KERAGAMAN BAKTERI, FERMENTASI RUMEN DAN PRODUKSI METAN IN VITRO DENGAN PEMBERIAN EKSTRAK LERAK (Sapindus rarak) ABSTRACT To study the effect of whole fruit lerak extract (Sapindus rarak) on rumen microbial diversity, fermentation, and methane gas production, an in vitro fermentation assay with different levels of lerak extract was conducted. The design of experiment was Completely Randomized Design with different level of lerak extract (0.001 – 1 mg/ml). Substrate for in vitro fermentation was a mixture of nature grass and concentrate (self mixing) with the ratio of 50:50. Bacterial diversity of rumen fluid was analyzed using denaturing gradient gel electrophoresis (DGGE) and identification of rumen bacteria from the DGGE gel was analyzed using cloning and sequencing. The result showed that protozoa population was significantly reduced (P<0.05) when 1 mg/ml of lerak extract was added. The gas production significantly increased (P<0.05) when 1 mg/ml of lerak extract was included over the incubation time, while methane production/ml gas significantly decreased (P<0.05). The H2 production was not affected by the addition of lerak extract but tended to increase with the addition 0.1% lerak extract. Although lerak extract had little effect on concentration of total volatile fatty acids, the production of acetic and butyric acid significantly decreased (P<0.05) while propionic acid significantly increased (P<0.05). The population of some specific bacteria increased in response to lerak extract supplementation. These bacteria were most closely related to P. ruminicola and T. Bryantii. These results indicated that whole lerak fruit extract at level 1 mg/ml could improve ruminal fermentation by depressing protozoa, methane production, and influence the ruminal bacterial composition. Keywords: Sapindus rarak; protozoa; bacterial diversity, ruminal fermentation, methane PENDAHULUAN Aktivitas bakteri rumen dalam mendegradasi serat pakan seringkali terganggu oleh protozoa karena pemangsaan beberapa bakteri oleh protozoa (Gutierrez 2007; Hart et al. 2008). Beberapa hasil in vitro sebelumnya menunjukkan bahwa pemangsaan dan pencernaan bakteri oleh protozoa merupakan penyebab utama penurunan protein mikroba dalam sistem rumen (Wallace & McPherson 1987). Walaupun protozoa juga memegang peranan penting dalam pencernaan serat pakan (Onodera et al. 1988; Hart et al. 2008), keberadaan protozoa dalam rumen mempunyai lebih banyak kerugiannya bila dibandingkan keuntungannya (Eugene et al. 2004). Disamping memangsa bakteri, keberadaan protozoa dalam rumen juga berpotensi menurunkan pemanfaatan energi oleh ternak. Protozoa diketahui 19 menstimulasi pembentukan gas metan oleh bakteri metanogen karena protozoa juga berperan sebagai inang untuk beberapa bakteri metanogen. Penekanan populasi protozoa merupakan salah satu strategi untuk menurunkan produksi metan asal ternak ruminansia (Dohme et al. 1999). Energi yang hilang sebagai metan dari ternak sapi berkisar antara 2-12% dari total konsumsi energi (Johnson & Johnson, 1995) dengan nilai setiap 1 L gas metan setara dengan 39.5 KJ energi pakan. Gas metan yang diemisi dapat memberikan kontribusi efek ruang kaca terhadap lingkungan. Emisi metan oleh ternak ruminansia sebagian besar melalui proses eruktasi (sendawa) sekitar 85% dan sisanya melalui feses sekitar 15%. Sehingga diperlukan upaya memperbaiki manajemen pemeliharaan ternak untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pakan dan menurunkan produksi metan. Saponin diketahui berpotensi menekan pertumbuhan protozoa dan mengubah pola fermentasi dalam sistem rumen (Wina et al., 2005a; Benchaar et al. 2008). Penurunan populasi protozoa juga akan mempengaruhi keragaman mikroba rumen, memperbaiki aliran protein mikroba dari rumen, meningkatkan efisiensi pemanfaatan pakan dan menurunkan pembentukan metan. Karnati et al. (2009) melaporkan bahwa defaunasi secara selektif menurunkan Ruminococci dan Clostridia tetapi cenderung meningkatkan beberapa populasi Butyrivibrio. Keberadaan protozoa mempengaruhi baik populasi bakteri maupun archaea melalui pemangsaan selektif, kompetisi substrat atau melalui interaksi simbiosis. Ekstrak keseluruhan buah dan biji lerak mengandung saponin yang tinggi dan dapat digunakan sebagai agen defaunasi serta memperbaiki performa ternak. Wina et al. (2006) melaporkan bahwa ekstrak kulit buah lerak dapat meningkatkan pertumbuhan bobot hidup harian (PBBH) domba sebesar 40%. Data yang melaporkan pengaruh saponin dari buah lerak terhadap produksi metan dan keragaman mikroba rumen masih terbatas. Pemisahan kulit buah lerak dari bijinya secara teknis kurang aplikatif, sehingga penggunaan keseluruhan buah dan bijinya untuk mendapatkan saponin merupakan alternatif yang baik. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis dan mengevaluasi pengaruh ekstrak keseluruhan buah dan biji lerak pada populasi protozoa, produksi gas total dan metan, produksi keragaman bakteri rumen secara in vitro. volatile fatty acid (VFA) dan 20 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium mikrobiologi rumen, National Institute of Livestock and Grassland Science, Tsukuba, Jepang. Waktu penelitian berlangsung selama 4 bulan. Ekstraksi Lerak dan Analisis Senyawa Saponin Buah lerak diperoleh dari Purwodadi, Jawa Tengah. Buah lerak (termasuk biji) dikeringkan dengan oven pada suhu 60oC sampai mencapai 90% bahan kering lalu digiling sehingga terbentuk tepung lerak. Tepung lerak kemudian direndam dengan methanol (1 : 4, b/v) selama 24 jam dan selanjutnya disaring sehingga diperoleh supernatan. Pelet/endapan sisa penyaringan kemudian diekstraksi menggunakan methanol baru dengan volume yang sama (1:4, b/v) selama 24 jam dan dilanjutkan dengan penyaringan kembali. Supernatan yang diperoleh kemudian dicampur dengan hasil penyaringan sebelumnya dan diuapkan dengan rotary evaporator. Hasil ekstrak methanol kemudian dikeringbekukan dengan freeze dryer dan disimpan dalam freezer sebelum digunakan. Senyawa sekunder lerak baik dalam tepung maupun ekstrak dianalisis kandungan tanin dan saponinnnya di Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. Substrat Fermentasi dan Perlakuan Cairan rumen yang digunakan untuk percobaan in vitro berasal dari sapi perah Holstein non-laktasi yang berfistula. Sapi fistula dipelihara dalam kandang koloni yang diberi ransum yang terdiri dari hay rumput timothy (67% bahan kering/BK), jagung (19%) dan bungkil kedelai (14%) sebanyak 2 kali sehari pada pukul 09.00 dan 17.00 (3.6 kg BK per pemberian). Sapi fistula sudah disertifikasi oleh The Animal Care Committee of National Institute of Livestock and Grassland Science, Japan. Cairan rumen yang digunakan untuk percobaan in vitro diambil dari sapi fistula pada pagi hari (pukul 10.00) dan disaring dengan kain tipis berlapis. Substrat yang digunakan untuk percobaan in vitro merupakan campuran antara rumput alam dan pakan konsentrat yang dibawa dari Indonesia. Pakan 21 konsentrat terdiri atas bungkil kedelai, bungkil kelapa, onggok, pollard, molases, Dicalcium Phosphate (DCP), NaCl dan CaCO3. Rumput alam diperoleh dari lahan sekitar laboratorium lapang Fakultas Peternakan IPB kemudian dikeringkan dan digiling sehingga diperoleh tepung. Hasil analisis proksimat pakan konsentrat dan rumput disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi nutrien hijauan, konsentrat dan total ransum yang digunakan sebagai substrat fermentasi in vitro Nutrien Abu Rumput Total ransum* Konsentrat (K) Lapang (R) R:K=50:50 ---------------------------% BK--------------------------7.99 9.37 6.60 Protein Kasar (PK) 8.98 19.07 14.03 Lemak Kasar (LK) 1.03 3.00 2.02 Serat Kasar (SK) 37.67 12.20 24.94 BETN 42.95 59.13 51.04 TDN 48.82 75.16 61.99 Hasil analisis proksimat di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (2009). TDN (Hartadi et al. 1980) = 92.64-3.338(SK)-6.945(LK)-0.762(BETN)+1.115(PK)+0.031(SK)20.133(LK)2+0.036(SK)(BETN)+0.207(LK)(BETN)+0.100(LK)(PK)-0.022(LK)2(PK) *Hasil perhitungan Percobaan dilakukan menggunakan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Substrat yang digunakan adalah campuran hijauan dan konsentrat (50:50 BK/BK) dengan perlakuan level ekstrak lerak yang digunakan sebagai berikut : P1 : Substrat + ekstrak lerak 0 mg/ml (kontrol) P2 : Substrat + ekstrak lerak 0.001 mg/ml P3 : Substrat + ekstrak lerak 0.01 mg/ml P4 : Substrat + ekstrak lerak 0.1 mg/ml P5 : Substrat + ekstrak lerak 1 mg/ml Fermentasi In vitro Sampel substrat dari setiap perlakuan (0.1 g) ditimbang dalam 20 ml tabung fermentor. Setiap tabung ditambahkan 5 ml larutan buffer dan 5 ml cairan rumen serta larutan ekstrak lerak sesuai perlakuan (Kajikawa et al., 1990). Selama 22 mencampur bahan dan larutan tersebut selalu dijaga dalam kondisi anaerob dengan mengalirkan gas CO2. Setelah itu, tabung fermentor kemudian di tutup dengan tutup karet dan dipastikan tidak ada gas O2 yang masuk. Tabung fermentor kemudian diinkubasi dalam water bath pada suhu 39oC. Sampel larutan hasil fermentasi kemudian diambil sebanyak 0.5 ml pada jam ke-12, -24 and -48 jam setelah inkubasi untuk analisis populasi protozoa. Tekanan gas juga diukur pada jam inkubasi tersebut menggunakan alat pengukur tekanan gas (GL Sciences Inc. PM222 (Kpa)). Setelah 48 jam inkubasi, 1 ml dari fase gas diambil menggunakan syringe dan disimpan dalam tabung vial 30 ml untuk pengukuran produksi metan. Selanjutnya, tutup karet pada tabung fermentor dibuka dan pH setiap tabung diukur dengan pH meter. Sampel larutan hasil fermentasi diambil sebanyak 1 ml untuk analisis VFA dan 1.5 ml untuk ekstraksi DNA dan dianalisis keragaman mikrobanya dengan PCR-DGGE (Biorad). Analisis populasi Protozoa, Produksi Total Gas, Metan, Hidrogen dan VFA Pengukuran populasi protozoa dilakukan dengan mengambil sampel larutan hasil fermentasi sebanyak 0.5 ml pada jam ke 12, 24 and 48 jam setelah inkubasi dan dicampur dengan 2 ml larutan fiksasi lalu dikocok sempurna. Larutan fiksasi terdiri atas 20 ml 35% formaldehyde, 180 ml ddH2O, 0.12 g methylgreen dan 1.6 g NaCl (Ogimoto & Imai 1981). Jumlah populasi protozoa dihitung dengan Fuch Rosenthal Counting Chamber (4 mm x 4 mm x 0.2 mm) dengan menggunakan rumus : Jumlah protozoa/ml = N x 1/0.0032 x FP N = jumlah koloni protozoa terhitung dalam 16 chamber P = Pengenceran Tekanan gas diukur pada jam ke 12, 24 dan 48 setelah inkubasi. Nilai tekanan gas (Kpa) yang diperoleh kemudian dikonversi menjadi produksi gas total (ml) dengan rumus : Produksi gas(ml) = tekanan gas (Kpa) x volume fase gas tabung fermentor (ml) 101.325 Keterangan : 1 Kpa=101.325 atm 23 Analisis konsentrasi metan dan hidrogen diukur menggunakan Biogas Analyzer (TRI lyzer TM2, temperature 50oC). Sampel fase gas yang diambil pada jam ke 48 inkubasi, diinjeksikan ke dalam methane analyzer untuk memperoleh data produksi gas metan dan hidrogen. Produksi VFA total dan parsial pada 48 jam inkubasi diukur menggunakan gas chromatography/GC (6890 series, FID, HewlettPackard, Wilmington, DE, USA) dengan kolom 5% Thermon 1000 and 0.5% H3PO4 pada 80/100 mesh Chromosorb W (Wako Pure Chemical,Osaka, Japan). Analisis Keragaman Mikroba Rumen dengan PCR-DGGE Setiap 1.5 ml larutan hasil fermentasi diambil dengan pipet yang diperbesar lubangnya agar partikel pakan dan larutan dapat terambil merata. Sampel kemudian di sentrifus pada 15.000 g selama 5 menit. Supernatan dibuang dan pelet yang tersisa digunakan untuk ekstraksi DNA dengan menggunakan kit (QIAmp stool kit). PCR-DGGE dilakukan dengan menggunakan 16S rDNA yang diperoleh dari 16S rRNA sebagai template pada reaksi PCR. Sintesis cDNA menggunakan primer V3-FwGC dan V3-Rv dengan target semua bakteri 16S rDNA V3 region dan panjangnya 190-200 bp. Karakteristik primer yang digunakan adalah primer V3FwGC yang mengandung GC Clamp dengan sekuen 5`-CGC CCG CCG CGC GCG GCG GGC GGG GCG GGG GCA CGG GGG GCC TAC GGG AGG CAG CAG-3` dan primer V3-Rv dengan sekuen 5`-ATT ACC GCG GCT GCT GG-3` (Muyzer et al., 1993). Variabel V3 region untuk 16S rDNA tersebut diamplifikasi menggunakan PCR dengan kondisi denaturasi awal pada suhu 94oC selama 2 menit, kemudian amplifikasi sebanyak 30 siklus yang terdiri dari denaturasi pada suhu 94oC selama 30 detik, annealing pada suhu 55oC selama 45 detik dan extension pada suhu 72oC selama 30 detik. Extension terakhir dilakukan pada suhu 72oC selama 9 menit. Produk PCR kemudian diseparasi pada 8% (w/v) polyacrylamide gel dengan gradien denaturasi mulai 30% sampai 60% menggunakan sistem DGGE. Elektroforesis dilakukan pada 90 volt selama 16 jam pada suhu yang konstan (65oC) pada buffer TAE 0.5X. Pita-pita yang terbentuk pada gel setelah elektroforesis selesai, kemudian divisualisasi dengan menggunakan pewarnaan perak (silver staining). Sebelumnya, gel hasil elektroforesis dipotong bagian stacking gel kemudian difiksasi dalam 200 24 ml larutan fiksasi (1 ml asam asetat glasial, 20 ml etanol dan 179 ml akuades) selama 2 jam. Selanjutnya, dicuci dengan H2O sebanyak 2 kali dan direndam dalam larutan pewarna perak (0.25 g AgNO3 dalam 250 ml H2O) sebanyak 2 kali selama 20 menit dan 35 menit. Gel kemudian dicuci dengan H2O sebanyak 2 kali lalu direndam dalam larutan developer (200 ml H2O, 3 g NaOH, 0.02 g NaBH3 dan 0.8 ml formaldehyde) selama 7 menit sampai terlihat pita-pita pada gel. Selanjutnya, gel dicuci dengan H2O dan dilapis plastik wrap kemudian di foto menggunakan scanner. Keragaman mikroba rumen yang digambarkan oleh pita-pita pada gel di klasterisasi menggunakan program NTsys 2.1. Identifikasi pita-pita baru yang muncul pada gel dilakukan dengan teknik kloning dan sekuensing. Pita pada gel DGGE dipotong dan diamplifikasi dengan primer 1 dan 2 (Muyzer et al. 1993) menggunakan ExTaq DNA polymerase. Sekuen nukleotida dari primer 1 yaitu 5’-CCTACGGGAGGCAGCAG-3’; primer 2, 5’ATTACCGCGGCTGCTGG-3’. Kondisi PCR yang digunakan adalah denaturasi awal 94oC selama 2 menit, kemudiam amplifikasi sebanyak 30 siklus yang terdiri dari denaturasi pada suhu 94oC selama 30 detik, annealing pada suhu 55oC selama 30 detik dan extension pada suhu 72oC selama 30 detik. Extension terakhir dilakukan pada suhu 72oC selama 7 menit. Setelah produk PCR dipurifikasi dengan QIAquick PCR purification kit (QIAGEN, Hilden, Germany), kemudian di-ligasi dengan PCR2.1 (Invitrogen Corp, Carlsbad, CA, USA) dan di masukkan ke dalam One Shot TOP10 Electrocom E. coli (Invitrogen Corp, Carlsbad, CA, USA). Produk yang dikloning menjadi plasmid kemudian diamplifikasi menggunakan primer 2 dan 3 (Muyzer et al., 1993) untuk mengkonfirmasi posisi amplicon pada gel DGGE. Sekuen nukleotida dari primer 3 yaitu 5’-CGCCCGCCGCGCGCGGGCGGGGC GGGGGCACGGGGGG CCTACGGGAGGCAGCAG. Sekuen dari klon tersebut kemudian di identifikasi menggunakan 3730 DNA analyzer (Applied Biosystems, Foster City, CA, USA) dan dibandingkan dengan basis data pada GenBank menggunakan program DDBJ BLAST (http://www.ddbj.nig.ac.jp/Welcome-e.html). Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan ANOVA (analysis of variance). Apabila terdapat perbedaan rataan yang nyata antar perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji Duncan (Mattjik & Sumertajaya, 2002). 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Lerak Kandungan saponin dalam tepung lerak sebesar 3.87%, sedangkan dalam ekstrak metanol lerak sangat besar yaitu 81.5%, hampir 21 kalinya dibanding saponin dalam tepung lerak (Tabel 3). Tabel 3. Kandungan senyawa tanin dan saponin pada tepung dan ekstrak lerak Bahan Tepung Campuran segar Ekstrak Metanol Tanin (%) 0.13 0.09 Sapogenin (%) 5.03 14.07 Total Saponin (%) 3.87 81.5 Keterangan : Hasil analisis di Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor Saponin merupakan glikosida triterpenoid atau steroid yang banyak terdapat pada tanaman. Gula dapat berbentuk glukosa, galaktosa, asam glukoronat, xylosa, rhamnosa atau methylpentosa. Gula tersebut berikatan membentuk glikosida dengan hydrophobic aglycone (sapogenin) yang berbentuk triterpenoid atau steroid menjadi saponin. Besarnya kompleksitas struktur saponin berasal dari variabilitas struktur aglycone, rantai samping dan posisi pengikatan gula pada aglycone (Francis et al. 2002). Beberapa saponin diketahui berfungsi sebagai antimikroba, menghambat jamur dan memproteksi tanaman dari serangan serangga. Selain itu, saponin juga merupakan sumber monosakarida (Morrissey & Osbourn 1999). Keragaman Protozoa dan Bakteri Rumen Populasi Protozoa Populasi total protozoa menurun (P<0.05) dengan pemberian ekstrak lerak 1 mg/ml pada semua waktu inkubasi yang diamati (Tabel 4). Komposisi spesies protozoa baik entodinium maupun holotrich tidak berbeda antar perlakuan. Namun, level ekstrak lerak yang lebih rendah (0.001 – 0.1 mg/ml) tidak mempengaruhi baik populasi total protozoa maupun komposisinya. Pada pengamatan 48 jam, populasi Entodinum dan Dasytricha jauh lebih kecil dibandingkan jam ke 12 inkubasi. Hal ini menunjukkan bahwa kedua spesies tersebut tidak dapat bertahan dalam kultur in vitro selama 48 jam. 26 Tabel 4. Populasi total protozoa serta komposisi spesiesnya selama 12, 24 dan 48 jam inkubasi dengan pemberian berbagai level ekstrak lerak Parameter 0 0.001 Level ekstrak lerak (mg/ml) 0.01 0.1 Entodinium, jumlah sel/ml (Log10) 12 h 4.83a 4.77a a 24 h 4.84a 4.76 ab 48 h 4.30a 4.26 Diplodinium, jumlah sel/ml (Log10) 12 h 3.46a 3.61a a 24 h 3.97a 3.96 a 48 h 3.72 3.67a Dasytricha, jumlah sel/ml (Log10) 12 h 3.66a 3.75a 24 h 3.59a 3.54a 48 h <2.70 <2.70 Total protozoa,jumlah sel/ml (Log10) 12 h 4.84a 4.88a 24 h 4.91a 4.85a 48 h 4.40a 4.38a 1 SEM 4.80a 4.80a 4.24ab 4.77a 4.76a 4.16b < 2.70b < 2.70b < 2.70c 0.19 0.19 0.14 3.63a 4.00a 3.87a 3.45a 3.96a 3.68a < 2.70b < 2.70b < 2.70b 0.09 0.12 0.10 3.64a 3.43a <2.70 3.44a 3.59a <2.70 < 2.70b < 2.70b <2.70 0.10 0.09 0.00 4.86a 4.89a 4.41a 4.81a 4.85a 4.31a < 2.70b < 2.70b < 2.70b 0.20 0.20 0.15 Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan (P<0.01). SEM=standard error of mean Sensitivitas protozoa terhadap ekstrak lerak dapat dikarenakan kemampuan saponin dari ekstrak lerak dalam mengikat sterol sehingga saponin tersebut akan mengikat sterol pada membran protozoa dan menyebabkan kerusakan membrane yang menyebabkan lisis atau kematian. Penurunan populasi protozoa dengan pemberian saponin telah banyak dilaporkan (Wallace et al. 1994; Lila et al. 2003, 2005). Newbold et al. (1997) melaporkan bahwa saponin dari S. sesban sangat toksik untuk protozoa sehingga menekan pertumbuhan protozoa dan memperbaiki aliran protein dari rumen. Teferedegne (2000) menyatakan bahwa saponin cenderung mempunyai lebih banyak pengaruh pada aktivitas protozoa rumen dibandingkan dengan produk degradasinya, sapogenin. Hal ini menunjukkan pentingnya glikosida dalam aktivitas saponin terhadap protozoa. Saponin dari daun Sesbania pachycarpa juga mempunyai efek defaunasi dan juga berkontribusi pada meningkatnya efisiensi aktivitas mikroba (bakteri) sehubungan dengan menurunnya pemangsaan oleh protozoa (Muetzel et al. 2003). 27 Saponin dapat menghambat baik jumlah maupun komposisi spesies protozoa secara in vitro. Patra et al. (2006) menyatakan bahwa saponin yang diekstraksi dari Acacia concinema dengan air, metanol maupun etanol dapat menghambat pertumbuhan protozoa entodinimum maupun diplodinium. Aktivitas antiprotozoa dari saponin merupakan pengaruh yang konsisten dalam ekosistem rumen, namun masih belum jelas spesies-spesies prototozoa yang sensitif terhadap saponin. Beberapa hasil penelitian menunjukkan variasi pengaruh saponin terhadap populasi protozoa pada percobaan in vivo. Benchaar et al (2008) menyatakan bahwa saponin dari ekstrak Y. schidigera (10% saponin) sebesar 60 g/e/h pada sapi perah tidak mempengaruhi populasi protozoa baik jumlah maupun komposisi spesiesnya (Entodinium, Diplodinium, Isotricha, dan Dasytricha). Sementara, pada kajian in vitro menunjukkan bahwa suplementasi saponin Y. schidigera 1.0-6.0 ml/L dapat menurunkan populasi protozoa (Pen et al. 2006). Penambahan ekstrak daging buah lerak dalam ransum domba terbukti menurunkan populasi protozoa dan efektif sebagai agen defaunasi parsial dalam rumen tanpa kehilangan aktivitas antiprotozoanya dalam waktu 27 hari (Wina et al. 2006). Efek antiprotozoa juga terdapat pada saponin dari biji fenugreek serta daun Sesbania yang mampu menurunkan populasi protozoa hampir 50% (Goel et al. 2008). Ivan et al. (2004) melaporkan bahwa defaunasi menggunakan daun Enterolobium cyclocarpum sebesar 200 g/e/hari pada domba dapat menurunkan protozoa selama 4-11 hari sebesar 49-75% dan cenderung meningkat pada hari ke20. Komposisi spesies protozoa rumen untuk Entodinium, Isotricha dan Dasytricha relatif sama antar perlakuan, namun konsentrasi Polyplastron dan Enoplastron meningkat dengan pemberian E.cyclocarpum Keragaman Bakteri Rumen Hasil analisis DGGE menunjukkan bahwa penambahan ekstrak lerak 1 mg/ml dapat mengubah keragaman bakteri rumen yang diperlihatkan dengan munculnya 1 pita baru (pita 1) dan 2 pita (pita 2 dan 3) yang meningkat ketebalannya dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Gambar 4). Sementara itu, pemberian ekstrak lerak pada level yang lebih rendah (0.001 – 0.1 mg/ml) menghasilkan profil pita yang sama dengan perlakuan kontrol. 28 Gambar 4. Pola pita-pita yang muncul pada kultur yang diberi berbagai tingkat ekstrak lerak hasil dari analisis DGGE sebagai indikator keragaman bakteri rumen Analisis similaritas menunjukkan adanya perbedaan struktur komunitas bakteri rumen dimana penambahan ekstrak lerak 1 mg/ml mempunyai klaster yang berbeda dengan perlakuan lainnya dengan koefisien similaritas sebesar 75% (Gambar 5). Perlakuan ekstrak lerak pada level dibawahnya 0.01 mg/ml menghasilkan klaster similaritas yang sama dengan perlakuan kontrol yang menunjukkan bahwa ekstrak lerak pada level tersebut belum mempengaruhi keragaman bakteri rumen. Sementara, penambahan ekstrak lerak 0.1 mg/ml tidak mempengaruhi keragaman bakteri rumen dengan koefisien similaritas sebesar 96%. 29 Gambar 5. Hasil klasterisasi keragaman bakteri rumen berdasarkan hasil analisis DGGE pada kultur yang diberi berbagai level ekstrak lerak. Hasil identifikasi pita-pita baru yang muncul pada gel DGGE dengan perlakuan 1 mg/ml ekstrak lerak menggunakan teknik kloning dan sekuensing menunjukkan bahwa sekuen yang diperoleh dari pita-pita tersebut mempunyai kemiripan dengan bakteri Prevotella ruminicola (98-100%), Butyrivibrio fibrisolvens (99%), Coprococcus eutactus (99%) dan Treponema bryantii (94%) (Tabel 5). Defaunasi menggunakan saponin dari ekstrak lerak dapat menekan populasi protozoa secara parsial dan mengakibatkan beberapa bakteri dapat berkembang. Bakteri-bakteri tersebut diduga sering dimangsa oleh protozoa pada kondisi rumen normal. Telah banyak dilaporkan bahwa protozoa merupakan predator bagi sebagian bakteri dan memangsa bakteri untuk kebutuhan proteinnya. Selain itu, dengan menurunnya populasi protozoa dapat mengurangi kompetisi zat makanan (substrat) dengan bakteri sehingga beberapa bakteri dapat berkembang. 30 Tabel 5. Identifikasi bakteri pada pita-pita baru hasil DGGE pada kultur yang mendapat perlakuan 1 mg/ml ekstrak lerak Pita 1 2 3 Closest related species Coprococcus eutactus EFO31543 Similaritas sekuen (%) 99 Clostridium methylpentosum Y18181 Treponema bryantii M57737 Prevotella ruminicola AJ009933 Subdoligranulum variabile AJ518869 87 94 98 88 Pseudobutyrivibrio ruminis atau Butyrivibrio fibrisolvens 99 Prevotella nigrescens X73963 Spirochaeta zuelzerae M88725 Prevotella ruminicola AB004909 91 88 100 Acinetobacter lwoffii Z93442 100 Bakteri P. ruminicola merupakan bakteri yang dapat menghasilkan propionat melalui jalur akrilat, sedangkan T. bryantii juga termasuk bakteri yang aktif mendegradasi turunan xylan dan pektin menjadi suksinat yang merupakan prekursor propionat. B. fibrisolvens merupakan bakteri penghasil butirat dan C. eutactus merupakan bakteri proteolitik yang mendegradasi protein (Hobson & Stewart 1997). Hal ini dapat mengarahkan proses fermentasi pakan untuk pembentukan propionat yang sangat diperlukan oleh ternak sapi potong sebagai sumber energi utama. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Cheeke (2000) yang menunjukkan bahwa secara in vitro, saponin dari ekstrak Y. schidigera dapat menstimulasi pertumbuhan bakteri P. ruminicola dan menekan pertumbuhan bakteri S. bovis. Pengaruh tersebut diduga berhubungan dengan adanya membran luar pada bakteri P. ruminicola yang merupakan bakteri Gram negatif yang mempunyai lapisan hidrofilik sehingga dapat berperan sebagai penghalang (barrier) dan memproteksi bakteri (Nikaido 1994). Ozutsumi et al. (2006) menyatakan bahwa pada rumen yang mendapat perlakuan defaunasi terjadi peningkatan jumlah bakteri P. ruminicola, R. albus, dan R. flavefaciens dibandingkan pada rumen yang tidak mendapat perlakuan defaunasi. Sebaliknya, jumlah bakteri F. succinogenes lebih rendah pada perlakuan defaunasi. Wang et al. (2000) melaporkan penurunan 31 pertumbuhan kultur murni bakteri P. bryantii, S. bovis dan Ruminobacter amylophilus dengan pemberian saponin steroid yang menghambat perkembangan dinding sel bakteri. Hal ini memperjelas bahwa munculnya bakteri baru serta meningkatnya beberapa bakteri yang diidentifikasi pada penelitian ini terkait dengan peran ekstrak lerak sebagai antiprotozoa. Pada kondisi populasi protozoa terhambat, maka bakteri-bakteri tersebut dapat berkembang optimal. Penelitian lain menunjukkan bahwa penambahan daun S. pachyarpa yang mengandung saponin tidak menghambat pertumbuhan bakteri selulolitik seperti F. succinogenes dan R. flavefaciens, tetapi berpengaruh negatif pada R. albus pada sistem in vitro (Muetzel et al 2003). Meskipun telah banyak diketahui bahwa ketiadaan protozoa dapat meningkatkan populasi bakteri, namun perlu diklarifikasi bahwa pengaruh tersebut lebih ditekankan pada peningkatan bakteri spesifik pada rumen ternak. Berdasarkan penelitian ini, belum dapat dijelaskan mekanisme peningkatan bakteri spesifik rumen akibat penggunaan ekstrak lerak 1 mg/ml. Karakteristik Fermentasi Produksi Gas Total, Hidrogen (H2) dan Metan (CH4) Pemberian ekstrak lerak sebesar 1 mg/ml meningkatkan (P<0.05) produksi gas total pada inkubasi 12 dan 24 jam, tetapi pada inkubasi 48 jam tidak terjadi perbedaan antar perlakuan (Gambar 6). Sementara, konsentrasi metan/ml gas pada inkubasi 48 jam menurun (P<0.05) dengan penggunaan ekstrak lerak 1 mg/ml dibandingkan perlakuan kontrol (Gambar 7). Namun, total produksi metan dan H2 pada inkubasi 48 jam sama antar perlakuan (Tabel 6). Peningkatan produksi gas total yang terdiri dari CO2, O2, CH4 dan gas lainnya sebagai respon terhadap penggunaan ekstrak lerak mengindikasikan terjadinya peningkatan aktivitas fermentasi rumen. Selain itu, terjadinya penurunan konsentrasi metan/ml gas sebesar 11% dibanding perlakuan kontrol menunjukkan terjadinya pemanfaatan H2 untuk pembentukan propionat. Hal ini juga didukung oleh meningkatnya produksi propionat yang diperkirakan dilakukan oleh beberapa bakteri rumen. 32 Gambar 6. Pola produksi gas total in vitro pada berbagai level ekstrak lerak Gambar 7. Konsentrasi metan/ml gas in vitro pada 48 jam inkubasi sebagai respon pengaruh berbagai level ekstrak lerak Peningkatan produksi propionat akibat penambahan ekstrak lerak juga dapat menekan produksi metan. Hal ini dikarenakan baik produksi metan maupun propionat merupakan dua jalur metabolisme yang sama-sama memerlukan H2 dalam sistem rumen. Disamping itu, penurunan jumlah protozoa dalam rumen juga dapat 33 secara parsial menghambat aktivitas bakteri metanogen karena protozoa merupakan inang bagi beberapa bakteri metanogen (Finlay et al. 1994). Penekanan populasi protozoa melalui defaunasi dapat mengakibatkan pertumbuhan beberapa bakteri metanogen terhambat, serta mempengaruhi komposisi bakteri rumen, profil VFA berubah dengan meningkatnya produksi propionat dan menurunnya produksi asetat dan butirat, serta produksi metan berkurang. Lila et al. (2005) juga melaporkan bahwa suplementasi sarsaponin dapat menurunkan produksi gas metan dan secara parsial dapat menghambat aktivitas bakteri metanogen dalam rumen in vivo. Sementara, Hess et al. (2003) menunjukkan bahwa saponin dari S. saponaria 100 mg/g dapat menurunkan produksi metan sebesar 20% pada substrat berbasis hijauan, namun penurunan tersebut tidak terkait langsung dengan penurunan populasi protozoa. Namun sebaliknya, Goel et al. (2008) melaporkan bahwa secara in vitro saponin dari daun Sesbania (21.2 mg), Fenugreek (11.54 mg), dan Kanutia (7.76 mg) dalam 380 mg substrat campuran hay dan konsentrat (1:1) dapat menurunkan populasi protozoa 10%-39% dan menghambat metanogen berturut-turut sebesar 78%, 22% dan 21% namun tidak berpengaruh pada produksi gas metan. Di dalam rumen, produksi metan yang diakibatkan simbiosis antara protozoa dan metanogen tergantung pada laju asosiasi antara protozoa dan metanogen serta laju produksi metan per sel metanogen. Pengaruh saponin dari ekstrak Y. schidigera (YSE) terhadap produksi metan secara in vivo pada domba juga telah dilaporkan Wang et al. (2009) yang menunjukkan bahwa pemberian 170 mg/hari YSE pada domba dapat menurunkan produksi metan sekitar 15% dan nampaknya hal ini berkorelasi dengan peningkatan proporsi propionat. Pengaruh saponin terhadap produksi metan tidak dipengaruhi oleh rasio antara hijauan dan konsentrat. Xu et al. (2010) melaporkan bahwa penggunaan saponin dari YSE 110 mg/kg dapat menurunkan produksi metan pada berbagai rasio hijauan dan konsentrat (50:50 dan 10:90) pada 24 jam inkubasi serta pada berbagai sumber hijauan (alfalfa (Medicago sativa), fescue (Festuca arundinacea), rumput orchard (Dactylis glomerata), Bermuda (Cynodon dactylon) dan rumput switch (Panicum virgatum). Tidak terdapat interaksi antara YSE, sumber hijauan dan rasio hijauan dan konsentrat yang digunakan yang menunjukkan bahwa saponin YSE 34 dapat menurunkan metan pada berbagai jenis hijauan dan rasio hijauan dan konsentrat yang berbeda. Profil VFA dan pH Rumen Penambahan ekstrak lerak sebesar 1 mg/ml menurunkan (P<0.01) nilai pH sampai 6.25 pada inkubasi 48 jam. Meskipun penggunaan ekstrak lerak tidak mempengaruhi konsentrasi VFA total, namun produksi propionat meningkat (P<0.01) sementara produksi asetat, butirat, isovalerat dan valerat menurun (P<0.01). Kondisi tersebut menurunkan rasio asetat : propionat dari 2.98 menjadi 2.36 (Tabel 6). Penurunan proporsi asetat dan butirat dengan pemberian ekstrak lerak 1 mg/ml diduga disebabkan oleh terjadinya perubahan pola fermentasi yang mengarah pada pembentukan propionat. Pada sistem metabolisme rumen, karbohidrat pakan (termasuk serat pakan) akan diubah menjadi asam piruvat yang selanjutnya terbagi menjadi 2 jalur yaitu diubah menjadi laktat untuk pembentukan propionat dan jalur lain dirubah menjadi asetil koenzim A untuk pembentukan asetat dan butirat. Nampaknya, perubahan komposisi bakteri rumen akibat pemberian ekstrak lerak dapat mengarahkan pembentukan laktat dari piruvat yang selanjutnya dirubah menjadi propionat. Sehingga, proporsi terbentuknya asetil koenzim A diduga menurun yang mengakibatkan penurunan butirat dan asetat. Tabel 6. Rataan nilai karakteristik fermentasi in vitro selama 48 jam inkubasi pada berbagai level ekstrak lerak Parameter pH Total VFA (mM) VFA(% total VFA) Asetat Propionat Butirat Iso-valerat Valerat A:P H2 48 j (µM) 0 6.37a 96.89 Level ekstrak lerak (mg/ml) 0.001 0.01 0.1 1 ab ab b 6.35 6.33 6.32 6.25 c 99.32 99.74 99.29 98.42 SEM 0.0096 0.55 64.17a 21.54b 11.69a 1.17 a 1.42 a 2.98 a 7.70 63.97a 21.56b 11.84a 1.18 a 1.44 a 2.97 a 7.16 0.21 0.41 0.18 0.02 0.006 0.05 1.081 63.72a 21.74b 11.91a 1.18a 1.45a 2.93a 8.47 63.84a 21.77b 11.80a 1.14a 1.44a 2.93a 7.25 61.74b 26.12a 9.90b 0.86b 1.39b 2.36b 8.06 Rataan dengan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan (P<0.01) A:P=asetat:propionat 35 Penambahan saponin dan senyawa mirip saponin telah diketahui dapat meningkatkan konsentrasi propionat dan rasio relatifnya terhadap total VFA dalam rumen khususnya ketika saponin dengan konsentrasi tinggi diberikan (Goel et al. 2008; Wina et al. 2005b). Saponin yang diekstraksi dari keseluruhan buah dan biji lerak yang dievaluasi pada percobaan ini juga dapat meningkatkan produksi propionat tanpa menurunkan produksi total VFA. Propionat merupakan sumber energi utama bagi ternak pedaging melalui proses glukoneogesis (Yost et al. 1977; Murray et al. 2006), sehingga peningkatan konsentrasi propionat akan memperbaiki efisiensi penggunaan pakan oleh ternak. Peningkatan produksi propionat terjadi hanya pada penggunaan ekstrak lerak 1 mg/ml. Pada level yang sama, juga terjadi penurunan yang nyata terhadap populasi protozoa, konsentrasi metan, dan perubahan komposisi bakteri rumen (Tabel 4, Gambar 4 dan 7). Peningkatan konsentrasi propionat diduga distimulasi oleh berkembangnya bakteri P.ruminicola dan T. Bryantii pada penggunaan ekstrak lerak 1 mg/ml. Bakteri .ruminicola dan T. Bryantii diketahui merupakan produsen propionat dan suksinat pada sistem rumen (Hobson & Stewart, 1997). SIMPULAN Buah dan biji lerak yang diekstraksi dengan metanol mengandung saponin tinggi (81.5% BK) dan dapat digunakan sebagai agen defaunasi untuk menekan pertumbuhan populasi protozoa. Penggunaan ekstrak lerak sebesar 1 mg/ml mempunyai pengaruh yang menguntungkan pada fermentasi rumen dengan meningkatkan produksi propionat dan menekan produksi metan. Ekstrak lerak dapat mempengaruhi keragaman komposisi bakteri rumen dengan berkembangnya beberapa bakteri antara lain P. ruminicola dan T. bryantii. DAFTAR PUSTAKA Benchaar C, McAllister TA, Choulnard PY. 2008. Digestion, ruminal fermentation, ciliate protozoal populations, and milk production from dairy cows fed cinnamaldehyde, quebracho condensed tannin, or Yucca schidigera saponin extracts. J. Dairy Sci. 91: 4786-4777. 36 Cheeke PR. 2000. Actual and potential applications of Yucca schidigera and Quillaja saponaria saponins in human and animal nutrition. Proc. Am. Soc. Anim. Sci. 10 hlm. Dohme F, Machmuller A, Estermann BL, Pfister P, Wasserfallen A, Kreuzer M. 1999. The role of the rumen ciliate protozoa for methane suppression caused by coconut oil. Lett. Appl. Microbiol. 29:187–192. Eugene M, Archimede H, Michalet-Doreau B, Fonty G. 2004. Effects of defaunation on microbial activities in the rumen of rams consuming a mixed diet (fresh Digitaria decumbens grass and concentrate). Anim. Res. 53:187200. Finlay BJ, Esteban G, Clarke KJ, Williams AG, Embley TM, Hirt RP. 1994. Some rumen ciliates have endosymbiotic methanogens. FEMS Microbiol. Lett. 117:157–162. Francis G, Kerem Z, Makkar HPS, Becker K. 2002. The biological action of saponins in animal systems: a review. Br. J. Nutr. 88 :587-605. Goel G, Makkar HPS, Becker K. 2008. Changes in microbial community structure, methanogenesis and rumen fermentation in response to saponin-rich fractions from different plant materials. J. Appl. Microbiol. 105:770-777. Gutierrez J. 2007. Observations on Bacterial Feeding by the Rumen Ciliate Isotricha prostoma. J. Eukaryotic Microbiol. 5:122-126 Hart KJ, Yanez-Ruiz DR, Duval SM, McEwan NR, Newbold CJ. 2008. Plant extracts to manipulate rumen fermentation. Anim. Feed Sci. Tech. 147:8-35. Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Lebdosukojo S, Tillman A, Kearl LC, Harris LE. 1980. Tabel-tabel dari Komposisi Bahan Makanan Ternak untuk Indonesia. International Feedstuffs Institute Utah Agricultural Experiment Station, Utah. Hess HD, Kreuzer M, Diaz TE, Lascano CE, Carulla JE, Soliva CL, Machmuller A. 2003. Saponon rich tropical fruits affect fermentation and methagonesis in faunated and defaunated rumen fluid. Anim. Feed Sci. Tech. 109:79-94 Hobson PN, Stewart CS. 1997. The Rumen Microbial Ecosystem. London. Blackie Academic & Professional. Ivan M, Koenig KM, Teferedegne B, Newbold CJ, Entz T, Rode LM, Ibrahim M. 2004. Effects of the dietary Enterolobium cyclocarpum foliage on the population dynamics of rumen ciliate protozoa in sheep. Small Ruminant Research 52:81-91. Johnson KA, Johnson DE. 1995. Methane emissions from cattle. J. Anim. Sci. 73:2483-2493 Kajikawa H, Tajima K, Mitsumori M, Takenaka A. 2007. Effects of amino nitrogen on fermentation parameters by mixed ruminal microbes when energy or nitrogen is limited. Animal Science Journal 78 : 121–128 Kamra DN. 2005. Rumen Microbial Ecosystem. Current Sci. 89:1-12. Karnati SKR, Yu Z, Firkins JL. 2009. Investigating unsaturated fat, monensin, or bromoethanesulfonate in continuous cultures retaining ruminal protozoa. II. Interaction of treatment and presence of protozoa on prokaryotic communities. J. Dairy Sci. 92:3861–3873 Lila ZA, Mohammed N, Kanda S, Kamada T, Itabashi H. 2003. Effect of sarsaponin on ruminal fermentation with particular reference to methane production in vitro. J. Dairy Sci. 86:3330-3336. 37 Lila ZA, Mohammed N, Kanda S, Kurihara M, Itabashi H. 2005. Sarsaponin effects on ruminal fermentation and microbes, methane production, digestibility and blood metabolites in steers. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 18:1746-1751. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid I. Edisi ke-2. Institut Pertanian Bogor (IPB)-Press, Bogor Morrissey JP, Osbourn AE. 1999. Fungal resistance to plant antibiotics as a mechanism of pathogenesis. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 63:708–724. Muetzel S, Hoffmann EM, Becker K. 2003. Supplementation of barley straw with Sesbania pachycarpa leaves in vitro: effects on fermentation variables and rumen microbial population structure quantified by ribosomal RNA-targeted probes. Br. J. Nutr. 89:445–453. Murray RK. Granner DK, Rodwell VW. 2006. Harper's Illustrated Biochemistry. 27TH Edition. The McGraw-Hill Companies, USA. Muyzer G, De Waal EC, Uitterlinden AG. 1993. Profilling of complex microbial populations by denaturing gradient gel electrophoresis analysis of polymerase chain reaction-amplified genes coding for 16S rRNA. Appl. Environ. Microbiol. 59: 695-700. Newbold CJ, El Hassan SM, Wang J, Ortega ME, Wallace RJ. 1997. Influence of foliage from African multipurpose trees on activity of rumen protozoa and bacteria. Br. J. Nutr. 78:237–249. Nikaido H. 1994. Prevention of drug access to bacterial targets: permeability barriers and active efflux. Science 264:382–388. Ogimoto K, Imai S. 1981. Atlas of Rumen Microbiology. Japan Science. Societes Press, Tokyo. Onodera R, Yamasaki N, Murakami K. 1988. Effect of inhabitation by ciliate protozoa on the digestion of fibrous materials in vivo in the rumen of goats and in an in vitro rumen. Agric. Biol. Chem. 52:2635-2637. Ozutsumi Y, Tajima K, Takenaka A, Itabashi H. 2006. Real-Time PCR detection of the effects of protozoa on rumen bacteria in cattle. Current Microbiol. 52:158–162. Patra AK, Kamra DN, Agarwal N. 2006. effect of plant extract on in vitro methanogenesis, enzyme activities and fermentation of feed in rumen liquor of buffalo. Anim. Feed Sci. Tech. 128:276-291. Pen B, Sar C, Mwenya B, Kuwaki K, Morikawa R, Takahashi J. 2006. Effects of Yucca schidigera and Quillaja saponaria extracts on in vitro ruminal fermentation and methane emission. Anim. Feed Sci. Technol. 129:175–186. Russell JB, Rychlik JL. 2001. Factors that alter rumen microbial ecology. Science 292:1119-1122. Teferedegne B. 2000. New perspectives on the use of tropical plants to improve ruminant nutrition. Proc. Nutr. Soc. 59:209-214. Wang Y, McAllister TA, Yanke LJ, Cheeke PR. 2000. Effect of steroidal saponin from Yucca schidigera extract on ruminal microbes. J. Appl. Microbiol. 88:887–896 Wang CJ, Wang SP, Zhou H. 2009. Influences of flavomycin, ropadiar, and saponin on nutrient digestibility, rumen fermentation, and methane emission from sheep. Anim.Feed Sci.Tech. 148:157-166. Wallace RJ, McPherson CA. 1987. Factors affecting the rate of breakdown of bacterial protein in rumen fluid. British J. Nutr. 58:313-323 38 Wallace RJ, Arthaud L, Newbold CJ. 1994. Influence of Yucca shidigera extract on ruminal ammonia concentrations and ruminal microorganisms. Appl. Environ. Microbiol. 60:1762-1767. Wina E, Muetzel S, Becker K. 2005a. The dynamics of major fibrolytic microbes and enzyme activity in the rumen in response to short-and long-term feeding of Sapindus rarak saponins. J. Appl. Microbiol. 100:114-122. Wina E, Muetzel S, Hoffmann E, Makkar HPS, Becker K. 2005b. Saponins containing methanol extract of Sapindus rarak affect microbial fermentation, microbial activity and microbial community structure in vitro. Anim. Feed Sci. Tech. 121:159-174. Wina E, Muetzel S, Becker K. 2006. Effects of daily and interval feeding of Sapindus rarak saponins on protozoa, rumen fermentation parameters and digestibility in sheep. Asian-Aust. J. Anim.Sci. 19:1580-1587. Xu M, Rinker M, McLeod KR, Harmon DL. 2010. Yucca schidigera extract decreases in vitro methane production in a variety of forages and diets. Anim. Feed Sci. Tech. 159:18-26. Yost WM, Young JW, Schmidt SP, Mcgilliard AD. 1977. Gluconeogenesis in ruminants: propionic acid production from a high-grain diet fed to cattle. J. Nutr. 107: 2036-2043.