POTENSI ANTIMIKROBA DAUN TIN (Ficus carica) TERHADAP Staphylococcus aureus DAN Pseudomonas aeruginosa SERTA APLIKASINYA PADA PRODUK BAKSO SKRIPSI AYU ARIESTA PRADANA F24080125 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 ANTIMICROBIAL POTENTIAL OF FIG LEAF (Ficus carica) AGAINST Staphylococcus aureus AND Pseudomonas aeruginosa AND ITS APPLICATION IN MEATBALL PRODUCT Ayu Ariesta Pradana, Joko Hermanianto, Harsi D. Kusumaningrum Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor,West Java, Indonesia Phone: +62 85 725275286, e-mail: [email protected] ABSTRACT In Indonesia there are many abuse of formaline use in meatball. This study was conducted to explore antimicrobial activity of fig leaf and to find alternative of preservation technology which is effective and safe especially for meatball. Fig leaf has been used as medicine for various health problems but its application in food has not been widely explored. Based on the extraction with maceration method, extraction of fig leaf using ethanol as solvent showed a higher yield than using hexane. Based on the well diffusion assay, in Staphylococcus aureus plate the greatest inhibition diameter was found by 10%(w/v) or 100 mg/ml ethanol extract i.e 8.07 mm and the smallest by 10%(w/v) or 100 mg/ml hexane extract i.e 3.86 mm. In Pseudomonas aeruginosa plate the inhibition diameter of ethanol and hexane extract were 5.70 mm and 4.97 mm respectively. The minimum inhibition concentration of ethanol fig leaf extract against Staphylococcus aureus was 10 mg/ml or 10% (w/v). Therefore ethanol fig extract was applied in meatball with two treatments i.e. mixing and boiling. The concentration of ethanol fig leaf extract which was applied were 3, 5, 10(%). Based on Total Staphylococcus aureus counts, extract from both of treatments (5% and 10%) could reduce S. aureus in meatball till 6 hours at room temperature. Extract by mixing treatment could reduce S. aureus more than extract by boiling treatment. The most effective concentration from ethanol fig leaf extract was 5% (w/w) by boiling treatment. It could extend meatball’s shelf life till 72 hours in room temperature. Keywords: fig leaf, well diffusion, antimicrobial, meatball, Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa AYU ARIESTA PRADANA. F24080125. POTENSI ANTIMIKROBA DAUN TIN (Ficus carica) TERHADAP Staphylococcus aureus DAN Pseudomonas aeruginosa SERTA APLIKASINYA PADA PRODUK BAKSO. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Joko Hermanianto dan Dr. Ir. Harsi D Kusumaningrum. 2013 RINGKASAN Pengawet merupakan bahan tambahan yang penting untuk memperpanjang umur simpan suatu produk pangan. Pengawet yang berasal dari sumber alami dibutuhkan dalam dunia pangan saat ini dan pada masa yang akan datang. Daun tin (Ficus carica) telah banyak digunakan dalam dunia farmasi karena daun tin memiliki kandungan komponen bioaktif. Penelitian tentang antimikroba daun tin telah dilakukan terhadap bakteri yang berada pada mulut manusia (oral bacteria). Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aktivitas antimikroba ekstrak heksana dan etanol daun tin terhadap bakteri patogen, yaitu Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa serta aplikasinya pada bakso. Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu: (1) ekstraksi daun tin dengan pelarut heksana dan etanol menggunakan metode maserasi, (2) menguji aktivitas antimikroba ekstrak daun tin dengan metode difusi sumur dan metode dilution broth, dan (3) menguji aktivitas antimikroba ekstrak pada bakso yang disimpan pada suhu ruang. Aplikasi ekstrak daun tin pada bakso terdiri dari beberapa uji, yaitu Total Plate Count (TPC), total Staphylococcus aureus, dan pengamatan fisik terhadap kerusakan bakso. Rendemen ekstrak daun tin etanol yang diperoleh dari metode maserasi adalah sebesar 23.06% sedangkan rendemen ekstrak daun tin heksana sebesar 3.48%. Ekstrak daun tin heksana dan etanol dengan konsentrasi 100 mg/ml (10%) menghasilkan diameter penghambatan pada Staphylococcus aureus berturut-turut sebesar 3.86 dan 8.07 mm sedangkan pada Pseudomonas aeruginosa berturutturut sebesar 5.70 dan 4.97 mm. Berdasarkan hasil rendemen ekstraksi dengan metode maserasi dan uji difusi sumur, ekstrak daun tin yang diperoleh dengan pelarut etanol digunakan untuk pengujian selanjutnya karena ekstrak tersebut memiliki rendemen yang lebih tinggi dan zona penghambatan yang lebih besar dibandingkan ektrak daun tin dengan pelarut heksana. Konsentrasi hambat minimal (MIC) dari ekstrak daun tin etanol yang diperoleh dari metode maserasi terhadap Staphylococcus aureus adalah sebesar 1% atau 10 mg/ml. Pada uji aplikasi ekstrak daun tin etanol pada bakso, ekstrak diaplikasikan dengan dua perlakuan yaitu, pengadonan dan perebusan pada suhu 800C selama 10 menit. Konsentrasi ekstrak yang digunakan pada kedua perlakuan tersebut adalah sebesar 3, 5, dan 10% (b/b atau b/v). Berdasarkan uji total Staphylpcoccus aureus pada bakso, konsentrasi ekstrak daun tin etanol sebesar 5% dan 10% baik dari perlakuan perebusan dan pengadonan mampu menurunkan jumlah bakteri S.aureus pada bakso yang disimpan pada suhu ruang selama 6 jam. Nilai penghambatan ekstrak daun tin dengan etanol pada perlakuan pengadonan dengan konsentrasi ekstrak 5% dan 10% (b/b) secara berturut-turut sebesar 50.54% dan 72.66%. Nilai penghambatan ekstrak daun tin dengan etanol pada perlakuan perebusan dengan konsentrasi 5% dan 10% (b/v) secara berturut-turut sebesar 42.90% dan 71.39%. Berdasarkan hasil Total Plate Count dan pengamatan kerusakan fisik, bakso perlakuan perebusan dengan konsentrasi ekstrak daun tin etanol sebesar 3, 5, dan 10% (b/v) mampu bertahan terhadap kerusakan mikrobiologis dan fisik selama 6 jam penyimpanan di suhu ruang sedangkan bakso kontrol selama 6 jam jumlah angka lempeng totalnya sudah melebihi yang dipersyaratkan SNI, yaitu 1.0 x 105 koloni/gram. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ekstrak daun tin dengan etanol yang diaplikasikan pada bakso dengan perebusan mampu menekan jumlah angka lempeng total bakso hingga 6 jam penyimpanan di suhu ruang. Bakso perlakuan pengadonan dengan konsentrasi ekstrak daun tin etanol sebesar 3% dan 10% (b/b) mampu memperpanjang umur simpan bakso selama 24 jam penyimpanan. Selama 6 jam penyimpanan di suhu ruang bakso dengan penambahan ekstrak daun tin etanol sebesar 3, 5, maupun 10% baik dengan perlakuan perebusan maupun pengadonan menghasilkan nilai TPC yang rendah, yaitu <2,5 x 102 koloni/gram sedangkan bakso kontrol menghasilkan nilai TPC dengan rata-rata 3,4 x 104 koloni/gram. Bakso dengan konsentrasi ekstrak daun tin etanol sebesar 5% (b/b) dengan perlakuan pengadonan mampu memperlambat terjadinya kerusakan pada bakso selama 48 jam waktu penyimpanan pada suhu ruang. Konsentrasi tersebut merupakan konsentrasi optimum dari ekstrak daun tin etanol yang diaplikasikan pada bakso. POTENSI ANTIMIKROBA DAUN TIN (Ficus carica) TERHADAP Staphylococcus aureus DAN Pseudomonas aeruginosa SERTA APLIKASINYA PADA PRODUK BAKSO SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh AYU ARIESTA PRADANA F24080125 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 Judul Skripsi Nama NRP : Potensi Antimikroba Daun Tin (Ficus carica) terhadap Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa serta Aplikasinya pada Produk Bakso : Ayu Ariesta Pradana : F24080125 Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II (Dr. Ir. Joko Hermanianto) NIP 19590528 198503.1.001 (Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum) NIP 19640502 199303.2.004 Mengetahui: Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (Dr. Ir. Feri Kusnandar, M. Sc.) NIP 19680526 199303.1.004 Tanggal lulus: PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul: Potensi Antimikroba Daun Tin (Ficus carica) terhadap Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa serta Aplikasinya pada Produk Bakso adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, 13 Maret 2013 Yang membuat pernyataan Ayu Ariesta Pradana F24080125 © Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2013 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tuis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB. BIODATA PENULIS Ayu Ariesta Pradana dilahirkan di Sukoharjo pada tanggal 16 Mei 1990 sebagai anak pertama dari Bapak Totok Supriyanto dan Ibu Sri Sutarti. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2008 dari SMA Negeri 1 Sukoharjo. Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswi di IPB melalui jalur SNMPTN. Penulis memilih Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan sebagai pengurus BEM FATETA(Fakultas Teknologi Pertanian) dan berbagai kegiatan kepanitiaan. Penulis pernah menjadi Asisten Praktikum Analisis Pangan ITP tahun 2012. Penulis pernah melaksanakan magang di perusahaan pangan swasta pada tahun 2010. KATA PENGANTAR Rasa syukur penulis panjatkan pada Allah swt atas terselesaikannya skripsi yang berjudul “Potensi Antimikroba Daun Tin (Ficus carica) terhadap Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa serta aplikasinya pada Produk Bakso” dengan baik. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta, IPB sejak bulan Mei 2012 hingga Desember 2012. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Bapak dan Ibu yang senantiasa memberikan doa dan dukungan 2. Dr. Ir. Joko Hermanianto dan Dr. Harsi D Kusumaningrum yang telah memberikan arahan pada penulis selama penyelesaian tugas akhir 3. Dr. Ir. Dahrul Syah selaku dosen penguji yang telah member saran untuk perbaikan penulisan 4. Teknisi laboratorium ITP yaitu pak Taufik, pak Rojak, pak Edi, pak Sob, mbak Ari, mbak Vera teh Nurul yang telah memberikan bantuan selama penelitian 5. Karyawan Perpustakaan IPB dan IPTP atas keramahan dan bantuannya 6. Teman-teman seangkatan ITP 45 yang senantiasa memberikan motivasi dalam menyelesaikan penelitian dan skripsi 7. Teman lab dan seperjuangan : Ical, Ardy, Dio, Madun, Bangun, Tiur, Priska, Rara, Fathin, kak Kiki yang selalu menemani pada saat penelitian 8. Teman sepermainan Rathih, Fiqa, Tata, Ratna, Gita dan yang lainnya yang selalu menemani di saat penat 9. Teman omda Ayumas Solo: Rizka, Wiwik, kang Agus, Rp yang menjadi obat saat kangen dengan kampung halaman, Solo 10. Teman-teman 393&394: Arum, Ika, Andra, Tia, Fitta, April, Ipit 11. Teman-teman kos Wisma Sakinah: Kadek, Uli, Zola, Desti, Opi, Fitri, Elly, Navi, Tisa, Kiran yang menemani dan memotivasi untuk menyelesaikan skripsi dari pagi hingga malam 12. Teman-teman kampung Nglethiz yang telah menjadi kawan abadi dalam menghibur, memotivasi walaupun berada jauh di sana Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun penelitian selanjutnya. Bogor, 13 Maret 2013 Ayu Ariesta Pradana iii DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ........................................................................................................................ iii DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... iv DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................................... vii I. PENDAHULUAN .............................................................................................................................. 1 A. LATAR BELAKANG .................................................................................................................. 1 B. TUJUAN PENELITIAN ............................................................................................................... 2 C. KPI (Key Performance Indicator) ................................................................................................. 3 D. MANFAAT ................................................................................................................................... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................................... 4 A. DAUN TIN (Ficus carica) ............................................................................................................ 4 B. SENYAWA ANTIMIKROBA ...................................................................................................... 5 C. EKSTRAKSI KOMPONEN BIOAKTIF ...................................................................................... 6 D. BAKTERI PATOGEN PANGAN................................................................................................. 7 E. PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA.............................................................................. 8 F. BAKSO ......................................................................................................................................... 9 III. METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................................................... 12 A. BAHAN DAN ALAT.................................................................................................................. 12 B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN ................................................................................... 12 C. METODE PENELITIAN ............................................................................................................ 12 D. PENGAMATAN ......................................................................................................................... 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................................................... 20 A. KULTUR BAKTERI UJI ............................................................................................................ 20 B. EKSTRAK DAUN TIN DENGAN PELARUT ETANOL DAN HEKSANA ........................... 21 C. AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK DAUN TIN HEKSANA DAN ETANOL ............. 22 D. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) EKSTRAK DAUN TIN DENGAN PELARUT ETANOL ..................................................................................................................................... 25 E. APLIKASI EKSTRAK DAUN TIN ETANOL PADA BAKSO ................................................ 27 V. SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................................. 38 A. SIMPULAN................................................................................................................................. 38 B. SARAN ....................................................................................................................................... 38 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 39 LAMPIRAN ...................................................................................................................................... 44 iv DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Kriteria mutu sensoris bakso ................................................................................................. 10 Tabel 2. Komposisi kimiawi aneka bakso ........................................................................................... 11 Tabel 3. Batas maksimum cemaran mikroba dalam bakso ................................................................... 11 Tabel 4. Hasil pengamatan bakteri uji secara mikroskopi dan jumlah koloni bakteri uji ..................... 20 Tabel 5. Hasil ekstraksi daun tin dengan merode maserasi dengan berbagai pelarut ........................... 21 Tabel 6. Zona penghambatan terhadap bakteri uji................................................................................ 22 Tabel 7. Hasil pengujian aktivitas ekstrak daun tin etanol dengan uji dillution broth.......................... 26 Tabel 8. Hasil penghambatan ekstrak etanol daun tin terhadap pertumbuhan S. aureus ...................... 29 Tabel 9. Hasil uji Total Plate Count (TPC) pada bakso ....................................................................... 32 v DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Bentuk morfologi tanaman tin .......................................................................................... 5 Bentuk morfologi sel Staphylococcus aureus .................................................................. 7 Bentuk morfologi sel Pseudomonas aeruginosa ............................................................... 8 Metode difusi sumur untuk ekstrak daun tin ................................................................... 13 Proses pembuatan bakso ................................................................................................. 16 Tahapan proses penelitian ............................................................................................... 17 Zona bening yang dihasilkan pada media NA dengan metode difusi sumur .................. 23 Penurunan jumlah Staphylococcus aureus pada bakso ................................................... 30 (a) Bakso kontrol (b) Bakso hasil pengadonan dengan penambahan ekstrak daun tin dengan etanol (c) Bakso hasil perebusan pada suhu 800C selama 10 menit dengan penambahan ekstrak daun tin etanol ............................................................................... 31 Gambar 10. Hasil pengamatan fisik kerusakan bakso di suhu ruang selama waktu penyimpanan tertentu ............................................................................................................................ 35 vi DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Jumlah bakteri awal ......................................................................................................... 45 Lampiran 2. Hasil ekstraksi daun tin metode maserasi dengan berbagai pelarut ................................. 45 Lampiran 3. Zona hambat ekstrak daun tin terhadap bakteri uji .......................................................... 46 Lampiran 4. Nilai penghambatan ekstrak daun tin etanol terhadap Staphylococcus aureus ................ 47 Lampiran 5. Hasil Total Plate Count (TPC) pada bakso ...................................................................... 47 Lampiran 6. Hasil analisis ragam dan uji Duncan difusi sumur Staphylococcus aureus...................... 52 Lampiran 7. Hasil analisis ragam dan uji Duncan difusi sumur Pseudomonas aeruginosa ................. 53 vii I. A. PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Saat ini banyak isu pangan yang terjadi terutama kontroversi penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP). Penggunaan BTP tidak dilarang oleh pemerintah tetapi harus sesuai dengan regulasi yang aman bagi kesehatan manusia. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 tentang bahan tambahan makanan, yang dimaksud dengan pengawet adalah bahan tambahan makanan yang mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau penguraian lain terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Salah satu fungsi BTP adalah memperpanjang umur simpan suatu produk pangan atau BTP tersebut sering disebut dengan istilah pengawet. Pelanggaran pengunaan pengawet sering terjadi di Indonesia seperti penggunaan dosis pengawet yang tidak tepat maupun penggunaan bahan lain yang bukan merupakan bahan tambahan pangan. Salah satu produk yang mudah rusak dan sering ditambahkan pengawet di dalamnya adalah bakso daging sapi. Bakso daging sapi mudah rusak karena aktivitas dari mikroba baik pembusuk pangan maupun patogen. Banyak penyalahgunaan pengawet dalam bakso berupa pencampuran zat yang dilarang penggunaanya seperti boraks dan formalin dalam bakso. Salah satu bahan kimia yang sering menjadi kontroversi adalah formalin karena sering digunakan sebagai bahan pengawet makanan. Formalin umumnya digunakan untuk mengawetkan makanan seperti tahu, mie basah, ikan asin bahkan dalam berbagai jenis daging (Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2004). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1168/MENKES/PER/X Tahun 1999, disebutkan bahwa terdapat larangan penggunaan formalin sebagai bahan tambahan makanan dalam makanan. Formalin merupakan zat kimia racun bila tertelan akan menyebabkan iritasi lambung, mual muntah, mulas, mimisan, kerusakan ginjal, radang paru-paru, gangguan jantung, kerusakan hati, kerusakan saraf, iritasi kulit, kebutaan, kerusakan organ reproduksi, bahkan kematian (Hasyim et al. 2006). Banyak terjadi penyalahgunaan formalin di Indonesia dikarenakan pengetahuan yang masih sempit mengenai keamanan produk pangan terutama para produsen bakso. Selain itu, efektivitas dan harga pengawet mempengaruhi produsen bakso dalam memilih pengawet. Bakso merupakan produk yang rentan terhadap penyalahgunaan pengawet karena mudah rusak. Bakso termasuk dalam kategori perishable food. Penyebab kerusakan utama pada bakso adalah kerusakan mikrobiologis. Bermacam-macam mikroba seperti kapang, bakteri, dan ragi mempunyai daya perusak terhadap bahan pangan. Cara perusakannya adalah dengan cara menghidrolisis atau mendegradasi makromolekul-makromolekul yang menyusun bahan tersebut menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil (Muchtadi 2008). Kerusakan mikrobiologis ini merupakan bentuk kerusakan yang banyak merugikan serta terkadang berbahaya terhadap kesehatan manusia karena racun yang diproduksi oleh mikroba, penularan, dan penjalaran kerusakan yang cepat. Bahan-bahan yang telah rusak oleh mikroba dapat menjadi sumber kontaminasi yang berbahaya bagi bahan-bahan lain yang masih sehat atau segar. Bahan yang sedang membusuk mengandung mikroba-mikroba yang berada dalam pertumbuhan log phase, sehingga dapat menular dengan cepat ke bahan-bahan lain yang ada di dekatnya (Muchtadi 2008). Pemasaran bakso di masyarakat umumnya berlangsung dengan kondisi peyimpanan kurang bersih pada suhu ruang sehingga semakin mempercepat terjadinya kerusakan pada bakso. Selain itu, bakso memiliki kandungan nutrisi, kadar air, aw yang tinggi serta pH mendekati netral sehingga umur 1 simpannya relatif singkat. Mikroba pada bahan pangan terutama pada bakso dapat menyebabkan kebusukan dan keracunan. Kebusukan pada bahan pangan disebabkan oleh mikroba pembusuk sedangkan keracunan disebabkan oleh mikroba patogen. Mikroba patogen dapat menghasilkan toksin maupun metabolit sekunder. Keberadaan mikroba pada bahan pangan berpengaruh terhadap umur simpan dan keamanan produk terutama bakso saat dikonsumsi. Pengawet berfungsi untuk mengendalikan pertumbuhan mikroba pada bakso sehingga masih berada dalam batas aman untuk dikonsumsi. Menurut SNI 7388-2009 angka lempeng total pada bakso maksimal sebesar 1 x 105 koloni/gram. Banyak produsen maupun pedagang bakso melakukan penyalahgunaan pengawet pada bakso karena pengawet yang dilarang memiliki harga yang lebih murah dan dapat memperpanjang umur simpan bakso. Permasalahan mengenai penggunaan pengawet yang dilarang masih banyak terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, saat ini diperlukan pengawet pengganti formalin yang aman dan efektif. Penggunaan senyawa antimikroba dari pengawet alami yang tepat dapat memperpanjang umur simpan suatu produk serta menjamin keamanan produk. Untuk itu dibutuhkan suatu bahan sebagai pengawet alami yang tidak membahayakan bagi kesehatan. Bahan yang diduga mengandung aktivitas antimikroba yang dapat memperpanjang umur simpan produk bakso daging sapi adalah daun tin. Daun tin merupakan daun yang berasal dari tanaman tin (Ficus carica L) yang dalam kurun waktu beberapa tahun ini mulai dibudidayakan di Indonesia. Daun tin mulai diolah menjadi teh yang bermanfaat bagi kesehatan. Tanaman tin secara spontan tumbuh banyak di daerah Mediterania (Irget et al. 2008). Tanaman ini mulai dibudidayakan di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini. Tujuan dari pembudidayaan tanaman ini di Indonesia adalah memudahkan masyarakat Indonesia untuk memperoleh tanaman tersebut yang mulai digunakan sebagai tanaman obat. Tanaman tin mudah dibudidayakan di Indonesia karena tanaman ini cocok tumbuh di daerah tropis maupun subtropis. Tanaman tin merupakan tanaman purba karena sudah ada sejak turunnya wahyu Al-Quran. Tanaman tin ini merupakan tanaman yang buahnya disebutkan dalam ayat Al-Quran. Firman Allah mengatakan: “Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun.” (At-tin 1). Hal tersebut memungkinkan adanya manfaat tertentu dari penciptaan tanaman tin bagi umat manusia. Buah dan daun tin telah banyak dimanfaatkan di dunia farmasi dan kesehatan. Namun, pemanfaatannya di dunia pangan masih kurang. Daun tin dilaporkan beberapa peneliti mengandung beberapa komponen bioaktif sehingga daun tin berpotensi digunakan sebagai pengawet untuk memperpanjang umur simpan bahan pangan mudah rusak seperti bakso. Secara umum bakso hanya tahan disimpan pada suhu ruang selama 1 hari atau 24 jam. Untuk melihat adanya potensi daun tin sebagai pengawet alami pada bahan pangan perlu dilakukan uji mikrobiologi dari daun tin. Oleh karena itu, analisis karakteristik daun tin yang akan digunakan sebagai bahan pengawet alami perlu dilakukan secara mikrobiologi. Uji mikrobiologi dilakukan untuk mengetahui potensi antimikroba dari daun tin. Beberapa uji mikrobiologi yang dilakukan antara lain difusi sumur, dilution broth, total plate count (TPC), serta total S. aureus. B. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini antara lain: 1. 2. Mengetahui aktivitas antimikroba pada daun tin terhadap Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa Menemukan teknologi pengawetan tepat guna yang murah, efektif, dan aman pada bakso. 2 C. 1. 2. D. 1. 2. KPI (Key Performance Indicator) Dihasilkan zona penghambatan > 8 mm pada metode difusi sumur dan MIC (Minimum Inhibitory Concentration) Dihasilkan pengawet alternatif dari daun tin yang dapat memperpanjang umur simpan bakso hingga 2 hari di suhu ruang. MANFAAT Manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian ini antara lain: Memberikan solusi alternatif pengawet bagi bahan pengawet pangan yang dilarang penggunaanya Menemukan bahan tambahan pangan terutama pengawet yang aman dikonsumsi. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. DAUN TIN (Ficus carica) Pohon tin (Ficus carica L) merupakan salah satu spesies Ficus yang unik tersebar di daerah tropis dan subtropis. Pohon tin menghasilkan buah yang mempunyai nilai komersil yang tinggi. Daerah penghasil pohon ini antara lain California, Australia, atau Amerika Selatan yang merupakan daerah beriklim Mediteranian. Turki merupakan daerah penghasil pohon tin terbesar di dunia, sekitar 65% pohon tin dihasilkan di daerah Aegean Barat (Irget et al. 2008). Genus Ficus (Moraceae) terdiri dari 750 spesies, sebagian besar tumbuh di daerah tropis (Pige et al. 2002). Di Indonesia tanaman tin mulai dibudidayakan di daerah Bogor, Klaten, dan Malang serta berbagai daerah lainnya. Ficus carica L. (Moraceae) telah diketahui manfaatnya dalam bidang kesehatan. Daun dan buah tin secara tradisional digunakan sebagai obat laksatif, stimulan, obat penyakit tenggorokan, antitusif, emollient, emmenagogue, serta sebagai bahan pelarut (Bellakhdar et al. 1991 dan Guarrera et al. 2003 diacu dalam Jeong et al. 2009). Daun tin yang telah dibuat jamu digunakan untuk hemmoroid, sedangkan buah tin yang dibuat infus secara aman dapat digunakan sebagai laksatif untuk anak-anak. Daun tin segar dapat digunakan sebagai obat luka (Baytop, 1984). Menurut Konyalioglu et al. (2003) daun tin mengandung beberapa senyawa aktif antara lain α-tokoferol, flavonoid, dan fenol. Selain itu, daun tin juga memiliki aktivitas antioksidan. Beberapa peneliti melaporkan daun tin memiliki sifat hipoglikemik pada penderita diabetes tipe I dengan menggunakan ekstrak kloroform, daun tin juga dapat menurunkan tingkat kolesterol pada tikus percobaan yang terkena diabetes (Perez et al. 2003). Beberapa komponen fenolik dari daun tin yang bersifat farmakologis telah diisolasi seperti furanocoumarins seperti psoralen dan bergapten, flavonoid seperti rutin, quercetin, dan luteolin, asam fenolik seperti asam ferrulik, dan juga fitosterol seperti taraxasterol (Ross et al. 2003 dan Vaya et al. 2006 diacu dalam Jeong et al. 2009). Ekstrak metanol daun tin telah diteliti memiliki aktivitas antimikroba yang dapat menghambat pertumbuhan beberapa bakteri antara lain S. gordonii, S. anginosus, P. intermedia, A. actinomycetemcomitans, and P. gingivalis (MIC, 0.156 hingga 0.625 mg/ml; MBC, 0.313 hingga 0.625 mg/ml) (Jeong et al. 2009). Penelitian tersebut menguji efek sinergis penghambatan dari campuran ekstrak metanol dengan ampisilin atau gentamisin terhadap bakteri oral yang terdapat pada mulut manusia. Beberapa komponen fenolik dari daun tin yang telah diisolasi menunjukkan aktivitas penghambatannya baik dengan cara penghambatan melawan Streptococci mutan atau dengan penghambatan glukosiltransferase (Hada 1989). Bentuk morfologi tanaman tin dapat dilihat pada Gambar 1. 4 Gambar 1. Bentuk morfologi tanaman tin (Sumber:http://embunflorist.blogspot.com/2010/07/pesananpohon-tin.html) B. SENYAWA ANTIMIKROBA Antimikroba adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan atau bahkan mematikan mikroba dengan cara mengganggu metabolisme mikroba yang merugikan (Madigan 2005). Mikroorganisme dapat menyebabkan bahaya karena kemampuan menginfeksi dan menimbulkan penyakit serta merusak bahan pangan. Antibakteri termasuk ke dalam antimikroba yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri (Schunack et al. 1990). Senyawa antibakteri hanya dapat digunakan jika mempunyai sifat toksik selektif artinya dapat membunuh bakteri yang menyebabkan penyakit tetapi tidak beracun bagi penderitanya (Madigan 2005). Mekanisme kerja dari senyawa antibakteri antara lain dengan cara menghambat sintesis dinding sel, menghambat keutuhan permeabilitas dinding sel bakteri, menghambat kerja enzim, dan menghambat sintesis asam nukleat dan protein (Jawetz 1996 dan Madigan 2005). Aktivitas senyawa antibakteri dipengaruhi oleh pH, suhu stabilitas senyawa tersebut, jumlah bakteri yang ada, waktu inkubasi, dan aktivitas metabolisme bakteri (Madigan 2005). Berdasarkan aktivitasnya zat antibakteri dibedakan menjadi dua jenis, yaitu bakteriostatik dan bakterisida. Bakteriostatik adalah zat antibakteri yang memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan bakteri namun tidak mematikan (Schunack et al 1990 dan Madigan 2005). Bakterisida adalah zat antibakteri yang memiliki aktivitas membunuh bakteri (Madigan 2005). Namun, ada beberapa zat antibakteri yang bersifat bakteriostatik pada konsentrasi rendah dan bersifat bakterisida pada konsentrasi tinggi (Fardiaz et al. 1987). Daun tin telah dilaporkan memiliki aktivitas antimikroba terhadap beberapa bakteri. Menurut penelitian Jeong et al. (2008), ekstrak metanol dari daun tin menjukkan aktivitas yang kuat menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus gordonii, Streptococcus anginosus, Prevotella intermedia, Aggregatibacter actinomycetemcomitans, dan Porphyromonas gingivalis. Senyawa antimikroba yang berkontribusi dalam menghambat pertumbuhan bakteri tersebut adalah beberapa komponen flavonoid yang terkandung dalam daun tin (Jeong et al. 2008 dan Cha et al. 2007). Flavonoid adalah salah satu kelompok senyawa fenolik yang mempunyai kerangka dasar karbon terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua buah cincin benzena terikat pada suatu rantai propan membentuk susunan C6-C3-C6, dan merupakan senyawa yang cukup banyak terdapat pada tumbuhan Ficus (Musthapa dan Dwiyanti 2004). 5 C. EKSTRAKSI KOMPONEN BIOAKTIF Ekstraksi adalah suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan dengan cara pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu bahan yang merupakan sumber komponennya. Menurut Harborne (1987), ekstraksi adalah proses penarikan komponen komponen atau zat aktif suatu contoh menggunakan pelarut tertentu. Ekstraksi dibedakan menjadi tiga cara menurut pengoperasiannya, yaitu ekstraksi dengan penekanan yang sering disebut penekanan mekanik, ekstraksi dengan mengggunakan pelarut (solvent extraction), dan ekstraksi dengan pemanasan (rendering). Ekstraksi komponen bioaktif dari tanaman dapat dilakukan secara in vitro maupun in vivo. Pemilihan pelarut yang tepat untuk ekstraksi merupakan faktor yang menentukan efisiensi proses pengekstrakan. Menurut Ghisalberti (1993) terdapat beberapa teknik untuk mengisolasi antimikroba aktif komponen dari tanaman. Tanaman yang telah kering dapat diekstraksi dengan beragam pelarut. Pengekstrakan biasanya dilakukan dengan menggunakan beberapa pelarut secara berurutan dari polaritas yang rendah hingga tinggi. Pelarut polar yang sering digunakan adalah etil asetat atau metanol. Secara teoritis etil asetat mengekstrak senyawa bioaktif dengan cara pencucian sampel sedangkan alkohol dengan cara pemecahan struktur sel (membran) atau intraseluler bahan. Campuran pelarut dikloro-metanmetanol tepat digunakan untuk ektraksi bahan tanaman segar dengan kadar air tinggi. Pemisahan dan partisi sampel dengan metanol diikuti ekstraksi dengan etil asetat dan butanol dapat memisahkan senyawa lipofilik dari bahan. Komponen bioaktif yang memiliki aktivitas antimikroba sering ditemukan pada tanaman herbal maupun rempah-rempah antara lain komponen fenolik, terpen, alifatik alkohol, aldehid, keton, asam, dan isoflavonoid (Davidson et al. 2005). Teknik ekstraksi yang tepat akan berbeda untuk masing-masing bahan. Hal ini dipengaruhi oleh tekstur, kandungan bahan dan jenis senyawa lain yang diinginkan (Nielsen 2003). Pemilihan metode ekstraksi senyawa ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu sifat jaringan tanaman, sifat kandungan zat aktif, dan kelarutan dalam pelarut yang digunakan. Penelitian ini menggunakan metode maserasi. Menurut Hamdani (2012) maserasi adalah salah satu jenis metode ekstraksi dengan sistem tanpa pemanasan atau dikenal dengan istilah ekstraksi dingin, dalam metode ini pelarut dan sampel tidak mengalami pemanasan. Oleh karena itu, maserasi merupakan teknik ekstraksi yang dapat digunakan untuk senyawa yang tidak tahan panas ataupun tahan panas. Namun, biasanya maserasi digunakan untuk mengekstrak senyawa yang tidak tahan panas (termolabil) atau senyawa yang belum diketahui sifatnya. Metode ini membutuhkan pelarut yang banyak dan waktu yang lama. Maserasi sering disebut dengan metode perendaman karena proses ekstraksi dilakukan dengan hanya merendam sampel tanpa mengalami proses lain kecuali pengocokan apabila memang diperlukan. Prinsip ekstraksi senyawa dari sampel adalah adanya gerak kinetik dari pelarut. Metode maserasi ini dilakukan dengan cara merendam bahan dengan pelarut tertentu. Hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai pelarut adalah: (1) pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, (2) pelarut organik akan cenderung melarutkan senyawa organik, dan (3) pelarut air cenderung melarutkan senyawa anorganik dan garam dari asam ataupun basa (Achmadi 1992). Penelitian ini menggunakan pelarut nonpolar yaitu heksana dan pelarut polar yaitu etanol. Pembuatan ekstrak dilakukan dengan melarutkan serbuk daun tin dengan perbandingan 1:4 (b/v) ke dalam pelarut etanol dan heksana kemudian dishaker di suhu ruang selama 24 jam dengan kecepatan 35 rpm. Setelah 24 jam ekstrak disaring dengan kertas saring kemudian diuapkan untuk menghilangkan pelarutnya dengan rotavapor pada suhu 450C. 6 D. BAKTERI PATOGEN PANGAN Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus termasuk ke dalam: Divisi Protophyta, Kelas Schizomycetes, Ordo Eubacterials, Famili Micrococcaceaee dan Genus Staphylococcus (Salle 1961). Staphylococcus aureus termasuk ke dalam bakteri patogen yang bersifat Gram positif. Staphylococcus merupakan bakteri berbentuk bulat yang terdapat dalam bentuk tunggal, berpasangan, tetrad, atau berkelompok seperti buah anggur. Nama bakteri ini berasal dari bahasa Latin “staphele” yang berarti anggur. Bentuk morfologi dari S. aureus dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Bentuk morfologi sel Staphylococcus aureus (Sumber: phil.cdc.gov) Beberapa spesies memproduksi pigmen berwarna kuning sampai oranye misalnya S. aureus. Bakteri ini membutuhkan nitrogen organik (asam amino) untuk pertumbuhannya dan bersifat anaerobik fakultatif. Kebanyakan galur S. aureus bersifat patogen dan memproduksi enterotoksin yang tahan panas, di mana ketahanan panasnya melebihi sel vegetatifnya. Beberapa galur, terutama yang bersifat patogenik, memproduksi koagulase (menggumpalkan plasma), bersifat proteolitik, lipolitik, dan betahemolitik (Fardiaz 1992). Staphylococcus aureus dapat tumbuh dengan suhu optimum antara 30-370C (Baird Parker, 2000). Staphylococcus aureus dapat menghasilkan senyawa beracun. Senyawa beracun yang diproduksi Staphylococcus aureus disebut enterotoksin dan dapat terbentuk dalam makanan karena pertumbuhan bakteri tersebut. Disebut enterotoksin karena menyebabkan gastro enteritis. Enterotoksin sangat stabil terhadap panas dan yang paling tahan panas ialah enterotoksin tipe B. Pemanasan yang dilakukan oleh proses pemasakan normal tidak akan mampu menginaktifkan toksin tersebut dan tetap dapat menyebabkan keracunan. Stafilokokus adalah organism yang biasanya terdapat di berbagai bagian tubuh manusia, termasuk hidung, tenggorokan, kulit, dan karenanya mudah memasuki makanan. Gejala segera terlihat setelah makan makanan yang tercemar. Jumlah enterotoksin yang termakan menentukan waktu timbulnya gejala serta parah tidaknya infeksi tersebut. Pada umumnya gejala-gejala mual, pusing, muntah, dan diare muncul 2 sampai 6 jam setelah makan makanan tercemar itu (Pelczar dan Chan 2009). 7 Pseudomonas aeruginosa Pseudomonas aeruginosa termasuk dalam kategori bakteri Gram negatif, aerobik, kokobasil, dan serta memiliki kemampuan motil yang unipolar. Bakteri ini termasuk bakteri patogen (Ryan dan Ray 2004). Walaupun diklasifikasikan ke dalam organisme yang anaerobik, Pseudomonas aeruginosa juga dapat hidup dengan baik sebagai organisme anaerob fakultatif. Hal tersebut karena kemampuannya dalam berpoliferase dalam lingkungan sedikit maupun tidak ada oksigen. Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri yang dapat menyebabkan beberapa penyakit pada hewan maupun manusia. Bakteri ini biasanya ditemukan pada tanah, air, maupun tanaman. Bakteri ini dapat tumbuh dengan baik tidak hanya pada kondisi atmosfer yang normal tetap juga pada kondisi atmosfer yang hypoxic. Pseudomonas aeruginosa dapat membentuk koloni yang banyak pada lingkungan alami maupun buatan. Bakteri ini menggunakan material organik sebagai sumber makanan untuk hidupnya. Pada hewan keberadaan bakteri ini dapat merusak jaringan sehingga dapat menurunkan sistem imun pada hewan. Jika bakteri ini menyerang organ vital dalam tubuh seperti paru-paru, saluran urin, dan ginjal maka akan berakibat fatal bagi kesehatan. Gejala yang umum ditimbulkan adanya infeksi dari bakteri ini adalah adanya peradangan. Morfologi dari bakteri ini dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Bentuk morfologi sel Pseudomonas aeruginosa (Sumber: Pseudomonas Genome Database) E. PENGUJIAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA Screening Aktivitas Antimikroba dengan Difusi Agar Metode difusi agar (Acar dan Goldstein 1986; Piddock 1990, NCCLS 1999, 2002 diacu dalam Davidson et al 2005) merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk penentuan aktivitas antimikroba. Dalam uji ini, senyawa antimikroba ditambahkan pada cakram kertas atau sumur yang berada dalam cawan agar yang telah ditumbuhkan bakteri uji. Senyawa antimikroba tersebut berdifusi melalui agar. Derajat penghambatan ditunjukkan dengan zona tidak ada pertumbuhan bakteri di sekitar cakram kertas maupun sumur. Besarnya zona tersebut tergantung pada tingkat difusi senyawa dan pertumbuhan sel bakteri (Barry 1986). Oleh karena itu, senyawa antimikroba yang diuji bukan termasuk senyawa hidrofobik karena senyawa tersebut tidak akan menyebar dan menghasilkan penghambatan sedikit atau tidak ada akan terdeteksi sama sekali. Mikroorganisme uji yang dipilih harus dapat tumbuh dengan cepat dan seragam. Slowgrowing strain dapat menghasilkan zona penghambatan besar, sedangkan fastgrowing strain menghasilkan zona penghambatan yang kecil (Piddock 1990). Metode ini tidak boleh digunakan untuk mikroorganisme anaerob. Untuk melakukan uji ini, cawan petri diisi dengan media nonselektif pada kedalaman sekitar 4 mm. Media ini 8 sebelumnya telah diinokulasi dengan suspensi bakteri uji sekitar log 6,0 CFU/ml (Piddock 1990). Sumur kemudian dibuat dalam cawan tersebut. Antimikroba yang diuji dimasukkan ke dalam sumur tersebut dengan aseptik. Cawan diinkubasi dalam kondisi optimum bagi mikroorganisme uji selama 16 sampai 24 jam (NCCLS 1999, 2002). Setelah diinkubasi, zona penghambatan di sekitar sumur diamati. Selain senyawa antimikroba yang diuji, senyawa antibiotik juga harus diujikan sebagai kontrol positif. Hasil dari uji difusi agar umumnya kualitatif. Namun, kerentanan mikroorganisme uji terhadap suatu senyawa antimikroba dapat diukur karena zona penghambatan pada agar berbentuk lingkaran. Mikroorganisme yang tergolong rentan jika zona yang dihasilkan adalah >30 sampai 35 mm, intermediate dengan zona 20 sampai 30 mm, dan tahan dengan zona <15 sampai 20 mm (Piddock 1990). Kerentanan mikroorganisme berkaitan dengan kemampuan penghambatan dari senyawa antimikroba. Semakin rentan mikroorganisme uji, zona penghambatan yang dihasilkan semakin besar dan kemampuan penghambatan senyawa antimikroba semakin kuat, begitu pula sebaliknya. Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) MIC secara umum didefinisikan sebagai konsentrasi terendah dari suatu antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme selama masa inkubasi tertentu. Metode ini menggunakan prinsip pengenceran dengan media cair nonselektif. Konsentrasi antimikroba tertentu ditambahkan ke dalam tabung reaksi yang berisi media cair nonselektif. Kisaran konsentrasi antimikroba yang digunakan biasanya ditentukan secara trial and error. Interval konsentrasi antimikroba berapapun dapat digunakan baik dalam satuan g/ml atau ppm, misalnya, 32, 64, 128, 256, 512 ppm. Tabung reaksi yang digunakan biasanya memiliki volume 1-10 ml. Mikroorganisme uji yang diinokulasikan pada tabung yang berisi media cair dan antimikroba tertentu sekitar 5,7 log CFU/ml (Thrupp 1986, Piddock 1990, NCCLS 1999 diacu dalam Davidson et al. 2005). Tabung tersebut kemudian diinkubasi selama 16 sampai 24 jam pada suhu optimum pertumbuhan mikroorganisme uji. Waktu inkubasi harus disesuaikan pada kondisi lingkungan saat pengujian. MIC didefinisikan sebagai konsentrasi terendah di mana pertumbuhan tidak terjadi (tidak adanya kekeruhan pada tabung reaksi) selama inkubasi. F. BAKSO Menurut SNI No. 01-3818-1995 bakso adalah produk makanan berbentuk bulatan yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa bahan tambahan pangan yang diizinkan. Menurut Widyaningsih (2006) bakso merupakan produk gel dari protein daging sapi, ayam, ikan maupun udang. Menurut Tarwotjo et al. (1971) bakso berbeda dengan meatball, bakso menggunakan bahan berpati yang tidak dibatasi penggunaannya, sedangkan meatball menggunakan konsentrat protein, tepung kedelai, susu bubuk tanpa lemak dan bahan sejenis lainnya maksimal 12%. Berdasarkan perbandingan daging dan tepung yang digunakan, Elviera (1998) mengelompokkan bakso menjadi tiga kelompok, yakni bakso daging, bakso urat, dan bakso aci. Daging yang digunakan menentukan mutu dari bakso (Sunarlim 1992). Daging yang baik adalah daging fase pre rigor sehingga water holding capacity masih tinggi (jumlah ATP yang masih banyak sehingga ikatan antar protein renggang) dan protein terekstrak lebih banyak dibandingkan pada fase berikutnya sehingga kemampuan emulsinya juga meningkat dan 9 menghasilkan emulsi yang lebih stabil. Saat direbus bakso yang dibuat dari daging fase pre rigor akan memiliki daya ikat air yang tinggi sehingga permukaan bakso yang dihasilkan akan kering tetapi tetap empuk. Bahan pengisi yang umum digunakan adalah tapioka dan pati sagu. Bahan pengisi penting karena kemampuannya yang tinggi dalam mengikat air, tetapi tidak mempunyai kemampuan dalam mengemulsi lemak. Fungsi bahan pengisi yaitu (1) memperbaiki sifat emulsi, (2) mereduksi penyusutan selama pemasakan, (3) memperbaiki sifat fisik dan cita rasa, dan (4) menurunkan biaya (Kramlich 1971). Menurut Trout dan Schmidt (1986) di dalam Sunarlim (1992), garam berfungsi untuk mengekstrak protein miofibrial dari sel-sel otot selama perlakuan mekanis dan berinteraksi dengan protein otot membentuk matriks yang kuat dan mampu menahan air bebas serta membentuk tekstur. Jumlah garam yang ditambahkan sekitar 2.5% dari berat daging. Es dalam penggilingan daging berfungsi untuk menjaga suhu daging selama penggilingan, suhu daging yang terlalu tinggi (lebih dari 15-200C) akan menyebabkan kerusakan emulsi (Wilson 1981). Selain itu, es juga berfungsi memperlancar ekstraksi protein, mencegah tekstur adonan menjadi kering, dan meningkatkan rendemen. Penambahan es sebanyak 10-15% dari berat daging, atau bahkan 30% dari berat daging. Protein berperan penting pada bakso karena merupakan pembentuk sistem emulsi, karena protein merupakan emulsifier alami. Ada tiga protein yang berperan dalam pembentukan emulsi, yaitu (1) protein sarkoplasma yang larut air, (2) aktin myosin yang larut garam, dan (3) protein lain seperti mioglobin (larut air dan garam) (Wilson, 1981). Menurut Wibowo (2006) ada 4 parameter sensoris utama yang perlu dinilai, yaitu penampakan, warna, bau, rasa, dan tekstur. Adanya jamur dan lendir juga perlu diamati, terlebih jika bakso sudah disimpan lama. Kriteria dan deskripsi mutu sensoris bakso seperti di dalam Tabel 1, sedangkan nilai gizi (proksimat) beberapa bakso disajikan di dalam Tabel 2. Batas cemaran mikroba dalam bakso sesuai dengan SNI dapat dilihat di dalam Tabel 3. Tabel 1. Kriteria mutu sensoris bakso Parameter Penampakan Bakso Daging Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan cemerlang, tidak kusam. Sedikitpun tidak tampak berjamur, dan tidak berlendir Warna Coklat muda cerah atau sedikit kemerahan atau coklat muda hingga coklat muda agak keputihan atau abu-abu. Warna tersebut merata tanpa warna lain yang mengganggu Bau Bau khas daging segar rebus dominan, tanpa bau tengik, masam, basi atau busuk. Bau bumbu cukup tajam. Rasa Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu cukup menonjol tetapi tidak berlebihan. Tidak terdapat rasa asing yang mengganggu. Tekstur Tekstur kompak, elastik, kenyal, tetapi tidak liat atau membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak basah berair, dan tidak rapuh. Sumber: Wibowo (2006) 10 Tabel 2. Komposisi kimiawi aneka bakso Air Protein Lemak Kh Abu Garam (%) (%) (%) (%) (%) (%) Bakso daging mutu tinggi 76,52 14,68 1,46 5,00 2,34 1,74 Bakso daging jalanan 59,52 6,80 8,18 22,74 2,76 2,08 Bakso daging pasar 66,89 11,26 1,44 17,06 3,66 2,35 Bakso daging restoran 73,93 11,57 1,09 10,81 2,50 2,15 Jenis Bakso Sumber: Wibowo (2006) Tabel 3. Batas maksimum cemaran mikroba dalam bakso No Jenis cemaran mikroba Batas maksimum 1 ALT (300C, 72 jam) 1 x 105 koloni/g 2 APM Koliform 10/g 3 APM Escherichia coli < 3/g 4 Salmonella sp Negatif/25g 5 Staphylococcus aureus 1 x 102 koloni/g 6 Clostridium perfringens 1 x 102 koloni/g Sumber: SNI (2009) 11 III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun tin (Ficus carica). Mikroba yang digunakan untuk pengujian aktivitas antimikroba dalam penelitian ini adalah Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Media yang digunakan untuk pertumbuhan mikroba yaitu Nutrient Agar (NA), Plate Count Agar (PCA), Nutrient Broth (NB), dan Baird Parker Agar (BPA). Bahan kimia yang digunakan dalam analisis mikrobiologi ini adalah heksana, spirtus, etanol, dan akuades. Bahan yang digunakan dalam pembuatan bakso adalah daging sapi, tepung tapioka, garam, air es, dan bumbu-bumbu. Alat yang digunakan untuk keperluan analisis kimia dalam penelitian ini adalah shaker dan rotavapor. Alat yang digunakan untuk keperluan analisis mikrobiologi dalam penelitian ini adalah cawan petri, jarum ose, tabung reaksi, inkubator, autoklaf, stomacher, timbangan analitik, mikropipet, bunsen, kertas saring, erlenmeyer, kapas, labu takar, gelas piala, aluminium foil, dan vortex. Alat yang digunakan untuk pembuatan bakso adalah food processor, meat grinder, kompor, sendok, serta panci. B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Pangan dan Mikrobiologi Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari bulan Januari hingga Desember 2012. C. METODE PENELITIAN C.1. Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan ini terdiri dari beberapa kegiatan antara lain: a. Seleksi daun tin Seleksi daun tin meliputi pencarian tempat budidaya daun tin. Tempat yang dipilih merupakan tempat yang membudidayakan daun tin di kawasan Bogor. b. Pembuatan serbuk daun tin Daun tin kering yang diperoleh dari tempat budidaya kemudian dihancurkan dengan blender hingga berbentuk serbuk. Pengeringan dilakukan di bawah sinar matahari oleh petani yang membudidayakan daun tin. Serbuk daun tin kemudian digunakan sebagai bahan baku penelitian. c. Pembuatan ekstrak daun tin Pembuatan ekstrak dilakukan dengan melarutkan serbuk daun tin dengan perbandingan 1:4 (v/v) ke dalam pelarut etanol dan heksana kemudian dishaker di suhu ruang selama 24 jam dengan kecepatan 35 rpm. Setelah 24 jam ekstrak disaring dengan kertas saring kemudian diuapkan untuk menghilangkan pelarutnya dengan rotavapor pada suhu 450C. Rendemen ekstrak daun tin dihitung 12 dengan cara membagi eksrak yang diperoleh (g) dengan 25 gram daun tin kering kemudian mengalikan dengan 100%. d. Persiapan kultur uji Kultur bakteri yang diperoleh terlebih dahulu digoreskan ke agar miring NA untuk membiakkan mikroba. Agar miring tersebut diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C. Inokulum yang akan digunakan untuk pengukuran penghambatan pertumbuhan disiapkan dengan cara sebagai berikut: satu ose bakteri pada agar miring NA diinokulasikan ke dalam media NB steril dan diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Selanjutnya inokulum dapat digunakan untuk pengujian atau disimpan dalam lemari pendingin pada suhu 4-50C. C.2. Uji aktivitas antimikroba Uji aktivitas antimikroba ekstrak daun tin ini termasuk ke dalam penelitian utama. Setelah daun tin dibuat menjadi serbuk kemudian dilakukan pengujian aktivitas antimikroba dengan difusi sumur dan penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC). Uji aktivitas antimikroba dilakukan dengan cara melihat zona penghambatan pertumbuhan mikroba pada uji difusi sumur dan penentuan Minimum Inhibitory Concentration dengan uji dilution broth. Uji difusi sumur Uji ini mengacu pada Garriga et al. (1993) yaitu dengan cara kultur mikroba yang akan diuji harus disegarkan terlebih dahulu dengan menginokulasikan satu ose kultur murni dari agar miring Nutrient Agar (NA) ke dalam medium cair Nutrient Broth (NB) sebanyak 10 ml secara aseptik. Kultur uji kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C. Media NA steril dipersiapkan dan didinginkan sampai suhu 500C. Kultur uji dengan jumlah koloni sekitar 107 – 108 CFU/ml diinokulasikan sebanyak 0.2% ke dalam 20 ml media NA, sehingga jumlah koloni pada setiap cawan 105 – 106 CFU/ml. Setelah campuran media dan kultur uji membeku, dibuat lubang-lubang sumur (5 sumur per cawan) dengan diameter 6 mm dan ke dalam 2 lubang sumur masing-masing diteteskan 60µl ekstrak daun tin etanol, 2 lubang sumur masing-masing diteteskan 60 µl ekstrak daun tin heksana dan sumur lainnya kontrol negatif (DMSO) atau kontrol positif (amoxicillin). Cawan tersebut diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. Areal penghambatan diukur berdasarkan diameter areal bening yang terbentuk di sekitar sumur, yaitu selisih antara diameter areal bening dengan diameter sumur. Kultur yang digunakan untuk pengujian adalah Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Metode difusi sumur untuk ekstrak daun tin dapat dilihat pada Gambar 4. Ekstrak daun tin dengan etanol Ekstrak daun tin dengan etanol Kontrol Ekstrak daun tin dengan heksana Ekstrak daun tin dengan heksana Gambar 4. Metode difusi sumur untuk ekstrak daun tin 13 Uji dilution broth untuk penentuan MIC Pengujian dilusi menggunakan agar dan broth digunakan jika ingin memperoleh data secara kuantitatif untuk menentukan apakah suatu antimikroba bersifat mematikan pada uji mikroorganisme baik bagi mikroorganisme dengan faktor kecepatan pertumbuhan maupun mikroorganisme mikroaeropilik atau anaerobik (Barry 1986). Pada pengujian dilusi menggunakan broth, suatu antimikroba diencerkan secara berseri dan pada konsentrasi single ditambahkan pada tabung reaksi yang berisi medium broth nonselektif. Konsentrasi yang dipilih sama dengan pada metode dilusi dengan agar. Tabung reaksi (biasanya volumenya 1-10 ml) diinokulasikan dengan kandungan mikroorganisme kira-kira log 5.7 CFU/ml. Tabung reaksi kontrol tanpa ditambahkan antimikroba harus dipersiapkan dan diinokulasikan strain yang telah diketahui kerentanannya. Tabung reaksi diinkubasi selam 16-24 jam pada suhu optimum mikroorganisme tumbuh. Sebelumnya waktu inkubasi harus ditentukan berdasarkan kondisi lingkungan. MIC ditetapkan sebagai konsentrasi paling rendah dimana tidak ditemukan pertumbuhan (tidak ada kekeruhan) dalam medium selama inkubasi. Seperti yang telah disebutkan, dilusi dengan broth dapat digunakan untuk mengetahui letalitas mikroorganisme. Sebanyak 10-100µl medium dari tabung reaksi terakhir dimana tidak ditemukan pertumbuhan mikroorganisme, dilakukan platting pada agar nonselektif menggunakan metode spreadplate. Konsentrasi paling rendah dari antimikroba yang dihasilkan, 99.9% membunuh mikroorganisme merupakan minimum bactericidal concentration (MBC) atau minimum lethal concentration (MLC) (NCCLS 2002). Pengujian ini dilakukan pada ekstrak daun tin yang terpilih dengan cara menghitung penurunan jumlah bakteri Staphylococcus aureus selama 24 jam. Penurunan jumlah bakteri dihitung berdasarkan persentase selisih dari jumlah koloni yang tumbuh setelah 24 jam dengan jumlah koloni yang tumbuh pada 0 jam dibagi jumlah yang tumbuh pada 0 jam. Nilai MIC merupakan konsentrasi ekstrak etanol daun tin terendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri atau menurunkan jumlah bakteri sebesar 90% dari jumlah bakteri awal pada saat 0 jam. C.3. Pembuatan Bakso Daging Menurut Wibowo (2006) secara umum bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat bakso daging antara lain: 1. Daging segar Untuk membuat bakso daging digunakan daging (sapi) yang masih segar. Semakin segar daging semakin baik bakso yang dihasilkan. Selain itu, daging hendaknya tidak banyak berlemak dan tidak banyak berurat. Lemak dan urat yang terdapat pada daging sebaiknya dipisahkan dulu. 2. Tepung tapioka Bahan lain yang diperlukan adalah tepung tapioka. Untuk menghasilkan bakso daging yang lezat bermutu tinggi, jumlah tepung yang digunakan sebaiknya paling banyak 15% dari berat daging. Idealnya, tepung tapioka yang ditambahkan sebanyak 10% dari berat daging. 3. Bumbu-bumbu Selain bahan yang telah disebutkan, digunakan pula bumbu-bumbu. Bumbunya cukup garam dapur halus dan bumbu penyedap yang dibuat dari campuran bawang putih dan merica. Garam dapur yang dibutuhkan biasanya 2,5% dari berat daging. Sedangkan bumbu penyedap sekitar 2% dari berat daging. 14 4. Es atau air es Bahan lain yang diperlukan adalah es atau air es. Bahan ini berfungsi membantu pembentukan adonan dan membantu memperbaiki tekstur bakso. Menurut Wibowo (2006) pembuatan bakso terdiri dari beberapa tahap antara lain: 1. Pelumatan daging Daging segar dipisahkan dari lemak dan uratnya. Setelah itu, daging dilumatkan. Pelumatan ini akan memudahkan pembentukan adonan, dinding sel serabut otot daging juga akan pecah sehingga aktin dan myosin yang merupakan pembentuk tekstur dapat diambil sebanyak mungkin. Daging dimasukkan meat grinder dan ditambahkan garam sehingga diperoleh daging yang lumat. 2. Pembuatan Adonan Setelah diperoleh daging lumat, daging lumat dibentuk menjadi adonan. Agar bakso yang dihasilkan baik, daging lumat dicampur dengan es batu dan tepung tapioka. Bumbu-bumbu kemudian ditambahkan sambil dilumatkan hingga diperoleh adonan yang homogen. Pembuatan adonan ini menggunakan food processor agar mudah dalam mencampur bahan-bahan dengan daging sehingga diperoleh adonan yang tercampur merata. Penggunaan es atau air es ini sangat penting dalam pembentukan tekstur bakso. Dengan adanya es ini suhu dapat dipertahankan tetap rendah sehingga protein daging tidak terdenaturasi akibat gerakan mesin penggiling dan ekstrasi protein berjalan dengan baik. Suhu ideal untuk ekstraksi protein adalah 4-50C, tetapi selama tidak lebih dari 200C sudah mencukupi. Penggunaan es juga berfungsi menambahkan air ke adonan sehingga adonan tidak kering selama pembentukan adonan maupun selama perebusan. Penambahan es juga meningkatkan rendemennya. Untuk itu, dapat digunakan es sebanyak 10-15% dari berat daging, atau bahkan 30% dari berat daging. 3. Pembentukan Bola Bakso Setelah adonan diperoleh kemudian dicetak menjadi bola-bola bakso yang siap direbus. Pembentukan adonan menjadi bola bakso dapat dengan menggunakan tangan atau dengan mesin pencetak bola bakso. Ukuran bola bakso diusahakan seragam, tidak terlalu kecil tetapi juga tidak terlalu besar. Jika tidak seragam, matangnya bakso ketika direbus tidak bersamaan dan menyulitkan dalam pengendalian proses. Selain itu keseragaman ukuran juga ikut mempengaruhi mutu bakso. 4. Perebusan dan pengemasan Bola bakso yang sudah terbentuk lalu direbus dalam air mendidih hingga matang. Jika bakso sudah mengapung di permukaan air berarti sudah matang dan perebusan dapat dihentikan. Biasanya perebusan ini dilakukan sekitar 10 menit. Setelah itu, bakso diangkat, ditiriskan, dan didinginkan pada suhu ruang. Setelah dingin, bakso dikemas dalam kantong plastik HDPE. Bakso kemudian siap dianalisis. Proses pembuatan bakso dapat dilihat pada Gambar 5. 15 Daging Es, STTP, garam Bawang putih, lada, tepung tapioka Pelumatan daging Pembuatan adonan Pembentukan bola bakso Perebusan suhu 600C Perebusan suhu 800C, 10 menit Pengemasan dengan HDPE Gambar 5. Proses pembuatan bakso C.4. Uji aplikasi ekstrak daun tin pada bakso Setelah MIC didapatkan kemudian uji aplikasi ekstrak daun tin pada bakso daging dilakukan. Tahap penelitian ini dilakukan pencampuran bakso daging sapi dengan ekstrak daun tin untuk mendapatkan konsentasi optimum yang memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan kontrol. Tahap aplikasi ekstrak pada bakso ini terdiri dari dua perlakuan, yaitu perlakuan perebusan bakso pada suhu 800C selama 10 menit dan pengadonan. Pada perlakuan perebusan bakso direbus dengan air yang telah dicampur dengan ekstrak terpilih dengan konsentrasi terentu (%b/v) pada suhu 800C selama 10 menit. Pada pelakuan pengadonan ekstrak terpilih dengan konsentrasi tertentu (%b/b) dicampur dengan adonan bakso. Bakso yang dicampur dengan ekstrak daun tin disimpan pada suhu ruang selama 3 hari. Selanjutnya setiap harinya dilakukan uji pendugaan umur simpan bakso secara visual meliputi penampakan, warna, bau, tekstur bakso daging serta uji total mikroba dan total S. aureus. Tahapan proses penelitian secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 6. 16 Seleksi daun tin Pembuatan serbuk daun tin Pembuatan ekstrak daun tin Pengujian aktivitas antimikroba ekstrak dengan uji difusi sumur Penentuan MIC (Minimum Inhibitory Concentration) dari ekstrak terpilih Aplikasi pada bakso daging sapi dengan uji total mikroba dan total S.aureus Gambar 6. Tahapan proses penelitian D. PENGAMATAN Pengamatan ini dilakukan pada bakso kontrol dan bakso yang telah ditambahkan ekstrak terpilih baik dengan perlakuan perebusan maupun pengadonan selama waktu penyimpanan tertentu di suhu ruang. Pengamatan ini terdiri dari dua uji antara lain uji Total Plate Count dan total S. aureus. Selain itu, pengamatan kerusakan visual pada bakso juga dilakukan. Uji Total Plate Count (Angka Lempeng Total) (SNI 01-2332.3-2006) Uji ini dilakukan untuk mengetahui kondisi bakso selama penyimpanan. Setiap beberapa waktu selama 3 hari penyimpanan dilakukan uji total mikroba. Berdasarkan syarat SNI bakso batas maksimal uji total mikroba adalah sebesar 105 koloni/gram. Jika hasil uji total mikroba pada waktu tertentu sebesar 106 koloni/gram bakso, mengindikasikan bakso telah mengalami kerusakan. Jika hasil uji total mikroba pada waktu tertentu sebesar 109 koloni/gram bakso, mengindikasikan bakso tersebut telah busuk. Menurut SNI 01-2332.3-2006 cara penentuan Total Plate Count (TPC) adalah contoh secara aseptis ditimbang sebanyak 25 g kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik steril. Ke dalamnya ditambahkan 225 ml larutan BFP kemudian dihomogenkan dengan menggunakan alat stomacher selama 2 menit. Homogenat ini merupakan larutan pengenceran 10-1. Dengan menggunakan pipet steril, 1 ml homogenat diambil dan dimasukkan ke dalam tabung yang berisi 9 ml larutan BFP untuk 17 mendapatkan pengenceran 10-2. Pengenceran selanjutnya s(10-3) dilakukan dengan mengambil 1 ml contoh dari pengenceran 10-2 ke dalam 9 ml BFP. Pada setiap pengenceran dilakukan pengocokan minimal 25 kali. Selanjutnya dapat dilakukan hal yang sama untuk pengenceran 10-4,10-5, dst sesuai dengan kondisi contoh. Setiap pengenceran 10-1, 10-2, dst dipipet 1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Setiap pengenceran dilakukan duplo. Ke dalam cawan petri tersebut ditambahkan 12-15 ml PCA yang sudah didinginkan dalam waterbath hingga mencapai suhu 450C + 10C ke dalam masing-masing cawan yang sudah berisi contoh. Supaya contoh dan media PCA tercampur sempurna dilakukan pemutaran cawan ke depan ke belakang dan ke kiri-ke kanan. Catatan: Untuk pengujian bakteri termofilik, penambahan media PCA ke dalam cawan sebanyak 40-50 ml. Setelah agar menjadi padat untuk penentuan mikroorganisme aerob inkubasi cawan-cawan tersebut dalam posisi terbalik dalam inkubator selama 48 + 2 jam pada suhu 350C (mesofilik). Perlakuan tersebut dapat dilakukan untuk kontrol tanpa contoh dengan mencampur larutan pengencer dengan media PCA. Cawan yang mengandung jumlah 25 koloni-250 koloni dan bebas spreader dipilih untuk perhitungan. Pengenceran yang digunakan dan jumlah koloni dicatat kemudian perhitungan angka lempeng total dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut N= ∑C [(1x n1) + (0,1 x n2)] x (d) dengan: N adalah jumlah koloni produk, dinyatakan dalam koloni per ml atau koloni per g ∑ C adalah jumlah koloni pada semua cawan yang dihitung n1 adalah jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung n1 adalah jumlah cawan pada pengencaran kedua yang dihitung d adalah pengenceran pertama yang dihitung Uji Total Staphylococcus aureus (BAM 2001) Uji total S. aureus ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan ekstrak daun tin dalam menghambat pertumbuhan S. aureus pada bakso. Bakso dicelup dalam larutan pengencer yang mengandung S. aureus sekitar 100 koloni/ml selama 1 menit. Bakso kemudian dianalisis dengan uji total S. aureus. Analisis ini dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada saat 0 jam dan 6 jam setelah pencelupan bakso dalam larutan S.aureus. Penurunan jumlah bakteri pada uji ini ditentukan dengan cara menghitung persentase selisih jumlah bakteri awal Staphylococcus aureus pada saat 0 jam dengan jumlah bakteri tersebut setelah 6 jam dibiarkan di suhu ruang dibagi dengan jumlah bakteri awal saat 0 jam. Selama 6 jam bakso yang sudah ditambahkan Staphylococcus aureus dibiarkan di suhu ruang ini diperkirakan bakteri Staphylococcus aureus mulai tumbuh dengan baik pada bakso dan ekstrak daun tin bekerja secara optimal dalam menghambat pertumbuhan bakteri tersebut. Menurut BAM (2011) uji ini sesuai digunakan untuk menganalisis pangan yang diperkirakan mengandung lebih dari 100 koloni S. aureus. Metode yang digunakan dalam uji ini adalah cawan sebar dengan menggunakan media spesifik yaitu Baird-Parker Agar (BPA). Oleh karena itu, sebelum dilakukan analisis, media BPA yang sudah disterilkan dituang dalam cawan, dibiarkan memadat dan mengering. Sejumlah sampel dihancurkan kemudian diencerkan. Sebanyak 1 ml sampel dituangkan dan dibagi ke dalam 3 cawan yang berisi BPA sehingga masing-masing cawan berisi 0.3 ml, 0.3 ml, dan 0.4 ml sampel. Sampel tersebut secara aseptik disebar dalam cawan menggunakan hockey stick steril. Setelah dilakukan penyebaran sampel, kemudian cawan dibiarkan selama 10 menit agar sampel terserap 18 dalam agar. Cawan tersebut diinkubasi selama 45-48 jam pada suhu 350C. Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung koloni pada setiap cawan. Koloni yang dipilih untuk perhitungan berkisar 20200 koloni. Perhitungan persentase penurunan jumlah S. aureus dilakukan dengan cara berikut: % penurunan = 100% - ((jumlah S. aureus saat 6 jam/jumlah S. aureus) saat 0 jam x 100%) Pengamatan kerusakan bakso secara visual Sampel bakso yang telah diberi perlakuan tertentu diamati secara visual setiap hari selama 3 hari penyimpanan. Aplikasi dilakukan dengan cara mencampur ekstrak daun tin pada adonan bakso dan merebus bakso dengan ekstrak daun tin selama 10 menit. Beberapa parameter yang menunjukkan mutu bakso tergolong buruk adalah berlendir, tekstur lunak, adanya kapang, dan berbau menyimpang dari keadaan normal. Bakso yang terbaik memiliki kriteria mutu organoleptik tertentu, yaitu dari segi penampakan bakso sedikitpun tidak tampak berjamur dan berlendir, warna bakso cerah, dari segi bau bakso berbau khas daging segar rebus dominan, tanpa bau tengik, masam, basi, atau busuk. Dari segi tekstur bakso tidak lembek, tidak basah berair, dan tidak rapuh (Wibowo 2006). 19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KULTUR BAKTERI UJI Kultur bakteri uji harus dipersiapkan untuk menghasilkan kultur yang seragam. Uji konfirmasi sederhana perlu dilakukan dengan cara pewarnaan gram. Perwanaan gram dilakukan untuk menjamin kultur bakteri yang digunakan untuk pengujian agar tidak terkontaminasi dengan bakteri lain. Satu ose kultur bakteri uji dioleskan pada preparat yang telah dibersihkan dengan alkohol. Bakteri uji tersebut diwarnai dengan zat warna kristal violet dan iodium, dibilas dengan alkohol, kemudian diwarnai dengan zat warna merah safranin. Struktur dinding sel dari bakteri uji akan menentukan respon pewarnaan. Secara mikroskopi bakteri gram positif ditandai dengan warna violet sedangkan bakteri gram negatif ditandai dengan warna merah. Setelah pewarnaan gram dilakukan, kultur bakteri uji disegarkan dalam media NB kemudian diinkubasi 24 jam. Bakteri uji yang telah disegarkan ditumbuhkan dalam media NA dengan metode tuang. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui jumlah bakteri awal. Penelitian ini menggunakan dua kultur bakteri uji, yaitu Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Karakteristik bakteri Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil pengamatan bakteri uji secara mikroskopi dan jumlah koloni bakteri uji Hasil pengamatan Bakteri uji Staphylococcus aureus Pseudomonas aeruginosa Bentuk koloni Kokus Batang pendek Warna koloni Ungu Jumlah koloni inkubasi 24 jam Merah 8 1,0 x 10 koloni/ml 3,4 x 107 koloni/ml Morfologi S. aureus yang terlihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 1.000x adalah berwarna ungu dan berbentuk kokus (bulat). Morfologi tersebut menandakan bahwa S. aureus termasuk bakteri gram positif. Jumlah awal bakteri S. aureus setelah penyegaran pada penelitian ini sebesar 1,0 x 108 koloni/ml (Lampiran 1). Kultur bakteri disetarakan jumlahnya selama pengujian agar dapat terukur secara proporsional. Bakteri S. aureus memerlukan pengenceran sebesar 1/1000 untuk mendapatkan jumlah bakteri standar dalam pengujian sekitar 105 . Hal yang sama dilakukan pada kultur Pseudomonas aeruginosa. Morfologi Pseudomonas aeruginosa yang terlihat di bawah mikroskop dengan perbesaran 1.000x adalah berwarna merah dan berbentuk batang pendek. Jumlah awal bakteri Pseudomonas aeruginosa setelah penyegaran pada penelitian ini sebesar 3.4 x 107 koloni/ml (Lampiran 1). Bakteri tersebut memerlukan pengenceran 1/100 untuk mendapatkan jumlah bakteri standar dalam pengujian sekitar 105. Hasil pewarnaan gram yang dilakukan menunjukkan bahwa kultur bakteri uji yang digunakan dalam penelitian ini tidak terkontaminasi oleh bakteri lain. Campbell et al. (2003) menyatakan sebagian besar dinding sel bakteri gram positif terdiri dari peptidoglikan akan menjerap warna violet. Bakteri gram negatif memiliki lebih sedikit peptidoglikan, yang terletak di suatu gel periplasmik antara membran plasma dan suatu membran bagian luar selnya tetap menahan zat warna merah. 20 Jumlah awal kultur bakteri ini perlu diketahui untuk penyeragaman jumlah bakteri pada saat pengujian. Jumlah bakteri yang digunakan dalam pengujian aktivitas antimikroba berkisar 105. Jumlah bakteri dengan kisaran tersebut dianggap jumlah yang cukup karena bakteri dapat tumbuh cukup baik dan jumlahnya tidak terlalu banyak. Inokulum berkisar 105 direkomendasikan dalam pengujian aktivitas antimikroba (CDRH 2009). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa untuk bakteri uji S.aureus diperlukan pengenceran sebessar 1/1000 sedangkan Pseudomonas aeruginosa diperlukan pengenceran sebesar 1/100 sehingga jumlah bakteri standar yang digunakan dalam pengujian sekitar 105. Bakteri uji dalam penelitian ini diduga telah mencapai fase pertumbuhan stasionernya. Menurut Fardiaz (1992) pada fase ini jumlah populasi sel tetap karena jumlah sel yang tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati. Bakteri S. aureus mencapai fase pertumbuhan akhir setelah inkubasi 16 jam (Parhusip 2006). Fase pertumbuhan bakteri berpengaruh pada sensitivitas bakteri terhadap senyawa antimikroba. B. EKSTRAK DAUN TIN DENGAN PELARUT ETANOL DAN HEKSANA Proses ekstraksi bertujuan untuk memperoleh komponen yang diinginkan dengan cara pemisahan dari daun tin yang merupakan sumber komponennya. Sebelum dilakukan pengekstrakan, daun tin yang kering dihancurkan dengan blender untuk memperoleh daun tin dalam bentuk serbuk. Tujuan pembuatan serbuk ini adalah untuk memperkecil dan menyeragamkan ukuran partikelnya agar mempermudah kontak antara bahan dengan pelarutnya, sehingga ekstraksi dapat berlangsung dengan baik (Sugiastuti 2002). Selain itu, pembuatan serbuk bertujuan memperluas permukaan bahan sehingga memaksimalkan kontak antara bahan dengan pelarut. Prinsip ekstraksi ini adalah adanya perbedaan konsentrasi antara komponen aktif pada bahan dengan pelarut sehingga komponen dapat tertarik dalam pelarut. Ekstrak yang diperoleh dari proses ekstraksi dengan metode maserasi adalah ekstrak daun tin dengan pelarut etanol dan ekstrak daun tin dengan pelarut heksana. Ekstrak yang diperoleh dihitung rendemennya. Rendemen masing-masing ekstrak dihitung berdasarkan persentase bobot ekstrak daun tin setelah dipekatkan dengan bobot serbuk daun tin kering (25 gram). Data rendemen ekstrak daun tin dapat dilihat pada Tabel 5 dan Lampiran 2. Tabel 5. Hasil ekstraksi daun tin dengan merode maserasi dengan berbagai pelarut Jenis pelarut Rendemen ekstrak daun tin (%) Warna ekstrak Heksana 3,48 Hijau pekat Etanol 23,06 Hijau pekat Keterangan : * Rerata diperoleh dari dua kali ulangan Berdasarkan hasil ekstraksi, rendemen ekstrak daun tin dengan etanol yang diperoleh sebesar 23,06 % lebih besar dibandingkan ekstrak daun tin dengan heksana sebesar 3,48%. Rendemen ekstrak daun tin dengan etanol dari penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan ekstrak metanol dari ekstraksi yang dilakukan oleh Krishna et al. ( 2007) yang menyatakan bahwa ekstraksi yang diperoleh dari 200 g serbuk daun tin dengan pelarut metanol serta metode maserasi selama lima hari menghasilkan ekstrak etanol sebanyak 16.6 g. Rendemen dari ekstrak metanol tersebut sebesar 8.30%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kandungan polar dari daun tin lebih besar daripada kandungan nonpolarnya. Proses ekstraksi dipengaruhi oleh lama ektraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan. Semakin dekat tingkat kepolaran pelarut dengan komponen yang akan diekstrak, semakin sempurna proses ekstraksi (Hadittama 2009). 21 Hasil ekstrak yang diperoleh dengan pelarut etanol dan heksana dari proses ekstraksi ini berbentuk pasta dan berwarna hijau pekat. Pasta merupakan sistem koloid dengan fase pendispersi berupa bahan cair dan fase terdispersi berupa bahan padatan. Ekstrak yang berbentuk pasta juga dihasilkan pada ekstrak etanol, etil asetat, dan heksana dari jahe pada penelitian Fathia (2011) yang menyatakan bahwa fase cair dalam sistem koloid tersebut diduga mencakup di dalamnya kandungan air yang belum terpisahkan serta kandungan minyak pada ekstrak jahe gajah sehingga menyebabkan ekstrak jahe yang dihasilkan berbentuk pasta. Ekstrak yang diperoleh dengan metode maserasi ini merupakan ekstrak dengan konsentrasi 100%. Ekstrak ini digunakan sebagai stok ekstrak untuk pengujian selanjutnya. C. AKTIVITAS ANTIMIKROBA EKSTRAK DAUN TIN HEKSANA DAN ETANOL Ekstrak heksana dan etanol dari daun tin yang diperoleh diuji aktivitas antimikrobanya terhadap Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Metode yang digunakan dalam pengujian ini adalah difusi sumur. Konsentrasi masing-masing ekstrak yang diujikan sebesar 100 mg/ml atau 10%. Pemilihan konsentrasi tersebut berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shan et al. (2007) dengan konsentrasi tersebut secara efektif dapat menghambat bakteri Bacillus cereus, Staphylococcus aureus dan Salmonella anatum dengan menggunakan ekstrak metanol dari 46 jenis tanaman. Selain itu, ekstrak yang diperoleh dalam bentuk pasta sehingga tidak memungkinkan untuk menguji ekstrak dengan konsentrasi 100% sehingga ekstrak perlu diencerkan. Tujuan dari uji difusi sumur ini adalah untuk mengetahui potensi awal dari berbagai ekstrak daun tin sebagai antimikroba alami. Aktivitas antimikroba dari ekstrak daun tin ini dapat diketahui dari zona bening yang dihasilkan di sekitar sumur yang berisi ekstrak pada media NA. Selain ekstrak daun tin yang diuji, kontrol positif dan kontrol negatif juga harus diuji aktivitas antimikrobanya. Pengukuran diameter zona bening dan diameter sumur dilakukan dengan jangka sorong. Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali untuk masing-masing sumur. Zona bening menunjukkan bahwa tidak ada pertumbuhan bakteri pada zona tersebut. Zona penghambatan dihitung dari selisih diameter zona bening yang terbentuk dengan diameter sumur pada media NA. Nilai zona penghambatan ekstrak daun tin dapat dilihat pada Tabel 6 dan pada Lampiran 3. Zona bening yang dihasilkan pada media NA dapat dilihat pada Gambar 7. Zona bening menunjukkan tidak ada pertumbuhan bakteri uji di sekitar sumur. Tabel 6. Zona penghambatan terhadap bakteri uji Sampel Zona penghambatan terhadap bakteri uji (mm) + sd Staphylococcus aureus Pseudomonas aeruginosa Ekstrak daun tin dengan heksana 3,86 + 0,31 b 4,97 + 0,18a Ekstrak daun tin dengan etanol 8,07 + 0,00a 5,70 + 0,13a Kontrol positif (amoxicillin 2%) 7,36 + 0,59a 9,94 + 0,61b DMSO (kontrol negatif) 0,00 + 0,00 0,00 + 0,00 Keterangan: - Hasil zona penghambatan merupakan rerata dua kali ulangan - Hasil uji beda Duncan menunjukkan huruf yang sama dalam kolom yang sama berarti tidak ada beda nyata antarperlakuan (p > 0.05). 22 Ekstrak daun dengan heksana tin Ekstrak daun tin dengan etanol DMSO/kontrol negatif Gambar 7. Zona bening yang dihasilkan pada media NA dengan metode difusi sumur Amoxicillin 2% yang digunakan sebagai kontrol positif menghasilkan diameter penghambatan sebesar 7,36-9,94 mm. Diameter penghambatan yang dihasilkan amoxicillin 2% lebih besar dibandingkan dengan ekstrak dan kontrol negatif. Dimetilsulfoksida (DMSO) sebagai kontrol negatif tidak menghasilkan diameter penghambatan karena tidak ditemukan zona bening di sekitar sumur. Ekstrak daun tin dengan etanol menghasilkan diameter penghambatan lebih besar dibandingkan ekstrak daun tin dengan heksana. Diameter penghambatan dari ekstrak daun tin dengan etanol sebesar 5,70–8,07 mm, sedangkan ekstrak daun tin dengan heksana sebesar 3,86-4,97 mm. Sifat antimikroba dari ekstrak daun tin dengan etanol tergolong sedang sedangkan ekstrak daun tin dengan heksana tergolong lemah. Penentuan sifat antimikroba tersebut berdasarkan Davis dan Stout (1971) yang melaporkan bahwa ketentuan kekuatan daya antibakteri sebagai berikut: daerah hambatan 20 mm atau lebih termasuk sangat kuat, daerah hambatan 10-20 mm kategori kuat, daerah hambatan 5-10 mm kategori sedang, dan daerah hambatan 5 mm atau kurang termasuk kategori lemah. DMSO sebagai kontrol negatif dalam pengujian digunakan untuk melarutkan ekstrak etanol dan heksana dari daun tin. DMSO tidak memiliki pengaruh terhadap pengujian aktivitas antimikroba dari ekstrak daun tin. Hal tersebut ditunjukkan dengan tidak adanya diameter penghambatan yang dihasilkan pada metode sumur. Hasil tersebut serupa dengan penelitian yang dilaporkan oleh Fathia (2011) yang menyatakan bahwa DMSO tidak berpengaruh terhadap aktivitas antimikroba. DMSO berperan sebagai emulsifier dan pelarut yang sering digunakan dalam pengujian karena dapat melarutkan senyawa organik nonpolar maupun polar. DMSO merupakan pelarut umum yang digunakan dalam pengujian karena kemampuannya untuk melarutkan senyawa organik baik nonpolar maupun polar. DMSO juga direkomendasikan sebagai pelarut komponen organik yang baik (Carey dan Sundberg 2007). Kontrol positif yang digunakan dalam pengujian merupakan antibiotik yang telah terbukti dan teruji memiliki sifat antimikroba yang kuat dengan kisaran penghambatan yang luas. Oleh karena itu, konsentrasi kontrol positif yang diujikan dalam penelitian tidak besar yaitu 2% (b/v). Amoxicillin merupakan turunan penicillin yang mempunyai spektrum luas (dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan gram negatif), mekanisme kerjanya menghambat sintesis dinding sel bakteri (Mycek et al. 1997). Ekstrak daun tin dengan heksana dan etanol yang dihasilkan dari metode maserasi pada konsentrasi 10% (b/v) mampu menghambat pertumbuhan bakteri uji Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Ekstrak daun tin dengan etanol memiliki penghambatan yang lebih besar terhadap bakteri uji dibandingkan ekstrak daun tin dengan heksana. Hal ini ditunjukkan dari hasil uji difusi sumur. Zona penghambatan dari ekstrak daun tin dengan etanol lebih besar dibandingkan 23 ekstrak daun tin dengan heksana. Bakteri uji Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa relatif lebih tahan terhadap senyawa antimikroba dari ekstrak daun tin dengan heksana daripada ekstrak daun tin dengan etanol. Setiap ekstrak daun tin memiliki kemampuan penghambatan yang berbeda-beda terhadap bakteri uji. Kemampuan ekstrak daun tin dengan heksana dalam menghambat pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa lebih besar dibandingkan menghambat Staphyloccocus aureus. Hal tersebut ditunjukkan pada zona penghambatan dari ekstrak daun tin dengan heksana pada Pseudomonas aeruginosa (4,97 mm) lebih besar dibandingkan zona penghambatan pada Staphylococcus aureus (3,86 mm). Oleh karena itu, Staphylococcus aureus memiliki sifat yang lebih rentan terhadap ekstrak daun tin dengan heksana dibandingkan Pseudomonas aeruginosa. Hasil tersebut berbeda dengan hasil yang ditunjukkan pada ekstrak daun tin dengan etanol. Kemampuan ekstrak daun tin dengan etanol dalam menghambat pertumbuhan Staphyloccocus aureus lebih besar dibandingkan menghambat Pseudomonas aeruginosa. Hal tersebut ditunjukkan pada zona penghambatan dari ekstrak daun tin dengan etanol pada Staphylococcus aureus (8,07 mm) lebih besar dibandingkan zona penghambatan pada Pseudomonas aeruginosa (5,70 mm). Oleh karena itu, Pseudomonas aeruginosa memiliki sifat yang lebih tahan terhadap ekstrak daun tin dengan etanol dibandingkan Staphylococcus aureus. Setiap bakteri uji baik Staphylococcus aureus maupun Pseudomonas aeruginosa memiliki respon yang berbeda-beda dalam melawan senyawa antimikroba dari daun tin heksana maupun etanol. Perbedaan struktur dinding sel menentukan penetrasi, ikatan, dan aktivitas antibakteri (Jawetz et al. 2005). Perbedaan lapisan lipopolisakarida (LPS) yang merupakan lapisan luar dari dinding sel bakteri menyebabkan perbedaan respon bakteri gram positif dan bakteri gram negatif terhadap suatu senyawa antimikroba. Bakteri gram positif memiliki dinding sel yang sederhana dengan jumlah peptidoglikan relatif banyak. Bakteri gram negatif memiliki dinding sel yang secara struktural lebih kompleks dengan jumlah peptidoglikan lebih sedikit dibandingkan bakteri gram positif. Membran bagian luar pada dinding sel gram negatif mengandung lipopolisakarida. Lipopolisakarida merupakan karbohidrat yang terikat pada lipid. Bakteri gram positif memiliki kandungan lipid lebih rendah dibandingkan bakteri gram negatif. Menurut Pelczar et al. (1977), bakteri gram positif memiliki kandungan lipid 14% sedangkan kandungan lipid bakteri gram negatif sebesar 11-12%. Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri gram negatif yang rentan terhadap ekstrak daun tin dengan pelarut heksana. Hal tersebut dikarenakan ekstrak daun tin dengan heksana yang bersifat nonpolar mampu menembus dengan mudah dinding sel Pseudomonas aeruginosa yang memiliki kandungan lipid tinggi. Membran luar bakteri gram negatif terdiri dari fosfolipid (lapisan dalam) dan lipopolisakarida (lapisan luar) yang tersusun atas lipid A bersifat nonpolar. Bakteri gram positif mengandung polisakarida (asam teikoat). Asam teikoat merupakan polimer larut dalam air yang berfungsi sebagai transport ion positif untuk keluar atau masuk. Sifat larut ini yang menunjukkan bahwa dinding sel bakteri gram positif bersifat polar. Oleh karena itu, Staphylococcus aureus yang merupakan bakteri gram positif memiliki sifat yang rentan terhadap ekstrak daun tin dengan pelarut etanol. Senyawa flavonoid yang terkandung dalam ekstrak daun tin tersebut dan yang bersifat polar dengan mudah menembus lapisan peptidoglikan yang bersifat polar pada bakteri gram positif. Kepolaran senyawa antibakteri inilah yang mengakibatkan senyawa ini lebih mudah menembus dinding sel bakteri gram positif. Analisis ragam dan uji lanjut dengan derajat signifikasi 5% menunjukkan nilai diameter penghambatan terhadap Staphylococcus aureus pada uji difusi sumur dari amoxicillin 2% berbeda dengan nilai diameter penghambatan dari ekstrak daun tin dengan pelarut heksana konsentrasi 10%. Nilai diameter penghambatan dari amoxicillin 2% tidak berbeda dengan nilai diameter penghambatan dari ekstrak daun tin dengan pelarut etanol konsentrasi 10%. Analisis ragam dan uji lanjut tersebut menunjukkan bahwa kemampuan ekstrak daun tin dengan pelarut etanol konsentrasi 10% tidak 24 berbeda signifikan dengan amoxicillin 2% (Lampiran 6). Ekstrak daun tin dengan etanol tersebut memiliki kemampuan yang tidak berbeda dengan kontrol positif yaitu amoxicillin 2% dalam menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus pada uji difusi sumur. Analisis ragam dan uji lanjut dengan derajat signifikasi 5% menunjukkan nilai diameter penghambatan terhadap Pseudomonas aeruginosa pada uji difusi sumur dari amoxicillin 2% berbeda dengan nilai diameter penghambatan dari ekstrak daun tin dengan pelarut heksana maupun ekstrak pelarut etanol dengan konsentrasi 10%. Analisis ragam dan uji lanjut tersebut menunjukkan bahwa kemampuan ekstrak daun tin dengan pelarut heksana maupun etanol konsentrasi 10% berbeda signifikan dengan amoxicillin 2% (Lampiran 7). Ekstrak daun tin dengan heksana maupun etanol tersebut memiliki kemampuan yang berbeda dengan kontrol positif yaitu amoxicillin 2% dalam menghambat pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa pada uji difusi sumur. Ekstrak daun tin dengan heksana memiliki kemampuan yang tidak berbeda dengan ekstrak daun tin dengan etanol dalam menghambat pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa. Ekstrak daun tin dengan pelarut etanol dipilih sebagai ekstrak yang digunakan dalam pengujian selanjutnya karena berdasarkan analisis ragam dan uji lanjut dengan signifikasi 5% kemampuan penghambatan ekstrak daun tin dengan etanol terhadap Staphylococcus aureus tidak berbeda dengan kontrol positif yaitu amoxicillin pada uji difusi sumur. Berdasarkan hasil uji difusi sumur dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun tin dengan etanol yang diperoleh dari maserasi memiliki aktivitas antimikroba yang lebih tinggi terhadap Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa dibandingkan ekstrak daun tin dengan heksana. Aktivitas penghambatan yang dihasilkan dengan menggunakan difusi sumur bersifat kualitatif (Parish dan Davidson 1993). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengujian aktivitas penghambatan lanjutan dengan metode dilution broth untuk mendapatkan minimum inhibitory concentration (MIC) dari ekstrak terpilih. Pengujian ini dilakukan pada ekstrak daun tin dengan etanol yang menghasilkan rendemen ekstrak lebih tinggi dan dengan zona penghambatan terhadap bakteri uji lebih besar dibandingkan dengan ekstrak daun tin dengan heksana. Bakteri uji yang digunakan dalam uji selanjutnya adalah Staphylococcus aureus karena bakteri ini rentan terhadap ekstrak etanol daun tin. D. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) EKSTRAK DAUN TIN DENGAN PELARUT ETANOL Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dari ekstrak daun tin dengan pelarut etanol ini menggunakan metode dilution broth. Metode tersebut direkomendasikan oleh Gutierrez et al. (2008) sebagai pengujian aktivitas penghambatan yang bertujuan mengetahui konsentrasi hambat minimal atau MIC. Metode pengenceran memiliki kelebihan yaitu dapat diketahui adanya kontaminasi dan dapat dilakukan untuk bahan berwarna keruh serta data yang diperoleh bersifat kuantitatif (Parish dan Davidson 1993). MIC yang diperoleh dari metode ini digunakan untuk penentuan konsentrasi aplikasi ekstrak etanol daun tin pada bakso. Konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol yang digunakan dalam penentuan MIC dalam penelitian ini adalah 1, 2, 3 % (b/v). Pelarut atau pengencer yang digunakan dalam pengujian ini sama dengan yang digunakan pada uji difusi sumur, yaitu DMSO. Bakteri uji yang digunakan dalam uij ini adalah Staphylococcus aureus. Pemilihan bakteri tersebut berdasarkan hasil uji difusi sumur sebelumnya dan SNI bakso yang menjadikan cemaran Staphylococcus aureus sebagai salah satu syarat dalam menentukan kelayakan konsumsi bakso. Pengujian ini dilakukan pada ekstrak daun tin dengan pelarut etanol dengan cara menghitung penurunan jumlah bakteri Staphylococcus aureus selama 24 jam. Nilai MIC merupakan konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol terendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri atau menurunkan jumlah bakteri sebesar 90% dari jumlah bakteri awal pada saat 0 jam. 25 Tabel 7. Hasil pengujian aktivitas ekstrak daun tin etanol dengan uji dillution broth Konsentrasi Ulangan Jumlah koloni Jumlah koloni Penurunan ekstrak daun tumbuh saat 0 jam yang tumbuh 24 jumlah tin (koloni/ml) jam (koloni/ml) bakteri (%) 1 8,6 x 103 7,2 x 102 91,63 2 5,1 x 10 3 5,0 x 10 2 90,20 4,2 x 10 3 1,8 x 10 2 95,71 1,5 x 10 4 5,7 x 10 2 96,20 6,7 x 10 3 1,4 x 10 2 97,91 2 98,32 dengan etanol (%) 1 Rata-rata 1 2 2 90,92 Rata-rata 1 3 2 Rata-rata 95,96 3 5,6 x 10 9,4 x 10 98,12 Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada Tabel 7, semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol, semakin tinggi pula nilai penurunan atau penghambatan jumlah bakteri uji Staphylococcus aureus. Nilai penghambatan dari ekstrak daun tin dengan etanol pada konsentrasi 1% (b/v) adalah sebesar 90,92%, sedangkan pada konsentrasi 2% (b/v) sebesar 95,96% dan pada konsentrasi 3% (b/v) atau sebesar 98,12%. Konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol yang diperoleh dari metode maserasi menunjukkan kemampuannya dalam menurunkan jumlah bakteri uji Staphylococcus aureus setelah inkubasi 24 jam sebesar 90% pada konsentrasi ekstrak 1% (b/v). Oleh karena itu, nilai konsentrasi hambat minimal (MIC) dari ekstrak daun tin dengan etanol yang diperoleh dari metode maserasi adalah 1% (b/v). Penurunan jumlah bekteri uji Staphylococcus aureus dari ekstrak etanol daun tin 1% (b/v) adalah sebesar 90,92%. Nilai MIC hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Jeong et al. (2009) yang menunjukkan bahwa pada konsentrasi ekstrak daun tin dengan pelarut metanol sebesar 2,5 mg/ml atau 0,25% (b/v) mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus sebesar 90%. Perbedaan nilai MIC ini dikarenakan oleh adanya perbedaan penggunaan metode ekstraksi dan pelarut. Pada penelitan Jeong et al. (2009) menggunakan metode reflux dengan pelarut metanol selama 4 jam pada suhu 800C. Menurut Cha et al. (2007) melaporkan bahwa beberapa senyawa flavonoid terbukti memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri oral (pada mulut). Hal tersebut mengindikasikan bahwa senyawa flavonoid yang terkandung pada daun Ficus carica memiliki efek antibakteri (Jeong et al. 2009). Beberapa komponen fenolik yang telah diisolasi memiliki aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri streptococcus mutan maupun penghambatan terhadap glukosil transferase (Hada 1989). Mekanisme antibakteri dari ekstrak daun tin tersebut perlu diteliti lebih lanjut, sama halnya mekanime antibakteri dari ekstrak daun sirih yang diteliti oleh Sugiastuti (2002). Hal tersebut dikarenakan mekanisme senyawa fenolik (merupakan senyawa aktif) dalam menghambat pertumbuhan bakteri ada beberapa cara (Pelezar et al. 1998). Salah satu cara adalah dengan merusak struktur dinding sel atau senyawa fenolik tersebut menyebabkan lisis pada dinding sel yang sudah terbentuk (Sugiastuti 2002). 26 Perbedaan nilai MIC pada penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Jeong, et al. (2009) juga dikarenakan perbedaan kandungan flavonoid dalam ekstrak daun tin. Menurut penelitian yang dilaporkan oleh Konyalioglu et al. (2005) menyatakan bahwa kandungan flavonoid dari ekstrak etil alkohol (etanol) adalah sebesar 0,799 + 0.023 % sedangkan ekstrak metil alkohol (metanol) sebesar 1,152 + 0.021 %. Ekstrak tersebut didapatkan dengan metode stirring selama 2 hari dan pemekatan dengan vacuum rotavapor pada suhu 400C. Metode tersebut sama seperti yang dilakukan dalam penelitian ini. Nilai MIC yang diperoleh dari ekstrak etanol daun tin pada penelitian ini lebih besar dibandingkan dengan ekstrak metanol daun tin yang diperoleh dari penelitian Jeong et al.( 2009). Hal tersebut diduga karena kandungan flavonoid pada ekstrak etanol lebih rendah dibandingkan ekstrak metanol sehingga aktivitas penghambatan pertumbuhan Staphylococcus aureus ekstrak daun tin dengan etanol lebih rendah dibandingkan ektrak daun tin dengan metanol. Berdasarkan uji aktivitas penghambatan ekstrak etanol daun tin dengan metode dilution broth, diketahui bahwa nilai MIC dari ekstrak daun tin etanol yang diperoleh dengan metode maserasi adalah sebesar 1% (b/v). Konsentrasi hambat minimal tersebut digunakan sebagai penentuan konsentrasi ekstrak daun tin etanol untuk diaplikasikan pada bakso. E. APLIKASI EKSTRAK DAUN TIN ETANOL PADA BAKSO Uji aplikasi ekstrak daun tin dengan pelarut etanol pada bakso ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antimikroba ekstrak dalam memperlambat laju kerusakan bakso. Nilai konsentrasi hambat minimal (MIC) dari ekstrak daun tin dengan etanol yang diujikan pada Staphylococcus aureus adalah sebesar 1% (b/v). Nilai MIC tersebut digunakan dalam penentuan konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol yang diaplikasikan pada bakso. Menurut Sugiastuti (2002) melaporkan bahwa dari beberapa kali uji coba yang dilakukan, menggunakan ekstrak daun sirih dengan konsentrasi 2 mg/g (sesuai nilai MICnya) sampai konsentrasi 6 mg/g (dengan 3 kali nilai MIC) ternyata apabila diaplikasikan dalam daging sapi giling, ekstrak etanol daun sirih tersebut tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Pada penelitian Sugiastuti (2002) tersebut konsentrasi ekstrak daun sirih yang dipergunakan adalah berkisar antara 5 kali nilai MIC sampai 12,5 kali nilai MIC yaitu dengan konsentrasi 10 mg/g sampai 25 mg/g. Oleh karena itu, konsentrasi suatu ekstrak alami yang diaplikasikan dalam bahan pangan lebih tinggi dibandingkan konsentrasi hambat minimalnya (MIC). Hal ini dikarenakan bahan pangan hasil olahan daging terutama bakso memiliki matriks yang lebih kompleks dengan kandungan protein dan karbohidrat yang tinggi merupakan tempat yang baik bagi pertumbuhan beberapa mikroba perusak pangan. Daging mempunyai nilai nutrisi yang sangat tinggi, dimana nutrisi tersebut merupakan hal yang penting untuk pertumbuhan mikroorganisme baik perusak makanan ataupun patogen makanan (Jay 2000). Besarnya konsentrasi ekstrak yang diaplikasikan dalam bahan pangan bisa 3 kali atau lebih dari konsentrasi hambat minimalnya (MIC). Konsentrasi ekstrak yang dipilih dalam uji aplikasi bakso ini adalah 3%, 5%, dan 10% (b/v atau b/b). Uji aplikasi ini terdiri dari dua perlakuan, yaitu perebusan dan pengadonan. Perlakuan perebusan dilakukan dengan cara merebus bakso dengan campuran air dengan ekstrak daun tin dengan etanol pada suhu 800C. Konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol yang diaplikasikan pada perlakuan ini diperoleh dengan cara melarutkan sejumlah ekstrak daun tin dengan tin (g) dalam air rebusan (ml). Perlakuan pengadonan dilakukan dengan cara mencampur ekstrak daun tin dengan etanol dalam adonan bakso. Konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol yang akan diaplikasikan pada perlakuan pengadonan ini diperoleh dengan cara mencampur sejumlah ekstrak (g) dengan adonan bakso(g). Dua perlakuan ini digunakan untuk memilih cara aplikasi yang sesuai dan efektif dari ekstrak daun tin dengan etanol yang diperoleh dengan metode maserasi pada 27 bakso. Pengujian yang dilakukan dalam aplikasi ekstrak daun tin etanol pada bakso ini adalah total Staphylococcus aureus dan total plate count (TPC). Kedua uji ini dipilih berdasarkan persyaratan mutu mikrobiologis bakso yang tercantum pada SNI. Sesuai dengan SNI batas maksimum Staphylococcus aureus pada bakso sebesar 1,0 x 102 koloni/gram sedangkan Total Plate Count (TPC) sebesar 1,0 x 105 koloni/gram. E.1. Total Staphylococcus aureus pada bakso Pengujian total Staphylococcus aureus pada bakso ini mempunyai prinsip yang sama dengan uji dilution broth dalam menentukan nilai MIC ekstrak, yaitu melihat kemampuan ekstrak etanol daun tin dalam menurunkan jumlah bakteri uji selama selang waktu tertentu. Media yang digunakan dalam uji ini adalah Baird Parker Agar (BPA) merupakan media spesifik untuk Staphylococcus aureus yang direkomendasikan oleh BAM (2011). Pengujian ini dilakukan dengan cara menambahkan Staphylococcus aureus sekitar 5 x 103 koloni/ml pada permukaan bakso. Penambahan bakteri tersebut bertujuan untuk mempertinggi jumlah koloni Staphylococcus aureus pada bakso karena sesuai SNI jumlah maksimum bakteri tersebut hanya 1,0 x 102 koloni/gram. Jumlah tersebut tergolong rendah jika digunakan sebagai jumlah bakteri awal pada bakso dalam perhitungan persentase penurunan jumlah bakteri. Hal tersebut dikarenakan jika ekstrak mempunyai aktivitas yang tinggi dalam menghambat bakteri pada bakso maka jumlah koloni bakteri akan menjadi lebih rendah bahkan jauh lebih rendah daripada jumlah bakteri awal pada bakso. Jika jumlah koloni Staphylococcus aureus terlalu rendah hingga tidak masuk dalam kisaran nilai perhitungan koloni yang dipersyaratkan oleh BAM (2011), yaitu 20-200 maka jumlah koloni tidak dapat dihitung secara pasti. Hal tersebut akan mempersulit dalam melakukan perhitungan penurunan jumlah bakteri secara pasti. Penurunan jumlah bakteri pada uji ini ditentukan dengan cara menghitung persentase selisih jumlah bakteri awal Staphylococcus aureus pada saat 0 jam dengan jumlah bakteri tersebut setelah 6 jam dibiarkan di suhu ruang dibagi dengan jumlah bakteri awal saat 0 jam. Selama 6 jam bakso yang sudah ditambahkan Staphylococcus aureus dibiarkan di suhu ruang diperkirakan bakteri Staphylococcus aureus mulai tumbuh dengan baik pada bakso. Selain itu, ekstrak daun tin dengan etanol bekerja secara optimal dalam menghambat pertumbuhan bakteri tersebut. Nilai penghambatan ekstrak daun tin dengan etanol pada bakso dapat dilihat pada Tabel 8. 28 Tabel 8. Hasil penghambatan ekstrak etanol daun tin terhadap pertumbuhan S. aureus Konsentrasi Perlakuan eksrak aplikasi tin daun dengan Ulangan etanol 1 Pengadonan 0% (b/b) 2 Jumlah Jumlah koloni yang koloni tumbuh saat tumbuh 0 jam setelah 6 jam 3 1,5 x 10 3 1,9 x 10 Penurunan yang bakteri Perebusan 0% (b/v) 2 - 5 - 2,3 x 10 1,2 x 10 3 1,8 x 10 3 1,9 x 10 5 - 5 - 1,0 x 10 2,8 x 10 Rata-rata 1 Pengadonan 3% (b/b) 2 3 1,2 x 10 3 2,0 x 10 3 - 3 - 6,5 x 10 7,2 x 10 Rata-rata 1 Perebusan 3% (b/v) 2 3 1,2 x 10 3 1,8 x 10 4 - 3 - 1,0 x 10 9,9 x 10 Rata-rata 1 Pengadonan 5% (b/b) 2 3 1,1 x 10 3 1,5 x 10 2 49,09 7,2 x 10 2 52,00 9,0 x 10 2 43,44 2 42,35 5,6 x 10 Rata-rata 1 Perebusan 5% (b/v) 2 50,54 3 1,6 x 10 3 1,7 x 10 9,8 x 10 Rata-rata 1 Pengadonan 10% (b/b) 2 42,90 2 5,4 x 10 3 1,0 x 10 9,0 x 10 2 83,33 2 62,00 3,8 x 10 Rata-rata 1 Perebusan 10% (b/v) 2 Rata-rata (%) 5 Rata-rata 1 jumlah 72.66 3 1.8 x 10 3 1.5 x 10 4.0 x 10 2 77.78 5.2 x 10 2 65.00 71.39 Berdasarkan hasil penghambatan ekstrak daun tin dengan pelarut etanol terhadap Staphylococcus aureus pada Tabel 8 diketahui bahwa bakso kontrol dengan konsentrasi 0% ekstrak pada perlakuan aplikasi dengan pengadonan maupun dengan perebusan tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Pada bakso kontrol tersebut jumlah bakteri setelah 6 jam lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah bakteri awal saat 0 jam. Saat bakso yang ditambahkan Staphylococcus aureus tersebut dibiarkan pada suhu ruang selama 6 jam terjadi pertumbuhan jumlah bakteri yang cukup tinggi, yaitu sekitar 2 siklus log. Konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol sebesar 3% (b/v) pada perlakuan perebusan dan pengadonan tidak mampu menghambat pertumbuhan 29 Penurunan jumlah Staphylococcus aureus (%) bakteri Staphylococcus aureus pada bakso. Namun, pada konsentrasi 3% tersebut tidak terjadi peningkatan jumlah bakteri yang terlalu tinggi seperti pada kontrol. Konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol sebesar 3% memiliki aktivitas antibakteri yang bersifat bakteriostatik dengan cara memperlambat laju pertumbuhan bakteri. Antibakteri yang terdapat dalam bahan pangan dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal (membunuh kapang), fungistatik (menghambat pertumbuhan kapang) dan germisidal (menghambat germinasi spora bakteri) (Fardiaz 1992). Konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol sebesar 5% dengan perlakuan pengadonan dan perebusan mampu menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus. Persentase penurunan jumlah bakteri perlakuan pengadonan lebih tinggi dibandingkan perlakuan perebusan pada konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol sebesar 5%. Persentase penurunan jumlah bakteri perlakuan pengadonan sebesar 50,54% sedangkan pada perlakuan perebusan sebesar 42,90%. Hal tersebut terjadi juga pada konsentrasi ekstrak etanol daun tin sebesar 10% dimana persentase penurunan jumlah bakteri perlakuan pengadonan lebih tinggi dibandingkan perlakuan perebusan. Pada konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol 10% persentase penurunan jumlah bakteri perlakuan pengadonan sebesar 72,66% sedangkan pada perlakuan perebusan sebesar 71,39%. Perbedaan persentase penurunan jumlah bakteri Staphylococcus aureus pada perlakuan perebusan dan pengadonan pada masing-masing konsentrasi ekstrak etanol daun tin dapat dilihat pada Gambar 8. 80 71,39 72,66 70 60 50,54 42,90 50 40 30 Perebusan 20 Pengadonan 10 0 0 0 0 0 0 3 5 10 Konsentrasi ekstrak daun tin etanol (%(b/v atau b/b)) Gambar 8. Penurunan jumlah Staphylococcus aureus pada bakso Berdasarkan pada Gambar 8 terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol yang diaplikasikan pada bakso semakin tinggi pula persentase penurunan jumlah Staphylococcus aureus pada bakso. Penurunan jumlah bakteri Staphylococcus aureus terlihat pada konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol sebesar 5% dan 10% baik pada perlakuan aplikasi perebusan 800C maupun pengadonan. Pada kedua konsentrasi tersebut perlakuan aplikasi dengan pengadonan ekstrak daun tin dengan etanol memiliki persentase penurunan jumlah Staphylococcus aureus yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan perebusan. Hal tersebut dikarenakan pada perlakuan pengadonan ekstrak daun tin dengan etanol tersebar merata di seluruh matriks bakso, baik di dalam maupun di permukaan bakso sehingga ekstrak tersebut memiliki aktivitas penghambatan pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus yang berada pada seluruh bagian bakso. Pada perlakuan perebusan ekstrak etanol daun tin diaplikasikan pada bakso dengan cara mencampur ekstrak dengan air yang digunakan untuk merebus bakso pada suhu 800C selama 10 menit. Pada perlakuan perebusan ekstrak tersebut hanya melapisi permukaan bakso saja dan terjadinya penetrasi ekstrak dalam bakso 30 hanya sedikit. Selain itu, suhu perebusan dan waktu perebusan dapat mempengaruhi tingkat penetrasi ekstrak dalam bakso dan sifat aktivitas antimikroba dari ekstrak etanol daun tin. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa warna ekstrak daun tin dengan etanol adalah hijau pekat. Penetrasi dari ekstrak tersebut dalam bakso dapat dilihat dari penampakan warna pada bakso. Bakso dengan perlakuan pengadonan memiliki warna hijau pekat sedangkan bakso dengan perlakuan perebusan memiliki warna coklat. Bakso dari kedua perlakuan tersebut berbeda dengan bakso kontrol yang tidak ditambahkan ekstrak daun tin dengan etanol. Bakso kontrol berwarna abu-abu. Perbedaan warna tersebut dapat dilihat pada Gambar 9. (a) (b) Gambar 9. (a) Bakso kontrol (b) Bakso hasil pengadonan dengan penambahan ekstrak daun tin dengan etanol (c) Bakso hasil perebusan pada suhu 800C selama 10 menit dengan penambahan ekstrak daun tin etanol Berdasarkan gambar penampakan bakso tersebut terlihat bahwa terjadi perbedaan antara bakso pada kontrol, perlakuan ekstrak dengan perebusan, maupun perlakuan ekstrak dengan pengadonan. Bakso kontrol yang tidak ditambah ekstrak daun tin etanol terlihat seperti bakso pada umumnya yang diperjualbelikan di pasaran yaitu berwarna abu-abu. Bakso dengan perlakuan ekstrak dengan pengadonan berwarna hijau dikarenakan ekstrak daun tin dengan etanol membawa klorofil yang merupakan zat hijau daun tin. Klorofil a termasuk dalam pigmen yang disebut porfirin. Pada prinsipnya molekul klorofil sangat besar dan terdiri dari empat cincin pirol yang dihubungkan satu dengan yang lainnya oleh gugus metena (-CH=) membentuk sebuah molekul yang pipih. Klorofil a mengandung atom magnesium yang diikat oleh nitrogen dari dua cincin pirol dengan ikatan kovalen serta oleh dua buah atom nitrogen dari dua cincin pirol lain melalui ikatan koordinat kovalen (Winarno 1997). Ekstrak daun tin dengan etanol diaplikasikan langsung pada adonan bakso sebelum dilakukan perebusan sehingga warna hijau tersebar merata pada seluruh bagian bakso. Klorofil yang terbawa oleh ekstrak daun tin etanol masih dalam kondisi stabil karena belum mengalami pemanasan dan terperangkap di dalam matriks bakso. Bakso dengan perlakuan ekstrak dengan perebusan berwarna coklat. Hal tersebut dikarenakan ekstrak daun tin etanol mengalami pemanasan saat dilakukan perebusan 800C sehingga klorofil yang terbawa pada ekstrak daun tin etanol menjadi tidak stabil sehingga berwarna coklat. Menurut Delgado dan Paredes (2003) klorofil sensitif terhadap asam, panas, alkali, serta logam. Derivat klorofil yang terbentuk ketika dilakukan proses pemanasan dapat dikelompokkan menjadi dua, berdasarkan ada/tidaknya atom magnesium di tengah tetrapirol. Derivat yang mengandung Mg berwarna hijau, sedangkan yang tidak mengandung Mg berwarna kecoklatan. Jika ada ion seng atau tembaga, akan terbentuk kompleks seng atau tembaga yang berwarna hijau. Atom magnesium pada klorofil mudah digantikan oleh ion hidrogen, yang akan menghasilkan warna coklat feofitin. 31 E. 2. Pengujian Total Plate Count (TPC) pada bakso Uji Total Plate Count (TPC) dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun tin dengan etanol terhadap jumlah mikroba dalam memperpanjang umur simpan bakso selama 3 hari (0 hingga 72 jam) penyimpanan pada suhu ruang. Seperti halnya pada uji Total Staphylococcus aureus, uji ini dilakukan pada bakso dengan perlakuan perebusan maupun pengadonan. Uji ini juga dilakukan berdasarkan batas maksimal total mikroba yang disyaratkan pada SNI. Menurut SNI No. 08-73882009 tentang bakso menyatakan bahwa jumlah maksimal total mikroba pada bakso yang layak untuk dikonsumsi sebesar 1.0 x 105 koloni/g. Hasil pengujian TPC pada bakso dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil uji Total Plate Count (TPC) pada bakso Konsentrasi Perlakuan ekstrak (%(b/v atau Jumlah Total Mikroba (koloni/gram) U 0 jam 6 jam 24 jam 48 jam 72 jam b/b)) 0 (kontrol) 3 Perebusan 0 80 C 5 10 0 (kontrol) 3 Pengadonan 5 10 1 5,6 x 104 1,0 x 106 4,6 x 107 - - 2 3 5 7 - - 1,3 x 10 7 - - 1,5 x 10 7 - - 6 - - 4,1 x 10 6 - - 8,7 x 10 5 - - 1 2 1 9,0 x 10 <2,5 x 10 2 <2,5 x 10 2 2 <2,5 x 10 1,8 x 10 <2,5 x 10 2 <2,5 x 10 2 <2,5 x 10 2 5,4 x 10 5,2 x 10 <2,5 x 10 2 <2,5 x 10 2 1 <2,5 x 10 2 <2,5 x 10 2 2 4,4 x 102 4,6 x 103 2,4 x 106 - - 1 4 6 7 - - 6 - 2 2 1 1,8 x 10 4 5,6 x 10 <2,5 x 10 2 <2,5 x 10 2 2,3 x 10 5 6,6 x 10 <2,5 x 10 2 4,6 x 10 5,8 x 10 2,8 x 10 4 3,8 x 10 4 - 3,7 x 10 6 - 4,5 x 10 6 - 7,5 x 10 3 9,3 x 10 >2,5 x 106 <2,5 x 10 2 1 2 <2,5 x 10 <2,5 x 10 2 2 <2,5 x 102 3,2 x 102 3,5 x 102 1,1 x 104 >2,5 x 106 1 <2,5 x 102 2,8 x 101 6,4 x 103 >2,5x106 - 2 2 1 2 6 - 2 <2,5 x 10 2,8 x 10 2 3,0 x 10 >2,5x10 Keterangan : - = Tidak dilakukan pengamatan = Jumlah total mikroba melebihi batas maksimal SNI, yaitu >1,0 x 105 koloni/gram U = Ulangan Pengamatan pada 0 jam menunjukkan bakso kontrol pada perlakuan perebusan memiliki kandungan total mikroba sebesar 3,2 x 104 koloni/gram sedangkan bakso perlakuan pengadonan sebesar 3,7 x 104 koloni/gram. Namun, pengamatan pada 6 dan 24 jam menunjukkan kandungan total mikroba sudah lebih dari 1,0 x 105 koloni/gram. Pengamatan pada 24 jam menunjukkan bakso kontrol mengalami tanda-tanda kerusakan seperti permukaan berlendir dan berbau asam sedangkan pengamatan pada 6 jam belum menunjukkan kerusakan pada bakso kontrol. Berdasarkan persyaratan 32 total mikroba pada bakso sesuai SNI, bakso kontrol pada perlakuan perebusan dan pengadonan sudah tidak layak konsumsi setelah 6 jam penyimpanan. Hal tersebut dikarenakan setelah 6 jam penyimpanan jumlah total mikroba sudah melebihi batas maksimal pada SNI walaupun bakso kontrol secara penampakan belum jelas menunjukkan adanya kerusakan. Pengamatan pada 0 jam dan 6 jam menunjukkan bahwa bakso perlakuan perebusan 800C dengan konsentrasi ekstrak daun tin etanol sebesar 3, 5, dan 10% (b/v) memiliki kandungan total mikroba di bawah 1,0 x 105 koloni/gram. Ekstrak daun tin etanol yang diaplikasikan pada bakso dengan perlakuan perebusan mampu mereduksi jumlah total mikroba sekitar 1-2 siklus log pada saat 0 jam dan 2-4 siklus log pada saat 6 jam. Penurunan jumlah total mikroba tersebut dihitung berdasarkan perbandingan total mikroba pada bakso kontrol dengan bakso perlakuan perebusan dengan ekstrak daun tin etanol pada saat 0 jam dan 6 jam penyimpanan. Terjadinya penurunan jumlah total mikroba pada bakso dikarenakan adanya aktivitas antimikroba dari ekstrak daun tin etanol yang didukung adanya proses pemanasan, yaitu perebusan bakso dengan total waktu perebusan + 20 menit. Pengamatan pada 24 jam menunjukkan bakso perlakuan perebusan dengan ketiga konsentrasi tersebut memiliki total mikroba melebihi 1,0 x 105 koloni/gram. Setelah 24 jam penyimpanan bakso perlakuan perebusan dari ketiga konsentrasi tersebut memiliki tanda-tanda kerusakan yang sama baik dari jumlah total mikroba maupun penampakan fisik bakso yang berlendir. Oleh karena itu, bakso dengan perlakuan perebusan dengan konsentrasi ekstrak 3, 5, dan 10% masih tahan disimpan pada suhu ruang selama 6 jam penyimpanan tetapi sudah mengalami kerusakan setelah 24 jam penyimpanan. Pengamatan pada 0 jam, 6 jam, dan 24 jam menunjukkan bahwa bakso perlakuan pengadonan dengan konsentrasi ekstrak daun tin etanol sebesar 3% (b/b) memiliki kandungan total mikroba di bawah 1,0 x 105 koloni/gram. Ekstrak daun tin etanol yang diaplikasikan pada bakso dengan perlakuan pengadonan dengan konsentrasi ekstrak sebesar 3, 5, dan 10% (b/b) mampu mereduksi jumlah total mikroba sekitar 2 siklus log pada saat 0 jam dan 3-4 siklus log pada saat 6 jam. Penurunan jumlah total mikroba tersebut dihitung berdasarkan perbandingan total mikroba pada bakso kontrol dengan bakso perlakuan pengadonan dengan ekstrak daun tin etanol pada saat 0 jam dan 6 jam penyimpanan. Terjadinya penurunan jumlah total mikroba pada bakso dikarenakan adanya aktivitas antimikroba dari ekstrak daun tin etanol yang didukung adanya proses pemanasan, yaitu perebusan bakso dengan total waktu perebusan + 20 menit. Setelah 48 jam penyimpanan kandungan total mikroba pada bakso konsentrasi ekstrak 3% tersebut lebih dari 1,0 x 105 koloni/gram. Bakso tersebut juga telah menunjukkan tanda-tanda kerusakan seperti terbentuknya lendir. Bakso dengan perlakuan pengadonan ekstrak sebesar 3% mengalami kerusakan setelah 48 jam penyimpanan. Pengamatan pada 0 jam, 6 jam, 24 jam serta 48 jam menunjukkan bahwa bakso perlakuan pengadonan dengan konsentrasi ekstrak daun tin sebesar 5% (b/b) memiliki kandungan total mikroba di bawah 1,0 x 105 koloni/gram. Namun, setelah 72 penyimpanan kandungan total mikroba pada bakso konsentrasi ekstrak 5% tersebut meningkat, yaitu lebih dari 1,0 x 105 koloni/gram. Bakso tersebut juga sudah menunjukkan tanda-tanda kerusakan seperti permukaan bakso yang berlendir. Bakso dengan perlakuan pengadonan ekstrak sebesar 5% mengalami kerusakan setelah 72 jam penyimpanan. Pengamatan pada 0 jam, 6 jam, 24 jam menunjukkan bahwa bakso perlakuan pengadonan dengan konsentrasi ekstrak etanol daun tin etanol sebesar 10% (b/b) memiliki kandungan total mikroba di bawah 105 koloni/gram. Namun, setelah 48 jam penyimpanan kandungan total mikroba pada bakso konsentrasi ekstrak 10% tersebut meningkat, yaitu lebih dari 1,0 x 105 koloni/gram. Selain itu, setelah 24 jam penyimpanan, bakso dengan perlakuan pengadonan ekstrak sebesar 10% sudah menujukkan tanda-tanda kerusakan seperti terbentuknya lendir. Pada perlakuan pengadonan bakso dengan konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol sebesar 3% (b/b) masih tahan disimpan selama 24 jam pada suhu ruang sedangkan bakso dengan konsentrasi ekstrak sebesar 5% (b/b) masih tahan disimpan 33 selama 48 jam. Berdasarkan hasil perlakuan pengadonan tersebut terlihat bahwa semakin tinggi ekstrak yang diaplikasikan pada bakso semakin lama waktu penyimpanannya. Namun, hal tersebut tidak terjadi pada perlakuan pengadonan dengan konsentrasi ekstrak daun tin dengan etanol sebesar 10% (b/b). Bakso dengan konsentrasi ekstrak 10% (b/b) tersebut hanya tahan disimpan dalam waktu 24 jam saja. Hal tersebut menandakan bahwa ekstrak daun tin dengan etanol memiliki kemampuan terbatas dalam menghambat aktivitas mikroba yang terkandung dalam bakso. Perbedaan hasil antara perlakuan perebusan dan pengadonan adalah kemampuan ekstrak daun tin dengan etanol pada kedua perlakuan tersebut dalam mempertahankan bakso dari kerusakan karena mikroba pada konsentrasi yang sama. Bakso yang direbus dengan ekstrak daun tin etanol dengan konsentrasi ekstrak sebesar 3, 5, dan 10% (b/v) hanya dapat mempertahankan keawetan selama 6 jam. Bakso perlakuan pengadonan ekstrak daun tin etanol dengan konsentrasi ekstrak 3% (b/b) mampu mempertahankan keawetan sampai 24 jam, sedangkan bakso dengan konsentrasi ekstrak 5% (b/b) mempertahankan keawetan sampai 48 jam tetapi bakso dengan konsentrasi eksrak 10% (b/b) hanya mampu mempertahankan keawetan sampai 24 jam. Secara keseluruhan, perlakuan pengadonan ekstrak etanol daun tin mampu mempertahankan keawetan bakso lebih lama dibandingkan dengan perlakuan perebusan. Perbedaan kemampuan ini disebabkan penetrasi ekstrak daun tin etanol yang lebih baik dan merata pada perlakuan pengadonan. Hal ini dikarenakan ekstrak daun tin etanol tersebar merata pada seluruh adonan bakso sehingga ekstrak tersebut mampu bekerja secara optimal dalam menghambat aktivitas mikroba yang tumbuh baik pada permukaan maupun dalam bakso. Selain itu, ekstrak daun tin etanol pada perlakuan pengadonan belum mengalami pemanasan pendahuluan saat dicampur pada adonan bakso sedangkan pada perlakuan perebusan ekstrak etanol daun tin telah mengalami pemanasan pendahuluan saat melarutkan ekstrak pada air untuk perebusan bakso pada suhu 800C. Pengaruh pemanasan pendahuluan pada ekstrak daun tin etanol adalah dapat merusak komponen aktifnya yang berperan sebagai antimikroba. Menurut Fraizer dan Westhoff (2008) jumlah populasi mikroba pada saat terbentuknya lendir adalah 3,0 x 106 sampai 3,0 x 108 koloni/ml sampel dan jumlah populasi mikroba saat terdeteksi bau kurang enak adalah 1,2 x 106 sampai 1,2 x 108 koloni/ml. Terbentuknya lendir dan terdeteksi bau kurang enak merupakan tandatanda kerusakan lanjut pada bakso. Berdasarkan hasil pengamatan penampakan fisik dan total mikroba dari bakso, tanda-tanda kerusakan pada bakso mulai terlihat saat jumlah mikroba bakso lebih dari 1,0 x 105 koloni/gram. Pengaruh ekstrak daun tin etanol terhadap keawetan bakso berdasarkan penampakan fisik pada perlakuan perebusan dan pengadonan bakso pada masing-masing konsentrasi dapat dilihat pada Gambar 10. 34 Waktu terjadinya kerusakan bakso(jam) 80 72 70 60 48 50 48 40 30 24 24 24 24 24 Perebusan Pengadonan 20 10 0 0 3 5 10 Konsentrasi ekstrak daun tin etanol (%(b/v atau b/b) Gambar 10. Hasil pengamatan fisik kerusakan bakso di suhu ruang selama waktu penyimpanan tertentu Berdasarkan Gambar 10 tersebut terlihat bahwa bakso perlakuan pengadonan ekstrak daun tin dengan etanol memiliki ketahanan terhadap kerusakan dalam waktu penyimpanan yang lebih lama dibandingkan dengan bakso perlakuan perebusan. Bakso kontrol baik pada perlakuan pengadonan maupun perebusan sudah menunjukkan tanda-tanda kerusakan seperti terbentuknya lendir dan berbau asam dalam waktu penyimpanan 24 jam. Bakso perlakuan perebusan dengan konsentrasi ekstrak daun tin etanol sebesar 3, 5, 10% (b/v) sudah menunjukkan tanda-tanda kerusakan seperti terbentuknya lendir dan berbau asam dalam waktu penyimpanan 24 jam. Dalam waktu penyimpanan selama 24 jam bakso dengan perlakuan perebusan menunjukkan tanda-tanda kerusakan yang sama dengan bakso kontrol. Namun, bakso dengan perlakuan perebusan memiliki aroma wangi daun tin dan tidak terlalu asam seperti pada bakso kontrol. Perlakuan perebusan dengan ekstrak daun tin etanol tidak mampu memperlambat terjadinya kerusakan pada bakso. Hal tersebut dikarenakan ekstrak daun tin etanol kurang menyebar di dalam bakso sehingga ekstrak tersebut tidak mampu menghambat pertumbuhan seluruh bakteri penyebab kerusakan bakso. Pada perlakuan perebusan ekstrak daun tin dengan etanol hanya berada pada permukaan bakso dan hanya sedikit yang berada di dalam bakso. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Haditama (2009) yang menyatakan bahwa metode perebusan campuran ekstrak bawang putih dan asam asetat (60:40) dengan konsentrasi sebesar 10% pada bakso merupakan metode aplikasi ekstrak yang lebih efektif dibandingkan metode perendaman karena penetrasi ekstrak ke dalam bakso dengan metode perebusan lebih tinggi dibandingkan dengan metode perendaman. Hasil bakso dengan perlakuan perebusan pada penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Hadittama (2009) dikarenakan campuran ekstrak bawang putih dengan asam asetat memiliki aktivitas penghambatan mikroba yang lebih tinggi dibandingkan dengan ektrak daun tin etanol yang diperoleh pada penelitian ini. Menurut Suharti (2004) diacu di dalam Hadittama (2009) serbuk bawang dengan konsentrasi 5% dapat menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhirium setara dengan tetrasiklin 100µg/ml. Selain itu, Anderson dan Marshall (1989) di dalam Davidson et al. (2005) menunjukkan penggunaan asam asetat konsentrasi 3% dapat mengurangi jumlah bakteri pada daging sebesar 99,60%. Bakso perlakuan pengadonan dengan konsentrasi ekstrak daun tin etanol sebesar 3% (b/b) menunjukkan tanda-tanda kerusakan seperti terbentuknya lendir dan berbau asam dalam waktu penyimpanan 48 jam sedangkan bakso dengan konsentrasi ekstrak yang lebih tinggi, yaitu sebesar 5% (b/b) baru menunjukkan tanda-tanda kerusakan dalam waktu penyimpanan 72 jam. Namun, bakso 35 dengan perlakuan ekstrak sebesar 10% (b/b) sudah menunjukkan tanda-tanda kerusakan seperti terbentuknya lendir dan berbau asam dalam waktu penyimpanan 24 jam. Pada konsentrasi 10% (b/b) ekstrak daun tin etanol memiliki penurunan kemampuan dalam memperlampat terjadinya kerusakan pada bakso. Oleh karena itu, konsentrasi optimum yang dipilih sebagai konsentrasi yang efektif memperlambat terjadinya kerusakan bakso pada perlakuan adonan adalah sebesar 5%. Berdasarkan hasil pengamatan fisik terjadinya kerusakan bakso selama waktu penyimpanan tertentu, perlakuan pengadonan ekstrak daun tin etanol pada bakso lebih efektif dibandingkan perlakuan perebusan 800 C selama 10 menit. Hasil pengamatan fisik kerusakan bakso yang disimpan pada suhu ruang berkorelasi dengan hasil total mikroba bakso. Bakso perlakuan perebusan dengan konsentrasi ekstrak etanol sebesar 3, 5, dan 10% (b/v) pada waktu penyimpanan selama 24 jam di suhu ruang, total mikrobanya sudah lebih dari 1,0 x 105 koloni/g. Selain itu, berdasarkan hasil pengamatan fisik terhadap kerusakan bakso pada waktu penyimpanan 24 jam bakso tersebut telah mengalami kerusakan fisik. Hal tersebut mengindikasikan pada waktu 24 jam bakso tersebut telah mengalami kerusakan baik secara mikrobiologi maupun fisik. Secara fisik dan mikrobiologi, bakso perlakuan pengadonan dengan konsentrasi ekstrak 3% (b/b) mengalami kerusakan pada waktu penyimpanan 48 jam sedangkan bakso dengan konsentrasi 5% (b/b) mengalami kerusakan pada waktu penyimpanan 72 jam. Bakso perlakuan pengadonan dengan konsentrasi 10% (b/b) mengalami kerusakan dengan waktu penyimpanan lebih pendek dibandingkan dengan konsentrasi ekstrak 5% (b/b), yaitu pada waktu penyimpanan 48 jam. Setiap ekstrak dari bahan alami mengalami karakteristik yang berbeda-beda dalam menghambat pertumbuhan mikroba. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak dari suatu bahan alami seharusnya semakin tinggi pula kemampuannya dalam menghambat mikroba dalam bahan pangan. Namun, hal tersebut tidak dihasilkan pada penelitian ini. Hal yang sama juga dihasilkan pada penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2010) yang melaporkan bahwa ekstrak etanol buah mengkudu bekerja tidak stabil dalam penghambatan beberapa bakteri pembusuk daging segar, ditunjukkan dengan konsentrasi yang semakin besar semakin tidak memberikan efek penghambatan yang lebih besar. Menurut Dewi (2010) kemungkinan ini disebabkan karena ekstrak yang digunakan merupakan ekstrak kasar yang kelarutan senyawa antibakterinya belum maksimal, sehingga aktivitasnya tidak maksimal pula. Penambahan ekstrak daun tin dengan pelarut etanol memungkinkan terjadinya peningkatan kandungan air maupun perubahan aw bakso karena ekstrak yang ditambahkan berupa pasta dengan kandungan air cukup tinggi. Penambahan ekstrak daun tin etanol memungkinkan juga terjadinya perubahan water holding capacity (WHC) pada bakso. WHC merupakan kemampuan protein daging mengikat atau mempertahankan air dalam bahan pangan. Jika nilai WHC pada bakso berubah, maka nilai pH juga akan berubah. Nilai WHC pada bakso perlakuan pengadonan dengan konsentrasi ekstrak etanol daun tin sebesar 10% mungkin turun sehinggaair yang terlepas dari matriks bakso semakin banyak. Hal tersebut juga dibuktikan penampakan bakso tersebut basah pada permukaannya. Oleh karena itu, nilai pH dari bakso tersebut mengalami penurunan sehingga makin mudah terserang oleh mikroba perusak pangan. Menurut Lawrie (2003) daya mengikat air daging sangat dipengaruhi oleh pH, semakin tinggi pH akhir semakin tinggi daya mengikat air atau nilai mgH2O rendah. Menurut Frazier dan Westhoff (2008), mikroorganisme penyebab kerusakan pada bahan pangan berkadar air tinggi dengan pH sekitar netral terutama adalah golongan bakteri. Menurut Frazier dan Westhoff (2008), beberapa golongan bakteri yang dapat tumbuh baik pada bahan pangan yang banyak mengandung protein, kadar air tinggi dengan pH netral antara lain golongan proteolitik, bakteri asam laktat, dan golongan termodurik, seperti Micrococcus, Bacillus, dan Brevibakteria. Kerusakan yang terdeteksi seperti terbentuknya lendir dan tekstur yang melunak menunjukkan adanya 36 aktivitas mikroba. Lendir dapat diproduksi oleh khamir dan bakteri. Pelunakan tekstur terjadi akibat aktivitas bakteri proteolitik yang tahan dengan kondisi asam. Golongan mikroba proteolitik tahan asam antara lain Micrococcus, Streptococcus faecalis var liquefaciens (termasuk bakteri laktik enterokoki yang bersifat termodurik), dan beberapa spesies Bacillus pembentuk spora dan dapat menfermentasi laktosa (Fraizer dan Westhoff 2008). 37 V. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Rendemen hasil ekstraksi daun tin metode maserasi dengan pelarut heksana sebesar 3,48% (b/b) sedangkan ekstrak dengan pelarut etanol sebesar 23,06% (b/b). Pada metode difusi sumur diameter penghambatan ekstrak daun tin etanol dengan konsentrasi 100 mg/ml atau 10% (b/v) terhadap bakteri Staphylococcus aureus adalah sebesar 8,07 mm sedangkan diameter penghambatan ekstrak daun tin heksana sebesar 3,86 mm. Diameter penghambatan yang dihasilkan ekstrak daun tin dengan etanol terhadap Pseudomonas aeruginosa adalah sebesar 5,70 mm sedangkan pada ekstrak daun tin dengan heksana sebesar 4,97 mm. Ekstrak daun tin etanol dipilih untuk penentuan nilai konsentrasi hambat minimal (MIC) dengan metode dilution broth karena memiliki rendemen ekstrak dan diameter penghambatan terhadap bakteri uji lebih tinggi dibandingkan ekstrak daun tin dengan heksana. Nilai MIC dari ekstrak daun tin dengan etanol yang mampu menurunkan 90,92% jumlah bakteri Staphylococcus aureus adalah sebesar 1% (b/v). Dalam tahap aplikasi ekstrak daun tin dengan etanol pada bakso konsentrasi ekstrak dinaikkan hingga 3, 5, dan 10 % dengan dua perlakuan, yaitu perlakuan pengadonan dan perebusan 800C. Kegiatan pengamatan terhadap bakso yang dilakukan selama 3 hari meliputi total plate count (TPC), total Staphylococcus aureus, dan pengamatan kerusakan bakso secara visual. Bakso dengan perlakuan perebusan dengan konsentrasi ekstrak daun tin etanol sebesar 3, 5, dan 10% (b/v) tahan disimpan dalam suhu ruang selama 6 jam sedangkan bakso dengan perlakuan pengadonan dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Bakso baik pada perlakuan perebusan dan pengadonan tahan disimpan pada suhu ruang dengan waktu penyimpanan yang lebih lama dibandingkan dengan bakso kontrol. Selama 6 jam penyimpanan total mikroba dari bakso kontrol sudah melebihi 1,0 x 105 koloni/g. Pada perlakuan pengadonan bakso dengan konsentrasi ekstrak daun tin etanol sebesar 3% (b/b) dan 10% (b/b) tahan disimpan pada suhu ruang selama 24 jam sedangkan bakso dengan konsentrasi ekstrak daun tin etanol sebesar 5% tahan disimpan pada suhu ruang selama 48 jam. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak daun tin etanol yang semakin tinggi tidak menjamin dapat memperpanjang umur simpan dari bakso. Selama 6 jam penyimpanan di suhu ruang bakso dengan penambahan ekstrak daun tin etanol sebesar 3, 5, maupun 10% baik dengan perlakuan perebusan maupun pengadonan menghasilkan nilai TPC yang rendah, yaitu <2,5 x 102 koloni/gram sedangkan bakso kontrol menghasilkan nilai TPC dengan ratarata 3,4 x 104 koloni/gram. Konsentrasi optimum dari ekstrak daun tin etanol yang dapat memperpanjang umur simpan bakso hingga 48 jam adalah sebesar 5% (b/b) dengan perlakuan pengadonan. B. SARAN Berdasarkan hasil penelitian, perlu dilakukan penelitian mengenai uji organoleptik bakso yang diberi ekstrak daun tin etanol untuk mengetahui gambaran penerimaan konsumen terhadap bakso. Selain itu, perlu dilakukan suatu uji untuk mengetahui residu etanol pada bakso dan analisis biaya secara rinci untuk megetahui nilai ekonomis dari bakso tersebut. Penelitian lanjutan tersebut perlu dilakukan untuk mengetahui keefektivan dari ekstrak daun tin etanol jika diaplikasikan dalam bahan pangan. 38 DAFTAR PUSTAKA Acar JF, Goldstein FW. 1986. Disk susceptibility test. Di dalam: Antibiotics in Laboratory Medicine Second Edition. Lorian V, Williams, Wilkins Baltimore(Eds). p. 27. Achmadi S. 1992. Kimia Kayu. FMIPA, IPB, Bogor. Aksoy U, Anac D, Hakerlerler HH, Du¨ zbastılar M. 1987. Nutritional Status of Fig Orchards in Germencik Region and Relationships between Investigated Plant Nutrients and Some Yield Components and Quality. Taris¸ AR-GE, Project No.006, Bornova-I˙zmir, Turkey. Aksoy U, Can HZ, Hepaksoy S, Sahin N. 2001. Fig Growing. TU¨ BI˙TAK TARP (Tu¨ rkiye Tarımsal Aras¸ tırma Projesi)Yayınları. [Badan Pengawas Obat dan Makanan RI]. 2004. Bahan Tambahan Ilegal Boraks, Formalin, dan Rhodamin B. Food Watch Sistem Pengamanan Pangan Terpadu. Baird PTC. 2000. Staphylococcus Species. Di dalam: BM Lund, Baird Parker TC, GW Goulds (Eds.). The Microbiology Safety and Quality of Food. Aspen Publ Inc, Maryland. Balcht A, Smith R. 1994. Pseudomonas aeruginosa: Infections and Treatment. Informa Health Care 83–84. [BAM]. 2001. Bacteriological Analytical Manual http://www.fda.gov [10 September 2012] Chapter 12 Staphylococcus aureus Barry AL. 1986. Procedure for testing antimicrobial agents in agar media: theoretical considerations. Di dalam: Antibiotics in Laboratory Medicine Second Edition. Lorian V, Williams, Wilkins Baltimore (Eds) p. 1. Baytop T. 1984. Therapy with Medicinal Plants in Turkey No. 3255. Publications of Istanbul University, Istanbul. Bellakhdar J, Claisse R, Fleurentin J, Younos C. 1991. Repertory of standard herbal drugs in the Moraccan pharmacopoea. J Ethnopharmacol 35: 123–143. Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2003. Biologi Edisi kelima Jilid kedua. Diterjemahkan dari: Biology Fifth Edition (Penerjemah: W. Manalu). Penerbit Erlangga, Jakarta. Carey FA , Sundberg RJ. 2007. Advance Organic Chemistry Fifth Edition. Springer, Virginia. [CDRH]. 2009. Guidance for Industry and FDA Class II Special Controls Guidance Document: AntimicrobialSusceptibilityTest(AST)Systems.http://www.fda.gov/downloads/MedicalDevic es/DeviceRegulationandGuidance/GuidanceDocuments/ucm071462.pdf[24 Januari 2013] Cha JD, Jeong MR, Jeong SI, Lee KY. 2007. Antibacterial activity of sophoraflavanone G isolated from the roots of Sophora flavescens. J Microbiol Biotechnol 17:858-64. Davidson PM, Sofos JN, Branen AL. 2005. Antimicrobial in Food Third Edition. CRC Press Taylor, Francis Group, United States Of America. 39 Davis WW, TR Stout. 1971. Disc Plate Methods of Microbiological Antibiotic Assay. Microbiology 22: 659-665. Delgado V, Paradez L.2003. Natural Colorants for Food and Neutraceutical Uses. Di dalam: Wijaya C Hanny, Mulyono Noryawati.2009. Bahan Tambahan Pangan Pewarna. IPB Press, Bogor. Dewi FK. 2010. Aktivitas antibakteri ekstrak etanol buah mengkudu (Morinda Citrifolia, Linnaeus) terhadap bakteri pembusuk daging segar [skripsi]. Fakultas Ilmu dan Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Elviera G. 1988. Pengaruh pelayuan daging sapi terhadap mutu bakso [skripsi]. Fateta, IPB, Bogor. Es M, Aksoy U, Okur B, Ongun AR, Tepecik M. 2008. Effect of calcium based fertilization on dried fig (Ficus carica L. cv. Sarılop) yield and quality. Turkey Scientia Horticulturae 118: 308– 313. Fardiaz S, Suliantri, Dewanti R. 1987. Senyawa Antimikroba. PAU, Bogor. Fardiaz S. 1992. Mokrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Fathia S. 2011. Aktivitas Antimikroba Ekstrak Jahe (Zingiber officinale Roscoe) terhadap Beberapa Bakteri Patogen. Skripsi. IPB, Bogor. Fennema OR. 1996. Food Chemistry. Marcell Dekker Inc., New York. Frazier WC, Westhoff DC. 2008. Food Microbiology 4th Edition. McGraw-Hill, Inc., USA. Garriga M et al. 1993. Bacteriocinogenic Activity of Lactobacilli from Fermenter Sausages. J. Appl. Bact. 75: 142-148. Ghisalberti EL. 1993. Detection and isolation of bioactive natural products. Di dalam: Colgate S M, Molyneux RJ (Eds). Bioactive Products: Detection, Isolation and Structural Determination. CRC Press, Boca Raton, FL. Gilani AH, Mehmood MH, Janbaz KH, Khan AU, Saeed SA. 2008. Ethnopharmacological studies on antispasmodic and antiplatelet activities of Ficus carica. J Ethnopharmacol 119:1-5. Gross J. 1991. Pigment in Vegetables: Chlorophylls and Carotenoids. Van Nostrand reinhold, New York. Guarrera P. 2003.Food medicine and minor nourishment in the folk traditions of central Italy (Marche, Abruzzo and Latinum). Fitoterapia 74: 515–544.183–185. Gutierrez J, C Barry-Ryan, P Bourke. 2008. The antimicrobial efficacy of plant essential oil combinations and interactions with food ingredients. International Journal of Food Microbiology 124 : 91–97. Hada S, Kakiuchi N, Hattori M, Namba T. 1989. Identification of antibacterial principles against Streptococcus mutans and inhibitory principles against glucosyltransferase from the seed of Areca catechu. L. Phytother Res 3:140-4. Hadittama N. 2009. Studi Penggunaan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum Linn) pada Pengawetan Bakso dengan Asam Asetat [skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 40 Halim HA. 2010. Partner handal bertanam. http://embunflorist.blogspot.com/2010/07/pesanan-pohontin.html. [14 Februari 2013]. Hamdani. 2012. Maserasi. http://catatankimia.com/catatan/maserasi.html.[ 29 desember 2012] Harborne IB. 1987. Metode Fitokimia (Penerjemah: K Radmawinata, I Soediso). Institut Teknologi Bandung, Bandung. Hasyim M, M Hamam, Syahrir A. 2006. Formalin bukan formalitas. Buletin CP. Edisi Januari (83) VII. Irget ME, Aksoy U, Okur B, Ongun AR, Tepecik M. 2008. Effect of calcium based fertilization on dried fig (Ficus carica L. cv. Sarilop) yield and quality. Scientia Horticulturae 118: 308-313. Jawetz E, J Melnick L, Adelberg EA. 2005. Microbiologi Untuk Profesi Kesehatan (Penerjemah: Huriati, Hartanto. Kedokteran EGC, Jakarta. Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology Sixth Edition. Alpen Publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland. Jeong MR, Kim HY, Cha JD. 2009. Antimicrobial activity of methanol extract from Ficus carica Leaves against oral bacteria. Journal of Bacteriology and Virology. 39(2): 97 – 102. Konyalioglu S, Saglam H, Kivcak B. 2005. α-Tocopherol, flavonoid, and phenol contents and antioxidant activity of Ficus carica leaves. Pharmaceutical Biology 43(8): 683-686. Kramlich WE, AM Pearson, FW Tauber. 1977. Processed Meat. AVI Publisher.Co.Inc., Westport, Connecticut. Krishna MG, Pallavi E, Ravi KB, Ramesh M, Venkatesh S. 2007. Hepatoprotective activity of Ficus carica Linn. leaf extract against carbon tetrachloride-induced hepatotoxicity in rats. Journal of University College of Pharmaceutical Sciences, Kakatiya University and Warangal, 2G. Pulla Reddy College of Pharmacy, Mehdipatnam, Hyderabad, India. Lawrie RA. 2003. Ilmu Daging. Penerjemah: Aminuddin Parakkasi. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Madigan M. 2005. Brock Biology of Microorganisme. PrenticeHall, London. [Menkes]. 1988. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 722/MENKES/PER/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan. http://storage.jak-stik.ac.id/.../Menkes_722 [4 Maret 2013]. [Menkes]. 1999. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1168/MENKES/PER/X/99 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 722/MENKES/PER/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan. http://www.scribd.com/doc/38679325/Permenkes-RI-perubahan [4 maret 2013] Muchtadi TR. 2008. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Musthapa I, Dwiyanti G. Aspek kimia dan biologis dari senyawa turunan flavonoid tumbuhan Ficus. Makalah pada Seminar Nasional Penelitian dan Pendidikan Kimia, 9 Oktober 2004, Bandung. 41 Mycek MJ, Richard AH, Pamela C. 1997. Farmakologi : Ulasan Bergambar (Penerjemah: Azwar Agoes, Huriawati Hartanto). Widya Medika, Jakarta. [NCCLS]. 1999. Methods for Determining Bactericidal Activity of Antimicrobial Agents, Approved Guideline, National Committee for Clinical Laboratory Standards, Wayne, PA. [NCCLS]. 2002. Methods for Dilution Antimicrobial Susceptibility Tests for Bacteria That Grow Aerobically; Approved Standard Sixth Edition. National Committee for Clinical Laboratory Standards, Wayne,PA. Nielsen SS. 2003. Food Analysis Third Edition. Kluwer Academic / Plenum Publisher, New York, USA. Parhusip, AJN. 2006. Kajian Mekanisme Antibakteri Ekstrak Andaliman (Zantoxylum acanthopodium DC) Terhadap Bakteri Patogen Pangan. Disertasi Pascasarjana, IPB, Bogor. Parish ME, Davidson PM. 1993. Methods for Evaluation. Di dalam: Antimicrobials in Foods Second Edition. PM Davidson dan AL. Branen (Eds.). Marcel Dekker Inc, New York. Pelczar MJ, Reid RD, Chan ECS. 1977. Microbiology. Di dalam: Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Gramedia, Jakarta. Pelczar MJ, Chan ECS. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi. Diterjemahkan dari: Elements of Microbiology (Penerjemah: Hadioetomo RS). UI-Press, Jakarta Pelczar MJ, Chan ECS, Pelczar MF. 2009. Dasar-dasar Mikrobiologi II. Diterjemahkan dari: Elements of Microbiology (Penerjemah: Hadioetomo RS, IMAS T, Tjotrosomo SS, Angka SL). UI-Press, Jakarta Perez C, Canal JR, Torres MD. 2003. Experimental diabetes treated with Ficus carica extract: effect on oxidative stress parameters. Acta Diabetol 40:3-8. Piddock LJ. 1990. Techniques used for determination of antimicrobial resistance and sensitivity in bacteria. J. Appl. Bacteriol. 68:307. Pige LG, Mckey MH, Greeff JM, Bessiere JM. 2002. Fig volatile compounds—a first comparative study. Phytochemistry 61: 61-71. Pseudomonas Genome Database. 2013. A database for Pseudomonas. www.pseudomonas.com [ 29 Desember 2012] Public Health Image Library. Staphylococcus aureus. http://phil.cdc.gov [29 Desember 2012] Ross JA, Kasum CM. 2002. Dietary flavonoids: bioavailability, metabolic effects, and safety. Annu Rev Nutr 22: 19-34. Ryan KJ, Ray CG (Eds). 2004. Sherris Medical Microbiology Fourth Edition. McGraw Hill. Salle AJ. 1961. Fundamental Principles of Bacteriology. Tata Mc Graw-Hill Publishing Company Ltd, New Delhi. Schunack W, Mayer K, Haake M. 1990. Senyawa Obat Edisi kedua. Wattimenna JR, Subito (Eds).UGM Press, Yogyakarta. 42 Shan B, Cai YZ, Brooks JD, Corke H. 2007. The in vitro antibacterial activity of dietary spice and medicinal herb extracts. International Journal of Food Microbiology 117: 112–119. SNI No. 01-3818. 1995. Bakso Daging. Badan Standarisasi Nasional. SNI No. 7388. 2009. Batas cemaran mikroba dalam bahan pangan.Badan Standarisasi Nasional. Sugiastuti S. 2002. Kajian Aktivitas Antibakteri dan Antiokasidan Ekstrak Daun Sirih. (Piper betle L.) pada Daging Sapi Giling. Disertasi. Program Pasca Sarjana IPB, Bogor. Suharti S. 2004. Kajian Antibakteri Temulawak, Jahe, dan Bawang Putih terhadap Bakteri Salmonella typhimurium serta Pengaruh Bawang Putih terhadap Performans dan Respon Imun Ayam Pedaging. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sunarlim R. 1992. Karakteristik Mutu Bakso Daging Sapi dan Pengaruh Penambahan Natrium Klorida dan Natrium Tripolifosfat terhadap Perbaikan Mutu. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tarwotjo I, S Hartini, S Soekirman, Sumartono. 1971. Komposisi Tiga Jenis Bakso di Jakarta. Akademi Gizi Jakarta, Jakarta. Thrupp LD. 1986. Susceptibility testing of antibiotics in liquid media. Di dalam: Antibiotics in Laboratory Medicine Second Edition. Lorian V, Williams, Wilkins Baltimore (Eds). p. 93. Vaya J, Mahmood S. 2006. Flavonoid content in leaf extracts of the fig (Ficus carica L.), carob (Ceratonia siliqua L.) and pistachio (Pistacia lentiscus L.). Biofactors 102(28):169-75. Wang G, Wang H, Song Y, Jia C,Wang Z, Xu H. Studies Hada S, Kakiuchi N, Hattori M, Namba T. 1989. Identification of antibacterial principles against Streptococcus mutans and inhibitory principles against glucosyltransferase from the seed of Areca catechu L. Phytother Res 3:140-4. Wibowo S. 2006. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Penebar Swadaya, Jakarta. Widyaningsih TD, Murtini ES. 2006. Alternatif Pengganti Formalin pada Produk Pangan. Trubus Agrisarana, Bogor. Wilson NRP. 1981. Meat and Meat Products: Factor Affecting Quality Control. Applied Science Publisher Ltd., England. Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta 43 LAMPIRAN 44 D 1 2 1 2 10-6 72 132 29 40 10-7 10 4 2 6 10-8 0 0 0 0 3,7 x 107 1 2 1 2 Heksana Etanol U Jenis ekstak 54.73 39.89 47.41 47.40 W kosong (g) Rata-rata Sd 60.57 45.58 Sd Rata-rata 48.32 48.23 W kosong + isi (g) 5.84 5.69 0.91 0.83 W ekstrak( W( kosong + isi) - W kosong) 23,06 0,18 23,36 22,76 3,48 0,0512 Rendemen ekstrak (g/25 g serbuk daun tin kering * 100%) 3,64 3,32 Jumlah koloni/ml 1,0 x 108 Lampiran 2. Hasil ekstraksi daun tin metode maserasi dengan berbagai pelarut Pseudomonas aeruginosa Bakteri uji Staphylococcus aures Lampiran 1. Jumlah bakteri awal Hijau pekat Hijau pekat Warna ekstrak 45 DMSO (kontrol negatif) Kontrol positif (amoxcilin 2%) Etanol Heksana Pelarut 7,78 0,59 0,00 Rata-rata sd 9,58 0,61 0,00 9,08 8,02 2 5,70 0,13 9,94 8,07 0,00 7,36 sd 1 0,18 5,60 5,79 4,97 5,10 4,84 Rata-rata 3,86 0,31 8,07 8,07 sd 1 2 3,64 Rata-rata 4,08 2 Zona hambat terhadap bakteri uji (mm) Staphylococcus Pseudomonas aerus aeruginosa 1 Ulangan Lampiran 3. Zona hambat ekstrak daun tin terhadap bakteri uji 46 3 2 Konsentrasi ekstraksi etanol (%) 1 9,4 x 102 5,6 x 103 2 0 jam Pengadonan 0 6 jam 0 jam 24 jam 6 jam Waktu Pengamatan Metode aplikasi ekstrak(Perlakuan) Konsentrasi ekstrak etanol daun tin(%) 2 1 U TBUD 2 TBUD TBUD TBUD 2 1 1 TBUD 1 TBUD TBUD TBUD 2 1 2 TBUD 1 10-1 1,4 x 102 Rata-rata 6,7 x 103 1 D 5,7 x 102 2 Rata-rata 1,8 x 10 1,5 x 104 1 2 5,0 x 10 2 5,1 x 10 7,2 x 102 3 TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD TBUD 10-2 Jumlah koloni yang tumbuh (24 jam) 8,6 x 103 Jumlah koloni yg tumbuh (t=0jam) Rata-rata 4,2 x 103 2 1 Ulangan Lampiran 5. Hasil Total Plate Count (TPC) pada bakso Staphylococcus aureus Bakteri uji TBUD 40 TBUD 138 TBUD TBUD TBUD 14 20 10-3 214 TBUD TBUD 214 238 0 4 10-4 Pengenceran 98.12 98,32 95.96 97,91 96,20 90,92 95,71 90,20 91,63 Penurunan jumlah bakteri (%) Lampiran 4. Nilai penghambatan ekstrak daun tin etanol terhadap Staphylococcus aureus 87 30 0 1 10-5 10-6 2,3 x 106 8,9 x 104 5,8 x 106 2,3 x 106 1,8 x 104 Jumlah koloni (koloni/gram) 47 Perebusan Pengadonan 0 3 24 jam 6 jam 0 jam 48 jam 24 jam 6 jam 0 jam 24 jam 6 jam 0 jam 24 jam 6 jam 0 jam 24 jam 2 1 2 1 0 2 1 1 0 0 0 12 2 2 10 TBUD 0 4 2 1 1 2 TBUD 0 0 1 2 3 1 1 2 6 0 0 1 TBUD 1 TBUD 10 0 28 0 0 0 0 0 TBUD 0 TBUD 0 0 0 0 0 0 0 0 0 TBUD TBUD 35 6 2 0 4 247 101 TBUD 0 2 TBUD TBUD 0 TBUD 1 2 TBUD TBUD 1 TBUD TBUD TBUD TBUD 1 1 2 0 22 2 110 26 1 TBUD 8 98 TBUD 0 3 TBUD 40 TBUD 1 TBUD TBUD 238 2 1 TBUD 2 TBUD TBUD 72 TBUD TBUD TBUD TBUD 2 1 TBUD TBUD 1 TBUD TBUD 1 1 2 2 54 55 42 49 152 179 3,8 x 104 <2,5 x 102 <2,5 x102 > 2,5 x 106 2,8 x 103 <2,5 x 102 <2,5 x 102 5,4 x 107 1,8 x 105 2,4 x 103 4,6 x 107 1,0 x 106 5,6 x 104 1,6 x 108 48 5 3 Pengadonan Perebusan 6 jam 0 jam 72 jam 48 jam 24 jam 6 jam 0 jam 24 jam 6 jam 0 jam 24 jam 6 jam 0 jam 48 jam 2 1 2 1 35 88 62 2 1 2 1 3 TBUD 2 0 0 2 99 TBUD 2 1 1 2 95 12 7 14 1 1 1 2 30 1 1 2 3 0 2 TBUD 8 TBUD 10 0 0 0 0 1 0 TBUD 0 TBUD 0 TBUD TBUD 2 0 0 TBUD 0 0 0 TBUD 0 TBUD 0 0 0 0 TBUD TBUD 0 TBUD 3 4 0 0 0 TBUD 0 TBUD 2 0 0 0 TBUD TBUD 38 1 23 22 6 0 0 2 1 2 2 1 TBUD 0 0 2 1 6 2 1 1 TBUD 0 2 2 1 0 TBUD TBUD 1 0 1 1 2 2 108 187 134 281 0 <2,5 x 102 <2,5 x 102 >2,5 x 106 9,3 x 103 7,5 x 102 3,2 x 102 <2,5 x 102 1,5 x 107 <2,5 x 102 <2,5 x 102 1,3 x 107 <2,5 x 102 <2,5 x 102 >2,5 x 106 49 Perebusan Pengadonan 5 10 0 jam 48 jam 24 jam 6 jam 0 jam 24 jam 6 jam 0 jam 24 jam 6 jam 0 jam 72 jam 48 jam 24 jam 2 1 2 1 4 2 1 2 TBUD 2 1 2 6 TBUD 2 1 4 2 28 TBUD 7 2 1 1 TBUD 1 5 2 3 2 1 2 3 1 TBUD TBUD 3 3 2 1 1 2 3 1 TBUD TBUD 72 0 57 0 1 TBUD 2 TBUD 0 1 2 1 TBUD TBUD 3 0 1 0 TBUD 2 1 109 TBUD 2 1 6 5 1 105 35 35 3 1 1 2 2 0 TBUD TBUD 13 0 16 1 1 TBUD 1 TBUD 0 0 1 2 TBUD TBUD 1 0 1 0 TBUD 13 TBUD 8 0 0 1 459 365 2 1 0 46 2 36 58 45 TBUD 1 TBUD 2 0 0 < 2,5 x 102 >2,5 x 106 6,4 x 103 2,8 x 101 < 2,5 x 102 4,1 x 106 <2,5 x 102 <2,5 x 102 5,2 x 106 <2,5 x 102 <2,5 x 102 >2,5 x 106 1,1 x 104 3,5 x 102 50 Perebusan 24 jam 6 jam 0 jam 24 jam 6 jam 0 jam 48 jam 24 jam 6 jam 2 1 26 2 1 TBUD 2 TBUD TBUD 1 2 8 20 2 2 1 2 44 1 TBUD TBUD 0 TBUD 2 1 1 2 13 1 2 33 28 6 0 1 1 2 2 TBUD TBUD 1 1 7 11 TBUD TBUD 45 2 48 3 TBUD 6 TBUD 0 0 0 2 TBUD TBUD 1 3 1 1 TBUD TBUD 2 1 1 0 TBUD 0 TBUD 0 1 0 0 245 236 0 0 1 5 82 93 372 2 364 1 2,4 x 106 4,6 x 103 4,4 x 102 8,7 x 105 <2,5 x 102 <2,5 x 102 >2,5 x 106 3,0 x 102 2,8 x 101 51 278.636 Total 6 3 3 3 2 2 Kontrol positif Ekstrak daun tin dengan etanol 1 1.000 The error term is Mean Square(Error) = .105. Based on observed means. F 2 .325 8.0700 7.6900 884.683 884.683 Subset 3.8600 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Sig. 2 N Ekstrak daun tin dengan heksana Perlakuan Duncan Zona_penghambatan .105 92.774 92.774 Mean Square a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998) Post Hoc Tests Homogeneous Subset .315 278.321 Perlakuan Error 278.321a Type III Sum of Squares df Model Source Dependent Variable:Zona_penghambatan Tests of Between-Subjects Effects Sig. Lampiran 6. Hasil analisis ragam dan uji Duncan difusi sumur Staphylococcus aureus .000 .000 52 295.570 6 Total 2 2 Ekstrak daun tin dengan etanol Kontrol positif Sig. 2 N Ekstrak daun tin dengan heksana Perlakuan Duncan Zona_penghambatan Subset .149 5.6950 F 699.984 699.984 1.000 9.5100 2 .141 98.383 4.9700 1 a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .997) Post Hoc Tests Perlakuan Homogeneous Subsets .422 3 295.148 3 Perlakuan Error 295.148a 3 Model 98.383 Type III Sum of Squares df Mean Square Source Dependent Variable:Zona_penghambatan Tests of Between-Subjects Effects .000 .000 Sig. Lampiran 7. Hasil analisis ragam dan uji Duncan difusi sumur Pseudomonas aeruginosa 53