Juknis Manajemen TB Anak 2013

advertisement
Juknis
TB Anak
614.542
Ind
P
PETUNJUK TEKNIS
MANAJEMEN TB ANAK
DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN
PENYEHATAN LINGKUNGAN
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2013
Juknis Manajemen TB Anak
1
Juknis
TB Anak
2
Juknis Manajemen TB Anak
614.542
Ind
P
PETUNJUK TEKNIS
MANAJEMEN TB ANAK
DIREKTORAT JENDERAL PENGENDALIAN PENYAKIT DAN
PENYEHATAN LINGKUNGAN
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
2013
614.542
Ind
P
Katalog Dalam Terbitan. Kementerian Kesehatan RI
Indonesia. Kementerian Kesehatan RI. Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan
Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak.__
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2013
ISBN 978-602-235-3436-9
1. Judul
I. TUBERCULOSIS – PREVENTION AND CONTROL
II. CHILD HEALTH SERICES III. COMMUNICABLE DISEASE
Juknis
TB Anak
KATA PENGANTAR
Tuberkulosis (TB) pada anak merupakan masalah khusus yang berbeda
dengan TB pada orang dewasa. Perkembangan penyakit TB pada anak saat
ini sangat pesat. Sekurang-kurangnya 500.000 anak di dunia menderita TB
setiap tahun. Di Indonesia proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB
yang ternotifikasi dalam program TB berada dalam batas normal yaitu 8-11
%, tetapi apabila dilihat pada tingkat provinsi sampai fasilitas pelayanan
kesehatan menunjukkan variasi proporsi yang cukup lebar yaitu 1,8 – 15,9%.
Untuk menangani permasalahan TB anak telah diterbitkan berbagai panduan
tingkat global. TB pada anak saat ini merupakan salah satu komponen penting
dalam pengendalian TB, dengan pendekatan pada kelompok risiko tinggi,
salah satunya adalah anak mengingat TB merupakan salah satu penyebab
utama kematian pada anak dan bayi di negara endemis TB.
Penatalaksanaan kasus TB pada anak merupakan upaya komprehensif,
yang menggabungkan aspek klinis, program serta upaya kesehatan masyarakat.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan penyusunan buku Panduan
Manajemen dan Tatalaksana TB Anak yang diharapkan dapat menjembatani
ketiga aspek tersebut.
Buku panduan ini dimaksudkan untuk menjadi pegangan seluruh Fasilitas
Pelayanan Kesehatan baik Puskesmas, Balai Kesehatan Paru Masyarakat,
Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat, Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru
sampai Rumah Sakit untuk mempermudah petugas di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan dalam melakukan tatalaksana TB pada anak.
Juknis Manajemen TB Anak
i
Juknis
TB Anak
Akhirnya kami sampaikan penghargaan dan terima kasih kepada tim
penyusun dan narasumber serta berbagai pihak yang telah berkontribusi
dalam penyusunan petunjuk teknisg ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat
bagi semua pihak terkait, khususnya dalam upaya meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat.
Jakarta, Nopember 2013
Direktur Jenderal PP & PL
Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama
NIP 195509031980121001
ii
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
KATA SAMBUTAN
Ketua Kelompok Kerja Nasional Tuberkulosis Anak
Assalamu’alaikum wr.wb
Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan
TB paru orang dewasa. Masalah yang dihadapi pada TB anak adalah masalah
diagnosis, pengobatan dan pencegahan. Gejala dan tanda TB anak sering tidak
khas, sehingga perlu ketelitian dalam anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Populasi basil TB paru anak sangat sedikit (paucibacillary) sehingga
sulit mendapatkan basil TB untuk konfirmasi diagnosis TB. Mendiagnosis TB
pada anak membutuhkan anamnesis dan analisis yang teliti, adanya kontak
dengan TB dewasa aktif, pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya seperti uji
kulit tuberkulin dan foto rontgen. Dengan menganalisis hasil pemeriksaan
yang teliti dapat dihindari overdiagnosis atau underdiagnosis TB anak. Dosis
obat anti Tuberkulosis pada anak relatif lebih tinggi daripada dewasa karena
perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik.
Dengan diagnosis yang tepat dan pengobatan dengan dosis yang tepat
maka akan meningkatkan kualitas hidup anak dan tumbuh kembang anak
yang optimal sesuai dengan potensi genetiknya.
Buku petunjuk teknis ini diharapkan dapat dipakai di berbagai tingkat
fasilitas pelayanan kesehatan dan dapat membantu dalam diagnosis TB anak
dan pengobatannya. Buku ini dapat digunakan oleh mahasiswa kedokteran,
dokter umum dan dokter spesialis.
Juknis Manajemen TB Anak
iii
Juknis
TB Anak
Kami sampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang
telah membantu terbitnya buku ini.
Wassalamu’alaikum wr.wb
Jakarta, Nopember 2013
Ketua Kelompok Kerja Nasional
Tuberkulosis Anak (Pokja TB Anak)
Nastiti N. Rahajoe, Dr, SpA(K)
iv
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
DAFTAR KONTRIBUTOR
Pengarah
Prof .Dr. Tjandra Yoga Aditama
Dr . Slamet, MHP
Penanggung jawab
Drg. Dyah Erti Mustikawati, MPH
Editor
Dr. Triya Novita Dinihari
Dr. Retno Kusuma Dewi
Kontributor
Dr. Nastiti Noenoeng Rahajoe, SpA(K)
Dr .Darmawan B Setyanto , SpA(K)
Dr. Nastiti Kaswandani, SpA(K)
Dr Rina Triasih, SpA(K)
Dr. Wahyuni Indawati, SpA
Dr. Landia Setiawati, SpA(K)
Dr. Finny Fitry Yani, SpA(K)
Dr. M Syarofil Anam, SpA
Dr. Retno Asih Setyoningrum, SpA(K)
Dr. Ery Olivianto, SpA
Dr. Fifi Sofiah, SpA
Dr. Tjatur KS, SpA
Dr. Ida Bagus Subanada, SpA(K)
Dr. Khairiyadi, SpA
Dr Bob Wahyudin , SpA
Dr. Dewi Kartika
Dr. Retno Kusuma Dewi
Dr. Triya Novita Dinihari
Dr. Vanda Siagian
Dr. Setya Budiono
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
Pokja TB Anak, UKK Respirologi, IDAI
UKK Respirologi, IDAI
UKK Respirologi, IDAI
UKK Respirologi, IDAI
UKK Respirologi, IDAI
UKK Respirologi, IDAI
UKK Respirologi, IDAI
UKK Respirologi, IDAI
Ditjen PP dan PL, Subdit TB
Ditjen PP dan PL, Subdit TB
Ditjen PP dan PL, Subdit TB
Pengelola Program TB Prov Jatim
Juknis Manajemen TB Anak
v
Juknis
TB Anak
Dr. Anastasia Tri Yuli Susanti
Dr. Fify Mulyani
Anita Nur Fajri, SKM, MKes
Eneng Nuraini, SKM
Dr. Hari Basuki
Dr. HD Djamal
Dr. Setiawan Jati Laksono
Dr Maria Regina Loprang
Drg. Endang Nuraini
vi
Juknis Manajemen TB Anak
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Pengelola Program TB Prov Jateng
Pengelola Program TB Prov DKI Jakarta
Pengelola Program TB Prov Jabar
Pengelola Program TB Prov Banten
Master Trainer TB
Master Trainer TB
WHO
WHO
KNCV
Juknis
TB Anak
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... i
KATA SAMBUTAN............................................................................................................. iii
DAFTAR KONTRIBUTOR............................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................................... vii
BAB I
BAB II BAB III
BAB IV BAB V BAB VI BAB VII PENDAHULUAN........................................................................................... 1
A. Epidemiologi....................................................................................... 1
B. Patogenesis.......................................................................................... 2
DIAGNOSIS TB PADA ANAK.................................................................... 7
A. Penemuan Pasien TB Anak............................................................ 7
B. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak............8
C . Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring.................11
D . Tuberkulosis Anak Dalam Keadaan Khusus..........................16
E . Klasifikasi dan Definisi Kasus TB anak.................................... 24
PENGOBATAN TB ANAK.......................................................................... 27
A. Paduan OAT Anak.............................................................................. 27
B. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Anak........................31
MANAJEMEN TUBERKULOSIS PERINATAL.....................................34
MANAJEMEN TB HIV PADA ANAK....................................................... 39
MANAJEMEN TB RESISTEN OBAT PADA ANAK.............................44
A. Definisi................................................................................................... 44
B. Diagnosis TB MDR pada anak...................................................... 44
C. Prinsip penatalaksanaan TB MDR pada anak.......................45
D. Alur Tata Laksana Anak yang diobati TB MDR dan HIV...48
PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PADA ANAK..................................49
A. Vaksinasi BCG pada Anak............................................................... 49
B. Skrining dan Manajemen Kontak.............................................. 50
C. Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid...........................52
Juknis Manajemen TB Anak
vii
Juknis
TB Anak
BAB VIII PENCATATAN, PELAPORAN DAN INDIKATOR TB ANAK..........54
BAB IX PERAN, TUGAS POKOK DAN FUNGSI FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN DALAM TATALAKSANA TB ANAK.............................66
BAB X PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TB......................71
BAB XI DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 74
Lampiran 1. Pelaksanaan Uji Tuberkulin............................................................. 75
Lampiran 2 Pengambilan Sampel pada Anak...................................................... 80
Lampiran 3 Perhitungan status gizi pada anak.................................................. 85
viii
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
BAB I
PENDAHULUAN
A.Epidemiologi
Epidemiologi Tuberkulosis adalah rangkaian gambaran informasi
yang menjelaskan beberapa hal terkait orang, tempat, waktu dan
lingkungan. Secara sistematis dan informatif menguraikan sejarah
penyakit tuberkulosis, prevalens tuberkulosis, kondisi infeksi tuberkulosis
dan cara/ risiko penularan serta upaya pencegahannya.
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB Anak
adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun.
Cara Penularan:
• Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa
maupun anak.
• Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya,
kecuali anak tersebut BTA positif atau menderita adult type TB.
• Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan,
lama pajanan, daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif
memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada
pasien TB dengan BTA negatif.
• Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan
menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif
adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah
26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks
positif adalah 17%.
Besaran masalah TB Anak
• Tuberkulosis anak merupakan faktor
penting di negara-negara berkembang
karena jumlah anak berusia kurang dari
15 tahun adalah 40−50% dari jumlah
seluruh populasi (Gambar ).
Jumlah populasi berdasarkan usia
(IJTLD 2004; 8:627−9).
Juknis Manajemen TB Anak
1
Juknis
TB Anak
• Sekurang-kurangnya 500.000 anak menderita TB setiap tahun
• 200 anak di dunia meninggal setiap hari akibat TB, 70.000 anak
meninggal setiap tahun akibat TB
• Beban kasus TB anak di dunia tidak diketahui karena kurangnya
alat diagnostik yang “child-friendly” dan tidak adekuatnya sistem
pencatatan dan pelaporan kasus TB anak.
• Diperkirakan banyak anak menderita TB tidak mendapatkan
penatalaksanaan yang tepat dan benar sesuai dengan ketentuan
strategi DOTS. Kondisi ini akan memberikan peningkatan dampak
negatif pada morbiditas dan mortalitas anak.
• Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak
di antara semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian
menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila
dilihat data per provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari
1,8% sampai 15,9%. Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB
anak masih sangat bervariasi pada level provinsi. Kasus TB Anak
dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4 tahun dan 5-14 tahun,
dengan jumlah kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang lebih
tinggi dari kelompok umur 0-4 tahun. Kasus BTA positif pada TB
anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak, sedangkan
tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.
B.Patogenesis
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi
TB. Kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya
sangat kecil (<5 µm), akan terhirup dan dapat mencapai alveolus..
Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh
mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons
imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit
kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian
kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang
biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag.
Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang
dinamakan fokus primer Ghon.
2
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe
menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai
saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan
terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus
(perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer,
limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary
complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu
waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala
penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya
berlangsung selama 4−8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman
berkembang biak hingga mencapai jumlah 103–104, yaitu jumlah yang
cukup untuk merangsang respons imunitas selular
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah
terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB
terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji
tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun
yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi
kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap
hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB
baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas
selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru
biasanya akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis
atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar
limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun
dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Juknis Manajemen TB Anak
3
Juknis
TB Anak
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di
paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar
dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis
perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran
normal pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang
berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada
bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen
distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi
total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi
dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding
bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula.
Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut
sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen,
kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer,
atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi
penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen
inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam
bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread).
Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi
sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian
akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan
kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain
seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di
sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula
dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus
Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB
apeks paru saat dewasa.
4
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran
hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread).
Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam
darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.
Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi
infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman
TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis
diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host)
dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita)
terutama di bawah dua tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di
dinding vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah
besar kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis,
sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute
generalized hematogenic spread
Juknis Manajemen TB Anak
5
Juknis
TB Anak
*1)
*4)
*Catatan:
1.Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenic spread).
Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi
yang baik. Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan limfadenitis
regional (3).
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.
4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB (endogen) atau
reinfeksi (infeksi sekunder) oleh kuman TB dari luar (eksogen), ini disebut TB tipe
dewasa (adult type TB)
6
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
BAB II
DIAGNOSIS TB PADA ANAK
A. Penemuan Pasien TB Anak
Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada :
1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.
Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal serumah
atau sering bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB menular
adalah terutama pasien TB yang hasil pemeriksaan sputumnya BTA
positif dan umumnya terjadi pada pasien TB dewasa. Pemeriksaan
kontak erat ini akan diuraikan secara lebih rinci dalam pembahasan
pada bab profilaksis TB pada anak.
2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB
anak.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang
paling sering terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa
gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Perlu ditekankan
bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga
dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.
Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:
1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik
dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya
perbaikan gizi yang baik.
2. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).
Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan
gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala
sistemik/umum lain.
3. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda
atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk
telah dapat disingkirkan.
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal
tumbuh (failure to thrive).
5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku diare.
Juknis Manajemen TB Anak
7
Juknis
TB Anak
Gejala klinis spesifik terkait organ
Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang
terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan
kulit, adalah sebagai berikut:
1. Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio colli):
Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi
kenyal, tidak nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens.
2. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
• Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai
gejala akibat keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
• Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
3. Tuberkulosis sistem skeletal:
• Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
• Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda
peradangan di daerah panggul.
• Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa
sebab yang jelas.
• Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
4.Skrofuloderma:
Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus
(skin bridge).
5. Tuberkulosis mata:
• Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
• Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
6. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal
dicurigai bila ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut
tanpa sebab yang jelas dan disertai kecurigaan adanya infeksi TB.
B. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak
TB merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian
yang cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya
penyakit menular yang lain adalah dengan menemukan kuman penyebab
TB yaitu kuman Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan sputum,
bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.
8
Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi
yang terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
langsung atau biopsi jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan
biakan kuman TB. Pada anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi yang sering digunakan
tidak direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana
diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat
Edaran pada bulan Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode
serologi untuk penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit
dilakukan pada anak karena sulitnya mendapatkan spesimen. Spesimen
dapat berupa sputum, induksi sputum atau pemeriksaan bilas lambung
selama 3 hari berturut-turut, apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan
penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan histopatologi
(PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan gambaran yang khas.
Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis
perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia
langhans dan atau kuman TB.
Perkembangan Terkini Diagnosis TB
Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk
meningkatkan ketepatan diagnosis TB anak, diantaranya pemeriksaan
biakan dengan metode cepat yaitu penggunaan metode cair, molekular
(LPA=Line Probe Assay) dan NAAT=Nucleic Acid Amplification Test) (misalnya
Xpert MTB/RIF). Metode ini masih terbatas digunakan di semua negara
karena membutuhkan biaya mahal dan persyaratan laboratorium tertentu.
WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah
mengeluarkan rekomendasi pada tahun 2011 untuk menggunakan Xpert
MTB/RIF. Update rekomendasi WHO tahun 2013 menyatakan pemeriksaan
Xpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis TB MDR pada anak,
dan dapat digunakan untuk mendiagnosis TB pada anak ada beberapa
kondisi tertentu yaitu tersedianya teknologi ini. Saat ini data tentang
penggunaan Xpert MTB/RIF masih terbatas yaitu menunjukkan hasil yang
lebih baik dari pemeriksaan mikrokopis, tetapi sensitivitasnya masih lebih
rendah dari pemeriksaan biakan dan diagnosis klinis, selain itu hasil Xpert
MTB/RIF yang negatif tidak selalu menunjukkan anak tidak sakit TB.
Cara Mendapatkan sampel pada Anak
1.Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak yang
Juknis Manajemen TB Anak
9
Juknis
TB Anak
mampu mengeluarkan dahak. Kemungkinan mendapatkan hasil positif
lebih tinggi pada anak >5 tahun.
2. Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan pada
anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen
dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada pagi hari.
3. Induksi Sputum
Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak
semua umur, dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung,
terutama apabila menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa
dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan peralatan
yang memadai untuk melaksanakan metode ini.
Secara lebih lengkap metode ini dijelaskan pada lampiran.
Berbagai penelitian menunjukkan organ yang paling sering berperan
sebagai tempat masuknya kuman TB adalah paru karena penularan TB
sebagai akibat terhirupnya kuman M.tuberculosis melalui saluran nafas
(inhalasi). Atas dasar hal tersebut maka baku emas cara pemeriksaan
untuk menegakkan diagnosis TB adalah dengan cara menemukan kuman
dalam sputum. Namun upaya untuk menemukan kuman penyebab TB pada
anak melalui pemeriksaan sputum sulit dilakukan oleh karena sedikitnya
jumlah kuman dan sulitnya pengambilan spesimen sputum.
10
Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak dapat
dilakukan penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan gejala klinis
dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat
dengan pasien TB menular merupakan salah satu informasi penting untuk
mengetahui adanya sumber penularan. Selanjutnya, perlu dibuktikan
apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan uji tuberkulin.
Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi hipersensitifitas
terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak
langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam
tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin
positif) belum tentu menderita TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya
tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk melawan kuman TB. Bila
daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien tersebut secara klinis akan
tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi TB laten. Namun
apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu mengendalikan
kuman, maka anak akan menjadi menderita TB serta menunjukkan gejala
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
klinis maupun radiologis. Gejala klinis dan radiologis TB anak sangat tidak
spesifik, karena gambarannya dapat menyerupai gejala akibat penyakit
lain. Oleh karena itulah diperlukan ketelitian dalam menilai gejala klinis
pada pasien maupun hasil foto toraks.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan
diagnosis TB pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan
melakukan uji tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang tersedia di
Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute
Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji tuberkulin belum tersedia
di semua fasilitas pelayanan kesehatan. Cara melaksanakan uji tuberkulin
terdapat pada lampiran.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan
foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena
juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan
foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali
gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang
TB adalah sebagai berikut:
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
(visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks
lateral)
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d.Milier
e.Atelektasis
f.Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h.Tuberkuloma
C . Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring
Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik
dapat dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik
yang tersedia, dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal
sebagai sistem skoring. Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji
coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahli yang IDAI, Kemenkes
dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah satu cara untuk
mempermudah penegakan diagnosis TB anak terutama di fasilitas
Juknis Manajemen TB Anak
11
Juknis
TB Anak
pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan
agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan
penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya
underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai
berikut:
• Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular
mempunyai nilai tertinggi yaitu 3.
• Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan
diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring.
• Pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB
dan mendapat OAT.
Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan
OAT (Obat Anti Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil
pengobatan secara cermat terhadap respon klinis pasien. Apabila respon
klinis terhadap pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan
apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka sebaiknya pasien
segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut.
12
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang
TB di fasyankes
Parameter
Kontak TB
Uji tuberkulin
(Mantoux)
Berat Badan/
Keadaan Gizi
0
Tidak
jelas
Negatif
-
Demam yang
tidak diketahui
penyebabnya
Batuk kronik
Pembesaran kelenjar
limfe kolli, aksila,
inguinal
Pembengkakan
tulang/sendi panggul,
lutut, falang
Foto toraks
Normal/
kelainan
tidak jelas
1
BB/TB<90% atau
BB/U<80%
≥2 minggu
2
3
Skor
Laporan keluarga, BTA (+)
BTA (-) / BTA tidak
jelas/ tidak tahu
Positif (≥10 mm
atau ≥5 mm pada
imunokompromais)
Klinis gizi buruk
atau BB/TB<70%
atau BB/U<60%
-
≥3 minggu
≥1 cm, lebih dari 1
KGB, tidak nyeri
-
-
Ada pembengkakan
-
-
Gambaran sugestif
(mendukung) TB
-
Skor Total
Gambar Alur diagnosis dan tatalaksana TB Anak di Puskesmas
Juknis Manajemen TB Anak
13
Juknis
TB Anak
Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, pasien dirujuk ke
fasilitas pelayanan kesehatan rujukan:
1. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura atau milier atau kavitas
2. Gibbus, koksitis
3. Tanda bahaya:
Kejang, kaku kuduk
Penurunan kesadaran
Kegawatan lain, misalnya sesak napas
14
Catatan:
Parameter Sistem Skoring:
Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada
bukti tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa
diperoleh dari TB 01 atau dari hasil laboratorium.
Penentuan status gizi:
— Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang
(moment opname).
— Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status
gizi untuk anak usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes,
sedangkan untuk anak usia >5 tahun merujuk pada kurva CDC 2000
(lihat lampiran).
— Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi
selama 1 bulan.
Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik
setelah diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas
Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa:
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat,
atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan
infiltrat, tuberkuloma.
Penegakan Diagnosis
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Apabila di
fasilitas pelayanan kesehatan tersebut tidak tersedia tenaga dokter,
pelimpahan wewenang terbatas dapat diberikan pada petugas
kesehatan terlatih strategi DOTS untuk menegakkan diagnosis dan
tatalaksana TB anak mengacu pada Pedoman Nasional.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6 (skor maksimal 13)
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA
positif dan hasil uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka
dilakukan observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur
anak tersebutFoto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada
TB anak
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang
meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih
lanjut
Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala
klinis lain, pada fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka
dapat didiagnosis, diterapi dan dipantau sebagai TB anak. Pemantauan
dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat perbaikan klinis,
maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai.
Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG
dicurigai telah terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring
TB anak
Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB
Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas
(uji tuberkulin dan atau foto toraks belum tersedia) maka evaluasi
dengan sistem skoring tetap dilakukan, dan dapat didiagnosis TB
dengan syarat skor ≥ 6 dari total skor 13.
Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan
klinis sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor
penyebab lain misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta,
gizi buruk, TB MDR maupun masalah dengan kepatuhan berobat dari
pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke RS.
Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal
yang ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis.
Juknis Manajemen TB Anak
15
Juknis
TB Anak
Algoritma Tatalaksana TB Anak
16
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
D . Tuberkulosis Anak Dalam Keadaan Khusus
Sebagian besar kasus TB anak adalah kasus TB paru dengan lesi
minimal dengan gejala klinis yang ringan, tidak mengancam kehidupan
ataupun menimbulkan kecacatan. Pada beberapa kasus, dapat muncul
gejala klinis yang berat seperti TB meningitis, TB milier, dll.
Tingkat layanan primer dengan fasilitas terbatas, mungkin tidak mampu
melakukan diagnosis dan tatalaksana pasien TB dengan gejala klinis yang
berat. Dokter dan petugas layanan primer harus mampu mengenali gejala
awal TB dengan gejala klinis yang berat dan mengetahui waktu yang tepat
untuk merujuk. Sehubungan dengan itu, akan diuraikan secara ringkas,
hal- hal yang penting untuk pengenalan dan tatalaksana awal kasus TB
dengan gejala klinis yang berat pada anak. Pelayanan kesehatan sekunder
wajib mencatat kasus TB dengan gejala klinis yang berat ini sesuai dengan
Program Nasional Pengendalian TB
1. TB dengan konfirmasi bakteriologis
Pada anak kuman TB sangat sulit ditemukan disamping karena
sulitnya mendapatkan spesimen pemeriksaan, TB anak bersifat
paucibacillary (kuman sedikit). Sehingga tidak ditemukannya kuman
TB pada pemeriksaan dahak tidak menyingkirkan diagnosis TB anak.
TB dengan konfirmasi bakteriologis terdiri dari hasil positif baik dengan
pemeriksaan BTA, biakan maupun tes cepat.
TB anak yang sudah mengalami perjalanan penyakit post primer, dapat
ditemukan hasil BTA positif pada pemeriksaan dahak, sama dengan
pada dewasa. Hal ini biasa terjadi pada anak usia remaja awal. Anak
dengan BTA positif ini memiliki potensi untuk menularkan kuman M
tuberculosis kepada orang lain di sekitarnya. Oleh karena itu pada anak
terutama dengan gejala utama batuk dan dapat mengeluarkan dahak
sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan dahak mikroskopis.
Selain itu apabila memungkinkan, spesimen untuk pemeriksaan
laboratorium dapat diperoleh melalui aspirasi dahak, bilasan lambung
atau induksi sputum,
Berdasarkan data Program TB Kementerian Kesehatan pada tahun
2011, prosentase kasus TB BTA positif pada anak 0-14 tahun adalah
6,3 % dari seluruh kasus TB anak, angka ini meningkat dari tahun 2010
yaitu sebesar 5,3%.
Juknis Manajemen TB Anak
17
Juknis
TB Anak
2. Tuberkulosis Meningitis
Tuberkulosis meningitis, merupakan salah satu bentuk TB pada
Sistem Saraf Pusat yang sering ditemukan pada anak, dan merupakan
TB dengan gejala klinis berat yang dapat mengancam nyawa, atau
meninggalkan gejala sisa pada anak.
Anak biasanya datang dengan keluhan awal demam lama, sakit kepala,
diikuti kejang berulang dan kesadaran menurun khususnya jika
terdapat bukti bahwa anak telah kontak dengan pasien TB dewasa BTA
positif. Apabila ditemukan gejala-gejala tersebut, harus segera dirujuk
ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada keadaan ini, diagnosis
dengan sistem skoring tidak direkomendasikan.
Di rumah sakit rujukan, akan dilakukan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan dilengkapi dengan uji tuberkulin, laboratorium darah serta
pengambilan cairan serebrospinal untuk dianalisis. Apabila didapatkan
tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti muntah-muntah dan
edema papil, perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala atau MRI,
untuk mencari kemungkinan komplikasi seperti hidrosefalus. Apabila
keadaan anak dengan TB meningitis sudah melewati masa kritis, maka
pemberian OAT dapat dilanjutkan dan dipantau di fasilitas pelayanan
kesehatan primer.
3. TB Milier
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB dengan gejala klinis
berat dan merupakan 3—7% dari seluruh kasus TB, dengan angka
kematian yang tinggi (dapat mencapai 25% pada bayi). TB milier terjadi
oleh karena adanya penyebaran secara hematogen dan diseminata, bisa
ke seluruh organ, tetapi gambaran milier hanya dapat dilihat secara
kasat mata pada foto torak. Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh 3
faktor, yaitu
1.kuman M. tuberculosis (jumlah dan virulensi),
2. status imunologis pasien (nonspesifik dan spesifik), seperti infeksi
HIV, malnutrisi, infeksi campak, pertusis, diabetes melitus, gagal
ginjal, keganasan, dan penggunaan kortikosteroid jangka lama
3. faktor lingkungan (kurangnya paparan sinar matahari, perumahan
yang padat, polusi udara, merokok, penggunaan alkohol, obat bius,
serta sosioekonomi).
18
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
Gejala dan tanda awal TB milier sama dengan TB lainnya, dapat disertai
sesak nafas, ronki dan mengi. Dalam keadaan lanjut bisa juga terjadi
hipoksia, pneumotoraks, dan atau pneumomediastinum, sampai
gangguan fungsi organ, serta syok.
Lesi milier dapat terlihat pada foto toraks dalam waktu 2—3 minggu
setelah penyebaran kuman secara hematogen. Gambarannya sangat
khas, yaitu berupa tuberkel halus (millii) yang tersebar merata di
seluruh lapangan paru, dengan bentuk yang khas dan ukuran yang
hampir seragam (1—3 mm).
Jika dokter dan petugas di fasyankes primer menemukan kasus dengan
klinis diduga TB milier, maka wajib dirujuk ke RS rujukan. Diagnosis
ditegakkan melalui rewayat kontak dengan pasien TB BTA positif, gejala
klinis dan radiologis yang khas. Selain itu perlu dilakukan pemeriksaan
pungsi lumbal walaupun belum timbul kejang atau penurunan kesadaran.
Dengan pengobatan yang tepat, perbaikan TB milier biasanya berjalan
lambat. Respon keberhasilan terapi antara lain adalah menghilangnya
demam setelah 2—3 minggu pengobatan, peningkatan nafsu makan,
perbaikan kualitas hidup sehari-hari, dan peningkatan berat badan.
Gambaran milier pada foto toraks berangsur-angsur menghilang
dalam 5—10 minggu, tetapi mungkin juga belum ada perbaikan
sampai beberapa bulan. Pasien yang sudah dipulangkan dari RS dapat
melanjutkan pengobatan di fasyankes primer.
4. Tuberkulosis Tulang/ Sendi
Tuberkulosis tulang atau sendi merupakan suatu bentuk infeksi TB
ekstrapulmonal yang mengenai tulang atau sendi. Insidens TB sendi
berkisar 1—7% dari seluruh TB. Tulang yang sering terkena adalah:
tulang belakang (spondilitis TB), sendi panggul (koksitis), dan sendi
lutut (gonitis).
Gejala dan tanda spesifik spesifik berupa bengkak, kaku, kemerahan,
dan nyeri pada pergerakan dan sering ditemukan setelah trauma. Bisa
ditemukan gibbus yaitu benjolan pada tulang belakang yang umumnya
seperti abses tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda peradangan. Warna
benjolan sama dengan sekitarnya, tidak nyeri tekan, dan menimbulkan
abses dingin. Kelainan neurologis terjadi pada keadaan spondilitis yang
lanjut, membutuhkan operasi bedah sebagai tatalaksananya
Juknis Manajemen TB Anak
19
Juknis
TB Anak
Kelainan pada sendi panggul dapat dicurigai jika pasien berjalan pincang
dan kesulitan berdiri. Pada pemeriksaan terdapat pembengkakan
di daerah lutut, anak sulit berdiri dan berjalan, dan kadang-kadang
ditemukan atrofi otot paha dan betis.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah foto radiologi, CT scan
dan MRI. Prognosis TB tulang atau sendi sangat bergantung pada derajat
kerusakan sendi atau tulangnya. Pada kelainan minimal umumnya
dapat kembali normal, tetapi pada kelainan yang sudah lanjut dapat
menimbulkan sekuele (cacat) sehingga mengganggu mobilitas pasien.
5. Tuberkulosis Kelenjar
Infeksi TB pada kelenjar limfe superfisial, yang disebut dengan skrofula,
merupakan bentuk TB ekstrapulmonal pada anak yang paling sering
terjadi, dan terbanyak pada kelenjar limfe leher. Kebanyakan kasus
timbul 6—9 bulan setelah infeksi awal M. tuberculosis, tetapi beberapa
kasus dapat timbul bertahun-tahun kemudian. Lokasi pembesaran
kelenjar limfe yang sering adalah di servikal anterior, submandibula,
supraklavikula, kelenjar limfe inguinal, epitroklear, atau daerah aksila.
Kelenjar limfe biasanya membesar perlahan-lahan pada stadium awal
penyakit. Pembesaran kelenjar limfe bersifat kenyal, tidak keras, discrete,
dan tidak nyeri. Pada perabaan, kelenjar sering terfiksasi pada jaringan
di bawah atau di atasnya. Limfadenitis ini paling sering terjadi unilateral,
tetapi infeksi bilateral dapat terjadi karena pembuluh limfatik di daerah
dada dan leher-bawah saling bersilangan. Uji tuberkulin biasanya
menunjukkan hasil positif, Gambaran foto toraks terlihat normal.
Diagnosis definitif memerlukan pemeriksaan histologis dan
bakteriologis yang diperoleh melalui biopsi, yang dapat dilakukan di
fasilitas rujukan.
6. Tuberkulosis Pleura
Efusi pleura adalah penumpukan abnormal cairan dalam rongga pleura.
Salah satu etiologi yang perlu dipikirkan bila menjumpai kasus efusi
pleura di Indonesia adalah TB. Efusi pleura TB bisa ditemukan dalam 2
bentuk, yaitu (1) cairan serosa, bentuk ini yang paling banyak dijumpai
; (2) empiema TB, yang merupakan efusi pleura TB primer yang gagal
mengalami resolusi dan berlanjut ke proses supuratif kronik.
20
Gejala dan tanda awal meliputi demam akut yang disertai batuk
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
nonproduktif (94%), nyeri dada (78%), biasanya unilateral (95%). Pasien
juga sering datang dalam keadaan sesak nafas yang hebat. Pemeriksaan
foto toraks dijumpai kelainan parenkim paru. Efusi pleura hampir selalu
terjadi di sisi yang sama dengan kelainan parenkim parunya. Untuk
diagnosis definitif dan terapi, pasien ini harus segera dirujuk.
Penunjang diagnostik yang dilakukan di fasilitas rujukan adalah
analisis cairan pleura, jaringan pleura dan biakan TB dari cairan pleura.
Drainase cairan pleura dapat dilakukan jika cairan sangat banyak.
Penebalan pleura sebagai sisa penyakit dapat terjadi pada 50% kasus.
7. Tuberkulosis Kulit
Skrofuloderma merupakan manifestasi TB kulit yang paling khas
dan paling sering dijumpai pada anak. Skrofuloderma terjadi akibat
penjalaran perkontinuitatum dari kelenjar limfe yang terkena TB.
Manifestasi klinis skrofuloderma sama dengan gejala umum TB anak.
Skrofuloderma biasanya ditemukan di leher dan wajah, dan di tempat
yang mempunyai kelompok kelenjar limfe, misalnya di daerah parotis,
submandibula, supraklavikula, dan daerah lateral leher. Selain itu,
skrofuloderma dapat timbul di ekstremitas atau trunkus tubuh, yang
disebabkan oleh TB tulang dan sendi.
Lesi awal skrofuloderma berupa nodul subkutan atau infiltrat
subkutan dalam yang keras (firm), berwarna merah kebiruan, dan
tidak menimbulkan keluhan (asimtomatik). Infiltrat kemudian meluas/
membesar dan menjadi padat kenyal (matted and doughy). Selanjutnya
mengalami pencairan, fluktuatif, lalu pecah (terbuka ke permukaan
kulit), membentuk ulkus berbentuk linear atau serpiginosa, dasar yang
bergranulasi dan tidak beraturan, dengan tepi bergaung (inverted),
berwarna kebiruan, disertai fistula dan nodul granulomatosa yang
sedikit lebih keras. Kemudian terbentuk jaringan parut/sikatriks
berupa pita/benang fibrosa padat, yang membentuk jembatan di
antara ulkus-ulkus atau daerah kulit yang normal. Pada pemeriksaan,
didapatkan berbagai bentuk lesi, yaitu plak dengan fibrosis padat, sinus
yang mengeluarkan cairan, serta massa yang fluktuatif.
Diagnosis definitif adalah biopsi aspirasi jarum halus/ BAJAH/ fine
needle aspiration biopsy=FNAB,) ataupun secara biopsi terbuka (open
biopsy). Pada pemeriksaan tersebut dicari adanya M. tuberculosis
dengan cara biakan dan pemeriksaan histopatologis jaringan. Hasil PA
Juknis Manajemen TB Anak
21
Juknis
TB Anak
dapat berupa granuloma dengan nekrotik di bagian tengahnya, terdapat
sel datia Langhans, sel epiteloid, limfosit, serta BTA.
Tatalaksana pasien dengan TB kulit adalah dengan OAT dan tatalaksana
lokal/topikal dengan kompres atau higiene yang baik.
8. Tuberkulosis Abdomen
TB abdomen mencakup lesi granulomatosa yang bisa ditemukan di
peritoneum (TB peritonitis), usus, omentum, mesenterium, dan hepar. M
tuberculosis sampai ke organ tersebut secara hematogen ataupun penjalaran
langsung. Peritonitis TB merupakan bentuk TB anak yang jarang dijumpai,
yaitu sekitar 1—5% dari kasus TB anak. Umumnya terjadi pada dewasa
dengan perbandingan perempuan lebih sering dari laki-laki (2:1).
Pada peritonium terbentuk tuberkel dengan massa perkijuan yang
dapat membentuk satu kesatuan (konfluen). Pada perkembangan
selanjutnya, omentum dapat menggumpal di daerah epigastrium
dan melekat pada organ-organ abdomen, sehingga pada akhirnya
dapat menyebabkan obstruksi usus. Di lain pihak, kelenjar limfe yang
terinfeksi dapat membesar, menyebabkan penekanan pada vena porta
dengan akibat pelebaran vena dinding abdomen dan asites.
Umumnya, selain gejala khusus peritonitis TB, dapat timbul gejala klinis
umum TB anak. Tanda yang dapat terlihat adalah ditemukannya massa
intraabdomen dan adanya asites. Kadang-kadang ditemukan fenomena
papan catur, yaitu pada perabaan abdomen didapatkan adanya massa
yang diselingi perabaan lunak, kadang-kadang didapat pada obstruksi
usus dan asites.
Tuberkulosis hati jarang ditemukan, hasil penyebaran hematogen
melalui vena porta atau jalur limfatik, yaitu rupturnya kelenjar limfe
porta hepatik yang membawa M. tuberculosis ke hati. Lesi TB di hati
dapat berupa granuloma milier kecil (tuberkel). Granuloma dimulai
dengan proliferasi fokal sel Kupffer yang membentuk nodul kecil sebagai
reaksi terhadap adanya M. tuberculosis dalam sinusoid hati. Makrofag
dan basil membentuk tuberkel yang mengandung sel-sel epiteloid, sel
datia Langhans (makrofag yang bersatu), dan limfosit T.
22
Diagnosis pasti TB abdomen dilaksanakan di fasyankes rujukan.
Beberapa pemeriksaan lanjutan yang akan dilakukan adalah foto polos
abdomen, analisis cairan asites dan biopsi peritoneum. Pada keadaan
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
obstruksi usus karena perlengketan perlu dilakukan tindakan operasi.
9. Tuberkulosis Mata
Tuberkulosis pada mata umumnya mengenai konjungtiva dan kornea,
sehingga sering disebut sebagai keratokonjungtivitis fliktenularis (KF).
Keratokonjungtivitis fliktenularis adalah penyakit pada konjungtiva dan
kornea yang ditandai oleh terbentuknya satu atau lebih nodul inflamasi
yang disebut flikten pada daerah limbus, disertai hiperemis di sekitarnya.
Umumnya ditemukan pada anak usia 3—15 tahun dengan faktor risiko
berupa kemiskinan, kepadatan penduduk, sanitasi buruk, dan malnutrisi.
Manifestasi klinis KF dapat berupa iritasi, nyeri, lakrimasi, fotofobia,
dan dapat mengeluarkan sekret mata, disertai gejala umum TB.
Untuk menyingkirkan penyebab stafilokokus, perlu dilakukan usap
konjungtiva.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah untuk mencari
penyebabnya seperti uji tuberkulin, pemeriksaan radiologis, dan
pemeriksaan feses. Komplikasi yang mungkin timbul adalah ulkus
fasikuler, parut kornea, dan perforasi kornea. Penggunaan kortikosteroid
topikal mempunyai efek yang baik tetapi dapat menyebabkan glaukoma
dan katarak.
10.Tuberkulosis Ginjal
Tuberkulosis ginjal pada anak jarang karena masa inkubasinya
bertahun-tahun. TB ginjal merupakan hasil penyebaran hematogen.
Fokus perkijuan kecil berkembang di parenkim ginjal dan melepaskan
kuman TB ke dalam tubulus. Massa yang besar akan terbentuk dekat
dengan korteks ginjal, yang mengeluarkan kuman melalui fistula ke
dalam pelvis ginjal. Infeksi kemudian menyebar secara lokal ke ureter,
prostat, atau epididimis.
Tuberkulosis ginjal seringkali secara klinis tenang pada fase awal,
hanya ditandai piuria yang steril dan hematuria mikroskopis. Disuria,
nyeri pinggang atau nyeri abdomen dan hematuria makroskopis dapat
terjadi sesuai dengan berkembangnya penyakit.
Superinfeksi dengan kuman lain, yang sering kali menyebabkan gejala
yang lebih akut, dapat memperlambat diagnosis TB sebagai penyakit
dasarnya. Hidronefrosis atau striktur ureter dapat memperberat
Juknis Manajemen TB Anak
23
Juknis
TB Anak
penyakitnya. BTA dalam urine dapat ditemukan. Pielografi intravena
(PIV) sering menunjukkan massa lesi, dilatasi ureter-proksimal, filling
defect kecil yang multipel, dan hidronefrosis jika ada striktur ureter.
Sebagian besar penyakit terjadi unilateral. Pemeriksaan pencitraan lain
yang dapat digunakan adalah USG dan CT scan.
Pengobatan TB ginjal bersifat holistik, yaitu selain pemberian OAT juga
dilakukan penanganan terhadap kelainan ginjal yang terjadi. Apabila
diperlukan tindakan bedah, dapat dilakukan setelah pemberian OAT
selama 4—6 minggu.
11.Tuberkulosis Jantung
Tuberkulosis yang lebih umum terjadi pada jantung adalah perikarditis
TB, tetapi hanya 0,5—4% dari TB anak. Perikarditis TB biasanya terjadi
akibat invasi kuman secara langsung atau drainase limfatik dari kelenjar
limfe subkarinal.
Gejalanya tidak khas, yaitu demam subfebris, lesu, dan BB turun.
Nyeri dada jarang timbul pada anak. Dapat ditemukan friction rub dan
suara jantung melemah dengan pulsus paradoksus. Terdapat cairan
perikardium yang khas, yaitu serofibrinosa atau hemoragik. Basil
Tahan Asam jarang ditemukan pada cairan perikardium, tetapi kultur
dapat positif pada 30—70% kasus. Hasil kultur positif dari biopsi
perikardium yang tinggi dan adanya granuloma sering menyokong
diagnosis TB jantung. Selain OAT diberikan juga kortikosteroid.
Perikardiotomi parsial atau komplit dapat diperlukan jika terjadi
penyempitan perikard.
E . Klasifikasi dan Definisi Kasus TB anak
Beberapa istilah dalam definisi kasus TB anak:
24
• Terduga pasien TB anak: setiap anak dengan gejala atau tanda mengarah
ke TB Anak
• Pasien TB anak berdasarkan hasil konfirmasi bakteriologis:
adalah pasien TB anak yang hasil pemeriksaan sediaan biologinya
positif dengan pemeriksaan mikroskopis langsung atau biakan atau
diagnostik cepat yang direkomendasi oleh Kemenkes RI. Pasien TB
paru BTA positif masuk dalam kelompok ini.
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
• Pasien TB anak berdasarkan diagnosis klinis: pasien TB anak
yang TB yang tidak memenuhi kriteria bakteriologis dan mendapat
pengobatan TB berdasarkan kelainan radiologi dan histopatologi sesuai
gambaran TB. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah Pasien
TB Paru BTA negatif, Pasien TB dengan BTA tidak diperiksa dan
Pasien TB Ekstra Paru.
Penentuan klasifikasi dan tipe kasus TB pada anak tergantung dari hal
berikut:
• Lokasi atau organ tubuh yang terkena:
a. Tuberkulosis Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura
(selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
b. Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung
(pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal,
saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Anak dengan gejala
hanya pembesaran kelenjar tidak selalu menderita TB Ekstra Paru.
Pasien TB paru dengan atau tanpa TB ekstra paru diklasifikasikan
sebagai TB paru
• Riwayat pengobatan sebelumnya:
a.Baru
Kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan ( 28
dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di
atas, lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru.
b. Pengobatan ulang
Kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan
OAT lebih dari 1 bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan
bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau
ekstra paru. Berdasarkan hasil pengobatan sebelumnya, anak dapat
diklasifikasikan sebagai kambuh, gagal atau pasien yang diobati
kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).
• Berat dan ringannya penyakit
a. TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian,
misalnya TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar dll
Juknis Manajemen TB Anak
25
Juknis
TB Anak
26
b. TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan
berat atau kematian, misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang
dan sendi, TB abdomen, termasuk TB hepar, TB usus, TB paru BTA
positif, TB resisten obat, TB HIV.
• Status HIV
Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada semua anak suspek TB pada
daerah endemis HIV atau risiko tinggi terinfeksi HIV. Berdasarkan
pemeriksaan HIV, TB pada anak diklasifikasikan sebagai:
a. HIV positif
b. HIV negatif
c. HIV tidak diketahui
d.HIV expose/ curiga HIV. Anak dengan orang tua penderita HIV
diklasifikasikan sebagai HIV expose, sampai terbukti HIV negatif.
Apabila hasil pemeriksaan HIV menunjukkan hasil negatif pada
anak usia < 18 bulan, maka status HIV perlu diperiksa ulang setelah
usia > 18 bulan.
• Resistensi Obat
Pengelompokan pasien TB berdasarkan hasil uji kepekaan M.
tuberculosis terhadap OAT terdiri dari:
a. Monoresistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap
salah satu jenis OAT lini pertama.
b. Polydrug Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan terhadap
lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multi Drug Resistance (MDR) adalah M. tuberculosis yang resistan
terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) dengan atau tanpa OAT
lini pertama lainnya.
d. Extensive Drug Resistance (XDR) adalah MDR disertai dengan
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan
minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan yaitu
Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin.
e. Rifampicin Resistance adalah M. tuberculosis yang resistan
terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistansi terhadap OAT
lain yang dideteksi menggunakan metode pemeriksaan yang sesuai,
pemeriksaan konvensional atau pemeriksaan cepat. Termasuk
dalam kelompok ini adalah setiap resistansi terhadap rifampisin
dalam bentuk Monoresistance, Polydrug Resistance, MDR dan XDR.
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
BAB III
PENGOBATAN TB ANAK
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan)
dan profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB,
sedangkan profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis
primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:
• Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai
monoterapi.
• Pemberian gizi yang adekuat.
• Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.
A. Paduan OAT Anak
Prinsip pengobatan TB anak:
• OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk
mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman
intraseluler dan ekstraseluler
• Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka
panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya kekambuhan
• Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
o Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif,
diberikan minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan
bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
o Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil
pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap
hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering
terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.
• Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lainlain dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.
• Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis
TB, TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan
Juknis Manajemen TB Anak
27
Juknis
TB Anak
kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi
dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama
pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh
dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan
pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah
terjadi perlekatan jaringan.
• Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah:
o Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
o Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR
• Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk
satu pasien.
• OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak
untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek
samping OAT KDT.
Skema Panduan OAT Anak
Catatan : Mengacu kepada upaya Program Nasional Pengendalian TB,
setelah pemberian pengobatan selama 6 bulan, dapat dilaporkan sebagai
pasien dengan hasil akhir : Pengobatan Lengkap.
28
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
Tabel . Obat antituberkulosis (OAT) yang biasa dipakai dan dosisnya
Nama Obat
Isoniazid (H)
Rifampisin (R)
Dosis harian
Dosis
(mg/kgBB/
maksimal
hari)
(mg /hari)
10 (7-15)
300
15 (10-20)
600
Pirazinamid (Z) 35 (30-40)
-
Streptomisin (S) 15 – 40
1000
Etambutol (E)
20 (15–25)
-
Efek samping
Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitis
Gangguan gastrointestinal,
reaksi kulit, hepatitis,
trombositopenia, peningkatan
enzim hati, cairan tubuh
berwarna oranye kemerahan
Toksisitas hepar, artralgia,
gangguan gastrointestinal
Neuritis optik, ketajaman
mata berkurang, buta warna
merah hijau, hipersensitivitas,
gastrointestinal
Ototoksik, nefrotoksik
Juknis Manajemen TB Anak
29
Juknis
TB Anak
• Paduan OAT Kategori Anak dan peruntukannya secara lebih lengkap
sesuai dengan tabel tabel berikut ini:
Jenis
TB Ringan
Efusi pleura TB
TB BTA positif
TB paru dengan
tanda-tanda
kerusakan luas:
TB milier
TB + destroyed lung
Meningitis TB
Peritonitis TB
Fase
Fase
Prednison
Lama
intensif lanjutan
2HRZ
4HR
6 bulan
2 mgg dosis penuhkemudian tappering off
2HRZE
4HR
2HRZ+E 7-10HR 4 mgg dosis penuh9-12
atau S
kemudian tappering off bulan
10HR
Perikarditis TB
Skeletal TB
4 mgg dosis penuh12 bulan
kemudian tappering off
2 mgg dosis penuhkemudian tappering off
2 mgg dosis penuhkemudian tappering off
-
Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination)
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan
minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu
paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk
anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan
pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg
dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel . Dosis kombinasi pada TB anak
Berat badan
(kg)
5-7
8-11
12-16
17-22
23-30
30
2 bulan
RHZ (75/50/150)
1 tablet
2 tablet
3 tablet
4 tablet
5 tablet
4 bulan
(RH (75/50)
1 tablet
2 tablet
3 tablet
4 tablet
5 tablet
BB > 30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
• Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk
kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
• Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan,
menyesuaikan berat badan saat itu
• Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai
umur). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran
• OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak
boleh digerus)
• Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum
(chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
• Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah
makan
• Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat
tidak boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer
B. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Anak
Pemantauan pengobatan pasien TB Anak
Pada fase intensif pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat
kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada
fase lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah diberi OAT selama 2 bulan,
respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon pengobatan dikatakan
baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat, berat badan
meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon
pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6
bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau tidak baik maka
pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana
yang lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis,
bukan untuk menilai hasil pengobatan.
Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan
melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain
seperti foto toraks. Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat digunakan sebagai
pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena uji tuberkulin yang
positif masih akan memberikan hasil yang positif. Meskipun gambaran
radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila
Juknis Manajemen TB Anak
31
Juknis
TB Anak
dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan
dan pasien dinyatakan selesai.
Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan
dahaknya BTA positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan alur pemantauan
pengobatan pasien TB BTA pos.
Efek Samping pengobatan TB Anak
Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan
asupan piridoksin (vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka
dapat diberikan vitamin B6 10 mg tiap 100 mg INH.
Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10 mg/
hari direkomendasikan diberikan pada
• bayi yang mendapat ASI eksklusif,
• pasien gizi buruk,
• anak dengan HIV positif.
Penanganan efek samping lain dari OAT pada anak mengacu pada buku
Pedoman Nasional Pengendalian TB.
Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur
Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab
kegagalan terapi.
• Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan
di fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali
mulai dari awal.
• Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di
fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan
sampai selesai.
Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan meningkatkan
risiko terjadinya TB kebal obat.
32
Pengobatan ulang TB anak
Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali
dengan keluhan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar-
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
benar menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan
dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan sistem skoring harus lebih
cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil pemeriksaan
dahak menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus
Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak
dianjurkan untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.
Juknis Manajemen TB Anak
33
Juknis
TB Anak
BAB IV
MANAJEMEN TUBERKULOSIS PERINATAL
Pengelolaan neonatus dari ibu sakit TB
Kehamilan akan meningkatan risiko berkembangnya TB aktif pada
wanita yang sebelumnya terinfeksi, terutama pada trimester terakhir atau
pada periode awal pasca-natal. Kejadian TB pada ibu hamil meningkat secara
bermakna, sejak awal epidemi HIV. Sekitar 2% dari ibu hamil yang terinfeksi
HIV didiagnosis dengan TB, dan TB merupakan penyebab utama kematian ibu
di daerah endemik TB HIV. Peningkatan risiko untuk bayi yang baru lahir dari
ibu dengan TB dan TB/ HIV meliputi :
•
•
•
•
•
infeksi dan penyakit TB
transmisi HIV dari ibu-ke-bayi
lahir prematur dan berat badan lahir rendah
kematian peri-natal dan neonatus
menjadi yatim piatu
Pengelolaan TB pada kehamilan
TB sering tidak terdiagnosis pada ibu sebelum neonatusnya dicurigai
atau terbukti TB. Manifestasi klinis TB pada kehamilan hampir sama bila
dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil dengan bentuk paling umum
yaitu TB paru. TB diseminata terjadi pada 5-10% dari wanita hamil yang
menderita TB, dan ini adalah risiko utama untuk terjadinya perinatal TB.
Oleh karena itu, semua wanita hamil di daerah endemik TB/HIV harus
ditapis untuk gejala TB. Sama pentingnya untuk wanita hamil yang diduga
TB harus dites HIV. Jika TB didiagnosis, terapi harus dimulai segera untuk
mencegah penularan dan mencegah kematian. Ibu hamil yang terinfeksi HIV
dengan TB diobati dengan ART sesuai pedoman WHO. Ko-infeksi dengan TB
merupakan indikasi tambahan untuk dimulai ART. Waktu yang optimal untuk
memberikan ART tergantung pada jumlah CD4, toleransi terhadap pengobatan
TB dan faktor klinis lainnya. Intervensi untuk mencegah penularan HIV dari
ibu-ke-bayi disesuaikan dengan pedoman WHO.
34
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
TB neonatal
Ada 2 istilah pada TB neonatal yang harus dibedakan yaitu :
• TB kongenital : terjadi ketika neonatus tertular M tuberculosis saat
dalam rahim melalui penyebaran hematogen lewat vena umbilikal,
atau saat persalinan melalui aspirasi atau meminum cairan amnion
atau sekresi cervicovaginal yang terkontaminasi M tuberculosis. Gejala
TB kongenital biasanya muncul pada minggu pertama kehidupan dan
mortalitas TB kongenital tinggi.
• TB neonatal/TB perinatal : adalah ketika neonatus terinfeksi setelah
lahir dengan terpapar pada kasus TB BTA (+), yaitu biasanya ibu atau
kontak dekat lain. Penularan pascanatal terjadi secara droplet dengan
patogenesis yang sama seperti TB pada anak.
Seringkali sulit membedakan antara TB kongenital dan TB neonatal/perinatal.
Neonatus yang terpapar TB dapat bergejala ataupun tidak. Gejala TB pada
neonatus mulai muncul minggu ke 2-3 setelah kelahiran. Gejala dan tanda
tidak spesifik, diagnosis sering terlambat oleh karena awalnya diduga sepsis.
Gejala awal seperti letargi, sulit minum, berat badan lahir rendah dan kesulitan
pertambahan berat badan. Tanda klinis lain meliputi distres pernapasan,
pneumonia yang sulit sembuh, hepatosplenomegali, limfadenopati, distensi
abdomen dengan asites, atau gambaran sepsis neonatal dengan TB diseminata.
Diagnosis TB harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding pada infeksi
kronis neonatal yang berespon buruk terhadap terapi antimikroba, infeksi
kongenital, dan pneumoni atipikal. Petunjuk yang paling utama dalam diagnosis
TB pada neonatus yaitu riwayat ibu terinfeksi TB atau HIV. Poin utama pada
riwayat ibu meliputi pneumonia yang sulit membaik, kontak dengan kasus
indeks TB , dan riwayat pengobatan TB dalam 1 tahun terakhir.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada TB kongenital adalah
pemeriksaan M. tuberculosis melalui darah vena umbilikus dan plasenta. Pada
plasenta sebaiknya diperiksa gambaran histopatologis dengan kemungkinan
adanya granuloma kaseosa dan BTA, bila perlu dilakukan kuretase endometrium
untuk mencari endometritis TB.
Manajemen neonatus asimptomatik yang terpapar terhadap ibu dengan TB
Setelah kelahiran, neonatus yang lahir dari ibu dengan suspek atau terbukti
TB, harus dipastikan apakah sakit TB atau tidak. Penting untuk menentukan
Juknis Manajemen TB Anak
35
Juknis
TB Anak
tingkat infeksi ibu dan susceptibility terhadap obat TB melalui pemeriksaan
BTA dan biakan/ uji kepekaan. Tidak perlu memisahkan neonatus dari ibu jika
ibu tidak memiliki MDR TB dan pemberian ASI dapat dilanjutkan. Imunisasi
BCG sebaiknya tidak diberikan dahulu, sampai status TB neonatus tersebut
diketahui. Imunisasi BCG juga sebaiknya tidak diberikan pada neonatus atau
bayi yang sudah dikonfirmasi terinfeksi HIV.
Jika neonatus tersebut tidak memiliki gejala (asimtomatik), dan ibunya
terbukti TB yang sensitif dengan OAT, maka neonatus diberikan terapi
pencegahan dengan isoniazid (10mg/kg) selama 6 bulan. Neonatus harus
dipantau secara rutin setiap bulan, dan dievaluasi kemungkinan adanya gejala
TB untuk memastikan TB aktif tidak berkembang.
Pada akhir bulan ke 6, bila bayi tetap asimptomatik, pengobatan dengan
INH distop dan dilakukan uji tuberkulin. Jika uji tuberkulin negatif dan tidak
terinfeksi HIV, maka dapat diberikan BCG 2 minggu setelahnya, Akan tetapi
jika uji tuberkulin positif, harus dievaluasi untuk kemungkinan sakit TB.
Jika ibu terbukti tidak terinfeksi dan sakit TB, bayi harus diskrining TB.
Jika tidak ada bukti infeksi TB, maka bayi harus dipantau secara teratur untuk
memastikan penyakit TB aktif tidak berkembang.
Jika diagnosis sakit TB sudah dikonfirmasi atau bayi menunjukkan tanda
klinis sugestif TB, pengobatan harus dimulai oleh dokter spesialis anak.
Imunisasi BCG diberikan 2 minggu setelah terapi jika bayi tidak terinfeksi HIV.
Jika terinfeksi HIV, BCG tidak diberikan.
Neonatus yang lahir dari ibu yang MDR atau XDR-TB harus dirujuk ke ahli
untuk menangani masalah ini. Kontrol infeksi diperlukan untuk mengurangi
kemungkinan transmisi dari ibu ke anak yaitu dengan menggunakan masker.
Tatalaksana neonatus dengan sakit TB
36
Neonatus sakit TB harus dirawat di ruang perinatologi atau NICU di
fasilitas rujukan. Pengobatan TB kongenital dan TB neonatal sama, dan harus
dilaksanakan oleh dokter yang berpengalaman dalam manajemen TB anak.
Harus dilakukan investigasi lengkap dari ibu dan neonatus. Foto toraks dan
pengambilan spesimen dari lokasi yang memungkinkan harus diambil, untuk
membuktikan diagnosis TB pada neonatus. Pemberian OAT harus dimulai pada
bayi yang kita curigai TB sambil menunggu konfirmasi bakteriologis karena
TB berkembang dengan cepat pada neonatus.
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
Respon baik terhadap terapi dapat dilihat dari nafsu makan yang
meningkat, pertambahan berat badan dan perbaikan radiologis. Menyusui bayi
tetap dilakukan oleh karena risiko penularan M tuberculosis melalui ASI dapat
diabaikan. Demikian juga tentang OAT yang dikonsumsi ibu, hanya dieksresikan
dalam jumlah kecil, dan tidak terbukti dapat menginduksi resistensi obat.
Bayi tidak boleh dipisahkan dari ibu, oleh karena menyusui dapat diandalkan
menjadi salah satu faktor yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup
neonatus dengan TB.
Gambar 4. Alur pengelolaan neonatus dan bayi dari ibu dengan TB aktif
Juknis Manajemen TB Anak
37
Juknis
TB Anak
*Catatan
1)
Diagnosis TB pada ibu dibuktikan secara klinis, radiologis dan
mikrobiologis. Bila ibu terdiagnosis TB aktif maka diobati dengan
OAT. Apabila memungkinkan, bayi tetap disusui langsung, tetapi ibu
harus memakai masker untuk mencegah penularan TB pada bayinya.
Pada ibu yang sangat infeksius (BTA positif), bayi dipisahkan sampao
terjadi konversi BTA sputum atau ibu tidak infeksius lagi, tetapi tetap
diberikan ASI yang dipompa. Pemeriksaan ulangan BTA pada ibu yang
memberikan ASI dilakukan 2 minggu setelah pengobatan. Dosis obat
TB yang ditelan ibu mencapai ASI dalam jumlah maksimal 25% dosis
terapeutik bayi.
2) Lakukan pemeriksaan plasenta (PA, makroskopik & mikroskopik), dan
darah v.umbilikalis (Mikrobiologi=BTA & biakan TB).
3)Klinis:
• Prematuritas, berat lahir rendah, distres pernapasan, hepatosplenomegali, demam, letargi,
toleransi minum buruk, gagal
tumbuh, distensi abdomen.
• Bila klinis sesuai sepsis bakterialis dapat diberikan terapi kombinasi.
4) Pemeriksaan penunjang :
• Foto rontgen toraks dan bilas lambung
• Bila pada evaluasi klinis terdapat limfadenopati, lesi kulit atau ear
discharge, lakukan pemeriksaan mikrobiologis dan/atau PA
• Bila selama perjalanan klinis terdapat hepatomegali, lakukan
pemeriksaan USG abdomen, jika ditemukan lesi di hati, lanjutkan
dengan biopsi hati
5) Imunisasi BCG sebaiknya tidak diberikan dahulu. Setelah ibu dinyatakan
tidak infeksius lagi, maka dilakukan uji tuberkulin. Jika hasilnya negatif,
isoniazid dihentikan dan diberikan BCG pada bayi.
38
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
BAB V
MANAJEMEN TB HIV PADA ANAK
Meningkatnya prevalens HIV membawa dampak peningkatan risiko
paparan, progresivitas penyakit TB dan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas akibat TB serta masalah TB lainnya, misalnya TB diseminata
(milier), TB Ekstra Paru, serta TB MDR. Fenomena ini dapat diamati pada
daerah sub sahara di Afrika yang mempunyai angka pasien HIV dan koinfeksi
TB cukup tinggi. Demikian pula dengan Indonesia, kecenderungan peningkatan
pengidap HIV positif, terutama dengan meningkatnya penggunaan narkoba,
akan meningkatkan insiden TB dengan masalah-masalah tertentu yang terjadi
pada pengidap HIV positif. Seperti halnya pada dewasa, pada awal infeksi HIV
saat imunitas masih baik tanda dan gejala TB tidak berbeda dengan anak tanpa
HIV.
Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik yang paling sering
ditemukan pada anak terinfeksi HIV dan menyebabkan peningkatan angka
kesakitan dan kematian pada kelompok tersebut. Besarnya angka kejadian
TB pada anak terinfeksi HIV sampai saat ini sulit diperoleh secara akurat.
Meningkatnya jumlah kasus TB pada anak terinfeksi HIV disebabkan tingginya
transmisi Mycobacterium tuberculosis dan kerentanan anak (CD 4 kurang dari
15%, umur di bawah 5 tahun). Meningkatnya kasus HIV pada orang dewasa
telah berdampak terhadap peningkatan jumlah anak yang terinfeksi HIV pada
umur yang rentan sehingga anak tersebut sangat mudah terkena TB terutama
TB berat (milier dan meningitis)
Infeksi HIV menyebabkan imunokompromais pada anak sehingga diagnosis
dan tatalaksana TB pada anak menjadi lebih sulit karena faktor berikut :
1. Beberapa penyakit yang erat kaitannya dengan HIV, termasuk TB,
banyak mempunyai kemiripan gejala.
2. Interpretasi uji tuberkulin kurang dapat dipercaya. Anak dengan kondisi
imunokompromais mungkin menunjukkan hasil negatif meskipun
sebenarnya telah terinfeksi TB.
3. Anak yang kontak dengan orangtua pengidap HIV dengan BTA sputum
positif mempunyai kemungkinan terinfeksi TB maupun HIV. Jika hal ini
terjadi, dapat tejadi kesulitan dalam tatalaksana dan mempertahankan
keteraturan pengobatan.
Juknis Manajemen TB Anak
39
Juknis
TB Anak
Tanpa konfirmasi bakteriologis, diagnosis TB anak terutama berdasarkan
4 hal, yaitu : 1) kontak dengan pasien TB dewasa terutama yang BTA positif; 2)
uji tuberkulin positif (>5 mm pada anak terinfeksi HIV); 3) gambaran sugestif
TB secara klinis (misalnya Gibbus) dan 4 ) gambaran sugestif TB pada foto
toraks 5) Respons terhadap OAT.
Kementerian Kesehatan Indonesia telah mengeluarkan Permenkes 21 th
2013, semua pasien TB wajib ditawarkan untuk tes HIV melalui pendekatan
TIPK ( Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan)
World Health Organization merekomendasikan dilakukan pemeriksaan
HIV pada suspek TB maupun sakit TB. Kecurigaan adanya HIV pada penderita,
terutama:
a. Gejala-gejala yang menunjukkan HIV masih mungkin, yaitu infeksi
berulang (≥3 episode infeksi bakteri yang sangat berat (seperti
pneumonia, meningitis, sepsis dan sellulitis) pada 12 bulan terakhir),
bercak putih di mulut (thrush), parotitis kronik, limfadenopati
generalisata, hepatomegali tanpa penyebab yang jelas, demam yang
menetap dan/atau berulang, disfungsi neurologis, herpes zoster
(shingles), dermatitis HIV, penyakit paru supuratif yang kronik (chronic
suppurative lung disease).
b. Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga
lazim ditemukan pada anak sakit yang bukan infeksi HIV, yaitu: otitis
media kronik, diare persisten, gizi kurang atau gizi buruk.
c. Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV,
yaitu: PCP (Pneumocystis carinii pneumonia), kandidiasis esofagus, LIP
(lymphoid interstitial pneumonitis) atau Sarkoma Kaposi.
Skema permintaan HIV ini dinamakan Provider Initiated Testing and
Counseling /PITC atau Konseling dan Tes HIV atas Inisiatif Petugas Kesehatan/
KTIPK tanpa melihat faktor risiko perilaku.
40
Mengingat adanya kondisi imunokompromais, cut-off point uji tuberkulin
pada pasien HIV diturunkan menjadi 5 mm, sehingga hasil indurasi 5 mm
saja pada uji tuberkulin sudah dikategorikan positif. Tuberkulosis paru pada
bayi dapat bermanifestasi secara akut. Oleh karena itu, jika ibu mengidap HIV
dan TB, adanya TB paru harus dipikirkan pada bayi yang tidak memberikan
respons terhadap antibiotik standar. TB paru sulit dibedakan dengan LIP yang
sering terjadi pada pasien dengan HIV berusia >2 tahun. Gejala khas LIP antara
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
lain limfadenopati generalis dan simetris, pembesaran kelenjar parotis, dan
jari tabuh.
Pengobatan TB HIV pada Anak
Tujuan pemberian OAT adalah mengobati pasien dengan efek samping
minimal, mencegah transmisi kuman dan mencegah resistensi obat. Saat ini,
paduan obat TB pada anak yang terinfeksi HIV yang telah disepakati WHO
(2011) adalah INH, Rifampisin, PZA dan Etambutol selama fase intensif 2 bulan
pertama dilanjutkan dengan minimal 4 bulan pemberian INH dan Rifampisin
selama fase lanjutan. Pada TB milier dan meningitis TB diberikan INH,
Rifampisin, PZA, Etambutol dan Streptomisin selama fase intensif selanjutnya
INH dan Rifampisin selama 10 bulan fase lanjutan.
Tambahan terapi yang direkomendasikan untuk pasien anak HIV dan TB
termasuk cotrimoxazole preventive therapy (CPT), antiretroviral therapy (ART)
dan suplementasi piridoksin dengan dosis 10 mg/hari serta pemberian nutrisi.
Kategori diagnostik TB pada penderita HIV
TB ringan, TB paru BTA negatif, Limfadenitis TB
TB tulang
TB milier, TB meningitis
Fase awal
2RHZE
2RHZE
2RHZES
Fase lanjutan
RH (4-7 bulan)
RH (10 bulan)
RH (10 bulan)
Pasien TB anak yang terinfeksi HIV mempunyai kecenderungan relaps
yang lebih besar dibanding anak yang tidak terinfeksi. Untuk mengatasi hal ini
maka pengobatan TB anak terinfeksi HIV diberikan lebih lama yaitu 9 bulan
sedangkan pada TB milier, meningitis TB dan TB tulang selama 12 bulan.
Mortalitas TB pada anak terinfeksi HIV lebih besar dibanding anak yang tidak
terinfeksi karena tingginya ko-infeksi oleh patogen lain, absorpsi dan penetrasi
OAT terhadap organ yang terkena pada anak terinfeksi HIV jelek, misdiagnosis,
kepatuhan kurang, malnutrisi berat dan imunosupresi berat.
Tatalaksana TB pada anak dengan HIV yang sedang atau akan mendapatkan
pengobatan antiretroviral harus dilakukan lebih hati-hati dan memperhatikan
interaksi antara obat. Interaksi antara obat TB dan antiretroviral dapat
menyebabkan pengobatan HIV ataupun TB menjadi tidak efektif, serta
bertambahnya risiko toksisitas.
Rifampisin misalnya, obat ini berinteraksi dengan obat penghambat enzim
reverse transkriptase nonnukleosida (non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor, NNRTI) dan pengambat enzim protease (protease inhibitors: PI).
Juknis Manajemen TB Anak
41
Juknis
TB Anak
Rifampisin menurunkan konsentrasi PI hingga 80% atau lebih, dan NNRTI
hingga 20—60%.
Rekomendasi ART dapat diberikan bersamaan dengan rifampisin adalah
efavirenz (suatu NNRTI) ditambah 2 obat penghambat reverse transcriptase
nukleosida (nucleoside reverse transcriptase inhibitor, NRTI), atau ritonavir
(dosis yang dinaikkan) ditambah dua NRTI. Rekomendasi mengenai kombinasi
ini sering mengalami revisi sehingga harus disesuaikan dengan informasi
terbaru menurut CDC.
Reaksi simpang (adverse events) yang ditimbulkan oleh OAT hampir
serupa dengan yang ditimbulkan oleh obat antiretroviral, sehingga dokter
sulit membedakan ketika akan menghentikan obat yang menimbulkan reaksi.
Isoniazid dapat menyebabkan neuropati perifer, begitu juga dengan NRTI
(didanosine, zalcitabine, dan stavudine). Reaksi paradoks juga dapat terjadi jika
pengobatan terhadap TB dan HIV mulai diberikan pada waktu bersamaan.
Dosis OAT tidak memerlukan penyesuaian karena tidak dipengaruhi oleh
ARV. Pemberian ARV dapat dimulai bila anak telah mendapat OAT selama
minimal 2-8 minggu
Keadaan klinis dan imunologis anak dengan HIV harus diperhatikan untuk
menentukan hal-hal berikut:
• apakah pemberian OAT akan dimulai bersamaan dengan obat antiretroviral,
• apakah pemberian antiretroviral harus menunggu 2 bulan setelah
pemberian OAT dimulai, atau
• apakah pengobatan TB harus diselesaikan dahulu sebelum pemberian
antiretroviral dimulai.
Pada anak yang akan diberikan pengobatan TB ketika sedang mendapatkan
pengobatan antiretroviral, harus dilakukan evaluasi kembali terhadap
antiretroviral yang digunakan serta lamanya pengobatan TB dengan paduan
OAT tanpa rifampisin.
Pemberian steroid untuk TB berat pada anak dengan HIV disesuaikan
dengan keadaan imunosupresi penderita.
Pemberian ART
42
Bayi yang dilahirkan oleh ibu HIV dan terbukti terinfeksi HIV langsung
diberikan ART tanpa mempertimbangkan kadar CD4. Pada anak yang terinfeksi
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
HIV, pemberian ART dimulai setelah pasien mendapat pengobatan TB selama
2-8 minggu (lebih disukai adalah 8 minggu) untuk mengurangi terjadinya IRIS
(Immune Reconstitution Inflammatory Syndrome) dan efek samping obat yang
saling tumpang tindih. Hal yang paling penting diperhatikan pada anak HIV
dengan TB adalah potensi interaksi obat terutama golongan NNRTI dengan
Rifampisin.
Pemilihan ARV dan pemantauan pengobatannya mengacu pada buku
Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis Koinfeksi TB HIV
Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol (PPK)
Beberapa IO (Infeksi Oportunistik) pada ODHA (Orang Dengan HIV AIDS)
dapat dicegah dengan pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam
pengobatan pencegahan yaitu profilaksis primer dan profilaksis sekunder.
Profilaksis primer adalah pemberian pengobatan pencegahan untuk
mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita.
Profilaksis sekunder adalah pemberian pengobatan pencegahan yang
ditujukan untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah
diderita sebelumnya
Berbagai penelitian telah membuktikan efektifitas PPK dalam menurunkan
angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Hal tersebut
dikaitkan dengan penurunan insidens infeksi oportunistik.
Pemberian PPK mengacu pada buku Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis
Koinfeksi TB HIV
Juknis Manajemen TB Anak
43
Juknis
TB Anak
BAB VI
MANAJEMEN TB RESISTEN OBAT PADA ANAK
Kejadian TB resisten obat pada anak secara global masih belum pasti
karena kesulitan mendapatkan konfirmasi bakteriologis pada anak. Kejadian
TB kebal obat di Indonesia belum pasti, tetapi kewaspadaan terhadap kasus
ini perlu ditingkatkan mengingat penatalaksanaan kasus TB pada anak masih
belum optimal dan angka kejadian TB kebal obat pada dewasa yang terus
meningkat. Diperkirakan banyak anak yang kontak dengan kasus TB dewasa
kebal obat, sehingga kejadian TB kebal obat pada anak akan mencerminkan
pengendalian TB kebal obat pada dewasa.
A. Definisi
Resistensi obat pada pasien TB ada 3 yaitu monoresisten, MDR,
dan XDR. Dikatakan monoresisten bila hasil uji kepekaan mendapatkan
resisten terhadap isoniazid atau rifampisin.3 Seorang pasien TB anak
dikatakan mengalami MDR bila hasil uji kepekaan mendapatkan hasil basil
M. tuberkulosis yang resisten terhadap isoniazid dan rifampisin, sedangkan
extensively drug-resistant (XDR)-TB bila hasil uji kepekaan mendapatkan
hasil MDR ditambah resisten terhadap fluoroquinolon dan salah satu obat
injeksi lini kedua (second-line injectable agents
B. Diagnosis TB MDR pada anak
Diperlukan petunjuk kecurigaan klinis yang cermat untuk mendiagnosis
MDR TB pada anak. Faktor-faktor risiko termasuk riwayat pengobatan
sebelumnya, tidak ada perbaikan dengan pengobatan TB lini pertama,
adanya kontak MDR TB yang telah diketahui, kontak dengan pasien yang
meninggal saat pengobatan TB atau pengobatan TB yang gagal.
Anak tersangka TB MDR akan dilakukan pemeriksaan sesuai dengan alur
pemeriksaan dewasa tersangka TB MDR.
Algoritme berikut menunjukkan strategi diagnostik untuk menentukan
faktor risiko TB MDR pada anak yang terdiagnosis maupun tersangka TB.
44
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
C. Prinsip penatalaksanaan TB MDR pada anak
Prinsip dasar paduan terapi pengobatan untuk anak sama dengan
paduan terapi dewasa pasien TB MDR. Obat-obatan yang dipakai untuk
anak MDR TB juga sama dengan dosis disesuaikan dengan berat badan
pada anak. Bagaimanapun, kebanyakan obat lini kedua tidak child-friendly.
Juknis Manajemen TB Anak
45
Juknis
TB Anak
Prinsip Paduan pengobatan TB MDR pada anak:
Anak-anak dengan MDR TB harus ditata laksana sesuai dengan prinsip
pengobatan pada dewasa. Yang meliputi:
• Gunakan sedikitnya 4 obat lini kedua yang kemungkinan strain itu
masih sensitif; satu darinya harus injectable, satu fluorokuinolon (lebih
baik kalau generasi kuinolon yang lebih akhir bila ada), dan PZA harus
dilanjutkan
• Gunakan high-end dosing bila memungkinkan
• Semua dosis harus diberikan dengan menggunakan DOT.
• Durasi pengobatan harus 18-24 bulan
• Semua obat diminum setiap hari dan dengan pengawasan langsung.
• Pemantauan pengobatan TB MDR pada anak sesuai dengan alur pada
dewasa dengan TB MDR.
46
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
Juknis Manajemen TB Anak
47
Juknis
TB Anak
D. Alur Tata Laksana Anak yang diobati TB MDR dan HIV
48
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
BAB VII
PENCEGAHAN TUBERKULOSIS PADA ANAK
A. Vaksinasi BCG pada Anak
Vaksin BCG adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang berasal dari
Mycobacterium bovis. Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program
Pengembangan Imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin
BCG pada bayi > 2 bulan harus didahului dengan uji tuberkulin. Petunjuk
pemberian vaksinasi BCG mengacu pada Pedoman Program Pemberian
Imunisasi Kemenkes. Secara umum perlindungan vaksin BCG efektif untuk
mencegah terjadinya TB berat seperti TB milier dan TB meningitis yang
sering didapatkan pada usia muda. Saat ini vaksinasi BCG ulang tidak
direkomendasikan karena tidak terbukti memberi perlindungan tambahan.
Perhatian khusus pada pemberian vaksinasi BCG yaitu :
1. Bayi terlahir dari ibu pasien TB BTA positif
Bayi yang terlahir dari ibu yang terdiagnosis TB BTA positif pada
trimester 3 kehamilan berisiko tertular ibunya melalui placenta, cairan
amnion maupun hematogen. Sedangkan bayi yang terlahir dari ibu
pasien TB BTA positif selama masa neonatal berisiko tertular ibunya
melalui percik renik. Pada kedua kondisi tersebut bayi sebaiknya
dilakukan rujukan
2. Bayi terlahir dari ibu pasien infeksi HIV/AIDS
Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terbukti infeksi HIV/AIDS tidak
dianjurkan diberikan imunisasi BCG, bayi sebaiknya dilakukan rujukan
untuk pembuktian apakah bayi sudah terinfeksi HIV atau tidak.
Sejumlah kecil anak-anak (1-2%) mengalami komplikasi setelah
vaksinasi BCG. Komplikasi paling sering termasuk abses lokal, infeksi bakteri
sekunder, adenitis supuratif dan pembentukan keloid lokal. Kebanyakan
reaksi akan sembuh selama beberapa bulan. Pada beberapa kasus dengan
reaksi lokal persisten dipertimbangkan untuk dilakukan rujukan. Begitu
juga pada kasus dengan imunodefisiensi mungkin memerlukan rujukan.
Juknis Manajemen TB Anak
49
Juknis
TB Anak
B. Skrining dan Manajemen Kontak
Skrining dan manajemen kontak adalah kegiatan investigasi yang
dilakukan secara aktif dan intensif untuk menemukan 2 hal yaitu (1) anak
yang mengalami paparan dari pasien TB BTA positif, dan (2) orang dewasa
yang menjadi sumber penularan bagi anak yang didiagnosis TB.
Latar belakang perlunya Investigasi Kontak:
1. Konsep infeksi dan sakit pada TB.
2. Anak yang kontak erat dengan sumber kasus TB BTA positif sangat
berisiko infeksi TB dibanding yang tidak kontak yaitu sebesar 24.4–
69.2%.
3. Bayi dan anak usia < 5 tahun, mempunyai risiko sangat tinggi untuk
berkembangnya sakit TB, terutama pada 2 tahun pertama setelah
infeksi, bahkan pada bayi dapat terjadi sakit TB dalam beberapa
minggu.
4. Pemberian terapi pencegahan pada anak infeksi TB, sangat mengurangi
kemungkinan berkembangnya sakit TB.
Tujuan utama skrining dan manajemen kontak adalah :
1. Meningkatkan penemuan kasus melalui deteksi dini dan mengobati
temuan kasus sakit TB.
2. Identifikasi kontak pada semua kelompok umur yang asimtomatik TB,
yang berisiko untuk berkembang jadi sakit TB
3. Memberikan terapi pencegahan untuk anak yang terinfeksi TB, meliputi
anak usia < 5 tahun dan infeksi HIV pada semua umur.
Kasus TB yang memerlukan skrining kontak adalah semua kasus TB
dengan BTA positif dan semua kasus anak yang didiagnosis TB. Skrining
kontak ini dilaksanakan secara sentripetal dan sentrifugal.
Istilah yang digunakan pada skrining dan manajemen kontak
1. Kasus Indeks
: Kasus yang diidentifikasi sebagai kasus TB baru
atau berulang;
dapat berupa sumber kasus dewasa, atau anak
sakit TB
2. Sumber Kasus
: Kasus TB (biasanya BTA sputum positif) yang
menyebabkan infeksi atau sakit pada kontak.
50
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
3. Investigasi kontak : Proses sistematis yang diitujukan untuk mengidentifikasi kasus TB yang belum terdiagnosis pada
sekelompok orang yang kontak dengan kasus indeks
4. Kontak erat
: Hidup dan tinggal bersama dalam satu tempat
tinggal dengan sumber kasus (contoh ayah, ibu,
pengasuh, dll) atau mengalami kontak yang sering
dengan sumber kasus (contoh sopir, guru, dll).
5. Kontak serumah : Seseorang yang saat ini tinggal bersama atau pernah
tinggal bersama di satu tempat tinggal selama satu
malam atau lebih ATAU sering/beberapa hari,
bersama-sama dengan kasus indeks selama 3 bulan
sebelum diagnosis atau mulai terapi TB.
6. Terapi preventif
: Pengobatan yang diberikan kepada kontak
yang diidentifikasi infeksi TB. Yang memiliki
risiko berkembangnya sakit TB setelah terpapar
dengan sumber kasus TB BTA positif, bertujuan
untuk mengurangi kejadian sakit TB.
Langkah Pelaksanaan Skrining Kontak
Jika Kasus Indeks adalah dewasa BTA positif
• Tentukan berapa jumlah anak yang kontak dengan kasus indeks,
sesuai dengan definisi di atas
• Setiap anak yang sudah diidentifikasi, harus dilakukan evaluasi
tentang ada atau tidaknya infeksi dan gejala TB (lihat bab diagnosis)
• Jika terdapat gejala sugestif TB, harus dievaluasi untuk kemungkinan
sakit TB (lihat bab diagnosis)
• Catat semua anak yang teridentifikasi sebagai kontak TB pada
register TB 01
Gejala utama TB
a. BB turun atau sulit naik
b. Demam menetap > 2 minggu dan atau keringat malam
c. Batuk menetap ≥ 3 minggu, non remitting
d. Nafsu makan tidak ada disertai gagal tumbuh
e. Fatique, kurang bermain, kurang aktif
f. Diare menetap> 2 minggu
Juknis Manajemen TB Anak
51
Juknis
TB Anak
• Kontak dengan gejala sugestif TB harus dievaluasi menggunakan
sistem skoring.
• Jika tidak ada gejala sugestif TB, maka anak dapat dipertimbangkan
untuk mendapatkan pengobatan preventif dengan Isoniazid selama
6 bulan apabila anak berumur < 5 tahun.
Jika kasus indeks adalah anak dengan sakit TB
• Tentukan sumber kasus dengan melakukan identifikasi terhadap
orang dewasa yang pernah kontak erat dan atau kontak serumah
(sesuai definisi di atas) dalam 3 bulan terakhir.
• Jika dapat diidentifikasi, evaluasi apakah tersangka sumber kasus TB
dewasa tersebut sudah didiagnosis atau telah mendapat terapi TB.
• Jika belum, pastikan sumber kasus mendapat manajemen yang
layak sesuai pedoman kasus TB dewasa
• Identifikasi juga anak lain yang mungkin sudah terpapar dari
tersangka sumber kasus tersebut dan evaluasi sesuai langkahlangkah di atas.
C. Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid
Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa
dengan BTA sputum positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10%
dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak
kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB meningitis atau TB
milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah
terjadinya sakit TB.
Cara pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan tabel
berikut:
52
Umur
Balita
Balita
> 5 th
> 5 th
> 5 th
> 5 th
HIV
(+)/(-)
(+)/(-)
(+)
(+)
(-)
(-)
Juknis Manajemen TB Anak
Hasil pemeriksaan
Infeksi laten TB
Kontak (+), Uji tuberkulin (-)
Infeksi laten TB
Sehat
Infeksi laten TB
Sehat
Tata laksana
INH profilaksis
INH profilaksis
INH profilaksis
INH profilaksis
observasi
Observasi
Juknis
TB Anak
Keterangan
• Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/
kgBB (7-15 mg/kg) setiap hari selama 6 bulan.
• Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan
terhadap adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke
3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB
dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke regimen
terapi TB anak dimulai dari awal
• Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB
selama 6 bulan pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat
dihentikan.
• Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu
diberikan BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai.
Juknis Manajemen TB Anak
53
Juknis
TB Anak
BAB VIII
PENCATATAN, PELAPORAN DAN INDIKATOR TB ANAK
TB anak mencerminkan efektifitas dari program pengendalian TB,
termasuk deteksi kasus dewasa, pelacakan kontak, transmisi dari TB baik yang
sensitif maupun resisten obat, dan vaksinasi BCG. Pencatatan dan pelaporan TB
dan HIV pada anak secara akurat sangat penting dalam rangka meningkatkan
surveilans epidemiologi, mengukur luaran dari intervensi dan memungkinkan
perencanaan dan pengorganisasian pelayanan TB dan HIV anak. Pencatatan
dan pelaporan yang teratur juga dibutuhkan untuk dukungan teknis,
pemenuhan kebutuhan obat TB untuk anak dan menentukan jumlah petugas
yang diperlukan. Oleh karena itu, kasus TB anak harus selalu diikutserttakan
dalam pencatatan dan pelaporan Program TB Nasional. Pencatatan meliputi
pencatatan suspek, identifikasi kasus TB anak, pelacakan kontak, pengobatan,
follow up serta luaran pengobatan.
Pencatatan Kasus TB Anak
Semua anak yang diobati TB harus dicatat dalam formulir register TB.
Semua kolom dalam formulir register harus dilengkapi, termasuk umur
anak, jenis TBnya, status HIV dan pemberian PPK (Pengobatan Pencegahan
Kortimoksazol) dan ART jika terinfeksi HIV.
Pengelompokan umur untuk pencatatan dan pelaporan
• Anak 0-4 tahun (sampai 4 tahun 11 bulan)
• Anak 5-14 tahun
Formulir dan alur pencatatan kasus TB Anak
Formulir yang diperlukan untuk pencatatan kasus TB Anak adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
54
Daftar Tersangka (Suspek) TB (TB 06)
Kartu Pengobatan Pasien TB (TB 01)
Kartu Identitas Pasien TB (TB 02)
Register TB 03 UPK
Formulir Rujukan/ Pindah Pasien TB (TB 09)
Formulir Hasil akhir Pengobatan Pasien TB Pindah (TB 10)
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
Catatan:
Pada kasus TB dengan gejala klinis yang berat, setelah menelan seluruh
dosis OAT pengobatan pada bulan 6, hasil akhir pengobatan dapat
dinyatakan sebagai PL (Pengobatan Lengkap). Anak tetap melanjutkan
pengobatan sampai dinyatakan selesai oleh dokter berdasarkan
perbaikan tanda-tanda klinis..
Pada TB 03, di kolom Paduan Obat diubah menjadi Kode Paduan Obat,
dengan pilihan: 1 (Kat 1), 2(Kat 2), 3(Kat Anak dg 3 obat), 4(kat Anak
dg 4 obat), 5 (IPT)
Pasien TB anak setelah evaluasi 2 bulan, kemudian dinyatakan bukan
TB, dalam pencatatan hasil akhir pengobatan dilaporkan sebagai
Default.
Di samping pencatatan di register pengobatan TB, rekam medis di
fasilitas pelayanan kesehatan perlu tetap dipertahankan. Penting pula untuk
mengintegrasikan informasi skrining TB, hasilnya dan pengobatannya (kuratif
atau preventif) di dalam KMS anak. Hal ini akan dapat meningkatkan kelanjutan
pelayanan dan komunikasi antar pelayanan kesehatan. Perlu diciptakan
dan dibina hubungan antara pelayanan TB dan HIV serta pencatatan dan
pelaporannya dalam rangka kolaborasi TB/HIV.
Hasil akhir pengobatan TB anak
Definisi hasil akhir pengobatan untuk TB anak sama dengan yang dipakai
pada penderita TB dewasa untuk menjaga kesesuaian pelaporan baik pada
kasus TB anak maupun dewasa. Respon terapi pada anak TB paru BTA negatif,
TB paru tanpa pemeriksaan dahak, dan TB ekstra paru dinilai dengan penilaian
secara berkala tiap bulan dengan pencatatan pencapaian berat badan dan
perbaikan gejala klinis. Pada anak dengan TB paru BTA positif, pemeriksaan
dahak harus diulang sesuai dengan jadwal pemeriksaan ulang pada pasien TB
dewasa.
Juknis Manajemen TB Anak
55
Juknis
TB Anak
Tabel. Hasil Akhir Pengobatan TB anak
Hasil pengobatan
Sembuh
Pengobatan Lengkap
Gagal
Meninggal
Putus berobat
(loss to follow up)
Tidak ada hasil
evaluasi
Definisi
Pasien TB anak yang hasil pemeriksaan
bakteriologis positif pada awal pengobatan dan
telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap
dan pemeriksaan bakteriologis hasilnya negatif
pada AP dan pada satu pemeriksaan sebelumnya
Pasien TB anak yang telah menyelesaikan
pengobatannya secara lengkap tetapi tidak ada hasil
pemeriksaan bakteriologis ulang pada AP dan pada
satu pemeriksaan sebelumnya.
Pasien TB anak yang hasil pemeriksaan bakteriologis
positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan. Selain itu juga pasien yang diketahui
menjadi pasien TB MDR selama pengobatan, baik
dengan hasil BTA positif atau negatif.
Pasien TB anak yang meninggal dalam masa
pengobatan karena sebab apapun.
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturutturut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
Pasien TB yang hasil akhir pengobatan tidak
diketahui. Termasuk dalam kriteria ini adalah
”pasien pindah (transfer out)” ke fasyankes lain
Berbeda dengan penderita dewasa, kebanyakan TB anak tidak didiagnosis
secara mikroskopis, sehingga istilah “Sembuh” menjadi luaran yang jarang
terjadi karena memerlukan follow up secara mikroskopis. Oleh karena itu
banyak anak yang secara klinis telah sembuh setelah pengobatan penuh akan
tercatat sebagai “Pengobatan Lengkap”
Interpretasi Data kasus TB dan luarannya
56
Evaluasi hasil akhir pengobatan dengan analisi kohort pada anak
merupakan indikator penting dalam menilai kualitas program pengendalian
TB anak. Lebih lanjut, data jenis TB dan umur anak merupakan informasi yang
penting sebagai indikator penemuan kasus dan pencatatan TB anak.
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
Indikator Program TB anak
Untuk menilai kemajuan dan keberhasilan kegiatan tatalaksana TB anak,
digunakan 2 indikator utama yaitu:
1. Proporsi kasus TB anak terhadap seluruh kasus TB
Adalah prosentase seluruh kasus TB anak yang diobati di antara seluruh
kasus TB semua tipe yang diobati dalam periode satu tribulan
Numerator
Jumlah kasus TB anak yang diobati (tidak termasuk
anak yang mendapatkan pengobatan pencegahan
dengan INH)
Sumber Data :
• TB.07
Contoh :
Jumlah kasus TB anak (tidak termasuk anak yang
mendapatkan pengobatan pencegahan dengan
INH) yang diobati pada bulan januari sampai
dengan Maret 2013 adalah 15
Denominator
Jumlah seluruh kasus TB semua tipe yang diobati.
Sumber data :
• TB.07
Contoh:
Jumlah seluruh kasus TB semua tipe yang diobati
pada bulan Januari sampai dengan Maret 2013
adalah 100
Rumus perhitungan
indikator
Frekuensi perhitungan
Penanggung jawab
Jumlah kasus TB anak yang diobati
Jumlah seluruh kasus TB semua tipe x 100%
yang diobati
Dari contoh diatas, hasil perhitungan indikator
tersebut adalah = 15/100 x 100% = 15%
Setiap triwulan
Wasor Kabupaten/ Kota
Juknis Manajemen TB Anak
57
Juknis
TB Anak
Kegunaan dan penilaian Angka ini dianalisis dengan memperhatia
berbagai aspek. Angka indikator ini diharapkan
berkisar 8-15%. Pada kondisi dimana pencatatan
dan pelaporan berjalan dengan baik, angka ini
menggambarkan over atau under diagnosis, serta
rendahnya angka penularan TB pada anak. Bila
angka indokator ini kurang atau melebihi kisaran
yang diharapkan, maka perlu diperiksa prosedur
TB anak di fasyankes.
2. Proporsi anak yang sembuh dan pengobatan lengkap (Angka Keberhasilan
Pengobatan TB anak)
Adalah prosentase kasus TB anak yang dinyatakan sembuh dan pengobatan
lengkap pada hasil akhir pengobatan di antara seluruh kasus TB anak yang
diobati dalam periode satu tribulan
Numerator
Jumlah kasus TB anak yang dinyatakan sembuh dan
pengobatan lengkap pada hasil akhir pengobatan
(tidak termasuk anak yang mendapatkan
pengobatan pencegahan dengan INH)
Catatan: untuk kasus TB dengan pengobatan
lebih dari 6 bulan (misalnya pada kasus TB ekstra
paru berat), maka hasil akhir pengobatan yang
dimaksud adalah hasil pengobatan pada bulan
keenam
Sumber Data :
• TB.01 , atau TB.08
Contoh :
Jumlah kasus TB anak yang diobati mulai bulan
Januari sampai dengan Maret 2013 dan pada akhir
pengobatan, atau pada bulan keenam pengobatan
untuk yang diobati lebih dari enam bulan,
dinyatakan sembuh dan pengobatan lengkap (tidak
termasuk anak yang mendapatkan pengobatan
pencegahan dengan INH) adalah 13
58
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
Denominator
Rumus perhitungan
indikator
Jumlah seluruh kasus TB anak yang diobati (tidak
termasuk anak yang mendapatkan pengobatan
pencegahan dengan INH).
Sumber data :
• TB.01, atau TB.08
Contoh:
Jumlah seluruh kasus TB anak yang diobati (tidak
termasuk anak yang mendapatkan pengobatan
pencegahan dengan INH) pada bulan Januari
sampai dengan Maret 2013 adalah 15
Jumlah kasus TB anak yang dinyatakan
sembuh dan pengobatan lengkap pada x 100%
hasil akhir pengobatan
Jumlah seluruh kasus TB anak yang
diobati
Dari contoh diatas, hasil perhitungan indikator
tersebut adalah = 13/15 x 100% = 87%
Frekuensi perhitungan Setiap triwulan dan yang dilakukan perhitungan
adalah periode 1 tahun sebelumnya
Penanggung jawab
Wasor Kabupaten/ Kota
Kegunaan dan penilaian Angka ini menggambarkan kualitas tatalaksana TB
anak dalam program nasional
Angka indikator ini diharapkan sebesar
minimal 85%.
Bila kurang dari angka yang diharapkan, maka
perlu dilakukan evaluasi pemantauan pengobatan
terhadap kasus TB anak di wilayah tersebut
Selain 2 indikator utama tersebut, ada beberapa indikator proses yang
bisa digunakan untuk menilai keberhasilan kegiatan TB Anak yaitu:
Juknis Manajemen TB Anak
59
Juknis
TB Anak
1. Proporsi TB anak yang berumur 0-4 tahun terhadap seluruh kasus TB anak
Adalah prosentase seluruh kasus TB anak umur 0-4 tahun yang diobati di
antara seluruh kasus TB anak yang diobati dalam periode satu tribulan
Numerator
Jumlah kasus TB anak umur 0-4 tahun yang
diobati (tidak termasuk anak yang mendapatkan
pengobatan pencegahan dengan INH)
Sumber Data :
• TB.07
Contoh :
Jumlah kasus TB anak umur 0-4 tahun (tidak
termasuk anak yang mendapatkan pengobatan
pencegahan dengan INH) yang diobati pada bulan
Januari sampai dengan Maret 2013 adalah 3
Denominator
Jumlah seluruh kasus TB anak yang diobati (tidak
termasuk anak yang mendapatkan pengobatan
pencegahan dengan INH).
Sumber data :
• TB.07
Contoh:
Jumlah seluruh kasus TB anak yang diobati (tidak
termasuk anak yang mendapatkan pengobatan
pencegahan dengan INH) pada bulan Januari
sampai dengan Maret 2013 adalah 15
Rumus perhitungan
Jumlah kasus TB anak umur 0 - 4
indikator
tahun yang diobati
x 100%
Frekuensi perhitungan
Penanggung
jawab
60
Juknis Manajemen TB Anak
Jumlah seluruh kasus TB anak yang
diobati
Dari contoh diatas, hasil perhitungan indikator
tersebut adalah = 3/15 x 100% = 20%
Setiap triwulan
Wasor Kabupaten/ Kota
Juknis
TB Anak
Kegunaan dan penilaian Angka ini menggambarkan under diagnosis dan
under reporting kasus TB anak.
Angka indikator ini diharapkan lebih dari
50%. Kasus anak pada rentang umur 0-4 tahun
diharapkan lebih tinggi dari rentang umur 5-14
tahun, karena anak berumur 0 -4 tahun lebih
rentan terinfeksi TB daripada kelompok umur
5-14 tahun.
Bila kurang dari angka yang diharapkan, maka
perlu dicek prosedur diagnosis TB anak khususnya
pada anak usia 0-4 tahun di fasyankes serta bila
di puskesmas perlu dievaluasi koordinasi antara
layanan KIA dengan program TB
2. Proporsi kasus TB ekstra paru pada anak
Adalah prosentase kasus TB ekstra paru pada anak yang diobati di antara
seluruh kasus TB anak yang diobati dalam periode satu tribulan
Numerator
Jumlah kasus TB ekstra paru pada anak yang
diobati (tidak termasuk anak yang mendapatkan
pengobatan pencegahan dengan INH)
Sumber Data :
• TB.07
Contoh :
Jumlah kasus TB anak ekstra paru yang diobati
pada bulan Januari sampai dengan Maret 2013
adalah 2
Denominator
Jumlah seluruh kasus TB anak yang diobati (tidak
termasuk anak yang mendapatkan pengobatan
pencegahan dengan INH).
Sumber data :
• TB.07
Contoh:
Jumlah seluruh kasus TB anak yang diobati (tidak
termasuk anak yang mendapatkan pengobatan
pencegahan dengan INH) pada bulan Januari
sampai dengan Maret 2013 adalah 15
Juknis Manajemen TB Anak
61
Juknis
TB Anak
Rumus perhitungan
indikator
Jumlah kasus TB anak ekstra paru
yang diobati
x 100%
Jumlah seluruh kasus TB anak yang
diobati
Dari contoh diatas, hasil perhitungan indikator
untuk TB ekstra paru adalah = 2/15 x 100% = 13%
Frekuensi perhitungan Setiap triwulan
Penanggung jawab
Wasor Kabupaten/ Kota
Kegunaan dan penilaian Angka ini menggambarkan beban permasalahan
TB ekstra paru di suatu wilayah dan kondisi over
dan under diagnosis TB ekstra paru pada anak
3. Proporsi anak dengan TB milier, meningitis TB dan spondilitis TB
Adalah prosentase kasus TB anak dengan TB milier atau meningitis TB atau
spondilitis TB di antara seluruh kasus TB anak yang diobati dalam periode
satu tribulan
Numerator
Jumlah kasus TB anak dengan TB milier atau
meningitis TB atau spondilitis TB
Sumber Data :
• TB.01, atau TB.03
Contoh :
Jumlah kasus TB anak dengan TB milier atau
meningitis TB atau spondilitis TB pada bulan
Januari sampai dengan Maret 2013 adalah 1
Denominator
Jumlah seluruh kasus TB anak yang diobati (tidak
termasuk anak yang mendapatkan pengobatan
pencegahan dengan INH).
Sumber data :
• TB.01 , atau TB.07
Contoh:
Jumlah seluruh kasus TB anak yang diobati (tidak
termasuk anak yang mendapatkan pengobatan
pencegahan dengan INH) pada bulan Januari
sampai dengan Maret 2013 adalah 15
62
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
Rumus perhitungan
indikator
Jumlah kasus TB anak dengan TB
milier atau meningitis TB atau
spondilitis TB
x 100%
Jumlah seluruh kasus TB anak yang
diobati
Dari contoh diatas, hasil perhitungan indikator
tersebut adalah = 1/15 x 100% = 6%
Frekuensi perhitungan Setiap triwulan
Penanggung jawab
Wasor Kabupaten/ Kota
Kegunaan dan penilaian Angka ini menggambarkan kualitas pengobatan
TB anak
Angka ini seharusnya rendah di tempat yang angka
cakupan BCG nya tinggi, karena vaksinasi BCG
dapat mencegah terjadinya TB berat pada anak.
Jika angka tinggi maka beban kasus TB berat di
wilayah tersebut cukup besar dan perlu kerjasama
lintas program untuk menganalisis program
imunisasi BCG serta upaya peningkatan gizi di
wilayah tersebut. Jika angka indikator ini kecil,
maka perlu dievaluasi kualitas diagnosis TB anak
serta kewaspadaan pada kasus TB anak ekstra paru
4. Proporsi TB anak yang mengakses layanan HIV
Adalah prosentase kasus TB anak dengan layanan HIV (konseling pada orang
tua, tes HIV dan PDP) di antara seluruh kasus TB anak yang diobati dalam
periode satu tribulan
Numerator
Jumlah kasus TB anak dengan layanan HIV
(konseling pada orang tua, tes HIV dan PDP)
Sumber Data :
• TB.01 , atau TB.03
Contoh:
Jumlah kasus TB anak yang didiobati mulai Januari
sampai Maret 2012 dan mendapatkan konseling
HIV pada orang tuanya atau tes HIV atau layanan
PDP adalah 5
Juknis Manajemen TB Anak
63
Juknis
TB Anak
Denominator
Rumus perhitungan
indikator
Jumlah seluruh kasus TB anak yang diobati (tidak
termasuk anak yang mendapatkan pengobatan
pencegahan dengan INH).
Sumber data :
• TB.01,atau TB.07
Contoh:
Jumlah seluruh kasus TB anak yang diobati (tidak
termasuk anak yang mendapatkan pengobatan
pencegahan dengan INH) pada bulan Januari
sampai dengan Maret 2012 adalah 15
Jumlah kasus TB anak dengan
layanan HIV (konseling pada orang
tua, tes HIV dan PDP)
x 100%
Jumlah seluruh kasus TB anak yang
diobati
Dari contoh diatas, hasil perhitungan indikator
tersebut adalah = 5/15 x 100% = 33%
Frekuensi perhitungan Setiap triwulan
Penanggung jawab
Wasor Kabupaten/ Kota
Kegunaan dan penilaian Angka ini menggambarkan kolaborasi TB HIV pada
anak
Angka indikator ini diharapkan sebesar 100%
dari kasus anak.
Bila kurang atau lebih dari angka yang diharapkan,
maka perlu diupayakan untuk mempermudah
akses layanan HIV dan meningkatkan penyuluhan
tentang TB dan HIV
5. Proporsi TB anak yang dilakukan pelacakan kontak
Adalah prosentase kasus TB anak yang dilacak kontaknya di antara seluruh
kasus TB anak yang diobati
64
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
Numerator
Denominator
Rumus perhitungan
indikator
Jumlah kasus TB anak yang dilakukan pelacakan
kontak serumah dan atau kontak sesekolah
Sumber Data :
• TB.01
Contoh:
Jumlah kasus kasus TB anak yang dilacak kontaknya
pada periode Januari sampai Maret 2013 adalah 15
Jumlah seluruh kasus TB anak yang diobati (tidak
termasuk anak yang mendapatkan pengobatan
pencegahan dengan INH).
Sumber data :
• TB.01
Contoh:
Jumlah seluruh kasus TB anak yang diobati (tidak
termasuk anak yang mendapatkan pengobatan
pencegahan dengan INH) pada bulan Januari
sampai dengan Maret 2012 adalah 15
Jumlah kasus TB anak yang dilacak
kontaknya
x 100%
Jumlah seluruh kasus TB anak yang
diobati
Dari contoh diatas, hasil perhitungan indikator
tersebut adalah = 5/15 x 100% = 33%
Frekuensi perhitungan Setiap triwulan
Penanggung jawab
Pengelola TB di fasyankes
Kegunaan dan penilaian Angka ini menggambarkan kegiatan pelacakan
kontak pada kasus TB anak
Angka indikator ini diharapkan sebesar 100%
dari kasus anak.
Bila kurang atau lebih dari angka yang diharapkan,
maka akan berisiko pada kegagalan dalam
memutus rantai penularan dan timbul infeksi
berulang
Juknis Manajemen TB Anak
65
Juknis
TB Anak
BAB IX
PERAN, TUGAS POKOK DAN FUNGSI FASILITAS
PELAYANAN KESEHATAN DALAM TATALAKSANA TB ANAK
NO
TUPOKSI
1 PENJARINGAN
SUSPEK
2 DIAGNOSIS
66
PELAYANAN
KESEHATAN DASAR
Pelayanan dasar
melaksanakan
penjaringan suspek TB
anak dengan cara :
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
Bila 1 + 2 menunjukkan
TB, maka dinilai dengan
menggunakan skoring
sistem, bila skoring ≥ 6,
dinyatakan TB
RUJUKAN TK. I
RSUD KABUPATEN /
KOTA
Rujukan tk.I
melaksanakan
penemuan kasus TB
anak dengan cara :
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
Bila 1 + 2 mengarah TB,
maka penilaian sistem
skoring dapat digunakan
sebagai entry point
bersama pemeriksaan
penunjang lain yang
dianggap perlu (spt.
Biopsi dan kultur) dalam
menegakkan diagnosis
definitif TB.
Bila hasil penilaian
Menerima rujukan dari Menerima rujukan dari
sistem skoring < 6, tetapi fasyankes dasar dengan fasyankes di bawahnya
gejala klinis mengarah
melengkapi parameter
dengan pemeriksaan lain
kepada TB maka harus penilaian skoring sistem yang dianggap perlu.
merujuk ke rujukan tk.1 atau pemeriksaan lain
Bila pasien tidak
yang dianggap perlu (uji
memungkinkan untuk
tuberkulin dan rontgen
dirujuk, diagnosis
foto toraks)
dapat ditegakkan
dengan merujuk pada
keterangan dalam
sistem skoring pada bab
diagnosis
Juknis Manajemen TB Anak
Bila 1 + 2 menunjukkan
TB, maka dinilai dengan
menggunakan skoring
sistem, bila skoring ≥ 6,
dinyatakan TB
RUJUKAN TK.II
RS RUJUKAN UTAMA
PROVINSI
Rujukan tk.II
melaksanakan
penemuan kasus tb anak
dengan cara :
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
Juknis
TB Anak
3 PENGOBATAN
A. PEMBERIAN
OAT
Bila diagnosis TB anak
telah ditegakkan, maka
dilakukan pemberian
oat sesuai kategori anak
yang digunakan secara
nasional sesuai dengan
penyakitnya
Bila diagnosis TB anak
telah ditegakkan, maka
dilakukan pemberian
oat sesuai regimen
yang digunakan secara
nasional sesuai dengan
penyakitnya
Pemantauan kasus
dilakukan dengan cara
menilai kemajuan
perbaikan klinis,
perkembangan fisik dan
psikologis
Bila dalam 2 bulan
pengobatan tidak
ada perbaikan maka
obat tetap diteruskan,
pasien harus dirujuk ke
fasyankes rujukan
Pemantauan kasus
dilakukan dengan cara
menilai kemajuan
perbaikan klinis,
perkembangan fisik dan
psikologis
Menerima rujukan dari
fasyankes dasar dan
menindak lanjuti dengan
melakukan pemeriksaan
yang dianggap perlu.
B. FOLLOW UP
KASUS
4 PENCATATAN
DAN
PELAPORAN
5 INDIKATOR
Bila diagnosis TB anak
telah ditegakkan, maka
dilakukan pemberian
oat sesuai regimen
yang digunakan secara
nasional sesuai dengan
penyakitnya kecuali
pada kasus-kasus khusus
seperti reaksi obat yang
tidak diinginkan, suspek
MDR)
Pemantauan kasus
dilakukan dengan cara
menilai kemajuan
perbaikan klinis,
perkembangan fisik dan
psikologis
Menerima rujukan dari
fasyankes dibawahnya
dan menindak lanjuti
dengan melakukan
pemeriksaan yang
dianggap perlu
Setelah dilakukan
pengobatan maka
fasyankes rujukan
dapat merujuk kembali
ke fasilitas kesehatan
sebelumnya
Setelah dilakukan
pengobatan maka
fasyankes rujukan dapat
merujuk kembali ke
fasilitas kesehatan dasar
sebelumnya bila kondisi
pasien stabil.
Semua fasilitas pelayanan kesehatan melakukan pencatatan & pelaporan
dengan form TB yang baku (TB.06, TB.05, TB.04, TB.01, TB.02, TB.09 dan
TB.10)
Untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan TB di fasyankes, maka
dibutuhkan pencatatan yang baku dan menggunakan indikator sesuai
Buke Pedoman Nasional TB dan melengkapi dengan indikator proses yang
diperlukan oleh fasyankes
Juknis Manajemen TB Anak
67
Juknis
TB Anak
6 SISTEM
RUJUKAN
A. RUJUKAN
TATA LAKSANA
PASIEN
68
(1). Bila ditemukan
kasus-kasus berat,dan
adanya komplikasi paru
maka Fasyankes dasar
harus merujuk pasien TB
ke Fasyankes Rujukan
dengan menggunakan
form standar TB
(2). Bila pasien TB akan
pindah ke Fasyankes
yang setingkat karena
alasan dekat ataupun
alasan lainnya
Juknis Manajemen TB Anak
(1). Bila ditemukan
kasus-kasus berat, dan
adanya komplikasi
paru yang memerlukan
sarana prasarana yang
lebih lengkap maka
Fasyankes harus
merujuk pasien TB ke
Fasyankes Rujukan
dengan menggunakan
form standar TB
(2). Bila pasien TB akan
pindah ke Fasyankes
yang setingkat karena
alasan dekat ataupun
alasan lainnya.
(3). Bila dalam
kasus berat, kondisi
pasien telah teratasi
maka pasien dapat
dikembalikan ke
Fasyankes yang merujuk.
(4). Bila pasien TB
mangkir, Fasyankes
Rujukan dapat
berkoordinasi dengan
Puskesmas dan Wasor
untuk membantu
pelacakan pasien
mangkir.
(1). Bila pasien TB akan
pindah ke Fasyankes
yang setingkat karena
alasan dekat ataupun
alasan lainnya.
(2). Bila dalam
kasus berat, kondisi
pasien telah teratasi
maka pasien dapat
dikembalikan ke
Fasyankes yang merujuk.
(3). Bila pasien TB
mangkir, Fasyankes
Rujukan dapat
berkoordinasi dengan
Puskesmas dan Wasor
untuk membantu
pelacakan pasien
mangkir.
Juknis
TB Anak
B. RUJUKAN
PENYUNTIKAN
TUBERKULIN
(1). Fasyankes dasar
dapat berfungsi sebagai
fasyankes dan fasyankes
rujukan tuberkulin
(2.).Fasyankes rujukan
tuberkulin menerima
rujukan untuk
melakukan uji tuberkulin
dari fasyankes
(3). Fasyankes rujukan
tuberkulin dapat
mendiagnosis TB anak
dengan tambahan
uji tuberkulin atau
mengirim pasien
yang diuji tuberkulin
untuk dibaca dan
atau didiagnosis oleh
fasyankes pengirim.
(1) Rujukan Tk 1 dapat
berfungsi sebagai
fasyankes dan fasyankes
rujukan tuberkulin
(2.).Fasyankes rujukan
tuberkulin menerima
rujukan untuk
melakukan uji tuberkulin
dari fasyankes
(3). Fasyankes rujukan
tuberkulin mendiagnosis
TB anak dengan
tambahan uji tuberkulin
atau dapat mengirim
pasien yang diuji
tuberkulin untuk dibaca
dan atau didiagnosis
oleh fasyankes pengirim.
(1) Rujukan Tk 2 dapat
berfungsi sebagai
fasyankes dan fasyankes
rujukan tuberkulin
(2.).Fasyankes rujukan
tuberkulin menerima
rujukan untuk
melakukan uji tuberkulin
dari fasyankes
(3). Fasyankes rujukan
tuberkulin mendiagnosis
TB anak dengan
tambahan uji tuberkulin
atau dapat mengirim
pasien yang diuji
tuberkulin untuk dibaca
dan atau didiagnosis
oleh fasyankes pengirim.
Juknis Manajemen TB Anak
69
Juknis
TB Anak
Anak 0 - 14 tahun
Anak 0 - 14 tahun
Suspek TB Anak
Suspek TB Anak
Sistem Skoring
Sistem Skoring
a
Penyuntikan Uji Tuberkulin
b
Pembacaan Uji Tuberkulin
Penegakan Diagnosis
Terapi TB Anak
Fasyankes
Pembacaan Uji Tuberkulin
c
d
Penegakan Diagnosis
Terapi TB Anak
Fasyankes Rujukan Tuberkulin
a. Pasien dirujuk untuk penyuntikan tuberkulin ke fasyankes rujukan
b. Pasien dikembalikan untuk dibaca hasil tuberkulin di fasyankes
c. Pasien dibaca tuberkulin di fasyankes rujukan tuberkulin,
kembali ke fasyankes asal untuk penegakan diagnosis
d. Pasien ditegakkan diagnosis di fasyankes rujukan tuberkulin,
kembali ke fasyankes asal untuk memulai pengobatan
Alur Rujukan Tuberkulin di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
70
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
BAB X
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI TB
Pengendalian infeksi TB terutama adalah diagnosis kasus TB dan
pengobatan yang adekuat, serta mengikuti perkembangan pasien dengan baik
(tidak terjadi drop-out) di tingkat pelayanan kesehatan manapun. Selain upaya
di atas, diperlukan pula perbaikan lingkungan rumah seperti ventilasi (pintu
dan jendela) yang baik dan masuknya sinar matahari ke dalam rumah secara
efektif. Pengendalian transmisi TB di klinik HIV juga perlu diperhatikan karena
anak terinfeksi HIV merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap infeksi
apapun terutama TB dan apabila mereka sakit TB maka dapat menjadi sumber
penularan selanjutnya.
Pencegahan penularan dan infeksi pada orang serumah serta fasilitas
pelayanan kesehatan merupakan komponen penting pada kontrol dan
tatalaksana TB pada anak. Petugas kesehatan yang menangani pasien TB
merupakan kelompok risiko tinggi untuk terinfeksi TB. Penularan infeksi
rumah sakit kuman M. tuberkulosis dari pasien TB ke petugas kesehatan sudah
diketahui sejak lama dan angka kejadiannya terus meningkat.
Pengendalian infeksi pada fasilitas pelayanan kesehatan dimulai dari aspek
dukungan manajemen berupa komitmen dan kepemimpinan dalam kegiatan
pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan itu sendiri. Kegiatan
lainnya berupa upaya pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan
dengan 4 pilar utama
a. Pilar aktivitas manajemen
Komitmen, kepemimpinan dan dukungan manajemen yang efektif
dalam kegiatan PPI TB di fasyankes.
Tujuan pengendalian manajerial adalah untuk menjamin tersedianya
sumberdaya terlatih yang diperlukan untuk pelaksanaan PPI. Kegiatan
pengendalian manajerial meliputi pembuatan kebijakan, perencanaan,
pelaksanaan, monitoring serta evaluasi pada semua aspek PPI TB
b. Pilar pengendalian administratif
Tujuan pengendalian administratif adalah untuk melindungi petugas
kesehatan, pengunjung dan pasien dari penularan TB dan untuk
menjamin tersedianya sumberdaya yang diperlukan untuk pelaksanaan
PPI.
Juknis Manajemen TB Anak
71
Juknis
TB Anak
c. Pilar pengendalian lingkungan
Tujuan dari pengendalian lingkungan adalah untuk mengurangi
konsentrasi droplet nuclei di udara dan mengurangi keberadaan bendabenda yang terkontaminasi sesuai dengan epidemiologi infeksi.
Pengendalian lingkungan adalah upaya dengan menggunakan teknologi
yang bertujuan untuk mengurangi penyebaran dan menurunkan
kadar percik renik di udara sehingga tidak menularkan orang lain.
Upaya pengendalian dapat dilakukan dengan sistem ventilasi yang
menyalurkan percik renik kearah tertentu atau ditambah dengan
penggunaan radiasi ultraviolet
d. Pilar pengendalian alat pelindung diri (APD)
Pengendalian perlindungan diri adalah untuk melindungi petugas
kesehatan yang harus bekerja di lingkungan dengan kontaminasi
percik renik di udara yang tidak dapat dihilangkan seluruhnya dengan
pengendalian administratsi dan lingkungan
Tindakan efektif pencegahan dan pengendalian infeksi TB tanpa stigma
1. Penyuluhan kesehatan kepada pasien dan masyarakat
2. Membuat rencana pengendalian infeksi
3. pengumpulan sputum yang aman
4. Menggalakkan etika batuk dan hygiene batuk
5. Pisahkan pasien curiga TB untuk mendapat layanan cepat
6. Lakukan diagnosis dan tatalaksana dengan cepat
7. Ventilasi udara yang baik
8. Petugas kesehatan memakai APD
9. Bangunan fasilitas kesehatan yang menunjang
10.Monitor pelaksanaan infeksi kontrol
Pada daerah endemik TB, selain risiko tinggal di lingkungan dengan kasus
TB menular yang relative tinggi, terdapat risiko penularan TB pada anak-anak
yang datang ke fasyankes. Risiko infeksi tersebut meningkat untuk bayi dan
anak atau anak yang terinfeksi HIV dari segala usia yang datang ke fasyankes
dengan orangtuanya. Risiko paparan TB semakin besar di fasyankes yang
menangani kasus TB HIV.
72
Anak dengan TB sering tidak dianggap menular dan karena itu tidak
mungkin untuk menularkan TB. Namun, beberapa anak dengan BTA positif
dapat menularkan TB, oleh karena itu pengendalian infeksi juga penting di
klinik anak. Beberapa lokasi yang perlu penguatan pengendalian infeksi adalah:
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
• Perawatan bayi baru lahir
• Fasyankes yang melayani pasien TB dewasa dan TB anak. Pengaturan
jam kunjungan klinik juga penting untuk mengatur waktu kunjungan
antara pasien TB dan anak yang memiliki resiko tinggi untuk tertular
• klinik HIV
• Fasyankes yang merawat anak dengan gizi buruk
Anak usia sekolah dengan TB sebaiknya istirahat dirumah sampai diketahui
statusnya tidak menular.
Juknis Manajemen TB Anak
73
Juknis
TB Anak
BAB XI
DAFTAR PUSTAKA
Department of Health and Human Services, 2002, 2000 CDC Growth Chart for
the United States: Methods and Development
International Journal of Tuberculosis and Lung Disease, 2004, Bab Jumlah
Populasi berdasarkan usia, 8:627-9
Kemenkes, 2013, Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-Infeksi TB HIV
Kemenkes, 2011, Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis,
Kemenkes, 2011, Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis,
Depkes-IDAI, 2008, Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis Anak, Kelompok
Kerja TB Anak
Mark Nicol, use of Xpert MTB/RIF for the diagnosis of tuberculosis in
children, Unpublished
UKK Respirologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008, Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak, edisi ke2 dengan revisi
WHO, 2006, Guidance for national tuberculosis programmes on yhe
management of tuberculosis in children
WHO, September 2009, Dosing instruction for the use of currently available
fixed-dose combination TB medicines for children
WHO, 2006, Ethambutol efficacy and toxicity: literature review and
recommendations for daily and intermittent dosage in children
WHO, 2012, Rapid Advice Treatment of Tuberculosis in Children
WHO, 2012, Draft of Guidance for national tuberculosis programmes on yhe
management of tuberculosis in children, Second edition
74
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
Lampiran 1.
Pelaksanaan Uji Tuberkulin
Persiapan penyuntikan tuberkulin
1. Bahan (antigen) yang digunakan untuk Uji Tuberkulin di Indonesia yaitu
Purified Protein Derivative atau biasanya disingkat dengan PPD. PPD yang
digunakan adalah PPD RT 23 dengan Tween 80.
2. Tulislah tanggal pada setiap vial dari PPD pada waktu PPD tersebut dibuka.
Jangan menggunakan PPD yang sudah dibuka lebih dari 30 hari.
3. PPD harus disimpan di tempat yang dingin (suhu 2 – 8 derajat Celcius) yaitu
dalam refrigrator (lemari es) atau dalam cool-box atau vaccine-carrier dengan
cool-pack. Jangan menyimpan dalam freezer sebab PPD tidak boleh beku. PPD
yang beku, tidak dapat digunakan untuk Uji Tuberkulin dan harus dibuang.
4. Simpanlah PPD ditempat yang terlindung dari sinar matahari. Jika PPD
tersebut terpapar dengan sinar matahari untuk suatu jangka waktu yang
lama, PPD tersebut tidak dapat digunakan lagi.
5. Alat suntik (semprit) yang digunakan untuk uji tuberkulin ini adalah
semprit sekali-pakai khusus untuk tuberkulin yaitu semprit 1 cc dengan
jarum 26 – 27 gauge yang panjangnya 1 cm dan 20o bevel.
Cara melakukan uji tuberkulin
1. Cara mengambil Tuberkulin PPD dari vial:
A. Tusukkan jarum secara vertikal ke dalam vial
B. Ambil tuberkulin PPD sebanyak 0,1 ml dengan cara membalik vial
kemudian cabut jarum dari vial.
C. Ganti jarum dengan yang baru (ukuran No 26/ 27 G). Jarum yang sudah
digunakan untuk mengambil PPD dari vial tidak boleh digunakan untuk
menyuntikkan PPD tersebut.
2. Pemilihan lokasi penyuntikan , a dan antisepsis
a. Lokasi pada volar lengan bawah 5-10 cm di
bawah lipatan siku atau daerah 1/3 tengah
dari lengan bawah
b. Pilih area yang bersih dari luka, lesi kulit atau
jaringan parut
c. Lakukan asepsis dan antisepsis dengan kapas
alkohol
5 – 10 cm
Juknis Manajemen TB Anak
75
Juknis
TB Anak
3. Penyuntikan secara intra kutan / intra dermal
a. Masukkan jarum secara perlahan, lubang ujung jarum menghadap ke
atas, membentuk sudut 5–15° dengan permukaan lengan.
b. Lubang ujung jarum harus masuk tepat di dalam permukaan kulit
(sampai sebatas lubang ujung jarum).
76
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
4. Pengecekan suntikan
a. Setelah dilakukan injeksi yang benar, akan terlihat intradermal wheal
(penonjolan di tempat penyuntikkan berwarna pucat dengan gambaran
pori-pori seperti kulit jeruk) dengan diameter 5–6mm.
b. Setelah jarum suntik dicabut, daerah penyuntikkan jangan diusap atau
ditekan dengan kapas atau alat lain.
c. Jika tidak berhasil (tidak terlihat intradermal wheal), lakukan ulangan
pada lokasi paling sedikit berjarak 5 cm dari tempat suntikan
sebelumnya.
d. Jangan dilingkari dengan pulpen/spidol, karena dapat menghalangi
pembacaan hasil. Data-data dicatat di dalam catatan medis.
5. Pencatatan data
a. Catat data yang diperlukan pada catatan medis, yaitu berupa tanggal
dan jam dilakukannya penyuntikan, lokasi penyuntikan dan nomer lot
PPD.
Pembacaan Uji Tuberkulin
Hasil uji tuberkulin harus dibaca 72 jam setelah penyuntikan. Indurasi
yang baik dan dapat dinilai adalah indurasi yang bulat, permukaan rata dan
berwarna merah. Jika permukaan indurasi tidak rata atau terdapat tonjolan di
tengahnya, maka indurasi tidak dapat dibaca karena merupakan tanda adanya
infeksi di lokasi penyuntikkan dan dinilai ulang 2 hari lagi. Bila indurasi
berwarna biru atau kehitaman berarti menunjukkan ada hematom sehingga
tidak dapat dinilai dan harus dilakukan uji tuberkulin ulang setelah 2 minggu.
Pengukuran indurasi dilakukan secara transversal dari indurasi.
1. Inspeksi lokasi penyuntikan
- Secara visual lakukan inspeksi
pada lokasi penyuntikan di tempat
yang terang dengan pencahayaan
yang baik, dan yang akan diukur
adalah
indurasinya
bukan
kemerahan pada kulit (eritema).
eritema
indurasi
Juknis Manajemen TB Anak
77
Juknis
TB Anak
2. Palpasi indurasi
- Gunakanlah ujung jari untuk meraba
batas / tepi indurasi. Palpasi jari
dilakukan dari area luar ke arah indurasi.
3. Tandai indurasi
- Ujung jari digunakan sebagai petunjuk
untuk menandai tepi indurasi, tandai
dengan pena.
-Dapat juga menggunakan metode
ballpoint, yaitu ujung pena ditarik dari
area di luar kemerahan menuju ke arah
indurasi sampai ujung pena terasa
mengenai tepi indurasi
4. Ukur diameter indurasi menggunakan penggaris elastis yang transparan
- Tempatkan “nol / 0” dari penggaris di sisi
kiri batas indurasi
- Baca nilai di tepi kanan indurasi
5. Catat diameter indurasi
- Jangan mencatat hasil sebagai “positif” atau “negatif”
- Catatlah hasil dalam skala mm
- Jika tidak ada indurasi, catat hasil : 0 mm
78
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
Interpretasi hasil Uji Tuberkulin
Tabel Hasil Pembacaan Uji Tuberkulin
Pembacaan
Negatif
Indurasi
0-4
Positif meragukan 5 - 9
Positif
10 - 14
≥ 15
Penafsiran
Tidak ada infeksi
Sedang dalam masa inkubasi
Anergi
Infeksi M.Atipik
BCG
Infeksi TB alamiah
Kesalahan teknis
Infeksi TB alamiah
BCG
Infeksi M atipik
Sangat mungkin infeksi TB alamiah
Juknis Manajemen TB Anak
79
Juknis
TB Anak
Lampiran 2
Pengambilan Sampel pada Anak
Prosedur dasar metode umum mendapatkan spesimen dari anak untuk
pemeriksaan mikroskopi : ekspektorasi, bilas lambung dan induksi sputum.
A. Ekspektorasi
Latarbelakang
Semua spesimen sputum yang diproduksi oleh anak harus dikirim
untuk pemeriksaan mikroskopi, dan bila tersedia untuk biakan kuman
Mtb. 3 spesimen sputum harus didapatkan yaitu :
1. Spesimen sewaktu (pada evaluasi pertama)
2. Spesimen pagi hari hari dan spesimen sewaktu kedua (pada kunjungan
selanjutnya)
Prosedur
Jelaskan pada anak dan keluarganya tujuan pengumpulan spesimen
1. Perintahkan anak untuk berkumur dengan air sebelum menghasilkan
sputum. Tujuan : untuk membersihkan makanan dan bakteri yang dapat
mengkontaminasi di mulut.
2. Perintahkan anak menarik dua kali nafas panjang, tahan selama beberapa
detik setelah setiap inhalasi lalu keluarkan nafas perhalan. Bernafas lagi
untuk ketiga kalinya lalu dengan kuat keluarkan udara keluar. Minta anak
untuk menarik nafas kembali lalu batuk. Tindakan ini akan menghasilkan
sputum dari dalam paru. Minta anak memegang kontainer sputum dekat
dengan bibir dan masukkan sputum ke kontainer setelah batuk produktif.
3. Jika jumlah sputum tidak cukup, minta pasien untuk batuk lagi.Banyak
pasien tidak dapat memproduksi sputum dari dalam saluran pernafasan
hanya dalam beberapa detik. Berikan anak waktu yang cukup untuk
memproduksi ekspektorasi.
4. Bila tidak ada ekspektorasi, anggap kontainer sudah digunakan dan buang
pada tempat yang sesuai.
80
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
B. Bilas lambung
Latarbelakang
Anak dengan TB dapat menelan mukus yang mengandung M.
tuberculosis. Bilas lambung merupakan teknik yang digunakan untuk
mengumpulkan isi lambung untuk dapat mengkonfirmasi diagnosis TB
dengan mikroskop dan biakan kuman Mtb. Karena distress yang akan
dialami anak, dan rendahnya lapang pandang BTA positif di mikroskop,
maka prosedur ini hanya dilakukakan bila biakan tersedia. Mikroskopi
kadang bisa memberikan hasil false-positive (terutama pada anak yang
terinfeksi HIV yang berisiko memiliki mycobacteria nontuberculous).
Biakan dapat menentukan kepekaan organisme terhadap obat anti TB.
Bilas lambung digunakan untuk mengumpulkan spesimen untuk
pemeriksaan mikroskopi dan biakan kuman MTb dimana sputum tidak
dapat diekpektorasi secara spontan ataupun diinduksi dengan menggunakan
salin hipertonis. Prosedur ini paling berguna untuk anak yang dirawat di RS.
Namun, hasil biakan positif dari 3 set bilas lambung hanya sekitar 25-50%
dari anak dengan TB aktif.Sehingga, hasil smear ataupun biakan negatif tidak
mengeksklusi TB pada anak.Bilas lambung dikumpulkan dari anak yang
dicurigai pulmonary Tb. Selama tidur, sistem mukosiliary menyebabkan
mukus berkumpul di tenggorakan. Mukus lalu tertelan dan tertinggal di
lambung sampai lambung kosong. Sehingga, spesimen yang mengandung
jumlah bakteri terbanyak didapatkan di pagi hari.
Bilas lambung tiga pagi berturut-turut harus dilakukan pada tiap
pasien.Angka ini untuk memaksimalkan lapang pandang smear-positivity.
Sebagai catatan, bilas lambung yang pertama memiliki lapang pandang
terbesar.Untuk melaksanakan test secara benar biasanya dibutuhkan dua
orang (satu melaksanakan test dan satu lagi sebagai asisten). Anak puasa
setidaknya 4 jam (3 jam pada bayi) sebelum prosedur dan anak dengan
hitung trombosit yang rendah atau kemungkinan pendarahan sebaiknya
tidak menjalani prosedur ini.
Peralatan yang dibutuhkan:
• Sarung tangan
• Nasogastric tube ( biasanya ukuran 10 F atau lebih besar )
• Syringe 5, 10, 20 or 30 cm3dengan konektor nasogastric tube yang
sesuai
Juknis Manajemen TB Anak
81
Juknis
TB Anak
•
•
•
•
•
•
•
Kertas litmus
Kontainer spesimen
Pulpen untuk memberi label spesimen
Formulir permintaan laboratorium
Air steril atau normal salin (0.9% NaCl)
Larutan Na bicarbonate (8%)
alkohol/chlorhexidine.
Prosedur
Prosedur dapat dilakukan pada pasien rawat inap, pagi hari ketika
pasien bangun di bedside atau di ruangan tindakan yang ada di bangsal, atau
pada pasien rawat jalan (diperlukan fasilitas yang lengkap). Anak berpuasa
setidaknya 4 jam (bayi 3 jam) sebelum prosedur.
82
1. Cari asistan untuk membantu
2. Siapkan semua peralatan sebelum memulai prosedur
3. Posisikan anak dengan posisi terlentang atau miring. Asisten membantu
memegang pasien.
4. Tentukan jarak antara hidung dan lambung, untuk memperkirakan jarak
yang akan dibutuhkan untuk memasukan tube ke dalam lambung.
5. Sambungkan syringe ke nasogastric tube.
6. Masukan nasogastric tube dengan lembut melalui hidung sampai ke
lambung.
7. Aspirasi isi lambung (2-5 ml) menggunakan syringe yang sudah melekat ke
nasogastric tube.
8. Untuk memeriksa posisi tube benar atau tidak, test isi lambung dengan
kertas litmus, kertas litmus biru berubah menjadi merah (dalam respons
terhadap asam lambung) (Juga bisa diperiksa dengan memasukan beberapa
udara (3-5 ml0 dari syringe ke lambiung dan dengarkan menggunakan
stetoskop).
9. Jika tidak ada cairan yang teraspirasi, masukan 5-10 ml air atau normal
saline dan coba untuk mengaspirasi lagi
• Jika masih belum berhasil coba lagi (walaupun posisi nasogastric tube
tidak benar dan air ataupun normal salin masuk kedalam saluran udara,
risiko efek samping sangatlah kecil)
• Jangan diulangi lebih dari tiga kali.
10.Ambil isi lambung (idealnya 5-10 ml)
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
11.Pindahkan cairan lambung dari syringe ke kontainer steril (sputum
collection cup).
12.Tambahkan volume cairan sodium bicarbonate sejumlahspesimen ( untuk
menetralkan isi lambung yang asam dan mencegah pengrusakan basil
tuberkel).
Setelah prosedur
1. Seka kontainer spesimen dengan alkohol/chlorhexidineuntuk mencegah
infeksi silang dan beri label.
2. Isi formulir permintaan laboratorium.
3. Transportasikan spesimen (di cool box) ke laboratorium untuk diproses
secepat mungkin (dalam 4 jam)
4.Jika ada kemungkinan dibutuhkan waktu lebih dari 4 jam untuk
metransportasikan spesimen, letakkan dalam refrigerator (4–8 °C) dan
simpan sampai bisa ditransportasikan.
5. Berikan anak makanan seperti biasa.
Keamanan
Bilas lambung biasanya merupakan prosedur yang tidak menghasilkan
aerosol. Anak hanya berisiko kecil mentransmisikan infeksi, sehingga dapat
dilakukan dengan aman di kamar rawat inap atau ruang tindakan rutin.
C. Induksi sputum
Tidak seperti bilas lambung, induksi sputum merupakan prosedur yang
menghasilkan aerosol. Bila memungkinkan, prosedur ini sebaiknya dilakukan
diruang isolasi yang memiliki tindakan pencegahan kontrol infeksi yang
mencukupi (negative pressure, sinar ultraviolet (nyalakan jika ruang tidak
digunakan) dan kipas ekstraktor).
Induksi sputum merupakan prosedur yang berisiko rendah. Hanya sedikit
efek samping yang dilaporkan,seperticoughing spells, mild wheezingdan
epistaksis. Penelitian terbaru menunjukkan prosedur ini dapat dilakukan
dengan aman pada bayi.(2), namun staf memerlukan pelatihan dan peralatan
khusus untuk melakukan prosedur ini pada bayi.
Juknis Manajemen TB Anak
83
Juknis
TB Anak
Pendekatan umum
Periksa anak sebelum prosedur untuk memastikan mereka cukup sehat
untuk menjalani prosedur.Anak dengan karakteristik dibawah ini sebaiknya
tidak menjalani induksi sputum :
• Belum cukup puasa : jika anak belum puasa setidaknya 3 jam, tunda
prosedur sampai waktu yang tepat.
• Distress pernafasan berat (termasuk tachypnea, wheezing, hipoksia)
• Sedang dalam intubasi
• Perdarahan : hitung trombosit rendah, kemungkinan pendarahan,
epistaksis (simptomatik atau hitung platelet<50/ml darah).
• Penurunan kesadaran
• Riwayat asma (yang didiagnosis dan ditatalaksana oleh klinisi)
Prosedur
1. Berikan bronkodilator (contoh salbutamol) untuk mengurangi risiko
wheezing.
2. Berikan nebulisasi saline hipertonic (3% NaCl) selama 15 menit atau
sampai 5 cm3larutan sudah diberikan.
3. Berikan fisioterapi dada bila perlu; hal ini berguna untuk memobilisasi
sekresi.
4. Untuk anak yang lebih besar dan sudah bisa ekspektorasi, ikuti prosedur
di section A untuk mengekspektorat sputum.
5. Untuk anak yang tidak dapat mengekspektorate (contoh anak yang
lebih muda), lakukan :
(i) suction hidung untuk membersihkan sekresi nasalatau (ii)aspirasi
nasopharyngealuntuk mengumpulkan spesimen yang sesuai.
Setiap peralatan yang akan digunakan kembali harus didisinfektan dan
disterilisasi sebelum digunakan pada pasien berikutnya.
84
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
Lampiran 3
Perhitungan status gizi pada anak
Perhitungan status gizi pada anak sebaiknya menggunakan parameter BB/TB,
tetapi pengkuran BB/U dapat membantu
Perhitungan BB/TB
1. Perhitungan status gizi anak usia < 5 tahun
a. menghitung BB/PB pada anak < 2 tahun atau BB/TB pada anak >2
tahun
b. Menggunakan kurva WHO Z score 2007 yang dibedakan berdasar
jenis kelamin, dengan cara sebagai berikut:
1) Pada kurva WHO sesuai dengan kriteria umur dan jenis kelamin,
tentukan titik perpotongan Berat (Weight) di aksis sebelah kiri
dengan Tinggi (Length) di aksis bawah dari kurva.
2)Tentukan titik tersebut berada pada garis kurva berapa SD
(Standard Deviasi)
3) Kriteria yang dipakai sebagai berikut:
• < -3 SD : gizi buruk
• < -2 SD : gizi kurang
• -2 SD s.d +1 SD : gizi baik
2. Perhitungan status gizi anak usia > 5 tahun
a. Menggunakan kurva CDC tahun 2000 dengan cara sebagai berikut
1) Pilih kurva CDC sesuai dengan jenis kelamin dan umur dari anak
yang akan diukur status gizinya
2) Pada kurva CDC, terdapat 2 macam grafik (dengan masingmasing 7 garis) dalam 1 kurva
3) Hitung Tinggi badan dan Berat Badan dari anak yang akan
diukur.
4) Dengan Tinggi badan anak yang akan diukur status gizinya,
pada grafik sebelah atas, tentukanperpotongan antara Panjang
(Length) dengan garis kurva yang paling tengah
5) Dari titik perpotongan tersebut, tarik garis ke bawah sampai
memotong garis tengah dari grafik kedua (grafik bawah).
6) Pada perpotongan dengan grafik kedua, tarik garis ke kanan dan
tentukan berapa Berat (Weight).
7) Berat (Weight) yang ditemukan merupakan Berat Badan Ideal
Juknis Manajemen TB Anak
85
Juknis
TB Anak
dari anak yang akan diukur status gizinya.
8)Hitung prosentase Berat badan anak dengan berat badan
idealnya dengan rumus : BB anak/BB ideal x 100%
9)Dengan Kriteria Waterlow 1972, tentukan status gizi anak
sebagai berikut:
• >90-110%
⇒ normal
• >80-90% ⇒ mild malnutrition
• >70-80%
⇒ moderate malutrition
• <70%
⇒ gizi buruk
• Mild dan moderate malnutrition termasuk kategori gizi kurang
Perhitungan BB/U
Perhitungan BB/U menggunakan tabel sesuai dengan jenis kelamin dan
kelompok umur.
86
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
Juknis Manajemen TB Anak
87
Juknis
TB Anak
88
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
Juknis Manajemen TB Anak
89
Juknis
TB Anak
90
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
Juknis Manajemen TB Anak
91
Juknis
TB Anak
92
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
Juknis Manajemen TB Anak
93
Juknis
TB Anak
94
Juknis Manajemen TB Anak
Juknis
TB Anak
Lampiran Tabel Berat Badan Menurut Umur (Sampai Usia 3 Tahun 5 Bulan)
LAKI-LAKI (sampai usia 3.5 tahun)
Lampira
LAK
PEREMPUAN (sampai usia 3.5 tahun)
0
>80%
Kg
3.3
<80%
Kg
2.6
2
0
3.2
2.6
1.9
1
2
3
4
5
4.3
5.2
6
6.7
7.3
3.4
4.2
4.8
5.4
5.8
2.6
3.1
3.6
4
4.4
1
2
3
4
5
4
4.7
5.4
6
6.7
3.2
3.8
4.3
4.8
5.4
2.4
2.8
3.2
3.6
4
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
7.8
8.3
8.8
9.2
9.5
9.9
10.2
10.4
10.7
10.9
11.1
11.3
11.5
11.7
11.8
12
12.2
12.4
12.6
12.8
13
13.1
13.3
13.5
13.7
13.8
14
14.2
14.4
14.5
14.7
14.8
15
15.2
15.3
15.5
6.2
6.6
7
7.4
7.6
7.9
8.2
8.3
8.6
8.7
8.9
9
9.2
9.4
9.4
9.6
9.8
9.9
10.1
10.2
10.4
10.5
10.6
10.8
11
11
11.2
11.4
11.5
11.6
11.8
11.8
12
12.2
12.2
12.4
4.7
5
5.3
5.5
5.7
5.9
6.1
6.2
6.4
6.5
6.7
6.8
6.9
7
7.1
7.2
7.3
7.4
7.6
7.7
7.8
7.9
8
8.1
8.2
8.3
8.4
8.5
8.6
8.7
8.8
8.9
9
9.1
9.2
9.3
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
7.2
7.7
8.2
8.6
8.9
9.2
9.5
9.8
10
10.2
10.4
10.6
10.8
11
11.2
11.4
11.5
11.7
11.9
12.1
12.3
12.4
12.6
12.8
12.9
13.1
13.3
13.4
13.6
13.8
13.9
14.3
14.4
14.6
14.8
14.9
5.8
6.2
6.6
6.9
7.1
7.4
7.6
7.8
8
8.2
8.3
8.5
8.6
8.8
9
9.1
9.2
9.4
9.5
9.7
9.8
9.9
10.1
10.2
10.3
10.5
10.6
10.7
10.9
11
11.1
11.4
11.5
11.7
11.8
11.9
4.3
4.6
4.9
5.2
5.3
5.5
5.7
5.9
6
6.1
6.2
6.4
6.5
6.6
6.7
6.8
6.9
7
7.1
7.3
7.4
7.4
7.6
7.7
7.7
7.9
8
8
8.2
8.3
8.3
8.6
8.6
8.8
8.9
8.9
Usia
Bulan
<60%
Kg
>80%
Kg
Usia
Bulan
<80%
Kg
<60%
Kg
Juknis Manajemen TB Anak
Usia
Tahun
3
4
5
6
7
8
9
1
10
1
11
1
12
1
13
1
14
1
95
Juknis
TB Anak
Lampiran Tabel Berat Badan Menurut Umur (Usia 3 Tahun 5 Bulan — 15 Tahun)
LAKI-LAKI (usia 3.5 —15 tahun)
PEREMPUAN (usia 3.5 —15 tahun)
1.9
Usia
Tahun
3.5
>80%
Kg
15.7
<80%
Kg
12.6
<60%
Kg
9.4
Usia
Tahun
3.5
>80%
Kg
15.1
<80%
Kg
12.1
2.4
2.8
3.2
3.6
4
4
4.5
5
5.5
6
16.7
17.7
18.7
19.7
20.7
13.4
14.2
15
15.8
16.6
10
10.6
11.2
11.8
12.4
4
4.5
5
5.5
6
16
16.8
17.7
18.6
19.5
12.8
13.4
14.2
14.9
15.6
9.6
10.1
10.6
11.2
11.7
4.3
4.6
4.9
5.2
5.3
5.5
5.7
5.9
6
6.1
6.2
6.4
6.5
6.6
6.7
6.8
6.9
7
7.1
7.3
7.4
7.4
7.6
7.7
7.7
7.9
8
8
8.2
8.3
8.3
8.6
8.6
8.8
8.9
8.9
6.5
7
7.5
8
8.5
9
9.5
10
10.5
11
11.5
12
12.5
13
13.5
14
14.5
15
21.7
22.9
24
25.3
26.7
28.1
29.7
31.4
33.3
35.3
37.5
39.8
42.7
45.5
48
51
53.8
56.2
17.4
18.3
19.2
20.2
21.4
22.5
23.8
25.1
26.6
28.2
30
31.8
34.2
36.4
38.4
40.8
43
45
13
13.7
14.4
15.2
16
16.9
17.8
18.8
20
21.2
22.5
23.9
25.6
27.3
28.8
30.6
32.3
33.7
6.5
7
7.5
8
8.5
9
9.5
10
10.5
11
11.5
12
12.5
13
13.5
14
14.5
15
20.6
21.8
23.3
24.8
26.6
28.5
30.5
32.5
34.7
37
39.2
41.5
43.8
45.1
47.8
49.2
50.8
51.8
16.5
17.4
18.6
19.8
21.3
22.8
24.4
26
27.8
29.6
31.4
33.2
35
36.1
38.2
39.4
40.6
41.4
12.6
13.1
14
14.9
16
17.1
18.3
19.5
20.8
22.2
23.5
24.9
26.3
27.1
28.7
29.5
30.5
31.1
60%
Kg
96
Juknis Manajemen TB Anak
<60%
Kg
9.1
Juknis
TB Anak
Juknis Manajemen TB Anak
97
Juknis
TB Anak
ISBN 978-602-235-436-9
9 786 022 35 436 9
98
Juknis Manajemen TB Anak
Download