BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sepanjang tahun 2013, media-media internasional gencar memberitakan dinamika yang terjadi berkaitan dengan situasi politik dan keamanan di Semenanjung Korea. Salah satu tajuk berita yang cukup banyak mendapatkan perhatian adalah dibukanya kembali Kawasan Industri Kaesong menyusul tercapainya kesepakatan antara pemerintah Korea Selatan dan Korea Utara pada 15 Agustus 2013 (Radio Australia AFP, 2013). Berita ini dimuat di berbagai media internasional dan menandai penurunan tensi keamanan di Semenanjung Korea yang sempat memanas sepanjang Januari hingga Agustus 2013. Memanasnya situasi politik dan keamanan yang melibatkan Korea Selatan, Korea Utara, Amerika Serikat (AS), serta Jepang ini dikenal dengan Krisis Korea 2013 (The Guardian, 2013). Kawasan Industri Kaesong atau Kaesong Industrial Complex (KIC) merupakan sebuah kawasan industri yang mulai dioperasikan sejak Desember 2004 sebagai bagian dari reformasi kebijakan ekonomi Korea Utara oleh Kim Jong-il dan kebijakan “Sunshine Policy” oleh mantan Presiden Korea Selatan Kim Dae-jung yang diteruskan oleh Roh Moo-hyun. 1 Kawasan industri ini mencakup wilayah seluas enam puluh enam kilometer persegi dan berada sekitar sepuluh kilometer di utara dari 1 Reformasi kebijakan ekonomi Korea Utara merupakan serangkaian perubahan paket kebijakan di bidang ekonomi yang digagas oleh pemimpin Korea Utara pada saat itu, Kim Jong-il, pasca negara tersebut mengalami masa krisis pada pertengahan dekade 90-an. Perubahan tersebut meliputi keterbukaan terhadap bantuan dan perdagangan dengan negara luar dalam jumlah yang terbatas, yang mana pada masa sebelumnya bantuan dan hubungan dagang dengan negara luar sama sekali tidak diperbolehkan. “Sunshine Policy” adalah sikap politik yang diperkenalkan oleh mantan Presiden Korea Selatan, Kim Dae-jung, yang bertujuan untuk menunjukkan rasa persahabatan dengan Korea Utara dengan mengagendakan berbagai upaya rekonsiliasi dan juga kerjasama antar kedua Korea (Bleiker, 2005). 1 perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan. Dari Seoul, hanya dibutuhkan satu jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan untuk mencapai kawasan ini karena terdapat akses jalan langsung dan rel kereta api yang menghubungkannya (BBC, 2007). Lebih dari sepuluh tahun beroperasi, KIC mampu memberikan dampak positif terhadap perekonomian Korea Utara. Menurut laporan Wall Street Journal, sekitar lima puluh tiga ribu penduduk Korea Utara mendapatkan pekerjaan di kawasan industri ini dan keseluruhan total gaji mereka langsung disetorkan kepada Pemerintah Korea Utara (WSJ, 2008). Belum lagi ditambah dengan keuntungan dari berbagai jenis pajak yang dibebankan oleh Pemerintah Korea Utara terhadap perusahaanperusahaan Korea Selatan yang melakukan kegiatan produksi di sana. Tentu saja keuntungan finansial ini sedikit banyak akan membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat Korea Utara. Dengan melihat potensi ekonomi yang dimiliki KIC, wajar saja jika Korea Utara memiliki kepentingan untuk mempertahankan iklim industri di sana. Fenomena pembukaan KIC pada tahun 2004 merupakan fenomena HI yang cukup unik karena merepresentasikan harmonisasi kepentingan dari dua negara yang secara de facto berada pada situasi konflik. Masing-masing negara, Korea Utara dan Korea Selatan, tentunya memiliki alasan tersendiri sehingga pada akhirnya bersedia melakukan kerjasama di tengah kondisi konflik. Korea Selatan jelas mengarahkan kerjasama ini demi menjalankan janji presiden terpilih Kim Dae-jung yang pada saat kampanyenya menjanjikan hubungan yang lebih baik dengan Korea Utara. Lalu, Bagaimana dengan Korea Utara sendiri? Bagaimanapun, proses pengambilan keputusan atas kebijakan pembukaan KIC oleh Korea Utara merupakan suatu proses intelektual sehingga kajian atas kebijakan ini perlu dipusatkan pada penelaahan atas kepentingan nasional serta rasionalisasi keputusannya. 2 B. Pertanyaan Penelitian Tema besar dari penulisan skripsi ini adalah mengenai situasi keamanan di Semenanjung Korea. Dalam pembahasan awal, skripsi ini akan mendeskripsikan alasan pemerintah Korea Utara dalam membuka kawasan industri bersama dengan Korea Selatan di Kaesong. Kemudian, fokus penelitian akan diarahkan pada signifikansi kebijakan tersebut dengan upaya reunifikasi Korea serta dampak yang menyertainya. Untuk memudahkan proses analisis, pertanyaan yang akan diangkat adalah : Mengapa pemerintah Korea Utara bersedia bekerja sama dengan pemerintah Korea Selatan dalam membuka kawasan industri bersama di Kaesong dan apa saja dampak kebijakan tersebut terhadap upaya reunifikasi Korea? C. Kerangka Konseptual Untuk menjawab pertanyaan mengenai alasan pemerintah Korea Utara melakukan kerjasama dengan Korea Selatan dalam bentuk pembukaan kawasan industri bersama di Kaesong, penulis akan menggunakan pendekatan pola perilaku aktor dalam pengambilan keputusan kebijakan luar negeri. Menurut Kegley dan Wittkopf (2006), terdapat banyak faktor yang mempengaruhi keputusan aktor-aktor yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri atau dengan kata lain pola perilakunya. Tentu saja dari banyak faktor tersebut, akan sangat sulit untuk menentukan apakah hanya terdapat satu faktor yang menentukan pilihan kebijakan atau kombinasi dari beberapa faktor karena setiap negara berada pada kondisi yang beragam. Untuk menentukan dampak relatif dari masing-masing faktor di dalam kondisi yang berbeda, diperlukan adanya pemisahan antara pengaruh yang sifatnya global atau eksternal dan pengaruh yang sifatnya internal. Pengaruh eksternal yang dapat mempengaruhi pilihan-pilihan para pembuat 3 kebijakan di suatu negara diantaranya adalah faktor kondisi geopolitik, hukum internasional, dan jumlah sekutu militer. 1. Kondisi Geopolitik Bagaimana sebuah negara berinteraksi dengan negara disekitarnya dapat dilihat dengan kacamata geopolitik. Istilah geopolitik sendiri dalam studi HI dikenal sebagai sebuah strategi untuk mencapai tujuan politis oleh sebuah negara dalam politik internasional (Osterud, 1988: 192). Fokus dalam geopolitik adalah hubungan antara political power dengan kondisi geografis yang meliputi lokasi atau wilayah spasial, topografi teritorial, serta demografi negara yang bersangkutan. Sebagai contoh, Swiss dengan topografi negara yang dikelilingi pegunungan terkenal dengan pilihan kebijakan politik luar negeri yang netral. Selain Swiss, fakta sejarah lainnya mengungkapkan bahwa Kerajaan Inggris melakukan continental politics selama berabad-abad demi menjaga otoritasnya di wilayah persemakmuran. Hal ini mengindikasikan bahwa persepsi pengambil keputusan dalam pembuatan kebijakan akan dipengaruhi oleh geopolitik (Kegley and Wittkopf, 2006: 60-62). 2. Hukum Internasional Hukum internasional adalah produk dari rezim internasional berupa seperangkat aturan main yang mengatur perilaku aktor-aktor negara sehingga tercipta harmoni dalam struktur politik internasional. Bagi negara-negara yang termasuk dalam struktur politik ini, hukum internasional dapat menjadi incentive maupun disincentive. Dalam konteks pengaruh terhadap bagaimana sebuah kebijakan luar negeri diputuskan, menurut Keohane dan Nye (1977), rezim internasional merupakan 4 intermediate factor (variabel antara) antara struktur kekuasaan dan perilaku aktor-aktor mengenai suatu isu internasional. Untuk itu, hukum internasional membutuhkan kepatuhan atau compliance dari aktor pembuat kebijakan sehingga dapat dikatakan hukum internasional akan membatasi perilaku politik sebuah negara dalam kerangka rezim tersebut. Malcolm Shaw (2008) percaya bahwa ketika perilaku politik sebuah negara dibatasi oleh kekuatan dari eksternal seperti hukum internasional, maka yang akan terjadi adalah melemahnya konsep kedaulatan sebuah negara. Hal ini dapat mengakibatkan pilihan kebijakan politik luar negeri yang dapat diambil oleh aktor pengambil keputusan juga akan mengalami keterbatasan (Shaw, 2008: 44). 3. Jumlah Sekutu Militer Secara umum, terdapat keterkaitan antara pola kebijakan luar negeri dengan jumlah sekutu militer yang dimiliki sebuah negara. Semakin banyak sekutu militer yang dimiliki, maka akan semakin agresif pola kebijakan luar negerinya. Demikian pula sebaliknya, semakin sedikit jumlah sekutu militer yang dimiliki, maka negara tersebut akan lebih berhati-hati dalam memutuskan kebijakan luar negeri yang akan diambil (Kegley and Wittkopf, 2006: 60). Sedangkan pengaruh internal lebih difokuskan pada state attributes yang dimiliki negara. State attributes adalah karakteristik-karakteristik yang dimiliki oleh negara semisal kemampuan militer, kondisi ekonomi, serta tipe pemerintahan dan dapat digunakan sebagai perbandingan dengan negara lain. Contoh state attributes yang dapat mempengaruhi pola pengambilan keputusan sebuah negara diantaranya: 5 1. Kemampuan Militer Asumsi bahwa kemampuan militer sebuah negara dapat mempengaruhi pilihan kebijakan luar negeri awalnya merupakan gagasan utama konsep power dalam pendekatan realis. Para pendukung asumsi ini percaya pada fakta bahwa setiap negara selalu bersiap untuk menghadapi perang dan berbagai persiapan tersebut akan mempengaruhi penggunaan power negara tersebut dalam mencapai kepentingan nasional. Pada akhirnya, kemampuan negara untuk merealisasikan tujuan tersebut akan dipengaruhi oleh kemampuan militer mereka (Kegley and Wittkopf, 2006: 62-63). 2. Kondisi Ekonomi Selain kemampuan militer yang dimiliki sebuah negara, tingkat kemajuan ekonomi dan industri juga akan mempengaruhi seberapa besar tujuan politik luar negeri yang mampu dicapai oleh negara tersebut. Secara umum, semakin maju sebuah negara secara ekonomi, semakin besar pula peluang negara tersebut untuk terlibat aktif dalam politik ekonomi global. Sebaliknya, semakin buruk kondisi ekonomi sebuah negara, kemungkinan negara tersebut untuk lebih “tunduk” pada negara yang kuat secara ekonomi-pun cenderung lebih besar (Kegley and Wittkopf, 2006: 63-64). 3. Tipe Pemerintahan Tipe pemerintahan akan menentukan bagaimana partisipasi masyarakat luas dalam menentukan arah kebijakan luar negeri. Dalam sistem yang terbuka seperti pemerintahan yang representatif, masyarakat luas lebih besar peluangnya untuk turut serta dalam menentukan kebijakan melalui kelompok kepentingan, media, dan opini publik. Sedangkan dalam sistem yang lebih tertutup atau otoritarian, masyarakat luas cenderung tidak 6 punya kesempatan untuk menentukan kebijakan. (Kegley and Wittkopf, 2006: 65-68). Faktor-faktor di atas kemudian akan menunjukkan bargaining position sebuah negara, apakah berada pada domain of losses atau domain of gains. Tujuan penulisan selanjutnya diarahkan untuk menjelaskan dampak kebijakan pemerintah Korea Utara membuka KIC terhadap upaya reunifikasi Korea. Pada umumnya, sebuah kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah sebuah negara akan memberikan dampak positif atau dampak negatif terhadap sebuah fenomena politik internasional. Kebijakan pembukaan KIC oleh pemerintah Korea Utara ini dapat dikatakan mencerminkan posisi tawar menawar atau bargaining position mereka dalam proses reunifikasi Korea. Posisi tawar menawar inilah yang nantinya akan menentukan dampak atau outcome seperti apa yang terjadi setelah sebuah kebijakan dikeluarkan. Penulis akan menggunakan alat bantu game theory untuk melihat pola tingkah laku pemerintah Korea Utara terkait kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. Game theory pada awalnya merupakan konsep untuk mempelajari strategi serta pola tingkah laku atau behavior dalam pengambilan keputusan pada ranah ekonomi dengan menggunakan model matematika (Myerson, 1991: 1). Game theory sebagai sebuah studi mengalami perkembangan yang cukup signifikan sehingga saat ini banyak diaplikasikan ke dalam ranah keilmuan lainnya seperti ilmu politik, psikologi, teknologi informasi, biologi, dsb. Adapun skenario game theory yang akan digunakan haruslah yang dapat mencerminkan hubungan posisi tawar menawar dengan outcome yang dihasilkan dan bargaining game penulis rasa cocok dalam menjelaskan hubungan permasalahan ini. Bargaining Game merupakan sebuah skenario permainan dimana dua pemain atau lebih di dalamnya dihadapkan pada alternatif-alternatif pilihan tertentu, akan tetapi setiap pihak menyadari hanya akan memperoleh mutual gain apabila semua pemain memilih untuk bekerjasama dan secara konsisten menjalankannya. Skenario 7 ini biasanya digunakan untuk menganalisis outcome dari bargaining problem, dimana pemain-pemain di dalamnya memiliki kesempatan untuk berinteraksi dan mengadakan tawar-menawar dalam mencapai kepentingan masing-masing. Kondisi di dalam skenario ini memungkinkan masing-masing pemain memiliki proyeksi tersendiri mengenai bagaimana cara agar kerjasama tersebut menghasilkan keuntungan setidaknya bagi diri sendiri sehingga negosiasi dan tawar menawar menjadi tidak terhindarkan. Secara umum, asumsi yang menjadi prasyarat dalam skenario ini yaitu masing-masing pemain adalah rasional, memiliki kemampuan dan posisi tawar menawar yang sederajat, dan memiliki pengetahuan yang baik mengenai aktor lainnya (Nash, 1950a: 155). Dalam Bargaining Problem, terdapat tiga kemungkinan outcome yang dapat dihasilkan. Pertama, negosiasi akan menghasilkan persetujuan untuk bekerjasama ketika masing-masing pemain merasa akan mendapatkan keuntungan dari apa yang ditawarkan dari aktor lainnya. Kondisi inilah yang disebut sebagai feasibility set. Setelah itu, negosiasi akan dapat dilanjutkan ke isu yang lebih luas karena masingmasing pemain akan menjadi lebih kooperatif dan dapat melaksanakan cooperative games pada tahap negosiasi selanjutnya. Dengan kata lain, kondisi ini dapat dicapai dengan menggunakan pendekatan aksiomatis yang bertujuan menguntungkan semua pihak (Neumann and Morgenstern, 2004: 19). Untuk itu, apa yang dibutuhkan untuk mencapai outcome ini adalah win-win solution yang menjadi syarat terjadinya kondisi Nash Equilibrium. Kedua, akan terjadi kondisi disagreement point dimana proses negosiasi tidak menemui kata sepakat yang diakibatkan oleh salah satu pemain merasa tidak puas terhadap apa yang ditawarkan oleh pemain lainnya. Meskipun pada titik ini dapat dikatakan bahwa negosiasi menemui kegagalan, masing-masing pemain dapat kembali memikirkan posisi tawar menawar dan strategi selanjutnya yang akan digunakan. 8 Hal yang perlu diingat adalah dalam kondisi ini, pihak yang merasa tidak puas cenderung akan mengajukan threat atau ancaman untuk menaikkan posisi tawar menawar mereka. Ketika ancaman ini dilihat sebagai bentuk action, maka pemain yang melancarkan ancaman tersebut dapat mengkonstruksikan area permainan yang terpisah dari isu utama dan kemudian mendapat keuntungan dari proses tawar menawar ini. Kemungkinan dampak yang ketiga yaitu status quo dimana masingmasing pemain tidak memperoleh apapun yang diakibatkan kedua pemain tidak menghendaki adanya kerjasama (Nash, 1950b: 48-49). Ketiga kondisi inilah yang kemungkinan akan terjadi ketika pemerintah Korea Utara mengeluarkan sebuah kebijakan yang berkaitan dengan KIC. Lebih jelasnya, hubungan antara proses negosiasi dengan dampak yang dihasilkan dalam Bargaining Problem dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hubungan Proses Negosiasi dengan Dampak yang Dihasilkan dalam Bargaining Problem Jalannya proses Possible Outcome negosiasi Tercapainya Nash Feasibility set Equilibrium, adanya winwin solution Salah satu pihak merasa Disagreement tidak puas dengan apa point yang ditawarkan pihak lainnya Kedua pihak sama-sama Status quo tidak menghendaki adanya kerjasama 9 Dampak - Negosiasi dapat dilanjutkan ke isu yang lebih luas - Masing-masing pemain menjadi lebih kooperatif Pihak yang merasa tidak puas akan cenderung untuk mengajukan threat atau ancaman - Masing-masing pemain tidak mendapatkan apa-apa Kembali pada noncooperative game Dengan mempertimbangkan pemahaman di atas, penulis berharap tulisan ini akan dapat menjelaskan apa saja dampak kebijakan-kebijakan pemerintah Korea Utara terkait KIC terhadap upaya menuju reunifikasi Korea. D. Argumen Utama Mengacu pada faktor-faktor yang dikemukakan oleh Kegley dan Wittkopf di atas, penulis berargumen bahwa alasan pemerintah Korea Utara bersedia bekerjasama dengan pemerintah Korea Selatan dalam membuka kawasan industri bersama di Kaesong yaitu karena kondisi ekonomi Korea Utara pada saat kerjasama tersebut dimulai sedang berada dalam keadaan terpuruk. Kondisi ekonomi yang terpuruk ini merupakan contoh ketika state attributes dapat mempengaruhi keputusan aktor pembuat kebijakan. Dengan menjalin kerjasama yang dalam bayangan pemerintah Korea Utara dapat menguntungkan dari sisi ekonomi, pemerintah Korea Utara juga memperoleh keuntungan berupa daerah strategis yang sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai bargaining power. Lalu dalam menjawab pertanyaan penelitian yang kedua, penulis meyakini bahwa dengan bersedianya pemerintah Korea Utara untuk membuka kawasan industri bersama dengan Korea Selatan akan menciptakan tahapan cooperative games selanjutnya menyangkut situasi keamanan di Semenanjung Korea. Penulis melihat fenomena ini sebagai contoh kondisi feasibility set yang lahir dari adanya win-win solution dimana bagi Korea Utara pembukaan KIC dapat memperbaiki kondisi ekonomi domestik yang tengah terpuruk dan bagi Korea Selatan untuk sebagai pemenuhan janji Kim Dae-jung untuk mengaplikasikan Sunshine Policy. Meskipun demikian, tahapan negosiasi yang lebih luas menyangkut masalah keamanan di Semenanjung Korea secara umum perlu terus dilaksanakan dalam situasi yang kondusif karena bagaimanapun juga, Korea Utara dapat menggunakan 10 kawasan industri bersama ini sebagai bargaining power ketika pemerintahnya merasa tidak puas terhadap situasi keamanan di Semenanjung Korea ataupun ketika mendapatkan tekanan dari dunia internasional. Contohnya saja, ketika terjadi Krisis Korea 2013, pemerintah Korea Utara mengeluarkan kebijakan untuk menutup KIC yang berlangsung hingga lebih dari empat bulan lamanya. Penulis berpendapat bahwa kejadian ini merupakan bentuk reaksi Korea Utara terhadap tekanan dari dunia internasional sehingga menyebabkan kondisi disagreement point. E. Metode Penelitian Untuk menyempurnakan tulisan ini, penulis akan menggunakan data-data kualitatif yang kemudian akan dianalisis dengan metode deskriptif. Data-data yang diperoleh berasal dari sumber-sumber primer dan sekunder. Sumber data yang primer yaitu seperti laporan pemerintah atau factsheet dari lembaga-lembaga formal dan pemerintah, yang tersedia secara online di internet maupun studi pustaka. Sedangkan sumber data yang sekunder yaitu berasal dari jurnal dan karya ilmiah, sumber pustaka seperti buku, majalah, dan koran serta artikel dan berita di internet yang terpercaya. F. Sistematika Penulisan Sebuah karya ilmiah perlu mengikuti kaidah penulisan yang sistematis agar dapat dipahami dengan baik. Dikarenakan tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai sebuah karya ilmiah, maka penulis akan memaparkan sistematika penulisan berupa susunan bab-bab yang terdapat dalam skripsi ini. Adapun bab pertama dalam skripsi ini merupakan bagian pendahuluan yang berisi latar belakang mengapa penulis mengambil tema ini, rumusan masalah yang akan diteliti, landasan teori yang akan digunakan untuk menganalisis permasalahan, kerangka berpikir berupa hipotesis atau 11 argumen utama sebagai jawaban sementara atas pertanyaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Kemudian, dalam rangka membantu pembaca dalam memahami konteks historis dari tema yang diangkat yaitu kerjasama pembukaan KIC, penulis akan mendeskripsikan proses pembuatan kebijakan ini pada bab kedua. Dimulai dari tahapan inisiasi, masalah-masalah legislasi yang menyertai, serta eksekusi pembukaan KIC itu sendiri. Selain itu, di dalam bab ini juga akan dijabarkan perkembangan situasi di KIC setelah dibuka serta bagaimana operasional industri di sana berjalan. Proses pengambilan keputusan pada kebijakan luar negeri oleh aktor negara cenderung akan melewati dinamika-dinamika politik tertentu, termasuk kebijakan pembukaan KIC ini. Bab ketiga akan berisi analisis mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pemerintah Korea Utara sebagai aktor pembuat kebijakan sehingga mau bekerjasama dengan Korea Selatan dalam membuka kawasan industri bersama di Kaesong sesuai dengan faktor-faktor yang dijelaskan dalam kerangka teori. Pada dasarnya, dalam bab ketiga ini penulis berargumen bahwa pada saat kebijakan kerjasama tersebut dibuat, rezim Kim Jong-il sedang dihadapkan pada persoalan tertentu, baik secara internal maupun eksternal. Secara eksternal, kondisi geopolitik yang tidak menentu di Semenanjung Korea serta jumlah sekutu militer yang minim membuat rezim Kim Jong-il perlu memikirkan strategi selain memperkuat militernya. Secara internal, rezim Kim Jong-il sedang menghadapi krisis legitimasi yang diakibatkan oleh proses transisi yang tidak berjalan mulus. Selain itu, Korea Utara sedang berada dalam kondisi krisis ekonomi berkepanjangan sebagai akibat dari kesalahan manajemen lahan yang diterapkan oleh negara sejak tahun 1990-an. Sebagai negara yang menganut filosofi juche atau bergantung pada diri sendiri, pada awalnya Korea Utara menutup diri terhadap bantuan-bantuan maupun 12 tawaran kerjasama dari negara lain. Namun setelah kondisi ekonomi terasa semakin parah, Korea Utara mau tidak mau harus menelan “obat manjur” berupa keterbukaan ekonomi, meskipun dalam dosis-dosis tertentu dan salah satu bentuknya adalah kebijakan kerjasama ini. Penulis berargumen bahwa pembukaan KIC memiliki signifikansi terhadap masalah keamanan di Semenanjung Korea. Signifikansinya terletak pada cara pandang Korea Utara dalam melihat kawasan ini. Korea Utara memandang KIC sebagai sebuah alat tawar-menawar yang dapat digunakan sewaktu-waktu dalam menghadapi konflik, baik konflik dengan Korea Selatan maupun dengan sekutusekutunya serta dunia internasional. Dengan asumsi bahwa Korea Utara menggunakan KIC sebagai bargaining power, maka dampaknya Korea Utara dapat meningkatkan posisi tawarnya ketika dihadapkan pada negosiasi isu reunifikasi Korea. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada bab keempat. Kesimpulan sementara yang dapat ditarik dari studi kasus ini adalah Korea Utara memperoleh keuntungan ekonomi serta politik dengan dibukanya KIC. Kemudian, kebijakan pembukaan KIC yang dikeluarkan pemerintah Korea Utara ini akan memberikan dampak yang signifikan terhadap proses reunifikasi Korea. Dampaknya yaitu terjaganya kelangsungan rezim pemerintah Korea Utara sehingga proses reunifikasi Korea dapat terus berjalan. Dari sini, akan terlihat juga seberapa kooperatif pemerintah Korea Utara dalam mewujudkan perdamaian dan keamanan di Semenanjung Korea. 13