ANALISIS EFEKTIVITAS, KEMANDIRIAN DAN DESENTRALISASI PEMERINTAH KOTA MEDAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi (SE) Program Studi Akuntansi Oleh: Nama NPM Program Studi : Andri Haryanto : 1105170348 : Akuntansi FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAHSUMATERA UTARA MEDAN 2014 KATA PENGANTAR Assalaamualaikum Wr. Wb. Alhamdullillahirobbil’alamin Puji dan syukur penulis ucapkan ke Hadirat Allah SWT, yang senantiasa mencurahkan kasih dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Kota Medan” yang diajukan untuk melengkapi tugas dan syarat menyelesaikan pendidikan pada Fakultas Ekonomi, Jurusan Akuntansi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Dalam kesempatan ini dengan rendah hati penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang membantu sehingga saya dapat menyelesaikan Skripsi ini, terutama kepada : 1. Teristimewa Ayahanda Wiwin Arianto dan Ibunda Sulastri yang kucintai dan kusayangi yang telah mengasuh, mendidik, memberikan bimbingan, nasehat serta do’a sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Adik saya Serly Ariska, Devi Khairatunnisa dan Aqila Zahra yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis. 2. Bapak Dr. Agussani, M.AP, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. 3. Bapak Zulaspan Tupti, SE, M.Si selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. 4. Ibu Elizar Sinambela, SE, M.Si selaku Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. i 5. Ibu Syafrida Hani, SE, M.Si,. selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan sehingga terwujud penulis skripsi ini. 6. Bapak dan Ibu staf pengajar dan seluruh pegawai di Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. 7. Teman-teman seperjuangan dan penyemangat saya dari awal hingga sekarang, kelas Akuntansi A siang Angkatan 2011 terkasih. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan apabila dalam penulisan ini terdapat kata-kata yang kurang berkenan penulis mengharapkan maaf yang sebesar-besarnya, semoga Allah SWT senantiasa meridhoi kita semua. Amin. Wassalamu’alaikum Wr, Wb. Medan, Januari 2015 Penulis Andri Haryanto 1105170348 ii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ....................................................................................... i DAFTAR ISI ......................................................................................... iii DAFTAR TABEL ......................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vii BAB I BAB II PENDAHULUAN ............................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah................................................................. 1 B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 7 C. Batasan dan Rumusan Masalah...................................................... 7 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 8 LANDASAN TEORI ....................................................................... 10 A. Uraian Teoritis .............................................................................. 10 1. Keuangan Daerah ................................................................ 10 a. Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Daerah ......... 10 b. Pengelolaan Keuangan Daerah ...................................... 11 c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ..................... 11 d. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah ........................... 15 e. Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah ......................................................... 17 f. Parameter Rasio Keuangan Pemerintah Daerah ............ 17 2. Rasio Efektivitas Keuangan Daerah ................................... 19 3. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah ............................... 21 4. Rasio Desentralisasi Fiscal ................................................. 23 iii B. Kerangka Berfikir .......................................................................... 26 BAB III METODE PENELITIAN................................................................. 28 A. Pendekatan Penelitian .................................................................... 28 B. Definisi Operasional Variabel ........................................................ 28 C. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 29 D. Sumber dan Jenis Data ................................................................... 30 E. Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 30 F. Tehnik Analisis Data ...................................................................... 30 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................. 32 A. Hasil Penelitian ............................................................................. 32 1. Deskripsi Objek Penenlitian .................................................. 32 2. Deskripsi Data ....................................................................... 32 a. Rasio Efektivitas Keuangan Daerah ............................... 33 b. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah ........................... 35 c. Rasio Desentralisasi Fiscal ............................................. 37 B. Pembahasan ................................................................................... 39 1. Analisis Rasio Keuangan Daerah Dalam Mengukur Kinerja ................................................................................... 39 a. Rasio Efektivitas Keuangan Daerah ............................... 39 b. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah ........................... 41 c. Rasio Desentralisasi Fiscal ............................................. 43 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 45 A. Kesimpulan ................................................................................... 45 B. Saran ......................................................................................... 46 iv DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN v DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Anggaran dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah ...................... 4 Tabel 1.2 Sumber-sumber Pendapatan Daerah .......................................... 5 Tabel 2.1 Tingkat Efektivitas Keuangan Daerah ........................................ 20 Tabel 2.2 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah..................................... 22 Tabel 2.3 Tingkat Desentralisasi Keuangan Daerah ................................... 24 Tabel 2.4 Penelitian terdahulu..................................................................... 25 Tabel 3.1 Rincian Waktu Penelitian............................................................ 29 Tabel 4.1 Rasio Efektivitas Keuangan Daerah ........................................... 33 Tabel 4.2 Rasio Kemandirian Keuangan Daerah ....................................... 35 Tabel 4.3 Rasio Desentralisasi Fiscal ......................................................... 27 vi DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Skema Kerangka Berfikir............................................................ 27 Gambar 4.1 Rasio Efektivitas Keuangan Daerah ........................................... 34 Gambar 4.2 Rasio Kemandirian Keuangan Daerah ....................................... 36 Gambar 4.3 Rasio Desentralisasi Fiscal ......................................................... 38 vii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota Medan merupakan salah satu kota yang telah menerapkan otonomi daerah dengan landasan UU No 32 Tahun 2004 dan UU No 33 Tahun 2004 sebagai dasar-dasar penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dengan prinsip demokratis, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan dan memperhatikan potensi serta keanekaragaman daerah. Peraturan Perundangan tersebut menuntut peran legislatif yang semakin besar dengan kedudukan yang terpisah dari eksekutif, kepala daerah bertanggung jawab kepada DPRD, bukan lagi kepada presiden, serta adanya kepastian bahwa pelaksanaan pemerintahan dapat ikut diawasi oleh masyarakat melalui DPRD. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan alat dalam menentukan pendapatan dan pengeluaran, implementasi dari perencanaan pembangunan yang telah ditetapkan sebelumnya, otorisasi pengeluaran, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memobilisasi pegawai dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. Perencanaan APBD sebagai perwujudan keseluruhan aktivitas dan kegiatan pemerintah menuntut adanya partisipasi aktif yang menampung berbagai aspirasi masyarakat sehingga akan mencerminkan kebutuhan riil masyarakat, seperti yang telah tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang telah disusun. 1 2 Dalam rangka Pengelolaan Keuangan Daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, perlu dilakukanlah analisis rasio keuangan terhadap APBD untuk menilai kinerja Pemerintahan Daerah. Sebagaimana menurut James B. Whittaker (1995) dalam government performance and result act, a mandate for strategic planning and performance measurement menyatakan bahwa pengukuran/penilaian kinerja adalah suatu alat manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Terdapat unsur akuntabilitas dalam good governance yang baik, dimana pemerintah diharapkan dapat melaporakan hasil dari program yang telah dilaksanakan agar masyarakat dapat menilai. Beberapa rasio yang dapat digunakan diantaranya yaitu rasio efektivitas keuangan daerah, rasio kemandirian keuangan daerah dan rasio desentralisasi fiscal. Rasio Efektivitas dapat menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Rasio kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan daerah. Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain, misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman. Rasio kemandirian bertujuan untuk menggambarkan ketergantungan daerah terhadap 3 sumber dana eksternal dan menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah (Halim, 2007, hal. 233). Rasio desentralisasi fiscal menunjukan kemampuan pemerintah daerah menjalankan kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menggali dan mengelola pendapatan. Semakin tinggi kontribusi PAD maka semakin tinggi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan desentralisasi (mahmudi, 2007, hal. 128). Berdasarkan dari kutipan media waspada online menyebutkan bahwa terjadi Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (P-APBD) Kota Medan tahun 2013 yang disahkannya dalam Sidang Paripurna DPRD pada Kamis 29 Agustus 2013. Dalam PAPBD itu, anggaran belanja Pemko Medan dikurangi dari Rp4,52 triliun menjadi Rp4,23 triliun, atau dipangkas Rp285 miliar. Ini merupakan kali pertama dalam sejarah Kota Medan P-APBD mengalami penurunan. Dalam sidang paripurna itu juga disetujui pengurangan target PAD dari Rp4,33 triliun menjadi Rp4,1 triliun, atau turun sebesar Rp223 miliar. Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Kota Medan Herri Zulkarnain saat menyampaikan pendapat akhir fraksinya mengatakan, salah satu faktor menurunnya penerimaan dari beberapa pos pajak dan retribusi daerah diakibatkan tidak maksimalnya kinerja sejumlah satuan kerja perangkat daerah (SKPD), termasuk kurang intensnya pengawasan dari atasan dalam pelaksanaan di lapangan. Akibatnya terjadi banyak kebocoran. Pada sisi penerimaan menunjukkan bahwa masih terdapat kelemahan pada sistim pengelolaan dan pengawasan sehingga pada realisasinya pendapatan asli 4 daerah belum tercapai sesuai dengan yang telah di anggarkan. Sedangkan suatu daerah otonomi diharapkan mampu melaksanakan semua urusan pemerintahan dan pembangunan dengan bertumpu pada Pendapatan Asli daerah (PAD) yang dimilikinya karena itu kemampuan suatu daerah menggali PAD akan mempengaruhi perkembangan dan pembangunan suatu daerah. Selanjutnya untuk mendapatkan gambaran anggaran dan realisasi pendapatan asli daerah kota Medan dapat dilihat dalam table 1.1 berikut. Tabel 1.1 Anggaran dan Realisasi PAD Pendapatan Asli Daerah Anggaran Realisasi 2009 386.862.522.644 366.947.412.951 2010 548.479.109.229 588.941.453.691 2011 1.110.469.593.763 990.300.499.144 2012 1.594.454.835.916 1.147.901.461.607 2013 1.578.247.819.724 1.206.169.709.147 sumber: Laporan Realisasi Anggaran Tahun Dilihat dari data dalam tabel 1.1 dapat dikatakan bahwa kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan PAD masih kurang efektiv, hal ini terlihat selama 5 (lima) tahun hanya pada tahun 2010 yang mampu mencapai taget anggaran sementara untuk 4 (empat) tahun lainnya tidak mencapai target anggaran. Perbandingan antara realisasi PAD dengan target penerimaan anggaran merupakan komponen pengukur kinerja keuangan daerah yang disebut rasio efektivitas. Tabel 1.1 memberikan gambaran jika dibandingkan realisasi dengan anggaran maka terhihat hampir semua belum mencapai angka 100 persen . Sedangkan, Menurut Abdul Halim (2002, hal. 128) Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal satu 5 atau 100 persen. Namun, semakin tinggi rasio efektivitas menggambarkan kemampuan daerah semakin baik. Keberhasilan menggali dan meningkatkan potensi PAD juga berkaitan dengan kemampuan suatu daerah membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang bersumber dari PAD bukan melalui sumber lain, misalnya bantuan pemerintah pusat, provinsi ataupun dari pinjaman. Untuk mendapatkan gambaran mengenai kemandirian kota Medan dapat dilihat dalam table 1.2 berikut. Tabel 1.2 Sumber–sumber Pendapatan Daerah Tahun 2009 2010 2011 2012 2013 Sumber Pendapatan Daerah Pendapatan Pendapatan Asli Lain-lain Transfer & Dana Daerah PAD yang sah Perimbang 366.947.412.951 588.941.453.691 990.300.499.144 1.147.901.461.607 1.206.169.709.147 1.465.603.244.963 1.449.070.282.111 1.718.727.194.630 1.822.682.350.868 2.060.845.776.012 36.207.171.000 31.822.160.000 33.559.267.650 27.620.100.000 9.328.800.000 Total Pendapatan Daerah 1.868.757.828.914 2.069.833.895.802 2.742.586.961.424 2.998.203.912.475 3.276.344.285.159 Sumber: Laporan Realisasi Anggaran Dari tabel 1.2 terlihat bahwa besarnya pendapatan transfer dan dana perimbangan masih mendominasi penerimaan daerah dibandingkan dengan pendapatan asli daerah (PAD). Hal ini mengindikasikan masih rendahnya kemandirian akibat tingginya ketergantungan fiskal pemerintah kota Medan terhadap pemerintah pusat selama kurun waktu 2009-2013. Kemandirian keuangan daerah dapat diukur dengan rasio kemandirian dengan cara membandingkan PAD dengan sumber dana eksternal (bantuan pusat/ propinsi dan pinjaman). Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat 6 ketergantungan daerah terhadap terhadap bantuan pihak eksternal (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah, dan demikian pula sebaliknya (Halim, 2002, hal. 128). Pendapatan asli daerah bukan saja menjadi inditator penting kemandirian daerah. akan tetapi dapat pula mengukur kemampuan daerah dalam menyelenggarakan desentralisasi dengan melihat seberapa besar kontribusi PAD terhadap total pendapatan. kriteria desentralisasi fiscal masuk dalam kategori “baik” jika mencapai 40-50 persen (litbang depdagri, 1991). Melihat Tabel 1.2 memberikan gambaran secara umum bahwa selama 5 (lima) tahun kontribusi PAD terhadap total pendapatan masih rendah bahkan tidak mecapai setengah dari total penerimaan daerah. Mahmudi dalam Suprianto (2013) mengatakan semakin tinggi kontribusi PAD maka semakin tinggi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan desentralisasi. Penelitian sejenis sebelumnya telah dilakukan oleh Dori Saputra (2014). Tentang kemandirian dan efektifitas keuangan daerah pada kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Barat. Penelitian ini menggunakan analisis rasio kemandirian dan analisis rasio efektifitas sebagai alat analisinya. Daerah otonom Kabupaten/Kota di Sumatera Barat dalam periode 2004-2011 masuk dalam kategori kemandirian keuangan yang rendah sekali dan secara trend kemandirian dari tahun 2005-2011 berada pada kecendrungan menurun. Sedangkan untuk analisis rasio efektifitas masuk dalam kategori keuangan yang sangat efektif secara rata-rata dari tahun 2004-2011 dan untuk trend efektivitas keuangan daerah menunjukan cenderung naik. 7 Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai kinerja keuangan pemerintah daerah yang berjudul “Analisis Efektivitas, Kemandirian dan Desentralisasi Pemerintah Kota Medan”. B. Identifikasi Masalah Adapun identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Belum tercapai realisasi PAD sesuai dengan target anggaran untuk tahun 2009, 2011, 2012 dan 2013. 2. Penerimaan pendapatan transfer dan dana perimbang pada tahun 20092013 yang masih tinggi. 3. Masih rendahnya kontribusi PAD terhadap pendapatan daerah pada tahun 2009-2013. C. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka perumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah kinerja keuangan daerah Kota Medan berdasarkan rasio efektivitas keuangan daerah pada tahun 2009-2013. 2. Bagaimanakah kinerja keuangan daerah Kota Medan berdasarkan rasio kemandirian keuangan daerah pada tahun 2009-2013. 3. Bagaimanakah kinerja keuangan daerah Kota Medan berdasarkan rasio desentralisasi fiskal pada tahun 2009-2013. 8 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui Bagaimanakah kinerja keuangan daerah Kota Medan berdasarkan rasio efektivitas keuangan daerah pada tahun 2009-2013. 2. Untuk mengetahui Bagaimanakah kinerja keuangan daerah Kota Medan berdasarkan rasio kemandirian keuangan daerah pada tahun 2009-2013. 3. Untuk mengetahui Bagaimanakah kinerja keuangan daerah Kota Medan berdasarkan rasio desentralisasi fiskal pada tahun 2009-2013. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Bagi penulis, menambah pemahaman penulis tentang kinerja keuangan pada pemerintah daerah , serta untuk membandingkan teori yang didapat dari studi kuliah dengan kenyataan yang sebenarnya. 2. Bagi pemerintah daerah, sebagai tambahan bahan referensi dalam menganalisis kinerja keuangan Pemerintah Daerah dan alternatif masukan untuk meningkatkan pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah secara ekonomis, efisien, dan efektif demi tercapainya keberhasilan otonomi daerah. 3. Bagi peneliti berikutnya, memberikan sumbangan wawasan dan sebagai bahan pembanding terhadap penelitian akuntansi yang berhubungan dengan kinerja keuangan Pemerintah Daerah. 9 BAB II LANDASAN TEORITIS A. Uraian Teoritis 1. Kinerja Keuangan Daerah a. Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Daerah Dalam arti sempit, keuangan daerah yakni terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan APBD. Oleh sebab itu keuangan daerah identik dengan APBD. Berdasarkan PP Nomor 58 Tahun 2005, Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kewajiban daerah tersebut perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah merupakan subsistem dari sistem pengelolaan keuangan negara dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Menurut Abdul Halim (2004, hal. 18), Keuangan Daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban pemerintah yang dapat dinilai dengan uang. Demikian pula dengan segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Menurut Abdul Halim (2004, Hal. 20), ruang lingkup keuangan daerah terdiri dari keuangan daerah yang dikelola langsung dan kekayaan daerah yang dipisahkan. Yang termasuk dalam keuangan yang dikelola langsung adalah APBD dan barang-barang inventaris milik daerah. Sedangkan keuangan daerah yang dipisahkan meliputi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). 9 10 b. Pengelolaan Keuangan Daerah Dalam ketentuan umum pada PP Nomor 58 Tahun 2005, Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, pengawasan daerah. Pengelolaan keuangan daerah dalam hal ini mengandung beberapa kepengurusan dimana kepengurusan umum atau yang sering disebut pengurusan administrasi dan kepengurusan khusus atau juga sering disebut pengurusan bendaharwan. Dalam pengelolaan anggaran/keuangan daerah harus mengikuti prinsip-prinsip pokok anggaran sektor publik. Pada Permendagri Nomor 26 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2007 menyatakan bahwa “APBD harus disusun dengan memperhatikan prinsip-prinsip pokok anggaran sektor publik, sebagai berikut: (a) Partisipasi Masyarakat, (b) Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran, (c) Disiplin Anggaran, (d) Keadilan Anggaran, (e) Efisiensi dan Efektivias Anggaran dan (f) Taat Asas”. Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah (PP 58/2005, pasal 1). c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (1) Pengertian APBD APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam satu tahun anggaran. APBD merupakan rencana pelaksanaan semua pendapatan daerah dan semua belanja daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Pemungutan semua penerimaan daerah bertujuan untuk 11 memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD. Demikian pula semua pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD. Karena APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah, maka APBD menjadi dasar pula bagi kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah. Tahun anggaran APBD sama dengan tahun anggaran APBN yaitu mulai 1 Januari dan berakhir tanggal 31 Desember tahun yang bersangkutan. Sehingga pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan keuangan daerah dapat dilaksanakan berdasarkan kerangka waktu tersebut. Meurut pasal 1 UU No.32 tahun 2004 APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, didanai dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), sementara penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di daerah, didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan belanja Negara (APBN). Menurut Abdul Halim (2004, hal. 15) menyatakan APBD adalah : Suatu rencana pekerjaan keuangan (Financial work plan) yang dibuat dalam jangka waktu tertantu dimana badan legislatif memberikan kredit kepada badan-badan eksekutif untuk melakukan pembiayaan sehubungan dengan kebutuhan rumah tangga daerah sesuai dengan rencana yang menjadi dasar (grondsleg) penetapan anggaran, dan yang menunjukan semaua penghasilan untuk menutup pengeluaran tadi. Berdasarkan pasal 64 ayat (2) UU. No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, APBD dapat didefinisikan sebagai rencana operasional keuangan Pemerintah Daereh, dimana di satu pihak menggambarkan perkiraaan pengeluaran pengeluaran setinggi-tingginya guna membiayai kegiatan-kegiatan 12 dan proyek-proyek daerah dalam satu tahun anggaran tertentu, dan dipihak lain menggambarkan perkiran penerimaan dan sumber-sumber penerimaan daerah guna menutupi pengeluaran-pengeluaran dimaksut (Halim, 2002, hal.16). Definisi tersebut merupakan pengertian APBD pada era Orde Baru. (2) Struktur APBD Dengan dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah maka akan membawa konsekuensi terhadap berbagai perubahan dalam keuangan daerah, termasuk terhadap struktur APBD berdasarkan PP No. 105 Tahun 2000tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah sebagai berikut : (a) Pendapatan daerah Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah. Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan dan pembiayaan. Pendapatan Daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. Dalam Standar Akuntansi Pemerintah (2005, hal. 107), pendapatan adalah semua rekening kas umum negara/daerah yang menambah ekuitas dana lancar dari periode tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak pemerintah dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah. Pendapatan daerah meliputi : Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbang dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah. (b) Belanja Daerah Belanja daerah menurut UU No. 33 Tahun 2004 merupakan semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Belanja daerah adalah belanja yang 13 tertuang dalam APBD yang diarahkan untuk mendukung penyelenggaraan pemeritahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Menurut Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah. Menurut Halim (2007, hal. 322), menyatakan belanja daerah kewajiban pemerintah mengurangi nilai kekayaan bersih. Lebih lanjut menurut Yuwono, dkk (2005, hal. 108), menyatakan bahwa belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah atau kewajiban yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah. Belanja daerah dikelompokkan ke dalam belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara tidak langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Sementara belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. (c) Pembiayaan daerah Pembiayaan adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Selisih antara penerimaan pembiayaan dengan pengeluaran pembiayaan dalam periode tahun anggaran dicatat dalam pos pembiayaan neto. Pembiayaan dikatagorikan menjadi dua, yaitu; 1) Penerimaan Pembiayaan: Penggunaan SILPA tahun lalu, pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, pinjaman dalam negeri kepada pemerintah 14 pusat, pinjaman dalam negeri kepada pemerintah daerah lainnya, pinjaman dalam negeri kepada lembaga keuangan bank, pinjaman dalam negeri lainnya, penerimaan kembali pinjaman kepada perusahaan negara, perusahaan daerah, dan pemerintah daerah lainnya. 2) Pengeluaran Pembiayaan: pembentukan dana cadangan, penyertaan modal pemerintah daerah pembayaran pokok pinjaman dalam negeri kepada pemerintah daerah lainnya, pemerintah pusat, lembaga keuangan bank, dan lembaga keuangan non bank (Mahmudi, 2010, hal. 76). d. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kinerja merupakan gambaran pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan dalam mencapai tujuan, visi dan misi suatu organisasi (Bastian, 2006, hal. 177). Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja dibidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Bentuk dari pengukuran kinerja tersebut merupakan rasio keuangan yang terbentuk dari unsur laporan pertanggungjawaban kepada kepala daerah berupa perhitungan APBD. James B. Whittaker (1995) dalam Government Performance and Result Act, A Mandate for Strategic Planning and Performance Measurement menyatakan bahwa : pengukuran/penilaian kinerja adalah suatu alat manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Pengukuran kinerja secara berkelanjutan akan memberikan umpan balik, sehingga upaya perbaikan secara terus menerus prestasinya secara objektif dalam suatu periode waktu tertentu. 15 Menurut Mahsun (2006 : 25) “Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang teruang dalam stategic planning suatu organisasi”. Disamping itu, menurut Sedarmayanti (2003 : 64) “Kinerja (performance) diartikan sebagai hasil kerja seorang pekerja, sebuah proses manajemen atau suatu organisasi secara keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut harus dapat diukur dengan dibandingkan standar yang telah ditentukan”. Menurut Mardiasmo (2002:121) “Sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan nonfinansial”. Dalam penelitian ini, istilah yang penulis maksudkan dengan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah adalah tingkat capaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Bentuk kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsur Laporan Pertangggungjawaban Kepala Daerah berupa Perhitungan APBD. Pengukuran kinerja yang digunakan secara umum oleh perusahaan yang berorientasi pada pencapaian laba antara lain melalui penetapan rasio keuangan. Rasio yang dimaksud dalam laporan keuangan adalah suatu angka yang menunjukkan hubungan antara suatu unsur dengan unsur lainnya. Suatu rasio tersebut diperbandingkan dengan perusahaan lainnya yang sejenis, sehingga adanya perbandingan ini maka perusahaan tersebut dapat mengevaluasi situasi perusahaan dan kinerjanya. 16 e. Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Prestasi pelaksanaan program yang dapat diukur akan mendorong pencapaian prestasi tersebut. Pengukuran prestasi yang dilakukan secara berkelanjutan memberikan umpan balik untuk upaya perbaikan secara terusmenerus dan pencapaian tujuan di masa mendatang. Salah satu alat menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Menurut Abdul Halim (2002, hal. 126) hasil analisis rasio keuangan ini bertujuan untuk: 1. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah. 2. Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah. 3. Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya. 4. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah. 5. Melihat pertumbuhan/perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluran yang dilakukan selama periode waktu tertentu. f. Parameter Rasio Keuangan Pemerintah Daerah Penggunaan analisis rasio pada sektor publik khususnya terhadap APBD belum banyak dilakukan, sehingga secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Meskipun demikian, dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, analisis rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian dalam APBD berbeda dengan laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta. 17 Analisis rasio keuangan pada APBD keuangan pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecendrungan yang terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan yang dimiliki suatu pemerintah daerah tertentu dengan daerah lain yang terdekat maupun yang potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana rasio keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya. Analisis kinerja keuangan yang telah dikembangkan dan dibangun oleh Musgrove, Richard A, dan B Musgrove, Peggy dalam bukunya “Public Finance In Theory and Practice (dalam Rekso Hadipradjo, Ekonomi publik)”, namun dalam penerapanya disesuaikan dengan kemampuan dalam APBD. Menurut Abdul halim (2002, hal.128) menyatakan beberapa rasio keuangan yang juga dapat dipakai untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah antara lain: 1) Rasio kemandirian (otonomi fiscal) Pendapatan Asli Daerah Bantuan Pemerintah Pusat/Propinsi dan Pinjaman 2) Rasio efektivitas dan efesiensi Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah Target Penerimaan PAD yg DItetapkan Berdasarkan Potensi Rill Daerah Biaya yang dikeluarkan untuk Memungut PAD Realisasi Penerimaan Pendapatan Asli Daerah 3) Rasio keserasian Total Belanja Rutin Total APBD 18 Total Belanja Pembangunan Total APBD 4) Debt service coverage ratio (DSCR) (PAD + BD + DAU ) – BW Total (Pokok Angsuran + Bunga + Biaya Pinjaman) 5) Rasio Pertumbuhan, Mengukur seberapa besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari period eke periode berikutnya. Sedangkan menurut Mahmudi dalam Suprianto (2007) rasio-rasio yang dapat digunakan dalam mengukuran kinerja keuangan Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut: 1) Rasio kemandirian Pendapatan Asli Daerah Transfer Pusat/Propinsi dan Pinjaman 2) Rasio Ketergantungan Daerah Pendapatan Transfer Total Pendapatan Daerah 3) Rasio Derajat Desentralisasi Pendapatan Asli Daerah Total Pendapatan Daerah 2. Rasio Efektivitas Keuangan Daerah Rasio efektivitas keuangan daerah otonom (selanjutnya disebut “Rasio EKD”) menunjukkan kemampuan pemerintahan daerah dalam merealisasikan 19 pendapatan asli daerah (PAD) yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Realisasi penerimaan PAD EK = x 100 Target penerimaan PAD berdasarkan potensi riil daerah (Halim, 2002, hal. 128) Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal 1 (satu) 100 persen. Namun, semakin tinggi rasio efektivitas menggambarkan kemampuan daerah semakin baik. Departemen Dalam Negeri dengan Kepmendagri No.690.900-327, Tahun 1996 mengategorikan kemampuan efektivitas keuangan daerah otonom ke dalam lima tingkat efektivitas seperti terlihat pada Tabel 2.1 Table 2.1 Tingkat Kemampuan Efektifitas Keuangan Daerah Kemampuan keuangan Efektivitas (%) daerah Sangat efektif >100 % Efektif 90% – 100 % Cukup efektif 80% – 90 % Kurang efektif 60% - 80% Tidak efektif 0% - 60% Sumber:Kepmendagri No.690.900-327,1996 Trend efektifitas keuangan daerah Efektivitas keuangan daerah penting dinilai untuk mengetahui arah perkembangan dimensi efektivitas keuangan daerah. Suatu daerah otonom kabupaten/kota pada suatu tahun tertentu barangkali belum dapat memenuhi efektivitas keuangannya, tetapi dengan melihat trend positif dari kedua dimensi keuangan tersebut diperoleh keyakinan, walaupun lambat ada peluang akan menuju efektivitas keuangan daerah yang ideal. 20 Analisis trend efektivitas keuangan daerah digunakan untuk mengetahui arah perkembangan efektivitas keuangan daerah tersebut. Apabila persentase trend EKD lebih dari 100%, maka telah terjadi perkembangan EKD. Semakin besar persentase trend EKD dari tahun ke tahun maka arah perkembangan efektivitas keuangan daerah kabupaten/kota semakin baik. Sebaliknya, bila persentase kurang dari 100% maka terjadi penurunan efektivitas keuangan daerah kabupaten/kota. Dari penjelasan ini maka trend kemandirian keuangan daerah dapat diformulasikan sebagai berikut. EKD Tahun pembanding Trend EKD = x 100% EKD Tahun dasar 3. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Menunjukkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian keuangan daerah ditunjukan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber yang lain, misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman. bantuan pemerintah pusat dalam konteks otonomi daerah bisaa dalam bentuk Dna Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK). Berikut formula untuk mengukur tingkat kemandirian keuangan daerah : Pendapatan asli daerah KKD = x 100 Bantuan pusat + provinsi + pinjaman (Halim, 2006, hal. 128) 21 Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi Rasio Kemandirian berarti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat atau propinsi) semakin rendah dan demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi Rasio kemandirian, maka semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kriteria untuk menetapkan kemandirian keuangan daerah dapat dikatagorikan seperti tabel 2.2 berikut: Tabel 2.2 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Kemampuan keuangan Kemandirian (%) daerah Rendah sekali 0,00 – 25 % Rendah 25% – 50 % Sedang 50% – 75 % Tinggi 75% – 100 % Sumber: Paul Hersey dan Kenneth Blanchard dalam Halim 2002 Trend Kemandirian keuangan daerah Suatu daerah otonom kabupaten/kota pada suatu tahun tertentu barangkali belum dapat memenuhi kemandirian keuangannya, tetapi dengan melihat trend positif dari dimensi kemandirian keuangan tersebut diperoleh keyakinan, walaupun lambat ada peluang akan menuju kemandirian keuangan daerah yang ideal. Analisis trend kemandirian keuangan daerah digunakan untuk mengetahui arah perkembangan kemandirian keuangan daerah tersebut. Apabila persentase trend KKD lebih dari 100%, maka telah terjadi perkembangan KKD. Semakin 22 besar persentase trend KKD dari tahun ke tahun maka arah perkembangan kemandirian Kabupaten/Kota semakin baik. Sebaliknya, bila persentase kurang dari 100% maka terjadi penurunan kemandirian keuangan Kabupten/Kota. Dari penjelasan ini maka trend kemandirian keuangan daerah dapat diformulasikan sebagai berikut. KKD Tahun pembanding Trend KKD = x 100% KKD Tahun dasar 4. Rasio desentralisasi fiscal Ukuran ini menunjukkan kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menggali dan mengelola pendapatan. Semakin tinggi kontribusi PAD maka semakin tinggi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan desentralisasi. Rasio desentralisasi fiskal dalam penelitian ini diukur dengan membandingkan total pendapatan asli daerah dengan total penerimaan daerah. Berikut formula untuk mengukur tingkat desentralisasi fiskal: total Pendapatan asli daerah Desentralisasi Fiscal = x 100 Total pendaptan daerah (Mahmudi, 2007) Adapun kriteria untuk menetapkan Desentralisasi fiscal keuangan daerah dapat dikatagorikan seperti tabel 2.3 sebagai berikut : 23 Tabel 2.3 Tingkat Kemampuan Desentralisasi Fiscal Kemampuan keuangan Desentralisasi % daerah Sangat kurang 0,00 – 10,0 % Kurang 10,01 – 20,00 % Sedang 20,01 – 30,00 % Cukup 30,01 – 40,00 % Baik 40,01 – 50,00 % Sangat baik >50,00 % Sumber : tim litbang depdagri – fisipol ugm,1991 Trend Desentralisasi Fiscal Desentalisasi fiscal penting dilakukan untuk mengukur kemampuan kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menggali dan mengelola pendapatan Suatu daerah otonom. Kabupaten/kota pada suatu tahun tertentu barangkali belum mencapai kemampuan desentralisasi yang diharapkan, tetapi dengan melihat trend positif dari kedua dimensi keuangan tersebut diperoleh keyakinan, walaupun lambat ada peluang akan menuju desentralisasi keuangan daerah yang ideal. Analisis trend desentralisasi keuangan daerah digunakan untuk mengetahui arah perkembangan kemampuan pemerintah daerah memaksimalkan tanggung jawab yang diberikan. Semakin besar persentase trend desentralisasi dari tahun ke tahun maka arah perkembangan kemampuan pemerintah/kota dalam menggali potensi daerahnya semakin baik. Dari penjelasan ini maka trend sdesentralisasi fiscal keuangan daerah dapat diformulasikan sebagai berikut. Desentralisasi Tahun pembanding Trend Desentralisasi = x 100% Desentralisasi Tahun dasar 24 Table 2.4 penelitian terdahulu No Nama 1 Dori saputra, 2014 Judul penelitian Analisis kemandirian dan efektivitas keuangan daerah Pada kabupaten dan kota di propinsi Sumatera barat 2 Ayu febriyanti puspitasari, 2012 Analisis kinerja keuangan pemerintah daerah Kota malang tahun anggaran 20072011 3 Anggi meliantha cahya, 2010 Analisis rasio efektivitas keuangan pengaruhnya terhadap kinerja Pemerintah daerah 4 Khairul Furqan, 2006 Analisis Rasio Sebagai Salah Satu Alat untuk Menilai Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Jombang Hasil penelitian Secara rata-rata rasio kemandirian rendah sekali karena berapada pada 0%25% dan trend kemandirian keuangan daerah menandakan cenderung menurun berada pada 95.3% kurang dari 100%. Kemudian untuk rasio efektifitas sangat efektif karna berada pada kecenderungan sebesar 109,8% dan trend efektifitas cenderung naik berada diatas 100%. rata-rata kinerja pengelolaan keuangan kota Malang berdasarkan analisis rasio keuangan adalah baik. Pola hubungan kemandirian daerah kota Malang dalam lima tahun terakhir masih menunjukan pola hubungan instruktif dimana peranan pemerintah pusat lebih dominan daripada kemandirian pemerintah daerah dengan rasio kemandirian daerah ratarata mencapai 13,56%. Pencapaian rasio kemandirian ini masih tergolong rendah. Rasio efektivitas keuangan pada Kabupaten Tasikmalaya sudah efektif pada periode tahun 2005-2008 rasio efektivitas keuangan mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Rasio efektivitas keuangan berpengaruh terhadap kinerja pemerintah daerah, serta memiliki hubungan (korelasi) yang kuat dan searah. Artinya jika rasio efektivitas keuangan pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Tasikmalaya sudah efektif maka kinerja pemerintah daerah pun semakin baik ketergantungan keuangan daerah terhadap sumber dana ekstern masih cukup tinggi dengan rata rata 14% pertahunnya, rasio efisiensi dikatakan kurang efisien karena pengeluarkan biaya untuk memperoleh PAD peningkatan tiap tahunnya, hasil rasio keserasian menunjukkan bahwa pemerintah Kabupaten Jombang masih memprioritaskan anggaran dana belanja 25 untuk belanja rutin daripada belanja pembangunan terlihat dari 75% rata-rata pertahunnya untuk belanja rutin dan 37,56% rata-rata pertahunnya B. Kerangka Berfikir Anggran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana pelaksanaan semua Pendapatan Daerah dan semua Belanja Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Sedangkan laporan Realisasi Anggaran (LRA) merupakan salah satu komponen laporan keuangan pemerintah yang menyajikan informasi tentang realisasi dan anggaran entitas pelaporan secara tersanding untuk suatu periode tertentu. Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Pengukuran rasio efektivitas penting dilakukan untuk mengukur kemampuan pemerintah daerah merealisasikan PAD yang termasuk komponen penting pada daerah otonom, dikatakan efektiv bila mencapai 100% Namun, semakin tinggi rasio efektivitas menggambarkan kemampuan daerah semakin baik. Rasio kemandirian dilakukan karena dapat menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi Rasio Kemandirian berarti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat atau propinsi) semakin rendah dan demikian pula sebaliknya. Dan untuk melihat kemampuan suatu daerah menjalankan tanggung jawab yang diberikan pusat dalam menggali dan mengelola pendapatan yang dimiliki dapat diukur dengan rasio desentralisi fiscal dengan 26 membandingkan PAD dengan total pendapatan, Semakin tinggi kontribusi PAD maka semakin tinggi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan desentralisasi. Apabila digambarkan dalam satu skema, maka peneliti membuat kerangka berfikir sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2.1 sebagai berikut: Skema Kerangka Berfikir APBD Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Analisis Laporan Keuangan Menggunakan Analisis Rasio & Trend Rasio Efektifitas Rasio Kemandirian Kinerja Keuangan Pemerintah Kota Medan Gambar 2.1 Rasio Desentralisasi Fiscal 27 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan deskriptif. Pendekatan deskriptif merupakan suatu penilaian untuk menyusun, mengklasifikasikan, menafsirkan, serta menginterpresentasikan data sehingga memberikan suatu gambaran tentang masalah yang akan diteliti. B. Defenisi Operasional Variabel Kinerja keuangan merupakan prestasi yang dicapai perusahaan dan dinyatakan dalam persentase, setelah membandingkan antara hasil yang telah dicapai dengan besarnya modal yang digunakan, semaki besar persentase atas perbandingan tersebut, maka semakintin tinggi prestasi. Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Rasio efektifitas keuangan daerah, rasio ini membandingkan realisasi pendapatn asli daerah dengan target penerimaan pendapatan asli daerah yang dianggarkan (Halim, 2002, hal. 128). Rasio ini dirumuskan sebagai berikut : Realisasi penerimaan PAD EK = x 100 Target penerimaan PAD berdasarkan potensi riil daerah 2. Rasio kemandirian keuangan daerah, merupakan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan 27 28 retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut : Total Pendapatan asli daerah KKD = x 100 Bantuan pusat + provinsi + pinjaman 3. Rasio Desentralisasi fiscal, merupakan rasio yang bertujuan mengukur tingkat kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan pembanguna. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut : Total Pendapatan asli daerah Desentralisasi Fiscal = x 100 Total pendaptan daerah C. Tempat dan Waktu Penelitian Termpat penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah pada Kantor Pemerintah Kota Medan yang beralamat di Jalan Kapten Maulana Lubis No. 2. Waktu penelitian dilakukan pada 18 November 2014 s/d Maret 2015. Untuk lebih jelasnya berikut ini adalah table perincian jadwal kegiatan penelitian. Table 3.1 Rincian Waktu Penelitian Bulan/ Minggu No November Kegiatan 1 1 2 Pengajuan Judul Penyusunan Proposal & pengumpulan data 3 Bimbingan Proposal 4 Seminar Proposal 5 Penyusunan skripsi 6 Bimbingan skripsi 7 Sidang skripsi 2 3 Desember 4 1 2 3 Januari 4 1 2 3 Februari 4 1 2 3 Maret 4 1 2 3 4 29 D. Sumber dan Jenis Data Sumber data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder yaitu data yang sudah tersedia yang dikutip oleh peneliti guna kepentingan penelitian, (data yang diperoleh dari perusahaan/ Instansi berupa laporan keuangan, struktur organisasi, sejarah singkat, dan lain lain). Jenis data Dalam penenelitian ini jenis data yang digunakan adalah data kuantitatif berupa laporan realisasi anggaran yaitu dengan mempelajari, mengamati dan menganalisis dokumen-dokumen yang berhubungan dengan objek penelitian. E. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan tehnik dokumentasi yaitu pengumpulan data dengan menggunakan data-data yang ada dalam dokumen instansi yaitu Kantor Pemerintah Kota Medan yang diperoleh penelitian secara langsung. F. Tehnik Analisi Data Dalam penelitian ini tehnik analisis data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif. Analisis statistik deskriftif merupakan tehnik menganalisis data untuk meringkas dan mendeskripsikan data numerik agar mudah untuk di interpretasikan. Langkah langkah yang dibuat penulis dalam tehnik analisis data ini adalah sebagai berikut 30 1. Mengumpulakan data-data yang diperlukan dalam penelitian, objek penelitian yaitu pada kantor pemerintah kota Medan. 2. Menghitung data dengan menggunakan rasio efektivitas keuangan daerah, rasio kemandirian keuangan daerah, rasio desentralisasi fiscal dan trend masing-masing rasio. 3. Menginterpresentasikan data yang diperoleh dari hasil perhitungan untuk memberikan gambaran yang sebenarnya mengenai kinerja keuangan pemerintah kota Medan. \ 31 BAB IV HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Objek Penelitian Kota Medan sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di propinsi Sumatera Utara, Kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah daerah. Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota/negara yang lebih maju seperti pulau Penang Malaysia, Singapura dan lain lain. Demikian juga secara demografis Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang dan jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2007 diperkirakan telah mencapai 2.083.156 jiwa. Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat perdagangan dan keuangan regional nasional. 2. Deskripsi Data Tuntutan yang tinggi terhadap kinerja dan akuntabilitas kinerja pemerintah daerah berujung pada kebutuhan pengukuran kinja pemerintah daerah. Analisis rasio keuangan APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari 31 32 satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Dengan analisis rasio keuangan pemerintah daerah dapat menilai kemandirian keuangan daerah, mengukur efektivitas keuangan daerah, dalam merealisasikan pendapatan asli daerah, dan dapat mengukur masing masing sumber pendapatan dalam membentuk pendapatan daerah. a. Rasio Efektivitas Keuangan Daerah Rasio efektivitas dapat dihitung dengan cara membandingkan antara realisasi penerimaan pendapatan asli daerah dengan anggaran penerimaan pendapatan asli daerah. Besarkanya rasio efektivitas keuangan daerah pemerintah kota Medan pada tahun 2009-2013 dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut : Tabel 4.1 Rasio Efektivitas Keuangan Daerah Kota Medan Tahun 2009-2013 Tahun 2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata Anggaran (Rp) Realisasi (Rp) 386.862.522.644 366.947.412.951 548.479.109.229 588.941.453.691 1.110.469.593.763 990.300.499.144 1.594.454.835.916 1.147.901.461.607 1.578.247.819.724 1.206.169.709.1 47 931.304.679.348 860.052.107.308 Rasio Trend Efektivitas Efektivitas (%) (%) 94,85 100 107,38 113,21 89,18 94,02 71,99 75,90 76,42 80,57 87,96 72,74 Berdasarkan perhitungan tabel 4.1 diatas pada tahun 2010 kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah yang telah dianggarkannya sangat efektiv dan merupakan tertinggi selama tahun 2009-2013. Karena rasio efektivitas keuangan daerah yang dicapai mampu mencapai diatas 100 persen atau sebesar 107,38 persen. Bila ditinjau dari kriteria kemampuan 33 efektifitas keuangan daerah di atas 100 persen merupakan kriteria yang sangat efektiv (lihat tabel 2.1), sedangkan pada tahun 2012 menunjukan kriteria yang kurang efektiv dan terendah selam tahun 2009-2013. Rasio efektivitas keuangan daerah pada tahun 2012 sebesar 71,99 persen, bila ditinjau dari kriteria kemampuan efektivitas keuangan daerah dimana 60-80 persen merupakan kriteria yang kurang efektif (lihat tabel 2.1). Dari tabel 4.1 diatas dapat dibuat grafik efektivitas keuaangan daerah sebagaimana dapat dilihat pada grafik 4.1 berikut : Grafik 4.1 Rasio Efektivitas Keuangan Derah Rasio EKD (%) 107,38 120 100 94,85 89,18 87,96 71,99 76,42 80 60 Rasio EKD (%) 40 20 0 2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata Sumber : Data olah tahun 2015 Dilihat dari grafik 4.1 diatas menggambarkan bahwa rasio efektivitas keuangan daerah mengalami peningktaan dan penurunan dan secara rata-rata rasio efektifitas selama tahun 2009-2013 cukup efektiv dengan persentase sebesar 87,96 persen. Sebagaimana berdasarkan kriteria kinerja keuangan efektivitas keuangan daerah dimana 80-90 persen dalam kriteria cukup efektif (lihat tabel 2.1). 34 Kemudian untuk melihat perkembangan efektivitas keuangan daerah selama tahun 2009-2013 diukur menggunakan trend dengan tahun 2009 sebagai tahun dasar. Trend efektivitas keuangan daerah selama tahun 2009-2013 terlihat menurun dengan rata-rata trend efektivitas sebesar 72,74 persen. Tahun 2010 menunjukan perkembangan efektifitas yang semakin baik dan merupakan tetinggi karena trend efektivitas keuangan daerah mencapai lebih dari 100 persen atau sebesar 113,21 persen. Dan pada tahun 2012 merupakan persentase terendah sebesar 75,90 persen menunjukan perkembangan efektivitas keuangan daerah yang menurun dan kurang baik. b. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Rasio Kemandirian Keuangan daerah dihitung dengan cara membandingkan jumlah penerimaan pendapatan asli daerah dengan jumlah pendapatan transfer dari pemerintah pusat dan provinsi serta pinjaman daerah. Besarnya rasio kemandirian keuangan daerah pada Kota Medan tahun 2009-2013 dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut : Tabel 4.2 Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Kota Medan Tahun 2009-2013 Tahun PAD (Rp) Pendapatan Transfer (Rp) 2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata 366.947.412.951 588.941.453.691 990.300.499.144 1.147.901.461.607 1.206.169.709.1 47 860.052.107.308 1.465.603.244.963 1.449.070.282.111 1.718.727.194.630 1.822.682.350.868 2.060.845.776.012 1.703.385.769.717 Rasio Trend Kemandirian Kemandirian (%) (%) 25,04 100 40,64 162,3 57,62 230,11 62,98 251,52 58,53 233,75 48,96 175,54 35 Berdasarkan rasio tingkat kemandirian keuangan daerah pada tabel 4.2 diatas diketahui bahwa pada periode tahun 2009 samapai dengan tahun 2013 menunjukan persentase tingkat kemandirian yang terus meningkat kecuali pada tahun 2013 mengalami penurunan. Rasio kemandirian tertinggi yaitu pada tahun 2012 dikategorikan cukup dengan persentase sebesar 62,98 persen karena berdasarkan kriteria kemandirian keuangan daerah berada diantara 50-70 persen (lihat tabel 2.2). Sedangkan tingkat kemandirian terendah yaitu pada tahun 2009 sebesar 25,04 persen menurut kriteria tingkat kemandirian keuangan daerah 25-50 persen merupakan kriteria tingkat kemandirian rendah (lihat batel 2.2). Dari tabel 4.2 diatas dapat dibuat grafik rasio tingkat kemandirian keuangan daerah sebagai berikut : Grafik 4.2 Rasio Kemandirian Keuangan Daearah Rasio KKD (%) 62,98 57,62 70 58,53 60 48,96 50 40,64 40 Rasio KKD (%) 25,04 30 20 10 0 2009 2010 2011 2012 Sumber : Data olah tahun 2015 2103 Rata-rata 36 Dari grafik 4.2 diatas terlihat rata-rata kemandirian keuangan daerah Kota Medan selama tahun 2009-2013 sebesar 48,96 persen dikatergorikan rendah sesuai kriteria tabel 2.2. Menurut Abdul Halim (2002, hal. 128) Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuang pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah, dan demikian pula sebalinya. Untuk melihat perkembangan kemandirian keuangan daerah dengan trend kemandirian keuangan daerah. Pada tahun 2012 merupakan trend kemandirian tertinggi sebesar 251,52 persen, dengan demikian kemandirian keuangan daerah pada tahun 2009-2013 menunjukan perkembangan yang terus meningkat dan semakin baik. c. Rasio desentralisasi Fiscal Rasio desentralisasi fiscal menunjukan kontribusi pendapatan asli daerah terhadap total pendapatan daerah. Besarnya rasio desentralisasi fiscal pada Kota Medan tahun 2009-2013, dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut : Tabel 4.3 Rasio Desentralisasi Fiscal Kota Medan Tahun 2009-2013 Tahun 2009 2010 2011 2012 2013 Ratarata Pendapatan Asli Daerah (Rp) 386.862.522.644 548.479.109.229 548.479.109.229 1.594.454.835.916 1.578.247.819.724 931.304.679.348 Total Rasio Trend Pendapatan Desentralisasi Desentralisasi Daerah (Rp) Fiscal (%) Fiscal (%) 1.868.757.828.914 19,64 100 2.069.833.895.802 28,45 144,86 2.742.586.961.424 36,11 183,86 2.998.203.912.475 62,98 320,67 3.276.344.285.159 36,81 187,42 2.591.145.376.755 36,80 167,36 37 Berdasarkan pada tabel 4.3 diatas diketahui bahwa rasio desentralisasi fiscal Kota Medan tertinggi pada tahun 2012 dengan tingkat persentase mencapai 62,98 persen. Bila dilihat berdasarkan kriteria desentralisasi fiscal pada tabel 2.3 tahun 2012 berada pada persentase diatas 50 persen dikategorikan sangat baik. Sedangkan tahun 2009 merupakan persentase desentralisasi fiscal terendah dengan persentase sebesar 19,64 dikategorikan kurang berdasarkan kriteria desentralisasi fiscal pada tabel 2.3. Dari tabel 4.2 diatas dapat dibuat grafik rasio tingkat kemandirian keuangan daerah sebagai berikut : Grafik 4.3 Rasio Desentralisasi Fiscal Rasio Desentralisasi (%) 62,98 70 60 50 28,45 40 30 36,11 19,64 36,81 36,80 Rasio Desentralisasi (%) 20 10 0 Sumber : Data olah tahun 2015 Pada grafik 4.3 diatas rasio desentralisasi fiskal Kota Medan selama periode tahun 2009-2013 dikategorikan cukup dengan rata-rata selama lima tahun sebesar 36,80 persen (lihat tabel 2.3: kriteria penilaian desentralisasi fiscal). Kemudian jika melihat perkembangan desentralisai fiscal kota Medan secara trend 38 menunjukan kecenderungan terus meningkat dengan persentase tertinggi pada tahun 2012 yaitu sebesar 320,67 persen. B. Pembahasan 1. Analisis Rasio Keuangan Daerah Dalam Mengukur Kinerja Untuk menganalisas kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya dapat menggunakan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Penggunaan analisis rasio pada sektor publik khususnya terhadap APBD belum banyak dilakukan sehingga secara teori belum ada kesepakatan secara bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Meskipun demikian dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efesien, dan akuntabel, analisis rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah perakuntansian dalam APBD berbea dengan dengan laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta. Beberapa rasio yang dapat diteliti berdasarkan data keuangan yaitu: Rasio efektivitas keuangan daerah, rasio kemandirian keuangan daerah, dan rasio desentralisasi fiscal. a. Rasio efektivitas keuangan daerah Menurut Abdul Halim (2002, hal. 128) rasio efektifitas dihitung dengan cara membandingkan raelisasi penerimaan pendapatan asli daerah dengan target target penerimaan pendapatn asli daerah. Hasil perhitungan rasio efektivitas keuangan daerah dapat dilihat pada lampiran 1. Rasio efektivitas keuangan daerah pada tahun 2009 sebesar 94,85 persen merupakan kriteria yang efektif, kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2010 menjadi 107,38 persen dikategorikan 39 sangat efektif menurut ktiteria pengukuran karena berada pada tingkat rasio diatas 100 persen. Akan tetapi pada tahun 2011 rasio efektivitas keuangan daerah mengalami penurunan menjadi kriteria cukup efektif dengan rasio sebesar 89,18 persen. Hal ini berarti kemampuan pemerintah daerah dalam memobilisasi penerimaan pendapatan sesuai dengan yang ditargetkan mengalami peningkatan dan penurunan. Selanjutnya rasio efektivitas pada tahun 2012 dan 2013 kembali mengalami penurunan masing-masing menjadi 71,99 dan 76,42 persen berada pada kemampuan kurang efektif berdasarkan kriteria tingkat kemampuan efektivitas keuangan daerah. Rasio efektivitas tertinggi selama periode tahun 2009-2013 yaitu pada tahun 2010 sedangkan yang terendah yaitu pada tahun 2012. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat diketahui bahwa rasio efektivitas keuangan daerah Kota Medan cenderung mengalami penurunan. Secara rata-rata dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013, efektivitas keuangan daerah kota Medan adalah sebesar 87,96 persen yang berada pada ketegori cukup efektif. Menurut Abdul Halim (2002, hal 129) kemampuan daerah dalam menjalankan tigas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai mencapai minimal sebesar 1 (satu) atau 100 persen. Namun demikian semakin tinggi rasio efektivitas, mengambarkan kemampuan daerah yang semakin baik. Kecenderungan efektivitas keuangan daerah selama tahun 2009-2013 menunjukan perkembangan yang semakin menurun dari tahun dasar yautu tahun 2009, hanya pada tahun 2010 yang meningkat tinggi hingga 113,21 persen. Sedangkan pada tahun 2011, 2012, dan 2013 menurun dibawah 100 persen, 40 kemudian jika dilihat secara rata-rata selama tahun 2009-2013 trend efektivitas keuangan daerah hanya sebesar 72,74 persen. Melihat perkembangan trend dapat dikatakan bahwa kemampuan efektivitas keuangan daerah kota Medan selama periode lima tahun mengalami penurunan, karena rata-rata trend efektivitas keuangan daerah tidak mencapai 100 persen. b. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Hasil perhitungan menujukan bahwa rasio kemandirian keuangan daerah kota Medan pada tahun 2009 sampai dengan 2013 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2009 dan 2010 kemampuan kemandirian keuangan daerah berada dikategorikan rendah dengan 25,04 persen pada tahun 2009 dan 40,64 persen tahun 2010. Kemudian untuk tahun 2011 rasio kemandirian keuangan daerah sebesar 57,62 persen, dan meningkat pada tahun 2012 menjadi 62,98 persen berada pada kategori sedang berdasarkan kriteria kemampuan kemandirian keuangan daerah. Dan pada tahun 2013 rasio kemandirian keuangan daerah kembali mengalami penurunan menjadi 58,53 persen. Meskipun rasio kemandirian keuangan daerah kota Medan terus mangalami peningkatan pada tahun 2009-2013, namun belum menunjukan kemandirian yang semakin baik. Secara rata-rata kemampuan kemandirian daerah kota Medan masih rendah dengan persentase sebesar 48,96 persen. Kemandirian daerah yang masih rendah akan sangat mempersulit pemerintah dalam membiayai segala kegiatan opersionalnya. Menurut Abdul Halim (2008, hal. 233) semakin rendah tingkat rasio kemandirian berarti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pemerintah pusat semakin tinggi. 41 Rasio ini juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio ini berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen PAD. Hal ini menunjukkan rendahnya tingkat kemampuan keuangan pada kota Medan dalam membiayai sendiri kegiatan kepemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat. Selain itu dapat juga diartikan bahwa tidak ada peningkatan secara signifikan dalam hal partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah, yaitu dalam hal pembayaran pajak dan retribusi yang merupakan komponen utama PAD. Berdasarkan pertumbuhan kemandirian keuangan daerah yang kecendrungannya mengalami peningkatan, terlihat pemerintah kota Medan menunjukan upaya mengurangi ketergantungannta terhadap pantuan pihak ektern. Pemerintah daerah dalam hal mendorong pertumbuhan PAD cenderung mengandalkan pajak dan retribusi yang didasarkan oleh peraturan yang ditetapkan. Dalam hal ini, untuk meningkatkan penerimaan PAD melalui pajak dan retribusi sebaiknya tidak hanya mengandalkan peraturan daerah semata, tetapi juga melibatkan peningkatan kualitas SDM, penyiapan sarana/prasarana dasar dan pendukung, peraturan dan perundangan yang memperhatikan aspek ekonomi, efisiensi, dan netralitas, revitalisasi lembaga-lembaga terkait, termasuk desentralisasi kewenangan perijinan investasi, kebijakan pemberian fasilitas insentif kepada investor yang lebih menarik, dan optimalisasi potensi perekonomian lokal sehingga bermanfaat kepada daerah. Melihat bagaimana kecenderungan perkembangan kemandirian keuangan daerah apakan terjadi peningkatan atau penuruan melalui trend kemandirian 42 keuangan daerah pada tahun 2009-2013 dibandingkan dengan tahun dasar 2009 menunjukan peningkatan setiap tahunnya. Secara rata-rata trend kemandirian keuangan daerah pada tahun 2009-2013 sebesar 175,54 persen. Hal ini menunjukan perkembangan kemandirian keuangan daerah semakin baik. c. Rasio Desentralisasi Fiscal Dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 kontribusi pendapatan asli daerah terhadap total pendapatan daerah secara rata-rata sebesar 36,80 persen berada pada kategori cukup berdasarkan kriteria kemampuan desntralisasi fiscal. Kurangnya kontribusi pendapatan asli daerah terhadap total pendapatan daerah maka kurang juga kemampuan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan desentralisasi fiscal. Menurut Mahmudi (2011, hal. 169) Semakin tinggi kontribusi pendapatsn asli daerah maka semakin tinggi kemampuan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan desentralisasi. Pada tahun 2009 rasio desentralisasi fiscal kota medan sebesar 19,64 persen berada pada tingkat kemampuan yang kurang, akan tetapi terus meningkat pada tahun 2010 dan 2011 menjadi 28,45 dan 36,11 persen. Pada tahun 2012 merupakan rasio desentralisasi tertinggi sebesar 62,98 persen dikategorikan sangat baik berdasarkan kriteria. Kemudian penurunan kembali terjadi pada tahun 2013 menjadi 36,81. Jumlah pendapatan asli daerah dari tahun 2009-2013 memang terus mengalami peningkatan, akan tetapi kontribusi pendapatan transfer dari pemerintah pusat dan provinsi juga mengalami peningkatan sehingga kembali mendominasi penerimaan pendapatan daerah. 43 Pemerintah kota Medan diharapkan dapat mengupayakan peningkatkan pendapatan asli daerah sehingga dapat mengurangi penerimaan pendapatan transfer dari pemerintah pusat dan provinsi, sehingga menjadi harapan pendapatan ali daerah sebagai sumber utama daerah dalam membiayai kegiatan operasional daerah. Sedangkan trend untuk melihat perkembangan kemampuan desentralisasi fiscal terlihat mengalami peningkatan dari tahun 2009-2013 dengan rata-rata sebesar 167,36 persen, hal ini menunjukan bahwa ada upaya untuk meningkatkan kemampuan desentralisasi fiscal pemerintah daerah menuju lebih baik. 44 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Melaui hasil analisa dan pembahasan mengenai rasio efektivitas keuangan daerah, kemandirian keuangan daerah, dan desentralisasi fiscalpemerintah Kota Medan, maka penulis dapat membuat kesimpulan sebagai berikut : 1. Rasio efektivitas keuangan daerah pada pemerintah Kota Medan selama periode tahun 2009-2013 hanya pada tahun 2010 mampu mencapai 107,38 persen dengan kategori sangat efektif, dan empat tahun lainnya belum mencapai persentase 100 persen. Hal ini karena target pendapatan asli daerah yang ingin dicapai belum terealisasi sesuai yang telah ditargetkan. Akan tetapi secara rata-rata efektivitas keuangan daerah pada pemerintah kota Medan pada tahun 2009-2013 sudah cukup baik dengan persentase sebesar 87,96 dikategorikan cukup berdasarkan kriteria kemampuan efektivitas keuangan daerah. Jika dilihat berdasarkan trend rasio efektivitas mengalami penurunan selama tahun 2009-2012 dengan rata-rata 72,74 karena persentase masih kurang dari 100 persen. 2. Rasio kemandirian keuangan daerah pada pemerintah Kota Medan pada tahun 2009-2013 dengan rata-rata sebesar 48,96 dikategoikan rendah karena nilai tersebut berada diantara 25-50 persen, makan Kota Medan dianggap masih memiliki ketergantungan terhadap bantuang pusat dan provinsi, meskipun pola ketergantungan daerah mulai berkurang karena dkota Medan dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi 44 45 daerah. Pemerintah kota Medan selalu berupaya mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat dan privinsi, hal ini terlihat dari trend kemandirian yang terus meningkat setiap tahunnya, rata-rata trend kemandirian sebesar 175,54 persen menunjukan adanya peningkatan kearah yang lebih baik. 3. kontribusi pendapatan asli daerah terhadap total penerimaan daerah kota Medan dilihat dari desentralisasi fiscal menunjukan kemampuan yang cukup baik dengan rata-rata persentase sebesar 36,80 persen. Trend desentralisasi kota medan menunjukan kecederungan peningkatan setiap tahunnya dengan rata-rata trend selama tahun 2009-2013 sebesar 167,36 persen. B. SARAN Mengacu pada hasil penelitian yang telah dilakukan, penulis dapat memberikan saran dan masukan diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Upaya pengoptimalan intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber pendapatan asli daerah yang potensial masih sangat diperlukan dalam rangka mewujudkan eksistensi kemandirian daerah Kota Medan, khususnya dalam bidang fiskal 2. Lebih menggali sumber-sumber pendapatan daerah sehingga target pendapatan dapat dicapai serta menurunkan tingkat ketergantungan daerah walaupun pemerintah Kota Medan masih membutuhkan dana transfer dalam rangka percepatan pembangunan daerah. Meningkatkan penerimaan Pajak dan restribusi daerah, serta perusahaan daerah (BUMD) yang 46 merupakan sumber pemasok dana ke kas daerah harus lebih profesional dalam melaksanakan tugasnya, sehingga kontribusinya bagi PAD juga akan meningkat. Daftar Pustaka Abdul Halim (2002), Akuntansi Sektor Publik-Akuntansi Keuangan Daerah, Salemba Empat, Jakarta. . 2007. Akuntansi Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit Salemba Empat Ahmad Yani (2009). Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah Di Indonesia.Jakarta:Rajawali Pers. Anggi Meliantha Cahya (2010). Analisis Rasio Efektivitas Keuangan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Pemerintah Daerah. Skripsi. Jurusan Akuntansi, Fe, Universitas Komputer Indonesia, Bandung. Ayu Puspitasari (2012). Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kota Malang Tahun Anggaran 2007-2011. Skripsi. Malang Cherrya Dhia Wenny (2012). Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (Pad) Terhadap Kinerja Keuangan Pada Pemerintah Kabupaten Dan Kota Di Propinsi Sumatera Selatan. Jurnal Ilmiah Stie Mdp Deddi Nordiawan (2008). Akuntansi Sektor Publik. Jakarta: Salemba Empat. Dian Nofrina Batubara (2009). Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Kinerja Keuangan pada Pemerintah Kabupaten dan Kota di Propinsi Sumatera Utara. Skripsi, Universitas Sumatera Utara, Medan Dori Saputra (2014). Analisis Kemandirian Dan Efektivitas Keuangan Daerah Pada Kabupaten Dan Kotaa Di Provinsi Sumatera Barat. Skripsi. Jurusan Akuntansi, Fe, Universitas Negeri Padang. Ebit Julitawati Dkk (2012). Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (Pad) Dan Dana Perimbangan Terahadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/Kota Di Provinsi Aceh. Tesis. jurusan Akuntansi, Fe, Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh Evi Ica Krisnawati (2005). Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Kota Batu. Skripsi. Furqan, Khairul (2006). Analisis Rasio Sebagai Salah Satu Alat Untuk Menilai Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Jombang. Skripsi, Jurusan Akuntansi. Indra Bastian (2006). Akuntansi Sektor Publik:Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga. Muindro Renyowijoyo (2008). Akuntansi Sektor Publik: Organisasi Non Laba. Edisi pertama. Jakarta: Mitra Wacana Media Sastroy Bangun, 2013 . “APBD Medan 2013 Berkurang Rp223 M Lebih”. http://www.waspada.co.id/. Diakses 13 Januari 2015. Standar Akuntansi Pemerintah, (2005). Suprianto. 2013. Pengaruh Pendapatan Asli Dearah (PAD) Terhadap Kinerja Keuangan pada Pemerintah Provinsi Gorontalo. Skripsi. Jurusan Akuntansi, Fe, Universitas Negeri Gorontalo. Syafrida Hani. 2014. Tehnik analisa laporan keuangan. In Media Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, Jakarta 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, Jakarta 2004. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 Tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Yuliandriansyah (2009). Otonomi Daerah Dan Investasi. Artikel Online. (Http://Yuliandri Ansyah.Staff.Uii.Ac.Id/2009 /02/02/Otonomi-DaerahDan-Investasi/, Di-Akses Tanggal 12 desember 2014) “APBD Perubahan Kota Medan 2013 Turun Rp http://www.medanbagus.com. Diakses 13 Januari 2015. 285 Miliar”.