BAB II KAJIAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Myofascial Pain Syndrome
2.1.1 Definisi
Nyeri merupakan suatu mekanisme perlindungan yang terjadi di dalam
tubuh. Tujuannya agar seseorang menjadi lebih peka terhadap rangsangan
sehingga dapat mencegah kerusakan yang lebih lanjut. Menurut International
Association for study of pain, definisi nyeri adalah rasa yang tidak menyenangkan
dan pengalaman emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual
atau potensial atau digunakan untuk menggambarkan kerusakan jaringan (Prajoto,
2006).
Myofascial pain syndrome didefinisikan sebagai nyeri muskoloskeletal
yang lokasi nyerinya terdapat di otot. Myofascial pain syndrome diklasifikasikan
sebagai nyeri yang bisa terjadi secara akut ataupun kronis, regional ataupun
umum. Gangguan ini bisa menjadi gangguan primer yang menyebabkan nyeri
lokal atau regional, atau gangguan sekunder yang terjadi akibat beberapa kondisi
lainnya (Gerwin, 2001).
Pada bagian yang mengalami nyeri ditemukan trigger point. Trigger points
adalah benjolan/nodul yang hipersensitif yang ditemukan pada sebuah taut band.
Terdapat dua jenis trigger point, yaitu: aktif dan pasif. Trigger points aktif
berhubungan dengan keluhan nyeri spontan yang mungkin terjadi saat istirahat
atau selama bergerak dan menyebabkan nyeri rujukan sama seperti yang dirasakan
7
8
saat dilakukan palpasi pada trigger point. Sedangkan trigger points pasif tidak
menyebabkan nyeri spontan, namun ditimbulkan oleh tekanan manual pada area
trigger point. Trigger points pasif dapat mengubah pola motor rekruitmen,
menyebabkan keterbatasan gerak, kelemahan otot dan dapat menjadi aktif jika
stimulasi seperti postur yang salah, penggunaan otot yang berlebihan atau
ketidakseimbangan kerja otot (Maruli, 2013).
Taut band merupakan satu bendel bagian dari muscle belly yang mengalami
pengerasan, kaku dan ketika diraba akan terasa berbeda dengan bagian otot yang
lain. Taut band merupakan kontraktur yang terlokalisir pada muscle belly, tanpa
aktivasi dari motor end plate dan kekakuan yang terjadi tidak menyeluruh pada
sebuah otot. Adanya taut band dalam otot, akan mengakibatkan terjadinya
penurunan ekstensibilitas dan fleksibilitas pada otot tersebut. Hal ini diakibatkan
dari adanya perlengketan pada struktur otot yang terjadi pada fascia dan
myofilament dalam sarcomer tautband. Perlengketan ini menyebabkan adanya
penurunan sirkulasi darah sehingga asupan nutrisi dan oksigen pada area taut
band menjadi berkurang. Hal ini akan menyebabkan terjadinya hiperkontraksi sel
otot yang akan mempengaruhi peningkatan metabolisme bersifat yang lokal, serta
teraktivasinya saraf simpatik yang berakibat vasokonstriksi pada pembuluh darah
kapiler (Gerwin, et al., 2004).
9
Gambar 2.1 Trigger Point
(Sumber: Gerwin, 2010)
Myofascial pain syndrome sering terjadi pada otot upper trapezius. Nyeri
yang terjadi pada otot upper trapezius merupakan nyeri lokal atau nyeri menjalar.
Nyeri ini disebabkan karena kerja otot yang berlebihan. Aktivitas sehari-hari yang
menggunakan otot trapezius dalam waktu lama menyebabkan otot menjadi
tegang, spasme, tightness dan stiffness. Otot yang tegang dalam waktu lama akan
membuat mikrosirkulasi menurun, sehingga terjadi iskemik dalam jaringan. Pada
serabut otot akan terjadi ikatan tali yang abnormal membentuk taut band dan
mencetuskan adanya nyeri, karena merangsang hipersensitivitas (Makmuriyah dan
Sugijanto, 2013).
10
Gambar 2.2 Area Penjalaran trigger point pada upper trapezius. (A) Lokasi
trigger point upper trpaezius dilihat dari samping, (B) Lokasi trigger
point upper trapezius pada sisi kiri dilihat dari belakang
(Sumber: Muscolino, 2009)
2.1.2 Faktor-Faktor Penyebab
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, nyeri pada myofascial pain
syndrome disebabkan oleh adanya trigger point yang terdapat pada otot upper
trapezius. Berikut adalah beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
myofascial pain syndrome, yaitu (Anggraeni, 2013):
a) Trauma pada otot
Kerja otot yang berlebihan saat bekerja, dapat menyebabkan
terjadinya trauma makro dan mikro pada otot. Trauma makro disebabkan
karena injury langsung pada jaringan otot. Trauma makro yang terjadi
menyebabkan
terjadinya
proses
inflamasi
yang
berujung
pada
pembentukan jaringan-jaringan kolagen baru. Jaringan kolagen ini
cenderung berbentuk tidak beraturan, dan menjadi pemicu munculnya
myofascial trigger point pada otot. Sedangkan trauma mikro disebabkan
karena adanya cedera yang berulang-ulang pada otot (repetitive injury)
akibat kerja yang terus menerus. Beban kerja yang diterima terus menerus
11
ini dapat menstimulasi terbentuknya jaringan kolagen baru dan berujung
pada terbentuknya jaringan fibrous. Hal ini lah yang memicu semakin
berkembangnya trigger point pada otot.
b) Postur tubuh
Postur tubuh yang buruk dalam aktivitas sehari-hari dapat
menyebabkan terjadinya myofascial pain syndrome. Aktivitas manusia
saat ini yang cenderung statis dengan postur yang buruk, seperti: forward
head posture dan lateral head posture dapat menyebabkan beban yang
berlebihan pada otot upper trapezius. Hal ini jika berlangsung lama akan
menimbulkan terbentuknya trigger point pada otot.
c) Ergonomi saat bekerja
Ergonomi kerja yang buruk saat bekerja, seperti: bekerja dalam
posisi stastis dalam waktu yang lama dan mengangkat beban yang
melebihi kemampuan otot, dapat menyebabkan kompresi pada otot. Hal
ini jika dilakukan secara terus-menerus akan memicu terjadinya
myofascial pain syndrome.
d) Usia
Faktor usia juga turut mempengaruhi myofascial pain syndrome.
Kasus ini lebih sering terjadi pada usia pertengahan (usia dewasa). Hal ini
kemungkinan disebabkan karena kemampuan otot untuk menahan beban
dan mengatasi trauma akibat beban tersebut mulai menurun. Selain itu,
semakin tua usia seseorang akan menyebabkan degenerasi pada ototnya.
Hal ini ditandai dengan penurunan jumlah serabut otot, atrofi serabut otot,
12
dan berkurangnya masa otot. Dampaknya yaitu pada penurunan kekuatan
dan fleksibilitas otot.
2.1.3 Patofisiologi Myofascial Pain Syndrome Upper Trapezius
Otot upper trapezius adalah otot tipe I atau tonik dan juga merupakan otot
postural yang berfungsi melakukan gerakan elevasi. Kelainan yang terjadi pada
tipe otot ini cenderung tegang dan memendek. Itu sebabnya jika otot upper
trapezius berkontraksi dalam jangka waktu lama, maka jaringan ototnya menjadi
tegang dan akhirnya timbul nyeri. Kerja otot upper trapezius akan bertambah berat
dengan adanya postur yang buruk, mikro dan makro trauma (Makmuriyah dan
Sugijanto, 2013).
Mikro trauma pada otot disebabkan karena overstretching, overshortening,
dan overloading. Ketika otot mengalami overstretching, overshortening, dan
overloading, maka bagian dari serabut otot akan rusak dan diikuti oleh ruptur dari
membran sel otot (sarcolemma). Mikro trauma dihasilkan oleh pergerakan yang
berulang (repetitive movement), gerakan dengan kecepatan tinggi, dan posisi
tubuh yang buruk (Kostopoulos dan Rizopoulos, 2001).
Mikro trauma akan menyebabkan kerusakan pada sarcoplasmic reticulum,
yang menghasilkan pelepasan dari ion Ca2+. Kehadiran ion Ca2+ akan
menyebabkan interaksi myofilament secara konstan dan mendukung terjadinya
kontraksi otot tanpa adanya potensial aksi secara volunter. Jika kerusakan ini
dapat diperbaiki, abnormalitas ini hanya bersifat sementara. Mekanisme
penyembuhan dari tubuh dengan sirkulasi darah yang cukup, akan mampu
mengeluarkan Ca2+ dari area yang trauma dan otot akan kembali ke dalam posisi
13
istirahat (relaksasi). Selain itu, kemungkinan juga terjadi disfungsi lokal pada
endplate yang akan menghasilkan pelepasan ACh secara terus-menerus dan
banyak pada celah sinap. Hal ini akan menyebabkan terjadinya depolarisasi pada
membran postjunctional. Kehadiran dari AChE dalam celah sinap tidak cukup
untuk memecah pelepasan ACh dalam kuantitas yang sangat besar (Kostopoulos
dan Rizopoulos, 2001).
Iritasi dan gangguan yang terjadi pada membran pre sinap akan membuka
saluran voltage-gated Ca2+ lebih sering daripada biasanya. Di waktu yang sama,
jumlah Ca2+ pada area celah sinap juga meningkat akibat kerusakan yang telah
terjadi pada sarcoplasmic reticulum. Ion Ca2+ ini akan memasuki membran pre
sinap, yang akan memfasilitasi synaptic vesicle untuk berikatan pada membran
pre sinap dan menyebarkan ACh melewati celah sinaps. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya aktivitas kontraktil secara terus menerus dan maksimal
pada sarcomer. Kontraksi yang terjadi secara terus menerus akan meningkatkan
kebutuhan metabolisme, saat yang sama terjadi vasokontriksi lokal dari pembuluh
darah pada area yang sama. Kontraksi 30% sampai 50% dari maksimal yang
terjadi dapat menyebabkan kegagalan pada sirkulasi. Padahal pembuluh darah
merupakan sumber dari oksigen dan sumber energi untuk serabut otot. Akibat hal
tersebut, area trauma menjadi kaku, iskemik, dan meningkatnya zat sisa
metabolisme pada area tersebut (Kostopoulos dan Rizopoulos, 2001).
Dalam keadaan normal, keadaan tersebut dapat kembali lagi jika
sarcoplasmic reticulum mampu menyerap kembali kelebihan Ca2+ pada jaringan
otot yang mengalami trauma. Akan tetapi, kerusakan sirkulasi menyebabkan
14
berkurangnya sumber energi, sehingga ATP yang masih ada tidak cukup untuk
menggerakkan pompa Ca2+ yang akan mendorong Ca2+ kembali ke dalam
sarcoplasmic reticulum. Kelebihan Ca2+ yang terdapat pada otot menyebabkan
vicious cycle. Hal ini akan menyebabkan perubahan secara histologis dan
terbentuknya trigger point atau aktivasi kembali dari trigger point sebelumnya
yang tersembunyi (Kostopoulos dan Rizopoulos, 2001).
Hipoksia lokal yang berat dan krisis energi pada jaringan akan
menyebabkan pelepasan substansi yang dapat menstimulasi nociceptors pada otot,
dan menyebabkan terjadinya nyeri. Pelepasan bradikinin (pecahan dari plasma
protein), prostaglandins (sintesis dari sel endothelial), dan histamin (dilepaskan
dari sel mast) akan menyebabkan efek yang sensitif (Kostopoulos dan Rizopoulos,
2001).
Lokal tenderness dan nociception, pola nyeri menjalar dapat terbentuk
pada tubuh bagian distal. Selanjutnya, pemendekan yang terjadi pada sarcomere,
akan menyebabkan berkurangnya panjang dari otot. Patofisiologi pemendekan
dari otot, berhubungan dengan muscle guarding akibat adanya nyeri, akan
menyebabkan berkurangnya fleksibilitas otot dan akan berdampak pada
pergerakan sendi (Kostopoulos dan Rizopoulos, 2001).
15
Gambar 2.3 Patofisiologi Myofascial Pain Syndrome
(Sumber: Kostopoulos dan Rizopoulos, 2001)
2.1.4 Tanda dan Gejala Myofascial Pain Syndrome pada Otot Upper Trapezius
Tanda dan gejala yang ditemukan pada myofascial pain syndrome otot
upper trapezius yaitu (Hardjono dan Azizah, 2012):
1. Nyeri yang terlokalisir pada otot upper trapezius.
2. Terdapat taut band pada otot dan fascia serta jaringan ikat longgar
(connective tissue).
3. Reffered pain umumnya dengan pola yang dapat di prediksi.
4. Adanya titik tenderness pada suatu tempat sepanjang taut band yang
disebut sebagai trigger point/jump sign.
16
5. Tightness pada otot yang terkena sehingga menyebabkan keterbatasan
lingkup gerak sendi.
6. Spasme otot akibat dari adanya rasa nyeri yang timbul dan juga akibat
dari penumpukan zat-zat iritan/zat metabolit.
7. Perubahan otonomik seperti vasokonstriksi pembuluh darah dan
keringat yang berlebihan di sepanjang area reffered pain.
2.2 Kajian Anatomi dan Fisiologis
2.2.1 Anatomi Otot Upper Trapezius
Otot trapezius adalah otot terbesar dan paling superfisial pada daerah
punggung atas. Otot trapezius terdapat di bagian leher, tepatnya di posterolateral
occiput, memanjang ke arah lateral melewati scapula, dan overlapping pada
bagian superior dari otot latissimus dorsi pada tulang belakang. Otot ini
dipersarafi oleh akar saraf C5-T1. Menurut arah serabutnya, otot trapezius dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu : upper fiber, middle fiber, dan lower fiber (Cael,
2010).
Otot upper trapezius, memiliki origo pada protuberentia occipital eksternal
dan bagian medial dari ligamentum nuchae. Sedangkan insertionya terletak pada
batas posterior dari 1/3 bagian luar dari clavicula. Fungsi dari otot upper trapezius
adalah untuk elevasi scapula dan menggerakkan leher (ekstensi, lateral fleksi,
kontralateral rotasi) (Cael, 2010).
17
Gambar 2.4 Otot Upper Trapezius
(Sumber: McCallum, 2012)
Ketika semua serabut otot trapezius bekerja bersama, scapula akan
terfiksasi pada sangkar thoraks, memberikan bantuan yang kuat selama aktivitas
weight-bearing dan mendorong. Ketika ekstremitas atas tidak terfiksasi, serabut
pada trapezius akan bekerja dengan otot yang lain sesuai fungsinya. Meskipun
serabut otot trapezius memiliki kemampuan untuk bekerja bersama sebagai satu
kesatuan, serabut bawah (lower fiber) sering mengalami kelemahan dan jarang
digunakan. Sedangkan serabut atas (upper fiber) sering mengalami ketegangan
akibat sering digunakan saat bekerja (Cael, 2010).
2.2.2 Fisiologis Otot Rangka
Otot merupakan jaringan yang mampu secara aktif mengembangkan
ketegangan. Karakteristik ini memungkinkan otot skeletal dapat melakukan fungsi
penting dalam mempertahankan postur tubuh tegak, menggerakkan anggota gerak
tubuh, dan meredam terjadinya shock. Ada empat sifat jaringan otot, yaitu:
ekstensibilitas,
elastisitas,
irritabilitas,
dan
kemampuan
ketegangan (tension) (Sudaryanto dan Anshar, 2011).
mengembangkan
18
Pada tubuh manusia terdapat sekitar 434 otot yang membentuk 40% - 45%
dari berat tubuh sebagian besar orang dewasa. Sel otot tersusun oleh banyak
myofibril yang terbuat dari molekul protein yang panjang (myofilament), terdapat
dua jenis myofilament yaitu 1500 myofilament tebal (miosin) dan 300 myofilament
tipis (aktin) yang mana akan membentuk sebuah pola. Miosin dan aktin
membentuk sub unit yang saling menyambung dalam myofibril yang disebut
sebagai sarcomer. Dalam mikroskopis, daerah pinggir sarcomer lebih terang
dengan tengah yang berwarna gelap. Daerah terang disebut I-band karena bersifat
isotropik terhadap cahaya yang dipolarisasikan dan mengandung filamen aktin.
Sedangkan daerah yang gelap disebut A-band karena bersifat anisotropik terhadap
cahaya yang dipolarisasikan dan mengandung filamen myosin. Pada pusat A-band
terdapat H zone yang berisi filamen miosin. Selain itu terdapat Z-line yang
memisahkan antar sarcomer (Guyton dan Hall, 2008).
19
Gambar 2.5 Struktur Otot Skeletal
(Sumber: Guyton dan Hall, 2008)
Sel otot diselubungi oleh sebuah membran yang disebut sarcolemma.
Sarcolemma mengandung potensial membran yang dapat menghantarkan impuls
ke otot, sehingga sel otot dapat berkontraksi. Di dalam sarcolemma terdapat
lubang yang disebut transverse tubulus, dan berhubungan dengan sarcoplasmic
reticulum. Sarcoplasmic reticulum berfungsi sebagai tempat penyimpanan ion
kalsium. Diantara sarcoplasmic reticulum dengan cytoplasma sel otot yang
disebut sarcoplasma. Pada sarcoplasma terjadi pemompaan ion kalsium. Hal ini
akan terjadi jika terdapat impuls saraf pada sarcoplasmic reticulum yang dapat
membuka
membran,
sehingga
ion
kalsium
menuju
sarcoplasma
mempengaruhi myofibril untuk berkontraksi (Anggraeni, 2013).
dan
20
Selama terjadi kontraksi pada otot, filamen aktin yang tipis dari salah satu
ujung sarkomer akan slide satu sama lain. Dalam mikroskopik terlihat, Z-line
bergerak ke arah A-bands untuk mempertahankan ukuran awalnya, sementara Ibands menjadi sempit dan H-zone menjadi hilang. Proyeksi dari filamen miosin
disebut dengan cross-bridge yang membentuk hubungan fisik dengan filamen
aktin selama kontraksi otot (Sudaryanto dan Anshar, 2011).
Pada saat relaksasi otot, tidak ada impuls saraf yang melalui end plates,
hal ini akan mengakibatkan tidak adanya ion kalsium yang masuk ke dalam
cytoplasma sel karena pintu untuk kalsium masuk menjadi tertutup, kalsium akan
kembali mengalir masuk dalam sarcoplasmic reticulum, aliran ini akan
menjadikan posisi troponin kembali normal sehingga posisi tropomiosin kembali
normal dan memutuskan hubungan antara kepala miosin dengan aktin. Ketika
kepala miosin tak lagi berhubungan dengan aktin maka tak ada pergeseran
molekul yang terjadi dan otot menjadi relaks (Maruli, 2013).
Pada kondisi lain, kontraksi pada otot yang berlangsung dalam waktu lama
mengakibatkan keadaaan yang dikenal sebagai kelelahan otot. Hal ini disebabkan
karena menurunnya jumlah ATP, sehingga tidak adanya ketersediaan energi untuk
menggeser aktin dan miosin. Kontraksi yang terjadi semakin lama akan semakin
lemah, walaupun saraf masih bekerja dengan baik dan potensial aksi masih
menyebar pada serabu-serabut otot (Guyton dan Hall, 2008).
Otot skeletal memiliki dua tipe kontraksi pada otot yaitu: kontraksi
isometrik dan isotonik. Kontraksi otot dikatakan isometrik apabaila tidak terjadi
pemendekan otot saat berkontraksi. Sedangkan, kontraksi dikatakakn isotonik jika
21
terjadi pemendekan otot saat kontraksi. Terdapat perbedaan dasar antara kontraksi
isometrik dan isotonik. Pertama, kontraksi isometrik tidak memerlukan sliding
antar myofibril. Kedua, pada kontraksi isotonik beban digerakkan dan
memungkinkan kontraksinya terlihat dari luar (Guyton dan Hall, 2008).
2.2.3 Anatomi Fascia
Kata fascia diambil dari bahasa latin yang berarti “pita” atau “perban”,
fasia merupakan jaringan paling luas yang terdapat didalam tubuh. Fascia
terdapat diseluruh tubuh dan merupakan infrastruktur tubuh. Fascia tidak hanya
memberikan bentuk pada tubuh luar maupun di dalam, tetapi merupakan perantara
dari semua sistem yang ada pada tubuh, seperti pada sistem sirkulasi, sistem saraf,
dan sistem limfatik (Clay dan Pounds, 2008).
Fascia merupakan membran tipis yang bebas (superficial facia) atau
jaringan konektif yang tebal (deep fascia) dan menutupi struktur tubuh,
melindunginya serta mengikatnya dalam kesatuan struktural. Terdapat perbedaan
struktur fascia yang mengelilingi tulang, otot, dan sendi. Fascia juga menyebar
pada kulit, lapisan dari otot, ruang tubuh, dan cavities (Cael, 2010).
Fascia memiliki tiga lapisan, yaitu: superficial fascia, deep fascia, dan
subserous fascia. Superficial fascia terletak langsung di bawah lapisan dermis dari
kulit. Dermis terhubung dengan lapisan subcutaneous oleh serabut yang
memanjang kedalam fascia superfisialis. Kemudian, fascia superficial akan
melekat pada jaringan dibawahnya dan beberapa organ tubuh. Pada fascia
superficialis, terdapat tempat penyimpanan lemak dan air, dan membentuk jalan
22
terusan untuk saraf dan pembuluh darah. Fascia yang terdapat di sini terbuat dari
loose conective tissue (Cael, 2010).
Deep fascia dibentuk dari lapisan rumit yang mengelilingi otot dan
struktur internal. Lapisan ini berfungsi untuk membantu pergerakan otot,
menyediakan jalan terusan untuk saraf dan pembuluh darah, menyediakan tempat
tambahan untuk otot, dan sebagai lapisan bantalan otot. Lapisan deep fascia
terbuat dari dense connective tissue. Lapisan ketiga yaitu subserous fascia.
Lapisan ini memisahkan deep fascia dari membran yang membatasi thoracic dan
abdominal cavities pada tubuh. Loose conective tissue pada lapisan ini
memberikan fleksibilitas dan pergerakan pada organ-organ internal. Sama seperti
deep fascia, subserous fascia terbuat dari dense connective tissue (Cael, 2010).
Gambar 2.6 Lapisan dari fascia. (A) Sueprficial fascia, (B) Deep fascia, (C)
Subserous fascia
(Sumber: Cael, 2010)
Fascia terdiri diri dua jenis serat yaitu serat kolagen dan serat elastin.
Serat kolagen merupakan serat panjang, lurus dan tidak bercabang yang
23
merupakan serat paling banyak terdapat pada fascia. Kolagen dibentuk dari
protein yang berikatan erat seperti tali dan diikat oleh ikatan hidrogen. Kolagen
sangat kuat dan bisa menahan banyak beban. Sedangkan serat elastin merupakan
serat bercabang, bergelombang dan mengandung protein elastin. Karakteristik
khusus dari serat elastin adalah bahwa serat elastin dapat meregang dan kemudian
kembali lagi ke ukuran aslinya (Premkumar, 2004).
Pada otot, berdasarkan letaknya, fascia dibagi menjadi 3 yaitu epimysium,
perymisium dan endomysium. Epimysium merupakan jaringan myofascial terluas
yang melapisi seluruh otot dan mengikat seluruh fasikel. Perimysium merupakan
jaringan fascia yang membungkus sekelompok serabut otot ke dalam satu fasikel.
Endomysium merupakan jaringan fascia terdalam yang memisahkan antara seratserat otot. Ketiga lapisan ini merupakan bagian dari deep fascia yang memisahkan
antara otot dengan otot yang lain (Premkumar, 2004).
Gambar 2.7 Struktur makroskopik otot skeletal
(Sumber: Premkumar, 2004)
24
Di dalam jaringan fascia pada otot (myofascial) terdapat suatu bahan yang
disebut substansi dasar (ground substance). Substansi dasar ini memiliki fungsi
sebagai alat trasnportasi zat nutrisi dari tempat makanan dipecah menuju ke
jaringan yang memerlukan zat nutrisi tersebut. Selain itu, substansi dasar ini
berfungsi untuk mengangkut zat-zat metabolisme dan merubah konsistensi gelatin
bebas ke gel foam (busa gel) sehingga apabila terkena trauma baik biokimia
maupun mekanis maka akan mengeras dan kehilangan elasisitas. Akibatnya
myofascial akan mengalami ketegangan untuk mempertahankan jarak antar
serabut jaringan ikat dan menjaga jaringan agar tetap fleksibel (Hardjono dan
Azizah, 2012).
2.3 Muscle Energy Technique
2.3.1 Definisi
Muscle energy technique merupakan teknik osteopatik yang ditujukan
untuk memanipulasi jaringan lunak dengan gerakan langsung serta kontrol gerak
yang dilakukan oleh pasien sendiri pada saat kontraksi isometrik. Tujuannya
adalah untuk meningkatkan fungsi muskuloskeletal dan mengurangi nyeri. Prinsip
dari muscle energy technique yaitu: manipulasi dengan cara halus dengan
kekuatan tahanan minimal sebesar 20-30% dari kekuatan otot, melibatkan kontrol
pernapasan dari pasien, dan dilakukan dengan repetisi yang optimal. Muscle
energy techniques dapat memberikan efek relaksasi pada otot tanpa menimbulkan
nyeri dan kerusakan jaringan melalui tekanan minimal dan lembut, sehingga tidak
menimbulkan iritasi dan tegangan yang kuat pada jaringan (Chaitow, 2006).
25
Muscle energy technique merupakan teknik isometrik dan isotonik yang
digunakan untuk penguatan atau meningkatkan tonus otot yang lemah,
melepaskan hipertonus, stretching ketegangan otot dan fascia, meningkatkan
fungsi muskuloskeletal, mobilisasi sendi pada keterbatasan gerak sendi, dan
meningkatkan sirkulasi lokal, dan mengurangi nyeri (Fryer, 2011).
2.3.2 Indikasi dan Kontraindikasi Muscle Energy Technique
Indikasi pemberian muscle energy technique yaitu (Grubb, et al., 2010):
a) Adanya pemendekan, kontraktur, atau spastisitas pada otot.
b) Meningkatkan kekuatan pada otot atau grup otot yang mengalami
kelemahan.
c) Adanya malposition pada unsur tulang.
d) Perbaikan pergerakan sendi yang berhubungan dengan disfungsi artikular.
Kontraindikasi pemberian muscle energy techniques yaitu (Grubb, et al.,
2010):
a) Cedera muskuloskeletal akut.
b) Adanya fraktur tulang yang tidak stabil.
c) Adanya penyatuan dan ketidakstabilan pada sendi.
d) Osteoporosis.
26
2.3.3 Prinsip Aplikasi Muscle Energy Technique
Terdapat beberapa prinsip pelaksanaan muscle energy technique antara
lain (Chaitow, 2006):
1. Palpasi
Sebelum
menerapkan
muscle
energy
technique,
fisioterapis
melakukan pemeriksaan pada otot atau sendi yang mengalami tightness,
hipomobile, hipermobile dan spasme dengan palpasi untuk menentukan
target jaringan yang akan dilakukan terapi. Teknik palpasi yang dilakukan
dengan tekanan yang halus. Otot atau sendi harus dalam keadaan yang
relaks saat dilakukan gerak pasif. Tujuannya untuk menentukan besarnya
ketegangan tonus otot atau mobilitas sendi.
2. Menutup Mata
Fisioterapis melakukan pemeriksaan palpasi pada target jaringan
dengan menutup mata, untuk merasakan seberapa besar ketegangan tonus
otot atau mobilitas sendi dengan menggerakkan secara pasif bagian yang
diterapi. Gerakan secara perlahan, halus, dan rasakan endfeel pada sendi.
3. Kontrol Tahanan Gerak
Aplikasikan tahanan gerak pada saat dilakukan kontraksi isometrik
pada
otot
agonis
hanya
sebesar
20-30%
dari
kekuatan
otot
pasien/fisioterapis. Tujuannya agar otot tidak mengalami regangan yang
berlebihan dan jaringan disekitar tidak mengalami stress berlebihan yang
dapat menambah kerusakan dan mengiritasi jaringan tersebut.
27
4. Waktu Kontraksi
Waktu kontraksi isometrik yang dilakukan yaitu 10 detik. Panjang
waktu kontraksi ini dibutuhkan untuk beban kerja golgi tendon terhadap
pengaruh secara neurologis pada serabut intrafusal muscle spindle yang
menghambat tonus otot dan memberikan kesempatan pada otot untuk
mendapatkan panjang istirahat otot yang baru.
5. Teknik Pulse
Muscle energy technique ditambahkan teknik pulse atau dorongan
pada sendi yang mengalami keterbatasan atau hipomobilitas. Hal ini
bertujuan untuk melepaskan retriksi dan perlengketan pada kapsul ligamen
sendi. Teknik pulse yang diterapkan pada sendi yang hipomobile dengan
dorongan ke anterior secara halus dan perlahan mengikuti gerak sendi dan
pernapasan pasien.
6. Pernapasan
Pernapasan pada muscle energy technique sangat penting, karena
rileksasi yang diberikan lebih besar dan sangat baik untuk meningkatkan
sirkulasi darah. Saat melakukan kontraksi isometrik, pasien diinstruksikan
untuk mengeluarkan napas dengan perlahan dan rileks. Setelah penerapan
muscle energy technique, pasien diinstruksikan untuk menarik dan
menghembuskan napas dengan perlahan dan rileks. Tujuan pernapasan ini
dilakukan untuk memberikan efek rileksasi pada jaringan dan otot agar
ketegangan jaringan dan otot menurun serta memberikan efek yang
nyaman bagi pasien.
28
7. Regangan atau Stretching
Setelah
melakukan
isometrik
selama
10
detik,
fisioterapis
meregangkan otot selama 30 detik dengan perlahan dan halus. Peregangan
ini tidak boleh dilakukan lebih atau kurang dari 30 detik. Regangan yang
kurang dari 30 detik tidak akan memaksimalkan fleksibilitas otot dan
menambah panjang istirahat otot yang baru. Sedangkan regangan yang
lebih dari 30 detik akan menimbulkan stress regangan berlebih pada otot
dan jaringan.
8. Waktu pengulangan
Pengulangan yang dilakukan sebanyak 5 kali, sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai. Waktu pengulangan ini efektif bagi rileksasi jaringan
dan otot.
Gambar 2.8 Muscle Energy Technique untuk Myofascial Pain Syndrome otot
Upper Trapezius
(Sumber: Chaitow, 2006)
2.3.4 Jenis-Jenis Muscle Energy Technique
Terdapat dua jenis tipe muscle energy technique, yaitu Post isometric
relaxation (PIR) dan reciprocal inhibition (RI) yang akan dijelaskan sebagai
berikut (Chaitow, 2006):
29
1. Isometrik Muscle Energy Technique
Isometrik muscle energy technique biasanya disebut post isometric
relaxation (PIR). Post isometric relaxation mengacu pada pengurangan
tonus otot agonist setelah kontraksi isometrik. Hal ini terjadi karena
pengaruh reseptor stretch yang disebut golgi tendon organ pada otot
agonis. Reseptor ini bereaksi terhadap overstretching otot oleh inhibisi
otot yang selanjutnya berkontraksi. Hal ini secara natural melindungi
reaksi terhadap regangan berlebih, mencegah ruptur dan memiliki
pengaruh pemanjangan karena relaksasi yang terjadi tiba-tiba pada seluruh
otot dibawah pengaruh stretching.
Dalam teknik ini, kekuatan kontraksi otot terhadap perlawanan yang
sama memicu reaksi golgi tendon organ. Impuls saraf afferent dari golgi
tendon organ masuk ke bagian dorsal spinal cord dan bertemu dengan
inhibitor motor neuron. Hal ini menghentikan impuls motor neuron
efferent dan oleh karena itu terjadi pencegahan kontraksi lebih lanjut,
tonus otot menurun, yang menghasilkan relaksasi dan pemanjangan otot
agonist.
Gambar 2.9 Post Isometric Relaxation
(Sumber: Chaitow, 2006)
30
2. Isotonik Muscle Energy Technique
Isotonik muscle energy technique menggunakan teknik reciprocal
innervations/inhibition. Reciprocal inhibition mengacu pada inhibisi otot
antagonist ketika kontraksi isometrik yang terjadi dalam otot agonis. Hal
ini terjadi karena reseptor strecth dalam serabut otot agonis muscle
spindle. Muscle spindle bekerja untuk mempertahankan panjang otot
secara tetap dengan memberikan umpan balik pada perubahan kontraksi,
dalam hal ini arah muscle spindle memainkan bagian dalam proprioceptif.
Dalam respon untuk peregangan, muscle spindle menghentikan impuls
saraf yang meningkatkan kontraksi, hingga mencegah over stretching.
Muscle spindle menghentikan impuls yang membangkitkan serabut
saraf afferent atau otot agonis, bertemu dengan excitatory motor neuron
otot agonis (dalam spinal cord) dan pada waktu yang sama menghalangi
motor neuron otot agonis mencegah kontraksinya. Hal ini menghasilkan
relaksasi antagonis sehingga disebut reciprocal inhibition. Saat agonis
berhenti berkontraksi melawan tahanan,
muscle spindle berhenti
membebaskan dan otot relaksasi, hal ini memiliki efek yang sama seperti
post isometric relaxation.
Gambar 2.10 Reciprocal Inhibition
(Sumber: Chaitow, 2006)
31
2.3.5 Efek Pemberian Muscle Energy Technique
1. Pada sirkulasi darah
Jaringan yang mengalami ketegangan, pemendekan dan kekakuan
akan mengakibatkan sirkulasi darah tidak lancar dan menyebabkan
iskemik yang akan membentuk trigger point atau spasme pada otot.
Iskemik pada jaringan menyebabkan penumpukan zat iritan, penumpukan
sisa metabolisme dan oksigen terhambat untuk masuk ke dalam jaringan.
Penerapan muscle energy technique dengan kontraksi dan tahanan
minimal, akan menimbulkan efek relaksasi pada jaringan. Relaksasi yang
terjadi, akan meningkatkan sirkulasi darah pada jaringan tersebut sehingga
metabolisme pada jaringan meningkat dan zat-zat iritan dapat dikeluarkan
dari jaringan (Chaitow, 2006).
2. Pada Vena dan Limpatik
Penerapan muscle energy technique dapat membantu aliran limpatik
dan membersihkan jalan keluar cairan jaringan sehingga memperbesar
hipoalgesia dan merubah tekanan intramuscular dan tonus pasif jaringan
(Fryer, 2011).
3. Pada fascia
Stress mekanik yang terjadi pada tubuh akan mempengaruhi fascia
sehingga menyebabkan ketegangan fascia. Ketegangan pada fascia akan
menimbulkan efek penumpukan sisa metabolisme dan terjadi iskemik
sehingga muncul jaringan fibrous. Fibrous atau abnormal crosslink yang
terjadi pada fascia akan menyebabkan timbulnya trigger point pada otot
32
atau titik nyeri yang menyebar dan terjadi perlengketan fascia dengan otot.
Pemberian muscle energy technique dapat melepaskan perlengketan yang
terjadi pada fascia dengan melepaskan jaringan fibrous. Selain itu terjadi
peningkatan sirkulasi darah dan peningkatkan metabolisme sehingga nyeri
berkurang (Chaitow, 2006).
4. Pada otot
Otot yang kontraksi berlebihan akan mengakibatkan hipertonus. Hal
ini akan merubah fisiologi otot oleh mekanisme refleks. Ketika otot
berkontraksi, panjang dan tonusnya berubah yang mempengaruhi fungsi
biomekanikal, biokimia, dan immunologi. Muscle energy technique
memanjangkan otot yang terjadi pemendekan, mengurangi kontraktur,
mengurangi hipertonus otot dan secara fisiologis memperkuat kelompok
otot yang mengalami kelemahan. Muscle energy technique dapat
digunakan untuk membantu meningkatkan kekuatan otot yang mengalami
kelemahan dengan cara pasien mengkontraksikan otot yang mengalami
kelemahan melawan tahanan fisioterapis secara kontraksi isometrik
dengan halus dan lembut (Chaitow, 2006).
Peningkatan metabolisme pada otot akan mengurangi ketegangan
otot, memanjangkan otot melalui pengaruh rileksasi muscle energy
technique, pengaruh rileksasi jaringan lunak otot diperoleh dengan
mereduksi ketegangan jaringan kontraktil otot sehingga stress pada
jaringan otot berkurang dan meningkatkan kekuatan otot. Selain itu, dapat
menyeimbangkan kontraksi antara otot agonis dan antagonis pada otot
33
postural yang mengalami ketidakseimbangan dimana satu sisi mengalami
kelemahan dan sisi lain mengalami pemendekan otot akibat kesalahan
postur (Grubb, et al., 2010).
Teknik isometrik muscle energy technique menggunakan resisten
dengan gaya minimal, dimana hanya beberapa serabut otot yang aktif
sedangkan serabut lain terinhibisi. Selama rileksasi otot yang memendek,
diregangkan secara ringan dengan menghindari stretch reflex sehingga
menimbulkan efek analgesia dan otot menjadi lebih rileks. Gaya yang
digunakan sebesar 20-30%, akan menimbulkan recruitment pada serabut
otot phasic daripada serabut otot tonik sehingga tercapai pengaruh
stretching otot.
5. Pada sendi
Kekakuan
sendi dapat menyebabkan pemendekan otot dan
sebaliknya, pemendekan otot dapat juga menyebabkan kekakuan sendi.
Selain itu, adanya nyeri dan spasme pada otot dapat menyebabkan
kekakuan sendi atau hipomobilitas sendi. Muscle energy technique dapat
mengoreksi mobilitas sendi yang mengalami kekakuan dengan cara
merilekskan otot yang mengalami pemendekan, spasme, dan ketegangan
sehingga tercapai lingkup gerak sendi yang baru. Selain itu, teknik pulse
dapat digunakan untuk melepaskan perlengketan pada kapsul sendi
(Chaitow, 2006).
34
2.4 Positional Release Technique
2.4.1 Definisi
Positional release technique merupakan salah satu teknik pada jaringan
lunak yang ditujukan untuk nyeri otot dan spasme. Tujuan pemberian terapi ini
adalah mengembalikan tonus otot dan meningkatkan sirkulasi jaringan.
Pendekatan yang digunakan adalah melibatkan identifikasi dari trigger point yang
aktif, diikuti dengan memberikan tekanan sampai respon dari nosiseptif
diproduksi. Area otot yang akan diterapi diposisikan dengan nyaman untuk
mengurangi ketegangan pada otot yang diterapi sehingga mengurangi nyeri pada
trigger point (Carvalho, et al., 2014).
Positional release technique adalah sebuah metode yang menjadikan
tender point dan posisi yang nyaman sebagai evaluasi dan dasar melakukan
pengobatan yang berkaitan dengan disfungsi. Metode intervensi dari positional
release technique adalah indirect (bagian tubuh bergerak menjauhi tahanan
barrier) dan passive (terapis yang melakukan seluruh gerakan tanpa pertolongan
dari pasien). Keseluruhan bidang gerak digunakan untuk mencapai posisi yang
paling nyaman. Sesudah tender point yang paling keras ditemukan, gunakan
teknik palpasi sebagai pedoman untuk membantu menemukan posisi yang
nyaman. Posisi nyaman ini akan menghasilkan relaksasi yang optimal dari
jaringan yang mengalami kerusakan (Speicher dan Draper, 2006).
Konsep dasar untuk lebih memahami positional release technique adalah
menggerakan tubuh ke dalam posisi yang nyaman dan menjauhi tahanan barrier.
Contohnya jika seorang pasien mempunyai hipertonus pada otot biceps caput
35
longum, pasien akan merasakan ketegangan dalam posisi ekstensi pada sikunya.
Namun saat pasien memposisikan siku dalam keadaan fleksi, pasien akan merasa
lebih nyaman. Hal ini dikarenakan terjadinya pemendekan pada otot biceps yang
menyebabkan tegangan pada otot biceps menurun. Oleh karena itu di dalam
positional release technique, nyeri hebat dan posisi keterbatasan harus
dihindarkan dan tujuannya adalah untuk menemukan posisi yang nyaman
(D’ambrogio dan Roth, 1997).
Salah satu teori mengatakan bahwa posisi yang nyaman, akan
menyebabkan penurunan dari aktivitas propioceptif yang tidak tepat. Hasil dari
intervensi menggunakan positional release technique adalah menurunnya
ketegangan pada otot, ketegangan fascia, dan hipomobilitas pada sendi.
Perubahan ini secara signifikan akan meningkatkan fungsional gerakan sendi dan
menurunkan nyeri (D’ambrogio dan Roth, 1997).
2.4.2 Indikasi dan Kontraindikasi
Semua gangguan yang terjadi pada otot dan sendi yang menimbulkan
tender point (titik nyeri) adalah indikasi dari positional release technique.
Sedangkan kontraindikasi pada positional release technique adalah adanya
malignancy, aneurysm, dan rhematoid atritis akut. Sedangkan kontraindikasi yang
bersifat regional adalah adanya luka terbuka, jahitan pada luka, penyembuhan
pasca fraktur, hematoma, hipersensitif pada kulit, dan infeksi lokal atau sistemik
(Speicher dan Draper, 2006).
36
2.4.3 Teknik Aplikasi Positional Release Technique
Terdapat sembilan hal penting yang harus diingat saat memberikan
positional release technique, yaitu (D’ambrogio dan Roth, 1997):
1. Amati tubuh, golongkan tingkat kerasnya tender point, dan laporkan hasil
yang ditemukan
2. Ikuti aturan umum. Pertama, sangat penting bagi fisioterapis mengobati
tender point yang paling keras tanpa menghiraukan dimana lokasi nyeri
tersebut. Hal yang harus diingat adalah tender point menghasilkan
disfungsi pada pasien. Karena tujuan dari terapi adalah pada disfungsinya.
Nyeri dihasilkan dari disfungsi yang terjadi. Ketika tender point di terapi
dan pergerakan dapat diperbaiki, nyeri akan berkurang. Kedua, sangat
penting untung memeberikan terapi dari proksimal menuju distal. Jika
terdapat dua tender point yang sama, terapi bagian proksimal sebelum
distal. Hal ini sering menghilangkan tender point bagian distal. Pada area
yang memiliki sensitifitas yang tinggi, lakukan terapi pada area dengan
tender point yang paling keras. Dengan mengiikuti aturan sederhana
tersebut, efisensi dan efektifitas dari terapi akan meningkat.
3. Lakukan palpasi pada tender point, dan temukan posisi yang nyaman.
Sangat penting untuk memposisikan pasien dalam posisi yang nyaman,
Fisioterapis secara terus menerus memantau tender point. Hal ini bertujuan
untuk memantau penurunan dari tegangan dan tenderness. Timbal balik
yang dinginkan adalah menemukan posisi nyaman yang tepat.
37
4. Perbaiki kontak pada tender point saat posisi nyaman sudah tercapai.
Tender point akan di amati terus saat dilakukan terapi. Perhatian akan
diberikan pada perubahan yang terjadi pada area tender point, seperti:
denyutan, pelepasan panas, getaran, istirahat dan pelepasan pada tubuh
pasien yang merupakan indikasi berakhirnya terapi. Sesudah terapi selesai,
dilakukan evaluasi pada titik yang sama untuk mengetahui perubahan yang
terjadi pada titik yang diterapi.
5. Pertahankan posisi nyaman sampai pelepasan dapat dirasakan. Posisi yang
nyaman memegang peranan yang penting untuk menyelesaikan pelepasan
di dalam tubuh. Jika pasien menghilangkan posisi nyaman segera setelah
terapi, hasilnya akan dirasakan dalam waktu yang singkat, dan tender
point akan muncul lagi dan memerlukan terapi yang lebih lanjut. Hal
penting yang harus diingat ketika memberikan terapi, posisi nyaman
biasanya bertahan lama dan akan mempunyai efek yang sangat besar
dalam tubuh. Untuk terapi lokal biasanya diberikan penekanan selama 90
detik.
6. Kembalikan ke posisi normal dengan pelan. Sangat penting untuk
menyebutkan bahwa setelah tender point berhasil diterapi, tubuh pasien
harus dikembalikan ke dalam posisi netral dengan pelan. 15º pertama
adalah jarak yang sangat penting. Jika pasien dikeluarkan dari posisi
nyaman dengan cepat, ballistic proprioceptor akan bertautan kembali dan
spasme otot untuk proteksi akan kembali. Selain itu, hal tersebut juga
38
dapat menimbulkan cedera kembali dan pembentukan kembali inflamasi
dan spasme.
7. Lakukan pemeriksaan kembali pada tender point setelah terapi. Setelah
berhasil melakukan terapi pada tender point, sangat penting bagi
fisioterapis dan pasien mencatat perubahan yang terjadi. Selain itu lakukan
pemeriksaan fisik lainnya untuk melihat fungsional pasien.
8. Berikan edukasi kepada pasien terkait kemungkinan reaksi dan akitivitas
yang tidak baik setelah pemberian terapi. Memberikan edukasi kepada
pasien terkait efek dari terapi dan aktivitas yang harus dihindari setelah
latihan dapat membantu meningkatkan efektifitas dari terapi dan
mengurangi rasa yang tidak nyaman. Selain itu, seteleah melakukan terapi
perlu diberikan waktu istirahat selama 24-48 jam.
9. Lakukan terapi sekali dalam satu minggu, dan berikan tubuh adaptasi
untuk terapi.
Untuk memberikan terapi positional release technique pada kasus
myofascial pain syndrome upper trapezius, prosedur pelaksanaannya adalah
sebagai berikut (Speicher dan Draper, 2006):
1. Palpasi pada daerah otot upper trapezius untuk mencari tender point
yang menghasilkan titik nyeri paling hebat. Posisi pasien harus
nyaman dan relaks.
2. Setelah titik nyeri ditemukan, tangan fisioterapis harus tetap berada
pada titik tersebut, dan berikan penekanan pada area tersebut.
39
3. Selanjutnya posisikan pasien ke dalam posisi nyaman. Posisikan
lengan pasien secara pasif ke arah abduksi 90º, dengan diikuti lateral
fleksi cervical ke arah yang diterapi. Posisi pasien saat melakukan
terapi bisa dalam posisi duduk ataupun berdiri.
4. Pertahanakan posisi tersebut selama 90 detik, dan setelah itu
kembalikan ke posisi normal secara pelan.
Gambar 2.11 Positional Release Technique untuk Myofascial Pain Syndrome
Upper Trapezius
(Sumber: Chaitow, 2002)
2.4.4 Efek Pemberian Positional Release Technique
Pemberian positional release technique memberikan beberapa efek pada
tubuh, yaitu: mengembalikan tonus otot, mengembalikan ketegangan pada fascia,
menurunkan hipomobilitas pada sendi, meningkatkan sirkulasi darah, menurunkan
nyeri, dan meningkatkan kekuatan (D’ambrogio dan Roth, 1997).
1. Normalisasi tonus otot
Klinis telah menemukan, pemberian terapi positional release
technique kira-kira selama 90 detik untuk pasien ortopedi umum dan 3
menit untuk pasien neurologis. Positional release technique dapat
memberikan pengaruh pada aktivitas proprioceptif yang mengalami
40
gangguan, sehingga membantu mengembalikan tonus dan mengatur ulang
hubungan panjang-tegangan pada otot. Hasilnya adalah pemanjangan dari
serabut otot ke keadaan normalnya.
2. Normalisasi tegangan fascial
Fase pemberian positional release technique dimulai setelah 90
detik. Selama fase ini, positional release technique memulai untuk
mengikat
pola
tegangan
fascial
dengan
trauma,
inflamasi,
dan
perlengketan patologis. Proses ini disebut aksi unwinding di dalam
jaringan myofascial. Respon pelepasan yang signifikan dapat di palpasi
selama fase ini.
3. Menurunkan hipomobilitas pada sendi
Ketika otot mengalami hipertonus atau ketegangan, hasilnya adalah
hipomobilitas atau penurunan lingkup gerak pada sendi. Dengan
menggunakan positional release technique, otot dan fascial yang
mengalami ketegangan akan mengalami relaksasi. Hal ini akan
mengembalikan fungsional otot, sehingga pergerakan sendi kembali
normal.
4. Meningkatkan sirkulasi dan mengurangi bengkak
Tekanan yang diberikan saat pemberian positional release technique,
dapat mengurangi struktur yang menghambat pembuluh darah dan
limfatik. Hasilnya adalah peningkatan sirkulasi pada jaringan, sehingga
dapat membantu proses penyembuhan jaringan yang rusak. Peningkatan
pembuangan limfatik akan membantu proses penyerapan cairan pada
41
jaringan. Hal ini akan mengurangi bengkak yang berkaitan dengan
inflamasi.
5. Menurunkan Nyeri
Pasien yang memiliki nyeri, dihubungkan dengan mekanisme muscle
guarding, tegangan pada fascial, dan keterbatasan gerak pada sendi.
Positional release technique memberikan efek untuk mengurangi spasme
pada otot dan mengembalikan pergerakan serta fleksibilitas jaringan.
Pasien mungkin saja memiliki beberapa rasa tidak nyaman akibat sisa-sisa
inflamasi, tetapi nyeri yang dirasakan sudah berkurang.
6. Meningkatkan kekuatan
Dengan menormalkan kembali proprioceptif dan keseimbangan
neural
pada
jaringan
otot
dan
menghilangkan
hambatan
yang
mengakibatkan nyeri, positonal release technique dapat membantu
mengembalikan tonus otot dalam keadaan normal dan fungsi dari otot. Hal
ini
dapat
mengoptimalkan
efisiensi
biomekanik
dari
otot
dan
meningkatkan kemampuan reaksi untuk melakukan latihan.
2.5 Infrared
2.5.1 Definisi
Sinar infrared adalah pancaran gelombang elektromagnetik dengan
panjang gelombang 7700-4 Juta Ao. Sinar infrared dapat menghasilkan panas
lokal yang bersifat superfisial dan direkomendasikan untuk kondisi yang subakut
untuk mengurangi nyeri dan inflamasi. Pemanasan supefisial akan berpengaruh
42
pada suhu jaringan di bawahnya yang mengalami cedera, dan penignkatan suhu
pada jaringan superfisial akan menghasilkan efek analgesia. Efek panas yang
ditimbulkan menyebabkan terjadinya vasodilatasi pada pembuluh darah, dan
meningkatkan sirkulasi pada jaringan (Prentice, 2002).
2.5.2 Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi dari modalitas infrared adalah sebagai berikut (Prentice, 2002):
1) Kondisi peradangan setelah fase akut, seperti kuntusio, muscle strain,
muscle sprain, trauma sinovitis.
2) Arthritis seperti rhematoid arthritis, osteoarthritis, myalgia, neuralgia,
neuritis.
3) Gangguan sirkulasi darah.
4) Penyakit kulit.
5) Persiapan exercise dan massage.
Sedangkan, kontraindikasi dari modalitas infrared adalah sebagai
berikut (Prentice, 2002):
1) Daerah dengan insufiensi pada darah.
2) Gangguan sensibilitas kulit.
3) Adanya kecenderungan terjadinya pendarahan.
2.5.3 Teknik Aplikasi
Posisikan pasien 50 cm dari lampu infrared. Lepaskan bahan-bahan logam
atau pakaian pada bagian yang akan di terapi. Posisikan lampu infrared tegak
lurus dengan daerah yang diterapi. Durasi waktu saat pelakasanaan terapi adalah
43
10-15 menit. Selama proses terapi, perlu dilakukan kontrol untuk memeriksa rasa
hangat pada kulit (Prentice, 2002).
2.5.4 Efek Pemberian
Pemberian modalitas infrared, dapat memberikan efek fisiologis dan efek
terapeutik pada tubuh, yaitu (Prentice, 2002):
1. Efek fisiologis
a) Meningkatkan proses metabolisme
Suatu reaksi kimia akan dapat dipercepat dengan adanya panas atau
kenaikan temperatur pada jaringan. Proses metabolisme yang terjadi pada
lapisan superficial kulit akan meningkat sehingga sirkulasi oksigen dan
nutrisi ke jaringan menjadi lebih baik, dan pengeluaran zat sisa
metabolisme juga lancar.
b) Vasodilatasi pembuluh darah
Efek panas yang dihasilkan oleh sinar infrared akan menyebabkan
dilatasi pembuluh darah kapiler dan artiole. Kulit akan mengadakan reaksi
dan berwarna kemerah-merahan yang disebut erythema. Untuk ini
mekanisme vasomotor mengadakan reaksi dengan jalan pelebaran
pembuluh darah sehingga jumlah panas diratakan keseluruh jaringan lewat
sirkulasi darah. Dengan sirkulasi darah yang meningkat, maka pemberian
nutrisi dan oksigen kepada jaringan akan ditingkatkan, sehingga
pemeliharaan jaringan menjadi lebih baik dan perlawanan terhadap radang
juga baik.
44
c) Pigmentasi
Penyinaran yang berulang-ulang dengan sinar infrared dapat
menimbulkan pigmentasi pada tempat yang disinari. Hal tersebut
disebabkan oleh karena adanya perubahan sel-sel darah merah di tempat
tersebut.
d) Pengaruh terhadap jaringan otot
Kenaikan temperatur pada jaringan mempengaruhi terjadinya
relaksasi otot, pemanasan juga akan membantu proses pembuangan zat-zat
metabolisme.
e) Distruksi Jaringan
Penyinaran yang berlebihan
dapat menimbulkan kenaikan
temperatur jaringan yang cukup tinggi dan berlangsung dalam waktu yang
lama sehingga menyebabkan kerusakan pada jaringan.
f) Meningkatkan temperatur tubuh
Peningkatan temperatur jaringan superfisial akan diteruskan ke
seluruh tubuh, maka disamping terjadi pemerataan panas juga akan terjadi
penurunan tekanan darah sistemik. Hal ini karena adanya panas yang akan
merangsang pusat pengatur panas tubuh untuk meratakan panas yang
terjadi dengan jalan dilatasi yang bersifat general.
g) Mengaktifkan kerja kelenjar keringat
Pengaruh rangsangan panas yang dibawa ujung-ujung saraf sensoris
dapat mengaktifkan kerja kelenjar keringat.
45
2. Efek terapeutik
a) Mengurangi rasa nyeri
Panas ringan memberikan efek sedatif pada superficial sensoris
nerve ending, Sedangkan panas kuat dapat menghasilkan counter iritation
yang akan menimbulkan pengurangan nyeri. Deangan sirkulasi darah yang
lancar maka zat ”P” yang merupakan salah satu penyebab nyeri akan ikut
terbuang.
b) Relaksasi otot
Relaksasi otot akan dicapai jika rasa nyeri berkurang dan jaringan
otot dalam keadaan hangat.
c) Meningkatkan sirkulasi darah
Kenaikan temperatur yang terjadi, akan menimbulkan vasodilatasi
pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan
sirkulasi darah pada jaringan yang diterapi.
d) Membuang zat-zat sisa hasil metabolisme
Penyinaran di daerah yang luas akan mengaktifkan glandula
gudoifera diseluruh badan, sehingga dengan demikian akan meningkatkan
pembuangan sisa-sisa hasil metabolisme melalui keringat.
46
2.6 Kombinasi Muscle Energy Technique dan Infrared dengan Positional
Release Technique dan Infrared terhadap Penurunan Nyeri Myofascial
Pain Syndrome Otot Upper Trapezius
Infrared adalah salah satu modalitas fisioterapi yang dapat di aplikasikan
pada kasus myofascial pain syndrome dan dapat dikombinasikan dengan muscle
energy technique atau positional release technique. Pemberian infrared dilakukan
sebelum pemberian muscle energy technique dan positional release technique.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa infrared menghasilkan efek
panas pada jaringan superfisial. Panas yang terjadi akan menstimulasi nerve
cutaneous receptor yang impulsnya akan diteruskan ke hipothalamus anterior,
sehingga akan menyebabkan terjadinya vasodilatasi pada pembuluh darah. Selain
itu, panas lokal yang terjadi akan memberikan efek relaksasi pada otot. Hal ini
karena efek panas mampu dengan serempak mengurangi rangsangan threshold
dari muscle spindle dan mengurangi kecepatan gamma efferent, sehingga akan
terjadi penurunan tonus pada otot (Prentice, 2002).
Setelah pemberian modalitas infrared, dilakukan intervensi muscle energy
technique dan positional release technique. Ke dua terapi ini memiliki
mekanismenya masing-masing untuk menurunkan tingkat nyeri pada kasus
myofascial pain syndrome. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, muscle
energy technique memiliki mekanisme yang disebut post isometric relaxation
(PIR). Kontraksi yang terjadi pada post isometric relaxation ini akan memicu
reaksi pada golgi tendon organ pada otot. Impuls saraf afferent dari golgi tendon
masuk ke bagian dorsal spinal cord dan bertemu dengan inhibitor motor neuron.
47
Hal ini menyebabkan terputusnya impuls motor neuron efferent dan menyebabkan
relaksasi pada otot (Chaitow, 2006). Sedangkan pemberian positional release
technique akan mempengaruhi aktivitas proprioceptif yang salah. Penekanan yang
diberikan pada trigger point dalam posisi yang nyaman akan menstimulasi muscle
spindle. Impuls yang diterima muscle spindle akan diteruskan ke susunan saraf
pusat, sehingga akan terjadi pengaturan ulang dari gamma motor neuron. Hal ini
akan menyebabkan penurunan tonus otot dan terjadilah relaksasi otot
(D’ambrogio dan Roth, 1997). Relaksasi otot yang dihasilkan oleh ke dua terapi
ini dan efek vasodilatasi pembuluh darah yang dihasilkan oleh infrared akan
menyebabkan peningkatan sirkulasi darah ke otot semakin bertambah dan cepat.
Peningkatan sirkulasi yang lebih cepat menyebabkan substansi P yang
menimbulkan nyeri dapat dikeluarkan dan nyeri akibat myofascial pain syndrome
akan berkurang.
Selain itu, pemberian kombinasi intervensi ini akan menghasilkan
mekanisme penggabungan atau penjumlahan potensial aksi postsinaps yang
disebut temporal dan spatial summation. Temporal summation adalah stimulasi
bebarapa impuls yang diberikan oleh satu neuron dalam kurun waktu tertentu.
Sedangkan spatial summation adalah stimulasi beberapa impuls yang diberikan
oleh beberapa neuron dalam waktu yang sama. Penggabungan dari temporal dan
spatial summation ini akan menyebabkan excitatory post synaptic potentials
(EPSPs) yang lebih besar (Spruston, 2009).
48
Gambar 2.12 Temporal dan Spatial Summation
(Sumber: Spruston, 2009)
Pemberian infrared selama 10-15 menit dapat memberikan efek temporal
summation. Sedangkan pemberian muscle energy technique dan positional release
technique dapat memberikan efek spatial summation. Dengan memberikan
kombinasi intervensi muscle energy technique dan infrared ataupun positional
release technique dan infrared pada kasus myofascial pain syndrome otot upper
trapezius, akan menghasilkan EPSPs yang lebih besar sehingga terjadi relaksasi
pada otot secara maksimal. Jika relaksasi maksimal tercapai, maka sirkulasi darah
meningkat dan substansi yang menimbulkan nyeri dapat dikeluarkan dari jaringan.
2.7 Pengukuran Nyeri
Nyeri pada kasus myofascial pain syndrome dapat diukur melalui metode
pengukuran nyeri Visual Analogue Scale (VAS). Visual analogue scale (VAS)
merupakan alat ukur nyeri yang digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri dan
49
digambarkan dengan garis lurus sepanjang 10 cm dengan setiap ujungnya ditandai
dengan level intensitas nyeri. Ujung kiri diberi tanda “no pain” dan ujung kanan
diberi tanda “bad pain” (Prentice, 2002).
Pengukuran nyeri dilakukan dengan cara pasien diminta untuk menandai
sepanjang garis, sesuai dengan level intensitas nyeri yang dirasakan oleh pasien.
Kemudian jaraknya diukur dari batas kiri sampai pada tanda yang diberi oleh
pasien (ukuran mm), dan itulah nilai yang menunjukkan level intensitas nyeri
yang dirasakan. Nilai tersebut dicatat sebagai acuan untuk melihat kemajuan dari
terapi yang dilakukan.
Gambar 2.13 Visual Analogue Scale
(Sumber: Warden, et al., 2003)
Download