16 BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN/PERIKATAN A

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM PERJANJIAN/PERIKATAN
A. Pengertian Perjanjian/Perikatan
Perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst yang diterjemahkan
dengan menggunakan istilah perjanjian maupun persetujuan. Dalam kamus besar
Bahasa Indonesia, istilah Perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan
yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati
apa yang tersebut dalam penjelasan itu. Sementara dalam kamus hukum dijelaskan
bahwa perjanjian adalah persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih,
tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang
telah dibuat bersama.
Perikatan dan perjanjian adalah suatu hal yang berbeda. Perikatan dapat
lahir dari suatu perjanjian dan undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat dapat
menyebabkan lahirnya perikatan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian
tersebut. Perikatan adalah terjemahan dari istilah bahasa belanda “verbintenis”.
Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literature hukum di Indonesia.
Perikatan artinya hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang lain. Hal
yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan. Dalam KUH
Perdata terjemahan Subekti dan Tjitrosudibio tidak dipakai istilah perjanjian
melainkan yang dipakai adalah istilah perikatan sebagaimana yang disebut dala
16 Universitas Sumatera Utara
17 Pasal 1233 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa : “Tiap-tiap perikatan
dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”.
Beberapa sarjana tidak menggunakan istilah perjanjian akan tetapi
memakai istilah persetujuan. Mereka berpendapat pemakaian istilah tersebut
tidaklah merupakan persoalan yang mendasar, karena suatu perjanjian sebenarnya
berasal dari adanya persetujuan para pihak untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu.
Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah
bahwa perjanjian itu dapat menimbulkan perikatan dikalangan para pihak yang
mengadakan perjanjian itu. Jadi perjanjian adalah merupakan salah satu sumber
perikatan disamping sumber-sumber perikatan lainnya, perjanjian disebut sebagai
persepakatan atau persetujuan, sebab para pihak yang membuatnya tentunya
menyepakati isi dari perjanjian yang dibuat untuk melaksanakan sesuatu prestasi
tertentu.
Dalam Pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa :
“suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
meningkatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”
Pasal ini menerangkan secara sederhana tentang pengertian perjanjian
yang menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri.
Pengertian ini sebenarnya tidak begitu lengkap, tetapi dalam pengertian ini sudah
jelas bahwa dalam perjanjan itu terdapat satu pihak yang mengikatkan dirinya
kepada pihak lain. Pengertian Pasal 1313 KUH Perdata ini seharusnya juga
menerangkan tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri tentang
Universitas Sumatera Utara
18 suatu hal. Artinya kalau hanya disebutkan bahwa satu pihak yang mengikatkan
dirinya kepada pihak lain, maka tampak seolah-olah yang dimaksud hanyalah
perjanjian sepihak saja. Akan tetapi,kalau disbutkan juga tentang adanya kedua
belah pihak yang saling mengikatkan diri, maka pengertian perjanjian ini meliputi
baik perjanjian sepihak maupun perjanjian dua pihak.
Para sarjana menyatakan bahwa rumusan Pasal 1313 KUH Perdata diatas
memiliki banyak kelemahan, salah satunya adalah Abdul Kadir Muhammad yang
menyatakan bahwa kelemahan-kelemahan dari Pasal 1313 KUH Perdata adalah
sebagai berikut :6
1. Hanya menyangkut sepihak saja
Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan satu orang saja atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Kata mengikatkan
sifatnya hanya datang dari satu pihak saja tidak dari dua pihak. Seharusnya
dirumuskan saling mengikatkan diri jadi ada consensus antara para pihak.
2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa Consensus
Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa
kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus
seharusnya dipakai kata persetujuan.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas
Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata terlalu luas karena
mencakup juga pelangsungan perkawinan dan janji perkawinan yang
diatur dalam lapangan hukum keluarga.
6
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya, Bandung, 1992, hal . 78 Universitas Sumatera Utara
19 4. Tanpa menyebut tujuan
Dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut tidak disbutkan tujuan
mengadakan perjanjian, sehingga para pihak yang mengikatkan diri tidak
memiliki tujuan yang jelas untuk apa perjanjian tersebut dibuat.
Kemudian Setiawan yang berpendapat bahwa definisi perjanjian dalam
Pasal 1313 KUH Perdata selain belum lengkap juga terlalu luas. Belum
lengkapnya definisi tersebut karena hanya menyebutkan perjanjian sepihak saja,
terlalu luas karena dipergunakan kata perbuatan yang juga mencakup perwakilan
sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, maka
definisi perjanjian perlu diperbaiki menjadi :
a. Perbuatan tersebut harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu
perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan perbuatan hukum.
b. Menambahkan perkataan atau saling mengikatkan dirinya dalam Pasal
1313 KUH Perdata.
Dalam membuat sebuah pengertian tentang perjanjian, setiap sarjana
mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai definisi perjanjian. Namun,
untuk mempermudah pengertian perjanjian dari para sarjana, maka berikut adalah
beberapa pendapat yang dikemukakan pleh beberapa sarjana, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1) Menurut Setiawan perjanjian adalah sebagai berikut :
”Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih.”7
7
Apit Nurwidijanto, Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Bangunan Pada Puri
Kencana Mulya Persada di Semarang, Tesis Ilmu Hukum, Universitas Diponogoro, 2007, hal .41 Universitas Sumatera Utara
20 2) Menurut Subekti :
“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada
orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal itu”8
3) Menurut Wirjono Prodjodikoro :
“perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda
kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau
dianggap tidak berjanji untuk melakukan sesuatu, atau tidak
melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain menurut pelaksanaan
sesuatu hal itu.”9
4) Menurut Mariam Darus Badrulzaman :
“Perjanjian adalah suatu perhubungan yang terjadi antara dua orang
atau lebih, yang terletak dalam bidang harta kekayaan, dengan mana
pihak satu berhak atas prestasi dan pihak lain wajib memenuhi
kewajiban itu.”10
Dengan demikian, perjanjian mengandung kata sepakat yang diadakan
antara dua orang atau lebih untuk melaksanakan sesuatu hal tertentu. Perjanjian
itu merupakan suatu ketentuan antara mereka untuk melaksanakan prestasi.
Dari beberapa pengertian tentang perjanjian yang telah diurikan diatas,
terlihat bahwa dalam suatu perjanjian itu akan menimbulkan suatu hubungan
hukum dari para pihak yang membuat perjanjian. Masing-masing pihak terikat
8
Subekti, Hukum Perjanjian, Pembimbing Masa, Jakarta, 1980, hal. 1 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,
Sumur, Bandung, 1992, hal. 12 10
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung, alimni, 1994, hal. 3 9
Universitas Sumatera Utara
21 satu sama lain dan menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak yang
membuat perjanjian. Namun, dalam prakteknya bukan hanya orang perorangan
yang membuat perjanjian, namun termasuk juga badan hukum yang juga
merupakan subjek hukum.
Selain itu dalam merumuskan suatu perjanjian terdapat beberapa unsur
yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan sebagai sebuah perjanjian antara lain
sebagai berikut :
a) Ada pihak-pihak (subjek), sedikitnya dua pihak
Pihak subjek dalam perjanjian adalah para pihak yang terikat dengan
diadakannya suatu perjanjian. Subjek perjanjian dapat berupa orang atau
badan hukum. Syarat menjadi subjek adalah harus mampu atau berwenang
melakukan perbuatan hukum.
b) Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap
Unsur yang penting dalam perjanjian adalah adanya persetujuan
(kesepakatan) antara pihak. Sifat persetujuan dalam suatu persetujuan
disini haruslah tetap, bukan sekedar berunding. Persetujuan itu ditunjukan
dengan penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran.
c) Aa tujuan yang akan dicapai
Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan para
pihak itu, kebutuhan dimana hanya dapat dipenuhi jika mengadakan
perjanjian dengan pihak lain. Tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan
dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh UndangUndang.
Universitas Sumatera Utara
22 d) Ada prestasi yang akan dilaksanakan
Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak sesuai
dengan syarat-syarat perjanjian.
e) Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan
f) Bentuk perjanjian perlu ditentukan, karena ada ketentuan Undang-Undang
bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai
kekuatan mengikat dan kekuatan terbukti. Bentuk tertentu biasanya berupa
akta.
g) Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian
Syarat-syarat tersebut biasanya terdiri dari syarat pokok yang akan
menimbulkan hak dan kewajiban pokok.
B. Jenis-Jenis Perjanjian
Secara umum perjanjian dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
perjanjian obligatoir dan perjanjian non obligatoir.11 Perjanjian obligatoir adalah
perjanjian yang mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar
sesuatu.12sedangkan perjanjian
non obligatoir adalah perjanjian yang tidak
mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu.13
Perjanjian obligatoir terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu :14
11
169 Komariah, Hukum Perdata, Malang, Universitas Muhammdiyah Malang, 2002, hal.
12
Ibid
Ibid. hal. 170
14
Ibid 13
Universitas Sumatera Utara
23 1. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi hanya
pada satu pihak. Misalnya perjanjian hibah, perjanjian penanggungan
(Borgtocht), dan perjanjian pemberi kuasa tanpa upah. Sedangkan
perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memebebankan prestasi
pada kedua pihak. Misalnya jual beli.
2. Perjanjian Cuma-Cuma dan perjanjian atas beban
Perjanjian Cuma-Cuma adalah perjanjian dimana pihak yang satu
memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima
suatu manfaat bagi dirinya. Misalnya hibah, pinjam pakai, pinjam
meminjam tanpa bunga, dan penitipan barang tanpa biaya. Sedangkan
perjanjian atas beban adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu
untuk melakukan prestasi berkaitan langsung dengan prestasi yang harus
dilakukan oleh pihak lain. Contoh perjanjian atas beban adalah jual-beli,
sewa menyewa, dan pinjam meminjam dengan bunga.
3. Perjanjian konsensuil, perjanjian riill dan perjanjian formil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang mengikat sejak adanya
kesepakatan dari kedua belah pihak. Contohnya perjanjian sewa menyewa.
Sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian yang tidak hanya mensyaratkan
kesepakatan namun juga mensyaratkan penyerahan objek perjanjian atau
bendanya. Misalnya perjanjian penitipan barang. Sedangnkan perjanjian
formil adalah perjanjian yang selain dibutuhkan kata sepakat, juga
Universitas Sumatera Utara
24 dibutuhkan formalitas tertentu, sesuai dengan apa yang telah ditentukan
oleh undang-undang. Contohnya pembebanan jaminan fidusia.
4. Perjanjian bernama, perjanjian tak bernama dan perjanjian campuran
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang secara khusus diatur didalam
undang-undang. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur
secara khusus oleh undang-undang. Misalnya perjanjian leasing,
franchising, dan factoring. Sedangkan perjanjian campuran adalah
perjanjian yang merupakan kombinasi dari dua atau lebih perjanjian
bernama. Misalnya perjanjian pemondokan (kost) yang merupakan
campuran dari perjanjian sewa menyewa dan perjanjian untuk melakukan
suatu pekerjaan (mencuci baju, menyetrika, dan membersihkan kamar).
Perjanjian non obligatoir terbagi menjadi :
a. Zakelijk
overeenkomst,
adalah
perjanjian
yang
menetapkan
dipindahkannya suatu hak dari seseorang kepada orang lain.
b. Befivs overeenkomst, adalah perjanjian untuk membuktikan sesuatu.
c. Liberatoir
overeenkomst,
adalah
perjanjian
dimana
seseorang
membebaskan pihak lain dari suatu kewajiban.
d. Vaststelling overeenkomst, adalah perjanjian untuk mengakhiri keraguan
mengenai isi dan luas perhubungan hukum diantara para pihak.
C. Asas Perjanjian
Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan
latar belakang peraturan konkrit terdapat dalam setiap sistem hukum yang
Universitas Sumatera Utara
25 terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang
merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau
ciri-ciri yang umum dalam peraturan yang konkrit tersebut. Dengan demikian,
asas hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat umum dan terdapat dalam
hukum positif atau keseluruhan peraturan perundang-undangan atau putusanputusan hakim yang merupakan ciri-ciri dari peraturan konkrit tersebut.
Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas utama dalam
perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme dan asas pacta
sunt-servanda. Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas
kepribadian.
1. Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang sangat penting bagi
hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya
didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang mebuatnya.
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang
untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian,
sebagaimana yang dikemukakan Ahmad Miru, di antaranya:15
a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;
b. Bebas menetukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
15
Ahmad Miru, Hukum Kontrak Perancangan kontrak, Rasi Grafindo Persada, Jakarta,
2001, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
26 c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;
d. Bebas menentukan bentuk perjanjian; dan
e. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Asas kebebasan berkontrak merupaka suatu dasar yang menjamin
kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat
BUKU III KUH Perdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga
para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap
pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.
2. Asas konsensualisme
Asas konsensualisme dalam hukum perjanjian ini memandang bahwa
sebuah perjanjian disebut sah apa bila ada kesepakatan, yakni persesuaian antara
kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Menurut asas ini
perjanjian sudah lahir atau terbentuk ketika para pihak mencapai kata sepakat
mengenai
pokok-pokok
perjanjian.
Walaupun
terkadang
undang-undang
menetapkan bahwa sahnya suatu perjanjian harus dilakukan secara tertulis (seperti
perjanjian perdamaian) atau harus dibuat dengan akta oleh pejabat yang
berwenang (seperti akta jual-beli tanah); semua ini merupakan perkecualian.
Bentuk konsensualisme adalah suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, salah
satunya dengan adanya pembubuhan tanda tangan dari para pihak yang
melakukan perjanjian tersebut. Tanda tangan berfungsi sebagai bentuk
kesepakatan dan bentuk persetujuan atas tempat, waktu, dan isi perjanjian yang
Universitas Sumatera Utara
27 dibuat. Tanda tangan juga berkaitan dengan kesengajaan para pihak untuk
membuat suatu perjanjian sebagai bukti atas suatu peristiwa.16
3. Asas Pacta Sunt-Servanda
Asas ini berkaitan dengan kekuatan mengikatnya perjanjian. Mengikat
sebagai undang-undang memiliki makna bahwa, para pihak yang mebuat
perjanjian wajib menaati perjanjian sebagaimana mereka menaati undang-undang.
Dan pihak ketiga termasuk hakim, wajib menghormati perjanjian tersebut, juga
tidak mencampuri isi perjanjian yang telah ditetapkan oleh para pihak. Tidak
mencampuri isi hukum perjanjian artinya pihak ketiga tidak boleh menambah atau
mengurangi isi perjanjian dan tidak boleh menghilangkan kewajiban-kewajiban
kontraktual yang timbul dari perjanjian tersebut. Karena para pihak wajib mentaati
isi perjanjian yang mereka buat, akibatnya perjanjian tidak dapat ditarik kembali
secara sepihak. Jika akan ditarik kembali, harus dengan kesepakatan para pihak
atau dengan alas an undang-undang yang menyatakan cukup untuk itu. Asas
kepastian hukum akan dapat dipertahankan sepenuhnya, jika para pihak dalam
perjanjian, kedudukannya seimbang dan para pihak sama-sama cakap melakukan
perbuatan hukum.
4. Asas itikad baik
Asas itikad baik terkandung dalam pasal 1338 KUH Perdata yang
meyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Asas ini berkenaan dengan pelaksana perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun
kreditur.
16
http://www.dheanbj.com/2012/09/asas-asas-hukum-perjanjian.html. Diakses tanggal 29
januari 2014 Universitas Sumatera Utara
28 Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda
(pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam
pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif).17
5. Asas kepribadian
Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang
terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan 1340 KUH
Perdata.
Pada pasal 1315 dinyatakan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat
mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji
daripada untuk dirinya. Selanjutnya, Pasal 1340 dinyatakan bahwa perjanjianperjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu
tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal
yang diatur dalam Pasal 1317. Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para
pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain. Maka asas ini
dinamakan asas kepribadian.
D. Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah apabila
terpenuhi 4 syarat, yaitu:
1. Adanya kata sepakat;
2. Kecakapan untuk membuat perjanjian;
3. Adanya suatu hal tertentu;
17
Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hal. 42
Universitas Sumatera Utara
29 4. Adanya causa yang halal.
Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhioleh subyek
suatu perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif. Syarat ketiga
dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian, oleh karena
itu disebut sebagai syarat obyektif. Adapun penjelasan masing-masing adalah
sebagai berikut.
a. Kata sepakat
Kata sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya memberikan
persetujuan atau kesepakatan.18 Jadi sepakat merupakan pertemuan kedua
kehendak dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang
dikehendaki pihak lain dan kehendak tersebut saling bertemu.
Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian
kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendakai oleh pihak ke satu juga
dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu
yang sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya
disebutkannya “sepakat” saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas)
apapun sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat
disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah
perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai undangundang bagi mereka yang mebuatnya.
J. Satrio, menyatakan kata sepakat sebagai persesuaian kehendak antara
dua orang dimana dua kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus
18
Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
30 dinyatakan. Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia
menghendaki timbulnya hubungan hukum.19 Dengan demikian adanya kehendak
aja belum melahirkan suatu perjanjian karena kehendak tersebut harus diutarakan,
harus nyata bagi yang lain dan harus dimengerti oleh pihak lain.
Di dalam KUH Perdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi
di dalam pasal 1321 KUH Perdata ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang
sah apabila sepakat itu di berikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena
dengan paksaan atau penipuan. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya
kata sepakat antara masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak
boleh ada paksaan, kekhilafan dan penipuan. Menurut Subekti, yang dimaksud
dengan paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis), jadi bukan
paksaan badan (fisik).20Selanjutnya kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak
khilaf tentang hal-hal yang pokok dari yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat
yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian. Kekhilafan tersebut
harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai halhal tersebut ia tidak akan memberikan persetujuan. Kemudian penipuan terjadi
apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu
atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya
memberikan perizinannya. Dengan demikian suatu perjanjian yang kata
sepakatnya didasarkan paksaan, kekhilafan, penipuan maka perjanjian itu di
kemudian hari dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak.
19
J.Satrio, Hukum Jaminan,Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1993, hal. 129
20
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1996, hal. 23-24
Universitas Sumatera Utara
31 b. Cakap untuk membuat perjanjian (bertindak)
Dalam Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah
cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang
tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagaiorang yang tidak cakap untuk
membuat suatu perjanjian.
Selanjutnya pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang
tidak cakap membuat perjanjian yaitu:
1) Orang yang belum dewasa.
2) Mereka yang berada dibawah pengampuan/perwalian dan.
3) Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapka oleh undang-undang
dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun hal ini sudah tidak
berlaku lagi sejak keluarnya SEMA No.3 Tahun 1963 tanggal 5
September 1963 yang mencabut beberapa pasal KUH Perdata
diantaranya Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata. Maka status
sebagai istri tidak lagi mempunyai pengaruh terhadap kecakapan
bertindak yang dilakukannya. Selain SEMA, UU No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dalam Pasal 31 ikut memperkuat hapusnya Pasal
108 dan pasal 110 KUH Perdata. Dengan demikian maka istri
termasuk kedalam subjek hukum yang cakap dalam melakukan
perbuatan hukum.
Universitas Sumatera Utara
32 4) Adanya suatu hal tertentu
Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah
objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian
yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan
suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Di dalam KUH Perdata Pasal 1333 ayat (1) dinyatakan bahwa suatu
perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu
barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak
masalah asalkan dikemudian hari di tentukan (1333 ayat 2)
5) Adanya suatu sebab/kausa yang halal
Yang dimaksud dengan sebab/kausa di sini bukanlah sebab yang
mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu
perjanjian
adalah
tujuan
bersama
yang
hendak
dicapai
oleh
para
pihak,21sedangkan sebagaimana yang telah dikemukakan Subekti, adanya suatu
sebab yang dimaksud tidak lain daripada isi perjanjian.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian Oorzaak
(causa yang halal). Didalam Pasal 1337 KUH Perdata yang berbunyi :
“suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum. Sedangkan pengertian sebab (causa) disini
adalah tujuan daripada perjanjian, apa yang menjadi isi, kehendak dibuatnya suatu
perjanjian.
21
Sri Soedewi Masjachan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan
dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980, hal. 319
Universitas Sumatera Utara
33 Syarat yang pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif, karena
menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat yang
ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian.
Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat
dibatalkan. Artinya bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan
untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Tetapi apabila para pihak
dalam perjanjian itu tidak ada yang berkeberatan maka perjanjian itu tetap
dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal
demi hukum. Artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.
E. Wanprestasi
Perikatan adalah suatu hubugan hukum di bidang hukum kekayaan dimana
suatu pihak berhak menuntut suatu prestasi dan pihak lainnya bekewajiban untuk
melaksanakan suatu prestasi. Pasal 1233 kitab undang-undang hukum perdata
mengatakan bahwa perjanjian pada umumnya bersifat timbal balik, hal ini di
katakan dalam mengkritisi pasal 1313 KUH Perdata tentang perjanjian, dimana
dikatakan bahwa “perjanjian tentang perjanjian adalah perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih” KUH Perdata membedakan dengan jelas antara perikatan
yang lahir dan perjanjian dari perikatan yang lahir dari undang-undang. Akibat
hukum suatu perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh para
pihak. Tetapi hubungan dan akibat hukumnya ditentukan oleh undang-undang.
Pada umumnya semua kontrak di akhiri dengan pelaksanaan apa yang di sepakati,
artinya bahwa para pihak memenuhi kesepakatan untuk dilaksanakan berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
34 persyaratan yang dicantum dalam perjanjian atau kontrak di teruskan oleh Rai
Widjaya, bahwa pemenuhan perjanjian atau hal-hal yang harus dilaksanakan
disebut prestasi,dengan terlaksana prestasi kewajiban-kewajiban para pihak
berakhir, sebaliknya apabila si berutang atau debitur tidak melaksanakannya, hal
tersebut disebut wanprestasi.
Ada 4 macam bentuk dari wanprestasi, yaitu :
1. Tidak berprestasi sama sekali atau berprestasi tapi tidak bermanfaat bagi
atau tidak dapat diperbaiki.
2. Terlambat memenuhi prestasi.
3. Memenuhi prestasi secara tidak baik atau tidak sebagaimana mestinya.
4. Melakukan sesuatu namun menurut perjanjian tidak boleh dilakukan22.
“Tidak dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian karena 2 hal:
a. Kesalahan debitur karena : disengaja dan/atau lalai.
b. Keadaan memaksa23.
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah
sebagai berikut :
1) Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau biasa dinamakan
ganti rugi.
2) Pembatalan perjanjian atau dinamakan pemecahan perjanjian.
3) Peralihan risiko, membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan
didepan hakim24.
22
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Cet.1, Penerbit Pustaka Yustisia,
Yogyakarta hal. 80-81
23
Ibid.
24
Subekti, Hukum Perjanjian, Cet.Ke XII, Intermasa, Jakarta, 1987
Universitas Sumatera Utara
35 Pembelaan untuk debitur wanprestasi ada 3 macam, yaitu :
1. Memajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force
majeur).
2. Memajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai
(exception non adimpleti contractus).
3. Memajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut
ganti rugi (rechtsverwerking)25.
Jika dikaitkan dengan hubungan dokter dengan pasien dalam hal
pelayanan kesehatan, maka wanprestasi dapat terjadi dalam hal pelayanan
kesehatan, jika dokter tidak melakukan suatu tindakan medis/kedokteran
sebagaimana yang telah diperjanjikan atau melakukan tindakan medis yang
sebenarnya tidak ada/sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya.
Sedangkan untuk pasien sendiri dianggap melakukan wanprestasi apabila tidak
membayar biaya administrasi untuk keperluan tindakan medis/kedokteran tersebut
atau melanggar kesepakatan yang ada dalam perjanjian yang telah disepakati
sebelumnya.
F. Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas
dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya
mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja tetapi
25
Ibid., hal. 61
Universitas Sumatera Utara
36 juga jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan
bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis.
Setiap perbuatan pidana selalu dirumuskan secara seksama dalam undangundang, sehingga sifatnya terbatas. Sebaliknya pada perbuatan melawan hukum
adalah tidak demikian. Undang-undang hanya menetukan satu pasal umum, yang
memberikan akibat-akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum.26
Perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda disebut dengan
onrechmatigedaad dan dalam bahasa Inggris disebut tort. Kata tort itu sendiri
sebenarnya hanya berarti salah (wrong). Akan tetapi, khususnya dalam bidang
hukum, kata tort itu sendiri berkembang sedemikian rupa sehingga berarti
kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi dalam suatu perjanjian
kontrak.
Jadi
serupa
dengan
pengertian
perbuatan
melawan
hukum
disebut onrechmatigedaad dalam sistem hukum Belanda atau di negara-negara
Eropa Kontinental lainnya. Kata ” tort ” berasal dari kata latin ” torquere ” atau
” tortus ” dalam bahasa Perancis, seperti kata ”wrong ” berasal dari kata Perancis
” wrung ” yang berarti kesalahan atau kerugian (injury).
Sehingga pada
prinsipnya, tujuan dibentuknya suatu sistem hukum yang kemudian dikenal
dengan perbuatan melawan hukum ini adalah untuk dapat mencapai seperti apa
yang dikatakan dalam pribahasa bahasa Latin, yaitu juris praecepta sunt luxec,
honestevivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere (semboyan hukum
26
Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Alumni,
Bandung, 1982, hal. 15
Universitas Sumatera Utara
37 adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan memberikan orang lain
haknya).
Onrechmatigedaad (perbuatan melawan hukum), pada Pasal 1365 KUH
Perdata dinyatakan : “Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Para pihak yang melakukan perbuatan hukum itu disebut sebagai subjek
hukum yaitu biar manusia sebagai subjek hukum dan juga badan hukum sebagai
subjek hukum. Dalam ilmu hukum terdapat 3(tiga) katagori perbuatan melawan
hukum yaitu:
1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.
2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan/tanpa unsur kesengajaan
maupun kelalaian.
3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
Unsur-unsur pebuatan melawan hukum:
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, suatu perbuatan
melawan hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Adanya suatu perbuatan.
b. Perbuatan tersebut melawan hukum.
c. Adanya kesalahan dari pihak pelaku.
d. Adanya kerugian bagi korban.
e. Adanya hubungan kausul antara perbuatan dengan kerugian.
Universitas Sumatera Utara
38 Perbuatan melawan hukum menurut perspektif hukum pidana berarti
apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang maka disitu ada
kekeliruan. Letak perbuatan melawan hukumnya sudah ternyata dari sifat
melanggarnya ketentuan undang-undang kecuali jika termasuk perkecualian yang
telah ditentukan oleh undang-undang, melawan hukum berarti melawan undangundang, sebab hukum adalah undang-undang yang disebut sebagai pendirian
formal, dan belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undangundang yang bersifat melawan hukum, karena hukum bukanlah undang-undang
saja disamping undang-undang ada pula hukum yang tidak tertulis yaitu normanorma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat yang disebut
sebagai pendirian materiil.
Universitas Sumatera Utara
Download