BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang semakin canggih memberikan segala bentuk kemudahan bagi manusia dalam menjalankan kegiatan atau aktivitasnya sehari-hari. Sebut saja fasilitas seperti lift, elevator, sepeda motor, mobil, mesin cuci, dan masih banyak lagi. Dengan kondisi tersebut manusia seakan dimanjakan dengan kecanggihan alat-alat teknologi sehingga menjadikan manusia semakin malas untuk bergerak aktif. Padahal dengan bergerak aktif dan melakukan aktivitas fisik secara rutin dapat menjaga kesehatan, tentu saja semua orang mendambakan tubuh yang sehat. Menurut badan kesehatan dunia atau world health organization (WHO), pengertian sehat adalah suatu keadaan kondisi fisik, mental, dan kesejahteraan sosial yang merupakan satu kesatuan dan bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Dunia kerja dan pendidikan juga sangat dimudahkan dengan adanya komputer dan laptop dalam mempermudah proses pembelajaran, pengerjaan tugas maupun dalam hal pembuatan dokumen dalam pekerjaan. Namun aktivitas kerja yang berlebihan akan menimbulkan efek buruk kepada pekerja, seperti keluhan pada sistem otot (musculoskeletal) berupa keluhan rasa sakit, nyeri, pegal-pegal dan lainnya, keluhan juga terjadi pada jaringan tubuh lainnya seperti tendon, pembuluh darah, saraf dan lainnya yang disebabkan oleh aktivitas kerja. Berdasarkan lokasi keluhan yang sering timbul pada pekerja adalah nyeri punggung, nyeri leher, nyeri pada pergelangan tangan, siku dan kaki (Departemen Kesehatan, 2004). Pusat kesehatan kerja menyatakan tiga pertimbangan utama terjadinya gangguan leher pada waktu kerja, yaitu (1) beban pada struktur leher dalam waktu yang lama berkaitan dengan tuntutan yang tinggi dari pekerjaan dan kebutuhan stabilisasi daerah leher dan bahu dalam bekerja, (2) secara 1 2 psikologis pekerjaan dengan konsentrasi tinggi, tuntutan kualitas dan kuantitas secara umum mempengaruhi otot leher, (3) discus dan sendi pada leher sering mengalami perubahan degeneratif yang prevalensinya meningkat sesuai umur (Departemen Kesehatan, 2004). Nyeri leher juga menyebabkan tingkat morbiditas yang cukup tinggi yang berakibat terjadinya penurunan produktivitas kerja dan aktivitas seharihari. Berbagai jenis pekerjaan dapat mengakibatkan nyeri leher terutama selama bekerja dengan posisi tubuh yang salah sehingga membuat leher berada dalam posisi tertentu dalam jangka waktu lama seperti pekerja yang sepanjang hari hanya duduk bekerja dengan komputer dan para pelajar yang sering membawa tas dengan beban yang berat. Sindrom nyeri myofasial adalah salah satu gangguan umum nyeri muskuloskeletal yang mempengaruhi hampir 95% dari orang dengan gangguan nyeri kronis dan merupakan temuan umum, khususnya dalam pusat manajemen nyeri (Shah et al, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Dommerholt, et al (2006) menunjukkan keluhan-keluhan nyeri yang dialami oleh klien banyak berhubungan dengan trigger points. Sedangkan studi yang dilakukan oleh Simons (2002) mengatakan bahwa 98% kondisi nyeri terdapat pada musculoskeletal yang berasal dari otot yang sering mengacu pada fibromyalgia syndrome (FS) dan myofascial trigger point syndrome (MTrPs) yang terdapat dalam serabut otot. Studi lain menjelaskan bahwa orang dengan mechanical neck pain lebih relevan secara klinis mengalami MTrPs pada otot upper trapezius, sternocleidomastoid, levator scapulae, dan suboccipital dibandingkan dengan kelompok orang yang sehat. (Fernandez et al, 2006) Simons (2002) menunjukkan bahwa 13 orang pada 8 daerah otot yang diteliti hanya satu orang yang tidak memiliki trigger point, 12 orang memiliki trigger point pada 8 daerah otot dengan penyebaran yang berbeda-beda. Melihat hal tersebut ternyata setiap orang sesungguhnya memiliki potensi trigger points baik bersifat aktif maupun pasif (laten). Penelitian yang dilakukan oleh Gerwin, et al (2004) terhadap 1504 sampel yang dipilih secara 3 random dengan usia 20-60 tahun ditemukan 37% pria dan 65% wanita mengalami nyeri sindroma myofasial yang terlokalisir. Belum ada data yang pasti untuk prevalensi kasus myofascial trigger point syndrome (MTrPs) di Indonesia, namun sebuah penelitian yang dilakukan di Jakarta terhadap 179 pekerja industri dan kantoran, 44 orang (17.93%) diantaranya mengalami masalah occupational overuse syndrome (OOS). Istilah OOS sendiri digunakan sebagai penggolongan dari beberapa penyakit yang diakibatkan oleh faktor pekerjaan. OOS biasanya terjadi pada pekerja yang menggunakan struktur otot, tulang, dan tendon secara berlebihan pada bagianbagian tubuh mereka, salah satu contohnya adalah MTrPs. Dan hasil penelitian juga menyatakan, dari 44 orang yang mengalami OOS tersebut sebanyak 34.1% positif mengalami MTrPs atau sekitar 6.72 % dari jumlah seluruh populasi. (Harrianto, 2006) MTrPs adalah sebuah spot kecil yang hiperiritasi, memusat, yang timbul di dalam taut band otot skeletal yang mengalami cidera atau beban kerja yang berlebihan dan terus menerus (statis). Penekanan spot ini menimbulkan nyeri setempat dan memberikan nyeri rujukan yang spesifik beserta fenomena otonomik dan disfungsi motorik dan sensorik. (Ward, 2003). MTrPs diklasifikasikan menjadi aktif dan laten MTrPs. Aktif MTrPs adalah MTrPs yang bersifat symptomatic, dapat memicu nyeri lokal atau menjalar dan parestesia. Sedangkan laten MTrPs bersifat asymptomatic yang artinya tidak memicu rasa nyeri tanpa dirangsang terlebih dahulu. (Simons and Travell, 1999). MTrPs pada otot levator scapulae adalah penyebab umum dari nyeri leher (neck pain) atau nyeri leher dan bahu serta merupakan penyebab utama terjadinya kaku leher (stiff neck) yang ditandai dengan penurunan kemampuan rotasi leher ke arah yang berlawanan (Travell and Simons, 1999). Tanda khas MTrPs adalah penurunan kekuatan otot yang berlangsung tiba-tiba, hal ini secara klinis berkaitan dengan trigger point (TP) dalam otot. Jika TP dilatenkan secara instan maka kekuatan otot akan kembali pulih, hal ini 4 diduga akibat inhibisi komponen motorik yang reversibel berasal dari level medulla spinalis (Gerwin, et al, 2004). Janda pada tahun 1993 menyatakan dengan palpasi yang tersistemik akan bisa membedakan antara spame otot dan myofascial taut band walaupun tanpa tenderness otot adalah tanda utama dalam membedakan antara MTrPs dengan gangguan otot lainnya, pada tenderness yang muncul akibat MTrPs tidak bisa muncul tanpa keberadaan taut band. Taut band akan dirasakan sebagai kekerasan yang abnormal dari sebuah atau beberapa serabut otot saat dipalpasi. Trigger point dalam sebuah taut band akan bisa dirasakan dengan tehnik flat palpation maupun pincer palpation otot yang dapat terindentifikasi. Jika ditemukan trigger point maka langkah selanjutnya dilakukan tes untuk melihat atau menimbulkan local twitch response (LTR) pada taut band dengan cara mengetuk tegak lurus pada trigger point dengan ketukan memantul (Gemmell, et al, 2008). Penanganan MTrPs memerlukan kajian yang mendalam agar berhasil secara optimal. Kajian tersebut harus dilakukan mulai dari pemeriksaan spesifik sesuai dengan jaringan terkait hingga penerapan intervensi. Sehingga sebagai seorang fisioterapi yang menangani gangguan gerak dan fungsi yang berhubungan dengan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif harus memiliki kemampuan untuk melakukan pemeriksaan spesifik sesuai dengan gangguan neuro-musculo-sceletal-vegetative-mechanism (NMSVM) dan target jaringan spesifik. Fisioterapis dapat menegakkan diagnosa dan intervensi yang tepat sesuai patologi yang ditangani. Peran fisioterapi untuk memulihkan, memelihara, dan meningkatkan gerak fungsional dapat terwujud sesuai dengan definisi fisioterapi yang tercantum dalam PERMENKES No.65 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Fisioterapi, yang berbunyi: “Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan/atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara, dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang rentang kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, 5 peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanik), pelatihan fungsi, dan komunikasi.” Intervensi fisioterapi sangat berguna dalam upaya penanganan kondisi MTrPs pada otot trapesius bagian atas, diantaranya adalah intervensi integrated neuromusculer inhibition techniques (INIT), myofascial release dan modalitas ultrasound. Myofascial release (MFR) adalah kumpulan dari berbagai metode pendekatan dan tehnik yang berfokus untuk membebaskan keterbatasan gerakan yang berasal dari gangguan pada jaringan lunak tubuh. Manfaat dari tehnik MFR ini beragam. Efek secara langsung pada tubuh mencakup pada efek mengurangi nyeri, memberikan fleksibitas yang lebih besar dan meningkatkan kebebasan gerak yang lebih tinggi sampai kepada hal yang lebih spesifik seperti perbaikan postur. Secara tidak langsung MFR berperan dalam pelepasan respon emosional, relaksasi dan hubungan perasaan yang mendalam. MFR sebaiknya tidak dipandang sebagai suatu tehnik khusus, tetapi dipahami sebagai pendekatan yang berfokus pada tujuan dengan prinsip utama adalah keterbatasan jaringan lunak dan interaksi dua arah antara gerakan dan postur (Grant, et al, 2009). Tehnik myofascial release (MFR) bersifat efektif, lembut dan menggunakan manual handling atau tangan untuk memobilisasi jaringan lunak. Dikembangkan oleh Barnes (1991), yang melibatkan aplikasi tehnik penekanan secara lembut pada area subkutan dan jaringan ikat miofasial. Tujuan dari MFR adalah untuk melepaskan adhesion atau perlengketan pada fasia dan memperbaiki jaringan lunak. Tehnik MFR dipergunakan untuk meringankan penekanan yang terjadi pada ikatan fibrosa di jaringan lunak atau fasia. MFR juga dapat disebut sebagai tehnik untuk menambah kemampuan restoratif tubuh dengan cara meningkatkan sirkulasi dan sistem transmisi saraf. Tehnik dengan mempergunakan beban tekanan rendah dan stretching secara bertingkat ini membuat fasia akan berelongasi, relaks dan juga mengakibatkan peningkatan 6 lingkup gerak sendi, menambah fleksibilitas dan mengurangi nyeri (Shah, et al, 2012). Selain menggunakan teknik myofascial release sebagai intervensi fisioterapi dalam menurunkan nyeri leher akibat trigger point, terdapat juga integrated neuromusculer inhibition techniques (INIT) yang dapat digunakan memanjangkan atau mengulur stuktur jaringan lunak (soft tissue) seperti otot, fasia, tendon, dan ligamen yang memendek secara patologis sehingga dapat meningkatkan lingkup gerak sendi (LGS) dan mengurangi nyeri akibat spasme, pemendekan otot, atau akibat fibrosis. INIT digunakan untuk menonaktifkan trigger point, dengan urutan tehnik penerapan yang meliputi: inhibisi atau kompresi iskemik, kemudian lakukan positional release untuk mendorong muscle spindle merelease atau melepaskan tonus otot yang berlebihan, dilanjutkan dengan kontraksi isometrik pada jaringan yang tepat untuk melokalisir trigger point, peregangan pasif dari jaringan lokal, peregangan aktif dan pasif dari seluruh otot dengan prinsip muscle energy technique (MET), dan aktivasi otot antagonis dapat digunakan untuk menyelesaikan tahapan penerapan INIT. Dapat disimpulkan bahwa pendekatan ini mencakup tiga metode, yaitu ischemic compression, positional release, diikuti oleh peregangan isometrik secara bertingkat. Tahapan tersebut merupakan cara yang signifikan dalam menonaktifkan trigger point yang terdapat dalam suatu jaringan. (Leon Chaitow, 2003) Menurut Chaitow (2003), integrated neuromusculer inhibition techniques (INIT) adalah suatu teknik latihan yang menggabungkan antara motor poin pressure atau ischemic compression, perubahan posisi pasif dan aktif secara bertahap dengan memfasilitasi antagonis dan latihan ini diberikan pada kondisi nyeri leher lokal tanpa disertai gangguan neurologis serta terbukti efektif mengobati MTrPs. Ultrasound (US) merupakan gelombang suara dengan vibrasi akustik pada frekuensi lebih dari 20.000 Hz (Young, 2010). US merupakan sumber fisis yang menimbulkan efek fisiologis berupa efek thermal dan efek non 7 thermal. Salah satu keuntungan US adalah dapat memberikan panas pada jaringan yang lebih dalam (deep heating), sehingga jika gelombang US masuk ke dalam tubuh maka akan menimbulkan peregangan dan pelunakan dalam jaringan (Young 2010). US dapat melancarkan sirkulasi dan metabolisme jaringan dengan reaksi inflamasi yang ditimbulkan, sehingga mengoptimalkan proses penyembuhan luka fase awal dan akhir peradangan, merangsang produksi collagen dan cartilage serta rileksasi otot yang tegang atau memendek (Young, 2010). Dari pemaparan diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti dalam bentuk penelitian skripsi dengan judul “Perbedaan efek antara Integrated Neuromuscular Inhibition Technique (INIT) dengan Myofascial Release terhadap nyeri dan disabilitas kasus Myofascial Trigger point Syndrome Otot Levator Scapulae”. B. Identifikasi Masalah Diagnosis sindroma miofasial harus ditegakkan dengan benar sebab seringkali menyerupai sindrom radikulopati servikal atau sindrom faset servikal. Sindrom ini juga dikenal sebagai fibrositis atau fibromiositis (Tulaar, 2008). Adapun cara pemeriksaan yang dilakukan untuk membedakan patologi sindroma miofasial dengan patologi lain ialah dengan melakukan palpasi otot dimana akan dijumpai taut band, twisting, trigger point serta nyeri menjalar apabila dilakukan penekanan yang terlalu besar pada otot yang bersangkutan. Sedangkan pada kondisi lain seperti fibromyalgia akan ditemui adanya spasme dan tenderness. Perbedaan yang nyata antara tender point dan trigger point adalah pada nyeri yang diakibatkan oleh tender point bersifat lokal atau nyeri menyebar di daerah lokal titik nyeri. Sedangkan nyeri trigger point bersifat lokal dan dapat menyebar ke daerah yang jauh dari titik nyeri, melalui mekanisme segmental. Tender point timbul didearah sekitar insertio otot skeletal sedangkan trigger point tumbuh dalam taut band muscle belly otot. 8 Pada skripsi ini, penulis akan spesifik pada otot levator scapulae. Otot levator scapulae merupakan jenis tipe otot tonik yang fungsi utamanya adalah mempertahankan posisi dan mengelevasi os.scapula. Otot ini juga bekerja secara konstan bersama-sama dengan otot upper trapezius, neck muscles group, dan otot aksioscapular lain yang memfiksasi dan menstabilisasi leher termasuk mempertahankan postur cervical spine dan kepala yang cenderung jatuh ke depan karena adanya kekuatan gravitasi dan berat kepala itu sendiri. Stres dan ketegangan yang menetap saat posisi bahu terangkat, dapat meningkatkan ketegangan pada otot ini, Sikap tubuh yang buruk (poor posture) juga bisa menjadi salah satu faktor pencetus. Ketika trigger point terbukti ada dalam otot ini, maka akan terasa sangat nyeri dan menyakitkan. Otot levator scapulae biasanya positif mengalami trigger point apabila kita tidak dapat melakukan gerak memutar kepala, dalam hal ini, arah putaran yang tidak bisa dilakukan adalah sisi yang bermasalah dan kemungkinan terdapat trigger point. Trigger point di otot ini juga dapat membuat rasa sakit dan kekakuan sepanjang leher dan tepi sebelah medial atas dari os. scapula. Dalam penegakan diagnosa myofascial trigger point syndrome (MTrPs) otot levator scapulae merupakan suatu gangguan lokal pada otot levator scapulae berupa adanya trigger point yang timbul dari taut band membentuk seperti jalinan tali dan lunak ketika disentuh atau dipalpasi. Hal ini akan menimbulkan efek ketegangan pada otot tersebut dan dirasakan nyeri menjalar (reffered pain) dengan pola spesifik yaitu sepanjang leher bagian belakang sebelah lateral, punggung atas, bahu dan pundak. Dengan keluhan seperti pegal dan nyeri pada leher bagian belakang sebelah lateral hingga menjalar ke bagian pundak dan punggung atas, kaku pada leher (stiff neck), kesulitan menggerakkan kepala ke satu sisi, dan susah untuk mengelevasi scapula. Sehingga sangat memungkinkan terjadinya peningkatan disabilitas regio leher dan pundak. Menegakkan diagnosis MTrPs pada otot levator scapulae meliputi anamnesis, inspeksi, flat palpation dan pincer palpation, ketukan, tes gerak 9 dasar, tes khusus, lingkup gerak sendi (LGS), tes nyeri dan disabilitas dengan visual analog scale (VAS) dan neck disability index (NDI). Visual analog scale (VAS) digunakan untuk mengkategorikan level atau tingkat nyeri. VAS adalah sebuah garis horizontal sepanjang 10 cm atau 100 mm dengan kedua ujung deskriptor tidak ada rasa sakit dan kemungkinan nyeri terburuk . Subjek menunjukkan rasa sakit mereka dengan menempatkan garis vertikal pada titik yang mewakili gejala tingkat nyeri saat ini . VAS adalah alat ukur yang hasilnya valid dan dapat diandalkan, serta telah digunakan secara luas pada penelitian sakit atau nyeri leher Minimally clinically important change (MCIC) dari VAS telah diteliti pada pasien dengan acute low back pain. Hasilnya ditemukan bahwa perubahan terkecil yang mungkin terdeteksi dengan tingkat probabilitas sebesar 95% di luar pengukuran yang salah, yang diukur dengan menggunakan VAS pada pasien yang sama adalah 36.2 mm (95% confidence interval (CI) 32.4 - 41.0) Neck disability index (NDI) yaitu suatu kuesioner pengukuran disabilitas dengan 10 item atau bagian yang meliputi intensitas nyeri, perawatan diri, aktifitas mengangkat, membaca, keluhan sakit kepala, konsentrasi, bekerja, mengendarai, tidur dan rekreasi. Nilai validitas dan reliabilitas dari NDI dipastikan melalui peer-review dan feed back atau umpan balik dari pasien. Test-retest reliability dilakukan pada 17 sampel pasien rawat jalan dengan kasus "whiplash" injured, menghasilkan signifikansi statistik yang baik (r Pearson = 0,89, p ≤ 0.05). Koefisien alpha dihitung dari kolom kuesioner yang diisi oleh 52 subjek menghasilkan total alpha indeks 0,80, dengan semua item memiliki nilai alpha individu di atas 0,75. Penelitian ini menunjukkan bahwa NDI mencapai tingkat kehandalan yang tinggi dan memiliki konsistensi internal. (Vernon & Mior, 1991). Hasil test-retest reliability untuk NDI dari penelitian lainnya adalah cukup tinggi (dengan koefisien korelasi intraclass (ICC) = 0,68; 95% confidence interval (CI) = 0,30-0,90). Perubahan terdeteksi minimal untuk NDI 10 adalah 10,2 dan perubahan minimally clinically important untuk NDI adalah 7.0 (Joshua Cleland et al, 2006) Pemeriksaan tambahan berupa faktor predisposisi MTrPs berasal dari mekanis, dan psikologi atau bahkan mungkin dari penyakit penyerta lainnya. Dimungkinkan tingkat keberhasilan tidak akan maksimal jika tidak melihat faktor yang memungkinkan, serta memastikan bahwa keluhan tersebut benarbenar akibat dari aktivasi trigger point. Pada kasus myofascial trigger point syndrome otot levator scapulae pemberian intervensi integrated neuromuscular inhibition technique (INIT), myofascial release, dan modalitas ultrasound sangat tepat diaplikasikan pada trigger point regio leher dan pundak, dimana dapat menurunkan disabilitas dan nyeri yang menjadi keluhan utama. Sehingga penurunan disabilitas dan nyeri pada regio tersebut, digunakan peneliti sebagai alat ukur untuk mendapatkan hasil pengukuran yang objektif dan dicapai dengan nilai validitas dan reliabilitas tinggi dengan menggunakan neck disability index (NDI) dan visual analog scale (VAS). C. Perumusan Masalah Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apakah ada efek intervensi kombinasi integrated neuromuscular inhibition technique dan US terhadap nyeri dan disabilitas leher pada kasus myofascial trigger point syndrome otot levator scapulae? 2. Apakah ada efek intervensi kombinasi myofascial release dan US terhadap nyeri dan disabilitas leher pada kasus myofascial trigger point syndrome otot levator scapulae? 11 3. Apakah ada perbedaan efek antara intervensi kombinasi integrated neuromuscular inhibition technique dan US dengan intervensi kombinasi myofascial release dan US terhadap nyeri dan disabilitas leher pada kasus myofascial trigger point syndrome otot levator scapulae? D. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui efek intervensi kombinasi integrated neuromuscular inhibition technique dan US terhadap nyeri dan disabilitas leher pada kasus myofascial trigger point syndrome otot levator scapulae. 2. Untuk mengetahui efek intervensi kombinasi myofascial release dan US terhadap nyeri dan disabilitas leher pada kasus myofascial trigger point syndrome otot levator scapulae. 3. Untuk mengetahui perbedaan efek antara intervensi kombinasi integrated neuromuscular inhibition technique dan US dengan intervensi kombinasi myofascial release dan US terhadap nyeri dan disabilitas leher pada kasus myofascial trigger point syndrome otot levator scapulae. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi peneliti a. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dengan mengkaji dan mengembangkan teori-teori yang telah diperoleh. b. Mengetahui penanganan yang tepat pada kasus ini serta mengetahui manfaat dari intervensi yang diberikan. 12 2. Manfaat bagi fisioterapis a. Dapat dijadikan bahan masukan dalam menentukan intervensi yang terkait dengan kasus myofascial trigger point syndrome. b. Menjadi pembanding dalam hasil pengukuran yang objektif terhadap intervensi yang diberikan untuk terus dikembangkan. 3. Manfaat bagi institusi pendidikan a. Dapat dijadikan bahan kajian untuk menambah wawasan dan kemampuan melalui teori-teori yang sudah ada. b. Sebagai referensi tambahan mengenai penanganan dan intervensi fisioterapi yang telah di teliti.