Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita MATA KULIAH Asuhan neonatus,bayi dan anak balita POKOK BAHASAN Neonatus Resiko Tinggi dan Penatalaksanaannya WAKTU 100 Menit DOSEN Yuni Retnowati OBJEKTIF DARI SILABUS (TERMINAL OBJEKTIF) Setelah mengikuti perkuliahan ini, diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan tentang neonatus resiko tinggi dan penatalaksanaanya SUMBER PUSTAKA 1. Deslidel, dkk. 2011. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Jakarta: Buku Kedokteran EGC 2. Kosim Soleh, dkk. 2005. Panduan Manejemen Bayi Baru Lahir Untuk Dokter, Perawat, Bidan di Rumah Sakit dan Rujukan Dasar. Jakarta: Departemen Kesehatan RI 3. Nelson Waldoe. 1996. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume I. Jakarta: EGC 4. Surasmi Astrining, dkk. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC 5. Wahyuni Sari. 2011. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Jakarta: Buku Kedokteran EGC BAHAN DAN SUMBER : 1. OHP/OHT 2. Multimedia 3. Flip Chart 4. Papan Tulis. Dan Hand Out Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita Waktu Isi Metode dan Alat Bantu Pendahuluan 10 menit 1. Mengucapkan salam. Metode: 2. Memberikan gambaran pentingnya materi yang akan disampaikan pada - Ceramah pertemuan ini. lustratif 3. Menyampaikan tujuan belajar mata kuliah ini yaitu mahasiswa dapat menjelaskan neonatus resiko tinggi dan penatalksanaannya. - Tanya jawab 4. Meyakinkan pada mahasiswa bahwa topik ini penting untuk dipelajari Alat bantu : dan bermanfaat dalam memberikan asuhan. - OHP/OHT - Papan tulis Metoda Ceramah Ilustratif, Tanya jawab Objektif Perilaku Siswa Metode : - Ceramah Setelah mengikuti pembelajaran ini, mahasiswa dapat menjelaskan pengertian Alat bantu : Pengertian neonatus resiko tinggi dan penatalaksanaannya sesuai dengan handout Setelah mengikuti pembelajaran ini, mahasiswa dapat menjelaskan kembali - OHP/OHT - Papan tulis tentang neonatus resiko tinggi dan penatalaksanaannya sesuai dengan handout Uraian materi BERAT BAYI LAHIR RENDAH (BBLR) 60 menit A. DEFINISI Beberapa pengertian tentang bayi baru lahir rendah (BBLR), menurut pantiawati (2010, h.1) mengatakan BBLR adalah bayi dengan Metode : - Ceramah Ilustratif - Tanya Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita berat badan lahir kurang dari 2500 gram. BBLR merupakan bayi yang jawab lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa Alat Bantu : kehamilan, sedangkan menurut Surasmi et all (2003, h.30) mengatakan - Multimedia BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang atau sama - Papan tulis dengan 2500 gram. Low birthweight has been defined by the World - Flipchart Health Organization (WHO) as weight at birth of less than 2,500 grams (5.5 pounds) (Unicef & WHO 2004, h.1). Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang atau sama dengan 2500 gram tanpa memandang masa kehamilannya B. ETIOLOGI Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur (Pantiawati 2010, h.4). Beberapa faktor yang dapat menyebabkan BBLR menurut pantiawati (2010, hh.4-5) dan Surasmi et all (2003, hh.31-32) antara lain sebagai berikut : 1. Faktor Ibu a. Penyakit penyakit yang yang berpengaruh seperti toksemia gravidarum (Preeklamsia dan ekslamsia), perdarahan antepartum, trauma fisik, diabetes melitus, tumor, penyakit akut dan kronis. b. taruma pada masa kehamilan antara lain fisik (misal jatuh) dan psikologis (stres) Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita c. ibu dengan faktor BBLR sebelumnya. d. usia ibu usia yang dapat beresiko terjadinya BBLR diantaranya usia kurang dari 16 tahun dan usia lebih dari 35 tahun, dan ibu dengan multigravida yang jarak kelahirannya terlalu dekat. e. keadaan sosial keadaan sosial yang berpengaruh terhadap terjadinya BBLR adalah golongan sosial ekonomi rendah dan perkawinan yang tidak sah, keadaan gizi yang kurang baik, mengerjakan aktivitas fisik beberapa jam tanpa istirahat, dan pengawasan antenatal yang kurang. f. sebab lain sebab lain yang dapat berpengaruh pada BBLR adalah ibu yang perokok, peminum alkohol dan pemakai narkotik. 2. faktor janin a. hidramnoin. b. kehamilan ganda c. ketuban pecah dini d. cacat bawaaan e. infeksi (rubeolla, sifilis, toksoplasmosis) f. insufisiensi plasenta g. inkopantibilitas darah ibu dan janin. 3. Faktor plasenta a. plasenta previa b. solusio plasenta c. sindrom transfusi bayi kembar (sindrom parabiotik) d. tumor (molahidatidosa) e. luas permukaan berkurang f. adanya plasentitis villus (bakteri, virus, dan parasit C. TANDA DAN GEJALA menurut Proverawati (2010, h.2) mengatakan bahwa tanda dan gejala dari BBLR adalah Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita 1. Berat kurang atau sama dengan 2500 gram 2. Panjang kurang dari 45 cm 3. Lingkar dada kurang dari 30 cm 4. Lingkar kepala kutrang dari 33 cm 5. Umur kehamilan kurang dari 37 minggu 6. Kepala lebih besar 7. Kulit tipis, transparan, lambut lanugo banyak, lemak kurang 8. Otot hipotonik lemah 9. Pernafasan tak teratur dapat terjadi apnea 10. Kepala tidak mampu tegak, pernafasan 40 – 50x/menit 11. Nadi 100-140x/menit 12. Tulang rawan daun telinga belum sempurna pertumbuhannya 13. Tumit mengkilap, telapak kaki halus 14. Genetalia belum sempurna, labio minora belum tertutup oleh labio mayora, klitoris menonjol (Bayi perempuan) dan testis belum turun ke dalam skrotum, pigmentasi pada skrotum kurang (bayi laki-laki) 15. Tonus otot lemah sehingga bayi kurang aktif dan pergerakan lemah 16. Fungsi syaraf yang belum atau tidak efektif dan tangisnya lemah 17. Jaringan kelenjar mamae masih kurang akibat pertumbuhan otot dan jaringan lemak masih kurang D. PATOFISIOLOGI Menurunnya simpanan zat gizi. Hampir semua lemak, glikogen, dan mineral, seperti zat besi, kalsium, fosfor dan seng dideposit selama 8 minggu terakhir kehamilan. Dengan demikian bayi preterm mempunyai peningkatan potensi terhadap hipoglikemia, rikets dan anemia. Meningkatnya kkal untuk bertumbuh. BBLR memerlukan sekitar 120 kkal/ kg/hari, dibandingkan neonatus aterm sekitar 108 kkal/kg/hari3. Belum matangnya fungsi mekanis dari saluran pencernaan. Koordinasi antara isap dan menelan, dengan penutupan epiglotis untuk mencegah aspirasi pneumonia, belum berkembang dengan baik sampai kehamilan 32-42 minggu. Penundaan pengosongan lambung dan buruknya motilitas usus sering terjadi pada bayi preterm. Kurangnya kemampuan untuk Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita mencerna makanan. Bayi preterm mempunyai lebih sedikit simpanan garam empedu, yang diperlukan untuk mencerna dan mengabsorbsi lemak , dibandingkan bayi aterm. Produksi amilase pankreas dan lipase, yaitu enzim yang terlibat dalam pencernaan lemak dan karbohidrat juga menurun. Kadar laktase juga rendah sampai sekitar kehamilan 34 minggu. Paru-paru yang belum matang dengan peningkatan kerja bernafas dan kebutuhan kalori yang meningkat. Masalah pernafasan juga akan mengganggu makanan secara oral. Potensial untuk kehilangan panas akibat luasnya permukaan tubuh dibandingkan dengan berat badan, dan sedikitnya lemak pada jaringan bawah kulit memberikan insulasi E. PEMERIKSAAN FISIK dan PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK 1. PEMERIKSAAN FISIK a. Reflek misalkan moro, menggenggam, dan menghisap. b. Tonus Aktivitas c. Kepala d. Mata e. THT (telinga dan mulut) f. Abdomen g. Toraks h. Paru-paru i. Jantung j. Ekstermitas k. Umbilikus l. Genetalia m. Anus n. Spina o. Kulit p. Suhu 2. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK a. Jumlah sel darah putih : 18.000/mm3, netrofil meningkat sampai 23.000-24.000/mm3, hari pertama setelah lahir (menurun bila Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita ada sepsis ). b. Hematokrit ( Ht ) : 43%- 61 % ( peningkatan sampai 65 % atau lebih menandakan polisitemia, penurunan kadar menunjukkan anemia atau hemoragic prenatal/perinatal ). c. Hemoglobin (Hb) : 15-20 gr/dl (kadar lebih rendah berhubungan dengan anemia atau hemolisis berlebihan ). d. Bilirubin total : 6 mg/dl pada hari pertama kehidupan, 8 mg/dl 1-2 hari, dan 12 mg/dl pada 3-5 hari. e. Destrosix : tetes glukosa pertama selama 4-6 jam pertama setelah kelahiran rata-rata 40-50 mg/dl meningkat 60-70 mg/dl pada hari ketiga. f. Pemantauan elektrolit ( Na, K, Cl ) : biasanya dalam batas normal pada awalnya. g. Pemeriksaan Analisa gas darah (Sitohang 2004, h.5). F. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada BBLR menurut Pantiawati (2010, hh.55-56) dan Proverawati at all (2010, hh.31-35) antara lain: a. Medikamentosa pemberian vitamin K1 dengan cara injeksi IM 1 mg atau peroral 2 mg sekali pemberian, atau 1 mg 3 kali pemberian (saat lahir 3-10 hari dan umur 4-6 minggu) (Pantiawati 2010, h.55). b. Pemberian, Pengaturan dan Pengawasan Intake Nutrisi Pengaturan dan pengawasan intake nutrisi dalam hal ini adalah menentukan pilihan asupan nutrisi, cara pemberian dan jadwal pemberian yang sesuai dengan kebutuhan bayi BBLR. Asupan nutrisi misalnya air susu ibu (ASI) merupakan pilihan pertama jika bayi mampu menghisap. ASI merupakan makanan paling utama sehingga ASI didahulukan untuk diberikan. ASI juga dapat dikeluarkan dan diberikan pada bayi yang tidak bisa untuk menghisap. Bila faktor menghisapnya kurang, ASI dapat diperas dan diminumkan dengan sendok dengan perlahan atau dengan memasang sonde ke lambung (Proverawati 2010, h.33). Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita Pemberian makanan bayi BBLR harus diikuti tindakan pencegahan khususnya untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan masuknya udara dalam usus. Pada bayi BBLR yang lebih kecil, kurang giat untuk menghisap dan sianosis ketika minum dapat melalui botol atau menete pada ibunya dengan melalui nasogastrik tube (NGT). Jadwal pemberian makanan disesuaikan dengan kebutuhan dan berat badan bayi BBLR. Pemberian makanan interval tiap jam dilakukan pada bayi dengan berat badan yang lebih rendah. Alat pencernaan bayi belum sempurna, lambung kecil, enzim pencernaan belum matang (Proverawati 2010, h.33). c. Mempertahankan suhu tubuh bayi Pada bayi BBLR akan cepat mengalami kehilangan panas dan menjadi hipotermia, karena pengaturan pusat panas badan belum berfungsi dengan baik, metabolismenya rendah, dan permukaan badan relatif luas. Oleh akrena itu, bayi prematur haris dirawat di dalam inkubator, sehingga pnas badannya mendekati dalam rahim. BBLR dirawat dalam inkubator yang modern dilengkapi dengan alat pengatur suhu dan kelembabannya agar bayi dapat mempertahankan suhu tubuhnya yang normal, alat oksigen yang dapat diatur. Pemberian oksigen untuk mengurangi bahaya hipoksia dan sirkulasi yang tidak memuaskan harus berhati-hati agar tidak terjadi hiperoksia yang dapat menyebabkan hiperoplasia retrorental dan fibroplasis paru. bila mungkin pemberian oksigen dilakukan melalui tudung kepala dengan alat CPAP (continues positif airway preasurre) atau dengan endotrakeal untuk pemberian konsentrasi oksigen yang aman dan stabil. d. Pencegahan infeksi bayi BBLR tidak boleh kontak dengan penderita infeksi dalam bentuk apapun. digunakan masker dan baju khusus dalam penanganan bayi, perawatan luka tali pusst, perawatan mata, hidung, kulit, tindakan aseptik dan aseptik alat-alat yang digunakan, isolasi Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita pasien, jumlah pasien, mengatur kunjungan menghindari perawatan yang terlalu lama dan pemberian antibiotik yang tepat. bayi prematur mudah sekali terinfeksi, karena daya tahan tubuhnya masih lemah, kemampuan leokosit masih kurang, dan pembentukan antibody belum sempurna. oleh karena itu upaya preventif dapat dilakukan sejak pengawasan antenatal sehingga tidak terjadi BBLR. e. Penimbangan berat badan perubahan berat badan mencerminkan kondisi nutrisi bayi dan eratnya kaitannya dengan daya tahan tubuh oleh karena itu penimbangan berat badan harus dilakukan dengan ketat. f. Pemberian oksigen ekspansi paru yang buruk merupakan masalah serius bagi bayi BBLR akibatnya tidak adanya alveoli dan surfaktan. konsentrasi O2 yang diberikan sekitar 30 – 35%. konsentrasi O2 yang tinggi dalam masa panjang akan menyebabkan kerussakan pada jaringan retina bayi dan dapat menimbulkan kebutaan. g. Pengawasan jalan nafas jalan nafas merupakan jalan udara melalui hidung, faring, trakhea, alveoli, bronkhiolus, bronkheolus respiratorius dan duktus alveolus ke alveoli. terhambatnya jalan nafas dapat menimbulkan asfiksia, hipoksia, dan kematian. ASFIKSIA NEONATORUM A. Definisi Asfiksia merupakan suatu keadaan dimana bayi tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir, keadaan tersebut dapat disertai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea dan sampai ke asidosis (Hidayat, 2005). Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas spontan dan teratur, sehingga dapat meurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut. (Manuaba, 1998) Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur dalam satu menit setelah lahir (Mansjoer, 2000) Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis, bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya. (Saiffudin, 2001) Jadi, Asfiksia neonatorum adalah keadan bayi baru lahir yang tidak dapat bernapas secara spontan dengan ditandai adanya hipoksemia (penurunan PaO2), hiperkarbia (peningkatan PaCO2), dan asidosis (penurunan PH). B. Etiologi Keadaan asfiksia terejadi karena kurangnya kemampuan fungsi organ bayi seperti pengembangan paru – paru. Proses terjadinya asfiksia neonatorum ini dapat terjadi pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah bayi lahir. Penyebab asfiksia menurut Mochtar (1989) adalah : 1. Asfiksia dalam kehamilan a. Penyakit infeksi akut b. Penyakit infeksi kronik c. Keracunan oleh obat-obat bius d. Uraemia dan toksemia gravidarum e. Anemia berat f. Cacat bawaan Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita g. Trauma 2. Asfiksia dalam persalinan a. Kekurangan O2. a) Partus lama (CPD, rigid serviks dan atonia/ insersi uteri) b) Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus yang terusmenerus mengganggu sirkulasi darah ke uri. c) Tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta. d) Prolaps fenikuli tali pusat akan tertekan antara kepaladan panggul. e) Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya. f) Perdarahan banyak : plasenta previa dan solutio plasenta. g) Kalau plasenta sudah tua : postmaturitas (serotinus), disfungsi uteri. b. Paralisis pusat pernafasan a) Trauma dari luar seperti oleh tindakan forceps b) Trauma dari dalam : akibat obat bius. Sedangkan menurut Betz et al. (2001), asfiksia dapat dipengaruhi beberapa faktor yaitu : 1. Faktor ibu a. Hipoksia ibu Dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik atau anestesi dalam, dan kondisi ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya. b. Gangguan aliran darah uterus Berkurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan berkurangnya aliran oksigen ke plasenta dan juga ke janin, kondisi ini sering ditemukan pada gangguan kontraksi uterus, hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan, hipertensi pada penyakit eklamsi. 2. Faktor plasenta Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita luas dan kondisi plasenta, asfiksis janin dapat terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya perdarahan plasenta, solusio plasenta. 3. Faktor fetus Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, melilit leher, kompresi tali pusat antara jalan lahir dan janin. 4. Faktor neonatus Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal yaitu pemakaian obat anestesi yang berlebihan pada ibu, trauma yang terjadi saat persalinan misalnya perdarahan intra kranial, kelainan kongenital pada bayi misalnya hernia diafragmatika, atresia atau stenosis saluran pernapasan, hipoplasia paru. C. Patofisiologi Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbulah rangsangan terhadap nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin) menjadi lambat. Jika kekurangan O2 terus berlangsung maka nervus vagus tidak dapat dipengaruhi lagi. Timbulah kini rangsangan dari nervus simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat akhirnya ireguler dan menghilang. Janin akan mengadakan pernafasan intrauterin dan bila kita periksa kemudian terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam paru, bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis. Bila janin lahir, alveoli tidak berkembang. Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan ganti, denyut jantung mulai menurun. Sedangkan tonus neuromuskuler berkurang secara berangsur-angsur dan bayi memasuki periode apneu primer. Apabila bayi dapat brnapas kembali secara teratur maka bayi mengalami asfiksia ringan. Jika berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan yang dalam, denyut Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita jantung terus menurun disebabkan karena terjadinya metabolisme anaerob yaitu glikolisis glikogen tubuh yang sebelumnya diawali dengan asidosis respiratorik karena gangguan metabolisme asam basa, Biasanya gejala ini terjadi pada asfiksia sedang - berat, tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terlihat lemas (flascid). Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode apneu sekunder. Selama apneu sekunder, denyut jantung, tekanan darah dan kadar O2 dalam darah (PaO2) terus menurun. Pada paru terjadi pengisian udara alveoli yang tidak adekuat sehingga menyebabkan resistensi pembuluh darah paru. Sedangkan di otak terjadi kerusakan sel otak yang dapat menimbulkan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya. Pada saat ini, Bayi sekarang tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan menunjukkan upaya pernafasan secara spontan. Gangguan pertukaran gas atau pengangkutan O2 selama kehamilan/ persalinan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian jika resusitasi dengan pernafasan buatan dan pemberian O2 tidak dimulai segera. Kerusakan dan gangguan ini dapat reversible atau tidak tergantung dari berat badan dan lamanya asfiksia. Asfiksia neonatorum diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Asfiksia Ringan ( vigorus baby) Skor APGAR 7-10, bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa. 2. Asfiksia sedang ( mild moderate asphyksia) Skor APGAR 4-6, pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, reflek iritabilitas tidak ada. 3. Asfiksia Berat Skor APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100x/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan kadang-kadang pucat, reflek iritabilitas tidak ada. Pada asfiksia dengan henti jantung yaitu bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap atau Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita bunyi jantung menghilang post partum, pemeriksaan fisik sama pada asfiksia berat. Pemeriksaan apgar untuk bayi : Klinis Detak jantung Pernafasan 0 1 2 Tidak ada < 100 x/menit >100x/menit Tidak ada Tak teratur Tangis kuat Tidak ada Menyeringai Batuk/bersin Fleksi Fleksi kuat Refleks saat jalan nafas dibersihkan Tonus otot Lunglai ekstrimitas gerak (lemah) aktif Tubuh merah Warna kulit Biru pucat Merah ekstrimitas seluruh biru tubuh Nilai 0-3 : Asfiksia berat Nilai 4-6 : Asfiksia sedang Nilai 7-10 : Normal Pemantauan nilai apgar dilakukan pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila nilai apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor mencapai 7. Nilai Apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak menangis. (bukan 1 menit seperti penilaian skor Apgar) D. Manifestasi klinik 1. Pada Kehamilan Denyut jantung janin lebih cepat dari 160 x/mnt atau kurang dari 100 x/mnt, halus dan ireguler serta adanya pengeluaran mekonium. a. Jika DJJ normal dan ada mekonium : janin mulai asfiksia b. Jika DJJ 160 x/mnt ke atas dan ada mekonium : janin sedang Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita asfiksia c. Jika DJJ 100 x/mnt ke bawah dan ada mekonium : janin dalam gawat 2. Pada bayi setelah lahir a. Bayi pucat dan kebiru-biruan b. Usaha bernafas minimal atau tidak ada c. Hipoksia d. Asidosis metabolik atau respiratori e. Perubahan fungsi jantung f. Kegagalan sistem multiorgan g. Kalau sudah mengalami perdarahan di otak maka ada gejala neurologik, kejang, nistagmus dan menangis kurang baik/tidak baik E. Pemeriksaan Diagnostik 1. Foto polos dada 2. USG kepala 3. Laboratorium : darah rutin( Hemoglobin/ hematokrit (HB/ Ht) : kadar Hb 15-20 gr dan Ht 43%-61%), analisa gas darah dan serum elektrolit 4. PH tali pusat : tingkat 7,20 sampai 7,24 menunjukkan status parasidosis, tingkat rendah menunjukkan asfiksia bermakna. 5. Tes combs langsung pada daerah tali pusat. Menentukan adanya kompleks antigen-antibodi pada membran sel darah merah, menunjukkan kondisi hemolitik. F. Penatalaksanaan Medis Tindakan untuk mengatasi asfiksia neonatorum disebut resusitasi bayi baru lahir yang bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi dan membatasi gejala sisa yang mungkin muncul. Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal dengan ABC resusitasi : 1. Memastikan saluran nafas terbuka : a. Meletakan bayi dalam posisi yang benar b. Menghisap mulut kemudian hidung kalau perlu trachea Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita c. Bila perlu masukan Et untuk memastikan pernapasan terbuka 2. Memulai pernapasan : a. Lakukan rangsangan taktil Beri rangsangan taktil dengan menyentil atau menepuk telapak kaki. Lakukan penggosokan punggung bayi secara cepat,mengusap atau mengelus tubuh,tungkai dan kepala bayi. b. Bila perlu lakukan ventilasi tekanan positif 3. Mempertahankan sirkulasi darah : Rangsang dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara kompresi dada atau bila perlu menggunakan obat-obatan Cara resusitasi dibagi dalam tindakan umum dan tindakan khusus : 1. Tindakan umum a. Pengawasan suhu b.Pembersihan jalan nafas c. Rangsang untuk menimbulkan pernafasan 2. Tindakan khusus a. Asfiksia berat Resusitasi aktif harus segera dilaksanakan, langkah utama memperbaiki ventilasi paru dengan pemberian O2 dengan tekanan dan intermiten, cara terbaik dengan intubasi endotrakeal lalu diberikan O2 tidak lebih dari 30 mmHg. Asphiksia berat hampir selalu disertai asidosis, koreksi dengan bikarbonas natrium 2-4 mEq/kgBB, diberikan pula glukosa 15-20 % dengan dosis 2-4ml/kgBB. Kedua obat ini disuntuikan kedalam intra vena perlahan melalui vena umbilikalis, reaksi obat ini akan terlihat jelas jika ventilasi paru sedikit banyak telah berlangsung. Usaha pernapasan biasanya mulai timbul setelah tekanan positif diberikan 1-3 kali, bila setelah 3 kali inflasi tidak didapatkan perbaikan pernapasan atau frekuensi jantung, maka masase jantung eksternal dikerjakan dengan frekuensi 80-100/menit. Tindakan ini diselingi ventilasi tekanan dalam perbandingan 1:3 yaitu setiap kali satu ventilasi tekanan diikuti oleh 3 kali Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita kompresi dinding toraks, jika tindakan ini tidak berhasil bayi harus dinilai kembali, mungkin hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan asam dan basa yang belum dikoreksi atau gangguan organik seperti hernia diafragmatika atau stenosis jalan nafas. b. Asfiksia sedang Stimulasi agar timbul reflek pernapsan dapat dicoba, bila dalam waktu 30-60 detik tidak timbul pernapasan spontan, ventilasi aktif harus segera dilakukan, ventilasi sederhana dengan kateter O2 intranasaldengan aliran 1-2 lt/mnt, bayi diletakkan dalam posisi dorsofleksi kepala. Kemudioan dilakukan gerakan membuka dan menutup nares dan mulut disertai gerakan dagu keatas dan kebawah dengan frekuensi 20 kali/menit, sambil diperhatikan gerakan dinding toraks dan abdomen. Bila bayi memperlihatkan gerakan pernapasan spontan, usahakan mengikuti gerakan tersebut, ventilasi dihentikan jika hasil tidak dicapai dalam 1-2 menit, sehingga ventilasi paru dengan tekanan positif secara tidak langsung segera dilakukan, ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan dari mulut ke mulut atau dari ventilasi ke kantong masker. Pada ventilasi dari mulut ke mulut, sebelumnya mulut penolong diisi dulu dengan O2, ventilasi dilakukan dengan frekuensi 20-30 kali permenit dan perhatikan gerakan nafas spontan yang mungkin timbul. Tindakan dinyatakan tidak berhasil jika setelah dilakukan berberapa saat terjasi penurunan frekuensi jantung atau perburukan tonus otot, intubasi endotrakheal harus segera dilakukan, bikarbonas natrikus dan glukosa dapat segera diberikan, apabila 3 menit setelah lahir tidak memperlihatkan pernapasan teratur, meskipun ventilasi telah dilakukan dengan adekuat. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita SINDROM GANGGUAN PERNAFASAN A. Pengertian Sindrom Gangguan Pernapasan Sindrom gangguan napas ataupun sering disebut sindrom gawat napas (Respiratory Distress Syndrome/RDS) adalah istilah yang digunakan untuk disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan maturitas paru (Whalley dan Wong, 1995). Gangguan ini biasanya juga dikenal dengan nama Hyaline membrane disease (HMD) atau penyakit membran hialin, karena pada penyakit ini selalu ditemukan membran hialin yang melapisi alveoli. Sindrom gangguan pernapasan adalah kumpulan gejala yang terdiri dari dispnea atau hiperapnea dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60 kali/menit, sianosis, rintihan pada ekspirasi dan kelainan otot-otot pernapasan pada inspirasi. RDS sering ditemukan pada bayi prematur. Insidens berbanding terbalik dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda usia kehamilan ibu, semakin tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut. Sebaliknya semakin tua usia kehamilan, semakin rendah pula kejadian RDS atau sindrome gangguan napas. Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80% terjadi pada bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi antara 32-36 minggu dan jarang sekali ditemukan pada bayi cukup bulan (matur). Insidens pada bayi prematur kulit putih lebih tinggi dari pada bayi kulit hitam dan sering lebih terjadi pada bayi laki-laki daripada bayi perempuan (Nelson, 1999). Selain itu, kenaikan frekuensi juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan, misalnya : Ibu penderita diabetes, hipertensi, hipotensi, seksio serta perdarahan antepartum. B. Penyebab Sindrome Gangguan Pernapasan Sindrom gangguan pernapasan dapat disebabkan karena : Ø Obstruksi saluran pernapasan bagian atas (atresia esofagus, atresia Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita koana bilateral) Ø Kelainan parenkim paru (penyakit membran hialin, perdarahan paru-paru) Ø Kelainan di luar paru (pneumotoraks, hernia diafragmatika) C. Tanda dan Gejala Sindrom Gangguan Pernapasan Tanda dan gejala sindrom gangguan pernapasan sering disertai riwayat asfeksia pada waktu lahir atau gawat janin pada akhir kehamilan. Adapun tanda dan gejalanya adalah : Ø Timbul setelah 6-8 jam setelah lahir Ø Pernapasan cepat/hiperapnea atau dispnea dengan frekuensi pernapasan lebih dari 60 kali/menit Ø Retraksi interkostal, epigastrium atau suprasternal pada inspirasi Ø Sianosis Ø Grunting (terdengar seperti suara rintihan) pada saat ekspirasi Ø Takikardia yaitu nadi 170 kali/menit Klasifikasi Sindrom Gangguan Pernapasan Sindrom gangguan pernapasan terbagi menjadi tiga yaitu : 1. Gangguan napas berat Dikatakan gangguan napas berat bila : Ø Frekuensi napas dari 60 kali/menit dengan sianosis sentral dan tarikan dinding dada atau merintih saat ekspirasi 2. Gangguan napas sedang Dikatakan gangguan napas sedang apabila : Ø Pemeriksaan dengan tarikan dinding dada atau merintih saat ekspirasi tetapi tanpa sianosis sentral 3. Gangguan napas ringan Dikatakan gangguan napas ringan apabila : Ø Frekuensi napas 60-90 kali/menit tanda tarikan dinding tanpa merintih saat ekspirasi atau sianosis sentral E. Penatalaksanaan pada Sindrome Ganguan Pernapasan Bidan sebagai tenaga medis di lini terdepan diharapkan peka terhadap pertolongan persalinan sehingga dapat mencapai well born baby Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita dan well health mother. Oleh karena itu bekal utama sebagai Bidan adalah: Ø Melakukan pengawasan selama hamil Ø Melakukan pertolongan hamil resiko rendah dengan memsnfaatkan partograf WHO Ø Melakukan perawatan Ibu dan janin baru lahir Berdasarkan kriteria nilai APGAR maka bidan dapat melakukan penilaian untuk mengambil tindakan yang tepat diantaranya melakukan rujukan medik sehingga keselamatan bayi dapat ditingkatkan. Penatalaksanaan RDS atau Sindrom gangguan napas adalah sebagai berikut : Ø Bersihkan jalan nafas dengan menggunakan penghisap lendir dan kasa steril Ø Pertahankan suhu tubuh bayi dengan membungkus bayi dengan kaki hangat Ø Atur posisi bayi dengan kepala ekstensi agar bayi dapat bernafas dengan leluasa Ø Apabila terjadi apnue lakukan nafas buatan dari mulut ke mulut Ø Longgarkan pakaian bayi Ø Beri penjelasan pada keluarga bahwa bayi harus dirujuk ke rumah sakit Ø Bayi rujuk segera ke rumah sakit Penatalaksanaan medik maka tindakan yang perlu dilakukan adalah sebagsai berikut : Ø Memberikan lingkungan yang optimal Ø Pemberian oksigen, tidak lebih dari 40% sampai gejala sianosis menghilang Ø Pemberian cairan dan elektrolit (glukosa 5% atau 10%) disesuaikan dengan berat badan (60-125 ml/kgBB/hari) sangat diperlukan untuk mempertahankan homeostatis dan menghindarkan dehidrasi Ø Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder Ø Pemberian surfaktan oksigen Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita F. Patofisiologi Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap sepenuhnya untuk berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif. Hal ini merupakan faktor kritis dalam terjadi RDS, ketidaksiapan paru menjalankan fungsinya tersebut disebabkan oleh kekurangan atau tidak adanya surfaktan. Surfaktan adalah substansi yang merendahkan tegangan permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps pada akhir ekspirasi dan mampu menahan sisa udara fungsional /kapasitas residu funsional (Ilmu Kesehatan Anak, 1985). Surfaktan juga menyebabkan ekspansi yang merata dan menjaga ekspansi paru pada tekanan intraalveolar yang rendah. Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi surfaktan menimbulkan ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi. Bila surfaktan tidak ada, janin tidak dapat menjaga parunya tetap mengembang. Oleh karena itu, perlu usaha yang keras untuk mengembangkan parunya pada setiap hembusan napas (ekspirasi) sehingga untuk pernapasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Akibatnya, setiap kali bernapas menjadi sukar seperti saat pertama kali bernapas (saat kelahiran). Sebagai akibat, janin lebih banyak menghabiskan oksigen untuk menghasilkan energi ini daripada yang ia terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan. Dengan meningkatnya kelelahan, bayi akan semakin sedikit membuka alveolinya. Ketidakmampuan mempertahankan pengembangan paru ini dapat menyebabkan atelaktasis. Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan pulmomary vascular resistance (PVR) yang nilainya menurun pada ekspansi paaru normal. Akibatnya, terjadi hipoperfusi jaringan paru dan selanjutnya menurunkan aliran darah pulmonal. Di samping itu, peningkatan PVR juga menyebabkan pembalikan parsial sirkulasi darah janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri melalui duktus arteriosus dan foramen ovale. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita Kolaps baru (atelektasis) akan menyebabkan gangguan ventilasi pulmonal yang menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah konstriksin vaskularisasi pulmonal yang menimbulkan penurunan oksigenasi jaringan dan selanjutnya menybabkan metabolismeanareobik. RDS atau sindrom gangguan pernapasan adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri dan mengikuti masa deteriorasi (kurang lebih 48 jam) dan jika tidak ada komplikasi paru akan membaik dalam 72 jam. Proses perbaikan ini, terutama dikaitkan dengan meningkatkan produksi dan ketersediaan materi surfaktan. G. Cara Mencegah Terjadinya Sindrom Gangguan Pernapasan Faktor yang dapat menimbulkan kelainan ini adalah pertumbuhan paru yang belum sempurna. Karena itu salah satu cara untuk menghindarkan penyakit ini ialah mencegah kelahiran bayi yang maturitas parunya belu sempurna. Maturasi paru dapat dikatakan sempurna bila produksi dan fungsi surfaktan telah berlangsung baik (Gluck, 1971) memperkenalkan suatu cara untuk mengetahui maturitas paru dengan menghitung perbandingan antara lesitin dan sfigomielin dalam cairan amnion. Bila perbandingan lesitin/sfingomielin sama atau lebih dari dua, bayi yangakan lahir tidak akan menderita penyakit membrane hialin, sedangkan bila perbandingan tadi kurang dari tiga berati paru-paru bayi belum matang dan akan mengalami penyakit membrane hialin. Pemberian kortikosteroid dianggap dapat merangsang terbentuknya surfaktan pada janin. Cara yang paling efektif untuk menghindarkan penyakit ini ialah mencegah prematuritas. Untuk mencegah sindrom gangguan pernapasan juga dapat dilakukan dengan segera melakukan resusitasi pada bayi baru lahir, apabila bayi : Ø Tidak bernapas sama sekali/bernapas dengan mengap-mengap Ø Bernapas kurang dari 20 kali/menit Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita IKTERUS NEONATORUM A. PENGERTIAN Hiperbilirubinemia / Ikterus neonatorum) adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir yaitu meningginya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning ( Ngastiyah, 1997). B. EPIDEMIOLOGI Pada sebagian besar neonatus, ikterik akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukan bahwa angka kejadian iketrus terdapat pada 60 % bayi cukup bulan dan 80 % bayi kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian penderita dapat berbentuk fisiologik dan sebagian lagi patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian. C. KLASIFIKASI Ikterus neonatorum dibagi menjadi ikterus fisiologis dan patologis ( Ngastiyah,1997). 1. Ikterus Fisiologis Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987, Ngastiyah, ): Timbul pada hari ke2 dan ke-3 dan tampak jelas pada hari ke5 dan ke-6. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita Kadar Bilirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada kurang bulan. Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg % Ikterus hilang pada 10 hari pertama Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu 2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Karakteristik ikterus patologis (Ngastiyah,1997 ) sebagai berikut : - Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan. Ikterus menetap sesudah bayi berumur 10 hari ( pada bayi cukup bulan) dan lebih dari 14 hari pada bayi baru lahir BBLR. - Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg % pada bayi kurang bulan (BBLR) dan 12,5 mg% pada bayi cukup bulan. - Bilirubin direk lebih dari 1mg%. - Peningkatan bilirubin 5 mg% atau lebih dalam 24 jam. - Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G-6-PD, dan sepsis). Ada juga pendapat ahli lain tentang hiperbilirubinemia yaitu Brown menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%. D. ETIOLOGI 1. Penyebab Ikterus fisiologis Kurang protein Y dan Z Enzim glukoronyl transferase yang belum cukup jumlahnya. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita Pemberian ASI yang mengandung pregnanediol atau asam lemak bebas yang akan menghambat kerja G-6-PD 2. Penyebab ikterus patologis a. Peningkatan produksi : Hemolisis, misalnya pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan ABO. Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran. Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis . Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase. Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta) , diol (steroid). Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin Indirek meningkat misalnya pada berat lahir rendah. Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia. b. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine, sulfonamide, salisilat, sodium benzoat, gentamisisn,dll. c. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti Infeksi , Toksoplasmosis, Sifilis, rubella, meningitis,dll. d. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik. e. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif, hirschsprung. . PATOFISIOLOGI IKTERUS Untuk lebih memahami tentang patofisiologi ikterus maka terlebih dahulu akan diuraikan tentang metabolisme bilirubin Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita 1. Metabolisme Bilirubin Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site). Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis. 2. Patofisiologi Hiperbilirubinemia Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan . Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia. Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu, Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH, Markum,1991). F. TANDA DAN GEJALA Menurut Surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi: 1) Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni. 2) Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan displasia dentalis) Sedangakan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning (ikterik) pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40 µmol/l. G. KOMPLIKASI Komplikasi dari hiperbilirubin dapat terjadi Kern Ikterus yaitu suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV. Gambaran klinik dari kern ikterus adalah : o Pada permulaan tidak jelas , yang tampak mata berputarputar o Letargi, lemas tidak mau menghisap. o Tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya epistotonus o Bila bayi hidup, pada umur lebih lanjut dapat terjadi spasme otot, epistotonus, kejang, stenosis yang disertai Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita ketegangan otot. o Dapat terjadi tuli, gangguan bicara dan retardasi mental. H. DIAGNOSIS Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu dalam menegakkan diagnosis hiperbilirubnemia pada bayi. Termasuk anamnesis mengenai riwayat inkompabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu faktor risiko kehamilan dan persalinan juga berperan dalam diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko itu antara lain adalah kehamilan dengan komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes mellitus, gawat janin, malnutrisi intrauterine, infeksi intranatal, dan lain-lain. Secara klinis ikterus pada bayi dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah beberapa hari kemudian. Pada bayi dengan peninggian bilirubin indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga, sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit tampak kehijauan. Penilaian ini sangat sulit dikarenakan ketergantungan dari warna kulit bayi sendiri. Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya ikterus, hiperbilirubinemia yang cukup berarti memerlukan penilaian diagnostic lengkap, yang mencakup penentuan fraksi bilirubin langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) hemoglobin, hitung lekosit, golongan darah, tes Coombs dan pemeriksaan apusan darah tepi. Bilirubinemia indirek, retikulositosis dan sediaan apusan memperlihatkan petunjuk adanya hemolisis akibat nonimunologik. Jika terdapat hiperbilirunemia direk, adanya hepatitis, fibrosis kistis dan sepsis. Jika hitung retikulosit, tes Coombs dan bilirubin indirek normal, maka mungkin terdapat hiperbilirubinemia indirek fisiologis atau patologis. a. Ikterus fisiologis. Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah 1 – 3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl /24 jam; dengan demikian ikterus baru terlihat pada hari ke 2 -3, biasanya mencapai puncak antara hari ke 2 – 4, dengan kadar 5 – 6 mg/dl untuk Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita selanjutnya menurun sampai kadar 5 – 6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara hari ke 5 – 7 kehidupan. b. Hiperbilirubin patologis. Makna hiperbilirubinemia terletak pada insiden kernikterus yang tinggi , berhubungan dengan kadar bilirubin serum yang lebih dari 18 – 20 mg/dl pada bayi aterm. Pada bayi dengan berat badan lahir rendah akan memperlihatkan kernikterus pada kadar yanglebihrendah(10–15mg/dl). . DIAGNOSIS BANDING Ikterus yang timbul 24 jam pertama kehidupan mungkin akibat eritroblastosis foetalis, sepsis, rubella atau toksoplasmosis congenital. Ikterus yang timbul setelah hari ke 3 dan dalam minggu pertama, harus dipikirkan kemungkinan septicemia sebagai penyebabnya. Ikterus yang permulaannya timbul setelah minggu pertama kehidupan memberi petunjuk adanya septicemia, atresia kongental saluran empedu, hepatitis serum homolog, rubella, hepatitis herpetika, anemia hemolitik yang disebabkan oleh obatobatan dan sebagainya. Ikterus yang persisten selama bulan pertama kehidupan memberi petunjuk adanya apa yang dinamakan “inspissated bile syndrome”. Ikterus ini dapat dihubungkan dengan nutrisi parenteral total. Kadang bilirubin fisiologis dapat berlangsung berkepanjangan sampai beberapa minggu seperti pada bayi yang menderita penyakit hipotiroidisme atau stenosis pylorus. J. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan sesuai dengan waktu timbulnya ikterus, yaitu : 1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama. Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun sbb: Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain. Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-kadang Bakteri) Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD. Pemeriksaan yang perlu dilakukan: Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita Kadar Bilirubin Serum berkala. Darah tepi lengkap (blood smear perifer ) untuk menunjukkan sel darah merah abnormal atau imatur, eritoblastosisi pada penyakit Rh atau sferosis pada inkompatibilitas ABO. Golongan darah ibu dan bayi untuk mengidentifikasi inkompeten ABO. Test Coombs pada tali pusat bayi baru lahir Hasil positif test Coomb indirek membuktikan antibody Rh + anti A dan anti B dalam darah ibu. Hasil positif dari test Coomb direk menandakan adanya sensitisasi ( Rh+, anti A, anti B dari neonatus ) Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau biopsi Hepar bila perlu. 2. Ikterus yang timbul 24 - 72 jam sesudah lahir. Biasanya Ikterus fisiologis. Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh, atau golongan lain. Hal ini diduga kalau kenaikan kadar Bilirubin cepat misalnya melebihi 5mg% per 24 jam. Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih mungkin. Polisetimia. Hemolisis perdarahan tertutup ( pendarahan subaponeurosis, pendarahan Hepar, sub kapsula dll). Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka pemeriksaan yang perlu dilakukan: Pemeriksaan darah tepi. Pemeriksaan darah Bilirubin berkala. Pemeriksaan skrining Enzim G6PD. Pemeriksaan lain bila perlu. 3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama. Sepsis. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita Dehidrasi dan Asidosis. Defisiensi Enzim G6PD. Pengaruh obat-obat. Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert. 4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya: Karena ikterus obstruktif. Hipotiroidisme Breast milk Jaundice. Infeksi. Hepatitis Neonatal. Galaktosemia Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan: Pemeriksaan Bilirubin berkala. Pemeriksaan darah tepi. Skrining Enzim G6PD. Biakan darah, biopsi Hepar bila ada indikasi. K. PENATALAKSANAAN MEDIS Berdasarkan pada penyebabnya, maka manajemen bayi dengan Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia.Pengobatan mempunyai tujuan : o Menghilangkan Anemia o Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi o Meningkatkan Badan Serum Albumin o Menurunkan Serum Bilirubin Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat, Menyusui Bayi dengan ASI, Terapi Sinar Matahari 1. Fototherapi ( terapi sinar ) Fototerapi diberikan jika kadar bilirubin darah indirek lebih dari 10 mg%. Beberapa ilmuwan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah. Cara kerja terapi sinar yaitu menimbulkan dekomposisi bilirubin dari suatu senyawaan tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam air sehingga dapt dikeluarkan melalui urin dan faeces. Di samping itu pada terapi sinar ditemukan pula peninggian konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan empedu duodenum dan menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus sehingga peristaltic usus meningkat dan bilirubin keluar bersama faeces. Dengan demikian kadar bilirubin akan menurun. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemberian terapi sinar adalah : a. Pemberian terapi sinar biasanya selama 100 jam. b. Lampu yang dipakai tidak melebihi 500 jam. Sebelum digunakan cek apakah lampu semuanya menyala. Tempelkan pada alat terapi sinar ,penggunaan yang ke berapa pada bayi itu untuk mengetahui kapan mencapai 500 jam penggunaan. c. Pasang label , kapan mulai dan kapan selesainya fototerapi. d. Pada saat dilakukan fototerapi, posisi tubuh bayi akan diubah-ubah; telentang lalu telungkup agar penyinaran berlangsung merata Komplikasi fototerapi : a. Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan mengakibatkan peningkatan Insensible Water Loss (IWL) (penguapan cairan). Pada BBLR kehilangan cairan dapat meningkat 2-3kali lebih besar. b. Frekuensi defikasi meningkat sebagai meningkatnya bilirubin indirek dalam cairan empedu dan meningkatnya peristaltik usus. c. Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita terkena sinar ( berupa kulit kemerahan)tetapi akan hilang setelah terapi selesai. d. Gangguan retina bila mata tidak ditutup. e. Kenaikan suhu akibat sinar lampu. Jika hal ini terjadi sebagian lampu dimatikan,terapi diteruskan. Jika suhu terus naik lampu semua dimatikan sementara, bayi dikompres dingin dan diberikan ekstra minum. f. Komplikasi pada gonad yang diduga menimbulkan kemandulan. 2. Tranfusi Pengganti Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktorfaktor : - Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu. - Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir. - Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama. - Tes Coombs Positif - Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama. - Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama. - Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl. - Bayi dengan Hidrops saat lahir. - Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus Transfusi Pengganti digunakan untuk : - Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal. - Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan) - Menghilangkan Serum Bilirubin - Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita keterikatan dengan Bilirubin Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil. 3. Therapi Obat Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi). Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus Enterohepatika. 4. Menyusui Bayi dengan ASI Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urin. Untuk itu bayi harus mendapatkan cukup ASI. Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat memperlancar buang air besar dan kecilnya. Akan tetapi, pemberian ASI juga harus di bawah pengawasan dokter karena pada beberapa kasus, ASI justru meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast milk jaundice). Di dalam ASI memang ada komponen yang dapat mempengaruhi kadar bilirubinnya. Sayang, apakah komponen tersebut belum diketahui hingga saat ini. Yang pasti, kejadian ini biasanya muncul di minggu pertama dan kedua setelah bayi lahir dan akan berakhir pada minggu ke-3. Biasanya untuk sementara ibu tak boleh menyusui bayinya. Setelah kadar bilirubin bayi normal, baru boleh disusui lagi. 5. Terapi Sinar Matahari Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya, bayi dijemur selama setengah jam dengan posisi yang berbeda-beda. Seperempat jam dalam keadaan telentang, misalnya, seperempat jam kemudian telungkup. Lakukan antara jam 7.00 sampai 9.00. Inilah waktu dimana sinar surya efektif mengurangi kadar bilirubin. Di bawah jam tujuh, sinar ultraviolet belum cukup efektif, sedangkan di atas jam sembilan kekuatannya sudah terlalu tinggi sehingga akan merusak kulit. Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke matahari karena dapat merusak matanya. Perhatikan pula situasi di sekeliling, keadaan udara harus bersih. PERDARAHAN TALI PUSAT A. Pengertian Perdarahan Tali Pusat Yaitu adanya cairan yang keluar di sekitar tali pusat bayi. Tetapi merupakan hal yang normal apabila pendarahan yang terjadi disekitar tali pusat dalam jumlah yang sedikit. Dimana, pendarahan tidak melebihi luasan uang logam dan akan berhenti melalui penekanan yang halus selama 5 menit. Selain itu perdarahan pada tali pusat juga bisa sebagai petunjuk adanya penyakit pada bayi. Perdarahan yang terjadi pada tali pusat bisa timbul sebagai akibat dari trauma pengikatan tali pusat yang kurang baik atau kegagalan proses pembentukkan trombus normal. Selain itu perdarahan pada tali pusat juga bisa sebagi petunjuk adanya penyakit pada bayi. B. Penyebab 1. Robekan umbilikus normal, biasanya terjadi karena : a. Partus precipitatus. b. Adanya trauma atau lilitan tali pusat. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita c. Umbilikus pendek, sehingga menyebabkan terjadinya tarikan yang berlebihan pada saat persalinan. d. Kelalaian penolong persalinan yang dapat menyebabkan tersayatnya dinding umbilikus atau placenta sewaktu sectio secarea. 2. Robekan umbilikus abnormal, biasanya terjadi karena : a. Adanya hematoma pada umbilikus yang kemudian hematom tersebut pecah, namun perdarahan yang terjadi masuk kembali ke dalam placenta. Hal ini sangat berbahaya bagi bayi dan dapat menimbulkan kematian pada bayi. b. Varises juga dapat menyebabkan perdarahan apabila varises tersebut pecah. c. Aneurisma pembuluh darah pada umbilikus dimana terjadi pelebaran pembuluh darah setempat saja karena salah dalam proses perkembangan atau terjadi kemunduran dinding pembuluh darah. Pada aneurisme pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah rapuh dan mudah pecah. 3. Robekan pembuluh darah abnormal Pada kasus dengan robekan pembuluh darah umbilikus tanpa adanya trauma, hendaknya dipikirkan kemungkinan adanya kelainan anatomik pembuluh darah seperti : a. Pembuluh darah aberan yang mudah pecah karena dindingnya tipis dan tidak ada perlindungan jely wharton. b. Insersi velamentosa tali pusat, dimana pecahnya pembuluh darah terjadi pada tempat percabangan tali pusat sampai ke membran tempat masuknya dalam placenta tidak ada proteksi. Umbilikus dengan kelainan insersi ini sering terdapat pada kehamilan ganda. c. Placenta multilobularis, perdarahan terjadi pembuluh darah yang menghubungkan masing-masing lobus dengan jaringan placenta karena bagian tersebut sangat rapuh dan mudah pecah. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita 4. Perdarahan akibat placenta previa dan abruptio placenta Perdarahan akibat placenta previa dan abruptio placenta dapat membahayakan bayi. Pada kasus placenta previa cenderung menyebabkan anemia, sedangkan pada kasus abruptio placenta lebih sering mengakibatkan kematian intra uterin karena dapat terjadi anoreksia. Pengamatan pada placenta dengan teliti untuk menentukan adanya perdarahan pada bayi baru lahir, pada bayi baru lahir dengan kelainan placenta atau dengan sectio secarea apabila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan hemoglobin secara berkala. C. Tanda dan Gejala a. Ikatan tali pusat lepas atau klem pada tali pusat lepas tapi masih menempel pada tali pusat. b. Kulit di sekitar tali pusat memerah dan lecet. c. Ada cairan yang keluar dari tali pusat. Cairan tersebut bisa berwarna kuning, hijau, atau darah. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita d. Timbul sisik di sekitar atau pada tali pusat. D. Penatalaksanaan 1. Penanganan disesuaikan dengan penyebab dari perdarahan tali pusat yang terjadi. 2. Untuk penanganan awal, harus dilakukan tindakan pencegahan infeksi pada tali pusat. a. Jaga agar tali pusat tetap kering setiap saat. Kenakan popok di bawah tali pusat. b. Biarkan tali pusat terbuka, tidak tertutup pakaian bayi sesering mungkin. c. Bersihkan area di sekitar tali pusat. Lakukan setiap kali Anda mengganti popok. Gunakan kapas atau cotton bud dan cairan alkohol 70% yang dapat dibeli di apotek. d. Angkat tali pusat dan bersihkan tepat pada area bertemunya pangkal tali pusat dan tubuh. Tidak perlu takut hal ini akan menyakiti bayi Anda. Alkohol yang digunakan tidak menyengat. Bayi akan menangis karena alkohol terasa dingin. Membersihkan tali pusat dengan alkohol dapat membantu mencegah terjadinya infeksi. Hal ini juga akan mempercepat pengeringan dan pelepasan tali pusat. e. Jangan basahi tali pusat sampai tidak terjadi pendarahan lagi. Tali pusat akan terlepas, dimana seharusnya tali pusat aka terlepas dalam waktu 1-2 minggu. Tapi, yang perlu diingat adalah jangan menarik tali pusat, walaupun sudah terlepas setengah bagian. f. Hindari penggunaan bedak atau losion di sekitar atau pada tali pusat. 3. Segera lakukan inform consent dan inform choise pada keluarga pasien untuk dilakukan rujukan. Hal ini dilakukan bila terjadi gejala berikut: a. Tali pusat belum terlepas dalam waktu 3 minggu. b. Klem pada pangkal tali pusat terlepas. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita c. Timbul garis merah pada kulit di sekitar tali pusat. d. Bayi menderita demam. e. Adanya pembengkakan atau kemerah-merahan di sekitar tali pusat. f. Timbul bau yang tidak enak di sekitar tali pusat. g. Timbulnya bintil-bintil atau kulit melepuh di sekitar tali pusat. h. Terjadi pendarahan yang berlebihan pada tali pusat. Pendarahan melebihi ukuran luasan uang logam. i. Pendarahan pada tali pusat tidak berhenti walaupun sudah di tekan. j. KEJANG NEONATORUM A. Definisi Kejang pada bayi baru lahir ialah kejang yang timbul masa neonatus atau dalam 28 hari sesudah lahir (Buku Kesehatan Anak). Menurut Brown (1974) kejang adalah suatu aritma serebral. Kejang adalah perubahan secara tiba-tiba fungsi neurology baik fungsi motorik maupun fungsi otonomik karena kelebihan pancaran listrik pada otak (Buku Pelayanan Obstetric Neonatal Emergensi Dasar). Kejang bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan gejala dari gangguan saraf pusat, lokal atau sistemik. Kejang ini merupakan gejala gangguan syaraf dan tanda penting akan adanya penyakit lain sebagai penyebab kejang tersebut, yang dapat mengakibatkan gejala sisa yang menetap di kemudian hari. Bila penyebab tersebut diketahui harus segera di obati. Hal yang paling penting dari kejang pada bayi baru lahir adalah mengenal kejangnya, mendiagnosis penyakit penyebabnya dan memberikan pertolongan terarah, bukan hanya mencoba menanggulangi kejang tersebut dengan obat antikonvulsan. Manifestasi kejang pada bayi baru lahir dapat berupa tremor, hiperaktif, kejang-kejang, tiba-tiba menangis melengking. Tonus otot hilang disertai atau tidak dengan kehilangan kesadaran, gerakan yang Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita tidak menentu (involuntary movements) nistagmus atau mata mengedip-edip proksismal, gerakan seperti mengunyah dan menelan. Oleh karena itu Manifestasi klinik yang berbeda-beda dan bervariasi, sering kali kejang pada bayi baru lahir tidak di kenali oleh yang belum berpengalaman. Dalam prinsip, setiap gerakan yang tidak biasa pada bayi baru lahir apabila berangsur berulang-ulang dan periodik, harus dipikirkan kemungkinan Manifestasi kejang. B. Etiologi 1. Metabolik a. Hipoglikemia Bila kadar darah gula kurang dari 30 mg% pada neonatus cukup bulan dan kurang dari 20 mg% pada bayi dengan berat badan lahir rendah. Hipoglikemia dapat dengan/tanpa gejala. Gejala dapat berupa serangan apnea, kejang sianosis, minum lemah, biasanya terdapat pada bayi berat badan lahir rendah, bayi kembar yang kecil, bayi dari ibu penderita diabetes melitus, asfiksia. b. Hipokalsemia - Yaitu: keadaan kadar kalsium pada plasma kurang dari 8 mg/100 ml atau kurang dari 8 mg/100 ml atau kurang dari 4 MEq/L - Gejala: tangis dengan nada tinggi, tonus berkurang, kejang dan Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita diantara dua serangan bayi dalam keadaan baik. c. Hipomagnesemia - Yaitu kadar magnesium dalam darah kurang dari 1,2 mEg/l. biasanya terdapat bersama-sama dengan hipokalsemia, hipoglikemia dan lain-lain. - Gejala kejang yang tidak dapat di atasi atau hipokalsemia yang tidak dapat sembuh dengan pengobatan yang adekuat. d. Hiponatremia dan hipernatremia Hiponatremia adalah kadar Na dalam serum kurang dari 130 mEg/l. gejalanya adalah kejang, tremor. Hipertremia, kadar Na dalam darah lebih dari 145 mEg/l. Kejang yang biasanya disebabkan oleh karena trombosis vena atau adanya petekis dalam otak. e. Defisiensi pirodiksin dan dependensi piridoksisn Merupakan akibat kekurangan vitamin B6. gejalanya adalah kejang yang hebat dan tidak hilang dengan pemberian obat anti kejang, kalsium, glukosa, dan lain-lain. Pengobatan dengan memberikan 50 mg pirodiksin f. Asfiksia Suatu keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir etiologi karena adanya gangguan pertukaran gas dan transfer O2 dari ibu ke janin. 2. Perdarahan intracranial Dapat disebabkan oleh trauma lahir seperti asfiksia atau hipoksia, defisiensi vitamin K, trombositopenia. Perdarahan dapat terjadi sub dural, dub aroknoid, intraventrikulus dan intraserebral. Biasanya disertai hipoglikemia, hipokalsemia. Diagnosis yang tepat sukar ditetapkan, fungsi lumbal dan offalmoskopi mungkin dapat membantu diagnosis. Terapi : pemberian obat anti kejang dan perbaikan gangguan metabolism bila ada. 3. Infeksi Infeksi dapat menyebabkan kejang, seperti : tetanus dan meningitis Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita 4. Genetik/kelainan bawaan Penyebab lain a. Polisikemia Biasanya terdapat pada bayi berat lahir rendah, infufisiensi placenta, transfuse dari bayi kembar yang satunya ke bayi kembar yang lain dengan kadar hemoktrokit di atas 65% b. Kejang idiopatik Tidak memerlukan pengobatan yang spesifik, bila tidak diketahui penyebabnya berikan oksigen untuk sianosisnya c. Toksin estrogen Misalnya : hexachlorophene C. Patogenesis Kejang pada neonatus seringkali tidak dikenali kerena bentuknya yang berbeda dengan kejang orang dewasa dan anak-anak. Penyelidikan sinemotografi dan EEG menunjukkan bahwa kelainan pada EGG sesuai dengan twitching dari muka, kedipan muka, menguap, kaku tiba-tiba dan sebagainya. Oleh karena itu, kejang pada bayi baru lahir tidak spesifikasi dan lebih banyak digunakan istilah “fit” atau “seizure”. Manifestasi yang berbeda-beda ini disebabkan morfologi dan organisasi dari korteks serebri yang belum terbentuk sempurna pada neonatus (Froeman, 1975). Demikian pula pembentukan dendrit, synopsis dan mielinasasi. Susunan syarat pusat pada neonatus terutama berfungsi pada medulla spinalis dan batang orak. Kelainan lokal pada neuron tidak disalurkan kepada jaringan berikutnya sehingga kejang umum jarang terjadi. Batang otak berhubungan dengan gerakan-gerakan seperti menghisap, gerakan bola mata, pernafasan dan sebagainya, sedangkan fleksi umum atau kekakuan secara fokal atau umum adalah gejala medula spinalis. D. Klasifikasi Kejang Volve (1977)membagi kejang pada bayi baru lahir sebagai berikut : Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita 1. Bentuk kejang yang hampir tidak terlihat (Subtle) yang sering tidak di insafi sebagai kejang. Terbanyak di dapat pada neonatus berupa : a. Deviasi horizontal bola mata b. Getaran dari kelopak mata (berkedip-kedip) c. Gerakan pipi dan mulut seperti menghisap, mengunyah, mengecap, dan menguap d. Opnu berulang e. Gerakan tonik tungkai 2. Kejang klonik multifokal (miogratory) Gerakan klonik berpindah-pindah dari satu anggota gerak ke yang lain secara tidak teratur, kadang-kadang kejang yang satu dengan yang lain dapat menyerupai kejang umum. 3. Kejang tonik Ekstensi kedua tungkai, kadang-kadang dengan flexi kedua lengan menyerupai dekortikasi 4. Kejang miokolik Berupa gerakan flexi seketika seluruh tubuh, jarang terlihat pada neonatus 5. Kejang umum Kejang seluruh badan, sianosis, kesadaran menurun 6. Kejang fokal Gerakan ritmik 2-3 x/detik. Sentakan yang dimulai dari salah satu kaki, tangan atau muka (gerakan mata yang berputar-putar, menguap, mata berkedip-kedip, nistagmus, tangis dengan nada tinggi). E. Manifestasi a. Kejang tersamar Hampir tidak terlihat Menggambarkan perubahan tingkah laku b. Bentuk kejang : Otot muka, mulut, lidah menunjukan gerakan menyeringai Gerakan terkejut-kejut pada mulut dan pipi secara tiba-tiba menghisap, mengunyah, menelan menguap Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita Gerakan bola mata ; deviasi bola mata secara horisontal, kelopak mata berkedip-kedip, gerakan cepat dari bola mata Gerakan pada ekstremitas : pergerakan seperti berenang, mangayuh pada anggota gerak atas dan bawah Pernafasan apnea, BBLR hiperpnea Untuk memastikan : pemeriksaan EEG c. Kejang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan tungkai 1) Kejang klonik - Berlangsung selama 1-3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran - Dapat disebabkan trauma fokal - BBL dengan kejang klonik fokal perlu pemeriksaan USG, pemeriksaan kepala untuk mengetahui adanya perdarahan otak, kemungkinan infark serebri - Kejang klonik multifokal sering terjadi pada BBL, terutama bayi cukup bulan dengan BB>2500 gram - Bentuk kejang : gerakan klonik pada satu atau lebih anggota gerak yang berpindah-pindah atau terpisah secara teratur, misal kejang klonik lengan kiri diikuti kejang klonik tungkai bawah kanan 2) Kejang tonik - Terdapat pada BBLR, masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan pada bayi dengan komplikasi perinatal berat - Bentuk kejang : berupa pergerakan tonik satu ekstremitas, pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai, menyerupai sikap deserebasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi 3) Kejang mioklonik - Gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat, gerakan menyerupai refleks moro Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita d. Gemetar - Sering membingungkan - Kadang terdapat pada bayi normal yang dalam keadaan lapar (hipoglikemia, hipokalsemia, hiperiritabilitas neuromuscular) - Gerakan tremor cepat - Tidak disertai gerakan cara melihatabnormal atau gerakan bola mata - Dapat timbul dengan merangsang bayi, sedangkan kejang tidak timbul dengan perangsangan - Gerakan dominan adalah gerakan tremor - Pergerakan ritmik anggota gerak pada gemetar dihentikan dengan melakukan fleksi anggota gerak e. Apnea - Pada BBLR pernafasan tidak teratur, diselingi dengan henti nafas 3-6 detik, sering diikuti dengan hiperapnea 10-15 detik - Berhentinya pernafasan tidak disertai perubahan denyut jantung, tekanan darah, suhu badan, warna kulit - Bentuk pernafasan disebut pernafasan periodik disebabkan belum sempurnanya pusat pernafasan di batang otak - Serangan apnea tiba-tiba disertai kesadaran menurun pada BBLR dicurigai adanya perdarahan intracranial - Perlu pemeriksaan USG f. Manifestasi kejang pada BBL Tremor/gemetar Hiperaktif Kejang-kejang Tiba-tiba menangis melengking Tonus otot hilang diserati atau tidak dengan hilangnya kesadaran Pergerakan tidak terkendali Nistagmus atau mata mengedip ngedip paroksismal F. Diagnosis 1. Anamnesa Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita a. Anemnesa lengkap mengenai keadaan ibu pada saat hamil b. Obat yang di minum oleh ibu saat hamil c. Obat yang diberikan dan yang diperlukan sewaktu persalinan d. Apakah ada anak dan keluarga yang sebelumnya menderita kejang dan lain-lain. e. Riwayat persalinan: bayi lahir prematus, lahir dengan tindakan, penolong persalinan, asfiksia neontorum f. Riwayat immunisasi tetanus ibu, penolong persalinan bukan tenaga kesehatan g. Riwayat perawatan tali pusat dengan obat tradisional h. Riwayat kejang, penurunan kesadaran, ada gerakan abnormal pada mata, mulut, lidah, ekstremitas i. Riwayat spasme atau kekakukan pada ekstremitas, otot mulut dan perut j. Kejang dipicu oleh kebisingan atau prosedur atau tindakan pengobatan k. Riwayat bayi malas minum sesudah dapat minum normal l. Adanya faktor resiko infeksi m. Riwayat ibu mendapatkan obat, misal: heroin, metadon, propoxypen, alkohol n. Riwayat perubahan warna kulit (kuning) o. Saat timbulnya dan lama terjadinya kejang 2. Pemeriksaan fisik a. Kejang 1) Gerakan normal pada wajah, mata, mulut, lidah dan ekstremitas 2) Ekstensi atau fleksi tonik ekstremitas, gerakan seperti mengayuh sepeda, mata berkedip berputar, juling 3) Tangisan melengking dengan nada tinggi, sukar berhenti 4) Perubahan status kesadaran, apnea, ikterus, ubun-ubun besar menonjol, suhu tidak normal b. Spasme Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita 1) Bayi tetap sadar, menangis kesakitan 2) Trismus, kekakuan otot mulut pada ekstremitas, perut, kontraksi otot, tidak terkendali dipicu oleh kebisingan, cahaya atau prosedur diagnostik 3) Infeksi tali pusat 3. Pemeriksaan laboratorium Gula darah, kalsium, fospor, magnesium, natrium, bilirubin, fungsi lumbal, darah tepi, dan kalau mungkin biakan darah dan cairan serebrospinal foto kepala dan EEG, pemeriksaan sedapat mungkin terarah. G. Prognosis Tergantung dari cepat lambatnya timbul kejang (makin dini timbulnya kejang, makin tinggi angka kematian dan gejala usia) beratnya penyakit, fasilitas laboratorium, cepat lambatnya mendapat pengobatan yang adekuat dan baik tidaknya perawatan. H. Penanganan (Buku Acuan Nasional Maternatal dan Neonatal) 1. Prinsip dasar tindakan mengatasi kejang pada bayi baru lahir sebagai berikut: a. Mengatasi kejang dengan memberikan obat anti kejang-kejang (Misal : diazepam, fenobarbital, fenotin/dilantin) b. Menjaga jalan nafas tetap bebas dengan resusitasi c. Mencari faktor penyebab kejang d. Mengobati penyebab kejang (mengobati hipoglikemia, hipokalsemia dan lain-lain) 2. Obat anti kejang (Buku Acuan Nasional Maternatal dan Neonatal, 2002) a. Diazepam Dosis 0,1-0,3 mg/kg BB IV disuntikan perlahan-lahan sampai kejang hilang atau berhenti. Dapat diulangi pada kejang beruang, tetapi tidak dianjurkan untuk digunakan pada dosis pemeliharaan b. Fenobarbital Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita Dosis 5-10 mg/kg BB IV disuntikkan perlahan-lahan, jika kejang berlanjut lagi dalam 5-10 menit. Fenitoin diberikan apabila kejang tidak dapat di berikan 4-7 mg/kg BB IV pada hari pertama di lanjutkan dengan dosis pemeliharaan 4-7 mg/kg BB atau oral dalam 2 dosis. 3. Penanganan kejang pada bayi baru lahir (Buku Acuan Nasional Maternal dan Neonatal, 2002) a. Bayi diletakkan dalam tempat yang hangat pastikan bahwa bayi tidak kedinginan. Suhu dipertahankan 36,5oC - 37oC b. Jalan nafas bayi dibersihkan dengan tindakan penghisap lendir di seputar mulut, hidung sampai nasofaring c. Bila bayi apnea dilakukan pertolongan agar bayi bernafas lagi dengan alat bantu balon dan sungkup, diberikan oksigen dengan kecepatan 2 liter/menit d. Dilakukan pemasangan infus intravena di pembuluh darah perifer di tangan, kaki, atau kepala. Bila bayi diduga dilahirkan oleh ibu berpenyakit diabetesmiletus dilakukan pemasangan infus melalui vena umbilikostis e. Bila infus sudah terpasang di beri obat anti kejang diazepam 0,5 mg/kg supositoria IM setiap 2 menit sampai kejang teratasi, kemudian di tambah luminal (fenobarbital 30 mg IM/IV) f. Nilai kondisi bayi selama 15 menit. Perhatikan kelainan fisik yang ada g. Bila kejang sudah teratasi, diberi cairan dextrose 10% dengan kecepatan 60 ml/kg BB/hari h. Dilakukan anamnesis mengenai keadaan bayi untuk mencari faktor penyebab kejang 1) Apakah kemungkinan bayi dilahirkan oleh ibu yang berpenyakit DM 2) Apakah kemungkinan bayi prematur 3) Apakah kemungkinan bayi mengalami asfiksia 4) Apakah kemungkinan ibu bayi mengidap/menggunakan Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita narkotika i. Bila sudah teratasi di ambil bahan untuk pemeriksaan laboratorium untuk mencari faktor penyebab kejang, misalnya : j. 1) Darah tepi 2) Elektrolit darah 3) Gula darah 4) Kimia darah (kalsium, magnesium) Bila kecurigaan kearah pepsis dilakukan pemeriksaan fungsi lumbal k. Obat diberikan sesuai dengan hasil penelitian ulang l. Apabila kejang masih berulang, diazepam dapat diberikan lagi sampai 2 kali Kesimpulan 10 menit Metode : Masalah pada neonatus biasanya timbul sebagai akibat yang spesifik - Ceramah terjadi pada masa perinatal. Tidak hanya merupakan penyebab kematian - Tanya tetapi juga kecacatan. Masalah ini timbul sebagai akibat buruknya kesehatan jawab ibu, perawatan kehamilan yang kurang memadai, manajemen persalinan yang Alat Bantu : tidak tepat dan tidak bersih, kurangnya perawatan bayi baru lahir. Kalau ibu - Multimedia meninggal pada waktu melahirkan, si bayi akan mempunyai kesempatan hidup yang kecil. Yang termasuk neonatus resiko tinggi yaitu diantaranya sebagai berikut: 1. BBLR 2. asfiksia neonatorum 3. sindrom, gangguan pernafasan 4. ikterus 5. perdarahan tali pusat 6. kejang Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita Penutup 5 1. menit Metode : Meyakinkan mahasiswa bahwa poin – poin penting materi telah - Ceramah disampaikan 2. Memberitahu mahasiswa bahwa OPS telah tercapai 3. Memberi tahu materi yang akan dibahas pada pertemuan berikutnya 4. Mengucapkan salam penutup Catatan