KEADAAN UMUM TANAH DILOKASI PENELITIAN Jenis Tanah Penelitian di dilakukan di tiga lokasi yang mewakiti tiga tipe gambut yang berbeda, yakni: (1) garnbut pedalaman di Berengbengkel, (2) garnbut pasang surut di Sarnuda dan (3) gambut transisi di Sarnpit di Kalirnantan Tengah. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 5. Untuk kebutuhan analisis pendahuluan di hboratoriurn, dilakukan pengarnbilan contoh tanah dengan tingkat dekornposisi hernik pada ketiga lokasi. Contoh garnbut Berengbengkel diambil pada kedalarnan 50 - 125 crn. Dari daemh Sampit diirnbil pada kedabman 0 - 150 cm sedangkan untuk contoh garnbut Samuda diambil pada kedalarnan 0 - 70 cm. Diskripsi profil tanah berdasarkan hasil bor yang dilakukan pada setiap lokasi penelltian dhjikan pada Tabel Lampimn 3. Berdasarkan kandungan dan ketebalan bahan organik diatas bpisan tanah mineral pada ketiga lokasi tersebut rnenunjukkan tanah di lokasi termasuk ordo Histosol. Lokasi Berengbengkel rnerniliki ketebalan lapisan organik 510 crn dengan kandungan C-organik berkisar antara 56.4 - 57.8 %. Lokasi Sampit rnerniliki lapisan bahan organik dengan ketebalan 220 crn dengan kadar C-organik & 57.8 %. Sedangkan lokasi Samuda merniliki ketebalan bahan organik 115 cm dengan kadar C-organik b e r k i i r antara 54.4 - 56.4 %. Hasil diskripsi profil berdasarkan kriteria sistern Taksonomi Tanah yang djkernukakan oleh Soil Survey Staff (19991, menunjukkan tingkat kematangan bahan organik pada ketiga bkasi gambut lebih dorninan hemik Oleh sebab itu tanah digolongkan ke dabrn subordo Hernist. Pada profil gambut Berengbengkel dan gambut Sarnpit tidak dijurnpai horison sulfurik ataupun bahan sulfidik, bahan humilwik, PETA SlTUASl .. /-. P ' 'v Batas Propinsi I LAUT JAWA A L o e i pengambii bahan tanah mineral Lokasi penelitiarJpengamMan bahan tanah gambut Gambar 5. Lokasi Penelitian/PengambilanBahan Tanah Gambut dan Tanah Mineral Di KalimantanTengah serta tidak mempunyai rejim suhu cryik sehingga kedua tanah tersebut masuk kedalam great grup Haplohemist. Selanjutnya pada tingkat subgrup tanah gambut Berengbengkel dan Sampit tergotong pada Typic Haplohemist, karena tidak memenuhi kriteria untuk subgrup lain. Bahan mineral di bawah gambut Berengbengkel bempa pasir kuarsa (r510 cm), sedangkan bahan mineral di bawah gambut Sampit (>220 cm) berupa endapan marin berwarna abu-abu yang berpotensi pirit. Sedangkan pada lokasi didaerah Samuda, adanya bahan sulfidik pada ketebalan r115 cm rnenyebabkan tanah ini termasuk dalam great grup Sulfihernist dan mernbedakan klasifikasi tanah gambut ini dengan tanah gambut di Sampit dan Berengbengkel. Bahan sulfidik jika berada diatas muka air tanah akan dapat menurunkan produktivitas tanah sebab pirit akan teroksidasi, akan menyebabkan pH tanah menjadi sangat masam dan konsentrasi asam sulfat dalam larutan tanah akan meningkat. Narnun demikian pada lokasi ini letak bahan sulfidik berada pada kedalaman lebih dari 115 crn sehingga relatif aman bagi kegiatan pertanian. Selanjutnya karena tidak memenuhi kriteria subgrup yang lain maka tanah ini dikelompokkan ke dalam sub grup Typic Sulfihemist. Bahan mineral di bawah gambut berupa endapan marin berwarna keabu-abuan yang mengandung bahan pirit, sebagian besar merupakan bahan yang diendapkan dan vegetasi mangrove. Sifat-sifat Kirnia Tanah Gambut Dari analisis pendahuluan terhadap sifat-sifat kirnia tanah gambut pada ketiga lokasi penelitian diperoleh hasil seperti disajikan pada Tabel 2. Secara keseluruhan niiai pH H20 berdasarkan kriteria yang diajukan oleh Tim IF% masarn. (1976) tergolong sangat Rataan nilai pH garnbut Berengbengkel berkisar 3,67, gambut Sampit 3.71 dan gambut Samuda sekitar 3,81. Walaupun tidak memiliki perbedaan yang mencolok, narnun cenderung pH gambut Berengbengkel lebih rendah dibanding gambut Sarnpit maupun garnbut Sarnuda. Salampak (1999) mengemukakan reaksi tanah gambut berkaitan erat dengan kandungan asarn-asarn organiknya. Hal ini sesuai dengan hasil Tabel 1. Sifat-sifat Kimia Tanah Garnbut Pedalarnan (Berengbengkel), Gambut Transisi (Sampit) dan Gambut Pantai (Sarnuda) Kalimantan Tengah. I Sifat Kimia Tanah Kadar air Gambut Pedalarnan (O/O) Gambut Transisi 779 Volume serat (96) 35 Indeks pirofosfat 4 2.83 3.71 56.4 90.75 Kadar Abu (Oh) C/N ratio - Mg-dd K-dd Na-dd KTK (me/100 g) KB (%) Kation rnikro total (ppm) (HN03-HCI pekat) Cu Fe 0 Zn r Mn Kation mikro terlarut (0,05 N HCI) Cu Fe r Zn Mn - Ceterangan : tr = tidak terukur 91.54 (;ambut\ Pantai 7 1 I 3 3,24 3.81 54.4 69.55 1 I analisis asam-asam organik yang diperoleh yang menunjukkan kandungan asam-asam organik pada gambut pedalaman lebih tinggi dibanding gambut transisi dan gambut pantai. Kadar abu atau sisa pemijaran bahan tanah gambut dari ketiga lokasi penelitian sangat rendah, yakni gambut Berengbengkel dengan rataan kadar abu berkisar 0,67 %, gambut Sarnpit 2,83 % dan gambut Samuda 3,24 %. Hasil analisis ini menunjukkan ketiga gambut tersebut tergolong gambut murni karena rnemiliki ratarata kehilangan pijar lebih dari 90 % (Andriesse, 1974). Rataan kadar abu bewariasi menurut lokasi pembentukan, yakni garnbut, pantai > gambut transisi > garnbut pedalaman. Hal ini erat kaitannya dengan proses terbentuknya gambut pada ketiga lokasi tersebut. Gambut pantai clan transisi terbentuk dibawah pengaruh air laut dan air payau yang kaya akan bahan mineral, sedangkan gambut pedalaman terbentuk dibawah pengaruh air hujan yang rniskin bahan mineral. Namun menurut Salampak (1999) ha1 ini lebih disebabkan oleh lapisan bawah gambut 8erengbengkel (pedalaman) berupa pasir kuarsa sedangkan lapisan bawah garnbut pantai dan transisi berupa tanah liat. Sehingga bahan tanah liat yang halus dapat tercampur dengan lapisan atasnya akibat pergerakan air kapiler dan naik turunnya permukaan air tanah akibat pasang surut air taut, sedangkan k h a n pasir sangat sulit untuk tercampur dengan hpisan gambut diatasnya. Kandungan C-organik pada ketiga lokasi tidak rnenunjukkan perbedaan yang mencolok. Namun demikian terdapat kecenderungan kandungan C-organik dari gambut Berengbengkel lebih tinggi dibanding gambut Samuda dan Sampit. I-lal ini erat kairannya dengan perbedaan kandungan bahan mineral d a r i ketiga lokai;i gambut. Berdasarkan hasil analisis kadar abu, gambut Samuda dan Sampit memiliki kadar abu yang lebih tinggi dibanding gambut Berengbengkel. Berdasarkan kriteria Tim IPB (1976) kandungan nitrogen total (N-total) pada ketiga lokasi gambut tergolong tinggi. Akan tetapi hal ini tidak diikuti oleh tingginya ketersediaan N bagi tanaman yang tercermin dari nisbah C/N. Hasil analisis contoh tanah dari ketiga lokasi, menunjukkan nisbah C/N yang tinggi sekitar 69.55 untuk gambut pantai, untuk gambut transisi 90,75 dan 91,54 untuk gambut pedalaman. Menurut Tisdale eta/., (1985)jika bahan organik memiliki nisbah C/N z 30 akan teqadi proses imobilisasi N, dimana N yang dihasilkan dari proses mineralisasi digunakan oleh jasad rnikro untuk kebutuhan hidupnya. Nilai KTK bervariasi menurut lokasi pembentukan gambut. Gambuit Samuda memiliki rataan nilai KTK tertinggi diikuti oleh gambut transisi dan gambut pedalaman. Gambut pantai (Samuda) memiliki KTK sebesar 195.03, gambut transisi 186.03 dan gambut pedalaman sebesar 173 rne/100 g pola ini sejalan dengan nilai pH tanah dan tingkat humifikasi dari ketiga gambut tersebut. Tanah gambut merniliki jenis rnuatan variabel yang bergantung nilaj pH, makin tinggi nilai pH rnaka muatannya akan sernakin besar. Hasil analisis juga menunjukkan basa-basa secara keseluruhan berada pada kisaran yang rendah. Nilai Kejenuhan 8asa (KB) bervariasi berdasarkan lokasi pembentukan gambut. Pota kejenuhan basa mengikuti pola kadar abu dari ketiga jenis gambut. Gambut Samuda memiliki kejenuhan basa t&inggi sebasar 7,7896,kemudian diikuti oleh gambut transisi 7,08O/6dan gambut Berengbengkel 4.42Y0. Secara umum ketersediaan unsur mikro berada pada kisaran sedang hingga sangat rendah terutama Cu yang tidak terukur. Menurut Rahirn (1995) kahat ini berkaitan dengan terbentuknya ikatan yang kuat antara Cu dengan senyawa organik dari tanah gambut. Tingkat Humifikasi Gambut Tingkat hurnifikasi menunjukkan jurnlah zat humus terekstrak, yang rnempunyai hubungan erat dengan tingkat dekomposisi bahan organik (Tsusuki dan Kondo, 1995). 3urnlah zat humus terekstrak dalam gambut akan rneningkat bila proses dekornposisi bahan organik terus berlanjut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sabiharn dan Riwandi (2000) pada lokasi yang sama menunjukkan bahwa nilai rasio E d & dari gambut Pantai adalah 6.90, gambut transisi 6.60 dan garnbut pedalaman adalah 2.40. Nilai rasio ini rnenunjukkan garnbut pantai memiliki tingkat hurnifikasi paling besar kernudian diikuti oleh gambut transisi dan gambut pedalaman. Menurut Stevenson (1994) apabila nilai rasio WE, kurang dari 5.0 berarti garnbut didorninasi oleh asam humat sedangkan apabila nilai rasio tersebut lebih dari 5.0 berarti garnbut didorninasi oleh asam fulvat. Gambut yang didominasi oleh asarn humat rnenunjukkan bahwa garnbut belurn rnengalami proses dekornposisi yang lanjut. Sedangkan gambut yang didominasi oleh asarn fulvat menunjukkan bahwa garnbut telah rnengalami proses dekomposisi yang tanjut, artinya gambut rnengandung senyawa organik yang rnempunyai bobot molekul lebih rendah, dan banyak berfungsi dalarn kelat (flaig etal., 1975). Kadar Air Kritis Proses kering tidak balik, merupakan salah satu akibat dari proses destabilisasi yang teqadi pada tanah gambut. Dalarn kondisi ini garnbut tidak mampu mcnyerap air kembati. Hal ini akan rnenyebabkan gambut akan kehilangan fungsinya sebagai media turnbuh tanarnan. Secara praktis, batas air kritis rnernberikan arti yang sangat penting dalam pengelolaan lahan garnbut. Artinya kadar air di dalarn garnbut tidak boleh kurang dari batas air kritis agar tanah tersebut iidak rnengalami proses pengeringan yang berkelanjutan. Hasil penelitian Sabiham (2000) rnengenai batas air kritis dengan peluang 60 - 80 OO / dari tanah gambut tingkat dekomposisi hemik, pada lokasi yang sama menunjukkan bahwa pada gambut pantai memiliki batas air kritis sebesar 221.6165.5%, pada gambut transisi sebesar 327.9-245.0% dan pada gambut pedalaman sebesar 426.5-318.3%. Ketidakmampuan gambut untuk menyerap air kernbali antara lain disebabkan oleh adanya penurunan gugus fungsional COOH dan fenolat-OH. Kedua gugus fungsional ini bersifat polar dan hidrofilik, sehingga ketersediaannya dalam gambut akan menentukan kemampuan gambut dalam menyerap ail- (Sabiham, 2000). Laju Emisi CH4 dan C 0 2 Hasil peneilitian Sabiham dan Sulistyono (2000) dalam skala laboratorium menunjukkan laju kehilangan karbon dari tanah gambut Berengbengkel, !jampit dan Samuda dalam bentuk C02 lebih besar datam kondisi aerob, sebaliknya dalam kondisi anaerob kehilangan karbon lebih besar dalam bentuk CH,. Penambahan kation ~ e ~ + dalam bentuk FeC1,.6H20 sampai dosis 5% erapan rnaksimum mampu menu-unkan COz sebesar 27.67% dan CH, sebesar 32.97%. Selain itu Sabiham dan Sulistyono (2000) melaporkan bahwa peningkatan taraf pemberian Fe3+ akan makin menurunkan laju ernisi dari C02 dan CH, seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pengaruh Pemberian Kation Fe3+terhadap Produksi C02 dan CH4 serta nilai pH, Eh, dan Fe-larut (Sabiham dan Sulistyono, 2000). Dosis ~ e ~ * coz (Erapan Maks.) (pg.g-'.jam-') 0.0% 42.21a CH4 PH Eh Fe-larut 3.92a -176a 7.93a (pg-g-'.jam-') 21.08a