Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktek di

advertisement
OPINIO JURIS
Volume 04 | Januari - April 2012
RESENSI BUKU
Judul
Pengarang
Penerbit Pembuat Resensi
: Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktek
di Indonesia
: Damos Dumoli Agusman SH., MA
: Refika Aditama, Bandung, 2010
: Eka An Aqimuddin
Sejak pertengahan tahun 1980-an volume perdagangan internasional terus bertambah dan seiring dengan meningkatnya
perdagangan internasional, arbitrase internasional menjadi sebuah hal yang menarik untuk ditelaah oleh banyak praktisi hukum terutama lawyer di berbagai negara.
Arbitrase komersial internasional merupak-
an sebuah metode penyelesaian sengketa di
luar pengadilan telah dipilih oleh para pihak yang bersengketa karena bersifat fleksibel dan efektif. Arbitrase dapat dilakukan di
luar negara Di sela keringnya wacana dan
penerbitan buku soal hukum internasional
di Indonesia, buku karangan Damos Dumoli
Agusman ini patut diberikan apresiasi. Buku
tersebut patut mendapat perhatian dikarenakan selain mengangkat permasalahan klasik
hubungan antara hukum internasional dengan
hukum nasional juga menawarkan suatu solusi yang tentu saja masih bisa diperdebatkan.
Relasi antara hukum internasional dengan hukum nasional memang belum diatur
dengan jelas meskipun telah ada UU No. 24
tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Hal ini erat kaitanya dengan tidak tegasnya
politik hukum yang dianut oleh Indonesia. Ada
dua teori besar yang dikenal untuk mengatur
hubungan antara hukum internasional dengan
hukum nasional, yaitu; monisme dan dualisme.
Teori monisme menempatkan hukum
internasional dan hukum nasional sebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum. Hukum
internasional berlaku dalam lingkup hukum nasional tanpa harus melalui proses transformasi
melainkan inkorporasi sehingga tidak dibutuhkan legislasi nasional yang sama untuk memberlakukan hukum internasional dalam hukum
53
Volume 04 | Januari - April 2012
nasional. Karena merupakan kesatuan sistem
hukum maka terdapat kemungkinan adanya
konflik antara hukum internasional dengan hukum nasional. Dengan demikian ada dua percabangan dari teori ini; lebih mengutamakan
hukum internasional dibandingkan hukum
nasional (primat hukum internasional) atau
sebaliknya (primat hukum nasional) (hlm.97)
Teori dualisme menempatkan hukum
internasional sebagai sistem yang terpisah
dari hukum nasional. Dalam hal ini tidak terdapat hubungan hierarki antara kedua sistem
tersebut. Akibatnya, diperlukan suatu transformasi dari hukum internasional menjadi hukum
nasional berdasarkan peraturan-perundangundangan. Dengan adanya transformasi tersebut, maka kaidah hukum internasional diubah
menjadi kaidah hukum nasional untuk berlaku
sehingga tunduk pada dan masuk pada tata urutan perundangan nasional. Karena merupakan
dua sistem yang berbeda maka tidak mungkin terjadi konflik antara keduanya (hlm.97)
Berdasarkan kedua teori tersebut,
apakah politik hukum yang diambil Indonesia? Monisme? Dualisme? atau campuran?
Titik penting yang diangkat dalam buku ini
adalah terkait dengan posisi perjanjian internasional dalam sistem hukum Indonesia.
Politik hukum Indonesia soal posisi perjanjian internasioal dalam hukum nasional mula-mula dapat dilacak
dalam Pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi :
n
Presiden
dengan
persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
perang, membuat perdamaian dan
perjanjian
dengan
negara
lain.
n
Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan
akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban
keuangan negara, dan/atau mengharuskan
54
OPINIO JURIS
perubahan atau pembentukan undangundang harus dengan persetujuan DPR
n
Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan bunyi pasal di atas, maka
diperlukan persetujuan DPR untuk membuat
perjanjian dengan negara lain atau perjanjian
internasional lainnya. Definisi perjanjian internasional lain diartikan menurut penulis sebagai
perjanjian antara Indonesia dengan organisasi
internasional. Meskipun telah mensyaratkan
perlu persetujuan DPR dalam membuat perjanjian internasional, namun pasal tersebut
belum berbicara dengan jelas posisi perjanjian
internasional dalam sistem hukum nasional.
Pada tataran praktek, setidaknya terdapat tiga tahap pergeseran yang signifikan soal kata “persetujuan DPR” yaitu :
n
Periode awal kemerdekaan hingga tahun 1974, persetujuan DPR dituangkan
dalam suatu produk UU, namun UU dalam
kaitan ini dimaknai sebagai UU yang
bersifat mengesahkan persetujuan DPR.
n
Periode 1974-Orde Baru, sekalipun tidak
konsisten, UU yang mengesahkan persetujuan DPR ini kemudian dimaknai UU
dalam arti formil dan bersifat penetapan
n
Sejak adanya UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Perundang-undangan,
UU yang mengesahkan bergeser menjadi
UU yang mengesahkan perjanjian itu sendiri sehingga UU ini adalah UU dalam arti
materil dan bersifat mengatur. (hlm.137)
Pergeseran makna “persetujuan DPR”
dalam praktek tersebut terjadi karena memang
belum jelas politik hukum yang diambil oleh
Indonesia terkait perjanjian internasional.
UU No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional awalnya disusun untuk mengatur
secara terperinci soal posisi perjanjian in-
OPINIO JURIS
ternasional dalam sistem hukum Indonesia.
Akan tetapi, lagi-lagi politik hukum yang diambil juga belum jelas. Ada sisi monisme
dan dualisme dalam UU tersebut. Terkait
soal pengesahan (ratifikasi) misalnya, Pasal
9 menyebutkan bahwa: “Pengesahan perjanjian internasional oleh Pemerintah RI dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian
internasional tersebut (ayat 1); Pengesahan
perjanjian internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undangundang atau keputusan presiden. (ayat 2).”
Pengesahan sebagai definisi ratifikasi
dalam pasal 9 tersebut mencampuradukan arti
ratifikasi sebenarnya dalam hukum internasional. Padahal makna ratifikasi dapat diposisikan sebagai tindakan internal maupun eksternal
suatu negara terhadap perjanjian internasional.
Ratifikasi dalam hukum internasional (eksternal)
diartikan sebagai tindakan konfirmasi dari suatu
negara terhadap perbuatan hukum dari pejabatnya yang telah menandatangani suatu perjanjian. Dengan adanya ratifikasi maka suatu negara
mulai terikat dengan suatu perjanjian internasional. Hukum internasional tidak mempersoalkan bagaimana mekanisme internal suatu negara
dalam memberlakukan perjanjian internasional.
Pencampuradukan makna pengesahan
(ratifikasi) eksternal dengan internal dalam
Pasal 9 di atas, maka dapat dibenarkan bahwa
pengesahan perjanjian internasional melalaui UU/Keppres, Jika demikian, apakah UU/
Keppress ratifikasi menandakan bahwa perjanjian internasional telah mengikat Indonesia atau perlu kah dibuat UU/Keppres untuk
Volume 04 | Januari - April 2012
mentransformasi perjanjian internasional Poin
inilah yang coba dielaborasi dengan baik oleh
Damos Dumoli Agusman dalam buku-nya.
Sebagai wacana pemikiran, Damos
Dumoli Agusman mengajak pembaca untuk menguji beberapa usulan beliau yang
berkaitan dengan persoalan bagaimana seharusnya politik hukum Indonesia soal perjanjian internasional diarahkan. Setidaknya ada 3 wacana yang digulirkan, yaitu :
1. Monisme sebagai pilihan politik hukum
karena mempercepat proses pembentukan
hukum.
2. Monisme akan mempercepat karena hanya
menginkorporasi perjanjian internasional
melalui ratifikasi sehingga tidak perlu membuat UU yang terpisah yang akan menghabikan waktu dan biaya. Jika memilih
dualisme, maka akan membebani Indonesia
dengan proses legislasi
3. Alasan historis, karena M. Hatta telah menyatakan lebih mengarah ke supremasi perjanjian internasional
4. Sistem hukum Indonesia bercermin ke eropa continental yang umumnya berkarakter
monisme.
Tentu saja usulan-usulan tersebut harus diapresiasi sebagai bagian pertukaran wacana soal
hukum internasional di Indonesia. Dengan adanya pelemparan wacana ini, maka diharapkan
akan terlahir antitesa yang berujung pada sintesa yaitu suatu politik hukum perjanjian internasional Indonesia yang memihak kepada publik.
55
Download