STUDI KASUS Strategic Listing.

advertisement
STUDI KASUS
"Strategic Listing",
Ketika Emiten Hanya Ingin Memanipulasi Pasar
Pasar modal di Indonesia memang sebuah anomali. Ketika indeks harga saham
gabungan secara terus-menerus mencatat rekor tertinggi terbaru, jumlah pemodal di
bursa saham ternyata tidaklah bertambah secara signifikan.
Mengapa investor tak tertarik dengan indeks tertinggi? Mungkin investor, baik asing
maupun lokal, mulai bosan melihat tingkah emiten-emiten tertentu yang terusmenerus mengganggu integritas pasar.
Pada hakikatnya, pasar modal mempunyai empat fungsi. Pertama, pasar modal
berfungsi sebagai sarana investasi bagi investor. Kedua, tujuan utama perusahaan
yang mencatatkan dirinya di bursa adalah untuk fund raising, yaitu proses
pengumpulan dana dari masyarakat sebagai pembiayaan jangka panjang bagi program
kerja perusahaan ke depan. Ketiga, pasar modal juga berfungsi untuk pembentukan
harga (price discovery), di mana permintaan dan penawaran berjumpa sehingga
ditemukan harga wajar dari sebuah saham.
Terakhir, pasar modal mempunyai fungsi di dalam penegakan tata kelola (corporate
governance) karena dengan terdaftarnya perusahaan di bursa, ia harus melaporkan
seluruh laporan keuangan perusahaan secara transparan kepada publik. Di samping
itu, banyak pihak yang mengawasi kinerja perusahaan itu, baik analis, investor,
maupun regulator. Secara umum, keberadaan pasar modal akan membantu
terlaksananya proses corporate governance.
Untuk dapat dicatatkan sebagai saham di bursa saham, keempat fungsi dari pasar
modal harus berfungsi secara baik. Secara substantif, bursa adalah tempat investor
dan emiten berinteraksi. Ketika sebagian porsi kepemilikan saham diberikan kepada
publik dan terjadi transaksi di pasar, maka dikatakan bahwa saham itu likuid. Pada
akhirnya akan terjadi proses pembentukan harga oleh pasar.
"Strategic listing"
Fenomena strategic listing, suatu fenomena strategi baru yang dilakukan oleh emiten
nakal dengan tujuan tertentu di luar batas kebiasaan tujuan emiten pada umumnya,
memang strategi klasik yang sering dilakukan emiten di beberapa belahan dunia,
khususnya di negara berkembang, seperti Indonesia. Kisah manipulasi data volume
perdagangan sudah tak asing lagi bagi para pengamat dan praktisi investasi di negara
ini. Sebenarnya strategi ini bukan strategi baru, melainkan strategi klasik, tetapi
terkadang bagi investor baru hal ini masih susah terbaca.
Merujuk pada beberapa fakta di lapangan, beberapa hal yang patut kita pertimbangkan
bersama adalah strategic listing tidak menunjang pertumbuhan pasar modal
Indonesia karena pihak bursa tidak memberikan sarana investasi yang sehat bagi para
investor yang benar-benar berniat berinvestasi.
Hal ini dapat terlihat ketika proses penawaran perdana kepada publik (IPO)
berlangsung. Investor terlihat ramai dan sesak, permintaan melebihi persediaan yang
ada, tetapi disinyalir semua kesesakan tersebut semu. Sering kali investor terjebak
dalam melihat hal ini, mereka hanya menilai dengan menggunakan apa yang mereka
lihat, bukan berdasarkan analisis yang mendalam.
Pada proses IPO tiga tahun terakhir, terlihat beberapa perusahaan menawarkan porsi
kepemilikan saham yang sangat kecil, secara resmi rata-rata yang ditawarkan mungkin
terlihat 22,04 persen dari saham mereka kepada publik. Namun, disinyalir dan sudah
menjadi rahasia umum bahwa saham-saham tersebut sebenarnya "dibeli kembali"
hampir sepenuhnya oleh pemegang saham utama. Jumlah aktual free float saham yang
sangat kecil ini ditambah dengan alokasi perusahaan tersebut kepada pemegang
saham utama tentu saja, membatasi investor riil untuk melakukan investasi. Semua
orang dapat dengan mudah melihat kelebihan permintaan (oversubscribed) dari
antrean pemesanan yang kelihatan bukan berdasarkan pada alokasi saham yang
sebenarnya terjadi kepada pembeli akhir.
Harga semu
Kisah strategi ini berlanjut ketika emiten sebenarnya hampir menguasai semua sahamsahamnya, dan hanya menyisakan sebagian kecil porsi kepemilikan sahamnya di
tangan publik. Hal ini akan menyebabkan sedikitnya jumlah saham yang ada di publik
sehingga tidak akan dapat merepresentasikan harga yang sebenarnya. Ada dua jenis
saham yang mengalami strategic listing. Pertama, apabila pemegang saham mayoritas
tidak terlalu peduli dan tidak aktif memperdagangkan sahamnya, maka saham-saham
tersebut akan menjadi saham tidur. Saham tidur adalah saham yang likuiditasnya
sangat rendah. Kedua, apabila pemegang saham melaksanakan proses jual beli melalui
berbagai broker—karena sebenarnya mereka yang memegang kontrol—maka ini yang
kita lihat sebagai saham goreng-gorengan di mana terjadi manipulasi harga.
Dari data yang didapat, beberapa emiten disinyalir membeli kembali saham mereka
secara perlahan. Menurut pengamatan kami, setidaknya ada 10 perusahaan publik
yang diindikasikan telah melakukan strategic listing pada tiga tahun terakhir. Ratarata hanya sekitar 19,5 persen dari total saham mereka diperdagangkan di pasar
modal. Pembelian kembali saham ini akan menurunkan persentase saham float. Ketika
kepemilikan saham bukan dipegang oleh publik, maka pemegang porsi mayoritas
dengan mudahnya dapat memanipulasi jumlah perdagangan saham dan dapat
mengarahkan ke mana harga akan dituju. Pergerakan saham yang disinyalir
melakukan strategic listing cenderung tidak mengikuti pergerakan IHSG, pada tiga
tahun terakhir IHSG naik 53,4 persen, sementara harga saham yang diindikasikan
melalukan strategic listing naik sebesar 6,18 persen. Sering sekali strategic listing ini
dilaksanakan karena perusahaan akan menjaminkan sahamnya kepada bank atau
institusi keuangan lainnya. Karena pergerakan harga tersebut tidak dilandasi
berubahnya fundamental perusahaan tersebut, pembentukan harga yang tak wajar
berpotensi merugikan investor baru, yang pada umumnya tertarik berinvestasi karena
melihat pergerakan harga saham tersebut. Ini dapat terjadi jika pemegang saham
utama melepaskan kepemilikannya pada saat harga saham sudah kemahalan
(overvalue).
Penyelamatan Eropa Lambat | 1
Strategic listing juga memberikan gambaran yang tidak akurat mengenai keadaan
pasar modal akibat pembentukan harga yang tidak wajar atau semu sehingga IHSG
tidak dapat mencerminkan secara akurat keadaan perekonomian.
Strategi itu juga menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Juga dapat mengurangi
efektivitas penerapan GCG. Pada dasarnya GCG merupakan sistem yang ditujukan
untuk mengatur dan mengontrol perusahaan, dalam arti segala kegiatan yang
dilakukan oleh manajemen perusahaan agar tidak merugikan pemangku kepentingan
(stakeholder). Mekanisme check and balance yang mendorong perbaikan tata kelola
tidak akan berjalan efektif. Dampak dari ketidakefektifan ini tentu dapat sangat
merugikan pihak lain dalam perusahaan tersebut. Selain itu, perusahaan yang telah
mencatatkan sahamnya pada bursa juga dapat menggunakan sahamnya sebagai
jaminan. Mengingat harga saham perusahaan yang melakukan strategic listing dapat
dimanipulasi, para pemegang saham dapat menjaminkan saham mereka dengan nilai
yang lebih sehingga berpotensi merugikan bank, yang mendapatkan suatu comfort
level dari fakta bahwa perusahaan itu mendapatkan pengawasan ketat sebagai anggota
bursa.
Patut disayangkan sampai saat ini pengawasan dari pihak Bursa Efek Jakarta maupun
Bapepam dalam hal strategic listing ini masih sangat lemah. Di Danareksa, banyak
sekali calon emiten yang tanpa malu-malu meminta kami untuk membantu mereka di
dalam melakukan praktik-praktik seperti ini. Kiprah para emiten nakal yang
merugikan investor kecil sudah selayaknya dihentikan. Kelihaian para emiten nakal
dalam melakukan strategic listing patut diacungi jempol, bahkan pihak regulator pun
sering terkecoh dengan permainan cantik nan menawan sang maestro.
Fenomena strategic listing memang bukan strategi baru bagi para emiten di negara
berkembang seperti Indonesia. Namun, seiring dengan tujuan utama kita untuk
mengembangkan pasar modal yang sehat dan berwibawa diperlukan suatu langkah
nyata pemerintah, terutama Bapepam, di dalam menjaga integritas pasar modal.
Sebagai regulator, Bapepam dapat mengimplementasikan peraturan yang telah ada
karena aktivitas yang memengaruhi harga saham, seperti strategic listing
bertentangan dengan UU No 8/1995 Pasal 91. Sudah jadi rahasia umum, perusahaan
sekuritas mana saja yang menjadi spesialis dalam melakukan strategic listing dan
saham mana yang masuk ke dalam kategori ini.
Pertanyaannya adalah apakah Bapepam dapat menegakkan benang basah. Bapepam
sebagai regulator tentu juga mempunyai kewenangan menjamin bahwa alokasi saham
tersebut dilaksanakan secara baik dan fair bagi semua investor. Pasar modal Indonesia
pada dasarnya belum memiliki dasar permodalan yang kuat dan kurangnya edukasi
kepada publik luas mengenai cara berinvestasi yang baik. Menjadi tanggung jawab kita
semua untuk mengembangkan pasar modal serta mengedukasi publik agar tidak
tertarik berinvestasi pada sesuatu yang terlihat baik dari permukaannya semata.
23 Oktober 2006
Penyelamatan Eropa Lambat | 2
Download