II. KEBIJAKAN INTEGRASI EKONOMI ASEAN 2.1. Pembentukan ASEAN ASEAN merupakan organisasi kerjasama regional Asia Tenggara yang dideklarasikan di Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967, atas inisiatif Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Singapura. Dasar pertimbangan pembentukannya adalah memperkuat stabilitas ekonomi, sosial, dan menjamin stabilitas keamanan, yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemajuan ekonomi, kemajuan sosial, dan kemajuan budaya. Perkembangan berikutnya anggota ASEAN bertambah dengan masuknya Brunai Darussalam menjadi anggota keenam pada tanggal 7 Januari 1984. Pada bulan Juli tahun 1994 Vietnam menjadi anggota penuh. Tiga negara Indocina masuk menjadi anggota, yaitu Kamboja, Laos dan Myanmar pada KTT ke-5 di Bangkok pada tahun 1995. Sejak itu, integrasi ASEAN lengkap menjadi 10 negara anggota. 2.2. Kerjasama Bidang Ekonomi Dalam bidang ekonomi disepakati bahwa kerjasama ASEAN perlu diprioritaskan dalam bentuk konsolidasi ke dalam. Bidang ekonomi masih merupakan bagian yang paling lemah setiap negara anggota. Dalam bidang ekonomi, telah disepakati kerjasama mengenai basic commodity, terutama pangan dan energi, kerjasama di bidang industri, kerjasama di bidang perdagangan dan dalam masalah ekonomi lainnya. Semua negara anggota sepakat untuk mengambil bagian dan mendirikan kawasan perdagangan bebas, yang disebut ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang pembentukannya berlangsung selama 10 tahun. Ada tiga alasan mengapa ASEAN menyetujui AFTA. Pertama, ASEAN mengkhawatirkan efek pengalihan perdagangan dengan adanya NAFTA dan pasar tunggal Eropa, juga kebangkitan ekonomi Cina. Kedua, perekonomian ASEAN telah berubah sesuai kebijakan yang dianut. Ketiga, kawasan tersebut harus mempertahankan kedekatan dan statusnya setelah selesainya masalah Kamboja dengan menggunakan tujuan ekonomi. Keberadaan AFTA terutama bukan dimaksudkan untuk meningkatkan perdagangan regional, melainkan lebih sebagai penarik investasi dan sebagai jawaban terhadap masalah pengalihan investasi yang dialami kawasan ASEAN dengan kebangkitan Cina. Jalan menuju AFTA ditempuh melalui Common Effective Preferential Tariff (CEPT) yang ditandatangani pemimpin negara anggota ASEAN pada bulan Januari 1992. Realisasinya adalah setiap negara akan menurunkan tarif bea masuk atau mengurangi restriksi non-tarif bagi sesama negara anggota, khususnya bagi produk yang masuk dalam kesepakatan yang berlaku di kawasan integrasi. Pertemuan menteri membahas area perdagangan bebas AFTA di Chiangmai Thailand, memutuskan untuk mempercepat realisasi AFTA dari 15 tahun menjadi 10 tahun. Hal tersebut dilakukan karena keberhasilan dalam realisasi CEPT dan komitmen ASEAN dalam melaksanakan liberalisasi. Disepakati pula untuk menurunkan tarif pada jalur normal (normal track) dan jalur cepat (fast track). CEPT mencakup berbagai produk manufaktur dan produk pertanian yang diproses dan tarif yang dikenakan secara bertahap akan diturunkan antara 0-5 persen. Pada jalur normal, disepakati tarif yang berada di atas 20 persen menjadi 20 persen pada 1 Januari 1998 dan berikutnya dari 20 persen menjadi 0-5 persen pada 1 Januari 2003. Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN tanggal 15–16 Desember 1998, memutuskan untuk mempercepat pelaksanaan area perdagangan bebas AFTA agar secara cepat menurunkan tarif dari produk-produknya. Setiap negara akan menurunkan tarif sampai 0 persen atau tidak lebih dari 5 persen dari sedikitnya 85 persen produk yang diikutsertakan dalam inclusion list (daftar produk yang diikutsertakan dalam AFTA) pada tahun 2000. Daftar produk yang terkena tarif antara 0-5 persen ditingkatkan menjadi sedikitnya 90 persen pada tahun 2001 kemudian menjadi 100 persen pada tahun 2002. Kesepakatan ini juga berlaku bagi negara anggota lainnya, namun bagi Vietnam baru mulai berlaku tahun 2003 sedangkan untuk Laos dan Myanmar tahun 2005. Untuk pengenaan tarif 0 persen bagi Vietnam berlaku tahun 2006 dan untuk Laos dan Myanmar tahun 2008. Pada bidang investasi, langkah yang ditempuh adalah memberi tambahan perlakuan khusus kepada investor dari negara anggota dan non-anggota di bidang manufaktur yang implementasinya dimulai 1 Januari 1999 sampai 31 Desember 2000. Dalam rencana aksi Hanoi yang merupakan penjabaran visi ASEAN 2020 disebutkan tekad untuk memperkuat makroekonomi dan kerjasama keuangan melalui pemeliharaan stabilitas makroekonomi dan keuangan regional, meningkatkan liberalisasi sektor jasa keuangan, mengintensifkan kerjasama keuangan, pajak, asuransi serta pengembangan pasar modal. Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Manila tanggal 28 November 1999 menyepakati untuk menghapuskan semua bea masuk bagi 6 negara pendiri pada tahun 2010, lebih cepat dari rencana semula tahun 2015. Menyepakati pula untuk hal yang sama bagi 4 negara anggota lainnya pada tahun 2015. Perdagangan bebas AFTA telah dilaksanakan oleh 6 negara pembentuk AFTA pada 15 kelompok komoditi sejak 1 Januari 2003. Transaksi perdagangan kelompok komoditi itu bebas dari semua hambatan tarif dan non-tarif. Pertemuan menteri perdagangan dan ekonomi ASEAN di Phnom Penh, Kamboja tanggal 2 September 2003, menyetujui untuk mempertimbangkan pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) dan tahun 2020 ditetapkan sebagai batas waktu pembentukannya. Konsep AEC ini akhirnya disepakati dalam KTT di Bali pada bulan Oktober 2003. AEC ini mirip dengan integrasi yang dilakukan Uni Eropa sampai pada pembentukan mata uang bersama (Currency Union). Dengan AEC segala bentuk tarif akan dihilangkan, mobilitas faktor produksi semakin bebas, fleksibilitas harga dan upah semakin tinggi. Integrasi ekonomi ASEAN yang lebih luas diharapkan akan mampu menjawab berbagai tantangan krisis, menggalang solidaritas kerjasama ekonomi, dan memecahkan krisis ekonomi secara terpadu. 2.2.1. Kerjasama Perdagangan ASEAN Dalam blue print perjanjian kerjasama, telah disepakati beberapa hal yang terdiri atas aliran bebas barang, aliran bebas investasi dan aliran bebas modal untuk mewujudkan pasar dan basis produksi tunggal ASEAN. Beberapa kesepakatan untuk memperlancar aliran bebas barang adalah: 1. Common Effective Preferential Tarrifs - ASEAN Free Trade Agreement (CEPT-AFTA) pada tahun 2008-2009. 2. Reduksi tarif dengan rumusan menyelesaikan jadwal reduksi tarif sampai 0,5 persen untuk semua produk inclution list dengan pengaturan waktu khusus bagi Laos dan Kamboja. 3. Penghapusan tarif dengan merumuskan dan melengkapi produk di luar skema CEPT sesuai dengan kesepakatan CEPT serta menghapuskan kewajiban impor sebesar 60 persen dari semua produk IL, kecuali yang dilakukan bertahap untuk produk dan waktu tertentu bagi Laos, Myanmar, dan Kamboja. 4. Program kerja fasilitasi perdagangan dengan rumusan: (1) penyelesaian program kerja yang komprehensif untuk memfasilitasi perdagangan dan penilaian kondisi fasilitasi perdagangan, (2) mendorong transparansi dan visibilitas atas tindakan dan intervensi stakeholders di dalam transaksi perdagangan internasional, (3) menyederhanakan, mengharmoniskan dan menstandarisasi perdagangan untuk menggerakkan barang dan jasa, (4) menghapuskan tarif atas semua produk, kecuali yang dilakukan bertahap bagi anggota, serta menghapuskan tarif atas semua produk yang telah disetujui dan menghapuskan kewajiban impor atas produk dan waktu yang disepakati, dan (5) menurunkan tarif produk serta daftar produk sisanya ke dalam skema kesepakatan CEPT. 5. Menghapuskan hambatan non-tarif, dengan rumusan: (1) mempercayai komitemen standstill dan roll-back pada NTB (Non Tariff Barrier), yang akan segera berlaku serta meningkatkan transparansi dengan mematuhi protokol prosedur notifikasi dan menyusun mekanisme pengawasan, dan (2) menghapuskan NTB untuk ASEAN-5 serta membangun pusat fasilitasi perdagangan ASEAN. 6. Integrasi bea cukai dengan rumusan: (1) mengintegrasikan struktur bea cukai, (2) memodernisasi teknik bea cukai, dipandu dengan prosedur dan formalitas bea cukai yang sederhana dan terharmonisasi yang sesuai dengan standar dan praktek terbaik internasional, (3) membangun sistem transit bea cukai untuk memfasilitasi pergerakan barang, membangun sistem bea cukai yang sesuai, (4) modernisasi klasifikasi tarif, sistem penetapan nilai dan sistem penetapan, dan (5) mengadopsi standar dan praktek internasional untuk menjamin sistem klasifikasi tarif yang seragam, memperhalus penghapusan bea cukai serta memperkuat pembangunan sumberdaya manusia. 7. Standar dan kesesuaian dengan menjalankan skema regulasi, memonitor implementasi skema regulasi, badan penilai kesesuaian memonitor implementasi rezim regulasi tunggal, menjalankan persyaratan teknis terharmonisasi, mengimplementasikan dan memperkuat kompetensi dan kepercayaan antar otoritas, harmonisasi prasyarat teknis serta meningkatkan infrastruktur teknis. 2.2.2 Perdagangan ASEAN dalam Kerangka AFTA Pelaksanaan CEPT-AFTA yang dimulai pada tahun 1993 ternyata dapat berpengaruh terhadap peningkatan perdagangan intra-ASEAN-5 dari US$ 81 068 miliar (tahun 1993) menjadi US$ 326 128 miliar (tahun 2006). Setelah krisis ekonomi di kawasan ASEAN-5 tahun 1997-1998, perdagangan intra-anggota mengalami peningkatan cukup baik dan mencapai puncaknya pada tahun 2000 dengan nilai sebesar US$ 163 538 miliar atau tumbuh 25.52 persen dari tahun sebelumnya. Angka perdagangan tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2005 dan 2006 secara berurutan sebesar US$ 284 518 miliar dan US$ 326 128 miliar. Meskipun telah menunjukan peningkatan, perdagangan intra selama ini masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan perdagangan yang dilakukan dengan negara-negara di luar kawasan ASEAN (extra-ASEAN trade). Persentase perdagangan intra terhadap total perdagangan hanya berkisar antara 19-22 persen. Secara jelas perdagangan intra sejak 1993 sampai 2008 disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Total Nilai Perdagangan Intra-ASEAN Tahun 1993-2008 (US$ juta) Negara Tahun Indonesia Malaysia Filipina 1993 7 655 21 890 2 678 1994 9 138 26 204 3 889 1995 10 694 30 958 4 846 1996 13 859 37 376 6 982 1997 14 264 38 088 8 309 1998 13 906 34 551 8 249 1999 13 061 34 297 9 450 2000 17 664 40 343 10 938 2001 15 233 36 278 9 650 2002 16 929 39 372 11 071 2003 18 755 47 039 12 979 2004 24 680 57 928 15 193 2005 33 153 65 797 16 024 2006 37 862 73 270 18 410 2007 46 084 82 611 20 907 2008 68 162 85 076 21 398 Sumber: ASEAN Statiscal Yearbook, 2008. Singapura 37 166 49 729 56 308 61 803 66 190 49 645 55 510 71 075 61 806 64 404 91 328 109 678 124 125 146 102 160 853 171 355 Thailand 11 679 15 070 19 430 21 868 21 647 13 752 17 889 23 518 22 596 23 718 29 199 37 004 45 419 50 484 57 886 69 375 Perdagangan selama ini masih sangat mengandalkan mitra dagang negaranegara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa. Pada tahun 2003, perdagangan dengan Amerika Serikat mencapai 14.1 persen dari total nilai perdagangan ASEAN, kemudian disusul berturut-turut dengan Jepang (13.7 persen), Uni Eropa (11.5 persen), dan Cina (7 persen). Hal ini mencerminkan tingkat integrasi ekonomi kawasan masih relatif rendah dibandingkan misalnya, dengan integrasi NAFTA atau Uni Eropa. Implementasi AFTA selama ini masih menghadapi beberapa kendala. Kendala tersebut antara lain lemahnya komitmen negara anggota untuk mencapai target liberalisasi perdagangan sebagaimana yang telah disepakati dalam CEPT merupakan hambatan utama yang dihadapi dalam pelaksanaan AFTA. Beberapa negara anggota sampai saat ini masih belum bersedia menurunkan tarif dan menghapuskan hambatan non-tarif atas produk-produk tertentu dengan alasan untuk melindungi industri dalam negeri yang dianggap masih belum siap. Masalah lain adalah adanya perbedaan tingkat pembangunan ekonomi nasional dan keterbatasan kemampuan sumberdaya dari sebagian negara anggota dalam memasuki era liberalisasi perdagangan regional. Di samping itu, masih adanya keraguan dari sebagian negara anggota terhadap kemampuan AFTA dalam meningkatkan perdagangan dan investasi (FDI) di kawasan juga ikut menghambat pelaksanaan AFTA. Hal tersebut terbukti dengan adanya beberapa negara anggota yang melakukan perdagangan bebas secara bilateral dengan negara maju. Singapura, misalnya menandatangani FTA dengan New Zealand (2002), Amerika Serikat (2001), Jepang (2002), dan Australia (2002). Demikian pula FTA Thailand dengan Australia (2005). Sedangkan Malaysia dan Indonesia sampai saat ini masih merundingkan FTA bilateral dengan Jepang. Ada beberapa alasan yang mendorong negara-negara ASEAN untuk mengadakan perjanjian FTA bilateral. Pertama, untuk memberi tekanan kepada negara-negara ASEAN yang selama ini masih enggan untuk meliberalisasi perdagangannya secara penuh. Kedua, krisis ekonomi dan keuangan tahun 19971998 yang melanda sebagian negara anggota telah menyebabkan kemunduran ekonomi kawasan, khususnya di sektor ekspor dan investasi. Ketiga, perkembangan ekonomi Cina yang pesat dikhawatirkan akan mengancam industri manufaktur dan daya saing ekspor negara-negara ASEAN (Aslam, 2003). 2.2.3. Kerjasama Investasi ASEAN Kesepakatan dalam rangka mendorong dan memperlancar aliran investasi di kawasan ASEAN adalah: 1. Kesepakatan investasi yang telah merumuskan draft ASEAN Comprehensive Investment Agreement (ACIA) 2. Liberalisasi dengan rumusan: (1) memulai fase pertama dari pengurangan progresif dan penghapusan hambatan investasi, (2) memulai fase pertama dari pengurangan progresif/penghapusan hambatan investasi untuk delapan negara anggota pada waktu yang disepakati, menyelesaikan fase akhir dari pengurangan progresif/penghapusan hambatan investasi, dan (3) mewujudkan rezim investasi bebas dan terbuka dengan hambatan investasi, memulai fase kedua dari pengurangan progresif/penghapusan hambatan investasi 3. Promosi dengan rumusan: (1) mengatur dua misi investasi inbound dan outbound, (2) mengatur dua misi investasi inbound dan outbound, dan mengatur dua misi investasi inbound dan outbound per tahun, (3) melanjutkan rangkaian seminar investasi mengenai peluang di negara ASEAN-6, dan (4) mendorong kluster dan jaringan produksi regional melalui inisiatif kerjasama industrial serta mendorong kluster dan jaringan produksi regional melalui inisiatif kerjasama industrial. 4. Proteksi dengan mengorganisasikan seminar mengenai perlindungan investasi dan penyelesaian sengketa investasi. Dalam rangka memperlancar aliran modal yang lebih bebas, telah dirumuskan beberapa langkah: 1. Memperkuat pasar modal ASEAN dengan melakukan harmonisasi yang lebih besar pada standar pasar modal pada bidang-bidang yang menawarkan aturan untuk sekuritas hutang, persyaratan penyingkapan dan distribusi aturan, memfasilitasi MRA atau kesepakatan untuk pengakuan kualifikasi dan pendidikan serta pengalaman dari pasar profesional, mencapai fleksibilitas yang lebih besar pada bahasa dan penyusunan persyaratan hukum untuk penerbitan sekuritas. Meningkatkan struktur pajak, jika memungkinkan, untuk mendorong luasnya investor base pada penerbitan hutang. Membiarkan mobilitas modal yang lebih besar. Liberalisasi pergerakan modal dipandu dengan prinsip-prinsip: (1) menjamin liberalisasi akuntansi modal yang teratur dan konsisten dengan agenda nasional negara-negara anggota dan kesiapan ekonominya, (2) menyediakan pengaman yang mencukupi terhadap potensi instabilitas makroekonomi dan risiko sistemik yang mungkin timbul dari proses liberalisasi, termasuk hak-hak untuk mengadopsi tindakan yang diperlukan untuk menjamin stabilitas makroekonomi, dan (3) menjamin manfaat liberalisasi secara bersama oleh semua negara anggota. 2. Investasi langsung luar negeri Foreign Direct Investasi (FDI), dengan rumusan: (1) menilai dan mengidentifikasikan aturan untuk liberalisasi aliran FDI yang lebih bebas yang mencakup: direct outward investment, direct inward investment dan likuidasi investasi langsung, dan (2) secara progresif meliberalisasikan, jika sesuai dan memungkinkan, daftar aturan pra industrial untuk aliran FDI yang lebih bebas. Meliberalisasikan, jika sesuai dan memungkinkan, aspek lain yang berhubungan dengan: FDI, investasi portofolio, tipe aliran modal lainnya, mendukung FDI dan mendorong pembangunan pasar modal. 3. Investasi portofolio, dengan rumusan: (1) menilai dan mengidentifikasi aturan untuk liberalisasi aliran investasi portofolio yang lebih bebas, khususnya pada hutang dan ekuitas, yang mencakup; pembelian sekuritas hutang domestik dan ekuitas oleh non-residen, penerbitan sekuritas hutang dan ekuitas oleh nonresiden secara lokal serta proses repatriasi yang muncul dari investasi portofolio dan penerbitan atau penjualan sekuritas hutang dan ekuitas, pembelian sekuritas hutang dan ekuitas ke luar negeri, dan (2) secara progresif meliberalisasikan daftar aturan pra-industrial untuk aliran FDI yang lebih bebas. 4. Tipe aliran lainnya, dengan rumusan: (1) menilai dan mengidentifikasi aturan untuk liberalisasi tipe aliran pinjaman luar negeri jangka panjang dan hutang, dan (2) menilai dan mengidentifikasi aturan untuk liberalisasi, khususnya pinjaman luar negeri jangka panjang dan hutang. 5. Transaksi neraca berjalan (current account), dengan rumusan: (1) membangun pasar finansial untuk menghapuskan, jika memungkinkan, struktur nilai tukar ganda, (2) memperlonggar hambatan untuk pembelian devisa dan tipe pembelian lainnya untuk transaksi yang tidak tampak (invisible transactions) dan transfer berjalan dan membangun pasar finansial, dan (3) menghilangkan atau memperlonggar, jika memungkinkan, hambatan untuk repatriasi/syarat penyerahan serta terus meliberalisasikan, jika memungkinkan, hal yang berhubungan dengan transaksi berjalan. 6. Fasilitasi, dengan rumusan: (1) membuat draft dan amendemen kerangka legal dan regulasi, jika sesuai dan memungkinkan, untuk mendukung perubahan pada aturan, (2) memperkuat dialog kebijakan mengenai aturan kehati-hatian (prudential regulation) dan supervisi, untuk membantu negara anggota membangun kerangka regulasi yang mendukung bagi liberalisasi serta membangun dan memperbaiki sistem untuk memonitor aliran di setiap negara anggota, dan (3) kerjasama antar negara untuk mengharmonisasikan kebijakan, statistika dan infrastruktur yang berhubungan dengan aliran serta membagi bersama-sama mengenai kemajuan pada aturan yang diliberalisasikan. 2.2.4. Kinerja Investasi ASEAN Kinerja investasi ASEAN sejak diberlakukannya AFTA mengalami kenaikan yang signifikan. Namun sejak tahun 1997 investasi terus menurun, sampai dengan tahun 2008 dengan nilai investasi sebesar US$ 40 375 miliar. Realisasi investasi ASEAN disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Foreign Direct Invesment Inflows Negara ASEAN dari ASEAN (US$ juta) Negara Tahun Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand 2000 109.6 87.2 92.1 640.7 -225.0 2001 323.1 208.2 34.0 1 982.4 -66.9 2002 321.3 1 050.4 22.6 2 045.5 274.6 2003 260.0 614.4 -12.6 1 683.5 143.9 2004 290.7 708.8 158.6 1 593.4 171.3 2005 214.3 1 275.0 76.1 2 576.7 28.1 2006 552.9 686.1 149.8 5 921.7 245.7 2007 232.6 896.0 81.6 7 230.8 736.9 2008 710.1 3 011.3 70.7 5 875.2 935.2 2000-2008 3 014.6 8 537.4 671.9 29 550.0 2 243.9 Sumber: ASEAN Statiscal Yearbook, 2008. Sedang penerimaan FDI dari luar negara anggota ASEAN disajikan pada Tabel 6. Mencermati data yang disajikan dalam Tabel 6, hanya Indonesia yang pernah mengalami negatif investasi. Beberapa kendala yang menyebabkan prestasi investasi Indonesia tertinggal jauh dari negara ASEAN disinyalir antara lain disebabkan kebijakan pajak, instabilitas kebijakan, korupsi dan pungutan liar. Tabel 6. Foreign Direct Invesment Inflows dari Negara non-ASEAN (US$ juta) Negara Indonesia Malaysia Filipina 2000 -4 550.0 3 787.6 2 239.6 2001 -3 278.5 553.9 195.0 2002 144.9 3 203.4 1 542.0 2003 -596.1 2 473.2 490.8 2004 1 894.5 4 623.9 687.8 2005 8 336.0 3 964.8 1 854.0 2006 5 556.2 6 059.7 2 345.0 2007 6 928.3 8 401.2 2 916.0 2008 8 33.8 8 053.0 1 520.0 2000-2008 34 249.6 67 263.6 22 801.8 Sumber: ASEAN Statiscal Yearbook, 2008. Tahun Singapura 16 485.4 15 649.0 7 200.0 11 664.0 19 827.5 15 001.9 24 055.4 31 550.3 22 801.8 225 456.8 Thailand 3 350.3 1 300.3 1 200.1 1 450.1 1 610.1 2 020.8 2 360.0 11 238.1 9 834.5 83 294.9 2.3. Kerjasama ASEAN dengan Kawasan Integrasi Ekonomi Lain Banyak masalah perekonomian tidak dapat diselesaikan bila hanya dilakukan dengan sesama anggota. Karena itu, ASEAN telah membuat langkah utama dalam membangun kerjasama dengan negara di kawasan Asia-Pasifik. Kerjasama dengan negara-negara Asia Timur dipercepat dengan diadakannya dialog atau pertemuan tahunan antara para pemimpin ASEAN, Cina, Jepang, dan Republik Korea. Hal tersebut sesuai Visi ASEAN 2020 bahwa melalui pandangan keluar ASEAN berhasil menarik minat banyak orang terhadap ASEAN. Pada bulan November 1999, para pemimpin ASEAN, Cina, Jepang, dan Republik Korea mengeluarkan pernyataan bersama atas kerjasama Asia Timur yang menjelaskan ruang kerjasama antara masing-masing negara. Pertemuan ASEAN tahun 1992 menghasilkan pernyataan bahwa ”ASEAN sebagai bagian dari suatu dunia yang saling tergantung, perlu meningkatkan hubungan kerjasama dengan mitra dialognya”. Konsultasi antara ASEAN dan mitra dialognya dilaksanakan di tingkat menteri luar negeri setiap tahun. Mitra dialognya meliputi Australia, Austria, Kanada, Cina, Uni Eropa, India, Jepang, Republik Korea, Selandia Baru, Rusia, Amerika Serikat, dan Program Pengembangan Perserikatan Bangsa-Bangsa. ASEAN juga mempromosikan kerjasama dengan Pakistan dalam sektor tertentu. Konsisten dengan keputusannya meningkatkan kerjasama dalam pengembangan kawasan lain, ASEAN memelihara kontak dengan organisasi antar pemerintah lain, yakni Organisasi Kerjasama Ekonomi, Dewan Kerjasama Teluk, Perkumpulan (group) Rio, kerjasama regional dengan Perhimpunan Asia Selatan, dan Forum Pasifik Selatan. Negara anggota juga berpartisipasi aktif dalam aktivitas Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), Pertemuan Asia-Eropa (ASEM). Selain itu, negara anggota membentuk perjanjian bilateral dengan negara mitra dagang dan investasinya, seperti perjanjian bilateral antara Singapura dengan Amerika Serikat, Singapura dengan Jepang, Malaysia dengan Amerika Serikat serta beberapa kesepakatan bilateral lainnya.