6. Lesson plan neo resti

advertisement
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
MATA KULIAH
Asuhan neonatus,bayi dan anak balita
POKOK BAHASAN
Neonatus Resiko Tinggi dan Penatalaksanaannya
WAKTU
100 Menit
DOSEN
Yuni Retnowati
OBJEKTIF DARI SILABUS (TERMINAL OBJEKTIF)
Setelah mengikuti perkuliahan ini, diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan tentang
neonatus resiko tinggi dan penatalaksanaanya
SUMBER PUSTAKA
1.
Deslidel, dkk. 2011. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC
2.
Kosim Soleh, dkk. 2005. Panduan Manejemen Bayi Baru Lahir Untuk
Dokter, Perawat, Bidan di Rumah Sakit dan Rujukan Dasar. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI
3.
Nelson Waldoe. 1996. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume I. Jakarta:
EGC
4.
Surasmi Astrining, dkk. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC
5.
Wahyuni Sari. 2011. Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC
BAHAN DAN SUMBER :
1. OHP/OHT
2. Multimedia
3. Flip Chart
4. Papan Tulis. Dan Hand Out
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
Waktu
Isi
Metode dan
Alat Bantu
Pendahuluan
10
menit
1. Mengucapkan salam.
Metode:
2. Memberikan gambaran pentingnya materi yang akan disampaikan pada
- Ceramah
pertemuan ini.
lustratif
3. Menyampaikan tujuan belajar mata kuliah ini yaitu mahasiswa dapat
menjelaskan neonatus resiko tinggi dan penatalksanaannya.
- Tanya
jawab
4. Meyakinkan pada mahasiswa bahwa topik ini penting untuk dipelajari Alat bantu :
dan bermanfaat dalam memberikan asuhan.
- OHP/OHT
- Papan tulis
Metoda
Ceramah Ilustratif, Tanya jawab
Objektif Perilaku Siswa
Metode :
- Ceramah
 Setelah mengikuti pembelajaran ini, mahasiswa dapat menjelaskan pengertian Alat bantu :
Pengertian neonatus resiko tinggi dan penatalaksanaannya sesuai dengan handout
 Setelah mengikuti pembelajaran ini, mahasiswa dapat menjelaskan kembali
- OHP/OHT
- Papan tulis
tentang neonatus resiko tinggi dan penatalaksanaannya sesuai dengan handout
Uraian materi
BERAT BAYI LAHIR RENDAH (BBLR)
60
menit
A. DEFINISI
Beberapa pengertian tentang bayi baru lahir rendah (BBLR),
menurut pantiawati (2010, h.1) mengatakan BBLR adalah bayi dengan
Metode :
- Ceramah
Ilustratif
- Tanya
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
berat badan lahir kurang dari 2500 gram. BBLR merupakan bayi yang
jawab
lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa Alat Bantu :
kehamilan, sedangkan menurut Surasmi et all (2003, h.30) mengatakan - Multimedia
BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang atau sama - Papan tulis
dengan 2500 gram. Low birthweight has been defined by the World - Flipchart
Health Organization (WHO) as weight at birth of less than 2,500 grams
(5.5 pounds) (Unicef & WHO 2004, h.1).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa BBLR
adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang atau sama dengan
2500
gram
tanpa
memandang
masa
kehamilannya
B. ETIOLOGI
Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur
(Pantiawati 2010, h.4). Beberapa faktor yang dapat menyebabkan BBLR
menurut pantiawati (2010, hh.4-5) dan Surasmi et all (2003, hh.31-32)
antara lain sebagai berikut :
1. Faktor Ibu
a. Penyakit
penyakit yang yang berpengaruh seperti toksemia gravidarum
(Preeklamsia dan ekslamsia), perdarahan antepartum, trauma
fisik, diabetes melitus, tumor, penyakit akut dan kronis.
b. taruma pada masa kehamilan antara lain fisik (misal jatuh) dan
psikologis (stres)
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
c. ibu dengan faktor BBLR sebelumnya.
d. usia ibu
usia yang dapat beresiko terjadinya BBLR diantaranya usia
kurang dari 16 tahun dan usia lebih dari 35 tahun, dan ibu
dengan multigravida yang jarak kelahirannya terlalu dekat.
e. keadaan sosial
keadaan sosial yang berpengaruh terhadap terjadinya BBLR
adalah golongan sosial ekonomi rendah dan perkawinan yang
tidak sah, keadaan gizi yang kurang baik, mengerjakan aktivitas
fisik beberapa jam tanpa istirahat, dan pengawasan antenatal
yang kurang.
f. sebab lain
sebab lain yang dapat berpengaruh pada BBLR adalah ibu yang
perokok, peminum alkohol dan pemakai narkotik.
2. faktor janin
a. hidramnoin.
b. kehamilan ganda
c. ketuban pecah dini
d. cacat bawaaan
e. infeksi (rubeolla, sifilis, toksoplasmosis)
f. insufisiensi plasenta
g. inkopantibilitas darah ibu dan janin.
3. Faktor plasenta
a. plasenta previa
b. solusio plasenta
c. sindrom transfusi bayi kembar (sindrom parabiotik)
d. tumor (molahidatidosa)
e. luas permukaan berkurang
f. adanya plasentitis villus (bakteri, virus, dan parasit
C. TANDA DAN GEJALA
menurut Proverawati (2010, h.2) mengatakan bahwa tanda dan gejala
dari BBLR adalah
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
1. Berat kurang atau sama dengan 2500 gram
2. Panjang kurang dari 45 cm
3. Lingkar dada kurang dari 30 cm
4. Lingkar kepala kutrang dari 33 cm
5. Umur kehamilan kurang dari 37 minggu
6. Kepala lebih besar
7. Kulit tipis, transparan, lambut lanugo banyak, lemak kurang
8. Otot hipotonik lemah
9. Pernafasan tak teratur dapat terjadi apnea
10. Kepala tidak mampu tegak, pernafasan 40 – 50x/menit
11. Nadi 100-140x/menit
12. Tulang rawan daun telinga belum sempurna pertumbuhannya
13. Tumit mengkilap, telapak kaki halus
14. Genetalia belum sempurna, labio minora belum tertutup oleh labio
mayora, klitoris menonjol (Bayi perempuan) dan testis belum turun
ke dalam skrotum, pigmentasi pada skrotum kurang (bayi laki-laki)
15. Tonus otot lemah sehingga bayi kurang aktif dan pergerakan lemah
16. Fungsi syaraf yang belum atau tidak efektif dan tangisnya lemah
17. Jaringan kelenjar mamae masih kurang akibat pertumbuhan otot dan
jaringan lemak masih kurang
D. PATOFISIOLOGI
Menurunnya simpanan zat gizi. Hampir semua lemak, glikogen,
dan mineral, seperti zat besi, kalsium, fosfor dan seng dideposit selama 8
minggu terakhir kehamilan. Dengan demikian bayi preterm mempunyai
peningkatan potensi terhadap hipoglikemia, rikets dan anemia.
Meningkatnya kkal untuk bertumbuh. BBLR memerlukan sekitar 120
kkal/ kg/hari, dibandingkan neonatus aterm sekitar 108 kkal/kg/hari3.
Belum matangnya fungsi mekanis dari saluran pencernaan. Koordinasi
antara isap dan menelan, dengan penutupan epiglotis untuk mencegah
aspirasi pneumonia, belum berkembang dengan baik sampai kehamilan
32-42 minggu. Penundaan pengosongan lambung dan buruknya motilitas
usus sering terjadi pada bayi preterm. Kurangnya kemampuan untuk
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
mencerna makanan.
Bayi preterm mempunyai lebih sedikit simpanan garam empedu,
yang
diperlukan
untuk
mencerna
dan
mengabsorbsi
lemak
,
dibandingkan bayi aterm. Produksi amilase pankreas dan lipase, yaitu
enzim yang terlibat dalam pencernaan lemak dan karbohidrat juga
menurun. Kadar laktase juga rendah sampai sekitar kehamilan 34
minggu. Paru-paru yang belum matang dengan peningkatan kerja
bernafas dan kebutuhan kalori yang meningkat. Masalah pernafasan juga
akan mengganggu makanan secara oral. Potensial untuk kehilangan
panas akibat luasnya permukaan tubuh dibandingkan dengan berat badan,
dan sedikitnya lemak pada jaringan bawah kulit memberikan insulasi
E. PEMERIKSAAN FISIK dan PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. PEMERIKSAAN FISIK
a. Reflek misalkan moro, menggenggam, dan menghisap.
b. Tonus Aktivitas
c. Kepala
d. Mata
e. THT (telinga dan mulut)
f. Abdomen
g. Toraks
h. Paru-paru
i. Jantung
j. Ekstermitas
k. Umbilikus
l. Genetalia
m. Anus
n. Spina
o. Kulit
p. Suhu
2. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Jumlah sel darah putih : 18.000/mm3, netrofil meningkat sampai
23.000-24.000/mm3, hari pertama setelah lahir (menurun bila
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
ada sepsis ).
b. Hematokrit ( Ht ) : 43%- 61 % ( peningkatan sampai 65 % atau
lebih menandakan polisitemia, penurunan kadar menunjukkan
anemia atau hemoragic prenatal/perinatal ).
c. Hemoglobin (Hb) : 15-20 gr/dl (kadar lebih
rendah
berhubungan dengan anemia atau hemolisis berlebihan ).
d. Bilirubin total : 6 mg/dl pada hari pertama kehidupan, 8 mg/dl
1-2 hari, dan 12 mg/dl pada 3-5 hari.
e. Destrosix : tetes glukosa pertama
selama 4-6 jam pertama
setelah kelahiran rata-rata 40-50 mg/dl meningkat 60-70 mg/dl
pada hari ketiga.
f. Pemantauan elektrolit ( Na, K, Cl ) : biasanya dalam batas
normal pada awalnya.
g. Pemeriksaan Analisa gas darah (Sitohang 2004, h.5).
F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada BBLR menurut Pantiawati
(2010, hh.55-56) dan Proverawati at all (2010, hh.31-35) antara lain:
a. Medikamentosa
pemberian vitamin K1 dengan cara injeksi IM 1 mg atau
peroral 2 mg sekali pemberian, atau 1 mg 3 kali pemberian (saat
lahir 3-10 hari dan umur 4-6 minggu) (Pantiawati 2010, h.55).
b. Pemberian, Pengaturan dan Pengawasan Intake Nutrisi
Pengaturan dan pengawasan intake nutrisi dalam hal ini adalah
menentukan pilihan asupan nutrisi, cara pemberian dan jadwal
pemberian yang sesuai dengan kebutuhan bayi BBLR. Asupan
nutrisi misalnya air susu ibu (ASI) merupakan pilihan pertama jika
bayi mampu menghisap. ASI merupakan makanan paling utama
sehingga ASI didahulukan untuk diberikan. ASI juga dapat
dikeluarkan dan diberikan pada bayi yang tidak bisa untuk
menghisap. Bila faktor menghisapnya kurang, ASI dapat diperas dan
diminumkan dengan sendok dengan perlahan atau dengan memasang
sonde ke lambung (Proverawati 2010, h.33).
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
Pemberian makanan bayi BBLR harus diikuti tindakan
pencegahan khususnya untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan
masuknya udara dalam usus. Pada bayi BBLR yang lebih kecil,
kurang giat untuk menghisap dan sianosis ketika minum dapat
melalui botol atau menete pada ibunya dengan melalui nasogastrik
tube (NGT). Jadwal pemberian makanan disesuaikan dengan
kebutuhan dan berat badan bayi BBLR. Pemberian makanan interval
tiap jam dilakukan pada bayi dengan berat badan yang lebih rendah.
Alat pencernaan bayi belum sempurna, lambung kecil, enzim
pencernaan belum matang (Proverawati 2010, h.33).
c. Mempertahankan suhu tubuh bayi
Pada bayi BBLR akan cepat mengalami kehilangan panas dan
menjadi hipotermia, karena pengaturan pusat panas badan belum
berfungsi dengan baik, metabolismenya rendah, dan permukaan
badan relatif luas. Oleh akrena itu, bayi prematur haris dirawat di
dalam inkubator, sehingga pnas badannya mendekati dalam rahim.
BBLR dirawat dalam inkubator yang modern dilengkapi
dengan alat pengatur suhu dan kelembabannya agar bayi dapat
mempertahankan suhu tubuhnya yang normal, alat oksigen yang
dapat diatur.
Pemberian oksigen untuk mengurangi bahaya hipoksia dan
sirkulasi yang tidak memuaskan harus berhati-hati agar tidak terjadi
hiperoksia yang dapat menyebabkan hiperoplasia retrorental dan
fibroplasis paru. bila mungkin pemberian oksigen dilakukan melalui
tudung kepala dengan alat CPAP (continues positif airway preasurre)
atau dengan endotrakeal untuk pemberian konsentrasi oksigen yang
aman dan stabil.
d. Pencegahan infeksi
bayi BBLR tidak boleh kontak dengan penderita infeksi dalam
bentuk apapun. digunakan masker dan baju khusus dalam
penanganan bayi, perawatan luka tali pusst, perawatan mata, hidung,
kulit, tindakan aseptik dan aseptik alat-alat yang digunakan, isolasi
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
pasien, jumlah pasien, mengatur kunjungan menghindari perawatan
yang terlalu lama dan pemberian antibiotik yang tepat. bayi prematur
mudah sekali terinfeksi, karena daya tahan tubuhnya masih lemah,
kemampuan leokosit masih kurang, dan pembentukan antibody
belum sempurna. oleh karena itu upaya preventif dapat dilakukan
sejak pengawasan antenatal sehingga tidak terjadi BBLR.
e. Penimbangan berat badan
perubahan berat badan mencerminkan kondisi nutrisi bayi dan
eratnya kaitannya dengan daya tahan
tubuh oleh karena itu
penimbangan berat badan harus dilakukan dengan ketat.
f. Pemberian oksigen
ekspansi paru yang buruk merupakan masalah serius bagi bayi
BBLR akibatnya tidak adanya alveoli dan surfaktan. konsentrasi O2
yang diberikan sekitar 30 – 35%. konsentrasi O2 yang tinggi dalam
masa panjang akan menyebabkan kerussakan pada jaringan retina
bayi dan dapat menimbulkan kebutaan.
g. Pengawasan jalan nafas
jalan nafas merupakan jalan udara melalui hidung, faring,
trakhea, alveoli, bronkhiolus, bronkheolus respiratorius dan duktus
alveolus ke alveoli. terhambatnya jalan nafas dapat menimbulkan
asfiksia, hipoksia, dan kematian.
ASFIKSIA NEONATORUM
A. Definisi
Asfiksia merupakan suatu keadaan dimana bayi tidak dapat bernapas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir, keadaan tersebut dapat
disertai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea dan sampai ke asidosis
(Hidayat, 2005).
Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi yang tidak dapat bernafas
spontan dan teratur, sehingga dapat meurunkan O2 dan makin
meningkatkan CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan
lebih lanjut. (Manuaba, 1998)
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat
bernafas secara spontan dan teratur dalam satu menit setelah lahir
(Mansjoer, 2000)
Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan
asidosis, bila proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan
kerusakan otak atau kematian. Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi
organ vital lainnya. (Saiffudin, 2001)
Jadi, Asfiksia neonatorum adalah keadan bayi baru lahir yang tidak
dapat bernapas secara spontan dengan ditandai adanya hipoksemia
(penurunan PaO2), hiperkarbia (peningkatan PaCO2), dan asidosis
(penurunan PH).
B. Etiologi
Keadaan asfiksia terejadi karena kurangnya kemampuan fungsi organ
bayi seperti pengembangan paru – paru.
Proses terjadinya asfiksia
neonatorum ini dapat terjadi pada masa kehamilan, persalinan atau segera
setelah bayi lahir.
Penyebab asfiksia menurut Mochtar (1989) adalah :
1. Asfiksia dalam kehamilan
a. Penyakit infeksi akut
b.
Penyakit infeksi kronik
c. Keracunan oleh obat-obat bius
d. Uraemia dan toksemia gravidarum
e. Anemia berat
f.
Cacat bawaan
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
g. Trauma
2. Asfiksia dalam persalinan
a. Kekurangan O2.
a) Partus lama (CPD, rigid serviks dan atonia/ insersi uteri)
b) Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus yang terusmenerus mengganggu sirkulasi darah ke uri.
c) Tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta.
d) Prolaps fenikuli tali pusat akan tertekan antara kepaladan
panggul.
e) Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada
waktunya.
f)
Perdarahan banyak : plasenta previa dan solutio plasenta.
g) Kalau plasenta sudah tua : postmaturitas (serotinus), disfungsi
uteri.
b. Paralisis pusat pernafasan
a) Trauma dari luar seperti oleh tindakan forceps
b) Trauma dari dalam : akibat obat bius.
Sedangkan menurut Betz et al. (2001), asfiksia dapat dipengaruhi
beberapa faktor yaitu :
1. Faktor ibu
a. Hipoksia ibu
Dapat terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian
obat analgetik atau anestesi dalam, dan kondisi ini akan
menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya.
b. Gangguan aliran darah uterus
Berkurangnya
aliran
darah
pada
uterus
akan
menyebabkan berkurangnya aliran oksigen ke plasenta dan
juga ke janin, kondisi ini sering ditemukan pada gangguan
kontraksi uterus, hipotensi mendadak pada ibu karena
perdarahan, hipertensi pada penyakit eklamsi.
2. Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
luas dan kondisi plasenta, asfiksis janin dapat terjadi bila terdapat
gangguan mendadak pada plasenta, misalnya perdarahan plasenta,
solusio plasenta.
3. Faktor fetus
Kompresi
umbilikus
akan
mengakibatkan
terganggunya aliran darah dalam pembuluh darah umbilikus dan
menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran
darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung,
melilit leher, kompresi tali pusat antara jalan lahir dan janin.
4. Faktor neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat
terjadi karena beberapa hal yaitu pemakaian obat anestesi yang
berlebihan pada ibu, trauma yang terjadi saat persalinan misalnya
perdarahan intra kranial, kelainan kongenital pada bayi misalnya
hernia diafragmatika, atresia atau stenosis saluran pernapasan,
hipoplasia paru.
C. Patofisiologi
Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah, timbulah
rangsangan terhadap nervus vagus sehingga DJJ (denyut jantung janin)
menjadi lambat. Jika kekurangan O2 terus berlangsung maka nervus vagus
tidak dapat dipengaruhi lagi. Timbulah kini rangsangan dari nervus
simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat akhirnya ireguler dan
menghilang. Janin akan mengadakan pernafasan intrauterin dan bila kita
periksa kemudian terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam paru,
bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis. Bila janin lahir, alveoli tidak
berkembang.
Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan ganti, denyut
jantung mulai menurun. Sedangkan tonus neuromuskuler berkurang
secara berangsur-angsur dan bayi memasuki periode apneu primer.
Apabila bayi dapat brnapas kembali secara teratur maka bayi mengalami
asfiksia ringan.
Jika berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan yang dalam, denyut
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
jantung terus menurun disebabkan karena terjadinya metabolisme anaerob
yaitu glikolisis glikogen tubuh yang sebelumnya diawali dengan asidosis
respiratorik karena gangguan metabolisme asam basa, Biasanya gejala ini
terjadi pada asfiksia sedang - berat, tekanan darah bayi juga mulai
menurun dan bayi akan terlihat lemas (flascid). Pernafasan makin lama
makin lemah sampai bayi memasuki periode apneu sekunder. Selama
apneu sekunder, denyut jantung, tekanan darah dan kadar O2 dalam darah
(PaO2) terus menurun. Pada paru terjadi pengisian udara alveoli yang
tidak adekuat sehingga menyebabkan resistensi pembuluh darah paru.
Sedangkan di otak terjadi kerusakan sel otak yang dapat menimbulkan
kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya. Pada saat ini,
Bayi sekarang tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan
menunjukkan upaya pernafasan secara spontan.
Gangguan pertukaran gas atau pengangkutan O2 selama kehamilan/
persalinan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi
akan menyebabkan kematian jika resusitasi dengan pernafasan buatan dan
pemberian O2 tidak dimulai segera. Kerusakan dan gangguan ini dapat
reversible atau tidak tergantung dari berat badan dan lamanya asfiksia.
Asfiksia neonatorum diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Asfiksia Ringan ( vigorus baby)
Skor APGAR 7-10, bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan
tindakan istimewa.
2. Asfiksia sedang ( mild moderate asphyksia)
Skor APGAR 4-6, pada pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi
jantung lebih dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau baik,
sianosis, reflek iritabilitas tidak ada.
3. Asfiksia Berat
Skor APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi
jantung kurang dari 100x/menit, tonus otot buruk, sianosis berat,
dan kadang-kadang pucat, reflek iritabilitas tidak ada. Pada
asfiksia dengan henti jantung yaitu bunyi jantung fetus
menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap atau
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
bunyi jantung menghilang post partum, pemeriksaan fisik sama
pada asfiksia berat.
Pemeriksaan apgar untuk bayi :
Klinis
Detak
jantung
Pernafasan
0
1
2
Tidak ada
< 100 x/menit
>100x/menit
Tidak ada
Tak teratur
Tangis kuat
Tidak ada
Menyeringai
Batuk/bersin
Fleksi
Fleksi kuat
Refleks saat jalan
nafas
dibersihkan
Tonus otot
Lunglai
ekstrimitas
gerak
(lemah)
aktif
Tubuh merah
Warna kulit
Biru pucat
Merah
ekstrimitas
seluruh
biru
tubuh
Nilai 0-3 : Asfiksia berat
Nilai 4-6 : Asfiksia sedang
Nilai 7-10 : Normal
Pemantauan nilai apgar dilakukan pada menit ke-1 dan menit ke-5,
bila nilai apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap
5 menit sampai skor mencapai 7. Nilai Apgar berguna untuk menilai
keberhasilan resusitasi bayi baru lahir dan menentukan prognosis,
bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik
setelah lahir bila bayi tidak menangis. (bukan 1 menit seperti
penilaian skor Apgar)
D. Manifestasi klinik
1. Pada Kehamilan
Denyut jantung janin lebih cepat dari 160 x/mnt atau kurang dari
100 x/mnt, halus dan ireguler serta adanya pengeluaran mekonium.
a. Jika DJJ normal dan ada mekonium : janin mulai asfiksia
b. Jika DJJ 160 x/mnt ke atas dan ada mekonium : janin sedang
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
asfiksia
c. Jika DJJ 100 x/mnt ke bawah dan ada mekonium : janin dalam
gawat
2. Pada bayi setelah lahir
a. Bayi pucat dan kebiru-biruan
b. Usaha bernafas minimal atau tidak ada
c. Hipoksia
d.
Asidosis metabolik atau respiratori
e. Perubahan fungsi jantung
f. Kegagalan sistem multiorgan
g. Kalau sudah mengalami perdarahan di otak maka ada gejala
neurologik, kejang, nistagmus dan menangis kurang baik/tidak
baik
E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Foto polos dada
2. USG kepala
3. Laboratorium : darah rutin( Hemoglobin/ hematokrit (HB/ Ht) : kadar
Hb 15-20 gr dan Ht 43%-61%), analisa gas darah dan serum elektrolit
4. PH tali pusat : tingkat 7,20 sampai 7,24 menunjukkan status
parasidosis, tingkat rendah menunjukkan asfiksia bermakna.
5. Tes combs langsung pada daerah tali pusat. Menentukan adanya
kompleks
antigen-antibodi
pada
membran
sel
darah
merah,
menunjukkan kondisi hemolitik.
F. Penatalaksanaan Medis
Tindakan untuk mengatasi asfiksia neonatorum disebut resusitasi bayi
baru lahir yang bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup
bayi dan membatasi gejala sisa yang mungkin muncul. Tindakan
resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal dengan
ABC resusitasi :
1. Memastikan saluran nafas terbuka :
a. Meletakan bayi dalam posisi yang benar
b. Menghisap mulut kemudian hidung kalau perlu trachea
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
c. Bila perlu masukan Et untuk memastikan pernapasan terbuka
2. Memulai pernapasan :
a. Lakukan rangsangan taktil Beri rangsangan taktil dengan
menyentil atau menepuk telapak kaki. Lakukan penggosokan
punggung
bayi
secara
cepat,mengusap
atau
mengelus
tubuh,tungkai dan kepala bayi.
b. Bila perlu lakukan ventilasi tekanan positif
3. Mempertahankan sirkulasi darah :
Rangsang dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara kompresi dada
atau bila perlu menggunakan obat-obatan
Cara resusitasi dibagi dalam tindakan umum dan tindakan khusus :
1. Tindakan umum
a. Pengawasan suhu
b.Pembersihan jalan nafas
c. Rangsang untuk menimbulkan pernafasan
2. Tindakan khusus
a. Asfiksia berat
Resusitasi aktif harus segera dilaksanakan, langkah utama
memperbaiki ventilasi paru dengan pemberian O2 dengan
tekanan dan intermiten, cara terbaik dengan intubasi endotrakeal
lalu diberikan O2 tidak lebih dari 30 mmHg. Asphiksia berat
hampir selalu disertai asidosis, koreksi dengan bikarbonas
natrium 2-4 mEq/kgBB, diberikan pula glukosa 15-20 % dengan
dosis 2-4ml/kgBB. Kedua obat ini disuntuikan kedalam intra
vena perlahan melalui vena umbilikalis, reaksi obat ini akan
terlihat jelas jika ventilasi paru sedikit banyak telah berlangsung.
Usaha pernapasan biasanya mulai timbul setelah tekanan positif
diberikan 1-3 kali, bila setelah 3 kali inflasi tidak didapatkan
perbaikan pernapasan atau frekuensi jantung, maka masase
jantung eksternal dikerjakan dengan frekuensi 80-100/menit.
Tindakan ini diselingi ventilasi tekanan dalam perbandingan 1:3
yaitu setiap kali satu ventilasi tekanan diikuti oleh 3 kali
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
kompresi dinding toraks, jika tindakan ini tidak berhasil bayi
harus dinilai kembali, mungkin hal ini disebabkan oleh
ketidakseimbangan asam dan basa yang belum dikoreksi atau
gangguan organik seperti hernia diafragmatika atau stenosis jalan
nafas.
b. Asfiksia sedang
Stimulasi agar timbul reflek pernapsan dapat dicoba, bila dalam
waktu 30-60 detik tidak timbul pernapasan spontan, ventilasi
aktif harus segera dilakukan, ventilasi sederhana dengan kateter
O2 intranasaldengan aliran 1-2 lt/mnt, bayi diletakkan dalam
posisi dorsofleksi kepala. Kemudioan dilakukan gerakan
membuka dan menutup nares dan mulut disertai gerakan dagu
keatas dan kebawah dengan frekuensi 20 kali/menit, sambil
diperhatikan gerakan dinding toraks dan abdomen. Bila bayi
memperlihatkan
gerakan
pernapasan
spontan,
usahakan
mengikuti gerakan tersebut, ventilasi dihentikan jika hasil tidak
dicapai dalam 1-2 menit, sehingga ventilasi paru dengan tekanan
positif secara tidak langsung segera dilakukan, ventilasi dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu dengan dari mulut ke mulut atau
dari ventilasi ke kantong masker. Pada ventilasi dari mulut ke
mulut, sebelumnya mulut penolong diisi dulu dengan O2,
ventilasi dilakukan dengan frekuensi 20-30 kali permenit dan
perhatikan gerakan nafas spontan yang mungkin timbul.
Tindakan dinyatakan tidak berhasil jika setelah dilakukan
berberapa saat terjasi penurunan frekuensi jantung atau
perburukan tonus otot, intubasi endotrakheal harus segera
dilakukan, bikarbonas natrikus dan glukosa dapat segera
diberikan, apabila 3 menit setelah lahir tidak memperlihatkan
pernapasan teratur, meskipun ventilasi telah dilakukan dengan
adekuat.
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
SINDROM GANGGUAN PERNAFASAN
A. Pengertian Sindrom Gangguan Pernapasan
Sindrom gangguan napas ataupun sering disebut sindrom gawat napas
(Respiratory Distress Syndrome/RDS) adalah istilah yang digunakan
untuk disfungsi pernapasan pada neonatus. Gangguan ini merupakan
penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan
maturitas paru (Whalley dan Wong, 1995). Gangguan ini biasanya juga
dikenal dengan nama Hyaline membrane disease (HMD) atau penyakit
membran hialin, karena pada penyakit ini selalu ditemukan membran
hialin yang melapisi alveoli.
Sindrom gangguan pernapasan adalah kumpulan gejala yang
terdiri dari dispnea atau hiperapnea dengan frekuensi pernapasan lebih
dari 60 kali/menit, sianosis, rintihan pada ekspirasi dan kelainan otot-otot
pernapasan pada inspirasi.
RDS sering ditemukan pada bayi prematur. Insidens berbanding
terbalik dengan usia kehamilan dan berat badan. Artinya semakin muda
usia kehamilan ibu, semakin tinggi kejadian RDS pada bayi tersebut.
Sebaliknya semakin tua usia kehamilan, semakin rendah pula kejadian
RDS atau sindrome gangguan napas.
Persentase kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80%
terjadi pada bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 28
minggu, 15-30% pada bayi antara 32-36 minggu dan jarang sekali
ditemukan pada bayi cukup bulan (matur). Insidens pada bayi prematur
kulit putih lebih tinggi dari pada bayi kulit hitam dan sering lebih terjadi
pada bayi laki-laki daripada bayi perempuan (Nelson, 1999). Selain itu,
kenaikan frekuensi juga ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu yang
menderita gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan, misalnya :
Ibu penderita diabetes, hipertensi, hipotensi, seksio serta perdarahan
antepartum.
B. Penyebab Sindrome Gangguan Pernapasan
Sindrom gangguan pernapasan dapat disebabkan karena :
Ø Obstruksi saluran pernapasan bagian atas (atresia esofagus, atresia
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
koana bilateral)
Ø Kelainan parenkim paru (penyakit membran hialin, perdarahan
paru-paru)
Ø Kelainan di luar paru (pneumotoraks, hernia diafragmatika)
C. Tanda dan Gejala Sindrom Gangguan Pernapasan
Tanda dan gejala sindrom gangguan pernapasan sering disertai
riwayat asfeksia pada waktu lahir atau gawat janin pada akhir kehamilan.
Adapun tanda dan gejalanya adalah :
Ø Timbul setelah 6-8 jam setelah lahir
Ø Pernapasan cepat/hiperapnea atau dispnea dengan frekuensi pernapasan
lebih dari 60 kali/menit
Ø Retraksi interkostal, epigastrium atau suprasternal pada inspirasi
Ø Sianosis
Ø Grunting (terdengar seperti suara rintihan) pada saat ekspirasi
Ø Takikardia yaitu nadi 170 kali/menit
Klasifikasi Sindrom Gangguan Pernapasan
Sindrom gangguan pernapasan terbagi menjadi tiga yaitu :
1. Gangguan napas berat
Dikatakan gangguan napas berat bila :
Ø Frekuensi napas dari 60 kali/menit dengan sianosis sentral dan
tarikan dinding dada atau merintih saat ekspirasi
2. Gangguan napas sedang
Dikatakan gangguan napas sedang apabila :
Ø Pemeriksaan dengan tarikan dinding dada atau merintih saat
ekspirasi tetapi tanpa sianosis sentral
3. Gangguan napas ringan
Dikatakan gangguan napas ringan apabila :
Ø Frekuensi napas 60-90 kali/menit tanda tarikan dinding tanpa
merintih saat ekspirasi atau sianosis sentral
E. Penatalaksanaan pada Sindrome Ganguan Pernapasan
Bidan sebagai tenaga medis di lini terdepan diharapkan peka
terhadap pertolongan persalinan sehingga dapat mencapai well born baby
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
dan well health mother. Oleh karena itu bekal utama sebagai Bidan
adalah:
Ø Melakukan pengawasan selama hamil
Ø Melakukan pertolongan hamil resiko rendah dengan memsnfaatkan
partograf WHO
Ø Melakukan perawatan Ibu dan janin baru lahir
Berdasarkan kriteria nilai APGAR maka bidan dapat melakukan
penilaian untuk mengambil tindakan yang tepat diantaranya melakukan
rujukan medik sehingga keselamatan bayi dapat ditingkatkan.
Penatalaksanaan RDS atau Sindrom gangguan napas adalah
sebagai berikut :
Ø Bersihkan jalan nafas dengan menggunakan penghisap lendir dan kasa
steril
Ø Pertahankan suhu tubuh bayi dengan membungkus bayi dengan kaki
hangat
Ø Atur posisi bayi dengan kepala ekstensi agar bayi dapat bernafas
dengan leluasa
Ø Apabila terjadi apnue lakukan nafas buatan dari mulut ke mulut
Ø Longgarkan pakaian bayi
Ø Beri penjelasan pada keluarga bahwa bayi harus dirujuk ke rumah sakit
Ø Bayi rujuk segera ke rumah sakit
Penatalaksanaan medik maka tindakan yang perlu dilakukan
adalah sebagsai berikut :
Ø Memberikan lingkungan yang optimal
Ø Pemberian oksigen, tidak lebih dari 40% sampai gejala sianosis
menghilang
Ø Pemberian cairan dan elektrolit (glukosa 5% atau 10%) disesuaikan
dengan berat badan (60-125 ml/kgBB/hari) sangat diperlukan untuk
mempertahankan homeostatis dan menghindarkan dehidrasi
Ø Pemberian antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder
Ø Pemberian surfaktan oksigen
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
F. Patofisiologi
Bayi prematur lahir dengan kondisi paru yang belum siap
sepenuhnya untuk berfungsi sebagai organ pertukaran gas yang efektif.
Hal ini merupakan faktor kritis dalam terjadi RDS, ketidaksiapan paru
menjalankan fungsinya tersebut disebabkan oleh kekurangan atau tidak
adanya surfaktan.
Surfaktan
adalah
substansi
yang
merendahkan
tegangan
permukaan alveolus sehingga tidak terjadi kolaps pada akhir ekspirasi dan
mampu menahan sisa udara fungsional /kapasitas residu funsional (Ilmu
Kesehatan Anak, 1985). Surfaktan juga menyebabkan ekspansi yang
merata dan menjaga ekspansi paru pada tekanan intraalveolar yang
rendah. Kekurangan atau ketidakmatangan fungsi surfaktan menimbulkan
ketidakseimbangan inflasi saat inspirasi dan kolaps alveoli saat ekspirasi.
Bila surfaktan tidak ada, janin tidak dapat menjaga parunya tetap
mengembang. Oleh karena itu, perlu usaha yang keras untuk
mengembangkan parunya pada setiap hembusan napas (ekspirasi)
sehingga untuk pernapasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif
intratoraks yang lebih besar dengan disertai usaha inspirasi yang lebih
kuat. Akibatnya, setiap kali bernapas menjadi sukar seperti saat pertama
kali bernapas (saat kelahiran). Sebagai akibat, janin lebih banyak
menghabiskan oksigen untuk menghasilkan energi ini daripada yang ia
terima dan ini menyebabkan bayi kelelahan. Dengan meningkatnya
kelelahan,
bayi
akan
semakin
sedikit
membuka
alveolinya.
Ketidakmampuan mempertahankan pengembangan paru ini dapat
menyebabkan atelaktasis.
Tidak adanya stabilitas dan atelektasis akan meningkatkan
pulmomary vascular resistance (PVR) yang nilainya menurun pada
ekspansi paaru normal. Akibatnya, terjadi hipoperfusi jaringan paru dan
selanjutnya menurunkan aliran darah pulmonal. Di samping itu,
peningkatan PVR juga menyebabkan pembalikan parsial sirkulasi darah
janin dengan arah aliran dari kanan ke kiri melalui duktus arteriosus dan
foramen ovale.
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
Kolaps baru (atelektasis) akan menyebabkan gangguan ventilasi
pulmonal yang menimbulkan hipoksia. Akibat dari hipoksia adalah
konstriksin vaskularisasi pulmonal yang menimbulkan penurunan
oksigenasi jaringan dan selanjutnya menybabkan metabolismeanareobik.
RDS atau sindrom gangguan pernapasan adalah penyakit yang
dapat sembuh sendiri dan mengikuti masa deteriorasi (kurang lebih 48
jam) dan jika tidak ada komplikasi paru akan membaik dalam 72 jam.
Proses perbaikan ini, terutama dikaitkan dengan meningkatkan produksi
dan ketersediaan materi surfaktan.
G. Cara Mencegah Terjadinya Sindrom Gangguan Pernapasan
Faktor yang dapat menimbulkan kelainan ini adalah pertumbuhan
paru yang belum sempurna. Karena itu salah satu cara untuk
menghindarkan penyakit ini ialah mencegah kelahiran bayi yang
maturitas parunya belu sempurna. Maturasi paru dapat dikatakan
sempurna bila produksi dan fungsi surfaktan telah berlangsung baik
(Gluck, 1971) memperkenalkan suatu cara untuk mengetahui maturitas
paru dengan menghitung perbandingan antara lesitin dan sfigomielin
dalam cairan amnion.
Bila perbandingan lesitin/sfingomielin sama atau lebih dari dua,
bayi yangakan lahir tidak akan menderita penyakit membrane hialin,
sedangkan bila perbandingan tadi kurang dari tiga berati paru-paru bayi
belum matang dan akan mengalami penyakit membrane hialin. Pemberian
kortikosteroid dianggap dapat merangsang terbentuknya surfaktan pada
janin. Cara yang paling efektif untuk menghindarkan penyakit ini ialah
mencegah prematuritas.
Untuk mencegah sindrom gangguan pernapasan juga dapat
dilakukan dengan segera melakukan resusitasi pada bayi baru lahir,
apabila bayi :
Ø Tidak bernapas sama sekali/bernapas dengan mengap-mengap
Ø Bernapas kurang dari 20 kali/menit
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
IKTERUS NEONATORUM
A. PENGERTIAN
Hiperbilirubinemia / Ikterus neonatorum) adalah keadaan ikterus yang
terjadi pada bayi baru lahir yaitu meningginya kadar bilirubin di dalam
jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh
lainnya berwarna kuning ( Ngastiyah, 1997).
B. EPIDEMIOLOGI
Pada sebagian besar neonatus, ikterik akan ditemukan dalam minggu
pertama kehidupannya. Dikemukan bahwa angka kejadian iketrus terdapat
pada 60 % bayi cukup bulan dan 80 % bayi kurang bulan. Ikterus ini pada
sebagian penderita dapat berbentuk fisiologik dan sebagian lagi patologik
yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan
kematian.
C. KLASIFIKASI
Ikterus neonatorum dibagi menjadi ikterus fisiologis dan
patologis ( Ngastiyah,1997).
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus
fisiologis adalah Ikterus yang memiliki karakteristik sebagai
berikut (Hanifa, 1987, Ngastiyah, ):

Timbul pada hari ke2 dan ke-3 dan tampak jelas pada hari ke5 dan ke-6.
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita

Kadar Bilirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15
mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada
kurang bulan.

Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg %
per hari

Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %

Ikterus hilang pada 10 hari pertama

Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan
patologis tertentu
2. Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia
Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah
mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan
Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau
mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis.
Karakteristik ikterus patologis (Ngastiyah,1997 ) sebagai berikut :
-
Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan. Ikterus menetap
sesudah bayi berumur 10 hari ( pada bayi cukup bulan) dan lebih
dari 14 hari pada bayi baru lahir BBLR.
-
Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg % pada bayi kurang
bulan (BBLR) dan 12,5 mg% pada bayi cukup bulan.
-
Bilirubin direk lebih dari 1mg%.
-
Peningkatan bilirubin 5 mg% atau lebih dalam 24 jam.
-
Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah,
defisiensi enzim G-6-PD, dan sepsis).
Ada juga pendapat ahli lain tentang hiperbilirubinemia yaitu
Brown menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai
12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan.
Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.
D. ETIOLOGI
1. Penyebab Ikterus fisiologis

Kurang protein Y dan Z

Enzim glukoronyl transferase yang belum cukup jumlahnya.
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita

Pemberian
ASI
yang
mengandung
pregnanediol
atau
asam lemak bebas yang akan menghambat kerja G-6-PD
2. Penyebab ikterus patologis
a. Peningkatan produksi :
 Hemolisis, misalnya pada Inkompatibilitas yang terjadi bila
terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada
penggolongan Rhesus dan ABO.
 Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
 Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan
metabolik yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
 Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
 Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan
3 (alfa), 20 (beta) , diol (steroid).
 Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar
Bilirubin Indirek meningkat misalnya pada berat lahir
rendah.
 Kelainan
kongenital
(Rotor
Sindrome)
dan
Dubin
Hiperbilirubinemia.
b. Gangguan
transportasi
akibat
penurunan
kapasitas
pengangkutan misalnya pada Hipoalbuminemia atau karena
pengaruh
obat-obat
tertentu
misalnya
Sulfadiasine,
sulfonamide, salisilat, sodium benzoat, gentamisisn,dll.
c. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa
mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel
hati dan darah merah seperti Infeksi , Toksoplasmosis, Sifilis,
rubella, meningitis,dll.
d. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
e. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus
Obstruktif, hirschsprung.
. PATOFISIOLOGI IKTERUS
Untuk lebih memahami tentang patofisiologi ikterus maka terlebih
dahulu akan diuraikan tentang metabolisme bilirubin
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
1. Metabolisme Bilirubin
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin
(merubah Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi Bilirubin
yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah
konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan
hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site).
Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah
matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang
memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai tingkat
patologis.
2. Patofisiologi Hiperbilirubinemia
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada
beberapa keadaan . Kejadian yang sering ditemukan adalah
apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang
berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan
pemecahan
Bilirubin
plasma
juga
dapat
menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat
terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi
Hipoksia,
Asidosis.
Keadaan
lain
yang
memperlihatkan
peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan
konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan
ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu, Bilirubin ini akan bersifat toksik dan
merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada
Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah
larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek
patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus
sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut
Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf
pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin
Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak
ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin
Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat
keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia (
AH, Markum,1991).
F. TANDA DAN GEJALA
Menurut Surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan
menjadi:
1) Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama
kernikterus pada neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan
hipotoni.
2) Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry)
meliputi hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya
menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis,
gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan
displasia dentalis)
Sedangakan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah warna
kuning (ikterik) pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih
(sclera) mata terlihat saat kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40
µmol/l.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi dari hiperbilirubin dapat terjadi Kern Ikterus yaitu suatu
kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama pada
Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus, Nukleus
merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV. Gambaran klinik dari kern
ikterus adalah :
o Pada permulaan tidak jelas , yang tampak mata berputarputar
o Letargi, lemas tidak mau menghisap.
o Tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya epistotonus
o Bila bayi hidup, pada umur lebih lanjut dapat terjadi
spasme otot, epistotonus, kejang, stenosis yang disertai
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
ketegangan otot.
o Dapat terjadi tuli, gangguan bicara dan retardasi mental.
H. DIAGNOSIS
Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat
membantu dalam menegakkan diagnosis hiperbilirubnemia pada bayi.
Termasuk anamnesis mengenai riwayat inkompabilitas darah, riwayat
transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu faktor
risiko kehamilan dan persalinan juga berperan dalam diagnosis dini
ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko itu antara lain adalah
kehamilan dengan komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama
hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes mellitus, gawat janin, malnutrisi
intrauterine, infeksi intranatal, dan lain-lain.
Secara klinis ikterus pada bayi dapat dilihat segera setelah lahir atau
setelah beberapa hari kemudian. Pada bayi dengan peninggian bilirubin
indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga, sedangkan pada
penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit tampak
kehijauan. Penilaian ini sangat sulit dikarenakan ketergantungan dari warna
kulit bayi sendiri. Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya
ikterus, hiperbilirubinemia yang cukup berarti memerlukan penilaian
diagnostic lengkap, yang mencakup penentuan fraksi bilirubin langsung
(direk) dan tidak langsung (indirek) hemoglobin, hitung lekosit, golongan
darah, tes Coombs dan pemeriksaan apusan darah tepi. Bilirubinemia indirek,
retikulositosis dan sediaan apusan memperlihatkan petunjuk adanya hemolisis
akibat nonimunologik. Jika terdapat hiperbilirunemia direk, adanya hepatitis,
fibrosis kistis dan sepsis. Jika hitung retikulosit, tes Coombs dan bilirubin
indirek normal, maka mungkin terdapat hiperbilirubinemia indirek fisiologis
atau patologis.
a.
Ikterus fisiologis.
Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah
1 – 3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl /24
jam; dengan demikian ikterus baru terlihat pada hari ke 2 -3, biasanya
mencapai puncak antara hari ke 2 – 4, dengan kadar 5 – 6 mg/dl untuk
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
selanjutnya menurun sampai kadar 5 – 6 mg/dl untuk selanjutnya menurun
sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara hari ke 5 – 7 kehidupan.
b. Hiperbilirubin patologis.
Makna hiperbilirubinemia terletak pada insiden kernikterus yang tinggi ,
berhubungan dengan kadar bilirubin serum yang lebih dari 18 – 20 mg/dl
pada bayi aterm. Pada bayi dengan berat badan lahir rendah akan
memperlihatkan kernikterus pada kadar yanglebihrendah(10–15mg/dl).
.
DIAGNOSIS BANDING
Ikterus yang timbul 24 jam pertama kehidupan mungkin akibat
eritroblastosis foetalis, sepsis, rubella atau toksoplasmosis congenital. Ikterus
yang timbul setelah hari ke 3 dan dalam minggu pertama, harus dipikirkan
kemungkinan septicemia sebagai penyebabnya. Ikterus yang permulaannya
timbul setelah minggu pertama kehidupan memberi petunjuk adanya
septicemia, atresia kongental saluran empedu, hepatitis serum homolog,
rubella, hepatitis herpetika, anemia hemolitik yang disebabkan oleh obatobatan dan sebagainya.
Ikterus yang persisten selama bulan pertama kehidupan memberi
petunjuk adanya apa yang dinamakan “inspissated bile syndrome”. Ikterus ini
dapat dihubungkan dengan nutrisi parenteral total. Kadang bilirubin fisiologis
dapat berlangsung berkepanjangan sampai beberapa minggu seperti pada bayi
yang menderita penyakit hipotiroidisme atau stenosis pylorus.
J. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan sesuai dengan waktu
timbulnya ikterus, yaitu :
1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.
Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya
kemungkinan dapat disusun sbb:

Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.

Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan
kadang-kadang Bakteri)

Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita

Kadar Bilirubin Serum berkala.

Darah tepi lengkap (blood smear perifer ) untuk
menunjukkan sel darah merah abnormal atau imatur,
eritoblastosisi pada penyakit Rh atau sferosis pada
inkompatibilitas ABO.

Golongan darah ibu dan bayi untuk mengidentifikasi
inkompeten ABO.

Test Coombs pada tali pusat bayi baru lahir
Hasil positif test Coomb indirek membuktikan antibody Rh + anti A
dan anti B dalam darah ibu. Hasil positif dari test Coomb direk
menandakan adanya sensitisasi ( Rh+, anti A, anti B dari neonatus )

Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah
atau biopsi Hepar bila perlu.
2. Ikterus yang timbul 24 - 72 jam sesudah lahir.

Biasanya Ikterus fisiologis.

Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO
atau Rh, atau golongan lain. Hal ini diduga kalau
kenaikan kadar Bilirubin cepat misalnya melebihi 5mg%
per 24 jam.

Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga
masih mungkin.

Polisetimia.

Hemolisis
perdarahan
tertutup
(
pendarahan
subaponeurosis, pendarahan Hepar, sub kapsula dll).
Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka pemeriksaan yang
perlu dilakukan:

Pemeriksaan darah tepi.

Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.

Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.

Pemeriksaan lain bila perlu.
3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama.

Sepsis.
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita

Dehidrasi dan Asidosis.

Defisiensi Enzim G6PD.

Pengaruh obat-obat.

Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.
4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya:

Karena ikterus obstruktif.

Hipotiroidisme

Breast milk Jaundice.

Infeksi.

Hepatitis Neonatal.

Galaktosemia
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan:

Pemeriksaan Bilirubin berkala.

Pemeriksaan darah tepi.

Skrining Enzim G6PD.

Biakan darah, biopsi Hepar bila ada indikasi.
K. PENATALAKSANAAN MEDIS
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manajemen bayi dengan
Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek
dari Hiperbilirubinemia.Pengobatan mempunyai tujuan :
o Menghilangkan Anemia
o Menghilangkan
Antibodi
Maternal
dan
Eritrosit
Tersensitisasi
o Meningkatkan Badan Serum Albumin
o Menurunkan Serum Bilirubin
Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi,
Transfusi Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat, Menyusui Bayi
dengan ASI, Terapi Sinar Matahari
1. Fototherapi ( terapi sinar )
Fototerapi diberikan jika kadar bilirubin darah indirek
lebih dari 10 mg%. Beberapa ilmuwan mengarahkan untuk
memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.
Cara kerja terapi sinar yaitu menimbulkan dekomposisi
bilirubin dari suatu senyawaan tetrapirol yang sulit larut dalam air
menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam air sehingga
dapt dikeluarkan melalui urin dan faeces. Di samping itu pada
terapi sinar ditemukan pula peninggian konsentrasi bilirubin
indirek dalam cairan empedu duodenum dan menyebabkan
bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus sehingga
peristaltic usus meningkat dan bilirubin keluar bersama faeces.
Dengan demikian kadar bilirubin akan menurun.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemberian terapi
sinar adalah :
a. Pemberian terapi sinar biasanya selama 100 jam.
b. Lampu yang dipakai tidak melebihi 500 jam. Sebelum
digunakan cek apakah lampu semuanya menyala.
Tempelkan pada alat terapi sinar ,penggunaan yang ke
berapa pada bayi itu untuk mengetahui kapan mencapai
500 jam penggunaan.
c. Pasang label , kapan mulai dan kapan selesainya
fototerapi.
d. Pada saat dilakukan fototerapi, posisi tubuh bayi akan
diubah-ubah; telentang lalu telungkup agar penyinaran
berlangsung merata
Komplikasi fototerapi :
a. Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan
mengakibatkan peningkatan Insensible Water Loss (IWL)
(penguapan cairan). Pada BBLR kehilangan cairan dapat
meningkat 2-3kali lebih besar.
b. Frekuensi defikasi meningkat sebagai meningkatnya
bilirubin indirek dalam cairan empedu dan meningkatnya
peristaltik usus.
c. Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
terkena sinar ( berupa kulit kemerahan)tetapi akan hilang
setelah terapi selesai.
d. Gangguan retina bila mata tidak ditutup.
e. Kenaikan suhu akibat sinar lampu. Jika hal ini terjadi
sebagian lampu dimatikan,terapi diteruskan. Jika suhu
terus naik lampu semua dimatikan sementara, bayi
dikompres dingin dan diberikan ekstra minum.
f. Komplikasi pada gonad yang diduga menimbulkan
kemandulan.
2. Tranfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktorfaktor :
-
Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
-
Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
-
Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24
jam pertama.
-
Tes Coombs Positif
-
Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu
pertama.
-
Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam
pertama.
-
Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
-
Bayi dengan Hidrops saat lahir.
-
Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus
Transfusi Pengganti digunakan untuk :
-
Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible
(rentan) terhadap sel darah merah terhadap Antibodi
Maternal.
-
Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi
(kepekaan)
-
Menghilangkan Serum Bilirubin
-
Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
keterikatan dengan Bilirubin
Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O
segera (kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang
dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B yang pendek.
setiap 4 - 8 jam kadar Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus
diperiksa setiap hari sampai stabil.
3. Therapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan
enzim
yang
meningkatkan
konjugasi
Bilirubin
dan
mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil
untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan.
Penggunaan penobarbital pada post natal masih menjadi
pertentangan karena efek sampingnya (letargi).
Colistrisin
dapat
mengurangi
Bilirubin
dengan
mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus
Enterohepatika.
4. Menyusui Bayi dengan ASI
Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan
feses dan urin. Untuk itu bayi harus mendapatkan cukup ASI.
Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang
dapat memperlancar buang air besar dan kecilnya. Akan tetapi,
pemberian ASI juga harus di bawah pengawasan dokter karena
pada beberapa kasus, ASI justru meningkatkan kadar bilirubin
bayi (breast milk jaundice). Di dalam ASI memang ada komponen
yang dapat mempengaruhi kadar bilirubinnya. Sayang, apakah
komponen tersebut belum diketahui hingga saat ini.
Yang pasti, kejadian ini biasanya muncul di minggu
pertama dan kedua setelah bayi lahir dan akan berakhir pada
minggu ke-3. Biasanya untuk sementara ibu tak boleh menyusui
bayinya. Setelah kadar bilirubin bayi normal, baru boleh disusui
lagi.
5. Terapi Sinar Matahari
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi
tambahan. Biasanya dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di
rumah sakit. Caranya, bayi dijemur selama setengah jam dengan
posisi yang berbeda-beda. Seperempat jam dalam keadaan
telentang, misalnya, seperempat jam kemudian telungkup.
Lakukan antara jam 7.00 sampai 9.00. Inilah waktu dimana sinar
surya efektif mengurangi kadar bilirubin. Di bawah jam tujuh,
sinar ultraviolet belum cukup efektif, sedangkan di atas jam
sembilan kekuatannya sudah terlalu tinggi sehingga akan merusak
kulit.
Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke
matahari karena dapat merusak matanya. Perhatikan pula situasi di
sekeliling, keadaan udara harus bersih.
PERDARAHAN TALI PUSAT
A. Pengertian Perdarahan Tali Pusat
Yaitu adanya cairan yang keluar di sekitar tali pusat bayi. Tetapi
merupakan hal yang normal apabila pendarahan yang terjadi disekitar
tali pusat dalam jumlah yang sedikit. Dimana, pendarahan tidak
melebihi luasan uang logam dan akan berhenti melalui penekanan
yang halus selama 5 menit. Selain itu perdarahan pada tali pusat juga
bisa sebagai petunjuk adanya penyakit pada bayi.
Perdarahan yang terjadi pada tali pusat bisa timbul sebagai akibat dari
trauma pengikatan tali pusat yang kurang baik atau kegagalan proses
pembentukkan trombus normal. Selain itu perdarahan pada tali pusat
juga bisa sebagi petunjuk adanya penyakit pada bayi.
B. Penyebab
1. Robekan umbilikus normal, biasanya terjadi karena :
a. Partus precipitatus.
b. Adanya trauma atau lilitan tali pusat.
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
c. Umbilikus pendek, sehingga menyebabkan terjadinya tarikan
yang berlebihan pada saat persalinan.
d. Kelalaian penolong persalinan yang dapat menyebabkan
tersayatnya dinding umbilikus atau placenta sewaktu sectio
secarea.
2. Robekan umbilikus abnormal, biasanya terjadi karena :
a. Adanya hematoma pada umbilikus yang kemudian hematom
tersebut pecah, namun perdarahan yang terjadi masuk kembali
ke dalam placenta. Hal ini sangat berbahaya bagi bayi dan
dapat menimbulkan kematian pada bayi.
b. Varises juga dapat menyebabkan perdarahan apabila varises
tersebut pecah.
c. Aneurisma pembuluh darah pada umbilikus dimana terjadi
pelebaran pembuluh darah setempat saja karena salah dalam
proses perkembangan atau terjadi kemunduran dinding
pembuluh
darah.
Pada
aneurisme
pembuluh
darah
menyebabkan pembuluh darah rapuh dan mudah pecah.
3. Robekan pembuluh darah abnormal
Pada kasus dengan robekan pembuluh darah umbilikus tanpa
adanya trauma, hendaknya dipikirkan kemungkinan adanya
kelainan anatomik pembuluh darah seperti :
a. Pembuluh darah aberan yang mudah pecah karena dindingnya
tipis dan tidak ada perlindungan jely wharton.
b. Insersi velamentosa tali pusat, dimana pecahnya pembuluh
darah terjadi pada tempat percabangan tali pusat sampai ke
membran tempat masuknya dalam placenta tidak ada proteksi.
Umbilikus dengan kelainan insersi ini sering terdapat pada
kehamilan ganda.
c. Placenta multilobularis, perdarahan terjadi pembuluh darah
yang menghubungkan masing-masing lobus dengan jaringan
placenta karena bagian tersebut sangat rapuh dan mudah
pecah.
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
4. Perdarahan akibat placenta previa dan abruptio placenta
Perdarahan akibat placenta previa dan abruptio placenta dapat
membahayakan bayi. Pada kasus placenta previa cenderung
menyebabkan anemia, sedangkan pada kasus abruptio placenta
lebih sering mengakibatkan kematian intra uterin karena dapat
terjadi anoreksia. Pengamatan pada placenta dengan teliti untuk
menentukan adanya perdarahan pada bayi baru lahir, pada bayi
baru lahir dengan kelainan placenta atau dengan sectio secarea
apabila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan hemoglobin
secara berkala.
C. Tanda dan Gejala
a. Ikatan tali pusat lepas atau klem pada tali pusat lepas tapi masih
menempel pada tali pusat.
b. Kulit di sekitar tali pusat memerah dan lecet.
c. Ada cairan yang keluar dari tali pusat. Cairan tersebut bisa
berwarna kuning, hijau, atau darah.
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
d. Timbul sisik di sekitar atau pada tali pusat.
D. Penatalaksanaan
1. Penanganan disesuaikan dengan penyebab dari perdarahan tali
pusat yang terjadi.
2. Untuk penanganan awal, harus dilakukan tindakan pencegahan
infeksi pada tali pusat.
a. Jaga agar tali pusat tetap kering setiap saat. Kenakan popok di
bawah tali pusat.
b. Biarkan tali pusat terbuka, tidak tertutup pakaian bayi sesering
mungkin.
c. Bersihkan area di sekitar tali pusat. Lakukan setiap kali Anda
mengganti popok. Gunakan kapas atau cotton bud dan cairan
alkohol 70% yang dapat dibeli di apotek.
d. Angkat tali pusat dan bersihkan tepat pada area bertemunya
pangkal tali pusat dan tubuh. Tidak perlu takut hal ini akan
menyakiti bayi Anda. Alkohol yang digunakan tidak
menyengat. Bayi akan menangis karena alkohol terasa dingin.
Membersihkan tali pusat dengan alkohol dapat membantu
mencegah terjadinya infeksi. Hal ini juga akan mempercepat
pengeringan dan pelepasan tali pusat.
e. Jangan basahi tali pusat sampai tidak terjadi pendarahan lagi.
Tali pusat akan terlepas, dimana seharusnya tali pusat aka
terlepas dalam waktu 1-2 minggu. Tapi, yang perlu diingat
adalah jangan menarik tali pusat, walaupun sudah terlepas
setengah bagian.
f. Hindari penggunaan bedak atau losion di sekitar atau pada tali
pusat.
3. Segera lakukan inform consent dan inform choise pada keluarga
pasien untuk dilakukan rujukan. Hal ini dilakukan bila terjadi
gejala berikut:
a. Tali pusat belum terlepas dalam waktu 3 minggu.
b. Klem pada pangkal tali pusat terlepas.
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
c. Timbul garis merah pada kulit di sekitar tali pusat.
d. Bayi menderita demam.
e. Adanya pembengkakan atau kemerah-merahan di sekitar tali
pusat.
f. Timbul bau yang tidak enak di sekitar tali pusat.
g. Timbulnya bintil-bintil atau kulit melepuh di sekitar tali pusat.
h. Terjadi
pendarahan
yang
berlebihan
pada
tali
pusat.
Pendarahan melebihi ukuran luasan uang logam.
i. Pendarahan pada tali pusat tidak berhenti walaupun sudah di
tekan.
j.
KEJANG NEONATORUM
A. Definisi
Kejang pada bayi baru lahir ialah kejang yang timbul masa
neonatus atau dalam 28 hari sesudah lahir (Buku Kesehatan Anak).
Menurut Brown (1974) kejang adalah suatu aritma serebral.
Kejang adalah perubahan secara tiba-tiba fungsi neurology baik
fungsi motorik maupun fungsi otonomik karena kelebihan pancaran
listrik pada otak (Buku Pelayanan Obstetric Neonatal Emergensi
Dasar).
Kejang bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan gejala dari
gangguan saraf pusat, lokal atau sistemik. Kejang ini merupakan
gejala gangguan syaraf dan tanda penting akan adanya penyakit lain
sebagai penyebab kejang tersebut, yang dapat mengakibatkan gejala
sisa yang menetap di kemudian hari. Bila penyebab tersebut diketahui
harus segera di obati. Hal yang paling penting dari kejang pada bayi
baru lahir adalah mengenal kejangnya, mendiagnosis penyakit
penyebabnya dan memberikan pertolongan terarah, bukan hanya
mencoba menanggulangi kejang tersebut dengan obat antikonvulsan.
Manifestasi kejang pada bayi baru lahir dapat berupa tremor,
hiperaktif, kejang-kejang, tiba-tiba menangis melengking. Tonus otot
hilang disertai atau tidak dengan kehilangan kesadaran, gerakan yang
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
tidak menentu (involuntary movements) nistagmus atau mata
mengedip-edip proksismal, gerakan seperti mengunyah dan menelan.
Oleh karena itu Manifestasi klinik yang berbeda-beda dan bervariasi,
sering kali kejang pada bayi baru lahir tidak di kenali oleh yang belum
berpengalaman. Dalam prinsip, setiap gerakan yang tidak biasa pada
bayi baru lahir apabila berangsur berulang-ulang dan periodik, harus
dipikirkan kemungkinan Manifestasi kejang.
B. Etiologi
1. Metabolik
a. Hipoglikemia
Bila kadar darah gula kurang dari 30 mg% pada neonatus cukup
bulan dan kurang dari 20 mg% pada bayi dengan berat badan lahir
rendah. Hipoglikemia dapat dengan/tanpa gejala. Gejala dapat
berupa serangan apnea, kejang sianosis, minum lemah, biasanya
terdapat pada bayi berat badan lahir rendah, bayi kembar yang
kecil, bayi dari ibu penderita diabetes melitus, asfiksia.
b. Hipokalsemia
-
Yaitu: keadaan kadar kalsium pada plasma kurang dari 8
mg/100 ml atau kurang dari 8 mg/100 ml atau kurang dari 4
MEq/L
-
Gejala: tangis dengan nada tinggi, tonus berkurang, kejang dan
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
diantara dua serangan bayi dalam keadaan baik.
c. Hipomagnesemia
-
Yaitu kadar magnesium dalam darah kurang dari 1,2 mEg/l.
biasanya
terdapat
bersama-sama
dengan
hipokalsemia,
hipoglikemia dan lain-lain.
-
Gejala kejang yang tidak dapat di atasi atau hipokalsemia yang
tidak dapat sembuh dengan pengobatan yang adekuat.
d. Hiponatremia dan hipernatremia
Hiponatremia adalah kadar Na dalam serum kurang dari 130
mEg/l. gejalanya adalah kejang, tremor. Hipertremia, kadar Na
dalam darah lebih dari 145 mEg/l. Kejang yang biasanya
disebabkan oleh karena trombosis vena atau adanya petekis dalam
otak.
e. Defisiensi pirodiksin dan dependensi piridoksisn
Merupakan akibat kekurangan vitamin B6. gejalanya adalah
kejang yang hebat dan tidak hilang dengan pemberian obat anti
kejang, kalsium, glukosa, dan lain-lain. Pengobatan dengan
memberikan 50 mg pirodiksin
f. Asfiksia
Suatu keadaan bayi tidak bernafas secara spontan dan teratur
segera setelah lahir etiologi karena adanya gangguan pertukaran
gas dan transfer O2 dari ibu ke janin.
2. Perdarahan intracranial
Dapat disebabkan oleh trauma lahir seperti asfiksia atau
hipoksia, defisiensi vitamin K, trombositopenia. Perdarahan dapat
terjadi sub dural, dub aroknoid, intraventrikulus dan intraserebral.
Biasanya disertai hipoglikemia, hipokalsemia. Diagnosis yang
tepat sukar ditetapkan, fungsi lumbal dan offalmoskopi mungkin
dapat membantu diagnosis. Terapi : pemberian obat anti kejang
dan perbaikan gangguan metabolism bila ada.
3. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan kejang, seperti : tetanus dan meningitis
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
4. Genetik/kelainan bawaan
Penyebab lain
a. Polisikemia
Biasanya terdapat pada bayi berat lahir rendah, infufisiensi
placenta, transfuse dari bayi kembar yang satunya ke bayi kembar
yang lain dengan kadar hemoktrokit di atas 65%
b. Kejang idiopatik
Tidak memerlukan pengobatan yang spesifik, bila tidak diketahui
penyebabnya berikan oksigen untuk sianosisnya
c. Toksin estrogen
Misalnya : hexachlorophene
C. Patogenesis
Kejang pada neonatus seringkali tidak dikenali kerena bentuknya
yang berbeda dengan kejang orang dewasa dan anak-anak.
Penyelidikan sinemotografi dan EEG menunjukkan bahwa kelainan
pada EGG sesuai dengan twitching dari muka, kedipan muka,
menguap, kaku tiba-tiba dan sebagainya. Oleh karena itu, kejang pada
bayi baru lahir tidak spesifikasi dan lebih banyak digunakan istilah
“fit” atau “seizure”.
Manifestasi yang berbeda-beda ini disebabkan morfologi dan
organisasi dari korteks serebri yang belum terbentuk sempurna pada
neonatus (Froeman, 1975). Demikian pula pembentukan dendrit,
synopsis dan mielinasasi. Susunan syarat pusat pada neonatus
terutama berfungsi pada medulla spinalis dan batang orak. Kelainan
lokal pada neuron tidak disalurkan kepada jaringan berikutnya
sehingga kejang umum jarang terjadi.
Batang otak berhubungan dengan gerakan-gerakan seperti
menghisap, gerakan bola mata, pernafasan dan sebagainya, sedangkan
fleksi umum atau kekakuan secara fokal atau umum adalah gejala
medula spinalis.
D. Klasifikasi Kejang
Volve (1977)membagi kejang pada bayi baru lahir sebagai berikut :
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
1. Bentuk kejang yang hampir tidak terlihat (Subtle) yang sering tidak di
insafi sebagai kejang. Terbanyak di dapat pada neonatus berupa :
a. Deviasi horizontal bola mata
b. Getaran dari kelopak mata (berkedip-kedip)
c. Gerakan pipi dan mulut seperti menghisap, mengunyah, mengecap,
dan menguap
d. Opnu berulang
e. Gerakan tonik tungkai
2. Kejang klonik multifokal (miogratory)
Gerakan klonik berpindah-pindah dari satu anggota gerak ke yang lain
secara tidak teratur, kadang-kadang kejang yang satu dengan yang lain
dapat menyerupai kejang umum.
3. Kejang tonik
Ekstensi kedua tungkai, kadang-kadang dengan flexi kedua lengan
menyerupai dekortikasi
4. Kejang miokolik
Berupa gerakan flexi seketika seluruh tubuh, jarang terlihat pada
neonatus
5. Kejang umum
Kejang seluruh badan, sianosis, kesadaran menurun
6. Kejang fokal
Gerakan ritmik 2-3 x/detik. Sentakan yang dimulai dari salah satu
kaki, tangan atau muka (gerakan mata yang berputar-putar, menguap,
mata berkedip-kedip, nistagmus, tangis dengan nada tinggi).
E. Manifestasi
a. Kejang tersamar

Hampir tidak terlihat

Menggambarkan perubahan tingkah laku
b. Bentuk kejang :

Otot muka, mulut, lidah menunjukan gerakan menyeringai

Gerakan terkejut-kejut pada mulut dan pipi secara tiba-tiba
menghisap, mengunyah, menelan menguap
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita

Gerakan bola mata ; deviasi bola mata secara horisontal, kelopak
mata berkedip-kedip, gerakan cepat dari bola mata

Gerakan pada ekstremitas : pergerakan seperti berenang,
mangayuh pada anggota gerak atas dan bawah

Pernafasan apnea, BBLR hiperpnea

Untuk memastikan : pemeriksaan EEG
c. Kejang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan
dan tungkai
1) Kejang klonik
-
Berlangsung selama 1-3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak
disertai gangguan kesadaran
-
Dapat disebabkan trauma fokal
-
BBL dengan kejang klonik fokal perlu pemeriksaan USG,
pemeriksaan kepala untuk mengetahui adanya perdarahan
otak, kemungkinan infark serebri
-
Kejang klonik multifokal sering terjadi pada BBL, terutama
bayi cukup bulan dengan BB>2500 gram
-
Bentuk kejang : gerakan klonik pada satu atau lebih anggota
gerak yang berpindah-pindah atau terpisah secara teratur,
misal kejang klonik lengan kiri diikuti kejang klonik tungkai
bawah kanan
2) Kejang tonik
-
Terdapat pada BBLR, masa kehamilan kurang dari 34 minggu
dan pada bayi dengan komplikasi perinatal berat
-
Bentuk kejang : berupa pergerakan tonik satu ekstremitas,
pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai,
menyerupai sikap deserebasi atau ekstensi tungkai dan fleksi
lengan bawah dengan bentuk dekortikasi
3) Kejang mioklonik
-
Gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota
gerak yang berulang dan terjadinya cepat, gerakan menyerupai
refleks moro
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
d. Gemetar
-
Sering membingungkan
-
Kadang terdapat pada bayi normal yang dalam keadaan lapar
(hipoglikemia, hipokalsemia, hiperiritabilitas neuromuscular)
-
Gerakan tremor cepat
-
Tidak disertai gerakan cara melihatabnormal atau gerakan bola
mata
-
Dapat timbul dengan merangsang bayi, sedangkan kejang tidak
timbul dengan perangsangan
-
Gerakan dominan adalah gerakan tremor
-
Pergerakan ritmik anggota gerak pada gemetar dihentikan dengan
melakukan fleksi anggota gerak
e. Apnea
-
Pada BBLR pernafasan tidak teratur, diselingi dengan henti nafas
3-6 detik, sering diikuti dengan hiperapnea 10-15 detik
-
Berhentinya pernafasan tidak disertai perubahan denyut jantung,
tekanan darah, suhu badan, warna kulit
-
Bentuk pernafasan disebut pernafasan periodik disebabkan belum
sempurnanya pusat pernafasan di batang otak
-
Serangan apnea tiba-tiba disertai kesadaran menurun pada BBLR
dicurigai adanya perdarahan intracranial
-
Perlu pemeriksaan USG
f. Manifestasi kejang pada BBL
 Tremor/gemetar
 Hiperaktif
 Kejang-kejang
 Tiba-tiba menangis melengking
 Tonus otot hilang diserati atau tidak dengan hilangnya kesadaran
 Pergerakan tidak terkendali
 Nistagmus atau mata mengedip ngedip paroksismal
F. Diagnosis
1. Anamnesa
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
a. Anemnesa lengkap mengenai keadaan ibu pada saat hamil
b. Obat yang di minum oleh ibu saat hamil
c. Obat yang diberikan dan yang diperlukan sewaktu persalinan
d. Apakah ada anak dan keluarga yang sebelumnya menderita kejang
dan lain-lain.
e. Riwayat persalinan: bayi lahir prematus, lahir dengan tindakan,
penolong persalinan, asfiksia neontorum
f. Riwayat immunisasi tetanus ibu, penolong persalinan bukan
tenaga kesehatan
g. Riwayat perawatan tali pusat dengan obat tradisional
h. Riwayat kejang, penurunan kesadaran, ada gerakan abnormal pada
mata, mulut, lidah, ekstremitas
i. Riwayat spasme atau kekakukan pada ekstremitas, otot mulut dan
perut
j. Kejang dipicu oleh kebisingan atau prosedur atau tindakan
pengobatan
k. Riwayat bayi malas minum sesudah dapat minum normal
l. Adanya faktor resiko infeksi
m. Riwayat ibu mendapatkan obat, misal: heroin, metadon,
propoxypen, alkohol
n. Riwayat perubahan warna kulit (kuning)
o. Saat timbulnya dan lama terjadinya kejang
2. Pemeriksaan fisik
a. Kejang
1) Gerakan normal pada wajah, mata, mulut, lidah dan
ekstremitas
2) Ekstensi atau fleksi tonik ekstremitas, gerakan seperti
mengayuh sepeda, mata berkedip berputar, juling
3) Tangisan melengking dengan nada tinggi, sukar berhenti
4) Perubahan status kesadaran, apnea, ikterus, ubun-ubun besar
menonjol, suhu tidak normal
b. Spasme
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
1) Bayi tetap sadar, menangis kesakitan
2) Trismus, kekakuan otot mulut pada ekstremitas, perut,
kontraksi otot, tidak terkendali dipicu oleh kebisingan, cahaya
atau prosedur diagnostik
3) Infeksi tali pusat
3. Pemeriksaan laboratorium
Gula darah, kalsium, fospor, magnesium, natrium, bilirubin,
fungsi lumbal, darah tepi, dan kalau mungkin biakan darah dan cairan
serebrospinal foto kepala dan EEG, pemeriksaan sedapat mungkin
terarah.
G. Prognosis
Tergantung dari cepat lambatnya timbul kejang (makin dini
timbulnya kejang, makin tinggi angka kematian dan gejala usia)
beratnya penyakit, fasilitas laboratorium, cepat lambatnya mendapat
pengobatan yang adekuat dan baik tidaknya perawatan.
H. Penanganan (Buku Acuan Nasional Maternatal dan Neonatal)
1. Prinsip dasar tindakan mengatasi kejang pada bayi baru lahir
sebagai berikut:
a. Mengatasi kejang dengan memberikan obat anti kejang-kejang
(Misal : diazepam, fenobarbital, fenotin/dilantin)
b. Menjaga jalan nafas tetap bebas dengan resusitasi
c. Mencari faktor penyebab kejang
d. Mengobati penyebab kejang (mengobati hipoglikemia, hipokalsemia
dan lain-lain)
2. Obat anti kejang (Buku Acuan Nasional Maternatal dan Neonatal,
2002)
a. Diazepam
Dosis 0,1-0,3 mg/kg BB IV disuntikan perlahan-lahan sampai
kejang hilang atau berhenti. Dapat diulangi pada kejang
beruang, tetapi tidak dianjurkan untuk digunakan pada dosis
pemeliharaan
b. Fenobarbital
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
Dosis 5-10 mg/kg BB IV disuntikkan perlahan-lahan, jika kejang
berlanjut lagi dalam 5-10 menit. Fenitoin diberikan apabila
kejang tidak dapat di berikan 4-7 mg/kg BB IV pada hari
pertama di lanjutkan dengan dosis pemeliharaan 4-7 mg/kg BB
atau oral dalam 2 dosis.
3. Penanganan kejang pada bayi baru lahir (Buku Acuan Nasional
Maternal dan Neonatal, 2002)
a. Bayi diletakkan dalam tempat yang hangat pastikan bahwa bayi
tidak kedinginan. Suhu dipertahankan 36,5oC - 37oC
b. Jalan nafas bayi dibersihkan dengan tindakan penghisap lendir di
seputar mulut, hidung sampai nasofaring
c. Bila bayi apnea dilakukan pertolongan agar bayi bernafas lagi
dengan alat bantu balon dan sungkup, diberikan oksigen dengan
kecepatan 2 liter/menit
d. Dilakukan pemasangan infus intravena di pembuluh darah perifer
di tangan, kaki, atau kepala. Bila bayi diduga dilahirkan oleh ibu
berpenyakit diabetesmiletus dilakukan pemasangan infus melalui
vena umbilikostis
e. Bila infus sudah terpasang di beri obat anti kejang diazepam 0,5
mg/kg supositoria IM setiap 2 menit sampai kejang teratasi,
kemudian di tambah luminal (fenobarbital 30 mg IM/IV)
f. Nilai kondisi bayi selama 15 menit. Perhatikan kelainan fisik yang
ada
g. Bila kejang sudah teratasi, diberi cairan dextrose 10% dengan
kecepatan 60 ml/kg BB/hari
h. Dilakukan anamnesis mengenai keadaan bayi untuk mencari faktor
penyebab kejang
1)
Apakah kemungkinan bayi dilahirkan oleh ibu yang
berpenyakit DM
2)
Apakah kemungkinan bayi prematur
3)
Apakah kemungkinan bayi mengalami asfiksia
4)
Apakah kemungkinan ibu bayi mengidap/menggunakan
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
narkotika
i. Bila sudah teratasi di ambil bahan untuk pemeriksaan laboratorium
untuk mencari faktor penyebab kejang, misalnya :
j.
1)
Darah tepi
2)
Elektrolit darah
3)
Gula darah
4)
Kimia darah (kalsium, magnesium)
Bila kecurigaan kearah pepsis dilakukan pemeriksaan fungsi
lumbal
k. Obat diberikan sesuai dengan hasil penelitian ulang
l.
Apabila kejang masih berulang, diazepam dapat diberikan lagi
sampai 2 kali
Kesimpulan
10
menit
Metode :
Masalah pada neonatus biasanya timbul sebagai akibat yang spesifik - Ceramah
terjadi pada masa perinatal. Tidak hanya merupakan penyebab kematian - Tanya
tetapi juga kecacatan. Masalah ini timbul sebagai akibat buruknya kesehatan
jawab
ibu, perawatan kehamilan yang kurang memadai, manajemen persalinan yang Alat Bantu :
tidak tepat dan tidak bersih, kurangnya perawatan bayi baru lahir. Kalau ibu - Multimedia
meninggal pada waktu melahirkan, si bayi akan mempunyai kesempatan
hidup yang kecil.
Yang termasuk neonatus resiko tinggi yaitu diantaranya sebagai berikut:
1. BBLR
2. asfiksia neonatorum
3. sindrom, gangguan pernafasan
4. ikterus
5. perdarahan tali pusat
6. kejang
Asuhan Neonatus, Bayi dan Balita
Penutup
5
1.
menit
Metode :
Meyakinkan mahasiswa bahwa poin – poin penting materi telah - Ceramah
disampaikan
2.
Memberitahu mahasiswa bahwa OPS telah tercapai
3.
Memberi tahu materi yang akan dibahas pada pertemuan berikutnya
4.
Mengucapkan salam penutup
Catatan
Download