membaca ulang pemaknaan keadilan sosial - e

advertisement
MEMBACA ULANG PEMAKNAAN KEADILAN SOSIAL
DALAM GAGASAN REVOLUSI HUKUM
SOEDIMAN KARTOHADIPRODJO
Shidarta
email: [email protected]
Abstract
Soediman Kartohadiprodjo was one of few Indonesian legal scholars taking interest in Pancasila, the
state ideology promulgated by Soekarno. Soediman believe that social justice, the core concept of
Pancasila corresponds with the “kekeluargaan” principle as found in the constitution. However, he
used the the term welfare or happines rather than social justice since the latter, according to him,
tends to adopt liberalist and individualist principles, which according to him contradicts with
Pancasila. He also endorsed the idea of “legal revolution”as a mean to increase the Indonesian
populace’ awareness about recent legal development post independence. This article discusses and
critizes Soediman’s idea on social justice and legal revolution.
Keywords:
Pancasila, social justice, welfare state, law revolution.
Abstrak
Soediman Kartohadiprodjo adalah salah satu dari beberapa sarjana hukum Indonesia yang
memiliki ketertarikan untuk menjelajahi Pancasila sebagai ideologi yang pertama kali
dikembangkan Soekarno. Soedirman percaya bahwa keadilan sosial adalah konsep inti yang sesuai
dengan "kekeluargaan" prinsip sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi. Namun ia lebih suka
menggunakan istilah kesejahteraan atau kebahagiaan daripada keadilan sosial karena yang
terakhir menurut dia cenderung mengadopsi individualisme liberal dan, yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip Pancasila. Ia juga mengungkapkan idenya untuk menyampaikan "revolusi
hukum" dalam rangka meningkatkan kesadaran hukum Indonesia melalui sistem hukum yang baru
dikembangkan setelah kemerdekaan. Artikel ini membahas gagasan keadilan sosial Soediman dan
gagasannya tentang revolusi hukum serta memberikan beberapa kritik atas pikirannya.
Kata kunci:
Pancasila, keadilan sosial, negara kesejahteraan, revolusi hukum.
Latar Belakang
Soediman Kartohadiprodjo (1908-1970) adalah ilmuwan hukum yang
cukup berpengaruh dalam era perjuangan kemerdekaan sampai memasuki
periode pemerintahan Orde Lama. Tema besar yang kerap muncul dalam tulisantulisannya adalah tentang Pancasila, yang diyakininya memiliki otentisitas untuk
disebut sebagai karya agung bangsa Indonesia. Perang dingin yang terjadi dalam
kancah politik global, yang pada tingkatan tertentu juga menyentuh ‘perang
 20 
ideologi’ antar-blok dunia, membuat Soediman makin yakin pada posisi Pancasila
sebagai tawaran alternatif bagi bangsa Indonesia untuk tampil percaya diri
dengan pandangan hidupnya sendiri.
Tulisan ini berinisiatif mengangkat satu sisi pemikiran dari Soediman
Kartohadiprodjo.1 Pilihan jatuh pada konsep ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia’ yang telah diformulasikan sebagai sila kelima Pancasila. Konsep ini
termasuk penting karena merupakan aspek aksiologis bernegara yang paling
gamblang dirumuskan melalui kata kerja “mewujudkan keadilan sosial” di dalam
Pembukaan UUD 1945. Penggunaan kata kerja aktif ini memperlihatkan
kesungguhan bangsa ini untuk secepatnya mengatasi problema ketidakadilan
yang menjadi kondisi faktual bangsa ini selama hidup di alam penjajahan.
Perubahan kondisi kehidupan bangsa ini akan cepat diatasi apabila tata hukum
warisan kolonial juga ikut berubah. Untuk itu, Soediman pun sepakat dengan
gagasan adanya revolusi hukum.
Sebagai ahli hukum yang memiliki ketertarikan pada filsafat hukum,
Soediman sadar bahwa keadilan adalah tujuan ideal dalam berhukum bagi semua
bangsa. Tatkala Soediman Kartohadiprodjo memahami Pancasila dengan segala
orisinalitas dan otentisitas keindonesiaan itu, berarti akan ada kemungkinan versi
keadilan yang khas dalam kerangka pikir bangsa Indonesia itu. Juga akan ada
potensi keadilan versi bangsa Indonesia itu bakal terwujud melalui mekanisme
percepatan yang disebutnya revolusi hukum. Hal inilah yang menjadi pokok
permasalahan yang ingin diangkat dalam tulisan ini, yakni apakah sebenarnya
makna keadilan sosial bagi bangsa Indonesia menurut pandangan Soediman
Kartohadiprodjo dan bagaimana kaitannya dengan gagasan revolusi hukum yang
diajukannya?
Jawaban terhadap pertanyaan ini memiliki makna penting karena
membuka katup diskursus tentang keadilan sosial yang relatif terbungkamkan
1
Catatan: beberapa sekuens pemikiran ini sempat dipresentasikan dalam seminar; lihat Shidarta,
“Membaca Ulang Pemaknaan Keadilan Sosial dan Gagasan Revolusi Hukum Soediman
Kartohadiprodjo”, makalah Seminar dalam rangka lomba debat hukum Piala Soediman
Kartohadiprodjo, Fakultas Hukum Unpar, Bandung, 6 Maret 2015.
 21 
pasca-kejatuhan Pemerintahan Orde Baru. Sejak saat itu, topik-topik dan wacana
tentang Pancasila seakan menjadi usang dan tidak lagi menarik. Akibatnya, banyak
pihak berusaha memberi tafsir baru atas topik-topik ini, padahal bukan tidak
mungkin pembahasan tentang topik-topik ini sudah pernah ditampilkan oleh
ilmuwan-ilmuwan
sebelumnya,
termasuk
oleh
tokoh
sekelas
Soediman
Kartohadiprodjo.
Mengingat ada jarak waktu cukup jauh antara tulisan ini dengan hadirnya
karya-karya Soediman yang menjadi objek kajian tulisan ini, maka sejak awal
disadari akan ada keterbatasan pandangan penulis untuk mengkaji pemikiran
Soediman Kartohadiprodjo tersebut secara komprehensif. Oleh sebab itu, metode
penelitian terhadap karya-karya Soediman hanya dibatasi pada dua buku penting.
Pertama, buku beliau berjudul Pengantar Tata Hukum di Indonesia. Jilid I: Hukum
Perdata, Jakarta: PT Pembangunan & Ghalia Indonesia (edisi tahun 1982). Kedua,
buku bunga rampai (kompilasi tulisan) yang diedit serta diterbitkan kembali,
berjudul Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Jakarta: Gatra
Pustaka (edisi tahun 2010). Penelitian sepenuhnya dilakukan berdasarkan kajian
pustaka, dan dalam beberapa kesempatan diperkaya dengan diskusi dengan
narasumber yang pernah menjadi asisten Soediman Kartohadiprodjo dalam waktu
cukup lama di Universitas Katolik Parahyangan, yaitu Bernard Arief Sidharta.
Tata Hukum Berkeadilan Sosial
Di dalam buku Soediman Kartohadiprodjo, “Pengantar Tata Hukum di
Indonesia” (Jilid 1: Hukum Perdata”) terbitan bersama antara PT. Pembangunan
dan Ghalia Indonesia (dipublikasikan pertama kali tahun 1956 dan sampai dengan
tahun 1982 sudah mengalami cetak ulang kesepuluh), terdapat ulasan yang cukup
menarik tentang pemikiran Soediman berkenaan dengan Pancasila. Walaupun
buku jilid pertama ini didesain sebagai pengantar tata hukum di Indonesia untuk
bidang hukum perdata, pada sekitar 50 halaman pertama terdapat ulasan
pengarangnya tentang hukum dan manusia, manusia sebagai zoon politikon,
 22 
manusia dalam tafsiran bhineka tunggal ika, manusia Indonesia dan Pancasila,
Pancasila dan bangsa Indonesia, serta zoon politikon dan Indonesia.
Paparan tentang Pancasila yang menyita cukup banyak halaman awal dari
bukunya tersebut ternyata ditambah lagi dengan satu bab tambahan yang
dijadikan penutup buku, berjudul “Menuju ke Tata Hukum Nasional”. Di sini lagilagi
rekomendasi
Soediman
Kartohadiprodjo
terkait
Pancasila,
kembali
dikedepankan. Ia menganjurkan agar tata hukum Indonesia harus dijalankan dan
ditafsirkan dengan jiwa Pancasila. Dalam jiwa Pancasila ini fungsi hukum adalah
pengayoman. Soediman Kartohadiprodjo menulis pandangannya dengan katakata sebagai berikut:2
Menurut Panca Sila, yang berintikan pada kekeluargaan, yang
maknanya ialah, mengakui adanya perbedaan kepribadian individu,
tetapi tidak kepribadian yang bebas, yang tidak menghiraukan
adanya yang lain, melainkan yang terikat dalam satu kesatuan --“kesatuan dalam perbedaan; perbedaan dalam kesatuan” ---maka
diakuilah adanya perbedaan antara kelompok-kelompok pergaulan
hidup manusia yang satu dan lainnya. Kelompok-kelompok ini
dilihatnya tidak terpisah satu sama lain secara tajam seperti kita
jumpai dalam penggolongan pada masa penjajahan menurut pasal
163 IS, melainkan pengakuan kelompok seperti kita mengakui
adanya kelompok pergaulan hidup Jawa, Sunda, dan sebagainya.
Selaras dengan itu, maka Bung Karno juga menganjurkan,
‘janganlah kita mengadakan lagi perbedaan lagi anara ‘orang
Indonesia asli’ dan ‘orang Indonesia tidak asli’, melainkan seperti
halnya kita mengakui dan mengenal suku Batak, Minangkabau dan
sebagainya kita sebut juga yang tadinya kita namakan orang
Indonesia tidak asli sebagai suku Tiong Hoa, suku Arab, suku India
dan sebagainya…
Kutipan di atas memperlihatkan keinginan Soediman untuk menghadirkan
suatu tata hukum Indonesia yang memberikan keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia, dengan tidak lagi mempersoalkan asal usul dan latar belakang
golongannya. Semua komponen bangsa Indonesia diikat dengan semangat
2
Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Jilid I: Hukum Perdata, PT
Pembangunan & Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm. 246.
 23 
kekeluargaan dan tata hukum Indonesia wajib untuk mengayomi seluruh bangsa
Indonesia itu tanpa terkecuali.
Keadilan adalah Kesejahteraan dan Kebahagiaan
Keadilan di dalam Pancasila muncul pada sila kelima, dengan kata-kata
“keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Kata “sosial” digambarkan oleh
Soediman sebagai hubungan antar-manusia dalam kelompoknya. Tiap-tiap
individu memiliki empat unsur atau alat perlengkapan hidupnya, yakni raga, rasa,
rasio, dan [hidup dengan] rukun. Keempat hal ini harus dijaga dengan sebaikbaiknya agar ada ketenteraman, keseimbangan, dan harmoni. Inilah yang disebut
oleh
Soediman Kartohadiprodjo sebagai “bahagia”.3 Jadi, menurut Soediman
Kartohadiprodjo, kebahagiaan yang diharapkan sebagaimana dilukiskan di dalam
sila keilma Pancasila adalah sama dengan “keadilan sosial” atau “kesejahteraan
sosial”.4
Istilah
“kesejahteraan”
jelas
bukan
orisinal
dari
Soediman.
Ia
mengambilnya dari pidato Soekarno di hadapan sidang Badan Penyelelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) tanggal 1 Juni 1945. Soekarno merangkaikan
prinsip kesejahteraan ini dengan prinsip demokrasi, sehingga lahirlah terminologi
sosio-demokrasi. Menurut Soekarno di dalam prinsip kesejahteraan tidak akan
ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Istilah “sosio-demokrasi”
dipinjamnya dari Fritz Adler, yang mendefinisikan sosio-demokrasi sebagai
“politiek ekonomische democratie” (demokrasi politik-ekonomi). Pendeknya, di
satu sisi ada demokrasi politik, dan di sisi lain ada demokrasi ekonomi.5
Pemikiran Soekarno tentang demokrasi politik dan demokrasi ekonomi ini
adalah hasil endapan lama Soekarno sebagaimana terlihat dalam paparannya
tentang marhaenisme. Bagi Soekarno, marhaneisme adalah asas dan cara
3
4
5
Soediman Kartohadiprodjo, Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Gatra
Pustaka, Jakarta, 2010, hlm. 161.
Id, hlm. 171.
Baca Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2011, hlm. 491-492.
 24 
perjuangan sosialisme ala Indonesia berlandasarkan prinsip sosio-nasionalisme
dan sosio-demokrasi yang menghendaki hilangnya kapitalisme, imperialisme, dan
kolonialisme. Intinya, Indonesia tidak saja harus mencapai kemerdekaan politik,
tetapi
juga
disebutkannya
kemerdekaan
dengan
ekonomi.
prinsip
Dalam
politieke
terminologi
rechtvaardigheid
lain
Soekarno,
dan
sociale
rechtvaardigheid. 6
Selain Soekarno, adalah Mohammad Hatta yang memberi warna sangat
kuat pada penjabaran prinsip sosio-demokrasi ala Indonesia ini. Pada masa sidang
kedua BPUPK tanggal 11 Juli 1945, badan ini membentuk tiga panitia, yaitu panitia
perancang hukum dasar, panitia perancang keuangan dan ekonomi, dan panitia
perancang pembelaan tanah air, yang masing-masing dipimpin oleh Soekarno,
Hatta, dan Abikoesno Tjokrosoejoso. Soekarno lalu membentuk lagi panitia kecil
yang bertugas merumuskan undang-undang dasar di bawah pimpinan Soepomo.
Mereka semua bekerja cepat. Dalam rapat besar BPUPK tanggal 13 Juli 1945 inilah
Hatta memberi banyak sanggahan terhadap hasil rancangan Soepomo, yang
akhirnya menjadi bab-bab tentang warga negara dan kesejahteraan sosial.
Hatta memberi masukan terkait dengan keadilan dan kesejahteraan sosial
secara lengkap sebagai berikut: (1) Orang Indonesia hidup dalam tolongmenolong; (2) Tiap-tiap orang Indonesia berhak mendapat pekerjaan dan
mendapat penghidupan yang layak bagi manusia. Pemerintah menanggung dasar
hidup minimum bagi seseorang; (3) Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama, menurut dasar kolektif; (4) Cabang-cabang produksi yang menguasai
hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh pemerintah; (5) Tanah adalah kepunyaan
masyarakat, orang-seorang berhak memakai tanah sebanyak yang perlu baginya
sekeluarga; (6) Harta milik orang-seorang tidak boleh menjadi alat penindas
orang lain; dan (7) Fakir dan miskin dipelihara oleh pemerintah.7 Derivasi atas
konsep kesejahteraan sosial sebagaimana dijabarkan oleh ekonom semacam
6
7
Id, pada hlm. 521-522, 532.
Id, pada hlm. 533-536.
 25 
Hatta, tidak pernah disinggung-singgung oleh Soediman di dalam tulisantulisannya.
Kesejahteraan sosial disebut-sebut oleh Soediman sebagai tujuan hidup
manusia dalam alam semesta. Suatu konsep yang lebih bernada filosofis daripada
ekonomis! Untuk itu, Soediman Kartohadiprodjo menulis sebagai berikut:8
Menurut “penggalian” Bung Karno, seperti yang dinyatakan untuk
pertama kalinya, maka menurut Bangsa Indonesia itu ialah
“Kesejahteraan Sosial”, dan dengan demikian Bung Karno menamakan
Sila yang kelima itu Sila Peri-Kesejahteraaan Sosial; suatu nama yang
kiranya lebih tepat dari pada nama yang diberikan kemudian dan
yang sekarang lebih didengar dan dikenal orang: Peri-Keadilan Sosial.
Tetapi nampaknya: Apakah tidak lebih tepat kalau Sila ini kita
namakan Sila Peri-Kebahagiaan? “Kesejahteraan Sosial” dianggap
lebih tepat dari pada “Keadilan Sosial”---seperti dikemukakan tadi—
karena lebih menunjukkan manusia dalam keadaan passief, padahal
yang dilihatnya ialah “apa yang menjadi maksud dan tujuan manusia”,
jadi manusia dalam keadaan aktief. Sifat “aktief” ini cukup
ditunjukkan dengan istilah “kesejahteraan sosial”. Tetapi sebaliknya
“kesejahteraan” itu lebih membuka ke arah fikiran materiil padahal
kehidupan manusia itu membutuhkan tidak saja bahan materiil tetapi
pula spirituil. Manusia selalu berusaha untuk mengadakan kelarasan
dalam pemenuhannya kebutuhan-kebutuannya materiil dan spirituil.
Kalau terdapat kelarasan tadi, atau kalau kelarasan itu dapat sangat
didekati, maka kita namakan orang itu dalam keadaan bahagia.
Dengan alasan inilah, maka ditanyakan apakah tidak cukup alasan
untuk menamakan Sila kelima ini Sila Peri-Kebahagiaan.
Preferensi Soediman untuk menggunakan kata “kesejahteraan” daripada
“keadilan” ini dapat dibenarkan dengan penjelasan filosofis bahwa apabila suatu
ketidakadilan ternyata dialami semua orang, maka secara konseptual sudah
terjadi pemerataan ketidakadilan. Bukankah pemerataan ini suatu keadilan juga?
Lain halnya jika kata “kesejahteraan” yang dipakai karena ketidaksejahteraan bagi
semua orang tidak lalu identik dengan kesejahteraan bagi semuanya.
Dengan memakai kata “kesejahteraan” akan mengundang kita untuk
membawa pikiran Soediman kepada konsep negara (hukum) kesejahteraan.
8
Soediman, 1982, Id, pada hlm. 30-31.
 26 
Artinya, hukum digunakan sebagai instrumen untuk mencapai kesejahteraan
sosial. Jika meminjam istilah Soekarno, “hukum adalah alat revolusi”. Kebetulan,
Soediman adalah sedikit dari pemikir hukum Indonesia yang sangat sering
mengadopsi kata “revolusi” di dalam tulisan-tulisannya. Dan menarik, bahwa
Soediman Kartohadiprodjo memahami revolusi di sini secara lebih sempit sebagai
revolusi hukum.9 Suatu pemahaman yang agak bertolak belakang dengan sindiran
Bung Karno sendiri---yang notabene lebih meyakini revolusi secara lebih luas
sebagai “revolusi total”---yang mengatakan, “Met juristen kunt je geen revolutie
maken” (dengan kaum yuris kamu tak bakalan bisa membuat revolusi).
Apa
yang
dimaksudkannya
dengan
revolusi
hukum?
Soediman
Kartohadiprodjo mengungkapkan hal ini dalam konteks kesadaran hukum bangsa
Indonesia yang harus berubah, tidak lagi mengikuti alam pikiran khas penjajah
kolonial Barat. Ia menyampaikan pandangannya sebagai berikut:10
… maka Revolusi yang kita lakukan ini adalah dalam maknanya
revolusi dalam hukum, karena apa yang dianggap biasa, adil dan
hukum itu kita tidak menerimanya, kita tolak sebagai hukum. Jadi,
revolusi kita adalah revolusi hukum. … bahwa Revolusi kita itu dijiwai
oleh Pancasila. Kalau begitu, Pancasila ini mengandung jiwa
menentang penjajahan. Bahwa jiwa Pancasila itu bertentangan
dengan jiwa penjajahan. Disebabkan itu maka jiwa Pancasila itu
bertentangan, bahkan berlawanan dengan hukum yang menerima
sebagai adil penjajahan itu. Di manakah letak perbedaan yang
menyebabkan pertentangan antara jiwa Pancasila dan pikiran yang
menjiwai hukum yang menerima dan membuka diadakan penjajahan
itu? . . . Berdasarkan itu maka dengan Revolusi kita ini, yang
merupakan Revolusi juga dalam hukum, kita prinsipiil harus
mengubah, artinya tidak mengikuti hukum yang membuka
kemungkinan dapat diadakannya penjajahan; dan dalam pada itu,
dengan diterimanya Pancasila sebagai filsafat Negara kita itu, kita
harus mengikuti cara berpikir sesuai dengan filsafat Pancasila tadi--ialah menurut kepribadian nasional Bangsa Indonesia---yang berarti
mengubah cara berpikir kita yang diajarkan kepada kita menurut
“demokrasi liberal”, tetapi pula tidak mengikuti caranya berpikir
menurut aliran Komunis.
9
10
Soediman, 2010, Id, pada hlm. 236.
Id, hlm. 238, 243.
 27 
Negara Kesejahteraan
Bagi peminat kajian tentang gagasan negara-negara hukum (rule of law;
rechtsstaat), konsep “kesejahteraan sosial” adalah sebuah model alternatif negara
hukum yang lazim disebut negara kesejahteraan (welfare state). Istilah negara
kesejahteraan (welfare state) juga dipakai berkali-kali oleh Hatta.11 Sayangnya,
Soediman tidak cukup elaboratif untuk menjelaskan konsep “kesejahteraan sosial”
versinya, tetapi yang dikemukakannya dan hubungannya dengan revolusi hukum
untuk mewujudkan tujuan bernegara bagi bangsa Indonesia tersebut. Kendati
demikian, Soediman tidak ketinggalan menyinggung beberapa kata kunci penting,
yang ternyata juga di kemudian hari muncul dalam tulisan-tulisan para ahli
hukum kontemporer, seperti oleh Brian Tamanaha dalam bukunya “On the Rule of
Law: History, Politics, Theory”.12
Brian Tamanaha pertama-tama membedakan antara model negara hukum
formal dan negara hukum substansial. Tamanaha menyebutkan tiga hal yang
sering tidak disinggung sebagai aspek pokok negara hukum oleh model negara
hukum formal, yaitu demokrasi (democracy), isi hukum (content of the law), dan
hak asasi manusia (human rights). Demokrasi merupakan mekanisme untuk
memilih pemimpin politik sehingga bisa terbentuk legitimasi kekuasaan untuk
membentuk hukum yang mengikat bagi rakyat. Isi hukum menuntut
penghormatan atas berbagai sistem budaya, sosial, dan politik, sehingga dijamin
tidak akan ada aturan yang opresif dan tak bermoral dapat hadir di tengah
masyarakat. Sementara itu, walaupun dua hal di atas sudah mencakupi, hak asasi
manusia tetap perlu ditambahkan karena perlindungan terhadap hak asasi
manusia merupakan hal mutlak.13
Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato II, Idayu Press, Jakarta, 1983, pada hlm. 169.
Brian Tamanaha, On the Rule of Law : History, Politics, Theory, Cambridge University Press, New
York, 2004.
13 Palombella, G. & Walker N. Eds., Relocating the Rule of Law, Oxford & Portland, Oregon, 2009,
pada hlm. 13–14.
11
12
 28 
Tamanaha kemudian memaparkan enam alternatif formulasi negara
hukum.14 Secara skematis, ia terlebih dulu membagi formulasi tersebut menjadi
dua kategori, yang disebutnya versi formal dan versi substantif. Apa yang
disebutnya dengan kategori formal berasal dari teori-teori formal tentang negara
hukum yang lebih menekankan pada aspek legalitas, sementara kategori subsantif
negara hukum lebih berfokus pada isi, yaitu nilai-nilai keadilan dan moral. Tentu
saja, Tamanaha mengingatkan bahwa dalam versi moral ini juga terdapat
implikasi substantif, demikian juga sebaliknya. Setiap versi ini memuat tiga bentuk
berbeda, bergerak dari perkembangan dari yang lebih tipis (thinner) ke lebih tebal
(thicker). Alhasil ditemukan enam model negara hukum (modifikasi skema oleh
Shidarta), dengan ciri-ciri sebagai berikut:
Versi
formal
Versi
substantif
14
Lebih Tipis
1. RULE-BY-LAW
Transisi
2. LEGALITAS FORMAL
Negara dikonsepkan
bertindak
berlandaskan hukum,
tetapi cenderung
menjadi alat
pemerintah (“rule by
the government”).
Hanya ada sedikit
pembatasan terhadap
kekuasaan pemerintah.
Makna seperti ini sama
seperti “Rechsstaat”
versi Jerman.
Dianut oleh negara
dengan sistem hukum
yang masih belum
demokratis. Norma
hukum sudah dibuat
jelas, tegas, konsisten,
non-retroaktif. Masih
terbuka kemungkinan
negara melakukan
pelanggaran atas hak
asasi manusia, namun
tetap dibenarkan
sepanjang sah menurut
hukum tertulis dari
negara.
5. HAK ATAS KEHORMATAN &/KEADILAN
Negara melindungi hakhak fundamental
masyarakat terkait
persamaan kedudukan
di hadapan hukum
(keadilan). Di sini ada
larangan atas
perbudakan, rasisme,
dll.
4. HAK-HAK
INDIVIDUAL
Negara melindungi
hak-hak individual,
seperti hak privasi, hak
milik, hak kebebasan
berkontrak.
Brian Tamanaha, Id, pada hlm. 91-113.
 29 
Lebih Tebal
3. DEMOKRASI+
LEGALITAS
Dianut oleh negara
dengan sistem hukum
yang sudah demokratis.
Negara mulai
mereduksi perannya
untuk membuat
hukum. Demokrasi
tanpa legalitas, negara
akan kehilangan
legitimasi. Sebaliknya,
legalitas tanpa
demokrasi, negara
akan berbalik menjadi
opresif (circumvented).
6. KESEJAHTERAAN
SOSIAL
Negara memberi
perhatian pada
pemenuhan
kesejahteraan sosial
sebagai tujuan
bernegara dengan tetap
mengusung hak
individu dan
demokrasi.
Berangkat dari skema rumusan negara hukum di atas, tampak bahwa tipe
pertama dan kedua masih belum memuat tiga aspek kunci tersebut. Baru pada
rumusan ketiga, demokrasi dimunculkan, tetapi masih belum bisa sepenuhnya
terlepas dari negara hukum formal. Barulah pada formulasi keempat, kelima, dan
keenam tampak tiga aspek tadi mulai dimasukkan secara makin tebal.
Apabila konsep “kesejahteraan sosial” (welfare state) yang disebutkan oleh
Tamanaha ini disandingkan dengan pemikiran Soediman, sebenarnya terlihat
keduanya memiliki titik singgung. Soediman juga meyakini pentingnya demokrasi,
isi hukum, dan hak asasi manusia. Ada baiknya dapat dicermati apa yang telah
disampaikan oleh Soediman terkait tiga aspek tersebut.
Pertama, tentang demokrasi. Soediman Kartohadiprodjo pernah membuat
satu tulisan agak panjang pada tahun awal tahun 1964 terkait pembelaannya
terhadap demokrasi terpimpin ala Soekarno.15 “… apa yang diajukan Bung Karno
itu adalah tepat, juga dari sudut yuridis,” tegas Soediman Kartohadiprodjo.16
Dalam tulisannya itu ia mencurigai konsep demokrasi yang berlaku saat itu terlalu
dekat dengan individualisme. Soediman khawatir pola demokrasi Barat itu akan
dipakai sebagai patokan yang tidak selalu cocok dengan sistem di Indonesia, yang
kemudian disimpulkan bahwa sistem kita itulah yang keliru dan terlalu
tradisional. Soediman malahan ingin agar demokrasi ala Indonesia yang
disebutnya “Pemerintahan Pancasila” itu sebagai tawaran baru sebagai dasar
pembentukan dunia baru (to build the world anew).
Cara pandang Soediman ini tentu sulit dipahami oleh generasi sekarang
yang menilai, baik Orde Lama maupun Orde Baru, sama-sama tidak mampu
memberi contoh kehidupan demokrasi yang bisa membawa pada “kesejahteraan
sosial”. Sejarah mencatat bahwa Soekarno dan Soeharto turun dari tampuk
kekuasaan dengan kondisi negara yang karut-marut.
Secara konseptual penolakan Soediman terhadap individualisme Barat
tidak membuatnya menolak perlindungan terhadap individu. Sebagai ganti dari
15
16
Soediman, 2010, Id, hlm. 295-329.
Id, pada hlm. 328.
 30 
demokrasi dengan paham individualisme itu digantinya dengan musyawarahmufakat. Soediman Kartohadiprodjo menyatakan musyawarah-mufakat sebagai
cara memperoleh kebahagiaan.17 Di sini, katanya, tidak tertutup kemungkinan ada
perbedaan antara manusia yang hidup berkelompok itu dalam mencari jalan
menuju ke hidup bahagia tadi. Soediman Kartohadiprodjo (mengatakan,
musyawarah, apalagi mufakat, mengandung arti “voorondersteld” (mengandaikan)
adanya perbedaan. 18 Justru karena adanya perbedaan itu, maka diperlukan
musyawarah-mufakat. Perbedaan ini bukan perbedaan kedudukan, tetapi
perbedaan pendapat. Soediman menyatakan, bahwa mengakui adanya perbedaan,
berarti mengakui kepribadian masing-masing manusia yang berkelompok itu.19
Bukan pendapat salah seorang yang akan menguasai pendapat orang-orang
lainnya, tetapi pendapat bersama yang dicapai melalui musyawarah-mufakat.
Dengan demikian, menurut pemikiran bangsa Indonesia, kepribadian individu
tidak saja diakui, tetapi juga dilindungi.
Kedua, tentang isi hukum. Soediman Kartohadiprodjo menyatakan, “Isi
sesuatu (kaidah) hukum disandarkan pada kesadaran hukum pergaulan hidup
yang menciptakan (kaidah) hukum itu. Maka, kalau negara dalam politik
hukumnya juga mencakup isinya hukum, maka negara dalam politik hukumnya itu
tidak dapat mengabaikan kesadaran hukum yang terdapat dalam pergaulan
hidup.” 20 Dapat disimpulkan di sini bahwa Soediman Kartohadiprodjo ingin
memperjelas posisi pemikirannya bahwa berlakunya hukum dalam suatu negara
ditentukan oleh politik hukum negara yang bersangkutan, di samping kesadaran
hukum masyarakat dalam negara itu.21 Jadi, isi hukum adalah kesadaran hukum
masyarakat. Kesadaran hukum ini didefinisikannya sebagai keinginan batin untuk
mencapai keadilan tata-tertib dalam pergaulan hidup manusia.22 Kata “keadilan”
Id, pada hlm. 163.
Id, pada hlm. 170.
19 Id, pada hlm. 163-164.
20 Soediman, 1982, Id, pada hlm. 38.
21 Id, pada hlm. 46.
22 Id, pada hlm. 38.
17
18
 31 
di sini dilekatkannya dengan “tata tertib”. Keduanya, di dalam wacana filsafat
hukum memang sejak lama dipandang seperti dua sisi dari sekeping uang logam.
Di sini terlihat bahwa Soediman berusaha untuk menjelaskan tentang dua
arus kekuatan dalam pembentukan hukum. Arus pertama adalah arus energi yang
disebutnya dengan politik hukum, yaitu energi yang memastikan haluan hukum
Indonesia. Arus ini menentukan sisi formalitas dalam hukum. Sisi formalitas
hukum ini menjamin hukum hadir dan diterapkan dengan penuh ketertiban. Arus
kedua adalah arus nilai yang disebut Soediman sebagai kesadaran hukum
masyarakat. Nilai-nilai ini muncul dalam pergaulan kemasyarakatan (living law).
Dalam suasana demokrasi terpimpin yang cenderung segala keputusan
ditentukan dari atas (top-down), nilai-nilai yang menjadi isi hukum ini dapat
mudah sekali terdistorsi oleh pemegang kekuasaan. Benar bahwa kecenderungan
penyalahgunaan kekuasaan itu sudah coba diatasi dengan beberapa ketentuan
terkait penyelenggaraan negara di dalam konstitusi. Orde Baru menuduh
pemerintahan sebelumnya telah menyimpang dari ketentuan konstitusi. Orde
Baru kemudian berikrar untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Realisasi ikrar ini terbukti “jauh panggang dari api” dalam rangka
membawa negara ke alam “kesejahteraan sosial”.
Ketiga, tentang hak asasi manusia. Menurut Soediman Kartohadiprodjo,
baik demokrasi maupun hak-hak asasi manusia, jiwanya adalah pengakuan dan
perlindungan terhadap individu.23 Pahamnya adalah individualisme, suatu paham
yang disandarkan pada pemikiran “men are created free and equal.” Masingmasing individu menyerahkan kekuasaannya kepada yang bertugas menertibkan
pergaulan hidup, tetapi pada tiap-tiap individu ada kekuasaan yang tidak
terpisahkan dari manusia, yaitu hak-hak asasi manusia.
Soediman mengatakan, kalaupun ada penolakan, maka yang ditolaknya
adalah dasar pemikiran (individualisme) itu, bukan jiwanya. Soediman
mengusulkan pengganti individualisme ini dengan paham kekeluargaan. “Paham
23
Soediman, 2010, Id, hlm. 318.
 32 
kekeluargaan yang berasal dari keluarga ini, dan mengingat corak susunannya
membawa pada kesimpulan bahwa paham kekeluargaan yang menjiwai Pancasila
itu mempunyai tolak pangkal pemikirannya dari “kesatuan dalam Perbedaan;
Perbedaan dalam Kesatuan,” tulis Soediman Kartohadiprodjo.24
Praktik-praktik
kenegaraan
selama
ini
memperlihatkan
paham
kekeluargaan seperti dibayangkan oleh Soediman tidak pernah merefleksikan
gagasan yang dikatakan sejalan dengan Pancasila itu. Kejatuhan Orde Lama
ditandai dengan pembantaian begitu banyak rakyat Indonesia, demikian juga
kejatuhan Orde Baru yang merampas nyawa manusia dengan cara-cara yang jauh
dari semangat kekeluargaan: semangat Kesatuan dan Perbedaan; Perbedaan
dalam Kesatuan.
Eksperimen terhadap gagasan paham kekeluargaan ini mengantarkan
Indonesia pada episode pencarian alternatif gagasan lain yang pernah dintroduksi
oleh Soepomo, yaitu paham negara integralistik. Gagasan ini menimbulkan prokontra karena memiliki kecenderungan untuk mengarahkan negara menjadi
otoriter.
Konsep “kesatuan dalam perbedaan dan perbedaan dalam kesatuan” yang
sering diulang-ulang oleh Soediman ini tentu menarik untuk dikaji dengan
perspektif yang sama seperti penglihatan orang atas paham integralistik Soepomo.
Misalnya, kita dapat mempertanyakan bagaimana konsep tadi memposisikan
individu-individu berhadapan dengan negara? Apakah individu-individu itu
melebur dan kehilangan eksistensinya untuk kemudian menjadi satu negara,
ataukah justru sebaliknya bahwa individu-individu itulah yang sebenarnya eksis
berdiri sendiri sementara negara adalah tatanan yang mereka sepakati sepanjang
ada tujuan bersama. Dengan meminjam istilah dari Aquinas, Franz Magnis-Suseno
menyebut perbedaan kedua jenis eksistensi itu sebagai unum in se dan unum
ordinis. 25 Soepomo memilih konsep pertama, namun bagaimana dengan
24
25
Id, hlm. 319.
Franz Magnis-Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, 1992, hlm. 97-98.
 33 
Soediman? Kesatuan dalam perbedaan sekilas dapat diasosiasikan kepada unum
ordinis, sementara perbedaan dalam kesatuan mengarah ke unum in se.
Pertanyaan
selanjutnya
dapat
pula
diajukan:
apabila
Soediman
menginginkan agar sila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” ini dieja
sebagai kesejahteraan sosial atau kebahagiaan, maka berapa banyak individu yang
bisa disejahterakan dan dibahagiakan itu untuk dapat diklaim sudah terdapat
“kesejahteraan sosial”? Apabila Soekarno mengatakan bahwa dalam prinsip
kesejahteraan sosial itu tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka,
maka orang dapat dengan mudah mengatakan prinsip ini adalah sebuah utopia.
Pengemuka teori-teori keadilan menunjukkan kesejahteraan sangat jarang
dapat didistribusikan secara merata, sehingga akhirnya pasti selalu akan ada
kelompok yang mendapatkan manfaat lebih atas suatu surplus yang hendak
dibagikan. Paham komunisme yang berusaha keras mengatasi hal ini dengan
menciptakan masyarakat
tanpa
kelas, dalam kenyataannya gagal total
mewujudkannya. Soediman, misalnya, tidak sempat menjawab pertanyaan apakah
politik hukum yang memberi “kebahagiaan terbesar untuk jumlah orang terbesar”
masih sejalan dengan kesejahteraan sosial yang Pancasilais?
Umumnya isu tentang keadilan muncul ketika ketidakadilan terjadi. Dalam
filsafat politik, negara dianjurkan untuk menghindari munculnya ketidakadilan
akibat struktur politik, sosial, dan ekonomi yang berlangsung secara tidak fair.
Ketidakadilan struktural seperti inilah yang harus dicegah oleh negara. Soediman
mencermati hukum peninggalan kolonial secara struktural telah menciptakan
ketimpangan-ketimbangan sosial ini, dengan sengaja mendesain privelese bagi
satu kelompok sosial dan secara bersamaan memarginalkan kelompok sosial
lainnya.
Di era kemerdekaan, sistem hukum Indonesia yang akan dibangun harus
menghindari dari cara-cara berhukum seperti ini. Hanya saja, Soediman
menyadari bahwa tidak mudah untuk menggantikan sistem hukum peninggalan
kolonial itu. Untuk itulah ia memperkenalkan gagasan tentang revolusi hukum.
 34 
Sekilas istilah “revolusi hukum” ini akan membawa kita kepada makna sebagai
upaya mengubah secara cepat dan masif pemaknaan konsep-konsep hukum untuk
disesuaikan dengan kepentingan kita sebagai bangsa yang merdeka. Benarkah
seperti itu yang dimaksud oleh Soediman? Lalu, siapa dan bagaimana melakukan
revolusi hukum tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, ada satu sekuens
menarik dari tulisan Soediman ketika ia mengomentari apa yang telah dilakukan
oleh Wakil Menteri Pertama Urusan Dalam Negeri/Menteri Kehakiman Sahardjo
saat menerbitkan Surat Edaran Nomor 3/1963 tanggal 4 Agustus 1963. Surat
edaran ini memita agar para penguasa, terutama para hakim untuk lebih leluasa
mengenyampingkan beberapa pasal dari Burgerlijk Wetboek (BW) yang sudah
tidak sesuai dengan zaman kemerdekaan Indonesia. Atas dasar surat edaran ini,
Mahkamah Agung lalu menyatakan tidak belaku lagi beberapa pasal dalam BW,
yaitu Pasal 108, 110, 284 ayat (3), 1682, 1579, 1238, 1460, 1603x ayat (1) dan
ayat (2). Soediman Kardohadiprodjo menelisik langkah Sahardjo dengan kata-kata
sebagai berikut:26
Gagasan Dr. Sahardjo ini nampaknya lahir dari rasa tidak puas bahwa
kita yang dalam keadaan revolusi dengan tujuan membina suatu
masyarakat berdasarkan filsafat Bangsa Indonesia, Panca Sila,
terpaksa masih harus membiarkan berjalannya peraturan-peraturan
hukum yang dasar pikirannya berlainan, bahkan dapat dikatakan
bertentangan dengan apa yang menjadi cita-cita kita, hanya karena
sesuatu keadaan formil, yaitu bahwa kita belum sempat merobah dan
mengganti ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan cita-cita kita.
Rasa inilah nampaknya yang menjadi sumber gagasan Dr. Sahardjo
itu. Kalau itu benar, maka inti dari pada gagasan itu adalah masalah
penafsiran. Bukankah yang merupakan persoalan itu adalah:
bagaimanakah kita akan menjalankan ketentuan-ketentuan yang ada
tetapi yang tidak sesuai dengan cita-cita kita tentang hukum itu?
Bukankah cara menjalankan peraturan itu adalah penafsiran
peraturan?
26
Soediman, 1982, Ibid, hal. 243.
 35 
Soediman menegaskan bahwa ia setuju sepenuhnya dengan apa yang
dimaksudkan oleh Sahardjo dengan gagasannya itu, namun ia buru-buru
menggugat dengan pertanyaan: “Tetapi perlukah ini menjalankan sesuatu yang
begitu ‘drastis’ (teristimewa)? Apakah tidak ada jalan lain? Jalan yang lebih
luwes?”.27 Artinya, Soediman tidak setuju revolusi hukum ini dilakukan dengan
cara yang drastis. Ia lebih memilih jalan yang lebih luwes!
Apa yang dimaksud dengan jalan luwes tersebut lagi-lagi tidak ditemukan
secara eksplisit dalam tulisan Soediman. Ia hanya mengatakan, persoalannya
terletak pada penafsiran. Boleh jadi, ia ingin agar pasal-pasal itu tidak harus
secara drastis dicabut namun tafsir maknanya saja yang disesuaikan. Saran ini
justru kontradiksi dengan ulasannya dalam menyikapi Pasal 163 de Indische
Staatsregeling (IS). Ia merasa gelisah karena pasal ini masih diikuti sebagai aturan
penggolongan penduduk di Indonesia ketika itu. Ia menyatakan: “Tafsiran ini yang
pada umumnya diikuti selama zaman kolonial, sekarangpun masih berlaku.
Keadaan ini sangat mengecewakan, tetapi selama politik hukum kita, istemewa
mengenai hukum perdata nasional, belum ditentukan dengan tegas, dan
karenanya pasal 163 IS itu masih berlaku, maka tafsir ini terpaksa harus kita
lakukan”.28
Kata-kata “tafsir ini terpaksa harus kita lakukan” memperlihatkan sikap
yang terbilang ambivalen dalam suatu revolusi hukum yang disarankan oleh
Soediman. Tampak bahwa beliau masih mengharapkan agar ketentuan Pasal 163
IS itulah yang harus diubah (bahkan dicabut?) baru kemudian kita bisa
menyesuaikannya dengan tafsir baru.
Penutup
Jika kembali kepada pertanyaan awal: apakah sebenarnya makna keadilan
sosial bagi bangsa Indonesia menurut pandangan Soediman Kartohadiprodjo dan
27
28
Id.
Id, pada hlm. 57.
 36 
bagaimana kaitannya dengan gagasan revolusi hukum yang diajukannya, maka
dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, keadilan sosial dalam pandangan Soediman adalah sebuah
gagasan yang sangat abstrak. Walaupun ia memulai analisisnya dengan
menyatakan bahwa tiap-tiap individu pasti memiliki empat unsur atau alat
perlengkapan hidupnya, yakni raga, rasa, rasio, dan [hidup dengan] rukun,
Soediman tidak ingin terjerumus pada paham individualistis. Ia menekankan
pentingnya keempat hal di atas untuk dijaga dengan sebaik-baiknya agar ada
ketenteraman, keseimbangan, dan harmoni. Kemampuan menjaga keempat hal ini
dimaknainya dengan kebahagiaan. Jadi, keadilan sosial adalah kesejahteraan
sosial. Kesejahteraan sosial adalah kebahagiaan.
Kedua, apabila kata kunci dari keadilan sosial adalah kesejahteraan dan
kebahagiaan, maka tatkala kata-kata kunci tersebut diterapkan di dalam konteks
negara hukum, gagasan ini seharusnya dapat juga dibaca sebagai gagasan negara
[hukum] kesejahteraan. Pandangan kekinian selalu melekatkan konsep negara
[hukum] kesejahteraan ini dengan demokrasi, isi hukum, dan hak asasi manusia.
Tampak ada paradoks pemikiran Soediman terkait ketiga komponen penting
konsep negara [hukum] kesejahteraan ini. Paradoks ini terjadi karena sikap
politik Soediman yang terkesan kuat sangat suportif terhadap pandanganpandangan Soekarno.
Ketiga, revolusi hukum dimaknai oleh Soediman sebagai perubahan
kesadaran hukum untuk hidup sebagai bangsa merdeka. Untuk itu, ia ingin agar
penafsiran terhadap sistem hukum positif yang diwarisi dari kaum penjajah juga
harus diubah, misalnya tentang
komposisi penduduk Indonesia yang masih
berpegang pada Pasal 163 IS. Pandangannya tentang revolusi hukum yang harus
luwes dan tidak drastis ini memperlihatkan suatu ‘contradictio in terminis’
terhadap kata revolusi itu sendiri.
Keempat, permikiran Soediman tentang keadilan sosial dan revolusi
hukum (sebagai bagian dari revolusi total Soekarno) memberi penguatan pada
 37 
gagasan-gagasan besar dari Soekarno, tokoh yang demikian inspiratif bagi
Soediman. Jika gagasan Soediman ini dibaca ulang dalam konteks yang sudah
berubah di era sekarang, diperlukan penyesuaian-penyesuaian pemikiran sesuai
konteks pada saat ini.
Daftar Pustaka
Darmodiharjo, Darji & Shidarta (1996). Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila dalam
Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada/Rajawali Pers.
Hatta, Mohammad (1983). Kumpulan Pidato II. Jakarta: Idayu Press.
Kartohadiprodjo, Soediman (1982). Pengantar Tata Hukum di Indonesia. Jilid I:
Hukum Perdata. Jakarta: PT Pembangunan & Ghalia Indonesia.
Kartohadiprodjo, Soediman (2010). Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa
Indonesia. Jakarta: Gatra Pustaka.
Latif, Yudi (2011). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Magnis-Suseno, Franz (1992). Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius.
Palombella, G. & Walker N. Eds. (2009). Relocating the Rule of Law. Oregon: Oxford
& Portland.
Shidarta (1996). “Mengkaji Kembali Keberadaan Sistem Hukum Indonesia.”
Majalah Hukum Trisakti, Tahun 21/No.21/Januari 1996: 59-77.
Shidarta (2008). Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir.
Bandung: Refika Aditama.
Shidarta (2013). Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum. Yogyakarta: Genta
Publishing.
Shidarta (2015). “Membaca Ulang Pemaknaan Keadilan Sosial dan Gagasan
Revolusi Hukum Soediman Kartohadiprodjo.” Makalah seminar dalam rangka
lomba debat hukum Piala Soediman Kartohadiprodjo, Fakultas Hukum
Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 6 Maret 2015.
Shidarta & Anthon F. Susanto (2014). Pengembangan Hukum Teoretis. Bandung:
Logoz.
Tamanaha, Brian. (2004). On the Rule of Law: History, Politics, Theory. New York:
Cambridge University Press.
 38 
Download