Pendidikan Prasekolah DP. Jilid 10, Bil 2/2010 Perkembangan dan Pembelajaran Kanak-kanak Prasekolah Ernawulan Syaodih Pendahuluan Pendidikan bagi anak usia prasekolah menjadi perhatian penting dalam upaya menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, karena anak usia prasekolah adalah insan yang memiliki potensi yang luar biasa yang perlu dikembangkan seoptimal mungkin sesuai ciri, keperluan, dan potensi perkembangannya. Perkembangan anak bersifat holistik dan saling mempengaruhi. Berkembangnya satu aspek perkembangan anak akan mempengaruhi perkembangan aspek lainnya. Guru dan orang tua perlu merencanakan perlakuan yang tepat agar anak dapat berkembang secara optimal. Bagaimana mengembangkan kemampuan anak, maka akan dibicarakan tentang permasalahan pendidikan prasekolah, aspek perkembangan, belajar anak dan penciptaan belajar bagi tumbuh kembang anak. Permasalahan Pendidikan Prasekolah Pendidikan prasekolah ialah pendidikan yang ditujukan bagi anak usia 3-6 tahun. Pendidikan bagi anak dalam batasan usia ini sangatlah penting karena anak memiliki karakteristik perkembangan dan kemampuan tersendiri. Beberapa ahli dalam bidang pendidikan dan psikologi memandang masa anak merupakan masa yang sangat penting yang perlu mendapat penanganan sedini mungkin. Montessori (Standing, 1962) berpendapat bahwa usia 3-6 tahun merupakan masa peka atau periode sensitive, ialah suatu periode dimana suatu fungsi tertentu perlu dirangsang, diarahkan sehingga tidak terhambat perkembangannya. Erikson (Helms & Turner, 1994) memandang periode usia 4-6 tahun sebagai fase sense of initiative. Pada periode ini anak harus didorong untuk mengembangkan prakarsa, seperti kesenangan untuk mengajukan pertanyaan dari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Jika anak tidak mendapat hambatan dari lingkungannya, maka anak akan mampu mengembangkan prakarsa, dan daya kreatifnya, dan hal-hal yang produktif dalam bidang yang disenanginya. Froebel (Roopnaire & Johnson, 1993) berpendapat bahwa masa anak merupakan suatu fase yang sangat penting dan berharga, dan merupakan masa pembentukan dalam periode kehidupan manusia. Oleh karenanya masa anak sering dipandang sebagai masa emas ( golden age) bagi penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan bagi anak usia prasekolah berpegang pada prinsip bahwa anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini. Mereka adalah insan yang memiliki dunia sendiri yang berbeda dengan dunia orang dewasa. Setiap anak memiliki potensi kecerdasan yang bersifat jamak, yang semuanya harus diberi peluang sama untuk berkembang secara optimal. 82 Pendidikan Prasekolah DP. Jilid 10, Bil 2/2010 Namun dalam perkembangannya, ditemukan berbagai permasalahan pendidikan prasekolah diantaranya: (1) masih banyak anak usia prasekolah yang belum tersentuh layanan pendidikan apapun, (2) masih sangat rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak usia prasekolah, (3) terbatasnya jumlah tenaga pendidik untuk anak usia pra sekolah serta masih rendahnya kualitas tenaga pendidik yang ada, (4) masih rendahnya kemampuan guru dalam memberikan perlakuan yang sesuai dengan karakteristik dan keperluan perkembangan anak. Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan untuk menaungi pendidikan bagi anak usia prasekolah diantaranya: (1) prinsip pendidikan didasarkan pada tumbuh kembang anak dengan memperhatikan seluruh aspek kecerdasan anak, dan mengutamakan kegiatan bermain, (2) lingkup sasaran adalah anak usia lahir sampai dengan 6 tahun, dan (3) fokus program diarahkan pada intervensi pendidikan bagi anak usia prasekolah yang ada di lembaga-lembaga pendidikan anak usia pra sekolah (Jalal, 2003). Perkembangan Anak Usia Prasekolah Anak usia prasekolah memiliki karakteristik perkembangan sendiri mencakup perkembangan fisik-motorik, kognitif, bahasa, dan sosial-emosional. 1. Perkembangan Fisik-Motorik Pertumbuhan fisik setiap anak tidak selalu sama, ada anak yang mengalami pertumbuhan secara cepat, tetapi ada pula yang mengalami kelambatan. Masa kanak-kanak ditandai dengan kelebihan gerak atau aktivitas. Anak cenderung menunjukkan gerakan motorik yang cukup gesit dan lincah. Saat terjaga, hampir seluruh waktunya digunakan untuk bergerak, seperti berlari, memanjat, melompat, mendorong mobil-mobilan, menggunting, menempel, menggambar, dan sebagainya (Hadis, 1996). Perkembangan fisik-motorik yang normal merupakan salah satu faktor penentu kelancaran proses belajar, baik dalam bidang pengetahuan maupun keterampilan. 2. Perkembangan Kognitif Piaget (Santrock, 1995) mengungkapkan bahwa anak usia 3-6 tahun pada umumnya berada pada tahap berpikir praoperasional. Manipulasi simbol merupakan karakteristik esensial dari tahapan ini. Pemikiran anak bersifat egosentris, anak pada tahap ini sulit membayangkan bagaimana segala sesuatunya tampak dari perspektif orang lain. Ciri lain dari cara berfikir pada usia prasekolah ialah sangat memusat (centralized). Bila anak dikonfrontasi dengan situasi yang multi dimensional, maka anak akan memusatkan perhatiannya hanya pada satu dimensi dan mengabaikan dimensi lainnya. Anak ialah partisipan aktif dalam proses perkembangan. Anak harus dipandang seperti seorang ilmuwan yang sedang mencari jawaban dalam upaya melakukan eksperimen terhadap dunia untuk melihat apa yang terjadi. Anak membangun pengetahuan berdasarkan eksperimen yang dilakukannya. Saat anak menemukan benda atau peristiwa baru, maka anak berupaya untuk memahaminya berdasarkan pengetahuan yang telah dimilikinya. 83 Pendidikan Prasekolah DP. Jilid 10, Bil 2/2010 3. Perkembangan Bahasa Bahasa merupakan suatu urutan kata-kata yang dapat digunakan untuk menyampaikan informasi mengenai tempat yang berbeda atau waktu yang berbeda dan bahasa adalah salah satu cara mengekspresikan pikiran. Bahasa dapat mengarahkan perhatian anak pada benda-benda baru atau hubungan baru yang ada di lingkungan, mengenalkan anak pada pandangan-pandangan yang berbeda dan memberikan informasi baru pada anak. Menurut Vygotsky (1978), bahasa dan kognitif sangat berhubungan erat. Ada dua prinsip yang mempengaruhi penyatuan pemikiran dan bahasa, pertama, semua fungsi mental memiliki asal usul eksternal atau sosial. Anak-anak harus menggunakan bahasa dan mengkomunikasikannya kepada orang lain sebelum mereka berfokus ke dalam proses mental mereka sendiri. Kedua, anak-anak harus berkomunikasi secara eksternal dan menggunakan bahasa selama periode waktu yang lama sebelum transisi dari kemampuan berbicara secara eksternal ke internal berlangsung.Sejalan dengan perkembangan kognisinya, anak pada usia prasekolah sering kali mengajukan berbagai pertanyaan. Minat anak diusia ini sangat luas dan mereka selalu ingin mengetahui segala sesuatu yang ada di sekitarnya (Hadis, 1996). Pada usia 4-5 tahun, anak sudah menguasai kalimat yang terdiri dari empat sampai lima kata. Mereka juga mampu menggunakan kata depan, seperti di bawah, di atas, di dalam dan di samping. Anak lebih banyak menggunakan kata kerja daripada kata benda. Antara usia 5-6 tahun, kalimat anak sudah terdiri atas enam sampai delapan kata. Anak sudah dapat menjelaskan arti kata yang sederhana mengetahui lawan kata, menggunakan kata penghubung, kata depan dan kata sandang. 4. Perkembangan Sosial-Emosional Hurlock (1978) memandang perkembangan sosial sebagai suatu perolehan kemampuan berperilaku sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang mampu bersosialisasi membutuhkan tiga proses, ialah (a) belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial, (b) belajar memainkan peranan sosial yang dapat diterima, dan (c) mengembangkan sikap sosial. Sejak kecil anak telah belajar cara berperilaku sosial sesuai dengan harapan orang-orang yang paling dekat dengannya. Apa yang telah dipelajari anak dari lingkungan keluarga mempengaruhi pembentukan perilaku sosialnya. Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus belajar tentang cara-cara menyesuaikan diri dengan orang lain. Kemampuan ini diperoleh anak melalui berbagai kesempatan atau pengalaman bergaul dengan orang di lingkungannya. Perilaku yang ditunjukkan anak dapat berbeda tergantung dengan siapa anak berhadapan. Anak berperilaku dalam suatu kelompok berbeda dengan perilakunya dalam kelompok lain. Perilaku anak dalam kelompok juga berbeda dengan pada waktu anak sendirian. Kehadiran orang lain dapat menimbulkan reaksi yang berbeda pada tiap-tiap anak. Lima faktor yang berpengaruh pada kemampuan anak bersosial, ialah: (1) kesempatan untuk bergaul dengan orang di sekitarnya dari berbagai usia dan latar belakang, (2) minat dan motivasi untuk bergaul, (3) bimbingan dan pengajaran dari orang lain yang biasanya menjadi “model” bagi anak, (4) coba-coba dan salah (trial and error), dan (5) kemampuan berkomunikasi yang dimiliki anak. 84 Pendidikan Prasekolah DP. Jilid 10, Bil 2/2010 Goleman (1995) merumuskan emosi sebagai sesuatu yang merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khas, serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi anak memiliki beberapa ciri ialah: intensitas emosi sama kuat, emosi seringkali nampak keluar, bersifat sementara, reaksi bersifat individual, berubah-ubah kekuatannya, dan diketahui dari gejala perilaku. Pada usia 5-6 tahun, emosi anak mulai matang. Pada usia ini anak mulai menyadari akibat dari tampilan emosinya. Anak mulai memahami perasaan orang lain, misalnya bagaimana perasaan orang lain bila disakiti. Ekspresi emosi pada anak mudah berubah dengan cepat dari satu bentuk ekspresi ke bentuk ekspresi emosi yang lain. Anak dalam keadaan gembira secara tiba-tiba dapat langsung berubah menjadi marah karena ada sesuatu yang dirasakan tidak menyenangkan, sebaliknya apabila anak dalam keadaan marah, melalui bujukan dengan sesuatu yang menyenangkan bisa berubah menjadi riang. Pembelajaran Bagi Kanak-kanak Pembelajaran merupakan suatu proses kegiatan yang terjadi secara dinamis dan terus menerus yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam diri anak. Perubahan yang dimaksud dapat berupa penguasaan pengetahuan (knowledge) atau perubahan perilaku (behavior). Pembelajaran pada anak terjadi sepanjang waktu, baik pagi, siang, bahkan malam hari, seolah anak tidak berhenti untuk belajar. Anak belajar menggunakan seluruh inderanya, ialah indera penglihatan, pendengaran, pengecapan, sentuhan/perabaan, dan penciuman (Dryden & Vos, 2002). Piaget (dalam Semiawan, 2002) berpendapat bahwa belajar adalah adaptasi yang bersifat holistik dan bermakna yang datang dari dalam diri seseorang terhadap situasi baru sehingga mengalami perubahan yang relatif permanen. Piaget percaya bahwa harus ada kesiapan (readiness) dan kematangan (maturity) dari dalam diri anak sebelum perubahan tersebut terjadi. Pengetahuan tidak diperoleh dengan cara dialihkan dari orang lain, melainkan merupakan sesuatu yang dibangun dan diciptakan oleh anak sendiri. Anak adalah pembelajar aktif dan memiliki struktur psikologis yang mengendalikan perilaku belajarnya. Anak-anak secara naluriah aktif bergerak, dan dengan kecenderungan itu anak menggali berbagai pengalaman kesehariannya baik di rumah, di tempat bermain, di sekolah dan di lingkungan masyarakatnya secara lebih luas. Anak-anak secara aktif belajar dari hasil pengamatan dan partisipasinya terhadap lingkungan. Melalui pengamatan dan pengalaman langsung, anak-anak aktif membangun berbagai pemahaman dan pengetahuan sesuai dengan apa yang dipersepsinya. Sebagai bagian dari proses belajarnya, anak-anak mengembangkan sendiri berbagai hipotesis dan secara terus menerus membuktikannya melalui interaksi sosial, mengotakatik barang dan melalui proses berpikirnya sendiri. Anak mengamati apa yang terjadi, memikirkan yang ditemukannya, mengajukan pertanyaan, dan merumuskan jawaban. Ketika pemahamannya tentang suatu benda, kejadian dan/atau konsep tertantang oleh keadaan yang lain atau penjelasan yang berbeda, maka anak akan bergerak untuk menyesuaikan atau mengubah pemahamannya, kemudian mengakomodasi informasi baru tersebut. 85 Pendidikan Prasekolah DP. Jilid 10, Bil 2/2010 Setiap anak mempunyai cara belajarnya sendiri-sendiri. Dua anak yang tumbuh dalam kondisi dan lingkungan yang sama dan mendapat perlakuan yang sama, belum tentu akan memiliki pemahaman, pemikiran dan pandangan yang sama terhadap dunia sekitarnya. Masing-masing anak memiliki cara pandang sendiri terhadap setiap peristiwa yang dilihat dan dialaminya. Anak memperlihatkan aktiviti belajar yang berbeda-beda sesuai dengan tahapan perkembangannya. Pada tahap awal, yakni pada fase pra sekolah, anak terlibat aktif dalam latihan pengembangan organ-organ sensorik dan perkembangan koordinasi fisik. Pada tahap kedua, fase sekolah dasar, anak aktif dalam kegiatan penguasaan materi dan alat-alat yang ditemukan di lingkungannya. Pada tahap ini, lingkungan yang diperkaya dengan materi-materi belajar akan mampu menumbuhkan minat anak dan mendorong anak untuk membangun, bereksperimen dan berkreasi. Pada tahap ketiga, fase sekolah menengah anak aktif dalam proses menemukan ide-ide, menguji dan menggunakan ideide tersebut. Proses belajar pada anak-anak dilakukan dalam nuansa bermain karena dunia anak adalah dunia bermain. Bermain adalah dunia anak sekaligus sebagai sarana belajar anak. Memberikan kesempatan bermain kepada anak, artinya memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar. Memberi kesempatan anak untuk belajar dengan cara-cara yang bersifat bermain berarti telah berusaha membuat pengalaman belajar yang dirasakan dan dipersepsi secara alami oleh anak sehingga menjadi bermakna baginya (Solehuddin & Hatimah, 2007). Pendidikan bagi Pengembangan Kanak-kanak Usia Prasekolah Pendidikan bagi anak usia prasekolah dimaksudkan sebagai suatu upaya yang dilakukan secara sistematis dan terencana untuk membantu mengembangkan kemampuan anak sesuai karakteristik, keperluan perkembangan dan gaya belajar anak. Riset selama 75 tahun terakhir tentang perkembangan anak telah memberikan berbagai informasi mengenai masa kanak-kanak, suatu tahapan perkembangan individu yang memiliki karakteristik tersendiri. Pengetahuan tentang perkembangan anak diaplikasikan dalam bidang pendidikan, khususnya dalam kegiatan pembelajaran dan bimbingan anak. Kurikulum yang dikembangkan dengan berpegang pada perkembangan anak disebut “kurikulum yang sejalan dengan perkembangan” (Developmentally Appropriated Curriculum). DAC dimaksudkan untuk memberikan pendidikan pada anak dengan cara yang sesuai dengan karakteristik perkembangan dan belajar anak. Pendidikan bagi anak prasekolah selayaknya adalah pendidikan yang berorientasi perkembangan yang memungkinkan para guru merencanakan berbagai pengalaman yang dapat menumbuhkan minat anak, merangsang keingintahuan anak, melibatkan anak secara emosional maupun intelektual, dan membuka daya imajinasi. Cara ini juga akan memperkaya konsep-konsep anak melalui pengalaman sensorik maupun persepsi. Caranya adalah dengan melibatkan anak dalam berbagai kegiatan melihat, mendengar, meraba dan memanipulasi. Dengan demikian anak akan memperoleh sejumlah gagasan, makna dan berbagai penemuan oleh dirinya sendiri. 86 Pendidikan Prasekolah DP. Jilid 10, Bil 2/2010 Dalam pendidikan yang berorientasi perkembangan, anak juga dilatih untuk memilih dan memfokuskan perhatiannya pada tugas yang menarik dan bermakna baginya. Cara ini memungkinkan terjadinya zone of proximal development (ZPD), dimana fasilitator atau orang yang lebih pandai dari dirinya dijadikan tempat bertanya untuk meningkatkan kemampuannya melebihi dari apa yang dimilikinya. Pendidikan bagi anak prasekolah sebaiknya sebanyak mungkin melibatkan anak dalam kegiatan meneliti, menguji, memanipulasi, dan bereksperimen dengan berbagai macam benda yang menarik. Melakukan berbagai percobaan dengan berbagai benda adalah kegiatan yang disukai anak dan kegiatan ini mampu mengembangkan berbagai konsep. Pembentukan konsep akan menumbuhkan kemampuan untuk memecahkan masalah, ialah suatu kemampuan kognitif yang harus dimiliki seseorang dalam menghadapi berbagai tantangan. Reka bentuk pendidikan bagi anak prasekolah perlu disusun dengan memperhatikan prinsip-prinsip: (1) berangkat dari apa yang dibawa anak, (2) aktivitas belajar harus menantang pemahaman anak dari waktu ke waktu, dan (3) guru menyodorkan berbagai persoalan yang relevansinya tengah dirasakan anak. Selain berorientasi perkembangan, pendidikan bagi anak prasekolah perlu juga memperhatikan konteks sosial. Vygotsky (1978) menekankan pentingnya konteks sosial dalam proses belajar anak. Pengalaman interaksi sosial sangat berperan dalam mengembangkan kemampuan berpikir anak. Vygotsky menjelaskan bahwa bentukbentuk aktivitas mental yang tinggi diperoleh dari konteks sosial dan budaya tempat anak berinteraksi dengan temannya atau orang lain. Mengingat betapa pentingnya peran konteks sosial ini, Vygotsky menyarankan untuk memahami perkembangan anak, kita dituntut untuk memahami relasi-relasi sosial yang terjadi pada lingkungan tempat anak itu bergaul. Untuk mengoptimalkan perkembangan anak, peranan guru bagi anak prasekolah sangat penting. Guru tidak hanya mengembangkan potensi anak secara intelektual, tetapi juga harus bersikap terbuka, jujur, dan menghargai anak. Guru hendaknya memelihara iklim psikologis kelas supaya terjadi suasana gembira, bersemangat, berkompetisi secara sehat, tiada tekanan serta terpupuk keinginan untuk maju dan berprestasi pada anak. Situasi belajar harus merupakan situasi yang demokratis, dimana gagasan anak dihargai. Guru harus sadar bahwa setiap anak berbeda keperluan, kemampuan dan kepribadiannya. Kesimpulan Anak ialah sosok individu yang sedang berada dalam proses perkembangan. Di setiap anak berkembang aspek kognitif, fisik, bahasa maupun sosial emosionalnya. Setiap anak memiliki irama dan tempo perkembangan sendiri, setiap anak memiliki ciri, keperluan dan gaya perkembangannya masing-masing. Dalam upaya mengembangkan seluruh potensi perkembangan anak maka guru harus mengenali setiap anak dan perlu merencanakan pembelajaran yang tepat bagi anak sehingga anak dapat berkembang secara optimal. 87 Pendidikan Prasekolah DP. Jilid 10, Bil 2/2010 Rujukan Dryden, G. & Vos, J. (2002). Revolusi Cara Belajar (The Learning Revolution). Bandung: Kaifa. Goleman, D. (1994). Emotional Intelligence. New York: Scientific American. Inc. Hadis, F.A. (1996). Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta: Proyek Pendidikan Tenaga Guru Ditjen Dikti Depdikbud. Helms, D.B. & Turner, J.S. (1983). Exploring Child Behavior. New York: Holt Rinehartand Winston. Hurlock, E.B. (1978). Child Development, Sixth Edition. New York: McGraw-Hill, Inc. Jalal. (2003). Dari IQ Menuju Ragam Kecerdasan. Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 2. (03). 13-22. Roopnaire, J.L. & Johnson J.E. (1993). Approaches to Early Childhood Education. New York: Charles E.Merril Publishing Co. Santrock, J.W. (1995). Life Span Development. Perkembangan Masa Hidup. Jilid I. (alih bahasa: Achmad Chusairi). Jakarta: Erlangga. Semiawan, C.R. (2002). Belajar dan Pembelajaran dalam Taraf Usia Dini. Jakarta: PT. Prenhallindo. Solehuddin, M. & Hatimah, I. (2007). Pendidikan Anak Usia Dini. Bandung: Pedagogiana Press. Standing, E, M. (1962). Maria Montessori, Her Life and Work. New York: Mentor-Omega Book. Syaodih, E. (2007). Model Bimbingan Perkembangan di Taman Kanak-kanak. Disertasi. Bandung: SPs UPI. Vygotsky, L.S. (1978). Mind in Society, The Development of Higher Psychological Processes. London: Harvard University. 88