TANTANGAN DAN PROSPEK KEDAULATAN ENERJI DAN MARITIM INDONESIA DALAM MENGHADAPI ASEAN COMMUNITY 2015 PeranInternational Policing Polri BOY SALAMUDDIN I. POLITIK INTERNASIONAL Dalam setahun belakangan ini pemerintah Indonesia, para pakar, perguruan tinggi dan lembaga non pemerintah dalam dan luar negeri disibukkan dengan isu baru, yang sebenarnya tidak juga baru. Dalam konteks sejarah kerajaan-kerajaan lokal nusantara, kita dibanggakan dengan kejayaan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Presiden Djokowi hadir menghidupkan kembali asa kita tentang kejayaan negara maritim Indonesia baru, yang kita pahami sebagai Poros Maritim Dunia. Suatu poros yang, yang saya percaya berada diantara poros-poros dunia lainnya. Kita pahami bahwa banyak negara secara individual (unilateral) atau secara kolektif (multilateral) mengklaim dirinya juga sebagai poros dunia. China atau Tiongkok dengan Jalur Sutera Maritim(Maritime Silk Road) abad XI.Rusia yang kian kokoh secara politik, ekonomi dan militer menggagas Trans Siberia Lines yang membentang dari Moskow dan melintasi kawasan Eropa di barat sampai ke Asia Timur di Beiing atau Vladivostok. Kita juga memahami perjanjian Trans Pasific Partnership (TPP)yang dimotori oleh Amerika Serikat. Suatu perjanjian kerja sama yang “melengkapi” berbagai perjanjian kerja sama ekonomi yang sudah hadir sebelumnya.TPP kemudian ditandingi dengan Regional Economic Cooperation Partnership (RECP) yang dimotori oleh Tiongkok. Di kawasan benua Amerika Utara ada NAFTA. Bahkan APEC yang juga beda-beda tipis dengan TPP.Isu dan kepentingan utama kerja sama kawasan dan antar kawasan ini , utamanya adalah kerja sama ekonomi dan perdagangan. Dalam konteks Ke-ASEAN-an ada AFTA dan AFTA plus, secara invidual maupun dengan multilateral, seperti East Asia Summit (EAS). Kesepuluh negara anggota ASEAN juga bersepakat untuk membentuk pasar terbuka dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan efektif pada akhir tahun 2015. Selain itu ada pula Komunitas Politik dan Keamanan (ASEAN Political and Security Community). Tiongkok kini menjadi poros dan magnet hubungan dan kerja sama regional serta internasional. Kejayaan, kemasyuran dan kesuksesan Tiongkok, tetap saja menyisakan residu-residu sosial dan mendorong berkembangnya sindikat-sindikat transnasional. Beragam bentuk dan jenis kejahatan transnasional yang terjadi sebagai dampak globalisasi dan kerjasama antara aktor negara dan aktor non negara. Satu contoh yang masih sangat aktual dan faktual adalah keberhasilan Polda Metrojaya tangal 26 Mei 2015 menangkap dan mengungkap sindikat penipuan transnasional melalui fasilitas internet. Pengungkapan ini bukan yang pertama dilakukan oleh Polri, beberapa kasus sebelumnya sudah pernah terungkap oleh Bareskrim Polri melalui kerjasama police to police. Tiongkok menggeliat dengan cepat dan mengembangkan poros baru kerja sama, sebagai rivalitas keberadaan dan peran NATO yang selama ini terkesan pemain tunggal global. Keanggotan 6 (enam) Shanghai Cooperation Organization(SCO) disepakati tahun 2011. Bidang pokok kerja sama mencakup militer, ekonomi dan budaya. Kerja sama inter-regional ini kian eksis dan menguat dengan dukungan kepemimpinan Tiongkokdan Rusia yang cenderung agresif.Re-alignmentnegara-negara besar (great powers)diabad XXI ini yang berpotensi mendorong terjadinya proxy wars di berbagai belahan benua. Hal ini dilandasi oleh pemikiran bahwa negara maju cenderung tidak ingin terlibat langsung dalam konflik. Sehingga dalam mengamankan kepentingan nasionalnya, negara-negara maju cenderung untuk menggunakan negara ketiga yang berada dalam lingkaran pengaruhnya (sphere of influence) untuk dijadikan proxy (atau bemper). Negara ketiga ini yang akan menjadi tempat dari konflik antara negara-negara besar. Konflik atau perang sipil di Ukrania, Suriah, Sudan dan Yaman belakangan ini membuktikan hipotesa tersebut. Dampak konflik yang terjadi sangat beragam, satu diantaranya adalah migrasi terpaksa dengan berbagai motif dan mencari berbagai akses untuk dapat menghindar dari konflik. Masyarakat sipil non-combatant di daerah konflik ini yang potensial dan rentan menjadi korban trafficking in persons atau human trafficking.Meningkatnya konflik kekerasan berbanding linier dengan meningkatnya migrasi dan korban sindikat kejahatan transnasional. Pemerintah kita baru saja menunjukan kebesaran jiwa dengan menampung warga Rohingya dan Bangladesh yang terapung dan terkatungkatung di lautan. Kejadian ini bukanlah yang pertama menimbulkan keprihatinan dunia dan mendorong respons Indonesia, Malaysia dan Thailand untuk mengambil langkah-langkah politik dan kemanusiaan terhadap para boat people tersebut. Pertanyaan kita adalah: mengapa mereka melintasi alur laut kepulauan di Indonesia? Apakah selat Malaka termasuk laut yang relatif amanuntuk pelayaran?Apakah akses lintasan di alur-alur kepulauan di Indonesia relatif “aman” dari pengawasan, patroli dan penegakan hukum negara-negara pantai di selat Malaka? Apakah kebijakan pemerintah Indonesia dianggap lunak dan toleran terhadap migran? Sejauh mana efektifitas penegakan hukum di Indonesia terhadap pelaku dan sindikat kejahatan transnasional ? Kesemua pertanyaan, kegelisahan, kekhawatiran dan ketakutan terhadap aksi-aksi sindikat kejahatan transnasional terkait dengan kemaritiman harus terakomodasi dalam kebijakan dan strategi nasional yang berhulu pada cetak birukomitmen Konferensi Asia Afrika 2015, “National Maritime Defense and Security.” II. ANCAMAN NON TRADISIONAL Menurut Montratama,1dari berbagai diskusi ilmiah, telah mengemuka 3 (tiga) kelompok konsep definisi Poros Maritim Dunia, terutama tentang definisi dari kata ’poros.’ Kelompok pertama memaknai poros sebagai pusat atau sumbu, yang mengartikan PMD sebagai visi untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat dari aktivitas kelautan dunia. Bagi kelompok pertama, PMD lebih cenderung diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai Global Maritime Fulcrum atau GMF. Kelompok kedua memaknai poros sebagai alignment seperti dahulu ada poros Beijing-Pyongyang-Jakarta. Bagi kelompok kedua, PMD cenderung diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Global Maritime Axis atau GMA. Bagi kelompok kedua, ada alignment yang ingin dibangun antara Indonesia dengan kekuatan lain di kawasan regional yang dapat menunjang posisi strategis dan kepentingan nasional Indonesia. Namun ada juga yang kelompok ketiga yang memaknai poros maritim sebagai jalur pelayaran maritim, sehingga PMD dimaksudkan adalah visi Indonesia untuk menguasai jalur pelayaran maritim dunia. Kelompok ini cenderung menerjemahkan PMD menjadi Global Maritime Nexus atau GMN. Poros maritim dunia hakikatnya adalah jalur atau lajur dimana terjadi dan berlangsungnya lalu lintas manusia, barang, jasa, investasi diantara satu titik pelabuhan ke pelabuhan lainnya, didalam wilayah negara atau melintasi yurisdiksi negara (cross border). Lalu lintas ini melintasi atau meliwati tol laut 1Montratama, 2015. Ian. 2015. Poros Maritim Dunia: Suatu Geostrategi Presiden Jokowi?. Paper untuk Jurnal Unhan edisi yang tidak bebas kepentingan atau bebas dari ancaman potensial dan eksistensial, dengan kata lain kita bangsa Indonesia dan negara-negara lain yang menggunakan poros maritim ini harus memiliki kebijakan dan strategi kerja sama keamanan serta keselamatan maritim yang komprehensif, integral dan efektif. Lalu lintas diatas dan dibawah laut adalah potensi dan peluang pembangunan kesejahteraan bagi masyarakat bangsa Indonesia, namun kita juga juga tidak boleh menafikan, menegasikan atau lengah bahwa dibalik peluang yang indah dan manis itu, terkandung juga potensi besar ancaman terhadap keamanan dan keselamatan bangsa. Selama ini penulis memandang bahwa porsi atensi kita terperangkap oleh persepsi terhadap keamanan tradisional. Ancaman klasikal berupa intervensi, invasi negara asing atau perang terbuka dengan negara-negara lain. Persepsi tersebut tidaklah keliru, karena sejatinya kaum realis lebih banyak dianut oleh pemerintahanpemerintahan di berbagai belahan dunia, tidak membedakan bentuk negara dan sistem pemerintahannya. Mereka yang sejalan dengan perspektif atau pendekatan Morgenthaumeyakini bahwa manusia pada hakikatnya adalah mahluk yang berkonflik, yang dilandasi oleh oleh adanya persaingan dan kepentingan untuk merebut dan menguasai kekuasaan dan kekuatan pada berbagai dimensi ruang, waktu dan tempat serta kesempatan atau peluang, sekecil apapun untuk sebesar-besarnya kepentingan nasional. Burgess (2008) dalam artikelnya Non Military Security Challenges mengungkapkan : “new forms of nationalism, ethnic conflict and civil war, infomation technology, biological and chemical warfare, resource conflict, pandemics, mass migrations, transnational terrorism and enviromental dangers challenge the conventional means of understanding threat and of assuring the security of all.” Ada ancaman lain selain ancaman perang, yaitu ancaman non tradisional seperti yang disampaikan Burges. Dalam penanganan ancaman non tradisional yang berdimensi lintas batas, Indonesia perlu menata instansi mana saja dilibatkan serta pembagian tugas dan kewenangannya. Dalam politik internasional modern, negara-negara yang memiliki kekuatan ekonomi dan militer yang besar memiliki pengaruh yang signifikan dalam mengendalikan akses atas sumber daya yang penting bagi negaranya, seperti : energi (minyak bumi, gas alam, batubara); dan jalur transportasi komoditas yang dibutuhkannya (alur laut, pipa gas, pipa minyak, saluran listrik, saluran komunikasi). Pada bulan tahun 2011 Presiden Barack Obama mencanangkan kebijakan Pivot to the Pacific yang direvisi menjadi Rebalancing toward Asia2sebagai respon atas kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan besar di Asia Pasific. Wujud dari kebijakan ini adalah memprioritaskan kawasan Asia Pasifik dalam perencanaan militer AS, kebijakan luar negeri, dan kebijakan ekonomi. Rebalance dimaksudkan dengan penarikan pasukan AS di Irak dan juga di Afghanistan, serta menambah perhatian ke Asia Pasifik untuk mengantisipasi tantangan dan peluang di masa depan. Pada bulan November 2011,3 Presiden Obama menyampaikan pidato di depan parlemen Australia bahwa Amerika Serikat akan memainkan peran yang lebih besar dan untuk jangka panjang di Asia Pasifik. Tujuan utamanya adalah turut membentuk norma dan aturan di Asia Pasifik agar hukum dan norma internasional ditegakkan, freedom of navigation tidak terganggu, kekuatan-kekuatan besar membangun kepercayaan dengan negara-negara tetangganya dan persengketaan diselesaikan secara damai tanpa menggunakan kekerasan. Mantan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton pada tahun 2011 menyatakan bahwa di Asia Tenggara pivot dimaksudkan untuk menjaga jalur laut dari Samudera Hindia melalui Selat Sunda ke Pasifik yang dilalui rute perdagangan dan energi yang paling dinamis.4 Tow berpendapat bahwa kepentingan utama AS di Asia Tenggara adalah : pengamanan alur laut, pasar, dan sumber daya alam.5 Sedangkan untuk Tiongkok, menurut think tank CIIS, konsep Jalur Sutra Maritim6 dimaksudkan untuk mengamankan jalur maritim dari Tiongkok, ke Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Selat Lombok dan Selat Sunda serta kemudian sepanjang Samudera Hindia Utara ke Teluk Persia, Laut Merah dan Teluk Aden. Dengan kata lain, jalur maritim akan menghubungkan Asia ke Timur Tengah, Afrika Timur dan Eropa. Kebijakan Rebalancing AS juga dapat disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu : pertama, fakta bahwa pertumbuhan ekonomi dan militer tercepat di dunia pada saat ini berada di Asia Timur dan Tenggara, sehingga Amerika Serikat perlu memprioritaskan wilayah ini, mengubah kebijakan lamanya yang dianggap terlalu terfokus kepada masalah-masalah di Eropa dan TImur Tengah; dan kedua, fakta bahwa Tiongkok pada saat ini merupakan salah satu negara terkuat secara ekonomi di dunia, anggaran untuk persenjataannya meningkat drastis, dan Tiongkok juga mulai bertindak agresif, 2 Manyin, M.E. et al. (N/A). Pivot to the Pacific? The Obama Administration’s “Rebalancing” Toward Asia. Washington D.C.: Congressional Research Sevice. 3 http://www.theguardian.com/world/2011/nov/17/obama-asia-pacific-address-australia-parliament diunduh pada tanggal 21 Maret 2015 4 Tow, W. 2012. The Eagle Returns: resurgent US strategy in Southeast Asia and its policy implications. Policy Analysis. Barton : Australian Strategic Policy Institute (ASPI) pp.1 5 Ibid, pp. 2-3 6 http://www.ciis.org.cn/english/2014-09/15/content_7231376.htm diunduh pada tanggal 12 Maret 2015 terutama dalam masalah sengketa perbatasan dengan Jepang dan negaranegara Asia Tenggara, seperti Fiilipina dan Vietnam.7 Sebagai negara terkuat di dunia dan satu-satunya negara yang mampu mengimbangi Tiongkok, Amerika Serikat pun menjadi tempat bagi negara-negara yang terlibat konflik dengan Tiongkok untuk meminta bantuannya. Akibatnya, pengaruh Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara pun (masih diiginkan untuk) tetap besar. Dari Harian Tiongkok Daily,8 dua tahun setelahnya, tepatnya pada tanggal 3 Oktober 2013 Presiden Tiongkok Xi Jinping mencanangan visi Jalan Sutra Maritim (JSM) abad ke-21 di hadapan parlemen Indonesia Inti dari visi ini adalah pembangunan prasarana transportasi laut dari Tiongkok melintasi Asia Tenggara ke Asia Selatan, Timur Tengah, Eropa dan Afrika yang disponsori Tiongkok. Mirip dengan Marshall Plan setelah Perang Dunia ke-2, Tiongkok berkomitmen untuk menyediakan dana hingga $ 40 Milyar untuk pembangunan pelabuhan laut dalam (deep sea port) di lokasi-lokasi strategis di rute Jalan sutra maritim (JSM) Tiongkok. Tiongkok pun berusaha meningkatkan pengaruhnya di Asia Tenggara, terutama melalui kekuatan ekonominya. Tiongkok banyak menawarkan proyek-proyek infrastruktur yang didanai dengan pinjaman yang lunak. Akibatnya, banyak negara yang cenderung berorientasi ke Tiongkok, seperti Kamboja dan Laos, yang sangat bergantung kepada Tiongkok secara ekonomi. Walaupun hubungan Amerika Serikat dan Tiongkok sampai sekarang masih cukup bagus (terutama di sektor ekonomi) dan kemungkinan terjadinya perang masih sangat jauh, namun kedua negara sudah bersiap-siap dan bermanuver untuk memperkuat posisi mereka jika ada kemungkinan perang akan terjadi. Misalnya Tiongkok tahu bahwa Amerika Serikat mampu memutus jalur perdagangan Tiongkok dengan memblokade Selat Malaka dengan menggunakan sekutunya, Singapura. Karena itulah Tiongkok terus mendesak Thailand untuk mempertimbangkan konstruksi Terusan Kra Isthmus,9 sebagai alternatif bagi jalur pelayaran. Selain itu, Tiongkok pun mendorong kerja sama ekonomi, seperti dengan didirikannya Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB)10 sebagai alternatif dari World Bank yang dikuasai Amerika Serikat, serta Tiongkok pun mendorong terbentuknya ‘Jalan Sutera’ modern, yang semakin meningkatkan pengaruh ekonomi Tiongkok ke negara-negara lainnya. 7 http://carnegieendowment.org/2011/03/09/rebalancing-growth-in-asia-economic-dimensions-for-china/1z7 diunduh pada tanggal 21 Maret 2015 8 http://usa.chinadaily.com.cn/china/2013-10/04/content_17008940.htm diunduh pada tanggal 12 Maret 2015 9 http://thediplomat.com/2013/12/how-a-thai-canal-could-transform-southeast-asia/ diunduh pada tanggal 21 Maret 2015 10 http://www.aiibank.org/ diunduh pada tanggal 21 Maret 2015 Dalam kebijakan luar negerinya, Amerika Serikat berupaya agar Tiongkok tidak mampu menjadi ancaman bagi dominasi Amerika Serikat, misalnya dengan menempatkan marinirnya di Darwin, Australia. Juga mempererat hubungan dengan negara-negara ASEAN yang terlibat konflik dengan Tiongkok seperti Philipina dan Vietnam. Amerika Serikat juga berusaha untuk menarik negara-negara keluar dari orbit Tiongkok, misalnya dengan memberikan tanggapan positif kepada usaha Myanmar untuk keluar dari isolasinya serta usahanya menentang pendirian Asian Infrastructure Investment Bank yang gagal. Dari ulasan geostrategi di atas, dapat ditarik kesamaan bahwa kelima kekuatan besar (AS, Tiongkok, India, Jepang dan Australia) berupaya untuk mengamankan : (1) rute pelayaran; (2) akses ke pasar; (3) dan akses ke sumber daya di kawasan Indo-Pasifik. Dan Indonesia tepat berada di tengah-tengah Indo-Pasifik yang harus dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kebesaran bangsa Indonesia. Tiongkok berhadapan dengan AS, India, Jepang dan Australia. Posisi Indonesia menghadapi persaingan antara kedua kekuatan besar ini tidak mudah. Di satu sisi, Indonesia ingin terus menjaga hubungan positif dengan Tiongkok, terutama karena Indonesia menginginkan investasi dari Tiongkok untuk memperbaiki infrastruktur dan juga memperkuat industry domestik yang bisa membuka lapangan kerja. Di sisi lain, Indonesia pun sadar bahwa Tiongkok bisa berpotensi besar untuk menciptakan instabilitas di Asia Tenggara, terutama sebagai pengancam persatuan ASEAN. Hal ini terlihat dalam KTT ASEAN di Kamboja di tahun 2012, di mana dalam pertemuan tersebut, Kamboja, atas desakan Tiongkok, menolak usul Filipina untuk memasukkan isu Laut China Selatan ke dalam Joint Communique ASEAN.11 Walaupun pada akhirnya kesatuan ASEAN bisa dipertahankan, namun terlihat bahwa pengaruh Tiongkok tak bisa dianggap remeh. Bahkan, dalam kerangka multilateralisme,12pada KKT ASEANTiongkokdi Phnom Penh bulanNovember 2002, telah disadari ancaman non tradisional yang semakin serius. Ancaman tersebut meliputi penyelundupan narkoba, imigran gelap, perdagangan manusia, bajak laut, terorisme, penyelundupan senjata, pencucian uang, kejahatan ekonomi internasional dan kejahatan siber (cyber crime). Daftar yang lebih lengkap lagi ditetapkan tiga tahun kemudian dalam seminar Forum Regional ASEAN (ASEAN Regional Forum) yang meliputi: obat-obatan ilegal, penyakit menular, HIV/AIDS, 11 http://www.wsj.com/articles/SB10001424052702303919504577524133983292716 diunduh pada tanggal 21 Mei 2015 http://asianz.org.nz/sites/asianz.org.nz/files/files/Rolls%20-%20ASEAN%20and%20the%20NonTraditional%20Regional%20Security%20Agenda%20-%20FORMAT.pdf diunduh pada tanggal 9 Mei 2015 12 penyelundupan manusia (people smuggling and human trafficking), korupsi, pencucian uang, kejahatan siber, pembajakan (piracy), perusakan lingkungan, dan illegal logging. Ancaman-ancaman tersebut cenderung terdiversifikasi dan memiliki implikasi ganda, baik intrastate, maupun interstate. Ancaman non tradisional ini pun tumbuh meningkat lebih tajam dibanding ancaman tradisional, dan dampaknya sangat kompleks. Menurut Elke Krahmann,13perang sipil (termasuk perang antar etnis), terorisme, HIV/AIDS, proliferasi senjata ringan sebagai ancaman non tradisional lebih mungkin terjadi dan lebih banyak memakan korban dibandingkan dengan ancaman tradisional. Ancaman baru tersebut membutuhkan adanya sistem tata kelola keamanan (system of security governance)yang efisien dan efektif. Karakter dari ancaman non tradisional lebih kepada ancaman pada masyarakat dan individu (dibandingkan ancaman terhadap negara). Sehingga peran polisi sebagai aparat penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegak hukum menjadi sangat signifikan. Dalam bukunya Global Policing,14Bowling dan Sheptycki menyebut bahwa tidak ada yang namanya polisi dunia (global police). Yang ada adalah global policing, yang berarti kemampuan untuk menggunakan kekuatan koersif dan pengawasan (coercive and surveillant powers)ke seluruh dunia melintasi perbatasan-perbatasan negara yang tidak terkait. Fungsi policing (diterjemahkan menjadi pemolisian) mengandung dua makna, yaitu ke depan dan ke belakang. Dikatakan ke depan karena policing berfungsi melakukan pencegahan tindak kejahatan. Sementara dikatakan ke belakang, karena policing juga melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan atas kejadian perkara yang sudah lampau. Sedang dalam konteks global policing, kegiatannya meliputi pengamanan dan penegakan hukum atas wilayah dan masyarakat dari tindak kejahatan yang bersifat transnasional (lintas batas). Sementara dalam beberapa pidato kenegaraan, Presiden Jokowi bermaksud untuk membangun 5 deep seaport, dan 24 pelabuhan dalam konsep tol laut. Pelabuhan besar, sedang dan kecil dikelola baik oleh pemerintah pusat dan daerah. Namun terdapat sejumlah pelabuhanpelabuhan atau titik berlabuh tidak resmi, dalam artian yang tidak dikelola oleh pemerintah di seluruh pantai Indonesia yang panjangnya lebih dari 100.000 km (terpanjang ke-2 di dunia).15 Hal ini membuat kegiatan 13 http://www.palgraveconnect.com/pc/doifinder/view/10.1057/9781403981660 diunduh pada tanggal 9 Juni 2015 http://www.sagepub.com/upm-data/45138_Bowling_and_Sheptycki.pdf diunduh pada tanggal 9 Juni 2015 15 http://www.antaranews.com/berita/487732/garis-pantai-indonesia-terpanjang-kedua-di-dunia 14 international policing pada dimensi kemaritiman Indonesia menjadi sangat menantang. Gambar 2.1 Peta Tol Laut Indonesia III. PERPOLISIAN INTERNASIONAL Secara etimologis kata ‘polisi’ memiliki kosa kata berbeda-beda. Beda negara beda pula kosa katanya yang terkait dengan polisi. Yunani adalah negara yang pertama kali memperkenalkan kata polisi.Di Yunani Kuno, “politea” berarti warga negara dari kota Athena atau seluruh pemerintahan negara kota.Kemudian pengertian itu berkembang menjadi "kota" dan dipakai untuk menyebut "semua usaha kota."16Oleh karena pada zaman itu kota merupakan negara yang berdiri sendiri yang disebut dengan istilah polis, maka politea atau polis diartikan sebagai semua usaha dan kegiatan negara, juga termasuk kegiatan keagamaan. Selanjutnya, diawal abad ke-18 di Eropa Kontinental, kata la Police dan die Politzei digunakan dalam kaitannya dengan administrasi internal, kesejahteraan, proteksi dan pengamatan teritori. 17 Kosa kata ‘polisi’ juga sering berbeda dan digunakan secara resmi di beberapa negara. Di negara-negara koloni, kosa kata itu akan sangat tergantung dengan negara kolonialnya. Negara-negara bekas koloni Jerman di Afrika akan menggunakan kosa kata Polizei. Bekas koloni Belanda akan menggunakan ‘politie,’ yang kemudian diserap kedalam kosa kata bahasa Indonesia sebagai ‘polisi.’Syurthiyyun, bauliisun adalah kosa kata bahasa Arab yang berarti polisi. Jepang menyebutkan polisi sebagai keisatsu. Policia adalah terjemahan polisi didalam Spanyol dan Portugis.kata policija dipakai pada 16Emsley, 17 Ibid The English Police, A political and social history, second edition, Routledge, New York 1996, Hal 3 negara-negara bekas Yugoslavia seperti Bosnia Herzegovina, Slovenia, Kroasia, demikian juga di negara-negara Lithuania, Latvia dan di sekitarnya. Poliisi adalah arti dari kata polisi dalam bahasa Suomi, bahasa yang dituturkan oleh sebagian besar warga Finlandia. Agak sedikit berbeda dengan negara tetangganya, Denmark menggunakan politi, yang berasal dari bahasa Dansk. Uniknya kata police itu sendiri yang merupakan kata dasar didalam bahasa Inggris yang dikenal sampai sekarang, awalnya merupakan kata yang kurang disukai di Inggris. Hal ini dinyatakan olehEmsley (1996): “the word ‘police’ was not popular in England as it smacked of absolutism … but the word was increasingly used towards the end of the eighteenth century”18. Pemahaman awal tentang polisi menjadi mendasar dan penting, karena di Indonesia tidak hanya Polri sebagai alat negara yang menjalankan fungsi pemerintahan di bidang kepolisian, tetapi ada institusi lainnya yang menjalankan tugas-tugas kepolisian, misalkan polisi kehutanan, polisi pamong praja, polisi khusus kereta api dan juga polisi militer. Demikian juga dalam konteks adat budaya masyarakat di Indonesia dikenal juga lembaga-lembaga adat atau masyarakat yang menjalankan fungsi kepolisian, di Bali dikenal dengan nama Pecalang. Jenkins (2013) mengutip Alemikayang menyimpulkan bahwa keberadaan dan praktek-praktek perpolisian diluar organisasi atau institusi formal disebutnya sebagai informal policing.19 Dia mengakui bahwa istilah ini masih problematik dan informal dalam konteks organisasi kepolisian kontemporer. Mereka berakar didalam budaya dan menjadi bagian struktur peradilan pidana tradisional.20 Apa yang berlangsung sampai dengan saat ini, seperti keberadaanpecalang di Bali membenarkan bahwa keberadaan dan praktek perpolisian informal ada dan masih diterima oleh komunitas masyarakat tradisional tertentu. Jenkins juga menyebutkan dalam Baker (2002) tentang non state policing dalam prakteknya serupa dengan satuan keamanan perusahaan, kelompok ronda kampung, sampai dengan kelompokkelompok sadar masyarakat.21 Kata polisi bermakna ganda dan dipengaruhi juga pemaknaannya oleh obyek atau sifat dari kata yang mendampinginya. Polisi berarti suatu lembaga atau institusi yang diberikan kewenangan untuk melakukan fungsi, peran dan tindakan-tindakan kepolisian. Polisi adalah seseorang atau lebih dari seorang 18 19 Ibid, hal 3 Jenkins, Sarah, Securing Communities Summary of Key Literatures on Community Policing, odi.org, 2013 Ibid, halaman 5 21 Ibid, halaman 6 20 yang menjadi salah satu bagian dari lembaga atau institusi kepolisian yang menjalankan mandat perpolisian atau pemolisian. Perpolisian atau pemolisian merupakan terjemahan atau tafsiran bebas arti kata policing. Terdapat perbedaan tafsir atau kata policing ini.Satu pihak menafsirkannya sebagai perpolisian (dengan argumentasi bahwa perpolisian adalah setiap kegiatan kepolisian dalam rangka menjalankan mandat atau kewenangannya). Tafsiran ini mempertimbangkan adanya kesetaraan atau kesejajaran status polisi dan masyarakat (egalitarian) dalam mewujudkan rasa aman di lingkungan masyarakat. Policing by consent (perpolisian yang dilandasi oleh kepercayaan, legitimasi atau mandat yang diberikan oleh masyarakat sebagai pemangku kepentingan keamanan dan ketertiban masyarakat) merupakan filosofi yang melandasi hubungan egaliter diantara dua komponen sosial ini. Sehingga kepatuhan sosial, ketertiban umum dan tegaknya hukum dimungkinkan terjadi karena masyarakat bertanggung jawab atas norma hukum dan norma sosial yang ditegakkan oleh polisi. Undang-undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia nomor 2 tahun 2002 adalah wujud dari consent tersebut. UU itu disusun oleh pemerintah dan DPR sebagai manifestasi pemangku kepentingan politik atas Polri. Consent atau permission atau ijin yang diperoleh dari masyarakat menjadi hal yang mendasar dalam konteks perpolisian. Pemolisian sedikit berbeda dengan polisi. Pemaknaan dan penerapannya polisi sebagai lembaga atau institusi yang lebih superior, memposisikan diri sebagai penguasa dengan kedudukan hukum yang lebih tinggi. Sementara masyarakat atau pemangku kepentingan lebih ditempatkan sebagai obyek kepolisian. Pemolisian dianalogikan atau dikonstruksikan sama dengan kata ‘pemukulan’ yang merupakan kata jadian dari awalan pe-, kata dasar –pukul- dan akhiran –an. Pemukulan diartikan sebagai kegiatan atau pekerjaan memukul terhadap obyek tertentu. Disini obyek berada dalam posisi pasif, menjadi sasaran atau tidak berperan aktif. Pemolisian dimaknai sebagai suatu proses atau kegiatan sepihak polisi yang melakukan kegiatan kepolisian, antara lain menegakkan hukum dan ketertiban umum, mencegah atau memberantas kejahatan, mengawasi aktifitas komunitas sosial, dengan menempatkan masyarakat sebagai obyek. Hubungan diantara keduanya lebih bersifat vertically top-down. Tidak ada pemberdayaan atau perlibatan pemangku kepentingan dalam mencapai kepentingan rasa aman masyarakat. Agak sedikit rancu kata dan makna perpolisian dengan pemolisian. Polri sendiri menggunakan dua kata yang berbeda untuk fungsi kepolisian pemolisian masyarakat atau komunitas yang merupakan terjemahan dari community policing. Dalam konteks yang berbeda,democratic policing diterjemahkan sebagai perpolisian demokratis. Demikian juga paper ini menggunakan kata perpolisian internasional yang diterjemahkan dariinternational policing. Secara semantik perpolisian merupakan imbuhan gabungan per–polisi-an. Contoh: jangan perdebatkan lagi masalah itu!Perdebatkan artinya jadikan bahan perdebatan. Peribadatan hal (cara dan sebagainya) beribadat (KBBI). Pemakzulan artinya proses, cara, perbuatan memakzulkan. Definisi perpolisian didalam Peraturan Kapolri nomor 7 tahun 2008 dinyatakan sebagai segala hal ihwal tentang penyelenggaraan fungsi kepolisian, tidak hanya menyangkut operasionalisasi (taktik/teknik) fungsi kepolisian tetapi juga pengelolaan fungsi kepolisian secara menyeluruh mulai dari tataran manajemen puncak sampai dengan manajemen lapis bawah, termasuk pemikiran-pemikiran filsafati yang melatarbelakanginya.22Kata pemolisian muncul sebagai salah satu komponen utama Perpolisian Masyarakat (Polmas) yang diperkenalkan oleh Polri melalui Peraturan Kapolri nomor 7 tahun 2008, yang artinya pemberdayaan segenap komponen dan segala sumberdaya yang dapat dilibatkan dalam pelaksanaan tugas atau fungsi kepolisian guna mendukung penyelenggaraan fungsi kepolisian agar mendapatkan hasil yang lebih optimal.23 Polmas diakronimkan dari kata perpolisian masyarakat yang merupakan terjemahan bebas dari kata community policing, meskipun lebih tepat diistilahkan perpolisian komunitas. Polmas dalam hal ini dimaksudkan sebagaitoPolicetheCommunitydanpadasaatyang sama to make members of community to police their own community.24 Konsep dan praktek perpolisian internasional Polri tidak dapat dihindari dari adanya keterpengaruhan atau keterkaitan dengan kepentingankepentingan, bahkan keikutcampuran (intervention) para pemangku kepentingan, mereka berasal dari pemerintah eksekutif, kelompok legislatif, kelompok pengusaha atau aktor ekonomi, akademisi, organisasi sosial atau kemasyarakat, bahkan pemerintah negara lain. Realitasnya bahwa Polri adalah salah satu komponen pemerintah dan bangsa Indonesia. Tugas, kedudukan, fungsi dan peran perpolisian internasional Polri adalah bagian dari kepentingan nasional Indonesia, dalam hal ini terjaminnya rasa aman, tertib, damai yang menjadi prasyarat berlangsungnya pembangunan nasional dan 22 Mabes Polri, Peraturan kapolri nomor 7 tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam Menyelenggarakan Tugas Polri, Jakarta, 2008 23 Ibid 24Suparlan, Memantapkan Kepemimpinan Polri Guna Akselerasi Strategi Polmas Dalam Rangka Mewujudkan Kamdagri, Makalah untuk Seminar Nasional Sespati Polri Dik. Reg. Ke-13 dan Pasis Sespim Polri Dik. Reg. Ke-45 TA 2007, (Bandung, 2007), hlm. 2. kehidupan bernegara, berbangsa, bermasyarakat secara aman, damai, adil dan demokratis. Perpolisian internasional Perpolisian internasional sebagai alat politik dan strategi keamanan regional terus berkembang, tidak saja menguntungkan dan memperluas pemahaman tentang perpolisian itu sendiri, namun juga dapat menjadi model bagi implementasi perpolisian di negara-negara kawasan lainnya. Fokus pada reformasi kepolisian dan penerapan perpolisian demokratis yang menjadi nilainilai standar dan fundamental yang dilembagakan oleh Uni Eropa bagi perpolisian di era milinium menjadi suatu telahaan atau kajian penting dan mendasar bagi perkembangan kepolisian dan perpolisian internasional di Indonesia. Uni Eropa muncul sebagai aktor regional dalam berbagai tindakan perpolisian internasional. Di tataran Eropa, keduanya Dewan dan Komisi Eropa telah meningkatkan keterlibatannya dalam isu-isu terkait dengan perpolisian internasional.25 Bowling and Sheptycki26 mengkaji tentang Global Policing dan menyoroti tentang pemolisian global, yang maknanya suatu pemolisian atau pengaturan kehidupan global yang dilakukan oleh negara-negara super power atau negara-negara yang memiliki kekuatan-kekuatan tertentu. Dia menyoroti tentang rejim pelarangan global terhadap berbagai isu-isu terkait dengan kejahatan transnasional. Hal-hal yang disepakati dan dilembagakan secara internasional merupakan norma dalam hal pencegahan, pelarangan, pengendalian dan penindakan terhadap aksi-aksi kejahatan transansional. Penggunaan kata pemolisian disini dimaksudkan pengaturan berdasarkan norma-norma yang dilembagakan untuk mengatur atau mengendalikan masyarakat global dan kehidupannya berdasarkan rejim pelarangan global terutama terhadap kejahatan transnasional. Menurutnya Global Policing merujuk pada suatu kapasitas untuk menggunakan upaya paksa dan kekuatan pengamatan di seluruh dunia dalam cara-cara yang melintasi batas-batas negara.27 Bowling dan Sheptycki menawarkan suatu definisi tentang perpolisian transnasional yang luas, yang mana mencakup dan termasuk memelihara ketertiban, penegakan hukum, pemeliharaan perdamaian, penyidikan kejahatan, pengumpulan intelijen, atau bentuk-bentuk lain dari pekerjaan polisi yang melibihi batas-batas negara. 28Bahwa terdapat perbedaan antara perpolisian transnasional dengan gagasan-gagasan yang terkait dengan 25 Greener, ibid, hal 26 http://www.sagepub.com/upm-data/45138_Bowling_and_Sheptycki.pdf diunduh pada tanggal 9 Juni 2015 27Bowling, Ben and Sheptycki, James, Global Policing, 2012, sage Publication, New York 28Bowling and Sheptycki, ibid , hal 3 26 perpolisian global dan internasional. Sosiolog politis menggunakan istilah internasional untuk menggambarkan interaksi antara negara-negara bangsa, sementara transnasional menandai fenomena-fenomena yang menyimpang atau melanggar batas-batas negara. Dia menambahkan bahwa belakangan ini kolaborasi dan kerja sama telah meningkat semakin ambisius dalam beberapa hal terkait bentuk-bentuk perpolisian yang semakin mendunia.29 IV. PERAN PERPOLISIAN INTERNASIONAL POLRI Koridor peran kepolisian dimana pun selalu dalam ranah penegakan hukum. Demikian pula dalam konteks ASEAN Community 2015. Komunitas ASEAN meniscayakan adanya integrasi bidang politik, keamanan, budaya dan ekonomi dari ke-10 negara ASEAN. Namun demikian, masing-masing negara tetap memiliki kedaulatan dan supremasi hukum domestik terhadap orangorang yang berada di wilayahnya, termasuk untuk orang-orang asing dari sesama negara ASEAN. Dengan adanya keunikan hukum di tiap negara, maka peran polisi nasional menjadi tetap relevan, ditengah adanya penyatuan negara-negara ASEAN. Terkait masalah energi, saat ini Indonesia sedang mengalami krisis energi. Demikian pula dengan negara-negara di ASEAN dan kawasan AsiaPasifik. Produksi minyak di Asia-Pasifik (tidak termasuk Timur Tengah) relatif lebih rendah daripada volume konsumsinya. Namun masih banyak potensi sumber daya alam, seperti minyak bumi, gas alam, batubara dan uranium yang belum tereksploitasi secara maksimal.Hal ini dapat berpotensi terjadinya pelanggaran hukum berupa penyelundupan komoditas energi. Karakter geografi Indonesia sebaga negara kepulauan, memberi “celah” akan terjadinya “kebocoran” suplai energi secara ilegal. Garis pantai Indonesia sepanjang 100.000 km, membuat banyak kemudahan bagi terjadinya tindak penyelundupan. Terlebih lagi jika sumber komoditas berada di lepas pantai (offshore). Komoditas energi yang didapat dari lepas pantai dapat dipindahmuat (tranship) di laut lepas juga. Sementara luas perairan Indonesia lebih dari 3 juta km persegi. Perlu adanya international policing terkait kedaulatan energi, seperti atas kegiatan: - offshore transhipment ilegal dari transportasi komoditas energi (minyak, gas, batubara, dan uranium); 29Bowling and Sheptycki, ibid , hal 3 - pengangkutan komoditas energi yang tidak tercatat resmi; - pengangkutan komoditas energi yang belum diproses sesuai regulasi yang berlaku. Sementara dari aspek maritim, Indonesia telah diakui sebagai negara kepulauan pada tahun 1985 (saat diratifikasinya UNCLOS 1982). Teritori laut Indonesia meliputi 12 mil dari garis pantai terluar, perairan dalam (di antara pulau-pulau besar), serta 200 mil dari garis pantai untuk ZEE.Wilayah perairan yang sangat luas ini sangat rentan atas ancaman berupa : illegal fishing, illegal migrant, pelanggaran wilayah di daerah sengketa perbatasan, penyelundupan barang, offshore transhipment illegal, dan lain-lain.Perlu peran international policing untuk dapat memantau seluruh wilayah perairan Indonesia secara persistent(yang konsepnya dikenal dengan nama maritime domain awareness) dan sarana quick response unit untuk dapat melakukan penyergapan secara cepat atas pelanggaran di laut. Namun dengan luasnya wilayah perairan, serta beragamnya ancaman non tradisional, peran international policing tidak dapat diemban Polri semata. Perlu penataan yang melibatkan sejumlah instansi terkait di bidang keamanan maritim. Dalam ASEAN Community 2015, ada 3 (tiga) bidang komunitas, yaitu: politik dan keamanan; ekonomi; dan budaya.Konsep komunitas ini menuntut adanya kesatuan dan kebersamaan dengan konsekuensi penghilangan sekat (barrier) bagi interaksi ketiga bidang komunitas tersebut di dalam kerangka ASEAN. Namun, setiap negara tetap memiliki norma dan aturan yang tersendiri yang harus dihormati negara-negara ASEAN lainnya.Disinilah peran international policing, sebagai pengawas dan penegak hukum di wilayah Indonesia, di tengah-tengah regionalisasi atau keterbukaan di ASEAN.Perlu adanya kejelasan aturan dan pembagian tugas pengawasan dan penegakan hukum atas regionalisasi ASEAN.Jika diperlukan, Polisi ASEAN dalam wujud Aseanapoldapat digunak untuk meningkatkan keselarasan international policing di seluruh wilayah ASEAN. Dengan adanya ASEAN Community 2015, ada sebagian peran international policing yang harus diemban Polri. Peran ini menuntut dikuasainya aturan bersama dalam kerangka ASEAN Community 2015. Dengan peningkatan kapabilitas, kapasitas, dan kompetensi personilnya, Polri yang merupakan aset bangsa yang dapat mengemban peran international policing, seperti : pengawasan dan penindakan pelanggaran hukum di perairan dalam (inner seas) dan lautan dangkal (littoral water); pengawasan dan penindakan pelanggaran hukum di daratan (sebagai peran yang sudah diemban), dengan penambahan wawasan tentang keterbukaan masyarakat ASEAN; pelatihan instansi kepolisian di negara lain di ASEAN untuk dapat memiliki kemampuan standar yang dituntut ASEAN; dan koordinasi dengan kepolisian lain di ASEAN untuk menegakkan hukum di wilayah ASEAN secara terpadu. V. PENUTUP ASEAN Community 2015 sudah di depan mata. Pemerintah Indonesia dituntut untuk mampu menyiapkan aparat penegak hukum terkait interaksi politik-keamanan-ekonomi-sosial-budaya yang lebih luas antar masyarakat ASEAN. Polri yang merupakan aset bangsa, dapat mengemban sebagian peran international policing di wilayah Indonesia. Namun perlu dikaji tentang beban pekerjaan yang dihadapi dibandingkan dengan kemampuan Polri yang dimiliki saat ini. International policing jelas menjadi tugas yang harus diemban secara bersama oleh sejumlah instansi pemerintah terkait. DAFTAR PUSTAKA Andreas, Policing the Globe : Criminalization and Crime Control in International relations, 2006, Oxford University Press, New York Bowling, Ben and Sheptycki, James, Global Policing, 2012, sage Publication, New York Emsley, The English Police, A political and social history, second edition, Routledge, New York 1996, Hal 3 http://asianz.org.nz/sites/asianz.org.nz/files/files/Rolls%20%20ASEAN%20and%20the%20NonTraditional%20Regional%20Security%20Agenda%20-%20FORMAT.pdf diunduh pada tanggal 9 Mei 2015 http://carnegieendowment.org/2011/03/09/rebalancing-growth-in-asiaeconomic-dimensions-for-china/1z7 diunduh pada tanggal 21 Maret 2015 http://thediplomat.com/2013/12/how-a-thai-canal-could-transform-southeastasia/ diunduh pada tanggal 21 Maret 2015 http://usa.chinadaily.com.cn/china/2013-10/04/content_17008940.htm diunduh pada tanggal 12 Maret 2015 http://www.aiibank.org/ diunduh pada tanggal 21 Maret 2015 http://www.antaranews.com/berita/487732/garis-pantai-indonesia-terpanjangkedua-di-duniadiunduh pada tanggal 9 Juni 2015 http://www.ciis.org.cn/english/2014-09/15/content_7231376.htm diunduh pada tanggal 12 Maret 2015 http://www.macmillandictionary.com/dictionary/british/policing diunduh pada tanggal 8 Mei 2015 http://www.palgraveconnect.com/pc/doifinder/view/10.1057/9781403981660 diunduh pada tanggal 9 Juni 2015 http://www.sagepub.com/upm-data/45138_Bowling_and_Sheptycki.pdf diunduh pada tanggal 9 Juni 2015 http://www.theguardian.com/world/2011/nov/17/obama-asia-pacific-addressaustralia-parliament diunduh pada tanggal 21 Maret 2015 http://www.wsj.com/articles/SB1000142405270230391950457752413398329271 6 diunduh pada tanggal 21 Mei 2015 http://www.yourdictionary.com/policing diunduh pada tanggal 8 Mei 2015 Jenkins, Sarah, Securing Communities Summary of Key Literatures on Community Policing, odi.org, 2013 Mabes Polri, Peraturan Kapolri nomor 7 tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat dalam Menyelenggarakan Tugas Polri, Jakarta, 2008 Manyin, M.E. et al. (N/A). Pivot to the Pacific? The Obama Administration’s “Rebalancing” Toward Asia. Washington D.C.: Congressional Research Sevice. Montratama, Ian. 2015. Poros Maritim Dunia: Suatu Geostrategi Presiden Jokowi?. Paper untuk Jurnal Unhan edisi 2015. Suparlan, Memantapkan Kepemimpinan Polri Guna Akselerasi Strategi Polmas Dalam Rangka Mewujudkan Kamdagri, Makalah untuk Seminar Nasional Sespati Polri Dik. Reg. Ke-13 dan Pasis Sespim Polri Dik. Reg. Ke-45 TA 2007, (Bandung, 2007), hlm. 2. Tow, W. 2012. The Eagle Returns: Resurgent US strategy in Southeast Asia and its policy implications. Policy Analysis. Barton : Australian Strategic Policy Institute (ASPI) pp.1