BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Paru Obstruktif Kronik Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yang dikenal dengan COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease) adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati, ditandaidengan hambatan aliran udara napas yang biasanya progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi kronik di saluran napas dan paru terhadap partikel atau gas yang beracun / berbahaya. Eksaserbasi dan komorbid berkontribusi terhadap derajat berat penyakit. Progresif artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup dan semakin memburuk secara lambat dari tahun ke tahun.Dalam perjalanan penyakit ini terdapat fase-fase eksaserbasi akut. Gejala utama PPOK adalah sesak napas,batuk kronis atau produksi dahak danriwayat terpapar dengan faktor resiko (PDPI, 2011 dan GOLD, 2011). Gambaran khas PPOK adalah adanya obstruksi saluran napas yang disebabkan oleh penyempitan saluran napas kecil dan destruksi alveoli.Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan, hingga berat.Gejala bisa tidak tampak sampai kira-kira 10 tahun sejak awal merokok. Dimulai dengan sesak napas ringan dan batuk sesekali. Sejalan dengan progresifitas penyakit, gejalanya semakin lama semakin berat. Pada pemeriksaan fisik tidak dijumpai kelainan sampai kelainan jelas, berupa tanda obstruksi dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan Universitas Sumatera Utara penunjang. Pemeriksaan faal paru merupakan kunci dari diagnosis PPOK (PDPI, 2010). Spirometri dapat dengan akurat digunakan untuk mendiagnosis PPOK dan menilai derajat obstruksi saluran napas. Spirometri menjadi gold standard untuk mendiagnosa PPOK. Pada pengukuran spirometri penderita PPOK, didapat penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan penurunan kapasitas vital paksa (KVP) VEP1/KVP kurang dari 70% dari nilai prediksi. dan nilai Foto toraks tidak direkomendasikan untuk mendiagnosis PPOK tetapi dapat digunakan untuk menyingkirkan penyakit lain yang juga dapat menimbulkan gejala obstruksi saluran napas ( TB, Bronkiektasis, kanker paru, dan lain-lain) (PDPI, 2010 dan GOLD, 2009) . Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (GOLD, 2011) GOLD 2011 Faal paru GOLD1: VEP1 ≥ 80% prediksi PPOK Ringan VEP1 / KVP < 70% GOLD 2: 50% < VEP1< 80% prediksi PPOK Sedang VEP1 / KVP < 70% GOLD 3 : 30% < VEP1< 50% Prediksi PPOK Berat VEP1 / KVP < 70% GOLD 4 : VEP1< 30% prediksi PPOK Sangat Berat VEP1/ KVP < 70% VEP1 = Volume Ekspirasi Paksa Detik 1 KVP = Kapasiti Vital Paksa Panduan mengenai derajat / klasifikasi PPOK telah dikeluarkan oleh beberapa institusi seperti American Thoracic Society (ATS), Universitas Sumatera Utara European Respiratory Society(ERS), British Thoracic Society ( BTS ), Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease ( GOLD ) dan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Ke lima panduan tersebut hanya mempunyai perbedaan yang sedikit, kesemuanya berdasarkan rasio VEP1/KVP dan nilai VEP1. BTS, ATS, GOLD dan PDPI merekomendasikan nilai absolut dari rasio VEP1/KVP harus kurang dari 70% sedangkan ERS merekomendasikan VEP1/KVP kurang dari 88% untuk mendiagnosis PPOK. Derajat keparahan PPOK ditentukan oleh nilai VEP1 yang sedikit berbeda antara panduan yang ada. 2.1.1 Epidemiologi Data prevalens PPOK pada populasi dewasa saat ini bervariasi pada setiap negara di seluruh dunia. Tahun 2000, prevalens PPOK di Amerika dan Eropa berkisar 5 - 9% pada individu usia > 45 tahun (Wiyono, 2009). Data penelitian lain menunjukkan prevalens PPOK bervariasi dari 7,8% - 32,1% dibeberapa kota Amerika Latin. Prevalensi PPOK di Asia Pasifik rata-rata 6,3% yang terendah 3,5% di Hongkong dan Singapura dan tertinggi di 6,7% di Vietnam (GOLD, 2007). Untuk Indonesia, penelitian COPD working group tahun 2002 di 12 negara Asia Pasifik menunjukkan estimasi prevalensi PPOK Indonesia sebesar 5,6% (Regional COPD working Group, 2003). Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK.Pada Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke 5 sebagai Universitas Sumatera Utara penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia (PDPI, 2003). Data kunjungan pasien di RS.H.Adam Malik dan RS.Tembakau Deli Medan menunjukkan kecenderungan peningkatan kasus PPOK. Pada tahun 2009 proporsi pasien PPOK yang dirawat inap di bagian paru adalah 3,55% dari seluruh pasien yang dirawat inap di RSUP.H.Adam Malik Medan. Sementara proporsi pasien yang dirawat inap dengan diagnosis PPOK adalah 19,82% dari seluruh pasien yang dirawat inap di bagian paru. Distribusi proporsi pasien antara lain usia > 60 tahun 60,2%, Laki-laki 50%, suku batak 61,4% dengan riwayat merokok bekas perokok 35,2%, perokok 42% dan rerata Indeks Brinkman 431,18 (Candly, 2010). PPOK merupakan penyebab utama meningkatnya morbiditas dan mortalitas dan mempengaruhi beban ekonomi dan sosial di seluruh dunia. PPOK mengenai 16 juta orang di Amerika Serikat, lebih dari 2,5 juta orang Italia, lebih dari 30 juta diseluruh dunia dan menyebabkan 2,74 juta kematian pada tahun 2000. Total biaya akibat keadaan ini lebih dari 30 juta milyar dolar di Amerika Serikat (Raherison, 2009 dan Viegi, 2007). WHO memperkirakan pada tahun 2020 akan ada 3 juta angka kematian dan beban PPOK pada masyarakat akan menduduki rangking ke-3 meningkat dari sebelumnya rangking ke 12 pada tahun 1990 (GOLD, 2009). Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut, yaitu kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %), Universitas Sumatera Utara pertambahan penduduk, meningkatnya usia rata-rata penduduk (dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an), industrialisasi dan polusi udara (terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan) (PDPI, 2003). Data yang ada mengenai prevalensi dan morbiditas PPOK diperkirakan dibawah dari angka yang sebenarnya dikarenakan PPOK tidak selalu dikenal dan didiagnosa sebelum tanda klinik muncul.Data tersebut juga bervariasi antara satu negara dengan negara lainnya.Pada tahun 1990 PPOK merupakan penyebab ke 12 hilangnya Disability Adjusted Life Years (DALYs). Diperkirakan pada tahun 2020 PPOK menduduki urutan kelima hilangnya DALYs. Sebagai pengingat pentingnya masalah PPOK, WHO menetapkan hari PPOK sedunia (COPD day) diperingati setiap tanggal 18 November (WHO, 2010). 2.1.2 Etiologi dan Patogénesis Etiologi Faktor risiko penyebab terjadinya Penyakit Paru Obstruktif Kronik antara lain, yaitu : 2.1.2.1 Merokok Lebih dari 10 juta batang rokok dihisap setiap menit, setiap hari diseluruh dunia oleh 1 milyar laki-laki dan 250 juta perempuan. Sekitar 900 juta (84%) perokok di dunia hidup di negara berkembang termasuk Indonesia (WHO, 2009). Indonesia menduduki urutan ketiga di dunia setelah Cina dan India sebagai Negara dengan jumlah perokok Universitas Sumatera Utara terbanyak. Sebanyak 65 juta penduduk Indonesia (28%) adalah perokok yang artinya setiap 4 orang Indonesia terdapat seorang perokok (Rasmin, 2008). Jumlah penduduk Indonesia usia> 15 tahun yang merokok meningkat dari tahun ke tahun. Data survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 1995 menunjukkan 26,9% populasi, tahun 2001 sebanyak 31,5% populasi, tahun 2003 sebanyak 31,6% dan terakhir tahun 2005 menjadi 35,4% populasi. Prevalensi perokok laki-laki di Indonesia saat ini diperkirakan 69,04% dan perempuan sebesar 4,83% (Wiyono, 2009). Merokok terbukti menimbulkan berbagai efek kesehatan, diperkirakan sekitar 50 masalah kesehatan dapat timbul dan sekitar 20 masalah kesehatan berakibat fatal.Rokok menyebabkan 1 dari 10 kematian orang dewasa di seluruh dunia. Data WHO tahun 2008 menunjukkan rokok menyebabkan kematian 5,4 juta setahun (1 kematian setiap 6,5 detik). Angka kematian oleh rokok ini jauh lebih besar dari total kematian manusia akibat HIV/AIDS, tuberkulosis dan malaria. Rokok terbukti merupakan faktor risiko dari 6 diantara 8 penyebab kematian tertinggi di dunia (WHO, 2008). Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan merokok sebagai penyebab 3 kematian utama yaitu kanker paru, jantung koroner, dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Susanto, 2009). Sampai sejauh ini faktor utama penyebab PPOK adalah merokok, diyakini sebagai penyebab hingga 85 - 90% dari semua penderita PPOK laki-laki di zaman Industri (Lange, 1992). Penelitian epidemiologi telah banyak menilai hubungan ini. Hubungan tersebut dibuktikan baik dari Universitas Sumatera Utara penelitian cross sectional maupun longitudinal dan efek dari merokok ada pada kasus yang 2003).Ditemukan ringan adanya hingga obstruksi kasus yang ringan berat (Vestbo, jalan napas dan perkembangan yang lambat dari faal paru pada remaja Amerika yang merokok dan ini sesuai dengan penelitian lain yang menunjukkan adanya perlambatan perkembangan dari VEP1 pada perokok kalangan remaja dengan gejala pernapasan (Gold, 1996). Walaupun perkembangan dari faal paru hanya melambat 1 - 2% secara rata-rata, tapi variasinya besar, dan ini mengindikasikan bahwa remaja yang rentan akan mengalami gangguan perkembangan yang nyata karena merokok. Efek merokok pada orang dewasa terhadap penurunan VEP1 sangat jelas adanya.Pada kebanyakan penelitian longitudinal menunjukkan adanya penurunan VEP1 pada laki-laki perokok berkisar dari 45 – 90 ml pertahun, sedangkan pada orang normal 30 ml pertahun. Dan data epidemiologi perokok > 10 bungkus pertahun ( > 10 pack-year) atau sama dengan >200 nilai Indeks Brinkman dan berumur > 40 tahun adalah kelompok beresiko untuk terjadi PPOK (Raherison ., 2009). Isu yang paling menarik perihal merokok adalah adanya kerentanan. Penelitian tentang PPOK ditantang oleh kenyataan bahwa hanya 15 – 20% dari perokok rentan yang akan mengalami efek merugikan dari merokok terhadap penurunan VEP1. Hal ini membuktikan walaupun demikian pentingnya tentang pengaruh merokok, namun faktorgenetik disini juga ikut berperan terhadap terjadinya penurunan VEP1 yang signifikan (Vestbo, 2003). Universitas Sumatera Utara 2.1.2.2 Faktor Lingkungan Diperkirakan 20 - 30% dari seluruh masalah respirasi disebabkan oleh polusi udara (Haq, 2002). Hampir setengah penduduk dunia saat ini hidup di daerah atau dekat daerah dengan kualitas udara yang buruk (FIRS, 2010). Selama dua puluh lima tahun terakhir, polusi udara meningkat dengan pesat sebagai akibat pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada energi lebih banyak. Penggunaan bahan bakar yang banyak mengandung sulfur, penggunaan bahan bakar bertimbal, proses pembakaran yang tidak sempurna, kepadatan lalu lintas, buruknya perawatan kenderaan bermotor dan keadaan jalan raya memperburuk keadaan. Polusi udara menjadi masalah penting karena dampaknya yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup (United Nations Environment Programme, 2000). Polusi udara di kota-kota besar asia dengan penduduk diatas 10 juta jiwa seperti New Delhi, Beijing dan Jakarta semakin parah disebabkan oleh efek akumulasi pertumbuhan penduduk, industrilisasi, peningkatan penggunaan kenderaan. Efek kesehatan dapat timbul akibat polusi udara tersebut. Yang lebih penting untuk diperhatikan adalah polusi udara dalam ruangan (PUDR). Risiko PUDR jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan polusi udara luar ruangan (PULR). World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa PUDR 1000 kali lebih dapat mencapai paru dibandingkan PULR. Polusi udara dalam ruangan bukan saja terjadi di pabrik - pabrik dan di ruangan perkantoran di perkotaan tetapi justru Universitas Sumatera Utara banyak terjadi di desa - desa yang masih mengandalkan pembakaran kayu, arang, sekam dan minyak untuk memasak. Di negara-negara berkembang, lebih dari 1 miliar orang yang masih hidup dengan pembakaran dari kayu atau bahan bakar biomassa lain tanpa cerobong asap yang memadai di rumahnya (Dawud, 2004). Dampak kesehatan akibat polusi udara yang umum dijumpai adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), Bronkhitis, Asma, PPOK dan gangguan pernapasan lain (Haq, 2002). Polusi udara yang menahun suatu faktor resiko yang meningkatkan berkembangnya obstruksi jalan napas atau penurunan nilai VEP1 pada remaja umur 10 hingga 18 tahun. Seperti yang dilaporkan oleh Gauderman tentang efek polusi udara terhadap faal paru dan mekanisme ini dapat meningkatkan resiko terjadinya PPOK saat dewasa (Gauderman, 2004). Dari penelitian kohort yang dilakukan terhadap penderita PPOK disimpulkan bahwa menghirup bahan iritan dalam waktu yang lama akan meningkatkan resiko kematian pada orang yang rentan terjadinya PPOK dan efeknya meningkat dengan meningkatnya waktu terekspos (Zanobetti, 2008). 2.1.2.3 Genetik Faktor genetik dari PPOK dapat muncul jika ada interaksi antara suatu genetik tertentu yang berinteraksi dengan lingkungan yaitu antara merokok dan gen yang rentan. Laporan kasus adanya keluarga yang Universitas Sumatera Utara menderita PPOK telah ada dilaporkan sejak tahun 1950-an. Namun yang menarik tentang faktor genetik pada PPOK berkembang secara luas sejak ditemukannya defisiensi berat dari alfa-1-antitripsin pada tahun 1963 yang kemudian dikenal sebagai faktor genetik terpenting sebagai penyebab PPOK (Silverman, 2002). Tabel 2. Kandidat gen berkaitan dengan kejadian PPOK (Wan, 2009) Gen Varian Matrix metalloproteinase 9 (MMP 9) Microsomalepoxidehydrolase (EPHX1) rs 3918242(C-1562 T) rs 1051740(T 113 C) Heme oxygenase 1 (HMOX1) Glutathione S-transferase P1 (GST P1) rs 1695(A 105 G) Vitamin D binding protein β2-Adrenergic receptor (ADRB2) rs 1042713(A 16 G) TNF-α (TNF) rs 1800629(G −308 A) Transforming growth factorβ1(TGFB1) Transforming growth factor-β receptor-3 (TGFBR3) Beberapa kandidat gen yang berhubungan dengan kerentanan terhadap timbulnya PPOK selain defisiensi alfa-1-antitripsin antara lain Matriks metalloproteinase 9 (MMP 9),Microsomal epoxide hydrolase (EPHX1), Heme oxygenase 1 (HMOX1), Glutathione S-transferase Universitas Sumatera Utara P1(GST P1), Vitamin D binding protein, β2-Adrenergic receptor (ADRB2) , TNFα dan Transforming growth factor-β1(TGFB1) (Wan, 2009).Sejak tahun 1963 hingga saat ini, defisiensi alfa-1-antitripsin(A1ATD) diidentifikasi sebagai faktor risiko genetik untuk PPOK.Antitripsin, adalah suatu inhibitor protease serin yang paling banyak dalam tubuh, dikodekan oleh SERPINA1 gen pada kromosom 14. Suatu mutasi missense yang merupakan hasil dalam substitusi asam glutamat untuk lisin pada posisi asam amino 342.Defisiensi Alfa1-antitripsin (A1ATD) adalah kondisi yang relatif jarangdan hanya dijumpai pada 1 - 2% dari totalkeseluruhan kasus PPOK(Brantly, 1988). Hasil penelitian terhadap variasi nilai VEP1 pada 1529 orang kembar non perokok antara umur 18-84 tahun, disimpulkan bahwa gen adalah pengaruh utama, walaupun pengaruh kuat genetik ini sangat dimodifikasi oleh interaksinya dengan merokok (Zhai, 2007). Peran Polimorfisme gen TNFα dengan kejadian PPOK didasari dan dikaitkan dari penelitian Louis (1998), Braun(1996), Krouger (1997), Wilson(1997) dan Wu(1997) yangmelaporkan tentang peningkatan aktivitas transkripsi gen TNFα yang dikaitkan dengan alel -308 diberbagai gangguan. Higuchi (1998) melaporkan bahwa TNFα merupakan sebuah ekspresi dari mononuklear darah perifer sel dan melaporkan adanya alel 857T dan alel 1031C yang berhubungan dengan peningkatan transkripsional aktivitas gen TNFα. Udalova(2000) melaporkan tentang adanya alel 863A Tumor Nekrosis Faktor. Sementara alel -238A yang dilaporkan oleh Huizinga(1997), Pociot (1995) dan Hajeer(2000) juga menunjukkan hasil yang beragam berkaitan dengan TNFα dan produksi Universitas Sumatera Utara protein. Hubungan polimorfisme gen TNFα dengan kejadian PPOK telah dibuktikan pada banyak penelitian namun terkadang menunjukkan hasil yang bertentangan. Data terakhir dari penelitian yang dilakukan Castaldi (2010), suatu metaanalisis terhadap 27 variasi gen pada PPOK dan kesimpulannya ada 4 yang secara signifikan berhubungan dengan kerentanan terjadinya PPOK yaitu GSTM1 null variant, rs18000470 TGFB1, rs1799896SOD3 dan rs1800629 TNFα( -308 TNFα). Patogenesis Paradigma terkini tentang patogenesis dari PPOK hambatan aliran udara napas kronik adalah bahwa dihasilkan oleh suatu respon inflamasi abnormal dari partikel dan gas yang terhirup masuk ke saluran napas, dimana reaksi inflamasi yang abnormal ini dapat juga di deteksi pada sirkulasi sistemik. Banyak penelitian menemukan bahwa respon inflamasi paru terhadap pajanan gas atau asap rokok ditandai dengan peningkatan jumlah neutrofil, makrofag dan limfosit T yang didominasi oleh CD8+, peningkatan konsentrasi sitokin proinflamasi seperti leukotrien B4, IL-8 dan TNF-α dan bukti bahwa stress oksidatif disebabkan oleh inhalasi asap rokok atau yang diaktifkan oleh sel inflamasi. Peningkatan jumlah limfosit T yang didomisasi oleh CD8+ tidak hanya ditemukan pada jaringan paru tetapi juga pada kelenjar limfe paratrakeal( Agusti, 2007). Makrofag yang diaktifkan asap rokok dan zat iritan lainnya akan melepaskan netrofil, IL8 dan TNFα yang kembali menstimulasi makrofag Universitas Sumatera Utara dan netrofil mengeluarkan zat-zat protease seperti netrofil elastase, capthesin dan Matriks Metalo Protease (MMP) yang merusak dinding alveoli, jaringan penunjang pada parenkhim paru dan juga menstimuli terjadinya hipersekresi mukus. Asap rokok ini juga mengaktifkan sel epitel di saluran pernapasan untuk mengaktifkan T limfosit khususnya CD8 yang dapat langsung membuat kerusakan pada dinding alveoli dan juga dengan mengeluarkan berbagai macam mediator inflamasi, salah satunya TNFα. Sel epitel yang terpajan asap rokok akan menyebabkan pembentukan fibroblas meningkat sehingga menyebabkan terjadinya fibrosis. Fibroblas akan diaktifasi oleh Growth Factor yang dilepaskan oleh makrofag dan sel epitel. Enzim-enzim ini pada kondisi normal akan diatasi oleh protease inhibitor, termasuk alpha 1 antitripsin, SLPI dan Tissue Inhibitor Metalo Protease (TIMP).Karakteristik PPOK adalah peradangan kronik mulai dari saluran napas, parenkim paru sampai struktur vaskular pulmoner. Diberbagai bagian paru dijumpai peningkatan makrofag, limfosit T (terutama CD8) dan netrofil. Sel-sel radang yang teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti leukotrien B4, IL8, TNF dan lain-lain yang mampu merusak struktur paru dan atau mempertahankan inflamasi netrofilik. Selain proses inflamasi terdapat 2 proses lain yang diduga berperan dalam patogenesis PPOK yaitu keseimbangan proteinase – antiproteinase dan keseimbangan beban oksidan dan antioksidan (Rennard, 2002). Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai di saluran napas besar, saluran napas kecil, parenkim paru dan vaskular pulmoner. Sel Universitas Sumatera Utara inflamasi menginfiltrasi permukaan epitel saluran napas sentral, mengakibatkan perubahan epitel menjadi squamous metaplasia. Terjadi pembesaran kelenjar mukus dan peningkatan sel goblet. Perubahan tersebut mengakibatkan terjadi hipersekresi mukus. Perubahan pada saluran napas kecil akibat inflamasi menyebabkan airway remodelling sehingga menyempitkan lumen saluran napas yang nonreversibel (PDPI, 2011). Pada PPOK dinding antara sakus alveoli kehilangan kemampuannya untuk meregang dan mengempis. Adanya kerusakan jaringan penyokong dan serabut elastin akan meningkatkan compliance jaringan dan mengurangi elastisitas pada ekspirasi. Elastisitas dari jaringan paru yang menghilang, akan menyebabkan peningkatan volume residu, volume gas total, penurunan kapasitas inspirasi, hiperinflasi paru dan udara yang terperangkap dalam sakus alveoli (gas trapping ) yang mengganggu pertukaran oksigen dan karbondioksida dan menyebabkan auto PEEP (Positive End Expiratory Pressure). Hal ini juga mengakibatkan terjadinya obstruksi dari aliran udara. Jadi pada PPOK adanya obstruksi saluran napas selain disebabkan oleh penyempitan saluran napas kecil juga akibat destruksi alveoli dimana terjadi airtrapping dan hiperinflasi. Berbagai perubahan patologis menyebabkan hipersekresi mukus yang terjadi pada PPOK dan disfungsi silia mengakibatkan batuk kronik dan produksi sputum. Gejala ini dapat berlangsung bertahuntahun sebelum timbul gejala lainnya ataupun gangguan fisiologis. Limitasi aliran napas ireversibel yang diukur dengan spirometri merupakan Universitas Sumatera Utara perubahan fisiologis utama pada PPOK. Destruksi dinding alveoli akan menyebabkan gangguan patensi saluran napas kecil, namun hal ini hanya memegang peranan kecil pada patofisiologi PPOK (PDPI, 2011). Pada PPOK stadium lanjut, terjadi obstruksi saluran napas perifer dan kelainan pembuluh darah paru yang akan menyebabkan gangguan pertukaran gas sehingga terjadi hipoksemia dan akhirnya hiperkapnia. Komplikasi kardiovaskuler PPOK berupa hipertensi pulmoner dan kor pulmonal merupakan hal yang dihubungkan dengan prognosis yang buruk. Obstruksi jalan napas merupakan yang paling menonjol dan paling sukar ditanggulangi oleh karena umumnya menunjukkan tingkat perjalanan penyakit yang lanjut, irreversibel dan progresif. Penekanan terapi terhadap obstruksi jalan napas merupakan masalah pengobatan yang terpenting, oleh sebab itu mekanisme obstruksi jalan napas pada PPOK perlu dipahami secara baik (PDPI, 2011). Mekanisme obstruksi saluran napas adalah obstruksi oleh sekret pada saluran napas akibat produksi sekret yang berlebihan disertai penebalan kelenjar-kelenjar, submukosa, secara potensial merupakan komponen obstruksi saluran napas yang reversibel. Reaksi oksidasi stress dari asap rokok atau dari sel inflamasi memiliki beberapa efek antara lain : menurunkan aktivitas dari antiprotease, mengaktivasi Nuklear factor kB, meningkatkan sekresi sitokin IL8, meningkatkan produksi TNFα, meningkatkan isoprotanase yang berperan dalam bronkokontriksi dan kebocoran plasma dan efek langsung terhadap saluran napas (bronkokontriksi) (GOLD, 2009). Universitas Sumatera Utara Faktor Pejamu Mekanisme melipatgandakan Asap rokok Partikel bahaya Anti oksidan Anti protease Inflamasi Paru Protease Oksidasi stress Patologi PPOK mekanisme perbaikan Gambar 1 : Patogenesis Terjadinya PPOK (GOLD, 2009) Yang menjadi dasar dari patogenesis PPOK adalah sejauh mana host respon (respon pejamu) dari seorang perokok terhadap faktor pajanan asap rokok. Apakah terjadi amplifikasi dari respon inflamasi, stress oksidasi atau proteinase yang dapat menyebabkan kerusakan pada PPOK atau tidak terjadi amplifikasi sehingga antioksidan dan antiproteinase dapat berperan menghambat terjadinya PPOK (gambar 1). Patogenesis PPOK sangatlah kompleks, dan hingga mekanisme yang terlibat menjadi lebih jelas pun masih sulit dipahami mengapa hanya 20% dari perokok yang berkembang menjadi PPOK. Seorang perokok pasif dapat berkembang menjadi penderita PPOK, tetapi seorang perokok aktif berat tidak menjadi penderita PPOK. Walaupun kemajuan sudah dibuat dalam memahami patogenesis PPOK, namun masih belum jelas mengapa hanya sedikit perokok yang berkembang menjadi PPOK. Yang menjadi dasar dari patogenesis PPOK adalah Universitas Sumatera Utara respon dari hostatau pejamu (perokok) terhadap faktor risiko dari lingkungan (asap rokok). Efek utama dari respon ini telah digambarkan sebagai inflamasi yang abnormal, walaupun berbagai mekanisme lain yang terlibat masih belum jelas (GOLD, 2009). Lingkungan / gas beracun (rokok) Faktor Host (genetik) Kerusakan jaringan Inflamasi abnormal Stress oksidasi Perbaikan jaringan abnormal (remodelling) Gambar 2 : Skematik patogenesis PPOK (Siafakas, 2003) Secara skematik patogenesis PPOK diilustrasikan seperti pada gambar 2 bahwa: asap rokok dan host respon mempunyai peranan yang sama terhadap kejadian stress oksidatif, inflamasi, kerusakan jaringan dan remodeling(Siafakas, 2003). Suatu epidemiologi model waktu pemaparan telah dibuat sebagai penekanan terhadap asap rokok (sebelum lahir, selama perkembangan paru, dan lain-lain). Ada juga bukti bahwa infkesi virus adenoviral pada awal kehidupan dapat perokok yang rentan. menjadi faktor Hiperesponsif dari penting untuk mencirikan saluran napas gagal untuk dapat dijelaskan ke gambaran umumnya dan masih menjadi suatu topik perdebatan. Perbedaan nutrisi, seperti vitamin atau minyak ikan dapat berperan dalam menyiapkan pertahanan terhadap efek stress oksidasi Universitas Sumatera Utara tetapi tidak dapat secara lengkap dijelaskan terhadap keberadaan kerentanan seseorang.Perbedaan genetik menjadi parameter yang terbaik untuk mengindentifikasi perokok yang rentan. Pemahaman dasar genetik dari PPOK dapat mengarahkan ke metoda pencegahan dan pengobatan yang lebih baik dimasa yang akan datang (Siafakas, 2003). 2.2. Respon Inflamasi yang terjadi pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik Inflamasi adalah merupakan bagian dari respon imunitas, dimana proses perbaikan dimulai ketika proses inflamasi terjadi di paru. Mediator inflamasi diketahui tidak hanya memodulasi terjadinya respon inflamasi tetapi diyakini mempunyai peranan yang penting didalam regulasi perbaikan. Mediator inflamasi bekerja secara lokal di sepanjang saluran napas dengan memberikan modulasi penarikan sel epitel untuk menutupi defek yang dihasilkan oleh suatu cedera. Kemampuan dari sel epitel bermigrasi untuk menutupi defek juga dimodulasi oleh komponen yang ada dalam lingkungan inflamasi yang terjadi. Pada PPOK, terjadinya gangguan fungsi pada saluran napas dan struktur alveoli disebabkan oleh kerusakan struktur akibat tidak berjalan sempurnanya respon perbaikan yang efektif, akibat dari terjadinya inflamasi yang terus menerus atau kronik (Rennard,1999) PPOK adalah suatu penyakit inflamasi yang kompleks dimana melibatkan banyak sel inflamasi yang berbeda jenis dan struktur, yang semuanya memiliki kemampuan untuk melepaskan beraneka ragam Universitas Sumatera Utara mediator inflamasi (gambar 3 dan 4). Interaksi antara sel-sel inflamasi yang terlibat pada PPOK jelas terjadinya. Gambar dibawah menunjukkan peranan berbagai sel terhadap proses inflamasi pada PPOK antara lain : Netrofil, Makrofag, CD8-T Limfosit, Eosinofil, Epitel sel, Sel Endotel dan Fibroblas yang dapat menimbulkan efek perusakan jaringan paru dan efek modifikasi dari proses perbaikan epitel sehingga terjadi remodeling (Barnes, 2003). Gambar 3: Sel inflamasi yang berperan pada PPOK (Barnes, 2003) Mediator inflamasi berasal dari beberapa sel inflamasi di saluran napas dan mediator-mediator ini yang akan berperan pada kejadian sejumlah efek inflamasi. Beberapa mediator inflamasi pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik yaitu (Barnes, 2003) : 1. Lipid Mediator : Protanoid, Leukotrin, Platelet Activating factor 2. Reactive Oxygen Species 3. Nitric Oxide 4. Peptide Mediator: Endotelin, Bradikinin, Tachykinin, Komplemen 5. Kemokin : IL 8, GROα, GROβ, MCP 1, MIP-1β 6. Sitokin : TNFα, IL 1, IL 6, IL 9 , GM-CSF, IL 10, IL 12, IL 13, IL 17 dan Universitas Sumatera Utara Interferon gamma 7. Growth Factor : TGFβ, EGF 8. Protease : Neutrofil elastase,Cathepsin, Protease 3, MMPs Gambar 4 : Inflamasi yang kompleks pada PPOK (Barnes, 2003) Inflamasi pada PPOK sangat kompleks, disertai dengan banyak aktivasi inflamasi dan struktur sel yang melepaskan beragam mediator, termasuk mediator lipid seperti LTB4, yang kemoatraktan terhadap netrofil; kemokin seperti MCP1 dan MIP1a, yang menarik monosit; IL8 dan GROα yang menarik monosit dan netrofil; IP 10 yang menarik CD 8, ROS dan NO; GM CSF yang akan memperpanjang umur netrofil; TNFα yang akan melipat gandakan inflamasi dengan mengaktifkan berbagai gen inflamasi dan terhadap timbulnya beberapa efek sistemik dari penyakit; endotelin dan TGF yang dapat menginduksi fibrosis.Respon inflamasi ini ditandai dengan disekresikan berbagai macam sitokin sebagai respon terhadap terpaan awal dari sel-sel inflamasi, terutama makrofag, netrofil dan T limfosit yang juga ikut berperan dan teraktivasi di dalam jalan napas, dan selanjutnya akan menyebarkan kaskade inflamasi. Interaksi antara inflamasi lokal dan sistemik dalam perkembangan terjadinya obstruksi Universitas Sumatera Utara kronik dari jalan napas banyak diminati peneliti, walaupun secara alamiahnya belum jelas dipahami(Barnes, 2003). Meningginya kadar dari inflamasi sistemik dapat dipastikan menggambarkan curahan dari inflamasi lokal pada saluran napas, atau awal dari respon lokal yang di modifikasi oleh faktor sistemik. Pemahaman tentang hubungan konsentrasi sistemik seperti sejumlah biomarker inflamasi dan oksidasi stress terhadap penurunan faal paru dapat memberikan pengertian yang mendalam terhadap proses yang terjadi di dalam paru yang menyebabkan obstruksi kronik jalan napas pemahaman dan terhadap hubungan inflamasi sistemik dengan proses di dalam paru tersebut (Walter, 2008). Belakangan ini efek sistemik dari PPOK dikatakan kemungkinan adalah sebagai patobiologi dari sejumlah efek kerusakan terjadi di ekstra paru (Andreassen, 2003 danAgusti, 2007). Gan (2004) melakukan metaanalisis terhadap beberapa penelitian mengenai inflamasi sistemik dan hasilnya mengkonfirmasi adanya peningkatan dari leukosit, fibrinogen, C reactive Protein (CRP) , sitokin (IL6) dan Tumor nekrosis faktor (TNFα) pada penderita PPOK stabil. Dan intensitas dari sistemik inflamasi ini akan meningkat selama kejadian eksaserbasi pada PPOK(Andreassen, 2003 danAgusti, 2007). 2.3 Tumor Nekrosis Faktor Tumor Nekrosis Faktor (TNF) adalah suatu protein dengan panjang 233 asam amino. Dahulu dikenal dengan berbagai nama, yaitu cachectin, necrosin, sitotoksin makrofag atau faktor sitotoksik. TNF termasuk dalam Universitas Sumatera Utara jenis sitokin yang merupakan peptida pengatur (regulator) yang dapat diproduksi oleh hampir semua jenis sel berinti dalam tubuh. Memiliki sel sasaran dan fungsi yang multipel. Dikelompokkan dalam mediator inflamasi yang berfungsi dalam komunikasi antar sel yang bekerja dalam sistem imun (Baratawidjaja, 2009 dan Subowo,2009). Bersama dengan IFN gamma, TNF bersifat sitotoksik bagi banyak jenis sel tumor. TNFα pada awalnya dijelaskan sebagai suatu faktor yang diproduksi oleh menyebabkan stimulasi hemoragik endotoksin nekrosis terhadap dari makrofagsehingga tumor.TNFα merupakan proinflamasi sitokin yang kuat dengan pleiotropi dan suatu mediator penting pada inflamasi.Sitokin adalah mediator berupa peptida yang fungsinya dapat menurunkan atau meningkatkan respon imun, inflamasi dan respon tubuh terhadap penyembuhan jaringan yang rusak. Sitokin merupakan messenger kimia atau perantara dalam komunikasi intraseluler yang sangat poten, aktif pada kadar yang sangat rendah (1010 – 10-15 mol/l dapat merangasang sel sasaran). Dewasa ini lebih dari 100 jenis sitokin yang sudah diketahui. Suatu sitokin bekerjanya seperti hormon, yaitu melalui reseptor pada permukaan sel sasaran.Adapun kerja dari sitokin adalah sebagai berikut(Baratawidjaja, 2009): Langsung: 1. Lebih dari satu efek terhadap berbagai jenis sel (pleitropi) 2. Autoregulasi (fungsi autokrin) 3. Terhadap sel yang letaknya tidak jauh (fungsi parakrin) Tidak langsung: Universitas Sumatera Utara 1. Menginduksi ekspresi reseptor untuk sitokin lain atau bekerja sama dengan sitokin lain dalam merangsang sel (sinergisme) 2. Mencegah ekspresi reseptor atau produksi sitokin (antagonisme) TNFα bekerja dengan mengikat kepada dua struktur permukaan sel reseptor yang berhubungan,yaitu p55 dan p75. Meskipun demikian reseptor p55 sepertinya bertanggung jawab sebagai mediasi mayoritas fungsi TNFα. Kedua reseptor dapat secara proteolisis terbelah dan melepaskan dalam bentuk larut, merupakan tanda yang baik untuk aktifitas TNFα (Petrescu, 2010).TNFterbukti juga merupakan modulator respon imun kuat yang memperantarai induksi molekul adhesi, sitokin lain dan aktivasi netrofil. TNF yang diproduksi dalam jangka panjang (kronik) dapat mengakibatkan tissue remodelling. TNF dapat berfungsi sebagai faktor angiogenesis dan membentuk pembuluh darah baru, dan dapat berfungsi sebagai faktor pertumbuhan fibroblast (FGF) yang mengakibatkan pembentukan jaringan ikat. Bila produksi TNF tetap berlanjut, jaringan-jaringan tersebut dapat merupakan jaringan limfoid baru dimana berkumpul limfosit B dan T.Ada 2 bentuk TNF, yaitu TNFα dan TNFβ. TNFα diproduksi oleh berbagai jenis sel termasuk makrofag, sel T, B, NK, astrosit dan Kupfer. Pembentukan terjadi sebagai respon terhadap rangsangan bakteri, virus dan sitokin, kompleks imun, komponen komplemen C5a dan reactive oxygen intermediate (ROI). Sebaliknya TNFβ disekresi oleh sel T dan teraktivasi, ia dapat berada pada permukaan sel bila terikat pada protein transmembran LT beta. Kedua Universitas Sumatera Utara protein termasuk keluarga protein yang diantaranya terdapat CD40L, CD30L dan CD29L. Lokasi TNFα, TNFβ dan LT beta pada region MHC kromosom 6 dan 17 menimbulkan dugaan bahwa molekul itu bertanggung jawab atas beberapa efek yang berhubungan dengan MHC. Ada 2 jenis reseptor TNFα yang dapat mengikat TNFα dan β dengan afinitas kuat. Walaupun hampir semua jenis sel dapat mengekspresikan reseptor tersebut, reseptor tipe II (tipe A) terutama diekspresikan oleh sel mieloid, sedangkan reseptor tipe I (tipe B) diekspresikan oleh berbagai jenis sel. Ekspresi reseptor diatur oleh vit D3, IL2, GMCSF, dan TNFα sendiri.Kini TNF lebih dianggap sebagai mediator utama dalam radang. Pola kerusakan jaringan radang mirip dengan kerusakan oleh IL 1, sehingga TNF dianggap penting dalam proses penyembuhan luka. Walaupun TNF dalam beberapa aktivitas biologi mirip IL 1, namun ada beberapa perbedaan dalam mekanisme pengaturan imun. TNF mempunyai aktivitas perangsangan yang multipel terhadap limfosit T teraktifkan, misalnya respon proliferatif limfosit T terhadap antigen, peningkatan reseptor untuk IL2 dan induksi produksi IFNγ. Demikian juga imunitas spesifik terhadap tumor ditingkatkan oleh TNF.TNF dapat meningkatkan ekspresi antigen MHC kelas I pada fibroblast dan sel endotel.Efek perlindungan non spesifik terhadap patogen telah dilaporkan pula untuk TNF.Misalnya aktivitas antivirus dan beberapa parasit (Subowo, 2009). Sitokin terutama TNFα berperan pada inflamasi kronik. Makrofag yang telah diaktifkan yang melepaskan TNFα. Anggota famili glikoprotein (TNFα dan TNFβ) dilepas oleh sel yang terinfeksi virus dan memberikan Universitas Sumatera Utara proteksi anti virus pada sel sekitar. Endotoksin memacu makrofag untuk memproduksi TNFα. Yang pada akhirnya memiliki sifat sitotoksik secara langsung terhadap beberapa sel tumor tetapi tidak terhadap sel normal. TNFα juga berperan dalam kehilangan material jaringan (seperti membuat menjadi kurus) yang merupakan ciri inflamasi kronik. TNFα bekerja sinergitik dengan IFNγ dalam inisiasi respon inflamasi kronik. Kedua sitokin jika bersama-sama menginduksi akan menyebabkan peningkatan jumlah yang lebih besar dari ICAM 1, E selektin dan MHC1 dibanding jika masing-masing sitokin bekerja sendiri(Subowo, 2009). Dampak Tumor Nekrosis Faktor alpha (TNFα) secara sistemik antara lain adalah : 1. Bersama-sama dengan IL1, TNFα mengakibatkan demam karena TNFα dapat berinteraksi dengan sel-sel di daerah hipotalamus. 2. TNFα merangsang fagosit mononuklear untuk memproduksi IL1 dan IL6. 3. Merangsang hepatosit untuk memproduksi protein-protein tertentu misalnya protein amiloid A. 4. Mengaktifkan sistem koagulasi dengan merubah keseimbangan aktifitas prokoagulan dan antikoagulan pada endotel vaskuler. 5. Menekan aktivitas sterm cell dalam sum-sum tulang. Pemberian TNFα dalam jangka lama berakibat limfopeni dan imunodefisiensi 6. Pemberian TNFα jangka panjang juga menyebabkan kaheksia Universitas Sumatera Utara Gambar 5 : Peran TNFα terhadap proses inflamasi pada PPOK (Barnes,2003) Pada gambar 5 diatas dijelaskan TNFα berperan penting pada patogenesis PPOK dan dalam melipatgandakan respon inflamasisecara lokal di paru, dengan mengaktifkan sel epitel, monosit, makrofag dan netrofil. Ini dapat menyebabkan emfisema melalui pelepasan proteinase, termasuk netrofil elastase (NE) dan matriks metalo protease (MMP9) , menstimulasi sekresi mukus dan juga secara sistemik menginduksi terjadinya apoptosis pada otot skeletal (Barnes, 2003). Hasil dari efek inflamasi sistemik pada PPOK dapat diukur dari organ ekstra paru seperti otot skeletal atau secara umum dapat digunakan komposisi tubuh, berat badan atau pengukuran yang setara lainnya. Kerusakan otot skeletal dijumpai pada kondisi penyakit kronik seperti juga PPOK. Mekanisme yang terlibat pada kerusakan otot skeletal adalah deconditioning, malnutrisi, myopati otot skeletal dan rendahnya tingkat sirkulasi hormon anabolik (Andreassen, 2003). Universitas Sumatera Utara Belakangan ini pemeriksaan terhadap biomarker salah satunya TNFα, makin berkembang didalam pemahaman dan memonitor inflamasi yang terjadi pada PPOK. Dari hasil metaanalisis sekian banyak biomarker yang ada, hanya 4 yang menunjukkan hubungan yang kuat dengan perbedaan derajat pada PPOK yaitu netrofil sputum, IL8, CRP dan juga TNFα (Barnes, 2003). Beberapa sitokin secara invitro telah terbukti dijumpai di darah perifer pada orang sehat yang salah satunya adalah TNFα, dan telah terbukti secara signifikan level dari TNFα berbeda pada setiap individu. (Hajeer, 2000). Sitokin TNFα memicu produksi intercellular cell adhesion molecule 1 (ICAM-1) dan vascular cell adhesion molecule 1 (VCAM-1). Gambar 6. Struktur tersier sitokin TNFα Sudah dibuktikan tentang adanya TNFα yang diberikan pada sel epitel alveoli tipe II akan mengalami peningkatan apoptosis secara bertahap selang masa kultur, dimana proses tersebut dipicu dengan terekposnya sel dengan sinar ultraviolet. Ini memberikan kesan bahwa TNFα dapat menginduksi perubahan pada sel alveoli sehingga menyebabkan lebih rentan mengalami apoptosis dengan berbagai stress. Penelitian lain juga Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa fibroblas yang diisolasi dari pasien dengan sekret fibrosis paru adalah faktor yang menginduksi apoptosis dari sel epitel alveoli. Dijumpainya hal ini membuat kita berhipotesis bahwa TNFα juga berperan penting pada patogenesis perubahan empisema pada pasien dengan PPOK dengan induksi apoptosis sel alveoli tipe II yang berfungsi sebagai stem sel untuk memperbaiki alveoli yang rusak (Sakao, 2002). TNFα juga sebagai pengatur utama regulasi dari MMP (Matriks Metaloproteinase) yang merupakan patogenesis terjadinya PPOK oleh asap rokok. Ketidakseimbangan antara protease dan antiprotease berperan dalam terjadinya kelainan emfisema meningkatnya degradasi dari matriks ekstraseluler, ditandai dengan airway remodeling pada bronkitis kronik dan asma dan dengan adanya peningkatan penumpukan kollagen.TNFα dapat mengaktifkan makrofag untuk memproduksi matriks metaloproteinase. Efek ini di inhibisi oleh IL10, yang juga meningkatkan pelepasan tissue inhibitor metaloproteinase (TIMP1) pada makrofag orang sehat, tetapi pada perokok IL10 meningkatkan pelepasan TIMP1 tanpa memodifikasi pelepasan MMP9 dari makrofag alveoli(Wright, 2007). 2.3.1Gen TNFα, Polimorfisme gen TNFα dan perannya terhadap timbulnya PPOK Regulasi dan produksi TNFα disandi oleh Gen TNFα yang pada manusia berada secara berdampingan pada lokus p21.3 kromosom 6 tepatnya terletak pada Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas III Universitas Sumatera Utara (De Vries, 2000). MHC mengakomodasi gen-gen yang memegang peranan penting dalam fungsi imunologis. Kompleks MHC dikelompokkan menjadi empat kelas dimana setiap kelas mengandung gen-gen yang mempunyai karakter berkaitan. Lokasi paling ujung dekat dengan sentromer merupakan kelas II yang terdiri dari 17 HLA (human leukocyte antigen). Di sebelahnya mendekati arah telomere adalah kelas III yang mengkode beberapa komponen dan sistem komplemen. Sedangkan ujung lain yang paling dekat dengan telomere adalah kelas I yang mengkode lebih dari 18 gen yang berhubungan dengan HLA dan pseudogen. Akhir-akhir ini gen-gen yang bertanggung jawab terhadap inflamasi dan infeksi yang terletak di bagian tengah MHC dan berbatasan dengan kelas III telah dikelompokkan sendiri dan dikategorikan sebagai kelas Ivsepertiterlihatpadagambar7. Gambar 7. Peta gen major histocompatibility complex (MHC) (Gruen, 1997).Keterangan: Gen TNFα terletak pada kelompok kelas IV. Universitas Sumatera Utara Gen TNFαmempunyai ukuran 3.634 pb (pasang basa) yang tersebar pada empat ekson dan 7.092 pb yang tersebar pada tiga intron. Protein prekursor dengan ukuran 230 asam amino ditranslasikan dari mRNA dengan ukuran 1.585 pb (Gambar 8). Protein prekursor dengan ukuran 230 asam amino tersebut berupa protein transmembran dengan berat molekul 25 kDa. Setelah melewati membran sel yang berupa lipid bilayer, protein tersebut diproses oleh enzim TNF alpha converting enzyme (TACE) menghasilkan sitokin TNFα fungsional dengan ukuran 157 asam amino dan berat molekul 17 kDa. Sitokin tersebut stabil dan aktif dalam konformasi saling berikatan membentuk homotrimer dengan berat molekul 51 kDa (Grana, 2001). Gambar 8: Proses ekspresi gen TNFα (Nedwin, 1985) Keterangan: Garis menggambarkan intron, sementara kotak menggambarkan ekson. Kotak putih merupakan daerah yang tidak ditranslasikan (UTR), kotak bergaris adalah daerah yang ditranslasikan tetapi hanya terdapat pada protein prekursor dan kotak gelap merupakan daerah kodon TNFαfungsional Universitas Sumatera Utara Meskipun produksi sitokin TNFα dipicu oleh proses inflamasi, kecepatan produksi TNFα dipengaruhi oleh faktor genetik, yaitu adanya polimorfisme yang terdapat pada gen yang menyandi sitokin tersebut. Sejauh ini, 2 single nucleotide polymorphisms (SNPs) pada daerah promoter gen TNFα pada lokasi nukleotida -238 dan -308 dari gen TNFαtranscriptional start site telah ditemukan. Keduanya melibatkan perubahan nukleotida dari guanine (G) ke adenine (A). Jenis-jenis alelnya secara berturut-turut adalah TNFα-238G/A dan TNFα-308G/A. Polimorfisme gen TNFα -308 baik yang homozigot (AA) maupun heterozigot (GA) merupakan faktor risiko terjadinya PPOK (Huang, 1997). Polimorfisme genTNFα pada posisi -238 baik yang homozigot (AA) maupun heterozigot (GA) berhubungan dengan penurunan aktifitas transkripsi dan penurunan produksi TNFα(Gingo, 2008). Gen TNFα yang memiliki rantai panjang 233 asam amino dan terdapat pada bagian lengan pendek kromosom 6 p21.3 berada di dalam kompleks MHC,ini adalah región yang kejadian polimorfismenya sangat tinggi. Polimorfisme atau Single Nucleotida Polimorphism (SNP) adalah suatu variasi urutan nukleotida, atau perubahan nukleotida pada gen. Ada salah satu basa banyak penelitian yang menunjukkan polimorfisme gen TNFα mempengaruhi tingkat produksi dari TNFα. Perubahan yang terjadi adalah transition basa nukleotida purin Guanin menjadi basa nukleotida purin Adenin dilokasi -308 (gen TNFα -308G/A) pada promotor region ‘5 dan merupakan kejadian polimorfisme yang akan menyebabkan peningkatanproses transkripsi(Hajeer,2000). Universitas Sumatera Utara Untuk mendapatkan polimorfisme ini bisa dideteksi dengan metoda PCR (Polymerase Chain Reaction) dan RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism), adapun primer yang digunakan pada penelitian ini untuk amplifikasi gen dengan PCR yaituprimer ATF-3 (5’ GTT CCT TGG AAGCCA AGA CT 3’) dan ATR-1 (5’ GTC AGG GGA TGT GGC GTC T 3’) padatahap reaksi pertama dan primer ATF-2 (5’ TGG AGG CAA TAG GTT TTG AGGGCC AT 3’ dan ATR-2 (5’ TCA TCT GGA GGA AGC CGT A 3’) untuk reaksiPCR kedua (Turyadi, 2006). Produk PCR yang dihasilkan adalah sebesar 231pb. Dengan tehnik RFLP jika terdapat mutasi maka akan terdeteksi dengan tidak terpotong (tidak diretriksi).Sedangkan pada yang normal terpotong menjadi 208pb dan 20pb oleh enzim NcoI. Dan pada yang heterozigot menjadi tiga pita yaitu 231pb, 208pb dan 20pb. (Turyadi, 2006).Adapun nomor akses dari gen -308 TNFα adalah rs1800629 (Gingo, 2008). Sedangkan untuk gen TNFα posisi-238 dengan nomor akses rs361525,perubahan yang terjadi adalah transition basa nukleotida purin Guanin menjadi basa nukleotida purin Adenin dilokasi -238 (TNFα 238G/A) pada promotor region ‘5 dan merupakan kejadian polimorfisme yang akan menyebabkan peningkatan proses transkripsi. Untuk mendapatkan polimorfisme ini bisa dideteksi dengan metoda PCR (Polymerase Chain Reaction) dan RFLP, adapun primer yang digunakan untuk amplifikasi gen dengan ATCTGGAGGAAGCGGTAGTG-3’dan PCR yaituforward reverse 5’5’- AGAAGACCCCCCTCGGAACC-3’. Produk PCR yang dihasilkan adalah Universitas Sumatera Utara sebesar 150pb. Dengan tehnik RFLP jika terdapat mutasi maka akan terdeteksi dengan tidak terpotong (tidak diretriksi). Pada yang normal akan dikenal dan diretriksi menjadi 130 pb dan 20pb oleh enzim MspI. Heterozigot akan diretriksi menjadi 150pb, 130pb dan 20pb (Ozhan, 2010). Faktor yang menyebabkan peningkatan TNFdalam penderita PPOK tetapi tidak pada perokok dengan fungsi paru normal satu kemungkinannya adalah bahwaekspresi TNF diatur oleh single nucleotide polimorfisme (SNP) dalam gen. Hal ini telah dibuktikan dari beberapa penelitianadanyapeningkatan aktifitas transkripsi gen TNF yang dikaitkan dengan alel yang-308A, sedangkan pada -238 menyebabkan penurunan aktifitas trankripsi.Sudah dinyatakan dari beberapa penelitian bahwa polimorfisme gen dari TNFα, IL13 promotor gen, vitamin D protein pengikat, gen yang berhubungan dengan keseimbangan protease dan antiprotease dan dengan keseimbangan oksidasi dan antioksidan yang berkaitan dengan kejadian PPOK. Polimorfisme yang terjadi pada satu gen hanya menempati sebagian kecil risiko relatif dari terjadinya PPOK, dan sepertinya efek kumulatif dari banyak polimorfisme akan menjadi penting dalam patogenesisnya. Sebelum hubungan ini secara umum dapat diterima, semua itu satu-persatu harus dilakukan penelitian secara seksama dengan penelitian-penelitian lebih jauh untuk melihat hubungan dalam hal ke sukuan dan fenotipe dari PPOK (Teramoto, 2007) Dari penelitian Louis (1998), Krouger(1997), Wilson (1997), dan Wu (1997) dilaporkan tentang peningkatan aktivitas transkripsi gen TNF Universitas Sumatera Utara yang dikaitkan dengan alel yang -308A diberbagai gangguan. Higuchi (1998) melaporkan bahwa TNF merupakan sebuah ekspresi dari mononuklear darah perifer sel dan melaporkan adanya alel 857T dan alel 1031C yang dikaitkan dengan peningkatan transkripsional aktivitas gen TNF. Udalova(2000) melaporkan tentang adanya alel 863A Tumor Nekrosis Faktor. Sementara alel -238A yang dilaporkan oleh Huizinga (1997), Pociot (1995), Hajeer(2000) dan Gingo (2008) juga menunjukkan hasil yang beragam berkaitan dengan TNFα dan produksi protein. Meskipun ini telah dibuktikan dalam studi in vitro, belum semua dari SNP tersebut dipelajari pada populasi PPOK dan yang telah diteliti pun terkadang menunjukkan hasil yang bertentangan. Produksi TNFα menunjukkan variasi yang besar antar individu, hal ini sudah diketahui terutama dipengaruhi oleh faktor yang diturunkan. Beberapa polimorfisme genetik yang berhubungan dengan sintesa TNFα sudah ditetapkan pada gen TNF antara lain gen TNFα posisi -308 (Huang, 1997), gen TNFα posisi -863 (Gingo, 2008), gen TNFα posisi -238 (Bayley, 2001) dan beberapa lainnya. Sampai saat ini masih menjadi perdebatan para ahli tentang pengaruh alel gen TNFα-308 G/A dan -238G/Aterhadap kejadian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Sejak Huang(1997) menemukan adanya polimorfisme gen TNFα-308(G/A) pada populasi di Taiwan yang berperan terhadap terjadinya bronkitis kronik. Dan kemudian kembali dibuktikan polimorfisme nukleotida tunggal ini berhubungan dengan terjadinya PPOK oleh Sakao(2001), Jiang(2005) dan Hersh (2005). Universitas Sumatera Utara Namun hal ini tidak konsisten dijumpai keberadaanya, seperti yang dilaporkan beberapa penelitian Higham(2000), Sandford (2001), Tanaka(2007) yang dilakukan pada populasi Kaukasus dan oleh Ishi (2000), Hegab(2005) dan Chierakul(2005) pada populasi Asia, diperoleh bahwa polimorfisme nekleotida tunggal alel -308G/A TNFα tidak berbeda bermakna antara perokok dengan atau tanpa PPOK. Hu (2007) di Cina dan Gingo (2008) di Amerika mengkonfirmasi kembali adanya hubungan polimorfisme nukleotida tunggal alel gen TNFα-308G/A dengan PPOK dan berperan terhadap kerentanan pada seorang perokok. Gingo (2008) membandingkan 6 variasi polimorfisme TNFα nukleotida tunggal +487G/A) dan paling tinggi (-1031C/T, -863C/A, -857C/T, -238G/A, -308G/A dan disimpulkan bahwa alel -308 memiliki odds rasio yang berhubungan dengan analisis multivariat dan juga berhubungan dengan memburuknya nilai VEP1/KVP dan yang kedua berhubungan secara bermakna adalah -238 . Dan Gingo menyatakan diperlukan penelitian independen yang dilakukan pada populasi Kaukasia dan populasi non-Kaukasia.Penelitian metaanalisis terhadap sejumlah penelitian yang dilakukan selama 20 tahun sebelumnya mengenai 20 polimorfisme pada 12 macam gen yang dilakukan oleh Smoolonska (2009), salah satu hasilnya menunjukkan bahwa polimorfisme gen TNFα alel -308G/A berlaku pada populasi Asia saja walaupun hal ini ditolak oleh Teramoto(2001), dan disimpulkan tentang pentingnya etnik pada identifikasi genetik PPOK. Universitas Sumatera Utara Data terakhir dari penelitian yang dilakukan Castaldi (2010), suatu metaanalisis terhadap 27 variasi gen pada PPOK dan kesimpulannya ada 4 yang secara PPOK yaitu signifikan berhubungan dengan kerentanan terjadinya GSTM1, rs18000470 TGFB1, rs1799896SOD3 dan rs1800629 TNFα( -308 TNFα). Selain itu, sekresi interleukin-1 dan e prostaglandin 2 dari subyek yang berbeda sangatberkorelasi dengan tingkat produksi TNFα(Molvig, 1988).Ekspresi TNFα dapat diatur pada tingkat transkripsional (Sariban, 1988), dan perbedaan dalam produksi TNFα ditentukan pada tingkat genetik. Telah terbukti dalam studi transfection bahwa alel kurang umum, TNFα , adalah terkait dengan dasar yang lebih tinggi dan menyebabkan ekspresi (Wilson, 1992 & 1994). Hubungan positif dengan polimorfisme gen TNFα juga ditemukan di beberapa penyakit, seperti malaria serebral (McGuire, 1994) dan dermatitis herpetiformis (Messer, 1994), ankylosing spondilitis (Verjans, 1994), artritis rematik (Wilsonet, 1995), dan kolitis ulserativa (Mansfield, 1994 ). 2.3.2 Teknik pemeriksaan Gen TNFα dengan TehnikPCR dan RFLP Polymerase Chain Reaction (PCR) PCR merupakan suatu tehnik untuk mengamplikasi segmen DNA secara invitro dimana prinsip kerjanya mirip dengan proses replikasi didalam sel (invivo). Tehnik ini pertamakali ditemukan oleh Kary dan kawan-kawan pada tahun 1984. Universitas Sumatera Utara Amplikasi DNA merupakan tindakan memperbanyak jumlah segmen DNA tertentu dengan pengaturan suhu temperatur yang tepat dan hanya diperlukan waktu relatif singkat. Segmen DNA yang diharapkan teramplifikasi dapat dipelajari dan diteliti. Tehnik PCR telah populer diterapkan dikalangan peneliti sehingga ilmu biologi molekuler tentang suatu gen dan penyakit berhubungan dengannya berkembang dengan pesat.PCR mempunyai 3 tahap, yakni denaturasi, penempelan primer (annealing) dan elongasi (polymerization). Dengan diketahui urutan basa yang akan diamplifikasi dan ditentukan sepasang primer oligonukleotida pendek (15-30pb) yang dirancang sesuai urutan nukleotida segmen DNA yang akan diamplifikasi dari ujung segmen DNA target dengan arah 5’ke 3’. PCR merupakan suatu teknik penggandaan untai DNA pada fragmen tertentu secara in vitro dengan menggunakan enzim DNA polimerase. Reaksi PCR ada tiga tahapan yaitu denaturasi, annealing, dan elongasi. Pada tahap denaturasi suhu dinaikkan sehingga satu untai ganda DNA cetakan akan terdenaturasi menjadi dua untai tunggal. Selanjutnya pada suhu annealing primer akan menempel pada DNA cetakan sesuai dengan urutan komplemennya. Penempelan DNA primer akan diikuti dengan sintesis DNA pada tahap berikutnya yaitu elongasi. Sehingga pada akhir setiap siklus, satu untai DNA digandakan menjadi dua untai. Jumlah siklus dalam setiap reaksi PCR biasanya 25 – 35 siklus. Waktu yang diperlukan untuk setiap siklus sangat pendek yaitu sekitar 3 – Universitas Sumatera Utara 4 menit, sehingga dalam beberapa jam sudah didapat jumlah fragmen DNA yang diinginkan (Saiki, 1989). Proses PCR selain DNA cetakan, diperlukan juga enzim DNA polimerase, sepasang primer (forward dan reverse), dNTP, Mg++ dan larutan dapar. Primer yang terdiri dari oligonukleotida untai tunggal selain sebagai pelacak, juga sebagai pembatas fragment untai DNA yang akan digandakan. DNA yang digunakan dalam reaksi PCR merupakan DNA hasil isolasi dari sampel sel. Berbagai teknik isolasi DNA telah banyak dikembangkan dari berbagai jenis sampel, sehingga memungkinkan untuk mengisolasi DNA dari sampel arsip yang sudah lama disimpan. Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) Salah satu cara untuk mengenali urutan nukleotida pada titik tertentu adalah dengan menggunakan teknik RFLP, yaitu teknik pemotongan DNA pada titik tertentu dengan menggunakan enzim endonuklease atau disebut juga sebagai enzim restriksi.Enzim endonuklease merupakan enzim yang diisolasi dari bakteri dan mampu memotong untaian DNA pada atau dekat dengan urutan nukleotida yang spesifik untuk setiap jenis enzim. Urutan spesifik tersebut dikenal dengan nama situs pengenalan atau situs restriksi. Situs pengenalan biasanya antara empat atau enam nukleotida dan biasanya bersifat palindromik (Micklos, 1989). Kemampuannya yang unik yaitu memotong DNA hanya jika ada situs pengenalannya, maka enzim ini banyak digunakan untuk mendeteksi adanya polimorfisme urutan DNA pada tempat tertentu Universitas Sumatera Utara dengan melihat terjadi atau tidaknya pemotongan oleh enzim restriksi. Teknik RFLP jauh lebih sederhana, murah dan cepat untuk mendeteksi polimorfisme titik dibandingkan dengan teknik sekuensing DNA, meskipun teknik sekuensing DNA kadang-kadang masih diperlukan sebagai konfirmasi maupun untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya polimorfisme baru.Polimerisasi DNA (replikasi DNA) hanya dapat dimulai jika tersedia molekul primer, yaitu suatu molekul yang digunakan untuk mengawali proses polimerisasi untaian DNA. Selain itu, polimerisasi DNA juga mutlak memerlukan cetakan (template) yang dapat berupa untaian DNA. Fungsi primer adalah menyediakan ujung 3’- OH yang akan digunakan untuk menempelkan molekul DNA pertama dalam proses polimerisasi (Yuwono, 2005). Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) adalah suatu tehnik análisis dengan menggunakan enzim restriksi yang memotong segmen DNA sehingga menghasilkan panjang fragmen yang spesifik. Segmen DNA yang akan dianalisis didigesti dengan enzim restriksi , hibridisasi dengan probe yang terdiri dari molekul DNA utas tunggal berkomplemen ke satu atau lebih nukleotida dari fragmen hasil restriksi, sehingga gambaran fragmen-fragmen DNA tersebut merupakan profil DNA bagi setiap individu.Untuk melihat polimorfisme urutan basa suatu gen dapat digunakan metode RFLPs dimana enzim restriksi akan memotong DNA pada urutan basa spesifik. Dengan elektroforesis gel maka hasil PCR dapat dideteksi dengan cara pemisahan asam nukleat dan protein menggunakan muatan listrik elektroda. Molekul akan Universitas Sumatera Utara bergerak melalui alur pori yang dipersiapkan. Gerakan dan kecepatan molekul tergantung pada kekuatan medan listrik, ukuran dan bentuk molekul tersebut. Terlihatnya pita DNA merupakan pewarnaan dari makromolekul yang terpisah, ditambah sifat hidrofobik dari DNA, kekuatan ionik dan temperatur dari buffer. 2.4 Hubungan polimorfisme gen TNFα dengan PPOK pada berbagai populasi Untuk mempelajari pola pewarisan sifat pada tingkat populasi terlebih dahulu perlu dipahami pengertian populasi dalam arti genetika atau lazim disebut juga populasi Mendelian. Populasi mendelian ialah sekelompok individu suatu spesies yang bereproduksi secara seksual, hidup di tempat tertentu pada saat yang sama, dan di antara mereka terjadi perkawinan (interbreeding) sehingga masing-masing akan memberikan kontribusi genetik ke dalam lungkang gen (gene pool), yaitu sekumpulan informasi genetik yang dibawa oleh semua individu didalam populasi.Deskripsi susunan genetik suatu populasi mendelian dapat diperoleh apabila kita mengetahui macam genotipe yang ada dan juga banyaknya masing-masing genotipe tersebut. PPOK terjadi pada hanya 15 - 20% perokok. Namun, faktor resiko yang menyebabkan seseorang perokok rentan untuk menjadi PPOK masih belum semua dapat ditentukan. Alfa-1-antitripsin defisiensi yang merupakan data terbaik faktor resiko genetik pada PPOK berjumlah hanya Universitas Sumatera Utara 1-2% dari seluruh kasus. Faktor lain dari host yang disangkakan terlibat masih ada 98-99% dari kasus. Salah satu calon gen yang rentan untuk terjadi PPOK adalah Tumor Nekrosis Faktor (TNF), gen yang dikode untuk memproses protein TNFα. Faktor yang menyebabkan meningkatnya TNFα pada perokok yang menderita PPOK dan tidak meningkat pada perokok dengan normal fungsi paru belum diketahui. Satu kemungkinannya bahwa ekspresi TNFα diatur oleh adanya Polimorfisme. Huang(1997) menemukan adanya polimorfisme gen TNFα-308G/A pada populasi di Taiwan, dimana terjadi perubahan basa nukleotida guanin menjadi adenin pada gen TNFα -308, yang berperan terhadap terjadinya bronkitis kronik, kemudian kembali dibuktikan polimorfisme nukleotida tunggal ini berhubungan dengan terjadinya PPOK oleh Sakao (2001), Jiang(2005) dan Hersh(2005). Namun hal ini tidak konsisten dijumpai keberadaannya, seperti yang dilaporkan beberapa penelitian Higham (2000), Sandford (2001), Tanaka (2007) yang dilakukan pada populasi Kaukasus dan oleh Ishi (2000), Hegab .(2005) dan Chierakul (2005) pada populasi Asia, diperoleh bahwa polimorfisme tunggal gen TNFα-308G/A tidak berbeda bermakna nukleotida antara perokok dengan atau tanpa PPOK. Hu(2007) di Cina dan Gingo(2008) di Amerika mengkonfirmasi kembali adanya hubungan polimorfisme nukleotida tunggal alel gen TNFα-308G/A dengan PPOK dan berperan terhadap kerentanan pada seorang perokok. Gingo (2008) meneliti 6 variasi polimorfisme nukleotida tunggal gen TNFα pada populasi kaukasus, disimpulkan bahwa diperlukan penelitian Universitas Sumatera Utara independen yang dilakukan pada populasi Kaukasia dan populasi nonKaukasia.Penelitian metaanalisis terhadap sejumlah penelitian yang dilakukan selama 20 tahun sebelumnya mengenai 20 polimorfisme pada 12 macam gen yang dilakukan oleh Smoolonska (2009), salah satu hasilnya menunjukkan bahwa polimorfisme gen TNFα alel -308G/A berlaku pada populasi Asia saja, dan disimpulkan tentang pentingnya etnik pada identifikasi genetik PPOK. Data dari penelitian yang dilakukan Castaldi (2010), suatu metaanalisis terhadap 27 variasi gen pada PPOK dan kesimpulannya ada 4 yang secara PPOK yaitu signifikan berhubungan dengan kerentanan terjadinya GSTM1, rs18000470 TGFB1, rs1799896SOD3 dan rs1800629 TNFα (-308 TNFα). Pada tabel 3 tampak beberapa penelitian polimorfisme yang dihubungkan dengan PPOK yang dilakukan pada berbagai populasi. Hasilnya menunjukkan beberapa yang saling bertentangan. Dan hal ini sangat berkaitan dengan ras populasi penelitian. Universitas Sumatera Utara Tabel 3 : Penelitian Polimorfisme TNFα yang berhubungan dengan PPOK (Gingo, 2008) Suku/Bangsa Kasus Kontrol Hubungan Analisis Peneliti SNP 376 Kaukasus 169 358 Tidak ada Haplotype Tidak ada Kucukaycan (rs1800750) Kaukasus 244 248 Tidak ada Tidak ada Brooger Kaukasus 244 248 Tidak ada Tidak ada Brooger 308 Asian/japan 88 61 Tidak ada (rs1800629) Asian/Japan 106 110 Ada(OR:2,58) Tidak ada Sakao Asian/Japan 53 65 Tidak ada Tidak ada Ishi Asian/Taiwan 42 42 Ada(OR:11,1) Tidak ada Huang Asian/cina 111 97 Ada(OR:5,0) Tidak ada Jiang Rusia 419 303 Ada Tidak ada Danilko Mesir 106 72 Tidak ada Ada Hegab Kaukasus 304 441 Tidak ada Ada Hegab 238 Kaukasus 169 358 Tidak ada Tidak ada Kucukaycan (rs361525) Kaukasus 244 248 Tidak ada Tidak ada Brooger 488 Asian/Japan 88 61 Tidak ada Ada Hegab (rs1800610) Mesir 106 72 Tidak ada Ada Hegab Ada Hegab Dan dari hasil penelitian metaanalisis terhadap 6 penelitian polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) yang berbeda posisi (-1031C/T, 863C/A, -857C/T, -238G/A, -308G/A dan +487G/A) pada gen Tumor Nekrosis Faktor hubungannya terhadap PPOK oleh Gingo (2008), diperoleh bahwa alel genTNFα -308G/A memiliki odds ratio yang lebih tinggi dibanding yang lainnya (tabel 4). Universitas Sumatera Utara Tabel 4 : Analisis univariat dan mutivariat (Gingo, 2008) Genotip Analisis Univariat Analisis multivariate PPOK vs Kontrol Odds ratio (95% CI) P value Odds ratio (95% CI) P value -1031 (CC atau TC vs TT ) 1,0 (0,67 – 1,6) 0,85 1,1 (0,71 – 1,8) 0,59 -863 (AA atau CA vs CC ) 1,1 (0,68 – 1,8) 0,71 1,3 (0,74 – 2,1) 0,40 -853 (TT atau CT vs CC) 0,83 (0,48 – 1,5) 0,52 0,70 (0,39 – 1,3) 0,24 -238 (AA atau GA vs GG) 0,56 (0,28 – 1,1) 0,1 0,40 (0,19 – 0,86) 0,02 -308 (AA atau GA vs GG) 1,9 (1,1 – 3,2) 0,03 1,9 (1,1 – 3,4) 0,03 +488 (AA atau GA vs GG) 1,8 (0,78 – 4,3) 0,17 1,7 (0,71 – 4,2) 0,23 Universitas Sumatera Utara 2.5 KERANGKA KONSEPTUAL LINGKUNGAN Kebiasaan merokok PEJAMU •Genetik : Defisiensi α 1 anti tripsin Protein TNFα >>> (Traskripsi gen meningkat) Polimorfisme Gen : >27 varian gen TNFα-308G/A • Umur Makrofag alveoli •Ras • Infeksi berulang Tempat Kerja Respon Inflamasi Abnormal Sal.Nps &Paru TNFα-238G/A •Hiperesponsif sal.nps Polusi udara Indoor/Outdoor Sel epitel sal.nps TGFβ TGFα TNFα >>> IL6 IL8 (NFκB) MCP LTB4 MHC Klas II TCD8 MMP TIMP Netrofilnetrofil elastase Protease dan stress Oksidatif Destruksi alveoli Mukus hipersekresi Fibrosis sal.nps kecil TANDA Suara Napas Vestikuler Melemah GEJALA Penyakit Paru Obstruktif kronik Sesak Napas Ekspirasi Memanjang • Wheezing • Nilai Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama (VEP1) Nilai Kapasitas Vital Paksa (KVP) Keterangan : = Diteliti = Variabel tergantung ─ ─ ─ ─ = Tidak Diteliti = Variabel bebas Batuk Berdahak Aktifitas terbatas Universitas Sumatera Utara 2.5 HIPOTESIS PENELITIAN Hipotesis Mayor : Polimorfisme gen TNFα-238G/Adan-308G/Amerupakan faktor risiko terjadinya Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Hipotesis Minor : Adanya hubungan polimorfisme genTNFα-238G/Adan -308G/A dengan tingkat keparahan (penurunan faal paru nilai VEP1) pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Universitas Sumatera Utara