Jl. Bangka VIII No 3B, Pela Mampang, Jakarta Selatan, 12720 Indonesia Ph. 021-7183185, 7183187, Fax. 021-7196131 www.kehati.or.id Siaran Pers Untuk segera diterbitkan Sumber Daya Genetik, Kekayaan Masa Depan Indonesia Sumber Daya Genetik menjadi isu utama dalam Rancangan Undang-Undang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem yang sekarang masuk Program Legislasi Nasional 2016. Rancangan UU ini diharapkan mampu menjadi pengganti UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan draft revisi UU nomor 5 tahun 1990 perlu mencakup perlindungan terhadap sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional sebagai bagian dari keanekaragaman hayati Indonesia. Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) pada Selasa, 12 Januari 2016 menggelar diskusi pakar dalam rangka memperkaya subtansi pengelolaan sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional sebagai bagian dari keanekaragaman hayati Indonesia di RUU tersebut. Hadir sebagai pemapar yang juga tim perumus RUU yaitu Kepala sub Direktorat Sumber Daya Genetik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indra Eksploitasia, Direktur Program Tropical Forest Conservation Action Sumatera-KEHATI Samedi dan Peneliti Indonesian Center for Environmental Law Raynaldo Sembiring. Selain tim perumus, hadir pula akademisi, perwakilan pemerintah dan juga praktisi yang peduli terhadap keanekaragaman hayati Indonesia Tingkatan Keanekaragaman hayati mulai dari genetik, spesies, dan ekosistem. Indra mengatakan potensi sumber daya genetik Indonesia bisa ditemui dalam tumbuhan, satwa, mikroba dan pengetahuan tradisional yang tersebar dalam kawasan konservasi dan di luar kawasan konservasi. Saat ini potensi pencurian sumber daya genetik di Indonesia cukup rentan. Data kementerian hingga 2014, peneliti asing (24 persen) menjadi pihak kedua yang terbanyak meneliti terhadap satwa liar di Indonesia. Angka tersebut bisa bertambah terus, apalagi menurut Indra, akses permintaan untuk penelitian sumber daya genetik terus berjalan sementara aturan untuknya belum memadai. Bagaimana penegakan hukum, bagaimana status pemanfaatan sumber daya genetik yang sudah dibawa ke luar negeri, semua itu belum ada regulasinya. Tambahan dari Samedi, adalah masalah ekosistem dalam UU No 5 Tahun 1990. “Masih rendah keterwakilan ekosistem dalam kawasan konservasi,” kata dia. Ekosistem perlu dilindungi demi menjaga keberadaan ekosistem asli yang menjadi sumber plasma nutfah (kekayaan sumber daya genetik). Oleh sebab itu, Ia menyarankan ada penetapan keterwakilan ekosistem dalam suatu kawasan konservasi dan penetapan ekosistem bernilai penting di luar kawasan. Tujuannya agar kawasan di luar konservasi yang bernilai tinggi juga terlindungi. Pemanfaatan tiga potensi keanekaragaman hayati tersebut harus memenuhi tiga pilar Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention of Biological Diversity) yang dikuatkan dengan Protokol Nagoya. Ketiganya adalah konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatkan komponen keanekaragaman hayati yang lestari (berkelanjutan), pembagian keuntungan yang adil dan merata atas pemanfaatan sumber daya genetik. Pada UU no.5 Tahun 1990, menurut Harry Alexander dari Universitas Islam Nasional Syarif Hidayatullah, belum memasukkan pilar ketiga dari konvensi keanekaragaman hayati. Padahal Indonesia sudah meratifikasi Protokol Nagoya menjadi UU pada 2013. Isu pembagian keuntungan yang adil dan merata atas pemanfaatan sumber daya genetik, ia melanjutkan, adalah tujuan konvensi yang banyak ditolak negara maju. Dalam RUU ini, ia menyarakan agar untuk Jl. Bangka VIII No 3B, Pela Mampang, Jakarta Selatan, 12720 Indonesia Ph. 021-7183185, 7183187, Fax. 021-7196131 www.kehati.or.id Untuk segera diterbitkan Siaran Pers menambah pendekatan aspek pembagian keuntungan dari unsur Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Lantaran sumber daya genetik di Indonesia tak bisa dilepaskan dengan hak kekayaan intelektual masyarakat . Isu pembagian keuntungan ini disoroti pula oleh Peneliti dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian Bogor Mahmud Tohari. Sekarang sudah banyak peneliti asing yang memanfaatkan sumber daya genetik lokal yang berkualitas tinggi. Sementara dalam batang tubuh RUU justru masih kental tentang sumber daya genetik yang liar. Padahal sumber daya genetik lokal yang berkualitas tinggi secara perlahan sudah dikembangkan negara lain. Contoh nyata adalah embrio sapi Bali yang dibeli oleh Malaysia atau tanah garapan di Cilembu disewakan Jepang untuk penelitian ubi. “RUU harus mampu melindungi sumber daya genetik lokal yang berkembang di masyarakat,” kata dia. Sebab sumber daya genetik lokal terancam punah jika tidak digunakan lagi. Hal itu terjadi jika banyak masuk produk budidaya impor yang lebih murah atau pihak asing menguasai teknologi budidaya sumber daya genetik lokal. Akibatnya masyarakat enggan memanfaatkan sumber daya genetik lokal, sehingga perlahan menghilang. Dari segi hukum, Raynaldo bahwa mekanisme pengawasan dan kelembagaan masih belum ada untuk keanekaragaman hayati. Masalah tersebut, menurut Profesor Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Endang Sukara bisa diselesaikan jika ada kelembagaan yang kuat. Kerjasama antara Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagai pemberi izin usaha asing; Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi sebagai pemberi izin peneliti asing; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai koordinasi kebijakan dan LIPI beserta jejaring perguruan tinggi nasional akan mampu menjaga sumber daya genetik Indonesia. “Semua yang akan mengambil keputusan harus mempertimbangkan keputusan ilmiah, sehingga bisa dipertanggungjawabkan,” kata Endang yang juga pengurus Yayasan KEHATI. Profesor Kehutanan dari IPB Hariadi Kartodiharjo mengusulkan bahwa perlu pemetaan atas keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia. Sehingga memudahkan tidak tumpang tindih dengan UU lingkungan yang sudah ada. Hariadi yang juga anggota Dewan Pembina KEHATI mengatakan pemetaan berguna untuk menyatukan gap antara norma dan fakta. Bila fakta di lapangan hasil pemetaan menemukan bahwa suatu kawasan tidak layak lagi disebut zona inti konservasi, ia mencontohkan, maka strategi pendekatannya juga berbeda. Satu lagi, yang tak bisa dielakkan adalah melihat relasi masyarakat dan bisnis dalam pemanfaatan sumber daya genetik. Menurut Hariadi, keberhasilan UU ini nantinya adalah dapat membalikkan pikiran masyarakat bahwa konservasi tidak harus di kawasan khusus. Bahwa penyelamatan keanekaragaman hayati juga bisa dilakukan masyarakat biasa. Tentang Yayasan KEHATI Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) berdiri sejak 12 januari 1994. Yayasan KEHATI menghimpun dan mengelola sumberdaya yang selanjutnya disalurkan dalam bentuk dana hibah guna menunjang berbagai program pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara adil dan berkelanjutan. Nara hubung: Dianing Sari, Communications Officer of KEHATI (+685717005830 email: [email protected]) Jl. Bangka VIII No 3B, Pela Mampang, Jakarta Selatan, 12720 Indonesia Ph. 021-7183185, 7183187, Fax. 021-7196131 www.kehati.or.id Siaran Pers Untuk segera diterbitkan