BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Macaca fascicularis 2.1.1 Taksonomi Macaca fascicularis termasuk ordo primata, hampir seluruh spesies ordo primata hidup di daerah tropis. Sebelumnya ordo primata dibagi ke dalam 3 sub ordo yakni Prosimii, Tarsioidea, dan sub ordo Anthropoidea (Napier dan Napier, 1985). Groves (2005), membagi ordo primata menjadi 2 sub ordo yakni Strepsirrhini dan Haplorrhini. Sub ordo Haplorrhini terdiri dari infra ordo Tasiiformes dan Simiiformes. Simiiformes terdiri atas Platyrrhini (Monyet dunia baru/New World Monkeys) dan Catharrhini. Catharrhini terdiri atas monyet dunia lama (Old World Monkeys), Gibbon (Lesser Apes), dan Manusia (Great Apes dan Human). Kelompok monyet dunia lama termasuk dalam super familia Cercopithecoidea dengan familia Cercopithecidae, yang terdiri atas 135 spesies, termasuk Macaca fascicularis. Klasifikasi M. fascicularis (Groves, 2005) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subphylum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Primata Sub ordo: Haplorrhini Infra ordo: Simiiformes Super familia: Cercopithecoidea Familia: Cercopithecidae Sub familia: Cercopithecinae Genus: Macaca Spesies: Macaca fascicularis 6 7 Macaca fascicularis tersebar luas di Asia Tenggara antara lain Malaysia, Filipina, Burma, Indonesia, Vietnam, Kamboja, Laos dan Thailand hingga dataran Asia termasuk India. Satwa primata ini terdapat di beberapa pulau di Indonesia seperti Sumatra, Jawa, Timor, Kalimantan, Sulawesi dan Bali (Fittinghoff dan Lindburg, 1980; Groves, 2001). 2.1.2 Karakteristik Macaca fascicularis memiliki warna tubuh yang bervariasi, mulai dari coklat hingga abu-abu kecoklatan yang menutupi bagian punggung, kaki dan lengan, dengan bagian ventral berwarna lebih terang (Rowe 1996; Groves 2001). Rambut pada bagian kepala tumbuh ke belakang membentuk jambul dan warna wajah agak merah muda hingga coklat. Gambar 1. Anakan M. fascicularis (juvenile) Sumber: Dokumentasi Pribadi Gambar 2. Bayi M. fascicularis (infant) Sumber: Dokumentasi Pribadi Jantan memiliki kumis dan jambang yang mengelilingi bagian tepi wajah, sedangkan pada betina memiliki jenggot yang hampir sama seperti jambang pada jantan. Betina memiliki kelenjar mamae yang terlihat jelas. Jantan dan betina memiliki warna putih pada bagian kelopak pada yang dekat dengan hidung (Rowe, 1996). Sesuai dengan namanya karakteristik yang paling mencolok adalah ekornya yang panjang, hampir selalu lebih panjang dari tubuhnya yakni antara 400-655 mm (Groves, 2001). Bayi yang baru lahir berwarna hitam (Rowe, 1996) dan setelah dua sampai tiga bulan, rambut yang berwarna hitam akan memudar, 8 satu tahun kemudian warnanya menjadi keabu-abuan (Fooden, 1995). Seperti monyet pada umumnya, M. fascicularis memiliki ciri sexually dimorphic (Dittus, 2004), artinya memiliki anatomi yang dapat dibedakan antara jantan dan betina. Panjang tubuh jantan antara 412-648 mm dan beratnya rata-rata antara 4,7-8,3 kg. Panjang tubuh betina hanya 285-503 mm dan memiliki berat rata-rata 2,5-5,7 kg (Rowe, 1996). Monyet ini memiliki cheek pouches, yang digunakan sebagai tempat menampung pakan selama mencari pakan dan juga tempat transport pakan dari tempatnya mencari makan sampai pakannya dimakan (Lucas dan Corlett, 1998). 2.1.3 Tingkah Laku Macaca fascicularis merupakan hewan sosial yang hidup berkelompok dengan jumlah antara 6-100 ekor (Nowaks, 1995). Sementara Bercovitch dan Huffman (1999) menggambarkan pada umumnya kelompok berjumlah 20-50 ekor. Tetapi pada umumnya M. fascicularis memiliki kelompok yang lebih besar di habitatnya yang diganggu oleh aktivitas manusia dari pada di hutan-hutan primer (Sussman and Tattersall, 1986). Ukuran kelompok mencerminkan ketersedian pakan, tekanan pemangsa, serta mudah tidaknya terserang penyakit (Bercovitch dan Huffman, 1999). Wheatley (1980) mengklasifikasikan tingkah laku monyet ke dalam aktivitas makan, berpindah, istirahat, berkelahi, merawat diri (grooming), dan kopulasi. Hidup berkelompok, foraging, grooming merupakan aktivitas yang mempengaruhi model transmisi infeksi cacing. Foraging, merupakan aktivitas monyet mengais-ngais tanah untuk mencari makan. Aktivitas ini mempermudah masuknya bentuk infektif cacing ke dalam tubuh M. fascicularis baik yang berupa telur infektif, maupun larva infektif. Grooming merupakan aktivitas penting yang dilakukan untuk menghilangkan ektoparasit yang membahayakan (Freeland, 1981; Gilbert, 1997), tetapi tidak terdapat penelitian yang mempublikasikan bagaimana aktivitas grooming dapat mempengaruhi terjadinya infeksi parasit saluran pencernaan. Grooming memberikan kesempatan bagi setiap individu untuk melakukan kontak yang sangat dekat dengan individu lainnnya. Hal ini 9 akan meningkatkan resiko transmisi parasit yang memiliki siklus hidup secara langsung. Selain itu juga, ektoparasit berperan sebagai hospes perantara untuk beberapa parasit saluran cerna (Despommier et al., 1995; Muller dan Baker, 1990; Poulin, 1998). 2.1.4 Habitat dan Pakan Macaca fascicularis mampu hidup di beberapa habitat dengan variasi habitat cukup luas. Selain banyak dijumpai di hutan-hutan primer (ketinggian 2000 m), M. fascicularis banyak ditemukan di daerah tepi sungai, tepi danau, atau sepanjang pantai, rawa dan hutan sekunder (Crockett dan Wilson, 1980). Macaca fascicularis adalah salah satu jenis yang dapat berdaptasi dengan keadaan lingkungan dan iklim yang berbeda (Wheatley, 1999; Poirier dan Smith, 1974). Kondisi habitat mempengaruhi kemungkinan terjadinya infeksi. Cacing memerlukan kondisi lingkungan yang memiliki kelembaban, suhu dan pH yang optimum untuk dapat hidup (Soulsby, 1982). Macaca fascicularis memiliki tipe pakan yang beragam berupa buah, serangga, kepiting, bunga rumput, daun, jamur, tanah, molusca, crustacean, katak, akar, biji buah, telur burung dan binatang invertebrata tepi pantai lainnya. Hal ini merefleksikan M. fasicularis memiliki tipe habitat yang beragam. Perbedaan lingkungan tempat hidup, sering kali juga menyebabkan perbedaan jenis pakan yang dikonsumsi (Alikorda, 1990; Groves, 2005). Spesies ini disebut juga sebagai crab-eating macaque, yang berarti pemakan kepiting. Menurut Romauli (1993). M. fascicularis juga adalah opportunistic omnivore (berarti memakan daging, buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan bila kesempatan muncul). Pakan yang dikonsumsi oleh M. fascicularis sangat berpengaruh terhadap daya tahan tubuh dalam melawan berbagai infeksi. Pakan juga merupakan media transmisi bentuk infektif cacing saluran cerna. 2.2 Infeksi Cacing pada Satwa Primata Cacing yang menginfeksi saluran cerna primata antara lain oleh cacing trematoda, nematoda dan cestoda. Jenis-jenis cacing yang menginfeksi selengkapnya disajikan pada Tabel 1. sebagai berikut: 10 Tabel 1. Jenis Cacing yang Menginfeksi Saluran Pencernaan Satwa Primata No 1 2 Jenis cacing Trematoda Schistosoma sp. Watsonius watsoni Spesies Satwa Primata Sumber Baboon, M. fascicularis M. fascicularis 1, 5 4 Rhesus monkey, Lagothric lagothrica Macaca, M. fascicularis Rhesus monkey, Mandrilus sphinx, Colobus guereza, Macaca, M. fascicularis Simian primate Rhesus monkey, Colobines 3, 5, 7, 10, 11 M. fascicularis Rhesus monkey Allouatta pigra Mandrilus sphinx, Orangutan Baboon, Colobine Macaca Macaca Macaca, Gorilla, Simpanse Baboon, Orangutan Black and white Colobus, Redtail guenon 3, 4 3, 11 14 12 1, 2, 4 13 13 13 1, 2, 3, 4, 9 2 Nematoda 1 Ascaris sp. 2 Trichuris sp. 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 T. trichiura Strongyloides fulleborni Ancylostoma sp. Trichostrongylus sp. Trypanoxyuris Mammomonogamus Oesophagostonum O. aculeatum O. bifurcatum O. stephanostonum Enterobius sp. Colobenterobius 1 Cestoda Hymenolepis sp. 5, 6, 10, 11, 12, 13 13 2, 6, 11, 12 Chimpanzee, Aoutus vasiferans, 9, 5 Rhesus monkey, sequirrel monkey M. fascicularis 2 Taenia M. fascicularis 3 3 Bertiella sp. Black and white Colobus, 2, 4, 5 redtail guenon, M. fascicularis 1. Appleton dan Henzi, 1993; 2. Chapman et al., 2005; 3. Lane, 2011; 4. Lacoste, 2009; 5. Chrisnawaty, 2008; 6. Melfi dan Poyser, 2007; 7. Michaud et al., 2003; 8. Muehlenbein, 2005; 9. Mul et al., 2007; 10. Jones-Engel et al., 2004; 11. Phillippi dan Clarke, 1992; 12. Setchell et al., 2007; 13. Soulsby, 1982; 14 Vitazkova dan Wade, 2007. 11 Berbagai penelitian tentang infeksi cacing saluran pencernaan pada primata telah banyak dilakukan sebelumnya. Penelitian dilakukan pada variasi lokasi yang berbeda yakni pengambilan sampel di habitat asli yang dapat berupa wilayah free range atau semi free range, captivity (kebun binatang), dan dipelihara sebagai hewan peliharaan. Terdapat pula penelitian yang dilakukan pada primata yang akan digunakan untuk hewan coba penelitian. Penelitian infeksi cacing saluran pencernaan di habitat aslinya (free range) dilakukan oleh Gillespie et al. (2005) di Uganda. Sampel yang diperiksa berasal dari tiga spesies primata yang berbeda. Spesies cacing yang ditemukan adalah Strongyloides fulleborni, Strongyloides stericalis, Oesophagostonum sp. Ascaris sp. Trichuris sp., dan Bertiella sp. Prevalensi infeksi secara keseluruhan pada setiap spesies primata adalah Piliacolobus tephrosceles 37,75%, Colobus guareza 78,99% dan Colobus angolensis 100%. Penelitian lain (Mbora dan Munene, 2006) menemukan infeksi cacing Abbreviata sp., Ascaridia galli, Capilaria sp., Heterakis sp., Oesophagostonum sp., Physaloptera sp., Streptophalagus sp., Srongyloides fuelleborni, Toxascaris sp., Trichostrongylus sp., Trichuris trichiura, pada dua spesies primata (Procolobus rufomitratus dan Cecocebus galerinus) di Sungai Tana, Kenya. Prevalensi infeksi parasit pada Procolobus rufomitratus sebesar 48% dan pada Cercocebus galerius 57,3%.. Wilayah semi free range, merupakan wilayah yang berupa habitat alami tetapi manusia memiliki andil dalam kehidupan primata misalnya dalam hal pemberian pakan. Lane (2011) mengidentifikasi beberapa jenis cacing yang menginfeksi M. fascicularis di beberapa kawasan hutan monyet di Bali yang masih termasuuk kategori semi free range. Jenis cacing yang ditemukan adalah Ancylostoma, Ascaris, Taenia, Thrichostrongylus, Enterobius, Trichuris, dan Paragonismus. Penelitian lain yang dilakukan di wilayah yang tergolong semi free range dilakukan oleh Rusiani (2002) di Wenara Wana, Padangtegal Bali. Prevalensi kecacingan pada M. fascicularis secara umum 20 %. Jenis cacing yang ditemukan menginfeksi M. fascicularis di Wenara Wana adalah Ascaris sp. (6%), Ancylostoma sp. (6%), Strongyloides sp. (3%) dan infeksi ganda Ascaris sp. dan Ancylostoma sp. (2%). 12 Chrisnawaty (2008) melakukan penelitian di Pulau Tinjil yang merupakan habitat alami untuk perkembangbiakan (Natural Habitat Breeding Facility/NHBF) M. fascicularis. Kondisi di Pulau Tinjil berupa tergolong tempat penangkaran secara ek situ karena monyet di Pulau ini merupakan hasil introduksi. Prevalensi infeksi cacing mencapai 26,8% . Hasil pemeriksaan kualitatif pada total sampel tinja ditemukan enam jenis telur cacing yaitu Hymenolepis (1,47%), Ascaris (5,88%), Oxyurid (1,47%), Strongyl (2,94%), dan Trichuris (8,82%). Ditemukan pula genus Schistosoma, hanya saja tidak diketahui prevalensinya karena merupakan sampel yang berasal dari kumpulan beberapa sampel (pul). Sanchesz et al. (2009) melakukan pengambilan sampel di dua kebun binatang Panama (Kebun Binatang Municipal dan Kebun Binatang Nispero) terhadap lima spesies satwa primata (Ateles geoffroyi, Ateles fuciceps, Cebus capucinus, Sanguinus geoffroyi, dan Aotus lemurimus), berhasil teridentifikasi Strongyloides sp. (28% dan 44%), Necator sp. ( 33% dan 55%), Oesophagostonum sp. (1% dan 4%). Melati (2006) melakukan penelitian di Bali Zoo Park mengenai infeksi cacing nematoda terhadap delapan jenis primata diantaranya Simpalangus sindactylus, Hylobates agilis, Macaca nemestrina, Presbytis comata, Trachypithecus villosus, Pongo pygmaeus, Macaca fascicularis, dan Presbystis rubicunda. Jenis cacing yang ditemukan adalah Strongyloides spp., Trichuris spp. dan Oesophagostonum spp. dengan prevalensi secara keseluruhan adalah 96,29%. Pada tahun 2004, Jones-Engel et al. melakukan penelitian mengenai prevalensi parasit saluran cerna pada sembilan spesies Macaca di Sulawesi (Macaca nigra, M. nigrencent, M. hecki, M. tonkeana, M. maura, M. ochreata, M. fascicularis, dan M. nemestrina). Keseluruhan sampel merupakan monyet yang dipelihara sebagai hewan peliharaan oleh penduduk. Cacing yang teridentifikasi diantaranya tiga jenis nematoda yaitu hookworm, Ascaris spp. dan Trichuris spp. Prevalensi secara keseluruhan adalah 59,1%. Sebagai hewan coba untuk penelitian, primata hendaknya bebas dari infeksi agen penyakit. Lee et al. (2010) meneliti Chlorocebus pygerythrus, 13 M. fascicularis, M. mulatta yang berada di bawah masa karantina dalam rangka persiapan untuk menjadi hewan coba penelitian. Ketiga spesies primata ditemukan terinfeksi Trichuris trichiura dengan prevalensi total infeksi 33,8%. 2.2.1 Nematoda 2.2.1.1 Oesophagostonum spp. Cacing ini memiliki kapsula buccalis silindris. Terdapat sekitar 50 jenis cacing ini, kebanyakan pada ruminansia, primata dan babi. Larva cacing berpredileksi di dinding usus halus sedangkan cacing dewasa pada kolon. Cacing ini sering disebut cacing nodular karena cacing membentuk nodular pada intestinum. Oesophagostonum acueleatum, O. bifurcum dan O. stephanostomum adalah cacing benjol pada Macaca fascicularis, simpanze dan primata lainnya (Levine, 1990). Telurnya berukuran 70-76 mikron dan lebar 36-40 mikron (Sasmita et al., 1989). Telur cacing akan menetas dalam waktu 20 jam setelah keluar bersama feses, sedangkan larva infektif dicapai dalam jangka waktu 6-7 hari. Infeksi terjadi ketika satwa makan atau minum air yang terkontaminasi larva infektif. Setelah larva ditelan, larva infektif akan mengalami pergantian kulit dalam usus halus yakni pylorus hingga ke rektum. Pada mukosa muskularis yakni 4-5 hari setelah infeksi larva kembali masuk ke intestinum. Selanjutnya bermigrasi ke kolon hingga eksidis keempat dan berubah menjadi dewasa. Telur dikeluarkan bersama tinja 41 setelah hari infeksi (Soulsby, 1982). Sebagian larva tinggal pada mukosa selama 1 hingga 3 bulan atau lebih dan terjadi pembentukan nodul atau benjolan yang merupakan hasil reaksi monyet yang terinfeksi terhadap infeksi (Levine, 1990). 2.2.1.2 Ancylostoma spp. Ancylostoma spp. adalah cacing kait pada satwa primata. Cacing ini ditemukan pada usus halus (Levine, 1990). Telur cacing Ancylostoma spp memiliki ujung-ujung yang bulat, tumpul dengan selapis kulit hyaline tipis dan transparan. Telur cacing berukuran 60 x 40 mikron (Gandahusada et al., 1998). 14 Ancylostoma spp. mengeluarkan telur bersama feses saat defekasi, pada lingkungan yang mendukung (suhu 23 - 30⁰C, tanah berpasir, dan basah serta kelembaban tinggi). Dalam telur akan terbentuk larva I. Setelah 12-36 jam, telur yang mengandung larva I akan segera menetas, larva satu yang telah menetas akan mempunyai bentuk esophagus rhabditiform berukuran 275 mikron serta memanfaatkan material organik dan bakteri sebagai pakan. Larva I menyilih menjadi larwa stadium kedua dan selanjutnya menjadi larva ketiga. Larva stadium ketiga akan masuk ke hospes melalui pakan yang tercemar larva infektif. Dalam tubuh hospes akan menjadi larva stadium keempat dan menjadi dewasa. Selain itu, larva infektif dapat menembus kulit dan masuk ke dalam jaringan hingga mencapai pembuluh darah dan saluran limfe. Melalui sistem vena dan saluran limfe, larva akan menuju jantung dan paru-paru. Larva menembus kapiler dan menuju alveoli, naik melalui bronkioli dan bronki menuju faring dan esophagus, turun kembali ke usus halus, menyilih menjadi larva stadium keempat dan kemudian menjadi dewasa (Levine, 1990). 2.2.1.3 Ascaris spp. Predileksi cacing Ascaris spp. adalah pada usus halus. Telur cacing ini mempunyai kulit tebal dan berukuran 88-90 x 66-68 mikron dengan kulit berbintik halus (Levine, 1990). Telur yang dibuahi berbentuk bulat atau ovoid, berwarna coklat atau kuning kecoklatan, memiliki dinding tebal yang terdiri dari dua lapis. Lapisan luarnya terdiri dari jaringan albuminoid, sedangkan lapisan dalamnya terlihat jernih. Lapisan luarnya memiliki tonjolan (mammilated layer/prominent projection) yang jelas. (Onggowaluyo, 2001; Soulsby, 1982). Telur yang telah dibuahi akan menjadi bentuk infektif dalam jangka waktu tiga minggu. Telur infektif tertelan bersama makanan dan minuman dan masuk ke dalam usus halus. Larva akan menembus dinding usus halus, menuju pembuluh darah dan saluran limfe, mengikuti aliran darah menuju jantung dan paru-paru. Larva di paru-paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk ke rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju faring, hingga akhirnya tertelan melalui 15 esofagus, menuju usus halus. Di dalam usus halus larva menjadi cacing dewasa (Gandahusada, 1998). Periode prepaten berkisar dua bulan dan cacing dewasa hidup selama 12-18 bulan (Brotowidjoyo, 1987). 2.2.1.4 Trichostrongylus spp. Terdapat sekitar 35 spesies cacing Trichostrongylus spp. Cacing ini sering disebut cacing rambut dan sering disebut cacing perusak atau cacing diare hitam (Levine, 1990). Predileksi cacing ini adalah di dalam usus halus. Telur cacing berbentuk lonjong dan bersegmen pada waktu dikeluarkan bersama tinja, berukuran panjang 75-86 mikron dan lebar 34-45 mikron (Soulsby, 1982). Telur ditemukan dalam feses dan biasanya menetas di tanah. Larva stadium I hidup dari mikroorganisme yang terdapat di dalam tinja dan menyilih menjadi larva stadium kedua, berlanjut menjadi stadium III (larva infektif), berpindah menuju tumbuhan dan akan tertelan oleh hospes definitif. Dalam saluran pencernaan akan menyilih menjadi larva IV hingga hingga akhirnya mencapai dewasa, dan tinggal selamanya di lumen usus atau terkadang terdapat di dalam mukosa (Levine, 1990). 2.2.1.5 Trichuris sp. Trichuris sp. merupakan cacing cambuk dengan salah satu ujung tebal dan ujung lainnya panjang dan tipis. Telur cacing ini berwarna kuning sampai coklat. Bentuknya seperti tempayan dan kedua ujungnya dilengkapi dengan polar plug dari bahan mukus yang jernih (Ash dan Orihel, 1990; Onggowaluyo, 2001). Trichuris trichuaria merupakan parasit yang ditemukan pada colon dan caecum manusia dan primata. Merupakan infeksi parasit yang banyak terjadi dimana pun dan merupakan infeksi parasit terbanyak kedua yang dialami oleh manusia di daerah tropis (Bundy dan Cooper, 1989). Bagian anterior panjang dan tipis kira-kira dua kali bagian posterior, ujung posterior cacing jantan bergulung ke dorsal dalam bentuk spiral. Cacing jantan panjangnya 30-80 µm dan betina 3575 µm, telur mempunyai kulit tebal kecoklatan dengan dua sumbat pada kedua ujungnya. Ukuran telur 50-80 x 21-42 mikron. Penularan dapat terjadi secara langsung melalui telur infetif, telur sangat resisten, dan perkembangan pada 16 hospes terjadi pada lumen usus dengan masa prepaten 2-3 bulan. Cacing ini melekat pada. Cacing dewasa dapat hidup sepuluh tahun atau lebih caecum (Ash dan Orihel, 1990; Onggowaluyo, 2001). 2.2.2 Cestoda 2.2.2.1 Taenia spp. Taenia spp. merupakan cacing pita yang memiliki siklus hidup tidak langsung. Cacing ini hidup pada hospes definitif dan memerlukan hospes perantara. Hospes definitif dari Taenia spp. biasanya adalah hewan pemakan daging (karnivora). Lane (2011), menemukan infeksi Taenia sp. pada pemeriksaan feses M. fascicularis yang terdapat di Bali. Larva Taenia spp. berada pada usus halus dan berkembang menjadi cacing pita dewasa. Dalam feses dapat ditemukan telur atau proglotid. Telur dapat mengkontaminasi lingkungan karena terbawa angin dan aliran air hujan atau sungai. Pada identifikasi telur, morfologi yang ditemukan adalah telur berwarna kuning, terdapat oncosphere memiliki 3 pasang kait. Adanya infeksi kemungkinan karena memakan hospes perantara atau terinfeksi karena memakan rumput atau air yang terkontaminasi (Soulsby, 1982). 2.3 Pengaruh Lingkungan terhadap Perkembangan Parasit Tingginya infeksi yang terjadi pada monyet sangat berhubungan dengan tingkah laku dan jenis pakannya, juga karena mereka memakan berbagai jenis buah dan air dalam lubang pohon atau tanah yang telah terkontaminasi (Chinchilla et al., 2007). Selain itu pengaruh kondisi lingkungan sangat mempengaruhi tahaptahap perkembangan parasit. Tanah merupakan media yang penting dalam hal penularan penyakit, utamanya penyakit parasit. Stadium prainfektif parasit menyukai tanah berhumus dan lembap, sehingga parasit akan bertahan lebih lama jika dibandingkan dengan tanah yang tidak berhumus dan kering (Brotowidjoyo, 1987). Variasi musim juga berpengaruh terhadap penyebaran penyakit. Kondisi lingkungan dapat mengganggu perkembangan telur nematoda, antara lain kelembapan udara ektrim, suhu, pH yang ektrim rendah atau tinggi. Ketersedian 17 air berhubungan erat dengan transmisi penyakit parasit. Sedangkan sinar matahari berpengaruh terhadap perkembangan parasit yang ada di luar tubuh hospes. Transmisi dapat terjadi dengan baik dengan adanya tiga faktor yaitu inang yang rentan, agen penyakit, dan lingkungan. Transmisi penyakit dapat terjadi secara horizontal maupun vertikal. Transmisi horizontal terjadi antara individu yang satu ke individu lain, dibagi dua yaitu secara langsung (kontak fisik) dan tidak langsung (hospes perantara). Transmisi vertikal terjadi dari satu generasi ke generasi yang lain ke embrio atau fetus saat sedang mengalami perkembangan di uterus (mamalia) atau di dalam telur (Thrushfield, 2005).