BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN/PERIKATAN A. Pengertian Perjanjian/Perikatan Perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst yang diterjemahkan dengan menggunakan istilah perjanjian maupun persetujuan. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, istilah Perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam penjelasan itu. Sementara dalam kamus hukum dijelaskan bahwa perjanjian adalah persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama. Perikatan dan perjanjian adalah suatu hal yang berbeda. Perikatan dapat lahir dari suatu perjanjian dan undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat dapat menyebabkan lahirnya perikatan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Perikatan adalah terjemahan dari istilah bahasa belanda “verbintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literature hukum di Indonesia. Perikatan artinya hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan. Dalam KUH Perdata terjemahan Subekti dan Tjitrosudibio tidak dipakai istilah perjanjian melainkan yang dipakai adalah istilah perikatan sebagaimana yang disebut dala 16 Universitas Sumatera Utara 17 Pasal 1233 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa : “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”. Beberapa sarjana tidak menggunakan istilah perjanjian akan tetapi memakai istilah persetujuan. Mereka berpendapat pemakaian istilah tersebut tidaklah merupakan persoalan yang mendasar, karena suatu perjanjian sebenarnya berasal dari adanya persetujuan para pihak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu dapat menimbulkan perikatan dikalangan para pihak yang mengadakan perjanjian itu. Jadi perjanjian adalah merupakan salah satu sumber perikatan disamping sumber-sumber perikatan lainnya, perjanjian disebut sebagai persepakatan atau persetujuan, sebab para pihak yang membuatnya tentunya menyepakati isi dari perjanjian yang dibuat untuk melaksanakan sesuatu prestasi tertentu. Dalam Pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa : “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih meningkatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih” Pasal ini menerangkan secara sederhana tentang pengertian perjanjian yang menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri. Pengertian ini sebenarnya tidak begitu lengkap, tetapi dalam pengertian ini sudah jelas bahwa dalam perjanjan itu terdapat satu pihak yang mengikatkan dirinya kepada pihak lain. Pengertian Pasal 1313 KUH Perdata ini seharusnya juga menerangkan tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri tentang Universitas Sumatera Utara 18 suatu hal. Artinya kalau hanya disebutkan bahwa satu pihak yang mengikatkan dirinya kepada pihak lain, maka tampak seolah-olah yang dimaksud hanyalah perjanjian sepihak saja. Akan tetapi,kalau disbutkan juga tentang adanya kedua belah pihak yang saling mengikatkan diri, maka pengertian perjanjian ini meliputi baik perjanjian sepihak maupun perjanjian dua pihak. Para sarjana menyatakan bahwa rumusan Pasal 1313 KUH Perdata diatas memiliki banyak kelemahan, salah satunya adalah Abdul Kadir Muhammad yang menyatakan bahwa kelemahan-kelemahan dari Pasal 1313 KUH Perdata adalah sebagai berikut :6 1. Hanya menyangkut sepihak saja Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan satu orang saja atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Kata mengikatkan sifatnya hanya datang dari satu pihak saja tidak dari dua pihak. Seharusnya dirumuskan saling mengikatkan diri jadi ada consensus antara para pihak. 2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa Consensus Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus seharusnya dipakai kata persetujuan. 3. Pengertian perjanjian terlalu luas Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan dan janji perkawinan yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. 6 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya, Bandung, 1992, hal . 78 Universitas Sumatera Utara 19 4. Tanpa menyebut tujuan Dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut tidak disbutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak yang mengikatkan diri tidak memiliki tujuan yang jelas untuk apa perjanjian tersebut dibuat. Kemudian Setiawan yang berpendapat bahwa definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata selain belum lengkap juga terlalu luas. Belum lengkapnya definisi tersebut karena hanya menyebutkan perjanjian sepihak saja, terlalu luas karena dipergunakan kata perbuatan yang juga mencakup perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, maka definisi perjanjian perlu diperbaiki menjadi : a. Perbuatan tersebut harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan perbuatan hukum. b. Menambahkan perkataan atau saling mengikatkan dirinya dalam Pasal 1313 KUH Perdata. Dalam membuat sebuah pengertian tentang perjanjian, setiap sarjana mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai definisi perjanjian. Namun, untuk mempermudah pengertian perjanjian dari para sarjana, maka berikut adalah beberapa pendapat yang dikemukakan pleh beberapa sarjana, diantaranya adalah sebagai berikut: 1) Menurut Setiawan perjanjian adalah sebagai berikut : ”Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”7 7 Apit Nurwidijanto, Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Bangunan Pada Puri Kencana Mulya Persada di Semarang, Tesis Ilmu Hukum, Universitas Diponogoro, 2007, hal .41 Universitas Sumatera Utara 20 2) Menurut Subekti : “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal itu”8 3) Menurut Wirjono Prodjodikoro : “perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap tidak berjanji untuk melakukan sesuatu, atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain menurut pelaksanaan sesuatu hal itu.”9 4) Menurut Mariam Darus Badrulzaman : “Perjanjian adalah suatu perhubungan yang terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak dalam bidang harta kekayaan, dengan mana pihak satu berhak atas prestasi dan pihak lain wajib memenuhi kewajiban itu.”10 Dengan demikian, perjanjian mengandung kata sepakat yang diadakan antara dua orang atau lebih untuk melaksanakan sesuatu hal tertentu. Perjanjian itu merupakan suatu ketentuan antara mereka untuk melaksanakan prestasi. Dari beberapa pengertian tentang perjanjian yang telah diurikan diatas, terlihat bahwa dalam suatu perjanjian itu akan menimbulkan suatu hubungan hukum dari para pihak yang membuat perjanjian. Masing-masing pihak terikat 8 Subekti, Hukum Perjanjian, Pembimbing Masa, Jakarta, 1980, hal. 1 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1992, hal. 12 10 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung, alimni, 1994, hal. 3 9 Universitas Sumatera Utara 21 satu sama lain dan menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak yang membuat perjanjian. Namun, dalam prakteknya bukan hanya orang perorangan yang membuat perjanjian, namun termasuk juga badan hukum yang juga merupakan subjek hukum. Selain itu dalam merumuskan suatu perjanjian terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan sebagai sebuah perjanjian antara lain sebagai berikut : a) Ada pihak-pihak (subjek), sedikitnya dua pihak Pihak subjek dalam perjanjian adalah para pihak yang terikat dengan diadakannya suatu perjanjian. Subjek perjanjian dapat berupa orang atau badan hukum. Syarat menjadi subjek adalah harus mampu atau berwenang melakukan perbuatan hukum. b) Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap Unsur yang penting dalam perjanjian adalah adanya persetujuan (kesepakatan) antara pihak. Sifat persetujuan dalam suatu persetujuan disini haruslah tetap, bukan sekedar berunding. Persetujuan itu ditunjukan dengan penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran. c) Aa tujuan yang akan dicapai Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan para pihak itu, kebutuhan dimana hanya dapat dipenuhi jika mengadakan perjanjian dengan pihak lain. Tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh UndangUndang. Universitas Sumatera Utara 22 d) Ada prestasi yang akan dilaksanakan Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian. e) Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan f) Bentuk perjanjian perlu ditentukan, karena ada ketentuan Undang-Undang bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan kekuatan terbukti. Bentuk tertentu biasanya berupa akta. g) Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian Syarat-syarat tersebut biasanya terdiri dari syarat pokok yang akan menimbulkan hak dan kewajiban pokok. B. Jenis-Jenis Perjanjian Secara umum perjanjian dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu perjanjian obligatoir dan perjanjian non obligatoir.11 Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu.12sedangkan perjanjian non obligatoir adalah perjanjian yang tidak mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu.13 Perjanjian obligatoir terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu :14 11 169 Komariah, Hukum Perdata, Malang, Universitas Muhammdiyah Malang, 2002, hal. 12 Ibid Ibid. hal. 170 14 Ibid 13 Universitas Sumatera Utara 23 1. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi hanya pada satu pihak. Misalnya perjanjian hibah, perjanjian penanggungan (Borgtocht), dan perjanjian pemberi kuasa tanpa upah. Sedangkan perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memebebankan prestasi pada kedua pihak. Misalnya jual beli. 2. Perjanjian Cuma-Cuma dan perjanjian atas beban Perjanjian Cuma-Cuma adalah perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya. Misalnya hibah, pinjam pakai, pinjam meminjam tanpa bunga, dan penitipan barang tanpa biaya. Sedangkan perjanjian atas beban adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk melakukan prestasi berkaitan langsung dengan prestasi yang harus dilakukan oleh pihak lain. Contoh perjanjian atas beban adalah jual-beli, sewa menyewa, dan pinjam meminjam dengan bunga. 3. Perjanjian konsensuil, perjanjian riill dan perjanjian formil Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang mengikat sejak adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Contohnya perjanjian sewa menyewa. Sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian yang tidak hanya mensyaratkan kesepakatan namun juga mensyaratkan penyerahan objek perjanjian atau bendanya. Misalnya perjanjian penitipan barang. Sedangnkan perjanjian formil adalah perjanjian yang selain dibutuhkan kata sepakat, juga Universitas Sumatera Utara 24 dibutuhkan formalitas tertentu, sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh undang-undang. Contohnya pembebanan jaminan fidusia. 4. Perjanjian bernama, perjanjian tak bernama dan perjanjian campuran Perjanjian bernama adalah perjanjian yang secara khusus diatur didalam undang-undang. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus oleh undang-undang. Misalnya perjanjian leasing, franchising, dan factoring. Sedangkan perjanjian campuran adalah perjanjian yang merupakan kombinasi dari dua atau lebih perjanjian bernama. Misalnya perjanjian pemondokan (kost) yang merupakan campuran dari perjanjian sewa menyewa dan perjanjian untuk melakukan suatu pekerjaan (mencuci baju, menyetrika, dan membersihkan kamar). Perjanjian non obligatoir terbagi menjadi : a. Zakelijk overeenkomst, adalah perjanjian yang menetapkan dipindahkannya suatu hak dari seseorang kepada orang lain. b. Befivs overeenkomst, adalah perjanjian untuk membuktikan sesuatu. c. Liberatoir overeenkomst, adalah perjanjian dimana seseorang membebaskan pihak lain dari suatu kewajiban. d. Vaststelling overeenkomst, adalah perjanjian untuk mengakhiri keraguan mengenai isi dan luas perhubungan hukum diantara para pihak. C. Asas Perjanjian Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan latar belakang peraturan konkrit terdapat dalam setiap sistem hukum yang Universitas Sumatera Utara 25 terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan yang konkrit tersebut. Dengan demikian, asas hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat umum dan terdapat dalam hukum positif atau keseluruhan peraturan perundang-undangan atau putusanputusan hakim yang merupakan ciri-ciri dari peraturan konkrit tersebut. Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas utama dalam perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme dan asas pacta sunt-servanda. Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian. 1. Asas kebebasan berkontrak Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang sangat penting bagi hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang mebuatnya. Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, sebagaimana yang dikemukakan Ahmad Miru, di antaranya:15 a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak; b. Bebas menetukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian; 15 Ahmad Miru, Hukum Kontrak Perancangan kontrak, Rasi Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 4 Universitas Sumatera Utara 26 c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian; d. Bebas menentukan bentuk perjanjian; dan e. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Asas kebebasan berkontrak merupaka suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat BUKU III KUH Perdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa. 2. Asas konsensualisme Asas konsensualisme dalam hukum perjanjian ini memandang bahwa sebuah perjanjian disebut sah apa bila ada kesepakatan, yakni persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Menurut asas ini perjanjian sudah lahir atau terbentuk ketika para pihak mencapai kata sepakat mengenai pokok-pokok perjanjian. Walaupun terkadang undang-undang menetapkan bahwa sahnya suatu perjanjian harus dilakukan secara tertulis (seperti perjanjian perdamaian) atau harus dibuat dengan akta oleh pejabat yang berwenang (seperti akta jual-beli tanah); semua ini merupakan perkecualian. Bentuk konsensualisme adalah suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, salah satunya dengan adanya pembubuhan tanda tangan dari para pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Tanda tangan berfungsi sebagai bentuk kesepakatan dan bentuk persetujuan atas tempat, waktu, dan isi perjanjian yang Universitas Sumatera Utara 27 dibuat. Tanda tangan juga berkaitan dengan kesengajaan para pihak untuk membuat suatu perjanjian sebagai bukti atas suatu peristiwa.16 3. Asas Pacta Sunt-Servanda Asas ini berkaitan dengan kekuatan mengikatnya perjanjian. Mengikat sebagai undang-undang memiliki makna bahwa, para pihak yang mebuat perjanjian wajib menaati perjanjian sebagaimana mereka menaati undang-undang. Dan pihak ketiga termasuk hakim, wajib menghormati perjanjian tersebut, juga tidak mencampuri isi perjanjian yang telah ditetapkan oleh para pihak. Tidak mencampuri isi hukum perjanjian artinya pihak ketiga tidak boleh menambah atau mengurangi isi perjanjian dan tidak boleh menghilangkan kewajiban-kewajiban kontraktual yang timbul dari perjanjian tersebut. Karena para pihak wajib mentaati isi perjanjian yang mereka buat, akibatnya perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak. Jika akan ditarik kembali, harus dengan kesepakatan para pihak atau dengan alas an undang-undang yang menyatakan cukup untuk itu. Asas kepastian hukum akan dapat dipertahankan sepenuhnya, jika para pihak dalam perjanjian, kedudukannya seimbang dan para pihak sama-sama cakap melakukan perbuatan hukum. 4. Asas itikad baik Asas itikad baik terkandung dalam pasal 1338 KUH Perdata yang meyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini berkenaan dengan pelaksana perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun kreditur. 16 http://www.dheanbj.com/2012/09/asas-asas-hukum-perjanjian.html. Diakses tanggal 29 januari 2014 Universitas Sumatera Utara 28 Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif).17 5. Asas kepribadian Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan 1340 KUH Perdata. Pada pasal 1315 dinyatakan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya. Selanjutnya, Pasal 1340 dinyatakan bahwa perjanjianperjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317. Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain. Maka asas ini dinamakan asas kepribadian. D. Syarat Sahnya Perjanjian Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah apabila terpenuhi 4 syarat, yaitu: 1. Adanya kata sepakat; 2. Kecakapan untuk membuat perjanjian; 3. Adanya suatu hal tertentu; 17 Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hal. 42 Universitas Sumatera Utara 29 4. Adanya causa yang halal. Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhioleh subyek suatu perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif. Syarat ketiga dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat obyektif. Adapun penjelasan masing-masing adalah sebagai berikut. a. Kata sepakat Kata sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya memberikan persetujuan atau kesepakatan.18 Jadi sepakat merupakan pertemuan kedua kehendak dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain dan kehendak tersebut saling bertemu. Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendakai oleh pihak ke satu juga dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya disebutkannya “sepakat” saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai undangundang bagi mereka yang mebuatnya. J. Satrio, menyatakan kata sepakat sebagai persesuaian kehendak antara dua orang dimana dua kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus 18 Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992, hal. 4 Universitas Sumatera Utara 30 dinyatakan. Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya hubungan hukum.19 Dengan demikian adanya kehendak aja belum melahirkan suatu perjanjian karena kehendak tersebut harus diutarakan, harus nyata bagi yang lain dan harus dimengerti oleh pihak lain. Di dalam KUH Perdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi di dalam pasal 1321 KUH Perdata ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat itu di berikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan paksaan atau penipuan. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat antara masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak boleh ada paksaan, kekhilafan dan penipuan. Menurut Subekti, yang dimaksud dengan paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis), jadi bukan paksaan badan (fisik).20Selanjutnya kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai halhal tersebut ia tidak akan memberikan persetujuan. Kemudian penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Dengan demikian suatu perjanjian yang kata sepakatnya didasarkan paksaan, kekhilafan, penipuan maka perjanjian itu di kemudian hari dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak. 19 J.Satrio, Hukum Jaminan,Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. 129 20 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1996, hal. 23-24 Universitas Sumatera Utara 31 b. Cakap untuk membuat perjanjian (bertindak) Dalam Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagaiorang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. Selanjutnya pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian yaitu: 1) Orang yang belum dewasa. 2) Mereka yang berada dibawah pengampuan/perwalian dan. 3) Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapka oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun hal ini sudah tidak berlaku lagi sejak keluarnya SEMA No.3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963 yang mencabut beberapa pasal KUH Perdata diantaranya Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata. Maka status sebagai istri tidak lagi mempunyai pengaruh terhadap kecakapan bertindak yang dilakukannya. Selain SEMA, UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 31 ikut memperkuat hapusnya Pasal 108 dan pasal 110 KUH Perdata. Dengan demikian maka istri termasuk kedalam subjek hukum yang cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Universitas Sumatera Utara 32 4) Adanya suatu hal tertentu Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Di dalam KUH Perdata Pasal 1333 ayat (1) dinyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak masalah asalkan dikemudian hari di tentukan (1333 ayat 2) 5) Adanya suatu sebab/kausa yang halal Yang dimaksud dengan sebab/kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak,21sedangkan sebagaimana yang telah dikemukakan Subekti, adanya suatu sebab yang dimaksud tidak lain daripada isi perjanjian. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian Oorzaak (causa yang halal). Didalam Pasal 1337 KUH Perdata yang berbunyi : “suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Sedangkan pengertian sebab (causa) disini adalah tujuan daripada perjanjian, apa yang menjadi isi, kehendak dibuatnya suatu perjanjian. 21 Sri Soedewi Masjachan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980, hal. 319 Universitas Sumatera Utara 33 Syarat yang pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat yang ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Tetapi apabila para pihak dalam perjanjian itu tidak ada yang berkeberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada. E. Wanprestasi Perikatan adalah suatu hubugan hukum di bidang hukum kekayaan dimana suatu pihak berhak menuntut suatu prestasi dan pihak lainnya bekewajiban untuk melaksanakan suatu prestasi. Pasal 1233 kitab undang-undang hukum perdata mengatakan bahwa perjanjian pada umumnya bersifat timbal balik, hal ini di katakan dalam mengkritisi pasal 1313 KUH Perdata tentang perjanjian, dimana dikatakan bahwa “perjanjian tentang perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih” KUH Perdata membedakan dengan jelas antara perikatan yang lahir dan perjanjian dari perikatan yang lahir dari undang-undang. Akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak. Tetapi hubungan dan akibat hukumnya ditentukan oleh undang-undang. Pada umumnya semua kontrak di akhiri dengan pelaksanaan apa yang di sepakati, artinya bahwa para pihak memenuhi kesepakatan untuk dilaksanakan berdasarkan Universitas Sumatera Utara 34 persyaratan yang dicantum dalam perjanjian atau kontrak di teruskan oleh Rai Widjaya, bahwa pemenuhan perjanjian atau hal-hal yang harus dilaksanakan disebut prestasi,dengan terlaksana prestasi kewajiban-kewajiban para pihak berakhir, sebaliknya apabila si berutang atau debitur tidak melaksanakannya, hal tersebut disebut wanprestasi. Ada 4 macam bentuk dari wanprestasi, yaitu : 1. Tidak berprestasi sama sekali atau berprestasi tapi tidak bermanfaat bagi atau tidak dapat diperbaiki. 2. Terlambat memenuhi prestasi. 3. Memenuhi prestasi secara tidak baik atau tidak sebagaimana mestinya. 4. Melakukan sesuatu namun menurut perjanjian tidak boleh dilakukan22. “Tidak dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian karena 2 hal: a. Kesalahan debitur karena : disengaja dan/atau lalai. b. Keadaan memaksa23. Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah sebagai berikut : 1) Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau biasa dinamakan ganti rugi. 2) Pembatalan perjanjian atau dinamakan pemecahan perjanjian. 3) Peralihan risiko, membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan didepan hakim24. 22 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Cet.1, Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta hal. 80-81 23 Ibid. 24 Subekti, Hukum Perjanjian, Cet.Ke XII, Intermasa, Jakarta, 1987 Universitas Sumatera Utara 35 Pembelaan untuk debitur wanprestasi ada 3 macam, yaitu : 1. Memajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force majeur). 2. Memajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai (exception non adimpleti contractus). 3. Memajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi (rechtsverwerking)25. Jika dikaitkan dengan hubungan dokter dengan pasien dalam hal pelayanan kesehatan, maka wanprestasi dapat terjadi dalam hal pelayanan kesehatan, jika dokter tidak melakukan suatu tindakan medis/kedokteran sebagaimana yang telah diperjanjikan atau melakukan tindakan medis yang sebenarnya tidak ada/sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya. Sedangkan untuk pasien sendiri dianggap melakukan wanprestasi apabila tidak membayar biaya administrasi untuk keperluan tindakan medis/kedokteran tersebut atau melanggar kesepakatan yang ada dalam perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. F. Perbuatan Melawan Hukum Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja tetapi 25 Ibid., hal. 61 Universitas Sumatera Utara 36 juga jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Setiap perbuatan pidana selalu dirumuskan secara seksama dalam undangundang, sehingga sifatnya terbatas. Sebaliknya pada perbuatan melawan hukum adalah tidak demikian. Undang-undang hanya menetukan satu pasal umum, yang memberikan akibat-akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum.26 Perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda disebut dengan onrechmatigedaad dan dalam bahasa Inggris disebut tort. Kata tort itu sendiri sebenarnya hanya berarti salah (wrong). Akan tetapi, khususnya dalam bidang hukum, kata tort itu sendiri berkembang sedemikian rupa sehingga berarti kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi dalam suatu perjanjian kontrak. Jadi serupa dengan pengertian perbuatan melawan hukum disebut onrechmatigedaad dalam sistem hukum Belanda atau di negara-negara Eropa Kontinental lainnya. Kata ” tort ” berasal dari kata latin ” torquere ” atau ” tortus ” dalam bahasa Perancis, seperti kata ”wrong ” berasal dari kata Perancis ” wrung ” yang berarti kesalahan atau kerugian (injury). Sehingga pada prinsipnya, tujuan dibentuknya suatu sistem hukum yang kemudian dikenal dengan perbuatan melawan hukum ini adalah untuk dapat mencapai seperti apa yang dikatakan dalam pribahasa bahasa Latin, yaitu juris praecepta sunt luxec, honestevivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere (semboyan hukum 26 Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Alumni, Bandung, 1982, hal. 15 Universitas Sumatera Utara 37 adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan memberikan orang lain haknya). Onrechmatigedaad (perbuatan melawan hukum), pada Pasal 1365 KUH Perdata dinyatakan : “Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Para pihak yang melakukan perbuatan hukum itu disebut sebagai subjek hukum yaitu biar manusia sebagai subjek hukum dan juga badan hukum sebagai subjek hukum. Dalam ilmu hukum terdapat 3(tiga) katagori perbuatan melawan hukum yaitu: 1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan. 2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan/tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian. 3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian. Unsur-unsur pebuatan melawan hukum: Sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, suatu perbuatan melawan hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. Adanya suatu perbuatan. b. Perbuatan tersebut melawan hukum. c. Adanya kesalahan dari pihak pelaku. d. Adanya kerugian bagi korban. e. Adanya hubungan kausul antara perbuatan dengan kerugian. Universitas Sumatera Utara 38 Perbuatan melawan hukum menurut perspektif hukum pidana berarti apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang maka disitu ada kekeliruan. Letak perbuatan melawan hukumnya sudah ternyata dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang, melawan hukum berarti melawan undangundang, sebab hukum adalah undang-undang yang disebut sebagai pendirian formal, dan belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undangundang yang bersifat melawan hukum, karena hukum bukanlah undang-undang saja disamping undang-undang ada pula hukum yang tidak tertulis yaitu normanorma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat yang disebut sebagai pendirian materiil. Universitas Sumatera Utara