6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Macaca fascicularis 2.1.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Macaca fascicularis
2.1.1 Taksonomi
Macaca fascicularis termasuk ordo primata, hampir seluruh spesies ordo
primata hidup di daerah tropis. Sebelumnya ordo primata dibagi ke dalam 3 sub
ordo yakni Prosimii, Tarsioidea, dan sub ordo Anthropoidea (Napier dan Napier,
1985). Groves (2005), membagi ordo primata menjadi 2 sub ordo yakni
Strepsirrhini dan Haplorrhini. Sub ordo Haplorrhini terdiri dari infra ordo
Tasiiformes dan Simiiformes. Simiiformes terdiri atas Platyrrhini (Monyet dunia
baru/New World Monkeys) dan Catharrhini. Catharrhini terdiri atas monyet dunia
lama (Old World Monkeys), Gibbon (Lesser Apes), dan Manusia (Great Apes dan
Human). Kelompok monyet dunia lama termasuk dalam super familia
Cercopithecoidea dengan familia Cercopithecidae, yang terdiri atas 135 spesies,
termasuk Macaca fascicularis.
Klasifikasi M. fascicularis (Groves, 2005) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Primata
Sub ordo: Haplorrhini
Infra ordo: Simiiformes
Super familia: Cercopithecoidea
Familia: Cercopithecidae
Sub familia: Cercopithecinae
Genus: Macaca
Spesies: Macaca fascicularis
6
7
Macaca fascicularis tersebar luas di Asia Tenggara antara lain Malaysia,
Filipina, Burma, Indonesia, Vietnam, Kamboja, Laos dan Thailand hingga dataran
Asia termasuk India. Satwa primata ini terdapat di beberapa pulau di Indonesia
seperti Sumatra, Jawa, Timor, Kalimantan, Sulawesi dan Bali (Fittinghoff dan
Lindburg, 1980; Groves, 2001).
2.1.2 Karakteristik
Macaca fascicularis memiliki warna tubuh yang bervariasi, mulai dari
coklat hingga abu-abu kecoklatan yang menutupi bagian punggung, kaki dan
lengan, dengan bagian ventral berwarna lebih terang (Rowe 1996; Groves 2001).
Rambut pada bagian kepala tumbuh ke belakang membentuk jambul dan warna
wajah agak merah muda hingga coklat.
Gambar 1. Anakan M. fascicularis
(juvenile)
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Gambar 2. Bayi M. fascicularis
(infant)
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Jantan memiliki kumis dan jambang yang mengelilingi bagian tepi wajah,
sedangkan pada betina memiliki jenggot yang hampir sama seperti jambang pada
jantan. Betina memiliki kelenjar mamae yang terlihat jelas. Jantan dan betina
memiliki warna putih pada bagian kelopak pada yang dekat dengan hidung
(Rowe, 1996). Sesuai dengan namanya karakteristik yang paling mencolok adalah
ekornya yang panjang, hampir selalu lebih panjang dari tubuhnya yakni antara
400-655 mm (Groves, 2001). Bayi yang baru lahir berwarna hitam (Rowe, 1996)
dan setelah dua sampai tiga bulan, rambut yang berwarna hitam akan memudar,
8
satu tahun kemudian warnanya menjadi keabu-abuan (Fooden, 1995). Seperti
monyet pada umumnya, M. fascicularis memiliki ciri sexually dimorphic (Dittus,
2004), artinya memiliki anatomi yang dapat dibedakan antara jantan dan betina.
Panjang tubuh jantan antara 412-648 mm dan beratnya rata-rata antara 4,7-8,3 kg.
Panjang tubuh betina hanya 285-503 mm dan memiliki berat rata-rata 2,5-5,7 kg
(Rowe, 1996). Monyet ini memiliki cheek pouches, yang digunakan sebagai
tempat menampung pakan selama mencari pakan dan juga tempat transport pakan
dari tempatnya mencari makan sampai pakannya dimakan (Lucas dan Corlett,
1998).
2.1.3 Tingkah Laku
Macaca fascicularis merupakan hewan sosial yang hidup berkelompok
dengan jumlah antara 6-100 ekor (Nowaks, 1995). Sementara Bercovitch dan
Huffman (1999) menggambarkan pada umumnya kelompok berjumlah 20-50
ekor. Tetapi pada umumnya M. fascicularis memiliki kelompok yang lebih besar
di habitatnya yang diganggu oleh aktivitas manusia dari pada di hutan-hutan
primer (Sussman and Tattersall, 1986). Ukuran kelompok mencerminkan
ketersedian pakan, tekanan pemangsa, serta mudah tidaknya terserang penyakit
(Bercovitch dan Huffman, 1999).
Wheatley (1980) mengklasifikasikan tingkah laku monyet ke dalam
aktivitas makan, berpindah, istirahat, berkelahi, merawat diri (grooming), dan
kopulasi. Hidup berkelompok, foraging, grooming merupakan aktivitas yang
mempengaruhi model transmisi infeksi cacing. Foraging, merupakan aktivitas
monyet mengais-ngais tanah untuk mencari makan. Aktivitas ini mempermudah
masuknya bentuk infektif cacing ke dalam tubuh M. fascicularis baik yang berupa
telur infektif, maupun larva infektif. Grooming merupakan aktivitas penting yang
dilakukan untuk menghilangkan ektoparasit yang membahayakan (Freeland,
1981; Gilbert, 1997), tetapi tidak terdapat penelitian yang mempublikasikan
bagaimana aktivitas grooming dapat mempengaruhi terjadinya infeksi parasit
saluran pencernaan. Grooming memberikan kesempatan bagi setiap individu
untuk melakukan kontak yang sangat dekat dengan individu lainnnya. Hal ini
9
akan meningkatkan resiko transmisi parasit yang memiliki siklus hidup secara
langsung. Selain itu juga, ektoparasit berperan sebagai hospes perantara untuk
beberapa parasit saluran cerna (Despommier et al., 1995; Muller dan Baker, 1990;
Poulin, 1998).
2.1.4 Habitat dan Pakan
Macaca fascicularis mampu hidup di beberapa habitat dengan variasi
habitat cukup luas. Selain banyak dijumpai di hutan-hutan primer (ketinggian
2000 m), M. fascicularis banyak ditemukan di daerah tepi sungai, tepi danau, atau
sepanjang pantai, rawa dan hutan sekunder (Crockett dan Wilson, 1980). Macaca
fascicularis adalah salah satu jenis yang dapat berdaptasi dengan keadaan
lingkungan dan iklim yang berbeda (Wheatley, 1999; Poirier dan Smith, 1974).
Kondisi habitat mempengaruhi kemungkinan terjadinya infeksi. Cacing
memerlukan kondisi lingkungan yang memiliki kelembaban, suhu dan pH yang
optimum untuk dapat hidup (Soulsby, 1982).
Macaca fascicularis memiliki tipe pakan yang beragam berupa buah,
serangga, kepiting, bunga rumput, daun, jamur, tanah, molusca, crustacean, katak,
akar, biji buah, telur burung dan binatang invertebrata tepi pantai lainnya. Hal ini
merefleksikan M. fasicularis memiliki tipe habitat yang beragam. Perbedaan
lingkungan tempat hidup, sering kali juga menyebabkan perbedaan jenis pakan
yang dikonsumsi (Alikorda, 1990; Groves, 2005). Spesies ini disebut juga sebagai
crab-eating macaque, yang berarti pemakan kepiting. Menurut Romauli (1993).
M. fascicularis juga adalah opportunistic omnivore (berarti memakan daging,
buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan bila kesempatan muncul). Pakan yang
dikonsumsi oleh M. fascicularis sangat berpengaruh terhadap daya tahan tubuh
dalam melawan berbagai infeksi. Pakan juga merupakan media transmisi bentuk
infektif cacing saluran cerna.
2.2 Infeksi Cacing pada Satwa Primata
Cacing yang menginfeksi saluran cerna primata antara lain oleh cacing
trematoda, nematoda dan cestoda. Jenis-jenis cacing yang menginfeksi
selengkapnya disajikan pada Tabel 1. sebagai berikut:
10
Tabel 1. Jenis Cacing yang Menginfeksi Saluran Pencernaan Satwa Primata
No
1
2
Jenis cacing
Trematoda
Schistosoma sp.
Watsonius watsoni
Spesies Satwa Primata
Sumber
Baboon, M. fascicularis
M. fascicularis
1, 5
4
Rhesus monkey, Lagothric
lagothrica
Macaca, M. fascicularis
Rhesus monkey, Mandrilus sphinx,
Colobus guereza, Macaca,
M. fascicularis
Simian primate
Rhesus monkey, Colobines
3, 5, 7, 10,
11
M. fascicularis
Rhesus monkey
Allouatta pigra
Mandrilus sphinx, Orangutan
Baboon, Colobine
Macaca
Macaca
Macaca, Gorilla, Simpanse
Baboon, Orangutan
Black and white Colobus,
Redtail guenon
3, 4
3, 11
14
12
1, 2, 4
13
13
13
1, 2, 3, 4, 9
2
Nematoda
1
Ascaris sp.
2
Trichuris sp.
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
T. trichiura
Strongyloides
fulleborni
Ancylostoma sp.
Trichostrongylus sp.
Trypanoxyuris
Mammomonogamus
Oesophagostonum
O. aculeatum
O. bifurcatum
O. stephanostonum
Enterobius sp.
Colobenterobius
1
Cestoda
Hymenolepis sp.
5, 6, 10, 11,
12, 13
13
2, 6, 11, 12
Chimpanzee, Aoutus vasiferans,
9, 5
Rhesus monkey, sequirrel monkey
M. fascicularis
2 Taenia
M. fascicularis
3
3 Bertiella sp.
Black and white Colobus,
2, 4, 5
redtail guenon, M. fascicularis
1. Appleton dan Henzi, 1993; 2. Chapman et al., 2005; 3. Lane, 2011; 4. Lacoste,
2009; 5. Chrisnawaty, 2008; 6. Melfi dan Poyser, 2007; 7. Michaud et al., 2003;
8. Muehlenbein, 2005; 9. Mul et al., 2007; 10. Jones-Engel et al., 2004; 11.
Phillippi dan Clarke, 1992; 12. Setchell et al., 2007; 13. Soulsby, 1982; 14
Vitazkova dan Wade, 2007.
11
Berbagai penelitian tentang infeksi cacing saluran pencernaan pada
primata telah banyak dilakukan sebelumnya. Penelitian dilakukan pada variasi
lokasi yang berbeda yakni pengambilan sampel di habitat asli yang dapat berupa
wilayah free range atau semi free range, captivity (kebun binatang), dan
dipelihara sebagai hewan peliharaan. Terdapat pula penelitian yang dilakukan
pada primata yang akan digunakan untuk hewan coba penelitian.
Penelitian infeksi cacing saluran pencernaan di habitat aslinya (free range)
dilakukan oleh Gillespie et al. (2005) di Uganda. Sampel yang diperiksa berasal
dari tiga spesies primata yang berbeda. Spesies cacing yang ditemukan adalah
Strongyloides fulleborni, Strongyloides stericalis, Oesophagostonum sp. Ascaris
sp. Trichuris sp., dan Bertiella sp. Prevalensi infeksi secara keseluruhan pada
setiap spesies primata adalah Piliacolobus tephrosceles 37,75%, Colobus guareza
78,99% dan Colobus angolensis 100%. Penelitian lain (Mbora dan Munene, 2006)
menemukan infeksi cacing Abbreviata sp., Ascaridia galli, Capilaria sp.,
Heterakis sp., Oesophagostonum sp., Physaloptera sp., Streptophalagus sp.,
Srongyloides fuelleborni, Toxascaris sp., Trichostrongylus sp., Trichuris
trichiura, pada dua spesies primata (Procolobus rufomitratus dan Cecocebus
galerinus) di Sungai Tana, Kenya. Prevalensi infeksi parasit pada Procolobus
rufomitratus sebesar 48% dan pada Cercocebus galerius 57,3%..
Wilayah semi free range, merupakan wilayah yang berupa habitat alami
tetapi manusia memiliki andil dalam kehidupan primata misalnya dalam hal
pemberian pakan. Lane (2011) mengidentifikasi beberapa jenis cacing yang
menginfeksi M. fascicularis di beberapa kawasan hutan monyet di Bali yang
masih termasuuk kategori semi free range. Jenis cacing yang ditemukan adalah
Ancylostoma, Ascaris, Taenia, Thrichostrongylus, Enterobius, Trichuris, dan
Paragonismus. Penelitian lain yang dilakukan di wilayah yang tergolong semi free
range dilakukan oleh Rusiani (2002) di Wenara Wana, Padangtegal Bali.
Prevalensi kecacingan pada M. fascicularis secara umum 20 %. Jenis cacing yang
ditemukan menginfeksi M. fascicularis di Wenara Wana adalah Ascaris sp. (6%),
Ancylostoma sp. (6%), Strongyloides sp. (3%) dan infeksi ganda Ascaris sp. dan
Ancylostoma sp. (2%).
12
Chrisnawaty (2008) melakukan penelitian di Pulau Tinjil yang merupakan
habitat
alami
untuk
perkembangbiakan
(Natural
Habitat
Breeding
Facility/NHBF) M. fascicularis. Kondisi di Pulau Tinjil berupa tergolong tempat
penangkaran secara ek situ karena monyet di Pulau ini merupakan hasil
introduksi. Prevalensi infeksi cacing mencapai 26,8% . Hasil pemeriksaan
kualitatif pada total sampel tinja ditemukan enam jenis telur cacing yaitu
Hymenolepis (1,47%), Ascaris (5,88%), Oxyurid (1,47%), Strongyl (2,94%), dan
Trichuris (8,82%). Ditemukan pula genus Schistosoma, hanya saja tidak diketahui
prevalensinya karena merupakan sampel yang berasal dari kumpulan beberapa
sampel (pul).
Sanchesz et al. (2009) melakukan pengambilan sampel di dua kebun
binatang Panama (Kebun Binatang Municipal dan Kebun Binatang Nispero)
terhadap lima spesies satwa primata (Ateles geoffroyi, Ateles fuciceps, Cebus
capucinus, Sanguinus geoffroyi, dan Aotus lemurimus), berhasil teridentifikasi
Strongyloides sp.
(28%
dan 44%), Necator sp.
( 33% dan 55%),
Oesophagostonum sp. (1% dan 4%). Melati (2006) melakukan penelitian di Bali
Zoo Park mengenai infeksi cacing nematoda terhadap delapan jenis primata
diantaranya Simpalangus sindactylus, Hylobates agilis, Macaca nemestrina,
Presbytis
comata,
Trachypithecus
villosus,
Pongo
pygmaeus,
Macaca
fascicularis, dan Presbystis rubicunda. Jenis cacing yang ditemukan adalah
Strongyloides spp., Trichuris spp. dan Oesophagostonum spp. dengan prevalensi
secara keseluruhan adalah 96,29%.
Pada tahun 2004, Jones-Engel et al. melakukan penelitian mengenai
prevalensi parasit saluran cerna pada sembilan spesies Macaca di Sulawesi
(Macaca nigra, M. nigrencent, M. hecki, M. tonkeana, M. maura, M. ochreata,
M. fascicularis, dan M. nemestrina). Keseluruhan sampel merupakan monyet
yang dipelihara sebagai hewan peliharaan oleh penduduk. Cacing yang
teridentifikasi diantaranya tiga jenis nematoda yaitu hookworm, Ascaris spp. dan
Trichuris spp. Prevalensi secara keseluruhan adalah 59,1%.
Sebagai hewan coba untuk penelitian, primata hendaknya bebas dari
infeksi agen penyakit. Lee et al. (2010) meneliti Chlorocebus pygerythrus,
13
M. fascicularis, M. mulatta yang berada di bawah masa karantina dalam rangka
persiapan untuk menjadi hewan coba penelitian. Ketiga spesies primata ditemukan
terinfeksi Trichuris trichiura dengan prevalensi total infeksi 33,8%.
2.2.1 Nematoda
2.2.1.1 Oesophagostonum spp.
Cacing ini memiliki kapsula buccalis silindris. Terdapat sekitar 50 jenis
cacing ini, kebanyakan pada ruminansia, primata dan babi. Larva cacing
berpredileksi di dinding usus halus sedangkan cacing dewasa pada kolon. Cacing
ini sering disebut cacing nodular karena cacing membentuk nodular pada
intestinum. Oesophagostonum acueleatum, O. bifurcum dan O. stephanostomum
adalah cacing benjol pada Macaca fascicularis, simpanze dan primata lainnya
(Levine, 1990). Telurnya berukuran 70-76 mikron dan lebar 36-40 mikron
(Sasmita et al., 1989).
Telur cacing akan menetas dalam waktu 20 jam setelah keluar bersama
feses, sedangkan larva infektif dicapai dalam jangka waktu 6-7 hari. Infeksi
terjadi ketika satwa makan atau minum air yang terkontaminasi larva infektif.
Setelah larva ditelan, larva infektif akan mengalami pergantian kulit dalam usus
halus yakni pylorus hingga ke rektum. Pada mukosa muskularis yakni 4-5 hari
setelah infeksi larva kembali masuk ke intestinum. Selanjutnya bermigrasi ke
kolon hingga eksidis keempat dan berubah menjadi dewasa. Telur dikeluarkan
bersama tinja 41 setelah hari infeksi (Soulsby, 1982). Sebagian larva tinggal pada
mukosa selama 1 hingga 3 bulan atau lebih dan terjadi pembentukan nodul atau
benjolan yang merupakan hasil reaksi monyet yang terinfeksi terhadap infeksi
(Levine, 1990).
2.2.1.2 Ancylostoma spp.
Ancylostoma spp. adalah cacing kait pada satwa primata. Cacing ini
ditemukan pada usus halus (Levine, 1990). Telur cacing Ancylostoma spp
memiliki ujung-ujung yang bulat, tumpul dengan selapis kulit hyaline tipis dan
transparan. Telur cacing berukuran 60 x 40 mikron (Gandahusada et al., 1998).
14
Ancylostoma spp. mengeluarkan telur bersama feses saat defekasi, pada
lingkungan yang mendukung (suhu 23 - 30⁰C, tanah berpasir, dan basah serta
kelembaban tinggi). Dalam telur akan terbentuk larva I. Setelah 12-36 jam, telur
yang mengandung larva I akan segera menetas, larva satu yang telah menetas
akan mempunyai bentuk esophagus rhabditiform berukuran 275 mikron serta
memanfaatkan material organik dan bakteri sebagai pakan. Larva I menyilih
menjadi larwa stadium kedua dan selanjutnya menjadi larva ketiga. Larva stadium
ketiga akan masuk ke hospes melalui pakan yang tercemar larva infektif. Dalam
tubuh hospes akan menjadi larva stadium keempat dan menjadi dewasa. Selain
itu, larva infektif dapat menembus kulit dan masuk ke dalam jaringan hingga
mencapai pembuluh darah dan saluran limfe. Melalui sistem vena dan saluran
limfe, larva akan menuju jantung dan paru-paru. Larva menembus kapiler dan
menuju alveoli, naik melalui bronkioli dan bronki menuju faring dan esophagus,
turun kembali ke usus halus, menyilih menjadi larva stadium keempat dan
kemudian menjadi dewasa (Levine, 1990).
2.2.1.3 Ascaris spp.
Predileksi cacing Ascaris spp. adalah pada usus halus. Telur cacing ini
mempunyai kulit tebal dan berukuran 88-90 x 66-68 mikron dengan kulit
berbintik halus (Levine, 1990). Telur yang dibuahi berbentuk bulat atau ovoid,
berwarna coklat atau kuning kecoklatan, memiliki dinding tebal yang terdiri dari
dua lapis. Lapisan luarnya terdiri dari jaringan albuminoid, sedangkan lapisan
dalamnya terlihat jernih. Lapisan luarnya memiliki tonjolan (mammilated
layer/prominent projection) yang jelas. (Onggowaluyo, 2001; Soulsby, 1982).
Telur yang telah dibuahi akan menjadi bentuk infektif dalam jangka waktu
tiga minggu. Telur infektif tertelan bersama makanan dan minuman dan masuk ke
dalam usus halus. Larva akan menembus dinding usus halus, menuju pembuluh
darah dan saluran limfe, mengikuti aliran darah menuju jantung dan paru-paru.
Larva di paru-paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus,
masuk ke rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan
bronkus. Dari trakea larva menuju faring, hingga akhirnya tertelan melalui
15
esofagus, menuju usus halus. Di dalam usus halus larva menjadi cacing dewasa
(Gandahusada, 1998). Periode prepaten berkisar dua bulan dan cacing dewasa
hidup selama 12-18 bulan (Brotowidjoyo, 1987).
2.2.1.4 Trichostrongylus spp.
Terdapat sekitar 35 spesies cacing Trichostrongylus spp. Cacing ini sering
disebut cacing rambut dan sering disebut cacing perusak atau cacing diare hitam
(Levine, 1990). Predileksi cacing ini adalah di dalam usus halus. Telur cacing
berbentuk lonjong dan bersegmen pada waktu dikeluarkan bersama tinja,
berukuran panjang 75-86 mikron dan lebar 34-45 mikron (Soulsby, 1982).
Telur ditemukan dalam feses dan biasanya menetas di tanah. Larva
stadium I hidup dari mikroorganisme yang terdapat di dalam tinja dan menyilih
menjadi larva stadium kedua, berlanjut menjadi stadium III (larva infektif),
berpindah menuju tumbuhan dan akan tertelan oleh hospes definitif. Dalam
saluran pencernaan akan menyilih menjadi larva IV hingga hingga akhirnya
mencapai dewasa, dan tinggal selamanya di lumen usus atau terkadang terdapat di
dalam mukosa (Levine, 1990).
2.2.1.5 Trichuris sp.
Trichuris sp. merupakan cacing cambuk dengan salah satu ujung tebal dan
ujung lainnya panjang dan tipis. Telur cacing ini berwarna kuning sampai coklat.
Bentuknya seperti tempayan dan kedua ujungnya dilengkapi dengan polar plug
dari bahan mukus yang jernih (Ash dan Orihel, 1990; Onggowaluyo, 2001).
Trichuris trichuaria merupakan parasit yang ditemukan pada colon dan
caecum manusia dan primata. Merupakan infeksi parasit yang banyak terjadi
dimana pun dan merupakan infeksi parasit terbanyak kedua yang dialami oleh
manusia di daerah tropis (Bundy dan Cooper, 1989). Bagian anterior panjang dan
tipis kira-kira dua kali bagian posterior, ujung posterior cacing jantan bergulung
ke dorsal dalam bentuk spiral. Cacing jantan panjangnya 30-80 µm dan betina 3575 µm, telur mempunyai kulit tebal kecoklatan dengan dua sumbat pada kedua
ujungnya. Ukuran telur 50-80 x 21-42 mikron. Penularan dapat terjadi secara
langsung melalui telur infetif, telur sangat resisten, dan perkembangan pada
16
hospes terjadi pada lumen usus dengan masa prepaten 2-3 bulan. Cacing ini
melekat pada. Cacing dewasa dapat hidup sepuluh tahun atau lebih caecum (Ash
dan Orihel, 1990; Onggowaluyo, 2001).
2.2.2 Cestoda
2.2.2.1 Taenia spp.
Taenia spp. merupakan cacing pita yang memiliki siklus hidup tidak
langsung. Cacing ini hidup pada hospes definitif dan memerlukan hospes
perantara. Hospes definitif dari Taenia spp. biasanya adalah hewan pemakan
daging (karnivora). Lane (2011), menemukan infeksi Taenia sp. pada
pemeriksaan feses M. fascicularis yang terdapat di Bali.
Larva Taenia spp. berada pada usus halus dan berkembang menjadi cacing
pita dewasa. Dalam feses dapat ditemukan telur atau proglotid. Telur dapat
mengkontaminasi lingkungan karena terbawa angin dan aliran air hujan atau
sungai. Pada identifikasi telur, morfologi yang ditemukan adalah telur berwarna
kuning, terdapat oncosphere memiliki 3 pasang kait. Adanya infeksi kemungkinan
karena memakan hospes perantara atau terinfeksi karena memakan rumput atau
air yang terkontaminasi (Soulsby, 1982).
2.3 Pengaruh Lingkungan terhadap Perkembangan Parasit
Tingginya infeksi yang terjadi pada monyet sangat berhubungan dengan
tingkah laku dan jenis pakannya, juga karena mereka memakan berbagai jenis
buah dan air dalam lubang pohon atau tanah yang telah terkontaminasi (Chinchilla
et al., 2007). Selain itu pengaruh kondisi lingkungan sangat mempengaruhi tahaptahap perkembangan parasit. Tanah merupakan media yang penting dalam hal
penularan penyakit, utamanya penyakit parasit. Stadium prainfektif parasit
menyukai tanah berhumus dan lembap, sehingga parasit akan bertahan lebih lama
jika dibandingkan dengan tanah yang tidak berhumus dan kering (Brotowidjoyo,
1987). Variasi musim juga berpengaruh terhadap penyebaran penyakit. Kondisi
lingkungan dapat mengganggu perkembangan telur nematoda, antara lain
kelembapan udara ektrim, suhu, pH yang ektrim rendah atau tinggi. Ketersedian
17
air berhubungan erat dengan transmisi penyakit parasit. Sedangkan sinar matahari
berpengaruh terhadap perkembangan parasit yang ada di luar tubuh hospes.
Transmisi dapat terjadi dengan baik dengan adanya tiga faktor yaitu inang
yang rentan, agen penyakit, dan lingkungan. Transmisi penyakit dapat terjadi
secara horizontal maupun vertikal. Transmisi horizontal terjadi antara individu
yang satu ke individu lain, dibagi dua yaitu secara langsung (kontak fisik) dan
tidak langsung (hospes perantara). Transmisi vertikal terjadi dari satu generasi ke
generasi yang lain ke embrio atau fetus saat sedang mengalami perkembangan di
uterus (mamalia) atau di dalam telur (Thrushfield, 2005).
Download