9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Nyeri Nyeri merupakan suatu sensasi subjektif rasa tidak nyaman dengan ada atau tidaknya kerusakan jaringan aktual atau potensial. Nyeri dapat bersifat sebagai protektif, yaitu menyebabkan individu menjauh dari stimulus yang berbahaya, atau tidak melakukan fungsi. Sifat nyeri yang diungkapkan oleh pasien berupa perasaan seperti tertusuk-tusuk, pegal, berdenyut, teriris, seperti tertarik, terbakar dan sebagainya (Corwin, 2009). Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman perasaan emosional dan sensorik yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan terjadinya kerusakan (Meliala et al., 2000). Nyeri bersifat unik karena di satu sisi, nyeri dapat menimbulkan keadaan yang tidak menyenangkan bagi penderitanya. Namun, disisi lain nyeri dapat memberikan manfaat sebagai mekanisme proteksi dan mekanisme defensif (Sinardja dan Mahaalit, 2013). Terdapat banyak istilah yang sering dipakai dalam praktek klinis untuk menggambarkan kondisi myofascial pain syndrome seperti myofascitis, tension myalgia, muscular rheumatism. Istilah - istilah tersebut memiliki definisi yang sama walaupun secara patologis memiliki definisi yang berbeda - beda, namun memiliki tanda dan gejala yang hampir sama (Faizah 2013). Myofascial pain syndrome 10 merupakan sekumpulan gejala dan tanda dari satu atau beberapa titik picu (trigger point). 2.2 Myofascial Pain Syndrome Myofascial pain syndrome adalah suatu keadaan yang menimbulkan nyeri lokal dan menjalar yang dikarakteristikkan dengan adanya ketidaknormalan pada motoris (taut band yang keras di dalam otot) dan ketidaknormalan pada sensoris (nyeri tekan dan nyeri menjalar). Myofascial pain syndrome dikarakteristikkan sebagai nyeri musculosceletal yang bersifat akut atau kronis. Hal ini bisa menyebabkan yaitu timbulnya nyeri lokal, atau gangguan sekunder yang terjadi sebagai akibat dari beberapa kondisi. Ketika myofascial menjadi kronis, tidak cukup untuk diobati dengan teknik injeksi, namun membutuhkan perhatian postural, ergonomi, dan faktor – faktor struktural (Gerwin et al., 2004). Myofascial pain syndrome biasanya berupa nyeri regang (taut pain) dan nyeri tekan (tenderness pain). Myofascial pain syndrome sering terjadi pada area yang memiliki sistem transportasi metabolisme yang kurang baik. Daerah tersebut merupakan titik – titik nyeri (trigger points) yang mudah terangsang oleh sisa metabolisme (Ladopurab, 2012). Myofascial pain syndrome didefinisikan sebagai suatu keadaan yang dikarakteristikkan dengan kondisi otot yang sakit bersifat kronis yang hypersensitive jika diberikan penekanan. Tipe dari nyeri ini pada umumnya bersifat dalam (deep) dan tumpul, terasa nyeri pada otot yang terkena dan jika dilakukan palpasi, maka 11 nyerinya sering menyebar ke area nonspesifik disekitar otot. Sekelompok otot yang mengalami ketegangan dan dapat diraba ini disebut dengan trigger point. Taut band yang terdapat di dalam otot skeletal sangat sensitif terhadap suatu tekanan sehingga ketika diberikan penekanan tepat pada titik nyeri tersebut, maka penderita akan merasakan nyeri yang tajam. Nyeri yang dirasakan oleh penderita tidak akan terasa hingga ke persendian akan tetapi lingkup gerak sendi akan menjadi berkurang akibat dari otot penggeraknya yang mengalami masalah (Werenski, 2011). Kebanyakan orang tidak menyadari keberadaan dari trigger point. Ketika akut trigger point menjadi kronis maka lama kesembuhan yang didapatkan pasien menjadi lebih lama. Akut trigger point terjadi karena adanya cedera secara langsung dan menjadi kronis akibat adanya trauma dalam jangka waktu yang panjang. Fisiologi yang mendasari tentang mekanisme terjadinya myofascial syndrome ini tidak dapat dipahami dengan jelas. Beberapa mekanisme telah disampikan dalam literaturliteratur tentang penyebab akut ataupun kronis. Adanya retikulum sarkoplasma yang mengalami perobekan sehingga akan melepaskan kalsium. Pelepasan kalsium dan ATP menyebabkan sarkomer mengalami kontraksi yang lebih pendek pada daerah yang terdapat taut band. Hal tersebut akan meningkatkan aktivitas metabolik, adanya iskemik dan adanya pelepasan zat tersebut menyebabkan iritasi yang berlebihan pada ujung saraf sensorik dan akhirnya menimbulkan nyeri (Simons et al., 1999). Myofascial pain syndrome ditandai dengan adanya myofascial trigger point (Fernandez et al., 2005). Komponen klinis utama pada nyeri myofascial, yang 12 terpenting adalah adanya titik picu (trigger points), taut band, dan local twitch response (Simons et al., 1999). Trigger point adalah suatu nodul hipersensitive yang terdapat dalam taut band pada otot skeletal. Karakteristik utama dari trigger points yaitu adanya nodul pada taut band. Nodul ini menyebabkan hyperalgesia yang merupakan respon nyeri yang berlebihan ketika diberikan suatu rangsangan normal dan adanya allodynia yang merupakan persepsi nyeri dalam menanggapi rangsangan normal (Gerwin,1999). Trigger point dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu aktif trigger point dan pasif trigger point. Aktif trigger point terjadi ketika pasien mengalami nyeri spontan pada saat pasien istirahat yang dapat memicu adanya reffered pain ketika diberikan suatu penekanan. Pasif trigger point terjadi ketika pasien tidak mengalami nyeri secara spontan tetapi dapat menyebabkan adanya keterbatasan gerakan dan kelemahan otot, tapi ketika trigger point tersebut mendapat penekanan maka pasien akan merasakankan nyeri pada daerah yang diberikan penekanan. Pasif trigger point dapat menjadi aktif jika adanya stimulasi seperti posture tubuh yang tidak benar, penggunaan otot secara berlebihan tanpa adanya istirahat dan dengan posisi statik, ergonomi tubuh yang tidak benar ketika melakukan pekerjaan (Werenski, 2011). 13 Gambar2.1. Trigger Point Complex (Sumber: Shah and Heimur, 2012) Taut band merupakan satu bendel muscle belly yang mengeras, kaku dan ketika diraba akan terasa berbeda dengan bagian otot yang lain. Adanya taut band dalam otot akan mengakibatkan penurunan ekstensibilitas dan fleksibilitas pada otot tersebut. Adanya perlengketan dalam struktur otot yang terjadi pada fascia dan myofilament dalam sarcomer taut band maka akan terjadi peningkatan konsentrasi secara abnormal dari asetilkolin dalam end plate tautband. Perlengketan ini menyebabkan sirkulasi darah pada otot menjadi berkurang sehingga kebutuhan nutrisi dan oksigen pada area taut band berkurang (Gerwin et al, 2004). Local Twitch Response (LTR) merupakan tekanan mendadak yang terasa mengejutkan atau tertusuk jarum dan sel otot berkontraksi dalam taut band. Elektrik pada LTR terjadi secara spontan dalam taut band tanpa adanya stimulasi saraf motorik disebut end plate noise yang terdapat pada ujung saraf yang dekat dengan 14 zona trigger point. Pelepasan elektrik terjadi dengan frekwensi 10-100 kali lebih dari potensial elektrik motor end plate normal. Sehingga merupakan aktivasi saraf simpatik yang mempengaruhi pelepasan secara spontan Ach karena aktivitas adreno reseptors dari ujung saraf motorik (Mc Partland, 1996). 2.2.1 Tanda dan gejala Myofascial Pain Syndrome Menurut Azizah dan Hardjono, 2006 tanda dan gejala yang menyebabkan terjadinya myofascial pain syndrome otot upper trapezius yaitu: 1. Nyeri yang terlokalisir pada otot upper trapezius. 2. Terdapat taut band pada otot dan fascia serta jaringan ikat longgar (connective tissue). 3. Nyeri yang menjalar umumnya dengan pola yang dapat di prediksi. 4. Adanya titik tenderness pada suatu tempat sepanjang taut band yang disebut sebagai trigger point/jump sign. 5. Tightness pada otot yang terkena sehingga menyebabkan keterbatasan lingkup gerak sendi. 6. Spasme otot akibat dari adanya rasa nyeri yang timbul dan juga akibat dari penumpukan zat-zat iritan/zat metabolit. 7. Perubahan otonomik seperti vasokonstriksi pembuluh darah dan keringat yang berlebihan di sepanjang area reffered pain. 15 Gambar 2.2 Reffered pain otot upper trapezius (Sumber: Nayak, 2013) 2.2.2 Penyebab Myofascial Pain Syndrome Otot Upper Trapezius Myofascial pain syndrome dapat disebabkan oleh berbagai faktor yaitu: 1. Postur tubuh Pada postur tubuh yang tidak bagus dapat menyebabkan stress dan strain pada otot upper trapezius seperti forward head posture yaitu posisi seseorang yang melakukan posisi kerja statis terus menerus pada saat aktivitas dalam posisi duduk atau berdiri. 2. Ergonomi kerja yang buruk Ergonomi tubuh yang tidak baik seperti penggunaan otot yang berlangsung lama, mekanisme kerja yang buruk pada leher dan bahu menggambarkan beban kerja otot upper trapezius lebih berat, posisi tempat kerja yang tidak sesuai dengan ergonomi. 3. Trauma pada jaringan myofascial 16 Trauma pada jaringan myofascial dapat dibagi menjadi dua, yaitu trauma makro dan trauma mikro. Trauma makro yaitu suatu cidera yang mengenai otot atau fasia. Ketika jaringan myofascial mengalami cidera maka akan terjadi proses inflamasi, ketegangan serabut kolagen, dan pemendekan serabut kolagen. Ketika serabut kolagen mengalami pemendekan menyebabkan tekanan pada jaringan myofascial akan meningkat. Sedangkan trauma mikro merupakan suatu cidera yang berulang (repetitive injury) akibat dari suatu kerja dalam jangka waktu lama dan dengan beban yang berlebih. 4. Usia Myofascial pain syndrome kebanyakan terjadi pada orang dewasa pada usia pertengahan karena kemampuan otot pada usia muda lebih baik dalam menangani stress mekanikal. Pada usia dewasa ke atas, telah terjadi penurunan fungsi akibat dari degenerasi jaringan sehingga otot akan menjadi sulit dalam menangani stress. 2.3 Anatomi Otot Upper Trapezius Otot trapezius merupakan otot terbesar dan paling superfisial pada daerah scapulothoraks. Dinamakan otot trapezius karena bentuk otot ini mirip dengan bangun trapezium. Otot ini mudah dipalpasi karena memiliki banyak fascia yang terletak di bawah kulit. Otot upper trapezius dibagi menjadi empat bagian yaitu bagian I dan II membentuk otot upper trapezius yang berperan dalam gerakan elevasi 17 dan adduksi shoulder, bagian III membentuk middle trapezius berperan dalam gerakan adduksi shoulder, dan bagian IV membentuk lower trapezius berperan dalam gerakan depresi dan adduksi shoulder. Pada upper trapezius dapat dipalpasi antara occipital protuberance pada C6 dan lateral dari acromion terutama ketika gerakan elevasi shoulder. Serat otot pada bagian upper trapezius tipis dan relatif lemah, melekat pada clavicula, sehingga kepala bisa sepenuhnya memutar ke sisi yang berlawanan. Serat otot pada upper trapezius akan membantu middle trapezius dan levator scapula dalam melakukan gerakan elevasi serta rotasi. Karena upper trapezius mempunyai serat otot yang tipis dan lemah, dan membantu middle trapezius dalam melakukan gerakan membuat bagian ini mudah sekali mengalami kelelahan dan ketegangan otot. Disamping itu otot ini rentan mengalami myofascial pain karena otot ini sering digunakan dalam jangka waktu yang lama. Middle trapezius dapat teraba dari C7 hingga T3, lateral acromion, scapula spine terutama ketika posisi adduksi shoulder. Pada middle trapezius terdapat seratserat otot yang kuat dan tebal. Otot ini berkarakteristik kuat karena mempunyai peran dalam memposisikan bahu sesuai postur tubuh yang benar. Lower trapezius dapat dipalpasi pada bagian T4 hingga T12, bagian medial scapula tulang belakang terutama ketika posisi depresi dan adduksi. Daerah lower trapezius terdapat otot yang lemah dan bagian ini berperan dalam gerakan adduksi, depresi, dan rotasi. 18 Upper trapezius berorigo pada eksternal occipital protuberance, bagian medial ligamentum nuchae, dan berinsertio pada batas posterior dari 1/3 bagian lateral clavicula dan acromion dari scapula. Otot ini dipersarafi oleh accessory nerve (cranial nerve XI) dan nervus C3-C4 (Willms et al, 2005). Terdapat dua tipe serabut otot yang utama yaitu serabut slow-twitch dan serabut fast-twitch. Kedua tipe serabut tersebut terdapat didalam suatu otot tunggal. Tipe serabut otot, ada dua dasar tipe yaitu: 1. Tipe I atau slow twitch (tonik muscle fibers) : disebut sebagai red muscle karena serabut ototnya berwarna merah atau lebih gelap dari otot yang lainnya. Otot ini memiliki karakteristik tertentu, yaitu menghasilkan kontraksi yang lambat, banyak mengandung kapiler pembuluh darah, kekuatan motor unit yang rendah, tidak cepat mengalami kelelahan, memiliki kapasitas aerobik yang tinggi dan berfungsi untuk mempertahankan sikap. Otot slow twitch ini berguna untuk olahraga yang membutuhkan endurance yang tinggi seperti lari marathon, berenang. Misalnya pada otot erector spine 2. Tipe II atau fast twitch (phasic muscle fibers) : disebut sebagai white muscle karena serabut ototnya berwarna putih atau berwarna lebih pucat. Otot ini memiliki karakteristik menghasilkan kontraksi yang cepat, mudah mengalami kelelahan, memiliki kapasitas aerobik yang rendah, banyak mengandung myofibril, durasi kontraksi lebih pendek dan berfungsi untuk 19 melakukan gerakan yang cepat dan kuat. Otot fast twitch ini diperlukan untuk olahraga yang membutuhkan kecepatan, kontraksi otot yang sangat kuat dan cepat seperti lari cepat. Misalnya pada otot upper trapezius (Sudaryanto and Ansar, 2011) Gambar 2.3 Otot upper trapezius (Sumber: Nayak, 2013) 2.4 Anatomi Fisiologi Otot Skeletal Tubuh manusia tersusun atas 434 otot yang membentuk 40% - 45% dari berat tubuh orang dewasa. Sekitar 75% pasangan otot bertanggung jawab terhadap gerakan tubuh dan postur tubuh. Otot rangka sering disebut dengan otot skelet, otot bergaris atau otot lurik merupakan otot yang berfungsi untuk menggerakkan tulang. Apabila otot ini dilihat dibawah mikroskop maka susunannya terdiri dari serabut-serabut panjang yang mengandung banyak inti sel, dan terlihat adanya garis terang yang diselingi dengan garis gelap yang melintang. 20 Otot mempunyai hukum “All or none law” hukum berlaku untuk1 serabut otot, artinya bila 1 serabut otot dirangsang, maka akan berkontraksi bila rangsangan yang diterima lebih tinggi dari nilai ambang rangsang, otot tidak akan berkontraksi bila nilai rangsangnya < ambang rangsang. Otot rangka mempunyai fungsi untuk menggerakkan anggota tubuh memberikan bentuk pada tubuh, melindungi organ tubuh yang lebih dalam. Otot rangka terdiri atas serabut/fibers, myofibril, sarkomer. Secara mikroskopis sel, membran yang membungkus serabut otot disebut dengan sarkolema. Pada bagian dalam dari sel otot rangka terdapat cairan intraseluler (sarcoplasma) yang terisi banyak dengan molekul-molekul glikogen, protein myoglobin dan mitokondria. Sarkoplasma pada tiap serabut otot mengandung mitokondira dan terdapat serabut myofibril. Myofibril mengandung 2 tipe protein yang menghasilkan pola striated sehingga dinamakan otot striated atau otot skeletal. Myofibril terbuat dari molekul protein yang panjang yang disebut dengan myofilamen. Myofilamen terdiri dari dua jenis yaitu thick myofilamen yang berwarna lebih gelap dan thin myofilamen yang berwarna lebih terang. Pada setiap serabut otot terdapat ratusan hingga ribuan myofibril. Setiap myofibril tersusun oleh sekitar 1500 filamen tebal (myosin) dan 3000 filamen tipis (actin), yang merupakan molekul protein polimer besar yang bertanggung jawab untuk melakukan kontraksi otot sesungguhnya (Guyton and Hall, 2006). 21 Pada myosin dan actin akan membentuk suatu bagian yang saling bersambung dalam myofibril yang disebut sarcomer. Pada daerah tengah sarcomere akan terlihat lebih gelap yang disebut dengan A-band sedangkan daerah pinggir terlihat lebih terang yang disebut dengan I-band. Bagian yang memisahkan antara kedua daerah tersebut adalah Z-line (Sherwood, 2006). Secara mikroskopis, terlihat adanya perubahan struktur bands (A bands, I bands) dan garis di dalam otot skeletal selama kontraksi otot. Pada sarkomer terbagi antara 2 Z lines, yang merupakan unit struktural dasar dari serabut otot. Setiap sarkomer dibagi menjadi dua oleh suatu M line. A band berisi filamen myosin yang kasar dan tebal serta dikelilingi oleh 6 filamen actin yang tipis dan halus. Pada I band berisi hanya filamen actin yang tipis. Pada pusat A band terdapat H zone yang hanya berisi filamen myosin yang tebal. Ketika otot melakukan kontraksi, filamen actin yang tipis dari salah satu ujung sarkomer akan bergerak satu sama lain. Z line akan bergeerak ke arah A bands untuk mempertahankan ukuran awalnya, sementara I bands akan menjadi menyempit dan H zone menjadi menghilang. Jumlah serabut otot pada tiap-tiap orang berbeda, jumlah serabut otot yang sama saat lahir akan dipertahankan hingga dewasa kecuali jika terjadi injury maka jumlah serabutnya akan menurun atau bahkan akan menghilang. Peningkatan ukuran serabut otot dapat bertambah ketika diberikan resistance training. Kontraksi otot skeletal ada dua yaitu kontraksi isotonik dan isometrik. Kontraksi otot isotonik dibagi menjadi konsentrik dan eksentrik. Kontraksi konsentrik 22 merupakan kontraksi otot yang membuat otot memendek dan terjadi gerakan pada sendi sedangkan kontraksi eksentrik merupakan kontraksi otot pada saat memanjang untuk menahan beban. Kontraksi isometrik merupakan kontraksi otot yang tidak disertai dengan perubahan panjang otot (Lippert, 2011). Kelelahan otot terjadi akibat adanya aktivitas fisik dengan intensitas yang tinggi dan berlangsung singkat yang disebabkan oleh akumulasi produksi asam laktat di dalam otot dan darah. Ketika melakukan aktivitas dengan intensitas yang tinggi maka akan terjadi kontraksi otot di dalam serabut otot fast twitch (FT). Serabut otot FT lebih cepat mengalami kelelahan dibandingkan serabut otot slow twitch (ST) dikarenakan serabut otot FT mempunyai kemampuan sistem anaerobik yang tinggi dan sistem aerob yang rendah sehingga mempercepat penumpukan dari asam laktat. Hal tersebut menyebabkan lebih cepat terjadi kelelahan otot (Sherwood, 2006). 23 Gambar 2.4 Struktur otot (Sumber: Donatelli, 2007) 2.5 Anatomi myofascia Fascia merupakan tipe jaringan yang membungkus tendon, ligament, aponeurosis dan jaringan parut. Fascia terdapat diseluruh tubuh, sebagai perantara dari semua sistem yang ada pada tubuh dan memberikan bentuk untuk sistem tubuh seperti sistem sirkulasi darah, sistem saraf dan sistem limfatik. Fascia berfungsi untuk dapat membentuk dan menunjang bagian tubuh dan menahan agar tetap berada pada tempatnya, memberikan lubrikasi (pelumas) sehingga otot akan bebas bergerak tanpa menimbulkan suatu gesekan yang bisa menyebabkan adanya injury pada otot (Clay, 2008). Fascia dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu fascia superficialis, fascia profunda (deep), dan deepest fascia. Fascia superficialis merupakan lapisan jaringan 24 ikat longgar yang terletak pada lapisan bawah dermis kulit dan kadang disebut sebagai jaringan subkutan. Fascia ini berfungsi sebagai jalur untuk saraf dan darah menuju otot rangka dan berbagai jaringan adiposa. Fascia superficialis lebih menonjol pada bagian belakang tubuh daripada bagian depan. Fungsi utama lapisan ini yaitu sebagai pelindung deformasi mekanikal dan memberikan jalur untuk sarafdan dinding pembuluh saraf. Deep fascia adalah lapisan fibrosa pada jaringan ikat yang ditemukan di bawah superficialis fascia. Deep fascia berfungsi sebagai jalur untuk saraf dan pembuluh darah dan sebagai tempat untuk mengembangkan otot dan struktur internal lainnya. Deepest fascia dikenal sebagai dural tube yang mengelilingi dan melindungi otak dan sumsum tulang belakang (Lindsay and Robertson, 2008). Berdasarkan tempat ditemukannya fascia di dalam otot, maka fascia dibagi menjadi 3 yaitu epimysium, perymisium dan endomysium. Ketiga lapisan tersebut merupakan perluasan dari deep fascia. Epimysium merupakan jaringan myofascial terluas yang melapisi seluruh otot dan mengikat seluruh fasikel. Perimysium merupakan jaringan fascia yang membungkus sekelompok serabut otot ke dalam satu fasikel. Endomysium merupakan jaringan fascia terdalam yang memisahkan seratserat otot (Alter, 2004). Fascia dapat mengalami ketegangan karena adanya kontraksi otot yang menyebabkan otot menjadi melebar. Ketegangan yang terjadi pada fascia akan mengalami peningkatan akibat adanya otot yang hipertropi secara sekunder karena 25 latihan, atau dalam kondisi konstan hipertonus akibat dari postur yang jelek. Ketika timbul nyeri yang hebat, maka mengurangi jumlah suplai darah dan mengalami penyembuhan yang lambat sehingga menyebabkan fascia menjadi menyusut/mengerut (Cantu and Grodin, 2001). Gambar 2.5 Struktur myofascia (Sumber:http://www.quizlet.com//12738435/skeletal-muscle-tissue-flashcards/) 2.6 Mekanisme Nyeri Myofascial Pain Syndrome Pada myofascial pain syndrome terdapat taut band yang didalamnya berisi trigger point. Taut band dalam otot ini dapat menyebabkan penurunan dari tingkat fleksibilitas dan ekstensibilitas otot. Adanya perlengketan ini dapat berdampak pada penurunan sirkulasi darah sehingga menyebabkan kebutuhan akan nutrisi dan oksigen 26 pada area taut band berkurang. Dampaknya terjadi hiperkontraksi sel otot yang akan mempengaruhi peningkatan metabolisme bersifat lokal serta teraktivasinya saraf simpatik yang berakibat vasokontriksi pada pembuluh darah kapiler (Gerwin et al., 2004). Otot upper trapezius merupakan otot tipe 1 (slow twitch) atau postural yang berfungsi sebagai stabilisator scapula ketika lengan beraktivitas, mempertahankan posisi kepala yang cenderung jatuh ke depan karena adanya kekuatan otot gravitasi. Dilihat dari fungsinya yaitu sebagai otot stabilitator, apabila terjadi suatu patologis otot ini mudah sekali terjadi gangguan berupa thigtness dan kontraktur. Kerja otot ini akan semakin memburuk apabila adanya postur yang buruk, penggunaan otot dalam kondisi statis lama, mekanisme kerja yang buruk pada leher dan bahu. Akibat yang dapat ditimbulkan yaitu adanya fase kompresi dan ketegangan lebih lama daripada rileksasi yang menyebabkan otot cepat mengalami kelelahan. Ketika otot mengalami ketegangan ataupun kontraksi secara terus menerus, maka akan menurunkan mobilitas dari jaringan myofascial sehingga juga akan mempermudah terjadinya pemendekan serabut kolagen dan menimbulkan stres mekanis. Jika ketegangan otot tersebut terjadi dalam waktu yang lama maka akan menstimulasi nociceptor yang terdapat di dalam otot. Semakin sering dan kuat nociceptor tersebut terstimulasi maka akan semakin kuat pula aktivitas refleks dari ketegangan otot tersebut, akibatnya pada jaringan myofascial terjadi penumpukan zatzat nutrisi dan oksigen ke jaringan sehingga akan menimbulkan iskemia pada jaringan myofascial. Ketika adanya iskemia maka aliran darah yang menuju jaringan akan 27 terhambat, jaringan yang mengalami iskemia beberapa menit saja dapat menimbulkan nyeri yang sangat dalam. Selain itu, jaringan myofascial akan berkontraksi, sehingga akan merangsang substansi P hingga menjadi suatu peradangan kronis yang menghasilkan zat algogen berupa prostaglandin, histamin, bradikinin dan serotonin yang dapat meningkatkan sensitivitas nyeri (Guyton and Hall, 2008). Proses radang dapat juga menimbulkan respon neuromuskular berupa ketegangan otot disekitar area yang mengalami kerusakan otot tersebut, sehingga timbullah viscous circle of pain, yaitu spasme menimbulkan iskemik, iskemik menimbulkan nyeri dan nyeri menimbulkan spasme dan seterusnya. Pada umumnya ketika ada rasa nyeri, pasien tidak mau menggerakan bagian tersebut (immobilisasi) akibatnya akan menjadi kontraktur sehingga akan terbentuk taut band dan trigger point Ketika jaringan myofascial berada dalam kondisi immobilisasi untuk beberapa waktu sekurang-kurangnya empat minggu ikatan melintang dapat terbentuk di antara molekul-molekul tipe I kolagen. Tipe I kolagen adalah unsur kolagen normal dari jaringan ikat. Ikatan melintang (cross binding) ini akan menurunkan fleksibilitas fascia dan juga membatasi gliding antara lembaran fasia. Ketika jaringan ikat dalam keadaan immobilisasi maka akan terjadi perubahan pada substansi dan serabut kolagen. Protein-karbohidrat kompleks dalam substansi dasar akan mengikat air dan menjadikan banyak gel yang tidak berbentuk (water binding complex mucopolysacharides) atau lebih dikenal dengan glikosaminoglikans. 28 Dalam kondisi immobilisasi kandungan air akan berkurang dan bagian terbesar dari substansi dasar akan menurun. Akibatnya serabut kolagen akan saling berdempetan. Ketika jarak dari satu molekul kolagen ke molekul kolagen yang lain menurun hingga pada ambang kritis, yang terjadi adalah molekul mulai membentuk ikatan menyilang (cross binding). Jaringan ikat juga menjadi kurang elastis karena serabut kolagen dan lapisan fasia kehilangan pelumas. Hal ini akan menyebabkan molekul dari lembaran fasia ternyata terikat bersama-sama. Keadaan imobilisasi dari jaringan myofascial ini banyak disebabkan misalnya oleh ergonomi yang jelek, dimana keadaan ini akan mencetuskan timbunan fibroblas dan banyak kolagen membuat ikatan tali (cross links). Cross links kolagen akan secara fisiologis timbul perlahan-lahan dan perlahan-lahan pula akan menyebabkan tekanan dalam jaringan. Akibatnya akan menurunkan jarak kritis pada area tersebut. Di samping itu aliran darah pada area tadi juga akan menurun bahkan hingga tingkat iskemia yang akan mengiritasi serabut saraf Aδ dan C sehingga akan mencetuskan timbulnya nyeri. Traktus paleospinotalamikus merupakan sistem yang menjalarkan rasa nyeri terutama dari serabut tipe C lambat-kronik perifer. Walaupun jaras ini juga menjalarkan beberapa sinyal dari serabut tipe Aδ juga. Serabut-serabut perifer berakhir di dalam medula spinalis hampir seluruhnya di lamina II dan III kornu dorsalis, yang bersama-sama disebut substansia gelatinosa. Sebagian besar sinyal kemudian melewati satu atau lebih neuron serabut pendek tambahan di dalam kornu dorsalisnya sebelum memasuki lamina V, juga di kornu dorsalis. Disini neuronneuron terakhir dalam rangkaian merangsang akson-akson panjang yang sebagian 29 besar menyambungkan serabut-serabut dari jaras rasa nyeri cepat (Guyton and Hall, 2008). Ujung serabut nyeri tipe C yang memasuki medula spinalis kemungkinan mengeluarkan transmiter glutamat dan transmiter substansi P. Transmiter glutamat bekerja secara cepat dan hanya berlangsung beberapa milidetik. Substansi P dilepaskan jauh lebih lambat. Inilah mengapa seseorang bisa merasakan nyeri ganda. Lokalisasi nyeri yang dijalarkan lewat jalur jaras paleospinotalamikus bersifat buruk, sehingga seringkali pasien memiliki kesulitan dalam melokalisasikan sumber beberapa nyeri jenis kronik (Guyton and Hall, 2008). 2.7 Integrated Neuromuscular Inhibitation Technique (INIT) 2.7.1 Definisi Integrated Neuromuscular Inhibitation Technique (INIT) merupakan teknik yang menggabungkan kombinasi ischemic compression, strain counter strain dan muscle energy technique yang efektif untuk melepas nyeri pada myofascial pain syndrome. INIT dapat digunakan untuk memanjangkan atau mengulur struktur jaringan lunak seperti otot fascia, tendon dan ligamen yang mengalami pemendekan secara patologis sehingga dapat meningkatkan lingkup gerak sendi, pemendekan otot dan mengurangi nyeri akibat spasme (Chaitow, 2003). Ketika INIT diberikan pada otot maka komponen actin dan myosin dan tegangan otot akan mengalami peningkatan ketegangan, sarkomer memanjang. Sarkomer berperan dalam proses kontraksi dan relaksasi otot. Ketika otot mengalami 30 suatu kontraksi, maka filamen actin dan myosin akan berhimpit dan otot akan memendek. Sedangkan ketika otot mengalami fase relaksaasi maka otot akan mengalami pemanjangan. Ketika terjadi penguluran, maka serabut otot akan terulur penuh melebihi panjang serabut otot itu dalam posisi normal yang dihasilkan oleh sarcomer. Ketika penguluran terjadi, serabut yang berada pada posisi yang tidak teratur akan dirubah posisinya sehingga posisinya akan menjadi lurus sesuai dengan arah ketegangan yang diterima. Adanya penguluran pada serabut otot dapat memulihkan jaringan parut untuk dapat kembali normal (Nagrale et al, 2000). 2.7.2 Aplikasi INIT Teknik pertama yang diterapkan yaitu ischemic compression, pasien diposisikan dalam posisi duduk, pemeriksa berdiri di belakang pasien, setelah pemeriksa menemukan trigger points pada otot upper trapezius, kemudian pemeriksa memberikan penekanan kepada daerah ditemukannya trigger points tersebut. Tekanan yang diberikan awalnya ringan hingga meningkat .tekanan dipertahankan hingga jaringan penghalang terlepas. Kemudian tekanan kembali diterapkan, proses ini diulang hingga ketegangan/nyeri tidak lagi dirasakan pasien. Ischemic compression dilakukan selama 90 detik dan diikuti oleh penerapan Strain counter strain. Strain counter strain dimulai dari mengidentifikasi trigger point yang ada di otot. Setelah trigger point didapatkan kemudian dilakukan penekanan pada area tersebut dan posisikan pasien kedalam posisi yang nyaman setidaknya akan terjadi 31 penurunan nyeri sekitar 70% dalam posisi tersebut. Terapis berdiri dibelakang pasien dengan satu tungkai fleksi knee 90o untuk menyanggah lengan pasien yang diabduksikan secara pasif sekitar 90o, dan digerakkan cervical secara pasif kearah sedikit lateral fleksi kearah titik nyeri. Pada saat memposisikan pasien ke dalam posisi yang paling nyaman, tekanan pada tender point harus tetap dilakukan. Pertahankan posisi nyaman yang maksimal dari pasien selama 90 detik. Waktu 90 detik adalah nilai ambang minimal untuk koreksi optimal dari suatu lesi/gangguan. Selama waktu tersebut pasien harus merasa relaks. Seringkali pasien harus diingatkan untuk mempertahankan posisi relaks tersebut untuk melepaskan ketegangan yang terjadi pada otot. Setelah 90 detik, secara perlahan kembalikan posisi pasien kedalam posisi netral Setelah diaplikasikan strain counter strain, maka pasien akan diaplikasikan metode muscle energy technique. Pasien dalam posisi duduk, tangan pemeriksa memfiksasi bagian bahu yang terkena dan tangan satunya pada daerah telinga / mastoid. Kemudian kepala dan leher diposisikan ke arah kontralateral, fleksi dan rotasi, pasien diinstruksikan untuk mengangkat bahu pada area yang teridentifikasi, pasien melakukannya tanpa disertai rasa sakit, usaha yang dilakukan pasien 20% dari kekuatan yang ada dan upaya isometric ini dilakukan selama 8 detik. Selanjutnya dilanjutkan dengan stretch dengan arah kontralateral, fleksi, rotasi masing-masing dipertahankan selama 30 detik (Nayak, 2013). 2.7.3 Mekanisme Penurunan Nyeri Myofascial Pain Syndrome dengan intervensi INIT 32 Pada myofascial pain syndrome terdapat adanya taut band dalam serabut otot. Adanya taut band dapat terjadi penurunan kemampuan ekstensibilitas dan fleksibilitas yang dapat membuat otot tidak bisa berkontraksi dan relaksasi secara efisien yang dapat membuat penurunan kekuatan dan daya tahan tubuh. Di antara berbagai otot-otot daerah leher, upper trapezius adalah lebih rentan untuk mengembangkan titik pemicu karena overload terus menerus dan mikro-trauma sebagai memiliki fungsi anti-gravitasi minimal, yang menyebabkan myofascial pain syndrome. Integrated Neuromuscular Inhibitation Technique merupakan kombinasi antara ischemic compression, strain counter strain, dan muscle energy technique. Ischemic compression merupakan teknik terapi manual yang sering digunakan untuk menonaktifkan trigger points. Teknik ini menerapkan tekanan langsung yang berkelanjutan dengan kekuatan cukup selama durasi waktu 90 detik. Ischemic compression berfungsi untuk memperlambat pasokan darah dan meredakan ketegangan otot. Pengurangan nyeri selama pemberian ischemic compression dapat disebabkan oleh adanya stimulasi dari mechanoreceptors yang mempengaruhi rasa sakit. Setelah dilakukan penekanan maka akan terjadi peningkatan sirkulasi darah dan nyeri akan berkurang. Strain counter strain akan mencapai manfaatnya melalui spindle otot yang mampu memanjangkan jaringan. Pada saat posisi tubuh dalam posisi nyaman, maka jaringan akan mencapai posisi dimana rasa sakit akan menghilang dari titik yang teraba (Nayak, 2013). 33 MET adalah metode yang umum digunakan untuk menginhibisi otot sebelum dilakukan peregangan. Pendekatan ini menggunakan kontraksi isometrik pada otot yang terkena dengan memproduksi relaksasi pasca-isometrik melalui pengaruh badan golgi tendon (penghambatan autogenik). Hal ini juga dapat diterapkan untuk kelompok otot antagonis yang memproduksi inhibisi timbal balik dalam otot agonistic. Dengan kombinasi antara ischemic compression, strain counter strain dan muscle energy technique yang disebut dengan INIT secara efektif mampu mengobati myofascial pain syndrome dan masing-masing komponennya telah terbukti efektif untuk mengurangi rasa sakit dan kekakuan pada myofascial pain syndrome. INIT merupakan salah satu usaha untuk mengembalikan panjang dan fleksibilitas otot. Otot yang mengalami pemanjangan akan mempengaruhi sarcomer dan fascia dalam myofibril otot untuk memanjang. Pemanjangan sarcomer dan fascia akan mengurangi derajat overlapping antara thick and thin myofilamen dalam sarcomer sebuah taut band otot yang mengandung trigger point (Chaitow, 2003). Pengurangan overlapping antara dua myofilamen akan mempengaruhi pelebaran pembuluh kapiler otot sehingga sirkulasi darah akan lancar, mengurangi penumpukan sampah metabolisme, meningkatkan nutrisi dan oksigen pada sel otot dan mencegah adanya muscle fatique. INIT akan mengurangi nyeri dan mempengaruhi golgi tendon organ otot yang terletak di tendon berdekatan dengan serabut saraf. Apabila tegangaan meluas ke seluruh serabut saraf maka golgi tendon 34 organ akan melaju menimbulkan relaksasi serta fleksibilitas pada otot (Chaitow, 2003). 2.8 Myofascial Release Technique 2.8.1 Definisi Myofascial Release Technique merupakan salah satu metode soft tissue mobilization yang efektif untuk treatment pada struktur myofascial (otot, tendon, ligament dan jaringan ikat). MRT difokuskan pada jaringan lunak yaitu fascia dan otot, berperan untuk memberikan regangan atau elongasi pada struktur otot dan fascia dengan tujuan yaitu untuk mengembalikan kualitas cairan atau lubrikasi pada jaringan fascia, mobilitas jaringan fascia dan otot, dan fungsi sendi normal (Riggs and Grant, 2009). Myofascial release technique dapat digunakan untuk mengurangi nyeri muskulosceletal karena adanya teori yang dapat menjelaskan hal tersebut. Teori yang dimaksud yaitu gate control theory, interpersonal attention, parasympathetic respon pada saraf otonom, dan pelepasan serotonin (Werenski, 2011). Gate Control Theory menyatakan bahwa adanya rangsangan sensorik, seperti tekanan, perjalanan jalur sistem saraf akan bergerak bebih cepat pada sistem saraf daripada stimulasi nyeri. Stimulasi tekanan akan berpengaruh pada transmisi rasa nyeri yang menuju otak, sehingga terjadi “penutupan pintu gerbang” yang menuju pada reseptor rasa nyeri di otak (Werenski, 2011). Ketika pasien menerima suatu sentuhan atau pijatan seringkali mendapatkan efek yang menyenangkan sekaligus mampu untuk menurunkan persepsi nyeri. Hal ini berkaitan dengan adanya respon 35 parasimpatis yang dapat menurunkan pelepasan hormon stress, kecemasan, depresi dan rasa sakit (Paloni, 2009). Myofascial release technique memfokuskan pada kondisi-kondisi yang berkaitan dengan kebiasaan postural yang jelek, aktivitas spesifik atau kurangnya aktivitas, injury yang sebelumnya akibat dari mekanikal stress kronik. Kondisi tersebut dapat menghasilkan kontraktur otot dan adhesion diantara lapisan-lapisan fascia. Fascia membentuk struktur pasif pada jaringan tubuh, adanya adhesion menyebabkan serabut fascia saling terikat satu sama lain secara disfungsional (Riggs and Grant, 2009). 2.8.2 Manfaat Myofascial Release Technique Manfaat utama yang dapat diperoleh dari myofascial release yaitu untuk meningkatkan kebebasan gerak dan mengurangi rasa sakit akibat adanya pembatasan dari suatu jaringan, menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan, meningkatkan proprioception dan interoception, meningkatkan fungsi jangkauan gerak sendi dan otot, memulihkan keseimbangan dan postur tubuh yang benar (Duncan, 2014). 2.8.3 Efek Penurunan Nyeri Sindrom Myofascial Melalui Myofascial Release Technique Menurut Cantu and Grodin, 2001 efek-efek yang dapat ditimbulkan dari pemberian myofascial release technique yaitu: 1. Efek terhadap aliran darah dan temperatur Ketika otot diberikan myfascial release, maka akan terjadi peningkatan aliran darah secara signifikan dan bertahan selama 30 menit. Kemudian 36 setelah 30 menit akan terjadi penurunan aliran darah. Tekanan yang dihasilkan oleh myofascial release technique dapat membuka kapilerkapiler darah sehingga terjadi proses vasodilatasi pembuluh darah sehingga aliran darah meningkat. Reaksi kapiler berdilatasi oleh stimulus tersebut (myofascial release technique) akan diikuti oleh peningkatan temperatur cutaneous. 2. Efek terhadap metabolisme Pemberian myofascial release technique dapat meningkatkan volume darah dan aliran darah pada area tersebut dan membuang sisa-sisa metabolisme atau cairan yang berlebihan selama pemberian myofascial release technique sehingga terjadi penurunan nyeri 3. Efek terhadap aktivitas fibroblastik atau sinthesis collagen selama proses penyembuhan Myofascial release technique dapat menghasilkan mobilisasi pada jaringan lunak dimana gerakan yang terkontrol dapat mempengaruhi proses penyembuhan. Jaringan lunak tubuh dapat dibangkitkan melalui gaya internal dan gaya eksternal. Tanpa adanya stress pada jaringan tersebut maka kekuatan regangan akan menurun. Beberapa ahli telah mengobservasi efek gerakan terhadap aktivitas fibroblastic dalam proses penyembuhan jaringan konektif, dimana jaringan fibril membentuk hampir seluruh jaringan yang regenerasi. Adanya gaya eksternal dapat menyusun jaringan fibril yang terbentuk. 37 2.8.4 Aplikasi Myofascial Release Technique Dalam myofascial release technique terdapat beberapa teknik yaitu teknik general, skin rolling, direct technique, dan lifting atau rolling. Dalam penelitian ini hanya dijelaskan direct technique. Pada direct technique terapis menggunakan lengan bawah, kedua palmar tangan, atau suatu permukaan yang kasar. Perlu diingat bahwa penting melakukan stretch yang cepat pada fascia baik dengan menggunakan posisi tubuh untuk memanjangkan komponen fascia (meletakkan jaringan dalam posisi cukup stretch untuk memanjangkan otot tanpa adanya ketegangan yang dapat menyebabkan kesulitan penetrasi) atau dengan menggunakan anchor pada satu tangan dan tangan lain melakukan stretch secara terlokalisir (Riggs and Grant, 2009). Kemudian otot diposisikan sepanjang mungkin sehingga receptor stretch akan terstimulasi dan menyebabkan otot berkontraksi. Hal ini menguntungkan bagi terapis didalam memulai teknik pada akhir lingkup gerak dimana jaringan fascial ter-stretch. Ditambah lagi dengan adanya pembebasan hambatan yang terjadi pada akhir gerak stretch yang relaks dapat memberikan input neurologik yang bermakna terhadap receptor stretch sehingga membantu reprogram learning terhadap disfungsi pemendekan (Riggs and Grant, 2009). 2.8.5 Indikasi Dan Kontraindikasi Myofascial Release Technique Indikasi berupa kondisi dan cedera yang dapat merespon dengan baik myofascial release technique meliputi (Riggs and Grant, 2008): 38 1. Perlengketan dan jaringan parut dari sprain, strain, prosedur bedah, luka ringan, overuse, dan ketegangan postural kronis, 2. Fibromyalgia dan nyeri myofascial sindrom, 3. Myofasciitis, terutama plantar fascitis, 4. Tendinosis atau tenosinovitis (pada daerah yang radang atau otot yang tegang akibat strain pada tendon), 5. Low back pain 6. Nyeri leher, 7. Osteoarthritis. Berikut ini berisi daftar kontraindikasi atau membutuhkan perawatan yang lebih dan pengalaman dalam pengobatan. Beberapa kontraindikasi hanya untuk daerah lokal dari tubuh, yaitu (Riggs and Grant, 2008): 1. Peradangan akut 2. Pasien yang menggunakan obat antikoagulan. Tekanan dan kedalaman harus dikonservatif dan pasien harus dipantau memar. Myofascial release technique dapat disesuaikan sesuai kebutuhan pasien 3. Selulitis adalah infeksi bakteri yang berpotensi serius pada kulit. Selulitis muncul sebagai bengkak merah pada kulit yang terasa panas dan sakit, dan bisa menyebar dengan cepat. Jika tidak diobati, infeksi bakteri menyebar dengan cepat dan dapat berubah menjadi kondisi yang mengancam jiwa (misalnya, methicillin-resistant Staphylococcus 39 aureus [MRSA]). Ini akan menjadi kontraindikasi umum sampai kondisi secara medis terkendali 4. Trombosis vena dalam (membutuhkan persetujuan pengobatan) 5. Fraktur tulang (lokal) 6. Gejala serangan jantung 7. Hematoma 8. Riwayat aneurisma (persetujuan pengobatan) 9. Riwayat diseksi arteri (persetujuan pengobatan), 10. Hipermobilitas sendi (lokal), 11. Keganasan (lokal dan persetujuan pengobatan), 12. Osteomielitis (infeksi), 13. Osteoporosis, terutama di tulang rusuk dan tulang belakang (peringatan), 14. Rheumatoid arthritis (peringatan, persetujuan pengobatan), 15. Edema yang parah (peringatan, persetujuan pengobatan). Mengobati lymphedema pada umumnya memerlukan pelatihan substansial dalam teknik drainase limfatik dan pengetahuan perban tekanan. MRT hanya akan sesuai di daerah yang tidak terpengaruh dan ketika penyebab edema diketahui dan didiagnosis (misalnya, sebagai efek samping pengobatan operasi atau radiasi), 16. Sensitivitas kulit (peringatan), 17. Akut strain atau keseleo (lokal), 40 18. Indikasi stroke (pusing, sakit kepala yang tajam dijelaskan, distorsi visual), 19. Varises (lokal). Varises adalah pembuluh darah yang membesar dan memutar. Istilah umumnya mengacu pada pembuluh darah di kaki, meskipun varises terjadi di tempat lain. Untuk menghindari kerusakan, menghindari pekerjaan langsung melalui varises. Namun, banyak orang dengan varises tidak perlu kehilangan pekerjaan sangat dibutuhkan untuk mendalam untuk pembuluh darah otot. Tissue bawah vena tersebut biasanya dapat diakses oleh datang dari samping. 2.9 Infrared 2.9.1 Definisi Infrared merupakan pancaran gelombang elektromagnetik dengan panjang gelombang 7.700 sampai 4 juta Ao. Infrared dapat digunakan untuk mengatasi keluhan yang hanya sampai di bagian kulit. Sebagian besar radiasi infrared yang datang pada kulit akan langsung diserap oleh lapisan kulit bagian luar. Bagian dalam kulit akan mengalami pemanasan dari aliran darah sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah. Apabila sinar infrared diabsorbsi oleh kulit, maka akan terjadi peningkatan suhu secara lokal. 2.9.2 Klasifikasi Infrared Berdasarkan panjang gelombangnya, inframerah dapat dibagi menjadi dua yaitu: 41 1. Gelombang panjang (non luminous) merupakan panjang gelombang yang dihantarkan 12.000 Ao sampai 150.000 Ao dengan penetrasi sekitar 0,5 mm. Ada juga yang menyebutkan antara 14.000 hingga 120.000 A o dengan penetrasi sekitar 2mm. Daya penetrasi dari gelombang ini hanya sampai pada lapisan superficial epidermis. 2. Gelombang pendek (luminous) merupakan panjang gelombang yangdihantarkan antara 7.700 sampai 12.000 Ao. Gelombang ini mempunyai daya penetrasi yang lebih dalam dari pada gelombang panjang. Daya penetrasi dari gelombang ini mencapai jaringan subkutan dan dapat berpengaruh langsung terhadap pembuluh darah kapiler, pembuluh limfe, ujung-ujung saraf, dan jaringan lain yang ada di bawah kulit. 2.9.3 Efek Fisiologis dan Terapuetik Inframerah Efek fisiologis 1) Meningkatkan proses metabolisme. Suatu reaksi kimia akan dapat dipercepat dengan adanya panas atau kenaikan temperatur akibat pemanasan. Proses metabolisme yang terjadi pada lapisan superficial kulit akan mengalami peningkatan sehingga pemberian oksigen dan nutrisi ke jaringan menyebabkan pengeluaran sampah-sampah sisa hasil pembakaran dalam tubuh dan adanya perbaikan pada jaringan. 2) Vasodilatasi pembuluh darah 42 Efek thermal yang dihasilkan oleh sinar infrared dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah kapiler dan artiole. Kulit akan mengadakan reaksi dan berwarna kemrah-merahan yang disebut erythema. Untuk ini mekanisme vasomotor mengadakan reaksi dengan jalan pelebaran pembuluh darah sehingga jumlah panas daratakan keseluruh jaringan lewat sirkulasi darah. Dengan sirkulasi darah yang miningkat, maka pemberian nutrisi dan oksigen kepada jaringan akan meningkat, sehingga pemeliharaan jaringan menjadi lebih baik dan perlawanan terhadap radang juga baik. 3) Pigmentasi Penyinaran yang berulang-ulang dengan sinar infrared dapat menimbulkan pigmentasi pada tempat yang disinari. Hal tersebut disebabkan oleh karena adanya perubahan sel-sel darah merah di tempat tersebut. 4) Pengaruh terhadap jaringan otot. Kenaikan temperatur membantu terjadi relaksasi otot, pemanasan juga akan mengaktifkan terjadinya pembuangan sisa-sisa metabolisme. 5) Distruksi Jaringan. Penyinaran yang diberikan dapat menimbulkan kenaikan temperatur jaringan yang cukup tinggi dan berlangsung dalam waktu yang lama sehingga diluar toleransi jaringan penderita. 6) Meningkatkan temperatur tubuh. 43 Penyinaran infrared akan memanasi jaringan superfisial, kemudian diteruskan keseluruh tubuh, maka disamping terjadi pemerataan panas juga akan terjadi penurunan tekanan darah sistemik oleh karena adanya panas yang akan merangsang pusat pengatur panas tubuh untuk meratakan panas yang terjadi dengan jalan dilatasi bersifat general. 7) Mengaktifkan kerja kelenjar keringat. Pengaruh rangsangan panas yang dibawa ujung-ujung saraf sensoris dapat mengaktifkan kerja kelenjar keringat. Efek terapeutik 1) Mengurangi rasa sakit Mild heating menimbilkan efek sedatif pada superficial sensoris nerve ending, stronger heating dapat counter iritation yang akan menimbulkan pengurangan nyeri. Deangan sirkulasi darah yang lancar maka zat ”P” yang merupakan salah satu penyebab nyeri akan ikut terbuang. 2) Relaksasi otot Relaksasi otot mudah dicapai bila jaringan otot dalam keadaan hangat dan rasa sakit tidak ada. 3) Meningkatkan suplai darah 44 Adanya kenaikan temperatur akan menimbulkan vasodilatasi, yang akan menyebabkan terjadinya peningkatan darah kejaringan setempat. 4) Menghilangkan sisa-sisa hasil metabolisme Penyinaran di daerah yang luas akan mengaktifkan glandula sudoifera diseluruh badan, sehingga dengan demikian akan meningkatkan pembuangan sisa-sisa hasil metabolisme melalui keringat 2.9.4 Teknik pelaksanaan Posisi pasien diatur senyaman mungkin sesuai dengan arah yang akan disinari baik duduk atau tengkurap. Daerah yang disinari harus bebas dari logam dan pakaian. Lakukan tes sensibilitas terhadap panas atau dingin. Daerah yang akan disinari dalam keadaan kering dan pastikan memberitahu pasien tentang rasa panas yang akan dirasakan. Posisikan lampu infrared tegak lurus dengan daerah yang diterapi. Durasi waktu diberikan pada terapi adalah 10 menit dengan jarak 35 cm. Selama proses terapi berlangsung harus dikontrol rasa hangat yang diterima oleh pasien. 2.9.5 Mekanisme penurunan nyeri pada myofascial pain syndrome dengan modalitas infrared Pemanasan pada jaringan superfisial dapat menghasilkan relaksasi dari otot skelet. Reaksi ini merupakan refleks alamiah yang dicetuskan oleh efek reseptor suhu pada kulit. Stimulasi pada superfisialis dapat mengurangi aktivitas serabut gamma 45 sehingga kepekaan otot spindel akan berkurang. Selain itu dengan pemberian pemanasan dengan modalitas infrared dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga menyebabkan aliran darah pada daerah nyeri yang diakibatkan oleh myofascial pain syndrome menjadi lancar. Pemberian infrared menyebabkan kulit akan tampak kemerah-merahan, hal ini disebabkan karena adanya dilatasi pada pembuluh darah kapiler dan arteriole. Keadaan ini merupakan reaksi tubuh terhadap adanya energi panas yang diterima oleh ujung-ujung syaraf sensoris yang kemudian dipengaruhi mekanisme pengatur panas (heat regulating mechanism). Dengan sirkulasi darah yang meningkat ini, maka pemberian nutrisi dan oksigen meningkat, sehingga kadar sel darah merah dan anti bodies dalam jaringan akan meningkat. Dengan demikian jaringan akan menjadi lebih baik dan perlawanan terhadap agen penyebab proses radang juga semakin baik. Dengan lancarnya sirkulasi darah maka zat ”P” juga akan ikut terbuang, sehingga rasa nyeri berkurang dan terjadi relaksasi otot (Prentice, 2002). 2.10 Pengukuran Nyeri Terdapat 4 alat Unidimentional Pain Rating Scale (UPRS) utama yang digunakan dalam praktek klinis untuk menilai nyeri. Terdiri dari Numeric Rating Scale (NRS), Verbal Rating Scale (VRS), Faces Pain Scale (FPS) dan Visual Analogue Scale (VAS). Visual Analogue Scale (VAS) merupakan alat pengukuran intensitas nyeri yang dianggap paling efisien yang telah digunakan dalam penelitian dan pengaturan klinis (Hawker et al, 2011). 46 Pada umunya VAS disajikan dalam bentuk garis horisontal yang cara penyajiannya diberikan angka 0-10 yang masing-masing nomor dapat menunjukkan intensitas nyeri yang dirasakan oleh pasien. Setiap ujungnya ditandai dengan level intensitas nyeri (ujung kiri diberi tanda “tidak nyeri” dan ujung kanan diberi tanda “nyeri tidak tertahankan”). Pasien diminta untuk menandai disepanjang garis tersebut sesuai dengan level intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Kemudian jaraknya diukur dari batas kiri sampai pada tanda yang diberi oleh pasien (ukuran mm) dan skorenya menunjukkan level intensitas nyeri. Kemudian score tersebut dicatat untuk melihat kemajuan pengobatan/terapi selanjutnya (Witri, 2013). Dalam penggunaan VAS terdapat beberapa keuntungan dan kerugian yang dapat diperoleh. Keuntungan penggunaan VAS antara lain VAS adalah metode pengukuran intensitas nyeripaling sensitif, murah dan mudah dibuat. VAS mempunyai korelasi yang baik dengan skala-skala pengukuran yang lain dan dapat diaplikasikan pada semua pasien bahkan dapat digunakan pada anak-anak di atas 5 tahun, serta VAS dapat digunakan untuk mengukur semua jenis nyeri. Namun kekurangan dari skala ini adalah VAS memerlukan pengukuran yang lebih teliti dan sangat bergantung pada pemahaman pasien terhadap alat ukur tersebut. Vas sangat bergantung pada pemahaman pasien terhadap alat ukur tersebut. Sehingga edukasi pengukur tentang VAS terhadap pasien sangat diperlukan (Hawker et al, 2011). 47 Gambar 2.6 Visual Analogue Scale (VAS).