical Data Shows That up to the End of Last Year Official Foreign Reserve Balance Reached
$818.9bn. (2006). Xinhua. Diakses dari http://news.xinhuanet.com/fortune/200601/15/content_4053666.htm, tanggal 26 September 2011.
119
The Accumulation of Foreign Reserves Increased Again at the Year, Expert: $7.4bn is Suspected to Be
Hot Money. (2006). Xinhua. Diakses dari http://news.xinhuanet.com/fortune/ 200601/16/content_4057667.htm, tanggal 26 September 2011. Zhang Bin adalah seorang ekonomi dari
Institute of World Economics and Politics, Chinese Academy of Social Sciences.
120
Questions Grow over China's Foreign Exchange Strategy. (2006, 6 Januari) Financial Times. Diakses
dari http://news.ft.com/cms/s/5413c5d6-7ee7-11da-a6a2-0000779e2340.html, tanggal 26 September
2011.
121
Ibid
66
Menurut Xia Bin dan Chen Daofu, proses memajukan kebijakan nilai tukar
China dalam dua tahun berikut dapat digambarkan sebagai "terukur dan mudah
beradaptasi."122 Bank sentral mampu menjaga stabilitas nilai tukar RMB dalam
sekelompok kecil fluktuasi, meskipun RMB terapresiasi secara perlahan. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam jangka menengah dan panjang, masih ada kemungkinan
bahwa RMB terdepresiasi, tergantung pada proses reformasi ekonomi China dan
keadaan keuangan internasional. Dengan revaluasi kecil RMB sebesar 2,1 persen
terhadap dolar AS dan apresiasi yang sederhana lebih lanjut sejak itu, Bank Sentral
menunjukkan bahwa mereka mampu bertahan dengan kebijakan independen sambil
mengelola tekanan internal dan eksternal.
Dalam beberapa dekade terakhir, China telah memperoleh manfaat yang sangat
besar dengan mengadopsi pendekatan bertahap reformasi, baik itu dalam bidang
ekonomi atau politik. China mungkin akan terus mereformasi nilai tukar dengan cara
bertahap. Sementara tekanan eksternal untuk reformasi terus meninggi, kapasitas China
untuk melawan tekanan seperti ini juga diperkuat dengan pertumbuhan ekonominya.
Merupakan kepentingan China sendiri untuk mereformasi nilai tukarnya, dan
China kemungkinan akan melakukan hal ini sesuai dengan perencanaan domestiknya.
Faktor eksternal tentu akan menjadi penting ketika merumuskan rencana ini, dengan
melihat fakta bahwa China sekarang merupakan bagian penting dari ekonomi global.
Namun demikian, yang lebih penting adalah persepsi kepemimpinan China terhadap
prioritas domestik dan kemampuannya untuk mengatasi masalah yang lebih mendesak
di dalam negeri. Inilah yang dimaksud Wen Jiabao ketika ia berulang kali menekankan
bahwa reformasi nilai tukar merupakan bagian dari "kedaulatan” China.
122
Ibid
67
Reformasi radikal tidak mungkin dilakukan, tetapi masuk akal untuk
mengharapkan bahwa transparansi operasi di bawah rezim nilai tukar yang baru akan
meningkat dan rentang di mana RMB akan berfluktuasi meluas dari waktu ke waktu.
Suatu rezim nilai tukar fleksibel merupakan bagian dari tujuan jangka panjang China
dan rezim ini akan mendorong pembangunan ekonomi China di masa depan. Namun,
akan membutuhkan waktu lama bagi pemerintah China untuk mencapai target ini jika,
seperti yang diperkirakan, pemerintah China harus melakukan pendekatan gradualis.
B. Dampak Kebijakan Nilai Tukar RRC terhadap Amerika Serikat
1. Dampak Ekonomi Politik Internasional terhadap Perdagangan Global
Pertumbuhan ekspor China yang luar biasa menjadi bahan diskusi yang sangat
hangat dibicarakan oleh para pakar ekonomi politik internasional, terutama akibar
kecurigaan bahwa pertumbuhan ini terjadi dengan mengorbankan pertumbuhan
ekonomi negara lain. Pertanyaan mendasar yang perlu dijabarkan melalui skripsi ini
ialah apakah ledakan ekspor China ke negara lain dapat terjelaskan melalui kebijakan
nilai tukar mata uang China. Untuk melihat apakah suatu mata uang bernilai sesuai
dengan seharusnya cukup sulit dilakukan secara matematis namun dengan melihat
peran China yang sangat penting dalam rantai suplai perekonomian global, hal ini
menjadi semakin penting.
Pada kenyataannya, kebijakan China mengenai nilai tukar mata uang China
bukan hanya penting secara global melainkan juga terhubung secara erat dengan rantai
produksi banyak negara lain, terutama partner dagang China (AS dan Eropa) serta
negara-negara tetangga China di wilayah Asia Timur. Seperti yang dapat dilihat dari
Grafik 4.2 (halaman 72)., China telah menjadi tujuan ekspor utama banyak negara Asia
Timur. Sebagai salah satu contoh paling dramatis, dari seluruh jumlah ekspor Korea
68
seperempatnya pertama-tama ditujukan ke China, baik itu kepada pasar domestik China
maupun seringkali juga ditujukan pada sektor pengolahan untuk kemudian dikirim lagi
ke negara tujuan lain.
1.1. Peran China dalam Rantai Suplai Global
Isu mengenai dampak nilai tukar menjadi semakin kompleks oleh fakta bahwa
China merupakan suatu pusat perkumpulan perusahaan-perusahaan asing terkemuka.
Banyak analis berpendapat bahwa peningkatan yang tajam pada impor AS dari China
dalam
beberapa
tahun
terakhir
ini
(dan
dengan
demikian
menumbuhkan
ketidakseimbangan perdagangan) utamanya merupakan hasil dari perpindahan fasilitas
produksi dari negara lain (utamanya di Asia) ke China. Ini berarti, berbagai macam
produk yang dulunya disusun atau dirakit di tempat-tempat lain, seperti Jepang,
Taiwan, Hong Kong, dan lainnya, sebelum kemudian diekspor ke AS kini dibuat di
China (dalam banyak kasus, oleh perusahaan AS sendiri maupun perusahaan asing
lainnya yang berlokasi di China) lalu kemudian diekspor di China.
Berdasarkan data milik China, perusahaan dengan investasi asing di China
terhitung sebesar lebih dari separuh dari total aliran dagang di China (baik ekspor
maupun impor). Perusahaan-perusahaan ini mengimpor bahan-bahan mentah, bahan
setengah jadi (seperti komponen), dan mesin-mesin produksi ke China. Salah satu studi
dengan iPod milik Apple Inc. menemukan bahwa produk ini sendiri diproduksi di
China di dalam pabrik yang dimiliki oleh perusahaan China dengan menggunakan
komponen-komponen yang diproduksi dari berbagai perusahaan asing lainnya. Jumlah
nilai tambah yang dihasilkan oleh pekerja China yang merakit iPod ini diperkirakan
lebih kecil dibandingkan total biaya yang diperlukan untuk memproduksi tiap unitnya
69
(berkisar 3%), dan lebih kecil lagi dibandingkan dengan harga jual tiap unitnya di
Amerika Serikat.123
Beberapa analis berpendapat bahwa, karena tingginya jumlah produk impor
yang diperlukan untuk menyusun produk ekspor China, nilai RMB yang terapresiasi
akan memiliki dampak yang sangat kecil terhadap harga produk ekspor China, dan
dengan demikian juga memiliki efek yang minim terhadap arus dagang bilateralnya.
Analis lain berpendapat bahwa, walaupun perusahaan-perusahaan bermodal asing di
China mengalami kenaikan biaya akibat nilai RMB yang terapresiasi, mereka akan
berpindah ke negara berbiaya rendah lain. Dengan demikian, walaupun defisit
perdagangan AS terhadap China akan menurun, defisit dagang AS terhadap negara lain
sebaliknya akan meningkat.
Pada riset terkini,124 dapat disusun suatu analisa secara empiris bagaimana nilai
tukar China mempengaruhi perdagangan luar negerinya. Dapat dipastikan bahwa hasil
yang diduga terjadi ialah menurunnya kuantitas ekspor akibat apreasiasi nilai mata uang
China, barang-barang impor ke China tenyata juga bereaksi secara tak terduga;
kuantitas impor juga menurun akibat apresiasi ini. Sebagaimana yang akan terlihat
dengan mengestimasikan persamaan impor bilateral bagi partner dagang utama China,
hal ini dijelaskan oleh peran kunci China sebagai importir suku cadang dan komponen
dari negara-negara Asia Timur.
Bahkan, penurunan ekspor China akibat apresiasi nilai tukar juga menyiratkan
penurunan impor China dari barang-barang investasi serta bagian dan komponen untuk
sektor ekspor. Selain itu, tidak dapat ditemukan bukti bahwa negara-negara Asia Timur
Greg Linden. (2009). Who Captures Value in a Global Innovation Network? The Case of Apple’s iPod,
March 2009. Communication of the ACM, Maret 52:3. Diakses dari
http://pcic.merage.uci.edu/papers/2008/WhoCapturesValue.pdf, tanggal 15 Januari 2012., hal. 4-5.
124
Garcia-Herrero, Alicia dan Tuuli Koivu. (2008). China’s exchange rate policy and Asian trade.
Economie Internationale, 116:53-92
123
70
bisa mengimbangi dampak negatif dari apresiasi renminbi pada ekspor mereka dengan
meningkatkan ekspor ke negara lain. Ini berarti bahwa keputusan China mengenai nilai
tukarnya memiliki dampak besar pada perekonomian lain di wilayah tersebut. Secara
akumulatif hal ini juga membawa dampak berlipat kali ganda terhadap perekonomian
Amerika Serikat sebagai bahan pembicaraan utama dalam skripsi ini.
Beberapa studi terkini telah menganalisa faktor-faktor di balik perdagangan
asing China.125 Berdasarkan penelitian-penelitian ini, ekspor China secara hampir
menyeluruh utamanya karena terdorong oleh permintaan, secara khusus setelah China
menjadi anggoa WTO pada bulan Desember 2001 (Tabel 4.1.). Penelitian tersebut juga
memberikan afirmasi bahwa ekspor China memiliki elastisitas harga; apreasiasi dari
nilai RMB akan berpengaruh pada penurunan ekspor.
Tabel 4.1. Dampak Jangka Panjang Nilai Tukar Mata Uang Riil dan Permintaan
Pasar Dunia terhadap Ekspor dan Impor China
Dampak 10% apresiasi
RMB
Dampak 1% peningkatan
permintaan global
Ekspor
komoditas
biasa
Ekspor
komoditas
proses
Impor
komoditas
biasa
Impor
komoditas
proses
-13%
-11%
-17%
-6%
+1.6%
+1.5%
+1.9%
+0.3
Sumber: Garcia-Herrero dan Koivu (2008). Diakses dari http://news.ft.com/cms/s/f9d7a456-85fe-11dabee0-0000779e2340.html.
Akan tetapi dengan cukup mengejutkan, beberapa penelitian menunjukkan
bahwa impor ke dalam China juga akan menurun – bukan meningkat seperti yang
dihipotesiskan sebelumnya – ketika nilai tukar efektif RMB diapresiasi. Sebagai
contohnya, Garcia-Herrero dan Koivu (2010) menemukan bahwa 10% apreasiasi RMB
125
Ibid
71
akan menyebabkan penurunan sebesar 6% dari kuantitas impor di sektor prosesing.
Impor di sektor lain dapat menurun dengan presentasi yang bahkan lebih besar lagi. 126
Tabel 4.2. Dampak Jangka Panjang Nilai Tukar Mata Uang Bilateral dan
Permintaan terhadap Impor China oleh Mitra Dagang Utamanya
Impor China dari:
Dampak 10%
apresiasi RMB
Dampak 1%
peningkatan
permintaan
China
Australia
Jerman
Jepang
Korea
Malaysia
Thailand
AS
(0%)
6%
(-1%)
-4%
(2%)
-6%
(-16%)
(0.4%)
(0.9%)
1%
0.4%
(-1%)
(0.2%)
0.6%
Catatan : Nilai di dalam kurung tidak begitu signifikan secara statistik
Sumber : Garcia-Herrero dan Koivu (2008). Diakses dari http://news.ft.com/cms/s/f9d7a45685fe-11da-bee0-0000779e2340.html.
Ketika melihat pada besaran impor lebih dekat, dapat diketahui bahwa impor
dari negara-negara Asia Timur yang akan menurun ketika RMB terapreasiasi (Tabel
4.2). Penemuan yang tidak sesuai dugaan ini merujuk pada pentingnya berada pada
posisi kunci dalam rantai produksi global. Pada kenyataannya, apresiasi kurs yang
menyebabkan penurunan pada daya saing ekspor China juga menyebabkan penurunan
pada permintaan akan barang-barang investasi, bahan-bahan dan komponen-komponen
impor dari sektor tersebut. Hal ini juga mengakibatkan suatu implikasi yang perlu
diperhatikan, bahwa barang-barang ekspor China cenderung lebih menjadi barang
komplementer bagi ekonomi negara-negara Asia dan bukan barang substitusi.
Dari hasil studi yang ada tergambarkan bahwa kebangkitan China menjadi efek
crowding out127 pada ekspor dari negara yang lain. Hal ini terjadi walaupun, di Asia
khususnya, dampak negatif dari kebangkitan China sebagai ekonomi ekspor utama
telah diimbangi sebagian besar oleh impor China yang meningkat dari daerah
126
Ibid
Offset dalam permintaan agregat yang terjadi ketika kebijakan fiskal ekspansif menaikkan tingkat
bunga dan dengan demikian mengurangi pengeluaran investasi. Termwiki. Diakses dari
http://id.termwiki.com/ID:crowding-out_effect, tanggal 25 Juni 2012.
127
72
terdekat.128 Impor China meningkat mencerminkan sebagian fakta bahwa dalam waktu
yang relatif singkat China telah menjadi platform utama bagi ekspor barang yang
dihasilkan tidak hanya di China daratan tetapi juga melalui rantai produksi
internasional. Hal ini tercermin melalui dualisme neraca perdagangan bilateral China;
surplus terhadap ekonomi maju - sebagian besar negara Eropa dan AS - dan defisit
terhadap hampir semua negara Asia (Grafik 4.2).
Grafik 4.2. Neraca Perdagangan Beberapa Negara terhadap China
(dalam %PDB)
Sumber : IMF Direction of Trade, CEIC. Diakses dari
http://www.ceicdata.com/WorldTrend/CeicData/WorldTrend.pdf
Penemuan empiris beberapa penelitian menunjukkan bahwa apresiasi riil RMB,
yang dapat menurunkan baik ekspor maupun impor China, mengharuskan negaranegara Asia untuk berkompetisi secara langsung dengan China pada pasar ketiga
dengan melewatkan China sebagai negara perantara atau negara pengolah. Di sisi lain,
beberapa penelitian lain tidak sejalan dengan penemuan ini (Garcia-Herrero dan Koivu
2008 dan 2010). Sebenarnya tampaknya apresiasi renminbi efektif riil akan
mengakibatkan penurunan total ekspor dari banyak negara Asia Timur (Tabel 4.3).
Greenaway, David, Mahabir, dan Chris Milner. (2008). Has China displaced other Asian countries’
exports?. China Economic Review, 19:152-169.
128
73
Dengan kata lain, ekspor dari negara-negara Asia lain tampaknya lebih bersifat
komplementer dan bukan pengganti untuk produk-produk China.
Tabel 4.3. Dampak Jangka Panjang Nilai Tukar Mata Uang China Riil, Nilai
Tukar Mata Uang Riil dan Permintaan terhadap Total Ekspor Negara-negara
Asia Timur
Negara Eksporter:
Dampak 10%
apresiasi RMB
Dampak 10%
apreasiasi kurs negara
masing-masing
Dampak 1%
peningkatan
permintaan global
Jepang
Korea
Malaysia
Filipina
Singapura
Thailand
-9%
-6%
-8%
-15%
-17%
-7%
-4%
(-2%)
(-6%)
+17%
12%
+6%
+0.8%
+0.8%
+0.9%
(0.0%)
-0.5%
0.8%
Catatan : Nilai di dalam kurung tidak begitu signifikan secara statistik
Sumber : Garcia-Herrero dan Koivu (2008). Diakses dari http://news.ft.com/cms/s/f9d7a45685fe-11da-bee0-0000779e2340.html.
Akibat dari rantai produksi yang ketat di Asia Timur, apresiasi RMB yang
mengurangi impor dari negara Asia lain ke dalam China menjadi suatu kekhawatiran
yang besar bagi banyak negara Asia lain. Fakta bahwa ekspor dari negara Asia Timur
lebih bersifat komplementer dan bukan substitusi produk China sangat berkaitan
dengan meningkatnya nilai penting China dalam rantai perdagangan global di masa ini.
Dengan kata lain, China dapat mengontrol pembelian yang mengurangi kemungkinan
bahwa negara lain tidak akan melangkahi China sebagai negara perantara.
Akhirnya, fakta bahwa impor China bisa mengalami penurunan - bukan
kenaikan - akibat apresiasi nilai tukar juga memiliki konsekuensi penting. Meskipun
apresiasi renminbi akan mengurangi ekspor China, dampak pada surplus perdagangan
China terbatas karena impor ke China juga akan menurun. Penurunan impor ini
memiliki konsekuensi yang besar bagi lebih banyak negara karena impor utama China
yang berasal dari wilayah Asia Timur ini akan menurun. Dengan alasan ini, kebijakan
nilai tukar China bukan hanya relevan bagi negara-negara Barat, namun juga bagi
74
negara-negara di kawasan Asia. Hasil ini sesuai dengan kekhawatiran banyak negara
Asia yang disuarakan melalui berbagai forum internasional – bahwa China harus terus
mengimplemetasikan kebijakan nilai tukar mata uangnya melalui pendekatan yang
sangat hati-hati.
1.2. Akselerasi Ketidakseimbangan Makroekonomi Global
Secara perhitungan, defisit perdagangan secara keseluruhan adalah sama dengan
selisih antara simpanan domestik dan investasi, sementara surplus perdagangan secara
keseluruhan adalah sama dengan surplus simpanan domestik relatif terhadap investasi.
Selama bertahun-tahun, China merupakan negara dengan jumlah simpanan yang sangat
tinggi dan secara keseluruhan mengalami surplus perdagangan. Sebaliknya, Amerika
Serikat merupakan negara dengan tingkat simpanan yang rendah dan secara
keseluruhan mengalami defisit perdagangan. Pemakaian patok terhadap nilai tukar mata
uang dan kontrol modal oleh China merupakan salah satu kontributor terhadap tingkat
simpanannya yang besar ini, namun demikian perubahan rezim nilai tukar mata uang
China bukan berarti dapat mengeliminasi kesenjangan yang besar terkait tingkat
simpanan AS dan China.
Dengan demikian, sangatlah mungkin bahwa Amerika Serikat akan terus
menjadi negara penghutang dan China akan terus menjadi negara kreditor (pemberi
pinjaman) bahkan apabila nilai RMB meningkat. Jika begitu, konsep mengenai
ketidakseimbangan perdagangan bilateral akan terus berlanjut. Ketidakseimbangan
perdagangan China-AS ini juga dapat tergantikan dalam bentuk ketidakseimbangan
perdagangan dengan negara ketiga lainnya.
2. Dampak Akumulatif terhadap Perekonomian di Amerika Serikat
75
Banyak pengambil kebijakan AS menduga bahwa apabila China mengapresiasi
nilai mata uangnya secara signifikan, kondisi ekonomi AS akan membaik. Ekspor AS
ke China akan meningkat, impor dari China ke AS akan menurun, dan defisit
perdagangan AS terhadap China akan menurun dalam jangka waktu yang relatif
pendek. Sebagai contoh, C. Fred Bergsten berpendapat bahwa apabila RMB memiliki
nilai yang reflektif terhadap kondisi pasar, hal ini akan menurunkan defisit tahunan
neraca perdagangan AS antara $100 triliun sampai $150 triliun.129
Namun efek yang dapat ditimbulkan dari apreasiasi RMB terhadap
perekonomian AS sangatlah kompleks. Hal ini dikarenakan dampak yang terjadi dapat
dibedakan ke dalam efek jangka pendek dan efek jangka panjang, dan bahwa nilai tukar
hanyalah merupakan satu dari sekian banyak faktor yang memengaruhi arus
perdagangan. Faktor-faktor lain yang juga akan memainkan peran penting akan dibahas
dalam analisa berikut.
2.1.Pertumbuhan Defisit Bilateral AS-China selama Periode Apreasiasi RMB
Sebelumnya
Untuk mengilustrasikan bahwa nilai tukar hanyalah salah satu faktor yang
menetukan arus perdagangan, dapat dilihat dari efek yang ditimbulkan oleh apreasiasi
21% RMB terhadap dolar pada bulan Juli 2005 sampai pada bukan Juli 2008 terhadap
aliran dagang AS-China. Di satu sisi, selama periode ini impor barang AS dari China
meningkat sebesar 39%, dibandingkan dengan kenaikan sebesar 92% dari tahun 2001-
129
Fred Bergsten. (2010). Correcting the Chinese Exchange Rate: An Action Plan, Peterson Institute for
International Economics, Testimony before the Committee on Ways and Means, U.S. House of
Representatives. Diakses dari http://www.iie.com/publications/testimony/bergsten20100915.pdf., tanggal
16 April 2012.
76
2004 (ketika nilai tukar RMB ditahan pada nilai konstan).130 Di sisi lain, ekspor barang
AS ke China pada periode 2005-2008 tidak bertumbuh secepat pada periode 2001-2004
(masing-masing bernilai 71% dan 81%).131
Walaupun terjadi apreasiasi nilai tukar RMB di tahun 2005-2008, defisit neraca
perdagangan AS tetap bertumbuh sebesar 30.1% (walaupun defisit neraca perdagangan
AS secara keseluruhan menurun sebesar hampir 6%).132 Dengan demikian, Apreasiasi
RMB cenderung terlihat memiliki efek yang sangat minim terhadap keseimbangan
perdagangan antara China dan AS pada tahun 2005-2008. Pada masa ini, surplus
dagang China meningkat dari $102 triliun hingga $297 triliun, suatu peningkatan
sebesar 191%, dan surplus neraca serta akumulasi devisa China dalam periode ini
keduanya meningkat sebesar 165%.133
2.2.Akumulasi Dampak terhadap Ekonomi Amerika Serikat
Para ekonom umumnya menolak kebijakan (seperti subsidi dan perlindungan
dagang) yang dapat melemahkan kekuatan pasar dan mengganggu distribusi sumber
daya yang paling efisien ini. Nilai tukar yang terpatok maupun terkontrol dimana level
naik turunya tidak sesuai dengan kondisi nyata perubahan ekonomi dipandang sebagai
suatu gangguan. Dengan demikian, dari perspektif ekonomi, mengadopsi nilai tukar
mata uang berdasarkan atas mekanisme pasar merupakan suatu solusi menang-menang
(win-win solution) baik bagi China, Amerika Serikat, maupun bagi ekonomi global
secara menyeluruh. Dalam perspektif ini, mekanisme pasar akan mengarah pada suatu
130
Bloomberg News. (2012). China Plans Lower Budget Deficit for This Year as Economic Growth
Cools. Diakses dari http://www.bloomberg.com/news/2012-03-05/china-plans-lower-budget-deficit-forthis-year-as-economic-growth-cools.html, tanggal 30 April 2012.
131
Ibid
132
Ibid
133
Ibid
77
bentuk alokasi sumber daya yang efisien di kedua negara (namun bukan berarti
berpengaruh serupa terhadap tingkat pengangguran, dan sebagainya).
Dari sudut pandang kebijakan, dapat dikatakan bahwa kebijakan nilai tukar
China yang sekarang menghasilkan “sisi menang dan kalah” di kedua negara, dengan
demikian suatu penyesuaian terhadap kebijakan ini hanya akan membentuk perubahan
“menang-kalah” dari sisi lain. Walaupun terdapat berbagai macam faktor yang
memengaruhi pertumbuhan ekonomi global dan aliran dagang, apreasiasi nilai mata
uang (terutama RMB) memainkan peran yang sangat signifikan dalam arus
perdagangan ini. Pertanyaan yang kemudian muncul: apa dampak yang akan
ditimbulkannya terhadap situasi di Amerika Serikat?
Setidaknya dampak yang diakibatkan kebijakan intervensi mata uang China
dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yakni: dampak terhadap eksportir dan
kompetitor importir AS, dampak terhadap konsumer dan beberapa produsen AS, dan
dampak terhadap debitor AS. Dampak pada kelompok pertama, ketika kebijakan nilai
tukar membuat nilai RMB menjadi lebih murah dari kondisi ketika nilainya ditentukan
oleh permintaan dan penawaran, hal ini menyebabkan ekspor China menjadi tidak
mahal dan ekspor AS ke China menjadi relatif mahal. Sebagai hasilnya, barang dan jasa
ekspor dan kegiatan produksi AS yang berkompetisi dengan impor China menurun,
dalam jangka waktu pendek.
Banyak dari perusahaan-perusahaan yang mendapatkan imbasnya berada pada
sektor manufaktur. Buruh yang bekerja pada sektor manufaktur AS menurun dari 31.8% pada
tahun 1960, menjadi 22.4% di 1980, dan menjadi 13.1% di tahun 2000, dan 8.9% di tahun
2010.134
Hal ini mengakibatkan defisit perdagangan meningkat dan menurunkan
134
Bureau of Labor Statistics. (2012). Workforce Statistics. United States Department of Labor. Diakses
dari http://www.bls.gov/iag/tgs/iag31-33.htm, tanggal 5 Mei 2012.
78
permintaan agregat dalam jangka waktu pendek, hal lainnya cenderung relatif tetap
stabil seperti sedia kala. Kebijakan yang didasarkan atas mekanisme pasar dapat
membangkitkan ekspor AS dan menyediakan ruang bagi perusahaan AS untuk
berkompetisi secara langsung dan secara adil dengan perusahaan China.
Kedua, berdasarkan teori ekonomi, kesejahteraan ekonomi masyarakat tidak
diukur dari seberapa banyak mereka dapat memproduksi, melainkan dari seberapa
banyak mereka mengkonsumsi. Nilai RMB dimanipulasi yang menyebabkan harga
yang lebih murah untuk impor dari China mengakibatkan penduduk AS dapat
mengkonsumsi lebih banyak. Karena perubahan dalam agregat pengeluaran hanya
bersifat sementara, dari perspektif jangka panjang, dampak berkelanjutan dari
manipulasi nilai RMB mengakibatkan meningkatkan daya beli (purchasing power)
konsumen AS.
Barang impor dari China tidak hanya terbatas dalam bentuk barang-barang
konsumsi. Perusahaan-perusahaan AS juga mengimpor alat-alat modal dan barang
input dari China untuk memproduksi barang jadi. Nilai RMB yang dimanipulasi
menurunkan biaya yang dibutuhkan untuk perusahaan ini, dengan demikian
menurunkan harga jual, meningkatkan intensitas output, dan menambah daya saing
produknya pada pasar internasional. Apresiasi nilai mata uang China dapat
meningkatkan harga produk bagi konsumen AS, menyebabkan turunnya kesejahteraan
ekonomi, sehingga mengakibatkan semakin sedikit barang dan jasa yang dapat dibeli
oleh penduduk AS. Selain itu, perusahaan-perusahaan AS yang menggunakan produk
impor asal China akan menghadapi biaya produksi yang lebih tinggi, sehingga
menurunkan daya saing produk mereka.
79
Ketiga, nilai RMB yang dimanipulasi juga memiliki dampak bagi peminjam
(borrower) di AS. Ketika AS mengalami defisit perdagangan terhadap China, sejumlah
dana yang sama mengalir dari China ke AS,
seperti yang terlihat dari neraca
pembayaran AS. Hal ini timbul karena Bank Sentral China atau penduduk China
berinvestasi dalam aset AS, yang mengakibatkan lebih banyak dana investasi untuk
pabrik dan peralatan AS dibandingkan jika nilai RMB tidak termanipulasi. Investasi
modal meningkat karena permintaan yang lebih besar akan aset AS menekan nilai suku
bunga AS, sehingga perusahaan-perusahaan kini ingin melakukan investasi yang
dahulunya tidak membawa keuntungan.
Aliran ini kemudian mendorong kenaikan dalam belanja agregat dalam jangka
pendek. Hal ini juga meningkatkan ukuran ekonomi AS dalam jangka panjang dengan
meningkatkan modal saham. Efek yang ditimbulkan terhadap tingkat suku bunga
menjadi lebih besar pada masa pertumbuhan ekonomi yang pesat, ketika permintaan
investasi menguat, dibandingkan ketika ekonomi AS melemah.
Bukan hanya perusahaan-perusahaan swasta yang menjadi penerima nilai suku
bunga rendah akibat arus masuk modal (defisit perdagangan) dari China. Bentuk
pengeluaran rumah tangga yang sensitif bunga, seperti kebutuhan tahan lama dan
perumahan, juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi apabila modal tidak
mengalir dari China ke Amerika Serikat. Lebih lanjut, sejumlah besar aset-aset AS
yang dibeli oleh China, utamanya oleh Bank Sentral, ialah sekuritas atau surat obligasi
negara, yang membiayai defisit Negara AS. Menurut Department Keuangan AS, China
memiliki sedikitnya $1.15 triliun dalam surat obligasi AS per September 2011,
80
membuat China sebagai pemegang asing surat hutang terbesar sebesar 24.6% dari total
pemegang asing.135
Defisit anggaran pemerintah federal AS telah meningkat pesat sejak tahun
anggaran 2008, menyebabkan peningkatan tajam dalam jumlah surat obligasi yang
harus dijual. Sementara Pemerintahan Obama terus mendorong China untuk
mengapresiasi mata uangnya, Obama juga mendorong China untuk terus membeli surat
berharga AS. Beberapa analis berpendapat bahwa, meskipun apresiasi mata uang China
dapat membantu meningkatkan ekspor AS ke China, hal ini juga bisa mengurangi
kebutuhan China untuk membeli surat berharga AS, yang bisa mendorong kenaikan
suku bunga AS. Dalam skenario kasus terburuk, jika China berhenti membeli surat
berharga pada saat AS mengalami defisit anggaran yang luar biasa tinggi, hal ini dapat
mengguncang pasar keuangan dengan meningkatnya keraguan akan kemampuan
pemerintah AS dalam mempertahankan kebijakan fiskal saat ini.
Dalam jangka menengah, menurut teori ekonomi, nilai RMB yang rendah tidak
meningkatkan atau menurunkan permintaan agregat di Amerika Serikat. Sebaliknya,
hal tersebut menyebabkan pergeseran komposisi dalam produksi AS, dari perusahaan
sektor impor-impor AS menjadi perusahaan yang mendapatkan keuntungan dari arus
modal China. Dengan demikian, nilai RMB diharapkan tidak membawa pengaruh
jangka panjang atau menengah terhadap lapangan kerja agregat di AS ataupun
pengangguran.
Sebagai bukti, dapat dianggap bahwa sejak 1980-an, defisit perdagangan AS
cenderung naik ketika pengangguran jatuh (dan ekonomi tumbuh) dan jatuh ketika
pengangguran meningkat (dan ekonomi melambat). Misalnya, defisit neraca transaksi
Wayne M. Morrison dan Marc Labonte. (2011). China’s Holdings of U.S. Securities: Implications for
the U.S. Economy. CRS Report for Congress, RL34314, 26 September. Diakses dari
http://www.fas.org/sgp/crs/row/RL34314.pdf, tanggal 3 Juli 2012.
135
81
berjalan AS mencapai puncaknya pada 6,0% dari PDB pada 2006, ketika tingkat
pengangguran sebesar 4,6%, dan turun menjadi 2,7% dari PDB pada 2009, ketika
tingkat pengangguran mencapai 9,3%.136 Namun, keuntungan dan kerugian dalam
pekerjaan dan produksi yang disebabkan oleh defisit perdagangan tidak akan terdispersi
secara merata di seluruh daerah dan sektor ekonomi: secara seimbang, beberapa daerah
akan memperoleh keuntungan sementara yang lain akan mengalami kerugian. Dan
dengan mengubah komposisi output AS ke basis modal yang lebih tinggi, ukuran
ekonomi AS akan menjadi lebih besar dalam jangka panjang sebagai akibat dari defisit
arus masuk / perdagangan modal (meskipun keuntungan dari modal asing tidak akan
mengalir ke Amerika).
Meskipun pergeseran komposisi dalam output tidak berpengaruh negatif pada
output agregat AS dan kesempatan kerja dalam jangka panjang, namun terdapat
konsekuensi negatif jangka pendek. Jika output AS di sektor perdagangan jatuh lebih
cepat dari peningkatan output dari penerima modal China di AS, agregat belanja AS
dan lapangan kerja bisa menurun sementara waktu. Hal ini lebih mungkin menjadi
perhatian jika perekonomian sedang lamban dibandingkan bila perekonomian sedang
berada pada kondisi dimana lapangan kerja tercukupi. Jika tidak, ada kemungkinan
bahwa
kebijakan
penyesuaian
makroekonomi
dan
kekuatan
pasar
dapat
mengkompensasi penurunan output di sektor perdagangan dengan memperluas elemen
lain dari permintaan agregat. Defisit perdagangan AS dengan China (atau dengan pasar
dunia secara keseluruhan) tidak dapat mencegah ekonomi AS mengalami pertumbuhan
tingkat tinggi di masa lalu.
136
Ibid
82
Sebuah studi Yale University memperkirakan bahwa 25% dari apresiasi RMB
awalnya akan mengurangi impor AS dari China dan menyebabkan produksi dalam
negeri lebih besar di Amerika Serikat dan peningkatan ekspor ke China. Namun,
penelitian ini memperkirakan bahwa manfaat terhadap ekonomi AS akan diimbangi
oleh penurunan pertumbuhan ekonomi China (karena penurunan ekspor), yang akan
mengurangi permintaan untuk impor, termasuk dari Amerika Serikat. Selain itu,
apresiasi RMB akan meningkatkan biaya AS untuk produk impor dari China
(menurunkan kekayaan riil dan upah riil), dan menyebabkan suku bunga jangka pendek
AS menjadi lebih tinggi. Akibatnya, efek akumulasi dari apresiasi RMB sebesar 25%
diperkirakan berdampak negatif pada permintaan AS dan output agregat dan
mengakibatkan hilangnya 57.100 pekerjaan AS-kurang dari sepersepuluh dari 1% dari
jumlah total tenaga kerja AS.137
Analisis oleh IMF menunjukkan bahwa apresiasi mata uang saja oleh China
akan menghasilkan manfaat yang terbatas untuk ekonomi global (termasuk ekonomi
AS) kecuali apabila apreasiasi ini disertai dengan peningkatan konsumsi China dan
ekspansi sektor jasa. Diperkirakan bahwa apresiasi RMB 20% akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi AS sebesar antara 0,05% hingga 0,07%, sementara apresiasi
RMB 20% ditambah reformasi lainnya untuk menyeimbangkan kembali perekonomian
China akan meningkatkan pertumbuhan AS lebih dari 0,15%.138 Penelitian yang sama
juga memperkirakan bahwa apresiasi RMB 20% saja bisa mengurangi pertumbuhan
ekonomi China sebesar 2,0% hingga 8,8%, sedangkan menggabungkan apresiasi RMB
137
Ray C. Fair. (2010). Estimated Macroeconomic Effects Of A Chinese Yuan Appreciation, Cowles
Foundation Discussion Paper 1755.
138
International Monetary Fund. (2011). People’s Republic of China, 2011 Article IV Consultation, hal.
36.
83
dengan reformasi untuk penyeimbangan kembali bisa meningkatkan pertumbuhan
hingga 1%.139
2.3. Kekhawatiran Amerika Serikat akan Kebijakan Mata Uang China: Defisit
Perdagangan dan Lapangan Pekerjaan
Walaupun pendapat para ahli cukup beragam dalam memandang fenomena
intervensi nilai mata uang China, pemerintah AS telah menyatakan posisi dan
kekhawatiran mereka sendiri terkait isu ini. Banyak pengambil kebijakan AS dan
beberapa kelompok bisnis dan pekerja AS menuduh bahwa China dengan sengaja
memanipulasi nilai mata uangnya terhadap dolar AS dengan tujuan agar harga ekspor
China yang masuk ke AS menjadi lebih murah dibandingkan harga pasar sebenarnya.140
Lebih jauh lagi, kelompok kepentingan ini berargumentasi bahwa nilai patok kurs mata
uang China dapat ditolerir hanya pada masa awal perkembangan ekonomi China. Di
masa sekarang, melihat betapa besarnya ukuran ekonomi, arus perdagangan keluarmasuk di China, serta besaran surplus tahunan yang diperoleh China, serta dampak
yang diakibatkannya terhadap ekonomi global, kebijakan China seperti ini tidak dapat
lagi dibenarkan.
Para kritisi lebih lanjut berpendapat bahwa mata uang China yang bernilai
rendah telah menjadi faktor utama di balik defisit perdagangan AS dengan China yang
sedang berkembang, yang melonjak dari $ 10 miliar pada 1990 menjadi $ 273 miliar
pada tahun 2010, dan diproyeksikan akan mencapai sekitar $ 295 miliar pada tahun
2011. Faktor lain yang dipandang oleh beberapa sebagai bukti manipulasi mata uang
China ialah akumulasi cadangan devisa China yang, berdasarkan perhitungan akhir
139
Ray C. Fair. loc. cit.
Pada umumnya, perusahaan-perusahaan AS di China tidak sebegitu khawatirnya terhadap nilai tukar
mata uang China jika dibandingkan dengan kekhawatiran perusahaan-perusahaan yang sensitif terhadap
sektor impor yang berkompetisi langsung dengan produk China dengan harga murah.
140
84
tahun, tumbuh dari $403 miliar di tahun 2003 menjadi $2.85 triliun di tahun 2010, serta
surplus tahunan, yang bertumbhuh dari $46 milliyar di tahun 2003 menjadi $412 miliar
di tahun 2008, (lihat Grafik 4.3.).141 Dalam laporan tahun 2010, International Monetary
Fund (IMF) memperingatkan bahwa, dalam jangka waktu menengah, akan terdapat
potensi pertumbuhan yang lebih besar terhadap surplus perdagangan China akibat
kebijakan stimulus yang berkurang dan membaiknya kondisi perekonomian global.142
Grafik 4.3. Neraca Perdagangan China dan Perubahan Tahunan Cadangan
Devisa: 2001-2010
(dalam miliar dolar)
Sumber: Economist Intelligence Unit, IMF, dan Chinese State Administration of Foreign
Exchange. Diakses dari http://fpc.state.gov/documents/organization/154184.pdf
International Monetary Fund (2010). People’s Republic of China: 2010 Article IV Consulatation—
Staff Report. In Staff Statement; Public Information Notice on the Executive Board Discussion, Juli 2010,
hal. 1.
142
Surplus ekonomi China dalam persentasi PDB saat ini diprediksikan oleh IMF akan meningkat dari
5,2% pada tahun 2010 menjadi 7,8% pada tahun 2016. Sumber IMF, World Economic Outlook Database,
April 2011. Diakses dari http://www.worldtradelaw.net/articles/ahnimf.pdf, tanggal 10 Maret 2012.
141
85
Laporan World Economic Outlook terbitan IMF pada bulan September 2011
memperkirakan bahwa neraca keuangan China akan meningkat dari $305 miliar di
tahun 2010 menjadi $361 miliar di tahun 2011, dan diproyeksikan menjadi $852 miliar
pada tahun 2016.143 Global Insight memprediksikan bahwa cadangan devisa China
akan meningkat mencapai besaran $4.6 trilyun pada tahun 2014, yang berarti
peningkatan sebesar $1.7 triliun dari jumlah pada tahun 2010.144
Jumlah pengangguran yang sangat tinggi di Amerika Serikat saat ini
dikhawatirkan merupakan salah satu output tidak langsung dari kebijakan manipulasi
mata uang China terhadap perekonomian AS. Banyak pakar ekonomi yang
beranggapan bahwa apresiasi nilai RMB akan memompa tingkat ketersediaan lapanga
pekerjaan di Amerika Serikat. Beberapa ekonom berpendapat bahwa terdapat korelasi
langsung antara defisit perdagangan AS dengan tingkat pengagguran di AS.
Penelitian yang dilakukan oleh Institusi Kebijakan Ekonomi (Economic Policy
Institute (EPI)) mengklaim bahwa defisit perdagangan AS dengan China
(yang
menurut klaim EPI juga diakibatkan oleh kebijakan mata uang China) mengakibatkan
dipecatnya 2.8 juta pekerja (69% pada sektor manufaktur) antara tahun 2001 dan
2008.145 Laporan EPI mencatat bahwa, walaupun ekspor AS ke China menciptakan
lapangan kerja bagi penduduk AS, impor AS dari China “menggantikan kesempatan
penduduk AS yang berpeluang dipekerjakan dalam pembuatan produk tersebut bila tak
143
Ibid
IHS Global Insight, China, Interim Forecast, Juni 2011. Diakses dari
http://www.ihs.com/products/global-insight/index.aspx, tanggal 23 September 2011.
145
Economic Policy Institute. (2010). Unfair hina Trade Costs Local Jobs 2.4 Million Jobs Lost,
Thousands Displaced in Every U.S. Congressional District, Briefing Paper #260. Diakses dari
http://epi3.cdn.net/91b2eeeffce66c1a10_v5m6beqhi.pdf, tanggal 23 Maret 2012. Sebagai catatan,
beberapa analis mengkritisi metodologi yang digunakan dalam laporan ini, yang secara langsung
mengasumsikan bahwa defisit perdagangan AS (dimana impor AS lebih besar dari ekspornya) memiliki
efek langsung terhadap jumlah lapangan pekerjaan di AS.
144
86
harus diimpor dari China.”146 Hasil penelitian EPI ini, seringkali disebut-sebut sebagai
referensi oleh para anggota Senat dalam pembuatan rancangan Undang-undang S.1619
(dibahas selanjutnya).
Beberapa analis berpendapat bahwa kebijakan mata uang China menyebabkan
ekonomi Asia Timur lainnya melakukan intervensi di pasar mata uang dan menjaga
mata uang mereka lemah terhadap dolar sehingga mereka dapat bersaing dengan
produk asal China. Hal ini dianggap mencegah penyusutan lebih lanjut dari dolar relatif
terhadap mata uang Asia lainnya, dan dengan demikian mengurangi ekspor AS di
seluruh Asia. Berdasarkan asumsi bahwa nilai mata uang China tertahan sebesar 40%
dari nilai sebenarnya terhadap dolar dan 25% dari nilai pasar sesungguhnya, C. Fred
Bergsten dari Peterson Institute for International Economics memperkirakan nilai mata
uang China yang berdasarkan atas nilai pasar akan menyebabkan apresiasi nilai RMB
dan nilai mata uang negara Asia lainnya (atau dengan kata lain depresiasi nilai USD
terhadap kurs negara-negara Asia), yang kemudian dapat mendorong ekspor AS dan
menciptakan sekitar 600.000 hingga 1,2 juta lapangan pekerjaan di Amerika Serikat.147
Ekonom AS, Paul Krugman, berargumen bahwa nilai termanipulasi RMB telah
menjadi faktor pencegah yang signifikan terhadap proses pemulihan krisis ekonomi
global. Krugman memperkirakan bahwa kebijakan China telah menyebabkan
penurunan angka PDB global sebesar 1,4% dan secara khusus menimbulkan kerugian
bagi negara-negara berkembang.148 Klaim mengenai dampak negatif dari nilai tukar
RMB terhadap lapangan pekerjaan serta perdagangan AS seringkali diampuradukkan
146
Ibid.
Fred Bergsten. (2010). Peterson Institute for International Economics, Testimony before the
Committee on Ways and Means, U.S. House of Representatives, March 24, 2010. Diakses dari
http://www.iie.com/publications/testimony/bergsten20100915.pdf., tanggal 16 April 2012.
148
New York Times, 14 Maret 2010 dan 31 Desember 2009. Krugman juga mengestimasikan bahwa
kebijakan mata uang China telah menyebabkan hilangnya 1,4 juta lapangan pekerjaan di Amerika Serikat.
147
87
dengan observasi bahwa ekonomi China telah bertumbuh dengan luar biasa pesar dalam
lima tahun terakhir (PDB riil bertumbuh pada nilai rerata 10 persen dari tahun 20082010 bahkan pada saat krisis ekonomi terjadi), di saat negara lainnya tengah mengalami
pertumbuh yang stagnan bahkan negatif. Hal ini memancing kecurigaan bahwa
kebijakan mata uang China mengandung prinsip kebijakan “mengemis pada sesamamu
- beggar thy neighbor” (dimana pertumbuhan ekonomi China terjadi dengan
konsekuensi yang mengakibatkan kerugian bagi negara-negara lain) terutama pada saat
krisis ekonomi global. 149
Beberapa analis lain berpendapat bahwa apresiasi nilai RMB secara signifikan
akan mengurangi ketidakseimbangan perdagangan antara China dan Amerika Serikat.
Misalnya, suatu laporan oleh Bloomberg, diperkirakan bahwa apresiasi tahunan nilai
RMB sebesar 7% terhadap dolar akan memotong separuh dari defisit perdagangan AS
dengan China di tahun 2014.150 Penelitian ini juga menunjukkan bahwa apresiasi nilai
RMB akan membawa efek domino terhadap apresiasi nilai mata uang negara-negara
Asia lainnya, yang pada gilirannya akan menurunkan secara signifikan defisit
perdagangan AS yang sebelumnya berkisar $368 miliar pada tahun 2011 menjadi $59
miliar di tahun 2014. Akibat dari faktor-faktor ini, beberapa anggota legislatif AS
berpendapat bahwa China harus diposisikan oleh Kementerian Keuangan sebagai
negara yang telah memanipulasi nilai mata uangnya untuk memperoleh keuntungan
dagang secara tidak wajar. Dengan demikian, AS dapat melakukan pembenaran
terhadap legislasi untuk membalas perlakuan kebijakan China melalui kebijakan
domestik dan internasionalnya.
149
150
Ibid
Bloomberg Government. (2011). A Higher Yuan Would Half the U.S.-China Trade Deficit, hal. 53
88
C. Strategi Amerika Serikat dalam Menanggulangi Dampak Kebijakan Nilai
Tukar RRC
Banyak rancangan undang-undang telah diperkenalkan di Kongres selama
beberapa tahun terakhir yang ditujukan untuk mendorong China (dan negara lain)
mereformasi kebijakan mata uangnya atau untuk mengatasi efek yang dirasakan oleh
kebijakan terkait terhadap ekonomi AS. Sebagai contoh, salah satu rancangan undangundang yang diperkenalkan oleh Senator Schumer pada Kongres AS ke-108 (S. 1586).
Undang-undang ini menginginkan tambahan pajak sebesar 27.5% pada barang-barang
produk impor China kecuali apabila China memutuskan untuk mengapresiasi nilai tukar
mata uangnya menyamai nilai pasar sesungguhnya.151
Selama beberapa tahun terakhir, beberapa usulan legislatif telah berupaya
menerapkan langkah-langkah penanggulangan anti-dumping dan countervailing (antisubsidi) AS untuk mengatasi efek dari manipulasi nilai mata uang China. Usulan ini
meliputi langkah dimana produk kebijakan nilai mata uang China dianggap sebagai
bentuk sebagai subsidi ekspor (langkah-langkah countervailing) atau sebagai faktor
yang disertakan dalam penentuan anti-dumping. Pasca diberlakukan, usulan ini akan
memperbolehkan penaikkan harga barang-barang impor China melalui sistem
perpajakan anti-dumping.
Salah satu pertentangan paling sengit terkait usulan peraturan ini adalah apakah
tindakan tersebut akan konsisten dengan kewajiban AS di WTO. Sebagian berpendapat
bahwa WTO memungkinkan negara (dalam kondisi tertentu) negara anggotanya untuk
mengelola regulasi pemulihan perdagangan mereka sendiri, dan dengan demikian
mereka berpendapat bahwa kebijakan manipulasi nilai mata uang China dapat dijadikan
151
Sandar Levin dan Sherrod Brown. (2011). Currency Reform for Fair Trade Act. Diakses dari
http://waysandmeans.house.gov/media/pdf/111/hr2378_one-pager.pdf, tanggal 15 April 2012.
89
alasan dalam menentukan prasyarat kebijakan countervailing atau anti-dumping
sehingga akan konsisten dengan aturan WTO. Kritik terhadap usulan ini menegasikan
pernyataan tersebut dengan argumen bahwa aturan WTO tidak secara spesifik
menyertakan manipulasi mata uang sebagai faktor yang dapat digunakan untuk
melaksanakan tindakan pemulihan perdagangan, dan dengan demikian, usulan tersebut,
jika diberlakukan, dapat ditantang oleh China (dan mungkin oleh anggota WTO
lainnya) sebagai tindak pelanggaran aturan WTO.152
Tujuan utama lain dari berbagai rancangan undang-undang terkait di AS ialah
untuk
menghapus
ketentuan
dalam
undang-undang
perdagangan
AS
yang
mensyaratkan Departemen Keuangan dalam mengidentifikasi negara-negara yang
sengaja "memanipulasi" mata uangnya. Kementerian Keuangan belum pernah
mengidentifikasi negara manapun yang memanipulasi nilai mata uangnya sejak tahun
1994. Beberapa rancangan undang-undang telah berupaya untuk merancang suatu
mekanisme dan proses dimana Kementerian Keuangan dapat mengidentifkasi negaranegara dengan kebijakan manipulasi nilai mata uang (berdasarkan kriteria tertentu),
terlepas dari maksud kebijakan terkait. Rancangan undang-undang tersebut menyusun
beberapa tindakan (beberapa diantaranya bersifat hukuman) yang akan diambil oleh
Amerika Serikat untuk memberikan respon nyata terhadap negara-negara tertentu.
Beberapa pendukung dari legislasi yang ditujukan untuk China berharap bahwa
dengan adanya tindakan nyata ini akan mendorong China untuk mengapresiasi kursnya
dengan lebih cepat. Kritik dari rancangan undang-undang ini berpendapat bahwa
tindakan AS dapat menimbulkan kebencian dari pihak China dan membuat kebijakan
apresiasi menjadi lebih lama. Kekhawatiran lainnya berupa ketakutan bahwa China
152
Business Groups Letter Proposing China Currency Legislation. (2011). Diakses dari
http://businessroundtable.org/news-center/business-groups-letteropposing-China-currency-legislation,
tanggal 15 April 2012.
90
membalas kembali kebijakan ini dengan melakukan pelarangan yang sama terhadap
ekspor AS ke China apabila rancangan ini disahkan menjadi undang-undang.
1. Legislasi Kongres Amerika ke-112
Hingga pada akhir tahun 2011, telah terdapat 5 rancangan undang-undang yang
telah diperkenalkan dalam Kongres AS ke-112, yakni H.R. 639, S. 328, S. 1130, S.
1238, S. 1619 (yang berhasil disahkan oleh Senat pada bulan Oktober 2011).153 Berikut
merupakan penjabarannya masing-masing:
1.1. H.R. 639/S. 328
H.R. 639 (Sander Levin) dan S. 328 (Sherrod Brown), Undang-undang
Reformasi Kurs untuk Perdagangan yang Adil (Currency Reform for Fair Trade Act),
diperkenalkan pada tanggal 14 Februari 2011. Rancangan undang-undang ini cukup
identik dengan rancangan H.R. 2378 yang disahkan oleh DPR AS dalam Kongres ke111.154 Rancangan undang-undang ini ingin mengklarifikasikan beberapa ketentuan
mengenai hukum bea cukai (terkait subsidi ekspor pemerintah asing) yang
memperbolehkan
Department
Perdagangan
untuk
memperbolehkan
kebijakan
manipulasi nilai tukar mata uang sebagai suatu bentuk subsidi yang perlu diberikan
penanganan khusus.155
Sebagai contoh, undang-undang ini akan mengklarifikasi bahwa kurs yang
termanipulasi secara signifikan dianggap oleh Badan Perdagangan sebagai suatu bentuk
keuntungan yang diraih oleh pemerintah asing melalui ekspornya. Lebih lanjut, RUU
ini juga ingin mengklarifikasi bahwa bentuk subsidi (termasuk di dalamnya yang
153
Sandar Levin dan Sherrod Brown. loc. cit.
Ibid.
155
Department of Commerce, International Trade Administration. (2010). Aluminum Extrusions from the
People’s Republic of China: Initiation of Countervailing Duty Investigation, Federal Register, 75:80.
Diakses dari https://www.federalregister.gov/articles/2010/09/07/2010-22204/aluminum-extrusions-fromthe-peoples-republic-of-china-preliminary-affirmative-countervailing-duty, tanggal 15 April 2012.
154
91
bersangkutan dengan nilai mata uang) juga dapat menguntungkan perusahaanperusahaan non-ekspor (selain perusahaan ekspor itu sendiri). Dengan alasan itu saja,
bukan berarti bahwa kebijakan manipulasi mata uang bukanlah merupakan bentuk
subsidi yang tidak perlu ditangani di dalam undang-undang bea cukai. Dengan kata
lain, interpretasi intervensi nilai tukar mata uang dapat dilakukan dengan melihat
kinerja ekspor suatu negara.
RUU ini akan mengarahkan Departemen Perdagangan untuk menggunakan,
apabila dimungkinkan, data dan metodologi yang digunakan oleh International
Monetary Fund (IMF) dalam memperkirakan besaran manipulasi nilai suatu mata uang.
Faktor-faktor yang akan digunakan oleh Department Perdagangan untuk menentukan
nilai mata uang ini untuk pengukuran dalam undang-undang bea cukai termasuk, antara
lain:
(1) intervensi mata uang besar-besaran pada pasar kurs dalam jangka waktu
yang lama;
(2) kisaran besaran intervensi nilai tukar mata uang sebesar 5%; dan
(3) cadangan devisa dan aset negara yang bersangkutan melebihi:
i. jumlah yang diperlukan negara tersebut untuk membayar kembali surat
berharga di tahun yang akan datang;
ii. 20% dari keseluruhan persediaan uang dalam negeri;
iii. Nilai impor negara yang bersangkutan dalam kurun waktu 4 bulan
terakhir.156
RUU ini mengarahkan Departemen Perdagangan untuk memperkirakan subsidi
dalam bentuk manipulasi nilai tukar mata uang asing dengan tujuan untuk mengenakan
156
Ibid
92
pajak tambahan, yang kemudian didefinisikan sebagai selisih antara nilai tukar riil dan
equilibriumnya (disesuaikan dengan tingkat inflasi negara bersangkutan). RUU ini,
lebih lanjut, mengarahkan Badan Perdagangan untuk menggunakan rerata sederhana
dalam metodologi yang digunakan IMF dalam penentuan nilai tukar. Jika data yang
diperlukan ini tidak dapat diperoleh dari IMF, Badan Perdagangan akan diperbolehkan
untuk menggunakan teknik ekonometrik dan metodologi umum ekonomi untuk
mengukur nilai manipulasi mata uang.
1.2. S. 1619
S. 1619 (Sherrod Brown) merupakan RUU Reformasi Pengawasan Nilai Tukar
Mata Uang (Currency Exchange Rate Oversight Reform Act) tahun 2011, yang
diperkenalkan pada tanggal 22 September 2011, dan diloloskan oleh Senat pada tanggal
11 Oktober 2011. RUU ini menyediakan sistem untuk identifikasi mata uang
dimanipulasi dan menginginkan tindakan untuk menanggulangi kebijakan pemerintah
asing ini. RUU ini menginginkan Departement Perdagangan untuk mengeluarkan
laporan untuk Kongres sebanyak dua kali dalam setahun terkait kebijakan moneter
internasional dan nilai tukar mata uang, sebagai tambahan dari beberapa ketentuan yang
telah ada dalam UU yang telah berlaku.157 Laporan ini meliputi, antara lain sebagai
berikut:
(1) Deskripsi bentuk intervensi mata uang yang dilakukan baik oleh AS sendiri
maupun oleh negara-negara partner dagang AS, atau bentuk tindakan lain
yang dilakukan untuk menyesuaikan nilai tukar mata uang negara lain
relatif terhadap dolar AS;
157
Sherrod Brown. (2011). 3004 of Omnibus Trade and Competitiveness Act of 1988 (22 U.S.C 5305).
Diakses dari http://www.usitc.gov/publications/docs/tata/hts/bychapter/1000htsa.pdf, tanggal 17 Maret
2012.
93
(2) Evaluasi faktor-faktor global dan domestik yang menjadi dasar kondisi
pasar kurs;
(3) Terkait dengan negara-negara yang menjadi partner dagang AS maupun
negara-negara yang memainkan peranan penting dalam ekonomi global,
suatu ketentuan oleh Department Keuangan mengenai apakah nilai mata
uang mereka dimanipulasi atau tidak;
(4) Suatu daftar nilai mata uang yang menjadi fokus perhatian utama (priority
action);
(5) Suatu identifikasi akan nilai nominal nilai tukar equilibrium jangka
menengah relatif terhadap dolar bagi tiap-tiap mata uang yang berada dalam
daftar perhatian utama; dan
(6) Suatu deskripsi dari setiap konsultasi, termasuk tindakan yang diambil
untuk melenyapkan manipulasi mata uang. Departement Keuangan
diharapkan untuk melakukan negosiasi dengan negara-negara yang berada
dalam daftar perhatian utama.158
Faktor-faktor yang digunakan untuk menentukan negara yang menjadi perhatian
utama, termasuk antara lain:
(1) Terlibat dalam intervensi pasar mata uang secara besar-besaran, terkhusus
apabila tindakan ini disertai dengan ukuran-ukuran sterilisasi tertentu;
(2) Terlibat
dalam
akumulasi
devisa
untuk
menyeimbangkan
neraca
pembayaran secara besar-besaran dan dalam jangka waktu yang lama;
(3) Memperkenalkan atau memodifikasi batasan atau insentif (untuk tujuan
neraca pembayaran) terhadap arus modal masuk dan keluar, yang tidak
158
Ibid
94
konsisten dengan tujuan pencapaian konvertibilitas mata uang secara
menyeluruh; dan
(4) Memberlakukan bentuk-bentuk kebijakan atau tindakan lain yang dianggap
oleh Department Keuangan memenuhi prasyarat untuk dimasukkan dalam
daftar negara yang harus mendapatkan perhatian utama.159
Apabila suatu negara tergolong ke dalam daftar perhatian utama ini tidak
melakukan tindakan untuk memperbaiki kondisi kebijakan manipulasi nilai tukar mata
uangnya terhadap dolar Amerika Serikat dalam kurun waktu 90 hari, tindakan-tindakan
sebagai berikut akan dikenakan:
(1) Suatu investigasi pajak anti-dumping, Department Pedagangan akan
diarahkan untuk memperkirakan taraf intervensi yang tengah diberlakukan
pada saat membandingkan harga barang import dengan nilai normalnya
(yakni harga barang bersangkutan di dalam negeri asal importir) ketika
ingin menentukan kebijakan anti-dumping yang tepat;
(2) Presiden diharapkan untuk melarang pembelian barang maupun jasa oleh
pemerintah pusat dari suatu negara kecuali apabila negara tersebut
merupakan anggota dari World Trade Organization (WTP) Government
Procurement
Agreement
(GPA).
Walaupun
China
kini
tengah
menegosiasikan keanggotannya dalam GPA, China belum menjadi anggota.
(3) The Overseas Private Investment Corporation (OPIC) dilarang menyetujui
segala
bentuk
pembiayaan
(termasuk
asuransi,
re-asuransi,
atau
penjaminan) yang terkait dengan proyek berlokasi di negara bersangkutan.
159
Ibid
95
Ketentuan ini tidak akan memengaruhi China karena OPIC sendiri sudah
dilarang beroperasi di China dalam UU AS.
(4) Direktur Eksekutif AS pada bank multilateral akan diarahkan untuk
menolak persetujuan segala bentuk pembiayaan pemerintah untuk negara,
atau proyek yang berlokasi di negara bersangkutan;
(5) Amerika Serikat akan meminta kepada IMF untuk memberikan konsultasi
khusus kepada negara tersebut sehubungan dengan upaya untuk
menghapuskan manipulasi mata uang. 160
Jika negara yang berada pada daftar perhatian utama gagal untuk mengambil
langkah yang diharapkan dalam mengurangi intervensi selang 360 hari setelah
penetapannya oleh Kementerian Keuangan, hal-hal sebagai berikut akan ditindaklanjuti:
(1) Perwakilan Dagang AS akan diminta untuk melakukan konsultasi dengan
WTO dengan negara terkait konsistensi negara yang bersangkutan dengan
kewajibannya dalam WTO;
(2) Sekretaris Kementerian Keuangan akan diminta untuk berkonsultasi dengan
Kepala Sistem Bank Federal untuk mengambil tindakan-tindakan intervensi
perbaikan terhadap pasar kurs internasional sebagai tanggapan terhadap
kebijakan intervensi mata uang dan mengkoordinasikan upaya intervensi ini
dengan otoritas moneter lainnya serta IMF 161
S. 1619 juga akan mengubah hukum bea cukai AS untuk mensyaratkan
Department Perdagangan memulai suatu investigasi untuk menentukan apakah suatu
bentuk kebijakan intervensi nilai mata uang perlu ditanggapi, baik secara langsung
160
161
Ibid
Ibid
96
maupun tidak langsung, dengan tanggapan pada bentuk subsidi countervailing apabila
suatu petisi diajukan oleh pihak terkait dan disertai dengan informasi yang mendukung
tuduhan terkait.
RUU ini juga akan mengklarifikasi, fakta terkait subsidi yang
berhubungan intervensi nilai mata uang, fakta bahwa suatu subsidi (yakni nilai mata
uang termanipulasi) juga dapat menguntungkan perusahaan dari sektor non-ekspor, dan
karena alasan ini saja, berarti bahwa subsidi ini tidak dapat dianggap memiliki kaitan
dengan perkembangan besaran ekspor. RUU ini mencakup ketentuan pengecualian
terhadap negara dalam daftar prioritas utama dan proses dimana Kongres dapat tidak
menyutujui pengecualian ini. S. 1619 juga akan menambah ketentuan terhadap hukum
anti-dumping
AS
yang akan
mensyaratkan
Department
Perdagangan
untuk
memasukkan negara dalam daftar perhatian utama sebagai salah satu faktor untuk
dipertimbangkan selama peninjauan kembali dilakuakan untuk menentukan apakah
perubahan terkait ekonomi negara berbasis non-pasar menjadi ekonomi negara berbasis
pasar.
Untuk tujuan mengukur keuntungan yang diperoleh dari intervensi nilai tukar
mata uang dalam kasus bea cukai pada umumnya, pihak Perdagangan akan diarahkan
untuk membandingkan rerata sederhana dari tingkat nilai tukar nyata dari penerapan
pendekatan nilai tukar riil equilibrium dan pendekatan keseimbangan makroekonomi
terhadap nilai tukar sehari-hari yang resmi. Metode ini akan berdasarkan pada data IMF
dan Bank Dunia, jika tersedia, atau pada organisasi internasional dan pemerintah
lainnya jika data yang dibutuhkan tidak tersedia. Untuk kasus yang melibatkan negara
dengan manipulasi nilai mata uang dalam daftar perhatian khusus, S. 1619 akan
memberikan arahan terhadap pihak Perdagangan untuk mengkalkulasikan keuntungan
dari manipulasi nilai mata uang dengan membandingkan nilai nominal diasosiaikan
97
dengan sistem nilai tukar seimbang dari mata uang negara eksportir terhadap nilai tukar
resmi dalam keseharian.
Untuk tujuan kasus pajak anti-dumping bagi negara di dalam daftar perhatian
utama, S. 1619 akan mengarahkan Departement Perdagangan untuk menyesuaikan
harga sesuai dengan harga ekspor atau harga ekspor nyata untuk merefleksikan besaran
manipulasi nilai mata uang negara eksportir. Manipulasi mata uang didefinisikan
sebagai suatu pengurngan nilai mata uang secara signifikan dan berkelanjutan dari nilai
mata uang efektif riil yang sebenarnya, disesuaikan dengan faktor-faktor transisi dan
berulang, dari nilai seimbang jangka menengahnya. Istilah manipulasi mata uang dan
ukuran manipulasi ini dalam H.R. 639/S. 328 dam S. 1619 nampaknya dirancang
sebagian besar dari Keputusan atas Pengawasan Bilateral Kebijakan Anggota (Decision
on Bilateral Surveillance over Members’ Policies) IMF pada tahun 2007.
1.3. S. 1130
S. 1130 dan S. 1267 (John Rockefeller) akan, antara lain, memperlakukan
“manipulasi nilai tukar mata uang” sebagai subsidi yang dapat ditindaklanjuti di bawah
undang-undang bea cukai AS. Manipulasi nilai tukar mata uang dideginisikan sebagai
intervensi besar-besaran dalam kurun waktu yang panjang untuk mengurangi nilai mata
uang suatu negara di pasar pertukaran. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk
mencegah pencegahan efektif neraca pembayaran atau memperoleh keuntungan
sepihak dari negara lainnya.162
1.4. S. 1238
S. 1238 (Olympia Snowe) menginginkan, sebelum Kongres menyutujui
rancangan UU manapun yang menerapkan perjanjian perdagangan bebas atau
162
Senator John Rockefeller, Press Release, 21 Juni 2011. Diakses dari
http://www.whitehouse.gov/briefing-room/press-briefings, tanggal 17 Maret 2012.
98
memperluas status hubungan dagang permanen terhadap negara lain; Presiden harus
pertama-tama mengakui bahwa pemerintah yang bersangkutan memiliki potensi
sebagai partner dagang namun dalam kurun 10 tahun setelah pengakuan tetap
melakukan intervensi nilai mata uang dengan tujuan memperoleh keuntungan dari
partner dagangnya melalui pasar internasional. Sebagai tambahan, Senat akan menahan
pertimbangan mengenai perjanjian perdagangan apabila suatu peryataan klarifikasi
dikeluarkan oleh anggota senat siapapun dan tidak disertai dengan persetujuan
Presiden.
Sponsor dari rancangan undang-undang ini menginginkan suatu model yang
memberikan insentif bagi negara-negara lain agar tetap mampu bersaing dengan produk
ekspor China dengan harga yang rendah. Rancangan undang-undang ini, seperti yang
dikutip melalui pernyataan Senator Olympia, “intended to send the message that a key
precondition to entering into any trade agreement with the U.S. should be the clear
absence of any governmental currency intervention or manipulation.”163 Dengan
demikian, seluruh barang impor yang masuk ke dalam Amerika Serikat hanyalah
barang yang bebas dari segala bentuk intervensi dan manipulasi nilai tukar mata uang.
2. Posisi Pemerintahan Obama dan Respon Kebijakan Amerika Serikat
Presiden Obama menyatakan pada bulan Februari 2010 bahwa nilai mata uang
China yang dimanipulasi menempatkan perusahaan-perusahaan AS pada posisi yang
tidak menguntungkan. Presiden Obama menyatakan akan menjadikan fenomena ini
sebagai salah satu prioritas kebijakan moneternya.164 Dalam suatu konferensi berita
163
Senator Olympia Snowe, Press Release, 21 Juni 2011. Diakses dari
http://www.whitehouse.gov/briefing-room/press-briefings, tanggal 17 Maret 2012.
164
The White House, Remarks by the President at the Senate Democratic Policy Committee Issues
Conference, 3 Februari 2010. Diakses dari http://www.whitehouse.gov/briefing-room/statements-andreleases, tanggal 17 Maret 2012.
99
pada bulan November 2011, Obama juga menyatakan bahwa China perlu untuk
meneruskan inisiatif untuk bergerak ke arah sistem dimana nilai mata uangnya
ditentukan berdasarkan kondisi pasar dan bahwa AS dan negara-negara lain merasa
bahwa kebijakan seperti ini harus segera dihentikan.165
Pemerintah AS menyambut keterlibatan Kongres dalam menanggapi kebijakan
moneter China sepanjang proposal legislasi yang diajukan tidak bertentangan dengan
kewajiban AS dalam keanggotaan WTO dan tidak mempersulit negosiasi AS-China,
baik secara bilateral maupun multilateral terkait isu manipulasi ini. Pemerintah
eksekutif AS tidak mengindikasikan secara publik bahwa mereka mendukung atau
menolak RUU DPR yang disahkan H.R. 2378 dalam Kongres ke-111. Pada masa
pertimbangan RUU S. 1619 oleh Senat pada bulan Oktober 2011, salah seorang
perwakilan eksekutif AS menyatakan bahwa “kami memiliki kesamaan tujuan dengan
legislasi yang sedang dibahas dalam mengambil tindakan untuk memastikan bahwa
pekerja dan perusahaan AS bersaing secara adil dengan China, termasuk terkait
manipulasi nilai mata uang China, isu yang telah kami bicarakan, serta Sekretaris
Geithner dan lainnya telah bicarakan sebelumnya. Aspek-aspek dalam legislasi, seperti
yang saya maksudkan sebelumnya, mengangkat kekhawatiran mengenai konsistensi AS
dengan kewajiban internasionalnya, yang menyebabkan mengapa kami masih sedang
berada dalam proses mendiskusikannya dengan Kongres. Apabila RUU ini disahkan,
kami berharap kekhawatiran ini terselesaikan.”166
Pemerintah Obama telah mengupayakan negosiasi langsung dengan pihak
China terkait isu ini melalui Dialog Ekonomi dan Strategis (Strategic & Economic
165
The White House, News Conference by President Obama, 14 November 2011. Diakses dari
http://www.whitehouse.gov/briefing-room/statements-and-releases, tanggal 17 Maret 2012.
166
The White House, Press Briefing by Press Secretary Jay Carney, 12 Oktober 2011. Diakses dari
http://www.whitehouse.gov/briefing-room/press-briefings, tanggal 17 Maret 2012.
100
Dialogue (S&ED)) dam Komisi Gabungan Perdagangan (Joint Commission on
Commerce and Trade (JCCT)).167 Pada akhir sesi S&ED pada bulan Mei 2011,
Sekretaris Keuangan Tim Geithner menyatakan: “Kami berharap bahwa China bergerak
ke arah dimana nilai tukar mata uangnya diapresiasikan secara meluas terhadap nilai
mata uang partner dagangnya. Dan penyesuaian ini, tentunya, sangat kritis bukan hanya
bagi upaya China yang sedang berlangsung melainkan juga untuk menahan tekanan
inflasi dan untuk mengatur risiko yang dibawa oleh arus modal masuk terhadap pasar
aset dan kredit, serta untuk mendorong pergesaran besar ini terhadap suatu strategi
pertumbuhan yang dipimpin berdasarkan permintaan domestik.”168
Sebagai tambahan, AS juga berupaya menggunakan jalur multilateral, seperti
Group of 20 (G-20) negara-negara ekonomi maju dan berkembang serta IMF, sebagai
cara untuk mendorong kerjasama internasional terkait neraca eksternal dan kebijakan
nilai tukar dan untuk membawa lebih banyak tekanan terhadap China untuk
mengapresiasi mata uangnya. Sebagai contoh, pada tanggal 20 Oktober 2010 Sekretaris
Geithner mengeluarkan proposal yang ditujukan terhadap pertemuan G-20 antara
menteri keuangan dan gubernur bank sentral pada tanggal 23 Oktober 2010. Proposal
ini memuat setidaknya tiga poin utama:169
(1) Negara-negara G-20 harus berkomitmen untuk mengambil langkahlangkah untuk mengurangi ketidakseimbangan eksternal (surplus dan
defisit) dibawah porsi khusus dari PDBnya dalam beberapa tahun ke depan.
167
Isu nilai tukar mata uang China juga merupakan salah satu topic utama dalam China-AS Strategic
Economic Dialogue (SED) yang dimulai sejak pemerintahan Bush tahun 2006.
168
U.S. Department of State, Joint Closing Remarks for the Strategic and Economic Dialogue, 10 Mei
2011, diakses dari http://www.state.gov/secretary/rm/2011/05/162969.htm tanggal 26 September 2011.
169
United States Department of Treasury. (2010). Dear G-20 Colleagues Letter, 20 Oktober. Diakses dari
http://www.thechicagocouncil.org/UserFiles/File/GlobalAgDevelopment/Newsletter/Letter%20to%20G2
0%20Food%20Security%20October%2018.pdf, tanggal 17 Maret 2012.
101
(2) Negara-negara G-20 harus berkomitmen untuk tidak melakukan kebijakan
yang sengaja dibuat untuk memperoleh keuntungan sepihak, baik dengan
cara melemahkan nilai mata uang sendiri atau dengan mencegah apresiasi
nilai mata uangnya sendiri. Negara-negara berkembang G-20 dengan nilai
mata uang yang dimanipulasi (dengan jumlah devisa yang cukup) perlu
untuk membiarkan nilai tukarnya menyesuaikan diri dari waktu ke waktu
sesuai dengan kondisi ekonomi. Negara-negara maju G-20 harus bekerja
sama untuk memastikan pencegahan volatilitas berlebihan dan pergerakan
tak teratur dari nilai tukar mata uang.
(3) G-20 perlu menyerukan agar IMF mengambil peran khusus dalam
memonitor perkembangan komitmen-komitmen terkait dan perlu untuk
mengeluarkan laporan semi tahunan yang mengavaluasi perkembangan
negara-negara G-20 dalam pencapaian tujuan ini. China dan beberapa
negara anggota G-20, walaupun menyatakan persetujuannya akan upaya
menyeimbangkan perekonomian global, menolak untuk sepakat dalam
penentuan target matematis.
Banyak pakar ekonomi AS berpendapat bahwa nilai mata uang China yang
ditahan di bawah nilai sesungguhnya menimbulkan dampak global yang mencegah
keseimbangan makroekonomi global. Bagian akhir skripsi ini akan memaparkan analisa
mengenai opsi kebijakan yang tersedia bagi AS; dimana kebijakan melalui jalur
multilateral dianggap berjalan lebih lamban, namun opsi ini memiliki kecenderungan
yang lebih minim dalam memprovokasi repson politik yang negatif. Namun demikian,
hal pertama yang perlu dilakukan oleh AS ialah menentukan prinsip yang kuat dalam
mengambil sikap.
102
Dalam dinamika politik Amerika Serikiat yang semakin memanas terkait
kebijakan nilai mata uang China, terdapat berbagai macam desakan agar AS segera
mengambil tindakan. Namun setidaknya, sebelum AS benar-benar mengambil
kebijakan respon untuk China, harus dipertimbangkan terlebih dahulu tindakan seperti
apa yang AS inginkan agar dilakukan oleh China. AS harus dengan hati-hati melihat
dampak yang akan ditimbulkan oleh kebijakan tertentu dan bagaiman reaksi balik
China terhadap kebijakan tersebut.
Terdapat suatu opini publik yang kuat di AS bahwa nilai tukar mata uang China
telah secara signifikan membawa kerugian bagi kestabilan situasi ekonomi global. Bagi
mereka yang percaya akan pandangan ini, mereka beranggapan bahwa nilai patok mata
uang yang diberlakukan China tidak dapat ditolerir. Lalu, kebijakan seperti apa yang
dapat diterima oleh AS? Dan bagaimana seharusnya sikap terbaik AS dalam
menanggapi isu ini?
Dalam
upaya
untuk
menjawab
pertanyaan
analisa
di
atas,
dapat
dipertimbangkan beberapa kemungkinan skenario. Pertama ialah bahwa China dapat
melanjutkan kebijakan apresiasi yang diberlakukan pada tahun 2005-2008, pada
besaran rata-rata 6% setiap tahun. Kebijakan seperti ini mungkin tidak akan memiliki
dampak yang signifikan terhadap AS dalam jangka waktu menengah. Dengan merujuk
pada sejarah, kebijakan apresiasi sejarah justru mendorong pertumbuhan surplus dan
cadangan devisa China.
Kemungkinan kedua ialah apresiasi besar-besaran yang dilakukan “sekaligus”.
Namun dengan besaran total nilai RMB yang dimanipulasi berkisar antara 25% sampai
40%, apreasiasi besar-besaran seperti ini akan menimbulkan ancaman pergeseran dalam
103
perekonomian China, yang kemudian akan lepas kendali nantinya.170 Lebih lanjut,
kebijakan ekstrim seperti ini tidak akan menstimulasi konsumsi China, setidaknya
bukan dalam jangka waktu menengah.
Kemungkinan ketiga ialah bahwa China dapat menghindari pertanyaan
mengenai seberapa cepat China harus mengapresiasi nilai dolar dengan membiarkannya
mengambang sesuai dengan situasi pasar sekarang. Hal ini dapat membuka kesempatan
dimana RMB dapat diperjual belikan secara lebih bebas. Namun demikian, hal ini juga
hanya akan menambah ketidakpastian yang dapat menyebabkan kejutan ekonomi
terhadap China dan belum begitu pasti bahwa nilai mata uang China akan tetap
terapresiasi sesuai dengan harapan melalui metode seperti ini. Apabila nasabah China
bebas memutuskan dimana mereka ingin menyimpan uangnya di mana pun di dunia ini,
akan terdapat arus modal keluar RMB secara besar-besaran terhadap mata uang lain
sehingga menimbulkan depresiasi.
Permasalahan utama dari kebijakan AS ialah sulitnya mengadakan perbedaan
antara tindakan China yang seperti apa yang dapat diterima dan tidak dapat diterima.
Pada saat AS menempatkan dirinya pada posisi sebagai pihak yang mengeluarkan
peringatan, AS harus mengetahui bagaimana membedakan respon China yang sesuai
dengan harapan dan yang tidak. Apakah 1% tingkat apresiasi tahunan cukup?
Bagaimana dengan persentase tingkat pertumbuhan? Apakah penerimaan terhadap
sikap China ditentukan dari persentasi apreasiasi nilai tukar mata uangnya? Tidak ada
jawaban yang mudah atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas.
Tanpa suatu basis prinsip sikap, kebijakan AS akan terlihat semena-mena saja.
Dengan tidak adanya tolak ukur standar respon yang jelas, pendekatan yang paling
170
Wayne M. Morisson dan Marc Labonte. (2011). op. cit. hal. 6.
104
masuk akal saat ini ialah bekerja sama dengan negara lain dengan posisi yang sama
dalam mengklarifikasi aturan-aturan internasional terkait. Merupakan hal yang umum
bagi para politisi China untuk menjadikan dua hal berikut sebagai sumber legitimasi
kebijakan: kinerja ekonomi dan nasionalisme (Shirk 2007).171 Pemerintah China harus
mengendalikan situasi yang sulit antara inflasi yang timbul akibat adanya kelebihan
suplai uang dalam negeri dan pengagguran yang dapat timbul dari kebijakan apresiasi
mata uang. Posisi China yang cenderung menunda-nunda dalam menentukan sikap
membuat pilihan antara kedua opsi ini menjadi semakin sulit untuk diambil.
Kendala sentimen nasionalis yang melekat di China seringkali tidak begitu
nyata dan seingkali dihubungkan dengan trauma masa lalu dalam sejarah China.
Trauma ini memang nyata dan spesifik, seperti perang antara China dan Jepang, atau
berhubungan dengan masa-masa suram bagi ekonomi China yang ditandai dengan
istilah “abad memalukan - century of humiliation" yang terjadi pada masa perang
opium di pertengahan abad ke-19. Masa-masa dikenal sebagai masa awal upaya
membuka perdagangan China ke dunia luar.
Implikasi praktis dari nasionalisme China dalam konteks ini adalah bahwa
masih ada kepekaan bangsa China terhadap penghinaan di panggung internasional.
Pejabat pemerintah dapat merasa dibatasi dalam tindakan mereka dan mungkin hal ini
semakin mempertebal rasa sentimen nasionalis China. Bukan hanya karena
keberhasilan ekonomi China tahun terakhir yang membuat pemimpin China menjadi
lebih berani bersikap menentang tuntutan internasional, tetapi karena meningkatnya
Susan Shirk. (2007). Fragile Superpower: How China’s Internal Politics Could Derail Its Peaceful
Rise. Oxford: Oxford University Press.
171
105
persaingan politik dalam negeri membuat pemerintah berupaya sekeras mungkin agar
tidak terlihat lemah di depan publik.172
Dalam konteks apresiasi mata uang China, pemimpin China kemungkinan akan
mempertimbangkan tidak hanya implikasi ekonomi namun juga dampak politik dalam
negeri apabila pemerintah China tunduk terhadap ancaman atau tuntutan asing. Dari
perspektif kepemimpinan itu, hasil terburuk yang mungkin akan menjadi konsesi
kebijakan yang mengkombinasikan risiko gejolak ekonomi dengan kehilangan muka
akibat tunduk terhadap tekanan Barat. Hal ini cukup dipahami, terutama karena
pemerintahan China masih bersifat sangat sentralistis.
3. Opsi-opsi Kebijakan Alternatif
Sampai pada masa ini, dua gelombang pemerintahan terakhir telah berupaya
untuk merumuskan strategi diplomasi diam yang memiliki catatan kesuksesan yang
tidak selalu berhasil. China terpaksa mengapresiasi nilai mata uangnya sebesar 20%
pada tahun 2005-2008. Di luar periode ini, namun demikian, nilai RMB tetap konstan
terhadap nilai dolar AS.173
Kebijakan-kebijakan alternatif dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan
besar, yakni pendekatan unilateral dan multilateral. Pendekatan ini bukan berdasarkan
atas otoritas mana yang akan mengajukan komplain terhadap China, namun sematamata berdasarkan kondisi apakah AS perlu melakukan tekanan sendiri atau bersamasama dengan negara lain. Ketika AS melakukan tekanan ini sendiri, kemungkinan
respon balasan politik dari pemerintah China cenderung bersifat negatif, demikian
sebaliknya.
172
Michael Wines. (2010). China Blames US for Strained Relations. New York Times, 7
Maret.
173
Wayne M. Morrison dan Marc Labonte. (2009). op. cit. hal. 11.
106
3.1. Opsi kebijakan unilateral
3.1.1. Label manipulasi mata uang
Kementerian Keuangan menunda keputusan mengenai apakah China telah
memanipulasi nilai mata uangnya, namun pada akhirnya harus mengambil keputusan
terkait. Memberikan label yang bersifat peyoratif kepada China akan membuat kondisi
politik yang semakin sulit bagi China untuk memaksa mengubah kebijakannya. Namun
demikian, juga diperlukan langkah-langkah tambahan yang akan memberikan
konsekuensi secara ekonomi bagi China bila perubahan substansial memang sangat
diperlukan.
3.1.2. Subsidi countervailing
Salah satu ide yang paling terkemuka berkenaan dengan tindakan yang dapat
diambil oleh AS ialah dengan memperlakukan manipulasi nilai mata uang China
sebagai tindakan subsidi perdagangan yang perlu ditindaklanjuti. Akan tetapi, terdapat
tiga masalah dengan pendekatan ini. Pertama, kasus pemberlakuan bea cukai subsidi
pedagangan memiliki cakupan yang sempit dan sulit untuk disimpulkan. Hal ini
membatasi dampak ekonomi yang diharapkan baik terhadap China maupun terhadap
melambatnya perekonomian global dunia.
Kedua, cukup diragukan bahwa kebijakan ini sejalan dengan ketentuan WTO.
Gary Hufbauer dari Peterson Institute berpendapat bahwa bea cukai subsidi
perdagangan harus melibatkan kontribusi finansial pemerintah dan bersifat spesifik,
bukan general seperti dalam kebijakan manipulasi perdagangan. Kebijakan manipulasi
perdagangan berlaku umum, dan bukan khusus ditujukan kepada industri tertentu, dan
belum ada kasus pendahulu dimana kebijakan ini dianggap sebagai pemberian
kontribusi finansial. Terakhir, keputusan pemberlakuan bea cukai subsidi perdagangan
107
akan mengusik China namun tidak akan cukup kuat dalam memberikan alasan bagi
China untuk menjadikannya landasan perubahan kebijakan. 174
3.1.3. Gugatan World Trade Organization (WTO)
Ide opsi kebijakan ketiga ialah dengan menggugat kasus China sebagai bentuk
pelanggaran ketentuan dalam pasal XV WTO.175 Pasal ini menyebutkan, seperti
berikut: "Angota WTO tidak diperbolehkan, melalui metode pertukaran, menggagalkan
tujuan yang dibangun dalam perjanjian ini." Apabila panel tim penyelesaian masalah
WTO memutuskan memihak terhadap gugatan AS dengan landasan komplain terhadap
pelanggaran Pasal XV, AS akan diperbolehkan untuk meningkatkan tarif tambahan
terhadap produk China apabila China menolak untuk mengubah kebijakannya. Akan
tetapi, juga terdapat dua permasalahan utama dengan pendekatan ini. Pertama, upaya
penyelesaian sengketa dagang oleh WTO dapat memakan waktu selama bertahuntahun; dengan demikian hasil yang diinginkan tidak akan didapatkan dalam waktu
dekat ini.
Kedua,
tidak
terdapat
metode
pendahulu
tentang
bagaimana
cara
menginterpretasi Pasal XV WTO, juga tidak terdapat bahasa negosiasi maupun
panduan yang akan dijadikan acuan oleh panel penyelesaian sengketa dagang WTO
dalam menetapkan keputusan sejauh mana kebijakan China dianggap sebagai bentuk
pelanggaran terhadap ketentuan ini. Dengan demikian, panel penyelesaian sengketa
dagang AS mungkin tidak akan mengabulkan gugatan AS, atau mengabulkannya atas
dasar prinsip-prinsip yang kabur. Walaupun AS seringkali menentang tindakan
174
Gary Hufbauer. (2007). The US Congress and the Chinese Yuan. Paper presented at the conference on
China’s Exchange Rate Policy, Peterson Institute for International Economics, Washington DC, 19
Oktober.
175
International Monetary Fund. (2006). Agreement Between the International Monetary Fund and the
World Trade Organization. Diakses dari http://www.worldtradelaw.net/articles/ahnimf.pdf, tanggal 10
Maret 2012.
108
keputusan panel WTO atas prinsip demikian, keputusan panel yang mendukung
gugatan AS hanya bisa dilakukan dengan cara tersebut.
3.1.4. Tarif Sepihak
Tindakan unilateral paling tegas yang dapat diambil oleh AS ialah dengan
menggunakan tarif lintas sektor yang baru-baru ini sering diadvokasikan oleh Paul
Krugman.176 Berbeda dengan tindakan lainnya, kebijakan ini akan mengakibatkan
kerugian ekonomi langsung bagi China, namun di saat yang bersamaan akan
memaksimalkan kemungkinan penghindaran konflik politik di dalam pemerintahan
China terkait nasionalisme yang menyebabkan China dipandang tidak diperbolehkan
untuk menurut terhadap tuntutan negara-negara barat. Akan tetapi, dengan terangterangan melanggar komitmen AS di bawah WTO, tarif sepihak akan melakukan
kerusakan permanen pada sistem berbasis ekonomi multilateral. Ini bisa menjadi
bencana bagi ekonomi AS yang terintegrasi ke dalam ekonomi dunia dan cenderung
menjadi lebih bergantung pada ekspor untuk pertumbuhannya. Selain itu gangguan
dalam kerja sama dan hubungan akan tidak akan terbatas hanya pada batas-batas sempit
hubungan perdagangan dan mata uang.
Pendukung pemberlakuan tarif sepihak tidak begitu memerdulikan adanya
konsekuensi jangka panjang ini selama bahwa tarif sepihak dapat segera membantu
mencapai tujuan jangka pendek AS terlepas dari keinginan China untuk turut
memperbaiki kebijakannya atau tidak. Hal ini sangat mengkhawatirkan. Tindakan
bilateral demikian dapat segera dielakkan oleh penataan kembali arus perdagangan
dunia, secara efektif membalikkan pergeseran pola perdagangan yang mengiringi
kenaikan perekonomian China.
176
Paul Krugman. (2010). Capital Export, Elasticity Pessimism, and the Renminbi (Wonkish), The
Conscience of a Liberal. New York Times, 16 Maret.
109
Bagi banyak produsen barang China dengan harga yang sangat murah, pesaing
utama produk mereka bukanlah perusahaan AS melainkan perusahaan-perusahaan dari
negara-negara berkembang. Meskipun jika AS ingin masuk dalam jalur bisnis dimana
China menjadi kurang diuntungkan, penyesuaian tersebut membutuhkan waktu.
Dengan demikian, hanya ada sedikit peluang dimana keuntungan jangka pendek dapat
mengimbangi biaya jangka panjang yang nantinya lebih mengejutkan. Pada
kesimpulannya, setiap pendekatan sepihak akan menghadapi ketegangan bilateral yang
tak terhindarkan akan selalu menyertainya dan oleh sulitnya menetapkan aturan global
tanpa sebuah konsensus yang lebih luas, terutama dengan tidak adanya jawaban teknis
yang jelas.
3.2. Pendekatan Multilateral
Pendekatan multilateral akan mampu menghindari dampak politis yang lebih
negatif. Namun demikian, pendekatan multilateral memiliki tantangannya sendiri.
Mengkoordinasi tindakan secara multilateral membutuhkan waktu yang panjang
sehingga dapat memperlambat pencapaian kepentingan AS dalam hal ini. Namun
demikian, perlu diketahui opsi-opsi apa saja yang dimiliki oleh dalam jalur
penyelesaian isu ini secara multilateral.
3.2.1. Peran World Trade Organization (WTO)
Aaditya Mattoo dan Arvind Subramanian (2008) pernah mengajukan suatu
aturan baru dan lebih jelas di bawah WTO mengenai sikap terhadap penentuan nilai
tukar mata uang.177 Yurisdiksi dari WTO ialah untuk memberikan pengawasan dan
memberlakukan ketentuan segala hal yang berkaitan dengan kegiatan perdagangan
antar negara, maupun hal-hal yang dapat berpotensi menghambat kegiatan perdagangan
177
Aaditya Mattoo dan Arvind Subramanian. (2008). Currency Undervaluation and Sovereign Wealth
Funds: A New Role for the World Trade Organization. Peterson Institute Working Paper WP 08-2,
January.
110
tersebut. Mattoo dan Subramanian menyatakan terdapat keterbatasan kompetensi oleh
sekretariat WTO terkait kasus manipulasi keuangan, namun demikian WTO dapat
menjalin kolaborasi dengan IMF.178
Namun
demikian, terdapat
tantangan
yang besar bagi
kemungkinan
keberhasilan WTO dalam mengadopsi peraturan demikian. Metode utama untuk
mengadopsi perubahan peraturan dalam Doha Development Agenda, mengalami
kendala. Ada pun segala bentuk perubahan peraturan atau pemberlakuan peraturan
baru, memerlukan konsensus dari seluruh anggota WTO, termasuk China sendiri.
3.2.2. Peran International Monetary Funds (IMF)
Direktur Manager IMF telah menyatakan pandangan IMF bahwa nilai tukar
RMB memang mengalami ketidaksesuaian harga (Wall Street Journal 2010).179
Manipulasi nilai tukar merupakan subyek dimana IMF memiliki keahlian dan
pengetahuan yang cukup dan sesuai dengan mandat pendirian perjanjian dan penetapan
perannya yang disetujui oleh negara-negara anggotanya untuk memperbaiki kondisi
terkait. Tapi daya kerja IMF untuk memberlakukan suatu tindakan pada negara anggota
umumnya terbatas pada kondisi persyaratan pinjaman. Ini hanya bekerja jika negara
berusaha untuk meminjam dan memiliki relevansi ketika negara seperti China terlibat
dalam pinjaman yang berlebihan. Dengan mengesampingkan masalah penegakan, IMF
akan menjadi lembaga yang tepat di mana untuk menetapkan norma-norma baru untuk
perilaku keuangan internasional, jika kesepakatan tentang norma-norma ini dapat
terbangun.
178
Ibid
Nicholas Winning. (2010). IMF Strauss-Kahn: China’s Currency Is Undervalued. PEDaily. Diakses
dari http://www.pedaily.cn/Item.aspx?id=189323, tanggal 17 Maret 2012.
179
111
3.2.3. Kesepakatan Norma Internasional
Jika ternyata bahwa kesepakatan mengenai norma-norma baru tidak bisa
dibangun di bawah naungan IMF, alternatifnya adalah dengan mendorong kesepakatan
mengenai prinsip-prinsip yang diinginkan melalui organisasi kelompok seperti G7 atau
G20. Sementara G20 menawarkan legitimasi yang lebih tinggi dengan memasukkan
negara-negara seperti Brazil, China, dan India, tentu membuat konsensus lebih sulit
untuk dicapai. Kembalinya pengelompokan yang lebih kecil dapat memfasilitasi
konsensus dan memudahkan pengambilan tindakan dan keputusan.
Tak satu pun dari pendekatan multilateral menawarkan jalan pintas yang cepat
atau mudah dalam meluluskan suatu kepentingan. Pendekatan ini, bagaimanapun,
menawarkan kemungkinan pengembangan seperangkat aturan untuk perilaku keuangan
internasional yang bisa mengatur ekonomi internasional selama bertahun-tahun yang
akan datang. Selanjutnya, dengan menghindari antagonisme konflik bilateral,
pendekatan multilateral bisa membuat kondisi secara politis menjadi lebih mudah bagi
China untuk menyetujui aturan baru.
Kemungkinan terakhir adalah bahwa pemerintah AS menunjukkan kesabaran
dan menunggu ruang bagi tekanan domestik China sendiri untuk pemberlakuan
revaluasi di China. Inilah yang pemerintahan Obama tampaknya inginkn dengan
keputusannya untuk menunda laporannya mengenai manipulator mata uang. Jika
harapan ini tercapai dan China dengan cepat melonggarkan patokan nilai mata uangnya,
tekanan internasional diharapkan terus berkurang. Jika China melakukan tindakan
penundaan lebih lanjut, seruan keras akan kembali disuarakan dengan tekanan yang
lebih besar.
112
3.3. Opsi Kombinasi Kebijakan Unilateral dan Multilateral
Inisiatif untuk peningkatan substansial dalam nilai renminbi demikian jelas dan
cukup terlihat. Beberapa pengamat percaya bahwa China sebenarnya mempersiapkan
untuk segera memperbaharui apresiasi bertahap nilai tukar RMB seperti pada
pertengahan tahun 2005 sampai pertengahan 2008 (5% sampai 7% per tahun) atau
bahkan akan melakukan (5% sampai 10%) revaluasi sekali secara cukup dramatis
(dengan atau tanpa upaya melanjutkannya secara lebih perlahan sesudahnya).180 Di sisi
lain, Perdana Menteri Wen Jiabao baru-baru ini membantah bahwa renminbi mereka
kurang terapresiasi sama sekali dan menuduh negara-negara lain berusaha untuk
memperluas ekspor dan menciptakan lapangan kerja secara tidak adil melalui depresiasi
nilai tukar mereka.
Sayangnya, dua strategi yang lebih disukai untuk mendorong tindakan China alasan manis dan pelaksanaan peraturan multilateral, terutama di IMF – memiliki
rekam keberhasilan yang belum cukup memuaskan. Kedua upaya harus terus berlanjut,
bagaimanapun, dan ini sangat penting bahwa setiap inisiatif desakan terhadap China
dilakukan secara multilateral. China jauh lebih mungkin untuk merespon secara positif
terhadap suatu koalisi multilateral dibandingkan terhadap tekanan bilateral dari AS,
terutama jika koalisi tersebut berisi sejumlah pasar berkembang dan negara
berkembang dimana China senantiasa mengklaim sebagai pemimpin. Selain itu, upaya
multilateral yang tersedia harus lebih dioptimalkan lagi dan ini secara khusus menjadi
sangat penting bagi AS untuk mengupayakan segala bentuk pendekatan multilateral
terlebih dahulu sebelum berpikir untuk mengambil langkah-langkah sepihak yang lebih
tegas.
180
Ibid
113
Sebagian besar kesalahan atas kegagalan kebijakan sampai saat ini jatuh pada
Pemerintah AS, yang belum bersedia untuk memberi label China sebagai manipulator
mata uang yang telah begitu jelas berlangsung selama beberapa tahun. Keengganan AS
untuk menerapkan bahasa sederhana dari Undang-Undang Perdagangan Tahun 1988
telah secara substansial menurunkan kredibilitasnya dalam mencari aksi internasional
melawan China di IMF, WTO, G20, atau di tempat lain. Sebuah strategi yang masuk
akal dan efektif harus dimulai dengan membalikkan posisi tidak berdaya ini.
Berikut direkomendasikan agar pemerintah AS membentuk suatu strategi tiga
lapis untuk mendorong apreasiasi substansial yang lebih cepat dari nilai RMB:
(1) Memberikan label China sebagai negara "manipulator nilai mata uang"
dalam laporan nilai tukar berikutnya pada tanggal 15 April di Kongres,
seperti yang diisyaratkan dalam undang-undang, dan mamasukkannya ke
dalam negosiasi dengan China agar menyelesaikan permasalahan terkait
mata uang ini.
(2) Diharapkan melalui dukungan dari negara-negara Eropa, dan sebanyak
mungkin negara dengan pertumbuhan ekonomi yang stagnan maupun
negara berkembang, untuk berkonsultasi dengan keputusan IMF (melalui
pengambilan keputusan 51% mayoritas suara voting negara anggota) untuk
membentuk suatu badan konsultasi “spesial” atau “ad hoc” untuk mendesak
China dalam penerapan apreasiasi nilai mata uangnya dan perbaikan situasi
yang telah diakibatkan kebijakannya. Jika upaya konsultasi ini tidak
membuahkan hasil, AS perlu meminta Badan Eksekutif IMF untuk
memutuskan (melalui 70% suara mayoritas) untuk menerbitkan suatu
114
laporan yang mengkritisi kebijakan penetuan nilai tukar mata uang
China.181
(3) Diharapkan dengan koalisi besar-besaran, AS dapat mempergunakan
haknya untuk meminta WTO menyusun suatu badan koalisi yang berfungsi
untuk mengukur apakah China telah melanggar ketentuan dalam Pasal XV
(“gangguan secara sengaja terhadap mekanisme pasar melalui kegiatan
tukar-menukar”)
yang telah disetujui
China di dalam Deklarasi
pembentukan WTO, serta mewajibkan China untuk mengambil langkahlangkah tertentu dengan tujuan mengurangi dampak negatif dari intervensi
nilai mata uangnya ini.
Suatu inisiatif dengan tiga lapisan kebijakan ini akan memfokuskan perhatian
dunia global terhadap ketidaksesuain nilai mata uang China dan keengganannya dalam
mengambil tindakan untuk memperbaikinya hingga sampai pada masa ini. Upaya ini
akan membuahkan hasil yang optimum apabila dilakukan secara simultan oleh negaranegara yang memiliki kepentingan serupa, karena besaran ekonomi dan bagiannya
dalam ekonomi global yang serupa, baik itu negara berkembang maupun negara maju
seperti Eropa dan negara berpendapatan tinggi lainnya. Negara-negara Asia, seperti
Jepang dan India juga mengalami hantaman yang kuat akibat ketidaksesuaian nilai mata
uang China ini, juga diharapkan untuk turut serta menyuarakan desakan yang sama
untuk menumbuhkan koalisi dan dengan demikian menambah ukuran tekanan
internasional yang diarahkan ke China.
Tujuan dari desakan ini tentu saja untuk membujuk China ke dalam tindakan
korektif. Sayangnya, IMF tidak memiliki sanksi yang dapat digunakan terhadap tindak
181
International Monetary Fund. (2006). Agreement Between the International Monetary Fund and the
World Trade Organization. Diakses dari http://www.worldtradelaw.net/articles/ahnimf.pdf, tanggal 10
Maret 2012.
115
penyimpangan seperti ini (kecuali dalam bentuk prasyarat pinjaman, seperti austerity
measures yang diberlakukan pada Italia). Oleh karena itu WTO, yang dapat
mengotorisasi sanksi perdagangan terhadap kasus pelanggaran anggaran dasar, perlu
dilibatkan. Sayangnya, ada masalah teknis dan hukum dengan aturan WTO (seperti
aturan IMF) sehingga aturan dasar WTO juga mungkin perlu diubah untuk tujuan masa
depan.
AS tentu saja dapat meningkatkan inisiatif dengan mengambil tindakan sepihak
terhadap perdagangan China. Misalnya, pemerintah dapat memutuskan bahwa
penurunan nilai dari RMB merupakan sebuah bentuk subsidi ekspor dalam menentukan
apakah akan menerapkan bea masuk countervailing terhadap impor dari China.
Kongres bisa mengubah undang-undang kewajiban countervailing saat ini untuk
membuat jelas bahwa penentuan tersebut telah sesuai dengan hukum. Dalam kedua
kasus, China bisa mengajukan banding ke WTO dan AS harus membela tindakannya
menurut pedoman penerapan subsidi (melalui WTO Dispute Settlement Mechanism).
Bea masuk countervailing duties dan langkah-langkah spesifik terhadap produk
atau sektor khusus dari impor China bukanlah suatu langkah yang akan membuahkan
hasil yang diinginkan, karena sifatnya yang hanya akan mengaburkan penyimpangan
kebijakan China. Kebijakan ini hanya akan berlaku pada sektor maupun produk spesifik
dan tidak akan memengaruhi ekonomi secara menyuruh namun justru akan
menimbulkan implikasi politik yang buruk. Seperti yang telah dianalisa sebelumnya,
suatu kebijakan peyimpangan nilai mata uang merepresentasikan bentuk subsidi ke
segala sektor ekspor dan bentuk tarif ke segala sektor impor. Dengan demikian,
diperlukan respon yang komprehensif pula melalui malalui pengaturan rezim nilai tukar
itu sendiri. Kombinasi upaya AS yang mencakup upaya unilateral dalam pelabelan
116
negara manipulator mata uang, serta upaya multilateral melalui IMF dan WTO
nampaknya akan menjadi solusi serta strategi ekonomi politik internasional yang paling
efektif untuk kondisi sekarang ini.
117
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya,
kesimpulan yang dapat ditarik sebagai berikut:
1. Perspektif utama China dalam menjustifikasi kebijakan intervensi mata uangnya
umumnya berasal dari sudut pandang ekonomi, yakni untuk mempertahankan
pertumbuhan ekonomi, melalui: ekspor, investasi asing, lapangan pekerjaan, dan
sektor pertanian. Perkembangan ekonomi China ini juga berkaitan sangat erat
dengan aspek sosial serta politik dalam negeri. Dalam aspek sosial, kegagalan
pemerintah dalam menyediakan kebutuhan ekonomi masyarakatnya dapat
mendorong terjadinya
ketidakpuasan
sosial-ekonomi
dan
menyebabkan
terjadinya masalah-masalah sosial-ekonomi yang dapat berujung pada
instabilitas dalam negeri. Pemerintahan China yang masih bersifat sangat
sentralistis juga membuat pemerintah China berupaya untuk mempertahankan
kebijakannya yang ekstrim, terlepas dari tekanan luar negeri yang terus
ditujukan kepada China.
2. Hubungan ekonomi-politik antara China dan Amerika Serikat seringkali
digambarkan sebagai hubungan internasional yang bipolar dan sensitif.
Kebijakan intervensi mata uang China diduga telah menjadi salah satu penyebab
utama terus meningkatnya defisit perdagangan dan angka pengangguran di
Amerika Serikat, yang memperlambat upaya perbaikan ekonomi AS.
Ketidaksesuaian nilai mata uang China juga diduga mendorong negara-negara
Asia lainnya untuk mengambil kebijakan yang serupa, sehingga menimbulkan
118
distorsi perdagangan bebas secara global, terkhusus mematikan industri ekspor
Amerika Serikat. Akan tetapi, beberapa analis lain mengemukakan bahwa
perubahan kebijakan mata uang China tidak akan membawa pengaruh positif
terhadap ekonomi AS, sebaliknya akan menurunkan produktifitas industri AS
yang berbasis komponen import China serta menekan daya beli masyarakat AS.
3. Pemerintah China beberapa kali telah mereformasi rezim mata uangnya dan
memperbolehkan nilai RMB terapreasiasi secara perlahan. Namun demikian,
tingkat apresiasi ini, oleh beberapa pihak, dianggap terlalu lambat dan belum
sesuai dengan refleksi nilai RMB riil dalam pasar bebas. Sejauh ini, belum ada
kebijakan dalam bentuk kebijakan eksplisit yang dilakukan oleh pemerintah AS
untuk menanggulangi dampak akibat ketidaksesuaian nilai mata uang China.
Namun demikian, berbagai tekanan internasional terus dilancarkan oleh AS
melalui pidato-pidato kenegaraan maupun pernyataan di berbagai forum
internasional, seperti dalam G-20 Summit, pertemuan WTO maupun IMF.
Kongres AS juga berulangkali mengajukan rancangan undang-undang, dimana
kementerian perdagangan dan keuangan AS dapat mengambil tindakan tegas
secara konstitusional untuk menyesuaikan harga jual produk impor negaranegara dengan kebijakan intervensi mata uang. Upaya lain juga secara
multilateral melalui negosiasi dalam organisasi internasional terkait, seperti
WTO dan IMF untuk mengambil tindakan tegas terhadap China. Akan tetapi,
belum ada tindak lanjut dari upaya-upaya ini.
119
B. Saran-Saran
1. Penggunaan kebijakan unilateral saja oleh AS sama sekali tidak disarankan
dalam menyikapi kebijakan intervensi mata uang China. Kebijakan unilateral
dapat meretakkan hubungan ekonomi-politik AS-China, dan dapat menjadi
sangat riskan bagi AS apabila China merespon balik kebijakan ini secara negatif.
2. Berbagai opsi alternatif kebijakan mulatilateral dapat menjadi pilihan yang lebih
aman bagi percaturan ekonomi politik internasional AS. Kebijakan multilateral,
seperti adjudikasi melalui IMF dan WTO dapat menciptakan desakan secara
kolektif bagi China untuk menyesuaikan nilai mata uangnya, tanpa harus
menargetkan suatu kebijakan respon balik terhadap Amerika Serikat.
3. Dengan melihat angka surplus perdagangan dan pertumbuhan PDB tahunan
China, sudah saatnya China untuk lebih terbuka dalam mengatur nilai mata
uangnya agar lebih reflektif terhadap kondisi pasar yang sebenarnya. Peran
China yang sangat signifikan dalam perdagangan internasional menyebabkan
perekonomian dunia sangat bergantung pada kebijakan ekonomi politik yang
diambil oleh China. Akan tetapi, perubahan nilai mata uang yang drastis juga
akan berakibat pada spekulasi besar-besaran dan instabilitas perekonomian
global. Dengan demikian, pemerintah China diharapkan dapat melanjutkan
pendekatan gradual penyesuaian nilai mata uangnya secara lebih terbuka.
120
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Cooley, John. (2008). Currency Wars: How Forged Money is the New Weapon of Mass
Destruction. New York: Skyhorse Publishing.
Dharmawan, Bagus. (ed.). (2006). Cermin dari China: Geliat Sang Naga di Era
Globalisasi. Jakarta: Kompas.
Friedman, Michael Jay (ed.) (2009). Outline of the U.S. Economy. Washington: Bureau
of International Information Programs United States
Department of State.
Goldstein, Morris dan Nicholas Lardy. (2009). The Future of China’s Exchange Rate
Policy. Washington DC: Peterson Institute for
International Economics.
Hady, Hamdy. (2004). Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Haryono, Endi dan Ilkodar, Saptopo B. (2005). Menulis Skripsi: Panduan untuk
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Tajul Khalwaty. (2000). Inflasi dan Solusinya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka.
Kathryn, M.D. (2003). Foreign Exchange Intervention: Did it Work in the 1990s? In:
Fred B. & John W. (ed.). Dollar Overvaluation and the
World Economy. Washington: Institute for International
Economics.
Lin, Yifu, dan Li Zhou. (2005). The China Miracle: Development Strategy and
Economic Reform. Hong Kong: The Chinese University
of Hong Kong Press.
Ma, Guonan dan Haiwen Zhou (2009). China’s Increasing External Wealth. Dalam
Ross Garnaut, Ligang Song dan Wing Thye Woo (Ed.).
China’s New Place in a World in Crisis. Canberra:
Australia National University Press.
Mas’oed, Mohtar. (1990). Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi.
Yogyakarta: LP3ES.
Max, Corden. (2009). China’s Exchange Rate Policy, Its Current Account Surplus and
the Global Imbalances. Dalam Ross Garnaut, Ligang
Song dan Wing Thye Woo (Ed). China’s New Place in a
World in Crisis. Canberra: Australia National University
Press.
121
Naisbitt, John dan Naisbitt, Doris. (2010). China’s Megatrends: 8 Pilar yang Membuat
Dahsyat China. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nolan, Cathal J. (2002). The Greenwood Encyclopedia of International Relations A-E,
1, 331.
Park dan Charles Wyplosz. (2010). Monetary and Financial Integration in East Asia:
The Relevance of European Experience. Oxford: Oxford
University Press.
Perwira dan Yani. (2005). Pengembangan Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Rickards, James. (2011). Currency Wars: the Making of the Next Global Crisis. New
York: Penguin Group, Inc.
Salvatore, D. (2007). Ekonomi Internasional, Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
Shapiro, A.C. (2006). Multinational Financial Management. New Jersey: Pearson
Prentice Hall International, Inc.
Shirk, Susan. (2007). Fragile Superpower: How China’s Internal Politics Could Derail
Its Peaceful Rise. Oxford: Oxford University Press.
Strange, Susan. (2004). States and Markets. London: Continuum. Diakses dari:
http://books.google.co.id/books/about/States_and_Market
s.html?id=YkjtEOM5LbkC&redir_esc=y, tanggal 18
Oktober 2011.
Sullivan, Arthur, Sheffrin, dan Steven. (2003). Economics: Principles in action. New
Jersey: Pearson Prentice Hall Internaional, Inc.
Jurnal
Chang dan Raymond Yip. (2006). Impact of Exchange Rate Movements on the Chinese
Economy. Hong Kong Monetary Authority, Juli 2010,
3/06.
Chang, Shu dan Raymond Yip. (2006). Impact of Exchange Rate Movements on the
Chinese Economy. Hong Kong Monetary Authority,
Number 3/06.
Clark, Ian. (2011). China and the United States: A Succession of Hegemonies?.
International Affair,s 87 (1), 13–28. Diakses dari
http://www.chathamhouse.org/sites/default/files/public/Int
ernational%20Affairs/2011/87_1clark.pdf, tanggal 30
Desember 2011.
122
Cohen, Benjamin J. (2006). The Macrofoundations of Monetary Power, alam David M.
Andrews, ed. International Monetary Power. Ithaca, NY:
Cornell University Press. 14:31-50.
________________ (2007). The transatlantic divide: Why are American and British IPE
so different?. Review of International Political Economy,
Vol. 14, No. 2
Eichengreen, B., Yeongseop Rhee, dan Hui Tong. (2007). China and the Exports of
Other Asian Countries. Review of World Economics,
143:201-226.
Eichengreen, Barry. (2012). When Currencies Collapse. Foreign Affairs, the Clash of
Ideas, 91:117-134.
Garcia-Herrero, Alicia dan Tuuli Koivu. (2008). China’s exchange rate policy and
Asian trade. Economie Internationale, 116:53-92
Greenaway, David, Mahabir, dan Chris Milner. (2008). Has China displaced other
Asian countries’ exports?. China Economic Review,
19:152-169.
Linden, Greg. (2009). Who Captures Value in a Global Innovation Network? The Case
of Apple’s iPod, March 2009. Communication of the
ACM,
Maret
52:3.
Diakses
dari
http://pcic.merage.uci.edu/papers/2008/WhoCapturesValu
e.pdf, tanggal 15 Januari 2012.
Mallaby and Wethington. (2012). The Future of Yuan. Foreign Affairs, the Clash of
Ideas, 91:135-146.
Marquez, Jaime dan John Schindler. (2006). Exchange-Rate Effects on China’s Trade:
An Interim Report. Board of Governors of the Federal
Reserve System, International Finance Discussion Papers
No. 861.
Puspopranoto, Sawaldjo. (2004), Manajemen Bisnis: Konsep, Teori, dan Aplikasi.
Jakarta: Penerbit PPM.
Samuelson, Paul A. (1964). Theoretical Notes on Trade Problems. Review of Economics
and Statistics. 46:2.
Thorbecke, Willem dan Gordon Smith. (2009). How Would an Appreciation of the
Renminbi and Other East Asian Currencies Affect
China’s Exports. Review of International Economics,
18:95-108.
Woo, Wing Thye. (2006). The Structural Nature of Internal and External Imbalances in
China. Journal of Chinese Economic and Business
Studies, 4(1): 1- 19.
123
Wu, Zhonmg, Karp, Phil, dan Wang. (2010). China’s International Poverty Reduction
Center a Platform for South-South Learning. Development
Outreach, Oktober 2010, 32-34.
Yongding, Yu. (2007). Global Imbalances and China. Australian Economic Review
40(1):1-33.
Diakses
dari
http://www.gibs.ac.za/SiteResources/Uploads/ABN_Uplo
ads/9785_Cap_markets_Africa07.pdf, tanggal 25 Februari
2012.
Dokumen
Aziz, Jahangir, dan Xiangming Li. (2007). China’s Changing Trade Elasticities. IMF
Working
Paper
07/266.
Diakses
dari
http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2007/wp07266.pd
f, tanggal 17 Desember 2011.
Bank
Indonesia.
(2011).
Perkembangan Ekonomi dan Kebijakan Moneter:
Perkembangan Ekonomi Dunia. Tinjauan Kebijakan
Moneter: Ekonomi, Moneter, dan Perbankan, 2011 (5).
Diakses
dari
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/4A917924-52DD4D5C-B376D7ADECEA4A8D/23095/zTKMMei2012.pdf, tanggal 5
Januari 2012.
Cheung, Yin-Wong, Menzie D Chinn, dan Eiji Fujii. (2008). China’s Current Account
and Exchange Rate. NBER Working Paper 14673.
Diakses
dari
http://www.ssc.wisc.edu/~mchinn/NBER_China.pdf,
tanggal 26 September 2011
Gibbs, Murray. (2010) Trade Policy, UN Department for Economic and Social Affairs,
hal.35.
Diakses
dari
http://esa.un.org/techcoop/documents/pn_tradepolicynote.
pdf, tanggal 26 September 2012.
Guo, Kai, dan N’Diaye. (2009). Is China’s Export-Oriented Growth Sustainable. IMF
Working
Paper,
Agustus.
Diakses
dari
http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2009/wp09172.pd
f, tanggal 21 Maret 2012.
IMF Resident Representative Office People’s Republic of China. (2012). China
Economic Outlook, 6 Feberuari, hal. 1. Diakses dari
http://www.imf.org/external/country/CHN/rr/2012/02061
2.pdf, tanggal 10 Maret 2012.
International Monetary Fund. (2006). Agreement Between the International Monetary
Fund and the World Trade Organization. Diakses dari
124
http://www.worldtradelaw.net/articles/ahnimf.pdf, tanggal
10 Maret 2012.
International Monetary Fund. (2010). People’s Republic of China: 2010 Article IV
Consulatation—Staff Report. In Staff Statement; Public
Information Notice on the Executive Board Discussion,
Juli
2010.
Diakses
dari
http://www.imf.org/external/pubs/ft/scr/2010/cr10238.pdf
, tanggal 10 Maret 2012.
Mattoo, Aaditya dan Arvind Subramanian. (2008). Currency Undervaluation and
Sovereign Wealth Funds: A New Role for the World
Trade Organization. Peterson Institute Working Paper
WP
08-2,
January.
Diakses
dari
http://petersoninstitute.org/publications/wp/wp08-2.pdf,
tanggal 27 September 2011.
Morrison, Wayne. (2011). China’s Economic Conditions. CRS Report for Congress, 24
Juni.
Diakses
dari
http://www.fas.org/sgp/crs/row/RL33534.pdf, tanggal 14
Februari 2012.
Morrison, Wayne M dan Marc Labonte. (2009). China’s Currency: A Summary of the
Economic Issues. CRS Report for Congress, RS 1625, 17
Juni.
Diakses
dari
http://fpc.state.gov/documents/organization/125960.pdf,
tanggal 26 September 2011.
Morrison, Wayne M dan Marc Labonte. (2011). China’s Holdings of U.S. Securities:
Implications for the U.S. Economy. CRS Report for
Congress, RL34314, 26 September. Diakses dari
http://www.fas.org/sgp/crs/row/RL34314.pdf, tanggal 3
Juli 2012.
Nanto, Dick K. (2007). Japan’s Currency Intervention. CRS Report for Congress.
Diakses
dari
http://www.fas.org/sgp/crs/row/RL33178.pdf, tanggal 14
Februari 2012.
Sanford, Jonathan E. (2010). Currency Manipulation: The IMF and WTO.
Congressional Research Service. Diakses dari
http://www.fas.org/sgp/crs/misc/RS22658.pdf, tanggal 27
September 2011.
Staiger, Robert dan Sykes. (2008). Currency Manipulation and World Trade. National
Bureau of Economic Research (NBER), Working Paper
14600.
Diakses
dari
http://www.nber.org/papers/w14600.pdf?new_window=1,
tanggal 15 April 2012.
125
The G-20 Torronto Summit Declaration. (2010). Point no. 47. Diakses dari
http://www.dfat.gov.au/trade/g20/index.html, tanggal 26
September 2011.
Majalah
Bin, Xia dan Chen Daofu. (2011, 15 Desember). Zhongguo Huilu Zhidu Baogao 2005
(Report on China's exchange rate system 2005). Diyi
caijing ribao (China Business News).
Bloomberg Government. (2011, Desember). A Higher Yuan Would Half the U.S.-China
Trade Deficit.
China, Interim Forecast. (2011, Juni). IHS Global Insight.
Don’t Starve Thy Neighbor. (2011, 9 September). The Economist Print Edition.
Dong, Tao. (2005, 15 Agustus). There Will Be Further RMB Appreciation in the
Coming Two Years, USD/RMB Could Be 1:5 in Ten
Years. Xin caifu (New Fortune).
Manping, Liu. (2011, 22 Agustus). After the RMB Appreciation What Will Be the
Impacts of Foreign Capital on the Chinese Real Estate
Markets?. Zhongguo jingji ribao (Chinese Economic
Times).
The Economist (2010). The Clock Ticks: Global Rebalancing. [Online]. Diakses dari
web: htpp://www.economist.com/node/16379927, tanggal
23 Mei 2011.
The U.S. Trade Deficit with China Continues to Enlarge, Urging on Appreciation
Increases Again. (2005, 15 November). Jingji zoushi
genzong (The Pursuit of Economic Trends), no. 87.
World Trade Contracted 12 Percent in 2009: WTO’s Lamy. (2010, 24 Februari)
Reuters.
Koran
Capital Export, Elasticity Pessimism, and the Renminbi: The Conscience of a Liberal
Krugman, Paul. (2010). New York Times, 16 Maret, hal.
18
China Bisa Bantu Ekonomi Dunia. (2011). Kompas, 6 September, hal. 10.
China Rejects Currency Manipulation Charge. (2009). New York Times. 25 Januari.
China resmi Salib Jepang. (2010). Kompas, 18 Agustus, hal. 9.
126
China: Nasionalisme di Balik Visi Pembangunan. (2010). Kompas, 27 September, hal.
11.
Chinese New Year. (2010). New York Times, 1 Januari.
Negara-negara Pemberi Utang Kepada AS. (2011). Kompas, 11 Januari.
Perang Dagang: AS-China Saling Serang. (2010). Kompas, 1 Oktober, hal. 9.
Taking on China. (2010). NewYork Times, 14 Maret.
Wines, Michael. (2010). China Blames US for Strained Relations. New York Times, 7
Maret.
Internet
All China Federation of Trade Unions. (2007). A Brief Introduction of the All-China Federation
of
Trade
Unions
(ACFTU).
Diakses
dari
http://english.acftu.org/template/10002/file.jsp?cid=63&aid=15
6, tanggal 17 Maret 2012.
Amy, B. (2011). Will Currency Manipulation Bill Ignite Trade War with China? ABC
News.
Diakses
dari:
http://abcnews.go.com/politics/2011/10/will-currencymanipulation-bill-trade-war-with-China/,
tanggal
11
Oktober 2011.
Bergsten, Fred. (2010). Correcting the Chinese Exchange Rate: An Action Plan,
Peterson Institute for International Economics, Testimony
before the Committee on Ways and Means, U.S. House of
Representatives.
Diakses
dari
http://www.iie.com/publications/testimony/bergsten20100
915.pdf., tanggal 16 April 2012.
Bednarz, Ann. (2012). U.S. Losing High-TechJjobs, R&D Dominance to Asia. Diakses
dari http://www.networkworld.com/news/2012/011912science-tech-jobs-255072.html, tanggal 3 Maret 2012.
Blanchard,
Oliver.
(2007).
Global
Imbalances.
Diakses
dari
http://economics.mit.edu/files/762, tanggal 21 Mei 2012.
Bloomberg News. (2012). China Plans Lower Budget Deficit for This Year as
Economic
Growth
Cools.
Diakses
dari
http://www.bloomberg.com/news/2012-03-05/chinaplans-lower-budget-deficit-for-this-year-as-economicgrowth-cools.html, tanggal 30 April 2012.
Brookes, Adam. (2011). US Watches China Warily. BBC, 12 Maret. Diakses dari
http://news.bbc.co.uk/2/hi/americas/4342527.stm, tanggal
27 Oktober 2011.
127
Bureau of Labor Statistics. (2012). Workforce Statistics. United States Department of
Labor. Diakses dari http://www.bls.gov/iag/tgs/iag3133.htm, tanggal 5 Mei 2012.
China Finance / Banking. (2012). Diakses dari http://www.chinatoday.com/fin/a.htm,
tanggal 20 Februari 2012.
China
GDP
Annual
Growth
Rate.
(2012).
Diakses
dari
http://www.tradingeconomics.com/china/gdp-growthannual, tanggal 14 Februari 2012.
China to Improve RMB Exchange Rate System. (2004). Xinhua. Diakses dari
http://www.Chinadaily.com.cn/english/doc/200409/29/content_378700.htm, tanggal 26 September 2011.
Ching, Pao Yu. (2012). American Imperialism and its Domination over Asia Refuting
The Myth That China is Becoming an Economic Super
Power.
Diakses
dari
www.globalresearch.ca/index.php?context=va&aid=4999,
tanggal 18 Maret 2012.
Department of Commerce, International Trade Administration. (2010). Aluminum
Extrusions from the People’s Republic of China:
Initiation of Countervailing Duty Investigation, Federal
Register,
75:80.
Diakses
dari
https://www.federalregister.gov/articles/2010/09/07/201022204/aluminum-extrusions-from-the-peoples-republicof-china-preliminary-affirmative-countervailing-duty,
tanggal 15 April 2012.
Economic Policy Institute. (2010). Unfair China Trade Costs Local Jobs 2.4 Million
Jobs Lost, Thousands Displaced in Every U.S.
Congressional District. Briefing Paper #260. Diakses
dari:
http://epi3.cdn.net/91b2eeeffce66c1a10_v5m6beqhi.pdf,
tanggal 23 Maret 2012.
Efek
Crowding
Out.
(2011).
Term
Wiki.
Diakses
dari
http://id.termwiki.com/ID:crowding-out_effect, tanggal 25
Juni 2012.
Green, Stephen. (2006, 16 Januari). China's Foreign Exchange Reserves Soar to
$819bn.
Financial
Times.
Diakses
dari
http://news.ft.com/cms/s/f9d7a456-85fe-11da-bee00000779e2340.html, tanggal 27 September 2011.
Heller G., Carrel P. (2010). Germany says U.S. monetary easing policy is wrong.
Reuters.
Diakses
dari:
http://www.reuters.com/article/idUSLDE69M02P201010
23, tanggal 23 Oktober 2011
128
Hnat, Pavel. (2009). Global Imbalances and Their Impact on Global Economic
Governance
(case
of
IMF).
Diakses
dari
http://stockholm.sgir.eu/uploads/Hn%C3%A1t_stockholm
_final.pdf, tanggal 2 Juli 2012.
Hotten, Russel. (2010). Currency intervention’s mixed record of success. BBC Business.
Diakses
dari:
http://www.bbc.co.uk/news/business11311802, tanggal 16 September 2011.
Huang, Yiping. (2010). Krugman’s Chinese Renminbi Fallacy. VoxEU.org. Diakses
dari http://www.voxeu.org/article/china-us-and-renminbirejoinder-krugman, tanggal 26 Maret 2012.
Huang, Yiping dan Kunyu Tao. (2010). Causes and Remedies of China’s Current
Account Surpluses. Beijing: China Center for Economic
Research.
Diakses
dari
http://en.ccer.edu.cn/ReadNews.asp?NewsID=6802,
tanggal 12 Oktober 2011.
Kementerian Keuangan RI. (2011). Kinerja Perekonomian 2010 dan Proyeksi 2011.
Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok kebijakan
Fiskal 2012, 2012, hal.
10. Diakses
dari
http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/adoku/2011/KEM_P
PKF_2012.pdf, tanggal 4 Desember 2011.
Krugman, Paul. (2010). Taking on China. The New York Times. 14 Maret. Diakses dari
http://www.nytimes.com/2010/03/15/opinion/15krugman.
html?_r=1 tanggal 15 April 2012.
Kurs Tetap, Kurs Mengambang Bebas, Kurs Mengambang Terkendali dan
Penerapannya di Indonesia, (2012). Diakses dari
http://economicwatcher.com/2012/06/kurs-tetap-kursmengambang-bebas-kurs.html, tanggal 13 September
2012.
Marshall, Tyler. (2006). China Poised to Dominate Influence in Asia. Diakses dari
http://pulitzercenter.org/articles/china-poised-dominateinfluence-asia, tanggal 26 Oktober 2011.
Michael,
Anissimov.
(2011). What is Foreign Policy. Diakses dari
htpp://wisegeek.com/what-is-foreign-policy.html, tanggal
5 November 2011 .
Mikael, Baaz. (2005). Critical Theory as an International Relations Theory. Diakses
dari http://asrudiancenter.com/2008/06/25/critical-theoryas-an-international-relations-theory.htm,
tanggal
5
November 2011
Prasad, Eswar. (2011). The U.S.-China Economic Relationship: Shifts and Twists in the
Balance
of
Power.
Diakses
dari
129
http://www.brookings.edu/testimony/2010/0225_us_china
_debt_prasad.aspx, tanggal 27 Oktober 2011.
President Barrack Obama’s Administration Pess Briefings. (2012). The White House.
Diakses
dari
http://www.whitehouse.gov/briefingroom/press-briefings, tanggal 21 Mei 2012.
President Barrack Obama’s Administration Statements and Releases. (2012). The
White
House.
Diakses
dari:
http://www.whitehouse.gov/briefing-room/statements-andreleases, tanggal 21 Mei 2012.
Tim Riset Global Future Institute. (2009Premier Wen on Principles for RMB Exchange
Rate Reform. (2005, 27 Juni) Renmin ribao. Diakses dari
http://english.people.com.cn/200506/27/eng20050627_19
2511.html, tanggal 26 September 2011.
Questions Grow over China's Foreign Exchange Strategy. (2006, 6 Januari) Financial
Times. Diakses dari http://news.ft.com/cms/s/5413c5d67ee7-11da-a6a2-0000779e2340.html,
tanggal
26
September 2011.
Rosdiansyah. (2011). IMF Ungkap Pertumbuhan Ekonomi BRICs 2011. Diakses dari
http://www.lensaindonesia.com/2011/09/21/imf-ungkappertumbuhan-ekonomi-brics-2011.html,
tanggal
7
Desember 2011.
Statistical Data Shows That up to the End of Last Year Official Foreign Reserve
Balance Reached $818.9bn. (2006). Xinhua. Diakses dari
http://news.xinhuanet.com/fortune/200601/15/content_4053666.htm, tanggal 26 September 2011.
The Accumulation of Foreign Reserves Increased Again at the Year, Expert: $7.4bn is
Suspected to Be Hot Money. (2006). Xinhua. Diakses dari
http://news.xinhuanet.com/fortune/
200601/16/content_4057667.htm, tanggal 26 September 2011.
The Clock Ticks. Global Rebalancing. (2010, 17 Juni). (The) Economist. Diakses dari
http://www.economist.com/node/16379927, tanggal 26
September 2011
U.S. Department of State. (2011). Joint Closing Remarks for the Strategic and
Economic
Dialogue.
Diakses
dari
http://www.state.gov/secretary/rm/2011/05/162969.htm,
tanggal 10 November 2011.
U.S.
International
Reserve
Position.
(2012).
Diakses
http://www.treasury.gov/resource-center/data-chartcenter/IR-Position/Pages/2102012.aspx,
tanggal
Februari 2012.
dari
21
130
Wei, Liu. (2008). The Exchange Rate Adjustment Should be Based on the Judgment of
Major Domestic Contradiction. China Center for National
Accounting and Economic Growth, Peking University.
Diakses dari: http://www.nepku.com/read.asp? id=461,
tanggal 26 September 2011.
RMB Exchange Rate Reform Gradual Process. (2005). Xinhua. Diakses dari
http://news.xinhuanet.com/english/200510/14/content_3617557.htm, tanggal 26 September 2011.
What If the RMB Chooses Appreciation. (2011). Ershiyi shiji jingji baodao. Diakses
dari
http://www.nanfangdaily.com.cn/southnews/zt/2004nztk/j
j/jr/200412290065.htm, tanggal 23 Maret 2012.
Winning, Nicholas. (2010). IMF Strauss-Kahn: China’s Currency Is Undervalued.
PEDaily.
Diakses
dari
http://www.pedaily.cn/Item.aspx?id=189323, tanggal 17
Maret 2012.
Wong, Edward. (2009). China Rejects Currency Manipulation Charge. The New York
Times,
25
Januari.
Diakses
dari
http://www.nytimes.com/2009/01/25/world/asia/25beijing
.html, tanggal 25 Januari 2012.
World Bank. (2011).
World
Trade
Talks
GDP per capita growth (annual%). Diakses dari,
http://search.worldbank.org/quickview?view_url=http%3
A%2F%2Fdatabanksearch.worldbank.org%2FDataSearch
%2FLoadReport.aspx%3Fdb%3D2%26cntrycode%3D%2
6sercode%3DNY.GDP.PCAP.KD.ZG%26yrcode%3D,
tanggal 15 Februari 2012.
End
in Collapse. (2008). BBC News. Diakses dari
http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/7531099.stm, tanggal
12 Maret 2012
131
Download