karakterisasi fisik gambut di riau pada tiga ekosistem

advertisement
KARAKTERISASI FISIK GAMBUT DI RIAU PADA TIGA
EKOSISTEM (MARINE, PAYAU, DAN AIR TAWAR)
Oleh:
TUBAGUS MUHAMAD DIKAS
A14060967
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
RINGKASAN
TUBAGUS MUHAMAD DIKAS. Karakterisasi Fisik Gambut Riau Pada Tiga
Ekosistem (Marin, Payau, dan Air Tawar). Dibimbing oleh SUPIANDI SABIHAM
dan BUDI NUGROHO.
Pembukaan tanah gambut untuk pengembangan pertanian dan kawasan
budidaya dapat mengubah ekosistem kawasan gambut menjadi suatu ekosistem
yang baru. Pembukaan tanah gambut harus memperhatikan perubahan yang
terjadi terhadap aras dinamika tanah gambut. Pembukaan tanah gambut tidak
boleh menurunkan fungsi lingkungannya. Tanah gambut mempunyai fungsi
dalam menyerap dan menyimpan air, menjaga keseimbangan ekologis, menjaga
kelestarian berbagai keanekaragaman hayati.
Bahan gambut berasal dari Kabupaten Dumai, Bengkalis, Indragiri Hilir,
Siak, dan Kampar, Provinsi Riau dari berbagai karakteristik ekosistem atau
fisiografi gambut yaitu gambut marine (marine peat swamp), gambut payau
(brackish peat swamp) dan gambut air tawar (fresh water peat swamp). Bahan
gambut diambil pada bulan Januari 2010. Analisis sifat kimia dan fisik tanah
dilakukan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departemen ITSL,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang berlangsung dari bulan Februari
2010 sampai bulan Juni 2010.
Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa pengelolaan gambut untuk
perkebunan kelapa sawit mengakibatkan kadar abu tanah meningkat dan kadar
serat serta kadar C-organiknya menurun. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan
pengelolaan lahan gambut dalam jangka waktu yang lebih lama dapat
mempercepat pematangan bahan gambut, sehingga kadar abu gambut menjadi
lebih tinggi dan kadar serat serta kadar C-organiknya menjadi lebih rendah. Batas
kadar air kritis gambut pantai lebih rendah dari gambut transisi dan pedalaman.
Penyebab rendahnya kadar air kritis dan rendahnya peluang kejadian kering tidak
balik pada fisiografi pantai adalah karena fisiografi gambut pantai yang terbentuk
pada daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut yang relatif subur, dimana
garam-garam yang berasal dari sungai atau air laut akan diikat kuat oleh asam
organik gambut sehingga gambut pantai relatif stabil menjadi tidak mudah untuk
terjadi kering tidak balik.
Kata Kunci: Gambut, Kadar serat, C-organik, Kadar Abu.
SUMMARY
TUBAGUS MUHAMAD DIKAS. Physical Characterization of Peat on Three
Ecosystem (Coastal, Transitional, and Inland). Under the direction of SUPIANDI
SABIHAM and BUDI NUGROHO.
Agricultural development on peat land can alter peat ecosystem into a new
ecosystem. Peat land clearing for agricultural should pay attention especially on
dynamic changes of the peat land. Peat land clearing should not change it’s
environmentally function. Peat has a function to absorb and store of water,
maintain the ecological balance, preserving a variety of biodiversity.
Samples of peat were taken from peat areas of Dumai, Bengkalis,
Indragiri Hilir, Siak, and Kampar Districts, Riau Province on January 2010. The
samples derived from several ecosystems or Physiographic, such as coastal peat,
transitional peat, and inland peat swamp. Physical and chemical properties of peat
was analysed in Laboratory of Soil Chemistry and Soil Fertility, Department of
Soil Science and Land Resource, Bogor Agricultural University, from February to
June 2010.
The results showed that the using of peat lands for oil palm plantation has
increased of ash content and decreased the fiber and C-organic . Results also
showed that using of peat in a long time accelerate the rate of peat decomposition.
In another result critical coastal peat water content was lower than transitional
and inland peat. It was can related to relatively more fertile of coastal peat than
another, caused by formed in a region that influenced by the relatively fertile tidal.
It was more salt mineral from river and sea that strongly bounded so was not easy
to irreversible drying.
Keyword: Peat, fiber content, C-organic, ash content, irreversible drying
KARAKTERISASI FISIK GAMBUT DI RIAU PADA TIGA
EKOSISTEM (MARINE, PAYAU, DAN AIR TAWAR)
Oleh:
TUBAGUS MUHAMAD DIKAS
A14060967
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
Judul skripsi
: Karakterisasi Fisik Gambut di Riau Pada Tiga Ekosistem
(Marine, Payau, dan Air Tawar)
Nama
: Tubagus Muhamad Dikas
NRP
: A14060967
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
(Prof. Dr. Supiandi Sabiham, M.Agr.)
(Dr. Ir. Budi Nugroho, M.Si)
NIP. 19490105 197403 1001
NIP. 19601021 198703 1001
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
(Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc.)
NIP: 19621113 198703 1 003
Tanggal Lulus :
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 9 Agustus 1988 di Bogor sebagai anak
sulung dari empat bersaudara dari pasangan Tubagus Akasyah dan Diah
Ratnawati. Pendidikan Sekolah Dasar ditempuh penulis di SDN 01 Ciriung dari
tahun 1994 sampai dengan 2000, kemudian dari tahun 2000 hingga 2003 penulis
melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Cibinong dan dari tahun 2003 hingga 2006
penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 1 Cibinong. Pada tahun yang sama penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI), dengan Mayor Manajemen Sumberdaya Lahan dan Minor Manajemen
Fungsional.
Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis ikut aktif dalam organisasi
kemahasiswaan yaitu Music Agricultural Expression (MAX) dan Unit Bola
Basket IPB (UBBI). Penulis juga aktif dalam kegiatan seminar dan menjadi
panitia berbagai kegiatan. Selain itu penulis juga menjadi asisten pada Mata
Kuliah Kimia Tanah (2010).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT, atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul
Karakterisasi Fisik Gambut di Riau Pada Tiga Ekosistem (Marin, Payau, dan
Air Tawar).
Skripsi merupakan hasil penelitian sebagai salah satu syarat kelulusan untuk
menjadi Sarjana Pertanian di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1) Bapak Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr yang telah memberikan
bimbingan, saran dan bantuan yang dimulai sejak dalam persiapan,
pelaksanaan sampai penulisan skripsi ini.
2) Bapak Dr. Ir. Budi Nugroho, M.Si yang telah memberikan bimbingan,
saran dan bantuan yang dimulai sejak dalam persiapan, pelaksanaan
sampai penulisan skripsi ini.
3) Ibu Dr. Ir. Lilik Tri Indriyati, M.Sc. selaku dosen penguji yang sudah
memberikan saran untuk perbaikan skripsi ini.
4) Seluruh dosen Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan yang telah
memberikan ilmu dan pemikirannya yang sangat bermanfaat untuk
penulis, semoga Allah senantiasa memberikan kelimpahan berkah. Amin.
5) Ayahanda Tubagus Akasyah dan Ibunda Diah Ratnawati yang telah
mendampingi penulis dan telah mengorbankan waktu, tenaga, biaya dan
pengertian serta kesabarannya hingga penulis menyelesaikan studi.
6) Staf dan Karyawan Laboratorium Kesuburan Ilmu Tanah IPB yang telah
memberikan bantuan sarana dan fasilitas serta tenaga selama penelitian.
7) Bapak, Ibu serta rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan bantuan
yang sangat bermanfaat dalam penelitian.
Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
yang membacanya.
Bogor, Oktober 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xii
BAB I. PENDAHULUAN ………………………………………………..
1
1.1. Latar Belakang ……………………………………..…………
1
1.2. Tujuan ………………………………………..…………….....
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………….
3
2.1. Karakteristik Tanah Gambut…………………………………..
3
2.2. Tingkat Dekomposisi Gambut ……………….……………….
4
2.3. Sifat Fisik Tanah Gambut …………………………………….
5
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN……………………………...
10
3.1. Waktu, Lokasi Pengambilan Tanah Gambut dan Tempat
Penelitian …………………………………………………….
10
3.2. Bahan dan Alat Penelitian .........................................................
11
3.3. Analisis Laboratorium ..............................................................
11
BAB IV. HASIL dan PEMBAHASAN......................................................
15
4.1. Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau.................................
15
4.2. Tingkat Dekomposisi, Karbon Organik dan Kadar Abu Bahan
Gambut......................................................................................
17
4.3. Kadar Air Kritis dan Porositas Bahan Gambut .........................
24
4.4. Porositas Bahan Gambut dalam Hubungannya dengan Kadar
Serat, Kadar C-organik, Kadar Abu dan Kadar Air Kritis ........
27
4.5. Kadar C-organik Gambut dalam Hubungannya dengan Kadar
Serat dan Kadar Air Kritis.........................................................
28
4.6. Kadar Abu Gambut dalam Hubungannya dengan Kadar Serat
dan Kadar Air Kritis..................................................................
28
4.7. Kadar Air Kritis dalam Hubungannya dengan Kering Tidak
Balik...........................................................................................
28
BAB V. KESIMPULAN dan SARAN.......................................................
34
5.1. Kesimpulan ...............................................................................
34
5.2. Saran .........................................................................................
34
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
35
LAMPIRAN.................................................................................................
38
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
Teks
1
Klasifikasi Bahan Menolak Air Berdasarkan Metode Water
Drop Penetration Time (Bisdom et al., 1993)..........................
14
2
Lokasi Pengamatan dan Pengambilan Contoh Bahan Gambut..
15
3
Hubungan Kadar Serat, Indeks Pirofosfat dengan Tingkat
dekomposisi Gambut di Riau Berdasarkan Fisiografi Marine,
Payau, dan Air Tawar.................................................................
18
Nilai C-organik Gambut di Riau Berdasarkan Fisiografi
Marine, Payau, dan Air Tawar...................................................
22
Nilai Kadar Abu Gambut di Riau Berdasarkan Fisiografi
Marine, Payau, dan Air Tawar…………………………….….
22
Kisaran Kadar Air Kritis pada Peluang 60 – 80 % Kejadian
Kering Tidak Balik (Azri, 1999)...............................................
25
Nilai Kadar Air Kritis Tanah Gambut asal Riau dengan
Peluang 60 – 80 % Kering Tidak Balik.....................................
25
Volume Pori Total (VPT) dan Pori Aerasi Pada Gambut
Pantai (Marine) dan Transisi (Payau) asal Pantai Samuda dan
Sampit (Nicholas, 2002).............................................................
26
Rata-rata Kering Tidak Balik Gambut di Riau Berdasarkan
Fisiografi Marin, Payau, dan Air Tawar....................................
29
4
5
6
7
8
9
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
Teks
1
Peta Lokasi Pengambilan Contoh Bahan Gambut, Provinsi Riau..
10
2
Kering Tidak Balik Gambut Marine..............................................
30
3
Kering Tidak Balik Gambut Payau................................................
31
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
Teks
1
Deskripsi Profil Gambut Marine (< 6 Tahun)..........................
39
2
Deskripsi Profil Gambut Marine (> 6 Tahun)..........................
39
3
Deskripsi Profil Gambut Payau (< 6 Tahun)............................
40
4
Deskripsi Profil Gambut Payau (> 6 Tahun)............................
40
5
Deskripsi Profil Gambut Payau ( Hutan Sekunder)..................
41
6
Deskripsi Profil Gambut Air Tawar (> 6 Tahun).....................
41
7
Hasil Analisis Kering Tidak Balik............................................
42
8
Hasil Analisis Kadar Air Menurut Interval Waktu…………...
43
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Lahan gambut di Indonesia memiliki luas sekitar 16,5 sampai 27 juta ha
dan tersebar di daerah rawa belakang pantai Sumatera, Kalimantan dan Papua
serta terdapat kelompok kecil di Sulawesi, Jawa dan Kepulauan Maluku
(Hardjowigeno, 1989). Luas seluruh lahan gambut Riau adalah 4.043.602 hektar
dan terdapat hampir di semua wilayah kabupaten, tetapi yang paling luas terdapat
di wilayah kabupaten yang berada di pantai timur. Enam kabupaten yang memiliki
lahan gambut paling luas berturut-turut adalah Kabupaten Indragiri Hilir (983 ribu
ha atau 24,3% dari total lahan di provinsi), Bengkalis (856 ribu ha atau 21,2%),
Pelalawan (680 ribu ha atau 16,8%), Siak (504 ribu ha atau 12,5%), Rokan Hilir
(454 ribu ha atau 11,2%), dan Indragiri Hulu (222 ribu ha atau 5,5%). Kabupaten
yang lain seperti Kampar, Karimun, dan Pekanbaru hanya mempunyai lahan
gambut kurang dari 5% (Wahyunto et al., 2005).
Pengelolaan gambut tidak mudah karena mempunyai berbagai persoalan
baik fisik, kimia, biologi, dan hidrologi. Pengeringan berlebihan mengakibatkan
terjadinya kering tidak balik (Andriesse, 1988). Oleh karena itu, pengelolaan
gambut memerlukan pengetahuan dasar tentang sifat-sifat inheren gambut agar
kegagalan pengelolaan dapat dihindarkan. Pengelolaan air merupakan prioritas
utama sebab penataan air adalah kunci utama keberhasilan pengelolaan gambut.
Tanah gambut umumnya memiliki karakteristik yang khas bila
dibandingkan tanah lainnya. Sifat-sifat tersebut antara lain: bahan induknya
berasal dari materi organik, terbentuk dalam keadaan tergenang, mengalami
penyusutan dan subsidence (penurunan permukaan tanah gambut) karena drainase
dan dekomposisi, dan pH yang rendah. Barchia (2006) mengatakan, tanah gambut
memiliki tingkat kesuburan yang marginal. Keadaan ini dicirikan oleh reaksi
tanah yang masam hingga sangat masam, ketersediaan hara mikro dan hara makro
rendah, erapan unsur mikro tinggi, kapasitas tukar kation tinggi, dan ketersediaan
kation-kation basa serta kejenuhan basa rendah. Tanah gambut memiliki fungsi
dalam menyerap dan menyimpan air, menjaga keseimbangan ekologis, menjaga
kelestarian berbagai keanekaragaman hayati.
Hardjowigeno (1989) dan Widjaja Adhi (1984) menyatakan sifat tanah
saling berkaitan satu dengan lainnya. Pada tanah gambut, jumlah, bentuk dan
ukuran serat dapat menentukan jumlah dan sebaran ukuran pori. Ruang pori total
ditentukan oleh bobot isi dan bobot jenis rata-rata, sedangkan sebaran ukuran pori
dipengaruhi oleh sebaran fraksi (serat) dan struktur. Jumlah, bentuk dan ukuran
serat berperan penting dalam penentuan tingkat kematangan gambut, dan tingkat
kematangan dipengaruhi oleh laju dekomposisi.
Pembukaan lahan gambut dapat menyebabkan perubahan ekosistem
kawasan gambut. Pembukaan lahan gambut harus dilakukan dengan
memperhatikan perubahan dinamika lahan gambut, sehingga pembukaan lahan
gambut tidak menurunkan fungsi perlindungan lingkungannya. Oleh karena itu
penggunaan lahan gambut untuk pertanian harus dilakukan dengan sangat hatihati. Untuk hal tersebut perlu dilakukan pengaturan pembukaannya secara hatihati dengan tetap mempertahankan fungsi konservasi dari bahan gambut tersebut.
Perubahan penggunaan lahan gambut mengakibatkan perubahan sifat fisik
dan kimia tanah gambut. Sifat fisik gambut yang meliputi kadar serat, kadar Corganik, porositas dan kadar air kritis mengalami penurunan seiring dengan
pembukaan lahan gambut. Adanya proses mineralisasi tanah gambut sebagai
akibat penggunaan lahan gambut untuk kawasan budidaya dapat merubah sifat
fisik dan kimia tanah gambut tersebut.
Sifat kering tidak balik tanah gambut menurut Coulter (1957, dalam
Andriesse, 1988) dapat disebabkan oleh adanya selaput resin yang membungkus
partikel gambut. Sifat resin yang hidrofobik menyebabkan partikel gambut tidak
dapat menyerap air. Namun Driessen dan Rochimah (1976) tidak menemukan
adanya selaput resin pada gambut di Indonesia. Lucas (1982, dalam Andriesse,
1988) menyimpulkan bahwa sifat hidrofobik disebabkan oleh kandungan gugus
karboksil, fenolik dan lignin yang tinggi pada gambut.
1.2.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan mempelajari beberapa sifat fisik dan kimia tanah
gambut Riau seperti kadar abu, kadar air, kadar air kritis, C-organik, volume serat,
pH, dan kering tidak balik pada tiga karakteristik ekosistem .
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Karakteristik Tanah Gambut
Tanah gambut adalah tanah yang berbahan induk organik atau berasal dari
sisa-sisa tanaman masa lampau dan berdasarkan kriteria USDA (2006)
digolongkan kedalam order Histosol. Tanah gambut harus memenuhi syarat
khusus dalam hal bahan organik minimal 12-18% C-organik (tergantung
kandungan liat fraksi mineralnya) dan ketebalannya minimal 40 cm (USDA,
2006). Bahan gambut tropika Indonesia berasal dari bahan organik yang
terakumulasi dalam kondisi anaerob. Kondisi anaerob disebabkan oleh air yang
menggenangi bahan organik secara terus menerus sehingga terbentuk lapisan
bahan organik. Lapisan bahan organik ini makin lama makin tebal sehingga sama
atau lebih 40 cm dan dapat disebut sebagai tanah gambut (Soil Survey Staff
1999). Bahan organik gambut berasal dari vegetasi yang tumbuh diatasnya. Sifat
dan ciri tanah gambut dipengaruhi oleh vegetasi asal, fisiografi, proses, dan umur
pembentukannya.
Andriesse (1988) memberikan sistem klasifikasi tanah gambut yang
didasarkan pada enam karakteristik, yaitu: (1) topografi dan morfologi, (2)
vegetasi penutup tanah, (3) sifat kimia gambut, (4) vegetasi asli pembentuk
gambut, (5) sifat fisika gambut, dan (6) proses genesis gambut. Klasifikasi
berdasarkan topografi dan geomorfologi yang berhubungan dengan aspek bentang
lahan (landscape) dikenal sebagai gambut dataran rendah (low moor), gambut
transisi (transisional moor), dan gambut dataran tinggi (high moor). Berdasarkan
vegetasi penutup tanah, gambut sering dihubungkan dengan kepentingan
pengelolaan pada saat reklamasi lahan gambut. Berdasarkan sifat kimia, gambut
dikaitkan dengan karakteristik kimia lingkungannya terutama tingkat kesuburan
gambut sehingga dikenal gambut subur (eutrophic), kesuburan sedang
(mesotrophic) dan gambut kurang subur (oligotrophic). Berdasarkan vegetasi asli
pembentuknya, gambut dihubungkan dengan bahan gambut yang berasal dari
jenis vegetasi penyusunnya, sehingga dikenal adanya gambut berasal dari lumut
(moss peats), rumput-rumputan (sawgrass peat), kayu-kayuan (woody peats).
Berdasarkan sifat fisiknya, gambut dihubungkan dengan tingkat dekomposisi
bahan penyusunnya, sehingga dikenal adanya gambut fibrik, hemik dan saprik.
Berdasarkan proses genetiknya, gambut dihubungkan dengan iklim yang
mempengaruhi pembentukan dan perkembangannya, sehingga dikenal adanya
istilah gambut tropika (tropical peat) dan gambut daerah sedang (temperate peat).
Kandungan kation-kation basa (Ca, Mg, K, dan Na) tanah gambut
umumnya rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut, kandungan
abu semakin rendah dan kandungan Ca dan Mg menurun mengikuti
kedalamannya (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974). Rendahnya kation-kation
basa dan tingginya kapasitas tukar kation (KTK) pada tanah gambut menyebabkan
nilai kejenuhan basa (KB) rendah. Upaya untuk meningkatkan KB pada tanah
gambut dilakukan dengan penambahan basa-basa atau dengan menurunkan nilai
KTK tanah (Halim, 1987). Peningkatan KB melalui penurunan KTK tanah dapat
dilakukan dengan pemberian tanah mineral yang mempunyai KTK rendah
(Hardjowigeno, 1996).
Kandungan unsur mikro pada tanah gambut umumnya sangat rendah
sehingga pelepasan unsur mikro dari proses mineralisasi juga rendah. Dengan
demikian, unsur mikro kurang tersedia bagi tanaman dan menimbulkan gejala
defisiensi (Rahim, 1995). Pada tanah yang mengandung bahan organik tinggi,
ketersediaan unsur mikro seperti Cu, Fe dan Mn sangat rendah karena diikat oleh
senyawa-senyawa organik (Tan, 1998).
2.2.
Tingkat Dekomposisi Gambut
Sabiham dan Furukawa (1986) mengatakan bahwa gambut dikelompokkan
berdasarkan tingkat dekomposisi, yaitu fibrik, hemik, dan saprik. Bahan fibrik
biasanya diendapkan di lapisan bawah gambut, bahan ini banyak mengandung
serat yang dipertahankan dalam bentuk asalnya dan dapat diidentifikasi asal
botaninya. Bahan hemik dan saprik biasanya ditemukan di atas lapisan bahan
fibrik.
Bahan fibrik berada di lapisan bawah, sedangkan bahan hemik di tengah,
dan bahan saprik di atas dalam profil tanah sebab pertama kali bahan gambut yang
dibentuk bersifat fibrik. Bahan fibrik ini berada dalam keadaan tergenang. Suatu
saat bahan fibrik mengalami pengeringan sehingga bahan fibrik ini
terdekomposisi menjadi bahan hemik, dan bahan saprik. Keadaan kering biasanya
dimulai dari bagian atas tanah gambut, sedangkan bagian bawah masih dalam
keadaan tergenang. Dengan demikian, bahan fibrik yang dipertahankan berada di
lapisan bawah bahan hemik dan saprik. Bahan hemik dapat dikelompokkan ke
dalam bahan gambut yang terdekomposisi sedang dengan dicirikan oleh warna
coklat hitam. Bahan saprik merupakan bahan amorf coklat yang asal botaninya
tidak dapat diidentifikasi (Sabiham dan Furukawa, 1986).
Sifat-sifat tanah gambut yang penting untuk diketahui adalah tingkat
dekomposisinya yang sangat menentukan volume, ukuran dan bentuk serat,
struktur, kerapatan lindak (bulk density) dan kering tidak balik (Widjaja-Adhi,
1984) serta kemungkinan terjadinya penyusutan setelah didrainase (Bouman dan
Driessen, 1985). Kerapatan lindak gambut tropika umumnya berkisar 0,05-0,40
g/cm³ yang sangat ditentukan oleh tingkat pelapukan bahan organiknya,
kandungan bahan mineral dan kepadatannya.
Sifat-sifat yang dimiliki tanah gambut saling kait-mengkait. Jumlah,
bentuk, dan ukuran serat yang sangat tergantung pada tingkat kematangannya
menentukan jumlah dan sebaran ukuran pori. Jumlah dan sebaran ukuran pori
menentukan sifat retensi air, daya simpan air, dan hantaran hidrolik (WidjajaAdhi, 1984). Beberapa sifat fisik tanah yang perlu diketahui dalam pengelolaan
gambut untuk pertanian seperti yang dikemukakan oleh Andriesse (1988) antara
lain: retensi air, ketersediaan air, konduktifitas hidrolik, kapasitas menyerap air,
kerapatan lindak, porositas, sisa pijar (kadar abu), kering tak balik, dan sifat
basah-kering.
2.3.
Sifat Fisik Tanah Gambut
Sifat fisik tanah gambut yang penting adalah tingkat dekomposisi,
kerapatan lindak, adanya sifat kering tidak balik, mudah tidaknya terjadi erosi,
permeabilitas horisontal, drainase dan kemungkinan penyusutan (Hardjowigeno,
1996; Widjaja Adhi, 1984).
Sifat fisik gambut sangat penting dalam upaya reklamasi lahan
gambut/bergambut terutama dalam hubungannya dengan pengelolaan air. Haris
(1998) menyatakan bahwa pentingnya sifat fisik gambut berkaitan erat dengan
mekanika, keteknikan dan konservasi lahan gambut. Sifat fisik yang khas pada
gambut adalah penyusutan tidak dapat balik, penurunan muka lahan (subsidence)
dan mudah tererosi baik oleh air maupun angin. Dengan demikian karakteristik
fisik bahan gambut harus mendapat perhatian yang utama, khususnya dalam
perhitungan pengelolaan tanah dan air, sehingga gambut sebagai lahan pertanian
dan perkebunan terjamin kelestariannya.
Tanah gambut yang dijumpai di Indonesia merupakan tanah yang
terbentuk dari bahan organik pada daerah yang tergenang dan apabila dibuka dan
dikelola untuk pertanian tergolong tanah-tanah marginal dengan tingkat
produktivitas yang rendah, mudah rusak bila terjadi kekeringan berlebihan, dapat
mengalami subsidence bila didrainase. Menurut Driessen dan Suhardjo (1976
dalam Hardjowigeno 1989) faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan
permukaan lahan gambut (subsidence) adalah pembakaran sewaktu pembukaan
lahan dan setelah panen setiap musim, oksidasi karena drainase, dekomposisi dan
pengolahan tanah serta pencucian.
Daya menolak air pada tanah gambut dipengaruhi oleh adanya bahan
organik yang bersifat hidrofobik (Bisdom et al,. 1983), hifa dari fungi (Bond dan
Haris, 1964) dan asam humik (Robert dan Carbon, 1972). Pada gambut tropika,
daya menolak air bahan gambut lebih besar dimungkinkan oleh adanya asam
humik yang mendominasi air gambut. Sifat bahan gambut dalam menyerap air
kembali sangat tergantung pada variasi kandungan aromatik hidroksil dan
aromatik metoksil dalam senyawa humik (Fuschman, 1986). Dominasi gugus
hidroksil cenderung bersifat hidrofilik, sedangkan gugus metoksil bersifat
hidrofobik. Diperkuat oleh Tschapek et al (1972) bahwa gugus radikal CH, CH2,
dan CH3 bersifat hidrofobik dan gugus polar OH dan COOH lebih bersifat
hidrofilik.
Proses pengeringan dan pembasahan dalam intensitas yang tinggi
merupakan proses penting yang dapat mempengaruhi stabilitas bahan gambut.
Pernyataan ini didukung oleh Weiss et al. (1998) yang menyatakan bahwa
kelembaban bahan gambut sangat menetukan kestabilan bahan gambutnya.
Kelembaban mengatur proses-proses biogeokimia dalam bahan gambut.
Chefetz et al. (2000) juga mengatakan bahwa meningkatnya fraksi asam
humat pada fase akhir dekomposisi bahan organik tanah terjadi di dalam tanah
yang mempunyai kondisi basah dan mengandung O2 yang tinggi. Fakta di
lapangan
menunjukkan bahwa proses drainase yang berlebihan dapat
menyebabkan bahan gambut tidak mampu menyerap air kembali, artinya pada
kondisi demikian bahan gambut berada pada kondisi kering tidak balik
(irreversible drying). Salmah et al. (1991) melaporkan bahwa kondisi kering tidak
balik bahan gambut asal Malaysia terjadi bila kandungan air tanahnya mencapai
300-400 %.
Ketidakmampuan bahan gambut untuk menyerap air kembali dapat
disebabkan oleh adanya penurunan fungsi dari gugus fungsi COOH dan fenolatOH. Kedua gugus fungsi tersebut bersifat polar dan hidrofil sehingga fungsinya
dalam bahan gambut dapat membantu meningkatkan penyerapan air.
Sifat kering tidak balik memiliki hubungan yang erat dengan kerapatan
lindak (Andriesse, 1988). Pada kerapatan lindak yang rendah, kering tidak balik
dapat terjadi dan pada kerapatan lindak yang tinggi, gambut relatif dapat
menyerap air kembali. Oleh karena itu mengurangi terjadinya kering tidak balik,
maka perlu dilakukan pengelolaan air pada permukaan gambut.
Menurut Hardjowigeno (1996) bahwa tanah gambut yang masih kasar
mempunyai porositas tinggi, sukar menahan air dan hara serta dapat mengalami
penyusutan (subsidence) yang besar bila kering. Bobot jenis gambut sangat
rendah yaitu sekitar 0.1 g/cc pada fibrik dan 0.2 g/cc pada saprik, bila
dibandingkan dengan tanah mineral yang umumnya mempunyai bobot jenis 1.2
g/cc, maka kandungan hara gambut sangat rendah. Driessen dan Rochimah (1976)
mencoba menghitung total porositas tanah gambut di Indonesia menyatakan
bahwa total porositas tanah dipengaruhi oleh kerapatan lindak dan berat jenis
bahan. Dari hasil penelitian Tay (1969, dalam Andriesse, 1988) ternyata bahwa
gambut yang didominasi dengan jenis kayu-kayuan di Malaysia dengan tingkat
kematangan fibrik memiliki kapasitas menahan air 15-30 kali beratnya. Menurut
Subagyo et al. (1996) bahwa kemampuan gambut menahan air lebih besar dari
yang diretensi oleh tanah mineral. Dalam keadaan jenuh, kandungan air tanah
gambut dapat mencapai 4.5-30 kali bobot keringnya.
Dyal (1960, dalam Andriesse, 1988) melaporkan data retensi air dalam
tanah dengan menggunakan pressure plate membrane menunjukkan bahwa bahan
fibrik membebaskan air lebih banyak pada hisapan 1/10 bar, sedangkan pada
hisapan 15 bar gambut saprik yang lebih banyak menahan air. Berdasarkan tingkat
dekomposisi gambut, kandungan air gambut saprik < 450 persen, gambut hemik
450-850 persen dan gambut fibrik 850-3000 persen.
Sifat kering tidak balik tanah gambut sering kali berhubungan dengan
kadar air dan sifat kimia seperti kemasaman total, gugus fungsional COOH dan
OH fenolat. Menurut Tschapek et al. (1972) bahwa asam humik memiliki sifat
hidrophobik, tetapi tidak semua asam humik dapat bersifat hidrophobik, hal ini
tergantung pada formasi ikatan dan orientasi molekul (Ma’sum et al., 1988).
Andriesse (1988) menyatakan bahwa pada kondisi alami gambut mempunyai sifat
hidrofilik. Sifat gambut ini disebabkan tingginya kandungan air gambut serta
mempunyai kandungan koloid yang tinggi. Menurut Bisdom et al. (1993) bahwa
biodegradasi biomassa makromolekul organik menyebabkan terjadi reduksi
kering tidak balik bahan organik. Pada umumnya bahan organik segar dan separuh
terdekomposisi akan bersifat menolak air dibanding dengan bahan organik yang
terdekomposisi sempurna. Sesuai hasil penelitian Haris (1998) bahwa penurunan
kadar air akibat pengeringan cenderung menurunkan kemasaman total dan OH
fenolat pada tanah gambut.
Kering tidak balik terjadi setelah terjadinya periode pengeringan intensif,
dan ini merupakan sifat yang khas pada tanah gambut. Lapisan-lapisan permukaan
bahan-bahan organik pada banyak rawa-rawa gambut yang di drainase dan
direklamasi menunjukkan perilaku ini. Kering tidak balik (irreversible drying)
berkaitan dengan kemampuan gambut dalam menyimpan, memegang, dan
melepas air. Gambut yang mengalami kekeringan hebat setelah reklamasi atau
pembukaan lahan akan berkurang kemampuannya dalam memegang air. Keadaan
ini disebut dengan kering tidak balik. Gambut yang mengalami kering tidak balik
menjadi rawan terbakar. Gambut yang terbakar mempunyai kemampuan
memegang air tinggal sebesar 50% (Rieley et al., 1996).
Beberapa sifat fisik tanah yang perlu diketahui dalam pengelolaan lahan
gambut untuk pertanian seperti yang dikemukakan oleh Andriesse (1988) antara
lain : retensi air, ketersediaan air, konduktifitas hidrolik, kapasitas menyerap air,
kerapatan lindak, porositas, sisa pijar (kadar abu), kering tidak balik, dan sifat
basah kering. Permasalahan sifat fisik gambut sangat sulit diperbaiki dan
merupakan hambatan yang permanen dalam menentukan kesesuaian lahan untuk
pertanian dibandingkan dengan persoalan kekurangan dan keseimbangan unsur
hara dalam tanah.
Dyal (1960 dalam Andriesse, 1988) melaporkan bahwa retensi air tanah
gambut menurut tingkat dekomposisinya berbeda pada tekanan yang berbeda.
Salah satu sifat gambut yang sangat spesifik, yaitu apabila kadar air diturunkan
melampaui kadar air kritisnya maka gambut tidak mampu lagi menyerap air,
sehingga terbentuk pasir semu (Salmah et al., 1991; Haris 1998). Hal ini
berhubungan dengan kerapatan lindak (bulk density) yang rendah dan porositas
yang tinggi. Besarnya kerapatan lindak dan porositas bergantung pada tingkat
dekomposisi bahan organik dan kandungan mineral gambut (Azri, 1999).
Kerapatan lindak atau bobot isi yaitu bobot massa padat gambut tiap satuan
volume dan dinyatakan dengan satuan g/cm3 merupakan salah satu sifat gambut
yang penting, karena banyak menetukan sifat-sifat fisik yang lain.
Menurut Islami dan Utomo (1995) kedudukan ruang pori tanah sangat
penting untuk pertumbuhan tanaman. Pori adalah tempat tersimpan air dan udara,
tempat pergerakan air dan unsur hara. Akar tanaman pun tumbuh dan berkembang
lewat pori-pori tanah.
Porositas tanah gambut memegang peranan penting dalam pergerakan air
tanah. Gambut pada tingkat kematangan fibrik memiliki pergerakan air yang
tinggi karena memiliki pori makro yang dominan, sedangkan gambut saprik oleh
karena pelapukannya yang sudah lanjut menyebabkan berkurangnya ruang pori
makro sehingga laju pergerakan airnya lebih rendah.
Kadar abu dapat dijadikan gambaran kesuburan tanah gambut. Kadar abu
tanah gambut beragam antara 5%-65%. Makin tinggi kadar abu, makin tinggi
mineral yang terkandung pada gambut. Hasil penelitian Suryanto (1988)
menunjukkan kadar abu berkorelasi dengan pH tanah, tergantung pada larutan
yang digunakan. Makin tinggi kadar abu, makin tinggi pH-H2O, tetapi sebaliknya
makin rendah pH-KCl. Hal ini berkaitan dengan kation yang terkandung dalam
gambut, maka makin rendah tingkat keasaman tanahnya.
Kandungan unsur dalam abu gambut terutama adalah ion-ion netral. Kadar
hara mineral dalam abu gambut berkisar 4% bobot abu, sebagian besar kalium dan
magnesium. Menurut Maas et al. (1979), kalium dan magnesium yang terdapat
dalam tanah gambut diduga berasal dari bahan penyusun silikat atau susupan air
payau.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3. 1.
Waktu, Lokasi Pengambilan Tanah Gambut dan Tempat Penelitian
Bahan gambut berasal dari Kabupaten Dumai, Bengkalis, Indragiri Hilir,
Siak, dan Kampar, Provinsi Riau dari berbagai fisiografi, seperti gambut pantai,
gambut transisi, dan gambut pedalaman. Bahan gambut diambil pada bulan
Januari 2010. Pengambilan contoh profil tanah gambut dilakukan diberbagai
penggunaan lahan meliputi kebun kelapa sawit berumur kurang dari 6 tahun dan
lebih dari 6 tahun serta di hutan sekunder di sekitar wilayah tersebut.
Gambar 1. Peta Lokasi Pengambilan Contoh Bahan Gambut, Provinsi Riau.
Pengamatan dilakukan dengan cara pengeboran secara bertahap mulai dari
permukaan tanah sampai lapisan mineral kemudian ditentukan batas-batas
lapisannya berdasarkan tingkat dekomposisi. Batas-batas lapisan gambut
ditentukan dengan memberikan tanda pembatas dengan pisau pada gambut yang
berada di dalam bor gambut. Batas-batas lapisan gambut dapat ditentukan
berdasarkan sifat morfologi yang berbeda.
Analisis sifat kimia dan fisik tanah dilakukan di Laboratorium Kimia dan
Kesuburan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang berlangsung dari bulan Februari 2010
sampai Juni 2010.
3.2.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan selama proses penelitian meliputi bahan
tanah gambut Riau, Na-pirofosfat, aquades, dan KCl.
Alat-alat yang digunakan meliputi: gelas ukur, gelas piala, ayakan 100 µm,
buku Munsell Soil Color Chart, piring porselen, termometer, pH meter, kertas
saring, botol film, cawan alumunium, oven, alat pengocok, timbangan, bor
gambut, botol tetes mata yang mempunyai diameter 6 mm, kaca pembesar dsb.
3. 3.
Analisis Laboratorium
3. 3. 1. Penetapan Kadar Serat Gambut
Penetapan kadar serat gambut berdasarkan metode Notohadiprawiro
(1985) dan Soil Survey Staff (1999) yang dimodifikasi. Prosedur penetapan kadar
serat gambut sebagai berikut: bahan gambut dibersihkan dari bagian-bagian kasar
(akar, tunggul-tunggul, daun-daun). Bahan gambut sebanyak 10 ml dimasukkan
ke dalam gelas ukur 50 ml yang telah berisi 20 ml Na-pirofosfat 0.025 M. Bahan
gambut yang terisi dalam gelas ukur tersebut dipindahkan ke dalam gelas piala
100 ml, diaduk merata dan dibiarkan semalam. Pada hari berikutnya, serat
berukuran 100 µm dipisahkan dengan saringan 100 µm. Kandungan serat
berukuran 100 µm ditentukan volumenya dan dibandingkan dengan volume
gambut sebelumnya. Volume serat gambut dicatat dalam pecahan perseratus atau
%. Persentase volume serat gambut kemudian di plotkan dengan data indeks
pirofosfat berdasarkan metode Notohadiprawiro (1985) dan Soil Survey Staff
(1999) yang dimodifikasi sehingga didapati tingkat dekomposisi dari gambut.
3. 3. 2. Penetapan Indeks Pirofosfat
Uji warna untuk penetapan kelarutan serat dalam Na-pirofosfat
berdasarkan metode Notohadiprawiro (1985) dan Soil Survey Staff (1999) yang
dimodifikasi. Kelarutan serat dalam Na-Pirofosfat gambut ditentukan dengan
pengujian warna dengan menggunakan buku Munsell Soil Color Chart sebagai
berikut: bahan gambut diambil ½ sendok teh dan diletakkan di atas piring
porselen sambil ditekan-tekan agar menjadi mampat. Na-pirofosfat ditimbang 1
gram di dalam botol film, dan ditambahkan 4 ml aquades serta diaduk merata.
Gambut yang telah dimampatkan tadi dipindahkan ke dalam larutan Na-pirofosfat
tersebut, diaduk merata serta dibiarkan semalam. Pada hari berikutnya, gambut
yang bercampur dengan larutan Na-pirofosfat diaduk lagi secara merata. Sepotong
kertas saring berukuran panjang dan lebar 5 cm dan 1 cm diletakkan secara tegak
di dalam campuran tersebut, dan dibiarkan sebentar sampai potongan kertas saring
tadi menjadi basah hingga ujungnya. Warna yang timbul dicocokkan dengan
warna Munsell dan notasinya dicatat dengan seksama.
3. 3. 3. Penetapan Kadar Air
Prosedur penetapan kadar air berdasarkan metode gravimetri sebagai
berikut: Cawan alumunium yang kosong ditimbang misal (a gram). Bahan gambut
dimasukkan kedalam cawan alumunium dan ditimbang misal (b gram). Bahan
gambut dikeringkan pada suhu 105° C selama 24 jam atau setelah dicapai bobot
gambut konstan. Gambut di dalam cawan alumunium didinginkan didalam
eksikator. Gambut yang telah dikeringkan dan cawan alumunium ditimbang,
misal (c gram). Kadar air (KA) gambut dihitung sebagai berikut:
KA (%) = (b-c)/(c-a) x 100.
3. 3. 4. Penetapan Kadar abu
Prosedur penetapan kadar abu berdasarkan metode pengabuan kering
(Mebius) sebagai berikut: Cawan porselin kosong ditimbang (a gram), kemudian
gambut dimasukkan 2/3 volume cawan dan ditimbang (b gram). Gambut tadi
dibakar dengan cara: Cawan porselin yang berisi gambut diletakkan di atas kasa
tripod yang di bawahnya terdapat Bunsen yang sedang menyala. Pekerjaan ini
selesai bila gambut sudah tidak mengeluarkan asap. Gambut didinginkan selama
15 menit. Gambut dimasukkan ke dalam tanur listrik tegangan tinggi. Suhu tanur
listrik diatur mula-mula 105o C selama 4 jam atau lebih, dimatikan tanur listrik,
dibiarkan Gambut di dalam tanur listrik sampai dingin, kemudian ditimbang
bobotnya (c gram). Dari data ini dapat dihitung kadar air gambut. Kadar air
gambut = [b-c]/[c-a] x 100%. Gambut dimasukkan kembali ke dalam tanur listrik,
dihidupkan tanur listrik, diatur suhu tanur listrik 200o C, 300o C, 400o C, dengan
selang waktu 0.5 jam. Kemudian suhu tanur listrik ditingkatkan terus sampai
mencapai 950o C dengan selang suhu 100o C. Waktu yang diperlukan untuk
pembakaran gambut lebih kurang semalam (12 jam) atau gambut telah berwarna
putih keabu-abuan. Gambut diangkat dari tanur listrik, kemudian dimasukkan ke
dalam eksikator selama 0.5 jam, lalu ditimbang dengan neraca (d gram).
Dari data ini dapat dihitung kadar abu gambut dengan rumus sebagai berikut:
Kadar abu gambut = [d-a]/[b-a] x 100.
3. 3. 5. Penetapan C-organik
Penetapan C-organik berdasarkan metode pengabuan kering (Mebius)
sebagai berikut: Bahan gambut dalam cawan porselin (a gram) yang telah
ditimbang sebesar 25 g dipanaskan dalam oven pada suhu 105o C selama 24 jam.
Kemudian didinginkan didalam eksikator dan ditentukan bobotnya (b gram).
Bahan gambut dipanaskan dalam tanur pembakaran pada suhu 375o C selama 16
jam (suhu 700o C selama 3 jam). Dinginkan dalam eksikator lalu timbang (c
gram).
Dari data ini dapat dihitung kadar abu gambut dengan rumus sebagai berikut:
% C= [b-c]/[b-a] x 100/1,723
(Angka 1,723 berasal dari 58% C yang didapat dari metode Mebius).
b-c= bahan organik yang hilang, b-a= anhidrat (sudah kehilangan air).
3. 3. 6. Penetapan Peluang Kejadian Kering Tidak Balik
Kering tidak balik dari gambut ditetapkan berdasarkan metode Water
Drop Penetration Time (Bisdom, Dekker, & schoute, 1993) berdasarkan pada
kemampuan gambut tersebut untuk menolak air selama waktu tertentu. Peluang
kejadian kering tidak balik ditetapkan sebagai berikut : bahan gambut dikeringkan
didalam oven pada suhu 50° C dalam selang waktu tertentu. Bahan gambut
dibiarkan di luar oven selama 2 hari sampai tercapai kesetimbangan dengan
kelembaban udara luar. Kemudian ke bahan gambut tersebut diteteskan tiga tetes
aquades dengan menggunakan botol tetes mata yang mempunyai diameter 6 mm,
dan diamati sudut kontak (contact angle) antara lapisan air dan permukaan
gambut yang dibasahi dengan mengunakan kaca pembesar. Dalam waktu yang
bersamaan, dicatat waktu penetrasi mulai saat tetes pertama sampai air masuk
kedalam gambut. Bila sudut kontak > 90° dengan waktu penetrasi > 5 detik, maka
dikatakan bahwa gambut tidak dapat menyerap air kembali, sedangkan bila sudut
kontak < 90° dengan waktu penetrasi < 5 detik, maka gambut masih dapat
menyerap air kembali.
Untuk mengukur kadar air kritis, dilakukan pengeringan oven pada suhu
50° C dengan lamanya 15, 30, 45, 55, 65, 75, 90, 105, 120, 135, 150 menit,
sehingga diperoleh data proporsi masing-masing unit contoh untuk suatu sebaran
peluang binomial terjadi atau tidak terjadinya kering tidak balik.
Tabel 1. Klasifikasi Bahan Menolak Air Berdasarkan Metode Water Drop
Penetration Time (Bisdom et al., 1993).
WDPT (detik)
<5
5-60
60-600
Klasifikasi Bahan
Bahan dapat menerap air kembali
Bahan menolak air lemah
Bahan menolak air kuat
600-3600
Bahan menolak air sangat kuat
>3600
Bahan menolak air ekstrim kuat
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau
Bahan gambut dari Riau dianalisis berdasarkan karakteristik ekosistem
atau fisiografi gambut yaitu gambut marine (coastal peat swamp), gambut payau
(brackis peat swamp) dan gambut air tawar (fresh water peat swamp).
Karakteristik ekosistem dan lokasi pengambilan bahan gambut dan penggunaan
lahannya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Lokasi Pengamatan dan Pengambilan Contoh Bahan Gambut.
No.
Lokasi
Gambut
Kabupaten
Dumai
Kabupaten
Bengkalis
Deskripsi Lokasi Gambut
1
Karakteristik
Ekosistem
Gambut Marine
2
Gambut Payau
Kabupaten Siak
Gambut
Tawar
Kabupaten
Indragiri Hilir
Desa
Kempas Jaya
Kabupaten
Kampar
Hutan Sekunder, Pandanus dan Oncosperma
(Dipterocarpacea)
Perkebunan Kelapa Sawit <6 tahun (12 bulan)
Perkebunan Kelapa Sawit > 6 tahun (9 tahun)
Profil: TKWL 02 <6/1, TKWL 01 SF,
KR. Siak 3 >6/3
Perkebunan Kelapa Sawit >6 tahun (15 Tahun)
Profil: Galuh 4 >6/4
Didominasi oleh Pholidocarpus
3
Air
Perkebunan Kelapa Sawit < 6 tahun (37 bulan)
Perkebunan Kelapa Sawit > 6 tahun (12 tahun)
Hutan Campuran, Jenis mangrove dan nipa
Profil: BM <6/1, BM >6/2 .
Bahan gambut marine diambil di kebun kelapa sawit yang telah berumur
lebih dari 6 tahun (12 tahun) (BM 2) dan kelapa sawit yang berumur kurang dari 6
tahun (37 bulan) (BM 1).
Berdasarkan sistem klasifikasi Taksonomi Tanah (2006), tanah gambut
marine di kebun kelapa sawit berumur kurang dari 6 tahun tergolong dalam Typic
Tropohemist (Lampiran 1). Tanah tersebut mempunyai ketebalan bahan gambut
700 cm, kedalaman air tanah 72 cm di bawah permukaan tanah dan kondisi
drainase agak cepat. Tanah gambut ini terletak di Kecamatan Bukit, Kabupaten
Bengkalis dengan letak lintang 01o 34’ 22.7” LU dan 101 o 50’ 55.0” BT.
Gambut marine di kebun kelapa sawit berumur lebih dari 6 tahun (12
tahun) tergolong dalam Teric Tropohemist (Lampiran 2). Tanah tersebut
mempunyai ketebalan bahan gambut 55 cm, kedalaman air tanahnya mencapai 23
cm dan kondisi drainase pada tanah ini tergolong agak cepat. Tanah gambut ini
terletak pada lintang 01o 46’ 51.1” LU dan 101 o 18’ 37.6” BT.
Tanah gambut payau diambil pada kebun kelapa sawit yang dikelola lebih
dari 6 tahun (KR. Siak 3), dan kebun kelapa sawit yang dikelola kurang dari 6
tahun (TKWL 02) serta tanah gambut di hutan sekunder (Forest) yang berdekatan
dengan wilayah tersebut.
Gambut payau di kebun kelapa sawit berumur kurang dari 6 tahun (12
bulan) tergolong dalam Typic Tropohemist (Lampiran 3). Tanah tersebut
mempunyai ketebalan bahan gambut 260 cm, kedalaman air tanahnya mencapai
74 cm dan kondisi drainase pada tanah ini tergolong agak lambat. Tanah gambut
ini terletak pada lintang 00o 58’ 35.3” LU dan 101 o 58’ 44.7” BT.
Gambut payau di kebun kelapa sawit berumur lebih dari 6 tahun (9 tahun)
tergolong dalam Teric Tropohemist (Lampiran 4). Tanah tersebut mempunyai
ketebalan bahan gambut 44 cm, kedalaman air tanahnya mencapai 40 cm dan
kondisi drainase pada tanah ini tergolong cepat. Tanah gambut ini terletak pada
lintang 01o 07’ 52.6” LU dan 102 o 03’ 53.2” BT.
Gambut payau di hutan tergolong dalam Typic Tropohemist (Lampiran 5).
Vegetasi yang hidup di hutan gambut payau adalah Pandanus dan Oncosperma
(Dipterocarpacea). Tanah ini mempunyai ketebalan bahan gambut lebih dari 480
cm, kedalaman air tanahnya mencapai 60 cm dan kondisi drainase pada tanah ini
tergolong agak cepat. Tanah gambut ini terletak pada Kecamatan Bunga Raya,
Kabupaten Siak dengan letak lintang 00o 58’ 42 “ LU dan 101o 57’ 16.7 “ BT.
Tanah gambut air tawar diambil di kebun kelapa sawit berumur lebih dari
6 tahun (Galuh 4) yaitu di Kebun PTPN V Sei Galuh, Kabupaten Kampar,
Provinsi Riau. Gambut air tawar di kebun kelapa sawit berumur lebih dari 6
tahun (15 tahun) tergolong dalam Typic Tropohemist (Lampiran 6). Tanah
tersebut mempunyai ketebalan bahan gambut 240 cm, kedalaman air tanahnya
mencapai 33 cm dan kondisi drainase pada tanah ini tergolong agak lambat.
Tanah gambut ini terletak pada lintang 00o 29’ 58.5” LU, 101o 14’ 40.8” BT.
Tanah gambut marine yang digunakan selama kurang dari 6 tahun
memiliki ketebalan lebih besar dibandingkan tanah gambut marine yang dikelola
lebih dari 6 tahun. Tanah gambut payau yang digunakan selama kurang dari 6
tahun juga memiliki ketebalan lebih besar dibandingkan tanah gambut payau yang
dikelola lebih dari 6 tahun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ketebalan
tanah gambut berkurang dengan lama penggunaan terutama akibat drainase,
dekomposisi maupun pemadatan.
4.2.
Tingkat Dekomposisi, Karbon Organik dan Kadar Abu Bahan
Gambut
Kadar serat gambut adalah volume bahan organik tidak terdekomposisi
yang menyusun tanah organik yang berasal dari vegetasi di wilayah tersebut.
Jaringan-jaringan tanaman tersebut masih mempertahankan struktur sel yang
dapat dikenali tanaman asalnya. Pada bahan-bahan yang sangat terdekomposisi,
serat hampir tidak ada. Kadar serat gambut berperan sebagai salah satu faktor
penentu klasifikasi gambut berdasarkan dekomposisi dan tingkat kematangannya.
Kadar serat gambut penting peranannya sebagai penyusun dasar atau kerangka
tanah gambut.
Nilai rataan kadar serat gambut di Riau bervariasi dengan kedalaman. Nilai
kadar serat rata-rata meningkat dengan makin dalamnya lapisan gambut. Kenaikan
nilai kadar serat menunjukkan kandungan karbon organik yang semakin tinggi,
yang berarti laju dekomposisi bahan gambut lebih lambat dibandingkan lapisan
atasnya. Nilai kadar serat gambut Riau disajikan pada Tabel 3.
Pada gambut marine yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari
6 tahun memiliki kadar serat berkisar dari 30-50% dan nilai indeks pirofosfat
sebesar 0 sampai pada kedalaman 60 cm. Berdasarkan klasifikasi bahan gambut
menurut Soil Survey Staff (1999), kadar serat dan indeks pirofosfat tersebut
tergolong mempunyai tingkat dekomposisi hemik. Gambut marine yang
digunakan sebagai kebun kelapa sawit kurang dari 6 tahun memiliki kadar serat
berkisar dari 60-70% dan nilai indeks pirofosfat sebesar 1,5-4 sampai pada
kedalaman 110 cm dan mempunyai tingkat dekomposisi hemik, sedangkan pada
kedalaman 110-200 cm mempunyai tingkat dekomposisi fibrik.
Pada gambut payau yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari
6 tahun memiliki kadar serat 40% dan nilai indeks pirofosfat sebesar 0-1 pada
kedalaman 0-50 cm tergolong mempunyai tingkat dekomposisi Hemik. Gambut
payau yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit kurang dari 6 tahun kadar serat
berkisar dari 60-70% dan nilai indeks pirofosfat sebesar 2-4 sampai pada
kedalaman 250 cm tergolong mempunyai tingkat dekomposisi hemik. Pada
gambut payau di hutan memiliki kadar serat berkisar dari 40-70% sampai pada
kedalaman 250 cm dan 80% pada kedalaman 250-350 cm. Dengan kadar serat dan
indeks pirofosfat tersebut sampai kedalaman 250 cm mempunyai tingkat
dekomposisi hemik, sedangkan pada kedalaman 250-350 cm mempunyai tingkat
dekomposisi fibrik.
Tabel 3. Hubungan Kadar Serat, Indeks Pirofosfat dengan Tingkat Dekomposisi Gambut di Riau Berdasarkan Fisiografi Marine,
Payau, dan Air Tawar.
Fisiografi Marine
Ketebalan
(cm)
KS
IP
Tingkat
Dekomposisi
Ketebalan
(cm)
Umur Kelapa Sawit >6 Tahun
Fisiografi Payau
Tingkat
KS
IP
Dekomposisi
Fisiografi Air Tawar
Ketebalan
(cm)
KS
IP
Tingkat
Dekomposisi
0-20
30%
0
Hemik
0-14
40%
1
Hemik
0-10
30%
2
Hemik
20-60
60%
0
Hemik
14-44
40%
0
Hemik
10-35
40%
3
Hemik
-
-
-
-
-
-
-
-
35-80
50%
4
Hemik
-
-
-
-
-
-
-
-
80-240
60%
4
Hemik
Umur Kelapa Sawit <6 Tahun dan Hutan Sekunder
Fisiografi Payau
Fisiografi Marine
Fisiografi Hutan Sekunder
0-20
20-60
60%
60%
1,5
1,5
Hemik
Hemik
0-20
20-78
60%
60%
2
2
Hemik
Hemik
0-20
20-50
40%
50%
4
3
Hemik
60-110
60%
4,0
Hemik
78-115
60%
2
Hemik
50-75
50%
4
Hemik
110-200
70%
4,0
Fibrik
115-260
70%
4
Hemik
75-120
50%
4
Hemik
-
-
-
-
-
-
-
-
120-250
70%
4
Hemik
-
-
-
-
-
-
-
-
250-350
80%
4
Fibrik
Keterangan: KS = Kadar Serat, IP = Indeks Pirofosfat
Hemik
Pada gambut air tawar yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih
dari 6 tahun kadar serat berkisar dari 30-60% dan nilai indeks pirofosfat sebesar
2-4 sampai pada kedalaman 240 cm dan mempunyai tingkat dekomposisi hemik.
Tanah gambut air tawar lebih dari 6 tahun rata-rata memiliki nilai kadar
serat yang lebih tinggi pada lapisan teratas gambut (0-20 cm) daripada gambut
marine dan payau lebih dari 6 tahun. Hal tersebut menunjukkan gambut air tawar
memiliki kandungan karbon organik yang lebih tinggi dari gambut marine dan
payau. Pada pengelolaan yang sama nilai kadar serat tersebut menunjukkan bahwa
gambut marine telah terdekomposisi lebih lanjut daripada gambut air tawar
walaupun laju dekomposisi gambut beragam dengan kedalaman tanah.
Tanah gambut payau lebih dari 6 tahun dan kurang dari 6 tahun rata-rata
memiliki nilai kadar serat yang lebih tinggi pada lapisan teratas gambut (0-20 cm)
daripada gambut marine dengan pengelolaan yang sama. Hal tersebut
menunjukkan gambut payau memiliki kandungan karbon organik yang lebih
tinggi dari gambut marine. Pada pengelolaan yang sama nilai kadar serat tersebut
menunjukkan laju dekomposisi gambut marine lebih cepat dari gambut payau dan
air tawar.
Gambut marine dan transisi berumur kurang dari 6 tahun rata-rata
memiliki nilai kadar serat yang lebih tinggi daripada gambut berumur lebih dari 6
tahun. Hal ini menunjukkan bahwa umur dan waktu pengelolaan tanaman kelapa
sawit berpengaruh terhadap laju dekomposisi semakin lama waktu pengelolaan
lahan gambut, maka laju dekomposisi semakin meningkat.
Tingginya kadar serat gambut air tawar disebabkan gambut ini terbentuk
pada lokasi yang mendapatkan air yang berasal dari air hujan saja. Ketebalan
gambut air tawar yang tinggi membuat air sungai tidak dapat melimpas sampai ke
wilayah pembentukan gambut. Berdasarkan proses pembentukannya, gambut air
tawar tergolong sebagai gambut ombrogen yang terbentuk terutama dalam
lingkungan yang dipengaruhi genangan air hujan dan vegetasi yang tumbuh di
atasnya miskin hara dan bersifat oligotropik dengan ciri kemasaman yang tinggi
dan kadar hara rendah.
Gambut payau mendapatkan deposit air tidak hanya dari air hujan tetapi
juga dari limpasan air sungai yang membawa garam-garam mineral berupa kationkation basa K, Ca dan Mg sedangkan gambut marine mendapatkan deposit air
juga dari pengaruh pasang surut air laut, sehingga garam-garam mineral yang
terkandung lebih tinggi dan kadar serat pada lokasi ini menjadi lebih rendah.
Kadar serat meningkat dengan bertambahnya ketebalan gambut. Semakin
tebal gambut semakin rendah laju dekomposisinya. Gambut terbentuk akibat
proses dekomposisi bahan-bahan organik tumbuhan yang terjadi secara anaerob
dengan laju akumulasi bahan organik lebih tinggi dibandingkan laju
dekomposisinya. Akumulasi gambut umumnya akan membentuk lahan gambut
pada lingkungan jenuh atau tergenang air, atau pada kondisi yang menyebabkan
aktivitas mikroorganisme terhambat. Adanya keragaman tingkat kematangan pada
tiap gambut di setiap fisiografi (marine, payau, dan air tawar) disebabkan oleh
adanya faktor yang mempengaruhi pembentukan gambut seperti vegetasi yang
tumbuh diatas permukaan, bahan mineral yang berada di bawahnya, aktivitas
mikroorganisme, lingkungan pembentukan gambut dan pengelolaan yang sama
untuk kebun kelapa sawit. Umur dan waktu pengelolaan tanaman kelapa sawit
berpengaruh terhadap proses laju dekomposisi. Semakin lama pengelolaan kebun
kelapa sawit maka semakin tinggi laju dekomposisi gambut sehingga
mengakibatkan berkurangnya ketebalan gambut.
Kadar C-organik adalah parameter laju dekomposisi bahan organik dimana
C-organik dioksidasi menghasilkan CO2, sehingga dengan meningkatnya laju
dekomposisi bahan organik maka kadar C-organik akan menurun. Karbon
merupakan penyusun utama bahan organik. Karbon ditangkap tanaman berasal
dari CO2 udara, menjadi jaringan tanaman melalui fotosintesis, kemudian bahan
organik didekomposisikan kembali dan membebaskan sejumlah karbon.
Kadar C-organik tanah gambut berbeda dengan bertambahnya kedalaman
tanah gambut. Nilai rata-rata C-organik menunjukkan peningkatan nilai pada
lapisan bagian bawah gambut, karena gambut pada lapisan laju dekomposisinya
lebih tinggi daripada lapisan yang ada di bawahnya. Kadar C-organik tanah
gambut asal Riau disajikan pada Tabel 4.
Pada gambut marine yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari
6 tahun kadar C-organik berkisar dari 12,91-34,70% sampai pada kedalaman 120
cm. Gambut marine yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit kurang dari 6
tahun memiliki kadar C-organik berkisar dari 24,25-46,45% sampai pada
kedalaman 200 cm.
Pada gambut payau yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari
6 tahun memiliki kadar C-organik berkisar dari 9,70-47,70% sampai pada
kedalaman 120 cm. Gambut payau yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit
kurang dari 6 tahun kadar C-organik berkisar dari 7,19-53,66% sampai pada
kedalaman 350 cm. Pada gambut payau di hutan memiliki kadar C-organik
berkisar dari 56,77-57,25% sampai pada kedalaman 350 cm.
Pada gambut air tawar yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih
dari 6 tahun kadar C-organik berkisar dari 56,53-57,69% sampai pada kedalaman
240 cm. Kadar C-organik gambut air tawar lebih tinggi daripada gambut payau
dan marine. Hal ini karena laju dekomposisi gambut marine dan payau lebih
tinggi daripada gambut air tawar, sehingga C-organik tersisa dalam gambut air
tawar lebih tinggi. Kadar C-organik gambut menurun pada tingkat dekomposisi
yang lebih tinggi.
Kadar C-organik gambut payau di hutan lebih tinggi dibandingkan gambut
yang dikelola sebagai perkebunan kelapa sawit. Gambut payau yang dikelola pada
kebun kelapa sawit lebih dari 6 tahun dan kurang dari 6 tahun rata-rata memiliki
kadar C-organik yang lebih tinggi daripada gambut marine pada pengelolaan yang
sama.
Gambut marine dan payau yang berumur lebih dari 6 tahun memiliki
kandungan C-organik yang lebih rendah dibandingkan gambut berumur kurang
dari 6 tahun. Adanya tindakan pengelolaan lahan gambut dalam jangka waktu
yang lebih lama dapat mempercepat laju dekomposisi dan proses pematangan
gambut, sehingga kandungan C-organik gambut menjadi rendah.
Pengelolaan gambut untuk perkebunan kelapa sawit mengakibatkan kadar
C-organik tanah menurun. Pengaruh fisiografi berpengaruh pada kadar C-organik
didalam tanah gambut. Laju dekomposisi gambut air tawar yang lebih lambat
akibat lebih miskin membuat kandungan C-organik tanah gambut ini menjadi
lebih tinggi di bandingkan gambut payau dan pantai. Berdasarkan tingkat
kesuburannya gambut marine digolongkan sebagai gambut eutrofik yang banyak
mengandung bahan mineral, terutama kalsium karbonat. Gambut eutrofik
termasuk gambut yang subur karena memperoleh perkayaan hara mineral secara
alami dari lingkungannya. Sebagai akibat laju dekomposisi gambut marine lebih
tinggi dibandingkan gambut pada fisiografi lainnya sehingga kadar C-organiknya
tergolong rendah.
Tabel 4. Nilai C-organik Gambut di Riau Berdasarkan Fisiografi Marine, Payau, dan Air Tawar.
Marine (> 6 Thn)
Ketebalan
C(cm)
organik
0-20
24.78%
20-60
18.27%
60-110
11.40%
110-200
7.53%
Payau (> 6 Thn)
Ketebalan
C(cm)
organik
0-14
54.59%
14-44
54.70%
44-55
43.84%
55-120
9.86%
Fisiografi
Air Tawar (> 6Thn)
Hutan Sekunder
Ketebalan
CKetebalan
C(cm)
organik
(cm)
organik
0-10
56.00%
0-20
56.77%
10-35.
56.70%
20-50
57.27%
35-80
57.52%
50-75
57.87%
80-240
57.87%
75-120
57.16%
120-250
57.87%
250-350
57.25%
Marine (< 6 Thn)
Ketebalan
C(cm)
organik
0-20
55.69%
20-60
56.80%
60-110
57.16%
110-200
28.25%
Payau (< 6 Thn)
Ketebalan
C(cm)
organik
0-20
55.26%
20-78
57.07%
78-115
57.04%
115-260
50.40%
Tabel 5. Nilai Kadar Abu Gambut di Riau Berdasarkan Fisiografi Marin, Payau, dan Air Tawar.
Marine (> 6 Thn)
Ketebalan
KA
(cm)
0-20
57.18%
20-60
68.42%
60-110
80.31%
110-200
86.99%
Payau (> 6 Thn)
Ketebalan
KA
(cm)
0-14
5.67%
14-44
5.48%
44-55
55-120
Keterangan: KA = Kadar Abu
Fisiografi
Air Tawar (> 6Thn)
Hutan Sekunder
Ketebalan
Ketebalan
KA
KA
(cm)
(cm)
0-10
3.23%
0-20
1.90%
10-35.
2.03%
20-50
1.04%
35-80
0.61%
50-75
1.04%
80-240
0.61%
75-120
1.22%
120-250
1.22%
250-350
1.06%
Marine (< 6 Thn)
Ketebalan
KA
(cm)
0-20
3.77%
20-60
1.85%
60-110
1.23%
110-200
-
Payau (< 6 Thn)
Ketebalan
KA
(cm)
0-20
4.50%
20-78
1.39%
78-115
1.43%
115-260
91,54%
Kadar abu tanah gambut menunjukkan volume bahan mineral yang
dikandung oleh bahan gambut. Kandungan mineral yang besar didalam tanah,
mengakibatkan kadar abu yang tinggi. Kadar abu adalah sisa proses
oksidasi/pembakaran dari bahan mineral yang terkandung di dalam gambut. Kadar
abu gambut Riau bervariasi menurut kedalaman, nilai kadar abu rata-rata
menunjukkan penurunan dengan semakin dalamnya gambut. Nilai kadar abu pada
lapisan atas tanah gambut lebih tinggi dari lapisan gambut dibawahnya.
Rendahnya kadar abu pada lapisan bawah gambut menunjukkan bahwa pada
lapisan ini didominasi oleh bahan-bahan organik yang belum terlapuk.
Rataan kadar abu gambut Riau berdasarkan fisiografi gambut (marine,
payau, dan air tawar) disajikan pada Tabel 5. Hanya pada gambut marine yang
digunakan lebih dari 6 tahun yang memiliki kadar abu yang tinggi sekitar 50-80%.
Pada gambut marine yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari
6 tahun memiliki kadar abu berkisar dari 57,18-80,31% sampai pada kedalaman
80 cm. Gambut marine yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit kurang dari 6
tahun memiliki kadar abu berkisar dari 3,77-51,59% sampai pada kedalaman 200
cm.
Pada gambut payau yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari
6 tahun memiliki kadar abu berkisar dari 5,48-5,67% sampai pada kedalaman 50
cm. Gambut payau yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit kurang dari 6
tahun kadar abu berkisar dari 4,50-91,54% sampai pada kedalaman 350 cm. Pada
gambut payau di hutan memiliki kadar abu berkisar dari 1,04-1,90% sampai pada
kedalaman 350 cm. Pada gambut air tawar yang digunakan sebagai kebun kelapa
sawit lebih dari 6 tahun kadar abu berkisar dari 0,61-3,23% sampai pada
kedalaman 80 cm.
Kadar abu gambut air tawar lebih rendah daripada gambut payau dan
marine. Umumnya kadar abu gambut meningkat pada tingkat dekomposisi yang
lebih tinggi. Kadar abu lapisan terbawah gambut marine dan payau beberapa lebih
tinggi dibandingkan lapisan atasnya. Hal ini disebabkan pada lapisan terbawah
gambut terdapat lapisan mineral liat yang mengandung banyak kation-kation.
Gambut marine yang digunakan sebagai kebun kelapa sawit lebih dari 6
tahun memiliki kadar abu yang tergolong tinggi. Hal ini disebabkan tingginya laju
dekomposisi tanah gambut yang membuat gambut semakin matang sehingga
proporsi komponen mineral terhadap bahan gambut lebih tinggi.
Kadar abu gambut payau yang masih berupa hutan sekunder rata-rata lebih
rendah dibandingkan gambut dari ketiga fisiografi lainnya. Gambut payau lebih
dari 6 tahun dan kurang dari 6 tahun rata-rata memiliki nilai kadar abu yang lebih
rendah daripada gambut marine lebih dari 6 tahun dan kurang dari 6 tahun. Hal ini
menunjukkan tingkat laju dekomposisi gambut payau lebih rendah daripada
gambut marine.
Berdasarkan umur tanaman kelapa sawit, gambut marine dan payau pada
umur tanaman lebih dari 6 tahun memiliki kadar abu yang lebih rendah
dibandingkan dengan gambut umur tanaman kurang dari 6 tahun. Tanah gambut
yang telah diusahakan sebagai perkebunan kelapa sawit telah mengalami
peningkatan kadar abu sebagai akibat pengelolaan kebun kelapa sawit. Hal ini
menunjukkan bahwa tindakan pengelolaan lahan gambut dalam jangka waktu
yang lebih lama dapat mempercepat pematangan bahan gambut, sehingga kadar
abu gambut menjadi tinggi.
Pengelolaan gambut untuk perkebunan kelapa sawit mengakibatkan kadar
abu meningkat. Pengaruh fisiografi menentukan kadar abu di dalam gambut.
Tanah gambut marine yang mendapat deposit air dari limpasan sungai dan pasang
surut air laut membuat kadar abu menjadi lebih tinggi dibandingkan gambut
payau dan air tawar karena tanah banyak mengandung garam-garam mineral (Ca,
Mg, K).
4.3.
Kadar Air Kritis dan Porositas Bahan Gambut
Kadar air kritis menggambarkan ikatan antara air dan bahan organik yang
terdapat dalam tanah gambut di mana jika terjadi pengeringan lebih lanjut maka
gambut dapat mengalami kejadian kering tidak dapat balik. Ikatan antara air
dengan bahan organik memiliki peranan yang penting dalam ketersediaan air di
dalam tanah gambut. Air yang terikat oleh asam organik berpengaruh terhadap
stabilitas ikatan unsur hara dalam tanah.
Kering tidak balik gambut adalah keadaan di mana tanah gambut tidak
dapat menyerap air kembali setelah terjadi proses pengeringan. Gugus karboksil
dan fenolik dari asam, humus, dan lignin berpengaruh terhadap sifat kering tidak
balik tanah gambut. Dengan berkurangnya gugus-gugus karboksil dan fenolik
yang bersifat hidrofilik pada tanah gambut akan menurunkan ketahanan gambut
terhadap kejadian kering tidak balik setelah terjadi pengeringan lebih lanjut.
Berkurangnya kadar air tanah gambut dapat meningkatkan proporsi kering tidak
balik. Perubahan menjadi kering tidak balik ini disebabkan gambut yang suka air
(hidrofilik) berubah menjadi tidak suka air (hidrofobik) karena kekeringan.
Akibatnya kemampuan menyerap air gambut menurun karena laju dekomposisi
meningkat sehingga gugus-gugus karboksilat COOH dan fenolat (–OH) yang
bersifat hidrofilik berkurang dan berubah bentuk menjadi senyawa yang bersifat
hidrofobik, sehingga gambut sulit diusahakan bagi pertanian.
Tabel 6 menyajikan kadar air kritis pada peluang 60-80% untuk kejadian
kering tidak balik berdasarkan klasifikasi Azri (1999). Jika mengacu pada hasil
pengamatan (Tabel 7) terdapat perbedaan nilai kadar air kritis di setiap
fisiografinya, hal ini dikarenakan adanya perbedaan sifat fisik dan kimia gambut
dari berbagai lokasi pengambilan tanah gambut dan perbedaan pengelolaan lahan
gambut.
Tabel 6. Kisaran Kadar Air Kritis pada Peluang 60-80% Kejadian Kering
Tidak Balik (Azri, 1999).
Fisiografi Gambut
Kadar Air Kritis (%)
Pantai
229,07 - 306,64
Transisi
252,92 - 338,57
Pedalaman
271,79 - 365,02
Tabel 7. Nilai Kadar Air Kritis Tanah Gambut asal Riau dengan Peluang
60-80 % Kering Tidak Balik.
Fisiografi
Gambut Marine < 6 Tahun
Gambut Marine > 6 Tahun
Gambut Hutan (Payau)
Gambut Payau < 6 Tahun
Gambut Payau > 6 Tahun
Gambut Air Tawar> 6 Tahun
Tingkat Kematangan
Hemik
Hemik
Hemik
Hemik
Hemik
Hemik
Nilai Kadar Air (%)
164,13 - 182,65
126,38 - 130,01
318,69 - 326,65
236,83 - 248,94
160,77 - 165,36
266,67 - 303,17
Hasil penelitian Azri (1999) menunjukkan bahwa gambut Riau memiliki
rata-rata nilai kadar air kritis sebesar 229,07-306,64% untuk gambut Pantai,
252,92-338,57% untuk gambut Transisi dan 271,79-365,02% untuk gambut
pedalaman, yang artinya bahan gambut Riau memiliki variasi nilai kadar air kritis
pada tiap fisiografinya. Gambut marine Riau memiliki nilai kadar air kritis yang
lebih rendah dari gambut payau dan air tawar. Gambut pantai, transisi dan
pedalaman sepadan dengan gambut marine, payau dan air tawar.
Hasil pengamatan pada penelitian ini menghasilkan pola yang sama yaitu ,
batas kadar air kritis gambut marine lebih rendah dari gambut payau dan air tawar.
Kadar air kritis gambut hutan (payau), air tawar (>6 tahun), payau (<6 tahun),
payau (>6 tahun), marine (<6 tahun), dan marine (> 6 tahun) berturut-turut
mempunyai kisaran sebesar 318,69-326,65%, 266,67-303,17%, 236,83-248,94%,
160,77-165,36%, 164,13-182,65%, dan 126,38-130,01%.
Dari kedua hasil pengamatan, didapati nilai kadar air kritis gambut marine
yang paling rendah dibandingkan dengan fisiografi yang lain. Hal ini disebabkan
gambut marine memiliki tingkat kematangan yang lebih tinggi dibandingkan
gambut payau dan air tawar yang artinya kemampuan menahan air lebih tinggi
pada gambut yang lebih matang karena proses dekomposisi bahan organik oleh
mikroorganisme akan menghasilkan asam-asam organik seperti asam fulvat dan
asam humat yang merupakan sumber muatan negatif. Dengan demikian akan
terjadi ikatan organo-kation sehingga air akan terikat kuat sehingga gambut pantai
memiliki nilai kadar air kritis yang lebih rendah dan memiliki ketahanan yang
lebih tinggi terhadap kejadian kering tidak balik. Adanya perbedaan lokasi juga
mempengaruhi kadar air kritis gambut. Selain itu, gambut pantai yang terbentuk
pada lokasi yang dipengaruhi pasang surut air laut menyebabkan kation-kation
basa yang terkandung di dalam gambut mengikat kuat partikel-partikel air
membentuk jembatan air (water bridge) sehingga lebih tahan terhadap terjadinya
kering tidak balik.
Porositas atau volume pori total tanah adalah bagian/rongga tanah yang
tidak terisi bahan padat sehingga dapat diisi oleh udara dan air. Pori-pori tanah
dapat berupa pori kapiler dalam partikel tanah atau non kapiler di antara zarahzarah tanah pada kerangka/matriks tanah. Volume pori total gambut beragam
sesuai dengan tingkat dekomposisi dan kepadatannya. Menurut Bouman dan
Driessen (1985) bahwa porositas tanah gambut alami dapat mencapai 95%
volumenya pada gambut fibrik dan berkurang sesuai dengan tingkat dekomposisi
tetapi tidak lebih kecil dari 80% pada gambut lapisan teratas. Tabel 8 menyajikan
nilai volume pori total dan pori aerasi gambut berdasarkan hasil penelitian
Nicholas (2002).
Tabel 8. Volume Pori Total (VPT) dan Pori Aerasi Pada Gambut Pantai
(Marine) dan Transisi (Payau) asal Pantai Samuda dan Sampit
(Nicholas, 2002).
Fisiografi
VPT
Pori aerasi
Gambut Pantai (Marine)
88,08
15,32
Gambut Transisi (Payau)
88,63
17,64
Hasil penelitian Nicholas (2002) menunjukkan bahwa, gambut dari Pantai
Samuda dan Sampit rata-rata memiliki nilai VPT sebesar 88,08-88,71 untuk
gambut marine dan 88,63-89,29 untuk gambut payau. Untuk pori aerasi, gambut
rata-rata memiliki nilai sebesar 15,32-19,84 untuk gambut marine dan 17,6423,12 untuk gambut payau. Pori aerasi didefinisikan sebagai bagian atau ruang di
dalam tanah (gambut) yang memungkinkan udara dapat bergerak pada kondisi air
tanah tertentu.
Porositas tanah gambut marine lebih rendah dari gambut payau disebabkan
gambut pantai memiliki laju dekomposisi yang lebih tinggi sehingga tanah
gambut menjadi lebih padat dan mempunyai ukuran partikel yang lebih kecil.
Porositas gambut bergantung pada bobot isi (bulk density) dan kerapatan lindak
(particle density). Bobot isi bergantung pada tingkat dekomposisi dan kadar abu.
Porositas menentukan kapasitas menahan air pada kondisi jenuh dan daya
menahan beban (bearing capasity) gambut.
4.4.
Porositas Bahan Gambut dalam Hubungannya dengan Kadar Serat,
Kadar C-organik, Kadar Abu dan Kadar Air Kritis
Gambut payau memiliki porositas yang lebih tinggi daripada gambut
marine. Perbedaan porositas gambut antara gambut payau dan marine diduga
terkait dengan adanya perubahan fraksi bahan gambut yang tercermin dengan
penurunan kadar serat dan berkurangnya kadar C-organik tanah gambut. Kadar Corganik bergantung pada tingkat dekomposisi bahan gambut, sehingga semakin
tinggi kadar C-organik maka semakin tinggi pula nilai porositas. Porositas yang
tinggi membuat tanah memiliki banyak ruang pori untuk ditempati air dan udara.
Faktor lain yang memungkinkan berpengaruh terhadap penurunan porositas
adalah kehadiran liat sebagai akibat adanya pasang surut sungai dan air laut dan
lapisan bahan mineral di bawah bahan gambut. Hal ini selaras dengan kandungan
kadar abu gambut marine yang lebih tinggi dibandingkan gambut payau. Kadar
abu adalah sisa proses oksidasi/pembakaran dari bahan mineral yang terkandung
di dalam gambut.
Penurunan pori aerasi juga banyak diakibatkan adanya pengaruh dari
penurunan kadar serat gambut yang menjadi lebih rendah sebagai akibat dari
meningkatnya kematangan akibat penggunaan sebagai lahan untuk kebun kelapa
sawit karena semakin tinggi tingkat kematangan bahan gambut, kadar serat akan
mengalami penurunan dan ukuran partikel gambut menjadi lebih halus dan lebih
kecil.
4.5.
Kadar C-organik Gambut dalam Hubungannya dengan Kadar Serat
dan Kadar Air Kritis
Kadar C-organik gambut payau yang masih berupa hutan rata-rata lebih
tinggi dibandingkan gambut dari ketiga fisiografi lainnya yang telah dibuka
sebagai perkebunan kelapa sawit.
Berdasarkan umur tanaman kelapa sawit, gambut pada umur tanaman >6
tahun di fisiografi marine dan payau memiliki kadar air kitis yang lebih rendah
dibandingkan dengan gambut umur tanaman <6 tahun. Hal ini menunjukkan
bahwa tindakan pengelolaan lahan gambut dalam jangka waktu yang lebih lama
dapat mempercepat pematangan bahan gambut karena drainase dan pemupukan
sehingga kadar serat semakin menurun dan menurunnya kadar C-organik di dalam
tanah gambut diikuti penurunan kadar air kritisnya. Tingginya kadar C-organik
menunjukkan laju dekomposisi yang rendah pada gambut. Laju dekomposisi yang
rendah membuat bahan organik menumpuk.
4.6.
Kadar Abu Gambut dalam Hubungannya dengan Kadar Serat dan
Kadar Air Kritis
Gambut Riau memiliki rataan nilai kadar abu yang rendah berkisar di
bawah 6%, dan terdapat kecenderungan nilai kadar abu menurun dengan
kedalaman sampai kedalaman tertentu. Kadar abu gambut payau yang masih
berupa hutan rata-rata lebih rendah dibandingkan gambut dari ketiga fisiografi
lainnya (marine, payau, dan air tawar) yang telah dibuka sebagai perkebunan
kelapa sawit.
Kadar abu gambut air tawar lebih rendah daripada gambut payau dan
marine. Umumnya kadar abu gambut meningkat pada tingkat dekomposisi yang
lebih tinggi yang memiliki kadar serat relatif rendah. Hal ini disebabkan gambut
memiliki tingkat kematangan yang lebih tinggi serta pengaruh penambahan ion
seperti Ca, Mg, K dari air laut dan limpasan air sungai yang banyak membawa
bahan mineral.
4.7.
Kadar Air Kritis dalam Hubungannya dengan Kering Tidak Balik
Kering tidak balik terjadi setelah terjadinya periode pengeringan intensif.
Sifat gambut yang berhubungan erat dengan peluang kejadian kering tidak balik
adalah kadar abu, kadar air, serta komposisi bahan gambut seperti lignin, selulosa,
hemiselulosa, kemasaman tanah, kandungan gugus fungsi COOH dan fenolat (OH) (Azri, 1999). Gugus karboksil (COOH) dan fenol (-OH) banyak berperan
dalam penyerapan air sehingga bila jumlah gugus fungsional tersebut berkurang
dapat menyebabkan kering tidak balik. Berkurangnya kadar air tanah gambut
karena pengeringan dapat dikaitkan dengan menurunnya konsentrasi gugus
COOH dan fenolat (-OH). Dengan demikian berkurangnya gugus COOH dan
fenolat (-OH) karena pengeringan gambut meningkatkan proporsi kering tidak
balik.
Menurut Tan (1986) bahwa tingkat humifikasi mempengaruhi kemampuan
tanah gambut dalam mengerap kation, gambut yang telah matang mempunyai
proporsi asam humat yang lebih tinggi dibanding asam fulvat. Kedua asam
tersebut mempunyai gugus COOH dan fenolat (-OH) yang dapat menentukan
besarnya kapasitas tukar kation atau kemampuan menjerap kation-kation. Rataan
kering tidak balik disajikan dalam Tabel 9.
Tabel 9. Rata-rata Kering Tidak Balik Gambut di Riau Berdasarkan
Fisiografi Marin, Payau, dan Air Tawar.
Fisiografi
Waktu Pengeringan (Menit)
> 6 Tahun
< 6 Tahun
Hutan
Average
Gambut Marine
120
120
-
120
Gambut Payau
120
120
105
115
Gambut Air Tawar
105
-
-
105
Berdasarkan hasil pengamatan, gambut marine (< 6 tahun) mulai
mengalami gejala kering tidak balik pada selang waktu 55 menit, sedangkan
gambut marine (> 6 tahun) mengalami gejala kering tidak balik pada selang waktu
65 menit dan keduanya mengalami kering tidak balik mutlak pada selang waktu
120 menit dimana gambut benar-benar tidak dapat menyerap air kembali. Dari
hasil ini gambut marine (> 6 tahun) memiliki ketahanan yang lebih besar
dibandingkan dengan gambut marine (<6 tahun) terhadap proses kering tidak
balik. Gambut marine yang dikelola untuk kebun kelapa sawit memiliki
perbedaan gejala kering tidak balik antara gambut kurang dari 6 tahun dan lebih
dari 6 tahun.
% KTB
120
100
Gambut Marine (<6 tahun)
Gambut Marine (>6 tahun)
80
60
40
20
0
0
15
30
45
55
65
75
90
105
120
135
150
Interval Waktu (Menit)
KTB*: Kering Tidak Balik
Gambar 4. Kering Tidak Balik Pada Gambut Marine.
Hubungan antara kadar air dengan gugus fungsional karboksilat (COOH)
dan fenolat (-OH) menunjukkan semakin berkurangnya kadar air tanah gambut
karena pengeringan pada awalnya dapat menurunkan konsentrasi gugus
fungsional COOH dan fenolat (-OH), kemudian relatif stabil walaupun kadar air
telah jauh berkurang. Bahan gambut yang terdekomposisi akan menghasilkan
sejumlah asam-asam organik yang mengandung gugus fungsional COOH dan
fenolat (-OH) terutama pada gambut yang telah terdekomposisi lebih lanjut (Azri,
1999).
Gambut payau (< 6 tahun) mulai mengalami gejala kering tidak balik pada
selang waktu 55 menit, gambut payau (> 6 tahun) mengalami gejala kering tidak
balik pada selang waktu 65 menit, sedangkan hutan sekunder mengalami gejala
kering tidak balik pada selang waktu 45 menit. Gambut payau (<6 tahun)
mengalami kering tidak balik mutlak pada selang waktu 120, gambut payau (>6
tahun) mengalami kering tidak balik mutlak pada selang waktu 120 menit, dan
hutan sekunder mengalami kering tidak balik mutlak pada selang waktu 105 menit
dimana gambut benar-benar tidak dapat menyerap air kembali.
Gambut payau yang dikelola untuk kebun kelapa sawit memiliki
perbedaan gejala kering tidak balik antara gambut kurang dari 6 tahun dan lebih
dari 6 tahun, adanya perbedaan tingkat konsentrasi gugus hidroksil fenolik dan
karboksilat menyebabkan gejala peluang kering tidak balik berbeda hingga 60 %.
Sedangkan pada peluang 80 %, gambut tersebut sudah memiliki gejala kering
tidak balik yang sama.
% KTB
120
Gambut Payau Virgin
100
Gambut Payau (<6 tahun)
80
Gambut Payau (>6 tahun)
60
40
20
0
0
15
30
45
55 65 75 90 105 120 135 150
Interval Waktu (Menit)
KTB*: Kering Tidak Balik
Gambar 5. Kering Tidak Balik Gambut Payau.
Hubungan antara gugus fungsional COOH dan fenolat (-OH) akibat
pengeringan dengan proporsi kering tidak balik tanah gambut berbentuk
hubungan eksponensial yang berarti dengan berkurangnya gugus COOH akibat
pengeringan mengakibatkan terjadinya peningkatan proporsi kering tidak balik.
Gugus fungsional COOH dan fenolat (-OH) mempunyai peranan yang sangat
penting dalam membantu penyerapan air sehingga dengan berkurangnya kadar air
akibat pengeringan, gugus fungsional COOH dan fenolat (-OH) menjadi
berkurang yang menyebabkan proporsi kering tidak balik menjadi meningkat.
Menurut Tschapek et al., (1986) bahwa gugus fungsional seperti COOH dan
fenolat (-OH) yang bersifat polar dan bersifat hidrofilik yang dapat berperan
dalam membantu proses penyerapan air.
Gambut payau yang masih berupa hutan memiliki gejala kering tidak
balik yang lebih cepat dibandingkan dengan gambut yang telah dikelola untuk
kebun kelapa sawit. Tingginya peluang kering tidak balik pada gambut ini
disebabkan oleh adanya gugus fenolik hidroksil dan karboksil yang mengalami
penurunan yang berasal dari asam, humus, dan lignin yang tinggi sehingga
mencegah pembasahan kembali (Azri, 1999).
Gambut air tawar relatif lebih cepat terjadinya kering tidak balik dibanding
dengan gambut payau dan marine diduga karena pada gambut air tawar bahan
organiknya belum terdekomposisi sempurna. Adanya pemanasan dan pengeringan
gambut dapat menurunkan konsentrasi gugus fenolik hidroksil dan karbosil
sehingga dengan adanya penurunan konsentrasi gugus tersebut menyebabkan
gambut rentan terjadi kering tidak balik karena gugus tersebut banyak berperan
dalam penyerapan air.
Pada umumnya bahan organik segar dan separuh terdekomposisi akan
bersifat menolak air dibanding dengan bahan organik yang terdekomposisi
sempurna (Bisdom et al .,1993). Pada gambut yang telah terdekomposisi
sempurna akan dihasilkan asam humat dan asam fulvat yang mengandung koloid
hidrofilik yang lebih tinggi. Asam humik dan asam fulvik memiliki keterkaitan
dengan karakteristik senyawa kimia yang menyebabkan penolakan air. Asam
fulvik mempunyai grup karboksil dua atau tiga kali lebih tinggi dari asam humik,
tetapi konsentrasi grup phenolik hidroksil grup tidak kelihatan berbeda antara
keduanya (Tan, 1992). Biodegradasi biomassa makro molekul organik
menyebabkan terjadinya peristiwa kering tidak balik.
Gambut marine merupakan gambut yang paling tahan terhadap proses
kering tidak balik dibanding gambut payau dan air tawar, hal ini dikarenakan
gambut marine memiliki kadar abu yang lebih tinggi dan kadar serat yang lebih
rendah dibanding gambut pada fisiografi yang lain. Gambut marine memiliki laju
dekomposisi yang lebih tinggi sehingga memiliki tingkat kematangan yang lebih
tinggi. Kandungan gugus fungsional pada gambut marine lebih rendah
dibandingkan gambut air tawar. Hal ini disebabkan gambut marine banyak
mengandung garam-garam mineral seperti kation-kation basa K, Ca, dan Mg.
Proses kering tidak balik gambut dapat terjadi sebab adanya penolakan air
oleh gambut. Penolakan air ini terjadi akibat adanya penyalutan (coating).
Coating adalah faktor penyebab terjadinya penolakan air di dalam tanah karena
mengandung bahan organik (Krammes & DeBano 1965; Robert & Carbon 1972;
King 1981 dalam Bisdom et al. 1993). Adaanya penyalutan (coating) disebabkan
adanya bahan organik yang tidak mengikat secara kuat sejumlah gugus COOH
dan fenolat (-OH) sehingga apabila kadar air telah jauh berkurang tanah gambut
rentan terhadap kejadian kering tidak balik. Adanya garam-garam dan basa-basa
terlarut yang berasal dari air laut mengikat sejumlah gugus COOH dan fenolat (OH) dengan kuat membentuk ikatan komplek atau khelat. Hal ini disebabkan
dengan adanya gugus COOH dan fenolat (-OH) mampu mengikat molekul air
sehingga kation dan unsur hara tidak mudah hilang atau tercuci oleh adanya air.
Bahan organik dengan kandungan asam organik yang rendah dapat
memacu terjadinya penolakan air di dalam tanah dengan cara pengeringan,
pemanasan bahan organik, pencucian senyawa organik dari serasah tanaman,
produk mikroba yang bersifat menolak air, pencampuran bahan organik dengan
tanah mineral. Kering tidak balik lebih tinggi terjadi di tanah gambut yang
mempunyai kerapatan lindak rendah.
Bahan gambut yang mengandung lignin dalam jumlah relatif tinggi
biasanya tahan terhadap dekomposisi, sedangkan bahan gambut yang banyak
mengandung selulosa dan hemiselulosa dalam jumlah tinggi tidak tahan terhadap
dekomposisi (Barchia, 2006).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
Kadar serat meningkat dengan bertambahnya kedalaman gambut. Semakin
dalam gambut semakin rendah laju dekomposisinya. Adanya keragaman tingkat
kematangan pada tiap gambut di setiap fisiografi (marine, payau, air tawar)
disebabkan oleh adanya keragaman pengelolaan gambut, baik untuk waktu
maupun cara pengelolaannya.
Pengelolaan gambut mengakibatkan kadar abu meningkat. Pengaruh
fisiografi menentukan kadar abu. Tanah gambut marine yang mendapat air dari
limpasan sungai dan pasang surut air laut mempunyai kadar abu lebih tinggi
dibandingkan gambut payau dan air tawar karena kandungan garam-garam
mineral (Ca, Mg, K) lebih tinggi.
Porositas tanah gambut marine lebih rendah dari gambut payau disebabkan
gambut marine memiliki laju dekomposisi yang lebih tinggi.
Gambut marine merupakan gambut yang paling tahan terhadap proses
kering tidak balik dibanding gambut payau dan air tawar. Gambut marine
memiliki laju dekomposisi yang lebih tinggi sehingga memiliki tingkat
kematangan yang lebih tinggi. Kandungan gugus fungsional pada gambut marine
lebih rendah dibandingkan gambut air tawar. Hal ini disebabkan gambut marine
banyak mengandung garam-garam mineral seperti kation-kation basa K, Ca, dan
Mg.
5.2.
Saran
1. Perlu adanya penelitian lanjutan terhadap pengaruh perubahan sifat fisika
tanah akibat pengelolaan tanah gambut untuk kebun kelapa sawit.
2. Untuk memperkecil terjadinya peluang kering tidak balik, disarankan
untuk pengaturan muka air tanah dan drainase.
DAFTAR PUSTAKA
Andriesse, 1988. Nature and management of tropical peat soil. FAO Soils Bulletin
5:5. Roma.
Azri, 1999. Sifat kering tidak balik tanah gambut dari Jambi dan Kalimantan
Tengah. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Barchia F., 2006 Emisi Karbon dan Produktivitas Tanah pada Lahang Gambut
yang Diperkayakan Bahan Mineral Berkadar Besi Tinggi pada Sistem
Olah Tanah yang Berbeda. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Bisdom, E.B.A., L.W. Dekker and JU. F. Th. Schoute. 1993. Water repellency of
sieve fractions from sandy soils and realitionships with organic material
and soil structure. Geoderma 56 : 105 – 118.
Bond, R.D., and J.R. Harris. 1964. The influence of the microflora on physical
properties of soils. Aust. J. Soil Res. 2:111–122.
Bouman S.A.M. dan P.M. Driessen, 1985. Physical properties of peat soil
effecting Rice-Base system. In Soil Physic and Rice. IRRI. Losbanos.
Chefetz, B., A. Deshmukh, P.G. Hatcher, and E.A. Guthrie. 2000. Pyrene sorption
by natural organic matter. Environ. Sci. Technol. 34:2925–2930.
Coulter, J. K. 1957. Development of the peat soils in Malaya. Malaysian
Agricultural Journal 40: 188-199.
Driessen P.M, 1976. The Lowland Peats of Indonesia, A Challenge for The
Future. In Peat and Podzolic soil and Their Potential in Indonesia. Proc.
ATA 106 Midterm Seminar. Tugu, Oct. 13-14, 1976. Soil Res. Inst.
Bogor.
. and L. Rochimah, 1976. The physical properties of lowland peat
from Kalimantan. In Peat and Podzolik Soil and Their Potential. ATA 106,
Midterm Seminar. Tugu 13-14 October 1976. Soil Research Institute,
Bogor.
. and Supraptohardjo, M. 1974. “The lowland peat in Indonesia. Soil
res. Inst. Bogor. ”In: Proc. Peat and Podzolic Soil and Their Potential for
Agriculturein Indonesia Soil Res. Ins. Bogor. ATA 106. Bulletin No. 1.
Hlm. 41 – 73.
Fuschman, C.H. 1986. Peat and Water : Aspect of Water Retention and
Dewatering in Peat. Elsevier Applied Science Publ. London.
Halim A., 1987. Pengaruh Pencampuran Tanah Mineral dan Basa dengan Tanah
Gambut Pedalaman Kalimantan Tengah dalam Budidaya Tanaman
Kedelai. Disertasi. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Hardjowigeno, S. 1989. ” Sifat-sifat dan potensi tanah gambut Sumatra untuk
pengembangan pertanian.” Dalam: Hakim , N.M.Y. Nyakpa, A.M. Lubis,
S.E. Nugroho, M.A.Diha, Go, Ban Hong, H.H. Bailey (Eds). Prosiding
Seminar Tanah Gambut untuk Perluasan Pertanian. Fak. Pertanian UISU,
Medan.
. 1996. Pengembangan lahan gambut untuk pertanian suatu peluang
dan tantangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Tanah Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Haris A., 1998. Sifat Fisiko Kimia Bahan Gambut dalam Hubungannya dengan
Proses Kering Tidak Balik. Tesis. Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Islami T. Dan W.H. Utomo, 1995. Hubungan Tanah Air dan Tanaman. IKIP
Semarang Press.
Lucas, R. E. 1982. Organic soils (Histosol). Formation, distribution, physical, and
chemical properties and management for crop production. Michigan State
University, Research Report No. 435 (Farm Science).
Ma’sum, M., M.E. Tate., G.P. Jones and J.M. Oades. 1988. Extraction and
characterization of water repellent material from Australiant soils. J. Soil
Sci. 39 : 99-109.
Maas, E. F., Tie, Y.L. and Lim, C.P.1979. Sarawak land capability classification
and evaluation for agricultural crops. Technical Paper. No. 5. Soil
Division, Departement of Agriculture, Sarawak, Malaysia.
Nicholas, 2002. Peranan Amelioran Tanah Mineral, Tanah Mineral Diperkaya
dengan Besi Terak Baja terhadap Perubahan Kadar Serat dan Produktivitas
Gambut Disawahkan. Tesis. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Notohadiprawiro T., 1997. Twenty-five years experience in peatland development
for agriculture in Indonesia. In Rieley dan S.E. Page. 1997 (Eds).
Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. Samara Publisihing
Limited. Cardigan UK.
Polak, B. 1950. “ Occurence and fertility of tropical peat soil in Indonesia.” In:
Proc. Of The 4th Int. Congresof Soil Sci. 2: 183 – 185.
Pusat Penelitian Tanah, 1981. Hasil Pengukuran Planimetri dari Peta Tanah Bagan
Indonesia (1972). Pusat Penelitian Tanah Bogor.
Rahim, 1995. Pengaruh Kation-Kation Polivalen dalam Kaitannya dengan
Ketersediaan Fosfat untuk Meningkatkan Produksi Jagung pada Tanah
Gambut. Disertasi. Program Pascasrjana, Institut Pertanian Bogor.
Rieley, J. O., Ahmad Shah, A.A. dan Brady, M.A. 1996. “The extern and nature
of tropical peat swamps.” In : E. Maltby Maltby, E., Burbrige, P., dan
Fraser, A. (Eds). Proc. Of a Workshop on Integrated Planning and
Planning and Management of Tropical Lowlands Peatlands. IUCN. Hlm.
17-54.
Robert, F.J and B.A. Carbon. 1972. Water repellence in sandy soils of
southwestern Australia. II. Some Chemical Characteristic of The
Hydrophobic Skins. Aust. J. Rres. 10 : 35-42.
Sabiham, S and H. Furukawa. 1986. Study of floral composition of peat in the
lower Batanghari river basin of Jambi, Sumatera. Southeast Asian Studies,
Kyoto Univ. 24 (2) : 113-132.
Salmah, A.Z ., G. Spoor ., A.B. Azhari and D.N. Welch. 1991. Importance of
water management in peat soil at farm level. In Trop. Peat Proc. Of the
Intl. Symp. On trop. Peatland. 6 – 10 May 1991. Kuching Serawak
Malaysia.
Soil Survey Staff. 1999. Soil Taxonomy. A Basic System of Soil Classification
for Making and Interpreting Soil Survey. Second Edition. USDA-NCRS.
Agric. Washington DC.
Soil Survey Staff. 2006. Keys to Soil taxonomi. Tenth Edition. United State
Departement of Agriculture
Subagyo, Marsoedi D.S dan A.S Karrama. 1996. Prospek pengembangan lahan
gambut untuk pertanian. Bogor, 26 September 1996. Institut Pertanian
Bogor.
Suryanto, 1988. Sifat dan watak kimiawi gambut lapis atas dari Pontianak,
Kalimantan Barat. Seminar Gambut I HGI 9-10 September 1988.
Yogyakarta.
Tan K.H., 1998. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Cetakan Ketiga. Penerjemah D.H.
Goenadi dan B. Radjagukguk. Gadjah Mada University press.
Tschapek, M., G.P. Ardizzi and S.G. Bussetti, 1972. Wettability of humic
acid and its salts. Journal of Plant Nutrition and Soil Science 135: 1631.
Wahyunto, S. Ritung, Suparto, H. Subagjo, 2005. Sebaran Gambut dan
Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan. Proyek Climate Change,
Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia
Programmed an Wildlife Habitat Canada. Bogor.
Weiss, J.R., R. Laiho and J. Laine. 1998. Modeling moisture retention in peat
soils. Soil Science of America Journal 62:2.
Widjaja-Adhi I. P. G., 1984. Masalah Tanaman di Lahan Gambut. Prosiding
Pertemuan Teknis Penelitian Pola Usahatani Menunjang Transmigrasi.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
___, 1997. Developing Tropical Peatlands for Agriculture. In
Rieley dan S.E. Page. 1997 (Eds). Biodiversity and Sustainability of
Tropical Peatlands. Samara Publishing Limited. Cardigan UK.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Deskripsi Profil Gambut Marine.
No
: BM (<6/1) (Bapak Guru SMP)
Jenis Tanah
: Typic Tropohemist
Penggunaan Lahan
: Kebun Kelapa Sawit umur 37 bulan
Fisiografi
: Dataran
Relief makro
: Dataran Gambut
Relief mikro
: Kubah gambut
Lereng
: Datar
Drainase
: Buruk
Kedalaman Gambut
: 700 cm
Kedalaman air tanah
: 72 cm
Lokasi
: 01o 34’ 22.7” LU, 101 o 50’ 55.0” BT
Horizon
Simbol Kedalaman (cm)
Oe
Oi
Oi
Oi
0 - 20
20 - 60
60 - 110
110 - 700
Uraian
Merah sangat kusam (10 R 2.5/2), Hemik
Hitam kemerahan (10 R 2.5/1); Hemik
Hitam kemerahan (10 R 2.5/1); Hemik
Merah sangat kusam (2.5 R 2.5/2), fibrik
Lampiran 2. Deskripsi Profil Gambut Marine.
No
: BM (>6/2)
Jenis Tanah
: Teric Tropohemist
Penggunaan Lahan
: Kebun Kelapa Sawit umur 12 tahun
Fisiografi
: Dataran
Relief makro
: Dataran Gambut
Lereng
: Datar
Drainase
: Buruk
Kedalaman Gambut
: 55 cm
Kedalaman air tanah
: 23 cm
Lokasi
: 01o 46’ 51.1” LU, 101 o 18’ 37.6” BT
Horizon
Simbol Kedalaman (cm)
Oe
0 - 20
Oe
20 - 60
Ao
60 - 110
A1
110 - 200
Uraian
Merah sangat kusam(10 R 2.5/2); Hemik
Hitam kemerahan (10 R 2.5/1), Hemik
Merah pucat (10 YR 7/2); Hemik,
Merah pucat-merah lemah (10 YR 6/2 – 5/2); liat,
agak matang
Lampiran 3. Deskripsi Profil Gambut Payau.
No
: TKWL-02 (<6/1)
Jenis Tanah
: Typic Tropohemist
Penggunaan Lahan
: Kebun Kelapa Sawit umur 12 bulan
Fisiografi
: Dataran
Relief makro
: Dataran Gambut
Relief mikro
: Kubah gambut
Lereng
: Datar
Drainase
: Buruk
Kedalaman Gambut
: 260 cm
Kedalaman air tanah
: 74 cm
Lokasi
: 00o 58’ 35.3” LU, 101 o 58’ 44.7” BT
Horizon
Simbol Kedalaman (cm)
Oe
0 - 20
Oi
20 - 78
Oi
78 - 115
Oi
115 - 260
A
260 -
Uraian
Hitam kemerahan (10 R 2.5/1), Hemik
Merah sangat kusam (10 R 2.5/2); Hemik
Hitam kemerahan (2.5 YR 2.5/1); Hemik
Hitam kemerahan (2.5 YR 2.5/1); Hemik
Putih (2.5 Y 8/1); pasir; lepas
Lampiran 4. Deskripsi Profil Gambut Payau.
No
: KR-Siak-3 (>6/3)
Jenis Tanah
: Terik Tropohemist
Penggunaan Lahan
: Kebun Kelapa Sawit umur 9 tahun
Fisiografi
: Dataran
Relief makro
: Dataran Gambut
Lereng
: Datar
Drainase
: Buruk
Kedalaman Gambut
: 44cm
Kedalaman air tanah
: 40 cm
Lokasi
: 01o 07’ 52.6” LU, 102 o 03’ 53.2” BT
Horizon
Simbol Kedalaman (cm)
Oa
0 – 14
Oe
14 – 44
Ao
44 – 55
A1
> 55
Uraian
Hitam kemerahan (2.5 YR 2.5/1), Hemik
Hitam kemerahan (10 R 2.5/1); Hemik
Coklat kemerahan gelap (5YR 2.5/2); liat berdebu,
masif
Kelabu kemerahan gelap (5 YR 4/2), liat berdebu,
agak matang
Lampiran 5. Deskripsi Profil Gambut Payau.
No
: TKWL-01 (SF)
Jenis Tanah
: Typic Tropohemist
Penggunaan Lahan
: Hutan sekunder
Fisiografi
: Dataran
Relief makro
: Dataran Gambut
Relief mikro
: Kubah gambut
Lereng
: Datar
Drainase
: Buruk
Kedalaman Gambur
: > 480 cm
Kedalaman air tanah
: 60 cm
Lokasi
: 00o 58’ 42” LU, 101 o 57’ 16.7” BT
Horizon
Simbol Kedalaman (cm)
Oe
0-20
Oe
20-50
Oei
50-75
Oi
75 -120
Oi
120-250
Uraian
Hitam kemerahan (10 R 2.5/1), Hemik
Merah sangat kusam (10 R 2.5/2); Hemik
Merah sangat kusam (10 R 2.5/2); Hemik
Hitam kemerahan – merah sangat kusam (2.5 YR
2.5/1-2); Hemik
Merah sangat kusam (10 R 2.5/2); -fibrik
Lampiran 6. Deskripsi Profil Gambut Air Tawar.
No
: Galuh (>6/4)
Jenis Tanah
: Typic Tropohemist
Penggunaan Lahan
: Kebun Kelapa Sawit umur 15 tahun
Fisiografi
: Dataran
Relief makro
: Dataran Gambut
Relief mikro
: Pinggiran Kubah Gambut
Lereng
: Datar
Drainase
: Buruk
Kedalaman Gambut
: >100 cm
Kedalaman air tanah
: 33 cm
Lokasi
: 00o 29’ 58.5” LU, 101 o 14’ 40.8” BT
Horizon
Simbol Kedalaman (cm)
Oe
0-10
Oe
10-35.
Oi
35-80
80-240
Uraian
Kelabu kemerahan gelap (2.5 YR 3/1); Hemik
Hitam kemerahan (2.5 YR 2.5/1), Hemik
Kelabu kemerahan gelap (2.5 YR 3/1); Hemik
Lapisan bahan organik padat, hitam
Tabel Lampiran 7. Hasil Analisis Kering Tidak Balik.
Profil
BM 1 (0-20)
BM 2 (0-20)
Fisiografi
TKWL 01-SF (0-20)
TKWL 02 (0-20)
KR. Siak 3 (0-14)
Fisiografi
Galuh 4 (0-35)
Fisiografi
Gambut Marine (<6 tahun)
Gambut Marine (>6 tahun)
Profil
Gambut Payau Virgin
Gambut Payau (<6 tahun)
Gambut Payau (>6 tahun)
Profil
Gambut Air Tawar (>6 tahun)
0
0
0
15
0
0
30
0
0
45
0
0
Waktu Pengeringan (Menit)
55
65
75
90
105
15.63 31.26 46.89 62.52 78.15
0 15.63 31.26 46.89 78.15
120
100
100
135
100
100
150
100
100
0
0
0
0
15
0
0
0
30
0
0
0
45
15.63
0
0
Waktu Pengeringan (Menit)
55
65
75
90
105
31.26 46.89 62.52 78.15
100
15.63 31.26 46.89 62.52 78.15
0 15.63 31.26 46.89 78.15
120
100
100
100
135
100
100
100
150
100
100
100
45
15.63
Waktu Pengeringan (Menit)
55
65
75
90
105
31.26 46.89 62.52 78.15
100
120
100
135
100
150
100
0
0
15
0
30
0
Tabel Lampiran 8. Hasil Analisis Kadar Air Menurut Interval Waktu.
Profil
BM 2 (0-20)
BM 1 (0-20)
Profil
TKWL 01-SF (0-20)
TKWL 01-SF
TKWL 02 (0-20)
TKWL 02 (20-78)
KR. Siak 3 (0-14)
KR. Siak 3 (14-44)
Profil
Galuh 4 (0-10)
Galuh 4 (10-35)
Fisiografi
Gambut Marine < 6 Thn
Gambut Marine >6 Thn
Fisiografi
Gambut Payau Virgin
Gambut Payau < 6 Thn
Gambut Payau > 6 Thn
Fisiografi
Gambut Air Tawar > 6
Thn
0
418.26
152.21
15
279.66
150.54
30
242
149.44
45
214.14
138.84
Waktu Pengeringan (Menit)
55
65
75
90
208.29 189.48 183.68 182.65
135.80 135.69 130.22 130.01
105
164.13
126.38
120
145.27
125.46
135
138.69
110.58
150
131.38
95.16
0
373.05
936.75
465.04
624.68
363.21
579.72
15
367.27
895.05
376.59
542.04
244.59
562.07
30
351.4
826.50
364.8
521.5
241.86
534.13
45
346.48
756.95
306.33
484.56
232.05
452.66
Waktu Pengeringan (Menit)
55
65
75
90
345.34 337.84 326.65 318.69
640.23 627.67 541.25 529.63
300.74 281.63 257.35 248.94
431.93 352.73 340.68 334.35
192.77 171.07 167.07 165.36
445.09 415.86 397.72 387.85
105
295.08
526.73
236.83
331.96
160.77
375.12
120
255.07
492.48
225.84
274.73
115.58
369.04
135
184.62
438.03
223.59
222.14
104.73
330.44
150
167.63
410.00
210.23
146.64
96.50
206.87
45
271.15
335.31
Waktu Pengeringan (Menit)
55
65
75
90
260.56 219.92 205.97 211.20
326.78 316.75 303.17 266.67
105
209.82
248.66
120
204.09
152.78
135
178.00
88.61
150
145.89
97.82
0
375.99
446.99
15
336.06
409.84
30
283.26
358.18
Download