3 II. 2.1. TINJAUAN PUSTAKA Tanah Gambut 2.1.1. Pengertian dan Sifat Kimia Tanah Gambut Tanah gambut adalah tanah yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik >18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya, lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang atau daerah cekungan yang berdrainase buruk (Agus dan Subiksa, 2008). Di Indonesia istilah gambut telah umum dipakai untuk padanan peat. Sebagian petani menyebut tanah gambut dengan istilah tanah hitam, karena warnanya hitam dan berbeda dengan jenis tanah lainnya. Tanah gambut yang telah mengalami perombakan secara sempurna sehingga tumbuhan aslinya tidak dikenali lagi dan kandungan mineralnya tinggi disebut tanah bergambut (muck, peat muck, mucky) (Noor, 2011). Karakteristik kimia gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan lapisan gambut, jenis tanah mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi: a. Gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral dan basa basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relatif subur biasanya adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai atau laut. b. Gambut mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki kandungan mineral dan basa-basa sedang. c. Gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral dan basa basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik. Gambut di Indonesia sebagian besar tergolong gambut mesotrofik dan oligotrofik, gambut eutrofik di Indonesia hanya sedikit dan umumnya tersebar di daerah pantai dan di sepanjang jalur aliran sungai (Radjagukguk, 1997 dalam Agus dan Subiksa, 2008). 4 Gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan kisaran pH 3-5. Gambut oligotropik, seperti banyak ditemukan di Kalimantan, mempunyai kandungan kation basa seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut, basa-basa yang dikandungnya semakin rendah dan reaksi tanah menjadi semakin masam, di sisi lain kapasitas tukar kation (KTK) gambut tergolong tinggi, sehingga kejenuhan basa (KB) menjadi sangat rendah (Driessen dan Suhardjo, 1976). Selanjutnya, Tan (1998) menyatakan bahwa pada tanah yang mengandung bahan organik tinggi, ketersediaan unsur hara mikro seperti Cu, Fe, Mn, dan Zn sangat rendah karena diikat oleh senyawa-senyawa organik. Kendala kimia yang membatasi produktivitas lahan gambut di Indonesia adalah rendahnya ketersediaan hara dan tingginya kandungan asam-asam organik beracun bagi tanaman. Gambut di Indonesia (dan di daerah tropis lainnya) mempunyai kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan gambut yang berada di daerah beriklim sedang, karena terbentuk dari pohon-pohohan. Lignin yang mengalami proses degradasi dalam keadaan anaerob akan terurai menjadi senyawa humat dan asam-asam fenolat. Asam-asam fenolat dan derivatnya bersifat fitotoksik (meracuni tanaman) dan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat. Asam fenolat merusak sel akar tanaman, sehingga asam-asam amino dan bahan lain mengalir keluar dari sel, menghambat pertumbuhan akar dan serapan hara sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, daun mengalami klorosis (menguning) dan pada akhirnya tanaman akan mati (Driessen, 1978 dalam Rachim, 1995). 2.1.2. Usaha-Usaha Pengelolaan Lahan Gambut Menurut Soepardi (1983), usaha pengelolaan untuk perbaikan lahan gambut antara lain : 1. Drainase lahan gambut, penurunan dan pengendalian air untuk jangka waktu relatif lama sehingga memungkinkan aerasi pada daerah akar selama musim pertanaman. 5 2. Pengelolaan struktur, tanah organik pada umumnya memerlukan pemadatan daripada penggemburan. Makin lama gambut diusahakan pemadatan makin penting. Pengelolaan cenderung merusak struktur semula, dan tanah menjadi peka terhadap erosi angin. Untuk alasan itu suatu pemadat merupakan hal penting dalam pengelolaan tanah gambut. Pemadatan tanah organik memungkinkan akar berhubungan lebih dekat dengan tanah dan memungkinkan air naik dari bawah. 3. Penggunaan kapur, keadaan yang sangat masam menyebabkan pelarutan besi, aluminium, dan mangan sampai suatu tingkat sehingga mereka menjadi racun. Di bawah keadaan demikian, sejumlah besar kapur diperlukan untuk memperoleh pertumbuhan normal. 4. Unsur mikro, tanah gambut tidak hanya memerlukan kalium, fosfor dan nitrogen, tetapi seringkali membutuhkan beberapa unsur mikro. Pemupukan sangat dibutuhkan karena kandungan hara gambut sangat rendah. Jenis pupuk yang diperlukan adalah yang mengandung N, P, K, Ca dan Mg. Walaupun KTK gambut tinggi, namun daya pegangnya rendah terhadap kation yang dapat dipertukarkan sehingga pemupukan harus dilakukan beberapa kali (split application) dengan dosis rendah agar hara tidak banyak tercuci. Penggunaan pupuk yang tersedianya lambat seperti fosfat alam akan lebih baik dibandingkan dengan SP36, karena akan lebih efisien, harganya murah dan dapat meningkatkan pH tanah (Subiksa et al., 1991 dalam Agus dan Subiksa, 2008). 2.2. Karakteristik Tanaman Padi Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun yang terdiri dari dua kelompok organ tanaman yakni organ vegetatif dan organ generatif (reproduktif). Bagian vegetatif meliputi akar, batang dan daun, sedangkan bagian generatif terdiri dari malai, gabah dan bunga. Tanaman pertanian kuno yang berasal dari benua yaitu Asia. Selain Cina dan India, beberapa wilayah asal padi adalah Bangladesh Utara, Burma, Thailand, Laos, Vietnam. Klasifikasi botani tanaman padi adalah sebagai berikut, 6 Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monotyledonae Keluarga : Gramineae (Poceae) Genus : Oryza Spesies : Oryza sativa Terdapat 25 spesies Oryza, yang dikenal adalah Oryza sativa dengan dua subspecies yaitu Indica (padi bulu) yang ditanam di Indonesia dan Sinica (padi cere). Padi dibedakan dalam dua tipe yaitu padi lahan kering (gogo) dan padi sawah yang memerlukan penggenangan. Varietas padi yang sering digunakan dalam budidaya dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia salah satunya adalah padi varietas IR-64. Varietas ini merupakan hasil persilangan antara padi IR 5657 dengan IR 2061 yang di introduksi oleh IRRI. Varietas ini berasal dari golongan cere dengan deskripsi sebagai berikut; umur tanaman 110 sampai 120 hari, anakan produktif sebanyak 20 sampai 35 batang, tahan kerontokan dan rebah, tahan hama wereng coklat biotipe 1,2 dan agak tahan wereng coklat biotipe 3, agak tahan penyakit hawar daun bakteri strain IV serta tahan virus kerdil rumput, dan baik ditanam pada lahan sawah irigasi dataran rendah sampai sedang (Suprihatno et al, 2010). Pertumbuhan tanaman padi dibagi dalam tiga fase (De Datta, 1981) yaitu : 1. Fase vegetatif, yaitu meliputi awal pertumbuhan sampai pembentukan malai. Pada fase ini terdapat empat tahap yaitu; tahap 0 saat benih berkecambah sampai munculnya daun pertama muncul. Tahap 1 yaitu tahap pertunasan; dimulai saat benih berkecambah sampai dengan sebelum anakan pertama muncul. Selama tahap ini, daun dan sistem perakaran terus berkembang dengan cepat. Tahap 2 yaitu tahap anakan; berlangsung sejak muncul anakan pertama sampai pembentukan anakan maksimal tercapai. Anakan terus berkembang sampai tanaman memasuki tahap pertumbuhan berikutnya tahap 3 yaitu pemanjangan batang. Tahapan ini terjadi sebelum pembentukan malai atau terjadi pada tahap akhir pembentukan anakan. 7 2. Fase reproduksi, yaitu fase pembentukan malai sampai pembungaan. Pada fase ini terdapat tiga tahap, yang terdiri dari; tahap 4 yaitu pembentukan malai sampai bunting yang ditandai dengan adanya proses inisiasi primordial malai pada ujung tunas. Malai muda meningkat dalam ukuran dan berkembang ke atas di dalam pelepah dan menyebabkan pelepah daun menggembung, penggembungan daun bendera disebut bunting. Bunting pertama terjadi pada ruas batang utama. Pada tahap bunting, ujung daun layu (menjadi tua dan mati) dan anakan non produktif terlihat pada bagian dasar tanaman. Tahap 5, yaitu tahap keluarnya malai yang ditandai dengan kemunculan ujung malai dari pelepah daun bendera. Malai terus berkembang sampai keluar seutuhnya dari pelepah daun. Tahap 6, yaitu tahap pembungaan dimulai ketika serbuk sari menonjol keluar dari bulir dan terjadi proses pembuahan. 3. Fase Pematangan, yaitu fase pembungaan sampai gabah matang. Pada fase ini terdapat tiga tahap, yaitu; tahap 7 dimana pada tahap ini gabah mulai terisi dengan cairan serupa susu atau disebut gabah matang susu. Malai hijau dan mulai merunduk. Pelayuan (senescense) pada dasar anakan berlanjut. Daun bendera dan dua daun di bawahnya tetap hijau. Tahap 8, yaitu tahap gabah setengah matang. Isi gabah yang menyerupai susu berubah menjadi gumpalan lunak dan akhirnya mengeras. Gabah pada malai mulai menguning. Pertanaman kelihatan menguning. Seiring menguningnya malai, ujung kedua daun terakhir pada setiap anakan mulai mengering. Tahap 9; yaitu tahap gabah matang penuh. Setiap gabah matang berkembang penuh, keras dan berwarna kuning. Daun bagian atas mengering dengan cepat (daun dari sebagian varietas ada yang tetap hijau). Sejumlah daun yang mati terakumulasi pada bagian dasar tanaman. Di daerah tropis, fase reproduktif selama 35 hari dan fase pematangan sekitar 30 hari. Perbedaan masa pertumbuhan ditentukan oleh perubahan panjang waktu fase vegetatif. 8 2.3. Silikon dalam Tanah dan Tanaman Si merupakan unsur kedua terbanyak setelah oksigen (O) dalam kerak bumi. Selain itu, Si juga merupakan unsur benefisial bagi tanaman. Porsi terbesar Si tanah dijumpai dalam bentuk kuarsa atau kristal silikat (Buol et al., 1980 dalam Yukamgo dan Yuwono, 2007). Si dalam larutan tanah tersedia dalam bentuk asam monosilikat (Si(OH)4). Peranan silikat utamanya pada tanaman padi yaitu meningkatkan kekuatan jaringan tanaman; meningkatkan ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit tanaman; meneguhkan jerami; meningkatkan ketegaran daun padi; mencegah kerebahan sehingga daun efektif menangkap sinar matahari dan kemapuan berfotosintesis pun meningkat; menghemat pemakaian air melalui pengendalian transpirasi; serta meningkatkan kemampuan akar mengoksidasi lingkungan dan mengurangi keracunan Fe dan Mn (Yoshida, 1981). Tanaman padi menyerap Si dalam jumlah banyak dari sekitarnya, yaitu setiap 100 kg gabah kering giling (GKG) terserap 2,1 kg N; 0,5 kg P; 3,3 kg K; 0,7 kg Ca; dan 20 kg SiO. Tanaman padi mendapatkan silikat dari berbagai sumber antara lain air irigasi, jerami padi, kompos, dan pupuk silikat (Makarim et al, 2007) Di wilayah tropika basah seperti Indonesia, yang memiliki rata-rata curah hujan dan suhu relatif tinggi. Potensi kehilangan Si dari tanah-tanah tropika bisa mencapai 54,2 kg per ha setiap tahun. Berbeda dengan unsur hara lainnya, kehilangan Si dari tanah jarang sekali dikompensasi melalui pemupukan. Konsentrasi asam silikat (bentuk Si yang tersedia bagi tanaman) cenderung terus berkurang pada lahan-lahan pertanian yang dibudidayakan secara intensif. Degradasi kesuburan tanah akan terjadi seiring dengan penurunan kadar asam silikat, terutama karena dua alasan. Pertama, berkurangnya asam silikat akan diikuti dengan dekomposisi mineral Si (fenomena keseimbangan hara tanah), dimana yang terakhir ini memiliki arti penting dalam mengontrol berbagai sifat tanah. Kedua, penurunan asam silikat akan menurunkan ketahanan tanaman 9 terhadap hama dan penyakit. Oleh karena itu, dalam rangka menjaga kesuburan tanah pemupukan Si sebenarnya diperlukan (Yukamgo dan Yuwono, 2007). Hampir semua tanaman mengandung Si, dalam kadar yang berbeda-beda dan sering sangat tinggi. Pada tanaman padi misalnya, kadar Si sangat tinggi dan melebihi unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S). Walaupun Si tidak termasuk hara yang penting pada tanaman, Si dapat menaikkan produksi karena Si mampu memperbaiki sifat fisik tanaman salah satu contohnya yaitu batang padi menjadi kokoh dan tak mudah roboh. Robohnya tanaman menyebabkan terganggunya produktivitas padi sehingga produksi padi pun menurun. Dengan demikian, pemupukan Si dianggap dapat menaikkan produksi tanaman (Roesmarkam dan Yuwono, 2002). 2.4. Pemanfaatan Terak Baja dalam Bidang Pertanian Terak baja merupakan limbah padat dari proses pembakaran besi dalam produksi pembuatan baja. Terak baja terbentuk melalui reaksi antara biji besi dan batu kapur yang ditambahkan. Penambahan batu kapur bertujuan untuk mengikat bahan-bahan pengotor dari biji besi, agar diperoleh besi murni atau sudah terpisah dari teraknya. Terak baja mengandung unsur- unsur seperti Ca, Mg, Si dan unsurunsur lainnya (Hadisaputra, 2011). Berdasarkan proses pembuatan baja, terak baja atau steel slag diklasifikasikan 1) Iron making slag (blast furnace slag), 2) steel making slag (converter slag atau basic oxygen furnace, pre treatment centerslag, dan electric furnace slag) (Suwarno dan Goto, 1999). Selanjutnya Suwarno dan Goto (1997), menyatakan bahwa dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terak baja Indonesia (electric furnace slag) mengandung unsur-unsur sebagai berikut : 42% Fe2O3; 7,2 % Al2O3; 21,5% CaO; 11,2% MgO; 14,6% SiO2, dan 0,4% P2O5. Terak baja Indonesia setiap tahunnya diproduksi sekitar 540.000 ton, tetapi belum ada yang digunakan di bidang pertanian. Penggunaan terak baja dapat meningkatkan pH tanah, Ca dan Mg dapat dipertukarkan, dan meningkatkan ketersediaan Si dalam tanah. 10 Pemakaian terak baja sebagai pupuk telah mulai dicoba sejak tahun 1882/1883 di Jerman, kemudian di Inggris pada tahun 1884/1885 oleh Wrightson, setelah itu berbagai penelitian terak baja telah dilakukan baik sebagai sumber Si maupun sebagai bahan kapur atau untuk tujuan meningkatkan keefisiensian pemupukan (Farrar, 1962 dalam Allorerung, 1988). Beberapa peneliti menduga pengaruh terak baja terhadap sifat kimia tanah berasal dari silikat yang terkandung di dalam terak baja dan dengan demikian terak baja dipandang sebagai sumber Si. Peneliti lain juga menganggap bahwa terak sebagai bahan masukan yang dapat memperbaiki keadaan ketersedian hara atau sebagai bahan yang mempunyai pengaruh mirip dengan kapur, disebabkan kandungan Ca dari terak baja yang cukup tinggi (Ali dan Shahram, 2007). Selain karena sifat terak baja sebagai amelioran tanah, terak baja dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas padi. Terbukti bahwa pemberian electric furnace slag dapat meningkatkan produksi padi sawah IR 64 pada tanah gambut sebesar 65-96 %. Meningkatnya produksi padi disebabkan oleh kemampuan terak baja yang dapat bereaksi dengan tanah sehingga dapat mempengaruhi sifat fisik dan kimia tanah. Pemberian terak baja meningkatkan pH tanah, silikon, Cu tersedia, dan basa-basa (K, Ca, dan Mg) dapat dipertukarkan (Hidayatuloh, 2006). 2.5. Dolomit Sebagai Bahan Pengapuran Kapur banyak mengandung unsur Ca tetapi pemberian kapur ke dalam tanah pada umumnya bukan karena tanah kekurangan Ca melainkan karena tanah terlalu masam. Sebetulnya ada beberapa jenis bahan pengapur yang dapat digunakan yaitu kapur bakar (CaO), kapur hidrat (Ca(OH)2), kapur kalsit(CaCO3), dan kapur dolomit (CaMg(CO3)2) (Hardjowigeno, 2003). Kalsit dan dolomit adalah senyawa karbonat yang sering digunakan sebagai bahan pengapuran pada tanah pertanian. Kedua senyawa ini mempunyai perbedaan dalam hal kecepatan bereaksi, kalsit bereaksi lebih cepat dari dolomit (Soepardi, 1983). Namun, jika kecepatan reaksi bukan merupakan pertimbangan dalam penggunaan bahan kapur, dolomit dirasa lebih menguntungkan karena dalam dolomit terdapat unsur Mg. 11 Dolomit termasuk rumpun mineral karbonat, mineral dolomit secara teoritis mengandung 45,6% MgCO3 atau 21,9% MgO dan 54,3% CaCO3 atau 30,4% CaO. Dolomit berasal dari bahan mineral alam yang mengandung unsur hara magnesium dan kalsium berbentuk bubuk dengan rumus kimia CaMg(CO3)2. Dolomit di alam jarang yang murni, karena umumnya mineral ini selalu terdapat bersama-sama dengan batu gamping, kuarsa, batu api, pirit, dan lempung. Dalam mineral dolomit terdapat juga pengotor, terutama ion besi. Dolomit berwarna putih keabu-abuan atau kebiru-biruan dengan kekerasan lebih lunak dari batu gamping, yaitu berkisar antara 3,50-4,00, bersifat pejal, berat jenis antara 2,802,90, berbutir halus hingga kasar dan mempunyai sifat mudah menyerap air serta mudah dihancurkan. Dolomit lebih disukai karena banyak terdapat di alam (Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara, 2005). Pada bidang pertanian dolomit ini digunakan sebagai bahan pengapuran tanah masam termasuk lahan gambut. Pengapuran pada lahan gambut dapat memperbaki kesuburan tanah gambut, namun efek residunya tidak berlangsung lama hanya 3-4 kali musim tanam, sehingga pengapuran harus dilakukan secara periodik. Pengapuran selain dapat mengurangi kemasaman tanah juga meningkatkan kandungan kation basa yaitu Ca dan Mg maupun kejenuhan basa gambut. Pengapuran mempengaruhi pertumbuhan tanaman melalui dua cara yaitu peningkatan ketersediaan unsur Ca, Mg, dan perbaikan ketersediaan unsur-unsur lain yang ketersediaannya tergantung pH tanah. Dolomit merupakan salah satu jenis kapur yang mengandung Ca dan Mg. Kedua unsur ini penting untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Untuk meningkatkan pH tanah dari 3,3 menjadi 4,8 diperlukan kapur sebanyak 4,4 ton/ha (Driessen, 1978 dalam Nurhayati, 2008). 2.6. Permasalahan Logam Berat dalam Lingkungan Logam berat adalah unsur kimia dengan bobot jenis lebis besar dari 5 g/cm³, memiliki afinitas yang tinggi dengan unsur S (Sulfur) dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92, dari periode 4 sampai 7 (Dewi dan Saeni, 1997). Menurut Soepardi (1983), hingga batas tertentu logam berat sangat beracun bagi manusia atau binatang. Kadmium (Cd) dan arsen (As) sangat beracun; air raksa 12 (Hg), timah (Sn), nikel (Ni), dan flour (F) mempunyai tingkat racun yang sedang; dan boron (B), tembaga (Cu), mangan (Mn), dan seng (Zn) mempunyai tingkat racun terendah. Berdasarkan PP No 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, terak baja termasuk dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Limbah B3 yaitu sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya. Terak baja memiliki kandungan yang berupa unsur-unsur logam berat yaitu As, Cd, Cr, Pb, Hg, Zn, Cu, dan Mn yang dapat bersifat toksik dan mencemarkan, karena hal itulah terak baja berdasarkan PP No. 85 Tahun 1999 dikategorikan sebagai limbah B3. Namun, hasil penelitian yang dilakukan oleh Syihabuddin (2011) menunjukkan bahwa kandungan logam berat beracun pada perlakuan terak baja sangat sedikit, bahkan sama sekali tidak ada pada beberapa perlakuan. Nilai kelarutan logam berat beracun lebih banyak terdapat pada perlakuan pemupukan standar. Hal ini menunjukkan bahwa logam berat itu sendiri sebenarnya sudah terdapat dalam tanah dan kelarutan logam berat semakin menurun pada perlakuan slag karena peningkatan pH. Dengan pH tanah dipertahankan agar tetap tinggi unsur-unsur tersebut menjadi kurang mobil dan kurang tersedia. Logam berat dapat masuk ke tubuh manusia melewati rantai pangan pendek (hewan-manusia) atau lewat rantai pangan panjang (tanaman-hewanmanusia). Di samping melalui mulut dari makanan dan minuman, unsur logam berat juga dapat masuk melalui pernafasan dan kulit. Pemakaian logam berat sangat luas, seperti untuk pereaksi atau katalis dalam berbagai proses industri. Bersamaan dengan produk industri, dihasilkan pula limbah yang tidak berguna, bahkan dalam jumlah tertentu dapat membahayakan kehidupan manusia. Salah satu zat dalam limbah adalah logam berat yang akan masuk ke lingkungan, seperti sungai, danau, tanah, dan udara dan dapat mengalami magnifikasi biologis pada 13 tumbuhan dan hewan yang akan dikonsumsi manusia, sehingga mempengaruhi kesehatannya (Dewi dan Saeni, 1997). Untuk batas maksimum logam berat pada beras yang layak konsumsi sesuai dengan SNI 7387: tahun 2009, tentang batas maksimum cemaran logam berat dalam pangan, yaitu: Tabel 1. Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Beras Elemen Logam Berat Batas Maksimum Cemaran ………… (mg/kg) ………… Pb 0,3 Cd 0,4 As 0,5 Sn 0,4 Hg 0,05 Sumber : Badan Standardisasi Nasional, 2009 Logam berat termasuk zat pencemar karena sifatnya yang tidak dapat diuraikan secara bilogis dan sifatnya yang stabil, sehingga dapat tersebar jauh dari tempatnya semula (Moewarni dan Siallagan, 1987 dalam Dewi dan Saeni, 1997). Hal ini sejalan dengan pendapat Sutrisno dan Salirwati (1993) yang menyatakan bahwa ada dua hal yang menyebabkan logam berat termasuk sebagai pencemar yang berbahaya, yaitu: tidak dihancurkan oleh mikroorganisme yang hidup di lingkungan dan terakumulasi dalam komponen-komponen lingkungan, terutama air dengan membentuk kompleks bersama bahan organik dan anorganik secara adsorpsi dan kombinasi.