LAPORAN STUDI PUSTAKA (KPM 403) PENGARUH KEMISKINAN TERHADAP KELESTARIAN LINGKUNGAN DAERAH PESISIR ABDUL GHANI ARSYADI DEPARTEMEN SAINSKOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 ii PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul “Pengaruh kemiskinan terhadap kelestarian lingkungan daerah pesisir”. Hasil karya ini merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah padaperguruan tinggi atau lembaga manapun, serta tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain, kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian, pernyataan ini saya buat dengan sesungguhsungguhnya dan saya bersedia untuk bertanggungjawab atas pernyataan ini. Bogor, Desember 2014 Abdul Ghani Arsyadi NIM. I34110160 iii ABSTRAK ABDUL GHANI ARSYADI. Pengaruh kemiskinan terhadap kelestarian lingkungan daerah pesisir. Di bawah bimbingan NURMALA K. PANDJAITAN. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat memanfaatkan alam sebagai sumber penghidupan utama untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Pemanfaatan sumberdaya alam ini tidak luput dari permasalahan yang terjadi. Fenomena kerusakan lingkungan sering menjadi isu besar dalam pemanfaatan lingkungan. Masyarakat yang mendiami suatu wilayah menjadi aktor yang berperan penting dalam perubahan lingkungan. Pemanfaatan lingkungan menjadi hal yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat khususnya secara ekonomi. Masyarakat yang terdesak secara ekonomi diduga memanfaatkan sumberdaya alam yang dimiliki walau sekecil apapun, sehingga cenderung merusak ekosistem sekitarnya. Daerah pesisir tidak luput dari ancaman ini. Kemiskinan pada masyarakat nelayan menjadi salah satu pemicu terjadinya tekanan terhadap lingkungan yang luar biasa.Pada akhirnya degradasi lingkungan dan kerusakan lingkungan di daerah pesisir sulit dihindarkan. Intensitas pemanfaatan sumberdaya semakin tinggi karena hanya inilah sebagai satu-satunya tempat bergantung bagi kelangsungan hidup dalam kondisi miskin. Kelompok masyarakat nelayan yang tidak memiliki alternatif lain untuk mempertahankan hidup, mereka sering melibatkan dirinya dengan cara-cara yang tidak terpuji, seperti menggunakan peledak, bahan-bahan beracun, dan lain-lain merupakan cara yang merugikan tata ekologis hanya untuk menangkap ikan yang lebih banyak. Kata kunci: lingkungan, ekosistem, miskin, pesisir ABSTRACT ABDUL GHANI ARSYADI. The influence of poverty on environmental sustainability of coastal areas. Supervised by NURMALA K. PANDJAITAN. In meeting their needs, people use nature as the main source of livelihood to ensure its survival. In the use of natural resources is unavoidable from the problems occurred. The phenomenon of environmental degradation is often a major issue in the use of the environment. Communities that inhabit a region to be an actor that plays an important role in this environmental change. Utilization of the environment becomes very important to fulfill the needs of the community, especially in economic aspec. Economically driven society that allegedly exploit natural resources are owned by even the slightest, so it tends to damage the surrounding ecosystem. Especially in coastal areas, poverty in fishing communities to be one of the triggers of pressure to environment that ultimately environmental degradation and environmental damage in coastal areas difficult to avoid. The higher intensity of resource use because only this as the only place depend for survival in poor condition. Fishing communities who have no other alternatives to sustain life, they often involve themselves in ways that are not commendable, such as using explosives, toxic substances, and others are planning adverse ecological way just to catch more fish. Keywords: environment, ecosystem, poor, coastal iv PENGARUH KEMISKINAN TERHADAP KELESTARIAN LINGKUNGAN DAERAH PESISIR Oleh ABDUL GHANI ARSYADI I34110160 Laporan Studi Pustaka Sebagai syarat kelulusan KPM 403 pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 v LEMBAR PENGESAHAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Abdul Ghani Arsyadi Nomor Pokok : I34110160 Judul : Pengaruh Kemiskinan terhadap Kelestarian Lingkungan Daerah Pesisir dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Disetujui oleh Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA Dosen Pembimbing Diketahui oleh Dr. Ir. Siti Amanah, M. Sc Ketua Departemen Tanggal Pengesahan: _______________ vi PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Studi Pustaka berjudul “Pengaruh Kemiskinan terhadap Kelestarian Lingkungan Daerah Pesisir” ini dengan baik. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan MK Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan karunia-Nya yang tidak dapat dihitung sampai kapanpun sehingga penulis dapat menyelesaikan Studi Pustaka ini. Ibu Nurmala K. Pandjaitan, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk memberi kritikan dan saran selama proses penulisan hingga laporan Studi Pustaka ini terselesaikan. Ibunda Siti Maesarah dan kakak-kakak selaku orang-orang tercinta yang telah memberikan doa, dukungan, kasih sayang, kritikan, dan saran kepada penulis. Kementerian Agama RI sebagai pemberi beasiswa melalui PBSB. Tidak lupa juga kepada keluarga besar Community of Santri Scholar of Ministry of Religious Affairs (CSS MoRA) IPB. Zainun, Ridwan, Anca, Yunita, Fitri, Rina, Nia, Yayuk, Lathif, Phia dan Mufida selaku para sahabat dalam “The Outliers”yang selalu memberikan motivasi, semangat, kasih sayang, dan menemani penulis dalam proses penulisan laporan ini. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terimakasih kepada semua teman sekelas KPM 48 yang telah memberi dukungan dan semangat penulis dalam proses penulisan laporan ini. Terlebih kepada keluarga besar Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (terutama angkatan 48), teman-teman TPB, teman-teman asrama, temanteman divisi Community Development HIMASIERA, serta teman-teman IPB yang memberikan segala bentuk semangat yang positif dan masukan bagi penulis dalam menyelesaikan laporan ini. Semoga laporan studi pustaka ini bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Desember 2014 Abdul Ghani Arsyadi NIM. I34110160 vii DAFTAR ISI PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1 Latar Belakang........................................................................................................... 1 Tujuan Penulisan ....................................................................................................... 2 Kegunaan Penulisan .................................................................................................. 2 Metode Penulisan ...................................................................................................... 2 RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA................................................................... 3 1. Faktor Dominan Penyebab Kemiskinan Rumah Tangga Nelayan Motor Tempel di Wilayah Tangkap Lebih Jawa Timur .................. Error! Bookmark not defined. 2. Kajian Penyebab Kerusakan Ekosistem Sumberdaya Hayati di Pesisir Pulau Kakaralamo, Kabupaten Halmahera Utara .............. Error! Bookmark not defined. 3. Kepedulian Masyarakat dalam Perbaikan Sanitasi Lingkungan Permukiman Kumuh di Kelurahan Matahalasan Kota Tanjungbalai .......... Error! Bookmark not defined. 4. Nelayan Indonesia dalam Pusaran Kemiskinan Struktural (Perspektif Sosial, Ekonomi dan Hukum) ............................................. Error! Bookmark not defined. 5. Tinjauan Teoritis Pembangunan Pedesaan yang Berkelanjutan: Pengentasan Kemiskinan dan Perbaikan Kualitas Lingkungan ... Error! Bookmark not defined. 6. Persepsi Publik Mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kota Semarang ................................................................................. Error! Bookmark not defined. 7. Aspek Tindakan dan Perilaku dalam Kemiskinan: Studi Pada Masyarakat Nelayan Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat Error! Bookmark not defined. 8. Analisis Faktor-Faktor Kekumuhan Kawasan Permukiman Pesisir Tradisional (Studi Kasus: Desa Bajo Kecamatan Tilamuta, Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo)................................................................ Error! Bookmark not defined. 9. Antara Merusak dan Memanfaatkan Hutan Mangrove pada Masyarakat Pesisir (Studi Etnosains pada Hutan Bakau di Masyarakat Pesisir Desa Pematang Pasir, Lampung) ................................................................ Error! Bookmark not defined. 10. Kajian Ekonomi Rumah Tangga Nelayan Payang di Selat Madura, Jawa Timur ................................................................................. Error! Bookmark not defined. RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 23 Kelestarian Lingkungan........................................................................................... 23 Kemiskinan .............................................................................................................. 24 SIMPULAN .................................................................................................................... 29 Hasil Rangkuman dan Pembahasan......................................................................... 29 Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi .......................................... 30 Usulan Kerangka Analisis Baru .............................................................................. 31 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 32 RIWAYAT HIDUP ........................................................................................................ 34 viii DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Usulan Kerangka Pemikiran Baru .................................................................28 PENDAHULUAN Latar Belakang Manusia dalam memenuhi kebutuhannya selalu berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya, dalam hal ini lingkungan hidup. Interaksi tersebut dilakukan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Namun, dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut, manusia sering lupa atas hak dan kewajiban. Manusia berhak untuk menggali potensi sumberdaya alam yang tersedia, dalam rangka melangsungkan berbagai fase kehidupan. Akan tetapi, hak tersebut tidak hanya berhenti pada batas hak atas sumberdaya alam tadi. Hak untuk menggali potensi sumberdaya alam diikuti dengan kewajiban untuk menjaga dan melestarikannya (Napitupulu 2013). Manusia sering lupa atas kewajibannya dan selalu mengedepankan haknya. Dengan begitu sumberdaya alam yang melimpah lama-kelamaan akan habis juga. Keseimbangan ekosistem akan rusak dan lingkungan tidak terjaga. Tren penurunan kualitas dan kuantitas sumber daya pesisir dan laut mengalami tekanan dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Sumberdaya yang paling terdegradasi adalah terumbu karang dan hutan mangrove. Dari beberapa data terlihat penurunan penutupan karang hidup di beberapa lokasi kawasan timur Indonesia dan bahkan di beberapa kawasan konservasi (Kementerian Lingkungan Hidup RI 2010). Berdasarkan kenyataan yang ada, menunjukkan telah terjadinya kecenderungan adanya peningkatan kerusakan lingkungan wilayah pesisir dan laut di Indonesia. Berbagai hal yang menyebabkan keadaan tersebut antara lain disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah aktivitas manusia (KLH 2010). Fenomena meningkatnya tekanan penduduk pada lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan yang tidak memperhatikan kondisi lingkungan terbukti telah banyak menyebabkan terjadinya peningkatan kerusakan wilayah pesisir di Indonesia. Lingkungan pesisir dan lautan yang bersih dan tidak tercemar merupakan jaminan bagi potensinya sebagai sumber daya alam. Berbagai pihak harus terus memberikan dorongan kepada masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan pesisir. Diketahui bahwa masyarakat nelayan di Indonesia berjumlah sekitar dua juta 1 orang . Pada umumnya kelompok masyarakat ini hidup dalam kemiskinan dan kurang berpendidikan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menegaskan bahwa terdapat sekitar 7,87 juta masyarakat pesisir miskin dan 2,2 juta jiwa penduduk pesisir sangat miskin di seluruh wilayah Indonesia. Nelayan miskin tersebut tersebar di 10.640 desa nelayan di pesisir. Agunggunanto (2011) menyatakan sebagai wilayah yang homogen, wilayah pesisir merupakan wilayah sentra produksi ikan namun bisa juga dikatakan sebagai wilayah dengan tingkat pendapatan penduduknya tergolong di bawah garis kemiskinan. Rendahnya penghasilan nelayan tradisional merupakan masalah yang sudah lama, namun masalah ini masih belum dapat diselesaikan hingga sekarang karena terlalu kompleks. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan sosio-ekonomi, namun terkait pula lingkungan dan teknologi (Agunggunanto 2011). Fauzi (2003) dalam Agunggunanto (2011) juga menyatakan bahwa nelayan Indonesia masih tergolong miskin dengan pendapatan per kapita per bulan sekitar US $7-10, belum lagi terjadi degradasi lingkungan yang memprihatinkan. Menurut Hastuti (2007), kemiskinan menjadi salah satu pemicu terjadinya tekanan terhadap lingkungan yang luar biasa yang pada akhirnya degradasi lingkungan dan kerusakan lingkungan sulit dihindarkan ketika penduduk masih dililit kemiskinan. 1 Kementerian Kelautan dan Perikanan 2010 2 Intensitas pemanfaatan sumberdaya semakin tinggi karena hanya inilah sebagai satusatunya tempat bergantung bagi kelangsungan hidup dalam kondisi miskin. Permukiman nelayan di daerah pesisir umumnya kumuh, seadanya, tidak memenuhi syarat kesehatan, dan sering dilanda wabah penyakit. Letak dan kondisi geografis permukiman nelayan umumnya jauh di pinggir pantai, sarana jalan kendaraan sangat sulit, lingkungan permukiman udaranya tidak segar, bau amis, sampai dengan bau ikan asin bercampur dengan rumah-rumah yang tidak bersih (Siahaan 2004). Di samping itu, ancaman-ancaman datang mengganggu kehidupan para nelayan berupa para rentenir, tukang kredit dan para tengkulak, yang tanpa disadari memerosotkan mereka pada kemiskinan. Siahaan (2004) menegaskan bahwa terdapat ancaman lain bagi para nelayan yaitu para “nelayan berdasi” yakni orang luar yang datang mengeksploitasi lahan ikan lengkap dengan modal besar, alat tangkap modern dan SDM yang terampil. Belum lagi terkadang datangnya trawl, yang dianggap oleh nelayan sebagai “ninja” yang merampok ikan-ikan di pesisir laut, sehingga jumlah ikan yang ditangkap nelayan semakin berkurang. Setelah diamati terlihat bahwa faktor tersebut ada hubungannya dengan keadaan ekologi pantai yang semakin rusak, terutama semakin habisnya vegetasi hutan mangrove. Di samping berkurangnya mangrove bersamaan pula timbulnya pendangkalan (sedimentasi) dan abrasi pantai. Karena kelompok masyarakat nelayan merasa tidak memiliki alternatif lain untuk mempertahankan hidup, mereka sering melibatkan dirinya dengan cara-cara yang tidak terpuji, seperti menggunakan peledak, bahan-bahan beracun, dan lain-lain merupakan cara yang merugikan tata ekologis hanya untuk menangkap ikan yang lebih banyak. Hal ini tentu bertolak belakang dengan peraturan dan kebijakan pemerintah yang menyatakan bahwa pemanfaatan daerah perairan harus wajib memenuhi persyaratan pengelolaan lingkungan dengan mempertimbangkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh2. Permasalahan mengenai lingkungan ini diduga memiliki keterkaitan dengan fenomena kemiskinan yang terjadi di daerah pesisir, sehingga keterdesakan secara ekonomi mengakibatkan eksploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya alam tanpa mempertimbangkan aspek kelestariannya. Tujuan Penulisan Penulisan studi pustaka ini bertujuan untuk: (1) mengkaji masalah lingkungan yang terjadi di daerah pesisir; (2) mengkaji kemiskinan masyarakat nelayan di daerah pesisir; dan (3) mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku nelayan dalam menjaga kelestarian lingkungan pesisir. Kegunaan Penulisan Penulisan studi pustaka ini diharapkan mampu membantu penulis dalam menyusun kerangka pemikiran dan juga pertanyaan penelitian yang akan digunakan sebagai acuan untuk penelitian berikutnya. Metode Penulisan Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan studi pustaka ini ialah menggunakan data-data hasil penelitian berupa jurnal penelitian ilmiah, skripsi, tesis, dan disertasi yang berkaitan dengan tema dari studi pustaka ini, yaitu pengaruh kemiskinan terhadap kelestarian lingkungan. 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA 1. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Alamat URL/doi Tanggal diunduh : Faktor Dominan Penyebab Kemiskinan Rumah Tangga Nelayan Motor Tempel di Wilayah Tangkap Lebih Jawa Timur : 2013 : Jurnal : Elektronik : Anas Tain : http://sosiohumaniora.unpad.ac.id/wp content/uploads/2014/01/5.anas-tain.pdf : 24 September 2014 Ringkasan Pustaka: digunakan adalah Multi Stage Cluster Sampling. Pada tahap pertama dari seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur yang memiliki sumberdaya perikanan tangkap dan telah mengalami tangkap lebih, dipilih 2 kabupaten yang banyak memiliki armada nelayan kecil (motor tempel), dalam hal ini terpilih Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Pasuruan. Tahap kedua adalah memilih kecamatan yang kondisi nelayannya dapat mewakili keragaman kondisi nelayan tingkat kabupaten, dalam hal ini dipilih Kecamatan Paciran untuk Kabupaten Lamongan dan Kecamatan Lekok untuk Kabupaten Pasuruan. Tahap ketiga memilih satu desa di masing-masing kecamatan terpilih, yang banyak memiliki rumah tangga nelayan miskin. Dalam hal ini terpilih Desa Paciran Kecamatan Paciran dan Desa Jatirejo Kecamatan Lekok. Dengan mengambil rumah tangga miskin di masing-masing desa sebagai sampel penelitian dapat diperoleh gambaran relasi-relasi sosial secara utuh dalam kehidupan rumah tangga nelayan. Namun jumlah sampel tidak disebutkan dengan jelas pada penelitian ini. Tulisan ini memandang kemiskinan nelayan dinilai meluas dengan tingkat kedalaman kemiskinan yang memprihatinkan. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini bermaksud menemukan faktor dominan penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan khususnya nelayan motor tempel di wilayah tangkap lebih Jawa Timur. Wilayah tangkap lebih merupakan suatu wilayah eksploitasi sumberdaya perikanan yang telah mengalami overfishing. Pada rumah tangga nelayan miskin untuk bisa mempertahankan hidup, mereka tetap mengeksploitasi sumberdaya perikanan yang telah mengalami overfishing bahkan dengan cara yang destruktif sekalipun. Hal ini seperti yang dikatakan Fauzi (2005), kemiskinan di wilayah pesisir memicu destructive fishing yang kemudian mengacaukan mata rantai makanan. Penduduk miskin adalah agen dan korban kerusakan lingkungan (Rusastra dan Napitupulu 2007). Untuk itu diperlukan peningkatan pendapatan rumah tangga nelayan untuk menjamin pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Kemiskinan pada rumah tangga nelayan setidaknya dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk kemiskinan berdasarkan faktor pembentuknya. Pertama, kemiskinan struktural. Kemiskinan ini diderita oleh segolongan nelayan karena kondisi struktur sosial yang ada menjadikan mereka tidak dapat ikut menggunakan sumbersumber pendapatan yang sebenarnya tersedia, juga akibat tatanan kebijakan yang lebih menguntungkan golongan pemilik modal (nelayan besar). Kekuatan-kekuatan di luar rumah tangga nelayan kecil menjadikan mereka terpinggirkan dan hidup dalam 4 belenggu kemiskinan. Jadi persoalannya adalah ketidakmerataan akses pada sumberdaya karena struktur sosial yang ada. Kedua, kemiskinan kultural yang melihat kemiskinan terjadi karena faktor budaya seperti kemalasan yang bersumber pada nilainilai lokal yang memang tidak kondusif bagi suatu kemajuan. Kemiskinan ini tidak lepas dari tata nilai yang dianut rumah tangga nelayan yang bersangkutan dalam menjalani hidup. Ketiga, kemiskinan alamiah terjadi di mana kondisi alam yang tidak mendukung mereka melakukan kegiatan ekonomi produktif ataupun perilaku produksi yang tidak produktif akibat sifat sumberdaya yang bersangkutan. Dalam konteks masyarakat nelayan, dapat digambarkan akibat laut dipandang sebagai common property dan akses terbuka menjadikan perikanan laut dieksploitasi secara berlebih bahkan dengan alat dan bahan terlarang. Para nelayan berperilaku untuk saling mendahului dan berupaya memperoleh hasil tangkapan lebih banyak dibanding nelayan lain. Bahkan sebagian dari mereka menggunakan alat atau bahan terlarang tanpa berpikir masalah keberlanjutan sumberdaya ikan yang ada. Melalui eksplorasi penyebab kemiskinan nelayan yang bersumber dari kemiskinan struktural, kemiskinan kultural dan sifat sumberdaya laut sebagai common property. Hasil analisis faktor menemukan 15 faktor dominan penyebab kemiskinan pada rumah tangga nelayan yaitu kelembagaan yang merugikan, program yang tidak memihak nelayan kecil, pandangan hidup yang berorientasi akhirat saja, keterbatasan sumberdaya, ketidaksesuaian alat tangkap, rendahnya investasi, terikat utang, perilaku boros, keterbatasan musim penangkapan, kerusakan ekosistem, penyerobotan wilayah tangkap, lemahnya penegakan hukum, kompetisi untuk mengungguli nelayan lain, penggunaan alat/bahan terlarang dan yang terakhir perilaku penangkapan. Faktor kelembagaan merupakan faktor paling dominan sebagai penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan motor tempel di wilayah tangkap lebih Jawa Timur. Persoalan kelembagaan ini utamanya terletak pada aspek kelembagaan pemasaran, kegiatan penangkapan dan bagi hasil. Semakin langkanya sumberdaya ikan, justru disikapi oleh sebagian nelayan dengan menggunakan alat atau bahan terlarang yang dapat mengancam kelestarian ikan. Mereka beralasan jika tidak menggunakan alat atau bahan terlarang tersebut, tidak akan bisa mendapat hasil tangkapan ikan dan kebutuhan rumah tangga mereka tidak terpenuhi, disamping itu ikan di laut tidak akan habis. Nelayan miskin memang sebagai agen sekaligus korban dari kerusakan ekosistem laut yang dapat mengancam kelestarian sumberdaya ikan. Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula menjadi lingkaran setan karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pula yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Kondisi tersebut tidak mengherankan jika praktik perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir. Analisis Pustaka: Di daerah Jawa Timur, masyarakat nelayan memandang laut sebagai common property dan akses terbuka sehingga mereka bebas mengeksploitasi secara berlebih bahkan dengan alat dan bahan terlarang. Masalah lingkungan pun muncul seiring rusaknya sumberdaya alam berupa kerusakan ekosistem karena overfishing dengan alat dan bahan terlarang. Imbasnya berupa sumberdaya ikan yang semakin langka yang justru disikapi oleh sebagian nelayan dengan menggunakan alat atau bahan terlarang lagi sehingga mengancam kelestarian ikan. Jika tidak menggunakan alat atau bahan terlarang tersebut, nelayan tidak bisa mendapat hasil tangkapan ikan sehingga pendapatan yang mereka peroleh tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga. 5 Kemiskinan pada rumah tangga nelayan di wilayah tangkap lebih Jawa Timur ini tidak hanya berkaitan dengan kerusakan sumberdaya alam, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi struktur sosial sehingga peluang nelayan dalam memanfaatkannya sangat kecil. Sebenarnya, nelayan bukan malas dalam melaut, tetapi ketiadaan peluang ini yang mempengaruhi pendapatan nelayan. Kompetisi antar nelayan pun terjadi. Para nelayan berperilaku saling mendahului dan berupaya memperoleh tangkapan yang lebih banyak dibanding nelayan lain. Di samping itu, posisi tawar nelayan sangat lemah karena mayoritas nelayan telah terikat kepada pedagang perantara (agen) kreditur mereka dan menerima berapapun harga yang diberikan. Nelayan tidak mengetahui harga dan seringkali tidak diberikan pembayaran kontan. Dengan demikian, rumah tangga nelayan miskin bisa mempertahankan hidup mereka dengan tetap mengeksploitasi sumberdaya perikanan walaupun telah mengalami overfishing bahkan dengan cara yang merusak lingkungan sekalipun. Dengan demikian, semakin terdesaknya nelayan untuk memenuhi kebutuhan mereka maka semakin sering fenomena overfishing dilakukan dan semakin besar masalah lingkungan yang terjadi sehingga kelestarian lingkungan menjadi terancam. 2. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Alamat URL/doi Tanggal diunduh : Kajian Penyebab Kerusakan Ekosistem Sumberdaya Hayati di Pesisir Pulau Kakaralamo, Kabupaten Halmahera Utara : 2012 : Jurnal : Elektronik : Fany, Dimas Wisnu Adrianto, Aris Subagiyo : http://jpurepwk.ub.ac.id/files/jurnal/17_Fany.pdf : 24September 2014 Ringkasan Pustaka: Penelitian ini dilakukan di pesisir Pulau Kakaralamo, Kabupaten Halmahera Utara dengan metode analisis yang digunakan adalah metode analisis evaluatif dengan acuan dari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup tentang kriteria baku kerusakan mangrove, terumbu karang dan padang lamun. Dengan melibatkan para ahli sebagai responden, (sebanyak 7 ahli) untuk mengetahui penyebab kerusakan sumberdaya hayati ini, makadigunakan metode analisis AHP (Analtycal Hierarchy Process) dengan beberapa variabel yaitu pemanfaatan yang tidak berkelanjutan, belum adanya upaya pengelolaan, tingkat pendidikan dan pengetahuan, tingkat pendapatan, terbatasnya alternatif penghasilan, kelemahan hukum dan penegakannya, kelembagaan, minimnya sarana dan prasarana, dan aksesibilitas. Dengan keberadaan luas perairan yang lebih besar dari luas daratan, maka sangatlah wajar jika sebagian besar masyarakat di Kabupaten Halmahera Utara memiliki mata pencaharian yang berbasis pada kekayaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Dalam perkembangannya perlu diantisipasi adanya ancaman yang dapat menghancurkan salah satu sumber mata pencaharian masyarakat pesisir. Sumber pendapatan masyarakat ini dapat terancam oleh karena rusaknya daya dukung ekosistem perairan terhadap keberadaan sumberdaya ikan, akibat pola penangkapan yang ilegal dan destruktif. Kondisi sumberdaya hayati pesisir dapat dijelaskan dari kondisi terumbu karang, kondisi mangrove, dan kondisi padang lamun. Berdasarkan data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa status kerusakan terumbu karang di Pulau Kakaralamo adalah 6 dalam kategori rusak sedang. Sebelum adanya larangan oleh aparat pemerintah setempat, masyarakat menggunakan metode penangkapan ikan dengan bom dan racun sehingga menyebabkan kerusakan terumbu karang. Kerusakan mangrove termasuk kategori rusak jarang serta kerusakan padang lamun termasuk dalam kategori kondisi rusak miskin. Rusaknya terumbu karang dan mangrove dapat menjadi salah satu penyebab rusaknya padang lamun di Pulau Kakaralamo. Perhitungan penyebab kerusakan melibatkan para ahli sebagai responden, sebanyak 7 ahli, meliputi akademisi dosen Manajemen Sumberdaya Perairan, Universitas Halmahera, pemerintah yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan Lingkungan Hidup, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, Kabupaten Halmahera Utara. Nilai pembobotan masing-masing penyebab dihitung dengan bantuan software”Expert Choice 2002 2nd edition” Dari hasil penilaian masing-masing responden ahli, mengenai penyebab kerusakan ekosistem sumberdaya hayati di Pesisir Pulau Kakaralamo, dapat dihitung rata-rata keseluruhan pembobotan nilai dan dihasilkan nilai akhir masing-masing penyebab kerusakan. Urutan prioritas penyebab kerusakan ekosistem sumberdaya hayati di Pesisir Pulau Kakaralamo yaitu sebagai berikut: 1. Tingkat pendidikan dan pengetahuan (0,2591) 2. Pemanfaatan yang tidak berkelanjutan (0,1779) 3. Belum adanya upaya pengelolaan (0,1740) 4. Kelemahan hukum dan penegakannya (0,0941) 5. Kelembagaan (0,0921) 6. Tingkat pendapatan (0,0716) 7. Terbatasnya alternatif penghasilan (0,0597) 8. Aksesibilitas (0,0414) 9. Minimnya sarana dan prasarana (0,0300) Dapat dilihat dari hasil perhitungan di atas bahwa salah satu variabel penyebab kerusakan lingkungan adalah tingkat pendapatan. Akan tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut bagaimana tingkat pendapatan mampu menyebabkan kerusakan ekosistem. Hanya tiga dari 9 penyebab yang dijelaskan secara rinci. Analisis Pustaka: Di pesisir Pulau Kakaralamo, Kabupaten Halmahera Utara, masalah lingkungan yang terjadi berupa kerusakan ekosistem terumbu karang, mangrove, dan padang lamun. Ekosistem terumbu karang termasuk dalam kategori rusak sedang, mangrove dalam kategori rusak jarang dan padang lamun dengan kategori rusak miskin. Padahal sumberdaya kelautan dan perikanan ini merupakan sumber mata pencaharian utama masyarakat setempat.Kerusakan ekosistem laut berarti mengancam sumber pendapatan masyarakat. Penyebab utama kerusakan yang dijelaskan secara luas adalah tingkat pendidikan dan pengetahuan, pemanfaatan yang tidak berkelanjutan, dan belum adanya upaya pengelolaan secara terpadu. Salah satu penyebab lainnya adalah tingkat pendapatan. Ternyata terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan kerusakan ekosistem sumberdaya hayati. Hubungan ini diduga berkorelasi negatif yaitu dengan semakin rendah tingkat pendapatan, maka semakin tinggi tingkat kerusakan ekosistem yang terjadi. Sayangnya, dari penelitian ini belum membahas tentang kemiskinan yang umumnya terjadi pada masyarakat pesisir. Dalam hal perilaku, masyarakat nelayan memanfaatkan mangrove sebagai kayu bakar dan bahan membuat rumah, sedangkan terumbu karang digunakan untuk kegiatan pembangunan dan ornamen. 7 3. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Alamat URL/doi Tanggal diunduh : Kepedulian Masyarakat dalam Perbaikan Sanitasi Lingkungan Permukiman Kumuh di Kelurahan Matahalasan Kota Tanjungbalai : 2010 : Tesis : Elektronik : Tety Juliany Siregar : http://eprints.undip.ac.id/23695/1/TETY_JULIANY_SIRE GAR.pdf : 24 September 2014 Ringkasan Pustaka: Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Matahalasan Kota Tanjungbalai dengan menggunakan metode penelitian kualitatif diawali pendekatan positivistik, yaitu dengan cara berpikir dari depan dengan melihat dan mengkaji variabel-variabel penelitian berdasarkan kajian literatur secara komprehensif kemudian variabel-variabel tersebut dianalisis pada fenomena yang terjadi di lapangan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pengumpulan data primer dengan observasi dan wawancara dan penelusuran pustaka, hasil penelitian, artikel-artikel, serta dokumen resmi dari instansi terkait sebagai bentuk pengumpulan data sekundernya. Jumlah responden pada penelitian ini adalah 7 orang dengan kriteria yang telah ditentukan. Tahap awal yang dilakukan peneliti adalah mendeskripsikan bagaimana karakteristik masyarakat dan pengelolaan sanitasinya, kemudian mengkaji praktek perubahan perilakunya dalam perbaikan sanitasi lingkungan yang terjadi saat ini, selanjutnya mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi kepedulian masyarakat dalam pengelolaan sanitasi tersebut. Problematika yang dihadapi masyarakat di kelurahan Matahalasan iniumumnya adalah masalah lapangan pekerjaan, kemiskinan yang meningkat, kerawanan sosial akibat meningkatnya angka kejahatan, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang rendah, sebagian besar lahan permukiman penduduk adalah tanah milik PT Kereta Api Indonesia yang berada di bantaran Sungai Silau dan Sungai Matahalasan, kurangnya area-area penghijauan, timbunan sampah rumah tangga, masih ada yang melakukan kebiasaan buang air besar ke sungai dan penggunaan air sungai untuk kebutuhan rumah tangga karena tidak tersedianya sarana dan prasarana sanitasi lingkungan yang layak, yang berpotensi sebagai penyebab penyebaran wabah penyakit. Dibuktikan dengan tingginya angka penderita penyakit diare, disentri dan infeksi penyakit usus lainnya sebesar 15.755 jiwa dan penyakit kulit sebesar 14.128 jiwa di Kota Tanjungbalai (BPS, 2009) dan hampir 20% penderita adalah penduduk yang tinggal di bantaran Sungai Silau termasuk Kelurahan Matahalasan, hal ini mengindikasikan buruknya sanitasi lingkungan yang ada. Kekumuhan yang sering terjadi akibat dari berbagai faktor seperti;tingginya kepadatan hunian, tidak seimbangnya penyediaan sarana dan prasarana lingkungan, pencemaran lingkungan alami, kerawanan sosial dan kesehatan, disamping itu pengetahuan, pemahaman dan tindakan dari stakeholder juga berkontribusi untuk meningkatkan atau menurunkan tingkat kekumuhan tersebut. Pembangunan berkelanjutan melalui perbaikan dan pemeliharaan sanitasi lingkungan dalam penelitian ini diartikan sebagai upaya masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan yang sehat tersebut untuk mewujudkan komunitas masyarakat yang peduli lingkungan. 8 Permasalahan air limbah di Kota Tanjungbalai sampai saat ini belum mendapat prioritas yang cukup tinggi, padahal akumulasi bahan pencemar akibat air limbah domestik yang tidak terkelola dengan baik akan menjadi masalah besar di masa yang akan datang. Kota Tanjungbalai merupakan suatu daerah yang dilalui oleh dua buah sungai besar dan dikelilingi oleh anak-anak sungai, yang digunakan sebagai sumber air baku untuk berbagai kebutuhan, termasuk air bersih dan industri. Saat ini sedang diusahakan penanganan pengelolaan air limbah skala perkotaan yang lebih serius, khususnya pada daerah-daerah bantaran sungai yang merupakan daerah-daerah yang banyak dihuni oleh permukiman penduduk. Bertambahnya jumlah penduduk akibat kelahiran dan perpindahan penduduk ke pusat kota, menambah banyaknya daerah bantaran sungai yang dimanfaatkan masyarakat secara swadaya, karena umumnya penduduk yang bermukim di daerah ini memiliki hubungan kekerabatan yang erat. Namun karena kondisi perekonomian, mereka terpaksa tetap tinggal di daerah bantaran sungai. Kondisi ekonomi masyarakat yang tinggal di bantaran sungai ini umumnya masyarakat ekonomi lemah sampai sedang, sehingga sungai dieksploitasi tidak hanya sebagai sarana sanitasi, tapi juga sumber tambahan penghasilan penduduk. Pada akhirnya memanfaatkan setiap jengkal lahan yang ada dengan membangun bilik-bilik hunian apa adanya. Hunian-hunian inilah yang hampir 40% tidak dilengkapi dengan sarana MCK dan akhirnya memanfaatkan sungai sebagai sarana MCK. MCK++ merupakan upaya pembangunan sarana MCK dengan konsep pemberdayaan masyarakat yang partisipatif untuk perbaikan sanitasi lingkungan permukiman kumuh. Sarana ini dimulai pembangunannya pada tahun 2007 dan selesai pada awal tahun 2008 dan langsung dimanfaatkan masyarakat sampai dengan sekarang. Aktivitas pengelolaan sarana MCK di Kota Tanjungbalai merupakan bagian dari praktek perilaku masyarakat dalam perbaikan sanitasi. Keterlibatan masyarakat dalam aktivitas pengelolaan tersebut akan memperlihatkan sejauh mana peran masyarakat itu dalam pengelolaan MCK tadi. Kajian praktek perilaku ini akan dimulai dari peran yang dimainkan masyarakat dan aktor yang terlibat dalam perbaikan sanitasi lingkungan dan dilanjutkan dengan mekanisme pelaksanaannya. Keikutsertaan masyarakat di Kelurahan Matahalasan secara umum diwakili oleh unsur tokoh masyarakat, kepala lingkungan, kader PKK, Ketua LPM dan aparat kelurahan dimulai dengan adanya undangan sosialisasi yang diprakarsai dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Konsultan pendamping sendiri menjadi narasumber bagi pengetahuan dan pemahaman tentang pengelolaan prasarana dan sarana sanitasi yang ada di Kota Tanjungbalai didampingi oleh Tenaga Fasilitator Lapangan (TFL) dan kader masyarakat. Dengan dipahaminya rencana perbaikan sanitasi lingkungan di Kota Tanjungbalai, konsultan akan melihat dan menggali bersama masyarakat seperti apakah kondisi kerusakan sanitasi yang ada melalui survei kampung sendiri. Berdasarkan hasil analisis praktek perilaku dan faktor-faktor yang mempengaruhi kepedulian masyarakat, dapat disimpulkan kepedulian masyarakat dalam perbaikan sanitasi lingkungan di Lingkungan I Kelurahan Matahalasan terlihat dari peran dan tindakannya terlibat dalam setiap proses perbaikan sanitasi lingkungan. Kepedulian masyarakat ditandai dari perilaku masyarakat yang selalu bertanggung jawab dan memperhatikan kepentingan orang lain. Bentuk kepedulian masyarakat dilihat dari aktivitas yang mereka lakukan dalam setiap tahapan proses perbaikan sanitasi lingkungan mulai dari proses inisiasi awal sampai pada pengawasan. 9 Analisis Pustaka: Jumlah penduduk yang semakin bertambah karena kelahiran dan perpindahan penduduk menambah semakin banyaknya bantaran sungai yang dimanfaatkan oleh masyarakat Kelurahan Matahalasan. Masalah lingkungan yang dapat dilihat berupa kurangnya area-area penghijauan, timbunan sampah rumah tangga, kebiasaan buang air besar ke sungai, dan penggunaan air sungai untuk kebutuhan rumah tangga yang pada akhirnya berpotensi sebagai penyebab penyebaran penyakit. Selain itu, permasalahan air limbah berpotensi menjadi permasalahan besar. Hal ini mengindikasikan buruknya sanitasi lingkungan yang ada. Tingkat pengetahuan dan pemahaman tentang pentingnya sanitasi lingkungan permukiman yang sehat pada masyarakat masih rendah. Pada aspek perilaku, masyarakat diindikasikan tidak ramah lingkungan sehingga berpengaruh pada lingkungan tempat tinggal mereka seperti kebiasaan buang air ke sungai, mandi, mencuci, dan kebiasaan membuang sampah ke sungai. Rendahnya kemampuan ekonomi menjadi pendorong kebiasaan masyarakat berperilaku tidak ramah lingkungan. Mereka tidak memiliki kemampuan lebih untuk menyediakan prasarana sanitasi di rumah masing-masing, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun sulit. Sayangnya, fenomena kemiskinan tidak dijelaskan secara spesifik pada penelitian ini. Ternyata rendahnya kemampuan ekonomi mempengaruhi kebiasaan masyarakat dalam berprilaku tidak ramah terhadap lingkungannya. 4. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Alamat URL/doi Tanggal diunduh : Nelayan Indonesia dalam Pusaran Kemiskinan Struktural (Perspektif Sosial, Ekonomi dan Hukum) : 2011 : Jurnal : Elektronik : Endang Retnowati : http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201207081310382587/1 2.pdf : 24 September 2014 Ringkasan Pustaka: Penelitian ini tidak dilengkapi dengan penjelasan metode penelitian yang digunakan. Bahkan tujuan penelitian ini pun tidak dicantumkan dengan jelas. Namun secara jelas menjelaskan tentang fenomena kemiskinan yang terjadi pada nelayan, khususnya di Indonesia. Indonesia sebagai Negara Kepulauan, yang luas wilayahnya 70% merupakan wilayah lautan.Di wilayah lautan ini terkandung potensi ekonomi kelautan yang sangat besar dan beragam, antara lain sumber daya ikan. Dengan melimpahnya sumber daya ikan maka seharusnya pendapatan nelayan sangatlah memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun dalam realita tidaklah demikian, kemiskinan masih banyak melanda kehidupan nelayan. Dari sisi ekonomi hasil tangkapan nelayan masih jauh dari memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini disebabkan karena minimnya modal yang dimiliki nelayan, tekanan dari pemilik modal, sistem bagi hasil yang tidak adil, perdagangan atau pelelangan ikan yang tidak transparan (dikuasai tengkulak) dan otoritas tidak punya wibawa untuk mengatur dan menegakkan aturan. Serta pola atau budaya kerja yang masih apa adanya. Luas wilayah perairan Indonesia kurang lebih 5,8 juta kilometer persegi, dan jumlah nelayan di Indonesia hingga tahun 2009 tercatat 2.752.490 orang dengan total armada 596.230 unit. Dari jumlah nelayan tersebut 90% nya merupakan nelayan kecil 10 dengan bobot mati kapal di bawah 30 Gross Tonnage (GT) (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2008). Hal ini menunjukkan secara umum masih dianggap seimbang, antara luas perairan dengan jumlah nelayan, meskipun untuk beberapa daerah tertentu (misalnya selat Madura) terjadi jumlah nelayan terlalu banyak, tidak sebanding dengan wilayah penangkapan yang ada, sehingga jika terjadi hal sedemikian maka akan berpotensi menimbulkan tangkap lebih (over fishing), yang pada akhirnya dapat memicu konflik antar nelayan karena perebutan wilayah dan ikan tangkapan (Departemen Kelautan dan Perikanan 2008). Bahwasanya sampai saat ini di Indonesia belum ada ketentuan pembatasan jumlah nelayan dan persyaratan menjadi nelayan. Salah satu faktor sulitnya membatasi jumlah nelayan dan persyaratannya, karena padatnya jumlah penduduk, jumlah pengangguran yang banyak sementara peluang kerja terbatas. Peluang yang ada dan sangat mudah tanpa adanya persyaratan formalitas adalah nelayan. Kemiskinan yang dialami oleh sebagian masyarakat pesisir karena faktor ekonomi dan sosial, sehingga mereka tidak mampu untuk mendapatkan pendidikan yang memadai menjadi satu alasan untuk memilih menjadi nelayan. Dengan memperhatikan luasnya wilayah laut yang dimiliki Indonesia serta melimpahnya sumber daya ikan yang dikandungnya maka secara logika menunjukkan terbukanya peluang kerja di sektor ini dan adanya kehidupan nelayan yang mapan. Namun dalam realitanya kehidupan nelayan Indonesia masih sangat memprihatinkan. Kemiskinan masih dijumpai di daerah-daerah pesisir, nelayan rentan terhadap konflik antar mereka. Tulisan ini membahas tentang keberadaan nelayan baik dari sisi sosial, ekonomi dan hukum. Pembahasan tentang nelayan dalam tataran realitas berdasarkan hasil pengamatan penulis, nelayan dibedakan menjadi: nelayan pemilik (juragan), nelayan penggarap (buruh/pekerja) dan nelayan kecil, nelayan tradisional, nelayan gendong (nelayan angkut), dan perusahaan/industri penangkapan ikan. Keberadaan nelayan secara sosial dan ekonomi,dalam arti jumlah nelayan di Indonesia rata-rata didominasi oleh nelayan penggarap dan nelayan kecil atau nelayan tradisional. Menurut data Dirjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan jumlah nelayan di Indonesia sampai tahun 2009 tercatat ada 2.752.490 orang dengan total armada 596.230 unit. Dari keseluruhan jumlah tersebut 90% nya adalah nelayan kecil dengan bobot mati kapal di bawah 30 GT, dan dalam kenyataannya mayoritas nelayan (nelayan tradisional), nelayan kecil maupun nelayan penggarap, yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (subsisten), kecuali perusahaan perikanan yang mana penangkapan ikan memang dilakukan untuk tujuan bisnis atau komersil dengan menggunakan kapal yang berukuran di atas 30 GT. Banyaknya jumlah nelayan kecil maupun nelayan tradisional yang melebihi kapasitas wilayah tangkapan ikan dapat memicu potensi tangkap lebih (over fishing), hal ini dikarenakan jangkauan wilayah penangkapan nelayan kecil atau tradisional yang terbatas yang tidak sebanding dengan wilayah penangkapan. Pembahasan tentang nelayan khususnya nelayan kecil atau tradisional sangat terkait pula dengan sistem kerja mereka. Pada umumnya jam kerja mereka relatif singkat biasanya cukup satu hari saja (one day fishing). Kondisi atau kebiasaan semacam ini berdampak pada hasil tangkapan yang tidak optimal sehingga mengakibatkan tingkat produksi rendah dan pendapatan mereka juga tidak optimal akibatnya tingkat kesejahteraan nelayan pun rendah. Sistem kerja one day fishing antara lain juga disebabkan kapal dan alat tangkap ikan yang mereka gunakan, selain itu budaya kerja yang hanya satu hari rupanya sudah menjadi kebiasaan. Sehingga program pemerintah dengan peningkatan ukuran kapal dan perubahan pola penangkapan dari 11 satu hari menjadi lebih nampaknya susah untuk dilaksanakan. Kondisi seperti ini menjadi kendala pula dalam kaitannya dengan pendataan maupun pembinaan yang dilakukan Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Selain itu, untuk menjadi nelayan sangatlah mudah karena tidak diperlukan persyaratan khusus baik menyangkut keahlian maupun ijazah atau formal, sehingga tingkat keterampilan mereka pun terbatas yang pada akhirnya berdampak pada tingkat perolehan mereka. Kemiskinan yang dialami oleh nelayan diantaranya disebabkan karena minimnya modal yang dimiliki dan pendidikan nelayan yang rata-rata masih rendah (SD) dan bahkan ada yang tidak menamatkan SD, sehingga kemampuan atau skillnya pun terbatas, kehidupan nelayan yang penuh dengan tekanan dari pemilik modal (pemilik kapal/perahu dan tengkulak), adanya ketergantungan antara pemodal dengan nelayan yang terus dilanggengkan (Patron Klien), kebijakan dan program yang kurang tepat sasaran dan sektoral, serta juga diakibatkan oleh budaya atau kebiasaan hidup nelayan yang suka boros, ketika masa panen ikan dimana pendapatan mereka banyak maka biasanya langsung dihabiskan, kurang kesadaran untuk menabung atau berhemat. Karena mereka (nelayan) miskin maka dalam kehidupan sosial politik pun mereka lemah. Hak politik nelayan yang meliputi hak pilih dan dipilih tidak semuanya dapat dilaksanakan sesuai dengan cita-cita negara demokrasi. Kemiskinan yang dialami oleh nelayan rentan untuk menjadi sasaran atau objek eksploitasi pada saat-saat Pemilihan Umum (Pemilu); Presiden, Kepala Daerah atau Wakil Rakyat. Analisis Pustaka: Banyaknya jumlah nelayan kecil maupun nelayan tradisional yang melebihi kapasitas wilayah tangkapan ikan dapat memicu potensi tangkap lebih (over fishing), hal ini dikarenakan jangkauan wilayah penangkapan nelayan kecil atau tradisional yang terbatas yang tidak sebanding dengan wilayah penangkapan. Fenomena kemiskinan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat nelayan dapat dilihat dari beberapa perspektif yaitu sosial, ekonomi dan hukum. Dari sisi ekonomi pendapatan nelayan masih sangat rendah, sehingga mereka miskin, hal ini dikarenakan keterbatasan modal, keterampilan, adanya tekanan dari pemilik modal, sistem perdagangan yang tidak transparan dan budaya kerja yang masih tradisional. Dari sisi sosial, masyarakat nelayan rentan akan konflik karena persaingan antar nelayan. Dari sisi politik, hukum yang seharusnya memberikan perlindungan kepada nelayan ternyata belum mampu sepenuhnya melindungi. Di dalam tulisan ini juga menjelaskan bagaimana struktur masyarakat nelayan dengan berbagai tingkat pendapatan dari hasil tangkapan ikan. Namun, tulisan ini belum menunjukkan metode atau jenis penelitian yang digunakan untuk menyusun tulisan ini. Pada aspek perilaku, pembahasan tentang nelayan terutama nelayan kecil atau tradisional sangat terkait pula dengan sistem kerja mereka. Pada umumnya jam kerja mereka relatif singkat biasanya cukup satu hari (one day fishing). Kebiasaan semacam ini berdampak pada hasil tangkapan yang tidak optimal yang berpengaruh terhadap kesejahteraan nelayan. Dengan demikian nelayan tradisional yaitu nelayan yang pekerjaannya menangkap ikan dengan perahu dan alat tangkap sederhana sehingga pendapatan mereka rendah. Jangkauan wilayah tangkap yang terbatas pada akhirnya memicu kerusakan lingkungan berupa fenomena overfishing pada satu lokasi yang sama. 12 5. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Alamat URL/doi Tanggal diunduh : Tinjauan Teoritis Pembangunan Pedesaan yang Berkelanjutan: Pengentasan Kemiskinan dan Perbaikan Kualitas Lingkungan : 2010 : Jurnal : Elektronik : H. Djoko Sudantoko dan Joko Mariyono : http://ep.unnes.ac.id/wp-content/uploads/2012/03/05Artikel-BJoko-Joko.pdf : 24 September 2014 Ringkasan Pustaka: Tulisan ini belum dilengkapi dengan penjelasan metode dan tujuan yang jelas. Namun hubungan antara kemiskinan dan lingkungan dipaparkan secara spesifik pada sektor pertanian. Pengkajian tentang keterkaitan antara kemiskinan dan lingkungan menjadi perlu dilakukan karena pengetahuan tentang hubungan tersebut masih sedikit (Reed dan Rosa, 1999). Masalah pokok keadaan ini adalah adanya dugaan kuat yang dikemukakan oleh Ekbom dan Bojo (1999) bahwa orang miskin (petani kecil) merupakan korban dari lingkungan yang buruk, dan sekaligus merupakan biang keladi dari kerusakan lingkungan. Dugaan di atas didukung oleh mitos yang dikemukakan oleh Ambler (1999) bahwa kemiskinan membawa kearah degradasi lingkungan, dan si miskin sudah terlalu miskin untuk melakukan investasi dalam perbaikan lingkungan. Hubungan antara kemiskinan dan lingkungan sangat kompleks dan memerlukan analisis yang spesifik lokasi. Salah satu studi awal yang dilakukan oleh Southgate et al. (2001), kaitan antara kemiskinan di pedesaan dan degradasi lahan yang dilakukan di ElSalvador. Keadaan ini membawa implikasi bahwa petani kecil terhimpit oleh dua keadaan yang menyebabkan kesejahteraan menjadi semakin menurun yaitu memperoleh pendapatan yang relatif kecil dengan keadaan lingkungan yang buruk, yang dilukiskan oleh Scherr (1999) sebagai alur spiral yang menurun. Hal ini menjadikan petani kecil sulit keluar dari masalah yang dihadapi karena dengan lingkungan yang buruk menyebabkan produktivitas yang rendah. Produktivitas yang rendah ini menyebabkan pendapatan yang semakin rendah. Sudah banyak kasus membuktikan bahwapembangunan pedesaan melalui intensifikasi pertanian akan membawa efek lain yang tidak diinginkan. Dalam hal ini faktor yang dikorbankan adalah lingkungan hidup. Belum ada kata terlambat untuk melakukan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Dalam hal ini masyarakat desa yang sebagian besar petani, harus mulai menyadari arti pentingnya lingkungan hidup yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Memang masih jauh dari kenyataan, tetapi kalau tidak dimulai, kenyataan itu tidak akan pernah terwujud. Berdasarkan teori konsumsi dan produksi dalam ekonomi mikro yang dikemukakan oleh Jehle dan Reny (2001) dan Silberberg dan Suen (2001), dan ekonomi publik oleh Hindriks dan Myles (2004) disebutkan bahwa seseorang mencapai kepuasan (utilitas) tertentu dengan mengkonsumsi barang dan jasa, dengan kendala pendapatan yang dimiliki. Pendapatan diperoleh dari kegiatan produksi. Dalam hal ini, konsumsi jasa termasuk jasa yang disediakan oleh alam yaitu lingkungan yang bersih dan nyaman, yang selanjutnya disebut dengan barang lingkungan. 13 Hubungan antara Pendapatan dan Lingkungan Studi ekonomi mikro sering membuat asumsi bahwa produsen mempunyai tujuan memaksimumkan keuntungan tanpa mempertimbangkan biaya eksternal lingkungan. Dengan asumsi tersebut, petani akan berusaha mencapai keuntungan maksimum sebagai tujuan untuk memaksimumkan utilitas dengan mengonsumsi sejumlah barang dan jasa dengan kendala anggaran yang tersedia. Anggaran yang tersedia berasal dari keuntungan yang diperoleh dari usahatani. Keadaan ini menyebabkan kegiatan ekonomi (produksi dan konsumsi) mengarah pada eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan yang tidak berorientasi kelestarian. Keadaan lingkungan dipengaruhi oleh proses produksi yang dilakukan oleh petani, yaitu dampak negatif penggunaan bahan kimia yang mencemari lingkungan (pupuk kimia dan pestisida) dan degradasi lahan akibat pengusahaan lahan yang berlebih. Faktor yang Mempengaruhi Kepedulian terhadap Lingkungan Hidup Kepedulian seseorang terhadap lingkungan hidup sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Kondisi sosial, ekonomi dan budaya diduga merupakan faktor yang dominan. Petani yang berlahan sempit (miskin), diduga merupakan produsen yang tidak memedulikan nilai lingkungan. Hal ini terjadi karena petani tersebut mempunyai tingkat pendapatan usahatani yang rendah sehingga masih perlu mencukupi kebutuhan barang dan jasa yang dirasakan belum cukup. Petani yang berlahan luas (kaya), memedulikan keadaan lingkungan karena pendapatan yang cukup tinggi sudah mencukupi kebutuhan barang dan jasa, sehingga untuk meningkatkan utilitas produsen tersebut mencari keadaan lingkungan yang lebih baik. Faktor lain yang mempengaruhi kepedulian produsen terhadap keadaan lingkungan adalah tingkat pendidikan, pengetahuan tentang input yang mencemari lingkungan dan kesehatan. Dengan pendidikan yang lebih tinggi, maka kepedulian terhadap lingkungan juga akan tinggi, sehingga akan menghargai nilai lingkungan menjadi lebih tinggi, demikian juga jika produsen tahu bahwa input kimia dapat mencemari lingkungan dan berbahaya bagi kesehatan menyebabkan produsen mempertimbangkan penggunaannya. Produsen yang seperti ini akan meningkatkan utilitasnya dengan meningkatkan kualitas lingkungan dengan cara mengurangi tingkat pendapatan sampai dengan tingkat yang sama dengan peningkatan nilai lingkungan yang diperoleh. Gejala tersebut menyebabkan terjadinya ketidakadilan karena petani kecil akan menderita lebih banyak dengan pendapatan yang lebih rendah. Sementara petani besar akan mendapat tekanan lingkungan yang lebih rendah dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Analisis Pustaka: Pencemaran lingkungan disebabkan oleh adanya input teknologi untuk intensifikasi pertanian seperti pupuk kimia. Pertumbuhan sektor pertanian yang cepat secara tidak sengaja telah membawa konsekuensi terhadap lingkungan. Bahan kimia pertanian dan pestisida telah mencemari lingkungan karena penggunaannya yang berlebih (pemborosan) disebabkan petani mendapat subsidi yang besar. Petani akan berusaha mencapai keuntungan maksimum dengan keterbatasan anggaran. Anggaran yang tersedia berasal dari keuntungan yang diperoleh dari usahatani yang mereka usahakan. Keadaan ini menyebabkan kegiatan ekonomi (produksi dan konsumsi) mengarah pada eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan yang tidak berorientasi kelestarian. Petani berlahan sempit (miskin) diduga merupakan 14 produsen yang tidak memedulikan lingkungan karena masih perlu mencukupi kebutuhannya. Petani yang berlahan luas (kaya) memedulikan lingkungan karena untuk meningkatkan keuntungan maka perlu keadaan lingkungan yang lebih baik. Dengan demikian, tingkat pendapatan yang rendah pada usaha tani membawa ke arah degradasi lingkungan. Namun, hubungan keduanya tidak dapat secara langsung dikaitkan satu sama lain. Tingkat pendidikan dan pengetahuan menjadi variabel penting di antara keduanya dan seolah menjadi variabel antara yang menjadi penghubung. Di samping itu, tulisan ini belum dilengkapi dengan penjelasan mengenai metode yang digunakan dalam penyusunan tulisan. 6. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Alamat URL/doi Tanggal diunduh : Persepsi Publik Mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kota Semarang : 2012 : Jurnal : Elektronik : Indah Fitri Purwanti, Indah Susilowati : http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jme/article/viewFile/331/333 : 24 September 2014 Ringkasan Pustaka: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat persepsi publik mengenai pengelolaan lingkungan hidup di Kota Semarang.Penelitian dilakukan dengan survei penyebaran kuesioner terhadap masyarakat danwawancara mendalam terhadap key person yang berkompeten dari komponen Akademisi (A), Bussiness (B), Government (G), dan Community (C). Untuk mengetahui tingkat persepsi masyarakat mengenai pengelolaan lingkungan hidupadalah menggunakan pendekatan Pressure-StateResponse (PSR) dengan metode analisis statistik deskriptif dan dengan wawancara mendalam dengan responden key persons (OECD 2001). Definisi operasional pressure (tekanan) yaitu tekanan yang terjadi terhadap lingkungan sebagai akibat dari hasil kegiatan manusia. Kondisi pengelolaan lingkungan (state) yaitu keadaan pengelolan lingkungan sebagai pengaruh dari kegiatan yang dilakukan pada lingkungan dilihat dari kondisi pengelolaan pada ruang terbuka hijau, hutan kota, air permukaan, air tanah, udara, dan pesisir. Respon masyarakat (response) yaitu upaya yang dilakukan untuk menanggulangi dampak terhadap tekanan dan kondisi lingkungan dilihat dari peran serta masyarakat dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup alami. Tekanan (Pressure) Responden diminta untuk memilih apa yang menurut mereka menjadi penyebab dari kerusakan lingkungan dan merupakan tekanan bagi pengelolaan lingkungan. Mereka boleh memilih lebih dari tiga penyebab kerusakan atau tekanan dari tiap indikator atau obyek lingkungan hidup. Berdasarkan persepsi para responden yang paling menjadi tekanan dalam pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah pertumbuhan pemukiman penduduk yaitu sebanyak 92% responden. Pada Pengelolaan Hutan yang paling menjadi tekanan berdasarkan persepsi masyarakat antara lain pertumbuhan pemukiman penduduk. Pertumbuhan jumlah penduduk berdampak pada pertumbuhan pemukiman penduduk, pembangunan kota dan kegiatan industri untuk 15 menunjang kebutuhan masyarakat, penduduk di Kota Semarang sekarang ini cenderung untuk membangun wilayah permukiman yang mengarah ke daerah dataran tinggi yaitu kawasan hutan yang berada di kawasan Selatan dan Barat Kota Semarang yang tentu saja akan mengurangi luas hutan dan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Sampah dan limbah rumah tangga, aktivitas industri, pertumbuhan penduduk, bahan kimia berbahaya, dan kegiatan penangkapan ikan merupakan yang termasuk pada lima besar tekanan terhadap pengelolaan air permukaan berdasarkan persepsi dari para responden. Masyarakat masih membuang sampah dan limbah rumah tangga ke saluran air ataupun ke sungai yang dekat dengan rumah mereka. Kondisi Pengelolaan Lingkungan (State) Berdasarkan wawancara dengan key persons, pengelolaan lingkungan hidup di Kota Semarang dikelola oleh Badan Lingkungan Hidup Kota Semarang, yang mana pengelolaan dilakukan setelah adanya pelaporan atau diketahui terjadi pencemaran pada lingkungan. Respon/Upaya Pengelolaan Lingkungan (Response) Untuk melihat bagaimana upaya yang dilakukan untuk mengelola lingkungan. Responden diminta untuk menilai bagaimanakah upaya pengelolaan yang dilakukan oleh para stakeholder di Kota Semarang. Selama ini peran andil masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup dan tingkat kepatuhan dalam menjaga kelestarian lingkungan masih kurang, hal tersebut dapat diketahui dari masyarakat yang tidak pernah terlibat dalam suatu proyek untuk memperbaiki lingkungan hidup alami, tidak terlibat atau ikut andil dalam proses pembuatan peraturan mengenai pengelolaan lingkungan, tidak berpartisipasi pada kegiatan organisasi lingkungan, atau bahkan menjadi anggota suatu kelompok atau organisasi yang melestarikan lingkungan. Masyarakat pun jarang atau bahkan tidak pernah memperoleh informasi mengenai pengelolaan lingkungan. Analisis Pustaka: Masalah sampah dan limbah rumah tangga, aktivitas industri, pertumbuhan penduduk, bahan kimia berbahaya, dan kegiatan penangkapan ikan merupakan penyebab dari kerusakan lingkungan di Kota Semarang. Perilaku masyarakat Kota Semarang dalam menjaga kelestarian lingkungannya masih kurang ramah dan peduli. Informasi mengenai pengelolaan lingkungan pun kurang mereka dapatkan. Masyarakat masih membuang sampah dan limbah rumah tangga ke saluran air ataupun ke sungai yang dekat dengan rumah mereka. Dengan demikian, perilaku dan pengetahuan masyarakat mempengaruhi kelestarian lingkungannya. 16 7. Judul Tahun Jenis Pustaka : Aspek Tindakan dan Perilaku dalam Kemiskinan: Studi Pada Masyarakat Nelayan Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat : 2011 : Jurnal Bentuk Pustaka Nama Penulis Alamat URL/doi : Elektronik : Syahrizal, Sri Meiyenti, Rinaldi Ekaputra : http://ejournal.fip.unp.ac.id/index.php/humanus/article/view /483/405 Tanggal diunduh : 13 Oktober 2014 Ringkasan Pustaka: Penelitian ini menggunakan pendekatan ilmu antropologi dengan titik tekan pada kajian yang fokus pada pemahaman perilaku manusia dari sudut pandang pelaku. Tipe dasar penelitian ini adalah etnografis, dan dengan memperhatikan aspek yang menyeluruh dari fenomena yang terjadi (holistik). Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif. Lokasi penelitian ini adalah Nagari Painan dan Nagari Ampang Pulai di Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat. Akan tetapi, jumlah responden penelitian tidak dipaparkan dalam tulisan. Sebenarnya struktur sosial nelayan memiliki stratifikasi berdasarkan jenis pekerjaan dan kepemilikan kapal atau alat tangkap ikan. Stratifikasi itu berdasarkan jenis atau cara menangkap ikan, pemilikan alat tangkap, dan kedudukan dalam kapal bagan penangkap ikan. Pemilik kapal bagan yang memiliki anak buah dan menempatkannya sebagai induk semang atau juragan berada pada stratifikasi yang paling tinggi. Kemudian nelayan dengan jenis pekerjaan pancing, pukat, jaring dan anak buah kapal bagan bisa dikatakan berada pada posisi stratifikasi yang sama karena pendapatan mereka dan kondisi kehidupan mereka hampir sama, yakni berada pada posisi tertinggi. Sementara pada posisi menengah adalah tungganai. Tungganai disebut juga dengan kapten kapal merupakan kepercayaan pemilik kapal atau induk semang. Selain itu tungganai juga mempunyai pengalaman yang lebih, seperti mempunyai pengetahuan tentang lokasi-lokasi ikan, mempunyai pengetahuan mengenai musim ikan dan cuaca, mempunyai jiwa kepemimpinan, mempunyai sikap yang rajin dan ulet serta memiliki kekuatan magis, jadi menurut nelayan tidak sembarang orang bisa jadi tungganai. Masyarakat tradisional yang mata pencahariannya sangat terikat dengan tantangan alam yang keras biasanya mereka memiliki sistem kepercayaan yang berhubungan dengan sistem mata pencaharian mereka. Mereka menghubungkan perilaku dan sikap mereka dengan hal-hal gaib untuk menghindari kemalangan atau malapetaka yang mungkin akan menimpa mereka sewaktu mereka bekerja. Kepercayaan juga berhubungan dengan hasil tangkapan yang sedikit atau tidak mendapatkan ikan setelah beberapa kali turun ke laut. Hal yang Mendasari Tindakan Nelayan Miskin Masyarakat nelayan yang hidup dari mencari ikan di pantai mengalami kemiskinan. Umumnya tidak memiliki motivasi untuk mengubah kehidupan mereka, mereka menjadi pasrah terhadap keadaan yang mereka alami. Kebanyakan mereka menjawab kalau ditanya kenapa mereka tidak ingin mengubah nasib mereka sendiri, mereka menjawab bahwa itu sudah merupakan nasib yang harus mereka terima. 17 Latar belakang keluarga mereka diantaranya menjadi penyebab bahwa mereka tidak memiliki motivasi yang tinggi untuk meningkatkan taraf hidup mereka ke arah yang lebih baik. Buruh nelayan atau nelayan miskin yang bekerja sendiri umumnya berasal dari keluarga yang miskin juga walaupun tidak semuanya berasal dari keluarga nelayan. Mereka yang berasal dari keluarga nelayan adalah anak-anak hidup dalam kemiskinan sejak kecil. Mereka tidak mendapat pendidikan yang memadai atau layak. Umumnya nelayan miskin juga berasal dari keluarga miskin. Kondisi kehidupan di lingkungan keluarga seperti ini mendasari sikap dan pola perilaku mereka yang berakibat mereka tidak mampu mengubah kondisi kehidupan mereka ke arah yang lebih baik. Tujuan Hidup Nelayan Miskin Walaupun motivasi nelayan kurang untuk maju, tetapi sebenarnya harapan mereka untuk kehidupan yang lebih baik tetap ada. Dari wawancara-wawancara dengan mereka, mereka selalu mengharapkan kehidupan mereka lebih baik dari sekarang. Pendapatan nelayan bukanlah pendapatan yang teratur dan banyak, mereka memperoleh pendapatan tergantung dari hasil tangkapan ikan di laut, kadang-kadang banyak dan di lain waktu sedikit dan bahkan bisa tidak mendapatkan apa-apa sama sekali. Walaupun pendapatan yang mereka peroleh sekali-sekali banyak mereka tetap tidak bisa menabung. Hal ini disebabkan oleh karena uang itu untuk membayar hutang-hutang mereka sebelumnya ketika musim paceklik ikan. Analisis Pustaka: Fenomena kemiskinan pada nelayan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang pada akhirnya mempengaruhi tindakan dan motivasi mereka dalam kehidupan. Nelayan miskin yang bekerja sendiri umumnya berasal dari keluarga yang miskin juga sehingga mereka tidak mendapat pendidikan yang layak. Mereka bekerja sehari penuh dan jarang sekali waktu luang digunakan untuk bekerja pada bidang lain. Waktu mereka banyak tersita di laut. Motivasi mereka untuk maju pun rendah walaupun sebenarnya harapan mereka untuk kehidupan yang lebih baik tetap ada. Selain itu kemiskinan nelayan dipengaruhi juga oleh kurangnya sumberdaya pendukung ekonomi seperti lahan, dan kurangnya kemauan untuk memanfaatkan peluang yang ada. 8. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Alamat URL/doi Tanggal diunduh : Analisis Faktor-Faktor Kekumuhan Kawasan Permukiman Pesisir Tradisional (Studi Kasus: Desa Bajo Kecamatan Tilamuta, Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo) : 2014 : Jurnal : Elektronik : Dhea M. Damisi, Veronica A. Kumurur dan Rieneke L. E. Sela : http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/SABUA/article/do wnload/5282/4795 : 13 Oktober 2014 Ringkasan Pustaka: Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kekumuhan di kawasan permukiman Desa Bajo Kecamatan Tilamuta Kabupaten 18 Boalemo Provinsi Gorontalo dan menganalisis faktor-faktor dominan kekumuhan di kawasan tersebut. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Data primer diperoleh dari hasil survei lapangan yang dilakukan saat berada di kawasan permukiman Desa Bajo. Obsevasi dilakukan melalui cara pengamatan langsung di lokasi penelitian. Wawancara untuk mengumpulkan data secara langsung serta melalui kuisioner. Dokumentasi dengan cara merekam potret objek terkait dan aktifitas di kawasan permukiman Desa Bajo. Kawasan permukiman merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Di Indonesia hal paling kompleks yang timbul dari masalah permukiman ini yakni tumbuh dan menjamurnya kawasan permukiman-permukiman kumuh yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia baik itu kota maupun kabupaten. Keberadaan permukiman kumuh meskipun tidak dikehendaki namun harus kita akui bahwa, keberadaannya sulit untuk dihindari dalam perkembangan suatu wilayah baik kota maupun kabupaten. Di Indonesia hal paling kompleks yang timbul dari masalah permukiman ini yakni tumbuh dan menjamurnya kawasan permukiman-permukiman kumuh yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia baik itu kota maupun kabupaten. Keberadaan permukiman kumuh meskipun tidak dikehendaki namun harus kita akui bahwa, keberadaannya sulit untuk dihindari dalam perkembangan suatu wilayah baik kota maupun kabupaten. Kawasan permukiman tradisional Suku Bajo merupakan salah satu kawasan permukiman yang teridentifikasi sebagai permukiman kumuh. Kearifan lokal Suku Bajo pada umumnya yang hidup berdampingan dengan laut, untuk tetap menjaga kekayaan laut itu sendiri, tidak terlihat lagi di kawasan permukiman Suku Bajo Tilamuta. Prinsip hidup, kebudayaan, dan tradisi Suku Bajo yang perlahan luntur, terlihat di Suku Bajo Tilamuta karena tidak bisa menjaga ekosistem laut dan tidak berlaku ramah kepada laut yang menjadi pendamping hidup mereka. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor penyebab kekumuhan di kawasan permukiman Desa Bajo adalah: Lokasi, kependudukan, kondisi bangunan hunian, kondisi prasarana dan sarana dasar, dan kondisi sosial ekonomi. Kelima aspek tersebut menjadi faktor penyebab kekumuhan di Desa Bajo karena berdasarkan analisis untuk identifikasi kawasan permukiman kumuh, kelimanya memiliki andil dalam setiap kekumuhan yang terjadi dari setiap indikatornya. Pada hakikatnya, Suku Bajo memiliki tradisi yang sudah dipegang teguh oleh para leluhur. Tradisi tersebut merupakan pantangan bagi Suku Bajo, yang memiliki tujuan sangat baik untuk tetap menjaga kelestarian laut walaupun mereka hidup dan tinggal di laut. Namun hal ini tidak terlihat lagi di kawasan permukiman Desa Bajo Tilamuta. Hal yang menjadi tradisi tersebut yang tujuannya adalah untuk menjaga ekosistem laut dan kelestarian pesisir laut, berbanding terbalik dengan keadaan Desa Bajo Tilamuta. Ditunjukkan dengan dengan terindentifikasinya faktor-faktor kekumuhan di kawasan permukiman Desa Bajo Tilamuta. Tradisi yang di emban para leluhur, mulai memudar sedikit demi sedikit, karena aspek modernitas yang mulai masuk di kawasan permukiman Desa Bajo Tilamuta. Analisis Pustaka: Lingkungan permukiman kumuh digambarkan dengan lingkungan permukiman yang kondisi tempat hunian yang berdesakan, jumlah penghuni yang tidak sebanding dengan luas rumah, lingkungan dan tata permukimannya tidak teratur, prasarana kurang, 19 dan fasilitas sosial kurang. Faktor kondisi sosial ekonomi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kekumuhan di kawasan permukiman Desa Bajo Kecamatan Tilamuta Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo. Tingkat kemiskinan, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan merupakan indikator yang terdapat pada aspek kondisi sosial ekonomi ini. Kondisi sosial ekonomi masyarakat akan menentukan kualitas dari suatu kawasan permukiman. Di samping itu, Suku Bajo memiliki sebuah tradisi yang tujuannya untuk menjaga ekosistem laut dan kelestarian pesisir. Tradisi ini mempengaruhi perilaku mereka dalam memanfaatkan alam sekitar. Tradisi yang memudar karena modernisasi mempengaruhi kekumuhan kawasan permukiman mereka. 9. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Alamat URL/doi Tanggal diunduh : Antara Merusak dan Memanfaatkan Hutan Mangrove pada Masyarakat Pesisir (Studi Etnosains pada Hutan Bakau di Masyarakat Pesisir Desa Pematang Pasir, Lampung) : 2013 : Jurnal : Elektronik : Wawang Ardianto, Erna Rochna : http://publikasi.fisip.unila.ac.id/index.php/sosiologi/articl e/viewFile/186/193 : 29 September 2014 Ringkasan Pustaka: Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi apakah yang dilakukan oleh masyarakat terhadap hutan mangrove merupakan hal yang wajar atau pengrusakan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan datanya adalah dengan wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi. Sayangnya pada jurnal ini tidak disebutkan jumlah respondennya. Dengan meningkatnya jumlah warga di wilayah pesisir ditambah kurangnya kreativitas, minimnya pendidikan, dan rendahnya kesadaran ramah lingkungan menambah tingginya tingkat kepentingan dalam mengelola hutan mangrove secara berlebihan yang menimbulkan kerusakan dan berdampak pada masalah kemiskinan (Yulianto 2009). Munculnya masalah kemiskinan dan kerusakan hutan mangrove nampaknya menjadi dasar bagi pemerintah untuk mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan masalah pengelolaan sumberdaya alam pesisir. Etnosains: Memanfaatkan, Merusak dan Melestarikan? Manusia dan lingkungan memiliki hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Hubungan antara manusia dan lingkungan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah kebudayaan manusia itu sendiri. Lingkungan mempunyai arti penting bagi manusia. Melalui lingkungan fisik manusia dapat menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan materialnya, dengan lingkungan biologis manusia dapat memenuhi jasmaninya, dan dengan lingkungan sosialnya manusia dapat memenuhi kebutuhan spiritualnya. Bagi manusia, lingkungan dipandang sebagai tempat beradanya manusia dalam melakukan segala aktivitas sehari-hari, lingkungan tempat beradanya manusia menentukan seperti apa bentuk manusia di dalamnya. Karena itu, jika dikaitkan dengan harapan atas terciptanya manusia, semakin baik lingkungan tempat beradanya manusia maka semakin besar kemungkinan manusia yang ada didalamnya untuk 20 berperilaku baik, kondisi serupa dapat terjadi pada ilustrasi sebaliknya. Oleh karena itu lingkungan memiliki arti yang sangat penting atas eksistensi manusia. Peneliti melihat bahwa manusia merupakan makhluk yang paling dominan mempengaruhi lingkungannya karena dengan cara sadar mereka mengubah lingkungan sesuai dengan kebutuhannya. Informan yang memanfaatkan hutan mangrove di Desa Pematang Pasir tahu bahwa apa yang mereka lakukan sangat dilarang dan mereka tahu hutan mangrove menjadi seperti ini karena ulah kebiasaan memanfaatkan hutan mangrove. Para informan tertarik pada keuntungan pasca panen tambak tanpa dibarengi pelestarian secara nyata. Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove Desa Pematang Pasir tidak lagi memiliki kearifan lokal terhadap lingkungannya. Masyarakat pernah ikut serta untuk menanam bibit pohon mangrove namun berhenti semangatnya karena keterbatasan yang masyarakat miliki. Lingkungan yang menjadi tempat tinggal oleh warga Desa Pematang Pasir adalah ekosistem hutan mangrove. Menurut masyarakat, hutan mangrove adalah tempat yang cocok bagi tempat mereka tinggal. Mereka tinggal di tempat ini demi memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti, menjaring ikan, menangkap kepiting, dan bertambak. Lingkungan tempattinggal yang berdekatan dengan hutan mangrove membuat sebagian besar warga memanfaatkannya sudah bertahun-tahun yang lalu.Kebiasaan menebang pohon dan membuka lahan dilakukan bertahun-tahun seperti sudah menjadi suatu budaya yang sulit untuk dihilangkan. Budaya seperti ini membuat hutan mangrove menjadi gundul. Warga yang memanfaatkan hutan mangrove seolah tidak peduli lagi dengan konsep lestari dan hijau. Kondisi sosial masyarakat dan pemerintah desa yang tidak saling berkomunikasi menyurutkan semangat warga untuk terus menanam pohon mangrove. Analisis Pustaka: Pemanfaatan hutan mangrove oleh warga Desa Pematang Pasir, Lampung sudah dilakukan selama bertahun-tahun sehingga tingkat degradasi lingkungan semakin tinggi pada ekosistem mangrove ini. Bentuk pemanfaatan berupa konversi ekosistem mangrove untuk permukiman, tambak, dan pengambilan kayu. Lingkungan yang menjadi tempat tinggal warga desa adalah ekosistem hutan mengrove yang mereka anggap cocok untuk mereka diami. Mereka tinggal di tempat ini demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Masyarakat memanfaatkan mangrove sebagai sumber penghasilan. Faktor sosial ekonomi inilah yang mendorong masyarakat untuk lebih bersifat eksploitatif terhadap lingkungan (melakukan penebangan mangrove sampai gundul). Pada akhirnya kegiatan pemenuhan kebutuhan ini tidak memedulikan konsep lestari dan hijau lagi. Dengan demikian, semakin terdesaknya masyarakat secara ekonomi akan mendorong eksploitasi yang lebih besar lagi pada hutan mangrove di daerah pesisir khususnya di Desa Pematang Pasir, Lampung. 21 10. Judul Tahun Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Alamat URL/doi Tanggal diunduh : Kajian Ekonomi Rumah Tangga Nelayan Payang di Selat Madura, Jawa Timur : 2012 : Jurnal : Elektronik : Mimit Primyastanto, Semarno, Anthon Efani, Sahri Muhammad : http://www.wacana.ub.ac.id/index.php/wacana/article/view/2 53 : 13 Oktober 2014 Ringkasan Pustaka: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis: (1) Karakteristik nelayan pada alat tangkap payang di Selat Madura, (2) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendapatan melaut pada ekonomi rumah tangga nelayan, (3) Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai pengeluaran pada ekonomi rumah tangga nelayan, (4) Peluang kemiskinan akibat faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan nelayan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan teknik simple random sampling dengan jumlah sampel tidak diketahui. Pemanfaatan sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut (tangkap) sampai saat ini masih didominasi oleh usaha perikanan rakyat yang umumnya memiliki karakteristik skala usaha kecil, aplikasi teknologi yang sederhana, jangkauan penangkapan yang terbatas di sekitar pantai dan produktivitas yang relatif masih rendah (Muhammad 2002). Produktivitas nelayan yang rendah umumnya diakibatkan oleh rendahnya keterampilan dan pengetahuan serta penggunaan alat penangkapan maupun perahu yang masih sederhana sehingga efektivitas dan efisiensi alat tangkap dan penggunaan faktor-faktor produksi lainnya belum optimal. Keadaan ini sangat berpengaruh terhadap pendapatan yang diterima oleh nelayan dan pada akhirnya mempengaruhi pula tingkat kesejahteraannya (Ginting 2010). Pendidikan pada rumah tangga nelayan responden, persentase terbesar 63,64% pada tingkat SD. Tidak semua nelayan pada tingkat pendidikan tersebut lulus atau tamat. Ada beberapa responden yang hanya bersekolah sampai kelas 4 atau kelas 5. Faktor tidak adanya atau kekurangan biaya merupakan masalah yang masih sering ditemui saat itu, selain hal tersebut dari hasil wawancara dengan responden bahwa pendidikan bukan hal yang utama karena bagi mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup lebih penting (Purwono 1991). Sehingga motivasi mereka untuk melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi masih sangat minim. Karakteristik nelayan yang menggunakan alat tangkap payang di pulau Gili berdasarkan umur sekitar 39,39% pada umur 41-50 tahun, sedangkan tingkat pendidikan nelayan didominasi pada tingkat sekolah dasar (SD) dengan persentase 63,64%. Berdasarkan pengalaman melaut, sekitar 39,4% pada kisaran 21-30 tahun sedangkan untuk jumlah anggota keluarga nelayan didominasi tidak lebih dari tiga orang dengan persentase 54,55%. Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap pendapatan melaut secara statistik adalah pendidikan nelayan, pengalaman melaut, dan daya mesin. Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan secara statistik terhadap 22 pengeluaran rumah tangga nelayan adalah jumlah anggota rumah tangga. Faktor-faktor yang mempengaruhi peluang kemiskinan nelayan adalah umur nelayan, pendidikan nelayan sebagai kepala keluarga, dan pengalaman melaut. Analisis Pustaka: Aspek produktivitas nelayan yang rendah umumnya diakibatkan oleh rendahnya keterampilan dan pengetahuan serta penggunaan alat penangkapan dan perahu yang masih sederhana. Oleh karena itu, efektivitas dan efisiensi alat tangkap dan penggunaan faktor-faktor produksi lainnya belum optimal. Keadaan ini sangat berpengaruh terhadap pendapatan yang diterima oleh nelayan dan pada akhirnya mempengaruhi pula tingkat kesejahteraannya. Faktor pendidikan menjadi faktor yang mempengaruhi pendapatan melaut dan peluang kemiskinan. Dengan demikian dapat dilihat hubungan erat antara pendidikan dengan tingkat pendapatan dan kemiskinan pada nelayan. Ternyata pengetahuan dan keterampilan menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya pendapatan nelayan sehingga kemiskinan tetap melanda kehidupan mereka. Penelitian ini hanya menjawab satu dari tiga tujuan penulisan yang diajukan dalam penulisan studi pustaka ini yaitu kajian mengenai kemiskinan nelayan di pesisir. RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN Kelestarian Lingkungan Definisi Kelestarian dan Lingkungan Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kelestarian berasal dari kata lestari yang berarti tetap seperti keadaannya semula, bertahan, dan kekal. Kelestarian adalah keadaan yang tetap seperti semula atau keadaan yang tidak berubahubah. Lebih lanjut menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyatakan bahwa asas kelestarian dan keberlanjutan adalah bahwa setiap orang memikul kewajiban dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang dan terhadap sesamanya dalam satu generasi dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Lingkungan adalah suatu sistem kompleks yang berada di luar individu yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organisme (Anshoriy dan Sudarsono 2008). Menurut UU Nomor 23 Tahun 1997 lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Kelestarian lingkungan adalah keadaan yang tetap seperti keadaan semula dan terjaga dalam suatu lingkungan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya dari generasi ke generasi. Masalah Lingkungan di Daerah Pesisir Menurut Indrawan et al. (2007), pesisir dan lautan di Indonesia tak luput dari ancaman. Indonesia mempunyai salah satu hutan bakau yang terluas di dunia yaitu sekitar 4,25 juta ha sebelum tahun 1969. Antara tahun 1969 sampai 1980, sekitar 1 juta telah dirusak (Berwick 1989 dalam Indrawan et al. 2007). Indrawan et al. (2007) menegaskan hampir seluruhnya dikonversi untuk keperluan pertanian yaitu padi dan perikanan seperti pembuatan tambak ikan dan udang. Hingga tahun 1997 saja, kira-kira 41% terumbu karang di Indonesia dalam kondisi menyedihkan, 20% telah menurun, sementara 34% dalam keadaan baik, dan hanya 5% dalam kondisi alami. Penangkapan (pemancingan) menggunakan bahan peledak atau racun (terutama sianida dan potas) adalah satu faktor utama penurunan terumbu karang. Pertumbuhan penduduk yang cukup pesat dengan kebutuhan ekonomi yang semakin mendesak, dalam kurun waktu 30 tahun terakhir ini ekosistem terumbu karang telah mengalami overeksploitasi dan degradasi akibat penggunaan metode penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (Burhanuddin et. al 2013). Hasil penelitian Fany et al.(2012) menemukan bentuk-bentuk eksploitasi terumbu karang oleh masyarakat yang sebagian besar peruntukannya untuk kegiatan pembangunan dan ornamen. Di samping itu, perilaku masyarakat dalam menebang mangrove disebabkan oleh rendahnya pendapatan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan rendahnya pengetahuan mereka akan pentingnya ekosistem laut. Hutan-hutan mangrove dibabat habis demi ambisi membangun perumahan mewah, pusat industri dan pusat-pusat ekonomi. Habitat-habitat yang seharusnya diperuntukkan bagi spesies (biota) laut semakin sempit (Susilo 2008). Selain masalah pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir di atas, masalah lingkungan yang muncul pada masyarakat pesisir adalah permukiman kumuh. Damisi et al. (2014) menjelaskan permukiman kumuh merupakan kawasan permukiman yang mengalami penurunan kualitas baik secara fisik maupun sosial, ekonomi, dan juga 24 budaya masyarakat. Keberadaan permukiman kumuh meskipun tidak dikehendaki namun harus diakui bahwa keberadaanya sulit dihindari dalam perkembangan wilayah baik kota maupun kabupaten. Perkembangan wilayah yang ditandai dengan dengan pembukaan lahan-lahan permukiman tidak sebanding dengan pertumbuhan penduduk sehingga lahan yang tidak seharusnya dialokasikan untuk permukiman dimanfaatkan sebagai kawasan permukiman. Pada akhirnya, pembukaan lahan-lahan permukiman ini terkategori dalam permukiman kumuh karena dibangun tanpa fasilitas yang seharusnya. Hasil penelitian Damisi et al. (2014) menemukan banyaknya permukiman kumuh di kawasan pesisir yang memiliki letak tidak jauh dari pusat pemerintahan. Menurut Amir Mahmud (2007) dalam Damisi et al. (2014), lingkungan permukiman di kawasan pesisir pada umumnya merupakan kawasan kumuh dengan tingkat pelayanan akan pemenuhan kebutuhan prasarana dan sarana dasar lingkungan sangat terbatas, khususnya keterbatasan untuk memperoleh pelayanan sarana air bersih, drainase, dan sanitasi serta prasarana dan sarana untuk mendukung pengolahan dan pemasaran hasil perikanan. Salah satu ciri dari permukiman kumuh dapat dilihat dari kondisi sanitasi lingkungannya yang buruk. Menurut Azwar (1990) dalam Siregar (2010), sanitasi merupakan usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada penguasaan terhadap berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan. Lebih lanjut, Siregar (2010) menjelaskan sanitasi lingkungan merupakan hal yang penting, sebab tingkat kesehatan masyarakat berhubungan erat dengan kondisi sosial ekonomi dan lingkungan. Kemiskinan Definisi Kemiskinan Menurut Retnowati (2011), kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Retnowati (2011) lebih lanjut menyatakan bahwa kemiskinan dipahami dalam berbagai caradan pemahaman utamanya mencakup: a. Gambaran kekurangan materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang, perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar; b. Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial, ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat. Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi; c. Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna “memadai” disini sangat berbeda-beda, melintasi bagian politik dan ekonomi di seluruh dunia. Menurut Mulyadi (2005), kemiskinan adalah suatu konsep yang cair, serba tidak pasti dan bersifat multi dimensional. Di sebut cair karena kemiskinan bisa bermakna subjektif, tetapi sekaligus juga bermakna objektif. Secara objektif bisa saja masyarakat tidak dapat dikatakan miskin karena pendapatannya sudah berada di atas batas garis kemiskinan yang diukur misalnya dengan standar kebutuhan beras dan gizi. Namun, apa yang tampak secara objektif tidak miskin bisa saja dirasakan sebagai kemiskinan karena adanya perasaan tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonomi atau bahkan dengan membandingkan dengan kondisi orang lain. 25 Kemiskinan pada Masyarakat Nelayan di Daerah Pesisir Masyarakat nelayan merupakan golongan masyarakat pesisir yang dapat dianggap paling banyak memanfaatkan hasil laut dan potensi lingkungan perairan dan pesisir untuk kelangsungan hidupnya (KMNLH 2005). Menurut Syahrizal et al. (2011), masyarakat nelayan merupakan kelompok masyarakat yang mempunyai kelompok miskin dengan persentase lebih besar, dengan hampir di sepanjang pantai Indonesia hidup keluarga-keluarga nelayan yang hidup dalam kondisi kemiskinan. Penyebab kemiskinan nelayan di Indonesia sangatlah kompleks, mulai penyebab individual, keluarga, subbudaya, agensi bahkan struktural saling berkaitan (Retnowati 2011). Menurut Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (2006) dalam Retnowati (2011), sebab-sebab pokok yang menimbulkan kemiskinan pada nelayan adalah: 1. Belum adanya kebijakan, strategi dan implementasi program pembangunan kawasan pesisir dan masyarakat nelayan yang terpadu di antara para pemangku kepentingan pembangunan. 2. Adanya inkonsistensi kuantitas produksi (hasil tangkapan), sehingga keberlanjutan aktivitas sosial ekonomi perikanan di desa-desa nelayan terganggu. Hal ini disebabkan oleh kondisi sumber daya perikanan telah mencapai kondisi “over fishing”, musim paceklik yang berkepanjangan, dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). 3. Masalah isolasi geografis desa nelayan sehingga menyulitkan keluar-masuk arus barang, jasa, kapital, dan manusia, yang mengganggu mobilitas sosial ekonomi. 4. Adanya keterbatasan modal usaha atau modal investasi, sehingga menyulitkan nelayan meningkatkan kegiatan ekonomi perikanannya. 5. Adanya relasi sosial ekonomi yang “eksploitatif” dengan pemilik perahu, pedagang perantara (tengkulak), atau pengusaha perikanan dalam kehidupan masyarakat nelayan. 6. Rendahnya tingkat pendapatan rumah tangga nelayan, sehingga berdampak negatif terhadap upaya peningkatan skala usaha dan perbaikan kualitas mereka. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Tain (2013) menemukan 15 faktor dominan penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan kecil di wilayah tangkap lebih yaitu faktor kelembagaan yang merugikan nelayan kecil, program yang tidak memihak nelayan kecil, pandangan hidup yang berorientasi akhirat saja, keterbatasan sumberdaya, ketidaksesuaian alat tangkap, rendahnya investasi, terikat utang, perilaku boros, keterbatasan musim penangkapan, kerusakan ekosistem, penyerobotan wilayah tangkap, lemahnya penegakan hukum, kompetisi untuk mengungguli nelayan lain, penggunaan alat/bahan terlarang serta perilaku penangkapan. Dari 15 faktor dominan penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan dapatlah diketahui bahwa pada hakikatnya kemiskinan yang membelenggu rumah tangga nelayan adalah kemiskinan yang menyangkut multidimensi. Menurut Muhammad (2002) dalam Primyastanto et al. (2012), pemanfaatan sumberdaya perikanan, khususnya perikanan laut (tangkap) sampai saat ini masih didominasi oleh usaha perikanan rakyat yang umumnya memiliki karakteristik skala usaha kecil, aplikasi teknologi yang sederhana, jangkauan tangkapan yang terbatas di sekitar pantai dan produktivitas yang relatif masih rendah. Produktivitas nelayan yang rendah umumnya diakibatkan oleh rendahnya keterampilan dan pengetahuan serta penggunaan alat penangkapan maupun perahu yang masih sederhana sehingga efektifitas dan efisiensi alat tangkap dan penggunaan faktor-faktor produksi lainnya belum optimal (Primyastanto et al. 2012). Di samping adanya beberapa penyebab yang dijelaskan di atas, kemiskinan pada masyarakat nelayan memiliki pengelompokan tersendiri. Menurut Tain (2013), 26 kemiskinan pada rumah tangga nelayan setidaknya dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk kemiskinan berdasarkan faktor pembentuknya. Pertama, kemiskinan struktural. Kemiskinan ini diderita oleh segolongan nelayan karena kondisi struktur sosial yang ada menjadikan mereka tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia, juga akibat tatanan kebijakan yang lebih menguntungkan golongan pemilik modal (nelayan besar). Kekuatan-kekuatan di luar rumah tangga nelayan kecil menjadikan mereka terpinggirkan dan hidup dalam belenggu kemiskinan. Jadi persoalannya adalah ketidakmerataan akses pada sumberdaya karena struktur sosial yang ada. Kedua, kemiskinan kultural yang melihat kemiskinan terjadi karena faktor budaya seperti kemalasan yang bersumber pada nilai-nilai lokal yang memang tidak kondusif bagi suatu kemajuan. Kemiskinan ini tidak lepas dari tata nilai yang dianut rumah tangga nelayan yang bersangkutan dalam menjalani hidup. Ketiga, kemiskinan alamiah terjadi di mana kondisi alam yang tidak mendukung mereka melakukan kegiatan ekonomi produktif ataupun perilaku produksi yang tidak produktif akibat sifat sumberdaya yang bersangkutan. Tain (2013) menegaskan bahwa dalam konteks masyarakat nelayan, dapat digambarkan akibat laut dipandang sebagai common property dan akses terbuka menjadikan perikanan laut dieksploitasi secara berlebih bahkan dengan alat dan bahan terlarang. Para nelayan berperilaku untuk saling mendahului dan berupaya memperoleh hasil tangkapan lebih banyak dibanding nelayan lain. Bahkan sebagian dari mereka menggunakan alat atau bahan terlarang tanpa berpikir masalah keberlanjutan sumberdaya ikan yang ada. Sebenarnya, nelayan bukan malas dalam melaut, tetapi ketiadaan peluang yang mempengaruhi pendapatan nelayan. Dari segi bekerja, nelayan miskin tidak bisa dikatakan pemalas, umumnya mereka bekerja sepanjang hari. Mereka pergi melaut setiap hari mulai jam 3 sore dan kembali ke darat jam 6 pagi. Artinya sebagian besar waktu mereka adalah untuk bekerja (Syahrizal et al. 2011). Dengan peluang yang kecil, kompetisi antar nelayan pun terjadi sebagaimana dijelaskan di atas. Di samping itu, posisi tawar nelayan sangat lemah karena mayoritas nelayan telah terikat kepada pedagang perantara (agen) kreditur mereka dan menerima berapapun harga yang diberikan. Nelayan tidak mengetahui harga dan seringkali tidak diberikan pembayaran kontan. Keterbatasan jenis alat tangkap yang dimiliki nelayan kecil pun mempengaruhi hasil tangkapan nelayan. Nelayan kecil tidak mampu menyesuaikan diri untuk bisa menangkap ikan sesuai musim ikan yang ada. Sepanjang tahun alat tangkap yang digunakan sama, sedangkan ikan yang muncul silih berganti sesuai musimnya. Seharusnya nelayan menyesuaikan alat tangkapnya dengan karakteristik ikan yang muncul. Dengan demikian, nelayan kecil tidak dapat melakukan diversifikasi penangkapan ikan karena hal ini membutuhkan keahlian tertentu melalui proses yang panjang dan modal yang cukup besar. Menurut Syahrizal et al. (2011), kemiskinan nelayan ini dilihat dari aspek motivasi mengacu pada cara pandang mereka yang melihat keadaan atau kondisi kehidupan mereka memang miskin karena serba kekurangan, semua serba terbatas, dan tidak ada peluang yang tampak untuk kehidupan yang layak. Adapun hal-hal yang mendasari motivasi nelayan miskin tersebut adalah berkaitan dengan rendahnya sumberdaya manusia, rendahnya sumberdaya pendukung ekonomi, kurangnya kemauan untuk memanfaatkan peluang, dan struktur sosial masyarakat nelayan (Syahrizal et al. 2011). Pandangan hidup rumah tangga nelayan lebih berorientasi pada kehidupan akhirat, sedangkan kehidupan dunia biarlah berjalan apa adanya. Menurut mereka kaya atau miskin itu adalah sesuatu yang dikehendaki tuhan dan akhirnya para nelayan tidak terlalu memikirkan kehidupan mereka. 27 Menurut Tain (2013), wawasan dan pengetahuan para nelayan kecil relatif terbatas sekitar dunia melaut saja, hal-hal di luar pekerjaan sehari-hari tidak mereka ketahui. Hal ini tidak lepas dari tingkat pendidikan mereka yang relatif rendah yang sebagian besar hanya sampai sekolah dasar bahkan tidak lulus. Selain itu, keterampilan kerja para nelayan kecil juga terbatas. Pekerjaan selain menangkap ikan tidak banyak mereka kuasai. Selain karena tingkat pendidikan yang rendah, derajat mobilitas nelayan di daratan yang memungkinkan untuk memperoleh pengalaman baru juga rendah. Rutinitas para nelayan kecil sehari-hari umumnya hanya pergi melaut. Setelah pulang, mereka mengisi waktu istirahat dengan memperbaiki alat tangkap yang rusak, tidur pada malam hari selanjutnya melaut lagi. Ternyata, nelayan kecil tidak hanya terbatas pada sumberdaya manusia saja, tetapi juga pada sumberdaya modal keuangan yang tidak memadai. Modal keuangan yang dimiliki rumah tangga nelayan kecil terbatas dan bahkan sebagian dari mereka sama sekali tidak punya. Keterbatasan kepemilikan aset merupakan ciri umum masyarakat miskin nelayan yang tergambar dari kondisi rumah, alat-alat rumah tangga yang sederhana, lingkungan tempat tinggal yang kumuh serta terlilit utang. Nelayan kecil umumnya merupakan kelompok masyarakat termiskin dan menjadi nelayan dalam waktu yang relatif lama dengan tingkat pendapatan yang tidak pasti. Ini terjadi karena menjadi seorang nelayan tidaklah semata sebagai mata pencaharian (livelihood), tetapi sudah merupakan satu-satunya jalan hidup (way of life). Keterbatasan kemampuan sosial ekonomi menyebabkan rendahnya investasi di kalangan nelayan kecil sehingga turut mempengaruhi kondisi kemiskinan mereka. Pola penerimaan rumah tangga yang bersifat harian dengan jumlah yang tidak banyak cenderung menjadikan penghasilan di satu hari habis untuk segala keperluan di hari tersebut. Mereka berpikir bahwa besok masih bisa dapat penghasilan lagi dari menangkap ikan, padahal hasil tangkap ikan belum pasti ada. Apalagi alat tangkap mereka tidak sesuai dengan musim. Saat nelayan kecil tidak memperoleh tangkapan ikan, mereka justru mengandalkan utang yang kemudian akan dibayar saat hasil tangkapan ikan melimpah. Keadaan demikian menjadikan tingkat investasi pada nelayan kecil rendah. Di sisi lain, keadaan ini juga memicu perilaku boros karena berapapun yang diperoleh dari hasil melaut banyak dihabiskan di hari tersebut atau hanya beberapa hari. Perilaku Masyarakat Nelayan di Lingkungan Pesisir Menurut Mulyadi (2005), aktivitas perekonomian utama yang menimbulkan permasalahan pengelolaan sumberdaya dan lingkungan wilayah pesisir dan lautan, yaitu (1) perkapalan dan transportasi (tumpahan minyak, limbah padat dan kecelakaan); (2) pengilangan minyak dan gas (tumpahan minyak, pembongkaran bahan pencemar, konversi kawasan pesisir); (3) perikanan (over fishing, pencemaran pesisir, pemasaran dan distribusi, modal dan tenaga/keahlian); (4) budi daya perairan (ekstensifikasi dan konversi hutan); (5) pertambangan (penambangan pasir dan terumbu karang); (6) kehutanan (penebangan dan konversi hutan); (7) industri (reklamasi dan pengerukan tanah); dan (8) pariwisata (pembangunan infrastruktur dan pencemaran air). Kaitannya dengan perilaku masyarakat nelayan dalam hubungannya dengan lingkungan ini, Tain (2013) dalam penelitiannya menyatakan: “...Semakin langkanya sumberdaya ikan, justru disikapi oleh sebagian nelayan dengan menggunakan alat atau bahan terlarang yang dapat mengancam kelestarian ikan. Mereka beralasan jika tidak menggunakan alat atau bahan terlarang tersebut, tidak akan bisa mendapat hasil tangkapan ikan dan kebutuhan rumah tangga mereka tidak terpenuhi, disamping itu ikan di laut tidak akan habis. Nelayan miskin memang sebagai agen sekaligus korban dari kerusakan ekosistem laut yang dapat mengancam kelestarian sumberdaya ikan. Tekanan terhadap sumber 28 daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula menjadi lingkaran karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pula yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Kondisi tersebut tidak mengherankan jika praktek perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir. ...” Penggunaan alat tangkap dan bahan terlarang memicu langkanya sumberdaya ikan yang ada sehingga merusak ekosistem laut. Kelangkaan ini selanjutnya mengakibatkan terancamnya mata pencaharian masyarakat nelayan (Tain 2013). Menurut Fany et al. (2012), sumber pendapatan masyarakat nelayan dapat terancam oleh karena rusaknya daya dukung ekosistem perairan terhadap keberadaan sumberdaya ikan, akibat pola penangkapan yang ilegal dan destruktif. Dengan demikian, sumberdaya ikan yang semakin langka karena rusaknya ekosistem laut menyebabkan pendapatan para nelayan kecil sehingga memberi imbas pada kemiskinan mereka. Di sisi lain, kemiskinan yang menimpa masyarakat nelayan menyebabkan perilaku eksploitatif dan tidak ramah lingkungan. Hal ini merupakan persoalan yang dilematis bagi kehidupan nelayan yaitu antara memanfaatkan sumberdaya laut dan pesisir yang cenderung merusak atau menjaga kelestariannya. Di samping itu, Tain (2013) menerangkan masuknya nelayan luar daerah menyebabkan semakin tersingkirnya nelayan setempat. Pendapatan hasil melaut nelayan lokal semakin menurun sehingga memicu penggunaan alat tangkap yang mampu menuai hasil tangkapan yang lebih banyak. Aspek perilaku masyarakat nelayan berhubungan dengan sistem kepercayaan yang dianut oleh nelayan. Berdasarkan hasil penelitian Syahrizal et al. (2011), masyarakat nelayan tradisional yang mata pencahariannya sangat terikat dengan tantangan alam yang keras biasanya mereka memiliki sistem kepercayaan yang berhubungan dengan sistem mata pencaharian mereka, mereka menghubungkan perilaku dan sikap mereka dengan hal-hal gaib untuk menghindari kemalangan atau malapetaka yang mungkin akan menimpa mereka sewaktu mereka bekerja. Pada sisi lain, latar belakang keluarga nelayan miskin yang bekerja sendiri umumnya berasal dari keluarga yang miskin juga walaupun tidak semuanya berasal dari keluarga nelayan. Hal ini mempengaruhi rendahnya motivasi untuk meningkatkan taraf hidup menuju arah yang lebih baik. Kondisi seperti ini mendasari sikap dan pola perilaku pada masyarakat nelayan (Syahrizal et al. 2011). Menurut Fany etal.(2012) perilaku destruktif sebagai penyebab kerusakan sumberdaya alam hayati di daerah pesisir dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pengetahuan. Tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya sanitasi lingkungan permukiman yang sehat mempengaruhi aspek perilaku ramah lingkungan sehingga berpengaruh pada lingkungan tempat tinggal mereka (Siregar 2010). Di sisi lain, latar belakang pendidikan mempengaruhi pola mata pencaharian penduduk. Umumnya tingkat pendidikan yang rendah hanya menyediakan peluang bekerja di sektor informal seperti pedagang, buruh bangunan, buruh panggul dan serabutan, serta nelayan. Hal ini berdampak pada kemampuannya dalam memenuhi dan mengakses sarana dan prasarana yang tersedia. Menurut Siregar (2010), rendahnya kemampuan ekonomi menjadi pendorong kebiasaan masyarakat berperilaku tidak ramah lingkungan. Masyarakat dengan taraf ekonomi rendah tidak memiliki kemampuan lebih untuk menyediakan prasarana sanitasi di rumah masing-masing, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun sulit. SIMPULAN Hasil Rangkuman dan Pembahasan Masalah lingkungan merupakan masalah moral dan persoalan perilaku manusia. Konsekuensi logis dari keberadaan manusia adalah persinggungannya dengan alam untuk memenuhi kebutuhan mereka. Lingkungan hidup meliputi sumberdaya alam yang memiliki kemampuan untuk pulih, namun oleh karena tekanan aktivitas manusia yang semakin menguat dibanding laju pemulihan sumberdaya alam yang lambat maka akan terjadi degradasi bahkan kerusakan sumberdaya alam yang semakin cepat. Tekanan penduduk apabila tidak sebanding dengan ketersediaan sumberdaya alam tentu saja akan memperlambat pemulihan sumberdaya alam. Di samping itu, kekeliruan pengelolaan lingkungan akan berdampak fatal pada kerusakan lingkungan yang berkepanjangan hingga tanpa dapat diperbaiki lagi dalam jangka panjang. Indonesia sebagai negara yang memiliki pesisir dan lautan yang luas tak luput dari ancaman degradasi lingkungan. Fenomena degradasi lingkungan ini ditunjukkan dengan pemanfaatan hutan mangrove untuk pertanian dan perikanan serta untuk keperluan pembangunan. Terumbu karang mengalami kerusakan karena penangkapan (pemancingan) menggunakan bahan peledak atau racun (terutama sianida dan potasium). Belum lagi pemanfaatannya sebagai bahan bangunan dan ornamen menambah semakin tergerusnya sumberdaya ini. Di samping itu, keberadaan permukiman kumuh termasuk dalam masalah lingkungan di daerah pesisir. Lingkungan permukiman di kawasan pesisir pada umumnya merupakan kawasan kumuh dengan tingkat pelayanan akan pemenuhan kebutuhan prasarana dan sarana dasar lingkungan sangat terbatas, khususnya keterbatasan untuk memperoleh pelayanan sarana air bersih, drainase, dan sanitasi serta prasarana dan sarana untuk mendukung pengolahan dan pemasaran hasil perikanan. Masyarakat nelayan merupakan golongan masyarakat pesisir yang dapat dianggap paling banyak memanfaatkan hasil laut dan potensi lingkungan perairan dan pesisir untuk kelangsungan hidupnya. Di sisi lain, masyarakat nelayan merupakan kelompok masyarakat yang mempunyai kelompok miskin dengan persentase cukup besar, dengan hampir di sepanjang pantai Indonesia hidup keluarga-keluarga nelayan dalam kondisi kemiskinan. Hubungan antara kemiskinan dan lingkungan sangat kompleks dan memerlukan pendekatan analisis yang spesifik pada lokasi. Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan ini di wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula menjadi “lingkaran setan” karena penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pula yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Bentuk pemanfaatan yang tidak mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan menjadi ancaman sumber perekonomian masyarakat nelayan sendiri. Sebagai masyarakat yang sebagian besar merupakan masyarakat miskin (bahkan di bawah tingkat perekonomian petani), masyarakat nelayan sering mengalami keterdesakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ancaman dari nelayan lain dengan teknologi penangkapan canggih disertai dengan kapal-kapal besar sulit dihindari. Pada akhirnya, kelompok masyarakat nelayan merasa tidak memiliki alternatif lain untuk mempertahankan hidup, mereka sering melibatkan dirinya dengan cara-cara yang tidak terpuji, seperti menggunakan peledak, bahan-bahan beracun, dan lain-lain hanya untuk menangkap ikan yang lebih banyak. Kerusakan lingkungan pesisir tidak terlepas dari perilaku masyarakat nelayan dalam mengelola lingkungan sekitarnya. Perilaku masyarakat nelayan berhubungan dengan kepercayaan, rendahnya sumberdaya manusia, 30 rendahnya sumberdaya pendukung ekonomi, kurangnya kemauan untuk memanfaatkan peluang, dan struktur sosial masyarakat nelayan. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi Kelestarian lingkungan merupakan suatu kondisi yang tetap seperti keadaan semula dan bertahan pada lingkungan. Kelestarian lingkungan berhubungan erat dengan keseimbangan tata ekologis. Keseimbangan ini terancam dengan adanya pemanfaatan yang bersifat eksploitatif oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Lingkungan pesisir tidak lepas dari ancaman eksploitasi yang berujung pada degradasi lingkungan. Dengan semakin besarnya jumlah masyarakat yang tinggal di daerah pesisir, maka ancaman terhadap lingkungan semakin besar pula. Belum lagi faktor kemiskinan yang membelenggu sebagian besar masyarakat nelayan memicu masyarakat untuk terus mengeksploitasi lingkungan laut dan pesisir. Kelestarian lingkungan dipengaruhi oleh kondisi kemiskinan yang terjadi di daerah pesisir. Menurut Agunggunanto (2011), indikator untuk mengukur kemiskinan masyarakat nelayan ini berhubungan dengan aspek demografi dan sosio-ekonomi. Aspek demografi meliputi umur, tingkat pendidikan, pengalaman sebagai nelayan, jumlah keluarga, anggota keluarga yang bekerja. Sedangkan aspek sosio-ekonomi meliputi pemilikan perahu, pemilikan aset lain, pendapatan tangkapan dan non-tangkapan, dan pendapatan keluarga. Pertanyaan penelitian: 1. Bagaimana bentuk-bentuk perilaku masyarakat miskin di pesisir dalam pengelolaan lingkungan? 2. Bagaimana hubungan tingkat kemiskinan dengan perilaku masyarakat nelayan dalam menjaga kelestarian lingkungan? Usulan Kerangka Analisis Baru Kemiskinan pada masyarakat nelayan bersifat multidimensional, tidak hanya dapat dikelompokkan sebagai kemiskinan struktural namun juga kemiskinan kultural dan alamiah sehingga tingkat kemiskinan nelayan juga mempunyai dimensi yang berbeda dengan petani. Tingkat kemiskinan pada masyarakat nelayan mempengaruhi kelestarian lingkungan laut dan pesisir. Kemiskinan pada masyarakat nelayan ini diukur melalui tingkat pendapatan dari hasil tangkapan yang diperoleh, banyaknya hutang, status nelayan, kepemilikan alat tangkap, dan banyaknya alternatif mata pencaharian. Tingkat kemiskinan mempengaruhi kapasitas individu pada masyarakat nelayan dengan mengukur tingkat pendidikan, keterampilan, dan pengalaman mereka. Kapasitas individu mempengaruhi perilaku masyarakat nelayan dalam menjaga kelestarian lingkungan yang diukur dari cara pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir dan sanitasi lingkungan. Cara pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir ditinjau dari penggunaan alat tangkaap yang digunakan nelayan, eksploitasi mangrove, karang dan padang lamun serta sumberdaya perikanan. Di sisi lain sanitasi lingkungan ditinjau dari kondisi drainase, kondisi pelayanan air bersih, kondisi pengelolaan air limbah, dan kondisi pengelolaan sampah rumah tangga. Selanjutnya kedua aspek ini menentukan tingkat kelestarian lingkungan di daerah pesisir. 31 Tingkat Kemiskinan - Kapasitas Individu: Tingkat pendapatan Banyaknya hutang Status nelayan Kepemilikan alat tangkap Banyaknya alternatif mata pencaharian - Pendidikan Keterampilan Pengalaman Perilaku dalam Menjaga Kelestarian Sumberdaya Laut dan Pesisir Cara memanfaatkan sumberdaya laut dan pesisir Penggunaan alat tangkap Eksploitasi mangrove, karang dan padang lamun. Eksploitasi sumberdaya perikanan Sanitasi lingkungan Kondisi drainase Kondisi pelayanan air bersih Kondisi pengelolaan air limbah Kondisi pengelolaan sampah rumah tangga Lestari/tidak lestari : Mempengaruhi Gambar 1. Usulan Kerangka Analisis Baru DAFTAR PUSTAKA Agunggunanto EY. 2011. Analisis kemiskinan dan pendapatan keluarga nelayan kasus di Kecamatan Wedung Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Indonesia. Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan. [Internet]. [Diunduh pada 4 Desember 2014]. Vol. 1 No. 1. Tersedia pada http://www.scribd.com/doc/117893851/AnalisisKemiskinan-dan-Pendapatan-Keluarga-Nelayan Anshoriy N, Sudarsono. 2008. Kearifan Lingkungan dalam Perspektif Budaya Jawa. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia Ardianto W, Rochna E. 2013. Antara Merusak dan Memanfaatkan Hutan Mangrove pada Masyarakat Pesisir (Studi Etnosains pada Hutan Bakau di Masyarakat Pesisir Desa Pematang Pasir, Lampung). Jurnal Sosiologi. [Internet]. [Diunduh pada 29 September 2014]. Vol. 2 No. 15. Tersedia pada http://publikasi.fisip.unila.ac.id/index.php/sosiologi/article/viewFile/186/193 Burhanuddin AI, Nessa N, Niartiningsih A. 2013. Membangun Sumberdaya Kelautan Indonesia. Bogor (ID): PT Penerbit IPB Press Damisi DM, Kumurur VA, Sela RLE. 2014. Analisis faktor-faktor kekumuhan kawasan permukiman pesisir tradisional (Studi Kasus: Desa Bajo Kecamatan Tilamuta, Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo). Jurnal Sabua. [Internet]. [Diunduh pada 13 Oktober 2014]. Vol. 1 No. 6. Tersedia pada http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/SABUA/article/download/5282/4795 Fany, Adrianto Dimas Wisnu, Subagiyo Aris. 2012. Kajian penyebab kerusakan ekosistem sumberdaya hayati di Pesisir Pulau Kakaralamo, Kabupaten Halmahera Utara. Jurnal Planning for Urban Region dan Environment. [Internet]. [Diunduh pada 24 September 2014]. Vol. 1 No. 1. Tersedia pada http://jpurepwk.ub.ac.id/files/jurnal/17_Fany.pdf Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia [KBBI] Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2011. Edisi III. [software offline]. Tersedia pada http://ebsoft.web.id [KLH RI] Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia.2010. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2010.Jakarta (ID): KLH RI. [Internet]. [Diunduh pada 4 Desember 2014]. Tersedia padahttp://www.menlh.go.id/DATA/SLHI_2010.pdf [KMNLH] Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2005. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Purba J, editor. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia Napitupulu, Albert. 2013. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan. Bogor (ID): IPB Press. 151 hal. Primyastanto M, Semarno, Efani A, Muhammad S. 2012. Kajian Ekonomi Rumah Tangga Nelayan Payang di Selat Madura, Jawa Timur. Jurnal Wacana. [Internet]. 33 [Diunduh pada 13 Oktober 2014]. Vol. 2 No. 15. http://www.wacana.ub.ac.id/index.php/wacana/article/view/253 Tersedia pada Purwanti IF, Susilowati I. 2012. Persepsi publik mengenai pengelolaan lingkungan hidup di Kota Semarang. Jurnal Diponegoro Journal of Economics. [Internet]. [Diunduh pada 24 September 2014]. Vol. 1 No. 1. Tersedia pada http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jme/article/viewFile/331/333 Retnowati Endang. 2011. Nelayan Indonesia dalam Pusaran Kemiskinan Struktural (Perspektif Sosial, Ekonomi dan Hukum). Jurnal Perspektif. [Internet]. [Diunduh pada 24 September 2014]. Vol. 3 No. 16. Tersedia pada http://ejournal.uwks.ac.id/myfiles/201207081310382587/12.pdf S Mulyadi. 2005. Ekonomi Kelautan. Jakarta (ID): PT RajaGrafindo Persada Siahaan, N. H. T. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta (ID): Erlangga Siregar Tety Juliany. 2010. Kepedulian masyarakat dalam perbaikan sanitasi lingkungan permukiman kumuh di Kelurahan Matahalasan Kota Tanjungbalai. Tesis. [Internet]. [Diunduh pada 24 September 2014]. Tersedia pada http://eprints.undip.ac.id/23695/1/TETY_JULIANY_SIREGAR. Sudantoko HD, Mariyono Joko. 2010. Tinjauan teoritis pembangunan pedesaan yang berkelanjutan: pengentasan kemiskinan dan perbaikan kualitas lingkungan. Jurnal Jejak. [Internet]. [Diunduh pada 24 September 2014]. Vol. 2 No. 3. Tersedia pada http://ep.unnes.ac.id/wp-content/uploads/2012/03/05-Artikel-BJoko-Joko.pdf Susilo RKD. 2008. Sosiologi Lingkungan. Jakarta (ID): PT RajaGrafindo Persada Syahrizal, Meiyenti S, Ekaputra R. 2011. Aspek Tindakan dan Perilaku dalam Kemiskinan: Studi Pada Masyarakat Nelayan Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat. Jurnal Humanus. [Internet]. [Diunduh pada 13 Oktober 2014]. Vol. 1 No. 10. Tersedia pada http://ejournal.fip.unp.ac.id/index.php/humanus/article/view/483/405 Tain Anas. 2013. Faktor dominan penyebab kemiskinan rumah tangga nelayan motor tempel di wilayah tangkap lebih Jawa Timur. Jurnal Sosiohumaniora. [Internet]. [Diunduh pada 24 September 2014]. Vol. 1 No. 15. Tersedia pada http://sosiohumaniora.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2014/01/5.anas tain.pdf [UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. [Internet]. [Diunduh 2 Desember 2014]. Tersedia pada http://ciptakarya.pu.go.id/dok/hukum/uu/uu_23_1997.pdf RIWAYAT HIDUP Abdul Ghani Arsyadi (penulis) lahir pada 7 Juli 1992 di sebuah desa pariwisata bernama Tetebatu yang berada di daerah Lombok Timur, Lombok, Nusa Tenggara Barat sebagai anak bungsu dari Bapak H. Ahmad (Almarhum) dan Ibu Siti Maesarah. Riwayat pendidikan penulis bermula dari Taman Kanak-Kanak Dharmawanita Tetebatu (1998-1999), selanjutnya SDN 1 Tetebatu (1999-2005). Setelah lulus dari sekolah dasar, penulis merantau untuk menimba ilmu dari sebuah pondok pesantren terbesar di Lombok Timur tepatnya terletak di Kota Pancor (Kota Santri) yaitu Pondok Pesantren Darunnahdlatain Nahdlatul Wathan. Penulis mulai menimba ilmu di MTs. Mu’allimin NW Pancor (2005-2008) kemudian melanjutkan ke tingkat selanjutnya di MA. Mu’allimin NW Pancor (2008-2011). Enam tahun menimba ilmu di pondok pesantren memberikan kesempatan penulis untuk menyandang status sebagai santri yang aktif di berbagai kegiatan akademik dan ekstrakurikuler. Penulis menjadi delegasi pada beberapa olimpiade dan lomba-lomba lainnya yang diselenggarakan pada tingkat kabupaten. Selama mengenyam pendidikan di pondok, penulis mengikuti berbagai kegiatan ekstrakurikuler seperti pramuka, Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR), kaligrafi, Karya Ilmiah Remaja (KIR), Takhassus, dan English Mu’allimin Club (EMC) serta pernah menjabat sebagai ketua OSIS di MA. Mu’allimin NW Pancor. Beberapa prestasi pernah diraih penulisdalam bidang-bidang tersebut. Status sebagai santri dari pondok pesantren memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti seleksi Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) yang didanai oleh Kementerian Agama RI pada tahun 2011. Hasilnya, penulis diterima di program studi S1 Institut Pertanian Bogor pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Selama belajar di bangku kuliah penulis aktif di organisasi Community of Santri Scholar of Ministry of Religious Affairs (CSS MoRA) IPB (Departemen PSDM) dan Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) pada divisi Community Development. Selain itu, penulis juga berkontribusi sebagai asisten mata kuliah Pengantar Ilmu Kependudukan di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat.