proposal penelitian

advertisement
II. KEBIJAKAN INTEGRASI EKONOMI ASEAN
2.1. Pembentukan ASEAN
ASEAN merupakan organisasi kerjasama regional Asia Tenggara yang
dideklarasikan di Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967, atas inisiatif Indonesia,
Malaysia, Filipina, Thailand dan Singapura. Dasar pertimbangan pembentukannya
adalah memperkuat stabilitas ekonomi, sosial, dan menjamin stabilitas keamanan,
yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemajuan ekonomi,
kemajuan sosial, dan kemajuan budaya.
Perkembangan berikutnya anggota ASEAN bertambah dengan masuknya
Brunai Darussalam menjadi anggota keenam pada tanggal 7 Januari 1984. Pada
bulan Juli tahun 1994 Vietnam menjadi anggota penuh. Tiga negara Indocina
masuk menjadi anggota, yaitu Kamboja, Laos dan Myanmar pada KTT ke-5 di
Bangkok pada tahun 1995. Sejak itu, integrasi ASEAN lengkap menjadi 10 negara
anggota.
2.2. Kerjasama Bidang Ekonomi
Dalam bidang ekonomi disepakati bahwa kerjasama ASEAN perlu
diprioritaskan dalam bentuk konsolidasi ke dalam. Bidang ekonomi masih
merupakan bagian yang paling lemah setiap negara anggota. Dalam bidang
ekonomi, telah disepakati kerjasama mengenai basic commodity, terutama pangan
dan energi, kerjasama di bidang industri, kerjasama di bidang perdagangan dan
dalam
masalah ekonomi lainnya. Semua negara anggota sepakat untuk
mengambil bagian dan mendirikan kawasan perdagangan bebas, yang disebut
ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang pembentukannya berlangsung selama 10
tahun.
Ada tiga alasan mengapa ASEAN menyetujui AFTA. Pertama, ASEAN
mengkhawatirkan efek pengalihan perdagangan dengan adanya NAFTA dan pasar
tunggal Eropa, juga kebangkitan ekonomi Cina. Kedua, perekonomian ASEAN
telah berubah sesuai kebijakan yang dianut. Ketiga, kawasan tersebut harus
mempertahankan kedekatan dan statusnya setelah selesainya masalah Kamboja
dengan menggunakan tujuan ekonomi. Keberadaan AFTA terutama bukan
dimaksudkan untuk meningkatkan perdagangan regional, melainkan lebih sebagai
penarik investasi dan sebagai jawaban terhadap masalah pengalihan investasi
yang dialami kawasan ASEAN dengan kebangkitan Cina.
Jalan menuju AFTA ditempuh melalui Common Effective Preferential
Tariff (CEPT) yang ditandatangani pemimpin negara anggota ASEAN pada bulan
Januari 1992. Realisasinya adalah setiap negara akan menurunkan tarif
bea
masuk atau mengurangi restriksi non-tarif bagi sesama negara anggota, khususnya
bagi produk yang masuk dalam kesepakatan yang berlaku di kawasan integrasi.
Pertemuan menteri membahas area perdagangan bebas AFTA di
Chiangmai Thailand, memutuskan untuk mempercepat realisasi AFTA dari 15
tahun menjadi 10 tahun. Hal tersebut dilakukan karena keberhasilan dalam
realisasi CEPT dan komitmen ASEAN dalam melaksanakan liberalisasi.
Disepakati pula untuk menurunkan tarif pada jalur normal (normal track) dan
jalur cepat (fast track). CEPT mencakup berbagai produk manufaktur dan produk
pertanian yang diproses dan tarif yang dikenakan secara bertahap akan diturunkan
antara 0-5 persen. Pada jalur normal, disepakati tarif yang berada di atas 20
persen menjadi 20 persen pada 1 Januari 1998 dan berikutnya dari 20 persen
menjadi 0-5 persen pada 1 Januari 2003.
Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN tanggal 15–16 Desember 1998,
memutuskan untuk mempercepat pelaksanaan area perdagangan bebas AFTA agar
secara cepat menurunkan tarif dari produk-produknya. Setiap negara akan
menurunkan tarif sampai 0 persen atau tidak lebih dari 5 persen dari sedikitnya 85
persen produk yang diikutsertakan dalam inclusion list (daftar produk yang
diikutsertakan dalam AFTA) pada tahun 2000. Daftar produk yang terkena tarif
antara 0-5 persen ditingkatkan menjadi sedikitnya 90 persen pada tahun 2001
kemudian menjadi 100 persen pada tahun 2002. Kesepakatan ini juga berlaku bagi
negara anggota lainnya, namun bagi Vietnam baru mulai berlaku tahun 2003
sedangkan untuk Laos dan Myanmar tahun 2005. Untuk pengenaan tarif 0 persen
bagi Vietnam berlaku tahun 2006 dan untuk Laos dan Myanmar tahun 2008.
Pada bidang investasi, langkah yang ditempuh adalah memberi tambahan
perlakuan khusus kepada investor dari negara anggota dan non-anggota di bidang
manufaktur yang implementasinya dimulai 1 Januari 1999 sampai 31 Desember
2000. Dalam rencana aksi Hanoi yang merupakan penjabaran visi ASEAN 2020
disebutkan tekad untuk memperkuat makroekonomi dan kerjasama keuangan
melalui
pemeliharaan
stabilitas
makroekonomi
dan
keuangan
regional,
meningkatkan liberalisasi sektor jasa keuangan, mengintensifkan kerjasama
keuangan, pajak, asuransi serta pengembangan pasar modal.
Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Manila tanggal 28 November 1999
menyepakati untuk menghapuskan semua bea masuk bagi 6 negara pendiri pada
tahun 2010, lebih cepat dari rencana semula tahun 2015. Menyepakati pula untuk
hal yang sama bagi 4 negara anggota lainnya pada tahun 2015. Perdagangan bebas
AFTA telah dilaksanakan oleh 6 negara pembentuk AFTA pada 15 kelompok
komoditi sejak 1 Januari 2003. Transaksi perdagangan kelompok komoditi itu
bebas dari semua hambatan tarif dan non-tarif.
Pertemuan menteri perdagangan dan ekonomi ASEAN di Phnom Penh,
Kamboja tanggal 2 September 2003, menyetujui untuk
mempertimbangkan
pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) dan tahun 2020 ditetapkan
sebagai batas waktu pembentukannya. Konsep AEC ini akhirnya disepakati dalam
KTT di Bali pada bulan Oktober 2003. AEC ini mirip dengan integrasi yang
dilakukan Uni Eropa sampai pada pembentukan mata uang bersama (Currency
Union). Dengan AEC segala bentuk tarif akan dihilangkan, mobilitas faktor
produksi semakin bebas, fleksibilitas harga dan upah semakin tinggi.
Integrasi ekonomi ASEAN yang lebih luas diharapkan akan mampu
menjawab berbagai tantangan krisis, menggalang solidaritas kerjasama ekonomi,
dan memecahkan krisis ekonomi secara terpadu.
2.2.1. Kerjasama Perdagangan ASEAN
Dalam blue print perjanjian kerjasama, telah disepakati beberapa hal yang
terdiri atas aliran bebas barang, aliran bebas investasi dan aliran bebas modal
untuk mewujudkan pasar dan basis produksi tunggal ASEAN. Beberapa
kesepakatan untuk memperlancar aliran bebas barang adalah:
1. Common Effective Preferential Tarrifs - ASEAN Free Trade Agreement
(CEPT-AFTA) pada tahun 2008-2009.
2. Reduksi tarif dengan rumusan menyelesaikan jadwal reduksi tarif sampai 0,5
persen untuk semua produk inclution list dengan pengaturan waktu khusus
bagi Laos dan Kamboja.
3. Penghapusan tarif dengan merumuskan dan melengkapi produk di luar skema
CEPT sesuai dengan kesepakatan CEPT serta menghapuskan kewajiban impor
sebesar 60 persen dari semua produk IL, kecuali yang dilakukan bertahap
untuk produk dan waktu tertentu bagi Laos, Myanmar, dan Kamboja.
4. Program kerja fasilitasi perdagangan dengan rumusan: (1) penyelesaian
program kerja yang komprehensif untuk memfasilitasi perdagangan dan
penilaian kondisi fasilitasi perdagangan, (2) mendorong transparansi dan
visibilitas atas tindakan dan intervensi stakeholders di dalam transaksi
perdagangan internasional, (3) menyederhanakan, mengharmoniskan dan
menstandarisasi perdagangan untuk menggerakkan barang dan jasa, (4)
menghapuskan tarif atas semua produk, kecuali yang dilakukan bertahap bagi
anggota, serta menghapuskan tarif atas semua produk yang telah disetujui dan
menghapuskan kewajiban impor atas produk dan waktu yang disepakati, dan
(5) menurunkan tarif produk serta daftar produk sisanya ke dalam skema
kesepakatan CEPT.
5. Menghapuskan hambatan non-tarif, dengan rumusan: (1) mempercayai
komitemen standstill dan roll-back pada NTB (Non Tariff Barrier), yang akan
segera berlaku serta meningkatkan transparansi dengan mematuhi protokol
prosedur notifikasi dan menyusun mekanisme pengawasan, dan (2)
menghapuskan NTB untuk ASEAN-5 serta membangun pusat fasilitasi
perdagangan ASEAN.
6. Integrasi bea cukai dengan rumusan: (1) mengintegrasikan struktur bea cukai,
(2) memodernisasi teknik bea cukai, dipandu dengan prosedur dan formalitas
bea cukai yang sederhana dan terharmonisasi yang sesuai dengan standar dan
praktek terbaik internasional, (3) membangun sistem transit bea cukai untuk
memfasilitasi pergerakan barang, membangun sistem bea cukai yang sesuai,
(4) modernisasi klasifikasi tarif, sistem penetapan nilai dan sistem penetapan,
dan (5) mengadopsi standar dan praktek internasional untuk menjamin sistem
klasifikasi tarif yang seragam, memperhalus penghapusan bea cukai serta
memperkuat pembangunan sumberdaya manusia.
7. Standar dan kesesuaian dengan menjalankan skema regulasi, memonitor
implementasi
skema
regulasi,
badan
penilai
kesesuaian
memonitor
implementasi rezim regulasi tunggal, menjalankan persyaratan teknis
terharmonisasi, mengimplementasikan dan memperkuat kompetensi dan
kepercayaan antar otoritas, harmonisasi prasyarat teknis serta meningkatkan
infrastruktur teknis.
2.2.2 Perdagangan ASEAN dalam Kerangka AFTA
Pelaksanaan CEPT-AFTA yang dimulai pada tahun 1993 ternyata dapat
berpengaruh terhadap peningkatan perdagangan intra-ASEAN-5 dari US$ 81 068
miliar (tahun 1993) menjadi US$ 326 128 miliar (tahun 2006). Setelah krisis
ekonomi di kawasan ASEAN-5 tahun 1997-1998, perdagangan intra-anggota
mengalami peningkatan cukup baik dan mencapai puncaknya pada tahun 2000
dengan nilai sebesar US$ 163 538 miliar atau tumbuh 25.52 persen dari tahun
sebelumnya. Angka perdagangan tersebut mengalami peningkatan pada tahun
2005 dan 2006 secara berurutan sebesar US$ 284 518 miliar dan US$ 326 128
miliar. Meskipun telah menunjukan peningkatan, perdagangan intra selama ini
masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan perdagangan yang dilakukan dengan
negara-negara di luar kawasan ASEAN (extra-ASEAN trade). Persentase
perdagangan intra terhadap total perdagangan hanya berkisar antara 19-22 persen.
Secara jelas perdagangan intra sejak 1993 sampai 2008 disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Total Nilai Perdagangan Intra-ASEAN Tahun 1993-2008
(US$ juta)
Negara
Tahun
Indonesia
Malaysia
Filipina
1993
7 655
21 890
2 678
1994
9 138
26 204
3 889
1995
10 694
30 958
4 846
1996
13 859
37 376
6 982
1997
14 264
38 088
8 309
1998
13 906
34 551
8 249
1999
13 061
34 297
9 450
2000
17 664
40 343
10 938
2001
15 233
36 278
9 650
2002
16 929
39 372
11 071
2003
18 755
47 039
12 979
2004
24 680
57 928
15 193
2005
33 153
65 797
16 024
2006
37 862
73 270
18 410
2007
46 084
82 611
20 907
2008
68 162
85 076
21 398
Sumber: ASEAN Statiscal Yearbook, 2008.
Singapura
37 166
49 729
56 308
61 803
66 190
49 645
55 510
71 075
61 806
64 404
91 328
109 678
124 125
146 102
160 853
171 355
Thailand
11 679
15 070
19 430
21 868
21 647
13 752
17 889
23 518
22 596
23 718
29 199
37 004
45 419
50 484
57 886
69 375
Perdagangan selama ini masih sangat mengandalkan mitra dagang negaranegara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa. Pada tahun 2003,
perdagangan dengan Amerika Serikat mencapai 14.1 persen dari total nilai
perdagangan ASEAN, kemudian disusul berturut-turut dengan Jepang (13.7
persen), Uni Eropa (11.5 persen), dan Cina (7 persen). Hal ini mencerminkan
tingkat integrasi ekonomi kawasan masih relatif rendah dibandingkan misalnya,
dengan integrasi NAFTA atau Uni Eropa.
Implementasi AFTA selama ini masih menghadapi beberapa kendala.
Kendala tersebut antara lain lemahnya komitmen negara anggota untuk mencapai
target liberalisasi perdagangan sebagaimana yang telah disepakati dalam CEPT
merupakan hambatan utama yang dihadapi dalam pelaksanaan AFTA. Beberapa
negara anggota sampai saat ini masih belum bersedia menurunkan tarif dan
menghapuskan hambatan non-tarif atas produk-produk tertentu dengan alasan
untuk melindungi industri dalam negeri yang dianggap masih belum siap.
Masalah lain adalah adanya perbedaan tingkat pembangunan ekonomi
nasional dan keterbatasan kemampuan sumberdaya dari sebagian negara anggota
dalam memasuki era liberalisasi perdagangan regional. Di samping itu, masih
adanya keraguan dari sebagian negara anggota terhadap kemampuan AFTA dalam
meningkatkan perdagangan dan investasi (FDI) di kawasan juga ikut menghambat
pelaksanaan AFTA.
Hal tersebut terbukti dengan adanya beberapa negara anggota yang
melakukan perdagangan bebas secara bilateral dengan negara maju. Singapura,
misalnya menandatangani FTA dengan New Zealand (2002), Amerika Serikat
(2001), Jepang (2002), dan Australia (2002). Demikian pula FTA Thailand
dengan Australia (2005). Sedangkan Malaysia dan Indonesia sampai saat ini
masih merundingkan FTA bilateral dengan Jepang.
Ada beberapa alasan yang mendorong negara-negara ASEAN untuk
mengadakan perjanjian FTA bilateral. Pertama, untuk memberi tekanan kepada
negara-negara ASEAN yang selama ini masih enggan untuk meliberalisasi
perdagangannya secara penuh. Kedua, krisis ekonomi dan keuangan tahun 19971998 yang melanda sebagian negara anggota telah menyebabkan kemunduran
ekonomi kawasan, khususnya di sektor ekspor dan investasi. Ketiga,
perkembangan ekonomi Cina yang pesat dikhawatirkan akan mengancam industri
manufaktur dan daya saing ekspor negara-negara ASEAN (Aslam, 2003).
2.2.3. Kerjasama Investasi ASEAN
Kesepakatan dalam rangka mendorong dan memperlancar aliran investasi
di kawasan ASEAN adalah:
1. Kesepakatan investasi yang telah merumuskan draft ASEAN Comprehensive
Investment Agreement (ACIA)
2. Liberalisasi dengan rumusan: (1) memulai fase pertama dari pengurangan
progresif dan penghapusan hambatan investasi, (2) memulai fase pertama dari
pengurangan progresif/penghapusan hambatan investasi untuk delapan negara
anggota pada waktu yang disepakati, menyelesaikan fase akhir dari
pengurangan progresif/penghapusan hambatan investasi, dan (3) mewujudkan
rezim investasi bebas dan terbuka dengan hambatan investasi, memulai fase
kedua dari pengurangan progresif/penghapusan hambatan investasi
3. Promosi dengan rumusan: (1) mengatur dua misi investasi inbound dan
outbound, (2) mengatur dua misi investasi inbound dan outbound, dan
mengatur dua misi investasi inbound dan outbound per tahun, (3) melanjutkan
rangkaian seminar investasi mengenai peluang di negara ASEAN-6, dan (4)
mendorong kluster dan jaringan produksi regional melalui inisiatif kerjasama
industrial serta mendorong kluster dan jaringan produksi regional melalui
inisiatif kerjasama industrial.
4. Proteksi dengan mengorganisasikan seminar mengenai perlindungan investasi
dan penyelesaian sengketa investasi.
Dalam rangka memperlancar aliran modal yang lebih bebas, telah
dirumuskan beberapa langkah:
1. Memperkuat pasar modal ASEAN dengan melakukan harmonisasi yang lebih
besar pada standar pasar modal pada bidang-bidang yang menawarkan aturan
untuk sekuritas hutang, persyaratan penyingkapan dan distribusi aturan,
memfasilitasi MRA atau kesepakatan untuk pengakuan kualifikasi dan
pendidikan serta pengalaman dari pasar profesional, mencapai fleksibilitas
yang lebih besar pada bahasa dan penyusunan persyaratan hukum untuk
penerbitan sekuritas. Meningkatkan struktur pajak, jika memungkinkan, untuk
mendorong luasnya investor base pada penerbitan hutang. Membiarkan
mobilitas modal yang lebih besar. Liberalisasi pergerakan modal dipandu
dengan prinsip-prinsip: (1) menjamin liberalisasi akuntansi modal yang teratur
dan konsisten dengan agenda nasional negara-negara anggota dan kesiapan
ekonominya, (2) menyediakan pengaman yang mencukupi terhadap potensi
instabilitas makroekonomi dan risiko sistemik yang mungkin timbul dari
proses liberalisasi, termasuk hak-hak untuk mengadopsi tindakan yang
diperlukan untuk menjamin stabilitas makroekonomi, dan (3) menjamin
manfaat liberalisasi secara bersama oleh semua negara anggota.
2. Investasi langsung luar negeri Foreign Direct Investasi (FDI), dengan
rumusan: (1) menilai dan mengidentifikasikan aturan untuk liberalisasi aliran
FDI yang lebih bebas yang mencakup: direct outward investment, direct
inward investment dan likuidasi investasi langsung, dan (2) secara progresif
meliberalisasikan, jika sesuai dan memungkinkan, daftar aturan pra industrial
untuk aliran FDI yang lebih bebas. Meliberalisasikan, jika sesuai dan
memungkinkan, aspek lain yang berhubungan dengan: FDI, investasi
portofolio, tipe aliran modal lainnya, mendukung FDI dan mendorong
pembangunan pasar modal.
3. Investasi portofolio, dengan rumusan: (1) menilai dan mengidentifikasi aturan
untuk liberalisasi aliran investasi portofolio yang lebih bebas, khususnya pada
hutang dan ekuitas, yang mencakup; pembelian sekuritas hutang domestik dan
ekuitas oleh non-residen, penerbitan sekuritas hutang dan ekuitas oleh nonresiden secara lokal serta proses repatriasi yang muncul dari investasi
portofolio dan penerbitan atau penjualan sekuritas hutang dan ekuitas,
pembelian sekuritas hutang dan ekuitas ke luar negeri, dan (2) secara progresif
meliberalisasikan daftar aturan pra-industrial untuk aliran FDI yang lebih
bebas.
4. Tipe aliran lainnya, dengan rumusan: (1) menilai dan mengidentifikasi aturan
untuk liberalisasi tipe aliran pinjaman luar negeri jangka panjang dan hutang,
dan (2) menilai dan mengidentifikasi aturan untuk liberalisasi, khususnya
pinjaman luar negeri jangka panjang dan hutang.
5. Transaksi neraca berjalan (current account), dengan rumusan: (1) membangun
pasar finansial untuk menghapuskan, jika memungkinkan, struktur nilai tukar
ganda, (2) memperlonggar hambatan untuk pembelian devisa dan tipe
pembelian lainnya untuk transaksi yang tidak tampak (invisible transactions)
dan transfer berjalan dan membangun pasar finansial, dan (3) menghilangkan
atau memperlonggar, jika memungkinkan, hambatan untuk repatriasi/syarat
penyerahan serta terus meliberalisasikan, jika memungkinkan, hal yang
berhubungan dengan transaksi berjalan.
6. Fasilitasi, dengan rumusan: (1) membuat draft dan amendemen kerangka legal
dan regulasi, jika sesuai dan memungkinkan, untuk mendukung perubahan
pada aturan, (2) memperkuat dialog kebijakan mengenai aturan kehati-hatian
(prudential regulation) dan supervisi, untuk membantu negara anggota
membangun kerangka regulasi yang mendukung bagi liberalisasi serta
membangun dan memperbaiki sistem untuk memonitor aliran di setiap negara
anggota, dan (3) kerjasama antar negara untuk mengharmonisasikan
kebijakan, statistika dan infrastruktur yang berhubungan dengan aliran serta
membagi
bersama-sama
mengenai
kemajuan
pada
aturan
yang
diliberalisasikan.
2.2.4. Kinerja Investasi ASEAN
Kinerja investasi ASEAN sejak diberlakukannya AFTA mengalami
kenaikan yang signifikan. Namun sejak tahun 1997 investasi terus menurun,
sampai dengan tahun 2008 dengan nilai investasi sebesar US$ 40 375 miliar.
Realisasi investasi ASEAN disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Foreign Direct Invesment Inflows Negara ASEAN dari ASEAN
(US$ juta)
Negara
Tahun
Indonesia
Malaysia
Filipina
Singapura
Thailand
2000
109.6
87.2
92.1
640.7
-225.0
2001
323.1
208.2
34.0
1 982.4
-66.9
2002
321.3
1 050.4
22.6
2 045.5
274.6
2003
260.0
614.4
-12.6
1 683.5
143.9
2004
290.7
708.8
158.6
1 593.4
171.3
2005
214.3
1 275.0
76.1
2 576.7
28.1
2006
552.9
686.1
149.8
5 921.7
245.7
2007
232.6
896.0
81.6
7 230.8
736.9
2008
710.1
3 011.3
70.7
5 875.2
935.2
2000-2008
3 014.6
8 537.4
671.9
29 550.0
2 243.9
Sumber: ASEAN Statiscal Yearbook, 2008.
Sedang penerimaan FDI dari luar negara anggota ASEAN disajikan pada
Tabel 6. Mencermati data yang disajikan dalam Tabel 6, hanya Indonesia yang
pernah mengalami negatif investasi. Beberapa kendala yang menyebabkan
prestasi investasi Indonesia tertinggal jauh dari negara ASEAN disinyalir antara
lain disebabkan kebijakan pajak, instabilitas kebijakan, korupsi dan pungutan liar.
Tabel 6. Foreign Direct Invesment Inflows dari Negara non-ASEAN
(US$ juta)
Negara
Indonesia
Malaysia
Filipina
2000
-4 550.0
3 787.6
2 239.6
2001
-3 278.5
553.9
195.0
2002
144.9
3 203.4
1 542.0
2003
-596.1
2 473.2
490.8
2004
1 894.5
4 623.9
687.8
2005
8 336.0
3 964.8
1 854.0
2006
5 556.2
6 059.7
2 345.0
2007
6 928.3
8 401.2
2 916.0
2008
8 33.8
8 053.0
1 520.0
2000-2008 34 249.6
67 263.6
22 801.8
Sumber: ASEAN Statiscal Yearbook, 2008.
Tahun
Singapura
16 485.4
15 649.0
7 200.0
11 664.0
19 827.5
15 001.9
24 055.4
31 550.3
22 801.8
225 456.8
Thailand
3 350.3
1 300.3
1 200.1
1 450.1
1 610.1
2 020.8
2 360.0
11 238.1
9 834.5
83 294.9
2.3. Kerjasama ASEAN dengan Kawasan Integrasi Ekonomi Lain
Banyak masalah perekonomian tidak dapat diselesaikan bila hanya
dilakukan dengan sesama anggota. Karena itu, ASEAN telah membuat langkah
utama dalam membangun kerjasama dengan negara di kawasan Asia-Pasifik.
Kerjasama dengan negara-negara Asia Timur dipercepat dengan diadakannya
dialog atau pertemuan tahunan antara para pemimpin ASEAN, Cina, Jepang, dan
Republik Korea. Hal tersebut sesuai Visi ASEAN 2020 bahwa melalui pandangan
keluar ASEAN berhasil menarik minat banyak orang terhadap ASEAN. Pada
bulan November 1999, para pemimpin ASEAN, Cina, Jepang, dan Republik
Korea mengeluarkan pernyataan bersama atas kerjasama Asia Timur yang
menjelaskan ruang kerjasama antara masing-masing negara.
Pertemuan ASEAN tahun 1992 menghasilkan pernyataan bahwa ”ASEAN
sebagai bagian dari suatu dunia yang saling tergantung, perlu meningkatkan
hubungan kerjasama dengan mitra dialognya”. Konsultasi antara ASEAN dan
mitra dialognya dilaksanakan di tingkat menteri luar negeri setiap tahun. Mitra
dialognya meliputi Australia, Austria, Kanada, Cina, Uni Eropa, India, Jepang,
Republik Korea, Selandia Baru, Rusia, Amerika Serikat, dan Program
Pengembangan Perserikatan Bangsa-Bangsa. ASEAN juga mempromosikan
kerjasama dengan Pakistan dalam sektor tertentu.
Konsisten
dengan
keputusannya
meningkatkan
kerjasama
dalam
pengembangan kawasan lain, ASEAN memelihara kontak dengan organisasi antar
pemerintah lain, yakni Organisasi Kerjasama Ekonomi, Dewan Kerjasama Teluk,
Perkumpulan (group) Rio, kerjasama regional dengan Perhimpunan Asia Selatan,
dan Forum Pasifik Selatan. Negara anggota juga berpartisipasi aktif dalam
aktivitas Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC), Pertemuan Asia-Eropa
(ASEM). Selain itu, negara anggota membentuk perjanjian bilateral dengan
negara mitra dagang dan investasinya, seperti perjanjian bilateral antara Singapura
dengan Amerika Serikat, Singapura dengan Jepang, Malaysia dengan Amerika
Serikat serta beberapa kesepakatan bilateral lainnya.
Download