MAKALAH PRESENTASI KASUS HIPERBILIRUBINEMIA Disusun oleh: Anggi P N Pohan 0906487695 Narasumber: dr. Rita Wahyunarti, SpA. MODUL PRAKTIK KLINIK KESEHATAN ANAK DAN REMAJA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA APRIL 2014 1 BAB I ILUSTRASI KASUS I. IDENTITAS Nama : Bayi Ny. R NRM : Jenis Kelamin : Laki-laki Tanggal Lahir : 28 Maret 2014 Alamat : Jl. Albarokah RT 05/01 Kel. Cipedak Kec. Jayakarta Waktu masuk : 28 Maret 2014 Nama ayah/ibu : Tn R/ Ny. R Usia ayah/ibu : 29 tahun / 39 tahun Perkawinan ke ayah/ibu : Pertama/ Pertama Pendidikan ayah/ibu : SMA / SMP Pekerjaan ayah/ibu : Wiraswasta / Ibu rumah tangga Penghasilan : Rp. 1.000.000/- Tanggal Pemeriksaan : 30 Maret 2014 II. ANAMNESIS Keluhan Utama Kuning pada usia 4 hari Riwayat Penyakit Sekarang Pasien lahir tanggal 28 Maret 2014, pukul 23.55 WIB dengan metode sectio cesaria atas indikasi G4P2A1 janin presentasi kepala tunggal hidup ketuban pecah dini 2 hari, sisa ketuban dipecahkan warna jernih. Sebelum SC, pasien telah dilakukan pematangan paru. Skor APGAR menit pertama 7 dan menit ke-5 adalah 8. Pada saat datang ke perina pasien tampak menangis merintih, sesak ada, suhu 35,8 oC, pasien tampak biru. Pasien tidak mendapat inisiasi menyusui dini dan sampai saat ini tidak diberi ASI, karena pasien dipuasakan Pada usia 4 hari, pasien tampak kuning dan dilakukan pemeriksaan laboratorium didapatkan bilirubin meningkat. Saat ini pasien dalam terapi sinar dengan blue light selama 1 hari. Tidak ada keluhan mual, muntah, demam pada pasien. Menurut ibu Pasien, pasien keliatan berwarna kuning saat usia 4 hari. BAB pasien berwarna kehijauan, BAB berwarna dempul tidak ada, BAK warna teh tidak ada. 2 Riwayat Penyakit Sebelumnya yang ada hubungan dengan penyakit sekarang Tidak ada riwayat penyakit yang sebelumnya yang spesifik pada pasien. Riwayat Penyakit Keluarga Kakak pasien juga lahir pematur usia kehamilan 7 bulan. Ketika umur dua hari kakak pasien kuning danditerapi sinar selama 1 bulan. Riwayat penyakit darah dan kuning dalam keluarga disangkal. Ibu pasien bergolongan darah A, Rhesus positif. Ibu pasien lupa golongan darah ayah pasien, Rhesus tidak tahu. Perkawinan konsanguinitas tidak ada Riwayat Kehamilan Pasien G4P2A1 (AH2), 31 minggu janin presentasi kepala tunggal hidup. Hari Pertama Haid Terakhir diketahui 21 Agustus 2013. Taksiran partus 28 Mei 2014. Pasien rutin kontrol ke bidan setiap bulan. Selama hamil ibu pasien menyangkal adanya riwayat demam, tekanan darah tinggi, bengkak, sakit gigi. Selama hamil ibu pasienmengalami keputihan yang banyak, gatal, dan berbau, namun tidak diobati. Riwayat penggunaan obat-obatan disangkal. Riwayat terpapar dengan hewan peliharaan disangkal. Pasien tidak pernah mengkonsumsi daging/sayuran mentah yang tidak dimasak selama hamil. Keadaan ibu saat ke RS: BB 34 kg, TB 150 cm, tekanan darah 120/80 mmHg. Nadi 85 x/menit, nafas 20x/menit, suhu 36,8oC. Pemeriksaan laboratorium terakhir saat hamil: Hb 8,4 mg/dL, leukosit 6.500 ribu/ul, trombosit 175.000 ribu/ul, eritrosit 3,00 juta/ul, MCV 82,2 fl, MCH 28,2pg, MCHC 34,3 g/dL, RDW 13,5 %, GDS 96 mg/dL. Urinalisa normal, tidak ada proteinuria. Pada pemeriksaan USG, didapatkan Janin presentasi kepala tunggal hidup, DJJ 150 dpm, BPD 7,2, AC 26,2 HC 27,4, FL 6,5, ICA 8,2, TBJ 1801 gram, janin 30-31 minggu. Riwayat Kelahiran Pasien lahir di RSUP Fatmawati tanggal 27 Maret 2014 secara sectio atas indikasi G4P2A1 janin presentasi kepala tunggal hidup ketuban pecah dini 2 hari, sisa ketuban dipecahkan warna jernih dengan jumlah sedikit. Berat lahir 1900 gram, panjang lahir 44 cm, nilai APGAR menit pertama 7/10, APGAR menit kelima 8/10. Tidak ada trauma pada bayi saat kelahiran. Riwayat Pascakelahiran Pasien sudah diberikan vitamin K 0,1 mg IM pada paha kiri, diberi salep mata kloramfeniko. Dikarenakan pasien mengalami sesak dan terdapat napas cuping hidung pada saat datang ke perina, maka pasien diberi oksigen nasal kanul 1 lpm. Pasien juga terdengar menangis merintih. Di perinalogi, pasien di cek DPL, 3 CRP, GDS, kultur darah, serta mendapatkan antibiotik amoxicilin 2 x 100 mg IV dan gentamicyn 10 mg/36 jam. Riwayat Imunisasi Pasien sudah mendapatkan imunisasi Hepatitis B. Riwayat Nutrisi Pasien tidak mendapat ASI dari ibu pasien, pasien dipuasakan dan diberi D10%. Riwayat Keluarga Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Ada riwayat keguguran pada ibu pasien. Kaka pertama pasien sudah meninggal. Riwayat kelainan bawaan dalam keluarga disangkal. Tidak ada riwayat diabetes maupun asma dalam keluarga III. PEMERIKSAAN FISIK Tanggal 27 Maret 2014 (Postnatal - dari status) Tanda Vital Kesadaran : apatis, GCS E3M5V3 DJ : 118 bpm Suhu : 35,8°C RR : 60x/menit, napas cuping hidung (+), retraksi subcostae (+) APGAR score 7 pada menit pertama, 8 pada menit ke 5 Antropometri Panjang badan : 44 cm Berat badan : 1900 g Lingkar kepala : 29 cm Lingkar dada : 28 cm Lingkar perut : 27 cm Lingkar lengan : 8,5 cm Usia Gestasi : Sesuai HPHT 31 minggu. Ballard score tidak dinilai Pemeriksaan Sistematis Bentuk kepala : bulat, tidak ada cefal hematoma maupun caput succadenum, ubun-ubun datar Rambut : hitam 4 Mata : dalam batas normal Telinga : dalam batas normal Hidung : dalam batas normal Mulut : bersih, lembab Leher : tonic neck ada Dada : bentuk dadasimetris, pernapasan tampak sesak Gastrointestinal : dalam batas normal Miksi : inkontinensia Defekasi : baik Ekstremitas : baik Kulit : pucat, terapat lanugo, turgor kulit baik, sirkulasi tampak sianosis Neurologi Kesadaran Refleks : sadar dan aktif : Moro (+), Pegang (+), Babinski (+), Hisap belum terkaji, menangis (+) merintih, menelan (+), menoleh (+) lemah, genggam (+) lemah Tanggal 2 April 2014 (bayi usia 5 hari) Keadaan Umum : Tampak sakit berat Kesadaran : somnolen-letargi Denyut Jantung : 147 kali permenit, regular, isi cukup, simetris Frekuensi Pernapasan : 56 kali permenit, abdominal, regular, dalam Suhu : 37,5 oC Tekanan Darah : tidak diperiksa Berat badan : 1850 gram Panjang badan : 42 cm Ballad score : 20 , sesuai dengan usia gestasi menurut Ballard: 32 minggu. 5 6 Neonatus Kurang Bulan, Sesuai Masa Kehamilan Kulit : Ikterus Kramer V Kepala : Normosefalik, caput succadaenum tidak ada, hematoma subperiosteal tidak ada. Mata : tidak diperiksa Telinga : deformitas tidak ada, sekret tidak ada Hidung : simetris, sekret tidak ada Mulut : mukosa lembab, sianosis tidak ada Tenggorok: tidak dapat diperiksa Leher : JVP, trakea, tiroid tidak dapat diperiksa Dada : Inspeksi: simetris saat statis dan dinamis, retraksi epigastrium, intercostal, suprasternal Palpasi: ekspansi dada simetris, fremitus tidak dilakukan Perkusi: tidak dilakukan Auskultasi: bronkhovesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/- Jantung: Inspeksi: iktus kordis tidak tampak Palpasi: iktus kordis teraba pada sela iga IV linea medioklavikular sinistra Perkusi: tidak dilakukan Auskultasi: Bunyi jantung I-II normal, murmur/gallop tidak ada 7 Abdomen: Inspeksi: datar, terpasang perban di umbilicus pasien Palpasi: supel, turgor cukup, hati dan limpa tidak dapat diperiksa Perkusi: tidak dapat diperiksa Auskultasi: Bising usus normal Genitalia : testis ada, rugae skrotum sedikit Anus : anus ada, fisura/fistel tidak ada Ekstremitas: akral hangat, edema tidak ada, CRT < 3 detik Pemeriksaan neurologis Inspeksi motorik ekstremitas : kesan parese ekstremitas tidak ada nervus cranialis : tidak diperiksa Refleks : palmar gasp lemah. Refleks moro, tonic neck tidak bisa, walk, placing, sucking, tidak bisa diperiksa Foto klinis 8 IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium 27/3/2014 1/4/2014 Nilai Stadar Hemoglobin 14,4 12,7 () 15,2-23,6 g/dl Hematokrit 44 37 44-72 % Leukosit 5,9 4,2 () 9,4-34,0 ribu/ul Eritrosit 4,14 3,81 217-497 ribu/ul Trombosit 327 42 () 4,30-6,30 juta/ul MCV 106,1 96,9 98,0-122,0 fl MCH 34,9 33,2 33,0-41,0 pg MCHC 32,9 34,3 31,0-35,0 g/dl RDW 18,0 16,2 () 11,5-14,5 % 72 0/1/85/9/3/1 0-1/1/3/50-7-/20- HJ:B/E/N/L/M 40/2-8/<4,5/<90 % GDS CRP kuantatif 72 < 0,4 IT Ratio Na 142 <90 mg/dl 3,7 <1,0 mg/dl 0,06 < 0,2 135-147 mmol/l 9 K 3,22 3,10-5,10 mmol/l Cl 101 95-108 mmol/l Bilirubin total 15,90 () 0,00 – 6,00 mg/dl Bilirubin direk 1,10 <0,6 mg/dl 14,80 () <0,6 mg/dl Bilirubin indirek AGD pH 7,238 7,320-7,440 PCO2 43,9 35,0-45,0 mmHg PO2 84,3 83,0-108,0 mmHg NP 752,0 - mmHg HCO3 18,3 21,0-28,0 mmol/L SaO2 94,6 95,0-99,0 % BE -8,9 -2,5 d 2,5 mmol/L Total Co2 19,6 19,0-24 mmol/L Golongan darah V. A/Rh (+) DIAGNOSIS 1. Neonatus kurang bulan, sesuai masa kehamilan (31 minggu, 1900 gram) 2. Lahir dengan SC atas indikasi KPD 2 hari 3. Respiratory Distress suspek HMD 4. Tersangka Sepsis Neonatorum Awitan Dini 5. Hiperbilirubinemia hari ke 2 VI. TATALAKSANA Termoregulasi Rawat inkubator, target suhu 36,5 – 37,5oC Cairan/nutrisi adekuat Puasa IVFD N5 + KCl 8,7 cc/jam Atasi infeksi Cefotaxim 2 x 100 mg IV Mikasin 2 x 15 mg IV Atasi Sesak 10 Aminophilin 2 x 0,25 mg IV Atasi ikterus Penyinaran sinar blue lights Rencana pemeriksaan DPL ulang, AGD, CRP, bilirubin total/direct.inderect, kultur darah VII. PROGNOSIS Ad vitam : dubia ad malam Ad sanationam : dubia ad bonam Ad fungtionam : dubia ad malam 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikterus Ikterus adalah deskolorasi kuning pada kulit, membran mukosa, dan sklera akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah.1 Warna kuning tersebut tampak pada sklera, membran mukosa, wajah, frenulum, palmar creases, yang meluas sesuai arah sefalokaudal ke dada, perut, kemudian ekstremitas. Neonatus akan tampak kuning apabila kadar bilirubin >5 mg/dl.2 Ikterus tampak lebih nyata bila terdapat prematuritas, asidosis, hipoalbumin, dan dehidrasi. Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. Pada masa transisi setelah lahir, hepar belum berfungsi optimal sehingga proses glukuronidasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal, menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjugasi dalam darah. Dengan menggunakan nomogram dapat dilihat kadar normal dan nilai tinggi bilirubin dalam darah, dengan menggunakan persentil sesuai umur.3 2.2 Metabolisme Bilirubin a. Pembentukan bilirubin Bilirubin merupakan produk akhir dari metabolisme portoporfirin besi atau heme, 75% berasalah dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar (enzim sitokorm, katalase dan heme bebas), mioglobin otot, serta eritropoiesis yang tidak efektif di sumsum tulang. Kecepatan produksi bilirubin adalah 8-10mg/kg BB/ hari pada neonatus cukup bulan sehat dan 3-4 mg/kg BB/ hari pada orang dewasa sehat.1,4 Bayi memproduksi bilirubin lebih besar per kilogram berat badan karena massa eritrositnya lebih besar dan umur eritrositnya lebih pendek (70-90 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom yang meningkat dan reabsopsi bilirubin dari usus yang meningkat (sirkulasi enterohepatik). 4 Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oksigenase, yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati dan oragan lain. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang digunakan untuk pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida (CO) yang dieksresikan ke dalam paru, Biliverdin kemudain akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase.4 b. Transportasi bilirubin Hasil akhir dari proses metabolisme ini adalah bilirubin indirek yang tidak larut dalam air dan non polar, yang terikat pada albumin dalam sirkulasi. Bayi baru lahir memiliki kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang.bilirubin yang terikat pada albumin serum ini merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air 12 dan kemudian akan ditransportasi ke dalam selhepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf pusat dan bersifat non-toksik.4 c. Bilirubin intake dan konjugasi bilirubin Bilirubin indirek diambil dan dimetabolisme oleh hati menjadi bilirubin direk (bilirubin diglukuronida) di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucuronosyl transferase (UDPGT; glucuronyl transferase). Proses konjugasi ini juga dibantu oleh enzim Glutathione Transferase (GST), di mana GST berfungsi mencegah effluks bilirubin dari hepatosit dan membantu pengikatan bilirubin dengan UDPGT. Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin tak terkonjugasi akan berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis. Bilirubin direk akan disekresikan ke dalam sistem bilier oleh transporter spesifik (Multidrug Resistant Protein, MRP), yang kemudian disimpan dalam kandung empedu hingga dikeluarkan ke dalam duodenum oleh rangsangan cholecystokinin (CCK) saat makan.2,4 d. Eksresi bilirubin Setelah berkonjugasi, bilirubin diekskresi dengan melawan gradien konsentrasi hepatosit melalui membran kanalikuli ke dalam empedu. Bilirubin yang mencapai usus akan terhidrogenasi oleh flora normal di usus menjadi urobilinogen dalam bentuk stercobilinogen dimana zat ini akan diekskresikan melalui feces dan membuat warna feces menjadi hijau kecoklatan. Di sisi lain, bilirubin terkonjugasi juga akan beredar di pembuluh darah dan diekskresikan melalui ginjal melalui perubahan menjadi urobilinogen yang mewarnai urin menjadi kuning. Sebagian kecil bilirubin direk akan didekonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase yang terdapat pada epitel usus, kemudian bilirubin indirek yang dihasilkan ini akan direabsorpsi ke dalam sirkulasi dan diikat oleh albumin kembali ke hati, yang dikenal sebagai siklus enterohepatik. Bilirubin sendiri berguna sebagai antioksidan poten serta pengikat peroksil, dan dapat melindungi neonatus dari toksisitas oksigen pada hari-hari pertama kehidupan. Walaupun bilirubin memiliki peran fisiologis sebagai antioksidan, peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi/indirek secara memiliki potensial neurotoksik karena sifatnya yang lipofilik yang mampu menembus sawar darah otak. Sedangkan, bentuk terkonjugasi tidak neurotoksik, hiperbilirubinemia direk mengindikasikan gangguan hepatik yang serius atau penyakit sistemik. Mukosa usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim beta-glukoronidase yang dapat menghidrolisis monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin tak terkonjugasi yang dapat diabsorpsi kembali. Pada bayi baru lahir, lumen usus halus steril sehingga bilirubin terkonjugasi tidak dapat diubah menjadi sterkobilin. Bayi baru lahir memiliki konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi relatif tinggi dalam usus karena peningkatan produksi bilirubin, hidrolisis bilirubin glukoronida yang berlebih (diperkuat oleh aktivitas beta-glukoronidase mukosa yang tinggi dan ekskresi monoglukoronida terkonjugasi), konsentrasi bilirubin yang tinggi dalam mekonium. Kekurangan relatif flora bakteri untuk 13 mengurangi bilirubin menjadi urobilinogen akan meningkatkan pool bilirubin usus.4 2.3 Patofisiologi Ikterus Mekanisme terjadinya ikterus dapat disebabkan oleh adanya abnormalitas dari: 1. produksi bilirubin, 2. ambilan bilirubin oleh hepatosit, 3. Ikatan bilirubin intrahepatosit, 4. Konjugasi bilirubin, 5. Sekresi bilirubin, dan 6. Ekskresi bilirubin. Abnormalitas yang terjadi dapat melibatkan beberapa dari penyebab di atas. Misalnya pada kasus peningkatan bilirubin akibat hemolisis yang berlebih akan menyebabkan kerusakan hepatosit atau duktus biliaris, yang kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi, dan ekskresi bilirubin. Selain itu, gangguan ekskresi bilirubin dapat mengganggu proses ambilan dan transpor bilirubin ke hati, serta kerusakan hepatoselular memperpendek umur eritrosit yang akan meningkatkan hiperbilirubinemia dan gangguan proses ambilan bilirubin oleh hepatosit. Gangguan berupa pembentukan bilirubin yang berlebihan, defek pengambilan dan konjugasi bilirubin menghasilkan peningkatan bilirubin indirek/unkonjugasi. Penurunan ekskresi bilirubin menghasilkan peningkatan kadar bilirubin direk atau disebut kolestasis. Sedangkan jika mekanismenya bersifat campuran maka akan terjadi peningkatan kedua jenis bilirubin.4 14 Gambar 1. Metabolisme Bilirubin4 2.4 Ikterus Fisiologis (Ikterus Neonatorum) Umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama > 2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan yang mendapat susu formula kadar bilirubin akan mencapai puncak sekitar 6-8 mg/dL pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan menurun dengan cepat selama 2-3 hari diikuti dengan penurunan yang lambat sekitar 1 mg/dL selama 1 sampai 2 minggu. Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi (7-14 mg.dL) dan penurunan terjadi lebih lambat. Bisa terjadi dalam 2-4 minggu, bahkan dapat mencaai 6 minggu. Pada bayi kurang bulan yang mendapat susu formula juga akan mengalami peningkatan dengan puncak yang lebih tinggi dan lebih lama, begitu juga dengan penurunannya jika tidak diberikan pencegahan. Peningkatan sampia 10-12 mg/dL masih dalam kisaran fisiologis, bahkan 15 mg/dL tanpa disertai kelainan metabolisme bilirubin. Kadar normal bilirubin tali pusat <2 mg/dL dan berkisar 1,4-1,9 mg/dL.4 Faktor risiko yang meningkatkan kadar bilirubin indirek antara lain usia maternal, ras, diabetes pada ibu, prematuritas, obat, ketinggian, polisitemia, laki-laki, trisomi 21, cephalohematoma, induksi oksitosin, ASI, dehidrasi/deprivasi kalori, perlambatan pasase usus dan riwayat keluarga/saudara yang memiliki ikterus fisiologis.2 Table 1. Faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis4 Dasar Peningkatan bilirubin yang tersedia Peningkatan produksi bilirubin Peningkatan resirkulasi melalui enterohepatik shunt Penurunan bilirubin clearance Penurunan clearance dari plasma Penuruanan metabolism hepatic Penyebab Peningkatan sel darah merah Penurunan umur sel darah merah Peningkatan early bilirubin Peningkatan aktifitas β-glukoronidase Tidak adanya flora bakteri Pengeluaran meconium yang terhambat Defisiensi protein karier Penurunan aktifitas UPDGT Ikterus fisiologis mempunyai karakteristik sebagai berikut:2 1. Muncul setelah 24 jam. 2. Berlangsung kurang lebih 7 hari (pada bayi cukup bulan) hingga 14 hari (pada bayi prematur). 3. Peningkatan terutama terdiri dari bilirubin indirek. 4. Kadar tertinggi bilirubin total kurang dari 15 mg/dL dan bilirubin direk < 2 mg/dL. 5. Tidak terdapat kondisi patologis lain Diagnosis ikterus fisiologis pada bayi cukup bulan atau preterm dapat dipikirkan hanya apabila sebab lain telah disingkirkan berdasarkan riwayat, temuan klinis, dan laboratorium. 15 2.5 Ikterus Neonatus Patologis Ikterus dianggap patologis bila waktu kemunculannya, durasi dan pola berbeda dariIkterus pada neonatus perlu pemeriksaan lebih lanjut apabila terdapat kriteria berikut ini:2,4 1. Ikterus telah timbul pada saat kelahiran atau kurang dari 24-36 jam masa kehidupan. 2. Laju kenaikan bilirubin serum >5mg/dl/24 jam 3. Kadar bilirubin >12 mg/dL pada bayi cukup bulan, khususnya bila tidak ada faktor risiko atau 10-14 mg/dL pada bayi prematur 4. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi kurang bulan 5. Fraksi bilirubin direk >2 mg/dL pada kondisi apapun 6. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada bayi (muntah, letargis, malas menyusu, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea, instabilitas suhu, feses pucat, urin gelap, kernikterus) 7. Terdapat riwayat keluarga: penyakit hemolitik, pucat, hepatomegali, splenomegali, kegagalan fototerapi untuk menurunkan kadar bilirubin 2.6 Ikterus Kolestasis2 Kolestasis neonatus didefinisikan sebagai kadar bilirubin direk lebih dari 1 mg/dL bila bilirubin total < 5 mg/dL atau bilirubin direk > 20 % dari bilirubin total bila kadar bilirubin total > 5 mg/dL. Manifestasi klinik yang ditimbulkan dari kolestasis ini adalah ikterus dan urin menjadi kuning tua karena bilirubin direk bersifat larut dalam air. Secara klinis, kolestasis pada neonatus dibagi menjadi dua, yaitu sindrom hepatitis neonatal dan kolestasis ekstrahepatik. Sindrom Hepatitis neonatal dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti infeksi (bakteri, toxoplasma, virus, rubella, cytomegalovirus, herpesvirus) dan kelainan metabolik (sindrom Alagille, kelainan endokrin, kelainan kromosom, hepatitis neonatal idiopatik, nutrisi parenteral). Kolestasis ekstrahepatik meliputi atresia bilier, kista duktus koledokus, perforasi spontan duktus bilaris komunis. Setiap neonatus yang mengalami kolestasis harus dievaluasi lebih lanjut dan perlu dipikirkan penyakit-penyakit yang perlu ditangani segera, seperti sepsis, obstruksi bilier, serta komplikasi yang akan terjadi. Komplikasi yang terjadi dapat meliputi koagulopati karena hipoprotrombinemia atau defisiensi vitamin K dan konsekuensi nutrisi akibat malabsorbsi lemak perlu dipertimbangkan karena terapi akan memperbaiki outcome dan kualitas hidup pasien. Tahapan evaluasi yang perlu dilakukan pada pasien dengan kolestasis neonatus adalah - Evaluasi Klinik, berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan warna BAB - Pemeriksaan bilirubin direk, indirek, serta asam empedu 16 - Pemeriksaan kelainan hepatoseluler dan bilier (AST, ALT, fosfatase alkali, GGT) - Tes fungsi hati (albumin, waktu protrombin, glukosa darah, amonia) - Singkirkan penyebab yang dapat diterapi - Bedakan obstruksi ekstrahepatik dengan kelainan intrahepatik - USG Abdomen - Biopsi hati 2.7 Pendekatan Klinis Ikterus Pendekatan klinis ikterus dimulai dari anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang yang relevan. Pemeriksaan fisis ikterus dapat dilakukan secara kasar dengan menggunakan aturan Kramer: Tabel 2. Kadar bilirubin total berdasarkan Kramer1 Kramer Bilirubin Indirek (mg/dL) Manifestasi icterus 1 4–8 Kepala dan leher 2 5 – 12 Tubuh di atas pusat 3 8 – 16 Tubuh di bawah pusat 4 11 – 18 Lengan dan tungkai 5 > 15 Telapak tangan dan telapak kaki Pendekatan untuk mencari etiologi ikterus dapat dilakukan berdasarkan jenis hiperbilirubinemia dan usia munculnya ikterus, karena keduanya dapat menunjukkan penyebab yang spesifik. Jenis dan derajat hiperbilirubinemia akan menentukan apakah ikterus yang terjadi merupakan ikterus fisiologis atau patologis. Langkah pertama evaluasi ialah menentukan jenis hiperbilirubinemia. Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia indirek terjadi pada bayi sehat akibat gangguan pada beberapa mekanisme. Hiperbilirubinemia dibagi menjadi 2 kategori, yaitu bilirubin direk (terkonjugasi) dan indirek (tidak terkonjugasi). Peningkatan bilirubin indirek (lebih dominan dibanding bilirubin direk) disebabkan oleh peningkatan produksi bilirubin, gangguan ambilan bilirubin oleh hati, atau kelainan konjugasi bilirubin. Sedangkan peningkatan kedua fraksi bilirubin merupakan akibat penyakit hepatoseluler, gangguan ekskresi kanalikuler, maupun obstruksi bilier. Berdasarkan usia maka hiperbilirubinemia dapat dibagi menjadi hiperbilirubinemia neonatus, bayi, atau anak. Berikut beberapa algoritma yang dapat dipakai untuk pendekatan ikterus:2 17 Gambar 2. Pendekatan hiperbilirubinemia pada neonatus.2 Gambar 3. Pendekatan diagnosis pada ikterus neonatus2 18 Tabel 3. Etiologi ikterus neonatus sesuai onset.2 Evaluasi hiperbilirubinemia pada neonatus a. Tak terkonjugasi: fraksi bilirubin serum (total, direk, indirek); golongan darah (ABO dan Rhesus) ibu dan bayi; hemoglobin/hematokrit/retikulosit/trombosit; Uji Coombs; sediaan apus darah; work up sepsis; skrining tiroid (T3, T4, TSH); G6PD. b. Terkonjugasi: SGOT dan SGPT; PT dan APTT; serum albumin; skrining TORCH; work up sepsis; skrining metabolik; skrining galaktosemia; USG abdominal; sweat chloride 2.8 Kernikterus dan Bilirubin Ensefalopati Kadar bilirubin tak terkonjugasi dapat melebihi kapasitas ikatan albumin, dan terjadi deposisi bilirubin pada beberapa daerah di otak terutama ganglia basalis, pons, dan serebelum, menyebabkan perubahan neuropatologi. Insidens meningkat pada kadar bilirubin diatas 20 mg/dL, dan dapat terjadi pada keadaan sepsis, meningitis, hemolisis, hipoksia, hipotermia, hipoglikemia, dan prematuritas. Kern ikterus adalah keadaan klinis yang kronik dengan sekuele yang permanen karena toksik bilirubin. Manifestasi klinis kern ikterus (tahap kronik bilirubin ensefalopati) adalah athenoid cerebral palsy yang berat, gangguan pendengaran, displasia dental-enamel, paralisis upward gaze. Akut bilirubin ensefalopati adalah manifestasi klinis yang timbul akibat efek toksik bilirubin pada SSP yaitu basal ganglia dan berbagai nuklei batang otak, tampak pada minggu pertama setelah lahir. Manifestasi klinis adalah letargi, hipotoni, refleks hisap buruk, kejang, muntah, high-pitched cry. Fase intermediate ditandai dengan moderate stupor, iritabilitas, dan hipertoni (opistotonus dan retrocollis), bayi demam, bulging fontanelle, dan perdarahan pulmonar. Selanjutnya akan menjadi hipotonia, retardasi mental, gangguan perkembangan motorik, gangguan pendengaran sensorineural, gangguan penglihatan dan extrapyramidal abnormalities (choreoathetoid cerebral palsy).3 19 Tabel 4. Manifestasi Klinis Kernicterus 2.9. Penilaian Risiko Sebelum dipulangkan dari pusat perawatan, setiap bayi baru lahir harus dinilai risiko untuk terjadinya hiperbilirubinemia berat. Hal ini perlu terutama pada bayi yang akan dipulangkan sebelum berusia 72 jam. American Academy of Pediatric merekomendasikan untuk menilai Total Bilirubin Serum atau Transcutaneous Bilirubin dan/atau menilai faktor risiko klinis. Nilai Total Bilirubin Serum dapat diperoleh saat melakukan pemeriksaan rutin. Pada bayi dengan nilai Total Bilirubin Serum rendah menurut nomogram memiliki resiko rendah untuk terjadinya hiperbilirubinemia berat.4 Gambar 4. Nomogram penilaian risiko hiperbilirubinemia pada bayi dengan usia gestasi 36 minggu/lebih dengan BB lahir 2000 gram/lebih, dan pada bayi dengan usia gestasi 35 minggu/lebih dengan BB lahir 2500 gram/lebih. 20 Tabel 5. Faktor risiko untuk terjadinya hiperbilirubinemia berat pada neonatus usia kehamilan 35 minggu/lebih 2.10. Tatalaksana Ikterus Neonatorum Prinsip penatalaksanaan ikterus neonatorum secara umum adalah:4 1. Mengobati sesuai penyebab 2. Memperbaiki hidrasi Terutama dilakukan dengan pemberian minum sesegera mungkin, sering menyusui untuk mengurangi sirkulasi enterohepatik, menunjang kestabilan flora normal, dan merangsang aktifitas usus halus. 3. Terapi sinar Terapi sinar untuk menurunkan kadar bilirubin indirek pada bayi dengan hiperbilirubinemia/ ikterus non fisiologis. Indikasi dapat dilihat pada protokol fototerapi yang dikeluarkan oleh American Academy of Pediatric 2004. Faktor risiko yang meningkatkan keperluan untuk dilakukan terapi sinar adalah penyakit hemolitik isoimin, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi yang signifikan, instabilitas suhu, asidosis, dan albumin <3 gr/dL. Sinar yang direkomendasikan adalah sinar biru dengan panjang gelombang 430-490 nm. Radiasi yang diberikan oleh lampu foton tersebut akan mengubah struktur bilirubin sehingga bilirubin akan diekskresikan ke empedu atau urine melalui 21 fotoisomerisasi, tanpa membutuhkan glukoronidase hepatik. Bilirubin harus dimonitor selama dan setelah terapi, risiko rebound karena fotoisomerisasi reversible setelah terapi dihentikan. Kontraindikasi untuk hiperbilirubinemia terkonjugasi. Efek samping fototerapi adalah dehidrasi hipernatremik, kerusakan retina, diare, dan kelainan kulit (hiperpigmentasi, ruam, eritema, luka bakar), hipertermi, bronze baby syndrome. Terapi sinar dihentikan bila kadar bilirubin turun dibawah batas untuk dilakukan terapi sinar atau mendekati nilai dilakukan untuk transfusi tukar. Gambar 5. Guideline fototerapi pada neonatal dengan usia gestasi 35 minggu.3 Tabel 6. Indikasi fototerapi berdasarkan BBLR.5 Berat badan (gram) Kadar bilirubin (mg/dL) < 1000 Fototerapi dimulai dalam 24 jam pertama 1000 -1500 7-9 1500-2000 10-12 2000-2500 13-15 4. Transfusi tukar Transfusi tukar dilakukan apabila terapi sinar gagal menurunkan kadar bilirubin total. Transfusi tukar merupakan metode tercepat untuk menurunkan konsentrasi bilirubin serum dan mencegah efek toksik bilirubin. Indikasi transfusi tukar dapat dilihat pada protokol yang dikeluarkan oleh American Academy of Pediatric 2004. Transfusi tukar direkomendasikan bila Total Serum 22 Bilirubin cenderung naik walau sudah dilakukan fototerapi intensif. Transfusi tukar harus segera dilakukan bila bayi menunjukkan tanda-tanda ensefalopati bilirubin akut (hipertonia, arching, retrokolis, opistotonus, demam, high pitched cry) atau bila Total Serum Bilirubin berada ≥ 5 mg/dL dari garis kurva. Faktor risiko yang meningkatkan kebutuhan untuk dilakukan transfusi tukar adalah penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi, instabilitas suhu, sepsis, asidosis. Selain kadar bilirubun, indikasi transfusi tukar juga dapat dilihat dengan rasio Bilirubin/Albumin. Darah yang digunakan untuk transfusi tukar merupakan modified whole blood ( RBC dan plasma) yang kompatibel dengan bayi dan crossmatch dengan ibu. Gambar 6. Guideline tranfusi tukar pada neonatal dengan usia gestasi 35 minggu.3 Tabel 7. Rasio Bilirubin/Albumin ( B/A) untuk indikasi dilakukan transfusi tukar.2 23 BAB III DISKUSI Pasien merupakan bayi kurang bulan dengan usia gestasi 31 minggu. Pada bayi kurang bulan terdapat beberapa gangguan yang bisa ditemukan seperti distress pernapasan, reflex isap yang masih buruk, gangguan konjugasi dan eksresi bilirubin, rendahnya imunitas dan hiperbilirubinemia. Pasien lahir SC dengan indikasi ketuban pecah dini 2 hari. Setelah lahir didapatkan air ketuban jernih. Pada kasus ini, bayi usia 5 hari berat dengan keluhan badan menguning sejak usia 4 hari setelah lahir. Berdasarkan keluhan tersebut yang pertama kali harus dipikirkan adalah bahwa pasien mengalami ikterus neonatorum. Kemudian harus dibedakan apakah ikterus pada pasien ini merupakan kelainan fisiologis atau patologis. Ikterus pada pasien diduga diakibatkan hiperbilirubinemia yang bersifat patologis. Bersifat patologis dikarenakan dari anamnesa dan pemeriksaan fisik terdapat tanda-tanda ke arah sepsis pada pasien, seperti adanya takikardi, terdapat napas cuping hidung dan retraksi otot-otot bantu napas, bayi merintih. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium, terdapat beberapa diagnosis banding yang disingkirkan: - riwayat buang air besar pasien berwarna kehijauan, riwayat BAB yang berwarna seperti dempul dan BAK berwarna teh disangkal. Dengan adanya riwayat BAB pasien yang berwarna kehijauan dan tidak adanya riwayat BAB seperti dempul menunjukkan bahwa kemungkinan pada pasien dapat disingkirkan penyebab obstruksi seperti atresia bilier. Pada ikterus obstruksi atau kolestasis, BAB pasien biasanya berwarna seperti dempul oleh karena empedu tidak dapat diekskresikan ke duodenum sehingga tidak dapat dihasilkan sterkobilin yang mewarnai feses dan hasilnya adalah feses yang berwarna pucat seperti dempul. Ikterus dari deposit bilirubin indirek pada kulit memperlihatkan kuning yang cerah atau orange, sedangkan ikterus tipe obstruktif memiliki kuning kehijauan pada kulit. Pada pemeriksaan fisik pasien hari ke 5, kulit pasien berwarna kekuningan dengan krammer 5. Pada pemeriksaan laboratorium ada peningkatan bilirubin direk, namun peningkatan bilirubine direk tidak >20%. Dengan pemeriksaan lab tersebut dan tidak adanya BAB dempul, kemungkinan disebabkan adanya cholestasis dapat disingkirkan. - Pasien dicurigai mengalami sepsis awitan dini ada karena pasien sejak awal kelahiran pasien mengalami distres pernapasan, pasien tampak apatis, skor APGAR menit pertama 7 dan menit ke-5 adalah 8, dan terdapat ketuban pecah dini 2 hari sebelum lahir walaupun cairan ketuban tampak jernih. Saat pemeriksaan kondisi hemodinamik pasien juga belum stabil, karena masih terdapat distres pernapasan, pasien merintih, dan pasien letargi. Pada pemeriksaan laboratorium pada umur 4 hari, didapatkan leukopenia, CRP lebih meningkat dibandingkan yang pertama. Hemoglobin dan eritrosit 24 yang semakin menurun pada hari keempat juga menunjukkan adanya penghancuran sel darah merah akibat sepsis awitan dini. Trombosit juga menurun pada sepsis. Kemungkinan hiperbilirubinemia dikarenakan sepsis. - Kemungkinan kuning bukan disebabkan karena kelainan hemolisis karena munculnya saat 2 hari dan pada bayi ini didapatkan tidak adanya inkompatibilitas golongan darah terhadap ibunya. Golongan darah ibu A/Rh + dan anak A/Rh +. - Tidak ada riwayat terpapar hewan peliharaan atau mengkonsumsi daging/sayuran tidak matang menurunkan kecurigaan terhadap infeksi TORCH pada pasien dapat disingkirkan. Riwayat pemakaian obat pada saat hamil juga disangkal. - Dari keterangan riwayat kelahiran pasien tidak didapatkan adanya riwayat trauma pada saat lahir, yang dapat menyebabkan terjadinya cephalohematoma yang akan menyebabkan kuning akibat lisis hematoma. - Riwayat kelainan pembekuan darah pada anggota keluarga pasien disangkal. - Fasies dari bayi termasuk normofasies tidak tampak menderita suatu sindrom. - Pasien tidak diberikan ASI, kemungkinan untuk brestfeeding jaundice ataupun breastmilk jaundice tidak ada pada pasien. Berdasarkan penjelasan di atas kemungkinan besar hiperbilirubinemia pada pasien dikarenakan kecurigaan sepsis awitan dini ditambah pasien juga lahir kurang bulan yang semakin meningkatkan kadar bilirubin pasien. Oleh karena itu, tatalaksana yang terpenting adalah dengan menyembuhkan infeksi dan fototerapi, Tatalaksana yang dapat diberikan pada pasien adalah menempatkannya dalam infant warmer dan suhu dijaga 36,5-37,5oC karena pada bayi mudah terjadi instabilitas suhu. Pasien dipuasakan dari ASI karena dengan kandungan ASI dapat mempengaruhi proses konjugasi dan eksresi bilirubin.. Awalnya pasien diberikan antibiotik gentamicyn dan amoksisilin, namun dikarenakan CRP semakin meningkat pda hari ke-4, pasien dicurigai sepsis antibiotic diganti menjadi mikasin 2x10 mg dan cefotaxim 2 x100 mg. Untuk terapi cairannya diberikan cairan maintenance D5% + KCl 8,7 cc/jam yang telah disesuaikan dengan berat badan pasien. Pasien juga mengalami distress pernapasan, oleh karena itu diberi aminofilin 2 x 0,25 mg IV. Pada kasus ini karena kadar bilirubin totalnya 15 mg/dl dan berat badan 1900 g, sesuai dengan panduan terapi sinar bayi premature, pasien termasuk indikasi untuk diberikan terapi sinar. Terapi sinar yang diberikan pada pasien adalah blue light terapi. Pasien drencanakan untuk cek DPL ulang, CRP, dan kultur darah untuk mengetahui kecurigaan sepsis dan perkembangannya. Pasien juga diperiksa bilirubin total, direct dan indirect untuk mengetahui perkembangan setelah fototerapi. 25 DAFTAR PUSTAKA 1. Martiza I. Ikterus. Dalam: Juffrie M, Soenarta SS, Oswari H, Arief S, Rosalina I, Mulyani NS. Buku ajar gastrenterologi hepatologi jilid I. Jakarta: IDAI; 2008. h.263,273. 2. Ambalavanan N, Carlo WA. Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn. In: Kliegman R, Stanton B, Schor N, St Geme J, Beherman R. Nelson Textbook of Pediatrics. 2011. Philadelphia: Elsevier; 2011. p.603-8. 3. Amerian Academy of Pediatrics. Management of Hyperbilirubinemia in the Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation. Pediatrics. 2004;114;297. 4. Sukadi A. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI, USman A, et al. Buku ajar neonatologi. Edisi pertama. Jakarta: IDAI; 2008. h. 147-69. 5. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED, et al. Hiperbilirubinemia. Dalam: Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak indonesia. Jakarta: ikatan dokter anak indonesia. Jakarta: IDAI; 2011. h.118 26