Ficus carica - IPB Repository - Bogor Agricultural University

advertisement
POTENSI ANTIMIKROBA DAUN TIN (Ficus carica) TERHADAP
Staphylococcus aureus DAN Pseudomonas aeruginosa SERTA
APLIKASINYA PADA PRODUK BAKSO
SKRIPSI
AYU ARIESTA PRADANA
F24080125
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
ANTIMICROBIAL POTENTIAL OF FIG LEAF (Ficus carica) AGAINST Staphylococcus aureus
AND Pseudomonas aeruginosa AND ITS APPLICATION IN MEATBALL PRODUCT
Ayu Ariesta Pradana, Joko Hermanianto, Harsi D. Kusumaningrum
Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor
Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220,
Bogor,West Java, Indonesia
Phone: +62 85 725275286, e-mail: [email protected]
ABSTRACT
In Indonesia there are many abuse of formaline use in meatball. This study was conducted to
explore antimicrobial activity of fig leaf and to find alternative of preservation technology which is
effective and safe especially for meatball. Fig leaf has been used as medicine for various health
problems but its application in food has not been widely explored. Based on the extraction with
maceration method, extraction of fig leaf using ethanol as solvent showed a higher yield than using
hexane. Based on the well diffusion assay, in Staphylococcus aureus plate the greatest inhibition
diameter was found by 10%(w/v) or 100 mg/ml ethanol extract i.e 8.07 mm and the smallest by
10%(w/v) or 100 mg/ml hexane extract i.e 3.86 mm. In Pseudomonas aeruginosa plate the inhibition
diameter of ethanol and hexane extract were 5.70 mm and 4.97 mm respectively. The minimum
inhibition concentration of ethanol fig leaf extract against Staphylococcus aureus was 10 mg/ml or
10% (w/v). Therefore ethanol fig extract was applied in meatball with two treatments i.e. mixing and
boiling. The concentration of ethanol fig leaf extract which was applied were 3, 5, 10(%). Based on
Total Staphylococcus aureus counts, extract from both of treatments (5% and 10%) could reduce S.
aureus in meatball till 6 hours at room temperature. Extract by mixing treatment could reduce S.
aureus more than extract by boiling treatment. The most effective concentration from ethanol fig leaf
extract was 5% (w/w) by boiling treatment. It could extend meatball’s shelf life till 72 hours in room
temperature.
Keywords: fig leaf, well diffusion, antimicrobial, meatball, Staphylococcus aureus, Pseudomonas
aeruginosa
AYU ARIESTA PRADANA. F24080125. POTENSI ANTIMIKROBA DAUN TIN (Ficus carica)
TERHADAP Staphylococcus aureus DAN Pseudomonas aeruginosa SERTA APLIKASINYA
PADA PRODUK BAKSO. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Joko Hermanianto dan Dr. Ir. Harsi D
Kusumaningrum. 2013
RINGKASAN
Pengawet merupakan bahan tambahan yang penting untuk memperpanjang umur simpan suatu
produk pangan. Pengawet yang berasal dari sumber alami dibutuhkan dalam dunia pangan saat ini dan
pada masa yang akan datang. Daun tin (Ficus carica) telah banyak digunakan dalam dunia farmasi
karena daun tin memiliki kandungan komponen bioaktif. Penelitian tentang antimikroba daun tin telah
dilakukan terhadap bakteri yang berada pada mulut manusia (oral bacteria). Penelitian ini bertujuan
untuk mempelajari aktivitas antimikroba ekstrak heksana dan etanol daun tin terhadap bakteri
patogen, yaitu Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa serta aplikasinya pada bakso.
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu: (1) ekstraksi daun tin dengan pelarut heksana dan
etanol menggunakan metode maserasi, (2) menguji aktivitas antimikroba ekstrak daun tin dengan
metode difusi sumur dan metode dilution broth, dan (3) menguji aktivitas antimikroba ekstrak pada
bakso yang disimpan pada suhu ruang. Aplikasi ekstrak daun tin pada bakso terdiri dari beberapa uji,
yaitu Total Plate Count (TPC), total Staphylococcus aureus, dan pengamatan fisik terhadap kerusakan
bakso.
Rendemen ekstrak daun tin etanol yang diperoleh dari metode maserasi adalah sebesar 23.06%
sedangkan rendemen ekstrak daun tin heksana sebesar 3.48%. Ekstrak daun tin heksana dan etanol
dengan konsentrasi 100 mg/ml (10%) menghasilkan diameter penghambatan pada Staphylococcus
aureus berturut-turut sebesar 3.86 dan 8.07 mm sedangkan pada Pseudomonas aeruginosa berturutturut sebesar 5.70 dan 4.97 mm. Berdasarkan hasil rendemen ekstraksi dengan metode maserasi dan
uji difusi sumur, ekstrak daun tin yang diperoleh dengan pelarut etanol digunakan untuk pengujian
selanjutnya karena ekstrak tersebut memiliki rendemen yang lebih tinggi dan zona penghambatan
yang lebih besar dibandingkan ektrak daun tin dengan pelarut heksana. Konsentrasi hambat minimal
(MIC) dari ekstrak daun tin etanol yang diperoleh dari metode maserasi terhadap Staphylococcus
aureus adalah sebesar 1% atau 10 mg/ml. Pada uji aplikasi ekstrak daun tin etanol pada bakso, ekstrak
diaplikasikan dengan dua perlakuan yaitu, pengadonan dan perebusan pada suhu 800C selama 10
menit. Konsentrasi ekstrak yang digunakan pada kedua perlakuan tersebut adalah sebesar 3, 5, dan
10% (b/b atau b/v). Berdasarkan uji total Staphylpcoccus aureus pada bakso, konsentrasi ekstrak daun
tin etanol sebesar 5% dan 10% baik dari perlakuan perebusan dan pengadonan mampu menurunkan
jumlah bakteri S.aureus pada bakso yang disimpan pada suhu ruang selama 6 jam. Nilai
penghambatan ekstrak daun tin dengan etanol pada perlakuan pengadonan dengan konsentrasi ekstrak
5% dan 10% (b/b) secara berturut-turut sebesar 50.54% dan 72.66%. Nilai penghambatan ekstrak
daun tin dengan etanol pada perlakuan perebusan dengan konsentrasi 5% dan 10% (b/v) secara
berturut-turut sebesar 42.90% dan 71.39%. Berdasarkan hasil Total Plate Count dan pengamatan
kerusakan fisik, bakso perlakuan perebusan dengan konsentrasi ekstrak daun tin etanol sebesar 3, 5,
dan 10% (b/v) mampu bertahan terhadap kerusakan mikrobiologis dan fisik selama 6 jam
penyimpanan di suhu ruang sedangkan bakso kontrol selama 6 jam jumlah angka lempeng totalnya
sudah melebihi yang dipersyaratkan SNI, yaitu 1.0 x 105 koloni/gram. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa ekstrak daun tin dengan etanol yang diaplikasikan pada bakso dengan perebusan mampu
menekan jumlah angka lempeng total bakso hingga 6 jam penyimpanan di suhu ruang. Bakso
perlakuan pengadonan dengan konsentrasi ekstrak daun tin etanol sebesar 3% dan 10% (b/b) mampu
memperpanjang umur simpan bakso selama 24 jam penyimpanan. Selama 6 jam penyimpanan di suhu
ruang bakso dengan penambahan ekstrak daun tin etanol sebesar 3, 5, maupun 10% baik dengan
perlakuan perebusan maupun pengadonan menghasilkan nilai TPC yang rendah, yaitu <2,5 x 102
koloni/gram sedangkan bakso kontrol menghasilkan nilai TPC dengan rata-rata 3,4 x 104 koloni/gram.
Bakso dengan konsentrasi ekstrak daun tin etanol sebesar 5% (b/b) dengan perlakuan pengadonan
mampu memperlambat terjadinya kerusakan pada bakso selama 48 jam waktu penyimpanan pada
suhu ruang. Konsentrasi tersebut merupakan konsentrasi optimum dari ekstrak daun tin etanol yang
diaplikasikan pada bakso.
POTENSI ANTIMIKROBA DAUN TIN (Ficus carica) TERHADAP Staphylococcus aureus
DAN Pseudomonas aeruginosa SERTA APLIKASINYA PADA PRODUK BAKSO
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
AYU ARIESTA PRADANA
F24080125
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi
Nama
NRP
: Potensi Antimikroba Daun Tin (Ficus carica) terhadap Staphylococcus aureus dan
Pseudomonas aeruginosa serta Aplikasinya pada Produk Bakso
: Ayu Ariesta Pradana
: F24080125
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
(Dr. Ir. Joko Hermanianto)
NIP 19590528 198503.1.001
(Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum)
NIP 19640502 199303.2.004
Mengetahui:
Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M. Sc.)
NIP 19680526 199303.1.004
Tanggal lulus:
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul: Potensi Antimikroba
Daun Tin (Ficus carica) terhadap Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa serta
Aplikasinya pada Produk Bakso adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing,
dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 13 Maret 2013
Yang membuat pernyataan
Ayu Ariesta Pradana
F24080125
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2013
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar
IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tuis dalam bentuk
apa pun tanpa izin IPB.
BIODATA PENULIS
Ayu Ariesta Pradana dilahirkan di Sukoharjo pada tanggal 16 Mei 1990
sebagai anak pertama dari Bapak Totok Supriyanto dan Ibu Sri Sutarti.
Penulis menamatkan SMA pada tahun 2008 dari SMA Negeri 1
Sukoharjo. Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswi di IPB
melalui jalur SNMPTN. Penulis memilih Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis aktif dalam berbagai
organisasi kemahasiswaan sebagai pengurus BEM FATETA(Fakultas
Teknologi Pertanian) dan berbagai kegiatan kepanitiaan. Penulis pernah
menjadi Asisten Praktikum Analisis Pangan ITP tahun 2012. Penulis
pernah melaksanakan magang di perusahaan pangan swasta pada tahun 2010.
KATA PENGANTAR
Rasa syukur penulis panjatkan pada Allah swt atas terselesaikannya skripsi yang berjudul
“Potensi Antimikroba Daun Tin (Ficus carica) terhadap Staphylococcus aureus dan Pseudomonas
aeruginosa serta aplikasinya pada Produk Bakso” dengan baik. Penelitian ini dilaksanakan di
Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta, IPB sejak bulan Mei 2012 hingga Desember 2012.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak dan Ibu yang senantiasa memberikan doa dan dukungan
2. Dr. Ir. Joko Hermanianto dan Dr. Harsi D Kusumaningrum yang telah memberikan arahan pada
penulis selama penyelesaian tugas akhir
3. Dr. Ir. Dahrul Syah selaku dosen penguji yang telah member saran untuk perbaikan penulisan
4. Teknisi laboratorium ITP yaitu pak Taufik, pak Rojak, pak Edi, pak Sob, mbak Ari, mbak Vera
teh Nurul yang telah memberikan bantuan selama penelitian
5. Karyawan Perpustakaan IPB dan IPTP atas keramahan dan bantuannya
6. Teman-teman seangkatan ITP 45 yang senantiasa memberikan motivasi dalam menyelesaikan
penelitian dan skripsi
7. Teman lab dan seperjuangan : Ical, Ardy, Dio, Madun, Bangun, Tiur, Priska, Rara, Fathin, kak
Kiki yang selalu menemani pada saat penelitian
8. Teman sepermainan Rathih, Fiqa, Tata, Ratna, Gita dan yang lainnya yang selalu menemani di
saat penat
9. Teman omda Ayumas Solo: Rizka, Wiwik, kang Agus, Rp yang menjadi obat saat kangen dengan
kampung halaman, Solo
10. Teman-teman 393&394: Arum, Ika, Andra, Tia, Fitta, April, Ipit
11. Teman-teman kos Wisma Sakinah: Kadek, Uli, Zola, Desti, Opi, Fitri, Elly, Navi, Tisa, Kiran
yang menemani dan memotivasi untuk menyelesaikan skripsi dari pagi hingga malam
12. Teman-teman kampung Nglethiz yang telah menjadi kawan abadi dalam menghibur, memotivasi
walaupun berada jauh di sana
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun penelitian selanjutnya.
Bogor, 13 Maret 2013
Ayu Ariesta Pradana
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................................................................ iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................................... vii
I. PENDAHULUAN .............................................................................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG .................................................................................................................. 1
B. TUJUAN PENELITIAN ............................................................................................................... 2
C. KPI (Key Performance Indicator) ................................................................................................. 3
D. MANFAAT ................................................................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................................... 4
A. DAUN TIN (Ficus carica) ............................................................................................................ 4
B. SENYAWA ANTIMIKROBA ...................................................................................................... 5
C. EKSTRAKSI KOMPONEN BIOAKTIF ...................................................................................... 6
D. BAKTERI PATOGEN PANGAN................................................................................................. 7
E. PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA.............................................................................. 8
F. BAKSO ......................................................................................................................................... 9
III. METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................................................... 12
A. BAHAN DAN ALAT.................................................................................................................. 12
B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ................................................................................... 12
C. METODE PENELITIAN ............................................................................................................ 12
D. PENGAMATAN ......................................................................................................................... 17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................................................... 20
A. KULTUR BAKTERI UJI ............................................................................................................ 20
B. EKSTRAK DAUN TIN DENGAN PELARUT ETANOL DAN HEKSANA ........................... 21
C. AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK DAUN TIN HEKSANA DAN ETANOL ............. 22
D. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) EKSTRAK DAUN TIN DENGAN PELARUT
ETANOL ..................................................................................................................................... 25
E. APLIKASI EKSTRAK DAUN TIN ETANOL PADA BAKSO ................................................ 27
V. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................................. 38
A. SIMPULAN................................................................................................................................. 38
B. SARAN ....................................................................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 39
LAMPIRAN ...................................................................................................................................... 44
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Kriteria mutu sensoris bakso ................................................................................................. 10
Tabel 2. Komposisi kimiawi aneka bakso ........................................................................................... 11
Tabel 3. Batas maksimum cemaran mikroba dalam bakso ................................................................... 11
Tabel 4. Hasil pengamatan bakteri uji secara mikroskopi dan jumlah koloni bakteri uji ..................... 20
Tabel 5. Hasil ekstraksi daun tin dengan merode maserasi dengan berbagai pelarut ........................... 21
Tabel 6. Zona penghambatan terhadap bakteri uji................................................................................ 22
Tabel 7. Hasil pengujian aktivitas ekstrak daun tin etanol dengan uji dillution broth.......................... 26
Tabel 8. Hasil penghambatan ekstrak etanol daun tin terhadap pertumbuhan S. aureus ...................... 29
Tabel 9. Hasil uji Total Plate Count (TPC) pada bakso ....................................................................... 32
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 4.
Gambar 5.
Gambar 6.
Gambar 7.
Gambar 8.
Gambar 9.
Bentuk morfologi tanaman tin .......................................................................................... 5
Bentuk morfologi sel Staphylococcus aureus .................................................................. 7
Bentuk morfologi sel Pseudomonas aeruginosa ............................................................... 8
Metode difusi sumur untuk ekstrak daun tin ................................................................... 13
Proses pembuatan bakso ................................................................................................. 16
Tahapan proses penelitian ............................................................................................... 17
Zona bening yang dihasilkan pada media NA dengan metode difusi sumur .................. 23
Penurunan jumlah Staphylococcus aureus pada bakso ................................................... 30
(a) Bakso kontrol (b) Bakso hasil pengadonan dengan penambahan ekstrak daun tin
dengan etanol (c) Bakso hasil perebusan pada suhu 800C selama 10 menit dengan
penambahan ekstrak daun tin etanol ............................................................................... 31
Gambar 10. Hasil pengamatan fisik kerusakan bakso di suhu ruang selama waktu penyimpanan
tertentu ............................................................................................................................ 35
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Jumlah bakteri awal ......................................................................................................... 45
Lampiran 2. Hasil ekstraksi daun tin metode maserasi dengan berbagai pelarut ................................. 45
Lampiran 3. Zona hambat ekstrak daun tin terhadap bakteri uji .......................................................... 46
Lampiran 4. Nilai penghambatan ekstrak daun tin etanol terhadap Staphylococcus aureus ................ 47
Lampiran 5. Hasil Total Plate Count (TPC) pada bakso ...................................................................... 47
Lampiran 6. Hasil analisis ragam dan uji Duncan difusi sumur Staphylococcus aureus...................... 52
Lampiran 7. Hasil analisis ragam dan uji Duncan difusi sumur Pseudomonas aeruginosa ................. 53
vii
I.
A.
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Saat ini banyak isu pangan yang terjadi terutama kontroversi penggunaan Bahan Tambahan
Pangan (BTP). Penggunaan BTP tidak dilarang oleh pemerintah tetapi harus sesuai dengan regulasi
yang aman bagi kesehatan manusia. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
722/MENKES/PER/IX/1988 tentang bahan tambahan makanan, yang dimaksud dengan pengawet
adalah bahan tambahan makanan yang mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau
penguraian lain terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Salah satu fungsi BTP adalah
memperpanjang umur simpan suatu produk pangan atau BTP tersebut sering disebut dengan istilah
pengawet. Pelanggaran pengunaan pengawet sering terjadi di Indonesia seperti penggunaan dosis
pengawet yang tidak tepat maupun penggunaan bahan lain yang bukan merupakan bahan tambahan
pangan. Salah satu produk yang mudah rusak dan sering ditambahkan pengawet di dalamnya adalah
bakso daging sapi. Bakso daging sapi mudah rusak karena aktivitas dari mikroba baik pembusuk
pangan maupun patogen. Banyak penyalahgunaan pengawet dalam bakso berupa pencampuran zat
yang dilarang penggunaanya seperti boraks dan formalin dalam bakso. Salah satu bahan kimia yang
sering menjadi kontroversi adalah formalin karena sering digunakan sebagai bahan pengawet
makanan. Formalin umumnya digunakan untuk mengawetkan makanan seperti tahu, mie basah, ikan
asin bahkan dalam berbagai jenis daging (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2004). Menurut
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1168/MENKES/PER/X Tahun 1999,
disebutkan bahwa terdapat larangan penggunaan formalin sebagai bahan tambahan makanan dalam
makanan. Formalin merupakan zat kimia racun bila tertelan akan menyebabkan iritasi lambung, mual
muntah, mulas, mimisan, kerusakan ginjal, radang paru-paru, gangguan jantung, kerusakan hati,
kerusakan saraf, iritasi kulit, kebutaan, kerusakan organ reproduksi, bahkan kematian (Hasyim et al.
2006). Banyak terjadi penyalahgunaan formalin di Indonesia dikarenakan pengetahuan yang masih
sempit mengenai keamanan produk pangan terutama para produsen bakso. Selain itu, efektivitas dan
harga pengawet mempengaruhi produsen bakso dalam memilih pengawet.
Bakso merupakan produk yang rentan terhadap penyalahgunaan pengawet karena mudah rusak.
Bakso termasuk dalam kategori perishable food. Penyebab kerusakan utama pada bakso adalah
kerusakan mikrobiologis. Bermacam-macam mikroba seperti kapang, bakteri, dan ragi mempunyai
daya perusak terhadap bahan pangan. Cara perusakannya adalah dengan cara menghidrolisis atau
mendegradasi makromolekul-makromolekul yang menyusun bahan tersebut menjadi fraksi-fraksi
yang lebih kecil (Muchtadi 2008). Kerusakan mikrobiologis ini merupakan bentuk kerusakan yang
banyak merugikan serta terkadang berbahaya terhadap kesehatan manusia karena racun yang
diproduksi oleh mikroba, penularan, dan penjalaran kerusakan yang cepat. Bahan-bahan yang telah
rusak oleh mikroba dapat menjadi sumber kontaminasi yang berbahaya bagi bahan-bahan lain yang
masih sehat atau segar. Bahan yang sedang membusuk mengandung mikroba-mikroba yang berada
dalam pertumbuhan log phase, sehingga dapat menular dengan cepat ke bahan-bahan lain yang ada di
dekatnya (Muchtadi 2008).
Pemasaran bakso di masyarakat umumnya berlangsung dengan kondisi peyimpanan kurang
bersih pada suhu ruang sehingga semakin mempercepat terjadinya kerusakan pada bakso. Selain itu,
bakso memiliki kandungan nutrisi, kadar air, aw yang tinggi serta pH mendekati netral sehingga umur
1
simpannya relatif singkat. Mikroba pada bahan pangan terutama pada bakso dapat menyebabkan
kebusukan dan keracunan. Kebusukan pada bahan pangan disebabkan oleh mikroba pembusuk
sedangkan keracunan disebabkan oleh mikroba patogen. Mikroba patogen dapat menghasilkan toksin
maupun metabolit sekunder. Keberadaan mikroba pada bahan pangan berpengaruh terhadap umur
simpan dan keamanan produk terutama bakso saat dikonsumsi. Pengawet berfungsi untuk
mengendalikan pertumbuhan mikroba pada bakso sehingga masih berada dalam batas aman untuk
dikonsumsi. Menurut SNI 7388-2009 angka lempeng total pada bakso maksimal sebesar 1 x 105
koloni/gram. Banyak produsen maupun pedagang bakso melakukan penyalahgunaan pengawet pada
bakso karena pengawet yang dilarang memiliki harga yang lebih murah dan dapat memperpanjang
umur simpan bakso.
Permasalahan mengenai penggunaan pengawet yang dilarang masih banyak terjadi di
Indonesia. Oleh karena itu, saat ini diperlukan pengawet pengganti formalin yang aman dan efektif.
Penggunaan senyawa antimikroba dari pengawet alami yang tepat dapat memperpanjang umur simpan
suatu produk serta menjamin keamanan produk. Untuk itu dibutuhkan suatu bahan sebagai pengawet
alami yang tidak membahayakan bagi kesehatan. Bahan yang diduga mengandung aktivitas
antimikroba yang dapat memperpanjang umur simpan produk bakso daging sapi adalah daun tin.
Daun tin merupakan daun yang berasal dari tanaman tin (Ficus carica L) yang dalam kurun waktu
beberapa tahun ini mulai dibudidayakan di Indonesia. Daun tin mulai diolah menjadi teh yang
bermanfaat bagi kesehatan. Tanaman tin secara spontan tumbuh banyak di daerah Mediterania (Irget
et al. 2008). Tanaman ini mulai dibudidayakan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini. Tujuan
dari pembudidayaan tanaman ini di Indonesia adalah memudahkan masyarakat Indonesia untuk
memperoleh tanaman tersebut yang mulai digunakan sebagai tanaman obat. Tanaman tin mudah
dibudidayakan di Indonesia karena tanaman ini cocok tumbuh di daerah tropis maupun subtropis.
Tanaman tin merupakan tanaman purba karena sudah ada sejak turunnya wahyu Al-Quran. Tanaman
tin ini merupakan tanaman yang buahnya disebutkan dalam ayat Al-Quran. Firman Allah mengatakan:
“Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun.” (At-tin 1). Hal tersebut memungkinkan adanya manfaat tertentu
dari penciptaan tanaman tin bagi umat manusia. Buah dan daun tin telah banyak dimanfaatkan di
dunia farmasi dan kesehatan. Namun, pemanfaatannya di dunia pangan masih kurang. Daun tin
dilaporkan beberapa peneliti mengandung beberapa komponen bioaktif sehingga daun tin berpotensi
digunakan sebagai pengawet untuk memperpanjang umur simpan bahan pangan mudah rusak seperti
bakso. Secara umum bakso hanya tahan disimpan pada suhu ruang selama 1 hari atau 24 jam. Untuk
melihat adanya potensi daun tin sebagai pengawet alami pada bahan pangan perlu dilakukan uji
mikrobiologi dari daun tin. Oleh karena itu, analisis karakteristik daun tin yang akan digunakan
sebagai bahan pengawet alami perlu dilakukan secara mikrobiologi. Uji mikrobiologi dilakukan untuk
mengetahui potensi antimikroba dari daun tin. Beberapa uji mikrobiologi yang dilakukan antara lain
difusi sumur, dilution broth, total plate count (TPC), serta total S. aureus.
B.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini antara lain:
1.
2.
Mengetahui aktivitas antimikroba pada daun tin terhadap Staphylococcus aureus dan
Pseudomonas aeruginosa
Menemukan teknologi pengawetan tepat guna yang murah, efektif, dan aman pada bakso.
2
C.
1.
2.
D.
1.
2.
KPI (Key Performance Indicator)
Dihasilkan zona penghambatan > 8 mm pada metode difusi sumur dan MIC (Minimum
Inhibitory Concentration)
Dihasilkan pengawet alternatif dari daun tin yang dapat memperpanjang umur simpan bakso
hingga 2 hari di suhu ruang.
MANFAAT
Manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini antara lain:
Memberikan solusi alternatif pengawet bagi bahan pengawet pangan yang dilarang
penggunaanya
Menemukan bahan tambahan pangan terutama pengawet yang aman dikonsumsi.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.
DAUN TIN (Ficus carica)
Pohon tin (Ficus carica L) merupakan salah satu spesies Ficus yang unik tersebar di daerah
tropis dan subtropis. Pohon tin menghasilkan buah yang mempunyai nilai komersil yang tinggi.
Daerah penghasil pohon ini antara lain California, Australia, atau Amerika Selatan yang merupakan
daerah beriklim Mediteranian. Turki merupakan daerah penghasil pohon tin terbesar di dunia, sekitar
65% pohon tin dihasilkan di daerah Aegean Barat (Irget et al. 2008). Genus Ficus (Moraceae) terdiri
dari 750 spesies, sebagian besar tumbuh di daerah tropis (Pige et al. 2002). Di Indonesia tanaman tin
mulai dibudidayakan di daerah Bogor, Klaten, dan Malang serta berbagai daerah lainnya. Ficus carica
L. (Moraceae) telah diketahui manfaatnya dalam bidang kesehatan. Daun dan buah tin secara
tradisional digunakan sebagai obat laksatif, stimulan, obat penyakit tenggorokan, antitusif, emollient,
emmenagogue, serta sebagai bahan pelarut (Bellakhdar et al. 1991 dan Guarrera et al. 2003 diacu
dalam Jeong et al. 2009). Daun tin yang telah dibuat jamu digunakan untuk hemmoroid, sedangkan
buah tin yang dibuat infus secara aman dapat digunakan sebagai laksatif untuk anak-anak. Daun tin
segar dapat digunakan sebagai obat luka (Baytop, 1984). Menurut Konyalioglu et al. (2003) daun tin
mengandung beberapa senyawa aktif antara lain α-tokoferol, flavonoid, dan fenol. Selain itu, daun tin
juga memiliki aktivitas antioksidan. Beberapa peneliti melaporkan daun tin memiliki sifat
hipoglikemik pada penderita diabetes tipe I dengan menggunakan ekstrak kloroform, daun tin juga
dapat menurunkan tingkat kolesterol pada tikus percobaan yang terkena diabetes (Perez et al. 2003).
Beberapa komponen fenolik dari daun tin yang bersifat farmakologis telah diisolasi seperti
furanocoumarins seperti psoralen dan bergapten, flavonoid seperti rutin, quercetin, dan luteolin, asam
fenolik seperti asam ferrulik, dan juga fitosterol seperti taraxasterol (Ross et al. 2003 dan Vaya et al.
2006 diacu dalam Jeong et al. 2009). Ekstrak metanol daun tin telah diteliti memiliki aktivitas
antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan beberapa bakteri antara lain S. gordonii, S.
anginosus, P. intermedia, A. actinomycetemcomitans, and P. gingivalis (MIC, 0.156 hingga 0.625
mg/ml; MBC, 0.313 hingga 0.625 mg/ml) (Jeong et al. 2009). Penelitian tersebut menguji efek
sinergis penghambatan dari campuran ekstrak metanol dengan ampisilin atau gentamisin terhadap
bakteri oral yang terdapat pada mulut manusia. Beberapa komponen fenolik dari daun tin yang telah
diisolasi menunjukkan aktivitas penghambatannya baik dengan cara penghambatan melawan
Streptococci mutan atau dengan penghambatan glukosiltransferase (Hada 1989). Bentuk morfologi
tanaman tin dapat dilihat pada Gambar 1.
4
Gambar 1. Bentuk morfologi tanaman tin (Sumber:http://embunflorist.blogspot.com/2010/07/pesananpohon-tin.html)
B.
SENYAWA ANTIMIKROBA
Antimikroba adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau bahkan mematikan mikroba
dengan cara mengganggu metabolisme mikroba yang merugikan (Madigan 2005). Mikroorganisme
dapat menyebabkan bahaya karena kemampuan menginfeksi dan menimbulkan penyakit serta
merusak bahan pangan. Antibakteri termasuk ke dalam antimikroba yang digunakan untuk
menghambat pertumbuhan bakteri (Schunack et al. 1990). Senyawa antibakteri hanya dapat
digunakan jika mempunyai sifat toksik selektif artinya dapat membunuh bakteri yang menyebabkan
penyakit tetapi tidak beracun bagi penderitanya (Madigan 2005). Mekanisme kerja dari senyawa
antibakteri antara lain dengan cara menghambat sintesis dinding sel, menghambat keutuhan
permeabilitas dinding sel bakteri, menghambat kerja enzim, dan menghambat sintesis asam nukleat
dan protein (Jawetz 1996 dan Madigan 2005). Aktivitas senyawa antibakteri dipengaruhi oleh pH,
suhu stabilitas senyawa tersebut, jumlah bakteri yang ada, waktu inkubasi, dan aktivitas metabolisme
bakteri (Madigan 2005). Berdasarkan aktivitasnya zat antibakteri dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
bakteriostatik dan bakterisida. Bakteriostatik adalah zat antibakteri yang memiliki aktivitas
menghambat pertumbuhan bakteri namun tidak mematikan (Schunack et al 1990 dan Madigan 2005).
Bakterisida adalah zat antibakteri yang memiliki aktivitas membunuh bakteri (Madigan 2005).
Namun, ada beberapa zat antibakteri yang bersifat bakteriostatik pada konsentrasi rendah dan bersifat
bakterisida pada konsentrasi tinggi (Fardiaz et al. 1987). Daun tin telah dilaporkan memiliki aktivitas
antimikroba terhadap beberapa bakteri. Menurut penelitian Jeong et al. (2008), ekstrak metanol dari
daun tin menjukkan aktivitas yang kuat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus gordonii,
Streptococcus anginosus, Prevotella intermedia, Aggregatibacter actinomycetemcomitans, dan
Porphyromonas gingivalis. Senyawa antimikroba yang berkontribusi dalam menghambat
pertumbuhan bakteri tersebut adalah beberapa komponen flavonoid yang terkandung dalam daun tin
(Jeong et al. 2008 dan Cha et al. 2007). Flavonoid adalah salah satu kelompok senyawa fenolik yang
mempunyai kerangka dasar karbon terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua buah cincin benzena
terikat pada suatu rantai propan membentuk susunan C6-C3-C6, dan merupakan senyawa yang cukup
banyak terdapat pada tumbuhan Ficus (Musthapa dan Dwiyanti 2004).
5
C.
EKSTRAKSI KOMPONEN BIOAKTIF
Ekstraksi adalah suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan dengan
cara pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu bahan yang merupakan sumber komponennya.
Menurut Harborne (1987), ekstraksi adalah proses penarikan komponen komponen atau zat aktif suatu
contoh menggunakan pelarut tertentu. Ekstraksi dibedakan menjadi tiga cara menurut
pengoperasiannya, yaitu ekstraksi dengan penekanan yang sering disebut penekanan mekanik,
ekstraksi dengan mengggunakan pelarut (solvent extraction), dan ekstraksi dengan pemanasan
(rendering). Ekstraksi komponen bioaktif dari tanaman dapat dilakukan secara in vitro maupun in
vivo. Pemilihan pelarut yang tepat untuk ekstraksi merupakan faktor yang menentukan efisiensi
proses pengekstrakan. Menurut Ghisalberti (1993) terdapat beberapa teknik untuk mengisolasi
antimikroba aktif komponen dari tanaman. Tanaman yang telah kering dapat diekstraksi dengan
beragam pelarut. Pengekstrakan biasanya dilakukan dengan menggunakan beberapa pelarut secara
berurutan dari polaritas yang rendah hingga tinggi. Pelarut polar yang sering digunakan adalah etil
asetat atau metanol. Secara teoritis etil asetat mengekstrak senyawa bioaktif dengan cara pencucian
sampel sedangkan alkohol dengan cara pemecahan struktur sel (membran) atau intraseluler bahan.
Campuran pelarut dikloro-metanmetanol tepat digunakan untuk ektraksi bahan tanaman segar dengan
kadar air tinggi. Pemisahan dan partisi sampel dengan metanol diikuti ekstraksi dengan etil asetat dan
butanol dapat memisahkan senyawa lipofilik dari bahan. Komponen bioaktif yang memiliki aktivitas
antimikroba sering ditemukan pada tanaman herbal maupun rempah-rempah antara lain komponen
fenolik, terpen, alifatik alkohol, aldehid, keton, asam, dan isoflavonoid (Davidson et al. 2005).
Teknik ekstraksi yang tepat akan berbeda untuk masing-masing bahan. Hal ini dipengaruhi oleh
tekstur, kandungan bahan dan jenis senyawa lain yang diinginkan (Nielsen 2003). Pemilihan metode
ekstraksi senyawa ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu sifat jaringan tanaman, sifat kandungan zat
aktif, dan kelarutan dalam pelarut yang digunakan. Penelitian ini menggunakan metode maserasi.
Menurut Hamdani (2012) maserasi adalah salah satu jenis metode ekstraksi dengan sistem tanpa
pemanasan atau dikenal dengan istilah ekstraksi dingin, dalam metode ini pelarut dan sampel tidak
mengalami pemanasan. Oleh karena itu, maserasi merupakan teknik ekstraksi yang dapat digunakan
untuk senyawa yang tidak tahan panas ataupun tahan panas. Namun, biasanya maserasi digunakan
untuk mengekstrak senyawa yang tidak tahan panas (termolabil) atau senyawa yang belum diketahui
sifatnya. Metode ini membutuhkan pelarut yang banyak dan waktu yang lama. Maserasi sering disebut
dengan metode perendaman karena proses ekstraksi dilakukan dengan hanya merendam sampel tanpa
mengalami proses lain kecuali pengocokan apabila memang diperlukan. Prinsip ekstraksi senyawa
dari sampel adalah adanya gerak kinetik dari pelarut. Metode maserasi ini dilakukan dengan cara
merendam bahan dengan pelarut tertentu. Hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai pelarut adalah:
(1) pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, (2) pelarut organik akan cenderung melarutkan
senyawa organik, dan (3) pelarut air cenderung melarutkan senyawa anorganik dan garam dari asam
ataupun basa (Achmadi 1992). Penelitian ini menggunakan pelarut nonpolar yaitu heksana dan pelarut
polar yaitu etanol. Pembuatan ekstrak dilakukan dengan melarutkan serbuk daun tin dengan
perbandingan 1:4 (b/v) ke dalam pelarut etanol dan heksana kemudian dishaker di suhu ruang selama
24 jam dengan kecepatan 35 rpm. Setelah 24 jam ekstrak disaring dengan kertas saring kemudian
diuapkan untuk menghilangkan pelarutnya dengan rotavapor pada suhu 450C.
6
D.
BAKTERI PATOGEN PANGAN
Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus termasuk ke dalam: Divisi Protophyta, Kelas Schizomycetes, Ordo
Eubacterials, Famili Micrococcaceaee dan Genus Staphylococcus (Salle 1961). Staphylococcus aureus
termasuk ke dalam bakteri patogen yang bersifat Gram positif. Staphylococcus merupakan bakteri
berbentuk bulat yang terdapat dalam bentuk tunggal, berpasangan, tetrad, atau berkelompok seperti
buah anggur. Nama bakteri ini berasal dari bahasa Latin “staphele” yang berarti anggur. Bentuk
morfologi dari S. aureus dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Bentuk morfologi sel Staphylococcus aureus (Sumber:
phil.cdc.gov)
Beberapa spesies memproduksi pigmen berwarna kuning sampai oranye misalnya S. aureus.
Bakteri ini membutuhkan nitrogen organik (asam amino) untuk pertumbuhannya dan bersifat
anaerobik fakultatif. Kebanyakan galur S. aureus bersifat patogen dan memproduksi enterotoksin
yang tahan panas, di mana ketahanan panasnya melebihi sel vegetatifnya. Beberapa galur, terutama
yang bersifat patogenik, memproduksi koagulase (menggumpalkan plasma), bersifat proteolitik,
lipolitik, dan betahemolitik (Fardiaz 1992). Staphylococcus aureus dapat tumbuh dengan suhu
optimum antara 30-370C (Baird Parker, 2000). Staphylococcus aureus dapat menghasilkan senyawa
beracun. Senyawa beracun yang diproduksi Staphylococcus aureus disebut enterotoksin dan dapat
terbentuk dalam makanan karena pertumbuhan bakteri tersebut. Disebut enterotoksin karena
menyebabkan gastro enteritis. Enterotoksin sangat stabil terhadap panas dan yang paling tahan panas
ialah enterotoksin tipe B. Pemanasan yang dilakukan oleh proses pemasakan normal tidak akan
mampu menginaktifkan toksin tersebut dan tetap dapat menyebabkan keracunan. Stafilokokus adalah
organism yang biasanya terdapat di berbagai bagian tubuh manusia, termasuk hidung, tenggorokan,
kulit, dan karenanya mudah memasuki makanan. Gejala segera terlihat setelah makan makanan yang
tercemar. Jumlah enterotoksin yang termakan menentukan waktu timbulnya gejala serta parah
tidaknya infeksi tersebut. Pada umumnya gejala-gejala mual, pusing, muntah, dan diare muncul 2
sampai 6 jam setelah makan makanan tercemar itu (Pelczar dan Chan 2009).
7
Pseudomonas aeruginosa
Pseudomonas aeruginosa termasuk dalam kategori bakteri Gram negatif, aerobik, kokobasil,
dan serta memiliki kemampuan motil yang unipolar. Bakteri ini termasuk bakteri patogen (Ryan dan
Ray 2004). Walaupun diklasifikasikan ke dalam organisme yang anaerobik, Pseudomonas aeruginosa
juga dapat hidup dengan baik sebagai organisme anaerob fakultatif. Hal tersebut karena
kemampuannya dalam berpoliferase dalam lingkungan sedikit maupun tidak ada oksigen.
Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri yang dapat menyebabkan beberapa penyakit pada hewan
maupun manusia. Bakteri ini biasanya ditemukan pada tanah, air, maupun tanaman. Bakteri ini dapat
tumbuh dengan baik tidak hanya pada kondisi atmosfer yang normal tetap juga pada kondisi atmosfer
yang hypoxic. Pseudomonas aeruginosa dapat membentuk koloni yang banyak pada lingkungan alami
maupun buatan. Bakteri ini menggunakan material organik sebagai sumber makanan untuk hidupnya.
Pada hewan keberadaan bakteri ini dapat merusak jaringan sehingga dapat menurunkan sistem imun
pada hewan. Jika bakteri ini menyerang organ vital dalam tubuh seperti paru-paru, saluran urin, dan
ginjal maka akan berakibat fatal bagi kesehatan. Gejala yang umum ditimbulkan adanya infeksi dari
bakteri ini adalah adanya peradangan. Morfologi dari bakteri ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Bentuk morfologi sel Pseudomonas aeruginosa
(Sumber: Pseudomonas Genome Database)
E.
PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA
Screening Aktivitas Antimikroba dengan Difusi Agar
Metode difusi agar (Acar dan Goldstein 1986; Piddock 1990, NCCLS 1999, 2002 diacu dalam
Davidson et al 2005) merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk penentuan aktivitas
antimikroba. Dalam uji ini, senyawa antimikroba ditambahkan pada cakram kertas atau sumur yang
berada dalam cawan agar yang telah ditumbuhkan bakteri uji. Senyawa antimikroba tersebut berdifusi
melalui agar. Derajat penghambatan ditunjukkan dengan zona tidak ada pertumbuhan bakteri di
sekitar cakram kertas maupun sumur. Besarnya zona tersebut tergantung pada tingkat difusi senyawa
dan pertumbuhan sel bakteri (Barry 1986). Oleh karena itu, senyawa antimikroba yang diuji bukan
termasuk senyawa hidrofobik karena senyawa tersebut tidak akan menyebar dan menghasilkan
penghambatan sedikit atau tidak ada akan terdeteksi sama sekali. Mikroorganisme uji yang dipilih
harus dapat tumbuh dengan cepat dan seragam. Slowgrowing strain dapat menghasilkan zona
penghambatan besar, sedangkan fastgrowing strain menghasilkan zona penghambatan yang kecil
(Piddock 1990). Metode ini tidak boleh digunakan untuk mikroorganisme anaerob. Untuk melakukan
uji ini, cawan petri diisi dengan media nonselektif pada kedalaman sekitar 4 mm. Media ini
8
sebelumnya telah diinokulasi dengan suspensi bakteri uji sekitar log 6,0 CFU/ml (Piddock 1990).
Sumur kemudian dibuat dalam cawan tersebut. Antimikroba yang diuji dimasukkan ke dalam sumur
tersebut dengan aseptik. Cawan diinkubasi dalam kondisi optimum bagi mikroorganisme uji selama
16 sampai 24 jam (NCCLS 1999, 2002). Setelah diinkubasi, zona penghambatan di sekitar sumur
diamati. Selain senyawa antimikroba yang diuji, senyawa antibiotik juga harus diujikan sebagai
kontrol positif. Hasil dari uji difusi agar umumnya kualitatif. Namun, kerentanan mikroorganisme uji
terhadap suatu senyawa antimikroba dapat diukur karena zona penghambatan pada agar berbentuk
lingkaran. Mikroorganisme yang tergolong rentan jika zona yang dihasilkan adalah >30 sampai 35
mm, intermediate dengan zona 20 sampai 30 mm, dan tahan dengan zona <15 sampai 20 mm
(Piddock 1990). Kerentanan mikroorganisme berkaitan dengan kemampuan penghambatan dari
senyawa antimikroba. Semakin rentan mikroorganisme uji, zona penghambatan yang dihasilkan
semakin besar dan kemampuan penghambatan senyawa antimikroba semakin kuat, begitu pula
sebaliknya.
Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC)
MIC secara umum didefinisikan sebagai konsentrasi terendah dari suatu antimikroba yang
menghambat pertumbuhan mikroorganisme selama masa inkubasi tertentu. Metode ini menggunakan
prinsip pengenceran dengan media cair nonselektif. Konsentrasi antimikroba tertentu ditambahkan ke
dalam tabung reaksi yang berisi media cair nonselektif. Kisaran konsentrasi antimikroba yang
digunakan biasanya ditentukan secara trial and error. Interval konsentrasi antimikroba berapapun
dapat digunakan baik dalam satuan g/ml atau ppm, misalnya, 32, 64, 128, 256, 512 ppm. Tabung
reaksi yang digunakan biasanya memiliki volume 1-10 ml. Mikroorganisme uji yang diinokulasikan
pada tabung yang berisi media cair dan antimikroba tertentu sekitar 5,7 log CFU/ml (Thrupp 1986,
Piddock 1990, NCCLS 1999 diacu dalam Davidson et al. 2005). Tabung tersebut kemudian diinkubasi
selama 16 sampai 24 jam pada suhu optimum pertumbuhan mikroorganisme uji. Waktu inkubasi harus
disesuaikan pada kondisi lingkungan saat pengujian. MIC didefinisikan sebagai konsentrasi terendah
di mana pertumbuhan tidak terjadi (tidak adanya kekeruhan pada tabung reaksi) selama inkubasi.
F.
BAKSO
Menurut SNI No. 01-3818-1995 bakso adalah produk makanan berbentuk bulatan yang
diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia
dengan atau tanpa bahan tambahan pangan yang diizinkan. Menurut Widyaningsih (2006) bakso
merupakan produk gel dari protein daging sapi, ayam, ikan maupun udang. Menurut Tarwotjo et al.
(1971) bakso berbeda dengan meatball, bakso menggunakan bahan berpati yang tidak dibatasi
penggunaannya, sedangkan meatball menggunakan konsentrat protein, tepung kedelai, susu bubuk
tanpa lemak dan bahan sejenis lainnya maksimal 12%. Berdasarkan perbandingan daging dan tepung
yang digunakan, Elviera (1998) mengelompokkan bakso menjadi tiga kelompok, yakni bakso daging,
bakso urat, dan bakso aci. Daging yang digunakan menentukan mutu dari bakso (Sunarlim 1992).
Daging yang baik adalah daging fase pre rigor sehingga water holding capacity masih tinggi (jumlah
ATP yang masih banyak sehingga ikatan antar protein renggang) dan protein terekstrak lebih banyak
dibandingkan pada fase berikutnya sehingga kemampuan emulsinya juga meningkat dan
9
menghasilkan emulsi yang lebih stabil. Saat direbus bakso yang dibuat dari daging fase pre rigor akan
memiliki daya ikat air yang tinggi sehingga permukaan bakso yang dihasilkan akan kering tetapi tetap
empuk. Bahan pengisi yang umum digunakan adalah tapioka dan pati sagu. Bahan pengisi penting
karena kemampuannya yang tinggi dalam mengikat air, tetapi tidak mempunyai kemampuan dalam
mengemulsi lemak. Fungsi bahan pengisi yaitu (1) memperbaiki sifat emulsi, (2) mereduksi
penyusutan selama pemasakan, (3) memperbaiki sifat fisik dan cita rasa, dan (4) menurunkan biaya
(Kramlich 1971). Menurut Trout dan Schmidt (1986) di dalam Sunarlim (1992), garam berfungsi
untuk mengekstrak protein miofibrial dari sel-sel otot selama perlakuan mekanis dan berinteraksi
dengan protein otot membentuk matriks yang kuat dan mampu menahan air bebas serta membentuk
tekstur. Jumlah garam yang ditambahkan sekitar 2.5% dari berat daging. Es dalam penggilingan
daging berfungsi untuk menjaga suhu daging selama penggilingan, suhu daging yang terlalu tinggi
(lebih dari 15-200C) akan menyebabkan kerusakan emulsi (Wilson 1981). Selain itu, es juga berfungsi
memperlancar ekstraksi protein, mencegah tekstur adonan menjadi kering, dan meningkatkan
rendemen. Penambahan es sebanyak 10-15% dari berat daging, atau bahkan 30% dari berat daging.
Protein berperan penting pada bakso karena merupakan pembentuk sistem emulsi, karena protein
merupakan emulsifier alami. Ada tiga protein yang berperan dalam pembentukan emulsi, yaitu (1)
protein sarkoplasma yang larut air, (2) aktin myosin yang larut garam, dan (3) protein lain seperti
mioglobin (larut air dan garam) (Wilson, 1981).
Menurut Wibowo (2006) ada 4 parameter sensoris utama yang perlu dinilai, yaitu
penampakan, warna, bau, rasa, dan tekstur. Adanya jamur dan lendir juga perlu diamati, terlebih jika
bakso sudah disimpan lama. Kriteria dan deskripsi mutu sensoris bakso seperti di dalam Tabel 1,
sedangkan nilai gizi (proksimat) beberapa bakso disajikan di dalam Tabel 2. Batas cemaran mikroba
dalam bakso sesuai dengan SNI dapat dilihat di dalam Tabel 3.
Tabel 1. Kriteria mutu sensoris bakso
Parameter
Penampakan
Bakso Daging
Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan cemerlang, tidak kusam.
Sedikitpun tidak tampak berjamur, dan tidak berlendir
Warna
Coklat muda cerah atau sedikit kemerahan atau coklat muda hingga coklat muda
agak keputihan atau abu-abu. Warna tersebut merata tanpa warna lain yang
mengganggu
Bau
Bau khas daging segar rebus dominan, tanpa bau tengik, masam, basi atau busuk.
Bau bumbu cukup tajam.
Rasa
Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu cukup menonjol tetapi
tidak berlebihan. Tidak terdapat rasa asing yang mengganggu.
Tekstur
Tekstur kompak, elastik, kenyal, tetapi tidak liat atau membal, tidak ada serat
daging, tidak lembek, tidak basah berair, dan tidak rapuh.
Sumber: Wibowo (2006)
10
Tabel 2. Komposisi kimiawi aneka bakso
Air
Protein
Lemak
Kh
Abu
Garam
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
Bakso daging mutu tinggi
76,52
14,68
1,46
5,00
2,34
1,74
Bakso daging jalanan
59,52
6,80
8,18
22,74
2,76
2,08
Bakso daging pasar
66,89
11,26
1,44
17,06
3,66
2,35
Bakso daging restoran
73,93
11,57
1,09
10,81
2,50
2,15
Jenis Bakso
Sumber: Wibowo (2006)
Tabel 3. Batas maksimum cemaran mikroba dalam bakso
No
Jenis cemaran mikroba
Batas maksimum
1
ALT (300C, 72 jam)
1 x 105 koloni/g
2
APM Koliform
10/g
3
APM Escherichia coli
< 3/g
4
Salmonella sp
Negatif/25g
5
Staphylococcus aureus
1 x 102 koloni/g
6
Clostridium perfringens
1 x 102 koloni/g
Sumber: SNI (2009)
11
III. METODOLOGI PENELITIAN
A.
BAHAN DAN ALAT
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun tin (Ficus carica). Mikroba
yang digunakan untuk pengujian aktivitas antimikroba dalam penelitian ini adalah Staphylococcus
aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Media yang digunakan untuk pertumbuhan mikroba yaitu
Nutrient Agar (NA), Plate Count Agar (PCA), Nutrient Broth (NB), dan Baird Parker Agar (BPA).
Bahan kimia yang digunakan dalam analisis mikrobiologi ini adalah heksana, spirtus, etanol, dan
akuades. Bahan yang digunakan dalam pembuatan bakso adalah daging sapi, tepung tapioka, garam,
air es, dan bumbu-bumbu. Alat yang digunakan untuk keperluan analisis kimia dalam penelitian ini
adalah shaker dan rotavapor. Alat yang digunakan untuk keperluan analisis mikrobiologi dalam
penelitian ini adalah cawan petri, jarum ose, tabung reaksi, inkubator, autoklaf, stomacher, timbangan
analitik, mikropipet, bunsen, kertas saring, erlenmeyer, kapas, labu takar, gelas piala, aluminium foil,
dan vortex. Alat yang digunakan untuk pembuatan bakso adalah food processor, meat grinder,
kompor, sendok, serta panci.
B.
WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Pangan dan Mikrobiologi Pangan Departemen
Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari bulan Januari
hingga Desember 2012.
C.
METODE PENELITIAN
C.1. Penelitian pendahuluan
Penelitian pendahuluan ini terdiri dari beberapa kegiatan antara lain:
a. Seleksi daun tin
Seleksi daun tin meliputi pencarian tempat budidaya daun tin. Tempat yang dipilih merupakan
tempat yang membudidayakan daun tin di kawasan Bogor.
b. Pembuatan serbuk daun tin
Daun tin kering yang diperoleh dari tempat budidaya kemudian dihancurkan dengan blender hingga
berbentuk serbuk. Pengeringan dilakukan di bawah sinar matahari oleh petani yang
membudidayakan daun tin. Serbuk daun tin kemudian digunakan sebagai bahan baku penelitian.
c. Pembuatan ekstrak daun tin
Pembuatan ekstrak dilakukan dengan melarutkan serbuk daun tin dengan perbandingan 1:4 (v/v) ke
dalam pelarut etanol dan heksana kemudian dishaker di suhu ruang selama 24 jam dengan
kecepatan 35 rpm. Setelah 24 jam ekstrak disaring dengan kertas saring kemudian diuapkan untuk
menghilangkan pelarutnya dengan rotavapor pada suhu 450C. Rendemen ekstrak daun tin dihitung
12
dengan cara membagi eksrak yang diperoleh (g) dengan 25 gram daun tin kering kemudian
mengalikan dengan 100%.
d. Persiapan kultur uji
Kultur bakteri yang diperoleh terlebih dahulu digoreskan ke agar miring NA untuk membiakkan
mikroba. Agar miring tersebut diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C. Inokulum yang akan
digunakan untuk pengukuran penghambatan pertumbuhan disiapkan dengan cara sebagai berikut:
satu ose bakteri pada agar miring NA diinokulasikan ke dalam media NB steril dan diinkubasi pada
suhu 370C selama 24 jam. Selanjutnya inokulum dapat digunakan untuk pengujian atau disimpan
dalam lemari pendingin pada suhu 4-50C.
C.2. Uji aktivitas antimikroba
Uji aktivitas antimikroba ekstrak daun tin ini termasuk ke dalam penelitian utama. Setelah daun
tin dibuat menjadi serbuk kemudian dilakukan pengujian aktivitas antimikroba dengan difusi sumur
dan penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC). Uji aktivitas antimikroba dilakukan dengan
cara melihat zona penghambatan pertumbuhan mikroba pada uji difusi sumur dan penentuan Minimum
Inhibitory Concentration dengan uji dilution broth.
Uji difusi sumur
Uji ini mengacu pada Garriga et al. (1993) yaitu dengan cara kultur mikroba yang akan diuji
harus disegarkan terlebih dahulu dengan menginokulasikan satu ose kultur murni dari agar miring
Nutrient Agar (NA) ke dalam medium cair Nutrient Broth (NB) sebanyak 10 ml secara aseptik. Kultur
uji kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C. Media NA steril dipersiapkan dan
didinginkan sampai suhu 500C. Kultur uji dengan jumlah koloni sekitar 107 – 108 CFU/ml
diinokulasikan sebanyak 0.2% ke dalam 20 ml media NA, sehingga jumlah koloni pada setiap cawan
105 – 106 CFU/ml. Setelah campuran media dan kultur uji membeku, dibuat lubang-lubang sumur (5
sumur per cawan) dengan diameter 6 mm dan ke dalam 2 lubang sumur masing-masing diteteskan
60µl ekstrak daun tin etanol, 2 lubang sumur masing-masing diteteskan 60 µl ekstrak daun tin heksana
dan sumur lainnya kontrol negatif (DMSO) atau kontrol positif (amoxicillin). Cawan tersebut
diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Areal penghambatan diukur berdasarkan diameter areal
bening yang terbentuk di sekitar sumur, yaitu selisih antara diameter areal bening dengan diameter
sumur. Kultur yang digunakan untuk pengujian adalah Staphylococcus aureus dan Pseudomonas
aeruginosa. Metode difusi sumur untuk ekstrak daun tin dapat dilihat pada Gambar 4.
Ekstrak daun tin dengan etanol
Ekstrak daun tin dengan etanol
Kontrol
Ekstrak daun tin dengan heksana
Ekstrak daun tin dengan heksana
Gambar 4. Metode difusi sumur untuk ekstrak daun tin
13
Uji dilution broth untuk penentuan MIC
Pengujian dilusi menggunakan agar dan broth digunakan jika ingin memperoleh data secara
kuantitatif untuk menentukan apakah suatu antimikroba bersifat mematikan pada uji mikroorganisme
baik bagi mikroorganisme dengan faktor kecepatan pertumbuhan maupun mikroorganisme
mikroaeropilik atau anaerobik (Barry 1986). Pada pengujian dilusi menggunakan broth, suatu
antimikroba diencerkan secara berseri dan pada konsentrasi single ditambahkan pada tabung reaksi
yang berisi medium broth nonselektif. Konsentrasi yang dipilih sama dengan pada metode dilusi
dengan agar. Tabung reaksi (biasanya volumenya 1-10 ml) diinokulasikan dengan kandungan
mikroorganisme kira-kira log 5.7 CFU/ml. Tabung reaksi kontrol tanpa ditambahkan antimikroba
harus dipersiapkan dan diinokulasikan strain yang telah diketahui kerentanannya. Tabung reaksi
diinkubasi selam 16-24 jam pada suhu optimum mikroorganisme tumbuh. Sebelumnya waktu inkubasi
harus ditentukan berdasarkan kondisi lingkungan. MIC ditetapkan sebagai konsentrasi paling rendah
dimana tidak ditemukan pertumbuhan (tidak ada kekeruhan) dalam medium selama inkubasi.
Seperti yang telah disebutkan, dilusi dengan broth dapat digunakan untuk mengetahui letalitas
mikroorganisme. Sebanyak 10-100µl medium dari tabung reaksi terakhir dimana tidak ditemukan
pertumbuhan mikroorganisme, dilakukan platting pada agar nonselektif menggunakan metode spreadplate. Konsentrasi paling rendah dari antimikroba yang dihasilkan, 99.9% membunuh mikroorganisme
merupakan minimum bactericidal concentration (MBC) atau minimum lethal concentration (MLC)
(NCCLS 2002). Pengujian ini dilakukan pada ekstrak daun tin yang terpilih dengan cara menghitung
penurunan jumlah bakteri Staphylococcus aureus selama 24 jam. Penurunan jumlah bakteri dihitung
berdasarkan persentase selisih dari jumlah koloni yang tumbuh setelah 24 jam dengan jumlah koloni
yang tumbuh pada 0 jam dibagi jumlah yang tumbuh pada 0 jam. Nilai MIC merupakan konsentrasi
ekstrak etanol daun tin terendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri atau menurunkan
jumlah bakteri sebesar 90% dari jumlah bakteri awal pada saat 0 jam.
C.3. Pembuatan Bakso Daging
Menurut Wibowo (2006) secara umum bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat bakso
daging antara lain:
1. Daging segar
Untuk membuat bakso daging digunakan daging (sapi) yang masih segar. Semakin segar daging
semakin baik bakso yang dihasilkan. Selain itu, daging hendaknya tidak banyak berlemak dan tidak
banyak berurat. Lemak dan urat yang terdapat pada daging sebaiknya dipisahkan dulu.
2. Tepung tapioka
Bahan lain yang diperlukan adalah tepung tapioka. Untuk menghasilkan bakso daging yang lezat
bermutu tinggi, jumlah tepung yang digunakan sebaiknya paling banyak 15% dari berat daging.
Idealnya, tepung tapioka yang ditambahkan sebanyak 10% dari berat daging.
3. Bumbu-bumbu
Selain bahan yang telah disebutkan, digunakan pula bumbu-bumbu. Bumbunya cukup garam dapur
halus dan bumbu penyedap yang dibuat dari campuran bawang putih dan merica. Garam dapur yang
dibutuhkan biasanya 2,5% dari berat daging. Sedangkan bumbu penyedap sekitar 2% dari berat
daging.
14
4. Es atau air es
Bahan lain yang diperlukan adalah es atau air es. Bahan ini berfungsi membantu pembentukan
adonan dan membantu memperbaiki tekstur bakso.
Menurut Wibowo (2006) pembuatan bakso terdiri dari beberapa tahap antara lain:
1. Pelumatan daging
Daging segar dipisahkan dari lemak dan uratnya. Setelah itu, daging dilumatkan. Pelumatan ini
akan memudahkan pembentukan adonan, dinding sel serabut otot daging juga akan pecah sehingga
aktin dan myosin yang merupakan pembentuk tekstur dapat diambil sebanyak mungkin. Daging
dimasukkan meat grinder dan ditambahkan garam sehingga diperoleh daging yang lumat.
2. Pembuatan Adonan
Setelah diperoleh daging lumat, daging lumat dibentuk menjadi adonan. Agar bakso yang dihasilkan
baik, daging lumat dicampur dengan es batu dan tepung tapioka. Bumbu-bumbu kemudian
ditambahkan sambil dilumatkan hingga diperoleh adonan yang homogen. Pembuatan adonan ini
menggunakan food processor agar mudah dalam mencampur bahan-bahan dengan daging sehingga
diperoleh adonan yang tercampur merata. Penggunaan es atau air es ini sangat penting dalam
pembentukan tekstur bakso. Dengan adanya es ini suhu dapat dipertahankan tetap rendah sehingga
protein daging tidak terdenaturasi akibat gerakan mesin penggiling dan ekstrasi protein berjalan
dengan baik. Suhu ideal untuk ekstraksi protein adalah 4-50C, tetapi selama tidak lebih dari 200C
sudah mencukupi. Penggunaan es juga berfungsi menambahkan air ke adonan sehingga adonan
tidak kering selama pembentukan adonan maupun selama perebusan. Penambahan es juga
meningkatkan rendemennya. Untuk itu, dapat digunakan es sebanyak 10-15% dari berat daging,
atau bahkan 30% dari berat daging.
3. Pembentukan Bola Bakso
Setelah adonan diperoleh kemudian dicetak menjadi bola-bola bakso yang siap direbus.
Pembentukan adonan menjadi bola bakso dapat dengan menggunakan tangan atau dengan mesin
pencetak bola bakso. Ukuran bola bakso diusahakan seragam, tidak terlalu kecil tetapi juga tidak
terlalu besar. Jika tidak seragam, matangnya bakso ketika direbus tidak bersamaan dan menyulitkan
dalam pengendalian proses. Selain itu keseragaman ukuran juga ikut mempengaruhi mutu bakso.
4. Perebusan dan pengemasan
Bola bakso yang sudah terbentuk lalu direbus dalam air mendidih hingga matang. Jika bakso sudah
mengapung di permukaan air berarti sudah matang dan perebusan dapat dihentikan. Biasanya
perebusan ini dilakukan sekitar 10 menit. Setelah itu, bakso diangkat, ditiriskan, dan didinginkan
pada suhu ruang. Setelah dingin, bakso dikemas dalam kantong plastik HDPE. Bakso kemudian
siap dianalisis. Proses pembuatan bakso dapat dilihat pada Gambar 5.
15
Daging
Es, STTP, garam
Bawang putih, lada, tepung
tapioka
Pelumatan daging
Pembuatan adonan
Pembentukan bola bakso
Perebusan suhu 600C
Perebusan suhu 800C, 10 menit
Pengemasan dengan HDPE
Gambar 5. Proses pembuatan bakso
C.4. Uji aplikasi ekstrak daun tin pada bakso
Setelah MIC didapatkan kemudian uji aplikasi ekstrak daun tin pada bakso daging dilakukan.
Tahap penelitian ini dilakukan pencampuran bakso daging sapi dengan ekstrak daun tin untuk
mendapatkan konsentasi optimum yang memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan kontrol.
Tahap aplikasi ekstrak pada bakso ini terdiri dari dua perlakuan, yaitu perlakuan perebusan bakso
pada suhu 800C selama 10 menit dan pengadonan. Pada perlakuan perebusan bakso direbus dengan air
yang telah dicampur dengan ekstrak terpilih dengan konsentrasi terentu (%b/v) pada suhu 800C
selama 10 menit. Pada pelakuan pengadonan ekstrak terpilih dengan konsentrasi tertentu (%b/b)
dicampur dengan adonan bakso. Bakso yang dicampur dengan ekstrak daun tin disimpan pada suhu
ruang selama 3 hari. Selanjutnya setiap harinya dilakukan uji pendugaan umur simpan bakso secara
visual meliputi penampakan, warna, bau, tekstur bakso daging serta uji total mikroba dan total S.
aureus. Tahapan proses penelitian secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 6.
16
Seleksi daun tin
Pembuatan serbuk daun tin
Pembuatan ekstrak daun tin
Pengujian aktivitas antimikroba
ekstrak dengan uji difusi sumur
Penentuan MIC (Minimum Inhibitory
Concentration) dari ekstrak terpilih
Aplikasi pada bakso daging sapi dengan
uji total mikroba dan total S.aureus
Gambar 6. Tahapan proses penelitian
D.
PENGAMATAN
Pengamatan ini dilakukan pada bakso kontrol dan bakso yang telah ditambahkan ekstrak
terpilih baik dengan perlakuan perebusan maupun pengadonan selama waktu penyimpanan tertentu di
suhu ruang. Pengamatan ini terdiri dari dua uji antara lain uji Total Plate Count dan total S. aureus.
Selain itu, pengamatan kerusakan visual pada bakso juga dilakukan.
Uji Total Plate Count (Angka Lempeng Total) (SNI 01-2332.3-2006)
Uji ini dilakukan untuk mengetahui kondisi bakso selama penyimpanan. Setiap beberapa waktu
selama 3 hari penyimpanan dilakukan uji total mikroba. Berdasarkan syarat SNI bakso batas maksimal
uji total mikroba adalah sebesar 105 koloni/gram. Jika hasil uji total mikroba pada waktu tertentu
sebesar 106 koloni/gram bakso, mengindikasikan bakso telah mengalami kerusakan. Jika hasil uji total
mikroba pada waktu tertentu sebesar 109 koloni/gram bakso, mengindikasikan bakso tersebut telah
busuk. Menurut SNI 01-2332.3-2006 cara penentuan Total Plate Count (TPC) adalah contoh secara
aseptis ditimbang sebanyak 25 g kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik steril. Ke dalamnya
ditambahkan 225 ml larutan BFP kemudian dihomogenkan dengan menggunakan alat stomacher
selama 2 menit. Homogenat ini merupakan larutan pengenceran 10-1. Dengan menggunakan pipet
steril, 1 ml homogenat diambil dan dimasukkan ke dalam tabung yang berisi 9 ml larutan BFP untuk
17
mendapatkan pengenceran 10-2. Pengenceran selanjutnya s(10-3) dilakukan dengan mengambil 1 ml
contoh dari pengenceran 10-2 ke dalam 9 ml BFP. Pada setiap pengenceran dilakukan pengocokan
minimal 25 kali. Selanjutnya dapat dilakukan hal yang sama untuk pengenceran 10-4,10-5, dst sesuai
dengan kondisi contoh.
Setiap pengenceran 10-1, 10-2, dst dipipet 1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril.
Setiap pengenceran dilakukan duplo. Ke dalam cawan petri tersebut ditambahkan 12-15 ml PCA yang
sudah didinginkan dalam waterbath hingga mencapai suhu 450C + 10C ke dalam masing-masing
cawan yang sudah berisi contoh. Supaya contoh dan media PCA tercampur sempurna dilakukan
pemutaran cawan ke depan ke belakang dan ke kiri-ke kanan. Catatan: Untuk pengujian bakteri
termofilik, penambahan media PCA ke dalam cawan sebanyak 40-50 ml. Setelah agar menjadi padat
untuk penentuan mikroorganisme aerob inkubasi cawan-cawan tersebut dalam posisi terbalik dalam
inkubator selama 48 + 2 jam pada suhu 350C (mesofilik). Perlakuan tersebut dapat dilakukan untuk
kontrol tanpa contoh dengan mencampur larutan pengencer dengan media PCA.
Cawan yang mengandung jumlah 25 koloni-250 koloni dan bebas spreader dipilih untuk
perhitungan. Pengenceran yang digunakan dan jumlah koloni dicatat kemudian perhitungan angka
lempeng total dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut
N=
∑C
[(1x n1) + (0,1 x n2)] x (d)
dengan:
N adalah jumlah koloni produk, dinyatakan dalam koloni per ml atau koloni per g
∑ C adalah jumlah koloni pada semua cawan yang dihitung
n1 adalah jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung
n1 adalah jumlah cawan pada pengencaran kedua yang dihitung
d adalah pengenceran pertama yang dihitung
Uji Total Staphylococcus aureus (BAM 2001)
Uji total S. aureus ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan ekstrak daun tin dalam
menghambat pertumbuhan S. aureus pada bakso. Bakso dicelup dalam larutan pengencer yang
mengandung S. aureus sekitar 100 koloni/ml selama 1 menit. Bakso kemudian dianalisis dengan uji
total S. aureus. Analisis ini dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada saat 0 jam dan 6 jam setelah
pencelupan bakso dalam larutan S.aureus. Penurunan jumlah bakteri pada uji ini ditentukan dengan
cara menghitung persentase selisih jumlah bakteri awal Staphylococcus aureus pada saat 0 jam
dengan jumlah bakteri tersebut setelah 6 jam dibiarkan di suhu ruang dibagi dengan jumlah bakteri
awal saat 0 jam. Selama 6 jam bakso yang sudah ditambahkan Staphylococcus aureus dibiarkan di
suhu ruang ini diperkirakan bakteri Staphylococcus aureus mulai tumbuh dengan baik pada bakso dan
ekstrak daun tin bekerja secara optimal dalam menghambat pertumbuhan bakteri tersebut. Menurut
BAM (2011) uji ini sesuai digunakan untuk menganalisis pangan yang diperkirakan mengandung
lebih dari 100 koloni S. aureus. Metode yang digunakan dalam uji ini adalah cawan sebar dengan
menggunakan media spesifik yaitu Baird-Parker Agar (BPA). Oleh karena itu, sebelum dilakukan
analisis, media BPA yang sudah disterilkan dituang dalam cawan, dibiarkan memadat dan mengering.
Sejumlah sampel dihancurkan kemudian diencerkan. Sebanyak 1 ml sampel dituangkan dan dibagi ke
dalam 3 cawan yang berisi BPA sehingga masing-masing cawan berisi 0.3 ml, 0.3 ml, dan 0.4 ml
sampel. Sampel tersebut secara aseptik disebar dalam cawan menggunakan hockey stick steril. Setelah
dilakukan penyebaran sampel, kemudian cawan dibiarkan selama 10 menit agar sampel terserap
18
dalam agar. Cawan tersebut diinkubasi selama 45-48 jam pada suhu 350C. Pengamatan dilakukan
dengan cara menghitung koloni pada setiap cawan. Koloni yang dipilih untuk perhitungan berkisar 20200 koloni. Perhitungan persentase penurunan jumlah S. aureus dilakukan dengan cara berikut:
% penurunan = 100% - ((jumlah S. aureus saat 6 jam/jumlah S. aureus) saat 0 jam x 100%)
Pengamatan kerusakan bakso secara visual
Sampel bakso yang telah diberi perlakuan tertentu diamati secara visual setiap hari selama 3
hari penyimpanan. Aplikasi dilakukan dengan cara mencampur ekstrak daun tin pada adonan bakso
dan merebus bakso dengan ekstrak daun tin selama 10 menit. Beberapa parameter yang menunjukkan
mutu bakso tergolong buruk adalah berlendir, tekstur lunak, adanya kapang, dan berbau menyimpang
dari keadaan normal. Bakso yang terbaik memiliki kriteria mutu organoleptik tertentu, yaitu dari segi
penampakan bakso sedikitpun tidak tampak berjamur dan berlendir, warna bakso cerah, dari segi bau
bakso berbau khas daging segar rebus dominan, tanpa bau tengik, masam, basi, atau busuk. Dari segi
tekstur bakso tidak lembek, tidak basah berair, dan tidak rapuh (Wibowo 2006).
19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
KULTUR BAKTERI UJI
Kultur bakteri uji harus dipersiapkan untuk menghasilkan kultur yang seragam. Uji konfirmasi
sederhana perlu dilakukan dengan cara pewarnaan gram. Perwanaan gram dilakukan untuk menjamin
kultur bakteri yang digunakan untuk pengujian agar tidak terkontaminasi dengan bakteri lain. Satu ose
kultur bakteri uji dioleskan pada preparat yang telah dibersihkan dengan alkohol. Bakteri uji tersebut
diwarnai dengan zat warna kristal violet dan iodium, dibilas dengan alkohol, kemudian diwarnai
dengan zat warna merah safranin. Struktur dinding sel dari bakteri uji akan menentukan respon
pewarnaan. Secara mikroskopi bakteri gram positif ditandai dengan warna violet sedangkan bakteri
gram negatif ditandai dengan warna merah. Setelah pewarnaan gram dilakukan, kultur bakteri uji
disegarkan dalam media NB kemudian diinkubasi 24 jam. Bakteri uji yang telah disegarkan
ditumbuhkan dalam media NA dengan metode tuang. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui jumlah
bakteri awal. Penelitian ini menggunakan dua kultur bakteri uji, yaitu Staphylococcus aureus dan
Pseudomonas aeruginosa. Karakteristik bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa
dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil pengamatan bakteri uji secara mikroskopi dan jumlah koloni bakteri uji
Hasil pengamatan
Bakteri uji
Staphylococcus aureus
Pseudomonas aeruginosa
Bentuk koloni
Kokus
Batang pendek
Warna koloni
Ungu
Jumlah koloni inkubasi 24 jam
Merah
8
1,0 x 10 koloni/ml
3,4 x 107 koloni/ml
Morfologi S. aureus yang terlihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 1.000x adalah
berwarna ungu dan berbentuk kokus (bulat). Morfologi tersebut menandakan bahwa S. aureus
termasuk bakteri gram positif. Jumlah awal bakteri S. aureus setelah penyegaran pada penelitian ini
sebesar 1,0 x 108 koloni/ml (Lampiran 1). Kultur bakteri disetarakan jumlahnya selama pengujian
agar dapat terukur secara proporsional. Bakteri S. aureus memerlukan pengenceran sebesar 1/1000
untuk mendapatkan jumlah bakteri standar dalam pengujian sekitar 105 . Hal yang sama dilakukan
pada kultur Pseudomonas aeruginosa. Morfologi Pseudomonas aeruginosa yang terlihat di bawah
mikroskop dengan perbesaran 1.000x adalah berwarna merah dan berbentuk batang pendek. Jumlah
awal bakteri Pseudomonas aeruginosa setelah penyegaran pada penelitian ini sebesar 3.4 x 107
koloni/ml (Lampiran 1). Bakteri tersebut memerlukan pengenceran 1/100 untuk mendapatkan jumlah
bakteri standar dalam pengujian sekitar 105. Hasil pewarnaan gram yang dilakukan menunjukkan
bahwa kultur bakteri uji yang digunakan dalam penelitian ini tidak terkontaminasi oleh bakteri lain.
Campbell et al. (2003) menyatakan sebagian besar dinding sel bakteri gram positif terdiri dari
peptidoglikan akan menjerap warna violet. Bakteri gram negatif memiliki lebih sedikit peptidoglikan,
yang terletak di suatu gel periplasmik antara membran plasma dan suatu membran bagian luar selnya
tetap menahan zat warna merah.
20
Jumlah awal kultur bakteri ini perlu diketahui untuk penyeragaman jumlah bakteri pada saat
pengujian. Jumlah bakteri yang digunakan dalam pengujian aktivitas antimikroba berkisar 105. Jumlah
bakteri dengan kisaran tersebut dianggap jumlah yang cukup karena bakteri dapat tumbuh cukup baik
dan jumlahnya tidak terlalu banyak. Inokulum berkisar 105 direkomendasikan dalam pengujian
aktivitas antimikroba (CDRH 2009). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa untuk
bakteri uji S.aureus diperlukan pengenceran sebessar 1/1000 sedangkan Pseudomonas aeruginosa
diperlukan pengenceran sebesar 1/100 sehingga jumlah bakteri standar yang digunakan dalam
pengujian sekitar 105. Bakteri uji dalam penelitian ini diduga telah mencapai fase pertumbuhan
stasionernya. Menurut Fardiaz (1992) pada fase ini jumlah populasi sel tetap karena jumlah sel yang
tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati. Bakteri S. aureus mencapai fase pertumbuhan akhir
setelah inkubasi 16 jam (Parhusip 2006). Fase pertumbuhan bakteri berpengaruh pada sensitivitas
bakteri terhadap senyawa antimikroba.
B.
EKSTRAK DAUN TIN DENGAN PELARUT ETANOL DAN HEKSANA
Proses ekstraksi bertujuan untuk memperoleh komponen yang diinginkan dengan cara
pemisahan dari daun tin yang merupakan sumber komponennya. Sebelum dilakukan pengekstrakan,
daun tin yang kering dihancurkan dengan blender untuk memperoleh daun tin dalam bentuk serbuk.
Tujuan pembuatan serbuk ini adalah untuk memperkecil dan menyeragamkan ukuran partikelnya agar
mempermudah kontak antara bahan dengan pelarutnya, sehingga ekstraksi dapat berlangsung dengan
baik (Sugiastuti 2002). Selain itu, pembuatan serbuk bertujuan memperluas permukaan bahan
sehingga memaksimalkan kontak antara bahan dengan pelarut. Prinsip ekstraksi ini adalah adanya
perbedaan konsentrasi antara komponen aktif pada bahan dengan pelarut sehingga komponen dapat
tertarik dalam pelarut. Ekstrak yang diperoleh dari proses ekstraksi dengan metode maserasi adalah
ekstrak daun tin dengan pelarut etanol dan ekstrak daun tin dengan pelarut heksana. Ekstrak yang
diperoleh dihitung rendemennya. Rendemen masing-masing ekstrak dihitung berdasarkan persentase
bobot ekstrak daun tin setelah dipekatkan dengan bobot serbuk daun tin kering (25 gram). Data
rendemen ekstrak daun tin dapat dilihat pada Tabel 5 dan Lampiran 2.
Tabel 5. Hasil ekstraksi daun tin dengan merode maserasi dengan berbagai pelarut
Jenis pelarut
Rendemen ekstrak daun tin (%)
Warna ekstrak
Heksana
3,48
Hijau pekat
Etanol
23,06
Hijau pekat
Keterangan : * Rerata diperoleh dari dua kali ulangan
Berdasarkan hasil ekstraksi, rendemen ekstrak daun tin dengan etanol yang diperoleh sebesar
23,06 % lebih besar dibandingkan ekstrak daun tin dengan heksana sebesar 3,48%. Rendemen ekstrak
daun tin dengan etanol dari penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan ekstrak metanol dari
ekstraksi yang dilakukan oleh Krishna et al. ( 2007) yang menyatakan bahwa ekstraksi yang diperoleh
dari 200 g serbuk daun tin dengan pelarut metanol serta metode maserasi selama lima hari
menghasilkan ekstrak etanol sebanyak 16.6 g. Rendemen dari ekstrak metanol tersebut sebesar 8.30%.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa kandungan polar dari daun tin lebih besar daripada kandungan
nonpolarnya. Proses ekstraksi dipengaruhi oleh lama ektraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan.
Semakin dekat tingkat kepolaran pelarut dengan komponen yang akan diekstrak, semakin sempurna
proses ekstraksi (Hadittama 2009).
21
Hasil ekstrak yang diperoleh dengan pelarut etanol dan heksana dari proses ekstraksi ini
berbentuk pasta dan berwarna hijau pekat. Pasta merupakan sistem koloid dengan fase pendispersi
berupa bahan cair dan fase terdispersi berupa bahan padatan. Ekstrak yang berbentuk pasta juga
dihasilkan pada ekstrak etanol, etil asetat, dan heksana dari jahe pada penelitian Fathia (2011) yang
menyatakan bahwa fase cair dalam sistem koloid tersebut diduga mencakup di dalamnya kandungan
air yang belum terpisahkan serta kandungan minyak pada ekstrak jahe gajah sehingga menyebabkan
ekstrak jahe yang dihasilkan berbentuk pasta. Ekstrak yang diperoleh dengan metode maserasi ini
merupakan ekstrak dengan konsentrasi 100%. Ekstrak ini digunakan sebagai stok ekstrak untuk
pengujian selanjutnya.
C. AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK DAUN TIN HEKSANA DAN
ETANOL
Ekstrak heksana dan etanol dari daun tin yang diperoleh diuji aktivitas antimikrobanya terhadap
Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Metode yang digunakan dalam pengujian ini
adalah difusi sumur. Konsentrasi masing-masing ekstrak yang diujikan sebesar 100 mg/ml atau 10%.
Pemilihan konsentrasi tersebut berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shan et al. (2007) dengan
konsentrasi tersebut secara efektif dapat menghambat bakteri Bacillus cereus, Staphylococcus aureus
dan Salmonella anatum dengan menggunakan ekstrak metanol dari 46 jenis tanaman. Selain itu,
ekstrak yang diperoleh dalam bentuk pasta sehingga tidak memungkinkan untuk menguji ekstrak
dengan konsentrasi 100% sehingga ekstrak perlu diencerkan. Tujuan dari uji difusi sumur ini adalah
untuk mengetahui potensi awal dari berbagai ekstrak daun tin sebagai antimikroba alami. Aktivitas
antimikroba dari ekstrak daun tin ini dapat diketahui dari zona bening yang dihasilkan di sekitar
sumur yang berisi ekstrak pada media NA. Selain ekstrak daun tin yang diuji, kontrol positif dan
kontrol negatif juga harus diuji aktivitas antimikrobanya. Pengukuran diameter zona bening dan
diameter sumur dilakukan dengan jangka sorong. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali untuk
masing-masing sumur. Zona bening menunjukkan bahwa tidak ada pertumbuhan bakteri pada zona
tersebut. Zona penghambatan dihitung dari selisih diameter zona bening yang terbentuk dengan
diameter sumur pada media NA. Nilai zona penghambatan ekstrak daun tin dapat dilihat pada Tabel 6
dan pada Lampiran 3. Zona bening yang dihasilkan pada media NA dapat dilihat pada Gambar 7.
Zona bening menunjukkan tidak ada pertumbuhan bakteri uji di sekitar sumur.
Tabel 6. Zona penghambatan terhadap bakteri uji
Sampel
Zona penghambatan terhadap bakteri uji (mm) + sd
Staphylococcus aureus
Pseudomonas aeruginosa
Ekstrak daun tin dengan heksana
3,86 + 0,31
b
4,97 + 0,18a
Ekstrak daun tin dengan etanol
8,07 + 0,00a
5,70 + 0,13a
Kontrol positif (amoxicillin 2%)
7,36 + 0,59a
9,94 + 0,61b
DMSO (kontrol negatif)
0,00 + 0,00
0,00 + 0,00
Keterangan: - Hasil zona penghambatan merupakan rerata dua kali ulangan
- Hasil uji beda Duncan menunjukkan huruf yang sama dalam kolom yang sama
berarti tidak ada beda nyata antarperlakuan (p > 0.05).
22
Ekstrak
daun
dengan heksana
tin
Ekstrak daun tin dengan
etanol
DMSO/kontrol negatif
Gambar 7. Zona bening yang dihasilkan pada media NA dengan metode difusi sumur
Amoxicillin 2% yang digunakan sebagai kontrol positif menghasilkan diameter penghambatan
sebesar 7,36-9,94 mm. Diameter penghambatan yang dihasilkan amoxicillin 2% lebih besar
dibandingkan dengan ekstrak dan kontrol negatif. Dimetilsulfoksida (DMSO) sebagai kontrol negatif
tidak menghasilkan diameter penghambatan karena tidak ditemukan zona bening di sekitar sumur.
Ekstrak daun tin dengan etanol menghasilkan diameter penghambatan lebih besar dibandingkan
ekstrak daun tin dengan heksana. Diameter penghambatan dari ekstrak daun tin dengan etanol sebesar
5,70–8,07 mm, sedangkan ekstrak daun tin dengan heksana sebesar 3,86-4,97 mm. Sifat antimikroba
dari ekstrak daun tin dengan etanol tergolong sedang sedangkan ekstrak daun tin dengan heksana
tergolong lemah. Penentuan sifat antimikroba tersebut berdasarkan Davis dan Stout (1971) yang
melaporkan bahwa ketentuan kekuatan daya antibakteri sebagai berikut: daerah hambatan 20 mm atau
lebih termasuk sangat kuat, daerah hambatan 10-20 mm kategori kuat, daerah hambatan 5-10 mm
kategori sedang, dan daerah hambatan 5 mm atau kurang termasuk kategori lemah.
DMSO sebagai kontrol negatif dalam pengujian digunakan untuk melarutkan ekstrak etanol dan
heksana dari daun tin. DMSO tidak memiliki pengaruh terhadap pengujian aktivitas antimikroba dari
ekstrak daun tin. Hal tersebut ditunjukkan dengan tidak adanya diameter penghambatan yang
dihasilkan pada metode sumur. Hasil tersebut serupa dengan penelitian yang dilaporkan oleh Fathia
(2011) yang menyatakan bahwa DMSO tidak berpengaruh terhadap aktivitas antimikroba. DMSO
berperan sebagai emulsifier dan pelarut yang sering digunakan dalam pengujian karena dapat
melarutkan senyawa organik nonpolar maupun polar. DMSO merupakan pelarut umum yang
digunakan dalam pengujian karena kemampuannya untuk melarutkan senyawa organik baik nonpolar
maupun polar. DMSO juga direkomendasikan sebagai pelarut komponen organik yang baik (Carey
dan Sundberg 2007). Kontrol positif yang digunakan dalam pengujian merupakan antibiotik yang
telah terbukti dan teruji memiliki sifat antimikroba yang kuat dengan kisaran penghambatan yang luas.
Oleh karena itu, konsentrasi kontrol positif yang diujikan dalam penelitian tidak besar yaitu 2% (b/v).
Amoxicillin merupakan turunan penicillin yang mempunyai spektrum luas (dapat menghambat
pertumbuhan bakteri gram positif dan gram negatif), mekanisme kerjanya menghambat sintesis
dinding sel bakteri (Mycek et al. 1997).
Ekstrak daun tin dengan heksana dan etanol yang dihasilkan dari metode maserasi pada
konsentrasi 10% (b/v) mampu menghambat pertumbuhan bakteri uji Staphylococcus aureus dan
Pseudomonas aeruginosa. Ekstrak daun tin dengan etanol memiliki penghambatan yang lebih besar
terhadap bakteri uji dibandingkan ekstrak daun tin dengan heksana. Hal ini ditunjukkan dari hasil uji
difusi sumur. Zona penghambatan dari ekstrak daun tin dengan etanol lebih besar dibandingkan
23
ekstrak daun tin dengan heksana. Bakteri uji Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa
relatif lebih tahan terhadap senyawa antimikroba dari ekstrak daun tin dengan heksana daripada
ekstrak daun tin dengan etanol. Setiap ekstrak daun tin memiliki kemampuan penghambatan yang
berbeda-beda terhadap bakteri uji. Kemampuan ekstrak daun tin dengan heksana dalam menghambat
pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa lebih besar dibandingkan menghambat Staphyloccocus
aureus. Hal tersebut ditunjukkan pada zona penghambatan dari ekstrak daun tin dengan heksana pada
Pseudomonas aeruginosa (4,97 mm) lebih besar dibandingkan zona penghambatan pada
Staphylococcus aureus (3,86 mm). Oleh karena itu, Staphylococcus aureus memiliki sifat yang lebih
rentan terhadap ekstrak daun tin dengan heksana dibandingkan Pseudomonas aeruginosa. Hasil
tersebut berbeda dengan hasil yang ditunjukkan pada ekstrak daun tin dengan etanol. Kemampuan
ekstrak daun tin dengan etanol dalam menghambat pertumbuhan Staphyloccocus aureus lebih besar
dibandingkan menghambat Pseudomonas aeruginosa. Hal tersebut ditunjukkan pada zona
penghambatan dari ekstrak daun tin dengan etanol pada Staphylococcus aureus (8,07 mm) lebih besar
dibandingkan zona penghambatan pada Pseudomonas aeruginosa (5,70 mm). Oleh karena itu,
Pseudomonas aeruginosa memiliki sifat yang lebih tahan terhadap ekstrak daun tin dengan etanol
dibandingkan Staphylococcus aureus.
Setiap bakteri uji baik Staphylococcus aureus maupun Pseudomonas aeruginosa memiliki
respon yang berbeda-beda dalam melawan senyawa antimikroba dari daun tin heksana maupun etanol.
Perbedaan struktur dinding sel menentukan penetrasi, ikatan, dan aktivitas antibakteri (Jawetz et al.
2005). Perbedaan lapisan lipopolisakarida (LPS) yang merupakan lapisan luar dari dinding sel bakteri
menyebabkan perbedaan respon bakteri gram positif dan bakteri gram negatif terhadap suatu senyawa
antimikroba. Bakteri gram positif memiliki dinding sel yang sederhana dengan jumlah peptidoglikan
relatif banyak. Bakteri gram negatif memiliki dinding sel yang secara struktural lebih kompleks
dengan jumlah peptidoglikan lebih sedikit dibandingkan bakteri gram positif. Membran bagian luar
pada dinding sel gram negatif mengandung lipopolisakarida. Lipopolisakarida merupakan karbohidrat
yang terikat pada lipid. Bakteri gram positif memiliki kandungan lipid lebih rendah dibandingkan
bakteri gram negatif. Menurut Pelczar et al. (1977), bakteri gram positif memiliki kandungan lipid 14% sedangkan kandungan lipid bakteri gram negatif sebesar 11-12%. Pseudomonas aeruginosa
merupakan bakteri gram negatif yang rentan terhadap ekstrak daun tin dengan pelarut heksana. Hal
tersebut dikarenakan ekstrak daun tin dengan heksana yang bersifat nonpolar mampu menembus
dengan mudah dinding sel Pseudomonas aeruginosa yang memiliki kandungan lipid tinggi. Membran
luar bakteri gram negatif terdiri dari fosfolipid (lapisan dalam) dan lipopolisakarida (lapisan luar)
yang tersusun atas lipid A bersifat nonpolar. Bakteri gram positif mengandung polisakarida (asam
teikoat). Asam teikoat merupakan polimer larut dalam air yang berfungsi sebagai transport ion positif
untuk keluar atau masuk. Sifat larut ini yang menunjukkan bahwa dinding sel bakteri gram positif
bersifat polar. Oleh karena itu, Staphylococcus aureus yang merupakan bakteri gram positif memiliki
sifat yang rentan terhadap ekstrak daun tin dengan pelarut etanol. Senyawa flavonoid yang terkandung
dalam ekstrak daun tin tersebut dan yang bersifat polar dengan mudah menembus lapisan
peptidoglikan yang bersifat polar pada bakteri gram positif. Kepolaran senyawa antibakteri inilah
yang mengakibatkan senyawa ini lebih mudah menembus dinding sel bakteri gram positif.
Analisis ragam dan uji lanjut dengan derajat signifikasi 5% menunjukkan nilai diameter
penghambatan terhadap Staphylococcus aureus pada uji difusi sumur dari amoxicillin 2% berbeda
dengan nilai diameter penghambatan dari ekstrak daun tin dengan pelarut heksana konsentrasi 10%.
Nilai diameter penghambatan dari amoxicillin 2% tidak berbeda dengan nilai diameter penghambatan
dari ekstrak daun tin dengan pelarut etanol konsentrasi 10%. Analisis ragam dan uji lanjut tersebut
menunjukkan bahwa kemampuan ekstrak daun tin dengan pelarut etanol konsentrasi 10% tidak
24
berbeda signifikan dengan amoxicillin 2% (Lampiran 6). Ekstrak daun tin dengan etanol tersebut
memiliki kemampuan yang tidak berbeda dengan kontrol positif yaitu amoxicillin 2% dalam
menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus pada uji difusi sumur. Analisis ragam dan uji
lanjut dengan derajat signifikasi 5% menunjukkan nilai diameter penghambatan terhadap
Pseudomonas aeruginosa pada uji difusi sumur dari amoxicillin 2% berbeda dengan nilai diameter
penghambatan dari ekstrak daun tin dengan pelarut heksana maupun ekstrak pelarut etanol dengan
konsentrasi 10%. Analisis ragam dan uji lanjut tersebut menunjukkan bahwa kemampuan ekstrak
daun tin dengan pelarut heksana maupun etanol konsentrasi 10% berbeda signifikan dengan
amoxicillin 2% (Lampiran 7). Ekstrak daun tin dengan heksana maupun etanol tersebut memiliki
kemampuan yang berbeda dengan kontrol positif yaitu amoxicillin 2% dalam menghambat
pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa pada uji difusi sumur. Ekstrak daun tin dengan heksana
memiliki kemampuan yang tidak berbeda dengan ekstrak daun tin dengan etanol dalam menghambat
pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa. Ekstrak daun tin dengan pelarut etanol dipilih sebagai ekstrak
yang digunakan dalam pengujian selanjutnya karena berdasarkan analisis ragam dan uji lanjut dengan
signifikasi 5% kemampuan penghambatan ekstrak daun tin dengan etanol terhadap Staphylococcus
aureus tidak berbeda dengan kontrol positif yaitu amoxicillin pada uji difusi sumur.
Berdasarkan hasil uji difusi sumur dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun tin dengan etanol
yang diperoleh dari maserasi memiliki aktivitas antimikroba yang lebih tinggi terhadap
Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa dibandingkan ekstrak daun tin dengan heksana.
Aktivitas penghambatan yang dihasilkan dengan menggunakan difusi sumur bersifat kualitatif (Parish
dan Davidson 1993). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian aktivitas penghambatan lanjutan
dengan metode dilution broth untuk mendapatkan minimum inhibitory concentration (MIC) dari
ekstrak terpilih. Pengujian ini dilakukan pada ekstrak daun tin dengan etanol yang menghasilkan
rendemen ekstrak lebih tinggi dan dengan zona penghambatan terhadap bakteri uji lebih besar
dibandingkan dengan ekstrak daun tin dengan heksana. Bakteri uji yang digunakan dalam uji
selanjutnya adalah Staphylococcus aureus karena bakteri ini rentan terhadap ekstrak etanol daun tin.
D. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) EKSTRAK DAUN TIN
DENGAN PELARUT ETANOL
Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dari ekstrak daun tin dengan pelarut
etanol ini menggunakan metode dilution broth. Metode tersebut direkomendasikan oleh Gutierrez et
al. (2008) sebagai pengujian aktivitas penghambatan yang bertujuan mengetahui konsentrasi hambat
minimal atau MIC. Metode pengenceran memiliki kelebihan yaitu dapat diketahui adanya kontaminasi
dan dapat dilakukan untuk bahan berwarna keruh serta data yang diperoleh bersifat kuantitatif (Parish
dan Davidson 1993). MIC yang diperoleh dari metode ini digunakan untuk penentuan konsentrasi
aplikasi ekstrak etanol daun tin pada bakso. Konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol yang
digunakan dalam penentuan MIC dalam penelitian ini adalah 1, 2, 3 % (b/v). Pelarut atau pengencer
yang digunakan dalam pengujian ini sama dengan yang digunakan pada uji difusi sumur, yaitu
DMSO. Bakteri uji yang digunakan dalam uij ini adalah Staphylococcus aureus. Pemilihan bakteri
tersebut berdasarkan hasil uji difusi sumur sebelumnya dan SNI bakso yang menjadikan cemaran
Staphylococcus aureus sebagai salah satu syarat dalam menentukan kelayakan konsumsi bakso.
Pengujian ini dilakukan pada ekstrak daun tin dengan pelarut etanol dengan cara menghitung
penurunan jumlah bakteri Staphylococcus aureus selama 24 jam. Nilai MIC merupakan konsentrasi
ekstrak daun tin dengan etanol terendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri atau
menurunkan jumlah bakteri sebesar 90% dari jumlah bakteri awal pada saat 0 jam.
25
Tabel 7. Hasil pengujian aktivitas ekstrak daun tin etanol dengan uji dillution broth
Konsentrasi
Ulangan
Jumlah koloni
Jumlah koloni
Penurunan
ekstrak daun
tumbuh saat 0 jam
yang tumbuh 24
jumlah
tin
(koloni/ml)
jam (koloni/ml)
bakteri (%)
1
8,6 x 103
7,2 x 102
91,63
2
5,1 x 10
3
5,0 x 10
2
90,20
4,2 x 10
3
1,8 x 10
2
95,71
1,5 x 10
4
5,7 x 10
2
96,20
6,7 x 10
3
1,4 x 10
2
97,91
2
98,32
dengan
etanol (%)
1
Rata-rata
1
2
2
90,92
Rata-rata
1
3
2
Rata-rata
95,96
3
5,6 x 10
9,4 x 10
98,12
Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada Tabel 7, semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun tin
dengan etanol, semakin tinggi pula nilai penurunan atau penghambatan jumlah bakteri uji
Staphylococcus aureus. Nilai penghambatan dari ekstrak daun tin dengan etanol pada konsentrasi 1%
(b/v) adalah sebesar 90,92%, sedangkan pada konsentrasi 2% (b/v) sebesar 95,96% dan pada
konsentrasi 3% (b/v) atau sebesar 98,12%. Konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol yang diperoleh
dari metode maserasi menunjukkan kemampuannya dalam menurunkan jumlah bakteri uji
Staphylococcus aureus setelah inkubasi 24 jam sebesar 90% pada konsentrasi ekstrak 1% (b/v). Oleh
karena itu, nilai konsentrasi hambat minimal (MIC) dari ekstrak daun tin dengan etanol yang
diperoleh dari metode maserasi adalah 1% (b/v). Penurunan jumlah bekteri uji Staphylococcus aureus
dari ekstrak etanol daun tin 1% (b/v) adalah sebesar 90,92%. Nilai MIC hasil penelitian ini lebih
rendah dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Jeong et al. (2009) yang
menunjukkan bahwa pada konsentrasi ekstrak daun tin dengan pelarut metanol sebesar 2,5 mg/ml atau
0,25% (b/v) mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus sebesar 90%.
Perbedaan nilai MIC ini dikarenakan oleh adanya perbedaan penggunaan metode ekstraksi dan
pelarut. Pada penelitan Jeong et al. (2009) menggunakan metode reflux dengan pelarut metanol
selama 4 jam pada suhu 800C. Menurut Cha et al. (2007) melaporkan bahwa beberapa senyawa
flavonoid terbukti memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri oral (pada mulut). Hal tersebut
mengindikasikan bahwa senyawa flavonoid yang terkandung pada daun Ficus carica memiliki efek
antibakteri (Jeong et al. 2009). Beberapa komponen fenolik yang telah diisolasi memiliki aktivitas
penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri streptococcus mutan maupun penghambatan terhadap
glukosil transferase (Hada 1989). Mekanisme antibakteri dari ekstrak daun tin tersebut perlu diteliti
lebih lanjut, sama halnya mekanime antibakteri dari ekstrak daun sirih yang diteliti oleh Sugiastuti
(2002). Hal tersebut dikarenakan mekanisme senyawa fenolik (merupakan senyawa aktif) dalam
menghambat pertumbuhan bakteri ada beberapa cara (Pelezar et al. 1998). Salah satu cara adalah
dengan merusak struktur dinding sel atau senyawa fenolik tersebut menyebabkan lisis pada dinding
sel yang sudah terbentuk (Sugiastuti 2002).
26
Perbedaan nilai MIC pada penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Jeong, et al. (2009)
juga dikarenakan perbedaan kandungan flavonoid dalam ekstrak daun tin. Menurut penelitian yang
dilaporkan oleh Konyalioglu et al. (2005) menyatakan bahwa kandungan flavonoid dari ekstrak etil
alkohol (etanol) adalah sebesar 0,799 + 0.023 % sedangkan ekstrak metil alkohol (metanol) sebesar
1,152 + 0.021 %. Ekstrak tersebut didapatkan dengan metode stirring selama 2 hari dan pemekatan
dengan vacuum rotavapor pada suhu 400C. Metode tersebut sama seperti yang dilakukan dalam
penelitian ini. Nilai MIC yang diperoleh dari ekstrak etanol daun tin pada penelitian ini lebih besar
dibandingkan dengan ekstrak metanol daun tin yang diperoleh dari penelitian Jeong et al.( 2009). Hal
tersebut diduga karena kandungan flavonoid pada ekstrak etanol lebih rendah dibandingkan ekstrak
metanol sehingga aktivitas penghambatan pertumbuhan Staphylococcus aureus ekstrak daun tin
dengan etanol lebih rendah dibandingkan ektrak daun tin dengan metanol. Berdasarkan uji aktivitas
penghambatan ekstrak etanol daun tin dengan metode dilution broth, diketahui bahwa nilai MIC dari
ekstrak daun tin etanol yang diperoleh dengan metode maserasi adalah sebesar 1% (b/v). Konsentrasi
hambat minimal tersebut digunakan sebagai penentuan konsentrasi ekstrak daun tin etanol untuk
diaplikasikan pada bakso.
E.
APLIKASI EKSTRAK DAUN TIN ETANOL PADA BAKSO
Uji aplikasi ekstrak daun tin dengan pelarut etanol pada bakso ini bertujuan untuk mengetahui
aktivitas antimikroba ekstrak dalam memperlambat laju kerusakan bakso. Nilai konsentrasi hambat
minimal (MIC) dari ekstrak daun tin dengan etanol yang diujikan pada Staphylococcus aureus adalah
sebesar 1% (b/v). Nilai MIC tersebut digunakan dalam penentuan konsentrasi ekstrak daun tin dengan
etanol yang diaplikasikan pada bakso. Menurut Sugiastuti (2002) melaporkan bahwa dari beberapa
kali uji coba yang dilakukan, menggunakan ekstrak daun sirih dengan konsentrasi 2 mg/g (sesuai nilai
MICnya) sampai konsentrasi 6 mg/g (dengan 3 kali nilai MIC) ternyata apabila diaplikasikan dalam
daging sapi giling, ekstrak etanol daun sirih tersebut tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri.
Pada penelitian Sugiastuti (2002) tersebut konsentrasi ekstrak daun sirih yang dipergunakan adalah
berkisar antara 5 kali nilai MIC sampai 12,5 kali nilai MIC yaitu dengan konsentrasi 10 mg/g sampai
25 mg/g. Oleh karena itu, konsentrasi suatu ekstrak alami yang diaplikasikan dalam bahan pangan
lebih tinggi dibandingkan konsentrasi hambat minimalnya (MIC). Hal ini dikarenakan bahan pangan
hasil olahan daging terutama bakso memiliki matriks yang lebih kompleks dengan kandungan protein
dan karbohidrat yang tinggi merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan beberapa mikroba
perusak pangan. Daging mempunyai nilai nutrisi yang sangat tinggi, dimana nutrisi tersebut
merupakan hal yang penting untuk pertumbuhan mikroorganisme baik perusak makanan ataupun
patogen makanan (Jay 2000).
Besarnya konsentrasi ekstrak yang diaplikasikan dalam bahan pangan bisa 3 kali atau lebih
dari konsentrasi hambat minimalnya (MIC). Konsentrasi ekstrak yang dipilih dalam uji aplikasi bakso
ini adalah 3%, 5%, dan 10% (b/v atau b/b). Uji aplikasi ini terdiri dari dua perlakuan, yaitu perebusan
dan pengadonan. Perlakuan perebusan dilakukan dengan cara merebus bakso dengan campuran air
dengan ekstrak daun tin dengan etanol pada suhu 800C. Konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol
yang diaplikasikan pada perlakuan ini diperoleh dengan cara melarutkan sejumlah ekstrak daun tin
dengan tin (g) dalam air rebusan (ml). Perlakuan pengadonan dilakukan dengan cara mencampur
ekstrak daun tin dengan etanol dalam adonan bakso. Konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol yang
akan diaplikasikan pada perlakuan pengadonan ini diperoleh dengan cara mencampur sejumlah
ekstrak (g) dengan adonan bakso(g). Dua perlakuan ini digunakan untuk memilih cara aplikasi yang
sesuai dan efektif dari ekstrak daun tin dengan etanol yang diperoleh dengan metode maserasi pada
27
bakso. Pengujian yang dilakukan dalam aplikasi ekstrak daun tin etanol pada bakso ini adalah total
Staphylococcus aureus dan total plate count (TPC). Kedua uji ini dipilih berdasarkan persyaratan
mutu mikrobiologis bakso yang tercantum pada SNI. Sesuai dengan SNI batas maksimum
Staphylococcus aureus pada bakso sebesar 1,0 x 102 koloni/gram sedangkan Total Plate Count (TPC)
sebesar 1,0 x 105 koloni/gram.
E.1. Total Staphylococcus aureus pada bakso
Pengujian total Staphylococcus aureus pada bakso ini mempunyai prinsip yang sama dengan
uji dilution broth dalam menentukan nilai MIC ekstrak, yaitu melihat kemampuan ekstrak etanol daun
tin dalam menurunkan jumlah bakteri uji selama selang waktu tertentu. Media yang digunakan dalam
uji ini adalah Baird Parker Agar (BPA) merupakan media spesifik untuk Staphylococcus aureus yang
direkomendasikan oleh BAM (2011). Pengujian ini dilakukan dengan cara menambahkan
Staphylococcus aureus sekitar 5 x 103 koloni/ml pada permukaan bakso. Penambahan bakteri tersebut
bertujuan untuk mempertinggi jumlah koloni Staphylococcus aureus pada bakso karena sesuai SNI
jumlah maksimum bakteri tersebut hanya 1,0 x 102 koloni/gram. Jumlah tersebut tergolong rendah
jika digunakan sebagai jumlah bakteri awal pada bakso dalam perhitungan persentase penurunan
jumlah bakteri. Hal tersebut dikarenakan jika ekstrak mempunyai aktivitas yang tinggi dalam
menghambat bakteri pada bakso maka jumlah koloni bakteri akan menjadi lebih rendah bahkan jauh
lebih rendah daripada jumlah bakteri awal pada bakso. Jika jumlah koloni Staphylococcus aureus
terlalu rendah hingga tidak masuk dalam kisaran nilai perhitungan koloni yang dipersyaratkan oleh
BAM (2011), yaitu 20-200 maka jumlah koloni tidak dapat dihitung secara pasti. Hal tersebut akan
mempersulit dalam melakukan perhitungan penurunan jumlah bakteri secara pasti. Penurunan jumlah
bakteri pada uji ini ditentukan dengan cara menghitung persentase selisih jumlah bakteri awal
Staphylococcus aureus pada saat 0 jam dengan jumlah bakteri tersebut setelah 6 jam dibiarkan di suhu
ruang dibagi dengan jumlah bakteri awal saat 0 jam. Selama 6 jam bakso yang sudah ditambahkan
Staphylococcus aureus dibiarkan di suhu ruang diperkirakan bakteri Staphylococcus aureus mulai
tumbuh dengan baik pada bakso. Selain itu, ekstrak daun tin dengan etanol bekerja secara optimal
dalam menghambat pertumbuhan bakteri tersebut. Nilai penghambatan ekstrak daun tin dengan etanol
pada bakso dapat dilihat pada Tabel 8.
28
Tabel 8. Hasil penghambatan ekstrak etanol daun tin terhadap pertumbuhan S. aureus
Konsentrasi
Perlakuan
eksrak
aplikasi
tin
daun
dengan
Ulangan
etanol
1
Pengadonan
0% (b/b)
2
Jumlah
Jumlah
koloni yang
koloni
tumbuh saat
tumbuh
0 jam
setelah 6 jam
3
1,5 x 10
3
1,9 x 10
Penurunan
yang
bakteri
Perebusan
0% (b/v)
2
-
5
-
2,3 x 10
1,2 x 10
3
1,8 x 10
3
1,9 x 10
5
-
5
-
1,0 x 10
2,8 x 10
Rata-rata
1
Pengadonan
3% (b/b)
2
3
1,2 x 10
3
2,0 x 10
3
-
3
-
6,5 x 10
7,2 x 10
Rata-rata
1
Perebusan
3% (b/v)
2
3
1,2 x 10
3
1,8 x 10
4
-
3
-
1,0 x 10
9,9 x 10
Rata-rata
1
Pengadonan
5% (b/b)
2
3
1,1 x 10
3
1,5 x 10
2
49,09
7,2 x 10
2
52,00
9,0 x 10
2
43,44
2
42,35
5,6 x 10
Rata-rata
1
Perebusan
5% (b/v)
2
50,54
3
1,6 x 10
3
1,7 x 10
9,8 x 10
Rata-rata
1
Pengadonan
10% (b/b)
2
42,90
2
5,4 x 10
3
1,0 x 10
9,0 x 10
2
83,33
2
62,00
3,8 x 10
Rata-rata
1
Perebusan
10% (b/v)
2
Rata-rata
(%)
5
Rata-rata
1
jumlah
72.66
3
1.8 x 10
3
1.5 x 10
4.0 x 10
2
77.78
5.2 x 10
2
65.00
71.39
Berdasarkan hasil penghambatan ekstrak daun tin dengan pelarut etanol terhadap
Staphylococcus aureus pada Tabel 8 diketahui bahwa bakso kontrol dengan konsentrasi 0% ekstrak
pada perlakuan aplikasi dengan pengadonan maupun dengan perebusan tidak dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Pada bakso kontrol tersebut jumlah bakteri setelah 6 jam
lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah bakteri awal saat 0 jam. Saat bakso yang ditambahkan
Staphylococcus aureus tersebut dibiarkan pada suhu ruang selama 6 jam terjadi pertumbuhan jumlah
bakteri yang cukup tinggi, yaitu sekitar 2 siklus log. Konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol
sebesar 3% (b/v) pada perlakuan perebusan dan pengadonan tidak mampu menghambat pertumbuhan
29
Penurunan jumlah
Staphylococcus aureus (%)
bakteri Staphylococcus aureus pada bakso. Namun, pada konsentrasi 3% tersebut tidak terjadi
peningkatan jumlah bakteri yang terlalu tinggi seperti pada kontrol. Konsentrasi ekstrak daun tin
dengan etanol sebesar 3% memiliki aktivitas antibakteri yang bersifat bakteriostatik dengan cara
memperlambat laju pertumbuhan bakteri. Antibakteri yang terdapat dalam bahan pangan dapat
bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri),
fungisidal (membunuh kapang), fungistatik (menghambat pertumbuhan kapang) dan germisidal
(menghambat germinasi spora bakteri) (Fardiaz 1992). Konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol
sebesar 5% dengan perlakuan pengadonan dan perebusan mampu menghambat pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus. Persentase penurunan jumlah bakteri perlakuan pengadonan lebih tinggi
dibandingkan perlakuan perebusan pada konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol sebesar 5%.
Persentase penurunan jumlah bakteri perlakuan pengadonan sebesar 50,54% sedangkan pada
perlakuan perebusan sebesar 42,90%. Hal tersebut terjadi juga pada konsentrasi ekstrak etanol daun
tin sebesar 10% dimana persentase penurunan jumlah bakteri perlakuan pengadonan lebih tinggi
dibandingkan perlakuan perebusan. Pada konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol 10% persentase
penurunan jumlah bakteri perlakuan pengadonan sebesar 72,66% sedangkan pada perlakuan
perebusan sebesar 71,39%. Perbedaan persentase penurunan jumlah bakteri Staphylococcus aureus
pada perlakuan perebusan dan pengadonan pada masing-masing konsentrasi ekstrak etanol daun tin
dapat dilihat pada Gambar 8.
80
71,39 72,66
70
60
50,54
42,90
50
40
30
Perebusan
20
Pengadonan
10
0
0
0
0
0
0
3
5
10
Konsentrasi ekstrak daun tin etanol (%(b/v atau b/b))
Gambar 8. Penurunan jumlah Staphylococcus aureus pada bakso
Berdasarkan pada Gambar 8 terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun tin dengan
etanol yang diaplikasikan pada bakso semakin tinggi pula persentase penurunan jumlah
Staphylococcus aureus pada bakso. Penurunan jumlah bakteri Staphylococcus aureus terlihat pada
konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol sebesar 5% dan 10% baik pada perlakuan aplikasi
perebusan 800C maupun pengadonan. Pada kedua konsentrasi tersebut perlakuan aplikasi dengan
pengadonan ekstrak daun tin dengan etanol memiliki persentase penurunan jumlah Staphylococcus
aureus yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan perebusan. Hal tersebut dikarenakan pada
perlakuan pengadonan ekstrak daun tin dengan etanol tersebar merata di seluruh matriks bakso, baik
di dalam maupun di permukaan bakso sehingga ekstrak tersebut memiliki aktivitas penghambatan
pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus yang berada pada seluruh bagian bakso. Pada perlakuan
perebusan ekstrak etanol daun tin diaplikasikan pada bakso dengan cara mencampur ekstrak dengan
air yang digunakan untuk merebus bakso pada suhu 800C selama 10 menit. Pada perlakuan perebusan
ekstrak tersebut hanya melapisi permukaan bakso saja dan terjadinya penetrasi ekstrak dalam bakso
30
hanya sedikit. Selain itu, suhu perebusan dan waktu perebusan dapat mempengaruhi tingkat penetrasi
ekstrak dalam bakso dan sifat aktivitas antimikroba dari ekstrak etanol daun tin. Seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya bahwa warna ekstrak daun tin dengan etanol adalah hijau pekat. Penetrasi dari
ekstrak tersebut dalam bakso dapat dilihat dari penampakan warna pada bakso. Bakso dengan
perlakuan pengadonan memiliki warna hijau pekat sedangkan bakso dengan perlakuan perebusan
memiliki warna coklat. Bakso dari kedua perlakuan tersebut berbeda dengan bakso kontrol yang tidak
ditambahkan ekstrak daun tin dengan etanol. Bakso kontrol berwarna abu-abu. Perbedaan warna
tersebut dapat dilihat pada Gambar 9.
(a)
(b)
Gambar 9. (a) Bakso kontrol (b) Bakso hasil pengadonan dengan penambahan ekstrak daun tin dengan
etanol (c) Bakso hasil perebusan pada suhu 800C selama 10 menit dengan penambahan
ekstrak daun tin etanol
Berdasarkan gambar penampakan bakso tersebut terlihat bahwa terjadi perbedaan antara bakso
pada kontrol, perlakuan ekstrak dengan perebusan, maupun perlakuan ekstrak dengan pengadonan.
Bakso kontrol yang tidak ditambah ekstrak daun tin etanol terlihat seperti bakso pada umumnya yang
diperjualbelikan di pasaran yaitu berwarna abu-abu. Bakso dengan perlakuan ekstrak dengan
pengadonan berwarna hijau dikarenakan ekstrak daun tin dengan etanol membawa klorofil yang
merupakan zat hijau daun tin. Klorofil a termasuk dalam pigmen yang disebut porfirin. Pada
prinsipnya molekul klorofil sangat besar dan terdiri dari empat cincin pirol yang dihubungkan satu
dengan yang lainnya oleh gugus metena (-CH=) membentuk sebuah molekul yang pipih. Klorofil a
mengandung atom magnesium yang diikat oleh nitrogen dari dua cincin pirol dengan ikatan kovalen
serta oleh dua buah atom nitrogen dari dua cincin pirol lain melalui ikatan koordinat kovalen
(Winarno 1997). Ekstrak daun tin dengan etanol diaplikasikan langsung pada adonan bakso sebelum
dilakukan perebusan sehingga warna hijau tersebar merata pada seluruh bagian bakso. Klorofil yang
terbawa oleh ekstrak daun tin etanol masih dalam kondisi stabil karena belum mengalami pemanasan
dan terperangkap di dalam matriks bakso. Bakso dengan perlakuan ekstrak dengan perebusan
berwarna coklat. Hal tersebut dikarenakan ekstrak daun tin etanol mengalami pemanasan saat
dilakukan perebusan 800C sehingga klorofil yang terbawa pada ekstrak daun tin etanol menjadi tidak
stabil sehingga berwarna coklat. Menurut Delgado dan Paredes (2003) klorofil sensitif terhadap asam,
panas, alkali, serta logam. Derivat klorofil yang terbentuk ketika dilakukan proses pemanasan dapat
dikelompokkan menjadi dua, berdasarkan ada/tidaknya atom magnesium di tengah tetrapirol. Derivat
yang mengandung Mg berwarna hijau, sedangkan yang tidak mengandung Mg berwarna kecoklatan.
Jika ada ion seng atau tembaga, akan terbentuk kompleks seng atau tembaga yang berwarna hijau.
Atom magnesium pada klorofil mudah digantikan oleh ion hidrogen, yang akan menghasilkan warna
coklat feofitin.
31
E. 2. Pengujian Total Plate Count (TPC) pada bakso
Uji Total Plate Count (TPC) dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun tin dengan
etanol terhadap jumlah mikroba dalam memperpanjang umur simpan bakso selama 3 hari (0 hingga
72 jam) penyimpanan pada suhu ruang. Seperti halnya pada uji Total Staphylococcus aureus, uji ini
dilakukan pada bakso dengan perlakuan perebusan maupun pengadonan. Uji ini juga dilakukan
berdasarkan batas maksimal total mikroba yang disyaratkan pada SNI. Menurut SNI No. 08-73882009 tentang bakso menyatakan bahwa jumlah maksimal total mikroba pada bakso yang layak untuk
dikonsumsi sebesar 1.0 x 105 koloni/g. Hasil pengujian TPC pada bakso dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil uji Total Plate Count (TPC) pada bakso
Konsentrasi
Perlakuan
ekstrak
(%(b/v atau
Jumlah Total Mikroba (koloni/gram)
U
0 jam
6 jam
24 jam
48 jam
72 jam
b/b))
0 (kontrol)
3
Perebusan
0
80 C
5
10
0 (kontrol)
3
Pengadonan
5
10
1
5,6 x 104
1,0 x 106
4,6 x 107
-
-
2
3
5
7
-
-
1,3 x 10
7
-
-
1,5 x 10
7
-
-
6
-
-
4,1 x 10
6
-
-
8,7 x 10
5
-
-
1
2
1
9,0 x 10
<2,5 x 10
2
<2,5 x 10
2
2
<2,5 x 10
1,8 x 10
<2,5 x 10
2
<2,5 x 10
2
<2,5 x 10
2
5,4 x 10
5,2 x 10
<2,5 x 10
2
<2,5 x 10
2
1
<2,5 x 10
2
<2,5 x 10
2
2
4,4 x 102
4,6 x 103
2,4 x 106
-
-
1
4
6
7
-
-
6
-
2
2
1
1,8 x 10
4
5,6 x 10
<2,5 x 10
2
<2,5 x 10
2
2,3 x 10
5
6,6 x 10
<2,5 x 10
2
4,6 x 10
5,8 x 10
2,8 x 10
4
3,8 x 10
4
-
3,7 x 10
6
-
4,5 x 10
6
-
7,5 x 10
3
9,3 x 10
>2,5 x 106
<2,5 x 10
2
1
2
<2,5 x 10
<2,5 x 10
2
2
<2,5 x 102
3,2 x 102
3,5 x 102
1,1 x 104
>2,5 x 106
1
<2,5 x 102
2,8 x 101
6,4 x 103
>2,5x106
-
2
2
1
2
6
-
2
<2,5 x 10
2,8 x 10
2
3,0 x 10
>2,5x10
Keterangan : - = Tidak dilakukan pengamatan
= Jumlah total mikroba melebihi batas maksimal SNI, yaitu >1,0 x 105 koloni/gram
U = Ulangan
Pengamatan pada 0 jam menunjukkan bakso kontrol pada perlakuan perebusan memiliki
kandungan total mikroba sebesar 3,2 x 104 koloni/gram sedangkan bakso perlakuan pengadonan
sebesar 3,7 x 104 koloni/gram. Namun, pengamatan pada 6 dan 24 jam menunjukkan kandungan total
mikroba sudah lebih dari 1,0 x 105 koloni/gram. Pengamatan pada 24 jam menunjukkan bakso kontrol
mengalami tanda-tanda kerusakan seperti permukaan berlendir dan berbau asam sedangkan
pengamatan pada 6 jam belum menunjukkan kerusakan pada bakso kontrol. Berdasarkan persyaratan
32
total mikroba pada bakso sesuai SNI, bakso kontrol pada perlakuan perebusan dan pengadonan sudah
tidak layak konsumsi setelah 6 jam penyimpanan. Hal tersebut dikarenakan setelah 6 jam
penyimpanan jumlah total mikroba sudah melebihi batas maksimal pada SNI walaupun bakso kontrol
secara penampakan belum jelas menunjukkan adanya kerusakan. Pengamatan pada 0 jam dan 6 jam
menunjukkan bahwa bakso perlakuan perebusan 800C dengan konsentrasi ekstrak daun tin etanol
sebesar 3, 5, dan 10% (b/v) memiliki kandungan total mikroba di bawah 1,0 x 105 koloni/gram.
Ekstrak daun tin etanol yang diaplikasikan pada bakso dengan perlakuan perebusan mampu mereduksi
jumlah total mikroba sekitar 1-2 siklus log pada saat 0 jam dan 2-4 siklus log pada saat 6 jam.
Penurunan jumlah total mikroba tersebut dihitung berdasarkan perbandingan total mikroba pada bakso
kontrol dengan bakso perlakuan perebusan dengan ekstrak daun tin etanol pada saat 0 jam dan 6 jam
penyimpanan. Terjadinya penurunan jumlah total mikroba pada bakso dikarenakan adanya aktivitas
antimikroba dari ekstrak daun tin etanol yang didukung adanya proses pemanasan, yaitu perebusan
bakso dengan total waktu perebusan + 20 menit. Pengamatan pada 24 jam menunjukkan bakso
perlakuan perebusan dengan ketiga konsentrasi tersebut memiliki total mikroba melebihi 1,0 x 105
koloni/gram. Setelah 24 jam penyimpanan bakso perlakuan perebusan dari ketiga konsentrasi tersebut
memiliki tanda-tanda kerusakan yang sama baik dari jumlah total mikroba maupun penampakan fisik
bakso yang berlendir. Oleh karena itu, bakso dengan perlakuan perebusan dengan konsentrasi ekstrak
3, 5, dan 10% masih tahan disimpan pada suhu ruang selama 6 jam penyimpanan tetapi sudah
mengalami kerusakan setelah 24 jam penyimpanan.
Pengamatan pada 0 jam, 6 jam, dan 24 jam menunjukkan bahwa bakso perlakuan pengadonan
dengan konsentrasi ekstrak daun tin etanol sebesar 3% (b/b) memiliki kandungan total mikroba di
bawah 1,0 x 105 koloni/gram. Ekstrak daun tin etanol yang diaplikasikan pada bakso dengan
perlakuan pengadonan dengan konsentrasi ekstrak sebesar 3, 5, dan 10% (b/b) mampu mereduksi
jumlah total mikroba sekitar 2 siklus log pada saat 0 jam dan 3-4 siklus log pada saat 6 jam.
Penurunan jumlah total mikroba tersebut dihitung berdasarkan perbandingan total mikroba pada bakso
kontrol dengan bakso perlakuan pengadonan dengan ekstrak daun tin etanol pada saat 0 jam dan 6 jam
penyimpanan. Terjadinya penurunan jumlah total mikroba pada bakso dikarenakan adanya aktivitas
antimikroba dari ekstrak daun tin etanol yang didukung adanya proses pemanasan, yaitu perebusan
bakso dengan total waktu perebusan + 20 menit. Setelah 48 jam penyimpanan kandungan total
mikroba pada bakso konsentrasi ekstrak 3% tersebut lebih dari 1,0 x 105 koloni/gram. Bakso tersebut
juga telah menunjukkan tanda-tanda kerusakan seperti terbentuknya lendir. Bakso dengan perlakuan
pengadonan ekstrak sebesar 3% mengalami kerusakan setelah 48 jam penyimpanan. Pengamatan pada
0 jam, 6 jam, 24 jam serta 48 jam menunjukkan bahwa bakso perlakuan pengadonan dengan
konsentrasi ekstrak daun tin sebesar 5% (b/b) memiliki kandungan total mikroba di bawah 1,0 x 105
koloni/gram. Namun, setelah 72 penyimpanan kandungan total mikroba pada bakso konsentrasi
ekstrak 5% tersebut meningkat, yaitu lebih dari 1,0 x 105 koloni/gram. Bakso tersebut juga sudah
menunjukkan tanda-tanda kerusakan seperti permukaan bakso yang berlendir. Bakso dengan
perlakuan pengadonan ekstrak sebesar 5% mengalami kerusakan setelah 72 jam penyimpanan.
Pengamatan pada 0 jam, 6 jam, 24 jam menunjukkan bahwa bakso perlakuan pengadonan dengan
konsentrasi ekstrak etanol daun tin etanol sebesar 10% (b/b) memiliki kandungan total mikroba di
bawah 105 koloni/gram. Namun, setelah 48 jam penyimpanan kandungan total mikroba pada bakso
konsentrasi ekstrak 10% tersebut meningkat, yaitu lebih dari 1,0 x 105 koloni/gram. Selain itu, setelah
24 jam penyimpanan, bakso dengan perlakuan pengadonan ekstrak sebesar 10% sudah menujukkan
tanda-tanda kerusakan seperti terbentuknya lendir. Pada perlakuan pengadonan bakso dengan
konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol sebesar 3% (b/b) masih tahan disimpan selama 24 jam
pada suhu ruang sedangkan bakso dengan konsentrasi ekstrak sebesar 5% (b/b) masih tahan disimpan
33
selama 48 jam. Berdasarkan hasil perlakuan pengadonan tersebut terlihat bahwa semakin tinggi
ekstrak yang diaplikasikan pada bakso semakin lama waktu penyimpanannya. Namun, hal tersebut
tidak terjadi pada perlakuan pengadonan dengan konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol sebesar
10% (b/b). Bakso dengan konsentrasi ekstrak 10% (b/b) tersebut hanya tahan disimpan dalam waktu
24 jam saja. Hal tersebut menandakan bahwa ekstrak daun tin dengan etanol memiliki kemampuan
terbatas dalam menghambat aktivitas mikroba yang terkandung dalam bakso.
Perbedaan hasil antara perlakuan perebusan dan pengadonan adalah kemampuan ekstrak daun
tin dengan etanol pada kedua perlakuan tersebut dalam mempertahankan bakso dari kerusakan karena
mikroba pada konsentrasi yang sama. Bakso yang direbus dengan ekstrak daun tin etanol dengan
konsentrasi ekstrak sebesar 3, 5, dan 10% (b/v) hanya dapat mempertahankan keawetan selama 6 jam.
Bakso perlakuan pengadonan ekstrak daun tin etanol dengan konsentrasi ekstrak 3% (b/b) mampu
mempertahankan keawetan sampai 24 jam, sedangkan bakso dengan konsentrasi ekstrak 5% (b/b)
mempertahankan keawetan sampai 48 jam tetapi bakso dengan konsentrasi eksrak 10% (b/b) hanya
mampu mempertahankan keawetan sampai 24 jam. Secara keseluruhan, perlakuan pengadonan
ekstrak etanol daun tin mampu mempertahankan keawetan bakso lebih lama dibandingkan dengan
perlakuan perebusan. Perbedaan kemampuan ini disebabkan penetrasi ekstrak daun tin etanol yang
lebih baik dan merata pada perlakuan pengadonan. Hal ini dikarenakan ekstrak daun tin etanol
tersebar merata pada seluruh adonan bakso sehingga ekstrak tersebut mampu bekerja secara optimal
dalam menghambat aktivitas mikroba yang tumbuh baik pada permukaan maupun dalam bakso.
Selain itu, ekstrak daun tin etanol pada perlakuan pengadonan belum mengalami pemanasan
pendahuluan saat dicampur pada adonan bakso sedangkan pada perlakuan perebusan ekstrak etanol
daun tin telah mengalami pemanasan pendahuluan saat melarutkan ekstrak pada air untuk perebusan
bakso pada suhu 800C. Pengaruh pemanasan pendahuluan pada ekstrak daun tin etanol adalah dapat
merusak komponen aktifnya yang berperan sebagai antimikroba. Menurut Fraizer dan Westhoff
(2008) jumlah populasi mikroba pada saat terbentuknya lendir adalah 3,0 x 106 sampai 3,0 x 108
koloni/ml sampel dan jumlah populasi mikroba saat terdeteksi bau kurang enak adalah 1,2 x 106
sampai 1,2 x 108 koloni/ml. Terbentuknya lendir dan terdeteksi bau kurang enak merupakan tandatanda kerusakan lanjut pada bakso. Berdasarkan hasil pengamatan penampakan fisik dan total
mikroba dari bakso, tanda-tanda kerusakan pada bakso mulai terlihat saat jumlah mikroba bakso lebih
dari 1,0 x 105 koloni/gram. Pengaruh ekstrak daun tin etanol terhadap keawetan bakso berdasarkan
penampakan fisik pada perlakuan perebusan dan pengadonan bakso pada masing-masing konsentrasi
dapat dilihat pada Gambar 10.
34
Waktu terjadinya kerusakan
bakso(jam)
80
72
70
60
48
50
48
40
30
24
24
24
24
24
Perebusan
Pengadonan
20
10
0
0
3
5
10
Konsentrasi ekstrak daun tin etanol (%(b/v atau b/b)
Gambar 10. Hasil pengamatan fisik kerusakan bakso di suhu ruang selama waktu penyimpanan
tertentu
Berdasarkan Gambar 10 tersebut terlihat bahwa bakso perlakuan pengadonan ekstrak daun tin
dengan etanol memiliki ketahanan terhadap kerusakan dalam waktu penyimpanan yang lebih lama
dibandingkan dengan bakso perlakuan perebusan. Bakso kontrol baik pada perlakuan pengadonan
maupun perebusan sudah menunjukkan tanda-tanda kerusakan seperti terbentuknya lendir dan berbau
asam dalam waktu penyimpanan 24 jam. Bakso perlakuan perebusan dengan konsentrasi ekstrak daun
tin etanol sebesar 3, 5, 10% (b/v) sudah menunjukkan tanda-tanda kerusakan seperti terbentuknya
lendir dan berbau asam dalam waktu penyimpanan 24 jam. Dalam waktu penyimpanan selama 24 jam
bakso dengan perlakuan perebusan menunjukkan tanda-tanda kerusakan yang sama dengan bakso
kontrol. Namun, bakso dengan perlakuan perebusan memiliki aroma wangi daun tin dan tidak terlalu
asam seperti pada bakso kontrol. Perlakuan perebusan dengan ekstrak daun tin etanol tidak mampu
memperlambat terjadinya kerusakan pada bakso. Hal tersebut dikarenakan ekstrak daun tin etanol
kurang menyebar di dalam bakso sehingga ekstrak tersebut tidak mampu menghambat pertumbuhan
seluruh bakteri penyebab kerusakan bakso. Pada perlakuan perebusan ekstrak daun tin dengan etanol
hanya berada pada permukaan bakso dan hanya sedikit yang berada di dalam bakso. Hasil ini berbeda
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Haditama (2009) yang menyatakan bahwa metode
perebusan campuran ekstrak bawang putih dan asam asetat (60:40) dengan konsentrasi sebesar 10%
pada bakso merupakan metode aplikasi ekstrak yang lebih efektif dibandingkan metode perendaman
karena penetrasi ekstrak ke dalam bakso dengan metode perebusan lebih tinggi dibandingkan dengan
metode perendaman. Hasil bakso dengan perlakuan perebusan pada penelitian ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hadittama (2009) dikarenakan campuran ekstrak bawang putih dengan
asam asetat memiliki aktivitas penghambatan mikroba yang lebih tinggi dibandingkan dengan ektrak
daun tin etanol yang diperoleh pada penelitian ini. Menurut Suharti (2004) diacu di dalam Hadittama
(2009) serbuk bawang dengan konsentrasi 5% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella
typhirium setara dengan tetrasiklin 100µg/ml. Selain itu, Anderson dan Marshall (1989) di dalam
Davidson et al. (2005) menunjukkan penggunaan asam asetat konsentrasi 3% dapat mengurangi
jumlah bakteri pada daging sebesar 99,60%.
Bakso perlakuan pengadonan dengan konsentrasi ekstrak daun tin etanol sebesar 3% (b/b)
menunjukkan tanda-tanda kerusakan seperti terbentuknya lendir dan berbau asam dalam waktu
penyimpanan 48 jam sedangkan bakso dengan konsentrasi ekstrak yang lebih tinggi, yaitu sebesar 5%
(b/b) baru menunjukkan tanda-tanda kerusakan dalam waktu penyimpanan 72 jam. Namun, bakso
35
dengan perlakuan ekstrak sebesar 10% (b/b) sudah menunjukkan tanda-tanda kerusakan seperti
terbentuknya lendir dan berbau asam dalam waktu penyimpanan 24 jam. Pada konsentrasi 10% (b/b)
ekstrak daun tin etanol memiliki penurunan kemampuan dalam memperlampat terjadinya kerusakan
pada bakso. Oleh karena itu, konsentrasi optimum yang dipilih sebagai konsentrasi yang efektif
memperlambat terjadinya kerusakan bakso pada perlakuan adonan adalah sebesar 5%. Berdasarkan
hasil pengamatan fisik terjadinya kerusakan bakso selama waktu penyimpanan tertentu, perlakuan
pengadonan ekstrak daun tin etanol pada bakso lebih efektif dibandingkan perlakuan perebusan 800 C
selama 10 menit.
Hasil pengamatan fisik kerusakan bakso yang disimpan pada suhu ruang berkorelasi dengan
hasil total mikroba bakso. Bakso perlakuan perebusan dengan konsentrasi ekstrak etanol sebesar 3, 5,
dan 10% (b/v) pada waktu penyimpanan selama 24 jam di suhu ruang, total mikrobanya sudah lebih
dari 1,0 x 105 koloni/g. Selain itu, berdasarkan hasil pengamatan fisik terhadap kerusakan bakso pada
waktu penyimpanan 24 jam bakso tersebut telah mengalami kerusakan fisik. Hal tersebut
mengindikasikan pada waktu 24 jam bakso tersebut telah mengalami kerusakan baik secara
mikrobiologi maupun fisik. Secara fisik dan mikrobiologi, bakso perlakuan pengadonan dengan
konsentrasi ekstrak 3% (b/b) mengalami kerusakan pada waktu penyimpanan 48 jam sedangkan bakso
dengan konsentrasi 5% (b/b) mengalami kerusakan pada waktu penyimpanan 72 jam. Bakso
perlakuan pengadonan dengan konsentrasi 10% (b/b) mengalami kerusakan dengan waktu
penyimpanan lebih pendek dibandingkan dengan konsentrasi ekstrak 5% (b/b), yaitu pada waktu
penyimpanan 48 jam. Setiap ekstrak dari bahan alami mengalami karakteristik yang berbeda-beda
dalam menghambat pertumbuhan mikroba. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak dari suatu bahan alami
seharusnya semakin tinggi pula kemampuannya dalam menghambat mikroba dalam bahan pangan.
Namun, hal tersebut tidak dihasilkan pada penelitian ini. Hal yang sama juga dihasilkan pada
penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2010) yang melaporkan bahwa ekstrak etanol buah mengkudu
bekerja tidak stabil dalam penghambatan beberapa bakteri pembusuk daging segar, ditunjukkan
dengan konsentrasi yang semakin besar semakin tidak memberikan efek penghambatan yang lebih
besar. Menurut Dewi (2010) kemungkinan ini disebabkan karena ekstrak yang digunakan merupakan
ekstrak kasar yang kelarutan senyawa antibakterinya belum maksimal, sehingga aktivitasnya tidak
maksimal pula. Penambahan ekstrak daun tin dengan pelarut etanol memungkinkan terjadinya
peningkatan kandungan air maupun perubahan aw bakso karena ekstrak yang ditambahkan berupa
pasta dengan kandungan air cukup tinggi. Penambahan ekstrak daun tin etanol memungkinkan juga
terjadinya perubahan water holding capacity (WHC) pada bakso. WHC merupakan kemampuan
protein daging mengikat atau mempertahankan air dalam bahan pangan. Jika nilai WHC pada bakso
berubah, maka nilai pH juga akan berubah. Nilai WHC pada bakso perlakuan pengadonan dengan
konsentrasi ekstrak etanol daun tin sebesar 10% mungkin turun sehinggaair yang terlepas dari matriks
bakso semakin banyak. Hal tersebut juga dibuktikan penampakan bakso tersebut basah pada
permukaannya. Oleh karena itu, nilai pH dari bakso tersebut mengalami penurunan sehingga makin
mudah terserang oleh mikroba perusak pangan. Menurut Lawrie (2003) daya mengikat air daging
sangat dipengaruhi oleh pH, semakin tinggi pH akhir semakin tinggi daya mengikat air atau nilai
mgH2O rendah.
Menurut Frazier dan Westhoff (2008), mikroorganisme penyebab kerusakan pada bahan
pangan berkadar air tinggi dengan pH sekitar netral terutama adalah golongan bakteri. Menurut
Frazier dan Westhoff (2008), beberapa golongan bakteri yang dapat tumbuh baik pada bahan pangan
yang banyak mengandung protein, kadar air tinggi dengan pH netral antara lain golongan proteolitik,
bakteri asam laktat, dan golongan termodurik, seperti Micrococcus, Bacillus, dan Brevibakteria.
Kerusakan yang terdeteksi seperti terbentuknya lendir dan tekstur yang melunak menunjukkan adanya
36
aktivitas mikroba. Lendir dapat diproduksi oleh khamir dan bakteri. Pelunakan tekstur terjadi akibat
aktivitas bakteri proteolitik yang tahan dengan kondisi asam. Golongan mikroba proteolitik tahan
asam antara lain Micrococcus, Streptococcus faecalis var liquefaciens (termasuk bakteri laktik
enterokoki yang bersifat termodurik), dan beberapa spesies Bacillus pembentuk spora dan dapat
menfermentasi laktosa (Fraizer dan Westhoff 2008).
37
V. SIMPULAN DAN SARAN
A.
SIMPULAN
Rendemen hasil ekstraksi daun tin metode maserasi dengan pelarut heksana sebesar 3,48%
(b/b) sedangkan ekstrak dengan pelarut etanol sebesar 23,06% (b/b). Pada metode difusi sumur
diameter penghambatan ekstrak daun tin etanol dengan konsentrasi 100 mg/ml atau 10% (b/v)
terhadap bakteri Staphylococcus aureus adalah sebesar 8,07 mm sedangkan diameter penghambatan
ekstrak daun tin heksana sebesar 3,86 mm. Diameter penghambatan yang dihasilkan ekstrak daun tin
dengan etanol terhadap Pseudomonas aeruginosa adalah sebesar 5,70 mm sedangkan pada ekstrak
daun tin dengan heksana sebesar 4,97 mm. Ekstrak daun tin etanol dipilih untuk penentuan nilai
konsentrasi hambat minimal (MIC) dengan metode dilution broth karena memiliki rendemen ekstrak
dan diameter penghambatan terhadap bakteri uji lebih tinggi dibandingkan ekstrak daun tin dengan
heksana. Nilai MIC dari ekstrak daun tin dengan etanol yang mampu menurunkan 90,92% jumlah
bakteri Staphylococcus aureus adalah sebesar 1% (b/v). Dalam tahap aplikasi ekstrak daun tin dengan
etanol pada bakso konsentrasi ekstrak dinaikkan hingga 3, 5, dan 10 % dengan dua perlakuan, yaitu
perlakuan pengadonan dan perebusan 800C. Kegiatan pengamatan terhadap bakso yang dilakukan
selama 3 hari meliputi total plate count (TPC), total Staphylococcus aureus, dan pengamatan
kerusakan bakso secara visual. Bakso dengan perlakuan perebusan dengan konsentrasi ekstrak daun
tin etanol sebesar 3, 5, dan 10% (b/v) tahan disimpan dalam suhu ruang selama 6 jam sedangkan
bakso dengan perlakuan pengadonan dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Bakso baik pada
perlakuan perebusan dan pengadonan tahan disimpan pada suhu ruang dengan waktu penyimpanan
yang lebih lama dibandingkan dengan bakso kontrol. Selama 6 jam penyimpanan total mikroba dari
bakso kontrol sudah melebihi 1,0 x 105 koloni/g. Pada perlakuan pengadonan bakso dengan
konsentrasi ekstrak daun tin etanol sebesar 3% (b/b) dan 10% (b/b) tahan disimpan pada suhu ruang
selama 24 jam sedangkan bakso dengan konsentrasi ekstrak daun tin etanol sebesar 5% tahan
disimpan pada suhu ruang selama 48 jam. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak daun
tin etanol yang semakin tinggi tidak menjamin dapat memperpanjang umur simpan dari bakso. Selama
6 jam penyimpanan di suhu ruang bakso dengan penambahan ekstrak daun tin etanol sebesar 3, 5,
maupun 10% baik dengan perlakuan perebusan maupun pengadonan menghasilkan nilai TPC yang
rendah, yaitu <2,5 x 102 koloni/gram sedangkan bakso kontrol menghasilkan nilai TPC dengan ratarata 3,4 x 104 koloni/gram. Konsentrasi optimum dari ekstrak daun tin etanol yang dapat
memperpanjang umur simpan bakso hingga 48 jam adalah sebesar 5% (b/b) dengan perlakuan
pengadonan.
B.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, perlu dilakukan penelitian mengenai uji organoleptik bakso yang
diberi ekstrak daun tin etanol untuk mengetahui gambaran penerimaan konsumen terhadap bakso.
Selain itu, perlu dilakukan suatu uji untuk mengetahui residu etanol pada bakso dan analisis biaya
secara rinci untuk megetahui nilai ekonomis dari bakso tersebut. Penelitian lanjutan tersebut perlu
dilakukan untuk mengetahui keefektivan dari ekstrak daun tin etanol jika diaplikasikan dalam bahan
pangan.
38
DAFTAR PUSTAKA
Acar JF, Goldstein FW. 1986. Disk susceptibility test. Di dalam: Antibiotics in Laboratory Medicine
Second Edition. Lorian V, Williams, Wilkins Baltimore(Eds). p. 27.
Achmadi S. 1992. Kimia Kayu. FMIPA, IPB, Bogor.
Aksoy U, Anac D, Hakerlerler HH, Du¨ zbastılar M. 1987. Nutritional Status of Fig Orchards in
Germencik Region and Relationships between Investigated Plant Nutrients and Some Yield
Components and Quality. Taris¸ AR-GE, Project No.006, Bornova-I˙zmir, Turkey.
Aksoy U, Can HZ, Hepaksoy S, Sahin N. 2001. Fig Growing. TU¨ BI˙TAK TARP (Tu¨ rkiye
Tarımsal Aras¸ tırma Projesi)Yayınları.
[Badan Pengawas Obat dan Makanan RI]. 2004. Bahan Tambahan Ilegal Boraks, Formalin, dan
Rhodamin B. Food Watch Sistem Pengamanan Pangan Terpadu.
Baird PTC. 2000. Staphylococcus Species. Di dalam: BM Lund, Baird Parker TC, GW Goulds (Eds.).
The Microbiology Safety and Quality of Food. Aspen Publ Inc, Maryland.
Balcht A, Smith R. 1994. Pseudomonas aeruginosa: Infections and Treatment. Informa Health Care
83–84.
[BAM].
2001. Bacteriological Analytical Manual
http://www.fda.gov [10 September 2012]
Chapter
12
Staphylococcus
aureus
Barry AL. 1986. Procedure for testing antimicrobial agents in agar media: theoretical
considerations. Di dalam: Antibiotics in Laboratory Medicine Second Edition. Lorian V,
Williams, Wilkins Baltimore (Eds) p. 1.
Baytop T. 1984. Therapy with Medicinal Plants in Turkey No. 3255. Publications of Istanbul
University, Istanbul.
Bellakhdar J, Claisse R, Fleurentin J, Younos C. 1991. Repertory of standard herbal drugs in the
Moraccan pharmacopoea. J Ethnopharmacol 35: 123–143.
Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2003. Biologi Edisi kelima Jilid kedua. Diterjemahkan dari:
Biology Fifth Edition (Penerjemah: W. Manalu). Penerbit Erlangga, Jakarta.
Carey FA , Sundberg RJ. 2007. Advance Organic Chemistry Fifth Edition. Springer, Virginia.
[CDRH]. 2009. Guidance for Industry and FDA Class II Special Controls Guidance Document:
AntimicrobialSusceptibilityTest(AST)Systems.http://www.fda.gov/downloads/MedicalDevic
es/DeviceRegulationandGuidance/GuidanceDocuments/ucm071462.pdf[24 Januari 2013]
Cha JD, Jeong MR, Jeong SI, Lee KY. 2007. Antibacterial activity of sophoraflavanone G isolated
from the roots of Sophora flavescens. J Microbiol Biotechnol 17:858-64.
Davidson PM, Sofos JN, Branen AL. 2005. Antimicrobial in Food Third Edition. CRC Press Taylor,
Francis Group, United States Of America.
39
Davis WW, TR Stout. 1971. Disc Plate Methods of Microbiological Antibiotic Assay. Microbiology
22: 659-665.
Delgado V, Paradez L.2003. Natural Colorants for Food and Neutraceutical Uses. Di dalam: Wijaya
C Hanny, Mulyono Noryawati.2009. Bahan Tambahan Pangan Pewarna. IPB Press, Bogor.
Dewi FK. 2010. Aktivitas antibakteri ekstrak etanol buah mengkudu (Morinda Citrifolia, Linnaeus)
terhadap bakteri pembusuk daging segar [skripsi]. Fakultas Ilmu dan Pengetahuan Alam,
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Elviera G. 1988. Pengaruh pelayuan daging sapi terhadap mutu bakso [skripsi]. Fateta, IPB, Bogor.
Es M, Aksoy U, Okur B, Ongun AR, Tepecik M. 2008. Effect of calcium based fertilization on dried
fig (Ficus carica L. cv. Sarılop) yield and quality. Turkey Scientia Horticulturae 118: 308–
313.
Fardiaz S, Suliantri, Dewanti R. 1987. Senyawa Antimikroba. PAU, Bogor.
Fardiaz S. 1992. Mokrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Fathia S. 2011. Aktivitas Antimikroba Ekstrak Jahe (Zingiber officinale Roscoe) terhadap Beberapa
Bakteri Patogen. Skripsi. IPB, Bogor.
Fennema OR. 1996. Food Chemistry. Marcell Dekker Inc., New York.
Frazier WC, Westhoff DC. 2008. Food Microbiology 4th Edition. McGraw-Hill, Inc., USA.
Garriga M et al. 1993. Bacteriocinogenic Activity of Lactobacilli from Fermenter Sausages. J. Appl.
Bact. 75: 142-148.
Ghisalberti EL. 1993. Detection and isolation of bioactive natural products. Di dalam: Colgate S M,
Molyneux RJ (Eds). Bioactive Products: Detection, Isolation and Structural Determination.
CRC Press, Boca Raton, FL.
Gilani AH, Mehmood MH, Janbaz KH, Khan AU, Saeed SA. 2008. Ethnopharmacological studies on
antispasmodic and antiplatelet activities of Ficus carica. J Ethnopharmacol 119:1-5.
Gross J. 1991. Pigment in Vegetables: Chlorophylls and Carotenoids. Van Nostrand reinhold, New
York.
Guarrera P. 2003.Food medicine and minor nourishment in the folk traditions of central Italy (Marche,
Abruzzo and Latinum). Fitoterapia 74: 515–544.183–185.
Gutierrez J, C Barry-Ryan, P Bourke. 2008. The antimicrobial efficacy of plant essential oil
combinations and interactions with food ingredients. International Journal of Food
Microbiology 124 : 91–97.
Hada S, Kakiuchi N, Hattori M, Namba T. 1989. Identification of antibacterial principles against
Streptococcus mutans and inhibitory principles against glucosyltransferase from the seed of
Areca catechu. L. Phytother Res 3:140-4.
Hadittama N. 2009. Studi Penggunaan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum Linn) pada Pengawetan
Bakso dengan Asam Asetat [skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
40
Halim HA. 2010. Partner handal bertanam. http://embunflorist.blogspot.com/2010/07/pesanan-pohontin.html. [14 Februari 2013].
Hamdani. 2012. Maserasi. http://catatankimia.com/catatan/maserasi.html.[ 29 desember 2012]
Harborne IB. 1987. Metode Fitokimia (Penerjemah: K Radmawinata, I Soediso). Institut Teknologi
Bandung, Bandung.
Hasyim M, M Hamam, Syahrir A. 2006. Formalin bukan formalitas. Buletin CP. Edisi Januari (83)
VII.
Irget ME, Aksoy U, Okur B, Ongun AR, Tepecik M. 2008. Effect of calcium based fertilization on
dried fig (Ficus carica L. cv. Sarilop) yield and quality. Scientia Horticulturae 118: 308-313.
Jawetz E, J Melnick L, Adelberg EA. 2005. Microbiologi Untuk Profesi Kesehatan (Penerjemah:
Huriati, Hartanto. Kedokteran EGC, Jakarta.
Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology Sixth Edition. Alpen Publishers, Inc. Gaithersburg,
Maryland.
Jeong MR, Kim HY, Cha JD. 2009. Antimicrobial activity of methanol extract from Ficus carica
Leaves against oral bacteria. Journal of Bacteriology and Virology. 39(2): 97 – 102.
Konyalioglu S, Saglam H, Kivcak B. 2005. α-Tocopherol, flavonoid, and phenol contents and
antioxidant activity of Ficus carica leaves. Pharmaceutical Biology 43(8): 683-686.
Kramlich WE, AM Pearson, FW Tauber. 1977. Processed Meat. AVI Publisher.Co.Inc., Westport,
Connecticut.
Krishna MG, Pallavi E, Ravi KB, Ramesh M, Venkatesh S. 2007. Hepatoprotective activity of Ficus
carica Linn. leaf extract against carbon tetrachloride-induced hepatotoxicity in rats. Journal
of University College of Pharmaceutical Sciences, Kakatiya University and Warangal, 2G.
Pulla Reddy College of Pharmacy, Mehdipatnam, Hyderabad, India.
Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. Penerjemah: Aminuddin Parakkasi. Universitas Indonesia Press,
Jakarta.
Madigan M. 2005. Brock Biology of Microorganisme. PrenticeHall, London.
[Menkes]. 1988. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 722/MENKES/PER/IX/88
tentang Bahan Tambahan Makanan. http://storage.jak-stik.ac.id/.../Menkes_722 [4 Maret
2013].
[Menkes]. 1999. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1168/MENKES/PER/X/99
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
722/MENKES/PER/IX/88
tentang
Bahan
Tambahan
Makanan.
http://www.scribd.com/doc/38679325/Permenkes-RI-perubahan [4 maret 2013]
Muchtadi TR. 2008. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Musthapa I, Dwiyanti G. Aspek kimia dan biologis dari senyawa turunan flavonoid tumbuhan Ficus.
Makalah pada Seminar Nasional Penelitian dan Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004,
Bandung.
41
Mycek MJ, Richard AH, Pamela C. 1997. Farmakologi : Ulasan Bergambar (Penerjemah: Azwar
Agoes, Huriawati Hartanto). Widya Medika, Jakarta.
[NCCLS]. 1999. Methods for Determining Bactericidal Activity of Antimicrobial Agents, Approved
Guideline, National Committee for Clinical Laboratory Standards, Wayne, PA.
[NCCLS]. 2002. Methods for Dilution Antimicrobial Susceptibility Tests for Bacteria That Grow
Aerobically; Approved Standard Sixth Edition. National Committee for Clinical Laboratory
Standards, Wayne,PA.
Nielsen SS. 2003. Food Analysis Third Edition. Kluwer Academic / Plenum Publisher, New York,
USA.
Parhusip, AJN. 2006. Kajian Mekanisme Antibakteri Ekstrak Andaliman (Zantoxylum acanthopodium
DC) Terhadap Bakteri Patogen Pangan. Disertasi Pascasarjana, IPB, Bogor.
Parish ME, Davidson PM. 1993. Methods for Evaluation. Di dalam: Antimicrobials in Foods Second
Edition. PM Davidson dan AL. Branen (Eds.). Marcel Dekker Inc, New York.
Pelczar MJ, Reid RD, Chan ECS. 1977. Microbiology. Di dalam: Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi
Pangan. Gramedia, Jakarta.
Pelczar MJ, Chan ECS. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi. Diterjemahkan dari: Elements of
Microbiology (Penerjemah: Hadioetomo RS). UI-Press, Jakarta
Pelczar MJ, Chan ECS, Pelczar MF. 2009. Dasar-dasar Mikrobiologi II. Diterjemahkan dari:
Elements of Microbiology (Penerjemah: Hadioetomo RS, IMAS T, Tjotrosomo SS, Angka
SL). UI-Press, Jakarta
Perez C, Canal JR, Torres MD. 2003. Experimental diabetes treated with Ficus carica extract: effect
on oxidative stress parameters. Acta Diabetol 40:3-8.
Piddock LJ. 1990. Techniques used for determination of antimicrobial resistance and sensitivity in
bacteria. J. Appl. Bacteriol. 68:307.
Pige LG, Mckey MH, Greeff JM, Bessiere JM. 2002. Fig volatile compounds—a first comparative
study. Phytochemistry 61: 61-71.
Pseudomonas Genome Database. 2013. A database for Pseudomonas. www.pseudomonas.com [ 29
Desember 2012]
Public Health Image Library. Staphylococcus aureus. http://phil.cdc.gov [29 Desember 2012]
Ross JA, Kasum CM. 2002. Dietary flavonoids: bioavailability, metabolic effects, and safety. Annu
Rev Nutr 22: 19-34.
Ryan KJ, Ray CG (Eds). 2004. Sherris Medical Microbiology Fourth Edition. McGraw Hill.
Salle AJ. 1961. Fundamental Principles of Bacteriology. Tata Mc Graw-Hill Publishing Company
Ltd, New Delhi.
Schunack W, Mayer K, Haake M. 1990. Senyawa Obat Edisi kedua. Wattimenna JR, Subito
(Eds).UGM Press, Yogyakarta.
42
Shan B, Cai YZ, Brooks JD, Corke H. 2007. The in vitro antibacterial activity of dietary spice and
medicinal herb extracts. International Journal of Food Microbiology 117: 112–119.
SNI No. 01-3818. 1995. Bakso Daging. Badan Standarisasi Nasional.
SNI No. 7388. 2009. Batas cemaran mikroba dalam bahan pangan.Badan Standarisasi Nasional.
Sugiastuti S. 2002. Kajian Aktivitas Antibakteri dan Antiokasidan Ekstrak Daun Sirih. (Piper betle L.)
pada Daging Sapi Giling. Disertasi. Program Pasca Sarjana IPB, Bogor.
Suharti S. 2004. Kajian Antibakteri Temulawak, Jahe, dan Bawang Putih terhadap Bakteri Salmonella
typhimurium serta Pengaruh Bawang Putih terhadap Performans dan Respon Imun Ayam
Pedaging. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sunarlim R. 1992. Karakteristik Mutu Bakso Daging Sapi dan Pengaruh Penambahan Natrium
Klorida dan Natrium Tripolifosfat terhadap Perbaikan Mutu. Disertasi. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Tarwotjo I, S Hartini, S Soekirman, Sumartono. 1971. Komposisi Tiga Jenis Bakso di Jakarta.
Akademi Gizi Jakarta, Jakarta.
Thrupp LD. 1986. Susceptibility testing of antibiotics in liquid media. Di dalam: Antibiotics in
Laboratory Medicine Second Edition. Lorian V, Williams, Wilkins Baltimore (Eds). p. 93.
Vaya J, Mahmood S. 2006. Flavonoid content in leaf extracts of the fig (Ficus carica L.), carob
(Ceratonia siliqua L.) and pistachio (Pistacia lentiscus L.). Biofactors 102(28):169-75.
Wang G, Wang H, Song Y, Jia C,Wang Z, Xu H. Studies Hada S, Kakiuchi N, Hattori M, Namba T.
1989. Identification of antibacterial principles against Streptococcus mutans and inhibitory
principles against glucosyltransferase from the seed of Areca catechu L. Phytother Res
3:140-4.
Wibowo S. 2006. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Penebar Swadaya, Jakarta.
Widyaningsih TD, Murtini ES. 2006. Alternatif Pengganti Formalin pada Produk Pangan. Trubus
Agrisarana, Bogor.
Wilson NRP. 1981. Meat and Meat Products: Factor Affecting Quality Control. Applied Science
Publisher Ltd., England.
Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta
43
LAMPIRAN
44
D
1
2
1
2
10-6
72
132
29
40
10-7
10
4
2
6
10-8
0
0
0
0
3,7 x 107
1
2
1
2
Heksana
Etanol
U
Jenis ekstak
54.73
39.89
47.41
47.40
W kosong
(g)
Rata-rata
Sd
60.57
45.58
Sd
Rata-rata
48.32
48.23
W kosong + isi
(g)
5.84
5.69
0.91
0.83
W ekstrak( W( kosong +
isi) - W kosong)
23,06
0,18
23,36
22,76
3,48
0,0512
Rendemen ekstrak (g/25 g
serbuk daun tin kering *
100%)
3,64
3,32
Jumlah koloni/ml
1,0 x 108
Lampiran 2. Hasil ekstraksi daun tin metode maserasi dengan berbagai pelarut
Pseudomonas aeruginosa
Bakteri uji
Staphylococcus aures
Lampiran 1. Jumlah bakteri awal
Hijau pekat
Hijau pekat
Warna
ekstrak
45
DMSO (kontrol negatif)
Kontrol positif (amoxcilin 2%)
Etanol
Heksana
Pelarut
7,78
0,59
0,00
Rata-rata
sd
9,58
0,61
0,00
9,08
8,02
2
5,70
0,13
9,94
8,07
0,00
7,36
sd
1
0,18
5,60
5,79
4,97
5,10
4,84
Rata-rata
3,86
0,31
8,07
8,07
sd
1
2
3,64
Rata-rata
4,08
2
Zona hambat terhadap bakteri uji (mm)
Staphylococcus
Pseudomonas
aerus
aeruginosa
1
Ulangan
Lampiran 3. Zona hambat ekstrak daun tin terhadap bakteri uji
46
3
2
Konsentrasi
ekstraksi
etanol (%)
1
9,4 x 102
5,6 x 103
2
0 jam
Pengadonan
0
6 jam
0 jam
24 jam
6 jam
Waktu
Pengamatan
Metode aplikasi
ekstrak(Perlakuan)
Konsentrasi
ekstrak etanol
daun tin(%)
2
1
U
TBUD
2
TBUD
TBUD
TBUD
2
1
1
TBUD
1
TBUD
TBUD
TBUD
2
1
2
TBUD
1
10-1
1,4 x 102
Rata-rata
6,7 x 103
1
D
5,7 x 102
2
Rata-rata
1,8 x 10
1,5 x 104
1
2
5,0 x 10
2
5,1 x 10
7,2 x 102
3
TBUD
TBUD
TBUD
TBUD
TBUD
TBUD
TBUD
TBUD
TBUD
10-2
Jumlah koloni yang
tumbuh (24 jam)
8,6 x 103
Jumlah koloni
yg tumbuh
(t=0jam)
Rata-rata
4,2 x 103
2
1
Ulangan
Lampiran 5. Hasil Total Plate Count (TPC) pada bakso
Staphylococcus
aureus
Bakteri uji
TBUD
40
TBUD
138
TBUD
TBUD
TBUD
14
20
10-3
214
TBUD
TBUD
214
238
0
4
10-4
Pengenceran
98.12
98,32
95.96
97,91
96,20
90,92
95,71
90,20
91,63
Penurunan
jumlah bakteri
(%)
Lampiran 4. Nilai penghambatan ekstrak daun tin etanol terhadap Staphylococcus aureus
87
30
0
1
10-5
10-6
2,3 x 106
8,9 x 104
5,8 x 106
2,3 x 106
1,8 x 104
Jumlah koloni
(koloni/gram)
47
Perebusan
Pengadonan
0
3
24 jam
6 jam
0 jam
48 jam
24 jam
6 jam
0 jam
24 jam
6 jam
0 jam
24 jam
6 jam
0 jam
24 jam
2
1
2
1
0
2
1
1
0
0
0
12
2
2
10
TBUD
0
4
2
1
1
2
TBUD
0
0
1
2
3
1
1
2
6
0
0
1
TBUD
1
TBUD
10
0
28
0
0
0
0
0
TBUD
0
TBUD
0
0
0
0
0
0
0
0
0
TBUD
TBUD
35
6
2
0
4
247
101
TBUD
0
2
TBUD
TBUD
0
TBUD
1
2
TBUD
TBUD
1
TBUD
TBUD
TBUD
TBUD
1
1
2
0
22
2
110
26
1
TBUD
8
98
TBUD
0
3
TBUD
40
TBUD
1
TBUD
TBUD
238
2
1
TBUD
2
TBUD
TBUD
72
TBUD
TBUD
TBUD
TBUD
2
1
TBUD
TBUD
1
TBUD
TBUD
1
1
2
2
54
55
42
49
152
179
3,8 x 104
<2,5 x 102
<2,5 x102
> 2,5 x 106
2,8 x 103
<2,5 x 102
<2,5 x 102
5,4 x 107
1,8 x 105
2,4 x 103
4,6 x 107
1,0 x 106
5,6 x 104
1,6 x 108
48
5
3
Pengadonan
Perebusan
6 jam
0 jam
72 jam
48 jam
24 jam
6 jam
0 jam
24 jam
6 jam
0 jam
24 jam
6 jam
0 jam
48 jam
2
1
2
1
35
88
62
2
1
2
1
3
TBUD
2
0
0
2
99
TBUD
2
1
1
2
95
12
7
14
1
1
1
2
30
1
1
2
3
0
2
TBUD
8
TBUD
10
0
0
0
0
1
0
TBUD
0
TBUD
0
TBUD
TBUD
2
0
0
TBUD
0
0
0
TBUD
0
TBUD
0
0
0
0
TBUD
TBUD
0
TBUD
3
4
0
0
0
TBUD
0
TBUD
2
0
0
0
TBUD
TBUD
38
1
23
22
6
0
0
2
1
2
2
1
TBUD
0
0
2
1
6
2
1
1
TBUD
0
2
2
1
0
TBUD
TBUD
1
0
1
1
2
2
108
187
134
281
0
<2,5 x 102
<2,5 x 102
>2,5 x 106
9,3 x 103
7,5 x 102
3,2 x 102
<2,5 x 102
1,5 x 107
<2,5 x 102
<2,5 x 102
1,3 x 107
<2,5 x 102
<2,5 x 102
>2,5 x 106
49
Perebusan
Pengadonan
5
10
0 jam
48 jam
24 jam
6 jam
0 jam
24 jam
6 jam
0 jam
24 jam
6 jam
0 jam
72 jam
48 jam
24 jam
2
1
2
1
4
2
1
2
TBUD
2
1
2
6
TBUD
2
1
4
2
28
TBUD
7
2
1
1
TBUD
1
5
2
3
2
1
2
3
1
TBUD
TBUD
3
3
2
1
1
2
3
1
TBUD
TBUD
72
0
57
0
1
TBUD
2
TBUD
0
1
2
1
TBUD
TBUD
3
0
1
0
TBUD
2
1
109
TBUD
2
1
6
5
1
105
35
35
3
1
1
2
2
0
TBUD
TBUD
13
0
16
1
1
TBUD
1
TBUD
0
0
1
2
TBUD
TBUD
1
0
1
0
TBUD
13
TBUD
8
0
0
1
459
365
2
1
0
46
2
36
58
45
TBUD
1
TBUD
2
0
0
< 2,5 x 102
>2,5 x 106
6,4 x 103
2,8 x 101
< 2,5 x 102
4,1 x 106
<2,5 x 102
<2,5 x 102
5,2 x 106
<2,5 x 102
<2,5 x 102
>2,5 x 106
1,1 x 104
3,5 x 102
50
Perebusan
24 jam
6 jam
0 jam
24 jam
6 jam
0 jam
48 jam
24 jam
6 jam
2
1
26
2
1
TBUD
2
TBUD
TBUD
1
2
8
20
2
2
1
2
44
1
TBUD
TBUD
0
TBUD
2
1
1
2
13
1
2
33
28
6
0
1
1
2
2
TBUD
TBUD
1
1
7
11
TBUD
TBUD
45
2
48
3
TBUD
6
TBUD
0
0
0
2
TBUD
TBUD
1
3
1
1
TBUD
TBUD
2
1
1
0
TBUD
0
TBUD
0
1
0
0
245
236
0
0
1
5
82
93
372
2
364
1
2,4 x 106
4,6 x 103
4,4 x 102
8,7 x 105
<2,5 x 102
<2,5 x 102
>2,5 x 106
3,0 x 102
2,8 x 101
51
278.636
Total
6
3
3
3
2
2
Kontrol positif
Ekstrak daun tin dengan etanol
1
1.000
The error term is Mean Square(Error) = .105.
Based on observed means.
F
2
.325
8.0700
7.6900
884.683
884.683
Subset
3.8600
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Sig.
2
N
Ekstrak daun tin dengan heksana
Perlakuan
Duncan
Zona_penghambatan
.105
92.774
92.774
Mean Square
a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)
Post Hoc Tests
Homogeneous Subset
.315
278.321
Perlakuan
Error
278.321a
Type III Sum of Squares df
Model
Source
Dependent Variable:Zona_penghambatan
Tests of Between-Subjects Effects
Sig.
Lampiran 6. Hasil analisis ragam dan uji Duncan difusi sumur Staphylococcus aureus
.000
.000
52
295.570 6
Total
2
2
Ekstrak daun tin dengan etanol
Kontrol positif
Sig.
2
N
Ekstrak daun tin dengan heksana
Perlakuan
Duncan
Zona_penghambatan
Subset
.149
5.6950
F
699.984
699.984
1.000
9.5100
2
.141
98.383
4.9700
1
a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .997)
Post Hoc Tests
Perlakuan
Homogeneous Subsets
.422 3
295.148 3
Perlakuan
Error
295.148a 3
Model
98.383
Type III Sum of Squares df Mean Square
Source
Dependent Variable:Zona_penghambatan
Tests of Between-Subjects Effects
.000
.000
Sig.
Lampiran 7. Hasil analisis ragam dan uji Duncan difusi sumur Pseudomonas aeruginosa
53
Download