LEGAL STANDING LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL INDONESIA PADA GUGATAN UTANG-PIUTANG (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor : 62/ Pdt.G/ 2013/ PN.KPJ) SKRIPSI Oleh : RIZKY PRIAMBODO E1A111069 KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015 i LEGAL STANDING LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL INDONESIA PADA GUGATAN UTANG-PIUTANG (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor : 62/ Pdt.G/ 2013/ PN.KPJ) Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Oleh : RIZKY PRIAMBODO E1A111069 KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015 iv ABSTRAK Legal standing merupakan hak gugat yang diberikan oleh undang-undang kepada lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang tertentu yang tidak secara langsung menjadi korban untuk mengajukan tuntutan hak. Legal standing perlindungan konsumen secara materiil diatur dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hakim dalam mengkonstitusi legal standing Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia tidak mempunyai kapasitas hukum sebagai penggugat pada gugatan utang-piutang sudah tepat ataukah masih ada kekurangan dalam menjatuhkan putusan No. 62/Pdt.G/2013/PN.KPJ. Karena Legal standing dapat dimiliki apabila memenuhi syarat yang tercantum pada Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan. Hakim menggunakan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok yang secara substansi mengambil acara pemeriksaan pendahuluan untuk memeriksa kapasitas hukum dari diri Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia. Pada pemeriksaan pendahuluan Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia menyerahkan alat bukti surat untuk memenuhi persyaratan sebagai lembaga yang memiliki legal standing, terbukti bahwa tidak adanya bukti surat yang menerangkan Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia sebagai Badan Hukum. Hal tersebut menjadi dasar majelis hakim untuk menyatakan gugatan tidak dapat diterima. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa untuk memiliki legal standing lembaga perlindungan konsumen harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. 2. 3. Berbentuk badan hukum atau yayasan ; Anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen ; Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. Selain ketiga syarat tersebut, legal standing yang memiliki kapasitas hukum dalam mengajukan gugatan ditujukan demi kepentingan masyarakat atau demi harkat martabat orang banyak dengan petitum yang dimintakan adalah penghentian kegiatan, permintaan maaf, uang paksa (dwangsom), bukan ganti kerugian. v ABSTRACT Legal standing is the right to sue that granted by law to the nongovernmental organizations engaged in particular that do not directly become a victim to file a claim rights. Legal standing consumer protection materially regulated in Article 46 paragraph (1) letter c of Law No. 8 of 1999 about Consumer Protection. The purpose of this study is to determine how the judge constitute the legal standing Indonesian National Consumer Protection Agency has no legal capacity as a plaintiff in the lawsuit of debts, is it appropriate or whether there are still shortages in verdict No. 62 / Pdt.G / 2013 / PN.KPJ. Because Legal standing may be held if it meets the requirements that listed in Article 46 paragraph (1) letter c of Law No. 8 of 1999 about Protection. Judge use the Indonesian Supreme Court Regulation No. 1 of 2002 about Class Action Event in substance took a preliminary investigation to examine the legal capacity of Indonesian National Consumer Protection Agency. In the preliminary examination of the Indonesian National Consumer Protection Agency submitted documentary evidence to meet the requirements as an institution which has a legal standing, it is evident that the absence of documentary evidence which explains the Indonesian National Consumer Protection Agency as a legal entity. It became the basis of the judges to declare the lawsuit can not be accepted. These study results indicate that to have legal standing consumer protection agency must meet the following requirements: 1. 2. 3. Form of legal entity or foundation ; In the articles of association stated clearly that the purpose of its establishment is in the interests of consumer protection ; It has been carrying out those activities in accordance with its articles of association. In addition to these three conditions, the legal standing that have legal capacity to file a lawsuit aimed at the public interest or for the sake of the dignity of people with a petition that requested is cessation of activity, apology, money forced (dwangsom), not compensation. vi MOTTO Jadikan ibadah dan sabar sebagai pondasi dalam menjalani kehidupan, hanya dirimu yang bisa mengalahkan dirimu, orang lain hanya turut serta, dan adillah terhadap dirimu, agar orang lain dapat merasakan keberadaanmu vii KATA PENGANTAR Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi dengan judul LEGAL STANDING LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL INDONESIA PADA GUGATAN UTANG-PIUTANG (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor : 62/ Pdt.G/ 2013/ PN.KPJ) dapat diselesaikan dengan baik. Pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum. 2. Bapak Sanyoto, S.H., M.Hum. selaku dosen Pembimbing I yang telah memberikan nasehat, saran, dan bantuan dalam penulisan skripsi ini. 3. Bapak Drs. Antonuis Sidik M. S.H., MS. selaku dosen Pembimbing II yang telah memberikan nasehat, saran, dan bantuan dalam penulisan skripsi ini. 4. Bapak Pramono Suko Legowo, S.H., M.Hum. selaku dosen Penguji. 5. Bapak Muhammad Taufiq selaku dosen Pembimbing Akademik. 6. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang tulus memberikan ilmu kepada penulis sehingga dapat mencapai gelar kesarjanaan. 7. Seluruh staff dan karyawan Bappendik Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang telah membantu dalam administrasi. viii 8. Teman-teman angkatan 2011 dan semua pihak yang turut membantu penulis dalam penyusunan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, meskipun demikian penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan. Purwokerto, 18 Februari 2015 Penulis, ix DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ..................................................................... iii ABSTRAK................................................................................................... iv ABSTRACT ................................................................................................ v HALAMAN MOTTO ................................................................................. vi KATA PENGANTAR ................................................................................. vii DAFTAR ISI ............................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1 B. Perumusan Masalah ......................................................... 9 C. Kerangka Teori ............................................................... 9 D. Tujuan Penelitian ............................................................ 15 E. Kegunaan Penelitian ........................................................ 16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 17 A. Hukum Acara Perdata...................................................... 17 1. Sistem Hukum Acara Perdata di Indonesia .................. 17 2. Pengertian Hukum Acara Perdata................................ 18 3. Sumber Hukum Acara Perdata .................................... 19 x B. Gugatan........................................................................... 24 1. Pengertian Gugatan ..................................................... 24 2. Para Pihak Dalam Gugatan ......................................... 26 3. Pengertian Kuasa Pada Umumnya............................... 28 4. Diskualifikasi in Person .............................................. 30 C. Legal Standing ................................................................ 31 1. Pengertian Legal Standing .......................................... 31 2. Prosedur Pengajuan Legal Standing ............................ 33 3. Pengertian Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) ................ 35 D. Hakim dalam Menjatuhkan Putusan ................................ 41 1. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan ...... 41 2. Sifat Putusan ............................................................... 44 3. Jenis-jenis Putusan ...................................................... 45 4. Asas Putusan............................................................... 47 BAB III METODE PENELITIAN..................................................... 59 A. Tipe Penelitian ................................................................ 59 B. Metode Pendekatan ......................................................... 59 C. Spesifikasi Pendekatan .................................................... 60 D. Jenis dan Sumber Data .................................................... 61 E. Metode Pengumpulan Data.............................................. 62 F. Metode Penyajian Data.................................................... 62 G. Metode Analisis Data ...................................................... 62 xi BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................... 64 A. Hasil Penelitian ............................................................... 64 B. Pembahasan .................................................................... 96 BAB V PENUTUP ............................................................................ 117 A. Simpulan ......................................................................... 117 B. Saran ............................................................................... 117 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pergaulan hidup antar manusia tidak lepas dari adanya permasalahan hubungan antara manusia satu dengan manusia yang lainya. Terlebih apabila masalah tersebut menyangkut tentang hak-hak keperdataan Orang/Badan Hukum yang pada dasarnya ingin hidup secara tenang dan damai tanpa adanya suatu masalah yang menimpanya. Interaksi sosial sesama manusia adakalanya menyebabkan konflik di antara mereka sehingga 1 (satu) pihak harus mempertahankan haknya dari pihak lainnya atau memaksa pihak lain melaksanakan kewajibannya. 1 Upaya untuk mempertahankan hak haruslah dilakukan menurut ketentuan hukum agar ketentraman di dalam masyarakat tidak terganggu, karenanya perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) harus dihindarkan. Tindakan mempertahankan hak menurut hukum itu disebut gugatan, yakni suatu upaya/tindakan untuk menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk melaksanakan tugas/kewajibannya, guna memulihkan kerugian yang diderita oleh Penggugat melalui putusan Pengadilan. 2 Proses melalui Pengadilan 1 Darwan Prinst, Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata (Bandung : Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2002) halaman 1. 2 Ibid., halaman 1. 2 adalah salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa, penyelesaian sengketa di luar Pengadilan pun tidak sedikit yang menggunakannya. Gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang mengenai suatu tuntutan terhadap pihak lainnya dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh Pengadilan, serta kemudian diambil putusan terhadap gugatan tersebut.3 Lembaga Swadaya Masyarakat/Organisasi Masyarakat di dalam praktiknya timbul hak gugat yang bergerak di bidang tertentu untuk mengajukan gugatan, misalnya yang bergerak dibidang lingkungan hidup, kehutanan atau konsumen. 4 Mereka tidak secara langsung menjadi korban dari suatu keadaan, apakah perusakan hutan, pencemaran lingkungan atau sebagai konsumen. Akan tetapi, diberi hak oleh undang-undang (hukum) untuk mengajukan gugatan. Hak itu disebut dengan Legal Standing.5 Legal standing secara materiil diatur dalam beberapa undang-undang, yaitu pasal 92 Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 71 ayat (1) Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal 46 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 3 Ibid., halaman 2. 4 Ibid., halaman 28. 5 Ibid., halaman 28. 3 Pengertian standing adalah hak kelompok masyarakat atau lembaga yang bertindak untuk dan mewakili kepentingan publik, hak yang demikian dikenal dengan hak gugat Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO’s standing).6 Dasar pikiran pengembangan hak gugat (Standing) menurut Mas. Achmad Santosa dan kawan-kawan adalah untuk kepentingan masyarakat luas dan penguasaan sumber daya alam atau sektor-sektor yang memiliki dimensi publik yang luas oleh Negara.7 Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan ”Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui Pengadilan atau di luar Pengadilan”, berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Dijelaskan dalam pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, bahwa penyelesaian sengketa melalui pengadilan dikatakan menjadi wewenang dari peradilan umum, sedangkan penyelesaian sengketa di luar Pengadilan menjadi wewenang lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen. Penyelesaian sengketa di luar Pengadilan hanya dapat ditempuh oleh penggugat individu, karena gugatan secara berkelompok, atau gugatan perwakilan atau gugatan yang dilakukan oleh pemerintah hanya dapat diajukan kepada peradilan umum. 8 Peneliti disini akan meneliti 6 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya (Jakarta : Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2011) halaman 203. 7 Ibid., halaman 28. 8 Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 239. 4 sengketa konsumen yang diselesaikan melalui peradilan umum yang diajukan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Penyelesaian dengan mengadu kepada Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), bukanlah penyelesaian sengketa konsumen, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat akan mengadvokasikan konsumen untuk menyelesaikan permasalahan ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau ke Pengadilan. 9 Rumusan legal standing dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ditemukan pada Pasal 46 ayat (1) huruf c menyebutkan “Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya”. 10 Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) apabila akan melakukan gugatan, sebelumnya harus memenuhi dahulu persyaratan-persyaratan tertentu yang menyatakan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) berwenang menggugat sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang 9 Ibid., halaman 238. 10 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 5 Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (pasal 1 angka 3) mengatur: ”Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen”.11 Adapun pendaftaran dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Pasal 2 dan Pasal 3 menerangkan tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat disebutkan: 12 Pasal 2 (1)Pemerintah mengakui setiap Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat untuk bergerak di bidang Perlindungan Konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar pendiriannya; (2)Pengakuan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui pendaftaran dan penerbitan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen; Pasal 3 (1)Kewenangan Penerbitan TDLPK berada pada Menteri; (2)Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Bupati/Walikota; (3)Bupati/Walikota dapat melimpahkan kembali kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada Kepala Dinas; Berdasarkan pasal tersebut dapat diterangkan bahwa Pemerintah mengakui Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat dimana pengakuan terjadi setelah melakukan pendaftaran 11 Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. 12 Keputusan Menteri Perindustrian 302/MPP/Kep/10/2001. dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 6 dan adanya penerbitan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK) yang diterbitkan oleh lembaga yang berwenang. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 302/Mpp/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Pasal 7 ayat (1) huruf a angka 1 disebutkan pada pokoknya bahwa: “Permohonan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK) bagi Lembaga Swadaya Masyarakat yang berstatus Badan Hukum atau Yayasan dilampiri dokumen-dokumen di antaranya berupa copy Akta Notaris Pendirian Badan Hukum atau Yayasan yang telah mendapat Pengesahan Badan Hukum dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau Instansi yang berwenang, sedangkan Lembaga Swadaya masyarakat atau Akta Notaris yang telah mendapat Pengesahan dari Instansi yang berwenang”. 13 Legal standing telah diakui dalam beberapa undang-undang di Indonesia namun mengenai prosedur atau hukum acaranya legal standing belum diatur baik dalam Undang-undang, Peraturan Pemerintah bahkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) sekalipun. 14 Beberapa aturan menyebutkan prosedur legal standing mengacu pada hukum acara perdata yang berlaku, namun seperti halnya class action maka legal standing ini 13 14 Keputusan Menteri Perindustrian 302/MPP/Kep/10/2001. dan Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 25 Perdagangan Republik Indonesia Nomor 7 memiliki karakteristik atau kekhasan tersendiri, yang itu belum terakomodir dalam hukum acara yang berlaku.15 Para penggugat dalam perkara ini yaitu LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL INDONESIA disingkat LPK Nasional Indonesia Badan Hukum Publik berkedudukan di Kantor Pusat Malang di Jalan Raya Wapoga No. 2 Perum Ngujil Permai II Telp.0341492174/7723567 Fax 03 123 berdasarkan Pasal 46 ayat (1) huruf c UUPK yang selanjutnya disebut Penggugat I dalam hal ini diwakili oleh Pengurusnya Lukman Hadi Wijaya, Dholin Efendi, Nanang Nelson, SH ; dan MARDI yang beralamat di Dusun Gumukmojo Rt/RW 051/010 Desa Wonokerto Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang Jawa Timur berdasarkan pasal 46 ayat (1) huruf a UUPK untuk dan atas nama diri sendiri sebagai konsumen. Selanjutnya disebut sebagai Penggugat II ; melawan Koperasi Rukun Santoso Unit Simpan Pinjam berkedudukan di Jl jenderal A. Yani No. 2 Clumprit Pagelaran Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur Selanjutnya disebut Tergugat. Dimana para Penggugat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Kepanjen terhadap Tergugat dengan register nomor : 62/Pdt.G/2013/PN.KPJ. tertanggal 28 Mei 2013. 15 Ibid., halaman 25. 8 Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia sebagai Penggugat I menerima pengaduan masyarakat pada tanggal delapan mei dua ribu tiga belas (08-05-2-13) yang bernama Mardi sebagai Penggugat II mengenai hutang piutang antara Mardi dengan Koperasi Rukun Santoso Unit Simpan Pinjam sebesar Rp. 40.000.000,-(empat puluh juta rupiah). Mardi rutin membayar angsuran sejak tahun 2004 hingga 2008 sebesar Rp. 1.600.000,(satu juta enam ratus ribu rupiah) setiap bulannya sehingga mencapai Rp. 76.800.000,- (tujuh puluh enam juta delapan ratus ribu rupiah). Kwitansi diminta kembali oleh Tergugat sehingga diduga Tergugat menghilangkan bukti pembayaran angsuran. Mardi awalnya bukan anggota Koperasi tersebut tetapi setelah adanya UU RI No. 17 Tahun 2012 tentang perkoperasian maka Mardi harus dimasukan sebagai anggota paling lambat 3 bulan dari nonanggota menjadi anggota dan Mardi meminta hak-hak nya sebagai anggota Koperasi. Dalam perjanjian Tergugat diduga melanggar klausula baku. Oleh sebab itu perbuatan Tergugat merupakan perbuatan melawan hukum dan merugikan para Penggugat. Para Penggugat meminta ganti kerugain atas tindakan yang dilakukan oleh Tergugat. Terjadi permasalahan apakah Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia memiliki hak untuk mengajukan gugatan berdasarkan hak gugat organisasi. Berawal dari latar belakang masalah tersebut diatas penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana hakim dalam mengkonstitusi gugatan Legal Standing Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia tidak mempunyai kapasitas hukum sebagai penggugat sudah tepat ataukah masih 9 ada kekurangan yang mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima dan bermaksud melakukan penelitian dengan judul LEGAL STANDING LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL INDONESIA PADA GUGATAN UTANG-PIUTANG(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor : 62/ Pdt.G/ 2013/ PN.KPJ). B. Perumusan Masalah Berdasarkan hal-hal yang diuraikan dalam latar belakang tersebut, maka dapat ditarik suatu perumusan masalah yaitu: Apakah hakim dalam mengkonstitusi legal standing Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia tidak mempunyai kapasitas hukum sebagai penggugat sudah tepat pada gugatan utang-piutang dalam Putusan No. 62/Pdt.G/2013/PN.KPJ.? C. Kerangka Teori Perkumpulan diatur dalam BAB ke Sembilan Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1653 yang menyebutkan:16 ”Selainnya perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula perhimpunan-perhimpunan, baik perkumpulanperkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun 16 Kitab Undang-undang Hukum Perdata 10 perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan baik.” Tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) berdasarkan Pasal 44 ayat (3) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan :17 a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya; c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen; d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen; e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen. Gugatan dapat dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 46 Undangundang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan:18 (1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; 17 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 18 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 11 c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit. (2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c,atau huruf d diajukan kepada peradilan umum. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (pasal 1 angka 3) mengatur:”Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen” 19 Pendaftaran tersebut hanya dimaksudkan sebagai pencatatan bukan perizinan. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang membuka kantor perwakilan atau cabang cukup melaporkan kantor perwakilan tersebut kepada pemerintah kabupaten/kota setempat tanpa harus melakukan pendaftaran.20 19 20 Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 305. 12 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Pasal 2 dan Pasal 3 menerangkan tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat disebutkan: 21 Pasal 2 (1)Pemerintah mengakui setiap Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat untuk bergerak di bidang Perlindungan Konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar pendiriannya; (2)Pengakuan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui pendaftaran dan penerbitan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen; Pasal 3 (1)Kewenangan Penerbitan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen berada pada Menteri; (2)Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Bupati/Walikota; (3)Bupati/Walikota dapat melimpahkan kembali kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada Kepala Dinas; Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 302/Mpp/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Pasal 7 ayat (1) huruf a angka 1 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia disebutkan pada pokoknya bahwa: 22 “Permohonan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen bagi Lembaga Swadaya Masyarakat 21 Keputusan Menteri Perindustrian 302/MPP/Kep/10/2001. dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 22 Keputusan Menteri Perindustrian 302/MPP/Kep/10/2001. dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 13 yang berstatus Badan Hukum atau Yayasan dilampiri dokumen-dokumen di antaranya berupa copy Akta Notaris Pendirian Badan Hukum atau Yayasan yang telah mendapat Pengesahan Badan Hukum dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau Instansi yang berwenang, sedangkan Lembaga Swadaya masyarakat atau Akta Notaris yang telah mendapat Pengesahan dari Instansi yang berwenang”. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan maka anggaran dasar Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat harus sesuai dengan Undang-undang Yayasan. 23 Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan dalam anggaran dasar yayasan sekurang-kurangnya memuat: 1. Nama dan tempat kedudukan; 2. Maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut; 3. Jangka waktu pendirian; 4. Jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang atau benda; 5. Cara memperoleh dan mempergunakan kekayaan; 6. Tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas; 7. Hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas; 8. Tata cara penyelenggaraan rapat organ yayasan; 9. Ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar; 10. Penggabungan dan pembubaran yayasan; dan 11. Penggunaan kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran kekayaan yayasan setelah pembubaran. 23 Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 307. 14 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok menyebutkan : 24 BAB II TATA CARA DAN PERSYARATAN GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK Pasal 2 Gugatan dapat diajukan dengan mempergunakan tata cara Gugatan Perwakilan Kelompok apabila : a. Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan; b. Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota kelompoknya; c. Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya; d. Hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya. Pasal 3 (1) Selain harus memenuhi persyaratan-persyaratan formal surat gugatan sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, surat gugatan perwakilan kelompok harus memuat : a. Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok; b. Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu; c. Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan; d. Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun anggota kelompok, yang teridentifikasi maupun tidak teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan terinci; e. Dalam suatu gugatan perwakilan, dapat dikelompokkan beberapa bagian kelompok atau sub kelompok, jika tuntutan tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda; f. Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan secara jelas dan rinci memuat usulan tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim 24 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. 15 atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti kerugian. Pasal 4 Untuk mewakili kepentingan Hukum anggota kelompok, wakil kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus dari anggota kelompok; Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok Pasal 5 ayat (1) menyebutkan : “Pada awal proses pemeriksaan persidangan, hakim wajib memeriksa dan mempertimbangkan kriteria gugatan perwakilan kelompok sebagaimana dimaksud dalam pasal 2”. 25 Berdasarkan ketentuan tersebut dapat ditarik suatu pemahaman bahwa sebelum hakim melakukan pemeriksaan terhadap pokok perkara terlebih dahulu hakim akan melakukan proses pemeriksaan awal persidangan terhadap kriteria gugatan perwakilan kelompok. D. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hakim dalam mengkonstitusi legal standing Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia tidak mempunyai kapasitas hukum sebagai penggugat pada gugatan utang-piutang sudah tepat ataukah masih ada kekurangan dalam menjatuhkan putusan. 25 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. 16 E. Kegunaan Penelitian Berdasarkan uraian tujuan-tujuan tersebut di atas, maka diharapkan penulisan dari penelitian hukum ini dapat memberikan kegunaan atau manfaat baik secara teoritis maupun praktis sebagai bagian yang tak terpisahkan, yaitu : 1. Kegunaan Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum, serta untuk memperluas pengetahuan dan menambah referensi khususnya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan proses pemeriksaan perkara legal standing Lembaga Perlindungan Konsumen Swdaya Masyarakat. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan bagi para mahasiswa ilmu hukum, serta sumbangan pemikiran bagi Hakim khususnya dan bagi para aparat penegak hukum, yang mudah-mudahan dapat melakukan peningkatan pengetahuan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya yaitu menerapkan hukum acara sesuai dengan hukum acara yang berlaku, agar memenuhi keadilan masyarakat, sehingga dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara profesional, manusiawi, dan berkeadilan, terlebih khusus kepada Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat agar lebih teliti dan memperhatikan kapasitas hukumnya dalam mengajukan tuntutan hak terkait gugatan legal standing. 17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Acara Perdata 1. Sistem Hukum Acara Perdata di Indonesia Sistem hukum Indonesia menganut sistem hukum eropa kontinental, namun dewasa ini sistem hukum Indonesia terpengaruh oleh sistem hukum sipil. Sistem Indonesia ini mirip dengan sistem hukum sipil, karena sistem hukum Indonesia secara historis sangat dipengaruhi oleh sistem hukum yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda, yang memerintah wilayah ini selama 3 ½ abad. Hal ini dapat dilihat pada Bab II Peraturan Peralihan UUD 1945. Namun, subsistem hukum yang mendukung mengandung pengaruh hukum adat, hukum Islam dan hukum barat lainnya, sehingga hasilnya adalah kompleks. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lembaga peradilan di bawahnya, yaitu pengadilan umum, pengadilan agama, pengadilan militer, pengadilan administrasi dan court. konstitusional Hukum Acara Perdata, HIR (Herziene Indonesisch Reglement), diwarisi dari administrasi Hindia Belanda, dan atau diperoleh dari OR (Inlandsch Reglement) yang terkandung dalam Staatsblad no. 16 dalam hubungannya dengan 57/1848, masih tersisa di force. HIR tidak membahas tindakan kelas atau perwakilan kelas.26 Azas ini diberi nama azas konkordansi (concordantie-beginsel) yakni hukum yang berlaku bagi golongan hukum eropa di Indonesia harus disamakan (dikonkordansi), dengan hukum yang berlaku di Belanda. 26 Mas Achmad Santosa, CLASS ACTIONS IN INDONESIA (Blackie, 2008) halaman 1. 18 Tetapi bilamana keadaan khusus di Indonesia memerlukan perkecualian, maka pembuat ordonasi dapat menetapkan suatu hukum lain. 27 2. Pengertian Hukum Acara Perdata Hukum Acara Perdata Materiil berisikan norma-norma materiil tentang hak-hak keperdataan orang/badan hukum, untuk menegakan hukum perdata materiil inilah dibutuhkan norma yang mengatur dapat berjalan/terlaksananya norma materiil tersebut, norma ini disebut Hukum Acara Perdata. Hukum acara perdata hanya diperuntukan menjamin ditaatinya hukum materiil perdata. Ketentuan hukum acara perdata pada umumnya tidak membebani hak dan kewajiban seperti yang kita jumpai dalam hukum materiil perdata, tetapi melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan kaidah hukum materiil, atau melindungi hak perseorangan. 28 Menurut Sudikno Mertokusumo, Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Lebih konkrit lagi dapatlah dikatakan, bahwa hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari pada putusannya. 29 27 Djindang, E. Utrech/ Moh. Saleh, Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Jakarta : Penerbit Sinar Harapan, 1983) halaman 168. 28 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberti Yogyakarta., 2009) halaman 2. 29 Ibid., halaman 2. 19 3. Sumber Hukum Acara Perdata Sumber hukum dibedakan dalam arti formal dan dalam arti materiil. Salmond mendefinisikan sumber hukum dalam arti formal sebagai sumber yang bersifat operasional yang berhubungan langsung dengan penerapan hukum. 30 Sedangkan hukum dalam arti materiil adalah sumber berasalnya substansi hukum. 31 Sumber hukum merupakan tempat kita menemukan dan menggali kaidah-kaidah atau norma-norma yang kita butuhkan. Hukum acara perdata yang dinyatakan resmi berlaku adalah HIR untuk Jawa dan Madura dan Rbg. untuk luar Jawa dan Madura. 32 Van Appeldorn membedakan empat macam sumber hukum yaitu : 33 a. Sumber hukum dalam arti historis, yaitu tempat kita dapat menemukan hukumnya dalam sejarah atau dari segi historis. Sumber hukum ini dibagi lebih lanjut menjadi dua yaitu : 1) Sumber hukum merupakan tempat dapat ditemukannya atau dikenal dengan hukum acara historis, misalnya dokumen-dokumen kuno, lontar dan lain-lain. 30 Marzuki, P. M.. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2008) halaman 257. 31 Ibid., halaman 258. 32 S.E.M.A. 19/1964 dan 3/1965 menegaskan berlakunya HIR dan Rbg. 33 Apeldoorn, V. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Penerbit PT. Pradnya Paramita, 1996) halaman 75-78 20 2) Sumber hukum yang merupakan tempat pembentuk undangundang mengambilnya. b. Sumber hukum dalam arti sosiologis (teleologis) merupakan faktorfaktor yang menentukan isi hukum positif seperti: keadaan agama, pandangan agama dan sebagainya. c. Sumber hukum dalam arti filosofis, dibagi dua: 1) Sumber hukum disini, ditanyakan isi hukum itu asalnya dari mana. Ada tiga pandangan yang mencoba menjawab pertanyaan ini yaitu: a) Pandangan teokratis, menurut pandangan ini isi hukum berasal dari Tuhan; b) Pandangan hukum kodrat, menurut pandangan ini isi hukum berasal dari manusia; c) Pandangan mazab historis, bahwa isi hukum berasal dari kesadaran hukum. 2) Sumber kekuatan mengikat dari hukum, mengapa hukum mempunyai kekuatan mengikat, mengapa kita tunduk pada hukum. Kekuatan mengikat dari kaidah hukum bukan semata-mata didasarkan pada kekuatan yang bersifat memaksa, tetapi karena kebanyakan kepercayaan. orang didorong oleh alasan kesusilaan dan 21 d. Sumber hukum dalam arti formil, adalah sumber hukum dilihat dari cara terjadinya hukum positif, merupakan fakta yang menimbulkan hukum yang berlaku mengikat hakim dan penduduk. Isinya timbul dari kesadaran masyarakat. Hingga kini hukum acara yang dianut untuk daerah Jawa dan Madura adalah Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan bagi daerah-daerah di luar Jawa dan Madura diatur dalam kitab hukum Rechtsreglement voor de buitengewesten (Rbg), yang keduanya merupakan peninggalan zaman kolonial, yang tidak lagi dapat sepenuhnya menampung perkembangan tuntutan keadilan dari masyarakat pencari keadilan. Penyelesaian sengketa melalui instrument hukum acara tersebut dalam praktiknya tidak dapat membantu konsumen dalam mencari keadilan.34 Berdasarkan ketentuan pasal 5 ayat (1) UU No. 1 Drt. Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan sipil maka disebutkan bahwa sumber hukum acara pardata adalah sebagai berikut:35 a. Het Herziene Indonesich Reglement (HIR atau Reglement yang diperbaharui: S. 1848 No. 16, S. 1941 No. 44) untuk daerah Jawa dan Madura; 34 35 Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 43. Khusnanto, N. Surat Kuasa yang tidak sah dalam perkara yang dimohonkan banding, (Skripsi 2009) halaman 14-17. 22 b. Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg atau Reglement daerah sebrang: S. 1927 No. 227) untuk luar Jawa dan Madura; c. Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (RV atau Reglement, S. 1847 No. 52, 1849 No. 63) hukum acara perdata untuk golongan Eropa; d. Reglement op de Rechterlijke Organisatie in het beleid der justitie in Indonesie (RO atau Reglement tentang Organisasi Kehakiman: 1847 No. 23); e. Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu khususnya dalam buku IV (Pasal 1865 s.d 1993); f. Undang-undang No. 14 Tahun 1970 (LN 1974) tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman lalu diperbaharui lagi dengan Undangundang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman lalu diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman; g. Wetboek Van Koophandel en Faillissements-Verordening atau Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Kepailitan; h. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Acara 23 Pemberian Izin Perkawinan, Pencegahan Perkawinan, Perceraian, Pembatalan Perkawinan dan sebagainya; i. Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang memberlakukan HIR (Het Herziene Indonesich Reglement); j. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung; k. Adat Kebiasaan, menjadi sumber hukum acara perdata digunakan oleh hakim dalam penemuan hukum; l. Doktrin atau pendapat para sarjana merupakan sumber hukum acara perdata, sumber dimana hakim dapat menggali hukum acara perdata. Tetapai doktrin bukanlah hukum, melainkan sumber hukum; m. Perjanjian Internasional, dapat menjadi sumber hukum acara perdata sesuai dengan kebutuhan asalkan tidak bertentangan dengan hukum yang ada di Indonesia. n. Yurisprudensi, keputusan hakim sebelumnya menjadi acuan untuk hakim berikutnya memutuskan perkara terhadap perkara 24 yang hampir sama tetapi tidak memutuskan dengan pertimbangan dan keputusan yang sama; o. Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung; B. Gugatan 1. Pengertian Gugatan Setiap orang yang ingin menuntut haknya melalui jalur Pengadilan, pasti harus melakukan pengajuan gugatan, baik secara lesan ataupun tertulis. Gugatan yang sering kita jumpai adalah gugatan yang dilayangkan secara tertulis. Gugatan atau tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah”eigenrichting”.36 Bahwa suatu tuntutan hak harus mempunyai kepentingan hukum yang cukup, merupakan syarat utama untuk dapat diterimanya tuntutan hak itu oleh pengadilan guna diperiksa:point d’interet, point d’action. Ini tidak berarti bahwa tuntutan hak yang berkepentingan hukumnya pasti dikabulkan oleh pengadilan. Hal itu masih tergantung pada pembuktian. Baru kalau tuntutan hak itu terbukti didasarkan atas suatu pembuktian. Baru kalau tuntutan hak itu terbukti didasarkan atas suatu hak, pasti akan dikabulkan. Mahkamah Agung dalam putusanya tanggal 7 Juli 1971 no. 294 K/Sip/1971 mensyaratkan bahwa gugatan harus diajukan oleh orang yang mempunyai hubungan hukum. 37 36 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., halaman 52. 37 Ibid., hal. 53, lihat Yurisprudensi Jawa Barat 1969-1972 1, halaman 99. 25 Hak gugat Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dilakukan apabila terjadi sengketa konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen sendiri tidak menjelaskan mengenai pengertian sengketa konsumen. Menurut ketentuan pasal 1 angka 11 jo. Pasal 1 angka 8 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001, yang dimaksud dengan sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat mengonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa. 38 Surat gugatan hendaknya memenuhi Syarat Formal dan Syarat Substansial. Syarat Formal dari suatu gugatan dapat berisikan: 39 1) Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan 2) Materai 3) Tanda tangan Penggugat Syarat Substansial Menurut Pasal 8 RV, suatu gugatan terdiri atas : 40 1) Identitas para pihak 2) Dasar atau dalil gugatan/ posita/ fundamentum petendi berisi tentang peristiwa dan hubungan hukum 38 Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 148. 39 Darwan Prinst, Op.cit., halaman 33. 40 Ibid., halaman 34. 26 3) Tuntutan/ petitum terdiri dari tuntutan primer dan tuntutan subsider/ tambahan 2. Para Pihak Dalam Gugatan Pengajuan Tuntutan hak di Pengadilan pada dasarnya adalah orang perorangan atau badan hukum yang memiliki kepentingan. Mengenai kepentingan disini bisa kepentingan langsung maupun kepentingan tidak langsung.41 Orang yang merasa mempunyai hak dan ingin menuntutnya atau ingin mempertahankan atau membelanya pada dasarnya berwenang untuk bertindak selaku pihak, baik selaku penggugat maupun selaku tergugat (legitima persona standi in judicio).42 Para pihak yang terlibat dalam suatu permasalahan baik dia yang secara langsung memiliki kepentingan, baik tidak secara langsung memiliki kepentingan, atau dia yang mewakili kepentingan orang lain pada dasarnya hanya ada 2 (dua) pihak di dalam Pengadilan yaitu pihak Penggugat dan pihak Tergugat. Dalam perkara Perdata Senantiasa ada 2 (dua) belah pihak yaitu: 43 1) Penggugat/Para Penggugat Pihak yang mengajukan gugatan atau tuntutan hak disebut Penggugat/Para Penggugat, yakni orang atau badan hukum yang 41 Susanti Adi Nugroho, Class Action & perbandingannya dengan Negara Lain (Jakarta: Prenada Media Group, 2010) halaman 371. 42 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., halaman 69. 43 Darwan Prinst, Op.cit., halaman 2-4. 27 memerlukan/berkepentingan akan perlindungan hukum dan oleh karenanya ia mengajukan gugatan. Syarat mutlak untuk mengajukan adalah adanya kepentingan langsung/melekat dari si Penggugat. Artinya tidak setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat mengajukan gugatan apabila kepentingan itu tidak langsung dan melekat pada dirinya. Hanya kepentingan yang cukup dan layak serta mempunyai dasar hukum saja yang dapat diterima sebagai dasar gugatan. Sebelum mengajukan gugatan telah dipikirkan dan dipertimbangkan, apakah Penggugat betul orang yang berhak mengajukan gugatan, kalau tidak berhak, maka gugatan akan dinyatakan tidak dapat diterima (Niet onvankelijk Verklaard). 2) Tergugat/Para Tergugat Tergugat adalah orang atau badan hukum yang terhadapnya diajukan gugatan atau tuntutan hak. Tergugat dapat terdiri dari seorang atau beberapa orang atau 1 (satu) badan hukum atau beberapa badan hukum atau gabungan orang perorangan dengan badan hukum. Oleh karenanya harus hati-hati dalam menyusun gugatan terhadap Tergugat karena bisa jadi Tergugatnya tidak tepat. Konsep badan hukum atau yayasan (rechtspersoon;legal entities;corporation) sebagai subjek penggugat atau tergugat dalam suatu perkara, bukanlah hal yang baru, tetapi jika badan hukum atau yayasan tersebut tanpa mempunyai kepentingan langsung dengan objek gugatan, diperkenankan bertindak sebagai penggugat, merupakan perluasan dari konsep persona standi in judicio karena adanya kebutuhan hukum. 44 44 Susanti Adi Nugroho II, Op.cit., halaman 377. 28 3. Pengertian Kuasa Pada Umumnya Kuasa berarti wewenang, maka pengertian pemberian kuasa berarti pemberian/ pelimpahan wewenang dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk mewakili kepentingannya.45 Pemberian kuasa berdasarkan pasal 1792 KUH Perdata menerangkan bahwa:”Suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kuasanya (wewenang) kepada orang lain yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”. Bertitik tolak berdasarkan pasal tersebut dalam perjanjian kuasa terdapat dua pihak yaitu terdiri dari: 1) Pemberi kuasa lastgever (instruction, mandate); 2) Penerima kuasa atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau mandate melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa. Pemberian kuasa, dengan kata lain merupakan suatu perbuatan hukum yang bersumber pada persetujuan/ perjanjian yang sering kita lakukan dalam kegiatan sehari-hari. 46 Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan edisi 2007, Mahkamah Agung RI, 2009, hal 53 disebutkan bahwa yang dapat bertindak sebagai kuasa/wakil dari penggugat/tergugat/ Pemohon di Pengadilan adalah : 45 46 Darwan Prinst, Op.cit., halaman 6. Meliala, D. S. Pemberian Kuasa Menurut Kitab UU Hukum Perdata. (Bandung: Tarsito, 1982) halaman 1. 29 a. Advokat (sesuai dengn Pasal 32 UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat, Penasihat Hukum, Pengacara Praktek, dan Konsultan Hukum yang telah diangkat pada saat Undang-Undang Advokat mulai berlaku dinyatakan sebagai Advokat); b. Jaksa dengan kuasa khusus sebagai kuasa/wakil Negara/pemerintah sesuai dengan Pasal 30 ayat (2) UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia; c. Biro Hukum Pemerintah/TNI/Kejaksaan RI; d. Direksi/ Karyawan yang ditunjuk dari suatu badan hukum; e. Mereka yang mendapat kuasa insidentil yang ditetapkan oleh ketua Pengadilan/ Misalnya LBH, Hubungan Keluarga, Biro hukum TNI/Polri untuk perkara yang menyangkut anggota/keluarga TNI/Polri; f. Kuasa Insidentil dengan alasan hubungan keluarga sedarah/ semenda dapat diterima sampai dengan derajat ketiga yang dibuktikan dengan surat keterangan kepala Desa/Lurah. Surat kuasa dapat diberikan dalam suatu akta otentik (dihadapan Notaris/ Pejabat-pejabat lainnya), dalam suatu tulisan dibawah tangan (akta dibawah tangan), sepucuk surat atau secara lisan. 47 47 Darwan Prinst, Op.cit., halaman 7. 30 4. Diskualifikasi in Person Diskualifikasi in Person adalah : 48 Diskualifikasi in Person terjadi, apabila yang bertindak sebagai penggugat orang yang tidak memenuhi syarat (diskualifikasi), disebabkan penggugat dalam kondisi tidak mempunyai hak untuk menggugat perkara yang disengketakan dan tidak cakap melakukan tindakan hukum. Gugatan yang diajukan oleh orang yang tidak berhak atau tidak memiliki hak untuk itu, merupakan gugatan yang mengandung cacat formil error in persona dalam bentuk diskualifikasi in persona yaitu pihak yang bertindak sebagai penggugat adalah orang yang tidak punya syarat untuk itu. Pemeriksaan formalitas dilakukan sebelum diperiksanya pokok perkara. Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung menyebutkan syarat dalam menyusun gugatan: 1) Pihak-pihak yang berperkara harus dicantumkan secara lengkap (MA tgl 13-5-1975 Nomor 151 Sip/1975) 2) Orang bebas menyusun dan merumuskan gugatan asalkan cukup memberikan gambaran tentang kejadian materiil yang menjadi dasar tuntutan (MA tgl 15-3-1970 Nomor 547 K/Sip/1972) 3) Apa yang dituntut harus disebutkan dengan jelas (MA tgl 21-11-1970 Nomor 492 K/Sip/1970) Syarat yang tidak terpenuhi tersebut berakibat gugatan menjadi tidak sempurna maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).49 48 49 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) halaman 111. Ramon, T. (2010, Juni 4). Hukum Acara Perdata. Retrieved Desmber 4, 2014, from Wordpress: http://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/hukum-acara-perdata/ 31 C. Legal Standing 1. Pengertian Legal standing Legal standing merupakan lembaga yang berasal dari sistem hukum common law. Legal standing di adopsi dan diakui eksistensinya di dalam peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Hal ini dilakukan semata-mata demi kepentingan hukum dan kebutuhan hukum. Legal standing merupakan hak gugat yang diberikan oleh undangundang kepada lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang tertentu yang tidak secara langsung menjadi korban untuk mengajukan tuntutan hak.50 Hak Standing tidak secara otomatis menjamin keberhasilan litigasi kasus-kasus publik, karena pada dasarnya standing hanyalah merupakan ”tiket masuk” ke dalam arena advokasi hukum(legal battle).51 Pada prinsipnya istilah standing dapat diartikan secara luas yaitu akses orang perorangan atau kelompok/organisasi di pengadilan sebagai pihak penggugat.52 Secara konvensional hak gugat hanya bersumber pada prinsip “tiada gugatan tanpa kepentingan hukum” (point d’interest point d’action). Kepentingan hukum (legal interest) yang dimaksud di sini adalah merupakan kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan (propietary interest) atau 50 Darwan Prinst, loc.cit. 51 Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 209. 52 Erna Herlinda, 2004. Tinjauan Tentang Gugatan Class Actions Dan Legal standing Di Peradilan Tata Usaha Negara. e-USU Repository © 2004. Universitas Sumatera utara. hal 3-4. Sebagaimana menyadur dari Mas Achmad Santosa, dkk., Makalah Topic 7, Civil Liability for Environmental Damage Indonesia, yang disampaikan dalam pelatihan hukum lingkungan di Indonesia bekerjasama dengan Australia, Desember 1999 – September 2000, ICEL. 32 kepentingan material berupa kerugian yang dialami secara langsung (injury in fact).53 Perkembangan hukum konsep hak gugat konvensional berkembang secara pesat seiring pula dengan perkembangan hukum yang menyangkut hajad hidup orang banyak (public interest law) di mana seorang atau sekelompok orang atau organisasi dapat bertindak sebagai penggugat walaupun tidak memiliki kepentingan hukum secara langsung, tetapi dengan didasari oleh suatu kebutuhan untuk memperjuangkan kepentingan, masyarakat luas atas pelanggaran hak-hak publik seperti lingkungan hidup, perlindungan konsumen, hak-hak Civil dan Politik.54 Legal standing Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang menjadi wakil konsumen harus tidak berstatus sebagai korban dalam perkara yang diajukan. Inilah perbedaan pokok antara gugatan berdasarkan class action dengan legal standing.55 Syarat kelayakan perwakilan dalam legal standing tidak diserahkan sepenuhnya kepada penilaian hakim, melainkan ada kondisi objektif , yaitu harus memenuhi ketentuan Pasal 46 Ayat (1) huruf (c) Undang-Undang Perlindungan Konsumen.56 53 Ibid., halaman 3-4, sebagaimana disadur dari Mas Achmad Santosa, dkk., Makalah Topic 9, ICEL., 1997, Loc.Cit. 54 Ibid., halaman 3-4, Sebagaimana menyadur dari Mas Achmad Santosa, dkk., Makalah Topic 9, ICEL., 1997. 55 Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 205. 56 Ibid., halaman 205. 33 2. Prosedur Pengajuan Legal Standing Legal standing LSM/Hak Gugat LSM telah diakui dalam berbagai undang-undang di Indonesia, namun mengenai prosedur atau hukum acaranya belum diatur baik dalam undang-undang, peraturan pemerintah bahkan PERMA.57 Dalam beberapa aturan menyebutkan prosedur legal standing mengacu pada hukum acara perdata yang berlaku, namun seperti hal nya class action, legal standing memiliki karakteristik atau kekhasan tersendiri yang hal itu belum terakomodir dalam hukum acara yang berlaku.58 Mekanisme gugatan legal standing (LSM) sebagai penggugat bukan sebagai pihak yang mengalami kerugian nyata. Namun karena kepentinganya, LSM ini kemudian mengajukan gugatan. Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat diuraikan karakterisrik mekanisme gugatan legal standing : 59 1. Pihak Penggugat Pihak yang dapat mengajukan mekanisme legal standing hanyalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Hanya LSM yang anggaran dasarnya meliputi perbuatan yang dilanggar oleh tergugat saja yang dapat 57 58 59 Susanti Adi Nugroho II, Op.cit. halaman 370, Sebagaimana menyadur dari Mas Achmad Santosa dan Sulaiman N. Sembiring, “Hak Gugat Organisasi Lingkungan”, Penerbit Mahkamah Agung RI, tahun 1998, halaman 364. Ibid., halaman 364. Rahadi Wasi Bintoro. 2010 Tuntutan Hak Dalam Persidangan Perkara Perdata. Volume 10 Nomor 2. 2 Mei Tahun 2010. Jurnal Dinamika Hukum. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah. 34 mengajukan legal standing dan pelanggaran oleh tergugat tersebut merupakan bagian kegiatan LSM yang diatur dalam anggaran dasar LSM tersebut. 2. Pihak Tergugat Pihak yang dapat digugat melalui mekanisme legal standing pada dasarnya meliputi seluruh subyek hukum, baik orang perorangan dan badan hukum(badan hukum publik maupun privat). Ketiga, dalil tuntutan hak. Tuntutan hak yang dapat diajukan dalam mekanisme gugatan legal standing adalah terkait dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum. 3. Petitum Legal standing tidak mengenal tuntutan ganti kerugian uang. Ganti rugi dapat dimungkinkan sepanjang atau terbatas pada ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan oleh organisasi tersebut. Subyek hukum yang digugat hanya diminta untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu. Prosedur yang paling utama dimulai dari Terminologi legal standing terkait dengan konsep locus standi atau prinsip persona standi in judicio, yaitu seseorang yang mengajukan gugatan harus mempunyai hak dan kualitas sebagai penggugat.60 Dalam doktrin hukum perdata dikenal dengan azas tidak ada gugatan tanpa kepentingan (point d’interet, point d’action). 60 Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 308, sebagaimana disadur dari Yusuf Shofie. “Listrik dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen”. Artikel Koran Tempo 4 september 2004., halaman 93. 35 Seorang dikatakan memiliki kepentingan yang memadai atau locus standi, jika berkaitan dengan pokok masalah perkara yang diajukan. 61 Konsep badan hukum /yayasan (rechtspersoon; legal entities; corporation) sebagai subjek penggugat atau tergugat dalam suatu perkara, bukanlah hal yang baru, tetapi jika badan hukum/yayasan tersebut tanpa mempunyai kepentingan langsung dengan objek gugatan, diperkenankan bertindak sebagai penggugat, merupakan perluasan dari konsep persona standi in judicio karena adanya kebutuhan hukum. Pengadilan telah menunjukan fleksibilitas (flexibility) yang begitu besar terhadap konsep tersebut.62 Kebutuhan hukum disini yang menyangkut harkat orang banyak dan kepentingan perlindungan lingkungan hidup. Sehingga dengan adanya fleksibilitas tersebut diharapkan tujuan hukum dapat tercapai yaitu rasa keadilan. 3. Pengertian Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.63 Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yang dimaksud memenuhi 61 Ibid., halaman 93. 62 Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 308. 63 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 36 syarat antara lain terdaftar dan diakui serta bergerak di bidang perlindungan konsumen.64 Tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) berdasarkan Pasal 44 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan :65 a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya; c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen; d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen; e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen. Gugatan dapat dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 46 Undang- undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan:66 (1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; 64 Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 305. 65 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 66 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. 37 b. kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit. (2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c,atau huruf d diajukan kepada peradilan umum. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (pasal 1 angka 3) mengatur:”Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen” 67 Pendaftaran tersebut hanya dimaksudkan sebagai pencatatan bukan perizinan. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang membuka kantor perwakilan atau cabang cukup melaporkan kantor perwakilan tersebut kepada pemerintah kabupaten/kota setempat tanpa harus melakukan pendaftaran. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat tersebut dapat melakukan kegiatan perlindungan konsumen di seluruh wilayah Indonesia. 68 67 68 Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 305. 38 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Pasal 2 dan Pasal 3 menerangkan tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat disebutkan: 69 Pasal 2 (1)Pemerintah mengakui setiap Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat untuk bergerak di bidang Perlindungan Konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar pendiriannya; (2)Pengakuan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui pendaftaran dan penerbitan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen; Pasal 3 (1)Kewenangan Penerbitan TDLPk berada pada Menteri; (2)Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Bupati/Walikota; (3)Bupati/Walikota dapat melimpahkan kembali kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada Kepala Dinas; Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Pasal 7 ayat (1) huruf a angka 1 disebutkan pada pokoknya bahwa: 70 “Permohonan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK) bagi Lembaga Swadaya Masyarakat yang berstatus Badan Hukum atau Yayasan dilampiri dokumendokumen di antaranya berupa copy Akta Notaris Pendirian Badan Hukum 69 Keputusan Menteri Perindustrian 302/MPP/Kep/10/2001. dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 70 Keputusan Menteri Perindustrian 302/MPP/Kep/10/2001. dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 39 atau Yayasan yang telah mendapat Pengesahan Badan Hukum dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Instansi yang berwenang, sedangkan Lembaga Swadaya masyarakat atau Akta Notaris yang telah mendapat Pengesahan dari Instansi yang berwenang”. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan maka anggaran dasar Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat harus sesuai dengan Undang-undang Yayasan. 71 Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan dalam anggaran dasar yayasan sekurang-kurangnya memuat: 1. Nama dan tempat kedudukan; 2. Maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut; 3. Jangka waktu pendirian; 4. Jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang atau benda; 5. Cara memperoleh dan mempergunakan kekayaan; 6. Tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas; 7. Hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas; 8. Tata cara penyelenggaraan rapat organ yayasan; 9. Ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar; 10. Penggabungan dan pembubaran yayasan; dan 11. Penggunaan kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran kekayaan yayasan setelah pembubaran. Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia mengakui dirinya sebagai sebuah badan hukum yang bergerak untuk 71 Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 307. 40 melindungi kepentingan konsumen yang mengalami kerugian. Dibuktikan dengan dasar sebagai berikut: PT.Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia atau disingkat “Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia (LPKNI)" adalah Perseroan Nomor : AHU04158.40.20.2014 tentang Persetujuan Perubahan badan Hukum Perseroan Terbatas PT Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia yaitu Menyetujui Perubahan Badan Hukum PT. Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia dengan NPWP 02.239.913.3-652.000 yang Berkedudukan di Kota Malang karena telah sesuai dengan Data Format Isian Perubahan yang disimpan di dalam Database Sistem Administrasi Badan Hukum sebagaimana salinan Akta Notaris No.153 Tanggal 24 April 2014 yang dibuat oleh Notaris Sigit Nur Rachmat, SH.,M.KN. Dengan demikian telah Memenuhi ketentuan UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. 72 Doktrin mengenai legal standing sifatnya sangat terbatas, yaitu tuntutan ganti kerugian moneter tidak diperkenankan untuk diajukan, kecuali ganti kerugian sepanjang atau sebatas biaya atau pengeluaran riil, yaitu biaya yang nyata-nyata dapat dibuktikan dikeluarkan oleh penggugat, bukan ganti kerugian yang mengatasnamakan orang banyak, sehingga dalam perkara gugatan legal standing, petitum gugatan hanya dapat dimintakan :73 72 73 a. Penghentian kegiatan; b. Permintaan maaf; c. Pembayaran uang paksa(dwangsom). Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia. (2014, April 24). Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia. Retrieved Oktober 15, 2014, from Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia: http://www.perlindungankonsumen.id/index.php/tentangkami. Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 372. 41 D. Hakim dalam Menjatuhkan Putusan 1. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan tidak terlepas dari apa yang disebut dengan Tugas Hakim. Tugas Hakim adalah mengambil atau menjatuhkan keputusan yang mempunyai akibat hukum bagi pihak lain. Ia tidak dapat menolak menjatuhkan putusan apabila perkaranya sudah mulai diperiksa. Bahkan perkara yang telah diajukan kepadanya tetapi belum mulai diperiksa tidak wenang ia menolaknya. 74 Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Putusan hakim adalah : “suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak” 75 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) menyebutkan: 76 Pasal 1 (1) Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pasal 2 (2) Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. 74 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., halaman 207. 75 Ibid., halaman 212. 76 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 42 Pasal 25 (2) Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Mendasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dapat dijelaskan secara konkret tugas hakim dalam mengadili suatu perkara melalui 3 tindakan secara bertahap : 77 (1) Mengkonstatir (mengkonstatasi) berarti menyatakan benar terjadinya suatu peristiwa konkrit. Untuk dapat mengkonstantir peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus dibuktikan terlebih dahulu. Pada tahap ini hakim mengkonstatir benar atau tidaknya peristiwa yang diajukan meliputi: ”menemukan fakta, menemukan sebab-sebab perkara dan, menemukan karakteristik”. (2) Mengkwalifisir (mengkwalifikasi) yaitu setelah peristiwa konkrit dibuktikan dan dikonstantir, maka harus dicarikan hukumnya disinilah dimulai dengan penemuan hukum (rechtsvinding). Penemuan hukum tidak merupakan suatu kegiatan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan kegiatan yang runtut dan berkesinambungan dengan kegiatan pembuktian. Pada tahap ini hakim kemudian mengkualifikasikan adanya hubungan hukum, dalam adanya perbuatan melawan hukum /wanprestasi atau tidak, meliputi: ”menemukan dan memilih sistem 77 Ibid., halaman 203-204. 43 hukum, menemukan hukum, menemukan metode penyelesaian yang tepat dan, mendesain hukum agar cocok dengan karakteristik perkara”. (3) Mengkonstitusir (mengkonstitusi) yaitu setelah hukumnya diketemukan dan kemudian hukumnya (undang-undangnya) diterapkan pada peristiwa hukumnya, maka hakim harus menjatuhkan putusan. Pada tahap ini hakim menetapkan hukumnya terhadap yang bersangkutan (para pihak) meliputi: ”menerapkan hukum dan, menyelesaikan sengketa atau perkara”. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung Pasal 79 menyebutkan: 78”Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini.” Berdasarkan pasal tersebut dapat dijelaskan bahwa Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat halhal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan. 78 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. 44 2. Sifat Putusan Putusan menurut sifatnya dapat dibagi atas :79 1) Pengaturan (Constitutif) Putusan bersifat constitutif adalah putusan yang menetapkan mengenai sesuatu, seolah-olah membuat kaidah /ketentuan baru. 2) Pernyataan (Declaratoir) Putusan bersifat declaratoir adalah putusan yang memberi pernyataan mengenai sesuatu. 3) Menghukum (Condemnatoir ) Putusan bersifat condemnatoir adalah putusan yang isinya menghukum. Amar atau diktum putusan merupakan pernyataan (deklarasi) yang berkenaan dengan status dan hubungan hukum antara para pihak dengan barang objek yang disengketakan. Dan juga berisi perintah atau penghukuman atau condemnatoir yang ditimpakan kepada pihak yang berperkara.80 79 Darwan Prinst, Op.cit., halaman 201. 80 M. Yahya Harahap, Op.cit., halaman 811. 45 3. Jenis-Jenis Putusan Putusan menurut jenisnya dibagi atas: 81 1) Interlocutoir Vonis Interlocutoir Vonis (putusan sela) adalah putusan yang belum merupakan putusan akhir. Putusan sela (Interlocutoir Vonis) itu dapat berupa: a. Putusan Provisional (Tak Dim) Putusan Provisional (Tak Dim) adalah putusan yang diambil segera mendahului putusan akhir tentang pokok perkara, karena adanya alasan-alasan yang mendesak untuk itu. b. Putusan Preparatoir Putusan Preparatoir adalah putusan sela guna mempersiapkan putusan akhir. c. Putusan Insidental Putusan Insidental adalah putusan sela yang diambil secara insidental. 2) Putusan Akhir Putusan akhir dari suatu perkara dapat berupa : a. Niet Onvankelijk Verklaart Niet Onvankelijk Verklaart berarti tidak dapat diterima, yakni putusan pengadilan yang menyatakan, bahwa gugatan Penggugat tidak dapat diterima. Adapun alasan-alasan Pengadilan mengambil 81 Darwan Prinst, Op.cit., halaman 202. 46 keputusan menyatakan suatu gugatan tidak dapat diterima adalah sebagai berikut : (1) Gugatan tidak berdasarkan hukum; (2) Gugatan tidak patut; (3) Gugatan bertentangan dengan kesusilaan/ketertiban umum; (4) Gugatan salah; (5) Gugatan kabur; (6) Gugatanya tidak memenuhi persyaratan; (7) Objek gugatan tidak jelas; (8) Subyek gugatan tidak lengkap; (9) Dan lain-lain. b. Tidak berwenang mengadili Suatu gugatan yang diajukan kepada pengadilan yang tidak berwenang, baik menyangkut kompetensi absolut maupun kompetensi relative, akan diputus oleh pengadilan tersebut dengan menyatakan dirinya tidak mengadili gugatan itu. Oleh karena itu, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. c. Gugatan dikabulkan Suatu gugatan yang terbukti kebenaranya di Pengadilan akan dikabulkan seluruhnya atau sebagian. Apabila gugatan terbukti seluruhnya, maka gugatan akan dikabulkan untuk seluruhnya. Akan tetapi, apabila gugatan hanya terbukti sebagian, maka akan dikabulkan sebagian pula sepanjang yang dapat dibuktikan itu. 47 d. Gugatan ditolak Suatu gugatan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya di depan Pengadilan, maka gugatan tersebut akan ditolak. Penolakan itu dapat terjadi untuk seluruhnya atau sebagian. Gugatan tidak bersandarkan hukum, yaitu apabila peristiwa-peristiwa sebagai dasar tuntutan tidak membenarkan tuntutan, maka gugatan akan dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).82Putusan tidak dapat diterima (n.o) itu dimaksudkan menolak gugatan diluar pokok perkara, yang berarti bahwa hakim belum memeriksa pokok perkara.83 Putusan tidak dapat diterima, di kemudian hari penggugat masih dapat mengajukan tuntutannya, tetapi didalam praktek tidak jarang putusan tidak dapat diterima dimintakan banding/upaya hukum. 84 4. Asas Putusan Salah satu unsur negara hukum adalah berfungsinya kekuasaan kehakiman yang merdeka yang dilakukan oleh badan peradilan. Pemberian kewenangan yang merdeka tersebut merupakan “katup penekan”(pressure valve), atas setiap pelanggaran hukum tanpa kecuali. Pemberian kewenangan ini dengan sendirinya menempatkan kedudukan badan peradilan sebagai benteng terakhir (the last resort) dalam upaya penegakan”kebenaran” dan “keadilan”. Dalam hal ini tidak ada badan lain 82 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., halaman 110. 83 Ibid., halaman 111. 84 Ibid., halaman 110. 48 yang berkedudukan sebagai tempat mencari penegakan kebenaran dan keadilan (to enforce the truth and justice) apabila timbul sengketa atau pelanggaran hukum. 85 Tugas Pengadilan, dalam hal ini adalah hakim, yaitu untuk memeriksa, memutus, dan mengadili perkara perdata. Peradilan perdata dilakukan dengan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan seperti HIR (Het Herzeine Indonesish Reglement), Rbg (Rechtsreglemeent Buitengewesten), Rv (Reglement op de burgerlijke recht Vordering), Undang-undang No. 20 Tahun 1947, Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.86 Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan putusan pada uraian ini adalah putusan peradilan tingkat pertama. Tujuan akhir proses pemeriksaan di Pengadilan Negeri yaitu diambilnya putusan oleh hakim yang berisi penyelesaian perkara yang disengketakan. 87 Pembahasan mengenai asas putusan dimulai dengan uraian mengenai asas yang mesti ditegakkan, agar putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat. Asas tersebut dijelaskan dalam pasal 178 HIR, pasal 189 Rbg, dan Bab II Asas Penyelenggaraan 85 Rahadi Wasi Bintoro. 2010 Tuntutan Hak Dalam Persidangan Perkara Perdata. Volume 10 Nomor 2. 2 Mei Tahun 2010. Jurnal Dinamika Hukum. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah.sebagaimana menyadur dari M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, halaman 34. 86 Rahadi Wasi Bintoro. 2010 Tuntutan Hak Dalam Persidangan Perkara Perdata. Volume 10 Nomor 2. 2 Mei Tahun 2010. Jurnal Dinamika Hukum. Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah. 87 M. Yahya Harahap, Op.cit., halaman 797 sebagaimana menyadur dari Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1977, halaman 122. 49 Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Mendasarkan ketentuan tersebut maka dapat diuraikan Asas-asas Hakim dalam menjatuhkan putusan adalah sebagai berikut: 1) Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" (pasal 2 ayat (1) Undangundang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Rumusan ini berlaku untuk semua pengadilan dalam semua lingkungan peradilan. Dengan adanya Undang-undang No. 1 Tahun 1950 (pasal 1 ayat 2) dan UUDar. No. 1 Tahun 1951 (pasal 5) kata-kata “Atas nama Raja” diganti menjadi”Atas nama keadilan”, dan akhirnya dengan adanya Undang-undang No. 14 Tahun 1970 menjadi “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagaimana penyesuaian dengan pasal 29 UUD 1945.88 2) Asas Objektifitas Asas Objektifitas tidak memihaknya pengadilan terdapat dalam pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan: “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan”. Dalam menjatuhkan putusan hakim tidak boleh membedabedakan orang hal ini termuat dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang 88 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., halaman 34. 50 No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedabedakan orang”. Dalam memeriksa perkara hakim harus objektif dan tidak boleh memihak, untuk menjamin asas ini bagi pihak yang diadili dapat mengajukan keberatan yang disertai alasan-alasan terhadap hakim yang akan mengadili perkaranya, yang disebut hak ingkar (recusatie, wraking).89 Hak ingkar sebagaimana disebutkan dalam pasal 17 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: Pasal 17 (1) Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya. (2) Hak ingkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya. (3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera. (4) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat. (5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara. 89 Ibid., halaman 20. 51 (6) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (7) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda. Dalam pasal 347 ayat (1) HIR disebutkan alasan-alasan yang lebih luas, yaitu apabila perkara yang diperiksa hakim itu menyangkut kepentingan hakim itu sendiri, baik langsung maupun tidak, atau dimana tersangkut isteri hakim itu sendiri atau salah seorang keluarganya sedarah atau semenda, dalam keturunan yang lurus tanpa pengecualian dan dalam keturunan kesamping sampai derajat ke empat. Asas ini didasarkan atas suatu pertimbangan, bahwa tidak seorangpun dapat menjadi hakim yang baik dalam perkaranya sendiri (nemo judex idoneus in propria causa).90 3) Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci Menurut asas ini putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup. Putusan yang tidak memenuhi ketentuan itu dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd (insufficient judgement). Alasan-alasan hukum yang menjadi dasar pertimbangan bertitik tolak dari ketentuan:91 90 Ibid., halaman 21. 91 M. Yahya Harahap, Op.cit., halaman 798. 52 a) Pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan b) Hukum kebiasaan c) Yurisprudensi d) Doktrin hukum Sebagaimana diatur dalam pasal 50 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan: “Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasardasar putusan dan mencantumkan pasal-pasal peraturan perundangundangan tertentu yang bersangkutan dengan perkara yang diputus atau berdasarkan hukum tak tertulis maupun yurisprudensi atau doktrin hukum. 92 Bertitik tolak dari ketentuan tersebut putusan yang tidak cukup pertimbangan adalah masalah yuridis, akibatnya putusan yang demikian dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi. 4) Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan Asas Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan digariskan dalam Pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189 ayat (2) Rbg, dan Pasal 50 Rv. Putusan secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili 92 Ibid., halaman 798. 53 setiap segi gugatan yang diajukan, tidak boleh memeriksa dan memutus sebagian saja, dan mengabaikan gugatan selebihnya. 93 5) Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan Pasal 178, Pasal 189 Rbg dan Pasal 50 Rv menyebutkan secara pokok asas-asas hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara perdata yang menyebutkan: Pasal 178 HIR (1) Hakim karena jabatannya waktu bermusyawarat wajib mencukupkan segala alasan hukum; yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak. (2) Hakim wajib mengadili atas segala bahagian gugatan. (3) Ia tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang digugat. Pasal 189 Rbg (1) Dalam rapat permusyawaratan, karena jabatannya hakim harus menambah dasar-dasar hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak. (RO. 39,41.) (2) Ia wajib memberi keputusan tentang semua bagian gugatannya. (3) Ia dilarang memberi keputusan tentang hal-hal yang tidak dimohon atau memberikan lebih dari yang dimohon. (Rv. 50; IR. 178.) Berdasarkan ketentuan tersebut di atas Pasal 178 ayat (3), Pasal 189 ayat (3) Rbg dan Pasal 50 Rv maka putusan tidak bolehmengabulkan melebihi tuntutan dikemukakan dalam gugatan. Larangan ini disebut ultra petitum partium. Apabila putusan mengandung ultra petitum harus dinyatakan cacat (invalid) meskipun 93 Ibid., halaman 800. 54 hal itu dilakukan hakim dengan itikad baik (good faith) maupun sesuai dengan kepentingan umum (public interest).94 Pelanggaran terhadap prinsip ultra petitum, sama dengan pelanggaran terhadap prinsip rule of law:95 (1)Karena tindakan itu tidak sesuai dengan hukum, padahal sesuai dengan prinsip rule of law semua tindakan hakim mesti sesuai dengan hukum (accordance with the law). (2)Tindakan hakim mengabulkan melebihi yang dituntut, nyata-nyata melampaui batas wewenang yang diberikan Pasal 178 ayat (3) HIR kepadanya, padahal sesuai dengan prinsip rule of law, siapapun tidak boleh melakukan tindakan yang melampaui batas wewenangnya (beyond the powers of his authority). 6) Diucapkan di Muka Umum Sebagaimana diatur dalam pasal 13 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan: Pasal 13 (1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain. (2) Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. 94 95 Ibid., halaman 801, sebagaiman menyadur dari Frances Russell dan Christine Loche, English Law and Language, Cassel, London, 1992, halaman 30. Ibid., halaman 802. 55 (3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa persidangan dan putusan diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum atau di muka umum, merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari asas fair trial. Menurut asas fair trial, pemeriksaan persidangan harus jujur sejak awal sampai akhir. The open justice principle tujuan utamanya untuk menjamin proses peradilan terhindar dari perbuatan tercela (misbehavior) dari pejabat peradilan.96 7) Putusan Diambil Berdasarkan Sidang Permusyawaratan Asas hakim majelis dimaksudkan untuk menjamin pemeriksaan yang seobjektif-objektifnya, guna member perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan.97 Meskipun asasnya adalah hakim majelis, baik declaratoir maupun contradictoir diperiksa dengan hakim tunggal, disamping ada sidang-sidang dengan majelis juga, pemeriksaan dengan hakim tunggal tetap sah. 98 96 Ibid., halaman 803, sebagaimana manyadur dari Geoffrey Robertson QC, Freedom, the Individual and the Law, Penguin Book, New York, 1993, halaman 341. 97 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., halaman 34 98 Ibid., halaman 35. 56 Sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan:” Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia”. Hakim dalam menjatuhkan putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan dan di dalam sidang permusyawaratan hakim wajib memberikan pertimbangan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (2) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan”. 8) Putusan dapat diajukan Banding, Kasasi dan, Peninjauan Kembali Pihak dalam perkara perdata pasti ada yang menerima putusan ada yang tidak menerima putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Apabila salah satu pihak dalam perkara perdata tidak menerima suatu putusan Pengadilan Negeri karena merasa hak-hak nya terserang oleh adanya putusan atau menganggap putusan itu kurang benar atau kurang adil, maka dapat mengajukan permohonan banding. 99 Undangundang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 26 ayat (1) menyebutkan “Putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain”. 99 Ibid., halaman 234. 57 Kasasi adalah pembatalan putusan atas penetapan pengadilan – pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan terakhir.100 Asasnya putusan dapat dimintakan kasasi setelah melalui proses banding. Pasal 23 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan “Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain”. Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan: Pasal 24 (1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. (2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, Pasal 34 menyebutkan :”Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan Pengadilan yang telah 100 Ibid., halaman 241. 58 memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam Bab IV Bagian Keempat Undang-undang ini”. Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan dan dapat dicabut selama belum diputus serta hanya dapat diajukan hanya satu kali saja.101 9) Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 20 ayat (1) menyebutkan: Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan yang berada di dalam keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut dapat ditarik suatu pemahaman bahawa putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan yang berada dibawah Mahkamah Agung dapat dilakukan upaya hukum dan dapat terjadi perubahan terhadap putusan yang dilakukan oleh peradilan dibawah Mahkamah Agung. Mahkamah Agung sebagai puncak dan sebagai pengambil keputusan terakhir. 101 Ibid., halaman 246. 59 BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif yaitu metode pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis. Konsep legis positivisi memandang hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata serta maelanggar norma-norma lain bukan sebagai hukum. 102 Penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. 103 B. Metode Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundangundangan,karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. 104 102 Ronny Hantijo Soemitro, “Metode Penelitian dan Jurimetri,” (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 1990) halaman 13. 103 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Malang: Penerbit Banyumedia, 2006) halaman 295. 60 b. Pendektan analistis (analyticak approach) Pendekatan ini untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik dan putusan-putusan hukum. 105 Penerapan aturan perundang-undangan dalam praktik pada penelitian ini yaitu terhadap putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor : 62/ Pdt.G/ 2013/ PN.KPJ). C. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang di gunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi penelitian Preskriptif. Spesifikasi penelitian Preskriptif yaitu suatu penelitian yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum, menggambarkan keadaan dari objek yang diteliti dengan keyakinan-keyakinan tertentu yang didasarkan atas peraturan Perundang-undangan yang ada dan kemudian mengambil kesimpulan dari bahan-bahan tentang objek masalah yang akan diteliti dengan keyakinan-keyakinan tertentu dan menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum. 106 104 Ibid., halaman 302. 105 Ibid., halaman 310. 106 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Normatif ( Jakarta: Penerbit Kencana, 2005) halaman 22-23. 61 D. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa inventarisasi berkas Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor : 62/Pdt.G/2013/PN. KPJ, peraturan perundang-undangan, buku-buku literature, karya ilmiah sarjana, dan dokumen yang berkaitan dengan pokok masalah. a. Data Sekunder Adalah data yang bersifat kepustakaan yang terbagi atas beberapa jenis ,yaitu : 107 1. Bahan/Sumber primer, yakni bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir, ataupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan (ide). Bahan/sumber ini mencakup : Buku, Kertas kerja konperensi, lokakarya, seminar, symposium, Laporan penelitian, Laporan teknis, Majalah, Disertasi atau tesis, dan Paten. 2. Bahan/sumber sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer. Bahan sekunder ini antara lain, mencakup: Abstrak, Indeks, Bibliografi, Penerbitan Pemerintah, Bahan acuan lainnya. 3. Bahan Hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. 107 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat( Jakarta: Rajawali Pers PT RajaGrafindo Persada, 2011) halaman 29. 62 E. Metode Pengumpulan Data Studi Kepustakaan dimana data sekunder yang diperoleh dari studi pustaka yaitu pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier, serta bagaimana bahan hukum tersebut diinventarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang dibahas. 108 F. Metode Penyajian Data Data-data yang telah terkumpul disajikan dalam bentuk uraian. 109 Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian ini akan dipaparkan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis mengikuti alur sistematika pembahasan. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh kemudian dihubungkan satu dengan yang lainnya dengan pokok permasalahan, sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.110 G. Metode Analisis Data Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel dimaksud penulis uraikan dan hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih 108 Johnny Ibrahim, Op.Cit., halaman 296. 109 Ronny Hantijo Soemitro, Op.Cit., halaman 107. 110 FH UNSOED (2014, Desember 8). Retrieved from: http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/BAB%20III%20METODE%20PENELITIAN.doc 63 sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. 111 111 Johnny Ibrahim, Op.Cit., halaman 393. 64 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Setelah mengadakan penelitian terhadap putusan Nomor : 62/Pdt.G/2013/PN. KPJ maka dapat dikemukakan data sekunder sebagai berikut : 1. Para Pihak yang Berperkara 1.1. LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL INDONESIA disingkat LPK Nasional Indonesia Badan Hukum Publik berkedudukan di Kantor Pusat Malang di Jalan Raya Wapoga No. 2 Perum Ngujil Permai II Telp.0341-492174/7723567 Fax 03 123 berdasarkan Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang selanjutnya disebut Penggugat I dalam hal ini diwakili oleh Pengurusnya Lukman Hadi Wijaya, Dholin Efendi, Nanang Nelson, SH ; 1.2. MARDI yang beralamat di Dusun Gumukmojo Rt/RW 051/010 Desa Wonokerto Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang Jawa Timur berdasarkan pasal 46 ayat (1) huruf a Undang-Undang Perlindungan Konsumen untuk dan atas nama diri sendiri sebagai konsumen. Selanjutnya disebut sebagai Penggugat II ; MELAWAN: 65 1.3. Koperasi Rukun Santoso Unit Simpan Pinjam berkedudukan di Jl jenderal A. Yani No. 2 Clumprit Pagelaran Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur. Selanjutnya disebut Tergugat ; 2. Duduk Perkara 2.1. Bahwa lembaga Penggugat menerima pengaduan masyarakat pada tanggal delapan mei dua ribu tiga belas (08-05-2013) yang bernama Mardi dengan alamat JI. Dusun Gumukmojo RT/RW : 051/010, Desa Wonokerto Kecamatan Bantur – Kabupaten Malang Jawa Timur yang selanjutnya disebut Konsumen yang hak- haknya di langgar oleh Tergugat. berdasarkan Undang- undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf e Bahwa konsumen memiliki hak Untuk mendapatkan Advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. 2.2. Bahwa pada 2005 konsumen Mardi sekarang Penggugat II utang pada Tergugat sebesar Rp. 40.000.000,- ( empat puluh juta rupiah ) untuk membiayai usahanya dengan jaminan sebidang tanah dan bangunan SHM atas nama Sariman Prayit yang terletak di RT/RW : 002/001 Desa Rejosari krajan Kecamatan Bantur Kabupaten Malang Jawa Timur. 2.3. Bahwa konsumen Mardi sekarang Penggugat II telah aktif membayar angsuran sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 sebesar Rp. 1.600.000,- ( satu juta enam ratus ribu rupiah ) setiap 66 bulanya atau sejumlah Rp. 76.800.000,- ( tujuh puluh enam juta delapan ratus ribu rupiah ) namun semua bukti pembayaran kwitansi diminta kembali oleh petugas Tergugat sehingga patut diduga pihak Tergugat menghilangkan bukti pembayaran untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan merugikan pihak Penggugat II. 2.4. Bahwa sebelum sidang dimulai seharusnya Tergugat mengembalikan semua bukti pembayaran kepada konsumen sekarang Penggugat II untuk menunjukan Tergugat adalah pelaku usaha yang beretikad baik. 2.5. Bahwa Penggugat I meminta kepada Tergugat untuk terlebih dahulu menunjukan kelengkapan ijin usaha karena Tergugat mengaku lembaga koperasi yang berbadan hukum yang tentunya dapat menunjukan ijinnya dari pihak berwenang dan terdaftar dari Pemerintah setempat sebagaimana diatur dalam Undang- undang No. 3 Tahun 1982 Tentang wajib daftar perusahaan sebelum pokok perkara di sidangkan di depan Majelis hakim Pengadilan Negeri Kepanjen Kabupaten Malang. 2.6. Bahwa yang dimaksud pelaku usaha menurut Undang- undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pasal 1 angka 3 Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, balk yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, balk sendiri maupun 67 bersamasama dalam penjelasan yang dimaksud Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain. 2.7. Bahwa atas utang konsumen sekarang Penggugat II kepada lembaga Tergugat tidak ada perjanjian karena pada kenyataanya konsumen tidak memilki copy perjanjian dengan demikian hak dan kewajiban konsumen / anggota tidak dapat diketahui dengan demikian lembaga Tergugat tidak memenuhi syarat sebagai lembaga yang memilki pelayanan kepada konsumen dan atau tidak berhak menjalankan usaha memberi pinjaman kepada konsumen kecuali konsumen yang dimaksud adalah anggota dari lembaga Tergugat. 2.8. Bahwa Ternyata konsumen semestinya adalah anggota dari lembaga Tergugat namun hakhak anggota tidak diberikan oleh Tergugat sehingga dengan berlakunya Undang- undang Koperasi yang baru yaitu UU- RI No. 17 tahun 2012 tentang perkoperasian pasal 123 ayat ( 1 ) berbunyi Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan pinjam yang telah memberikan pinjaman kepada Non- anggota wajib mendaftarkan Non- anggota tersebut menjadi anggota koperasi paling lambat 3 ( tiga ) bulan sejak berlakunya Undang- undang perkoperasian. 2.9. Bahwa agar konsumen dan masyarakat terlindungi dari praktek Koperasi yang tidak sehat dapatnya Iembaga Tergugat segera menyesuaikan dengan Undang-undang Koperasi yang baru yaitu UU 68 RI No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian dan atau kalau Tergugat tidak punya niatan untuk memperbaiki sesuai Undangundang dapat segera membubarkan lembaga tersebut atau menunggu pembubaran secara paksa berdasarkan ketentuan yang berlaku. 2.10. Bahwa konsumen sekarang Penggugat II menuntut hak sebagai anggota Koperasi seperti hak rapat anggota tahunan ( RAT ) dan hak atas sisa hasil usaha ( SHU ) atau dapat disebut kerugian secara material karena tidak terpenuhinya hak tersebut kalau dihitung dengan uang sebesar Rp. 50.000.000,- ( lima puluh juta rupiah ) yang harus dibayar oleh Tergugat secara tunal dan seketika. 2.11. Bahwa konsumen sekarang Penggugat II juga dirugikan secara imaterial karena di pusingkan oleh tagihan pihak lembaga Tergugat padahal penggugat II telah aktif membayar hingga mencapai Rp. 76.000.000,- ( tujuh puluh enam juta rupiah ) pembayaran mana kwitansi aslinya diminta oleh petugas Tergugat yang dating kerumah Penggugat II yang katanya untuk kepentingan administrasi dengan demikian menjadi pantaslah apabila Penggugat II menuntut kerugian immaterial sebesar Rp. 100.000.000,- ( seratus juta rupiah ) yang harus dibayar tunai dan seketika oleh Tergugat. 2.12. Bahwa Penggugat II masih memiliki etikad baik untuk membayar pelunasan sebesar Rp. 20.000.000,- ( dua puluh juta rupiah ) dengan catatan semua hak- hak sebagai anggota koperasi di penuhi oleh pihak Tergugat. 69 2.13. Bahwa apabila Tergugat tidak menerima Penawaran pembayaran konsumen maka mohon dengan hormat kepada Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen Malang Cq. Majelis Hakim yang memeriksa serta mengadili perkara ini berkenan mengabulkan titipan pembayaran pelunasan konsumen kepada Tergugat secara kontinatie. 2.14. Bahwa untuk menjamin kekuatiran pihak Penggugat II atas objek jaminan milik Penggugat II dipindahkan atau digadaikan ke pihak lain maka perlu Pengadilan Negeri Kepanjen melalui Majelis hakim yang mengadili perkara aquo untuk melakukan sita jaminan ( conservatoir beslag ) atas sebidang tanah dan bangunan SHM atas nama Sariman Prayit yang terletak di RT/RW ; 002/001 Desa Rejosari krajan Kecamatan Bantur Kabupaten Malang Jawa Timur 2.15. Bahwa tidak itu saja Tergugat melanggar Hak Konsumen Pasal 4 huruf ( C ), UUPK yaitu hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; dengan demikian Tergugat telah memenuhi kualifikasi perbuatan melawan hukum. 2.16. Bahwa Perjanjian antara Tergugat dan Penggugat II sebagai konsumen tidak jelas ada atau tidak karena konsumen tidak memiliki copynya patut diduga adalah perjanjian baku yang pengungkapannya sulit dimengerti, hurufnya kecil- kecil sehingga tidak mudah terlihat sehingga diduga Tergugat melanggar klausula baku. adapun pengertian klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan 70 syaratsyarat yang telah dipersiapkan dan di tetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang di tuangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan wajib di penuhi oleh konsumen ( Pasal 1 angka 10 UUPK ) 2.17. Bahwa sehubungan poin 15 patut diduga Tergugat melanggar klausula baku yang dilarang pada pasal 18 ayat 2 dan 3 UUPK yang pada ayat 2 UUPK berbunyi Pelaku Usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapanya sulit dimengerti. 2.18. Bahwa pada pasal 18 ayat 3 UUPK berbunyi " setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2 ) dinyatakan batal demi hukum. oleh karena semua unsur terpenuhi maka sudah sepantasnya Pengadilan Negeri Kepanjen Kabupaten Malang menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum dan oleh karenanya perjanjian yang pernah dibuat antara Tergugat dan konsumen batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan yang mengikat. 2.19. Bahwa karena Para Penggugat menduga banyak pelanggaran yang dilakukan Tergugat maka gugatan ini mengunakan prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab ( presumption of liability principle ) atau yang biasa kita kenal azas pembuktian terbalik yaitu Tergugat 71 membuktikan bahwa Tergugat tidak bersalah jadi beban pembuktian ada pada si Tergugat hal mana diatur pada BAB VI Tanggung jawab Pelaku usaha dalam pasal 23 pelaku usaha yang menolak dan / atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagimana dimaksud dalam pasal 19 Ayat (1), Ayat (2), Ayat 3 dan Ayat (4) dapat digugat melalui BPSK atau mengajukan ke Badan Peradilan di tempat kedudukan Konsumen dan ditegaskan pada pasal 28 UUPK pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana di maksud pasal 19, pasal 22, dan pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. 3. Petitum Penggugat 3.1. Mengabulkan Gugatan Para Penggugat seluruhnya. 3.2. Menyatakan dengan hukum bahwa gugatan ini mengunakan azas pembuktian terbalik Menyatakan sebagai hukum Bahwa konsumen Mardi adalah sebagai Konsumen/ debitur yang baik benar dan terbukti beretikad baik akan membayar utangnya 3.3. Menyatakan dengan hukum bahwa terlebih dahulu Tergugat menunjukan Kelengkapan perijinan usaha didepan persidangan. 3.4. Menyatakan secara hukum bahwa Penggugat II adalah anggota koperasi yang dikelola Tergugat yang memiliki hak yang sama dengan anggota yang lain. 72 3.5. Menyatakan sah dan berharga penawaran konsumen Penggugat II Rp. 20.000.000,- ( dua puluh juta rupiah ) secara kontinatie melalui Pengadilan Negeri Kepanjen Kabupaten Malang dengan catatan telah diakui sebagai anggota koperasi sekaligus dengan hakhaknya. 3.6. Menyatakan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan merupakan beban dan tanggung jawab Tergugat 3.7. Menyatakan dengan hukum sah dan berharga sita jaminan ( conservatoir beslag ) atas objek sengketa sebidang tanah dan bangunan SHM atas nama Sariman Prayit yang terletak di RT/RW : 002/001 Desa Rejosari krajan Kecamatan Bantur Kabupaten Malang Jawa Timur 3.8. Menyatakan dengan hukum bahwa Perjanjian kredit antara konsumen Mardi dan Tergugat melanggar klausula baku yang dilarang UUPK maka perjanjian tersebut tidak sah dan batal demi hukum. 3.9. Menghukum Tergugat untuk membayar kerugian secara material sebesar Rp. 50.000.000,- ( lima puluh juta rupiah ) 3.10. Menghukum Tergugat untuk membayar kerugian imaterial kepada konsumen Penggugat II sebesar Rp. 100.000.000,- ( seratus juta rupiah ) 3.11. Menghukum Tergugat untuk Membayar Rp. 2.000.000.000,-( dua milyar Rupiah ) karena pelanggaran pencantuman klausula baku Yang dilarang berdasar pasal 18 UUPK melalui Kementrian 73 Perdagangan Cq. Direktorat Standardisasi dan Perlindungan Konsumen untuk pendidikan konsumen cerdas di Indonesia. 3.12. Menghukum Tergugat membayar uang paksa ( Dwangsoom ) kepada Para Penggugat sebesar Rp. 1.500.000,-( satu juta lima ratus ribu rupiah) setiap hari atas kelalaian memenuhi isi putusan hingga dilaksanakannya putusan dimaksud. 3.13. Menyatakan putusan dapat dijalankan terlebih dahulu serta merta ( uit voer boar Bij voorraad ) walaupun Tergugat melakukan upaya Banding, Kasasi atau peninjauan kembali. 3.14. Menghukum Tergugat membayar semua biaya perkara. 4. Pemeriksaan Pendahuluan 4.1. Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan, pihak Penggugat I datang menghadap LUKMAN HADI WIJAYA Sekretaris LPK Nasional Indonesia berdasarkan surat tugas no. 018/SM/LPKNI/VII/2012, tertanggal 15 Juli 2013, Penggugat II hadir sendiri dipersidangan, sedangkan Pihak Tergugat datang menghadap kuasanya Bambang Suherwono, SH.Mhum berdasarkan surat Kuasa tanggal 8 Juni 2013; 4.2. Menimbang, bahwa Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) mendalilkan dirinya sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang Perlindungan Konsumen yang mendasarkan gugatannya pada Pasal 46 ayat (1) huruf c UndangUndang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang 74 mengatur mengeni hak gugat organisasi (Legal Standing/Ius Standi), yaitu hak yang diberikan kepada lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat untuk mengajukan gugatan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dalam perkara aquo Penggugat menerima pengaduan masyarakat atas nama MARDI/ Penggugat II yang beralamat di Dusun Gumukmojo Rt/RW 051/010 Desa Wonokerto Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang yang selanjutnya disebut sebagai konsumen untuk menggugat Koperasi Rukun Santoso Unit Simpan Pinjam berkedudukan di Jalan Ahmad Yani No. 2 ClumpritPagelaran Kabupaten Malang. Selanjutnya disebut sebagai Tergugat ; 4.3. Menimbang bahwa pasal 46 ayat (1) huruf c Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999tentang Perlindungan Konsumen masyarakat agar suatu lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang dapat mengajukan gugatan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya ; 4.4. Menimbang, bahwa meskipun dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (class action) tidak menyinggung mengenai Hak Gugat 75 Organisasi (legal standing/ius Standi) namun majelis hakim menilai bahwa secara substantife proses pemeriksaan awal sebagaimana dalam gugatan perwakilan kelompok (class action) dapat diterapkan dalam perkara hak gugat organisasi (Legal Standing /Ius Standi) untuk mempertimbangkan hak dan kapasitas hukum (Legitima persona standi in justicio) dari penggungat (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional) untuk menggugat ; 4.5. Untuk memenuhi syarat-syarat sebagai lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) untuk menggugat dalam perkara aquo maka pihak penggugat di persidangan telah menyerahkan surat-surat berupa : 1. Fotocopy tanda daftar lembaga perlindungan konsumen (TDLPK) No. 519/1175/35.73/311/2009 tertanggal 30 Desember 2009 yang ditandatangani oleh Walikota Malang ; 2. Fotocopy Akta No.39 tertanggal 25 Februari 2009 tentang Anggaran Dasar Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia ; 3. Fotocopy Akta No.25 tertanggal 13 Juli 2012 tentang Pengangkatan Pengurus Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia ; 4. Fotocopy Akta No. 12 tertanggal 11 Juli 2012 tentang Pernyataan Keputusan Rapat Pendiri Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia ; 76 5. Jawaban Tergugat 5.1. Bahwa surat gugatan para Penggugat ttg 28 Mei 2013 untuk Penggugat I tidak memiliki kapasitas sebagai Penggugat (legal standing) dimana Penggugat I sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen menyatakan telah menerima penaduan masyarakat yang bernama Mardi (Penggugat II) yang hak-haknya telah dilanggar oleh Tergugat berdasarkan UU No 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf e , bahwa konsumen memiliki untuk mendapatkan avokasi Perlindungan, dan upaya penyeleseian sengketa perlindungan konsumen secara patut, bahwa dalam perkara Aquo kedudukan Penggugat I tidak jelas, sebagai Kuasa atau sebagai Lembaga, karena ada Pengugat II yaitu Mardi sebagai Penggugat II . Apabila Penggugat I mendudukkan dirinya sebagai kuasa dari Mardi menurut hukum LPK Nasional Indonesia tidak dapat menjadi kuasa hukum apalagi dalam persidangan, Karena yang dapat menjadi kuasa hanya Advokat sebagaimana diatur dalam pasal 32 UU No 18 th 2003 tentang ADVOKAD , dan semakin tidak jelas dalam perkara Aquo Mardi juga menjadi Penggugat II ,sehingga oleh karenanya harus dinyatakan gugatan tidak dapat diterima 5.2. Bahwa surat gugatan para Penggugat ttg 28 Mei 2013 untuk Penggugat I tidak memiliki kapasitas sebagai Penggugat (legal standing) dimana Penggugat I yang mendudukkan diri sebagai Penggugat dengan alasan sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen 77 menyatakan telah menerima penaduan masyarakat yang bernama Mardi (Penggugat II) yang hak-haknya telah dilanggar oleh Tergugat berdasarkan UU No 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf e, bahwa konsumen memiliki untuk mendapatkan advokasi Perlindungan, dan upaya penyeleseian sengketa perlindungan konsumen secara patut, didalam perkara Aquo Penggugat I tidak dirugikan dan tidak ada hubungan hukum dengan Tergugat, sehingga oleh karenanya harus dinyatakan gugatan tidak dapat diterima. 5.3. Bahwa surat gugatan para Penggugat ttg 28 Mei 2013 untuk Penggugat I yang mendudukkan diri sebagai Penggugat dengan alasan sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen menyatakan telah menerima penaduan masyarakat yang bernama Mardi (Penggugat II) yang hak-haknya telah dilanggar oleh Tergugat berdasarkan UU No 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf e, bahwa konsumen memiliki untuk mendapatkan avokasi Perlindungan, dan upaya penyeleseian sengketa periindungan konsumen secara patut. Bahwa berdasarkan pasa 46 ayat 1 huruf c UU No 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), memberi hak gugat kepada LSM yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen mengajukan tuntutan dengan mengatasnamakan kepentingan perlindungan konsumen. Bahwa agar LSM mempunyai hak legal standing mengajukan gugatan atas nama 78 kepantingan kelompok tertentu , organisasi atau badan swasta yang bersangkutan harus memenuhi syarat : ï€ Berbentuk badan hokum atau yayasan ï€ Dalam anggaran dasar organisasi tersebut , disebut dengan tegas tujuan didirikannya untuk kepentingan tertentu, ï€ Telah melakukan kegiatan sesuai dengan anggaran dasar. 5.4. Bahwa dalam persidangan Penggugat I tidak memenuhi klausula tersebut sehingga dalam perkara A quo ia Penggugat I tidak memliki legal standing, sehingga oleh karenanya harus dinyatakan gugatan tidak dapat diterima. Berdasarkan pada apa-apa yang terurai diatas, maka dengan ini Tergugat mohon dengan hormat kepada Pengadilan Negari Kepanjen berkenan memberi putusan yang amarnya sebagai berikut: ï€ Menerima dan mengabulkan tanggapan Tergugat dalam perkara ini untuk Seluruhnya ï€ Menyatakan Penggugat I tidak memiliki legal standing dalam perkara ini ï€ Menyatakan gugatan para Penggugat tidak dapat diterima ï€ Menghukum para Penggugat untuk membayar semua biaya perkara menurut hukum 79 6. Pertimbangan Hukum Hakim 6.1. Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan penggugat adalah sebagaimana tersebut diatas 6.2. Menimbang, bahwa Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) mendalilkan dirinya sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen yang mendasarkan gugatannya pada pasal 46 ayat (1) huruf c UndangUndang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur mengenai hak gugat organisasi (legal standing/ ius standi), yaitu hak yang diberikan kepada lembaga perlindungan konsumen masyarakat yang memenuhi syarat untuk mengajukan gugatan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam perkara a quo penggugat menerima pengaduan masyarakat yang bernama MARDI/ Penggugat II yang beralamat di Dusun Gumukmojo Rt/RW 051/010 Desa Wonokerto Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang yang selanjutnya disebut sebagai konsumen untuk menggugat Koperasi Rukun Santoso Unit Simpan Pinjam berkedudukan di Jalan Ahmad Yani No. 2 Clumprit Pagelaran Kabupaten Malang ; 6.3. Menimbang bahwa Tergugat dalam tanggapannya tertanggal 4 September 2013 menyatakan pada pokoknya bahwa Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia menerima pengaduan masyarakat MARDI/ Penggugat II yang beralamat di Dusun 80 Gumukmojo Rt/RW 051/010 Desa Wonokerto Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang yang selanjutnya disebut sebagai konsumen untuk menggugat Koperasi Rukun Santoso Unit Simpan Pinjam berkedudukan di Jalan Ahmad Yani No. 2 Clumprit Pagelaran Kabupaten Malang oleh karena hak-haknya telah dilanggar oleh Tergugat kedudukan Penggugat 1 tidak jelas sebagai kuasa atau sebagai lembaga, apabila menjadi kuasa maka berdasarkan UU No. 18 Tahun 2003 maka yang dapat menjadi kuasa hanyalah Advokat sedangkan apabila Penggugat 1 sebagai lembaga maka ia harus berbentuk badan hukum atau yayasan dan dalam anggaran dasar organisasi disebutkan dengan jelas tujuan didirikannya untuk kepentingan tertentu serta telah melakukan kegiatan sesuai dengan anggaran dasar maka jelas Penggugat I tidak mempunyai hak gugat (legitima persona standi in judicio/ legal standing) untuk mengajukan gugatan terhadap Tergugat sesuai ketentuan hukum pasal 46 ayat (1) huruf c UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen; 6.4. Menimbang,bahwa setelah majelis hakim mempelajari dan mencermati gugatan Para Penggugat dan tanggapan Tergugat maka yang menjadi permasalahan yang perlu untuk dicermati terlebih dahulu sebelum memeriksa materi pokok perkara maka majelis hakim akan mempertimbangkan kapasitas hukum/legal standing Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia sebagai 81 Penggugat I pihak berperkara dalam mengajukan gugatan perkara a quo; 6.5. Menimbang,bahwa pada prinsipnya setiap orang yang merasa haknya dirugikan atau mempunyai kepentingan dapat secara pribadi/menunjuk kuasa kepada seseorang yang memenuhi syarat sebagai kuasa untuk beracara di pengadilan. Dalam beberapa peraturan Perundang-undangan dan dalam praktek peradilan dikenal beberapa pihak yang dapat bertindak sebagai kuasa/wakil dari para pihak (Penggugat, Tergugat, atau Pemohon) di pengadilan. Dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan edisi tahun 2007, Mahkamah Agung RI, 2009, hal 53 disebutkan bahwa: Yang dapat bertindak sebagai kuasa/wakil dari penggugat/tergugat/ Pemohon di Pengadilan adalah : g. Advokat (sesuai dengn Pasal 32 UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat, Penasihat Hukum, Pengacara Praktek, dan Konsultan Hukum yang telah diangkat pada saat Undang-Undang Advokat mulai berlaku dinyatakan sebagai Advokat) ; h. Jaksa dengan kuasa khusus sebagai kuasa/wakil Negara/pemerintah sesuai dengan Pasal 30 ayat (2) UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ; i. Biro Hukum Pemerintah/TNI/Kejaksaan RI ; j. Direksi/ Karyawan yang ditunjuk dari suatu badan hukum ; 82 k. Mereka yang mendapat kuasa insidentil yang ditetapkan oleh ketua Pengadilan/ Misalnya LBH, Hubungan Keluarga, Biro hukum TNI/Polri untuk perkara yang menyangkut anggota/keluarga TNI/Polri ; l. Kuasa Insidentil dengan alasan hubungan keluarga sedarah/ semenda dapat diterima sampai dengan derajat ketiga yang dibuktikan dengan surat keterangan kepala Desa/Lurah ; 6.6. Menimbang, bahwa dalam perkembangan selanjutnya di Indonesia dengan tolok ukur keadilan dan kebutuhan masyarakat maka praktek peradilan dan perundang-undangan memang sudah mengenal dan mengakomodir model Gugatan Perwakilan Kelompok (class action) dan Hak Gugat Organisasi (legal standngi/ius standi) dalam beberapa peraturan perundangan antara lain UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diakui adanya Hak Gugat Kelompok dan Hak Gugat (LSM)/Hak Gugat Lembaga Swadaya Organisasi/NGO ( Non Masyarakat Govermental Organization) untuk mengajukan gugatan dalam bentuk class action atau legal standing; 6.7. Menimbang, bahwa legal standing seringkali disebut juga sebagai hak gugatan organisasi (ius standi), secara luas dapat diartikan sebagai akses orang perorangan, kelompok/organisasi di pengadilan sebagai Pihak Penggugat. Legal standing,Standing to Sue, Ius 83 Standi, Locus Standi dapat diartikan sebagai hak seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan sebagai Penggugat dalam proes gugatan perdata (Civil Processing). Secara konvensional hak gugat hanya bersumber pada prinsip “tiada gugatan tanpa kepentingan hukum”(point d’interest point d’action). Kepentingan hukum (legal Interest) yang dimaksud di sini adalah kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan (proprietary interest) atau kepentingan material berupa kerugian yang dialami secara langsung (Injury in fact). Perkembangan hukum konsep hak gugat konvensional berkembang secara pesat seiring pula dengan perkembangan hukum yang menyangkut hajad hidup orang banyak (public interest law) dimana seseorang atau sekelompok orang atau organisasi dapat bertindak sebagai Penggugat walaupun tidak memiliki kepentingan hukum secara langsung, tetapi dengan didasari oleh suatu kebutuhan untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat luas atau pelanggaran hak-hak publik seperti lingkungan hidup, perlindugan konsumen, hak-hak sipil dan politik ; 6.8. Menimbang, bahwa sehubungan dengan perkara a quo, dalam pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan : “Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan 84 dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya” ; 6.9. Dengan demikian suatu lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat Ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf c UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat secara langsung bertindak mewakili konsumen sebagai Penggugat Tanpa memerlukan adanya surat kuasa ; 6.10. Menimbang, bahwa selanjutnya majelis Hakim mempertimbangkan keberadaan dari Penggugat I akan (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) ; 6.11. Menimbang,bahwa dalam pasal 44 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen disebutkan : “Pemerintah mengakui Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat” ; 6.12. Dalam Pasal 44 ayat (1) tersebut disebutkan bahwa : “Yang dimaksud dengan memenuhi syarat antara lain, terdaftar dan diakui serta bergerak dalam bidang perlindungan konsumen” ; 6.13. Selanjutnya dalam Pasal 2 Ayat (1) Peraturan pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat disebutkan : “Pemerintah mengakui LPKSM yang memenuhi syarat sebagai berikut : a. Terdaftar pada Pemerintah Kabupaten/Kota ; 85 b. Bergerak dibidang perlindungan Konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran dasarnya” ; 6.14. Menimbang, bahwa dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyaraka,disebutkan : Pasal 2 1. Pemerintah mengakui setiap LPKSM yang memenuhi syarat untuk bergerak di bidang Perlindungan Konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar pendiriannya ; 2. Pengakuan LPKSM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui pendaftaran dan penerbitan TDLPK ; Pasal 3 1. Kewenangan Penerbitan TDLPK berada pada Menteri ; 2. Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan TDLPKsebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Bupati/ Walikota ; 3. Bupati/Walikota dapat melimpahkan kembali kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada Kepala Dinas ; 6.15. Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a angka 1 Keputusan Menteri perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia 86 disebutkan pada pokonya bahwa : “Permohonan TDLPK bagi Lembaga Swadaya Masyarakat yang berstatus Badan Hukum atau Yayasan dilampiri dokumen-dokumen diantaranya berupa copy Akta Notaris Pendirian badan Hukum atau Yayasan yang telah mendapat Pengesahan Badan Hukum dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau Instansi yang berwenang, sedangkan Lembaga Swadaya Masyarakat atau Akta Notaris yang telah mendapat Pengesahan dari Instansi yang berwenang” ; 6.16. Menimbang, bahwa apakah Penggugat I termasuk dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen yang telah terdaftar pada Pemerintah Kabupaten /Kota maka akan dipertimbangkan sebagai berikut ; 6.17. Menimbang,bahwa dalam surat berupa Akta Nomor 39 tertanggal 25 Pebruari 2009 tentang Anggaran Dasar Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia yang diajukan Penggugat I diketahui bahwa Penggugat I adalah salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam bidang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan surat berupa Tanda daftar Lembaga Perlindungan Konsumen(TDLPK) Nomor :519/1175/35.73.311/2009 yang ditanda tangani oleh Walikota Malang, tertanggal 30 Desember 2009 diketahui bahwa Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) telah terdaftar di Pemerintah Kota Malang, sesuai dengan kedudukan/ domisili Penggugat. Dalam Tanda Daftar 87 Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK) Nomor :519/1175/35.73.311/2009 tersebut disebutkan pula bahwa jenis kegiatan dari Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional ; 6.18. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Majelis Hakim berpendapat bahwa keberadaan Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) telah mendapat pengakuan sebagai Lembaga perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dari Pemerintah dalam hal ini Pemerintah Kota Malang dimana Penggugat berkedudukan/berdomisili ; 6.19. Menimbang, bahwa selanjutnya akan dipertimbangkan apakah Penggugat I memiliki Kapasitas hukum untuk menggugat (legitima persona standi in judicio) ; 6.20. Menimbang, bahwa dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan : “Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya” ; 88 6.21. Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka dapat diketahui syarat-syarat Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang dapat mengajukan gugatan atas Pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu : 1. Berbentuk badan hukum atau yayasan ; 2. Dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen ; 3. Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya ; 6.22. Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah Penggugat (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) memiliki kapasitas hukum untuk menggugat (legitima persona standi in judicio) dalam kaitannya dengan syarat-syarat sebagaimana tersebut dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, yakni sebagai berikut ; 1. Berbentuk Badan Hukum atau Yayasan Menimbang, bahwa ilmu hukum mengenal ada dua subjek hukum yaitu, orang dan badan hukum. Sebagaimana halnya subjek hukum orang, badan hukum dapat mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban, serta dapat pula mengadakan hubungan-hubungan hukum, baik antara badan hukum dengan 89 orang. Dalam kamus hukum versi Bahasa Indonesia pengertian badan Hukum (legal person/rechtpersonen) adalah organisasi, perkumpulan atau paguyuban lainnya dimana pendiriannya dengan akta otentik dan oleh hukum diperlakukan sebagai persona atau sebagai orang. Badan Hukum mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum seperti halnya orang, akan tetapi perbuatan hukum itu hanya terbatas pada bidang hukum dan kekayaan. Mengingat wujudnya adalah badan atau lembaga, maka dalam mekanisme pelaksanaanya badan hukum bertindak dengan perantara-perantara pengurusnya; 2. Menimbang, bahwa dari segi bentuknya badan hukum dibedakan menjadi dua macam, yakni: a. Korporasi adalah gabungan/ kumpulan orang yang bertindak bersama-sama sebagai satu subyek hukum sendiri. Badan hukum ini memiliki anggota tetapi memiliki hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan kewajiban anggotannya ; b. Yayasan adalah badan hukum yang tidak memiliki anggota, tetapi ada pengurus,yang mengelola kekayaan yang memiliki tujuan tertentu. Adapun tanggung jawab pengurus sebatas pengelolaan kekayaan yang memiliki tujuan tertentu tersebut ; 90 6.23. Menimbang, bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu badan/ perkumpulan/badan usaha agar dapat dikatakan sebagai badan hukum (legal person/ rechtperson). Menurut doktrin ilmu hukum syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut : 1. Adanya harta kekayaan yang terpisah ; 2. Mempunyai tujuan tertentu ; 3. Mempunyai kepentingan sendiri ; 4. Adanya kepengurusan/organisasi yang teratur ; 6.24. Menimbang, bahwa peraturan tentang badan hukum di Indonesia diatur dalam Pasal 1653 KUH Perdata (BW) dan Staatsblad 1870 Nomor 64. Berdasarkan Aturan PeralihanPasal II UUD 1945,maka ketentuan-ketentuan tentang badan hukum sampai sekarang masih tetap berlaku. Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang badan hukum antara lain UU No. 25 tahun 1992 tentang Koperasi, UU No. 28 tahun 2004 tentang Yayasan,UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) ; 6.25. Menimbang, bahwa selain ke-4 syarat yang telah dikemukakan di atas, maka suatu badan/perkumpulan/badan usaha memperoleh status badan hukum (legal person/ rechtperson), apabila telah mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman dan hak Asasi Manusia. Hal ini sebagaimana diatur dalam Staatsblad 1870 Nomor 64 ; 91 6.26. Menimbang,bahwa jika membaca dan mecermati surat yang diajukan Penggugat I, berupa Fotokopi Akta Nomor 39 tertanggal 25 Pebruari 2009 tentang Anggaran Dasar Penggugat, Fotokopi Akta Nomor 12 tertanggal 11-07-2012 tentang Pernyataan Keputusan Rapat Pendiri Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia, Fotocopy Akta nomor :25, tertanggal 13-07-2012 tentang Pengangkatan Pengurus Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia disertai pemberian kuasa, diketahui bahwa syarat badan hukum berupa mempunyai tujuan tertentu, mempunyai kepentingan sendiri dan adanya kepengurusan/organisasi yang teratur telah terpenuhi pada diri Penggugat I sedangkan syarat adanya harta kekayaan yang terpisah, menurut Majelis Hakim belum terpenuhi pada diri Penggugat I. Dalam Anggaran Dasar Penggugat, tidak Nampak adanya pemisahan yang jelas antara harta kekayaan Penggugat I dengan harta kekayaan para pengurusnya ; 6.27. Menimbang, bahwa selain tidak adanya pemisahan harta kekayaan, setelah membaca dan mencermati surat-surat yang diajukan oleh Para Penggugat, majelis Hakim tidak melihat adanya surat-surat yang menunjukkan bahwa Penggugat I telah mendapatkan pengesahan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau Instansi yang berwenang sebagai syarat utama suatu badan/perkumpulan/badan usaha untuk memperoleh status badan hukum (legal person/reechtperson). Dalam surat berupa Akta Nomor 92 39 tertanggal 25-02-2009 tentang anggaran Dasar Penggugat, tidak nampak adanya bukti pengesahan badan hukum dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau instansi yang berwenang baik sebagai korporasi/perkumpulan maupun sebagai yayasan ; 6.28. Menimbang, bahwa dalam Ketentuan Pasal 7 & ayat (1) huruf a Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat diatur pada pokoknya bahwa Permohonan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK) bagi Lembaga Swadaya Masyarakat yang berstatus badan hukum atau Yayasan harus dilampiri dokumen pada angka 1 berupa copy Akta Notaris Pendirian Badan Hukum atau yayasan yang telah mendapat pengesahan badan hukum dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau Instansi yang berwenang. Lain halnya dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia tersebut yang mengatur bahwa bagi Lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat yang tidak berstatus Badan Hukum maupun yayasan harus dilampiri dokumen pada angka 1 berupa copy Akta Notaris Pendirian Lembaga Swadaya Masyarakat atau Akta Notaris yang telah mendapat pengesahan dari Instansi yang berwenang ; 6.29. Menimbang, bahwa berdasarkan surat yang diajukan oleh Penggugat I berupa Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK) 93 Nomor : 519/1175/35.73.311/2009 yang ditanda tangani oleh Walikota Malang, tertanggal 30 Desember 2009, khususnya pada angka 3 mengenai status Lembaga diketahui bahwa Penggugat I berstatus sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), bukan sebagai Badan Hukum atau Yayasan ; 6.30. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, majelis Hakim berpendapat bahwa Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) bukan Lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) melainkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dengan demikian syarat ini tidak dapat dipenuhi oleh Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) ; 6.31. Menimbang, bahwa oleh karena syarat angka1 dari Pasal 46 ayat (1) huruf c UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni berbentuk Badan Hukum atauYayasan tidak dapat dipenuhi oleh Penggugat I, maka syarat-syarat yang lain tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut, dengan demikian Majelis Hakim berpendapat bahwa Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) tidak memiliki kapasitas hukum untuk menggugat (legitima persona standi in judicio) dalam perkara a quo karena Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen swadaya Masyarakat (LPKSM) yang berbentuk badan hukum atau yayasan tetapi berbentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ; 94 6.32. Menimbang, bahwa berdasarkan keseluruhan uraian pertimbangan tersebut diatas maka Majelis Hakim berpendapat bahwa keberadaan Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) telah mendapat Pengakuan sebagai Lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dari pemerintah Kota Malang, namun Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) tidak memiliki kapasitas hukum (legitima standi in judicio) untuk menggugat dalam perkara a quo karena bukan Badan Hukum atau Yayasan ; 6.33. Menimbang,bahwa oleh karena Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) tidak memiliki kapasitas hukum( legitima standi in judicio) untuk menggugat dalam perkara a quo dengan menggunakan prosedur Hak Gugat Organisasi (legal standing/ius standi), maka gugatan Para Penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima ; 6.34. Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Para Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, maka pemeriksaan substansi materi gugatan Para Penggugat tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut dan Para Penggugat harus dihukum untuk membayar biaya perkara yang jumlahnya akan disebutkan dalam amar putusan ini ; 6.35. Mengingat UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Staatsblad 1870 Nomor 64, Pasal 1653 KUH Perdata (BW), 95 Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2010 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok serta Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkara ini ; 7. Amar Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen MENGADILI: 7.1. Menyatakan gugatan dari Para Penggugat tidak dapat diterima ; 7.2. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang hingga saat ini sebesar Rp. 601.000,- (enam ratus satu ribu rupiah) ; 96 B. PEMBAHASAN Pertimbangan hukum hakim dalam mengkonstitusi legal standing penggugat Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia pada gugatan utang-piutang dalam putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor : 62/ Pdt.G/ 2013/ PN.KPJ. Berdasarkan hasil penelitian yang kemudian dikaitkan dengan permasalahan yang diteliti oleh penulis yaitu mengenai apakah hakim dalam mengkonstitusi legal standing Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia sebagai penggugat sudah tepat pada gugatan utangpiutang dalam Putusan No. 62/Pdt.G/2013/PN.KPJ., maka dapat di Preskriptifkan sebagai berikut: Hasil penelitian yaitu Hakim Pengadilan Negeri Kepanjen dalam mengkonstitusi perkara legal standing yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia sudah tepat. Hakim dalam mengkonstitusi mendasarkan argumentasi-argumentasi tertentu. Argumentasi-argumentasi pada perkara a-quo diawali dengan Hakim dalam mengkonstatasi perkara tersebut yaitu mendasarkan pada data sekunder Perkara Perdata No. 62/Pdt.G/2013/PN.KPJ. data 1, 2, 3, 4, 5 menerangkan bahwa Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia sebagai Penggugat I dan Mardi sebagai Penggugat II mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Kepanjen tentang gugatan utang-piutang yang mendasarkan pada hak gugat organisasi/legal standing yang dalam hal ini dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen 97 Nasional Indonesia sebagai Penggugat I. Gugatan ditujukan kepada Koperasi Rukun Santoso Unit Simpan Pinjam sebagai Tergugat. Pertimbangan hakim pada data 6.2 menerangkan adanya suatu karakteristik adanya suatu gugatan legal standing terhadap perkara tersebut. Penggugat I menggunakan hak gugat dengan tata cara legal standing, maka hakim dalam hal ini harus mengkwalifikasi peraturanperaturan apa saja yang harus digunakan untuk menyelesaikan perkara legal standing. Hakim dalam hal ini menggunakan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Gugatan Perwakilan Kelompok yang di dalamnya mengatur tentang proses pemeriksaan pendahuluan. Hakim mempertimbangkan bahwa secara substantif proses pemeriksaan awal sebagaimana dalam gugatan perwakilan kelompok dapat diterapkan dalam perkara hak gugat organisasi, sebagaimana terdapat pada data 4.4. Perkara legal standing yang dibuktikan dalam pemeriksaan pendahuluan yaitu mengenai kapasitas hukum Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi persyaratan, dengan demikian untuk memenuhi persyaratan tersebut Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia memberikan alat bukti berupa surat, kemudian Pengadilan Negeri Kepanjen memeriksa berkas-berkas perkara dan syarat-syarat sebagai Lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat yang memiliki kapasitas hukum sesuai dengan Pasal 4 huruf e dan Pasal 46 ayat (1) huruf 98 c Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Dalam pemeriksaan pendahuluan Penggugat I telah membuktikan dengan alat bukti surat untuk memenuhi syarat-syarat sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yaitu terdapat pada data 4.5. Pasal 4 huruf e menyebutkan “hak konsumen adalah hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut”. Tergugat mempermasalahkan Kedudukan Penggugat I dalam jawaban gugatan, yaitu kedudukan Penggugat I tidak jelas apakah sebagai kuasa atau sebagai lembaga, apabila menjadi kuasa, maka berdasarkan UU No. 18 Tahun 2003 yang dapat menjadi kuasa hanyalah Advokat. Apabila menjadi lembaga apakah Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia memiliki kapasitas hukum untuk mengajukan gugatan. Untuk menyelesaikan perkara a-quo, Hakim kemudian mengkwalifikasi perkara legal standing menggunakan peraturan-peraturan sebagai berikut: ”BAB ke Sembilan Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1653, Undangundang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen , UndangUndang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 sebagai norma materiil dan, menggunakan norma formil secara substantif Peraturan Mahkamah 99 Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok”. Majelis Hakim mempertimbangkan berkaitan tanggapan dari tergugat sesuai dengan data 6.3, yaitu apakah Penggugat I memiliki hak sebagai lembaga yang berhak menerima pengaduan masyarakat dan dapat bertindak sebagai kuasa atau memiliki hak gugat organisasi (legal standing), dengan dibuktikan pada data 5.1, 5.2, 5.3, 5.4 mengenai jawaban gugatan terkait kapasitas hukum dari diri Penggugat I. Proses setelah hakim mengkonstatasi, dilanjutkan dengan mengkwalifikasi dan, tahap selanjutnya adalah menerapkan hukum/ mengkonstitusi. Hakim mempertimbangkan permasalahan yang perlu dicermati sebelum memeriksa pokok perkara atas tanggapan dari Tergugat terkait kapasitas hukum Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia sebagai Penggugat I merupakan suatu permasalahan yang harus diselesaikan dengan penerapan hukum tertentu, berdasarkan data 6.4. Hakim dalam mengkonstitusi memberikan pertimbangan hukum terkait kapasitas hukum/legal standing Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia sebagai Penggugat I, yaitu pihak yang berperkara dalam mengajukan gugatan utang-piutang yang mendalilkan dirinya sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memiliki hak gugat organisasi/legal standing untuk memberikan perlindungan kepada konsumen Mardi sebagai Penggugat II. 100 Pada prinsipnya setiap orang yang merasa haknya dirugikan atau mempunyai kepentingan dapat secara pribadi/menunjuk kuasa kepada seseorang yang memenuhi syarat sebagai kuasa untuk beracara di pengadilan sebagimana ditemukan pada data 6.5, dan berdasarkan data tersebut telah diatur secara limitatif menurut Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan edisi tahun 2007, Mahkamah Agung RI, 2009, hal 53 disebutkan bahwa: Yang dapat bertindak sebagai kuasa/wakil dari penggugat/tergugat/ Pemohon di Pengadilan adalah : a. Advokat (sesuai dengn Pasal 32 UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat, Penasihat Hukum, Pengacara Praktek, dan Konsultan Hukum yang telah diangkat pada saat Undang-Undang Advokat mulai berlaku dinyatakan sebagai Advokat) ; b. Jaksa dengan kuasa khusus sebagai kuasa/wakil Negara/pemerintah sesuai dengan Pasal 30 ayat (2) UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ; c. Biro Hukum Pemerintah/TNI/Kejaksaan RI ; d. Direksi/ Karyawan yang ditunjuk dari suatu badan hukum ; e. Mereka yang mendapat kuasa insidentil yang ditetapkan oleh ketua Pengadilan/ Misalnya LBH, Hubungan Keluarga, Biro hukum TNI/Polri TNI/Polri; untuk perkara yang menyangkut anggota/keluarga 101 f. Kuasa Insidentil dengan alasan hubungan keluarga sedarah/ semenda dapat diterima sampai dengan derajat ketiga yang dibuktikan dengan surat keterangan kepala Desa/Lurah ; Perkembangan hak gugat di Indonesia sudah mengenal adanya legal standing pada data 6.6. Praktik peradilan dan perundang-undangan sudah mengenal dan mengakomodir model Gugatan Perwakilan Kelompok (class action) dan Hak Gugat Organisasi (legal standngi/ius standi) dalam beberapa peraturan perundangan. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat Ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf c UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat secara langsung bertindak mewakili konsumen sebagai Penggugat Tanpa memerlukan adanya surat kuasa, sebagaimana terdapat pada data 6.9. Legal standing dalam perkara a-quo terkait aduan yang dilakukan oleh Mardi sebagai Penggugat II kepada Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia sebagai Penggugat I, sebagaimana terdapat pada data 2.1. dan data 1.1 secara format dalam penyusunan surat gugatan Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia mendudukan dirinya sebagai Penggugat bukan sebagai kuasa dari konsumen Mardi sebagai Penggugat II, sehingga kedudukan dari Penggugat I tidak jelas. Akan tetapi dapat diselesaikan manakala yang melakukan gugatan menyangkut hak orang banyak atau masalah yang menyangkut kepentingan khusus untuk memperjuangkan harkat dan martabat masyarakat, hakim dapat berpendapat bahwa perkara tersebut dapat diteruskan dan hakim wajib 102 memberikan nasihat terkait dengan perkara yang seharusnya dilakukan sebagaimana secara substantif diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, yang pada pokoknya hakim dapat memberikan nasihat terhadap perkara yang sedang diajukan. Secara substantif dapat diterapkan pada perkara legal standing yaitu hakim dapat memberikan nasihat kepada penggugat terkait penyusunan surat gugatan yang memenuhi persyaratan. Perkara legal standing yang diajukan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia tidak menyangkut harkat martabat orang banyak melainkan dalam mengajukan tuntutan mengatasnamakan kepentingan individu terkait permasalahan utangpiutang. Sebagaimana ditemukan pada data 3.9, 3.10 tentang petitum, para pihak meminta ganti kerugian kepada pihak tergugat, padahal dalam hal perkara legal standing tuntutan yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang mendasarkan gugatannya tersebut dengan dasar legal standing, petitum yang seharusnya diminta adalah Penghentian kegiatan, Permintaan maaf, dan Pembayaran uang paksa (dwangsom) bukan ganti kerugian. Sehingga menjadi tidak jelas kedudukan Penggugat I sebagai lembaga atau sebagai kuasa. Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan edisi tahun 2007, Mahkamah Agung RI, 2009, hal 53 dikaitkan dengan perkara yang dihadapi dan diterapkan terhadap tanggapan dari Tergugat terkait kewenangan Lembaga 103 Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia sebagai kuasa maka disimpulkan bahwa Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia tidak memiliki hak untuk menjadi kuasa atas Mardi, meskipun dalam peraturanya bahwa Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dapat secara langsung bertindak mewakili konsumen sebagai Penggugat Tanpa memerlukan adanya surat kuasa, itu artinya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat bertindak atas kepentingan dirinya sendiri sebagai Penggugat bukan bertindak sebagai kuasa, kepentingan tersebut sesuai dengan Anggaran Dasar pendirian lembaga tersebut sebagai perlindungan terhadap hak-hak konsumen. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memiliki kapasitas hukum adalah Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi persyaratan, dengan format surat gugatan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen “Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya”. Majelis Hakim mempertimbangkan keberadaan dari Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) sebagaimana 104 terdapat pada data 6.10. Pemerintah mengakui Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat apabila telah memenuhi persyaratan tertentu dibuktikan dengan norma-norma yang terdapat pada data 6.11, 6.12, 6.13, 6.14, 6.15. Pasal 44 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen disebutkan : “Pemerintah mengakui Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat”. Memenuhi syarat yang bagaimana yang dapat mengajukan gugatan kemudian di dalam Pasal 44 ayat (1) tersebut disebutkan bahwa : “Yang dimaksud dengan memenuhi syarat antara lain, terdaftar dan diakui serta bergerak dalam bidang perlindungan konsumen”. Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (pasal 1 angka 3) mengatur:”Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen” 112 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Pasal 2 dan Pasal 3 menerangkan tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat disebutkan: 113 112 113 Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Keputusan Menteri Perindustrian 302/MPP/Kep/10/2001. dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 105 Pasal 2: 1. Pemerintah mengakui setiap Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat untuk bergerak di bidang Perlindungan Konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar pendiriannya; 2. Pengakuan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui pendaftaran dan penerbitan TDLPK; Pasal 3: 1. Kewenangan Penerbitan TDLPk berada pada Menteri; 2. Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan TDLPK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Bupati/Walikota; 3. Bupati/Walikota dapat melimpahkan kembali kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada Kepala Dinas; Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 302/Mpp/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Pasal 7 ayat (1) huruf a angka 1 disebutkan pada pokoknya bahwa: 114 “Permohonan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK) bagi Lembaga Swadaya Masyarakat yang berstatus Badan Hukum atau Yayasan yang dilampiri dokumen-dokumen di antaranya berupa copy Akta Notaris Pendirian Badan Hukum atau Yayasan yang telah mendapat Pengesahan Badan Hukum dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Instansi yang 114 Keputusan Menteri Perindustrian 302/MPP/Kep/10/2001. dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 106 berwenang, sedangkan Lembaga Swadaya masyarakat atau Akta Notaris yang telah mendapat Pengesahan dari Instansi yang berwenang”. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan maka anggaran dasar Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat harus sesuai dengan Undang-undang Yayasan. 115 Pasal 14 Ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dalam anggaran dasar yayasan sekurang-kurangnya memuat: 1. Nama dan tempat kedudukan; 2. Maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut; 3. Jangka waktu pendirian; 4. Jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang atau benda; 5. Cara memperoleh dan mempergunakan kekayaan; 6. Tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas; 7. Hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas; 8. Tata cara penyelenggaraan rapat organ yayasan; 9. Ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar; 10. Penggabungan dan pembubaran yayasan; dan 11. Penggunaan kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran kekayaan yayasan setelah pembubaran. Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia telah terdaftar sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat pada data 6.17. Sebagaimana terdapat pada data 6.18, diketahui bahwa Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) telah terdaftar di Pemerintah 115 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan 107 Kota Malang sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam bidang Perlindungan Konsumen. Hakim mempertimbangkan apakah Penggugat I memiliki Kapasitas hukum untuk menggugat (legitima persona standi in judicio) sebagaimana terdapat pada data 6.19. Hakim mempertimbangkan sebelum masuk dalam pokok perkara, terlebih dahulu Hakim melakukan pemeriksaan terhadap kapasitas hukum penggugat terutama Penggugat I yaitu Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia terhadap perkara utangpiutang atas dasar legal standing yang dimilikinya dalam bidang perlindungan konsumen. Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia mendalilkan dirinya sebagai penggugat Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) berdasarkan pasal 46 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengenai hak gugat organisasi (legal standing/ ius standi) yang bergerak untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya dapat ditemukan pada data 6.20, yaitu hak yang diberikan kepada lembaga perlindungan konsumen masyarakat yang memenuhi syarat untuk mengajukan gugatan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam perkara a-quo. Syarat-syarat Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang dapat mengajukan gugatan atas Pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha dapat ditemukan pada data 6.21 sesuai 108 dengan Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan data 6.21 maka muncullah data 6.22 dan, data 6.23 yang menerangkan keadaan sebagai badan hukum. Keadaan sebagai badan hukum sebagaimana tercantum pada 14 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan. Pada salah satu keadaan di dalam pasal tersebut menyebutkan adanya harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang atau benda. Perkumpulan diatur dalam BAB ke Sembilan Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1653 yang menyebutkan: 116”Selainnya perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula perhimpunan-perhimpunan, baik perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan baik”. Sebagaimana terdapat pada data 6.24 mengatur tentang ketentuan-ketentuan tentang Badan Hukum Berdasarkan Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945, maka ketentuanketentuan tentang badan hukum sampai sekarang masih tetap berlaku. Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang badan hukum antara lain 116 Kitab Undang-undang Hukum Perdata 109 UU No. 25 tahun 1992 tentang Koperasi, UU No. 28 tahun 2004 tentang Yayasan,UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT). Suatu badan/perkumpulan/badan usaha memperoleh status badan hukum (legal person/ rechtperson), apabila telah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan hak Asasi Manusia, sebagaimana terdapat pada data 6.25. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Pasal 2 dan Pasal 3 yang didalamnya menyebutkan bahwa kewenangan penerbitan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK) berada pada Menteri. Majelis Hakim menerangkan bahwa belum terpenuhi pada diri Penggugat I dalam Anggaran Dasar Penggugat yaitu tidak nampak adanya pemisahan yang jelas antara harta kekayaan Penggugat I dengan harta kekayaan para pengurusnya, sebagaimana terdapat pada data 6.26. Hakim dalam hal ini menerapkan hukum (mengkonstitusi) sesuai dengan peraturan tentang Badan Hukum dihubungkan dengan fakta-fakta yang ada menerangkan bahwa tidak adanya bukti pemisahan harta kekayaan, sehingga Hakim menetapkan bahwa Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia bukan berbentuk Badan Hukum. Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia (LPKNI) tidak memenuhi syarat sebagai Badan Hukum, karena hakim tidak melihat adanya surat-surat yang menunjukan bahwa Penggugat I telah mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau Instansi yang berwenang sebagai syarat utama sebagai Badan Hukum berdasarkan 110 data 6.27. Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia (LPKNI) sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bukan sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Dengan demikian Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia (LPKNI) tidak memiliki kapasitas hukum karena tidak memenuhi syarat sebagai Badan Hukum. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang tidak berstatus Badan Hukum pada data 6.28 mendasarkan pada Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Pasal 7 ayat (1) huruf b menerangkan tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat disebutkan : Pasal 7 (1) Permohonan TDLPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilampiri dokumen-dokumen sebagai berikut : b. Lembaga Swadaya Masyarakat yang tidak berstatus Badan Hukum maupun Yayasan : 1. Copy Akta Notaris Pendirian Lembaga Swadaya Masyarakat atau Akta Notaris yang telah mendapat pengesahan dari Instansi yang berwenang; 2. Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pimpinan/penanggung jawab Lembaga Swadaya Masyarakat yang masih berlaku; dan 3. Copy Surat keterangan tempat kedudukan/domisili Lembaga Swadaya Masyarakat dari Lurah/Kepala Desa setempat. Penerbitan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK) yang disahkan oleh instansi yang berwenang dalam hal ini Walikota Malang yaitu Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional 111 Indonesia (LPKNI) bukan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) melainkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) karena tidak berbentuk Badan Hukum/Yayasan maka berdasarkan pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang dapat mengajukan gugatan hanya yang memenuhi keadaan secara komulatif yang salah satu syaratnya berbentuk Badan Hukum/Yayasan. Demi kepastian hukum maka Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia (LPKNI) tidak memenuhi syarat sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Artinya Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia (LPKNI) tidak memiliki hak untuk mengajukan gugatan. Mengenai status Lembaga diketahui bahwa Penggugat I berstatus sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sebagaimana terdapat pada data 6.29, bukan sebagai Badan Hukum atau Yayasan karena surat yang diajukan oleh Penggugat I berupa Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK) Nomor : 519/1175/35.73.311/2009 yang ditanda tangani oleh Walikota Malang, tertanggal 30 Desember 2009 menerangkan bahwa Penggugat I berstatus sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), bukan sebagai Badan Hukum. Hakim berpendapat bahwa Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) bukan Lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) melainkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sebagaimana terdapat pada data 6.30, data 6.31, dan data 6.32. Dengan 112 demikian syarat tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia). Dengan tidak terpenuhinya diri Penggugat I sebagai Badan Hukum atau Yayasan maka Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) tidak memiliki kapasitas hukum untuk menggugat (legitima persona standi in judicio) dalam perkara a quo karena Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) tidak berbentuk Badan Hukum atau Yayasan tetapi berbentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Hakim dalam mengkonstitusi perkara legal standing dengan melakukan pemeriksaan pendahuluan yaitu menggunakan keadaan objektif dan subjektif dari Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia (LPKNI), keadaan yang menerangkan diri seseorang sebagai orang yang memiliki kapasitas hukum dengan memenuhi persyaratan tertentu sesuai dengan apa yang sudah diatur dalam peraturan mengenai diakuinya sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memiliki kapasitas hukum. Keadaan objektif dan subjektif yang dimaksud harus memenuhi Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7 ayat (1) huruf a angka 1 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/10/2001, Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang 113 Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan. Hakim mengkonstitusi dalam putusannya menyatakan gugatan tidak dapat diterima sudah tapat, dibuktikan pada data-data sekunder yang tersedia yang menyatakan Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia tidak memiliki kapasitas hukum, yang berdasarkan asas poin de interes poin de action, meskipun Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia tidak memiliki kepentingan secara langsung Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia dapat melakukukan gugatan berdasarkan hak gugat organisasi tanpa harus adanya surat kuasa, dan bertindak atas kepentinganya sendiri sebagai bentuk perlindungan terhadap konsumen, dengan syarat harus memenuhi keadaan objektif dan subjektif tetrsebut. Petitum gugatan legal standing mengenai hal pokok yang diminta adalah Penghentian kegiatan, Permintaan maaf, dan Pembayaran uang paksa (dwangsom) bukan ganti kerugian. Hakim lebih menegakkan kepastian hukum yaitu bahwa gugatan yang diajukan oleh para pihak tidak memenuhi persyaratan. Apabila menggunakan rasa keadilan dan kemanfaatan yang beralasan, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat tidak terpenuhi sebagai Badan Hukum atau Yayasan tetapi apabila gugatan tersebut dalam hal memperjuangkan kepentingan umum harkat dan martabat orang banyak hakim dapat memberikan nasihat demi terciptanya keadilan masyarakat. Penggugat I dalam hal ini berposisi tidak sesuai atau tidak tepat yaitu Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional 114 Indonesia yang memposisikan dirinya sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dalam Petitum Penggugat meminta ganti kerugian, padahal Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dalam mengajukan tuntutan hak dalam pencantuman petitum seharusnya berisikan Penghentian kegiatan, Permintaan maaf, dan Pembayaran uang paksa (dwangsom) bukan ganti kerugian. Mendasarkan pada ketentuan hukum tertentu, dan penggunaan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok secara substansi dapat diterapkan, mengingat permasalahan hak gugat organisasi belum ada peraturan khusus yang mengaturnya. Legal standing atau hak gugat organisasi juga termasuk kelompok, akan tetapi memiliki tujuan khusus dan memiliki tujuan tertentu, hampir sama dengan apa yang dimaksud dengan class action yaitu sama-sama berbentuk kelompok. Class action berbentuk kelompok tersebut belum terlembaga sehingga dalam melakukan gugatan dipersayaratkan adanya kesamaan hubungan hukum dan mengalami kerugian secara langsung akibat dari kegiatan pelaku usaha atau pemerintah. Lain hal dengan legal standing meskipun tidak secara langsung mengalami kerugian secara langsung, organisasi/kelompok ini dapat melakukan gugatan berdasarkan pemenuhan syarat-syarat yang telah ditentukan. Sehingga secara substansi hukum acara perdata yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok dapat diterapkan pada 115 hak gugat organisasi. Mengingat UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Staatsblad 1870 Nomor 64, Pasal 1653 KUH Perdata (BW), Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2010 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok serta Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkara ini terdapat pada data 3.35. Mendasarkan pada Asas-asas Hakim dalam menjatuhkan putusan maka putusan Pengadilan Negeri Kepanjen pada gugatan utang-piutang dalam Putusan No. 62/Pdt.G/2013/PN.KPJ sudah sesuai dengan Asas-asas Hakim dalam menjatuhkan putusan. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Kepanjen sudah memuat dasar alasan yang jelas dan rinci perihal gugatan yang dinyatakan tidak dapat diterima bahwa Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia yang mendalilkan dirinya sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat atas dasar gugatan legal standing terhadap utang-piutang seorang konsumen yang bernama Mardi tidak berbentuk badan hukum, padahal di dalam norma materiil legal standing perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan “Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan 116 oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya”. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas dapat dipahami bahwa adanya suatu lembaga yang memiliki kapasitas hukum legal standing harus memenuhi persyaratan tertentu diantaranya mensyaratkan adanaya suatu keadaan lembaga tersebut berbentuk badan hukum, dan dalam hal ini Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia tidak memenuhi persyaratan tersebut. Hakim Pengadilan Negeri Kepanjen menayatakan gugatan tidak dapat diterima dikarenakan gugatan tidak memenuhi persyaratan. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat apabila akan menjadi penggugat dalam suatu perkara, hendaknya harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil sebagai lembaga dan objek gugatan sesuai dengan anggaran dasar yang dimilikinya. Pencantuman petitum seharusnya berisikan Penghentian kegiatan, Permintaan maaf, dan Pembayaran uang paksa (dwangsom) bukan ganti kerugian, serta memperjuangkan kepentingan umum harkat dan martabat orang banyak. 117 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai legal standing Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia dalam gugatan utangpiutang pada putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor : 62/ Pdt.G/ 2013/ PN.KPJ yang dikaitkan dengan permasalahan yang penulis teliti seperti tersebut diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Hakim dalam mengkonstitusi perkara legal standing menyatakan gugatan tidak dapat diterima sudah tepat, dengan alasan Penggugat I yaitu Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia tidak memiliki kapasitas hukum untuk mengajukan gugatan. B. Saran Hendaknya diperhatikan apabila bertindak sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat harus memenuhi persyaratan, baik syarat formil maupun syarat materiil, agar memiliki kapasitas hukum sebagai penggugat dan, dalam pencantuman petitum seharusnya berisikan penghentian kegiatan, permintaan maaf, dan pembayaran uang paksa (dwangsom) bukan ganti kerugian, serta memperjuangkan kepentingan umum harkat dan martabat orang banyak Daftar Pustaka Apeldoorn, V. (1996). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Darwan Prinst, S. (2002). Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata . Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Djindang, E. U. (1983). Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan. Harahap, M. Y. (2005). Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. Herlinda, E. (2004). Tinjauan Tentang Gugatan Class Actions Dan Legal Standing Di Peradilan Tata Usaha Negara. e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera utara, 3-4. Johnny Ibrahim, S. M. (2006). Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Penerbit Banyumedia. Mamudji, S. S. (2011). Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat. Jakarta: Rajawali Pers PT RajaGrafindo Persada. Marzuki, P. M. (2005). Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Kencana. Marzuki, P. M. (2008). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Meliala, D. S. (1982). Pemberian Kuasa Menurut Kitab UU Hukum Perdata. Bandung: Tarsito. Mertokusumo, S. (2009). Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberti Yogyakarta. Nugroho, S. A. (2010). Class Action & perbandingannya dengan Negara Lain. Jakarta: Prenada Media Group. Soemitro, R. H. (1988). Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia. Susanti Adi Nugroho, S. M. (2011). Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya. Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group. Artikel Bintoro, R. W. (2010). Tuntutan Hak Dalam Persidangan Perkara Perdata. Jurnal Dinamika Hukum, 7-8. Santosa, M. A. (2008). CLASS ACTIONS IN INDONESIA. Blackie. Khusnanto, N. (2009). Surat Kuasa yang tidak sah dalam perkara yang dimohonkan banding. Skripsi, 14-17. Website Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia. (2014, April 24). Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia. Retrieved Oktober 15, 2014, from Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia: http://www.perlindungankonsumen.id/index.php/tentangkami Ramon, T. (2010, Juni 4). Hukum Acara Perdata. Retrieved Desmber 4, 2014, from Wordpress: http://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/hukumacara-perdata/ FH UNSOED. (2014, Desember 8). Retrieved from http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/BAB%20III%20METODE%20PENELITI AN.doc Peraturan Perundang-undangan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok S.E.M.A. 19/1964 dan 3/1965 menegaskan berlakunya HIR dan Rbg