3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Perikanan

advertisement
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah Perikanan
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik
dari industri maupun dari domestik (rumah tangga). Limbah padat lebih dikenal
sebagai sampah, yang seringkali tidak dikehendaki kehadirannya karena tidak
memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah terdiri dari senyawa
organik dan senyawa anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu,
limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan
manusia, sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah (Ginting 2007).
Limbah perikanan mengandung nutrisi yang tidak berbeda dari bahan
utamanya dan telah banyak juga diteliti pemanfaatannya (Poernomo 1997).
Limbah perikanan dapat berasal dari kegiatan perikanan hulu (budidaya), maupun
kegiatan perikanan hilir (pengolahan, transportasi, pemasaran). Hasil samping dari
kegiatan budidaya dapat berupa ikan yang mati selama proses budidaya misalnya
yang terjadi pada waduk Cirata. Hasil samping industri pengolahan perikanan
umumnya berupa kepala, jeroan, kulit, tulang, sirip, darah dan air bekas produksi.
Kegiatan pengolahan secara tradisional umumnya kurang mampu memanfaatkan
hasil samping ini, bahkan tidak termanfaatkan sama sekali sehingga terbuang
begitu saja. Hasil samping kegiatan industri perikanan dapat digolongkan menjadi
lima kelompok utama, yaitu hasil samping pada pemanfaatan suatu spesies atau
sumberdaya; sisa pengolahan dari industri-industri pembekuan, pengalengan, dan
tradisional; produk ikutan; surplus dari suatu panen utama atau panen raya; dan
sisa distribusi (Sukarno 2001).
Menurut Bhaskar dan Mahendrakar (2008), jeroan ikan mengandung
protein dan lemak tak jenuh yang tinggi. Fakta yang ditemukan bahwa produk
buangan yang kaya akan protein dan lemak meningkatkan peluang untuk
mengalami kebusukan. Limbah tersebut dapat menimbulkan masalah lingkungan
bila tidak dilakukan penanganan. Menurut Dao dan Kim (2011), telah banyak
penelitian yang berkembang untuk memanfaatkan limbah jeroan ikan, seperti
pembuatan pakan ikan, pupuk serta media tumbuh bakteri (pepton).
4
2.2 Tepung Ikan
Tepung ikan adalah komoditas olahan hasil perairan yang diperoleh dari
suatu proses reduksi bahan mentah menjadi suatu produk yang sebagian besar
terdiri dari komponen protein ikan. Tepung ikan mempunyai kandungan protein
yang tinggi dan merupakan salah satu komponen penting dalam pertumbuhan.
Tepung ikan mempunyai nilai gizi sepuluh kali lebih besar dibandingkan tepung
yang dibuat dari hewan darat. Dengan demikian, penggunaan tepung ikan dalam
produk berfungsi sebagai penyuplai protein (Irianto dan Giyatmi 2002).
Berdasarkan bahan baku, tepung ikan dapat digolongkan menjadi tepung
ikan yang berwarna gelap yang biasanya terbuat dari limbah pengolahan ikan dan
tepung ikan berwarna putih kekuningan yang biasanya terbuat dari ikan rucah.
Bahan mentah yang untuk produksi tepung ikan dapat dibedakan atas tiga kategori
utama menurut Irianto dan Giyatmi (2002), yaitu:
a) Ikan yang sengaja ditangkap untuk produksi tepung ikan dan sering disebut
ikan industri, seperti ikan teri di Peru, ikan teri dan ikan pilchard di Afrika
Selatan, ikan herring dan ikan capelin di Norwegian dan Denmark.
b) Hasil tangkap samping dari kegiatan perikanan lain
c) Limbah ikan dari kegiatan industri pengolahan, seperti karkas dari industri
fillet serta kepala dan isi perut dari industri pengalengan.
Salah satu syarat pengolahan tepung ikan adalah tersedianya bahan mentah
yang berlebihan dan harganya murah, karena tepung ikan juga relatif murah di
pasaran. Jenis bahan mentah yang digunakan oleh pengolahan atau pabrik tepung
ikan di Indonesia adalah ikan utuh dan limbah dari pengolahan lainnya. Biasanya
ikan utuh yang diolah menjadi tepung ikan adalah ikan yang bermutu rendah atau
ikan yang tidak terserap oleh industri pengolahan yang lain dan ikan yang berasal
dari hasil tangkapan sampingan (Irianto dan Giyatmi 2002).
Tinggi rendahnya kadar protein pada tepung ikan selain dipengaruhi oleh
cara pengolahan, juga dipengaruhi oleh bahan mentah yang digunakan. Bahan
mentah yang digunakan dalam pengolahan tepung ikan seharusnya bermutu baik.
Hanya dengan menggunakan ikan bermutu baik saja yang dapat menjamin bahwa
tepung ikan yang dihasilkan akan bermutu baik pula. Apabila ikan yang
digunakan sebagai bahan mentah dalam pengolahan tepung ikan memiliki mutu
5
yang tidak baik, maka akan menghasilkan tepung ikan yang tidak sesuai dengan
harapan, yaitu kadar protein rendah dan kadar lemak tinggi. Selain bahan mentah
yang digunakan mempunyai mutu yang baik, bahan mentah yang digunakan juga
sebaiknya memiliki nilai ekonomis yang rendah (Irianto dan Giyatmi 2002).
Penggolongan teknologi pengolahan tepung ikan didasarkan pada proses
pemasakan dan pengeringan bahan mentah ikan. Terdapat dua metode utama
pengolahan tepung ikan yang telah diterapkan secara komersial, yaitu
penggolahan sistem basah dan pengolahan sistem kering. Pengolahan sistem
basah digunakan terutama untuk memproduksi tepung ikan dari bahan baku ikan
yang berlemak tinggi (>5%). Metode ini telah diterapkan secara luas dan paling
umum dijumpai pada pengolahan tepung ikan. Pengolahan sistem basah meliputi
pengukusan, pengepresan, pengeringan, penggilingan hingga diperoleh tepung
ikan kering. Proses pengolahan tepung ikan menggunakan sistem kering
digunakan untuk bahan mentah yang memiliki kadar lemak rendah (<5%). Proses
pengolahan sitem kering meliputi penggilingan kasar, pengeringan, pengepresan,
dan penggilingan (Irianto dan Giyatmi 2002).
2.3 Pengomposan
Pengomposan adalah proses dekomposisi biologi dari bahan organik yang
dapat dipercepat secara artificial oleh populasi berbagai macam mikrob (bakteri,
Actinomycetes dan fungi) dalam kondisi lingkungan aerobik atau anaerobik
(Crawford 2003). Proses pengomposan melibatkan suhu yang tinggi sebagai hasil
produksi panas dari proses pemecahan senyawa organik kompleks oleh mikrob
yang menghasilkan energi panas. Hasil akhir dari proses pengomposan berupa
produk kompos yang cukup stabil dalam bentuk padatan kompleks dan tidak
menimbulkan efek negatif yang dapat merugikan lingkungan saat diberikan atau
digunakan pada lahan (Wei et al. 2000).
Proses pengomposan membutuhkan pengendalian agar memperoleh hasil
yang baik. Pengendalian proses pengomposan dilakukan dengan cara menjaga
kondisi ideal sehingga proses pembusukan atau pengomposan dapat berjalan
secara optimum. Kondisi ideal bagi proses pengomposan berupa keadaan
lingkungan atau habitat dimana jasad renik dapat hidup dan berkembang dengan
6
optimal. Semakin banyak jumlah jasad renik yang ada, maka semakin cepat pula
proses dekomposisi terjadi (Gomez et al. 2002).
Proses pengomposan terdiri atas pengomposan aerob dan pengomposan
anaerob. Proses pengomposan aerob kurang lebih dua per tiga unsur karbon (C)
menguap menjadi CO2 dan sisa satu per tiga bagian bereaksi dengan nitrogen
dalam sel hidup. Selama proses pengomposan aerob, tidak timbul bau busuk.
Selama proses pengomposan berlangsung, akan terjadi eksotermik sehingga
timbul panas akibat pelepasan energi. Kenaikan suhu dalam timbunan bahan
organik menghasilkan suhu yang menguntungkan mikroorganisme termofilik.
Tetapi apabila suhu mencapai 65-70˚C, kegiatan mikroorganisme akan menurun
karena kematian organism akibat panas yang terlalu tinggi. Pada proses
pengomposan anaerobik, penguraian terjadi dalam suasana tanpa oksigen. Pada
tahap awal, bakteri fakultatif penghasil asam menguraikan bahan organik menjadi
asam lemak, aldehida dan lain-lain. Proses selanjutnya, bakteri dari kelompok lain
akan mengubah asam lemak menjadi gas metan, ammonia, CO2 dan hidrogen
(Sutanto 2002). Pada proses aerob, energi yang dilepaskan lebih besar, sekitar
484-674 kkal/mol glukosa, jika dibandingkan dengan proses anaerob yang hanya
melepaskan glukosa sebanyak 25 kkal/mol (McKinley et al. 1985).
Prinsip dasar dari pengomposan adalah pencampuran bahan organik kering
yang kaya karbohidrat dengan bahan organik basah yang banyak mengandung
nitrogen (N). bahan baku kompos juga harus memiliki karakteristik yang khas
agar dapat dikomposkan. Pada umumnya, bahan baku yang mengandung karbon
kering sangat baik untuk dijadikan kompos, namun bahan baku tersebut harus
dicampur dengan bahan lain yang memiliki kualitas berbeda. Proses dekomposisi
berlangsung secara berkelanjutan sampai bahan organik yang kompleks
berangsur-angsur diubah menjadi elemen yang sederhana beserta senyawa
anorganik dari terjadinya mineralisasi (Djaja 2008).
2.4 Pupuk Organik
Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk
menyediakan unsur-unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman. Pupuk organik
adalah pupuk yang berasal dari bahan-bahan organik seperti pangkasan daun
tanaman, kotoran ternak, sisa tanaman, dan sampah organik yang telah
7
dikomposkan.
Bahan
organik
ini
akan
mengalami
pembusukan
oleh
mikroorganisme sehingga sifat fisiknya akan berbeda dengan keadaan semula.
Pupuk organik termasuk pupuk majemuk lengkap karena kandungan unsur
haranya lebih dari satu unsur dan mengandung unsur mikro. Pupuk organik dapat
dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu pupuk organik padat dan pupuk organik
cair (Hadisuwito 2011).
Pupuk organik merupakan salah satu bahan yang sangat penting dalam
upaya memperbaiki kesuburan tanah karena terbebas dari unsur kimia yang
memiliki potensi untuk merusak kesuburan tanah dalam jangka panjang. Secara
kualitatif, kandungan unsur hara dalam pupuk organik tidak dapat lebih daripada
pupuk anorganik, namun penggunaan pupuk organik secara terus-menerus dalam
rentang waktu tertentu akan menjadikan kualitas tanah lebih baik disbanding
pupuk anorganik. Penggunaan pupuk organik tidak akan meninggalkan residu
pada hasil tanaman sehingga aman bagi kesehatan manusia (Musnamar 2003).
Standar kualitas pupuk organik kompos berdasarkan SNI 19-7030-2004 dapat
dilihat Tabel 1.
Tabel 1 Standar kualitas pupuk organik kompos berdasarkan SNI 19-7030-2004
Parameter
Bahan organik
Total N
Total C organik
Rasio C/N
P2O5
K2O
pH
Kadar air
Standar
27-58 %
>0,40 %
9,80-32,00 %
10-20
>0,10 %
>0,20 %
6,80-7,49
50%
Sumber: BSN (2004)
Pupuk organik merupakan bahan pembenah tanah yang paling baik dan
alami daripada bahan pembenah buatan/sintetik. Pada umumnya pupuk organik
mengandung hara makro NPK rendah, tatapi mengandung hara mikro dalam
jumlah yang cukup yang sangat diperlukan dalam pertumbuhan tanaman. Sebagai
bahan pembenah tanah, pupuk organik dapat mencegah terjadinya erosi,
pergerakan permukaan tanah (crusting) dan retakan tanah, mempertahankan
kelengasan tanah serta memperbaiki dakhil (internal drainage). Tanah yang
dibenahi dengan pupuk organik mempunyai struktur yang baik dan tanah yang
8
kecukupan bahan organik mempunyai kemampuan mengikat air lebih besar
daripada tanah yang kandungan bahan organik yang rendah. Nitrogen dan unsur
hara yang lain dilepaskan oleh bahan organik secara perlahan melalui proses
mineralisasi. Dengan demikian, apabila diberikan secara berkesinambungan, maka
akan banyak membantu dalam membangun kesuburan tanah (Sutanto 2002).
Bahan/pupuk organik sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi
pertanian baik kualitas maupun kuantitas, mengurangi pencemaran lingkungan,
dan meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan. Penggunaan pupuk organik
dalam jangka panjang dapat meningkatkan produktivitas lahan dan dapat
mencegah degradasi lahan. Sumber bahan untuk pupuk organik sangat
beranekaragam, dengan karakteristik fisik dan kandungan kimia/hara yang sangat
beragam sehingga pengaruh dari penggunaan pupuk organik terhadap lahan dan
tanaman dapat bervariasi. Pupuk organik atau bahan organik tanah merupakan
sumber nitrogen tanah yang utama, selain itu peranannya cukup besar terhadap
perbaikan sifat fisika, kimia biologi tanah serta lingkungan. Pupuk organik yang
ditambahkan ke dalam tanah akan mengalami beberapa kali fase perombakan oleh
mikroorganisme yang terdapat pada tanah untuk menjadi humus atau bahan
organik tanah (Balitbang Pertanian 2006).
2.5 Unsur Hara
Kesuburan tanah secara alami bergantung pada unsur-unsur kimia yang
tersedia di alam. Unsur-unsur kimia alami yang terangkai menjadi bahan organik
merupakan bahan penting dalam membantu mencuptakan kesuburan tanah yang
biasa disebut unsur hara.
Bahan organik tanah memiliki banyak kegunaan,
diantaranya mempertahankan struktur tanah, meningkatkan kemampuan tanah
untuk menyimpan dan mendistribusikan air dan udara di dalam tanah, serta
memberikan nutrisi untuk pertumbuhan tanaman dan organisme di dalam tanah.
Secara umum, unsur hara dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu
unsur hara makro yang terdiri dari unsur nitrogen, fosfor, kalium, sulfur, kalsium
dan magnesium; serta unsur hara mikro yang terdiri dari unsur klor, besi, mangan,
boron, kobal, iodium, seng, selenium, molibdenum, flour dan tembaga
(Hadisuwito 2011).
9
Unsur nitrogen atau N merupakan unsur hara di dalam tanah yang sangat
berperan bagi pertumbuhan tanaman.
Perilaku nitrogen di dalam tanah sulit
diperkirakan karena transformasinya sangat kompleks.
Lebih dari 98% N di
dalam tanah tidak tersedia untuk tanaman karena terakumulasi dalam bahan
organik atau terjerat dalam tanah liat. Oleh karena itu, bahan organik sudah
ditransformasi menjadi pupuk dapat membantu menyediakan N bagi tanaman.
Suplai unsur N melaui pemupukan unsur N melaui pemupukan lebih diutamakan
untuk tanaman karena N merupakan unsur yang paling banyak hilang dari lahan
setelah dipanen. Tanaman yang kekurangan N akan terus mengecil, bahkan secara
cepat berubah menjadi kuning karena N yang tersedia tidak cukup untuk
membentuk protein dan klorofil (Yuliarti 2009).
Selain unsur N, unsur hara lain yang penting bagi tanaman yaitu fosfor
atau P. Fosfor merupakan zat yang penting, tetapi selalu berada dalam keadaan
kurang di dalam tanah. Unsur P sangat penting sebagai sumber energi. Oleh
karena itu, kekurangan P dapat menghambat pertumbuhan dan reaksi-reaksi
metabolism tanaman. Sementara itu, kandungan fosfor pada tanaman membantu
dalam pertumbuhan bunga, buah, dan biji, serta mempercepat pematangan buah.
Jika tanaman kekuarangan unsur ini, maka dapat menyebabkan daun dan batang
menjadi kecil, daun berwarna hijau tua keabu-abuan, mengkilap, dan terlihat
pigmen merah pada daun bagian bawah dan selanjutnya mati.
Selain itu,
pembentukan bunga menjadi terhambat dan produksi buah dan bijinya kecil
(Subaedah 2007).
Kalium berfungsi dalam pembentukan protein dan karbohidrat. Selain itu,
unsur ini juga beperan penting dalam pembentukan antibodi tanaman untuk
melawan penyakit. Ciri fisik tanaman yang kekurangan kalium yaitu daun tampak
keriting dan mengkilap. Lama kelamaan, daun akan menguning di bagian pucuk
dan pinggirnya. Bagian antara jari-jari daun juga menguning, sedangkan jari-jari
tetap hijau. Ciri fisik lain kekurangan unsur ini adalah tangkai daun menjadi
lemah, dan mudah terkulai serta biji keriput (Muhammad 2007).
10
2.6 Bokashi
Bokashi adalah pupuk yang dihasilkan dari proses fermentasi atau
peragian bahan organik dengan teknologi EM (Effective Microorganism).
Keunggulan teknologi EM adalah pupuk organik dapat dihasilkan dalam waktu
yang relatif singkat dibandingkan dengan cara konvensional. EM merupakan
gabungan dari beberapa bakteri dan fungi yang memiliki kemampuan untuk
menyuburkan tanaman dan menguraikan bahan organik seperti bakteri asam
laktat, bakteri fototropik, ragi, jamur fermentasi dan bakteri golongan
Actinomycetes (Mayer et al. 2010).
Bahan baku pembuatan pupuk bokashi merupakan limbah pertanian
seperti jerami, rumput, sekam, tanaman kacang-kacangan, pupuk kandang atau
serbuk gergaji, namun bahan yang paling baik digunakan yaitu dedak padi karena
mengandung zat gizi yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Bokashi
sudah digunakan oleh petani Jepang dalam perbaikan tanah secara tradisional
untuk meningkatkan keragaman mikroba dalam tanah dan meningkatkan
persediaan unsur hara bagi tanaman. Secara tradisional, bokashi dibuat dengan
cara memfermentasikan campuran bahan organik seperti dedak dan kotoran
hewan dengan tanah dari hutan atau gunung yang mengandung berbagai jenis
mikroorganisme, namun saat ini bokashi telah dibuat dengan menggunakan kultur
mikroba seperti EM (Effective Microorganism). Penggunaan EM dalam bokashi
dapat memperbaiki kesehatan dan kualitas tanah, memperbaiki mutu tanaman,
serta sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman mikroba di dalam tanah
(Sani 2007).
Keunggulan pupuk bokashi menurut Sarbini (2008) antara lain:
a. Biaya pembuatan yang murah karena menggunakan bahan baku dari limbah
pertanian, limbah peternakan, limbah industri serta limbah rumah tangga
b. Mengandung unsur hara yang lebih lengkap, baik makro maupun mikro
c. Dapat dibuat sendiri
d. Memperbaiki struktur tanah. Tanah menjani gembur, perembesan air lebih
cepat, daya tahan terhadap erosilebih kuat dan tanah lebih mudah diolah.
e. Melepaskan unsur hara yang terikan oleh tanah dan menahannya dari tercuci
oleh air hujan
11
f. Member suasana lingkungan yang baik bagi jasad renik dalam tanah, sehingga
bahan organik dapat terurai oleh jasad renik untuk dimanfaatkan oleh
tanaman.
Penggunaan EM dalam pembuatan pupuk bokashi memberikan beberapa
keuntungan menurut Nasir (2008), antara lain:
a. Memperbaiki perkecambahan bungan, buah, dan kematangan hasil tanaman.
b. Memperbaiki lingkungan fisik, kimia, serta biologi tanah serta menekan
pertumbuhan hama dan penyakit dalam tanah
c. Meningkatkan kapasitas fotosintesis tanaman
d. Menjamin perkecambahan dan pertumbuhan tanaman yang lebih baik
e. Meningkatkan manfaat bahan organik sebagai pupuk
Download