KETERLIBATAN AMERIKA SERIKAT DALAM SIX PARTY TALKS PADA MASA PEMERINTAHAN PRESIDEN GEORGE W. BUSH DAN PRESIDEN BARACK OBAMA Hidayatul Auliya 11/317760/SP/24653 Pendahuluan Permasalahan proliferasi nuklir adalah salah satu topik lama yang tak kunjung usai dalam dinamika hubungan internasional. Berbagai aktor internasional, baik negara, Organisasi Internasional (OI), maupun Non-Governmental Organization (NGO), menunjukan keseriusannya dalam menanggapi isu pengembangan nuklir yang dimaksudkan sebagai senjata pemusnah masal. Ketakutan akibat dan dampak yang ditimbulkan oleh senjata nuklir layaknya insiden Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II membuat penghapusan senjata nuklir berada pada posisi sebagai suatu keharusan internasional, bukan hanya sebagai anjuran atau pilihan semata. Persoalan nuklir yang hingga saat ini masih terus berkembang dan banyak menuai kecaman adalah proyek nuklir Korea Utara. Permasalahan nuklir di Korea Utara merupakan masalah serius yang terjadi di kawasan Asia Timur. Korea Utara bahkan telah beberapa kali mengumumkan kepada publik atas uji coba misil nuklirnya. Hal ini bukan saja memicu ketegangan di Semenanjung Korea antara Korea Utara dan Selatan, namun tentu saja menimbulkan keresahan dari negara-negara yang bertetangga langsung dengan Korea Utara dan negara-negara lain. Faktor kekhawatiran ini kemudian berujung pada pembentukan suatu forum diskusi dan negosiasi atau disebut sebagai Six-Party Talks. Six-Party Talks (6-pt) merupakan perundingan enam negara yang mengangkat agenda utama upaya penghentian program nuklir Korea Utara (denuklirisasi). Perundingan ini terbentuk pada tahun 2003 sebagai respon keluarnya Korea Utara dari Nuclear NonProliferation Treaty (NPT) pada 10 Januari 2003. Perundingan ini diikuti oleh negara-negara Asia Timur seperti Cina, Korea Utara, Korea Selatan, dan Jepang, serta Rusia dan Amerika 1 Serikat (AS).1 Dalam tulisan ini, penulis akan berfokus pada keterlibatan AS sebagai negara yang cukup berpengaruh dalam dinamika Six Party Talks selama hampir 11 tahun berjalan semenjak 2003 hingga 2014. Awal keterlibatan AS dalam perundingan ini pada dasarnya terdapat hubungan dengan kegagalan Agreed Framework pada tahun 1994, yaitu perjanjian yang pernah dilakukan antara AS dan Korea Utara terkait upaya penyelesaian krisis nuklir di Semenanjung Korea. Kerangka perjanjian tersebut merupakan usaha AS dalam meredam nuklir yang dimiliki Korea Utara paska keruntuhan Uni Soviet. AS pada masa itu, di bawah pemerintahan Bill Clinton, setuju untuk memberi sejumlah bantuan kepada Korea Utara asalkan Korea Utara menghentikan pengembangan senjata nuklirnya. Namun, masalah muncul atas pelanggaran dari pihak Korea Utara yang melakukan kembali proyek pengembangan nuklir secara rahasia, yang ditemukan oleh AS setelah Asisten Menteri Luar Negeri AS, James Kelly, mengunjungi Pyongyang pada tanggal 3 – 5 Oktober 2002. Penemuan tersebut berakibat pada gagalnya Agreed Framework 1994.2 Semenjak gagalnya perjanjian tersebut, AS kemudian mencari alternatif untuk kembali berunding dengan Korea Utara. Seakan tak ingin jatuh ke lubang yang sama, AS mengajak aktor lain untuk menjadi pihak yang ikut serta dalam perundingan sehingga Korea Utara tidak dapat kembali melakukan kecurangan secara sepihak. Kondisi ini juga didukung oleh kebijakan war on terrorism, pada masa pemerintahan Presiden George W. Bush, pasca insiden serangan teroris 9/11 yang membuat AS mengelompokan negara-negara, seperti Irak, Iran, dan Korea Utara sebagai Axis of evil atau „negara poros setan‟.3 Negara poros setan sendiri adalah kategori negara yang dianggap membantu aksi terorisme dan mengembangkan senjata pemusnah massal, dalam kasus Korea Utara hal ini mengacu pada proyek nuklir yang dikembangkannya. Berdasarkan kebijakan tersebut AS menolak untuk melakukan perundingan atau pembicaraan dua pihak (bilateral) dengan negara-negara yang dianggap sebagai teroris. 1 „Six Party Talks‟, Inventory of International Nonproliferation Organizations and Regimes Center for Nonproliferation Studies, James Martin Centre for Non Proliferation Nuclear Studies, p. 4. 2 P. Kerr, „North Korea Admits Secret Nuclear Weapons Program‟, Arms Control Association (daring), <http://www.armscontrol.org/act/2002_11/nkoreanov02>, diakses 22 Februari 2015. 3 J. Fuller, „The 4th best State of the Union address: Axis of evil,‟ The Washington Post, 25 January 2014, <http://www.washingtonpost.com/blogs/the-fix/wp/2014/01/25/the-4th-best-state-of-the-union-address-axis-ofevil/>, diakses 26 Januari 2015. 2 Keterlibatan AS dalam perundingan Six Party Talks telah berlangsung di bawah dua pimpinan Presiden berbeda, yakni Presiden George W. Bush dan Presiden Obama. Pasa masa Presiden Bush, AS telah menunjukan keterlibatan dalam Six Party Talks dengan melakukan kebijakan-kebijakan persuasif yang ditujukan kepada Korea Utara, sehingga Korea Utara tetap bersedia melakukan perundingan. Dua tahun setelah dimulainya perundingan, yaitu pada September 2005, Six Party Talks menghasilkan sebuah kesepakatan Joint Statement. Namun, jalannya perundingan hanya berlangsung sementara karena pada April 2009, Korea Utara menyatakan tidak ingin melanjutkan kembali perundingan Six Party Talks dan melakukan uji coba nuklirnya pada 25 Mei 2009 yang mendapat kecaman dari dunia internasional.4 Di tahun 2009 ini pula masa pemerintahan Presiden George W. Bush di AS berakhir dan digantikan oleh kepemimpinan Presiden Barack Obama. Kepemimpinan Presiden Barack Obama menjadi harapan baru untuk memperbaiki hubungan diplomasi antara AS dan Korea Utara yang berlangsung tidak harmonis hingga akhir masa pemerintahan Presiden Bush. Namun, harapan tersebut sepertinya tidak terlaksana melihat perundingan Six Party Talks terhenti pada awal 2009 dikarenakan insiden uji coba nuklir Mei 2009 yang dilakukan Korea Utara. Atas hal tersebut AS mengecam keras tindakan Korea Utara dan mengeluarkan pernyataan yang disampaikan Sekretaris Negara, Hillary Clinton, ketika kunjungan ke Pyongyang bahwa sejumlah tindakan provokatif dan nonkooperatif yang dilakukan Korea Utara menunjukan tantangan bagi Politik Luar Negeri (PLN) AS.5 AS juga menyatakan pada akhir 2013 bahwa mereka bersedia kembali berunding jikalau Korea Utara telah menunjukan aksi konkrit denuklirisasi, bukan hanya sekedar kemauan namun juga tindakan berarti, konsisten, dan dapat diverifikasi6. Selama dua periode masa kepemimpinan Presiden Obama, dari 2009 hingga pertengahan 2014, tidak terlihat 4 K. Davenport, „Chronology of U.S.-North Korean Nuclear and Missile Diplomacy‟, Arms Control Association, May 2015 (last updated), <http://www.armscontrol.org/factsheets/dprkchron>, diakses 16 Juni 2015. 5 A. Panda, „The Long Road Back to the Six Party Talks‟, The Diplomat, 28 February 2014, <http://thediplomat.com/2014/02/the-long-road-back-to-the-six-party-talks/>, diakses 16 Juni 2015. 6 C. Sorensen, „The Bush Administration and North Korea‟s Nuclear Program,‟ Jackson School of International Studies, 6 April 2003, <http://faculty.washington.edu/sangok/The%20Bush%20Administration%20and%20North%20Korea.htm>, diakses 16 Juni 2015. 3 adanya tanda-tanda untuk melanjutkan perundingan yang sempat terhenti oleh Six Party Talks. Selama dua periode AS dipimpin oleh presiden yang berbeda, keterlibatan AS dalam Six Party Talks memiliki strategi dan kebijakan luar negeri yang berbeda pula. Hal ini menurut penulis disebabkan adanya perbedaan prioritas PLN di kedua masa pemerintahan yang berdampak dalam urgensi penyelesaian studi kasus nuklir Korea Utara. Pada masa Presiden George W. Bush, AS menerapkan kebijakan war on terrorism dan meletakkan terorisme sebagai suatu prioritas, sehingga membuat AS terlihat menerapkan kebijakan luar negeri yang begitu represif terhadap pencapaian denuklirisasi Korea Utara. Namun, pada masa pemerintahan Presiden Barack Obama, AS terlihat tidak menerapkan kebijakan yang begitu signifikan dan terkesan pasif dalam melihat urgensi denuklirisasi nuklir Korea Utara. Atas hal tersebut, penulis tertarik untuk melihat penerapan strategi AS dalam usaha denuklirisasi nuklir Korea Utara di Six Party Talks dan secara lebih jauh penulis juga ingin melihat kebijakan luar negeri AS di kedua masa pemerintahan tersebut dengan konsep continuity and change. Hal ini disebabkan pergeseran prioritas PLN AS pada era Obama dari prioritas PLN AS era Bush yang mempengaruhi strategi dan implementasi kebijakan luar negeri AS dalam konteks denuklirisasi nuklir Korea Utara. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melihat keterlibatan Amerika Serikat dalam Six Party Talks dengan mengajukan pertanyaan penelitian bagaimana strategi Amerika Serikat dalam Six Party Talks di bawah pemerintahan Presiden George W. Bush dan Presiden Barack Obama? Dan adakah continuity and change dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat terkait kasus nuklir Korea Utara di kedua masa tersebut? Untuk menjawab rumusan masalah, penulis akan melihat keterlibatan Amerika Serikat berdasarkan kepentingan dan kebijakan yang diambil Amerika Serikat di dalam perundingan Six Party Talks dengan ‘Strategic Patience’ Approach. Setelah itu, penulis akan melihat bagaimana konsep continuity and change dalam kebijakan luar negeri AS. 4 Strategic Patience Approach Kegagalan yang dialami AS dan Korea Utara dalam beberapa kesepakatan mengenai program nuklir Korea Utara membuat AS merasa harus menerapkan cara diplomasi berbeda terhadap Pyongyang. Hal ini didukung oleh sejumlah insiden ketika AS menerapkan cara yang „lunak‟ era Presiden Eisenhower dan „represif‟ pada era awal Presiden Bush memimpin, terutama paska insiden 9/11, dimana kebijakan war on terrorism yang dideklarasikan berakhir pada kegagalan denuklirisasi nuklir Korea Utara. Sikap dan perilaku Korea Utara terhadap AS yang berubah-ubah membuat AS harus menerapkan kebijakan yang dapat menyesuaikan perilaku Korea Utara. Berdasarkan pertimbangan tersebut, AS menerapkan kebijakan luar negeri strategic patience approach terhadap Korea Utara. ‘Strategic Patience’ Approach menurut Emma Chanlett-Avery, Spesialis hubungan luar negeri kawasan Asia, dan Ian E. Rinehart, Analis hubungan luar negeri kawasan Asia, dalam North Korea: U.S. Relations, Nuclear Diplomacy, and Internal Situation, adalah kebijakan luar negeri yang diformulasikan pada masa pemerintahan Presiden George W. Bush untuk bernegosiasi terhadap Korea Utara dengan menerapkan dua cara pendekatan, yaitu: 1) waits atau kesabaran, yaitu usaha diplomasi terhadap Korea Utara untuk bernegosiasi dalam meja perundingan, 2) pemberian tekanan terhadap rezim Korea Utara. Unsur-unsur utama kebijakan tersebut didasarkan pada pemberian tekanan kepada Pyongyang untuk berkomitmen mengambil langkah menuju denuklirisasi, berkoordinasi erat dalam perundingan dan perjanjian dengan Jepang dan Korea Selatan, pendekatan terhadap Cina untuk mengambil tindakan keras terhadap Korea Utara.7 Setelah pengangkatan Presiden Barack Obama, pendekatan ini juga diikuti oleh pemerintahannya. Hillary Clinton dalam pertemuan di Pyongyang, Desember 2009, mengatakan bahwa pendekatan ini menjadi karakteristik kebijakan AS terhadap Korea Utara dengan komitmen; melanjutkan komitmen untuk denuklirisasi, dedikasi terhadap proses perundingan Six Party Talks, keinginan untuk melakukan hubungan berupa dialog (dengan prasyarat), dan bertindak dalam kerangka kerja multilateral untuk memberi sanksi dan 7 E. C. Avery, dan I. E. Rinehart, North Korea: U.S. Relations, Nuclear Diplomacy, and Internal Situation, U.S. State Department, Congressional Reasearch Service (CRS) Report 7-5700, 5 Desember 2014, p. 7. 5 tekanan terhadap Korea Utara.8 Para pejabat AS telah menyatakan bahwa, di bawah kondisi yang tepat, mereka mencari satu paket komprehensif untuk mencapai denuklirisasi lengkap Korea Utara dengan imbalan normalisasi hubungan dan bantuan yang signifikan, asalkan Korea Utara harus melakukan pembekuan kegiatan nuklirnya dan moratorium pengujian sebelum kembali ke negosiasi. Avery menjelaskan bahwa dua pendekatan dalam kebijakan ini pada dasarnya melibatkan dua strategi yakni diplomasi dan sanksi. Hal ini dianggap menjadi cara terbaik untuk menekan Korea Utara, dimana pada jejak hubungan Amerika Serikat dan Korea Utara, Amerika Serikat menerapkan dua cara tersebut secara terpisah yang memperlihatkan bahwa Korea Utara tidak dapat terus hanya diberikan imbalan dan bantuan namun juga harus diberikan sanksi dan hukuman. Glyn Davies, Special Representative for North Korea Policy, dalam Statement before the Subcommittee on Asia and The pacific of the House Committee on Foreign Affairs di Washington, menyatakan pendekatan tersebut dengan penjelasan lebih lanjut. Mengutip perkataan beliau:9 “Amerika Serikat mencari solusi untuk tantangan nuklir Korea Utara melalui cara damai, terus-menerus, dan diplomasi multilateral. Amerika Serikat telah menawarkan - dan terus menawarkan - Pyongyang hubungan bilateral yang lebih baik asalkan mengambil tindakan untuk menunjukkan kesediaan untuk memenuhi komitmen denuklirisasi dan mengatasi masalah penting lainnya yang menjadi fokus bersama masyarakat internasional. Amerika Serikat telah secara konsisten mengisyaratkan kepada DPRK bahwa pintu untuk keterlibatan yang berarti terbuka lebar, disamping AS juga menerapkan tekanan unilateral dan multilateral untuk mengarahkan ke arah pintu tersebut. Kebijakan AS telah terdiri dari pendekatan dual-track: kami terbuka untuk keterlibatan bila memungkinkan, tetapi akan terus melakukan tekanan yang diperlukan. Kedua elemen sangat penting untuk mempertegas pilihan Pyongyang yang sering berubah-ubah, menunjukkan kepada masyarakat internasional keseriusan komitmen kami untuk penyelesaian yang melalui cara negosiasi, dan membangun dukungan multilateral untuk berbagai tekanan dan pencegahan tindakan yang diambil.” 8 C. L. Pritchard, dan J. H. Tilelli., „U.S. PolicyToward the Korean Peninsula‟, Independent Task Force Report No. 6, New York, Council of Foreign Affairs, p.8. 9 G. Davies, „U.S Policy towards North Korea‟, U.S Department of State, 30 Juli 2014, <http://www.state.gov/p/eap/rls/rm/2014/07/229936.htm>, diakses 16 Juni 2015. 6 Dalam pendekatan ini Amerika Serikat mengutamakan kerjasama secara multilateral. Pendekatan multilateral ini dijewantahkan dalam negosiasi enam pihak atau Six Party Talks. Amerika Serikat melihat permasalahan nuklir adalah permasalahan global yang akan lebih baik jika banyak pihak terlibat dalam memberikan tekanan terhadap Korea Utara. Untuk mewujudkan hal tersebut, keterlibatan ditunjukan dengan berbagai bentuk usaha sesuai pendekatan yang diambil, yakni diplomasi dengan pemberian bantuan-bantuan sesuai kompensasi dan kerja kolektif, serta sanksi untuk memberikan tekanan terhadap pihak-pihak yang berpotensi „curang‟ dalam kepentingan bersama.10 Continuty and Change Dalam melihat strategi AS di Six Party Talks di kedua periode pemerintahan tersebut, penulis juga akan melihat continuity and changes dari kebijakan yang diambil Amerika Serikat terhadap Korea Utara dalam Six Party Talks pada masa Presiden George W. Bush dan Presiden Barack Obama. Penulis menggunakan konsep Continuity and Changes, yakni studi perbandingan kebijakan luar negeri yang bertujuan untuk melihat ke dalam proses kebijakan tentang persamaan dan perbedaan antara kebijakan luar negeri. Hal in penting, karena pada masa transisi pemerintahan, terdapat kebijakan-kebijakan lama yang akan dilanjutkan oleh pemerintahan selanjutnya dikarenakan masih relevan, dan ada pula kebijakan-kebijakan yang kemudian diganti untuk menyesuaikan visi dan misi tatanan pemerintahan baru. Continuity, atau kelanjutan adalah ciri khas kebijakan luar negeri. Kontinuitas dalam kebijakan luar negeri tidak hanya dapat diartikan sebagai tidak adanya perubahaan, namun juga sebagai gerakan maju yang terjadi secara bertahap, dan cenderung lambat. Changes, atau perubahan dapat dilihat dari kebijakan yang diambil oleh suatu pemerintahan apakah sama atau tidak dengan masa pemerintahan yang terdahulu. Fakta sejarah mengatakan bahwa dalam perumusan kebijakan luar negeri, perubahan selalu terjadi. Perubahan dalam penekanan 10 D. J. Orcutt, Carrot, Stick, or Sledgehammer: US Policy Options for North Korean Nuclear Weapons, USAF Institute for National Security Studies Academy, Colorado, 2004, p. 9. 7 kebijakan yang ditetapkan disebabkan oleh perubahan zaman, karena dunia tidak diam melainkan dinamis.11 Untuk melihat pendekatan ini secara lebih komprehensif, Bruning menjelaskan 3 faktor dalam continuity and changes yang dapat ditelaah lebih jauh, yaitu:12 1. Decisions. Hal ini mengacu pada keputusan Keputusan mengacu pada opsi yang dipilih. Pertimbangan pemimpin mengenai pengambilan keputusan berdasarkan situasi yang menyertainya dalam mengambil kebijakan. Pertimbangan pemilihan decisions didasarkan pada pemahaman seorang pemimpin dalam melihat tatanan global dan faktor eksternal yang ada, serta faktor internal untuk disesuaikan dengan kepentingan nasional dan tujuan umum negara. 2. Behavior. Tindakan yang diambil sebagai implementasi dari decisions. Behaviour adalah tindakan yang diambil untuk mempengaruhi perilaku aktor eksternal atau untuk mengamankan keuntungan bagi negara itu sendiri. 3. Outcome. Setelah mengambil tindakan berdasarkan pertimbangan pemimpin, kebijakan nantinya menghasilkan outcome atau hasil. Terkadang, hasil tidak hanya bergantung pada keputusan yang diambil oleh pemimpin negara, namun juga bagaimana aktor-aktor lain dalam lingkungan internasional bereaksi terhadap keputusan tersebut. Dalam melihat continuity and change yang terjadi dalam kebijakan luar negeri AS, konteks bagaimana, mengapa, oleh siapa, serta apa dalam proses melihat kebijakan di suatu masa pemerintahan berhubungan dengan logika politik luar negeri yang menjadi karakteristik masing-masing pemimpin negara. Alex Mintz menjelaskan bahwa studi perbandingan kebijakan para pemimpin negara yang berbeda dipengaruhi dari ideologi politik, arus pemikiran dan dan model pemilihan kebijakan dalam membuat keputusan ekonomi pada perdagangan, bantuan, dan transfer senjata atau tantangan lingkungan global seperti kontrol polusi.13 11 C. W. Kegley Jr. dan E. R. Wittkopf, American Foreign Policy Pattern and Process, St. Martin‟s Press, New York, 1982, p. 83. 12 M. Breuning, Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction, Plagrave Macmillan, New York, 2007, p. 59. 13 A. Mintz, Understanding Foreign Policy Decision Making. New York: Cambridge University Press. 2010, p. 13. 8 Nik Hynek dalam tulisannya, Continuity and Change in the U.S Foreign and Security Policy with the Accession of President Obama, menganalisis continuity and change berdasarkan dari 2 level, yaitu level tematik dan level prosedural. Level tematik melihat dalam konteks kebijakan luar negeri terhadap suatu isu spesifik (cakupan negara atau isu umum), sedangkan level prosedural menganalisis karakteristik politik luar negeri berdasarkan pandangan tentang dunia dan kecenderungan politik. 14 Hynek menjabarkan perubahan yang terjadi dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap beberapa kasus, termasuk nuklir Korea Utara, namun juga tidak menafikan kelanjutan yang terlihat. Dengan konsep continuity and change yang sudah dijabarkan tersebut, penulis akan melihat continuity and change pada kebijakan luar negeri Amerika Serikat pada masa Presiden George W. Bush dan Presiden Barack Obama. Hipotesis Berdasarkan pendekatan tersebut, strategi AS dalam Six Party Talks pada masa Presiden George W. Bush dan Presiden Barack Obama dilakukan dengan usaha-usaha berdasarkan pendekatan strategic patience approach, yaitu waits and pressure. Pada masa pemerintahan Presiden George W. Bush, AS menerapkan kebijakan persuasif terhadap Korea Utara dengan pemberian bantuan-bantuan ekonomi, melakukan normalisasi hubungan kedua negara, dan diikuti dengan pemberian sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan. Sementara pada masa pemerintahan Presiden Barack Obama, strategi AS diperlihatkan dalam cara berbeda, diplomasi multilateral pasif dengan tindakan tidak adanya hubungan diplomatik antara kedua negara, pemutusan bantuan-bantuan terhadap Korea Utara, serta pernyataan bahwa Amerika Serikat tidak akan melakukan dialog dengan Korea Utara (dengan prasyarat). Perbedaan strategi AS di kedua masa pemerintahan presiden tersebut kemudian dilihat dengan continuity and change dimana merupakan hasil dari kebijakan luar negeri pada masingmasing presiden. Terdapat change dalam logika PLN AS era Bush dan era Obama yang menyebabkan terdapat perbedaan pendekatan dan posisi awal membangun negosiasi terhadap Korea Utara. Namun, terlihat continuity dalam tujuan dan pendekatan yang digunakan AS terhadap Korea Utara dalam mendenuklirisasi nuklirnya. 14 N. Hynek, Continuity and Change in the U.S Foreign and Security Policy with the Accession of President Obama, Institute of International Relations Prague, 2009, pp. 1-2. 9