BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak Kenya kembali menjadi negara dengan sistem multi-partai pada tahun 1991, Kenya menjadi negara yang hampir selalu mendapati kekerasan politik sejak pra hingga pasca pemilu. Persengketaan pemilu presiden yang terjadi di Kenya menjadi sangat wajar ketika memicu banyaknya protes dan kekerasan yang disebabkan oleh permasalahan kelompok etnis. Perbedaan dimensi etnik telah dipolitisasi oleh banyak calon politisi untuk tujuan penggalangan pendukung, sehingga tidak jarang hal ini mengakibatkan terjadinya kekerasan sejak jelang pemilu hingga pemilu berakhir. Ada persepsi yang meluas dan keyakinan umum yang terbentuk dari sesosok presiden yang terpilih nantinya, akan memihak kelompok etnis mereka sendiri. Pertumbuhan kekuasaan presidensil dan tidak adanya check – balance dalam pemerintahan menjadikan tumbuhnya kepercayaan bahwa untuk mendapatkan akses sumber daya maka sebuah kelompok harus dalam kekuasaan yang tidak terbatas, termasuk tanah1. Pola dari kekerasan pemilu yang tidak pernah diusut memberikan dampak terciptanya budaya impunitas, bersamaan dengan kemiskinan dan pengangguran, maka kaum muda bersedia mengangkat senjata menjadi “tentara bayaran” atas nama siapa saja yang mampu membayar mereka2. Kegagalan pemerintah Kenya menindak dan mengusut dalang dari kekerasan pemilu, setidaknya bisa kita rangkum dalam lima alasan permasalahan : (i) kurangnya kemampuan investigasi dan sumber daya kepolisian; (ii) korupsi didalam tubuh kepolisian; (iii) kurangnya pengawasan oleh Kejaksaan Agung dan Penuntut Umum atas bagian investigasi kejahatan kepolisan; (iv) campur tangan politik terhadap tugas kepolisian, kejaksaan agung, dan majlis peradilan; (v) tidak adanya sistem yang disiplin bagi polisi dan peradilan3. Hal ini tercermin pada situasi di Kenya pasca pemilu 2007 - 2008, dimana mengakibatkan 1.133 kematian, 3.561 terluka, 117.261 dirampas harta benda mereka dan 350. 000 orang pengungsi4. Pada situasi kejahatan kemanusiaan tersebut, hingga Februari 2008, tidak ada indikasi action plan 1 J.D Barkan, Kenya after Moi, ( Januari / Februari 2004 ),< https://www.foreignaffairs.com/articles/kenya/2004-01-01/kenya-after-moi>, diakses pada 1 Mei 2016. 2 C.Bjork & J.Goebertus, Complementarity in Action: The Role of Civil Society and the ICC, Yale Human Rights and Development Journal, Vol. 14, New Haven, 2011, p. 206. 3 Final Report’, Commission of Inquiry into Post Elction Violence (daring), 2008, <http://www.kenyalaw.org/Downloads/Reports/Commission_of_Inquiry_into_Post_Election_Violence.pdf>, p.164-174, diakses pada 5 Juli 2016 4 Avocats Sans Frontieres, Evaluation of Knowledge and Expertise in International Criminal Justice in Kenya, Bruxelles, 2011, p.9. 1 yang terlihat oleh sistem peradilan nasional Kenya. Termasuk kegagalan pemerintah Kenya mewujudkan Special Tribunal atau mekanisme peradilan khusus. Sudah barang tentu, Kenya mendapatkan justifikasi kegagalan dari organisasi kemunisaan baik level lokal, regional, bahkan global terhadap penanganan kasus kemanusiaan pasca pemilu 2007. ICC sebagai organisasi internasional hadir di Kenya terhitung mulai Februari 2008 dalam kaitannya permasalahan kejahatan kemanusiaan pasca pemilu 2007. ICC memiliki mandat terhadap pengusutan “ tindak kriminal berat yang membuat kerisauan dalam komunitas internasional secara keseluruhan”5 yakni genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan agregasi kejahatan (Statuta Roma 1998, bag.2, pasal 5).6 ICC sebagai institusi yang independen dan permanen7 berperan sebagai “ trigger “ berbagai pihak baik sistem peradilan nasional, organisasi internasional, NGOs, dan individu yang berpengaruh, untuk melakukan sebuah aksi kolektif menangani kasus kejahatan kemanusiaan di Kenya pasca pemilu 2007. Upaya networking ICC dalam pengusutan kasus tersebut, bisa kita lihat sebagai aktivitas yang masif dilakukan oleh ICC. Kesadaran pentingnya upaya kolektif dari berbagai elemen pihak, membuat ICC bersikeras untuk memberdayakan aktor baik transnasional maupun level lokal domestik Kenya. Secara eksplisit, ICC mengemas usaha networking dengan kebijakan yang dibuat pada tahun 2005, yakni Integrated Strategy for External Relations, Public Information and Outreach”8. Tiga kategori penting – external relations, public information, dan outreach program – ini dikelola oleh ICC tiga badan ICC, yakni OTP, Presidency, dan Registry. Masing – masing badan berkewajiban untuk mengimplementasikan strategi integrasi tersebut sebagai basic platform mereka mencapai tujuan utama. ICC sebagai organisasi internasional yang relatif muda, telah mengorganisir sedemikian rupa kebijakan yang berorientasi pada networking. Peran networking ICC dimulai sejak “monitoring” situasi hingga eksekusi sidang terhadap dakwaan. Tiga kategori kebijakan ICC diatas, dimanfaatkan ICC dalam rangka mendayagunakan kemampuan baik Kenya sebagai negara untuk menyelesaikan budaya impunitas dan aktor 5 Rome Statute of International Criminal Court, United Nations Organiation (daring), 17thof July 1998, < http://legal.un.org/icc/statute/99_corr/cstatute.htm>, diakses 2 Februari 2016. 6 Rome Statute of International Criminal Court, United Nations Organiation (daring), 17thof July 1998, < http://legal.un.org/icc/statute/99_corr/cstatute.htm>, diakses 2 Februari 2016. 7 Karen L. Corrie, ‘ The International Criminal Court’, dalam C. Bjola & M.Holmes (ed.), Digital Diplomacy Theory and Practice, Routledge, New York, 2015, p.146-147 8 ‘Integrated Strategy for External Relations, Public Information and Outreach,’ International Criminal Court (daring), 2005, <www.icc-cpi.int/NR/rdonlyres/425E80BA-1EBC-423-85C6 D4F2B93C6506/185049/ICCPIDSWBOR0307070402_IS_En.pdf>, diakses pada tanggal 1 April 2016. 2 transnasional sebagai aktor diluar negara yang profesional dalam menangani kasus kemanusiaan. Melalui public information, ICC memanfaatkan media massa tradisional maupun eletronik dan media sosial sebagai alat penyebaran informasi dan klarifikasi terhadap berita miring. Disini, ICC sebenarnya sedang menjalin hubungan dengan masyarakat global secara luas. Jelas bisa dibuktikan, bahwa secara masif ICC juga aktif mempublikasikan progresivitas dan tantangan situasi di Kenya pasca pemilu 2007 di media lokal Kenya dan media internasional. Program outreach ICC mencakup komunitas lokal di Kenya, komunitas epistemik, masyarakat sipil, media, dan hukum. Melalui program outreach ini ICC mendayagunakan kemampuan advokasi NGOs untuk memantau sistem peradilan nasional dan rehabilitasi korban. Program outreach juga memungkinkan ICC untuk melakukan pelatihan dan capacity – building bagi para jurnalis untuk menfungsikan fungsi advokasi terhadap perbaikan sistem hukum domestik. Melalui program ini juga ICC berperan secara tidak langsung untuk meningkatkan akuntabilitas dan keterbukaan sistem peradilan nasional Kenya. Sebaliknya melalui external - network memungkinkan ICC untuk mengadakan diplomasi dalam sebuah pertemuan atau negosiasi perjanjian dengan aktor negara, organisasi internasional, dan aktor transnasional. Berdasarkan latar belakang diatas, penulis berargumen bahwa ICC sebagai organsiasi internasional yang secara otomatis aktor transnasional, dalam konteks networking berkaitan dengan permasalahan yang mengakibatkan kegagalan Kenya mengatasi kejahatan pasca pemilu 2007 , telah banyak berkontribusi memberi andil terhadap akuntabilitas dan transparansi kejahatan kemanusiaan pasca pemilu di Kenya. Disamping hal tersebut, peran ICC dalam konteks Kenya sebagai negara, melalui networking-nya telah memberikan kontribusi untuk rule of law dalam sistem pengadilan Kenya. Dukungan – dukungan aktor organisasi internasional, NGOs, dan negara ataupun individu berpengaruh juga sangat penting dan memiliki andil baik dalam rehabilitasi dan penanganan teknis lainnya dalam kasus kejahatan kemanusiaan di Kenya pasca pemilu 2007. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka pertanyaan yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah “Bagaimana peran ICC dalam kasus kejahatan kemanusiaan di Kenya pasca pemilu 2007?”. 1.3. Landasan Konseptual 1.3.1 Interaksi Aktor Transnasional 3 Dalam Power and Interdependece, Nye dan Keohane mendefinisikan interaksi transnasionaal sebagai perpindahan barang tangible maupun intangible melewati batas negara, di mana setidaknya salah satu aktor yang terlibat tidak berasal dari agen pemerintah, ataupun perangkat pemerintah yang membawa kepentingan pemerintah..9 Selanjutnya, Nye dan Keohane dalam Transnational Relations and World Politics menjelaskan bahwa suatu fenomena dapat dikatakan sebagai interaksi transnasional apabila mengandung unsur-unsur berikut ini:10 a. Kontak, Koalisi, dan interaksi terjadi melewati batas negara, melibatkan dua atau lebih negara yang berbeda dan tidak berada di bawah kontrol organ pembuat kebijakan luar negeri pemerintah pusat, maupun agen pemerintah yang membawa kepentingan negara. b. Interaksi yang terjadi merupakan interaksi resiprokal atau interaksi dua arah yang melibatkan respon timbal balik dari pihak satu ke pihak lainya ICC jelas bisa disebut sebagai aktor transnasional karena dua hal, yakni : pertama, ICC merupakan organisasi yang beranggotakan 132 negara ( lebih dari dua negara ) dan kedua, ICC bukan “agent” pemerintah yang membawa amanat kepentingan negara. ICC sebagai aktor transnasional, sejak awal memanfaatkan interaksi transnasional untuk memperjuangkan mandatnya. Interaksi transnasional ini nantinya membantu ICC dalam meningkatkan kerjasama dengan aktor – aktor lainnya. 1.3.2 Networking Networking telah lama menjadi fitur yang cukup familiar di arena politik internasional. Networking dideskripsikan oleh Burton dan Kahler, sebagai model usaha sebuah organisasi dengan menggunakan aksi kolektif dan kerjasama, menggunakan pengaruh, atau memfasilitasi sarana untuk international governance11. Slaughter juga menjelaskan pentingnya membangun jalinan hubungan yang berkesinambungan dengan aktor pemerintah, kooperasi, NGOs, dan individu untuk mencapai tujuan bersama, dimana aktor “dengan koneksi terbanyak akan dinilai sebagai pemeran utama, dan mampu untuk mengatur agenda global dan mengaktifkan inovasi dan pertumbuhan 9 Robert Keohane dan Joseph Nye, Power and Interdependence, Little Brown Press, Boston, 1977, p.5. Robert Keohane dan Joseph Nye, Transnational Relations and World Politics Harvard University Press, Cambridge, 1971, p.xxi 11 E.M Burton, M.Kahler, dan A.Montgomery, Network Analysis for International Relations, Harvard Networks in Political Science Conference, Cambridge, 2009, p.5. 10 4 yang berkelanjutan”12. Networking disini didefinisikan secara longgar sebagai kumpulan individu yang saling berhubungan, berkedudukan sama dalam struktur kelembagaan sosial, dan menciptakan hubungan masyarakat baru yang membangun, demokratisasi, dan memperluas kerangaka sosial yang ada13. Metzl menjelaskan bahwa networks yang telah terjalin dari usaha networking nantinya mampu mendistribusikan pengaruh dan kekuatan melewati batas tradisional, yang memungkinkan terbentuknya dan tereformasinya interest group yang kuat14. Networks yang fleksibel dan lincah, secara konstan mampu mengkonfigurasi sendiri untuk mengatasi tantangan – tangan baru, sekaligus menekan biaya aksi kolektif dan membuat kelompok besar dan kelompok yang berlainan agara lebih mampu mengatur dan mempengaruhi peristiwa daripada sebelumnya. Metzl menegaskan bahwa networking bisa dijalankan apabila dalam proses dua arah, dalam rangka membagi informasi yang telah diklasifikasi berdasarkan tingkat kebutuhan untuk dibagikan kepada konstituen global. Hal ini didukung karena keterlibatan yang besar dengan masyarakat global jauh lebih penting saat ini dibandingkan sebelumnya, disamping memang pemahaman lintas-budaya merupakan komponen penting dari networks. Metzl menjelaskan beberapa cara untuk merangkul jaringan dalam lingkungan global15. Pertama, menjangkau dan mengenali konstituen yang lebih luas dari pada cara tradisional. Hal ini dengan cara hubungan yang berkesinambungan melalui proses yang transparan, hal ini memungkinkan melalui jaringan elektronik global. Kedua, upaya sadar akan pentingnya pergeseran “ budaya insitusi pemerintah” dari fokus pada kerahasiaan, penimbunan informasi, dan hirarkis menuju sistem yang terbuka, inovatif, dan informatif. Hal ini bisa dilakukan dengan bantuan outreach program dan teknologi berbasis networks yang memfasilitasi pertukaran informasi antar agensi dengan lebih leluasa. Ketiga, budaya knowledgemanagement yang merangkum ringkasan projek dan pelajaran yang dapat ditelusuri, sekaligus pelatihan knowledge-management. Keempat, fokus pada jangka panjang terhadap keefektivitasan organisasinya. Visi pada perubahan dan kemudian menciptakan standar behaviour dan norma yang terealisasikan pada tindakan. 12 A. Slaughter, ‘ America’s Edge: Power in Networked Centrury’, Foreign Affairs (daring), januari/februari, < https://www.foreignaffairs.com/articles/united-states/2009-01-01/americas-edge >, diakses pada 4 April 2016. 13 J.Metzl, ‘ Network Diplomacy’, Carnegie Endowment for International Peace(daring), 11 April 2001, < http://carnegieendowment.org/2001/04/01/network-diplomacy>, diakses pada 4 April 2016. 14 J.Metzl 2001 15 J.Metzl,2001 5 Metzl membagi networking dua, internal networking dan external networking. Aktor harus “memelihara internal networks”, dimana, mereka “mengumpulkan informasi sebanyak – banyaknya yang bermanfaat dalam berbagai bidang”, dan harus mencari cara untuk “mempermudah pertukaran informasi antar instansi dan hierarki”. Jika dikaitkan dengan ICC maka ini hal ini terkait dengan elemen syarat persidangan, termasuk bukti dan saksi. External networking sebagai bentuk dari usaha membangun hubungan “ jaringan lebih luas di luar”, termasuk pemerintah luar negeri, masyarakat sipil, aktor transnasional, dan NGOs. 1.4. Argumentasi Utama Berdasarkan kegagalan Kenya sebagai negara untuk menangani dan mengusut kasus kejahatan kemanusiaan pasca pemilu 2007, mengakibatkan ICC sebagai organisasi internasional dimana Kenya juga sebagai salah satu anggotanya, akhirnya bertindak. ICC sebagai organisasi internasional dalam kerangkanya sebagai aktor transnasional cukup akomodatif menggunakan cara networking dalam kasus kejahatan kemanusiaan pasca pemilu 2007. Didorong medan politik internasional yang dinamis dan kompleks, aktor non-negara menjadi insecure ketika tidak mempunyai networks yang kuat. ICC telah mengupayakan cara yang inovatif dan berorientasi global, dengan mempraktekkan dan memobilisasi kebijakan “ Integrated Strategy for External Relations, Public Information and Outreach” pada kasus di Kenya. Hasil nyata dari peran dalam usaha networking ICC adalah penguatan rule of law secara tidak langsung melalui peningkatan akuntabilitas para pertinggi negara yang terlibat dalam kasus kejahatan kemanusiaan dan transparansi kasus kejahatan kemanusiaan pasca pemilu 2007, dimana kejadian seperti ini sebelumnya diabaikan. Sebagaimana jaksa Penuntut ICC pada 15 Desember 2010, mengumumkan enam orang yang diduga telah melakukan kejahatan : Mayor Jenderal Mohammed Ali, Uhuru Muigai Kenyatta, Francis Kirimi Muthaura, Henry Kiprono Kosgey, William Samoei Ruto, dan Joshua Arap Sang. Enam orang yang diduga tersebut memiliki posisi penting baik di ranah publik maupun swasta. Tiga diantaranya sebagai Kabinet Menteri Kenya, selebihnya Komisaris Polisi Kenya, Ketua Komite Penasehat Keamanan Nasional, dan penyiar radio. Meskipun pada akhirnya mereka tidak bisa disangsi oleh ICC karena permasalahan saksi yang tidak komitmen untuk perisadangan akhir, maka disini penulis akan menjadikan networking ICC dalam lingkup internal menjadi sebuah evaluasi dari peran ICC dalam kasus kejahatan kemanusiaan di Kenya pasca pemilu 2007. Selain peran dalam konteks Kenya sebagai negara, ICC juga mempunyai peran pada 6 masyarakat sipil Kenya untuk melek permasalahan politik yang telah lama tidak diatasi oleh pemerintah Kenya. 1.5. Metode Penelitian Penulis akan menggunakan metode penelitian kualitatif untuk menjawab rumusan masalah, yaitu melalui pengumpulan data dari sumber yang relevan. Metode kualitatif yang akan digunakan dalam hal ini adalah studi terhadap dokumen yang memuat informasi topik penelitian yang relevan berupa buku, jurnal, surat kabar, atau sumber lain terkait dengan peran ICC di Kenya pasca pemilu 2007. Data dari sumber online akan lebih banyak digunakan, dimana pada umumnya sumber online menawarkan informasi yang diperoleh secara cepat dan akurat. Data yang akan digunakan dalam penelitian ini utamanya merupakan data kualitatif, dengan tambahan kuantitatif untuk mempermudah penjelasan apabila diperlukan. Melalui metode kualitatif ini, seluruh sumber yang telah didapatkan penulis akan dianalisa secara lebih mendalam untuk memunculkan analisis terkait rumusan masalah penelitian dan kemudian akan disimpulkan oleh penulis. 1.6. Sistematika Penulisan Penelitian ini akan terdiri dari empat bagian. Bab I akan berisi pendahuluan, meliputi latar belakang, rumusan masalah, landasan konseptual, argumentasi utama, metode penelitian, jangkauan penelitian dan sistematika penelitian. Bab II, penulis akan membahas mengenai fenomena kekerasan pasca pemilu 2007 di Kenya hingga hadirnya ICC di Kenya. Dimulai dengan pembahasan kasus kejahatan kemanusiaan dari deskripsi kronologi, faktor - faktor penyebab, dan jenis kejahatan yang diberlakukan dalam kacamata hukum yang berlaku. Disambung dengan detik – detik awal peran ICC di Kenya. Bab III, pada bab ini, penulis akan mengupas temuan penting dari peran ICC dalam kasus kejahatan kemanusiaan pasca pemilu 2007 di Kenya. Temuan yang maksud dalam hal ini, yakni networking oleh ICC. Penulis mengawali dengan uraian urgensi networking oleh ICC, proses dan implementasi networking, selanjutnya penulis menutup dengan evaluasi dan tantangan dari networking yang dilakukan oleh ICC. 7 Bab IV, pada sesi penutup ini penulis akan menarik kesimpulan serta refleksi dari peran ICC sebagai aktor transnasional dalam networking sekaligus signifikansi aktivitas semacam ini dalam studi hubungan internasional. 8