IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Degradasi Bahan Kering Degradasi pakan merupakan suatu proses perombakan bahan pakan dari senyawa kompleks menjadi lebih sederhana oleh kerja mikroba rumen. Proses degradasi ini menjadikan ukuran pakan semakin kecil dan memperbesar luas permukaan partikel. Degradasi bahan kering adalah proses degradasi protein, serat kasar, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral yang terjadi di dalam rumen. Data hasil penelitian degradasi bahan kering disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Data Hasil Penelitian Degradasi Bahan Kering Degradasi Bahan Kering P2 P3 ..………………..%.......................... 1 26,369 24,190 23,198 2 24,510 27,513 25,845 3 23,802 25,165 23,906 4 25,821 27,178 23,749 5 27,347 25,095 23,746 6 26,185 22,754 25,157 Total Perlakuan 154,034 151,896 145,601 Rata-rata 25,67 25,32 24,27 Keterangan : P1 = 100% Ransum + 0% CRM P2 = 100% Ransum + 2% CRM P3 = 100% Ransum + 4% CRM Ulangan P1 Berdasarkan Tabel 6. dapat dilihat bahwa degradasi bahan kering yang dihasilkan memiliki rataan antara 24,27% - 25,67%. Rataan nilai degradasi yang dihasilkan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Assakur (2013) yang menggunakan metode in vitro pada kulit kakao yang menghasilkan nilai degradasi sebesar 33,8% dan juga penelitian yang dilakukan oleh Widiawati, dkk., (2007) yang menggunakan metode in sacco pada perlakuan rumput gajah yang menghasilkan nilai degradasi bahan kering mencapai 45%. Perbedaan ini diduga karena perlakuan yang diberikan memiliki komposisi ransum dan metode pengukuran degradasi berbeda dimana pada penelitian tersebut menggunakan metode in vitro dan in sacco sedangkan pada penelitian ini menggunakan metode Rusitec. Rendahnya rataan nilai degradasi hasil penelitian kemungkinan disebabkan oleh kualitas ransum yang rendah, yang ditandai oleh kandungan serat dan lignin yang tinggi. Ransum yang digunakan dalam penelitian adalah berbasis pucuk tebu, dimana penggunaannya sebanyak 40%, sementara diketahui bahwa kandungan lignin pada pucuk tebu adalah 14% (Alvino, 2012) dan SK 39,78% (Balitnak, 2015). Kandungan lignin yang tinggi pada pucuk tebu tentunya akan mempengaruhi degradasi bahan kering. Data hasil penelitian ini selanjutnya dilakukan analisis statistik dengan menggunakan sidik ragam (Lampiran 3), namun sebelumnya data tersebut dilakukan transformasi akar karena nilai yang didapatkan rata-rata kurang dari 30% (Gaspersz, 1995). Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak nyata (P>0,05) mempengaruhi degradasi bahan kering. Hal ini berarti bahwa penambahan CRM dalam ransum berbasis pucuk tebu tidak mempengaruhi degradasi bahan kering ransum. Hal ini diduga karena adanya tanin yang dapat mengikat protein pakan sehingga meskipun saponin dalam CRM dapat menekan populasi protozoa sebagai predator bakteri, namun populasi bakteri tersebut tidak berkembang akibat tidak tersedianya sumber protein (N). Ketersediaan N sangat diperlukan bagi pertumbuhan mikroba rumen terutama bakteri. Menurut Widiawati, dkk., (2007) bahwa senyawa tanin dapat membentuk ikatan kompleks dengan protein dan membuat protein tersebut tidak dapat didegradasi oleh mikroba rumen dan menjadikan protein tersebut menjadi protein by pass (protein yang lolos degradasi). Selain mengikat protein, tanin juga dapat mengikat karbohidrat dan lemak. Lebih lanjut dijelaskan oleh Jayanegara, dkk., (2008) bahwa dengan adanya tanin yang mengikat protein maka akan berpengaruh negatif terhadap fermentasi di dalam rumen. Akan tetapi ikatan tanin-protein ini akan mudah dipecah pada saluran pencernaan pasca rumen (abomasum dengan pH 2,5-3,5 dan duodenum dengan pH 5-9), sehingga dengan demikian tanin dapat digunakan untuk memanipulasi pertumbuhan ternak. Disamping kehadiran tanin, senyawa saponin yang terdapat pada CRM juga dapat berpengaruh terhadap degradasi serat. Terdapatnya saponin yang dapat mendefaunasi protozoa mengakibatkan degradasi serat akan menurun karena selain bakteri selulolitik, protozoa juga memegang peranan penting dalam pencernaan serat pakan. Hal ini sejalan dengan pendapat Wina, dkk., (2005) bahwa nilai kecernaan di dalam rumen dilaporkan menurun dengan adanya saponin (percobaan in vitro menggunakan ekstrak Sapindus rarak). Hal tersebut karena protozoa juga mengeluarkan enzim-enzim yang dapat memecah serat. Berkurangnya populasi protozoa karena keberadaan saponin akan menekan aktivitas enzim pemecah serat sehingga nilai kecernaan bahan kering termasuk serat di dalam rumen akan menurun secara signifikan, tetapi nilai kecernaan total (melalui seluruh pencernaan) tidak mengalami penurunan seperti halnya nilai kecernaan di dalam rumen. 4.2 Pengaruh Perlakuan terhadap Produksi Gas Metan Metan merupakan energi yang hilang atau yang tidak termanfaatkan oleh ternak dalam bentuk gas yang dihasilkan dari proses metabolisme yang terjadi di dalam rumen melalui proses metanogenesis. Semakin tinggi nilai produksi gas metan maka energi yang hilang akan semakin banyak dan pakan yang diberikan semakin tidak efisien. Data hasil penelitian produksi gas metan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Data Hasil Penelitian Produksi Gas Metan Produksi Gas Metan P2 ..………………..L.......................... 1 1,284 1,131 2 1,478 1,130 3 1,356 1,156 4 1,374 0,908 5 0,925 0,598 6 1,099 0,987 Total Perlakuan 7,515 5,912 Rata-rata 1,253 0,985 Keterangan : P1 = 100% Ransum + 0% CRM P2 = 100% Ransum + 2% CRM P3 = 100% Ransum + 4% CRM Ulangan P1 P3 1,163 0,742 0,890 1,296 0,575 1,017 5,682 0,947 Berdasarkan Tabel 7. dapat dilihat bahwa produksi gas metan yang dihasilkan memiliki rataan antara 0,947 - 1,253 L. Selain itu dapat dilihat bahwa terdapat kecenderungan produksi gas metan yang dihasilkan menurun sejalan dengan meningkatnya penggunaan CRM. Guna mengetahui pengaruh perlakuan terhadap produksi gas metan maka dilakukan analisis sidik ragam (Lampiran 4). Berdasarkan hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap produksi gas metan. Hal ini berarti bahwa penambahan CRM dalam ransum berbasis pucuk tebu dapat menurunkan produksi gas metan. Guna mengetahui perbedaan antar perlakuan maka dilakukan analisis Duncan (Lampiran 4). Hasil analisis Duncan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Produksi Gas Metan Hasil Analisis Duncan Perlakuan Rataan Signifikasi (0,05) L P3 0,947 a P2 0,985 a P1 1,253 b Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom signifikasi menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) Berdasarkan Tabel 8. dapat dilihat bahwa pada perlakuan P3 dan P2 menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05), sedangkan perlakuan P1 menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi dibandingkan P2 dan P3. Hal ini berarti bahwa energi yang hilang sebagai metan semakin sedikit. Hasil ini sejalan dengan penelitian Thalib, dkk., (2010) bahwa Complete Rumen Modifier (CRM) dapat menurunkan atau mengurangi produksi gas metan pada ternak ruminansia. Menurunnya produksi gas metan dengan penambahan CRM disebabkan karena hadirnya senyawa saponin dan tanin yang terkandung pada CRM. Saponin dapat menurunkan produksi gas metan dengan cara mendefaunasi protozoa yang merupakan habitat bakteri metanogen sehingga dengan menurunnya populasi protozoa maka dapat menurunkan pula bakteri metanogen yang menempel pada dinding sel protozoa. Hal ini sejalan dengan pendapat Sukmawati, dkk., (2011) bahwa sensitivitas protozoa terhadap saponin disebabkan oleh adanya sterol pada membran sel protozoa, dan tidak ada pada membran sel bakteri. Kemampuan sterol untuk mengikat saponin adalah penyebab utama hancurnya membran sel protozoa. Sementara saponin sebagai bahan defaunator tidak berdampak negatif terhadap pertumbuhan bakteri. Semakin sedikit populasi protozoa, maka gas metan yang terbentuk akan semakin sedikit dan energi yang termanfaatkan oleh ternak akan semakin besar. Selain hidup menempel pada membran sel protozoa, sebagian bakteri metanogen juga hidup bebas di dalam cairan rumen. Pemberian pakan dengan kandungan serat kasar tinggi akan menghasilkan produksi asam asetat (C2) tinggi dan asam propionat (C3) rendah. Dengan semakin tingginya produksi asam asetat, maka akan semakin banyak H2 yang diproduksi. Jika H2 semakin banyak maka bakteri metanogen memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memanfaatkan H2 tersebut untuk membentuk metan (CH4). Oleh karena itu dengan penambahan CRM akan membantu menurunkan produksi gas metan dengan cara menekan ketersediaan H2 untuk dimanfaatkan bakteri metanogen membentuk metan. Dengan adanya saponin maka jumlah protozoa akan menurun sehingga habitat bakteri metanogen berkurang akibatnya produksi metan menjadi berkurang. Tanin selain memiliki kemampuan mengikat protein, karbohidrat, lemak, tanin juga dapat menurunkan produksi gas metan baik itu dengan cara mengurangi produksi H2 maupun menghambat pertumbuhan metanogen dan protozoa. Dengan hadirnya tanin di dalam ransum maka dapat menghambat pencernaan serat oleh bakteri rumen karena kurangnya ketersediaan sumber protein (N) bagi pertumbuhan bakteri tersebut akibat adanya ikatan tanin dengan protein. Semakin menurunnya pencernaan serat maka produksi H2 akan turun, akibatnya bakteri metanogen akan menurun karena kurangnya pasokan H2 untuk pertumbuhannya. Hal ini sejalan dengan Jayanegara, dkk., (2009) bahwa tanin yang terkondensasi menurunkan metan melalui mekanisme secara tidak langsung dengan cara menghambat pencernaan serat yang mengurangi produksi H2, sedangkan tanin yang mudah terhidrolisis lebih berperan pada mekanisme secara langsung menghambat pertumbuhan dan aktivitas metanogen. Di samping itu, tanin juga menghambat pertumbuhan protozoa yang menjadi salah satu inang utama metanogen. Selain itu dijelaskan pula oleh Patra dan Saxena (2010) bahwa tanin memiliki kemampuan sebagai anti metanogen di dalam rumen.