BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN MATA UANG 2.1. Perjanjian Peningkatan dan perkembangan interaksi antarmanusia di dalam masyarakat baik dari segi kuantitas maupun segi kualitas berjalan seiring dengan perkembangan kebutuhan manusia dalam kehidupan modern yang semakin kompleks. Upaya pemenuhan kebutuhan manusia yang diwujudkan di dalam berbagai jejaring kemasyarakatan untuk sebagian besar dilaksanakan melalui kegiatan – kegiatan pertukaran barang dan jasa, baik untuk kepentingan ekonomi maupun pribadi. Kegiatan – kegiatan pertukaran tersebut diwujudkan melalui pelaksanaan kewajiban – kewajiban yang diterbitkan secara sukarela berdasarkan janji – janji yang mengikat para pihak pelaku kegiatan – kegiatan tersebut. Sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin kompleks di masa modern ini, berkembang pula beragam resiko yang semakin besar potensinya untuk menjadi ancaman bagi para pihak dalam upaya mewujudkan harapan – harapan dari transaksi – transaksi yang mereka adakan. Kenyataan inilah yang menerbitkan kebutuhan bagi para pihak untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap harapan – harapan sah yang ingin dicapai melalui transaksi – transaksi yang dibuatnya, khususnya dalam mengantisipasi terjadinya resiko – resiko yang dapat menghambat upaya tersebut. Untuk mewujudkan tujuan – tujuan itu maka dikembangkan norma – norma hukum dalam bentuk sekumpulan asas dan aturan hukum yang umumnya dipahami sebagai hukum perjanjian yang diharapkan dapat meningkatkan kepastian, keadilan, dan prediktabilitas yang pada saat bersamaan menjadi alat bagi para pihak untuk mengelola resiko. Perjanjian sebagai suatu hubungan hukum yang berkelanjutan, tidak banyak berbeda dari hubungan – hubungan hukum lain, pada dasarnya diatur oleh seperangkat norma – norma. Norma – norma tersebut dapat memerintahkan, mewajibkan atau melarang perilaku – perilaku tertentu. Pelaksanaan perilaku tertentu seringkali digantungkan pada perilaku – perilaku atau kondisi – kondisi tertentu. Perilaku yang menyimpang dapat diancam dengan suatu sanksi, dan perilaku yang baik dapat menerbitkan hak untuk memperoleh prestasi. Bentuk perjanjian perlu ditentukan karena ada ketentuan undang – undang bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan bukti.1 2.1.1 Pengertian Dan Syarat Sahnya Perjanjian Pemenuhan kebutuhan manusia yang diwujudkan di dalam jejaring kemasyarakatan untuk sebagian besar dilaksanakan melalui kegiatan – kegiatan pertukaran barang dan jasa, baik untuk kepentingan komesial maupun pribadi. Kegiatan – kegiatan pertukaran tersebut diwujudkan melalui pelaksanaan kewajiban – kewajiban yang diterbitkan secara sukarela berdasaran janji – janji yang mengikat para pihak. Sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin kompleks di masa modern ini, berkembang pula beragam resiko yang semakin besar potensinya untuk menjadi ancaman bagi para pihak dalam mewujudkan harapan – harapan dari transaksi – transaksi yang mereka adakan. Kenyataan inilah yang menerbitkan kebutuhan bagi para pihak untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap harapan – harapan sah yang ingin dicapai melalui transaksi – transaksi yang dibuatnya, khususnya dalam mengantisipasi terjadinya resiko – resiko yang dapat menghambat upaya tersebut. Untuk mewujudkan tujuan – tujuan kontraktual itulah maka dikembangkan norma – norma hukum dalam bentuk sekumpulan asas dan aturan hukum yang umumnya dipahami sebagai hukum kontrak atau hukum perjanjian. Perjanjian juga 1 Abdulkadir Muhammad, op.cit. h.293 dikatakan sebagai perbuatan hukum (juridical act) dua pihak yang mengandung unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain, dan masing – masing pihak itu terikat pada akibat – akibat hukum yang timbul dari janji – janji itu karena kehendaknya sendiri.2 Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih, sesuai dengan ketentuan pada Pasal 1313 KUH Perdata. Para sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definis perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan diatas adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas.3 Menurut Subekti,4 perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji pada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Sedangkan, KMRT Tirtodiningrat,5 memberikan definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat – akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang – undang. Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Definisi itu dikatakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata pada Buku III mengenai Perjanjian yang kriterianya dapat dinilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.6 Menurut Suryodiningrat,7 bahwa definisi Pasal 1313 KUH Perdata ditentang beberapa pihak dengan argumentasi sebagai berikut: 2 J.Satrio, 1992, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.7. Mariam Darus Badrulzaman et.al., 2001, KOMPILASI HUKUM PERIKATAN (Dalam Rangka Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun), Citra Aditya Bakti, Bandung, h.65 4 Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, h.1 5 A.Qirom Meliala, 1985, Pokok – Pokok Hukum Perikatan Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, h.8 6 Mariam Darus Badrulzaman et.al., 2001, loc.cit. 7 R.M. Suryodiningrat, 1985, Asas – Asas Hukum Perikatan, Tarsito, Bandung, h.72 – 74. 3 a. Hukum tidak ada sangkut pautnya dengan setiap perikatan, dan demikian pula tidak ada sangkut pautnya dengan sumber perikatan, sebab apabila penafsiran dilakukan secara luas, setiap janji adalah persetujuan; b. Perkataan perbuatan apabila ditafsirkan secara luas, dapat menimbulkan akibat hukum tanpa dimaksudkan (misal: perbuatan yang menimbulkan kerugian sebagai akibat adanya perbuatan melanggar hukum); c. Definisi Pasal 1313 KUH Perdata hanya mengenai persetujuan sepihak (unilateral), satu pihak sajalah yang berprestasi sedangkan pihak lainnya tidak berprestasi (misal: schencking atau hibah). Seharusnya persetujuan itu berdimensi dua pihak, dimana para pihak saling berprestasi; d. Pasal 1313 KUH Perdata hanya mengenai persetujuan obligatoir (melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak), dan tidak berlaku bagi persetujuan jenis lainnya (misal: perjanjian liberatoir / membebaskan; perjanjian di lapangan hukum keluarga; perjanjian kebendaan; perjanjian pembuktian). Pengertian perjanjian atau kontrak yang dikemukakan oleh para ahli tersebut melengkapi kekurangan definisi Pasal 1313 KUH Perdata, sehingga secara lengkap pengertian perjanjian atau kontrak adalah perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Sebagai suatu kesimpulan dapat ditetapkan suatu norma, bahwa yang dapat dipakai sebagai pedoman ialah pernyataan yang sepatutnya dapat dianggap melahirkan maksud dari orang yang hendak mengikatkan dirinya. Karena suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat, maka perjanjian itu lahir pada detik diterimanya suatu penawaran. Apabila seorang melakukan penawaran, dan penawaran itu diterima oleh orang lain secara tertulis, menulis surat bahwa ia menerima penawaran itu, maka lahirlah perjanjian tersebut. Menurut Pasal 1339 KUH Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal – hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga dalam sesuatu yang menurut sifatnya perjanjian diharuskan atau diwajibkan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang – undang. Dengan demikian, maka setiap perjanjian diperlengkapi dengan aturan – aturan yang terdapat dalam undang – undang, yang terdapat pula dalam adat kebiasaan, sedangkan kewajiban – kewajiban yang diharuskan oleh norma – norma kepatutan harus diindahkan. 2.1.2 Asas – Asas Perjanjian Kehendak para pihak yang diwujudkan dalam kesepakatan adalah merupakan dasar mengikatnya suatu perjanjian. Sepakat mereka yang mengikatkan diri adalah asas essensial dari hukum perjanjian.8 Asas ini dinamakan asas otonomi, yang menentukan adanya perjanjian. Perjanjian berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan perjanjian yang didasarkan pada tempat perjanjian itu ditemukan. Sudikno Mertokusumo menggolongkan perjanjian dari sumber hukumnya menjadi 5 (lima) macam, yaitu:9 a. Perjanjian yang bersumber dari hukum keluarga, seperti halnya perkawinan; b. Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu yang berhubungan dengan peralihan hukum benda, misalnya peralihan hak milik; c. Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban; d. Perjanjian yang bersumber dari hukum acara, yang disebut dengan bewijsovereenkomst; e. Perjanjian yang bersumber dari hukum publik, yang disebut dengan publiekrechtelijke Overeekomst. Berbagai tradisi hukum yang tumbuh dan menjadi platform perkembangan berbagai sistem hukum di dunia pada dasarnya menerima konsepsi bertimbal balik antara Perjanjian dengan perikatan. Karena itu, orang dapat dengan mudah memahami bahwa Hukum Perjanjian pada umumnya dipahami sebagai bagian dari Hukum Perikatan. Namun demikian, tidak selalu mudah untuk menemukan batas – batas yang tajam di antara Hukum Perjanjian dengan bagian – bagian lain dari Hukum Perikatan. Sebagai bagian dari Hukum Perikatan, Hukum Perjanjian juga pada dasarnya melibatkan hubungan hukum yang bersisi dua. Di satu pihak norma – norma di dalamnya tampak berkenaan dengan hak perorangan untuk mengajukan tuntutan, dan di lain pihak dengan kewajiban – kewajiban untuk melaksanakan sesuatu. 8 9 11 Mariam Darus Badrulzaman et.al., 2001, op.cit. h.83 Sudikno Mertokusumo, 1987, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Fakultas Pascasarjana UGM, Yogyakarta, h. Pada buku III KUH Perdata pengertian tentang perikatan (Van Verbintenissen) yang memiliki sifat terbuka artinya isinya dapat ditentukan oleh para pihak dengan beberapa syarat yaitu tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan undang – undang.10 Apa yang diatur dalam Buku III KUH Perdata hanya sekedar mengatur dan melengkapi (regelend rechtaanvullendrecht). Berbeda dengan pengaturan Buku II KUH Perdata yang menaganut sistem tertutup atau bersifat memaksa (dwingend recht), dimana para pihak dilarang menyimpangi aturan – aturan yang ada didalam Bukum II KUH Perdata tersebut. Syarat yang terkandung pada Buku III KUH Perdata memiliki makna bahwa syarat tersebut dapat diikuti oleh para pihak atau dapat juga para pihak menentukan lain/ menyimpanginya dengan beberapa syarat namun hanya yang bersifat pelengkap saja yang dapat disimpanginya, karena di dalam ketentuan umum ada yang bersifat pelengkap dan pemaksa, seperti yang tercantum pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata. 2.2. Perdagangan Internasional Hukum perdagangan internasional merupakan bidang hukum yang berkembang cepat. Ruang lingkup bidang hukum ini pun cukup luas. Hubungan – hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat mencakup banyak jenisnya, dari bentuknya yang sederhana, yaitu dari barter, jual beli barang atau komoditi (produk – produk pertanian, perkebunan, dan sejenisnya), hingga hubungan atau transaksi dagang yang kompleks. Kompleksnya hubungan atau transaksi dagang internasional ini paling tidak disebabkan oleh adanya jasa teknologi (khususnya teknologi informasi) sehingga transaksi – transaksi dagang semakin berlangsung cepat.11 2.2.1 Pengertian Perdagangan Internasional 10 11 Handri Raharjo, 2009, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h. 39. Huala Adolf, 2013, Hukum Perdagangan Internasional, Cet.Ke V., Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.1 Istilah perdagangan internasional atau disebut dengan perdagangan antar bangsa – bangsa, pertama kali dikenal di Benua Eropa yang kemudian berkembang di Asia dan Afrika. Negara – negara yang terhimpun dalam kegiatan perdagangan internasional membentuk suatu persetujuan dagang dan tariff atau General Agreement on Tariff and Trade yang disingkat dengan GATT. Kemudian, GATT berkembang menjadi suatu organisasi perdagangan internasional yang sekarang lebih dikenal dengan Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization yang disingkat dengan WTO. Kesepakatan perdagangan internasional yang dicapai dalam Uruguay Round berakibat semakin meluasnya substansi yang ditentukan dalam GATT, disebabkan fungsi GATT diambil alih oleh WTO yang lebih dikenal peranan dan fungsinya dalam dunia internasional, khususnya di bidang tarif dan perdagangan internasional. Ada berbagai motif atau alasan mengapa negara atau subjek hukum (pelaku dalam perdagangan) melakukan transaksi dagang internasional.12 Fakta yang sekarang ini terjadi adalah perdagangan internasional sudah menjadi tulang punggung bagi negara untuk menjadi makmur, sejahtera dan kuat. Hal ini sudah banyak terbukti dalam perkembangan dunia. Timbulnya kebebasan dalam melaksanakan perdagangan internasional termotivasi oleh paham atau teori yang dikemukan oleh Adam Smith dalam bukunya berjudul “The Wealth of Nations”, yang menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat suatu negara justru akan semakin meningkat, jika perdagangan internasional dilakukan dalam pasar bebas dan intervensi pemerintah dilakukan seminimal mungkin.13 Prinsip utama yang menjadi dasar GATT adalah prinsip non – diskriminasi yang dalam WTO dikenal dengan most favoured nation atau MFN, sesuai yang tercantum pada Pasal 1 WTO. MFN merupakan prinsip bahwa perdagangan internasional antara anggota WTO harus dilakukan secara 12 13 Ibid. Mohammad Sood, 2011, Hukum Perdagangan Internasional, Rajawali Pers, Jakarta, h. 4 non – diskriminasi. Hal itu mengandung arti bahwa konsesi yang diberikan kepada suatu negara mitra dagang harus berlaku pula bagi semua negara lainnya. Semua negara ditempatkan pada kedudukan yang sama. Selain prinsip hukum yang ditentukan secara umum dalam WTO, dalam rangka mencapai tujuan WTO demi kesejahteraan negara anggota yang berkembang, disepakati ketentuan khusus. Dalam sistem perdagangan di dunia saat ini memungkinkan segala sesuatunya bersifat praktis, cepat dan aman. Hal yang sedemikian ini semakin memudahkan para pelaku usaha melakukan kegiatan perdagangan. Hal ini menyangkut juga aspek globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Peningkatan perdagangan internasional pasti akan meningkatkan intensitas transaksi pembayaran terhadap kegiatan perdagangan internasional di suatu negara. Dapat dikatakan bahwa perdagangan internasional tidak berbeda dengan pertukaran barang antardua orang di suatu negara, perbedaannya adalah bahwa perdagangan internasional orang yang satu kebetulan berada di negara yang berbeda.14 Dengan demikian, perdagangan internasional merupakan perdagangan dari suatu negara ke lain negara di luar perbatasan negara yang meliputi dua kegiatan pokok. Kedua kegiatan tersebut adalah kegiatan ekspor dan impor yang hanya dapat dilakukan dalam batas – batas tertentu sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah. Dalam melakukan kegiatan perdagangan internasional para pelaku usaha mengacu kepada kaidah – kaidah hukum yang bersifat internasional, baik ketentuan hukum perdata internasional (private international law) maupun ketentuan hukum publik international (public international law).15 2.2.2 Kebijakan Perdagangan Internasional Hubungan finansial terkait erat dengan perdagangan internasional. Keterkaitan erat ini tampak karena hubungan – hubungan keuangan ini mendampingii transaksi perdagangan antara 14 15 Hadi Pranyitno dan Budi Santoso, Ekonomi Pembangunan, Cet.I., Ghalia Indonesia, Jakarta, h.257. Mohammad Sood, op.cit. h.18. pedagang (dengan pengecualian transaksi barter atau counter trade).16 Dalam menghadapi era globalisasi di bidang ekonomi khususnya perdagangan internasional, peranan hukum bisnis terutama hukum perdagangan internasional sangat diperlukan dalam melakukan hubungan hukum atau transaksi antarbangsa. Hubungan tersebut menyangkut perniagaan atau pertukaran barang, jasa, modal maupun tenaga kerja, yang meliputi dua kegiatan pokok, yaitu kegiatan impor adalah memasukkan barang ke dalam daerah pabean, dan kegiatan ekspor adalah mengeluarkan barang dari daerah pabean. Di dalam jual beli dagang sendiri khususnya dalam perdagangan internasional telah ada suatu suatu kebiasaan yang digunakan sebagai hukum oleh para pelaku dalam transaksi tersebut. Ketentuan ini pada mulanya dibuat oleh para pengusaha yang tergabung di dalam The International Chamber Of Commerce atau ICC.17 ICC merupakan salah satu badan atau organisasi internasional di bidang unifikasi dan harmonisasi hukum perdagangan internasional. ICC didirikan pada tahun 1919. Badan ini berkedudukan di Paris. Tujuannya pada waktu itu, dan sampai sekarang masih terus berlaku, adalah melayani dunia usaha dengan memajukan perdagangan, penanaman modal, membuka pasasr untuk barang dan jasa, serta memajukan aliran modal.18 Selama masa depresi di tahun 1919, ICC memerankan peranan penting dalam membantu mengurangi proteksi yang muncul dari krisis tersebut. Setelah Perang Dunia II, ICC tetap penting di dunia internasional untuk melanjutkan pengembangan perdagangan internasional.19 Pada tahaun 1980-an dan awal 1990-an, ICC harus menghadapi kebangkitan dari proteksionisme dalam penyamaran baru, seperti pengaturan resiproakatif perdagangan, pembatasan ekspor secara sukarela, dan pengendalian yang lebih dikenal dengan eufemisme ”pengaturan perdagangan”. 16 Huala Adolf, op.cit. h.7. Sentosa Sembiring, op.cit. h. 133 18 Ibid.h.47 19 http://www.iccwbo.org/about-icc/history/ diakses pada tanggal 3 Maret 2016. 17 Negara – negara di dunia kerap membuat kebijakan atau keputusan – keputusan yang dapat memengaruhi perdagangan. Oleh karena itulah, peran atau adanya suatu badan dunia yang menyuarakan para pedagang yang terkena oleh kebijakan atau keputusan suatu negara menjadi sangat penting.20 Setelah kehancuran komunis di Eropa Timur dan Uni Soviet, ICC menghadapi tantangan yang baru, hal ini dikarenakan sistem pasar bebas telah diterima secara lebih luas, dan sampai sekarang negara – negara tersebut masih memerlukan campur tangan pemerintah untuk beralih ke privatisasi dan liberalisasi ekonomi. ICC sebagai suatu badan dalam membuat kebijakan – kebijakan atau aturan – aturan yang dapat menfasilitasi perdagangan internasional. Peran lain yang cukup penting pula adalah:21 a). Sebagai forum penyelesaian sengketa khususnya melalui arbitrase; b). Sebagai forum untuk menyebarluaskan informasi dan kebijakan serta aturan – aturan hukum dagang internasional di antara pengusaha – pengusaha di dunia; dan c). Memberikan pelatihan – pelatihan dan teknik – teknik dalam merancang kontrak serta keahlian – keahlian praktis lainnya dalam perdagangan internasional. Memasuki abad ke – 21, ICC membangun keberadaan yang lebih kuat di Asia, Afrika, Amerika Latin, Timur Tengah, dan di negara – negara berkembang dari Eropa Timur dan Tengah. Selama ini ICC dipandang sebagai garda terdepan dalam menyuarakan keinginan pelaku usaha untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan kemakmuran. Peran ini sangat penting dalam kaitannya dengan keadaan negara – negara di dunia saat ini. ICC tidak berupaya menciptakan unifikasi hukum. Kebijakan yang ditempuhnya adalah memberikan aturan – aturan dan standar – standar (Rules and Standards) di bidang hukum perdagangan internasional. Kedua bentuk aturan ini sifatnya tidak mengikat.22 20 Huala Adolf, op.cit. h.48. Ibid. 22 Ibid. h.49. 21 Dengan diratifikasi persetujuan berdirinya WTO, melalui disahkannya Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, yang selanjutnya akan disingkat UU WTO artinya Indonesia telah resmi menerima kesepakatan WTO. Sebagai tindak lanjutnya pemerintah Indonesia mengeluarkan berbagi peraturan perundang – undangan yang menjadi dasar pengaturan perdagangan internasional antara lain:23 1. Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan; 2. Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang – Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antindumping dan Bea Masuk Imbalan; 4. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 136.MPP/Kep/6 /1996 tentang Pembentukan Komite Antidumping Indonesia; 5. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 172/ MPP/ Kep/ 6/ 1996 tentang Organisasi dan Cara Kerja Tim Organisasi Antidumping; 6. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 427/MPP/Kep/10 /2000 tentang Komite Antidumping Indonesia; 7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 428/MPP/Kep/10 /2000 tentang Pengangkatan Anggota Komite Antidumping Indonesia; 8. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 216/MPP/Kep/7 /2001 tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 261/ MPP/ Kep/ 9/ 1996 tentang Tata Cara Persyaratan Pengajuan Penyelidikan Atas Barang Dumping dan Barang Mengandung Subsidi. 9. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 37/ M-Dag/ Per/ 9/ 2008 tentang Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) Terhadap Barang Impor yang dikenakan Tindakan Pengamanan (Safeguard); Yang terakhir ditetapkannya Undang – undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, adanya pengecualian bagi pelaku usaha perdagangan internasional untuk tidak menerima mata uang rupiah sebagai alat pembayaran untuk transaksi jual beli yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, kebijaksanaan pembangunan di bidang ekonomi yang didukung oleh kemajuan di bidang hukum diharapkan dapat terciptanya kerangka landasan guna menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan. 23 Mohammad Sood, loc.cit 2.3. Mata Uang Uang sebagai alat tukar yang sifatnya fleksibel karena dapat ditukarkan segala macam kebutuhan hidup berupa apa saja dan dimana saja.24 Uang suatu negara haruslah diterima setidak – tidaknya di negara bersangkutan. Agar dapat diterima oleh masyarakat maka harus ada kepercayaan masyarakat terhadap uang dimaksud. Kepercayaan masyarakat terhadap uang antara lain ditentukan dari reputasi lembaga yang mengeluarkan dan mengedarkan uang adalah bank sentral. Oleh karena itu bank sentral perlu memiliki reputasi yang baik. Uang sebagai alat pembayaran yang sah, dalam perekonomian suatu negara mempunyai beberapa fungsi penting yaitu sebagai alat penukar atau alat pembayaran dan pengukur harga. Sehingga dapat dikatakan uang merupakan alat utama perekonomian. Tanpa uang, perekonomian suatu negara akan lumpuh bahkan tidak dapat dilaksanakan. Keberadaan suatu negara yang berdaulat ditandai dengan kepemilikan oleh negara tersebut atas suatu wilayah teritorial tertentu, rakyat yang berdiam dalam wilayah teritorial dimaksud dan pemerintahan yang berdaulat. Disamping adanya wilayah, rakyat dan pemerintahan, untuk lebih menegaskan identitas keberadaan suatu negara, diperlukan simbol – simbol kenegaraan, antara lain berupa bendera, lambang negara, lagu kebangsaan, dan mata uang. Bila dilihat dari kepentingan perekonomian suatu negara maka yang paling berperan dalam kehidupan masyarakat adalah mata uang. 2.3.1. Pengertian Mata Uang Adanya mata uang suatu negara menunjukkan salah satu ciri bahwa negara yang bersangkutan berdaulat. Mata uang adalah alat pembayaran transaksi ekonomi yang digunakan di suatu negara.25 Di setiap negara mata uangnya berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. 24 25 Gatot Supramono, op.cit. h. 9. Ibid. h.13 Dengan mata uang berbeda – beda transaksi perdagangan antar negara dilakukan dengan kurs. Istilah mata uang merupakan terjemahan dari istilah currency yang berarti uang yang dikeluarkan oleh Bank Sentral.26 Mata uang terdiri dari dua jenis yakni uang logam dan uang kertas yang dikenal dengan sebutan uang kartal. Istilah uang berarti adalah semua jenis uang yang berada dalam perekonomian, yakni uang kartal yang dikeluarkan oleh Bank Sentral ditambah dengan uang giral yang dikeluarkan oleh bank – bank umum. 2.3.2. Valuta Asing Sebagai Alat Pembayaran Valuta asing atau valas atau foreign exchange adalah mata uang yang dikeluarkan dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah di negara lain. Atau, seluruh kewajiban terhadap mata uang asing yang dapat dibayar di luar negeri, baik berupa pembayaran, pelunasan utang piutang, maupun simpanan pada bank di luar negeri. Transaksi valas dapat diartikan sebagai kesepakatan antara dua pihak untuk melakukan pertukaran mata uang asing yang dimiliki dengan mengikuti ketentuan kurs mata uang pada saat itu. Uang selalu ada hubungannya dengan mata uang dan mata uang selalu berhubungan dengan suatu negara karena setiap negara menentukan sendiri mata uangnya.27 Kurs Mata Uang adalah nilai sebuah mata uang negara tertentu yang diukur, dibandingkan, atau dinyatakan dalam mata uang negara lain.28 Sehubungan dengan itu, pada Pasal 2 ayat (1) UU Mata Uang mencantumkan mata uang Negara Republik Indonesia adalah Rupiah. Uang rupiah adalah alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Republik Indonesia. Hakekat valas adalah uang asing. Uang asing adalah uang yang diterbitkan sebagai alat bayar yang sah oleh suatu negara, di dalam maupun diluar wilayah negara negaranya, dengan bahan fisik 26 Cita Yustisia Serfiyani & Iswi Hariyani, 2013, Pasar Uang & Pasar Valas, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 97. 27 Gatot Supramono, op.cit. h. 13 28 Cita Yustisia Serfiyani & Iswi Hariyani, op.cit. h. 112. dan penanda tertentu. Valas merupakan uang asing yang berfungsi sebagai alat tukar sah yang diterbitkan secara resmi oleh suatu negara.29 Untuk dapat dikategorikan sebagai alat tukar yang sah, suatu mata uang asing harus memenuhi sekurang – kurangnya 3 (tiga) persyaratan, yaitu: a. diterbitkan oleh suatu negara; b. memenuhi persyaratan fisik dan nilai tertentu; dan c. berfungsi sebagai alat tukar resmi di negara bersangkutan. Persyaratan valas sebagai alat tukar resmi yang diterbitkan oleh negara tertentu, atau setidak – tidaknya oleh suatu lembaga yang diberi otoritas oleh negara untuk itu harus dipenuhi oleh setiap valas. Di Indonesia, kewenangan ini oleh negara diberikan kepada Bank Indonesia. 29 Ibid.h. 125.