KERAGAMAN BAKTERI, FERMENTASI RUMEN DAN PRODUKSI

advertisement
KERAGAMAN BAKTERI, FERMENTASI RUMEN DAN PRODUKSI
METAN IN VITRO DENGAN PEMBERIAN
EKSTRAK LERAK (Sapindus rarak)
ABSTRACT
To study the effect of whole fruit lerak extract (Sapindus rarak) on rumen microbial
diversity, fermentation, and methane gas production, an in vitro fermentation assay
with different levels of lerak extract was conducted. The design of experiment was
Completely Randomized Design with different level of lerak extract (0.001 – 1
mg/ml). Substrate for in vitro fermentation was a mixture of nature grass and
concentrate (self mixing) with the ratio of 50:50. Bacterial diversity of rumen fluid
was analyzed using denaturing gradient gel electrophoresis (DGGE) and
identification of rumen bacteria from the DGGE gel was analyzed using cloning and
sequencing. The result showed that protozoa population was significantly reduced
(P<0.05) when 1 mg/ml of lerak extract was added. The gas production significantly
increased (P<0.05) when 1 mg/ml of lerak extract was included over the incubation
time, while methane production/ml gas significantly decreased (P<0.05). The H2
production was not affected by the addition of lerak extract but tended to increase
with the addition 0.1% lerak extract. Although lerak extract had little effect on
concentration of total volatile fatty acids, the production of acetic and butyric acid
significantly decreased (P<0.05) while propionic acid significantly increased
(P<0.05). The population of some specific bacteria increased in response to lerak
extract supplementation. These bacteria were most closely related to P. ruminicola
and T. Bryantii. These results indicated that whole lerak fruit extract at level 1 mg/ml
could improve ruminal fermentation by depressing protozoa, methane production,
and influence the ruminal bacterial composition.
Keywords: Sapindus rarak; protozoa; bacterial diversity, ruminal fermentation,
methane
PENDAHULUAN
Aktivitas bakteri rumen dalam mendegradasi serat pakan seringkali terganggu
oleh protozoa karena pemangsaan beberapa bakteri oleh protozoa (Gutierrez 2007;
Hart et al. 2008).
Beberapa hasil in vitro sebelumnya menunjukkan bahwa
pemangsaan dan pencernaan bakteri oleh protozoa merupakan penyebab utama
penurunan protein mikroba dalam sistem rumen (Wallace & McPherson 1987).
Walaupun protozoa juga memegang peranan penting dalam pencernaan serat pakan
(Onodera et al. 1988; Hart et al. 2008), keberadaan protozoa dalam rumen
mempunyai lebih banyak kerugiannya bila dibandingkan keuntungannya (Eugene et
al. 2004). Disamping memangsa bakteri, keberadaan protozoa dalam rumen juga
berpotensi menurunkan pemanfaatan energi oleh ternak.
Protozoa diketahui
19
menstimulasi pembentukan gas metan oleh bakteri metanogen karena protozoa juga
berperan sebagai inang untuk beberapa bakteri metanogen. Penekanan populasi
protozoa merupakan salah satu strategi untuk menurunkan produksi metan asal
ternak ruminansia (Dohme et al. 1999). Energi yang hilang sebagai metan dari
ternak sapi berkisar antara 2-12% dari total konsumsi energi (Johnson & Johnson,
1995) dengan nilai setiap 1 L gas metan setara dengan 39.5 KJ energi pakan. Gas
metan yang diemisi dapat memberikan kontribusi efek ruang kaca terhadap
lingkungan. Emisi metan oleh ternak ruminansia sebagian besar melalui proses
eruktasi (sendawa) sekitar 85% dan sisanya melalui feses sekitar 15%. Sehingga
diperlukan upaya memperbaiki manajemen pemeliharaan ternak untuk meningkatkan
efisiensi penggunaan pakan dan menurunkan produksi metan.
Saponin diketahui berpotensi menekan pertumbuhan protozoa dan mengubah
pola fermentasi dalam sistem rumen (Wina et al., 2005a; Benchaar et al. 2008).
Penurunan populasi protozoa juga akan mempengaruhi keragaman mikroba rumen,
memperbaiki aliran protein mikroba dari rumen, meningkatkan efisiensi pemanfaatan
pakan dan menurunkan pembentukan
metan. Karnati et al. (2009) melaporkan
bahwa defaunasi secara selektif menurunkan Ruminococci dan Clostridia tetapi
cenderung meningkatkan beberapa populasi Butyrivibrio.
Keberadaan protozoa
mempengaruhi baik populasi bakteri maupun archaea melalui pemangsaan selektif,
kompetisi substrat atau melalui interaksi simbiosis.
Ekstrak keseluruhan buah dan biji lerak mengandung saponin yang tinggi dan
dapat digunakan sebagai agen defaunasi serta memperbaiki performa ternak. Wina
et al. (2006) melaporkan bahwa ekstrak kulit buah lerak dapat meningkatkan
pertumbuhan bobot hidup harian (PBBH) domba sebesar 40%. Data yang
melaporkan pengaruh saponin dari buah lerak terhadap produksi metan dan
keragaman mikroba rumen masih terbatas.
Pemisahan kulit buah lerak dari bijinya secara teknis kurang aplikatif,
sehingga penggunaan keseluruhan buah dan bijinya untuk mendapatkan saponin
merupakan alternatif yang baik. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis dan
mengevaluasi pengaruh ekstrak keseluruhan buah dan biji lerak pada populasi
protozoa, produksi gas total dan metan, produksi
keragaman bakteri rumen secara in vitro.
volatile fatty acid (VFA) dan
20
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium mikrobiologi rumen, National
Institute of Livestock and Grassland Science, Tsukuba, Jepang. Waktu penelitian
berlangsung selama 4 bulan.
Ekstraksi Lerak dan Analisis Senyawa Saponin
Buah lerak diperoleh dari Purwodadi, Jawa Tengah. Buah lerak (termasuk
biji) dikeringkan dengan oven pada suhu 60oC sampai mencapai 90% bahan kering
lalu digiling sehingga terbentuk tepung lerak. Tepung lerak kemudian direndam
dengan methanol (1 : 4, b/v) selama 24 jam dan selanjutnya disaring sehingga
diperoleh supernatan.
Pelet/endapan sisa penyaringan kemudian diekstraksi
menggunakan methanol baru dengan volume yang sama (1:4, b/v) selama 24 jam dan
dilanjutkan dengan penyaringan kembali.
Supernatan yang diperoleh kemudian
dicampur dengan hasil penyaringan sebelumnya dan diuapkan dengan rotary
evaporator. Hasil ekstrak methanol kemudian dikeringbekukan dengan freeze dryer
dan disimpan dalam freezer sebelum digunakan. Senyawa sekunder lerak baik dalam
tepung maupun ekstrak dianalisis kandungan tanin dan saponinnnya di Balai
Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor.
Substrat Fermentasi dan Perlakuan
Cairan rumen yang digunakan untuk percobaan in vitro berasal dari sapi
perah Holstein non-laktasi yang berfistula. Sapi fistula dipelihara dalam kandang
koloni yang diberi ransum yang
terdiri dari hay rumput timothy (67% bahan
kering/BK), jagung (19%) dan bungkil kedelai (14%) sebanyak 2 kali sehari pada
pukul 09.00 dan 17.00 (3.6 kg BK per pemberian). Sapi fistula sudah disertifikasi
oleh The Animal Care Committee of National Institute of Livestock and Grassland
Science, Japan. Cairan rumen yang digunakan untuk percobaan in vitro diambil dari
sapi fistula pada pagi hari (pukul 10.00) dan disaring dengan kain tipis berlapis.
Substrat yang digunakan untuk percobaan in vitro merupakan campuran
antara rumput alam dan pakan konsentrat yang dibawa dari Indonesia.
Pakan
21
konsentrat terdiri atas bungkil kedelai, bungkil kelapa, onggok, pollard, molases,
Dicalcium Phosphate (DCP), NaCl dan CaCO3. Rumput alam diperoleh dari lahan
sekitar laboratorium lapang Fakultas Peternakan IPB kemudian dikeringkan dan
digiling sehingga diperoleh tepung. Hasil analisis proksimat pakan konsentrat dan
rumput disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi nutrien hijauan, konsentrat dan total ransum yang digunakan
sebagai substrat fermentasi in vitro
Nutrien
Abu
Rumput
Total ransum*
Konsentrat (K)
Lapang (R)
R:K=50:50
---------------------------% BK--------------------------7.99
9.37
6.60
Protein Kasar (PK)
8.98
19.07
14.03
Lemak Kasar (LK)
1.03
3.00
2.02
Serat Kasar (SK)
37.67
12.20
24.94
BETN
42.95
59.13
51.04
TDN
48.82
75.16
61.99
Hasil analisis proksimat di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (2009).
TDN (Hartadi et al. 1980) = 92.64-3.338(SK)-6.945(LK)-0.762(BETN)+1.115(PK)+0.031(SK)20.133(LK)2+0.036(SK)(BETN)+0.207(LK)(BETN)+0.100(LK)(PK)-0.022(LK)2(PK)
*Hasil perhitungan
Percobaan dilakukan menggunakan 5 perlakuan dan 4 ulangan. Substrat yang
digunakan adalah campuran hijauan dan konsentrat (50:50 BK/BK) dengan
perlakuan level ekstrak lerak yang digunakan sebagai berikut :
P1 : Substrat + ekstrak lerak 0 mg/ml (kontrol)
P2 : Substrat + ekstrak lerak 0.001 mg/ml
P3 : Substrat + ekstrak lerak 0.01 mg/ml
P4 : Substrat + ekstrak lerak 0.1 mg/ml
P5 : Substrat + ekstrak lerak 1 mg/ml
Fermentasi In vitro
Sampel substrat dari setiap perlakuan (0.1 g) ditimbang dalam 20 ml tabung
fermentor. Setiap tabung ditambahkan 5 ml larutan buffer dan 5 ml cairan rumen
serta larutan ekstrak lerak sesuai perlakuan (Kajikawa et al., 1990). Selama
22
mencampur bahan dan larutan tersebut selalu dijaga dalam kondisi anaerob dengan
mengalirkan gas CO2. Setelah itu, tabung fermentor kemudian di tutup dengan tutup
karet dan dipastikan tidak ada gas O2 yang masuk. Tabung fermentor kemudian
diinkubasi dalam water bath pada suhu 39oC.
Sampel larutan hasil fermentasi kemudian diambil sebanyak 0.5 ml pada
jam ke-12, -24 and -48 jam setelah inkubasi untuk analisis populasi protozoa.
Tekanan gas juga diukur pada jam inkubasi tersebut menggunakan alat pengukur
tekanan gas (GL Sciences Inc. PM222 (Kpa)). Setelah 48 jam inkubasi, 1 ml dari
fase gas diambil menggunakan syringe dan disimpan dalam tabung vial 30 ml untuk
pengukuran produksi metan. Selanjutnya, tutup karet pada tabung fermentor dibuka
dan pH setiap tabung diukur dengan pH meter. Sampel larutan hasil fermentasi
diambil sebanyak 1 ml untuk analisis VFA dan 1.5 ml untuk ekstraksi DNA dan
dianalisis keragaman mikrobanya dengan PCR-DGGE (Biorad).
Analisis populasi Protozoa, Produksi Total Gas, Metan, Hidrogen dan VFA
Pengukuran populasi protozoa dilakukan dengan mengambil sampel larutan
hasil fermentasi sebanyak 0.5 ml pada jam ke 12, 24 and 48 jam setelah inkubasi
dan dicampur dengan 2 ml larutan fiksasi lalu dikocok sempurna. Larutan fiksasi
terdiri atas 20 ml 35% formaldehyde, 180 ml ddH2O, 0.12 g methylgreen dan 1.6 g
NaCl (Ogimoto & Imai 1981). Jumlah populasi protozoa dihitung dengan Fuch
Rosenthal Counting Chamber (4 mm x 4 mm x 0.2 mm) dengan menggunakan
rumus :
Jumlah protozoa/ml = N x 1/0.0032 x FP
N = jumlah koloni protozoa terhitung dalam 16 chamber
P = Pengenceran
Tekanan gas diukur pada jam ke 12, 24 dan 48 setelah inkubasi. Nilai
tekanan gas (Kpa) yang diperoleh kemudian dikonversi menjadi produksi gas total
(ml) dengan rumus :
Produksi gas(ml) = tekanan gas (Kpa) x volume fase gas tabung fermentor (ml)
101.325
Keterangan : 1 Kpa=101.325 atm
23
Analisis konsentrasi metan dan hidrogen diukur menggunakan Biogas
Analyzer (TRI lyzer TM2, temperature 50oC). Sampel fase gas yang diambil pada
jam ke 48 inkubasi, diinjeksikan ke dalam methane analyzer untuk memperoleh data
produksi gas metan dan hidrogen.
Produksi VFA total dan parsial pada 48 jam
inkubasi diukur menggunakan gas chromatography/GC (6890 series, FID, HewlettPackard, Wilmington, DE, USA) dengan kolom 5% Thermon 1000 and 0.5% H3PO4
pada 80/100 mesh Chromosorb W (Wako Pure Chemical,Osaka, Japan).
Analisis Keragaman Mikroba Rumen dengan PCR-DGGE
Setiap 1.5 ml larutan hasil fermentasi diambil dengan pipet yang diperbesar
lubangnya agar partikel pakan dan larutan dapat terambil merata. Sampel kemudian
di sentrifus pada 15.000 g selama 5 menit. Supernatan dibuang dan pelet yang
tersisa digunakan untuk ekstraksi DNA dengan menggunakan kit (QIAmp stool kit).
PCR-DGGE dilakukan dengan menggunakan 16S rDNA yang diperoleh dari
16S rRNA sebagai template pada reaksi PCR. Sintesis cDNA menggunakan primer
V3-FwGC dan V3-Rv dengan target semua bakteri 16S rDNA V3 region dan
panjangnya 190-200 bp. Karakteristik primer yang digunakan adalah primer V3FwGC yang mengandung GC Clamp dengan sekuen 5`-CGC CCG CCG CGC GCG
GCG GGC GGG GCG GGG GCA CGG GGG GCC TAC GGG AGG CAG CAG-3`
dan primer V3-Rv dengan sekuen 5`-ATT ACC GCG GCT GCT GG-3` (Muyzer et
al., 1993). Variabel V3 region untuk 16S rDNA tersebut diamplifikasi menggunakan
PCR dengan kondisi denaturasi awal pada suhu 94oC selama 2 menit, kemudian
amplifikasi sebanyak 30 siklus yang terdiri dari denaturasi pada suhu 94oC selama 30
detik, annealing pada suhu 55oC selama 45 detik dan extension pada suhu 72oC
selama 30 detik. Extension terakhir dilakukan pada suhu 72oC selama 9 menit.
Produk PCR kemudian diseparasi pada 8% (w/v) polyacrylamide gel dengan gradien
denaturasi mulai 30% sampai 60% menggunakan sistem DGGE. Elektroforesis
dilakukan pada 90 volt selama 16 jam pada suhu yang konstan (65oC) pada buffer
TAE 0.5X.
Pita-pita yang terbentuk pada gel setelah elektroforesis selesai, kemudian
divisualisasi dengan menggunakan pewarnaan perak (silver staining). Sebelumnya,
gel hasil elektroforesis dipotong bagian stacking gel kemudian difiksasi dalam 200
24
ml larutan fiksasi (1 ml asam asetat glasial, 20 ml etanol dan 179 ml akuades) selama
2 jam. Selanjutnya, dicuci dengan H2O sebanyak 2 kali dan direndam dalam larutan
pewarna perak (0.25 g AgNO3 dalam 250 ml H2O) sebanyak 2 kali selama 20 menit
dan 35 menit. Gel kemudian dicuci dengan H2O sebanyak 2 kali lalu direndam
dalam larutan developer (200 ml H2O, 3 g NaOH, 0.02 g NaBH3 dan 0.8 ml
formaldehyde) selama 7 menit sampai terlihat pita-pita pada gel. Selanjutnya, gel
dicuci dengan H2O
dan dilapis plastik wrap kemudian di foto menggunakan
scanner. Keragaman mikroba rumen yang digambarkan oleh pita-pita pada gel di
klasterisasi menggunakan program NTsys 2.1.
Identifikasi pita-pita baru yang muncul pada gel dilakukan dengan teknik
kloning dan sekuensing. Pita pada gel DGGE dipotong dan diamplifikasi dengan
primer 1 dan 2 (Muyzer et al. 1993) menggunakan ExTaq DNA polymerase. Sekuen
nukleotida dari primer 1 yaitu 5’-CCTACGGGAGGCAGCAG-3’; primer 2, 5’ATTACCGCGGCTGCTGG-3’. Kondisi PCR yang digunakan adalah denaturasi
awal 94oC selama 2 menit, kemudiam amplifikasi sebanyak 30 siklus yang terdiri
dari denaturasi pada suhu 94oC selama 30 detik, annealing pada suhu 55oC selama
30 detik dan extension pada suhu 72oC selama 30 detik.
Extension terakhir
dilakukan pada suhu 72oC selama 7 menit. Setelah produk PCR dipurifikasi dengan
QIAquick PCR purification kit (QIAGEN, Hilden, Germany), kemudian di-ligasi
dengan PCR2.1 (Invitrogen Corp, Carlsbad, CA, USA) dan di masukkan ke dalam
One Shot TOP10 Electrocom E. coli (Invitrogen Corp, Carlsbad, CA, USA). Produk
yang dikloning menjadi plasmid kemudian diamplifikasi menggunakan primer 2 dan
3 (Muyzer et al., 1993) untuk mengkonfirmasi posisi amplicon pada gel DGGE.
Sekuen nukleotida dari primer 3 yaitu 5’-CGCCCGCCGCGCGCGGGCGGGGC
GGGGGCACGGGGGG CCTACGGGAGGCAGCAG. Sekuen dari klon tersebut
kemudian di identifikasi menggunakan 3730 DNA analyzer (Applied Biosystems,
Foster City, CA, USA) dan dibandingkan dengan basis data pada GenBank
menggunakan program DDBJ BLAST (http://www.ddbj.nig.ac.jp/Welcome-e.html).
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan ANOVA (analysis of
variance). Apabila terdapat perbedaan rataan yang nyata antar perlakuan, maka
dilanjutkan dengan uji Duncan (Mattjik & Sumertajaya, 2002).
25
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Lerak
Kandungan saponin dalam tepung lerak sebesar 3.87%, sedangkan dalam
ekstrak metanol lerak sangat besar yaitu 81.5%, hampir 21 kalinya dibanding saponin
dalam tepung lerak (Tabel 3).
Tabel 3. Kandungan senyawa tanin dan saponin pada tepung dan ekstrak lerak
Bahan
Tepung Campuran segar
Ekstrak Metanol
Tanin
(%)
0.13
0.09
Sapogenin
(%)
5.03
14.07
Total Saponin
(%)
3.87
81.5
Keterangan : Hasil analisis di Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor
Saponin merupakan glikosida triterpenoid atau steroid yang banyak terdapat
pada tanaman. Gula dapat berbentuk glukosa, galaktosa, asam glukoronat, xylosa,
rhamnosa atau methylpentosa. Gula tersebut berikatan membentuk glikosida dengan
hydrophobic aglycone (sapogenin) yang berbentuk triterpenoid atau steroid menjadi
saponin. Besarnya kompleksitas struktur saponin berasal dari variabilitas struktur
aglycone, rantai samping dan posisi pengikatan gula pada aglycone (Francis et al.
2002). Beberapa saponin diketahui berfungsi sebagai antimikroba, menghambat
jamur dan memproteksi tanaman dari serangan serangga. Selain itu, saponin juga
merupakan sumber monosakarida (Morrissey & Osbourn 1999).
Keragaman Protozoa dan Bakteri Rumen
Populasi Protozoa
Populasi total protozoa menurun (P<0.05) dengan pemberian ekstrak lerak 1
mg/ml pada semua waktu inkubasi yang diamati (Tabel 4). Komposisi spesies
protozoa baik entodinium maupun holotrich tidak berbeda antar perlakuan. Namun,
level ekstrak lerak yang lebih rendah (0.001 – 0.1 mg/ml) tidak mempengaruhi baik
populasi total protozoa maupun komposisinya. Pada pengamatan 48 jam, populasi
Entodinum dan Dasytricha jauh lebih kecil dibandingkan jam ke 12 inkubasi. Hal ini
menunjukkan bahwa kedua spesies tersebut tidak dapat bertahan dalam kultur in
vitro selama 48 jam.
26
Tabel 4. Populasi total protozoa serta komposisi spesiesnya selama 12, 24 dan 48
jam inkubasi dengan pemberian berbagai level ekstrak lerak
Parameter
0
0.001
Level ekstrak lerak (mg/ml)
0.01
0.1
Entodinium, jumlah sel/ml (Log10)
12 h
4.83a
4.77a
a
24 h
4.84a
4.76
ab
48 h
4.30a
4.26
Diplodinium, jumlah sel/ml (Log10)
12 h
3.46a
3.61a
a
24 h
3.97a
3.96
a
48 h
3.72
3.67a
Dasytricha, jumlah sel/ml (Log10)
12 h
3.66a
3.75a
24 h
3.59a
3.54a
48 h
<2.70
<2.70
Total protozoa,jumlah sel/ml (Log10)
12 h
4.84a
4.88a
24 h
4.91a
4.85a
48 h
4.40a
4.38a
1
SEM
4.80a
4.80a
4.24ab
4.77a
4.76a
4.16b
< 2.70b
< 2.70b
< 2.70c
0.19
0.19
0.14
3.63a
4.00a
3.87a
3.45a
3.96a
3.68a
< 2.70b
< 2.70b
< 2.70b
0.09
0.12
0.10
3.64a
3.43a
<2.70
3.44a
3.59a
<2.70
< 2.70b
< 2.70b
<2.70
0.10
0.09
0.00
4.86a
4.89a
4.41a
4.81a
4.85a
4.31a
< 2.70b
< 2.70b
< 2.70b
0.20
0.20
0.15
Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan (P<0.01). SEM=standard error of
mean
Sensitivitas protozoa terhadap ekstrak lerak dapat dikarenakan kemampuan
saponin dari ekstrak lerak dalam mengikat sterol sehingga saponin tersebut akan
mengikat sterol pada membran protozoa dan menyebabkan kerusakan membrane
yang menyebabkan lisis atau kematian.
Penurunan populasi protozoa dengan
pemberian saponin telah banyak dilaporkan (Wallace et al. 1994; Lila et al. 2003,
2005). Newbold et al. (1997) melaporkan bahwa saponin dari S. sesban sangat
toksik untuk protozoa sehingga menekan pertumbuhan protozoa dan memperbaiki
aliran protein dari rumen.
Teferedegne (2000) menyatakan bahwa saponin
cenderung mempunyai lebih banyak pengaruh pada aktivitas protozoa rumen
dibandingkan dengan produk degradasinya, sapogenin.
Hal ini menunjukkan
pentingnya glikosida dalam aktivitas saponin terhadap protozoa. Saponin dari daun
Sesbania pachycarpa juga mempunyai efek defaunasi dan juga berkontribusi pada
meningkatnya efisiensi aktivitas mikroba (bakteri) sehubungan dengan menurunnya
pemangsaan oleh protozoa (Muetzel et al. 2003).
27
Saponin dapat menghambat baik jumlah maupun komposisi spesies protozoa
secara in vitro. Patra et al. (2006) menyatakan bahwa saponin yang diekstraksi dari
Acacia concinema dengan air, metanol maupun etanol dapat menghambat
pertumbuhan protozoa entodinimum maupun diplodinium. Aktivitas antiprotozoa
dari saponin merupakan pengaruh yang konsisten dalam ekosistem rumen, namun
masih belum jelas spesies-spesies prototozoa yang sensitif terhadap saponin.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan variasi pengaruh saponin terhadap
populasi protozoa pada percobaan in vivo. Benchaar et al (2008) menyatakan bahwa
saponin dari ekstrak Y. schidigera (10% saponin) sebesar 60 g/e/h pada sapi perah
tidak mempengaruhi populasi protozoa baik jumlah maupun komposisi spesiesnya
(Entodinium, Diplodinium, Isotricha, dan Dasytricha). Sementara, pada kajian in
vitro menunjukkan bahwa suplementasi saponin Y. schidigera 1.0-6.0 ml/L dapat
menurunkan populasi protozoa (Pen et al. 2006). Penambahan ekstrak daging buah
lerak dalam ransum domba terbukti menurunkan populasi protozoa dan efektif
sebagai agen defaunasi parsial dalam rumen tanpa kehilangan aktivitas
antiprotozoanya dalam waktu 27 hari (Wina et al. 2006). Efek antiprotozoa juga
terdapat pada saponin dari biji fenugreek serta daun Sesbania yang mampu
menurunkan populasi protozoa hampir 50% (Goel et al. 2008).
Ivan et al. (2004) melaporkan bahwa defaunasi menggunakan daun
Enterolobium cyclocarpum sebesar 200 g/e/hari pada domba dapat menurunkan
protozoa selama 4-11 hari sebesar 49-75% dan cenderung meningkat pada hari ke20. Komposisi spesies protozoa rumen untuk Entodinium, Isotricha dan Dasytricha
relatif sama antar perlakuan, namun konsentrasi Polyplastron dan Enoplastron
meningkat dengan pemberian E.cyclocarpum
Keragaman Bakteri Rumen
Hasil analisis DGGE menunjukkan bahwa penambahan ekstrak lerak 1 mg/ml
dapat mengubah keragaman bakteri rumen yang diperlihatkan dengan munculnya 1
pita baru (pita 1) dan 2 pita (pita 2 dan 3) yang meningkat ketebalannya
dibandingkan dengan perlakuan lainnya (Gambar 4).
Sementara itu, pemberian
ekstrak lerak pada level yang lebih rendah (0.001 – 0.1 mg/ml) menghasilkan profil
pita yang sama dengan perlakuan kontrol.
28
Gambar 4. Pola pita-pita yang muncul pada kultur yang diberi berbagai tingkat
ekstrak lerak hasil dari analisis DGGE sebagai indikator keragaman bakteri
rumen
Analisis similaritas menunjukkan adanya perbedaan struktur komunitas
bakteri rumen dimana penambahan ekstrak lerak 1 mg/ml mempunyai klaster yang
berbeda dengan perlakuan lainnya dengan koefisien similaritas sebesar 75% (Gambar
5).
Perlakuan ekstrak lerak pada level dibawahnya 0.01 mg/ml menghasilkan
klaster similaritas yang sama dengan perlakuan kontrol yang menunjukkan bahwa
ekstrak lerak pada level tersebut belum mempengaruhi keragaman bakteri rumen.
Sementara, penambahan ekstrak lerak 0.1 mg/ml tidak mempengaruhi keragaman
bakteri rumen dengan koefisien similaritas sebesar 96%.
29
Gambar 5. Hasil klasterisasi keragaman bakteri rumen berdasarkan hasil analisis
DGGE pada kultur yang diberi berbagai level ekstrak lerak.
Hasil identifikasi pita-pita baru yang muncul pada gel DGGE dengan
perlakuan 1 mg/ml ekstrak lerak menggunakan teknik kloning dan sekuensing
menunjukkan bahwa sekuen yang diperoleh dari pita-pita tersebut mempunyai
kemiripan dengan bakteri Prevotella ruminicola (98-100%), Butyrivibrio fibrisolvens
(99%), Coprococcus eutactus (99%) dan Treponema bryantii (94%) (Tabel 5).
Defaunasi menggunakan saponin dari ekstrak lerak dapat menekan populasi
protozoa secara parsial dan mengakibatkan beberapa bakteri dapat berkembang.
Bakteri-bakteri tersebut diduga sering dimangsa oleh protozoa pada kondisi rumen
normal. Telah banyak dilaporkan bahwa protozoa merupakan predator bagi sebagian
bakteri dan memangsa bakteri untuk kebutuhan proteinnya.
Selain itu, dengan
menurunnya populasi protozoa dapat mengurangi kompetisi zat makanan (substrat)
dengan bakteri sehingga beberapa bakteri dapat berkembang.
30
Tabel 5.
Identifikasi bakteri pada pita-pita baru hasil DGGE pada kultur yang
mendapat perlakuan 1 mg/ml ekstrak lerak
Pita
1
2
3
Closest related species
Coprococcus eutactus EFO31543
Similaritas sekuen
(%)
99
Clostridium methylpentosum Y18181
Treponema bryantii M57737
Prevotella ruminicola AJ009933
Subdoligranulum variabile AJ518869
87
94
98
88
Pseudobutyrivibrio ruminis atau
Butyrivibrio fibrisolvens
99
Prevotella nigrescens X73963
Spirochaeta zuelzerae M88725
Prevotella ruminicola AB004909
91
88
100
Acinetobacter lwoffii Z93442
100
Bakteri P. ruminicola merupakan bakteri yang dapat menghasilkan propionat
melalui jalur akrilat, sedangkan T. bryantii juga termasuk bakteri yang aktif
mendegradasi turunan xylan dan pektin menjadi suksinat yang merupakan prekursor
propionat.
B. fibrisolvens merupakan bakteri penghasil butirat dan C. eutactus
merupakan bakteri proteolitik yang mendegradasi protein (Hobson & Stewart 1997).
Hal ini dapat mengarahkan proses fermentasi pakan untuk pembentukan propionat
yang sangat diperlukan oleh ternak sapi potong sebagai sumber energi utama.
Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Cheeke (2000) yang
menunjukkan
bahwa secara in vitro, saponin dari ekstrak Y. schidigera dapat
menstimulasi pertumbuhan bakteri P. ruminicola dan menekan pertumbuhan bakteri
S. bovis. Pengaruh tersebut diduga berhubungan dengan adanya membran luar pada
bakteri P. ruminicola yang merupakan bakteri Gram negatif yang mempunyai lapisan
hidrofilik sehingga dapat berperan sebagai penghalang (barrier) dan memproteksi
bakteri (Nikaido 1994). Ozutsumi et al. (2006) menyatakan bahwa pada rumen
yang mendapat perlakuan defaunasi terjadi peningkatan jumlah bakteri P.
ruminicola, R. albus, dan R. flavefaciens dibandingkan pada rumen yang tidak
mendapat perlakuan defaunasi. Sebaliknya, jumlah bakteri F. succinogenes lebih
rendah pada perlakuan defaunasi.
Wang et al. (2000) melaporkan penurunan
31
pertumbuhan kultur murni bakteri P. bryantii, S. bovis dan Ruminobacter
amylophilus dengan pemberian saponin steroid yang menghambat perkembangan
dinding sel bakteri.
Hal ini memperjelas bahwa munculnya bakteri baru serta
meningkatnya beberapa bakteri yang diidentifikasi pada penelitian ini terkait dengan
peran ekstrak lerak sebagai antiprotozoa. Pada kondisi populasi protozoa terhambat,
maka bakteri-bakteri tersebut dapat berkembang optimal.
Penelitian lain menunjukkan bahwa penambahan daun S. pachyarpa yang
mengandung saponin tidak menghambat pertumbuhan bakteri selulolitik seperti F.
succinogenes dan R. flavefaciens, tetapi berpengaruh negatif pada R. albus pada
sistem in vitro (Muetzel et al 2003).
Meskipun telah banyak diketahui bahwa
ketiadaan protozoa dapat meningkatkan populasi bakteri, namun perlu diklarifikasi
bahwa pengaruh tersebut lebih ditekankan pada peningkatan bakteri spesifik pada
rumen ternak.
Berdasarkan penelitian ini, belum dapat dijelaskan mekanisme
peningkatan bakteri spesifik rumen akibat penggunaan ekstrak lerak 1 mg/ml.
Karakteristik Fermentasi
Produksi Gas Total, Hidrogen (H2) dan Metan (CH4)
Pemberian ekstrak lerak sebesar 1 mg/ml meningkatkan (P<0.05) produksi
gas total pada inkubasi 12 dan 24 jam, tetapi pada inkubasi 48 jam tidak terjadi
perbedaan antar perlakuan (Gambar 6). Sementara, konsentrasi metan/ml gas pada
inkubasi 48 jam menurun (P<0.05) dengan penggunaan ekstrak lerak 1 mg/ml
dibandingkan perlakuan kontrol (Gambar 7). Namun, total produksi metan dan H2
pada inkubasi 48 jam sama antar perlakuan (Tabel 6).
Peningkatan produksi gas total yang terdiri dari CO2, O2, CH4 dan gas lainnya
sebagai respon terhadap penggunaan ekstrak lerak mengindikasikan terjadinya
peningkatan aktivitas fermentasi rumen. Selain itu, terjadinya penurunan konsentrasi
metan/ml gas sebesar 11% dibanding perlakuan kontrol menunjukkan terjadinya
pemanfaatan H2 untuk pembentukan propionat.
Hal ini juga didukung oleh
meningkatnya produksi propionat yang diperkirakan dilakukan oleh beberapa bakteri
rumen.
32
Gambar 6. Pola produksi gas total in vitro pada berbagai level ekstrak lerak
Gambar 7. Konsentrasi metan/ml gas in vitro pada 48 jam inkubasi sebagai respon
pengaruh berbagai level ekstrak lerak
Peningkatan produksi propionat akibat penambahan ekstrak lerak juga dapat
menekan produksi metan.
Hal ini dikarenakan baik produksi metan maupun
propionat merupakan dua jalur metabolisme yang sama-sama memerlukan H2 dalam
sistem rumen. Disamping itu, penurunan jumlah protozoa dalam rumen juga dapat
33
secara parsial menghambat aktivitas bakteri metanogen karena protozoa merupakan
inang bagi beberapa bakteri metanogen (Finlay et al. 1994). Penekanan populasi
protozoa melalui defaunasi dapat mengakibatkan pertumbuhan beberapa bakteri
metanogen terhambat, serta mempengaruhi komposisi bakteri rumen, profil VFA
berubah dengan meningkatnya produksi propionat dan menurunnya produksi asetat
dan butirat, serta produksi metan berkurang. Lila et al. (2005) juga melaporkan
bahwa suplementasi sarsaponin dapat menurunkan produksi gas metan dan secara
parsial dapat menghambat aktivitas bakteri metanogen dalam rumen in vivo.
Sementara, Hess et al. (2003) menunjukkan bahwa saponin dari S. saponaria 100
mg/g dapat menurunkan produksi metan sebesar 20% pada substrat berbasis hijauan,
namun penurunan tersebut tidak terkait langsung dengan penurunan populasi
protozoa.
Namun sebaliknya, Goel et al. (2008) melaporkan bahwa secara in vitro
saponin dari daun Sesbania (21.2 mg), Fenugreek (11.54 mg), dan Kanutia (7.76 mg)
dalam 380 mg substrat campuran hay dan konsentrat (1:1) dapat menurunkan
populasi protozoa 10%-39% dan menghambat metanogen berturut-turut sebesar
78%, 22% dan 21% namun tidak berpengaruh pada produksi gas metan. Di dalam
rumen, produksi metan yang diakibatkan simbiosis antara protozoa dan metanogen
tergantung pada laju asosiasi antara protozoa dan metanogen serta laju produksi
metan per sel metanogen.
Pengaruh saponin dari ekstrak Y. schidigera (YSE)
terhadap produksi metan secara in vivo pada domba juga telah dilaporkan Wang et
al. (2009) yang menunjukkan bahwa pemberian 170 mg/hari YSE pada domba dapat
menurunkan produksi metan sekitar 15% dan nampaknya hal ini berkorelasi dengan
peningkatan proporsi propionat.
Pengaruh saponin terhadap produksi metan tidak dipengaruhi oleh rasio
antara hijauan dan konsentrat. Xu et al. (2010) melaporkan bahwa penggunaan
saponin dari YSE 110 mg/kg dapat menurunkan produksi metan pada berbagai rasio
hijauan dan konsentrat (50:50 dan 10:90) pada 24 jam inkubasi serta pada berbagai
sumber hijauan (alfalfa (Medicago sativa), fescue (Festuca arundinacea), rumput
orchard (Dactylis glomerata), Bermuda (Cynodon dactylon) dan rumput switch
(Panicum virgatum). Tidak terdapat interaksi antara YSE, sumber hijauan dan rasio
hijauan dan konsentrat yang digunakan yang menunjukkan bahwa saponin YSE
34
dapat menurunkan metan pada berbagai jenis hijauan dan rasio hijauan dan
konsentrat yang berbeda.
Profil VFA dan pH Rumen
Penambahan ekstrak lerak sebesar 1 mg/ml menurunkan (P<0.01) nilai pH
sampai 6.25 pada inkubasi 48 jam.
Meskipun penggunaan ekstrak lerak tidak
mempengaruhi konsentrasi VFA total, namun produksi propionat meningkat
(P<0.01) sementara produksi asetat, butirat, isovalerat dan valerat menurun (P<0.01).
Kondisi tersebut menurunkan rasio asetat : propionat dari 2.98 menjadi 2.36 (Tabel
6). Penurunan proporsi asetat dan butirat dengan pemberian ekstrak lerak 1 mg/ml
diduga disebabkan oleh terjadinya perubahan pola fermentasi yang mengarah pada
pembentukan propionat.
Pada sistem metabolisme rumen, karbohidrat pakan (termasuk serat pakan)
akan diubah menjadi asam piruvat yang selanjutnya terbagi menjadi 2 jalur yaitu
diubah menjadi laktat untuk pembentukan propionat dan jalur lain dirubah menjadi
asetil koenzim A untuk pembentukan asetat dan butirat. Nampaknya, perubahan
komposisi bakteri rumen akibat pemberian ekstrak lerak dapat mengarahkan
pembentukan laktat dari piruvat yang selanjutnya dirubah menjadi propionat.
Sehingga, proporsi terbentuknya asetil koenzim A diduga menurun yang
mengakibatkan penurunan butirat dan asetat.
Tabel 6. Rataan nilai karakteristik fermentasi in vitro selama 48 jam inkubasi pada
berbagai level ekstrak lerak
Parameter
pH
Total VFA (mM)
VFA(% total VFA)
Asetat
Propionat
Butirat
Iso-valerat
Valerat
A:P
H2 48 j (µM)
0
6.37a
96.89
Level ekstrak lerak (mg/ml)
0.001
0.01
0.1
1
ab
ab
b
6.35
6.33
6.32
6.25 c
99.32
99.74
99.29
98.42
SEM
0.0096
0.55
64.17a
21.54b
11.69a
1.17 a
1.42 a
2.98 a
7.70
63.97a
21.56b
11.84a
1.18 a
1.44 a
2.97 a
7.16
0.21
0.41
0.18
0.02
0.006
0.05
1.081
63.72a
21.74b
11.91a
1.18a
1.45a
2.93a
8.47
63.84a
21.77b
11.80a
1.14a
1.44a
2.93a
7.25
61.74b
26.12a
9.90b
0.86b
1.39b
2.36b
8.06
Rataan dengan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan (P<0.01)
A:P=asetat:propionat
35
Penambahan saponin dan senyawa mirip saponin telah diketahui dapat
meningkatkan konsentrasi propionat dan rasio relatifnya terhadap total VFA dalam
rumen khususnya ketika saponin dengan konsentrasi tinggi diberikan (Goel et al.
2008; Wina et al. 2005b). Saponin yang diekstraksi dari keseluruhan buah dan biji
lerak yang dievaluasi pada percobaan ini juga dapat meningkatkan produksi
propionat tanpa menurunkan produksi total VFA. Propionat merupakan sumber
energi utama bagi ternak pedaging melalui proses glukoneogesis (Yost et al. 1977;
Murray et al. 2006), sehingga peningkatan konsentrasi propionat akan memperbaiki
efisiensi penggunaan pakan oleh ternak. Peningkatan produksi propionat terjadi
hanya pada penggunaan ekstrak lerak 1 mg/ml. Pada level yang sama, juga terjadi
penurunan yang nyata
terhadap populasi protozoa, konsentrasi metan, dan
perubahan komposisi bakteri rumen (Tabel 4, Gambar 4 dan 7).
Peningkatan
konsentrasi propionat diduga distimulasi oleh berkembangnya bakteri P.ruminicola
dan T. Bryantii pada penggunaan ekstrak lerak 1 mg/ml. Bakteri .ruminicola dan T.
Bryantii diketahui merupakan produsen propionat dan suksinat pada sistem rumen
(Hobson & Stewart, 1997).
SIMPULAN
Buah dan biji lerak yang diekstraksi dengan metanol mengandung saponin
tinggi (81.5% BK) dan dapat digunakan sebagai agen defaunasi untuk menekan
pertumbuhan populasi protozoa.
Penggunaan ekstrak lerak sebesar 1 mg/ml
mempunyai pengaruh yang menguntungkan pada fermentasi rumen dengan
meningkatkan produksi propionat dan menekan produksi metan. Ekstrak lerak dapat
mempengaruhi keragaman komposisi bakteri rumen dengan berkembangnya
beberapa bakteri antara lain P. ruminicola dan T. bryantii.
DAFTAR PUSTAKA
Benchaar C, McAllister TA, Choulnard PY. 2008. Digestion, ruminal fermentation,
ciliate protozoal populations, and milk production from dairy cows fed
cinnamaldehyde, quebracho condensed tannin, or Yucca schidigera saponin
extracts. J. Dairy Sci. 91: 4786-4777.
36
Cheeke PR. 2000. Actual and potential applications of Yucca schidigera and
Quillaja saponaria saponins in human and animal nutrition. Proc. Am. Soc.
Anim. Sci. 10 hlm.
Dohme F, Machmuller A, Estermann BL, Pfister P, Wasserfallen A, Kreuzer M.
1999. The role of the rumen ciliate protozoa for methane suppression caused
by coconut oil. Lett. Appl. Microbiol. 29:187–192.
Eugene M, Archimede H, Michalet-Doreau B, Fonty G. 2004. Effects of
defaunation on microbial activities in the rumen of rams consuming a mixed
diet (fresh Digitaria decumbens grass and concentrate). Anim. Res. 53:187200.
Finlay BJ, Esteban G, Clarke KJ, Williams AG, Embley TM, Hirt RP. 1994. Some
rumen ciliates have endosymbiotic methanogens. FEMS Microbiol. Lett.
117:157–162.
Francis G, Kerem Z, Makkar HPS, Becker K. 2002. The biological action of
saponins in animal systems: a review. Br. J. Nutr. 88 :587-605.
Goel G, Makkar HPS, Becker K. 2008. Changes in microbial community structure,
methanogenesis and rumen fermentation in response to saponin-rich fractions
from different plant materials. J. Appl. Microbiol. 105:770-777.
Gutierrez J. 2007. Observations on Bacterial Feeding by the Rumen Ciliate
Isotricha prostoma. J. Eukaryotic Microbiol. 5:122-126
Hart KJ, Yanez-Ruiz DR, Duval SM, McEwan NR, Newbold CJ. 2008. Plant
extracts to manipulate rumen fermentation. Anim. Feed Sci. Tech. 147:8-35.
Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Lebdosukojo S, Tillman A, Kearl LC, Harris LE.
1980. Tabel-tabel dari Komposisi Bahan Makanan Ternak untuk Indonesia.
International Feedstuffs Institute Utah Agricultural Experiment Station, Utah.
Hess HD, Kreuzer M, Diaz TE, Lascano CE, Carulla JE, Soliva CL, Machmuller A.
2003. Saponon rich tropical fruits affect fermentation and methagonesis in
faunated and defaunated rumen fluid. Anim. Feed Sci. Tech. 109:79-94
Hobson PN, Stewart CS. 1997. The Rumen Microbial Ecosystem. London. Blackie
Academic & Professional.
Ivan M, Koenig KM, Teferedegne B, Newbold CJ, Entz T, Rode LM, Ibrahim M.
2004. Effects of the dietary Enterolobium cyclocarpum foliage on the
population dynamics of rumen ciliate protozoa in sheep. Small Ruminant
Research 52:81-91.
Johnson KA, Johnson DE. 1995. Methane emissions from cattle. J. Anim. Sci.
73:2483-2493
Kajikawa H, Tajima K, Mitsumori M, Takenaka A. 2007. Effects of amino nitrogen
on fermentation parameters by mixed ruminal microbes when energy or
nitrogen is limited. Animal Science Journal 78 : 121–128
Kamra DN. 2005. Rumen Microbial Ecosystem. Current Sci. 89:1-12.
Karnati SKR, Yu Z, Firkins JL. 2009. Investigating unsaturated fat, monensin, or
bromoethanesulfonate in continuous cultures retaining ruminal protozoa. II.
Interaction of treatment and presence of protozoa on prokaryotic
communities. J. Dairy Sci. 92:3861–3873
Lila ZA, Mohammed N, Kanda S, Kamada T, Itabashi H. 2003. Effect of
sarsaponin on ruminal fermentation with particular reference to methane
production in vitro. J. Dairy Sci. 86:3330-3336.
37
Lila ZA, Mohammed N, Kanda S, Kurihara M, Itabashi H. 2005. Sarsaponin effects
on ruminal fermentation and microbes, methane production, digestibility and
blood metabolites in steers. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 18:1746-1751.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS
dan Minitab. Jilid I. Edisi ke-2. Institut Pertanian Bogor (IPB)-Press, Bogor
Morrissey JP, Osbourn AE. 1999. Fungal resistance to plant antibiotics as a
mechanism of pathogenesis. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 63:708–724.
Muetzel S, Hoffmann EM, Becker K. 2003. Supplementation of barley straw with
Sesbania pachycarpa leaves in vitro: effects on fermentation variables and
rumen microbial population structure quantified by ribosomal RNA-targeted
probes. Br. J. Nutr. 89:445–453.
Murray RK. Granner DK, Rodwell VW. 2006. Harper's Illustrated Biochemistry.
27TH Edition. The McGraw-Hill Companies, USA.
Muyzer G, De Waal EC, Uitterlinden AG. 1993. Profilling of complex microbial
populations by denaturing gradient gel electrophoresis analysis of polymerase
chain reaction-amplified genes coding for 16S rRNA. Appl. Environ.
Microbiol. 59: 695-700.
Newbold CJ, El Hassan SM, Wang J, Ortega ME, Wallace RJ. 1997. Influence of
foliage from African multipurpose trees on activity of rumen protozoa and
bacteria. Br. J. Nutr. 78:237–249.
Nikaido H. 1994. Prevention of drug access to bacterial targets: permeability barriers
and active efflux. Science 264:382–388.
Ogimoto K, Imai S. 1981. Atlas of Rumen Microbiology. Japan Science. Societes
Press, Tokyo.
Onodera R, Yamasaki N, Murakami K. 1988. Effect of inhabitation by ciliate
protozoa on the digestion of fibrous materials in vivo in the rumen of goats
and in an in vitro rumen. Agric. Biol. Chem. 52:2635-2637.
Ozutsumi Y, Tajima K, Takenaka A, Itabashi H. 2006. Real-Time PCR detection of
the effects of protozoa on rumen bacteria in cattle. Current Microbiol.
52:158–162.
Patra AK, Kamra DN, Agarwal N. 2006. effect of plant extract on in vitro
methanogenesis, enzyme activities and fermentation of feed in rumen liquor
of buffalo. Anim. Feed Sci. Tech. 128:276-291.
Pen B, Sar C, Mwenya B, Kuwaki K, Morikawa R, Takahashi J. 2006. Effects of
Yucca schidigera and Quillaja saponaria extracts on in vitro ruminal
fermentation and methane emission. Anim. Feed Sci. Technol. 129:175–186.
Russell JB, Rychlik JL. 2001. Factors that alter rumen microbial ecology. Science
292:1119-1122.
Teferedegne B. 2000. New perspectives on the use of tropical plants to improve
ruminant nutrition. Proc. Nutr. Soc. 59:209-214.
Wang Y, McAllister TA, Yanke LJ, Cheeke PR. 2000. Effect of steroidal saponin
from Yucca schidigera extract on ruminal microbes. J. Appl. Microbiol.
88:887–896
Wang CJ, Wang SP, Zhou H. 2009. Influences of flavomycin, ropadiar, and saponin
on nutrient digestibility, rumen fermentation, and methane emission from
sheep. Anim.Feed Sci.Tech. 148:157-166.
Wallace RJ, McPherson CA. 1987. Factors affecting the rate of breakdown of
bacterial protein in rumen fluid. British J. Nutr. 58:313-323
38
Wallace RJ, Arthaud L, Newbold CJ. 1994. Influence of Yucca shidigera extract on
ruminal ammonia concentrations and ruminal microorganisms. Appl.
Environ. Microbiol. 60:1762-1767.
Wina E, Muetzel S, Becker K. 2005a. The dynamics of major fibrolytic microbes
and enzyme activity in the rumen in response to short-and long-term feeding
of Sapindus rarak saponins. J. Appl. Microbiol. 100:114-122.
Wina E, Muetzel S, Hoffmann E, Makkar HPS, Becker K. 2005b. Saponins
containing methanol extract of Sapindus rarak affect microbial fermentation,
microbial activity and microbial community structure in vitro. Anim. Feed
Sci. Tech. 121:159-174.
Wina E, Muetzel S, Becker K. 2006. Effects of daily and interval feeding of
Sapindus rarak saponins on protozoa, rumen fermentation parameters and
digestibility in sheep. Asian-Aust. J. Anim.Sci. 19:1580-1587.
Xu M, Rinker M, McLeod KR, Harmon DL. 2010. Yucca schidigera extract
decreases in vitro methane production in a variety of forages and diets. Anim.
Feed Sci. Tech. 159:18-26.
Yost WM, Young JW, Schmidt SP, Mcgilliard AD. 1977. Gluconeogenesis in
ruminants: propionic acid production from a high-grain diet fed to cattle. J.
Nutr. 107: 2036-2043.
Download