82 Perkembangan dan Pembelajaran Kanak

advertisement
Pendidikan Prasekolah
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
Perkembangan dan Pembelajaran Kanak-kanak Prasekolah
Ernawulan Syaodih
Pendahuluan
Pendidikan bagi anak usia prasekolah menjadi perhatian penting dalam upaya
menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas, karena anak usia prasekolah
adalah insan yang memiliki potensi yang luar biasa yang perlu dikembangkan seoptimal
mungkin sesuai ciri, keperluan, dan potensi perkembangannya. Perkembangan anak
bersifat holistik dan saling mempengaruhi. Berkembangnya satu aspek perkembangan
anak akan mempengaruhi perkembangan aspek lainnya. Guru dan orang tua perlu
merencanakan perlakuan yang tepat agar anak dapat berkembang secara optimal.
Bagaimana mengembangkan kemampuan anak, maka akan dibicarakan tentang
permasalahan pendidikan prasekolah, aspek perkembangan, belajar anak dan penciptaan
belajar bagi tumbuh kembang anak.
Permasalahan Pendidikan Prasekolah
Pendidikan prasekolah ialah pendidikan yang ditujukan bagi anak usia 3-6 tahun.
Pendidikan bagi anak dalam batasan usia ini sangatlah penting karena anak memiliki
karakteristik perkembangan dan kemampuan tersendiri. Beberapa ahli dalam bidang
pendidikan dan psikologi memandang masa anak merupakan masa yang sangat penting
yang perlu mendapat penanganan sedini mungkin. Montessori (Standing, 1962)
berpendapat bahwa usia 3-6 tahun merupakan masa peka atau periode sensitive, ialah
suatu periode dimana suatu fungsi tertentu perlu dirangsang, diarahkan sehingga tidak
terhambat perkembangannya.
Erikson (Helms & Turner, 1994) memandang periode usia 4-6 tahun sebagai fase sense
of initiative. Pada periode ini anak harus didorong untuk mengembangkan prakarsa,
seperti kesenangan untuk mengajukan pertanyaan dari apa yang dilihat, didengar dan
dirasakan. Jika anak tidak mendapat hambatan dari lingkungannya, maka anak akan
mampu mengembangkan prakarsa, dan daya kreatifnya, dan hal-hal yang produktif
dalam bidang yang disenanginya.
Froebel (Roopnaire & Johnson, 1993) berpendapat bahwa masa anak merupakan suatu
fase yang sangat penting dan berharga, dan merupakan masa pembentukan dalam periode
kehidupan manusia. Oleh karenanya masa anak sering dipandang sebagai masa emas
( golden age) bagi penyelenggaraan pendidikan.
Pendidikan bagi anak usia prasekolah berpegang pada prinsip bahwa anak bukanlah
orang dewasa dalam bentuk mini. Mereka adalah insan yang memiliki dunia sendiri
yang berbeda dengan dunia orang dewasa. Setiap anak memiliki potensi kecerdasan
yang bersifat jamak, yang semuanya harus diberi peluang sama untuk berkembang secara
optimal.
82
Pendidikan Prasekolah
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
Namun dalam perkembangannya, ditemukan berbagai permasalahan pendidikan
prasekolah diantaranya: (1) masih banyak anak usia prasekolah yang belum tersentuh
layanan pendidikan apapun, (2) masih sangat rendahnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya pendidikan bagi anak usia prasekolah, (3) terbatasnya jumlah tenaga pendidik
untuk anak usia pra sekolah serta masih rendahnya kualitas tenaga pendidik yang ada,
(4) masih rendahnya kemampuan guru dalam memberikan perlakuan yang sesuai dengan
karakteristik dan keperluan perkembangan anak.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan untuk menaungi pendidikan bagi anak
usia prasekolah diantaranya: (1) prinsip pendidikan didasarkan pada tumbuh kembang
anak dengan memperhatikan seluruh aspek kecerdasan anak, dan mengutamakan kegiatan
bermain, (2) lingkup sasaran adalah anak usia lahir sampai dengan 6 tahun, dan (3) fokus
program diarahkan pada intervensi pendidikan bagi anak usia prasekolah yang ada di
lembaga-lembaga pendidikan anak usia pra sekolah (Jalal, 2003).
Perkembangan Anak Usia Prasekolah
Anak usia prasekolah memiliki karakteristik perkembangan sendiri mencakup
perkembangan fisik-motorik, kognitif, bahasa, dan sosial-emosional.
1. Perkembangan Fisik-Motorik
Pertumbuhan fisik setiap anak tidak selalu sama, ada anak yang mengalami pertumbuhan
secara cepat, tetapi ada pula yang mengalami kelambatan. Masa kanak-kanak ditandai
dengan kelebihan gerak atau aktivitas. Anak cenderung menunjukkan gerakan motorik
yang cukup gesit dan lincah. Saat terjaga, hampir seluruh waktunya digunakan untuk
bergerak, seperti berlari, memanjat, melompat, mendorong mobil-mobilan, menggunting,
menempel, menggambar, dan sebagainya (Hadis, 1996). Perkembangan fisik-motorik
yang normal merupakan salah satu faktor penentu kelancaran proses belajar, baik dalam
bidang pengetahuan maupun keterampilan.
2. Perkembangan Kognitif
Piaget (Santrock, 1995) mengungkapkan bahwa anak usia 3-6 tahun pada umumnya
berada pada tahap berpikir praoperasional. Manipulasi simbol merupakan karakteristik
esensial dari tahapan ini. Pemikiran anak bersifat egosentris, anak pada tahap ini sulit
membayangkan bagaimana segala sesuatunya tampak dari perspektif orang lain.
Ciri lain dari cara berfikir pada usia prasekolah ialah sangat memusat (centralized). Bila
anak dikonfrontasi dengan situasi yang multi dimensional, maka anak akan memusatkan
perhatiannya hanya pada satu dimensi dan mengabaikan dimensi lainnya.
Anak ialah partisipan aktif dalam proses perkembangan. Anak harus dipandang seperti
seorang ilmuwan yang sedang mencari jawaban dalam upaya melakukan eksperimen
terhadap dunia untuk melihat apa yang terjadi. Anak membangun pengetahuan berdasarkan
eksperimen yang dilakukannya. Saat anak menemukan benda atau peristiwa baru, maka
anak berupaya untuk memahaminya berdasarkan pengetahuan yang telah dimilikinya.
83
Pendidikan Prasekolah
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
3. Perkembangan Bahasa
Bahasa merupakan suatu urutan kata-kata yang dapat digunakan untuk menyampaikan
informasi mengenai tempat yang berbeda atau waktu yang berbeda dan bahasa adalah
salah satu cara mengekspresikan pikiran. Bahasa dapat mengarahkan perhatian anak pada
benda-benda baru atau hubungan baru yang ada di lingkungan, mengenalkan anak pada
pandangan-pandangan yang berbeda dan memberikan informasi baru pada anak.
Menurut Vygotsky (1978), bahasa dan kognitif sangat berhubungan erat. Ada dua prinsip
yang mempengaruhi penyatuan pemikiran dan bahasa, pertama, semua fungsi mental
memiliki asal usul eksternal atau sosial. Anak-anak harus menggunakan bahasa dan
mengkomunikasikannya kepada orang lain sebelum mereka berfokus ke dalam proses
mental mereka sendiri. Kedua, anak-anak harus berkomunikasi secara eksternal dan
menggunakan bahasa selama periode waktu yang lama sebelum transisi dari kemampuan
berbicara secara eksternal ke internal berlangsung.Sejalan dengan perkembangan
kognisinya, anak pada usia prasekolah sering kali mengajukan berbagai pertanyaan.
Minat anak diusia ini sangat luas dan mereka selalu ingin mengetahui segala sesuatu
yang ada di sekitarnya (Hadis, 1996). Pada usia 4-5 tahun, anak sudah menguasai kalimat
yang terdiri dari empat sampai lima kata. Mereka juga mampu menggunakan kata depan,
seperti di bawah, di atas, di dalam dan di samping. Anak lebih banyak menggunakan kata
kerja daripada kata benda. Antara usia 5-6 tahun, kalimat anak sudah terdiri atas enam
sampai delapan kata. Anak sudah dapat menjelaskan arti kata yang sederhana mengetahui
lawan kata, menggunakan kata penghubung, kata depan dan kata sandang.
4. Perkembangan Sosial-Emosional
Hurlock (1978) memandang perkembangan sosial sebagai suatu perolehan kemampuan
berperilaku sesuai dengan tuntutan sosial. Menjadi orang yang mampu bersosialisasi
membutuhkan tiga proses, ialah (a) belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial,
(b) belajar memainkan peranan sosial yang dapat diterima, dan (c) mengembangkan sikap
sosial.
Sejak kecil anak telah belajar cara berperilaku sosial sesuai dengan harapan orang-orang
yang paling dekat dengannya. Apa yang telah dipelajari anak dari lingkungan keluarga
mempengaruhi pembentukan perilaku sosialnya. Untuk mencapai kematangan sosial,
anak harus belajar tentang cara-cara menyesuaikan diri dengan orang lain. Kemampuan
ini diperoleh anak melalui berbagai kesempatan atau pengalaman bergaul dengan orang
di lingkungannya.
Perilaku yang ditunjukkan anak dapat berbeda tergantung dengan siapa anak berhadapan.
Anak berperilaku dalam suatu kelompok berbeda dengan perilakunya dalam kelompok
lain. Perilaku anak dalam kelompok juga berbeda dengan pada waktu anak sendirian.
Kehadiran orang lain dapat menimbulkan reaksi yang berbeda pada tiap-tiap anak.
Lima faktor yang berpengaruh pada kemampuan anak bersosial, ialah: (1) kesempatan
untuk bergaul dengan orang di sekitarnya dari berbagai usia dan latar belakang, (2) minat
dan motivasi untuk bergaul, (3) bimbingan dan pengajaran dari orang lain yang biasanya
menjadi “model” bagi anak, (4) coba-coba dan salah (trial and error), dan (5) kemampuan
berkomunikasi yang dimiliki anak.
84
Pendidikan Prasekolah
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
Goleman (1995) merumuskan emosi sebagai sesuatu yang merujuk pada suatu perasaan
dan pikiran-pikiran khas, serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi anak
memiliki beberapa ciri ialah: intensitas emosi sama kuat, emosi seringkali nampak keluar,
bersifat sementara, reaksi bersifat individual, berubah-ubah kekuatannya, dan diketahui
dari gejala perilaku.
Pada usia 5-6 tahun, emosi anak mulai matang. Pada usia ini anak mulai menyadari akibat
dari tampilan emosinya. Anak mulai memahami perasaan orang lain, misalnya bagaimana
perasaan orang lain bila disakiti. Ekspresi emosi pada anak mudah berubah dengan cepat
dari satu bentuk ekspresi ke bentuk ekspresi emosi yang lain. Anak dalam keadaan
gembira secara tiba-tiba dapat langsung berubah menjadi marah karena ada sesuatu yang
dirasakan tidak menyenangkan, sebaliknya apabila anak dalam keadaan marah, melalui
bujukan dengan sesuatu yang menyenangkan bisa berubah menjadi riang.
Pembelajaran Bagi Kanak-kanak
Pembelajaran merupakan suatu proses kegiatan yang terjadi secara dinamis dan terus
menerus yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam diri anak. Perubahan yang
dimaksud dapat berupa penguasaan pengetahuan (knowledge) atau perubahan perilaku
(behavior). Pembelajaran pada anak terjadi sepanjang waktu, baik pagi, siang, bahkan
malam hari, seolah anak tidak berhenti untuk belajar. Anak belajar menggunakan seluruh
inderanya, ialah indera penglihatan, pendengaran, pengecapan, sentuhan/perabaan, dan
penciuman (Dryden & Vos, 2002).
Piaget (dalam Semiawan, 2002) berpendapat bahwa belajar adalah adaptasi yang bersifat
holistik dan bermakna yang datang dari dalam diri seseorang terhadap situasi baru
sehingga mengalami perubahan yang relatif permanen. Piaget percaya bahwa harus ada
kesiapan (readiness) dan kematangan (maturity) dari dalam diri anak sebelum perubahan
tersebut terjadi. Pengetahuan tidak diperoleh dengan cara dialihkan dari orang lain,
melainkan merupakan sesuatu yang dibangun dan diciptakan oleh anak sendiri. Anak
adalah pembelajar aktif dan memiliki struktur psikologis yang mengendalikan perilaku
belajarnya.
Anak-anak secara naluriah aktif bergerak, dan dengan kecenderungan itu anak menggali
berbagai pengalaman kesehariannya baik di rumah, di tempat bermain, di sekolah dan
di lingkungan masyarakatnya secara lebih luas. Anak-anak secara aktif belajar dari hasil
pengamatan dan partisipasinya terhadap lingkungan. Melalui pengamatan dan pengalaman
langsung, anak-anak aktif membangun berbagai pemahaman dan pengetahuan sesuai
dengan apa yang dipersepsinya.
Sebagai bagian dari proses belajarnya, anak-anak mengembangkan sendiri berbagai
hipotesis dan secara terus menerus membuktikannya melalui interaksi sosial, mengotakatik barang dan melalui proses berpikirnya sendiri. Anak mengamati apa yang terjadi,
memikirkan yang ditemukannya, mengajukan pertanyaan, dan merumuskan jawaban.
Ketika pemahamannya tentang suatu benda, kejadian dan/atau konsep tertantang oleh
keadaan yang lain atau penjelasan yang berbeda, maka anak akan bergerak untuk
menyesuaikan atau mengubah pemahamannya, kemudian mengakomodasi informasi
baru tersebut.
85
Pendidikan Prasekolah
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
Setiap anak mempunyai cara belajarnya sendiri-sendiri. Dua anak yang tumbuh dalam
kondisi dan lingkungan yang sama dan mendapat perlakuan yang sama, belum tentu akan
memiliki pemahaman, pemikiran dan pandangan yang sama terhadap dunia sekitarnya.
Masing-masing anak memiliki cara pandang sendiri terhadap setiap peristiwa yang dilihat
dan dialaminya.
Anak memperlihatkan aktiviti belajar yang berbeda-beda sesuai dengan tahapan
perkembangannya. Pada tahap awal, yakni pada fase pra sekolah, anak terlibat aktif
dalam latihan pengembangan organ-organ sensorik dan perkembangan koordinasi fisik.
Pada tahap kedua, fase sekolah dasar, anak aktif dalam kegiatan penguasaan materi dan
alat-alat yang ditemukan di lingkungannya. Pada tahap ini, lingkungan yang diperkaya
dengan materi-materi belajar akan mampu menumbuhkan minat anak dan mendorong
anak untuk membangun, bereksperimen dan berkreasi. Pada tahap ketiga, fase sekolah
menengah anak aktif dalam proses menemukan ide-ide, menguji dan menggunakan ideide tersebut.
Proses belajar pada anak-anak dilakukan dalam nuansa bermain karena dunia anak
adalah dunia bermain. Bermain adalah dunia anak sekaligus sebagai sarana belajar anak.
Memberikan kesempatan bermain kepada anak, artinya memberikan kesempatan kepada
anak untuk belajar. Memberi kesempatan anak untuk belajar dengan cara-cara yang
bersifat bermain berarti telah berusaha membuat pengalaman belajar yang dirasakan dan
dipersepsi secara alami oleh anak sehingga menjadi bermakna baginya (Solehuddin &
Hatimah, 2007).
Pendidikan bagi Pengembangan Kanak-kanak Usia Prasekolah
Pendidikan bagi anak usia prasekolah dimaksudkan sebagai suatu upaya yang dilakukan
secara sistematis dan terencana untuk membantu mengembangkan kemampuan anak
sesuai karakteristik, keperluan perkembangan dan gaya belajar anak.
Riset selama 75 tahun terakhir tentang perkembangan anak telah memberikan berbagai
informasi mengenai masa kanak-kanak, suatu tahapan perkembangan individu yang
memiliki karakteristik tersendiri. Pengetahuan tentang perkembangan anak diaplikasikan
dalam bidang pendidikan, khususnya dalam kegiatan pembelajaran dan bimbingan anak.
Kurikulum yang dikembangkan dengan berpegang pada perkembangan anak disebut
“kurikulum yang sejalan dengan perkembangan” (Developmentally Appropriated
Curriculum). DAC dimaksudkan untuk memberikan pendidikan pada anak dengan cara
yang sesuai dengan karakteristik perkembangan dan belajar anak.
Pendidikan bagi anak prasekolah selayaknya adalah pendidikan yang berorientasi
perkembangan yang memungkinkan para guru merencanakan berbagai pengalaman
yang dapat menumbuhkan minat anak, merangsang keingintahuan anak, melibatkan
anak secara emosional maupun intelektual, dan membuka daya imajinasi. Cara ini juga
akan memperkaya konsep-konsep anak melalui pengalaman sensorik maupun persepsi.
Caranya adalah dengan melibatkan anak dalam berbagai kegiatan melihat, mendengar,
meraba dan memanipulasi. Dengan demikian anak akan memperoleh sejumlah gagasan,
makna dan berbagai penemuan oleh dirinya sendiri.
86
Pendidikan Prasekolah
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
Dalam pendidikan yang berorientasi perkembangan, anak juga dilatih untuk memilih
dan memfokuskan perhatiannya pada tugas yang menarik dan bermakna baginya. Cara
ini memungkinkan terjadinya zone of proximal development (ZPD), dimana fasilitator
atau orang yang lebih pandai dari dirinya dijadikan tempat bertanya untuk meningkatkan
kemampuannya melebihi dari apa yang dimilikinya.
Pendidikan bagi anak prasekolah sebaiknya sebanyak mungkin melibatkan anak dalam
kegiatan meneliti, menguji, memanipulasi, dan bereksperimen dengan berbagai macam
benda yang menarik. Melakukan berbagai percobaan dengan berbagai benda adalah
kegiatan yang disukai anak dan kegiatan ini mampu mengembangkan berbagai konsep.
Pembentukan konsep akan menumbuhkan kemampuan untuk memecahkan masalah, ialah
suatu kemampuan kognitif yang harus dimiliki seseorang dalam menghadapi berbagai
tantangan.
Reka bentuk pendidikan bagi anak prasekolah perlu disusun dengan memperhatikan
prinsip-prinsip: (1) berangkat dari apa yang dibawa anak, (2) aktivitas belajar harus
menantang pemahaman anak dari waktu ke waktu, dan (3) guru menyodorkan berbagai
persoalan yang relevansinya tengah dirasakan anak.
Selain berorientasi perkembangan, pendidikan bagi anak prasekolah perlu juga
memperhatikan konteks sosial. Vygotsky (1978) menekankan pentingnya konteks
sosial dalam proses belajar anak. Pengalaman interaksi sosial sangat berperan dalam
mengembangkan kemampuan berpikir anak. Vygotsky menjelaskan bahwa bentukbentuk aktivitas mental yang tinggi diperoleh dari konteks sosial dan budaya tempat
anak berinteraksi dengan temannya atau orang lain. Mengingat betapa pentingnya peran
konteks sosial ini, Vygotsky menyarankan untuk memahami perkembangan anak, kita
dituntut untuk memahami relasi-relasi sosial yang terjadi pada lingkungan tempat anak
itu bergaul.
Untuk mengoptimalkan perkembangan anak, peranan guru bagi anak prasekolah sangat
penting. Guru tidak hanya mengembangkan potensi anak secara intelektual, tetapi juga
harus bersikap terbuka, jujur, dan menghargai anak. Guru hendaknya memelihara iklim
psikologis kelas supaya terjadi suasana gembira, bersemangat, berkompetisi secara sehat,
tiada tekanan serta terpupuk keinginan untuk maju dan berprestasi pada anak. Situasi
belajar harus merupakan situasi yang demokratis, dimana gagasan anak dihargai. Guru
harus sadar bahwa setiap anak berbeda keperluan, kemampuan dan kepribadiannya.
Kesimpulan
Anak ialah sosok individu yang sedang berada dalam proses perkembangan. Di setiap
anak berkembang aspek kognitif, fisik, bahasa maupun sosial emosionalnya. Setiap anak
memiliki irama dan tempo perkembangan sendiri, setiap anak memiliki ciri, keperluan dan
gaya perkembangannya masing-masing. Dalam upaya mengembangkan seluruh potensi
perkembangan anak maka guru harus mengenali setiap anak dan perlu merencanakan
pembelajaran yang tepat bagi anak sehingga anak dapat berkembang secara optimal.
87
Pendidikan Prasekolah
DP. Jilid 10, Bil 2/2010
Rujukan
Dryden, G. & Vos, J. (2002). Revolusi Cara Belajar (The Learning Revolution). Bandung:
Kaifa.
Goleman, D. (1994). Emotional Intelligence. New York: Scientific American. Inc.
Hadis, F.A. (1996). Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta: Proyek Pendidikan Tenaga
Guru Ditjen Dikti Depdikbud.
Helms, D.B. & Turner, J.S. (1983). Exploring Child Behavior. New York: Holt Rinehartand
Winston.
Hurlock, E.B. (1978). Child Development, Sixth Edition. New York: McGraw-Hill, Inc.
Jalal. (2003). Dari IQ Menuju Ragam Kecerdasan. Jurnal Ilmiah Anak Dini
Usia. 2. (03). 13-22.
Roopnaire, J.L. & Johnson J.E. (1993). Approaches to Early Childhood Education. New
York: Charles E.Merril Publishing Co.
Santrock, J.W. (1995). Life Span Development. Perkembangan Masa Hidup. Jilid I. (alih
bahasa: Achmad Chusairi). Jakarta: Erlangga.
Semiawan, C.R. (2002). Belajar dan Pembelajaran dalam Taraf Usia Dini. Jakarta: PT.
Prenhallindo.
Solehuddin, M. & Hatimah, I. (2007). Pendidikan Anak Usia Dini. Bandung: Pedagogiana
Press.
Standing, E, M. (1962). Maria Montessori, Her Life and Work. New York: Mentor-Omega
Book.
Syaodih, E. (2007). Model Bimbingan Perkembangan di Taman Kanak-kanak. Disertasi.
Bandung: SPs UPI.
Vygotsky, L.S. (1978). Mind in Society, The Development of Higher Psychological
Processes. London: Harvard University.
88
Download