Glucomannan, Terapi Herbal Pengendalian Kadar Gula Darah Nutrigenomik merupakan kajian studi baru tentang pengaruh makanan terhadap ekspresi informasi genetik secara individual ataupun komponen genetik yang dimiliki individu mempengaruhi metabolisme dan respon terhadap komposisi gizi atau bioaktif dalam makanan. Komponen genetik secara individual memiliki kemampuan yang bervariasi terhadap makanan dan kerentanan terhadap penyakit kronis seperti diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2). Demikian disampaikan Fatchiyah saat dirinya menjadi pembicara dalam Asia Pacific Conference on Clinical Nutrition (APCCN) 2011 yang diselenggarakan di Bangkok beberapa waktu lalu (5-9/6). Konferensi ini telah berlangsung selama tujuh kali dan diikuti peneliti di Asia Pasifik untuk membahas tentang makanan yang dapat mengontrol penyakit pada pasien maupun orang normal. Fatchiyah merupakan salah satu inviting speaker pada symposium “Nutrition, Diabetes Mellitus dan Peptic Uller” dimana Daniel Pella dari India merupakan chairman-nya. Pembicara lain yang juga presentasi adalah Irene Blackberry dari Australia (Older People with type 2 Diabetes: Nutrition Considerations), Nithiwat Vatanavicham dari Thailand (Nutritional Management of Patients with Inborn Errors of Energy Metabolism) dan Sandip K. Bandyopadhyay dari India (Effect of Plant Derived Natural Antioxidants on NSAID-induced Gastric Ulcer). Dalam kesempatan tersebut, ia mempresentasikan penelitiannya berjudul “Glucomannan as Herbal Therapy for Control Blood Glucose of Diabetes”. Beberapa waktu terakhir, peneliti biomekanisme molekuler ini mulai mendalami nutrigenomik guna mengeksplorasi plasma nutfah Indonesia yang sangat kaya. Diantara manfaat kekayaan tersebut adalah sebagai bahan netraceutical food yang digunakan untuk terapi herbal serat tinggi dengan target gen-gen terkait penyakit yang ditetapkan. Penyakit DM tipe 2 dapat dikontrol dengan pengaturan diet yang dimonitor. Hubungan antara diet karbohidrat dengan DM tipe 2 cukup kompleks, sehingga banyak penelitian telah dilakukan untuk menentukan diet yang tepat untuk menurunkan glukosa darah. Salah satunya adalah diet serat tinggi yang bekerja lebih baik dalam mengontrol diabetes dibanding diet yang direkomendasikan ADA (American Diabetes Association). Diet jenis ini menurut Fatchiyah mampu menurunkan level insulin hingga 12% dan level glukosa hingga 10% pada pasien DM tipe 2 yang mengkonsumsi diet serat tinggi dibanding diet group lain. Glucomannan “Diet yang mengandung glucomannan dapat menunda rasa lapar dan meningkatkan absorbsi diet gula secara gradual sehingga berpengaruh mengurangi peningkatan level gula darah setelah makan”, kata Fatchiyah kepada PRASETYA Online melalui email. Pada studi lain, glucomannan 8-13g per 100g kalori per hari dapat menstabilkan gula darah individu dengan sindrom resisten insulin (syndrome-X). ” Tetapi konsentrasi glucomannan yang tinggi bisa menyebabkan menurunnya gula darah secara cepat dan menyebabkan hypoglicemia, kadar gula darah sangat rendah”, tambahnya. Glocomannan adalah serat tanaman konjac dan porang (iles iles, suweg) yang memiliki sifat diantaranya tidak larut dalam air dan berbentuk seperti gel. “Karena tubuh tidak bisa menyerap glucomannan, sehingga menghasilkan massa lunak yang besar, bergerak menembus usus dan merangsang kontraksi otot usus”, terang Dosen Jurusan Biologi FMIPA ini. Tanaman porang (Amorphopallus mulleri) di Jawa Timur merupakan komoditi ekspor untuk bahan konyaku dan shiratake ke Jepang. Jenis konjac glucomannan telah banyak dilakukan penelitian berkaitan dengan pengontrolan DM tipe 2, tetapi pada porang yang ditemukan di Jawa Timur belum ada laporan kegunaannya sebagai salah satu bahan diet serat tinggi. Untuk itu perlu dikaji efektifitas tepung porang sebagai bahan diet serat tinggi dalam penurunan kadar gula darah, ekspresi mRNA gen pro insulin pada pankreas dan hepar pada tikus diabetes. Diet tinggi serat sangat efektif untuk memperlambat penyerapan glukosa ke dalam sirkulasi darah sehingga mengurangi sekresi insulin. Kombinasi dari diet karbohidrat dan serat yang tinggi dapat mengurangi kebutuhan akan insulin. “Menurunnya kebutuhan insulin berarti juga menurunkan aktivitas sel β pankreas dalam produksi insulin. Dengan adanya penurunan aktivitas sel dalam produksi insulin, maka ATP yang seharusnya digunakan untuk sekresi insulin dari vesikel dapat digunakan dalam melakukan regenerasi sel β pankreas”, kata Fatchiyah. Adanya kerusakan sel β pankreas akibat STZ menginduksi sel-sel β normal untuk melakukan regenerasi. Toksisitas STZ dikarenakan adanya aktivitas alkilasi dari gugus methylnitrosourea-nya, khususnya pada posisi O6 dari guanin. Transfer gugus methyl dari STZ ke molekul DNA menyebabkan kerusakan pada sepanjang rantai yang mengalami alkilasi, yang akhirnya menyebabkan fragmentasi DNA. Kerusakan ini menyebabkan penurunan NAD+ dan ATP seluler, sehingga sel β mengalami nekrosis. Regenerasi sel β merupakan proses alami untuk menggantikan sel-sel β yang rusak dengan membentuk sel β baru karena adanya mekanisme feed back pada jaringan endokrin. Pembentukan sel β baru ini membutuhkan energi berupa ATP untuk melakukan regenerasi melalui siklus sel. Dugaan inilah yang mendukung hasil penelitian yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan level mRNA gen proinsulin pada tikus diabet dengan perlakuan glukomanan. Peningkatan level mRNA ini diduga karena terjadi peningkatan jumlah sel β sehingga berpengaruh terhadap peningkatan hasil aktivitas sel berupa proses transkripsi mRNA dan translasi insulin. [fat/nok]