MILITER DAN KEKUATAN POLITIK: STUDI TENTANG KETERLIBATAN TNI DALAM PERPOLITIKAN NASIONAL ERA 1945-1998 Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos) Oleh: Hadi Nafis Kamil NIM: 206033201080 Pembimbing Dr. Sirajudin Aly,MA. NIP :150318684 PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/2009 M MILITER DAN KEKUATAN POLITIK: STUDI TENTANG KETERLIBATAN TNI DALAM PERPOLITIKAN NASIONAL ERA 1945-1998 Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos) Oleh: Hadi Nafis Kamil NIM: 206033201080 Pembimbing Dr. Sirajudin Aly,MA. NIP :150318684 PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/2009 M LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan in telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ciputat, 23 Mei 2009 Hadi Nafis Kamil KATA PENGANTAR Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang penulis panjatkan kehadirat Allah Swt, shalawat serta salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Rasulullah Saw. keluarga, sahabat, dan pengikutnya. Amin. Atas segala karunia-Nya, penulis masih diberi kesempatan dalam upaya menyelesaikan skripsi ini dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebagai manusia biasa, penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini, masih banyak kekurangan dan kelemahan. Namun berkat bantuan dan dorongan dari semua pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Militer Dan Kekuatan Politik: Studi Tentang Keterlibatan TNI Dalam Perpolitikan Nasional Era 1945-1998.” Sebagai sebuah karya, rasanya skripsi ini akan tidak memiliki makna apaapa apabila di dalamnya tidak merajut untaian terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penyelesaian penulisan skripsi ini. Adapun ucapan terimakasih saya haturkan sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils dan Ibu Dra. Wiwi Sajaroh, M. Ag selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A dan Drs. Rifqi Muchtar, M.A selaku Ketua dan Sekretaris Program Non Reguler Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Bapak Dr. Sirajudin Aly, M.A dan keluarga selaku Dosen Pembimbing atas semua dedikasi dan perhatiannya dalam memberikan masukan dan arahan selama penulis menyelesaikan skripsi ini. 6. Ibu Haniah Hanafie, Bapak Agus Nugraha dan seluruh dosen serta staff pengajar pada Program Studi Pemikiran Politik Islam (PPI) yang telah sangat banyak mentransformasikan ilmu dan intelektualitas selama penulis duduk di bangku perkuliahan. 7. Seluruh jajaran, staff, dan petugas di Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Perpustakaan Miriam Budiardjo (Fakultas FISIP UI), dan Perpustakaan Pusat Sejarah TNI, yang banyak memberikan kemudahan penulis dalam mengakses seluruh literatur yang tersedia. 8. Sebesar-besarnya kebanggaan ini penulis persembahkan kepada kedua orangtua, Ayahanda dan Ibunda , Kak dan , mereka semua tak pernah lelah memotivasi penulis untuk menjadi lebih baik. Dan mereka semua layak mendapat balasan surga dari Allah swt. 9. Kepada seluruh teman-teman kelas PPI Angkatan 2004 Extensi, Asep, Yusuf, Surono, dan lain-lain. Keyakinan dan kesungguhan merekalah yang menjadi sumber inspirasi penulis. 10. Rekan-rekan Akhirnya kesempurnaan hanyalah milik-Nya, dan kita sebagai manusia sangat tidak layak untuk mengakui kesempurnaan itu. Begitu pula skripsi ini, yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Penulis berharap dari ketidaksempurnaan itu, akan hadir kebaikan untuk semua. Ciputat, 19 Februari 2009 Hadi Nafis Kamil DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ..................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................... iv BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................ .................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah ........................................................... ............................................................................................ 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... .......................................................................................... 13 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. .......................................................................................... 13 D. Studi Kepustakaan.................................................................... .......................................................................................... 14 E. Metodologi Penulisan............................................................... .......................................................................................... 16 F. Sistematika Penulisan ........................................................... .......................................................................................... 17 BAB II. LATAR BELAKANG KEMUNCULAN MILITER DI INDONESIA ........................ ........................................................ A. Definisi Militer ......................................................................... 19 19 B. Berdirinya BAB III. TNI Di Indonesia .................................................. .............................................. 21 C. Pola Hubungan Sipil Dan Militer Di Indonesia ...................... 28 D. Fungsi Militer Dalam Negara ................................................ 44 MILITER SEBAGAI KEKUATAN POLITIK ..... ................... 50 A. Definisi Kekuatan Politik ......................................................... .......................................................................................... 50 B. Penggolongan Kekuatan Kekuatan Politik .............................. .......................................................................................... 53 C. Kekuatan Politik Militer ........................................................ .......................................................................................... 55 D. Keterlibatan Militer Dalam Politik ........................................ .......................................................................................... 66 E. Militer Profesional ................................................................. .......................................................................................... 69 BAB IV. KEKUATAN POLITIK MILITER PADA MASA ORDE LAMA DAN ORDE BARU..................................................................... ................................................................................................. 75 A. Kekuatan Politik Militer Pada Masa Orde Lama..................... .......................................................................................... 75 1. Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959)........................ ...................................................................................... 75 2. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) .......................... ...................................................................................... 84 3. Masa Pemberontakan PKI (Gerakan 30 September)........... ...................................................................................... 92 B. Kekuatan Politik Militer Pada Masa Orde Baru...................... 100 1. Dwi Fungsi ABRI................................................... ............ 101 BAB V. PENUTUP ..................................................................................... ................... 117 A. Kesimpulan ........................................................................... 117 B. Saran-Saran ........................................................................... 119 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... . 120 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Militer sebagai sebuah organisasi pertahanan, mutlak di perlukan oleh setiap negara yang ingin aman dari ancaman-ancaman yang dapat mengganggu eksistensi negara tersebut. Urgensi akan organisasi militer tersebut bagi negara yang baru merdeka dari kolonialisme adalah untuk mempertahankannya dari ancaman kembalinya bangsa kolonial. Sebagai kalangan yang merasa ikut berperan dalam proses pencapaian kemerdekaan di Indonesia, militer memang tidak dapat dipungkiri, walaupun bentuknya belum seperti saat ini. Sehingga tuntutan untuk ikut terlibat dalam perpolitikanpun harus dipertimbangkan. Beberapa manuver yang dilakukan militer untuk ke tujuan itupun terekam dalam sejarah, di antaranya pada “Peristiwa 17 Oktober 1952”1, dan yang tidak dapat dilupakan dan juga merupakan awal dari sejarah dominasi militer bangsa ini adalah pada peristiwa ”Gerakan 30 September 19652 sampai Supersemar”3. Dimana militer mengambil alih tandu kekuasaan demi keselamatan negara. Geliat militer Indonesia dalam gelanggang politik tidak terjadi secara alami, tetapi merupakan konsekuensi sejarah sejak lahirnya tentara Indonesia. Mentalitas umum tentara Indonesia sebelum maupun setelah 1 Peristiwa 17 Oktober 1952 dibahas dalam Skripsi ini pada Bab IV h. 76. Gerakan 30 September 1965 dibahas dalam Skripsi ini pada Bab IV h. 91. 3 Arbi Sanit, Partai, Pemilu dan Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 239. 2 kemerdekaan adalah peran langsungnya dalam perpolitikan. Harold Crouch mencatat, “dalam masa revolusi tahun 1945 sampai 1949, tentara terlibat di dalam perjuangan kemerdekaan di mana tindakan politik dan militer saling menjalin tak terpisahkan”.4 Apabila dalam keadaan mendesak di mana kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa terancam, panglima TNI dapat menggunakan kekuatan TNI sebagai langkah awal mencegah kerugian negara lebih besar. Padahal, krisis dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah krisis keadilan dan kemakmuran yang kian jauh, sehingga militer bukan solusinya. Meski dalam konteks Indonesia, militer pada dasarnya merupakan budaya politik yang kuat dalam kehidupan masyarakat. Terdapat pula pendapat yang menolak keras peran sosial politik ABRI/TNI dikarenakan oleh dua hal,5 Pertama, peran sosial politik militer terlahir dalam keadaan perang atau keadaan darurat, sehingga untuk masa kini di mana kondisi darurat perang telah dilewati maka secara otomatis peran sosial politik akan hilang dengan sendirinya. Artinya meminjam istilah dalam kaidah “ushul fiqh” peran sosial politik di masa perang adalah sebuah ruqshoh (keringanan) yang masih bisa ditoleransi. Kedua, karena panduan politik yang diajukan dalam melihat peran sosial politik adalah konsep civilian supremacy. Dalam konsep ini fungsi sosial politik militer 4 Crouch, Militer dan Politik Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), h. 15. 5 A. Dinajani S.H. Mahdi, Peran Sosial Politik ABRI dalam Era Reformasi: Kertas Karya Perorangan (Taskap) Kursus Singkat Angkatan VII Lemhanas 1998 (Jakarta: Dept. Pertahanan Keamanan RI dan Lemhanas, 1998), h. 44-45. akan berhadap-hadapan dengan demokrasi dan demokratisasi. Karena diyakini budaya militer akan menghambat laju dari demokrasi yang tengah diupayakan. Bila kita ingin membenahi negara dan keluar dari krisis multidimensi, harus dilakukan demiliterisasi total dalam kehidupan politik dan bisnis. Apa yang diberitakan koran, maraknya penyelundupan dan perdagangan barang ilegal, karena ada backing (beking), dan biasanya oknum militer, karena desakan kebutuhan yang tak bisa ditutup oleh pendapatannya yang rendah. Ini menunjukkan betapa tidak mudahnya membenahi kehidupan militer menjadi profesional. Munculnya militer dipanggung politik, sosial dan ekonomi negaranegara berkembang, berpangkal dari lemahnya pihak sipil untuk mengendalikan unsur-unsur kehidupan masyarakat. Politisi sipil yang dengan relatif cepat dihadapkan kepada segala masalah seperti penyusunan suatu sistem politik yang sama sekali lepas dari kekuasaan asing, mengorganisisr masyarakat yang relatif tergesa-gesa berhadapan dengan tuntutan modernisasi, masih mencoba model-model yang mungkin dipergunakan untuk melayani tuntutan-tuntutan masyarakatnya sendiri.6 Kekuatan militer dalam dunia politik di Indonesia, sebenarnya mempunyai akar sejarah yang panjang dan tidak bisa dihapus begitu saja, bahkan akan menjadi sesuatu yang musykil. Pada era reformasi, saat partaipartai politik bermunculan, ternyata partai-partai politik mengundang militer 6 Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik, dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 49. masuk di dalamnya. Dianggapnya partai politik akan menjadi kuat bila ada militernya, apalagi yang sudah berpangkat jenderal. Akibatnya, hampir tidak ada satu partai pun yang di dalamnya tidak ada militernya. Peran militer dalam kehidupan politik masih tetap dominan, meski kepala negara orang sipil, apalagi jika para militer di partai-partai politik "bermain mata", maka militer tetap akan mengendalikan kehidupan politik di suatu negara. Munculnya satgas-satgas (satuan tugas) di partai-partai politik, sebenarnya dapat ditengarai, budaya militer tetap besar dan mengakar kuat dalam kehidupan politik kita. Bahkan, satgas-satgas itu bisa menjadi dan bertindak lebih militer daripada militer sendiri. Penampakan lahiriahnya saja menunjukkan sikap over acting militernya, dengan memakai baju, topi, sepatu bak seorang militer sejati. Jika kita ingin mengakhiri peran politik militer dan menjadikannya profesional, maka budaya militer yang telah berkembang kuat di masyarakat, harus dirombak lebih dulu. Budaya militer tidak hanya pada uniformitas berpakaian. Yang mendasar adalah cara berpikir militer yang ada pada politisi kita, yang suka memaksakan kehendak dan pendapat sendiri dengan cara mengerahkan massa guna mendukung sikap "pokoknya" dari para pemimpin partai politik. Bahkan, militer seolah menjadi simbol kepahlawanan bangsa, sehingga taman makam pahlawan seakan hanya haknya militer. Merebaknya budaya militer dalam kehidupan partai politik, akan merusak kehidupan partai politik, dan menjadi pemicu munculnya komunalisme, di mana partai politik selalu mengandalkan pengerahan massa guna melakukan tekanan politik. Komunalisme cenderung destruktif, dan melemahkan kekuatan akal budi untuk menyelesaikan masalah dengan caracara cerdas, komunikatif dan mencerahkan. Komunalisme dapat berkembang sebagai bentuk kepanikan politik yang biasanya berujung pada tindakan kekerasan tak terkendali. Dalam dunia bisnis, peran militer harus diperkecil, apalagi untuk menjadi kekuatan beking dunia usaha dan bisnis, yang akan memunculkan premanisme bisnis dan menyuburkan perdagangan barang ilegal yang merusak kehidupan masyarakat. Pengurangan peran militer ini hanya mungkin diwujudkan, jika ada kekuatan hukum yang aktual dalam praktik hidup masyarakat. Jika hukum masih disubordinir kekuasaan dan kepentingan politik partai, maka militer akan menjadi tulang punggungnya. Kolaborasi penguasa, pengusaha, dengan militer akan memperparah dan menghambat proses demokratisasi dan penegakan hukum yang bertumpu pada law enforcement. Dalam laporan Human Rights Watch bertajuk Too High A Price: The Human Rights Cost of Indonesian Military Economic Activities, fenomena militer sebagai businessmen dilihat terjadi sebagian karena minimnya anggaran negara untuk militer.7 Faktor ini pun sering dijadikan pembenaran bagi setiap aktivitas ekonomi, legal ataupun ilegal, yang dilakukan oleh militer. Kendati demikian, laporan yang sama juga membongkar mitos 7 Lisa Misol, “Kuasa Militer Indonesia: Antara Bisnis, Politik Dan Kekerasan,” Jakarta Post, 14 Maret, 2006. minimnya anggaran untuk militer, karena bukti-bukti aktual yang ada justru berkata sebaliknya. Fakta bahwa militer merupakan kekuatan yang menentukan dalam jagat perpolitikan kita adalah realitas yang tidak bisa ditolak siapa pun. Buktinya kejatuhan Presiden Soekarno karena berseberangan dengan militer, sehingga jenderal Soeharto menggantikannya, dan jenderal Soeharto pun lalu jatuh, karena militer menarik dukungan darinya. Begitu juga dengan kejatuhan presiden KH Abdurrahman Wahid. Bahkan, fenomena dukungan Megawati terhadap pencalonan Gubernur DKI Sutiyoso tidak bisa dipisahkan dari upaya melakukan konspirasi politik dengan militer guna mendukung dan memantapkan kekuasaannya. Tanpa dukungan militer, maka kekuasaan Megawati akan jatuh, apalagi di saat-saat seperti sekarang, banyak kelompok masyarakat menggugat kekuasaannya sebagai akibat kebijakannya yang tidak populis, seperti menaikkan harga BBM, tarif dasar listrik (TDL).8 Karena itu, yang menjadi persoalan adalah masih kuatnya budaya militer dalam jagat perpolitikan bangsa, yang ditandai kecenderungan menguatnya penyelesaian masalah dengan mengandalkan otot ketimbang nalar. Cara-cara pemaksaan kehendak secara sepihak, baik pemerintah maupun kelompok-kelompok masyarakat yang sedang terlibat konflik, dengan mengerahkan massanya dan tidak sabar dengan proses dialektika 8 M. Sadli, Bila Kapal Mempunyai Dua Nakhoda: Esai-Esai Ekonomi Politik Masa Transisi, (Jakarta: Alvabet, 2002), h. 129. akal budi untuk mencari jalan keluarnya adalah pertanda kuatnya budaya militer dalam kehidupan politik kita. Cara-cara premanisme yang hanya mengandalkan kekerasan dan kekuatan fisik tidak hanya subur dalam kehidupan masyarakat, tetapi juga dalam menjalankan pemerintahan, di mana pemerintah, di pusat maupun daerah, dalam usahanya meningkatkan pendapatannya, melakukan cara-cara preman, hanya mengandalkan kekuatan kekuasaan, yang sama sekali tidak cerdas dan mencari gampangnya, yaitu dengan menaikkan tarif dan menarik pungutan. Padahal, pemerintah seharusnya kreatif, berjiwa entrepreneur untuk mengelola kekayaan sumber daya alam yang dikuasainya. Jika tidak, bernapas pun suatu saat akan dikenai pungutan oleh pemerintah, jika sumber pungutan lain sudah dikuras habis. Demokrasi pada hakikatnya bertumpu pada kekuatan akal budi guna mengatasi konflik dan pluralitas, yang sudah menjadi kodrat hidup masyarakat di mana pun dan kapan pun. Konflik dan pluralitas adalah realitas fundamental kehidupan masyarakat yang tidak mungkin berakhir, dan demokrasi adalah cara paling sehat untuk mengelola dan menyelesaikannya, dengan bertumpu proses dialektika akal budi. Jika kekuatan akal budi menjadi landasan kehidupan politik rendah dan jatuh, kekuatan otot yang mendasari budaya militer akan menguat. Demokrasi hanya mungkin dengan demiliterisasi budaya politik bangsa. Pada dasarnya RUU TNI patut dikritisi, terutama dalam kaitan dengan kecenderungan mempersubur budaya militer yang ada dalam bawah sadar pemikiran politik bangsa, yang sudah mulai letih dengan aneka konflik kekerasan yang tidak segera dapat diselesaikan. Akibatnya, militer dianggap sebagai satu-satunya solusi mengatasi krisis multidimensi yang melanda kehidupan bangsa. Padahal, kembalinya kekuasaan politik militer sebenarnya berlawanan secara fundamental dengan proses demokratisasi. Dalam konteks ini, gonta-ganti kepala pemerintahan atau presiden bukan sesuatu yang negatif, justru akan menjadi political exercise bagi pendewasaan demokrasi, dan siapa saja yang jadi presiden harus melakukan kontrak kerja dengan rakyatnya untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Jika dalam praktiknya tidak mampu mewujudkannya, ia harus bersedia turun atau diturunkan di tengah jalan, sepanjang law enforcement tetap terjaga dengan kian meningkatnya disiplin para aparat penegak hukum dan militer melepaskan diri dari kepentingan kekuasaan politik dan pemerintahan. Karena itu, harus dilakukan perubahan konstitusi secara berkesinambungan, sesuai tuntutan dan tantangan perubahan. Dan, reformasi tidak akan dirusak akibat gonta-ganti presiden di tengah jalan, bahkan akan memperjelas arah untuk menegakkan keadilan dan kemakmuran bagi kehidupan seluruh rakyat, dan akan memacu lahirnya pemerintahan yang makin bersih dan efektif. Di dalam suatu perubahan, apalagi suatu perubahan paradigmatis, selalu terdapat suatu kegelisahan yang muncul karena ketegangan antara kehendak yang maksimal dan ketersediaan energi politik untuk mewujudkan kehendak itu. Langkah maju-mundur lalu tampak sebagai bentuk luar dari kegelisahan. Dan di dalam kegelisahan itulah potensi set back selalu membayangi proses politik. sebab, kekuatan status quo selalu menunggu di tikungan kegelisahan, apalagi bila kehendak perubahan ini menyangkut suatu fondasi yang selama ini menjadi tumpuan politik status quo, yaitu kedudukan tentara di dalam politik.9 Pada akhir tahun 1950-an ilmuwan politik barat menanggapi bahwa peranan militer yang memiliki peran bidang pemerintahan demokrasi barat akan memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan politik di negara-negara Dunia Ketiga10 pada umumnya. Banyak negara-negara dunia mencoba mengupayakan sistem demokrasi dengan berlandaskan pada model yang terdapat di barat, senantiasa akhirnya melahirkan rezim otorian dimana pihak militer turut serta bermain didalamnya. Dalam kasus Indonesia, hal ini bisa dijawab karena secara formal, ideologi sebagai konsepsi kenegaraan yang dipedomani militer Indonesia untuk mengarahkan posisi dan perannya dalam kedudukan kenegaraan ialah doktrin Tri Ubaya Cakti dan Catur Darma Eka Paksi. Di samping itu, karena militer juga berperan dalam menentukan pola kenegaraan serta cara mengisi kemerdekaan, maka konsep kenegaraan integralistik yang dipedomani dan dipertahankan militer juga bisa disebut sebagai bagian dari ideologi militer. 9 Rocky Gerung, “Tentara, Politik, dan Perubahan,” dalam Lukas Luwarso dan Imran Hasibuan, Indonesia di Tengah Transisi (Jakarta: Propatria, 2000), h.178. 10 Dunia Ketiga (Third World): 1) Kelompok negara-negara yang belum maju, misal: negara-negara Non-Blok; 2) Kelompok minoritas dari suatu negara atau masyarakat. Dalam Save M. Dogan, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1997), h. 191. Di dalam doktrin pertahanan negara dan perjuangan militer, dikenal dua konsep utama yang secara langsung akan melibatkan militer dalam proses demokratisasi, yakni konsepsi tentang perang dan konsepsi tentang musuh. Doktrin militer di Indonesia mengajarkan konsep "perang rakyat semesta" dimana atas perintah pimpinan militer, seluruh rakyat harus ikut berperang. Implikasi dari pelaksanaan doktrin ini adalah11: 1. Militer bisa menentukan arah kebijakan politik yang bukan saja harus dipatuhi oleh kalangan prajurit militer, tetapi juga oleh seluruh komponen masyarakat sipil. 2. Karena mencakup semua komponen bangsa maka otomatis menutup peluang bagi pemimpin sipil untuk mengambil kebijakan-kebijakan politik yang memberikan kebebasan pada rakyat untuk menyalurkan aspirasi sesuai dengan bisikan hati nuraninya karena yang ada dan berhak disalurkan hanyalah aspirasi pimpinan militer. Hal ini sangat erat kaitannya dengan konsepsi militer mengenai "musuh". Dalam doktrin militer Indonesia terdapat rumusan "ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan" (AGHT) yang merupakan strategi yang lahir dari rumusan fungsi hankam ABRI yang menyatakan bahwa tugas militer adalah "memelihara dan memperkuat ketahanan, kewaspadaan, dan kesiapsiagaan nasional untuk secara defensif aktif mempertahankan dan mengamankan kedaulatan serta integritas negara, wilayah, dan bangsa Indonesia.".12 Lewat 11 Bilveer Singh, Dwi Fungsi ABRI: Asal Usul, Aktualisasi, dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan, Robert Hariono Imam (penerjemah), (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 56. 12 Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, h. 52. konsep AGHT-nya militer bisa dengan mudah merumuskan siapa "kawan" dan "lawan". Dengan begitu akan dengan mudah membungkam setiap aspirasi yang bernada kritis baik terhadap pemerintah maupun pimpinan militer. Apalagi dalam konteks Indonesia, antara kepala pemerintahan dan panglima tertinggi militer berada dalam satu lembaga kepresidenan. Jadi, sempurnalah otoritas dan kewenangan menentukan "lawan" dan "musuh" itu dalam satu tangan: presiden. Di samping itu, konsepsi tentang negara integralistik yang menyatukan rakyat dengan negara berdampak pada subordinasi seluruh kepentingan dan aspirasi rakyat pada negara yang sudah diidentifikasi dengan kekuasaan militer. Dalam konsep ini sulit dibedakan mana militer yang merupakan bagian dari negara dengan militer yang dikuasai negara. Kosepsi kenegaraan seperti itu akan membenarkan militer untuk berperan atas nama negara dan rakyat sekaligus. Di sinilah letak akutnya hubungan antara peran militer dengan otoritarianisme negara dan dengan demikian berarti demokrasi yang sejati otomatis akan menjauh dari peran sosial politik militer. Setelah melalui pergulatan mengenai peristiwa pembentukan organisasi militer di Indonesia, yang telah berganti-ganti nama, yang tentunya mempengaruhi terhadap sifat serta orientasi militer. Ketika bernama TNI, nasionalisme yang tercermin dari nama itu menandakan anggota militer tidak terbatas pada satu etnis atau suku tertentu, tetapi seluruh warga negara Indonesia dipersilahkan menjadi anggota militer. Peran politik yang diperoleh militer dengan susah payah mereka peroleh, melalui berbagai peristiwa yang terekam dalam sejarah bangsa ini, menandakan bahwa militer sebagai salah satu unsur yang mutlak dalam suatu negara keberadaannya tidak dapat dipandang sebelah mata. Fakta bahwa militer merupakan kekuatan yang menentukan dalam jagat perpolitikan kita adalah realitas yang tidak bisa ditolak siapa pun. Buktinya kejatuhan Presiden Soekarno karena berseberangan dengan militer, sehingga jenderal Soeharto menggantikannya, dan jenderal Soeharto pun lalu jatuh, karena militer menarik dukungan kepadanya. Apabila kita melihat proses di atas secara lebih jernih, persoalan peranan dan keterlibatan TNI dalam konteks dunia politik pada saat itu adalah awal mula keberagaman proses politik di Indonesia dimana militer menjadi ornament politik yang diperhitungkan. Melalui pertimbanganpertimbangan yang telah diungkapkan, penulis menganggap betapa pentingnya dilakukan penelitian atas keterlibatan politik TNI di era orde lama. Penelitian skripsi ini akan menyoroti proses peranan TNI menjadi sebuah kekuatan politik sekaligus mencoba melihat seberapa besar pengaruhnya terhadap stabilitas negara Indonesia. Untuk itu skripsi ini mengambil judul “ Militer Dan Kekuatan Politik: Studi Tentang Keterlibatan TNI Dalam Perpolitikan Nasional Era 1945-1998”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Untuk lebih memfokuskan pembahasan tentang Militer Dan Kekuatan Politik: Studi Tentang Keterlibatan TNI Dalam Perpolitikan Nasional (19451998), maka pembatasan masalah dalam tulisan ini memiliki titik tekan seperti seberapa besar keterlibatan politik militer pada masa Orde Lama (1950-1965) dan masa Orde Baru (1965-1998). Periodesasi dikarenakan pada saat itulah awal mula militer mulai berkecimpung dalam dunia politik. Yaitu penyelesaian-penyelesaian konflik yang melibatkan militer baik dalam masalah sosial maupun politik dalam pentas Nasional. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas, maka permasalahan penelitan ini dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana konsep militer sebagai kekuatan politik? b. Bagaimana keterlibatan dan peranannya terhadap proses politik di Indonesia era Orde Lama dan Orde Baru? C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian yang dilakukan ini adalah : a. Mempelajari konsep-konsep yang berkembang mengenai militer dan politik. b. Menganalisa keterlibatan militer Indonesia era orde lama dan orde baru. dalam percaturan politik 2. Manfaat Penulisan Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan dan menambah khazanah dan kepustakaan relasi militer dan politik. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan kontribusi akademis dan ilmiah mengenai dunia politik di lingkungan jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Civitas Academica Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan masyarakat umum. D. Studi Kepustakaan Kajian mengenai militer dan politik, khususnya mengenai sepak terjang TNI di pentas politik nasional bukanlah hal yang baru dalam khazanah kepustakaan politik Indonesia. Jika kita telusuri kepustakaan mengenai militer di Indonesia, telah banyak penulis asing maupun lokal yang mengupas masalah tersebut, baik dalam bentuk buku, artikel, maupun makalah. Namun demikian, kajian komprehensif yang mengupas secara menyeluruh mengenai perkembangan reformasi internal TNI –khususnya dalam lingkup UIN Syarif Hidayatullah– masih belum banyak dilakukan. Di bawah ini akan penulis sebutkan beberapa literatur (baik dalam bentuk buku atau skripsi) yang pernah membahas perihal perkembangan militer Indonesia dengan reformasi internalnya. 1. Abdoel Fatah dengan judul buku Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004, adalah judul disertasi S-3 di Universitas Kebangsaan Malaysia yang kemudian diterbitkan menjadi buku oleh LKIS pada tahun 2005. Buku ini dalam membicarakan sepak terjang TNI dalam peta perpolitikan Indonesia hingga reformasi internal yang dilakukan TNI dapat dikatakan lengkap. Namun saya menilai, kekurangan buku ini adalah dalam hal keseimbangan informasi, data dan fakta mengenai banyak peristiwa yang dibahas. Karena buku ini terlalu banyak melihat dari sudut pandang kalangan internal militer. Hal ini dapat dimaklumi mengingat penulis dari buku ini adalah seorang anggota TNI Angkatan Laut. Dan dapat dipastikan kesan subjektif sangat kental dalam pembahasan buku ini. 2. Untuk judul skripsi yang pernah mengulas permasalahan militer Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah skripsi yang ditulis oleh Ahmad Syauki dengan judul Konsep Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Menurut A.H. Nasution dan ditulis pada tahun 2006. Dalam skripsi ini lebih banyak dibicarakan mengenai hubungan sipil-militer khususnya dalam pandangan A.H. Nasution. Yang menjadi titik tekan dalam skripsi ini adalah mengenai fakta sejarah yang ada, di mana militer sejak dahulu kala dapat memainkan peranan penting dalam setiap perebutan kekuasaan hingga Orde Baru. Dan Nasution adalah pelaku sejarah yang turut mengotaki terbentuknya kekuatan politik militer di Indonesia. Menurut saya skripsi ini belum menyinggung perihal reformasi internal TNI. 3. Skripsi kedua yang saya ketahui dan menjadikan militer sebagai latar belakang permasalahan utama adalah Saipul Umam dengan judul skripsi Militer dan Politik: Analisis Terhadap Peran Politik Militer Dalam Birokrasi Orde Baru pada tahun 2006. Skripsi ini menjadikan salah satu cabang yang dikuasai lembaga TNI secara penuh pada era Orba, yakni sistem birokrasi. Keterlibatan militer dalam politik yang sudah terlalu melebihi ambang kewajaran dapat dilihat dalam skripsi ini. Fokus utama Saipul adalah birokasi Orde Baru yang sudah dirasuki tangan-tangan militer dan bagaimana dampak terhadap bangsa Indonesia. Sama halnya seperti skripsi yang pertama disebutkan, skripsi ini belum menyinggung persoalan aktual dari perkembangan TNI yakni tentang reformasi internal TNI. Walaupun sudah cukup banyak literatur yang berbicara mengenai politik militer, tetapi dalam studi yang ditulis dalam lingkup UIN perihal kekuatan politik militer pada masa orde lama khususnya masih sangat terbatas. Dalam kerangka itulah penulis berusaha menempatkan penelitian skripsi yang dilakukan ini. Penulis meyakini bahwa persoalan yang akan diteliti dalam skripsi ini merupakan masalah yang aktual, relevan, dan belum secara khusus dikaji oleh penulis dalam lingkup UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. E. Metodologi Penulisan Pembahasan tentang Peran Militer Sebagai Kekuatan Politik Pada Masa Orde Lama menggunakan metode kualitatif atau kepustakaan (library research), pengumpulan datanya adalah melalui dokumentasi, yaitu pengumpulan data dilakukan dengan mencari literatur dalam bentuk buku, surat kabar, jurnal, majalah dan sebagainya yang bertemakan seputar kekuatan politik dan politik militer era orde lama dan orde baru. Adapun metode pembahasan yang digunakan, yaitu deskriptif-analisis. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh namanya, pembahasan deskriptif ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai data-data dalam rangka menguji hipotesa atau menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah (pokok masalah).13 Sedangkan analisis secara harfiah berarti uraian, namun dalam hal ini analisis berarti suatu bahasan dengan cara mengolah data, memberikan interpretasi terhadap data-data yang terkumpul dan tersusun. Jadi metode deskriptif-analisis adalah suatu pembahasan yang bertujuan untuk membuat gambaran terhadap data-data yang telah terkumpul dan tersusun dengan cara memberikan inpretasi terhadap data tersebut.14 Untuk pedoman penulisan skripsi, Penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta tahun 2007. F. Sistematika Penulisan Sistematika dalam tulisan akan terdiri dari beberapa bab. Bab pertama, berisikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penilitian, methodologi penelitian, serta sistematika penulisan. Bab dua akan mengupas tentang sejarah berdirinya militer di Indonesia, yang berisi tentang latar belakang berdirinya militer, fungsi serta definisi militer, urgensinya pembentukan milter di Indonesia. Bab tiga, mencoba mengeksplorasi kajian teori miiliter sebagai kekuatan politik dan 13 Sunardi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 18 Masri Singarinbun dan Sofian Effendi (ed), Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1989), h. 63. 14 keterlibatannya. Bab empat, mencoba menguraikan tentang peran kekuatan politik militer di pentas nasional. Bab ini akan mengulas serta melacak gerakan-gerakan militer, keterlibatan-keterlibatan militer dalam menyelesaikan konflik yang terjadi pada masa orde lama dan orde baru. Sedang Bab lima yang merupakan bab terakhir dalam tulisan ini adalah penutup sebagai konklusi dai keseluruhan analisa skripsi ini, yang berisikan kesimpulan. BAB II LATAR BELAKANG KEMUNCULAN MILITER DI INDONESIA A. Definisi Militer Di dalam bukunya Amos Perlmutter menyebutkan bahwa organisasi militer adalah sebuah organisasi yang paling sering melayani kepentingan umum tanpa menyertakan orang-orang yang menjadi sasaran usaha-usaha organisasi itu. Profesi militer disebut sebagai suatu profesi sukarela karena setiap individu bebas memilih suatu pekerjaan di dalamnya, namun ia juga bersifat memaksa karena para anggotanya tidak bebas untuk membentuk suatu perkumpulan sukarela melainkan terbatas kepada suatu hirarki birokrasi.15 Lebih lanjut dapat pula diidentifikasi bahwa dalam diri para prajurit militer terdapat tiga ciri khas sekaligus, yaitu koorporatis (dalam hal ekskulusifitas), birokratis (dalam hal hirarki), dan profesional (dalam hal semangat misi).16 Militer adalah organisasi kekerasan fisik yang sah untuk mengamankan negara atau bangsa dari ancaman luar negeri maupun dalam negeri. Dalam hal ini, militer berfungsi sebagai alat negara yang menjunjung tinggi supremasi sipil.17 Ketika kita hendak membahas hubungan sipil-militer, ada baiknya kita mendefinisikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan terminologi sipil dan militer, yang sudah umum diketahui. Banyak pengamat militer memberikan batasan sipil secara beragam, dalam buku Pertahanan Negara dan Postur TNI Ideal, sipil didefinisikan sebagai masyarakat umum, lembaga pemerintahan, swasta, para politisi, dan negarawan. Sipil dibatasi hanya pada masyarakat politik yang diwakili partai politik. Menurut buku ini masyarakat politik adalah sebuah area di mana masyarakat bernegara 15 Amos Perlmutter, Militer dan Politik (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), h. 3. Perlmutter, Militer dan Politik, h. 4. 17 http://ahmadfathulbari.multiply.com/journal/item/40/Catatan_Kuliah_Peranan_Militer_da lam_Politik_ 16 secara khusus mengatur dirinya sendiri dalam konstes politik guna memperoleh fungsi kontrol atas kekuasaan pemerintah dan aparat negara.18 Sedangkan dalam mendefinisikan militer, Amos perlmutter19 mengatakan bahwa ketika ia menyebut militer, maka yang dimaksud adalah: 1. kebanyakan perwira tinggi senior (di atas tingkat kolonel); 2. perwira yang berorientasi pada lembaga (pada tiap rank); 3. perwira profesional (tiap rank); 4. perwira yang rank, status, kedudukan, dan orientasinya menghubungkan mereka dengan sektor sipil dalam masalah garis kebijaksanaan politik. Melalui definisi di atas, Perlmutter membatasi konsep militer hanya pada semua perwira yang duduk dalam jabatan yang menuntut kecakapan politik, aspirasi, dan memiliki orientasi yang bersifat politik, serta tidak memandang kepangkatan, apakah perwira tinggi, menengah, atau pertama. Sedangkan Cohen mendefinisikan militer sebagai personel militer, lembaga militer, atau hanya para perwira senior. Dan Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo yang dikutip Connie mendefinisikan militer sebagai organisasi kekuatan bersenjata yang bertugas menjaga kedaulatan negara.20 Kecenderungan tentara untuk campur tangan dalam politik dan dalam pembuatan keputusan dikaitkan dengan peranan-peranan dan orientasi koorporasi dan birokrasinya. Sebagai sebuah korporasi organisasi militer 18 Connie Rahakundini Bakrie, Pertahanan Negara Dan Postur TNI Ideal (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 41. 19 Amos Perlmutter, Militer dan Politik (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000),h. 12. 20 Bakrie, Pertahanan Negara, h. 41. berusaha melaksanakan pengawasan intern terhadap profesinya dan melindunginya dari pengawasan politik dari luar, ini dimaksudkan untuk meningkatkan derajat otonomi organisasi militer. Kaum militer berusaha mencapai otonomi yang maksimal, dengan konsekuen melancarkan pengaruh politik, baik melalui lembaga-lembaga dan rezim politik. Sebagai suatu profesi birokrasi, tentara berkecimpung dalam politik hingga mampu menjadi partner vital bagi politisi sipil dan birokrat lain di dalam perumusan dan penerapan kebijaksanaan keamanan nasional.21 B. Berdirinya TNI Di Indonesia Terdapat semacam kenyataan bahwa TNI adalah tentara yang lahir di tengah krisis revolusi. Fakta tersebut oleh banyak kalangan dikatakan telah menjadi sebuah identitas sesungguhnya dari tentara Indonesia, maka tidaklah terlalu mengherankan jika pada perkembangan selanjutnya watak Angkatan Bersenjata Indonesia, sekalipun asal-usulnya revolusioner, sangat dipengaruhi oleh ciri-ciri pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang. 22 Akar pembentukan militer di Indonesia bukanlah hal yang disengaja, kita harus menyadari bahwa militer Indonesia adalah tentara yang muncul secara spontan. Tentara bukanlah dibentuk oleh pemerintah, tidak juga oleh partai politik maupun pemerintahan kolonial. Artinya tentara membentuk 21 Perlmutter, Militer dan Politik, h. 4 Peter Britton, Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia Perspektif TradisiTradisi Jawa dan Barat (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 37. 22 dirinya sendiri, karena elit politik ragu-ragu untuk membentuk tentara pada hari-hari awal setelah proklamasi kemerdekaan.23 Militer yang membentuk dirinya sendiri ini mengumpulkan anggotanya dari berbagai organisasi, sebagian diantaranya telah terlibat politik, pada hari-hari disekitar proklamasi kemerdekaan. Pada dasarnya, terdapat empat sumber rekruitmen militer pada saat itu, yaitu: 1. PETA (Tentara Sukarela Pembela Tanah Air), PETA merupakan pasukan pembantu yang terdiri dari orang-orang Indonesia yang dibentuk oleh Jepang guna melawan kekuatan Sekutu.24 2. KNIL (Koninklijke Nederlandshe Indische Leger), KNIL didirikan sebagai tanggapan langsung terhadap perang Jawa. Selama bagian akhir abad ke-19 dan awal ke-20 KNIL menjadi suatu kekuatan utama dalam menegakkan ketenteraman di Jawa dan penaklukan di daerah-daerah Hindia Belanda lainnya. KNIL adalah tentara yang dibentuk oleh penjajah Belanda untuk kepentingannya.25 3. Laskar, Laskar merupakan para pemuda yang mendapat pelatihan militer dari Jepang selama masa pendudukan.26 4. Orang-orang yang tidak berasal dari ketiga kelompok yang telah disebutkan diatas. 23 Said Salim, Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini, dan Kelak, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), h. 30. 24 Britton, Profesionalisme, h. 38. 25 Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004 (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 45. 26 Salim, Militer Indonesia dan Politik, h. 31. Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, para tentara eks-KNIL dan PETA merupakan dua sumber utama bagi korps perwira Republik Indonesia.27 Idealnya pembentukan sebuah kekuatan bersenjata disaat-saat awal kemerdekaan dipandang sangat penting. Karena, angkatan bersenjata merupakan alat vital yang menentukan tegak rubuhnya serta timbul tenggelamnya negara. Tetapi hal ini tidak dilakukan pada saat-saat awal Indonesia merdeka, bahkan oleh A.H. Nasution hal ini dianggap sebagai suatu kesalahan dan kekeliruan yang akan menjadi sumber pelbagai kesulitan-kesulitan negara di kemudian hari. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pemerintahan baru tidak segera membentuk tentara kebangsaan. Pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ke-2 tanggal 19 Agustus 1945 diputuskan antara lain untuk membentuk Kabinet Presidensil, terdiri dari dua belas departemen. Salah satu diantaranya ialah Departemen Keamanan Rakyat. Dalam sidang pada tanggal 19 Agustus 1945 itu, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan untuk membentuk sebuah tentara kebangsaan.28 Namun keputusan itu diralat kembali dalam sidang PPKI ke-3 tanggal 23 Agustus 1945, dan pemerintah hanya mengumumkan pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR). 27 Mabes ABRI, Sukardi S. Hadi Handojo, ed., 30 tahun Angkatan bersenjata republik Indonesia (Jakarta: Pusjarah ABRI, 1976), hal. 17. 28 Soebijono, dkk., Dwi Fungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), h. 10. Baru setelah dua bulan Indonesia merdeka dibentuklah organisasi ketentaraan yang bernama “Tentara Keamanan Rakyat” (TKR) yang dikepalai pertama kali oleh Mayor Urip Sumohardjo, dan Supriadi sebagai menteri keamanan rakyat. Pembentukan TKR ini segera diikuti oleh perintah mobilisasi TKR yang dikeluarkan oleh KNIP, sebagai organ yang membawahi TKR, pada tanggal 9 oktober, yaitu untuk lebih menyatukan bekas-bekas tentara PETA, KNIL, Heiho, Laskar-laskar, serta barisanbarisan rakyat yang lainnya.29 Dalam masa itu, barisan-barisan pemuda bersenjata yang bersifat setengah organisasi militer dan setengah organisasi politik (laskar-laskar), tetap diperbolehkan berdiri tanpa diperintah untuk melebur diri ke dalam TKR. Karena itu bebarapa lama kemudian, yaitu tanggal 6 Desember 1945, untuk menghilangkan kesimpang siuran, Markas Besar TKR mengeluarkan sebuah Maklumat yang antara lain menyatakan, bahwa disamping tentara resmi (TKR) diperbolehkan juga tetap adanya laskar-laskar sebab hak dan kewajiban mempertahankan negara bukanlah monopoli tentara. 30 Keberadaan TKR ternyata masih menyimpan rasa kecewa dikalangan orang-orang yang pernah mendapatkan pendidikan atau latihan kemiliteran (seperti KNIL atau PETA), karena TKR yang masih bersifat kerakyatan atau masih mengutamakan sekali keamanan di dalam negeri. Mereka yang merasa kecewa mengatakan bahwa Indonesia lebih membutuhkan suatu alat dan organisasi pertahanan nasional untuk menghadapi sekutu, terutama 29 Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, (Jakarta: Gajah Mada University Press, 1982), h. 24. 30 Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 25. menghadapi Belanda yang berusaha menjajah Indonesia kembali. Jadi menurut mereka TKR seharusnya tidak hanya mengutamakan segi “keamanan” (polisionil), tetapi tentara yang benar-benar bersifat “pertahanan” (militer).31 Atas prakarsa dari Markas Tinggi TKR (yang dibentuk pada November 1945), pada tanggal 1 Januari 1946, pemerintah mengeluarkan “Penetapan Pemerintah No. 2/S.D.1946” yang mengubah Tentara Keamanan Rakyat menjadi “Tentara Keselamatan Rakyat”,32 dan Kementrian Keamanan Rakyat menjadi Kementrian Pertahanan. Dua puluh hari kemudian, keluarlah “Maklumat Pemerintah 26 Januari 1946” yang mengganti nama Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Di dalam Maklumat itu antara lain disebutkan, bahwa TRI bersifat kebangsaan (nasional) dan merupakan satu-satunya organisasi militer di Indonesia. Akan tetapi di dalam maklumat tersebut pemerintah tidak menegaskan dan tidak menentukan tentang bagaimana status dan kedudukan organisasi bersenjata di luar TRI, seperti Laskar-laskar dan Barisan Rakyat, yang sejak bulan Desember 1945 diakui hak hidupnya oleh Markas Tinggi TKR.33 Ditetapkan bahwa TRI adalah satu-satunya organisasi militer di Negara Republik Indonesia dan akan disusun atas dasar militer internasional.34 Pada tanggal 19 Juli 1946 terbentuk Angkatan Laut Republik Indonesia , yang disingkat dengan ALRI. Kemudian, berdasarkan “Penetapan 31 Muhaimin, Perkembangan Milite, h. 25. A. Hasnan Habib, “Hubungan Sipil Militer Pasca Orde baru dan Prospeknya di Masa Depan.” Progresif, Vol II No. 1, (Jakarta Political Science Forum FISIP UI, 2002), h. 15. 33 Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 17. 34 Soebijono, Dwi Fungsi ABRI, h. 14. 32 Pemerintah No. 6/S.D. 1946” tanggal 9 April, terbentuk TRI bagian udara yang dikenal dengan nama “Angkatan Udara Republik Indonesia”, disingkat AURI, dan mengangkat R. Suriadi Surjadarma menjadi kepala stafnya. Dan untuk menciptakan adanya kesatuan pimpinan militer, pada tanggal 26 Juni 1946, pemerintah (Presiden dengan Menteri Pertahanan) mengangkat Jendral R. Sudirman menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia yang meliputi tentara darat, laut, dan udara.35 Pada tanggal 5 Mei 1947, Presiden mengeluarkan Dekrit guna membentuk suatu panitia yang dipimpin oleh Presiden sendiri. Panitia negara ini kemudian bernama “Panitia Pembentukan Organisasi Tentara Nasional Indonesia” dengan beranggotakan sebanyak 21 orang dari pemimpin pasukan-pasukan bersenjata, termasuk di dalamnya pemimpinpemimpin beberapa laskar yang paling berpengaruh kuat. Setelah beberapa lama bekerja dengan beberapa kesulitannya, pada tanggal 7 Juni 1947, keluar sebuah penetapan Presiden yang membentuk satu organisasi tentara, bernama “Tentara Nasional Indonesia” disingkat TNI,36 sebagai penyempurnaan dari TRI. Di dalam penetapan itu antara lain diputuskan, bahwa mulai tanggal 3 Juni 1947, dengan resmi berdiri Tentara Nasional Indonesia, dan segenap Angkatan Perang yang ada serta anggota laskar yang bersenjata, baik yang sudah atau tidak bergabung dalam biro perjuangan di masukkan serentak ke dalam Tentara Nasional Indonesia.37 35 Muhaimin, Perkembangan Militer., h. 27. Fatah, Demiliterisasi Tentara, h. 51. 37 Muhaimin, Perkembangan Militer., h. 28. 36 Dari perkembangan yang berlangsung sejak poklamasi dan sejak terbentuknya BKR hingga terbentuknya TNI, dapatlah disimpulkan bahwa TNI lahir dan berdiri dari tiga elemen pokok atau unsur pokok yang masingmasing memiliki karakteristik yang berlainan dan bahkan dengan sifat yang heterogen, yaitu bekas tentara KNIL, PETA, dan Laskar. Pada masa perang kemerdekaan di tahun 1945-1949 kepemimpinan serta komando militer Indonesia sangat carut-marut dan simpang siur. Salah satunya dikarenakan berlakunya sistem parlementer sejak dikeluarkannya “Maklumat Wakil Presiden No. X, maka jabatan Presiden sebagai panglima Tertinggi sebenarnya tidak berwenang lagi; tetapi prakteknya panglima tertinggi itu tetap dianggap sebagai atasannya langsung oleh Panglima Besar. Menteri Pertahanan yang seharusnya bertanggung jawab dalam segala hal atas pimpinan militer, pada hakekatnya hanya menjadi pimpinan administratif belaka; sedangkan de facto atas pimpinan militer berada pada tangan Panglima Besar APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) yang merangkap sebagai Panglima Angkatan Darat, beserta Staf Umumnya dan gabungan kepala stafnya. Ada lagi lembaga yang bernama Dewan Pertahanan Nasional yang dipimpin oleh Perdana Menteri yang dapat disamakan sebagai pemegang kekuasaan militer. disamping itu adanya Dewan Siasat Militer yang diketuai oleh Presiden sendiri menambah terpencarnya kepemimpinan militer Indonesia di mana duduk panglima tiap angkatan. 38 38 Muhaimin, Perkembangan Militer., h. 29. Pada masa 10 tahun pertama Indonesia merdeka persoalan tentang militer selalu timbul, terutama mengenai peran politik yang ingin dimiliki oleh militer, karena mereka merasa juga perlu ikut berperan aktif dalam perpolitikan bangsa ini. Tetapi, pola hubungan sipil-militer pada masa-masa ini kurang harmonis, asumsi mengenai peran militer dalam perpolitikan harus dibatasi, berkembang berbarengan dengan keinginan pihak militer yang menginginkan berperan dalam perpolitikan. C. Pola Hubungan Sipil Dan Militer Di Indonesia Hubungan sipil militer merupakan tema dan agenda utama yang dibicarakan oleh para ilmuan politik dan pegiat demokrasi. Tentu saja dengan tujuan untuk menemukan sebuah konsep yang komprehensif yang bisa membuat relasi sipil-militer berjalan secara sehat, sehingga demokratisasi bisa benar-benar tumbuh dan berkembang dengan sehat pula. Di Indonesia, upaya ini dilakukan pertama-tama dengan penghapusan dwifungsi atau reposisi TNI. Tentang profesionalisme militer, Huntington menggunakan analogi yang sederhana. Jika tanggung jawab pokok dari seorang dokter adalah kepada pasiennya, dan seorang pengacara kepada kliennya, maka tanggung jawab pokok seorang perwira militer adalah kepada negara. Seperti dokter dan pengacara, perwira hanya mengurusi satu segmen dari berbagai kegiatan kliennya. Ia hanya menjelaskan kepada kliennya mengenai kebutuhan dalam bidang ini, menyarankan hal-hal yang dapat memenuhi segala kebutuhan klien tersebut, dan setelah kliennya tersebut mengambil keputusan, membantu klien tersebut menerapkan itu semua. Pada batasan tertentu, perilaku seorang perwira militer terhadap negara dituntun oleh suatu kode yang tersurat dalam hukum yang setara dengan norma-norma etika profesional para dokter dan pengacara. Sebagian besar kode etik perwira diungkapkan dalam kebiasaan, tradisi, dan semangat profesi yang berkesinambungan. Huntington menambahkan bahwa profesionalisme tidak hanya dimaknai sebagai kemampuan, skill, dan expertise seseorang atau lembaga terhadap pekerjaan yang menjadi bidangnya saja, tetapi juga memiliki ciri-ciri khusus lain. Salah satu hal yang bisa disebut sebagai ciri khusus di sini adalah responsibility.39 Begitu pula dalam dunia militer, profesionalitas tidak hanya dimaknai sebagai kemahiran atau kemampuan dalam menggunakan senjata, tetapi tanggung jawab akan tugasnya sebagai lembaga yang bertugas dalam masalah pertahanan negara. Dalam pandangan Huntington, profesionalitas militer tidak hanya dalam konteks mahir dalam menggunakan senjata dan dilatih dalam tugasnya saja, tetapi juga harus dapat menggunakan kemampuan analisis, pandangan luas, imajinasi dan pertimbangan. Karena itu, masih dalam pandangan Huntington, militer profesional mempunyai tiga karakter atau ciri40, yaitu: 39 Samuel P. Huntington, The Soldier and the State: The Theory and Politics CivilMilitary Relation, (Cambridge: Harvard University Press, 2003), h. 13. 40 Huntington, The Soldier and the State, h. 15-17. 1) Keahlian sebagai karakter utama yang karena keahlian ini profesi militer kian menjadi spesifik serta perlu pengetahuan dan keterampilan. Militer memerlukan pengetahuan yang mendalam untuk mengorganisasi, merencanakan, dan mengarahkan aktivitasnya, baik dalam kondisi perang maupun damai. 2) Militer profesional mempunyai tanggung jawab sosial yang khusus. Selain mempunyai nilai-nilai moral yang harus terpisah sama sekali dari insentif ekonomi, perwira militer mempunyai tanggung jawab kepada negara. Ini berbeda dengan paradigma yang lazim sebelumnya bahwa militer seakan-akan ”milik pribadi” komandan dan harus setia kepadanya, yang dikenal dengan sebutan ”disiplin mati”. Sebaliknya, pada profesionalisme, perwira militer berhak mengontrol dan mengoreksi komandannya, jika komandan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan rasional. 3) Militer profesional memiliki karakter korporasi yang melahirkan rasa esprit de corps yang kuat. Ketiga ciri militer profesional tersebut melahirkan apa yang disebut oleh Huntington dengan the military mind, yang menjadi dasar bagi hubungan militer dan negara. Huntington melihat bahwa intervensi politik militer terjadi sehubungan dengan adanya instabilitas politik dan kemunduran yang berasal dari politisasi kekuatan-kekuatan sosial serta tidak adanya partai-partai politik yang melembaga. Ia juga melihat bahwa prajurit profesional klasik lahir apabila suatu koalisi sipil memperoleh supremasi terhadap militer. Militer dengan pengetahuan dan keahlian profesionalnya menjadi pelindung tunggal negara. Sebab itu, di negara-negara yang telah maju, militer berada di bawah supremasi sipil. Sistem politik yang telah mapan, pendapatan per kapita yang tinggi, tingkat industrialisasi yang tinggi, ditambah dengan kesadaran politik dan hukum rakyat yang tinggi telah mengurangi kemungkinan terjadinya intervensi militer. Hal ini bukan berarti bahwa di negara-negara maju tidak ada keikutsertaan militer dalam politik. Militer tetap ikut berpolitik dalam proses pembuatan kebijakan politik, seperti pembuatan kebijakan politik luar negeri dan pertahanan. Militer di negara-negara maju juga ikut dalam mengatasi masalahmasalah sosial ekonomi yang dihadapi oleh negara-negara maju, seperti aktivitas civic missions untuk menanggulangi bencana alam atau bencana lainnya. Namun demikian, kadar keikutsertaan militer dalam politik itu amatlah rendah. Keikutsertaannya dalam bidang-bidang nonmiliter hanyalah menjalankan fungsi bantuan yang bersifat sementara dan dalam kondisi darurat. Akhirnya, militer adalah sangat diperlukan dalam sebuah negara. Negara kuat jika mempunyai kekuatan militer yang hebat dan bisa diandalkan. Tetapi kekuatan militer ini berada dalam frame work sebagai alat negara yang profesional yang tidak turut campur dalam masalahmasalah politik dan menyerahkan sepenuhnya menjadi otoritas sipil. Intervensi militer ke wilayah politik akan menghambat proses demokratisasi dan bahkan membunuh demokrasi itu sendiri.41 Masalah yang menyangkut hubungan sipil dan militer adalah soal yang muncul sebagai akibat lahirnya profesi perwira sebagai keahlian tersendiri. Fenomena ini mulai tampil pada awal abad ke-19 di Eropa. Ketika profesi perwira masih merupakan monopoli para kerabat istana, maka tidak ada masalah antara pimpinan politik dengan para perwira sebagai pengelola kekerasan (manage of violence). Tetapi ketika posisi perwira terbuka untuk siapa saja yang memenuhi syarat untuk itu, dan pimpinan tentara terpisah dari pimpinan politik, maka timbullah soal di sekitar hubungan antara pimpinan politik dan pimpinan tentara.42 Secara empiris, dalam hubungan sipil-militer ada beberapa pola yang dapat diamati dari sistem pemerintahan suatu negara. Negara-negara liberal demokratis, biasanya menganut sistem supremasi sipil. Sedangkan negaranegara rezim pemerintahan otoriter, biasanya cenderung menggunakan pola supremasi militer. Pola lainnya adalah gabungan dari kedua pola di atas, yakni tidak supremasi sipil atau militer (pola campuran) di mana kedua pihak sepakat dalam kesetaraan dan kesehjateraan untuk menjalankan pemerintahan. Hubungan sipil-militer dapat juga diamati melalui misi atau peran militer yang dijalankan, apakah misinya dalam menghadapi ancaman terhadap kedaulatan negara berorientasi ke dalam atau keluar atau keduaduanya. Hubungan sipil-militer dalam masa transisi menuju demokrasi juga 41 42 Huntington, The Soldier and the State, h. 18. Huntington, The Soldier and the State, h. 19. dapat dilihat dari dua dimensi penting, yaitu kontestasi militer dan hak-hak istimewa kelembagaan militer.43 Namun sekali lagi dapat dikatakan bahwa pemikiran tentang hubungan sipil-militer dengan segala varian-variannya yang ada, memang memiliki perbedaan-perbedaan, sesuai dengan rezim pemerintahannya atau sistem politik yang dianut oleh suatu negara. Jika pola yang berkembang adalah supremasi sipil, maka pada akhirnya dalam model seperti ini akan memberikan dampak pada peran militer yang hanya sebagai alat negara, yang mengurusi masalah pertahanan ataupun melebur menjadi sub-ordinasi pemerintahan sipil. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, dimana supremasi militer yang lebih menonjol, maka peran militer tidak hanya berfungsi sebagai alat negara, akan tetapi juga menjadi alat kekuasaan. Pada pola ini, kekuatan militer akan diarahkan untuk mendominasi semua peran yang ada, termasuk pula mengambil alih peran-peran yang seharusnya merupakan ranah orang-orang sipil. Pada umumnya di negara-negara barat, terdapat model hubungan sipilmiliter yang menekankan “supremasi sipil atas militer” (civilian supremacy upon the military) atau militer adalah sub-ordinat dari pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum.44 “supremasi sipil atas militer” merupakan konsep yang melekat dalam pengertian demokrasi di mana sebuah masyarakat yang demokratis hanya akan mungkin tumbuh 43 Bakrie, Pertahanan Negara. Dewi Fortuna Anwar. Dkk, Gus Dur Versus Militer: Studi tentang Hubungan SipilMiliter di Era Transisi. (Jakarta: PT. Grasindo, 2002), h. 19. 44 jika setiap komponen bangsa, terutama militer karena monopoli formalnya atas penggunaan kekerasan, tunduk pada institusi kenegaraan yang dihasilkan secara demokratis beserta kebijakan dan keputusan yang dikeluarkannya. Model ini juga banyak dianut oleh negara-negara sedang berkembang yang menerapkan sistem demokrasi liberal. Konsep tentang “kontrol sipil” lahir “dalam ketakutan abad 18 dan kebencian terhadap tentara sebagai suatu ancaman terhadap kebebasankebebasan rakyat”.45 Teori-teori yang membahas soal hubungan sipil-militer ini pada umumnya bertolak dari pengalaman negara-negara demokrasi yang salah satu cirinya adalah secara tegas menempatkan tentara di bawah kendali kepemimpinan sipil. Secara khusus mengenai hubungan sipil-militer di negara industri yang demokratis, Perlmutter yang mengutip Huntington menyebut dengan istilah objective civilian control (pengendalian sipil objektif) dan subjective civilian control (pengendalian sipil subjektif).46 Dalam penjelasannya, karakteristik yang terkandung dalam pengertian objective civilian control (pengendalian sipil objektif) adalah: 1. Profesionalisme militer yang tinggi dan pengakuan dari pejabat akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka; 2. Sub-ordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan militer; 45 Bilveer Singh, Dwi Fungsi ABRI: Asal Usul, Aktualisasi, dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 2. 46 Perlmutter, Militer dan Politik, h. 15. 3. Pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tesebut atas kewenangan profesional dan otonomi bagi militer; 4. Akibatnya, minimalisasi intervensi militer dalam politik dan minimalisasi politik dalam militer.47 Dapat pula dijelaskan bahwa dalam model kontrol sipil objektif ini biasanya dilakukan dengan cara militarizing the military.48 Hal ini dapat dicapai dengan memperbesar profesionalisme kelompok militer di satu sisi, dan pada sisi yang lain kekuasaan militer harus mengalami pengurangan yang sedemikian rupa. Namun yang perlu dipertegas dalam hal ini adalah bahwa kekuasaan militer tersebut tidak serta-merta hilang sama sekali, melainkan tetap diberikan tetapi dalam bentuk kekuasaan yang terbatas. Kekuasaan yang diberikan hanya berfungsi untuk digunakan dalam hal-hal yang terkait dengan permasalahan profesinya. Apabila ada hal yang berada di luar kepentingan profesinya, dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk meningkatkan profesionalisme militer, maka secara otomatis kekuasaan militer harus dipangkas. Sebaliknya, menurut Salim Said model subjective civilian control adalah keadaan ketika salah satu dari sejumlah kekuatan berkompetisi dalam masyarakat berhasil mengontrol tentara dan menggunakannya untuk tujuan dan kepentingan politik mereka.49 Lebih lanjut bahwa pengendalian sipil 47 Anwar, Gus Dur Versus Militer, h. 20. P. Anthonius Sitepu, “Militer dan Politik: Suatu Tinjauan terhadap Peranan Militer dalam Konfigurasi Politik Indonesia Kontemporer,” dalam POLITEIA Jurnal Ilmu Politik (Medan: Departemen Ilmu Politik dan Labotarium Politik Fisip Universitas Sumatera Utara, 2006), h. 46. 49 Said, Militer Indonesia dan Politik, h. 275. 48 subjektif lazimnya dilakukan dengan cara memperbesar kekuasaan sipil (maximing civilian power) dibandingkan dengan kekuasaan militer.50 Pengendalian sipil subjektif (subjective civilian control) merujuk pada upaya politisi sipil untuk mengontrol militer dengan mempolitisasi mereka dan membuat mereka lebih dekat kepada para politisasi sipil tersebut (civilianizing the military), baik politisasi pro maupun anti pemerintah, khususnya di parlemen dan di partai-partai politik. Model kontrol sipil subjektif ditengarai akan melahirkan pola hubungan sipil dan militer yang kurang sehat. Huntington dalam Salim Said menekankan bahwa esensi Objective civilian control adalah pengakuan pada otonomi profesi militer, sedangkan subjective civilian control menolak adanya otonomi profesi militer. Dengan bahasa lain mungkin dapat dikatakan, pada objective civilian control otonomi yang dimiliki tentara menyebabkan mereka menjadi golongan profesional yang hanya menjalankan tugas negara. sedang pada subjective civilian control, tidak adanya otonomi tentara menjadikan mereka hanya alat bagi penguasa.51 Namun demikian, di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia, 52 dikotomi sipil-militer tersebut dianggap –oleh kalangan militer atau sipil yang tak mau berkonfrontasi dengan militer– kurang menggambarkan realitas sesungguhnya, karena dikotomi tersebut hanya akan melahirkan 50 Bakrie, Pertahanan Negara, h. 42. Said, Militer Indonesia dan Politik, h. 275. 52 Syahdatul Kahfie, “Peran Militer Indonesia: Tuntutan atau Kepentingan” dalam PROGRESSIF Vol. II, No. 1 (Jakarta: Political Science Forum FISIP UI, 2002), h. 34. 51 konfrontasi.53 Oleh sebab itu, kalangan ini lebih menginginkan terjadinya “kerja sama”, “hubungan kemitraan” atau “harmoni/keselarasan” antara sipil dan militer. Dalam model tersebut, dapat saja terjadi militer merupakan “the first among equals” (pertama di antara yang sederajat) dalam hubungannya dengan institusi-institusi sipil. Ini khususnya terjadi apabila mitra sipilnya lemah. Namun, bila institusi-institusi sipil cukup kuat, maka muncullah gagasan dari militer untuk melakukan “pembagian peran” (role sharing). Di sini sangat tampak, kalangan militer tidak memandang demokrasi dalam hubungan vertikal antara sipil dan militer, yang sebenarnya lebih mengedepankan supremasi sipil atas militer. Pada posisi tersebut, para tentara lebih senang pada pola hubungan yang setara (equal relationship). Sambil mengkritik teori Huntington yang dianggapnya lebih bertolak dari pengalaman tentara di negara-negara maju, Alfred Stepan54 juga memperkenalkan peranan baru tentara. Peranan baru yang terutama terlihat di negara-negara baru merdeka bagi Stepan menyebabkan lahirnya konsep “the new profesionalism of internal security and national development”. Contoh yang dikemukakan Stepan untuk mendukung teorinya adalah Brazil dan Peru. Secara teknis militer tingkat profesionalitas tentara Brazil dan Peru sangat tinggi, tetapi pada saat yang sama keterlibatan mereka ke dalam urusan keamanan dalam negeri, mereka akhirnya terseret ke urusan politik. 53 Sitepu, Militer dan Politik, h. 46. Alfred C Stepan, Bambang Cipto (Penerjemah), Militer dan Demokrasi: Pengalaman Brasil dan Beberapa Negara Lain (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1996). 54 Dalam hubungannya dengan konsep relasi sipil-militer di sebuah sistem pemerintahan, maka menurut Eric A. Nordlinger, bentuk pemerintahan sipil dibagi dalam tiga model, yakni: Model Tradisional, Model Liberal, dan Model Panetrasi atau Serapan.55 1. Model Tradisional adalah model kontrol sipil di negara monarki. Bentuk pemerintahan sipil tradisional ini sangat berpengaruh dalam sistem pemerintahan kerajaan abad ke-17 dan abad ke-18 di Eropa. Hal itu terjadi karena golongan aristokrat Eropa merupakan elit sipil dan juga elit militer. Walaupun kedua golongan elit ini berbeda, akan tetapi dalam kepentingan dan pandangannya hampir sama karena keduanya berasal dari golongan aristokrat. Golongan bangsawan tidak bisa memanfaatkan kedudukan militer mereka untuk menentang raja karena raja masih sangat dihormati sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Tindakan menentang raja justru akan melemahkan kedudukan politik, ekonomi, dan sosial mereka yang sangat bergantung kepada raja. Dalam model ini biasanya tidak terjadi konflik antara sipil dan militer. Ketika terjadi konflik, mereka lebih memilih untuk mempertahankan statusnya sebagai sipil atau bangsawan yang memiliki previlege. Dalam model ini, militer dianggap sebagai golongan amatir. Model ini mulai runtuh di Eropa Barat setelah tahun 1800-an ketika pendidikan 55 dan kemahiran dijadikan parameter utama Eric A. Nordlinger, Militer dalam Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 8-30. dibandingkan status dan kekayaan warisan. bentuk pemerintahan sipil di mana tidak ada perbedaan yang mencolok antara sipil dan militer. Bentuk pemerintahan sipil tradisional ini berpengaruh sekali di bawah sistem pemerintahan kerajaan pada abad ketujuh belas dan delapan belas. Golongan aristokrat Eropa (elit Eropa) dan elit militernya lebih mengutamakan kekuasaan, kekayaan, dan status sebagai seorang sipil. Bentuk pemerintahan sipil tradisional ini dapat mempertahankan legitimasi pihak sipil yang disebabkan oleh tidak adanya perbedaan antara sipil dan militer. 2. Model Liberal. Model ini dengan jelas mendasarkan pada diferensiasi tugas dan wewenang sipil dan militer. Militer hanya bertugas menjaga keamanan dan pertahanan negara. Selain itu, militer diberikan kemampuan manajemen militer yang mumpuni. Seluruh kebutuhan militer dipenuhi dengan sebaik-baiknya oleh sipil. Singkat kata, model ini berupaya melakukan depolitisasi semaksimal mungkin terhadap militer. Semua hak militer yang diberikan untuk sipil bukan berarti memberikan kewenangan yang seenaknya kepada sipil untuk melakukan apapun terhadap militer. Dalam hal ini, sipil dituntut untuk memiliki civilian ethic. Ada beberapa etika sipil yang harus dilakukan, antara lain sipil harus menghormati kehormatan militer, keahlian, dan otonomi, serta harus menunjukkan sikap netral. Selain itu, sipil tidak boleh melakukan intervensi ke dalam profesi militer apalagi menyusupkan ide-ide politik bahkan menggunakan militer untuk kepentingan politik tertentu. Model liberal ini sebenarnya memiliki banyak kelebihan, tetapi segalanya bisa bermasalah ketika sipil tidak konsisten dalam setiap etika yang harus dipenuhi. Model ini secara jelas mendasarkan diri pada pemisahan para elit militer dan sipil sesuai dengan keahlian dan tanggung jawab masing-masing dalam jabatan pemerintahan, baik mereka dipilih melalui pemilihan umum ataupun diangkat. Elit sipil sesuai dengan kemampuannya menjalankan tanggungjawab di bidang pembangunan politik, ekonomi, sosial-budaya, mengawasi dan melaksanakan undangundang, serta menyelesaikan konflik antar-kelompok. Sedangkan militer sesuai dengan keahliannya, mengelola, dan menggunakan kekerasan serta bertanggungjawab mempertahankan negara dari serangan luar dan kekacauan yang timbul dalam negeri. Kelompok militer juga tidak dapat mencampuri urusan di luar keamanan nasional. Secara singkat, model liberal menutup kemungkinan militer ikut campur dalam kegiatan politik. Model pemerintahan sipil liberal juga didasarkan pada prinsip pihak sipil harus menghormati pihak militer. Di dalam tindakan dan pelaksanaannya, pemerintah menghargai kedudukan, kepakaran, dan netralitas pihak militer. Pemerintah tidak merendahkan peran para perwira militer ataupun mencampuri urusan profesional militer dan memasukkan pertimbangan politik ke dalam angkatan bersenjata, seperti menaikkan pangkat perwira karena alasan kesetiaan mereka di bidang politik atau melibatkan militer untuk kepentingan politik domestik. Jika pihak sipil menghargai keabsahan militer, maka semakin kecil alasan militer untuk melakukan intervensi. 3. Model Serapan, adalah suatu model kontrol sipil yang melakukan penebaran ide-ide politik terhadap perwira militer yang masuk dalam partai-partai politik. Dalam hal ini, sipil dan militer adalah satu perangkat ideologi. Model ini hanya bisa diterapkan di suatu negara yang menerapkan sistem partai tunggal. Kontrol sipil terhadap militer dilakukan melalui dua struktur yaitu struktur militer itu sendiri dan struktur partai politik. Militer yang masuk dalam partai politik harus melepaskan semua aturan militernya dan masuk dalam aturan partai politik sehingga semua tunduk dalam aturan partai. Hal ini membuat tidak dominannya peran militer. Kalaupun ada dominasi militer dalam partai hanya mungkin terjadi sebatas faksi. Model panetrasi ini biasanya diterapkan di negara komunis. Apabila model ini diterapkan, ia akan sangat memperlihatkan supremasi sipil. Akan tetapi dalam keadaan tertentu, pelaksanaan yang kurang baik akan menimbulkan resiko yang cukup tinggi. Sama seperti model liberal, dalam model panetrasi ini akan berakibat buruk ketika setiap aksi kelompok sipil mengganggu wilayah otonom militer. Dalam model ini pemerintahan sipil memperoleh pengabdian dan kesetiaan dengan cara menanamkan ide-ide politik ke dalam tubuh angkatan bersenjata. Sepanjang hidupnya, militer senantiasa didoktrinasi dengan ide-ide politik sipil. Baik di dalam akademi militer, pusat latihan, tempat kursus, sekolah dasar dan lanjutan militer, ataupun diskusi formal dan informal. Hal ini sering dilakukan untuk membentuk ide dan sikap politik militer dengan asumsi bahwa ide dan persamaan politik pihak sipil dan pihak militer yang muncul kemudian akan menghapuskan gejala konflik sipil-militer. Penerimaan para perwira militer terhadap ide-ide politik ortodok juga digunakan sebagai satu syarat penting dalam kenaikan pangkat, di samping kemampuan militer. Dalam konteks mewujudkan militer yang mempunyai profesionalisme tinggi di bidangnya pada era modern seperti sekarang ini, model liberal Nordlinger patut diapresiasi oleh semua komponen negara sebagai pilihan yang terbaik. Hubungan Sipil–Militer yang ideal, tentunya kembali pada porsi profesionalisme-nya, dimana Militer mengemban tugas utamanya menjaga Kedaulatan Negara, Pertahanan dan Keamananan, yang tidak mencampuri urusan atau wilayah Politik Sipil.56 Konsep pengabdian kepada Negara adalah Rakyat yang berdaulat, Pemerintahan yang sah dan Wilayah kedaulatan Nasional. Militer harus sadar benar akan Profesionalisme-nya, Netralitasnya sebagai alat Negara 56 http://ahmadfathulbari.multiply.com/journal/item/40/Catatan_Kuliah_Peranan_Militer_ dalam_Politik_ bukan alat Kekuasaan. Sedangkan kalangan Sipil bertanggungjawab melakukan fungsi-fungsi ke-Negara-an yang menjadi wilayah PolitikPublik, pelayanan masyarakat, menegakan Supremasi Hukum dan mengembangkan kesejahteraan. Hubungan Sipil-Militer yang Ideal ditandai oleh rasa saling menghormati Wilayah Kewenangannya, saling percaya didasarkan atas system peraturan dan perundangan yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, Militer dapat menata dirinya lebih mandiri, tanpa kekhawatiran di-Intervensi oleh pihak diluar Militer, sehingga para personil Militer tidak perlu menjadi Opurtunis yang sibuk mendekati penguasa untuk kedudukannya, sebagai konsekuensi logis penghormatan Kekuasaan Sipil kepada Institusi Militer. Secara Teoritis-historis, seperti dikemukakan diatas, Supremasi Sipil atau Masyarakat Sipil hanya akan dapat menempatkan posisi peran Militer secara tepat sesuai fungsinya “Profesional”, bila Kepemimpinan Sipil tersebut memiliki : Managerial State’s Capability (kemampuan mengelola Negara), Integritas moral, Dukungan Partai Politik yang kuat dan Legitimasi Konstitusional. Bila salah satu saja dari indikator tersebut hilang, maka Militer masih memiliki peluang untuk mempermainkan proses Civil Society. Dan apabila hal itu terjadi, adalah suatu kerugian besar bagi Bangsa Indonesia mengalami kemunduran dari suatu proses perjuangan menegakan Demokrasi-Masyarakat Sipil yang telah lama diimpikan. D. Fungsi Militer Dalam Negara Negara sebagai suatu organisasi sosial terbesar dalam masyarakat mempunyai fungsi; melindungi masyarakat dari ancaman atau gangguan serta menjamin hak-hak masyarakat. Oleh karena itu Negara sebagai organisasi yang besar diberikan wewenang oleh masyarakatnya untuk menjalankan kewajiban mengkonsolidasikan tersebut. tujuan dan Tujuan negara kepentingan adalah bersama berupaya dikalangan masyarakat secara umum. Jadi segala sesuatu yang diberikan oleh masyarakat (seperti membayar pajak, kerelaan untuk tunduk/menurut) kepada negara dapat diukur. Ukurannya adalah sejauhmana masyarakat dapat merasakan atau mendapatkan kembali hak-haknya atau hak-haknya tidak terlanggar dan terpenuhi. Russell Hardin mengatakan: “(w)e need goverment in order to maintain the order that enables us to invest effort in our own wellbeing and to deal with others in the expectations that we will not be violated”57. Dalam suatu sistem demokrasi dimana negara berperan sebagai pelindung masyarakat dari ancaman dan gangguan, maka posisi militer di dalam sebuah negara sudah semestinya berfungsi agar ancaman dan gangguan itu menjadi minimal. Fungsi itu bisa dikatakan sebagai kewajiban pokok dari sebuah institusi militer. Dengan demikian posisi militer atau angkatan bersenjata merupakan sebuah institusi yang sah atau lazim dalam sebuah organisasi yang bernama negara, yang mempunyai kewajiban berkaitan dengan perlindungan negara demi memproteksi masyarakat dari 57 Russell Hardin, “Do We Want Trust In Government?” Dalam Democracy and Trust, edited by Mark E. Warren (Cambrigde University press 1999), h. 22. ancaman fisik. Edward Luttwak dalam hal ini mengatakan bahwa: The goverment will not only be protected by the professional defenses of the state; the armed forces, the police, and the security agencies—but it will also be supported by a whole range of political forces. In a sophisticated and democratic society these will include political parties, sectional interest, regional, ethnic, and religious groupings. Their interaction and mutual opposition results in a particular balance of forces which the goverment in some way represents.58 (Pemerintah tidak hanya dilindungi oleh aparatus pertahanan profesional yang dimiliki Negara; perang, polisi dan badan-badan keamanan angkatan tetapi juga ditopang oleh kekuatan-kekuatan politik secara luas. Dalam masyarakat demokratis dan kompleks, kekuatan ini mencakup partai politik, kelompok-kelompok kepentingan, regional, etnis dan kelompok-kelompok agama. Interaksi dari kekuatan ini dan oposisi yang berjalan menghasilkan sebuah perimbangan kekuatan terhadap pemerintah). Lebih jauh mengenai fungsi militer dalam negara demokratis bisa kita pelajari dari prinsip-prinsp yang ditawarkan Mayor Jenderal (Purnawirawan) Dr. Dietrich Genschel. Prinsip-prinsip dimaksud, adalah sebagai berikut:59 1. Militer merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif suatu tatakelola pemerintahan. 58 Dengan demikian, militer merupakan elemen Edward Luttwak, Coup d’Etat, A Practical Handbook—A Brilliant Guide To Taking Over A Nation. (Greenwich: Fawcett Premier book, 1969), h. 47. 59 Mayor Jenderal (Purnawirawan) Dr. Dietrich Genschel, Makalah berjudul “Tempat dan Peran Militer Dalam Masyarakat Sipil Yang Demokratis. Pengalaman Reformasi Militer Jerman” (Jakarta: Freidrich-Ebert-Stiftung, 2002). pemisahan kekuasaan dalam sistem politik yang demokratis, yang ditandai dengan pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. 2. Militer berada di bawah kepemimpinan politik yang telah disahkan secara demokratis, dengan jabatan menteri pertahanan dipegang oleh sipil. 3. Militer mengikuti pedoman politik yang digariskan. 4. Militer patuh dan tunduk pada hukum. 5. Militer dibatasi oleh tugas-tugas yang telah ditetapkan oleh konstitusi; secara regular menjaga keamanan eksternal negara (dari serangan atau ancaman dari luar) dan menjaga pertahanan negara. Dalam kasus-kasus tertentu dengan situasi dan batas-batas tertentu yang digariskan secara jelas. (Militer dapat dilibatkan) dalam upayaupaya untuk menjaga keamanan internal negara dibawah komando polisi. 6. Militer bersifat netral dalam politik. 7. Militer tidak dibenarkan memiliki akses untuk memperoleh dukungan-dukungan keuangan diluar anggaran pendapatan dan belanja negara. 8. Militer dikendalikan oleh parlemen, kepemimpinan politik, kekuasaan kehakiman, dan masyarakat sipil secara umum. 9. Militer memiliki tanggung jawab yang jelas berdasarkan keahlian profesional yang dimilikinya dan dengan itu, memiliki harkat dan martabatnya. Untuk menunjang prinsip-prinsip sebagaimana diutarakan di atas diperlukan prasyarat:60 1. Kerangka konstitusi; menetapkan nilai-nilai sosial (martabat manusia dan hak asasi manusia) dan pemerintah yang berdasarkan pada hukum, menetapkan pemisahan kekuasaan (kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif), mendefinisikan peran dan tugas militer; 2. Parlemen yang berfungsi; (dipilih melalui) pemilihan secara bebas, (bersifat) multi partai, (dan memiliki) substruktur-substruktur yang perlu (seperti panitia anggaran, panitia pertahanan, ombudsman parlemen); 3. Pemerintahan sipil; dengan rantai komando (politik) yang jelas. Presiden, Menteri Pertahanan dan dengan menempatkan Kepala Pertahanan dibawah Menteri Pertahanan – di Jerman mata rantai Komando ini mulai dari Presiden ke Perdana Menteri, dan seterusnya; 4. Kekuasan kehakiman yang mandiri; tanpa pengadilanpengadilan khusus yang berada di luar tanggungjawabnya (seperti pengadilan militer); 60 Dr. Dietrich Genschel, Makalah berjudul “Tempat dan Peran Militer Dalam Masyarakat Sipil. 5. Organisasi militer; yang terstruktur, terdidik, dan terpimpin sedemikian rupa sehingga tidak mencampuri atau membahayakan masyarakat sipil, tetapi dengan tetap mempertahankan efektivitas militer yang tinggi; 6. Masyarakat sipil yang matang; yang bersatu di bawah ketentuanketentuan dasar konstitusi dan mengambil sikap pluralistik tetapi toleran dalam kehidupan bermasyarakat, yang pada gilirannya memerlukan; 7. Publik terdidik; yang bersedia berpartisipasi dalam kehidupan politik dan kehidupan bermasyarakat, mampu menyeimbangkan kebebasan individual dan kemandirian dengan komitmen terhadap kebaikan bersama (termasuk pertahanan), serta media yang bebas dan beragam; 8. Elit militer dan elite politik yang kompeten 9. Pemegang jabatan pada kantor-kantor publik (baik sipil maupun militer) yang memiliki kepercayaan diri, bersedia memenuhi kewajiban, memikul tanggung jawab, dan menerima pembatasanpembatasan (maksudnya; pegawai negeri tidak perlu takut pada militer. Sebaliknya, personil militer hendaknya memenuhi kewajibankewajiban mereka dengan bangga dalam batasan-batasan hukum yang diberikan). Setelah melihat beberapa faktor yang menempatkan militer dalam suatu negara, tentu perlu pula diperhatikan bahwa dalam menjalankan fungsi- fungsinya militer tidak boleh berinisiatif sendiri, melainkan atas persetujuan otoritas politik yang lebih tinggi yaitu Presiden dan Parlemen. Hal itu untuk menghindarkan militer menjadi lembaga superbody dalam sebuah negara. BAB III MILITER SEBAGAI KEKUATAN POLITIK A. Definisi Kekuatan Politik Kekuatan Politik adalah kemampuan suatu kelompok dalam mempengaruhi proses pembuatan dan perumusan keputusan-keputusan politik yang menyangkut masyarakat umum. Kemampuan mempengaruhi dilakukan kelompok dengan menggunakan sumber-sumber kekuasaan dan akses yang dimiliki, sehingga keputusan-keputusan yang dibuat pemerintah akan menguntungkan mereka. Suatu kelompok akan mempengaruhi keputusan-keputusan politik, apabila keputusan-keputusan yang dibuat menyangkut kepentingan mereka, sehingga apapun konsekuensinya akan dihadapi oleh kelompok-kelompok tersebut dengan berbagai upaya. Upayaupaya yang dilakukan biasanya dengan mengerahkan sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki dan disalurkan melalui saluran-saluran yang tersedia.61 Kesadaran mengenai perkembangan teori, pendekatan dan wawasan baru dalam memahami kekuatan-kekuatan politik yang pada dasarnya telah meletakkan tata susunan politik dan kekuatan politik yang berada di dalamnya dalam konteks dan hubungannya dengan persoalan-persoalan yang dalam dan luas ini dengan sendirinya menuntut untuk dipahaminya 61 15 Hand Out Mata Kuliah Haniah Hanafie, Kekuatan-Kekuatan Politik, (Jakarta: 2007), h. pula perkembangan sejarah, struktur sosial dan ekonomi dimana tata susunan politik dan kekuatan-kekuatan politik itu berada. Kekuatankekuatan politik kontemporer yang menampilkan diri sebagai partai politik, militer, pemuda, mahasiswa, kaum intelektual dan golongan pengusaha serta kelompok-kelompok penekan yang lain pada dasarnya memiliki asal usul di dalam perubahan-perubahan besar sosial, politik dan ekonomi. Perubahanperubahan ini bukan hanya saja telah menimbulkan pengaruh yang mendalam , tetapi juga dalam perkembangan sosial, politik dan ekonomi. Sangatlah penting kiranya untuk segera disadari bahwa perubahanperubahan ini telah menampilkan dimensi-dimensi pokok yang menjelaskan pemunculan dan perkembangan kekuatan-kekuatan politik kontemporer. Dimensi-dimensi itu adalah62 : 1) Politik, ekonomi dan masalah-masalah sosial yang lain secara pelanpelan tidak lagi menjadi monopoli kaum bangsawan, tetapi telah menjadi masalah-masalah masyarakat luas. Terdapat suatu perkembangan nyata menuju suatu perluasan partisipasi politik dan hak pilih. Proses inilah yang telah mengawali kelahiran partai politik dan pengelompokan-pengelompokan politik yang lain. 2) Semakin kuatnya peranan kelas menengah di hampir seluruh bidang kehidupan. Proses ini juga dibarengi dengan pengukuhan kebudayaan kota. Tampilnya kelas menengah dan pengukuhan kebudayaan kota inilah yang telah menandai kelahiran kelas 62 Farchan Bulkin, Kekuatan Politik : Perspektif Dan Analisa, Pengantar dalam Seri Prisma I: Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. x-xi. menengah, kaum profesional dan golongan intelektual sebagai kekuatan politik penting yang tidak bisa diabaikan. 3) Pemunculan, pertumbuhan dan perkembangan negara modern dalam bentuk seperti yang dikenal dewasa ini. Ini berarti bahwa birokrasi dan aparatur negara secara pelan-pelan telah pula menjadi unsur penting dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Termasuk dalam proses ini adalah penampilan angkatan bersenjata sebagai unsur penting negara yang mulai dipimpin dan diorganisasi sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalisme. 4) Muncul dan berkembangnya nilai-nilai, filsafat dan ideologi yang memberikan dasar-dasar pengukuhan, pengesahan dan rasionalisasi untuk berjalan dan berkembangnya tata susunan politik dan konfigurasi kekuatan-kekuatan politik baru itu. Bila dilihat dari pendekatan di atas maka dalam kehidupan bernegara perlu kestabilan sosial, ekonomi dan politik. Militer sebagai sebuah organisasi yang mempunyai sumber power yang bersinergi dengan negara berkewajiban atas keamanan dan kenyamanan dalam sektor sosial, ekonomi dan politik. Dengan sumber powernya, militer telah menjelma sebagai salah satu kekuatan dalam negara. B. Penggolongan Kekuatan-Kekuatan Politik Berdasarkan sumber power maka kekuatan-kekuatan politik dapat dibedakan, yaitu : Tabel 163 Kelompok Sosial Budaya Sumber Kekuasaan Militer Senjata, Sistem Komando, Disiplin, Dll Pengusaha Modal Mahasiswa Kekuatan Moral, Idealisme Pers Informasi Partai Politik Massa Buruh Massa Intelektual/Cendekiawan Ilmu/Kepandaian Agama Kepercayaan LSM Link, Dana, Informasi Birokrasi Data Sedangkan berdasarkan gerakannya (Movement) pada sejarah Indonesia, kekuatan politik dapat digolongkan menjadi64 : a. Golongan Radikal, Golongan radikal menghendaki supaya jangan diberikan kesempatan kepada mereka yang berkolaborasi dengan Rezim Orde Lama. Baik menegakkan kestabilan dalam arti 63 Hand Out Mata Kuliah Haniah Hanafie, Kekuatan-Kekuatan Politik,h. 16 Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik Dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003), h.14-16. 64 menyusun kembali peta politik, maupun merencanakan serta melaksanakan pembangunan. Pemuka-pemuka kelompok ini terutama datang dari kalangan yang lebih condong untuk berpaling ke Barat. b. Golongan Konservatif, Sungguhpun golongan konservatif yang lebih diwarnai oleh politik sipil juga menghendaki peranan yang besar di dalam politik Indonesia. Golongan ini berharap bahwa sekurang-kurangnya di Dalam Dewan Perwakilan Rakyat, Majelis Permusyawaratan Rakyat dan sebagainya mereka memperoleh peranan yang berarti. Untuk itu mereka menghendaki sistem pemilihan berimbang dimana calon lebih ditentukan oleh partai melalui daftar calon daripada rakyat di daerah pemilihan sendiri. Tidak seperti golongan radikal, kelompok ini menghendaki pembangunan ekonomi yang benar-benar didasarkan kepada kekuatan modal dalam negeri. c. Golongan Moderat, Golongan ini memperhatikan perimbangan antara tuntutan kedua golongan di atas dan kemungkinankemungkinan yang wajar untuk dilaksanakan, maka golongan moderat mencari jalan tengah. Golongan ini mengedepankan kompromi yang kemudian menjadi dasar kehidupan kepartaian ialah bahwa disamping wakil-wakil partai politik duduk pula wakil golongan fungsional dan militer di dalam lembaga-lembaga perwakilan yang semuanya dianggap mewakili rakyat Indonesia. Di dalam kehidupan politik, kelompok-kelompok sosial yang mempunyai sumber kekuasaan tidaklah terkotak sejelas dan sesederhana itu. Artinya sungguhpun diantara kekuatan-kekuatan politik di atas terdapat perbedaan kemampuan dan peranan, di dalam menghadapi berbagai masalah-masalah terdapat semacam jalur penghubung di antara kekuatankekuatan politik tersebut. Dengan demikian maka golongan yang bermain di dalam mencari penyelesaian persoalan-persoalan yang dihadapi oleh sistem politik tidak lagi didasarkan kepada militer dan non militer, partai dan bukan partai. Akan tetapi secara keseluruhan kekuatan-kekuatan politik ini dapat di kategorikan ke dalam golongan radikal, konservatif atau moderat. C. Kekuatan Politik Militer Dalam historiografi sejarah awal militer Indonesia, atau Tentara Nasional Indonesia (TNI), hanya terdapat satu paradigma tunggal, yaitu bahwa TNI dibentuk dari rakyat yang sedang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda.65 Dalam bahasa Salim Said mengungkapkan bahwa tentara Indonesia adalah tentara yang menciptakan diri sendiri.66 TNI diyakini sebagai institusi profesional yang bukan merupakan warisan institusional negara metropolitan dalam hubungan kolonial masa lampau, sebagaimana umumnya ditemui di negara- 65 Ikrar Nusa Bhakti, dkk., Tentara Mendamba Mitra: Hasil Penelitian LIPI tentang Pasang Surut Keterlibatan ABRI dalam Kehidupan Kepartaian di Indonesia. (Bandung: Mizan, 1999), h. 53. 66 Salim Said, Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), h. 2. negara bekas jajahan.67 Terlihat memang ada yang tidak biasa dari proses terbentuknya Tentara Nasional Indonesia, di mana pemerintah tidak memiliki peran dalam pembentukan institusi ketentaraan. Perwujudan peran militer dalam politik Indonesia telah melewati perjalanan panjang, dan keterlibatan militer dalam politik senantiasa mengalami pasang surut. Bilveer Singh,68 menyebutkan bahwa kerterlibatan militer dalam bidang non-militer (politik) disebabkan oleh faktor-faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor internal tersebut terdiri dari; (1) nilainilai dan orientasi para perwira militer, baik secara individu maupun kelompok, serta (2) kepentingan-kepentingan material korps militer. Menurut Eric Nordlinger, yang mendorong keterlibatan militer dalam politik adalah perlindungan otonomi dan kepentingan korporat militer. Begitu juga menurut S.E. Finer kepentingan korpslah yang menjadi perhatian utama peran militer. Kepentingan-kepentingan material angkatan bersenjata juga memainkan peranan amat penting dalam keputusan militer untuk campur tangan dalam politik seperti: a) Memperjuangkan kepentingan kelompok dan organisasi, baik untuk memperoleh fasilitas-fasilitas militer seperti alat utama sistem persenjataan, maupun untuk memberikan gaji yang layak kepada anggotanya. Jika para pemimpin politik sipil gagal untuk 67 Bhakti, Tentara Mendamba Mitra, h. 53 Bilveer Singh, Dwi Fungsi ABRI: Asal Usul, Aktualisasi, dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 1-24. 68 memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka ada kecenderungan militer terpolitisasi dan terintervensi dalam politik. b) Korps militer adalah wakil penting dari kelas menengah perkotaan, dan apabila pemerintah gagal untuk memenuhi kebutuhan kelas menengah, maka kelompok perwira militer diperkirakan akan melakukan tekanan terhadap pemerintah kemungkinan menjatuhkannya. c) Para pemimpin puncak militer dapat pula membangun kepentingan-kepentingan pribadinya melalui intervensi militer dengan menempatkan mereka dalam kontrol jaringan patronase pemerintah, bahwa ketidak pedulian pemimpin sipil terhadap kepentingan militer dapat menyebabkan terjadinya intervensi militer. Nilai-nilai dan orientasi militer secara garis besar merupakan hasil dari sejarah pengalaman yang dimiliki para anggota militer. Pada gilirannya, sejarah asal-usul dan peran awal militer tersebut membentuk suatu tradisi dan seperangkat nilai, yang di dalamnya para generasi perwira militer pendahulu dan penerusnya cenderung mematuhi dan mengekalkannya. Faktor kunci dalam memperkuat keutuhan militer adalah ancaman terhadap institusi tersebut. Alfred Stepan mengatakan:69 “Sebenarnya seringkali ancaman terhadap kepentingan institusional atau kelangsungan hidup 69 Alfred Stepan, Militer dan Demokrasi: Pengalaman Brasil dan Beberapa Negara Lain. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1996). (militer) menjadi faktor dalam menciptakan konsensus akhir pejabat tinggi militer, karena setiapkali area tradisional dari otoritas institusional militer diganggu, misalnya dalam hal struktur disiplin dan hirarkinya, maka bahkan non-aktifis dan legalis di dalam jajaran pejabat militer itu akan terprovokasi untuk bertindak”. Faktor institusional adalah salah satu variabel yang krusial di antara ancaman terhadap lembaga militer dan perebutan kekuasaan oleh militer. Gerakan militer untuk merebut kekuasaan menjadi efektif hanya jika ia berhubungan dengan perhatian militer untuk mempertahankan kepentingan dirinya. Di bawah akan kita ketahui faktor apa yang melatarbelakangi terjun bebasnya militer dalam hiruk-pikuk politik kekuasaan di Indonesia. Militer yang masuk ke dalam dunia politik didasari oleh banyak faktor pendukung. Secara kultur yang dibangun dalam dunia milter memang menjadikan setiap perwira militer memiliki keunggulan yang dapat dikatakan melebihi kualitas sipil. Indoktrinasi yang dibangun dalam dunia militer juga memberikan semangat juang yang berbeda dibandingkan kalangan sipil. Faktor-faktor pendukung itu antara lain adalah jaringan yang dibangun oleh setiap perwira cukup baik. Jaringan itu dibangun dari berbagai momen seperti latihan militer bersama, pendidikan militer bersama, atau hubungan antar pimpinan militer di negara yang berbeda. Perwira tinggi militer yang memiliki jaringan yang kuat dapat melakukan koordinasi bahkan bantuan dukungan jaringannya di negara lain. Selain Jaringan, faktor pendukung lainnya adalah sistem kepemimpinan yang dibangun dalam dunia militer. Setiap perwira militer sudah dilatih kepemimpinannya dalam suatu entitas terkecil sampai memimpin satu angkatan secara keseluruhan. Kultur itu membuat pengalaman seorang perwira militer benar-benar terlatih sejak dini. Selain itu, ada faktor-faktor lain yang juga sangat mempengaruhi kualitas seorang perwira militer yang siap memimpin negara antara lain pendidikan berkualitas yang dididik dengan orang-orang berkualitas bahkan dari kalangan sipil yang memenuhi kriteria terbaik seperti Guru Besar, dsb. Kekuatan politik militer dapat dilihat dari sumber-sumber powernya, yaitu 70: a. Garis komando yang jelas; melalui sistem komando militer lebih mampu untuk berada didalam suatu organisasi yang utuh. b. Sistem Hirarki; lebih utuhnya kepemimpinan militer, disokong pula oleh sistem hirarki yang dilaksanakan dengan disiplin, amat membantu komandan untuk mengendalikan tingkah laku anggotanya yang tersebar dideluruh daerah. Dengan demikian pengendalian dan pengawasan terhadap organisasi tingkat daerah dapat dilaksanakan dengan efektif. c. Rasa keterikatan di antara anggota-anggota militer (esprit decorp); sebagai kelompok yang memperoleh sosialisasi secara seragam, diikatkan oleh organisasi dan lambang-lambang yang ditafsirkan secara seragam oleh keseluruhan anggotanya, maka lebih kecil 70 Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, h. 56-58. kemungkinan untuk tumbuhnya perbedaan pandangan dalam militer. d. Komunikasi intern yang terpelihara; sebagai organisasi yang paling modern di dalam masyarakat, militer mempunyai jaringan komunikasi yang terpisah dari sistem komunikasi yang dipergunakan masyarakat pada umumnya. Peralatannya termasuk yang paling efektif untuk menghubungkan pimpinan di pusat dengan satuan-satuan didaerah. Meskipun naluri militer adalah ingin terjun ke bidang politik, tetapi hal itu tergantung pada beberapa faktor, antara lain ialah latar belakang terbentuknya militer, situasi dan kondisi masyarakat/pemerintahan dan sistem atau bentuk pemerintahan dalam suatu negara. Menurut Talcot Parson dalam Arif Yulianto, terdapat tiga hal yang menyebabkan militer terlibat dalam politik, yaitu71 : 1) Kelemahan struktural/disorganisasi. 2) Adanya kelas-kelas yang cenderung terpecah belah dan tidak mampu melancarkan aksi terpadu, termasuk kelas menengah yang secara politik impoten. 3) Rendahnya tingkat aksi sosial dan mobilisasi sumber-sumber materiil. Persoalan disorganisasi, tidak dapat dipungkiri, mengingat militer memiliki kelebihan daripada kelompok lain, yaitu kedisiplinan, sentralisasi 71 Hand Out Mata Kuliah Haniah Hanafie, Kekuatan-Kekuatan Politik, h. 40-41. sistem komando, disiplin tinggi, sehingga organisasi militer lebih solid dan mampu mengorganisir dengan baik, apabila militer tampil sebagai penguasa. Dengan kerapuhan secara struktural yang dialami masyarakat, maka titik kelemahan ini, menarik militer untuk tampil melekukan intervensi politik. Motivasi politik tentara untuk terjun ke dalam politik memang sudah ada pada rezim-rezim yang kekuasaannya mengalami kemunduran. Naluri militer untuk terjun ke politik dan kondisi pemerinthan yang tidak demokratis, adalah dua hal yang mempengaruhi motivasi militer untuk melakukan kudeta. Kudeta dilakukan kelas menengah bukan karena ideologi atau politik kelas menengah. Menurut Amos Palmutter militer, melakukan kudeta apabila72: a. Tentara merupakan kelompok yang kohesif dan secara politik teroganisir paling baik pada suatu saat tertentu dan suatu sistem politik. b. Apabila tidak ada kelompok oposisi yang kuat. c. Harus mendapat dukungan partai politik tertentu atau kelompok masyarakat lainnya misalnya kelas pekerja. Menurut K. Man Haim, ada tiga faktor yang mendorong militer berpolitik yaitu73: 1) Ambisi Pribadi Ambisi-ambisi pribadi para perwira militer untuk merebut posisi penting di dalam jaringan kekuasaan politik. Ambisi pribadi perwira tinggi 72 73 h. 12-13. Hand Out Mata Kuliah Haniah Hanafie, Kekuatan-Kekuatan Politik, h. 42. Rivai Nur, Dkk., Saatnya Militer Keluar Dari Kancah Politik, (Jakarta: PSPK, 2000), dan menengah militer dapat dilihat dari dua segi yakni keinginan berkuasa dan keinginan memperoleh materi sebagai konsekuensi dari jabatan itu, atau karena jabatan tertentu memberi peluang seseorang untuk memperoleh berbagai fasilitas dan kemudahan yang pada akhirnya bermuara pada kesenangan materi. 2) Kepentingan Kelompok Kepentingan kelompok yakni keinginan untuk mendominasi kelompok yang lain melalui kekuasaan. Keinginan untuk mendominasi kekuasaan terkait dengan status mereka di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat para perwira merupakan kelompok elite sesuai konsep ksatria. Para perwira berusaha untuk memperlihatkan atau menampilkan diri sebagai kelas elite dengan standar hidup di mana ia berada. Untuk memenuhi standar hidup tersebut para perwira harus merebut kekuasaan nonmiliter, selanjutnya secara sistematis membangun hegemoni. Para perwira kemudian mengalienasi kelas yang lain yang merupakan mayoritas sosial dan membiarkannya berada pada posisi tertentu yang terabaikan dalam setiap pengambilan keputusan publik. Dominasi kekuasaan diiringi pula oleh dominasi bisnis. Hal ini dikaitkan dengan dua hal yaitu Pertama, penguasaan bisnis bertujuan untuk mengumpulkan materi dalam rangka pemenuhan standar hidup kelas menengah. Kedua, pengumpulan materi untuk membiayai kegiatan-kegiatan mempertahankannya. 3) Kepentingan Nasional memperluas kekuasaan dan Kepentingan Nasional, yakni mempertahankan dan membangun keamanan negara dan masyarakat, dengan asumsi mereka adalah kekuatan pengintegrasi bangsa. Artinya, militer menjaga kemungkinan berkembang suatu pemikiran untuk merubah bentuk negara atau munculnya daerah tertentu untuk memaksakan kehendaknya untuk memisahkan diri. Militer tampil melindungi kepentingan segala golongan di dalam negara dan masyarakat. Beberapa literatur mendeskripsikan intervensi angkatan bersenjata dalam politik suatu negara diakibatkan situasi-situasi seperti ini:74 1. Jatuhnya prestise pemerintah atau partai politik yang memegang pemerintahan, menyebabkan rezim yang bersangkutan semakin banyak menggunakan paksaan untuk memelihara ketertiban dan untuk menekankan perlunya persatuan nasional dalam menghadapi krisis, yang selanjutnya menyebabkan penindasan terhadap perbedaan pendapat; 2. Perpecahan diantara pemimpin-pemimpin politik, menimbulkan keragu-raguan pada komandan-komandan militer apakah rezim sipil masih mampu untuk memerintah secara kolektif; 3. Kecilnya kemungkinan terjadinya intervensi dari luar oleh negara yang besar atau oleh Negara-negara tetangga dalam hal perebutan kekuasaan; 74 Robert P Clark, Menguak Kekuasaan dan Politik Di Dunia Ketiga, (Jakarta: Penerbit Erlangga,1989), h. 155-156. 4. Pengaruh buruk dari perebutan kekuasaan oleh militer di negaranegara tetangga; 5. Permusuhan sosial dalam negeri, yang paling jelas terjadi di negaranegara yang diperintah oleh suatu kelompok minoritas; 6. Krisis ekonomi, yang menyebabkan dicabutnya kebijakan penghematan yang mempengaruhi sektor-sektor masyarakat kota yang terorganisir; 7. Korupsi, pejabat-pejabat pemerintahan dan partai yang tidak efesien, atau anggapan bahwa pejabat-pejabat sipil berniat menjual bangsanya kepada suatu kelompok asing; 8. Struktur kelas yang sangat ketat, yang menyebabkan dinas militer menjadi satu-satunya saluran yang terbuka untuk anak miskin untuk status dari bawah ke atas; 9. Kepercayaan yang semakin meningkat tebal pada anggota-anggota militer bahwa merekalah satu-satunya kelas sosial yang mempunyai cukup disiplin dan cukup setia kepada modernisasi untuk menarik negara keluar dari tata-caranya yang tradisional; 10. Pengaruh asing, dapat melibatkan perwakilan militer negara asing, pengalaman yang diperoleh dalam perang di negara asing, atau dalam pusat-pusat latihan di luar negeri, atau bantuan asing dalam bentuk peralatan dan senjata; 11. Kekalahan militer dalam perang dengan Negara lain, khususnya kalau para pemimpin militer yakin bahwa pemerintahan sipil telah mengkhianati mereka dengan merundingkan ketentuan-ketentuan perdamaian yang tidak menguntungkan atau karena salah menjalankan kegiatan perang di belakang garis pertempuran. Disamping beberapa alasan yang terpapar di atas, perlu pula kita lihat alasan-alasan militer merambah ke dunia politik dalam sejarah Indonesia sendiri. Kusnanto Anggoro melihat ada beberapa faktor yang mendorong militer maju kepanggung politik, yaitu tidak dewasanya para politisi sipil dalam mengelola negara, adanya ancaman terhadap keamanan nasional, ambisi mempertahankan privilege seperti otonomi dalam merumuskan kebijakan pertahanan, memperoleh dan menggunakan anggaran pertahanan serta melindungi aset dan akses ekonomi dan tugas sejarah.75 Daniel S. Lev sendiri mengemukakan dalam sejarah militer Indonesia ada alasan yang sifatnya sangat subjektif dari kalangan perwira TNI itu sendiri untuk masuk ke ranah politik, yaitu dipersulitnya reorganiasi kekuatan militer oleh politik pemerintah, dicampurinya urusan internal TNI oleh pimpinan politik, terjadinya pertentangan dikalangan perwira TNI sendiri, serta tidak disukainya kondisi politik dan kemimpinan pemerintahan oleh TNI.76 Setelah melihat beberapa alasan yang bisa dimanfaatkan militer merebut dan mempertahankan kekuasaan di panggung politik, tentu perlu 75 Apa yang disampaikan oleh Kusnanto ini tentu sangat erat kaitannya dengan menjadi utamamnya militer dalam politik Indonesia setelah tahun 1966. Sedangkan tugas sejarah seringkali disurakan oleh para petinggi TNI sampai hari ini. Lihat Kusnanto Anggoro, “ Gagasan Militer Mengenai Demokrasi, Masyrakat Madani dan Transisi di Indonesia,” dalam Rizal Sukma dan J. Kristiadi (penyuting) Hubungan Sipil Militer dan Tanrsisi Demokrasi di Indonesia (Jakarta: CSIS, 1999), h. 10. 76 Daniel S. Lev, “ ABRI dan Politik: Politik dan ABRI,” dalam Diponegaro 74, Jurnal HAM dan Demokrasi, No.7/III/April 1999, YLBHI, h 7-8. pula diperhatikan bahwa dalam menjalankan fungsi-fungsinya TNI tidak boleh berinisiatif sendiri, melainkan atas persetujuan otoritas politik yang lebih tinggi yaitu Presiden dan Parlemen. Hal itu untuk menghindarkan militer menjadi lembaga superbody dalam sebuah negara. D. Keterlibatan Militer Dalam Politik (Militer Pretorian) Supremasi sipil dibangun dengan sebuah budaya politik yang baik. Budaya politik adalah suatu parameter dimana peran sipil sangat dominan dalam sebuah negara. Budaya politik yang baik dapat diwujudkan ketika mesin politik (partai) dapat menyentuh akar rumput dan melakukan kaderisasi politik yang baik. Pada masa pergerakan nasional di Indonesia, tidak ada partai politik yang mengakar dan memberikan budaya politik yang baik ke bawah. Partai-partai politik yang ada saat itu antara lain Sarikat Islam, Partai Sosialis Indonesia, Partai Nasional Mahasiswa (PNI), dll. Sarikat Islam merupakan partai yang memiliki massa yang sangat besar saat itu. Akan tetapi, banyaknya anggota partai tersebut tidak diimbangi dengan internalisasi budaya politik yang baik ke seluruh anggotanya. Banyaknya anggota partai itu lebih dikarenakan variabel lainnya yang berpengaruh seperti ikatan keagamaan maupun ketokohan pimpinannya terutama Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Begitu juga dengan partai lainnya. Partai-partai lain juga kurang memiliki budaya politik yang baik. Partai Sosialis Indonesia pimpinan Sjahrir memang dikenal sebagai partai kalangan intelektual. Namun, citra partai itu tidak menjadikan budaya politik partai itu dikatakan baik karena intelektual para pimpinan partainya tidak diiringi dengan budaya politik yang baik sehingga terbukti bahwa partai ini hanya memiliki kader-kader berkualitas di tingkat pimpinannya tetapi tidak memiliki sentuhan politik di lapisan akar rumput. Gambaran lintasan sejarah di atas memberikan suatu analisis tentang masuknya militer dalam dunia politik. Faktor dominan masuknya militer dalam dunia politik adalah budaya politik yang kurang dibangun dengan baik oleh partai-partai politik. Ketidakbecusan kalangan sipil dalam mengurus negara membuat kalangan militer berinisiatif untuk masuk (intervensi) ke dunia politik. Masuknya militer dalam dunia politik disebut dengan Pretorian.77 Terdapat beberapa cara seorang perwira militer menjadi pretorian: • Mengancam langsung pemerintah dengan kekuatan militer. • Intervensi ke dalam pemerintahan dengan penguasaan otoritas pemerintah dalam bidang kebijakan militer. Di dalam teori Weber, pretorianisme didefinisikan sebagai dominasi honoratiores (orang-orang terhormat, ningrat). Ini adalah satu jenis kekuasan yang diterapkan pada kelompok manorial (ksatria) atau kelompok patrimonal (suatu unit yang lebih maju dari rumah tangga patriach,78 yang merupakan unit yang relatif kecil yang didasarkan atas ikatan darah). 77 Pretorian adalah situasi dalam masyarakat yang kalangan militernya dominan sebagai aktor politik. Dari kata praetorianism, yang mengacu pada situasi di mana golongan militer memiliki kekuasaan politik yang indenpenden karena kemampuan untuk mengancam atau menggunakan kekuatan militernya. Konsep itu berasal dari zaman kekaisaran Romawi, abad 2 BC abad 3 AD. Praetorian adalah anggota Praetorian Guard (pasukan Pengawal Kaisar)yang mempunyai potensi merebut kekuasaan 78 Sistem Patriach adalah Sistem menurut keturunan Bapak. Didalam sistem ini, staf penguasa diambil hanya untuk menjamin kepatuhan pemerintahan Patriachal, sedangkan hubungan-hubungannya didasarkan atas kepemimpinan feodal, birokrasi atau hanya yang bersifat pribadi.79 Arif Yulianto menyebutkan beberapa ciri kaum pretorian antara lain:80 a. Sering muncul di negara-negara bersifat agraris/transisi atau secara ideologi terpecah belah. b. Baik secara potensial maupun faktual cenderung melakukan campur tangan permanen. c. Memiliki kekuasaan merubah konstitusi. d. Mempengaruhi lembaga militer secara negatif. e. Menurunkan standar-standar profesionalisme. f. Kudeta silih berganti, lebih mementingkan ideologi militer daripada skill dan pengetahuan sebagai persyaratan profesional. g. Bersifat patrimonal, yang dikatakan Weber sebagai hubunganhubungan ketergantungan didasarkan loyalitas dan kesetiaan. Walaupun hanya sedikit para perwira militer memilih lapangan politik sebagai pekerjaannya, namun profesi militer dapat bertindak sebagai suatu landasan politik. Semakin tinggi kedudukan perwira, semakin ia bersifat politis, terutama pada situasi-situasi pretorian dan revolusioner yang mungkin melibatkan seluruh organisasi militer dalam aksi politik. Di dalam situasi politik yang stabil, hanya sedikit perwira yang bersedia menggantikan profesi mereka dengan politik, akan tetapi peranan kelompok 79 80 Amos Perlmutter, Militer Dan Politik, (Jakarta : CV Rajawali, 1984), h. 143. Hand Out Mata Kuliah Haniah Hanafie, Kekuatan-Kekuatan Politik, h. 31-32. kecil yang berbuat demikian itu sangat vital terhadap setiap penjajakan hubungan sipil-militer dan peranan militer-negara. E. Militer Profesional Sejarah kelahiran militer profesional sudah dimulai sejak abad 18, yang muncul dan berkembang di Eropa. Revolusi Prancis tahun 1789 menandai menggejalanya “profesi militer”. Dengan mengacu pendapat Samuel P. Huntingon, Burhan Mangenda mengatakan bahwa militer profesional bercirikan sebagai berikut. Pertama, menyangkut keahlian, sehingga profesi di bidang kemiliteran kian menjadi spesifik, serta memerlukan pengetahuan dan keterampilan. Keahlian dan keterampilan itu berkaitan dengan kontrol terhadap organisasi manusia yang tugas utamanya adalah menggunakan kekerasan (manager of violence). Kedua, berkait dengan tanggung jawab sosial yang khusus. Di samping memiliki nilai-nilai moral yang tinggi yang harus terpisah sama sekali dari insentif ekonomi; seorang perwira militer juga mempunyai tanggung jawab kepada negara. ketiga, adanya karakter korporasi (corporate character) para perwira yang melahirkan rasa esprit de corps yang kuat.81 Huntington dalam buku The Soldier and The State mencatat bahwa profesionalisme tidak hanya dapat diberi makna sebagai kemampuan, skill dan expertise seseorang atau lembaga terhadap pekerjaan yang menjadi bidangnya saja, melainkan juga memiliki beberapa ciri khusus. Salah satu 81 Lihat Burhan D. Mangenda memberikan Kata Penghantar Bahasa Indonesia dalam Amos Perlmutter, Militer dan Politik,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. vi. yang dapat disebut sebagai ciri khusus seorang profesional adalah responsibility. Begitu pula dalam dunia militer, profesionalitas tidak hanya dimaknai sebagai kemahiran atau kemampuan menggunakan senjata, tetapi juga tanggung jawabnya sebagai lembaga yang bertugas dalam masalah pertahanan negara. Dalam pandangan Huntington, profesionalitas militer tidak hanya dalam konteks mahir menggunakan senjata dan dilatih di bidang tugasnya saja, tetapi juga harus dapat menggunakan kemampuan analisis, memiliki pandangan luas, imajinasi dan pertimbangan tertentu.82 Artinya, militer profesional mempunyai tiga karakter atau ciri, pertama, keahlian (expertise). Keahlian sebagai karakter utama karena profesi militer semakin spesifik serta perlu pengetahuan dan keterampilan. Militer memerlukan bekal pengetahuan mendalam untuk mengorganisasi, merencanakan dan mengarahkan aktifitas, baik dalam kondisi perang maupun damai. Kedua, tanggung jawab sosial (social responsibililty). Militer profesional mempunyai tanggung jawab sosial yang khusus. Selain memiliki nilai-nilai moral yang harus terpisah sama sekali dari intensif ekonomi, perwira militer juga harus bertanggung jawab kepada negara. dalam konteks itu, profesionalisme militer berarti melindungi negara dan masyarakat. Perwira militer berhak mengontrol dan mengoreksi komandan jika melakukan hal-hal bertentangan dengan kepentingan rasional. Ketiga, militer profesional memiliki karakter korporasi, esprit de corps, yang kuat. Dimensi itu merujuk pada kesadaran dan loyalitas militer sebagai anggota 82 Samuel P. Huntington, The Soldier And The State, (Cambridge: Harvard University Press, 1957), h. 83-85. suatu kelompok atau lembaga khusus yang mempunyai kompetensi profesionalisme berdasarkan standar formal yang telah ditetapkan. Menurut Huntington, semakin tinggi tingkat keahlian seorang tentara, semakin tinggi tingkat profesionalismenya. Dengan demikian semakin kecil pula keterlibatan mereka dalam ranah politik. Perwira-perwira militer profesional selalu siap melaksanakan kebijakan politik yang diputuskan pemerintahan sipil. Namun demikian, profesionalisme militer sering kali terganggu karena adanya politisasi kekuatan poliitik dan tiadanya partai politik yang melembaga dengan kuat, sehingga menimbulkan instabilitas dan kekacauan politik.83 Walaupun menggunakan bahasa yang berbeda, terdapat kesamaan persepsi di kalangan perwira tinggi militer mengenai pentingya profesionalisme prajurit TNI. Mantan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto, misalnya, memberi arti profesionalisme sebagai orang yang harus paling tahu tentang tugas dan fungsinya dibandingkan orang lain. 84 Pandangan hampir serupa juga dikemukakan mantan KSAD Jenderal TNI (Purn) Subagyo HS yang memberi definisi profesionalisme militer sebagai orang yang ahli serta sangat bergantung pada fungsi, peran, dan tugas pokoknya. Ciri dan pengertian profesionalisme di atas bisa berlaku di mana pun, namun bagi TNI perlu jati diri yang khas supaya arah pembangunan 83 Huntington, The Soldier And The State, h. 85 Yuddy Chrisnandi, Kesaksian Para Jenderal: Sekitar Reformasi Internal dan Profesionalisme TNI, (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 241. 84 profesionalismenya seiring dengan arah paradigma baru dan reformasi internalnya. Karena itu, rumusan profesionalisme TNI harus mengandung kriteria yang memenuhi tuntutan kemampuan sebagai alat pertahanan yang bersifat umum; memenuhi tuntutan sikap dan perilaku sesuai jati diri TNI sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, dan tentara nasional; memenuhi tuntutan moral dan etika keprajuritan; dan memenuhi tuntutan sebagai tentara dalam negara demokratis dan modern. Dengan kriteria di atas, Abdoel Fatah membuat rumusan ciri-ciri profesionalisme TNI seperti berikut:85 1. Ahli dan mahir dalam melaksanakan tugas pertahanan negara atau perang melawan ancaman dari musuh negara. 2. Bersikap netral dan tidak melibatkan diri dalam politik praktis. 3. Memiliki disiplin, menaati hukum, dan memiliki l’esprit de corps yang tinggi dan sehat 4. Memiliki etika dan moral keprajuritan yang tinggi 5. Menghargai dan membela rakyat secara proporsional 6. Menghargai pihak berkuasa atau supremasi sipil Profesi militer merupakan contoh menarik dari profesionalisme organisasi yang otonom. Seperti halnya profesi-profesi modern lainnya, profesi militer merupakan ekspresi dari “tipe sosial” yang baru, suatu pengelompokkan kultural dan sosial yang menyolok yang terdiri atas para individu yang bukan kapitalis dan bukan buruh dan mereka juga bukan 85 Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004. (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 247. administrator pemerintahan dan birokrat. Huntington mengatakan bahwa semakin tinggi rasionalisasi profesi militer semakin tinggi pulalah profesionalisasinya, semakin tinggi tanggung jawab politiknya semakin besar pula kemungkinannya untuk berorientasi kepada suatu peranan yang tunduk kepada penguasa-penguasa sipil.86 Ciri dan pengertian profesionalisme di atas bisa berlaku di mana pun, namun bagi TNI perlu jati diri yang khas supaya arah pembangunan profesionalismenya seiring dengan arah paradigma baru dan reformasi internalnya. Karena itu, rumusan profesionalisme TNI harus mengandung kriteria yang memenuhi tuntutan kemampuan sebagai alat pertahanan yang bersifat umum; memenuhi tuntutan sikap dan perilaku sesuai jati diri TNI sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, dan tentara nasional; memenuhi tuntutan moral dan etika keprajuritan; dan memenuhi tuntutan sebagai tentara dalam negara demokratis dan modern. Karena itu masih dibutuhkan waktu cukup panjang bagi bangsa Indonesia untuk memiliki tentara profesional sesuai dengan standar profesionalisme militer yang ideal. Bagaimanapun juga, profesionalisme sangat terkait dengan kemampuan negara dalam mengendalikan dan memnuhi kebutuhan anggaran militer yang diperlukan. 86 Amos Perlmutter, Militer Dan Politik, h. 51. BAB IV KEKUATAN POLITIK MILITER PADA MASA ORDE LAMA DAN ORDE BARU A. Kekuatan Politik Militer Pada Masa Orde Lama 1. Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959) Pada masa perang kemerdekaan di tahun 1945-1949 kepemimpinan serta komando militer Indonesia sangat carut-marut dan simpang siur. Salah satunya dikarenakan berlakunya sistem parlementer sejak dikeluarkannya “Maklumat Wakil Presiden No. X, maka jabatan Presiden sebagai panglima Tertinggi sebenarnya tidak berlaku lagi; tetapi prakteknya panglima tertinggi itu tetap dianggap sebagai atasannya langsung oleh Panglima Besar. Menteri Pertahanan yang seharusnya bertanggung jawab dalam segala hal atas pimpinan militer, pada hakekatnya hanya menjadi pimpinan administratif belaka; sedangkan de facto atas pimpinan militer berada pada tangan Panglima Besar APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) yang merangkap sebagai Panglima Angkatan Darat, beserta Staf Umumnya dan gabungan kepala stafnya. Ada lagi lembaga yang bernama Dewan Pertahanan Nasional yang dipimpin oleh Perdana Menteri yang dapat disamakan sebagai pemegang kekuasaan militer. disamping itu adanya Dewan Siasat Militer yang diketuai oleh Presiden sendiri menambah terpencarnya kepemimpinan militer Indonesia di mana duduk panglima tiap angkatan. Pada masa 10 tahun pertama Indonesia merdeka persoalan tentang militer selalu timbul, terutama mengenai peran politik yang ingin dimiliki oleh militer, karena mereka merasa juga perlu ikut berperan aktif dalam perpolitikan bangsa ini. Tetapi, pola hubungan sipil-militer pada masa-masa ini kurang harmonis, asumsi mengenai peran militer dalam perpolitikan harus dibatasi, berkembang berbarengan dengan keinginan pihak militer yang menginginkan berperan dalam perpolitikan. Pada masa Kabinet Wilopo terdapat rencana Pimpinan TNI untuk menjadikan tentara Indonesia sebagai Tentara Profesional dan Tentara Inti. Rencana ini disetujui serta didukung oleh Menteri Hamengku Buwono IX. Oleh karena alokasi anggaran belanjanya yang amat terbatas maka pada pertengahan tahun 1952 Pimpinan TNI-AD memutuskan untuk memulai melaksanakan demobilisasi sebagai konsekuensi reorganisasi dan rasionalisasi militer tersebut. Tetapi program dari pimpinan TNI tersebut diatas tidak disetujui oleh beberapa kalangan TNI sendiri, terutama oleh anggota-anggota tentara yang dahulu berasal dari bekas-bekas PETA dan Laskar, yang begitu dekat dengan Presiden Sukarno. Oposisi terhadap reorganisasi dan rasionalisasi militer itu mempunyai dukungan politik yang cukup besar, ialah dari PNI dan Presiden Sukarno.87 Perpecahan dikalangan TNI, ternyata banyak dimanfaatkan pihak parlemen untuk menintervensi internal TNI, diantaranya88: 87 Salim Said, Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), h. 38. 88 Ikrar Nusa Bhakti, Militer dan Parlemen di Indonesia, dalam Panduan Parlemen Indonesia, (Jakarta: Yayasan API, 2001), h. 197-198 1. Pada tanggal 23 September 1952, Zainal Baharudin (Ketua Komisi Pertahanan, dari sayap kiri) mengajukan mosi yang didukung Partai Murba, Partai Buruh, PRN, dan PKI. Mosi ini menyatakan “tidak percaya dan tidak menerima policy yang dijalankan Menteri Pertahanan dalam menyelasaikan konflik di dalam tubuh TNI, dan minta agar diadakan reformasi serta reorganisasi pimpinan Kementrian Pertahanan serta Pimpinan Militer”. 2. Pada tanggal 13 Oktober 1952, Kasimo dari Partai Katolik mengajukan suatu mosi yang didukung oleh wakil-wakil Partai Masyumi, Partai buruh, Parkindo, Parindra. Mosinya ini menyatakan agar pemerintah segera membentuk sebuah panitia yang beranggotakan wakil-wakil dari Parlemen yang memiliki suara mayoritas dan wakil-wakil pemerintah guna mempelajari secara objektif dan hati-hati seluruh persoalan di dalam Parlemen tersebut dan dalam waktu tiga bulan memberi saran “kemungkinan dilakukannya penyempurnaan struktur dan kementrian pertahanan dan struktur kemiliteran”. 3. Pada tanggal 14 Oktober 1952, diajukan mosi ketiga yang disponsori oleh Sekretaris Jendral PNI, Manai Sophian. Mosi yang ini didukung oleh NU dan PSII itu adalah sebagaimana pernyataan mosi Kasimo, hanya berbeda mengenai tugas Panitia Negara, yaitu agar Panitia Negara memberi saran “kemungkinan penyempurnaan pimpinan dan organisasi Kementeriaan Pertahanan dan Kemiliteran”. 4. Pada tanggal 16 Oktober 1952, diadakan voting untuk ketiga Mosi tersebut, namun situasi itu menemui jalan buntu. Lemahnya persatuan di kalangan militer sebelum agresi milter Belanda kedua menimbulkan masalah antara pemerintah dan Panglima Soedirman, serta antara mantan perwira KNIL didikan Belanda yang bertipe “administrator” dan para perwira mantan anggota PETA yang dilatih Jepang, serta laskar yang bertipe “solidarity makers”. Masalah khusus ini memuncak dalam peristiwa 17 Oktober 1952.89 Pada tanggal 17 Oktober pagi, suatu Demonstrasi yang mengejutkan melanda Jakarta, yang dilakukan oleh sekitar 30.000 ribu orang. Pertama kaum demonstran itu menuju ke tempat gedung Parlemen, dan setelah itu menuju ke istana Presiden untuk menyampaikan tuntutannya. Pada pokoknya mereka menunut “supaya Presiden membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara yang ada dan kemudian segera mengadakan Pemilu”. Di istana berdiri mobil-mobil berlapis baja dan beberapa meriam, yang secara jelas terlihat mengarah tepat ke tempat Presiden berbicara.90 Presiden menjanjikan diadakannya Pemilihan Umum secepat mungkin, tetapi dia menolak membubarkan Parlemen sebab, kata Presiden, hal itu berarti akan menjadikannya seorang diktator. 89 Untuk mengetahui detail perdebatan pada peristiwa 17 Oktober 1952, dapat dilihat pada esai yang ditulis oleh Ikrar Nusa Bhakti, Militer dan Parlemen di Indonesia, dalam Panduan Parlemen Indonesia, (Jakarta: Yayasan API, 2001), h. 185-200. 90 Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966, (Jakarta: Gadjah Mada University Press, 1982), h. 73. Selesai menghadapi para demonstran Presiden kemudian menerima dua kelompok Perwira TNI; semuanya berjumlah 17 Perwira. Dalam pertemuan tersebut delegasi TNI itu antara lain menyatakan bahwa Parlemen yang ada itu “tidak representatif” dan merupakan sumber ketidak-stabilan politik sehingga menyebabkan kabinet-kabinet tidak bisa melaksanakan programprogramnya dengan waktu yang cukup, dan bahwa intervensi yang langsung dilakukan oleh Parlemen terhadap TNI amatlah membahayakan negara. Karena itu mereka menyatakan agar Presiden segera mengatasi masalah itu dengan membubarkan Parlemen dan membentuknya secepat mungkin sesuai dengan kehendak rakyat. Dan bahkan lebih dari itu mereka menuntut Presiden untuk mengganti kabinet dengan pemerintahan triumvirate (pemernitah oleh tiga penguasa) oleh Sukarno, Hatta dan Hamengku Buwono IX. Presiden Sukarno tidak ingin memenuhi seluruh keinginan pihak militer. Dan sampai selesainya pertemuan tersebut tidak didapat suatu penyelesaian.91 “Peristiwa 17 Oktober” ini walaupun politik militer tidak hanya sampai di situ dan berekor panjang di kemudian hari, tetapi dapatlah dikatakan, sejak itu gagallah manuver politik TNI itu. Sebenarnya presiden Sukarno juga tidak menyukai dan bahkan secara diam-diam berusaha mengganti sistem parlementer yang amat membatasinya itu, tetapi Sukarno menolak tawaran pihak militer. Penolakan Sukarno itu, karena dia takut pada timbulnya suatu Yunta militer. Tetapi disamping itu, kegagalan political manuver TNI itu juga disebabkan 91 Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 73-75. terpecahnya Perwira dan Pemimpin TNI. Barangkali justru inilah sebab pokoknya. Mereka terpecah antara kelompok yang menginginkan TNI atas dasar profesionalisme. Bahkan dalam peristiwa itu sendiri, pimpinan dan perwira TNI yang berpaham profesionalisme, yang merupakan penggerak dari kejadian tersebut, menunjukkan tidak adanya kesatuan arah. Sebagai akibat dari kejadian ini, pada tanggal 5 Desember 1952, Kolonel Nasution dibebaskan oleh pemerintah dan berhenti sebagai KSAD, dan demikian pula beberapa perwira “pro-17 Oktober 1952” lainnya mendapat sangsi yang sama. Pada tanggal 16-nya, Kolonel Banmbang Sugeng ditunjuk oleh pemertintah selaku KSAD., pengangkatan Bambang Sugeng ini ternyata berdampak timbulnya kesulitan-kesulitan dalam menyelasaikan masalah itu, terutama mengenai keutuhan TNI, sebab antara Menteri Pertahanan Hamengku Buwono dengan KSAD Bambang Sugeng terdapat perbedaan yang besar didalam menyelesaikan perpecahan di dalam tubuh TNI. Maka pada tanggal 1 Januari 1953, Sultan Hamengku Buwono IX mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menteri Pertahanan.92 Langkah-langkah kemudian yang dilakukan oleh pemerintah, terutama oleh Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri, cenderung memperlebar keretakan tubuh militer, maka atas inisiatif dan usaha beberapa Perwira TNI –baik yang “pro-17 Oktober 1952” maupun yang “anti-17 oktober 1952”diadakanlah serangkaian pertemuan guna menciptakan kembali kesatuan TNI yang retak sejak 17 Oktober 1952. usaha ini mendapat dukungan dan 92 Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 74-75. dorongan yang kuat dari Bambang Sugeng yang pada waktu akhir-akhir itu otoritasnya banyak dilangkahi oleh Iwa Kusumasumantri di dalam mengambil kebijakan mengenai hal-hal yang menyangkut persoalan intern TNI. Akhirnya pada tanggal 17 Februari 1955, berhasil dilangsungkan pertemuan di Jogyakarta yang dihadiri oleh sekitar 280 perwira dari kedua belah pihak. Pertemuan itu berakhir pada tanggal 25 Februari, dengan menghasilkan suatu Resolusi yang diterima oleh seluruh Perwira yang hadir, kemudian disahkan oleh KSAD, Bambang Sugeng. Pada upacara penutupan Konferensi TNI, yang juga dihadiri Presiden Sukarno dan juga Wakil Presiden Hatta serta para Menteri, mereka berziarah ke makam Almarhum Jendral Sudirman dan Letnan Jendral Urip Sumohardjo. Di makam itu para perwira tersebut bersama-sama mencetuskan semacam sumpah setia.93 Resolusi yang berhasil dicetuskan oleh konferensi tersebut terkenal dengan sebutan “Piagam Jogya” atau “Piagam Keutuhan Angkatan Darat”. Di dalam keputusan itu antara lain ditekankan bahwa korp Perwira tersebut akan selalu mempertahankan persatuan dan profesionalisme di dalam tubuh TNI-AD, dan tidak membenarkan campur tangan politik di dalam masalah militer, terutama di dalam urusan pengangkatan pada sesuatu jabatan militer yang harus didasarkan pada senioritas dan kecakapan. Di samping itu, di dalam hubungannya dengan pemerintah serta Presiden sebagai panglima tertinggi, resolusi itu menyatakan, bahwa korps Perwira TNI-AD akan mematuhi segala keputusan yang diambil oleh pemerintah bersama-sama 93 Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 75. dengan Dwitunggal Sukarno-Hatta –bukan hanya cukup dengan presiden sekalipun sebenarnya dia sebagai panglima tertinggi. Selain dari itu konferensi menegaskan suatu pernyataan agar peristiwa 17 Oktober 1952 dianggap tidak pernah ada, dan meminta kepada pemerintah supaya sebelum hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pemerintah sudah memberi penyelesaian secara formal mengenai kejadian tersebut dengan menyerahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan pemerintah. 94 Masalah tersebut kemudian di deponir oleh pemerintah. Keterlibatan militer dalam dunia politik pada era Demokrasi Parlementer ditandai pula dengan program civic mission, menjiplak program tentara Amerika. Konsep tersebut kemudian dalam praktiknya di Indonesia disalahgunakan dan diplesetkan menjadi “nyivik”, yaitu kegiatan yang semata-mata bersifat ekonomi, alias “ngobyek”.95 Civic berasal dari bahasa Inggris yang berarti having to do with city or a citizen; civic berarti pekerjaan dan hal-hal yang berhubungan dengan kepentingah umum dari suatu masyarakat atau warganya. Dilihat dari sisi tugasnya, civic-mission adalah tugas atau program militer yang ditujukan untuk membantu pekerjaan-pekerjaan dan hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan umum.96 Konsep “nyivik” merambah wilayah kegiatan ekonomi berskala besar, ketika pemerintah melakukan nasionalisasi perusahan-perusahaan Belanda 94 Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 78. Ikrar Nusa Bhakti, dkk., Tentara Mendamba Mitra: Hasil Penelitian LIPI tentang Pasang Surut Keterlibatan ABRI dalam Kehidupan Kepartaian di Indonesia. (Bandung: Mizan, 1999), h. 71. 96 Sejarah TNI Jilid II 1950-1959. (Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, 2000), h. 171. 95 pada tahun 1957. Dalam bidang sosial, “nyivik” menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam berbagai operasi militer menghadapi pemberontakan kedaerahan, yang juga dilakukan oleh perwira daerah, seperti kasus PRRI/Permesta dan sebagian perwira yang terlibat dalam kasus DI/TII.97 Kekuatan politik militer pada masa Demokrsasi Parlementer bisa dikatakan dalam masa pembelajaran. Hal ini dapat dilihat dari upaya-upaya militer dalam membubarkan Parlemen yang gagal total. Dari peristiwa 17 Oktober 1952 tersebut dapat dibuat beberapa kesimpulan: Pertama, para perwira TNI tetap tidak menginginkan TNI bersikap apolitis; Kedua, para perwira bertipe administrator tetap ingin berkompetisi dengan para politisi sipil dalam mengatur negara; Ketiga, konflik internal di dalam TNI telah menyebabkan terjadinya “Subyektif Civilian Control”; Keempat, TNI akan mendukung setiap politisi, khususnya Menteri Pertahanan, yang memiliki kebijakan pertahanan yang menguntungkan mereka, dan tidak menyukai seorang Menteri Pertahanan yang lemah atau tidak memiliki visi mengenai pertahanan dan keamanan; Kelima, upaya Parlemen dan Presiden untuk campur tangan dalam kebijakan pertahanan dan organisasi kemiliteran, menyebabkan TNI melakukan “kudeta” yang gagal pada 17 Oktober 1952 tersebut; Keenam, agar tidak dianggap kudeta militer, maka TNI mengerahkan massa rakyat berdemonstrasi untuk memaksa presiden membubarkan Parlemen. Demonstrasi tersebut merupakan awal dari bentuk mobilisasi massa yang digerakkan dengan uang; Ketujuh, “kudeta” 17 97 Bhakti, Tentara Mendamba Mitra, h. 71. Oktober 1952 itu gagal karena tidak mendapatkan dukungan penuh dari kalangan dalam militer itu sendiri (kelompok PETA dan bekas Laskarlaskar rakyat), tidak di dukung oleh partai-partai politik besar, dan masih kuatnya legitimasi dan otoritas Sukarno di mata rakyat dan bahkan perwira militer sendiri. 2. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) Pada periode tahun 1957-1959 Tentara Nasional Indonesia melalui Mayor Jendral A.H. Nasution sebagai KSAD, menitik beratkan tindakannya untuk mengurangi, dan bahkan untuk menghilangkan kerapuhan politis yang merupakan kelemahan paling fundamental yang ada pada TNI. Jendral Nasution menitik beratkan usahanya untuk mendapatkan legitimasi atau “dasar hukum” bagi TNI untuk melakukan peranan-peranan non militer dalam hal ini peranan politik yang selama ini belum dimiliki TNI. Hal ini kemudian mulai terakomodir ketika peranan Nasution dalam memuluskan jalan bagi terciptanya demokrasi yang terpimpin oleh Sukarno nampak jelas terlihat. Pada masa demokrasi terpimpin begitu besar peranan Sukarno dan Nasution dalam memilih anggota kabinet baru, terutama tindakan Nasution dalam menerapkan idea middle way-nya di tingkat atas. Beberapa perwira militer berhasil diangkat menjadi menteri serta beberapa orang dari partai IPKI (partai yang punya hubungan erat dan merupakan kepercayaan kepentingan TNI-AD, yang dibentuk pada tahun 1954 oleh Nasution). Walaupun Sukarno dengan baik juga dapat memasukkan beberapa menteri sayap kiri (pro komunis), tetapi Nasution berhasil mencegah masuknya PKI ke dalam formasi kabinet, dan programnya banyak dipenuhi.98 Pada bulan Juli itu Presiden mengumumkan kabinetnya, yang terdiri dari sembilan Menteri yang disebut “Menteri-menteri kabinet inti” dan 24 orang “Menteri Muda”. Dalam kabinet ini, 12 orang Menteri di antaranya adalah dari golongan militer, dua orang menjadi “Menteri Kabinet Inti”. Pada masa inilah untuk pertama kalinya, seorang menteri, dan yang lebih penting lagi, seorang perwira tinggi TNI-AD yang masih melakukan tugas kemiliterannya dengan aktif menjadi menteri pertahanan, yaitu Letnan Jendral A.H. Nasution. Namun ini tidak berarti bahwa perjalanan TNI dalam politik berjalan mulus tanpa hambatan. Sukarno tidak ingin kemudian TNI yang menguasai perpolitikan atau berada di belakangnya, tetapi dia menciptakan situasi perimbangan antara militer dengan PKI. Pihak militerpun menyadari itu, namun, melihat usia Sukarno yang lahir pada tahun 1901, maka umur para perwira tinggi TNI adalah jauh lebih muda dari Sukarno; misalnya, Jendral A.H. Nasution yang lahir tahun 1918, atau para perwira yang sebaya dengan mayor Jendral Suharto yang lahir tahun 1920. mengingat faktor usia ini, agaknya pimpinan TNI menganggap Sukarno tidak membahayakan kepentingan jangka panjang TNI-AD. Karena hal-hal itu, TNI-AD tidak mau melancarkan politik langsung konfrontasi dengan Presiden Sukarno, 98 Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 80. dan lebih bersifat mengimbangi belaka sejauh tidak merugikan posisi TNI. 99 Usaha TNI-AD dalam rangka strategi politiknya yang difokuskan pada pengembangan dan peningkatan peranan golongan fungsional untuk “melayani” politik Presiden Sukarno serta menandingi peranan Partai-partai Politik dengan fokus untuk menghadapi PKI mempunyai tujuan utama untuk memperkokoh legitimasi yang goyah bersama dengan dicabutnya SOB (Staat Van Oorlog en Beleg): pemberlakuan darurat perang yang membolehkan TNI mengambil tindakan apapun dan bagaimanpun macamnya. Kalau sebelum perkembangan pada 1 Mei 1963, legitimasi peranan politik TNI-AD sepenuhnya bersandar pada SOB, sedang statusnya sebagai kekuatan politik golongan fungsional waktu itu hanya dipakai sebagai reserve dalam kehidupan politik, maka pada masa sesudah dihapusnya SOB ini TNI-AD menggunakan status golongan fungsional sebagai landasan utama partisipasi politiknya. Usaha strategi TNI-AD ini, ditinjau dari satu segi, tidak mendapat hambatan yang berat mengingat TNIAD dengan pimpinan Jendral Nasution telah lama perlahan-lahan giat merintis peranan politik golongan fungsional sejak tahun 1958/1959 dan yang kini menjadi pusat perhatian TNI-AD yaitu mengembangkan serta meningkatkan posisi dan organisasi golongan fungsional sehingga perannya akan mampu menandingi peranan partai politik, terutama PKI. 100 99 Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 81. 100 Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 138 Walaupun secara kasat mata sepak terjang militer dalam bidang nonhankam telah nyata sejak awal berdirinya republik Indonesia, namun keterlibatan militer dalam politik baru mendapat pengakuan secara resmi ketika presiden Soekarno membentuk Dewan nasional pada 6 Mei 1957 berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 7/1957,101 setelah peranan partaipartai politik dilumpuhkan (dengan pengecualian PKI) dan Undang-Undang Darurat diberlakukan (Staat Van Oorlog en Beleg: SOB), yaitu peraturan negara dalam keadaan darurat perang. Tujuan dibentuknya Dewan Nasional oleh Adnan Buyung Nasution dilihat sebagai upaya Angkatan Darat untuk mengambil alih dan mengembangkan ide perwakilan fungsional dan menganjurkan supaya UUD 1945 diberlakukan kembali. Cara tersebut membuka jalan bagi Demokrasi Terpimpin sebagai alternatif kongkret terhadap pemerintahan konstitusional yang sedang diusahakan konstituante.102 Pada tanggal 9 Juni 1957 Soekarno menyampaikan pidato yang ditujukan baik kepada personil sipil maupun militer di Serang (Jawa Barat) mengatakan bahwa Dewan Nasional mencakup person-person dari golongan-golongan buruh, petani, intelegensia, seniman, kaum wanita, orang-orang Kristen, Muslim, pengusaha nasional, personil Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut.103 101 Soebijono, Dwi Fungsi ABRI, h. 25. Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959. (Jakarta: Grafiti, 1995), h. 418. 103 Leo Suryadinata, Golkar dan Militer: Studi tentang Budaya Politik. (Jakarta: LP3ES, 1992), h. 10-11. 102 Untuk memperjelas kedudukannya dalam Dewan nasional, Nasution melakukan ceramah pada ulang tahun Akademi Militer Nasional di Magelang tanggal 12 November 1958 yang dinamakan the army’s middle way. Tujuan Nasution melakukan pidato agar kedudukan tentara yang statusnya sebagai golongan fungsional menjadi jelas, yaitu membolehkan keikutsertaan militer dalam pemerintahan dengan atau tanpa UndangUndang Darurat Bahaya Perang (SOB).104 Konsepsi Presiden105 dan Nasution yang menginginkan memasukkan sebagai golongan fungsional dibahas dalam Dewan Nasional. Dalam banyak pembahasan didapati bahwa konsepsi-konsepsi tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan Undang Undang Dasar Sementara, oleh karena itu diusulkanlah agar UUD 1945 diberlakukan kembali. Usulan tersebut kemudian diusulkan kepada Konstituante, namun dalam perdebatanperdebatan yang terjadi pada sidang-sidang konstituante ternyata usulan tersebut mengalami jalan buntu. Kebuntuan yang menimpa Konstituante menyebabkan sistem ketatanegaraan dinyatakan berada dalam keadaan 104 Muhaimin, Perkembangan Militer , h. 110-111. Pokok-pokok isi konsepsi Presiden adalah: 1. Sistem politik Demokrasi Parlementer secara Barat tidak cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia, oleh karena itu harus diganti dengan sistem Demokrasi terpimpin. 2. Untuk pelaksanaan Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk suatu Kabinet Gotong Royong, yang anggotanya terdiri dari semua partai dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Konsepsi Presiden ini mengetengahkan juga perlunya pembentukan “Kabinet Kaki Empat” yang mengandung arti bahwa keempat partai besar yakni PNI, Masyumi, NU, dan PKI turut serta di dalam kabinet untuk menciptakan kegotongroyongan nasional. 3. Pembentukan Dewan Nasional yang beranggotakan wakil-wakil partai dan golongan fungsional dalam masyarakat. Dalam Nugroho Notosusanto (ed), Pejuang dan Prajurit, Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), h. 76. 105 bahaya. Untuk mengatasi hal itu Presiden Soekarno dengan dukungan penuh TNI mengeluarkan Dekrit untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 5 Juli 1959.106 Dengan diberlakukannya kembali UUD 1945, maka peranan ABRI/TNI sebagai golongan fungsional/kekuatan sosial politik memperoleh legitimasi konstitusional. Era Demokrasi Terpimpin merupakan titik awal dari meluasnya peranan militer di dalam sistem politik Indonesia.107 Demokrasi Terpimpin dibangun atas dasar bangunan politik segi tiga yang menempatkan Soekarno pada posisi puncak, dengan mengikat Partai Komunis Indonesia di sisi kiri bawah dan TNI khususnya Angkatan Darat di kanan bawah.108 Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memuat tiga hal pokok, antara lain: (1) Pembubaran Konstituante, (2) Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945, berlaku kembali dan (3) Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.109 Pada masa-masa setelah dekrit inilah keterlibatan militer beserta wakilwakilnya dalam politik dan lembaga politik meluas dengan cepat. Saat Soekarno mengumumkan Kabinet Kerja pada 10 Juli 1959, sepertiga menteri berasal dari militer, di mana duduk delapan perwira ABRI.110 106 Soebijono, Dwi Fungsi ABRI, h. 26. Bhakti, Tentara Mendamba Mitra, h. 75. 108 Ikrar Nusa Bhakti, Militer dan Parlemen di Indonesia, dalam Panduan Parlemen Indonesia, (Jakarta: Yayasan API, 2001), h. 202. 109 Soebijono, dkk., Dwi Fungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), h. 25 110 Soebijono, Dwi Fungsi ABRI, h. 25 107 Nasution sendiri menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan sekaligus tetap menjabat Kepala Staff Angkatan Darat. Juga, ketika Soekarno mengumumkan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, pada 1960, 35 dari 283 anggotanya adalah anggota militer aktif.111 Demokrasi Terpimpin telah menempatkan Soekarno sebagai pemimpin sentral dengan kekuasaan yang bersifat absolut. Dalam bahasa yang lain Presiden menjadi penentu baik dan buruknya sebuah kebijakan. Namun menurut Herbert Feith sesungguhnya pada masa awal Demokrasi Terpimpin kekuasaan ada pada dua poros utama yaitu Presiden dan Angkatan Darat.112 Barulah setelah Presiden menyadari bahwa beliau membutuhkan satu lagi kekuatan politik penyeimbang yang mampu menopang kekuasaannya, maka Soekarno melabuhkan pilihannya kepada PKI yang memang memiliki semboyan kebersamaan dan kegotongroyongan. Seperti telah diungkap bahwa Sukarno dan Nasution memiliki kepentingan yang sama dalam diberlakukannya Demokrasi Terpimpin. Namun bulan madu Soekarno dan Nasution tak berlangsung lama, karena di balik “kemesraan” itu sesungguhnya terkandung potensi konflik yang melibatkan keduanya. Soekarno, yang semakin khawatir akan pertumbuhan kekuatan militer, khususnya kekuatan Nasution, mencoba mengurangi ketergantungannya kepada militer. Pada perkembangan selanjutnya Soekarno terbukti berhasil mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan 111 Bhakti, Tentara Mendamba Mitra, h. 77. Herbert Feith, Tim PSH (Terj.), Soekarno dan Militer dalam Demokrasi Terpimpin. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 31. 112 membuat posisi tentara semakin terdesak, dengan cara merapatkan diri dan merangkul kalangan komunis, PKI. Perselingkuhan politik Soekarno dengan PKI memunculkan keresahan di benak TNI khususnya garis militer Nasution yang menilainya sebagai suatu pengkhianatan, karena dengan posisi seperti ini tentunya akan mengancam keberadaan tentara di dalam sistem pemerintahan. Tentara yang semakin gelisah dengan manuver-manuver politik yang kian liar berupaya pula melakukan langkah-langkah preventif guna menghadang laju pergerakan kaum komunis Indonesia. Tidak dapat disangkal bahwa TNI AD adalah lawan utama PKI.113 Sampai di sini setidaknya telah sedikit terjelaskan, pada saat awal hubungan Presiden dengan TNI bersifat simbiosis mutualistik. Di satu pihak Soekarno membutuhkan dukungan TNI dalam menggolkan ide Demokrasi Terpimpin. Sedangkan di pihak yang lain, TNI memerlukan Soekarno demi menjaga peluang TNI untuk terus bisa duduk di kursi pemerintahan. Namun pada era selanjutnya, ketika Soekarno lebih menempatkan PKI pada posisi istimewa, otomatis TNI pun meradang menyaksikan realitas politik yang berkembang. Di tambah lagi dengan seringnya PKI melakukan intrik-intrik politik yang tidak sungkan-sungkan melakukan penistaan terhadap TNI, bahkan membunuh anggota TNI. Maka tak ada pilihan lain bagi TNI, kecuali dengan melakukan perlawanan politik pula. Untuk melempangkan niatnya ini, pada tahun 1964 TNI segera mengkonsolidasikan kekuatan113 Perseteruan antara tentara dengan PKI dapat dilihat secara jelas dalam Sejarah TNI Jilid III 1960-1965, (Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, 2000), h. 101. kekuatan fungsional dalam sebuah wadah bersama, dengan nama Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).114 Pada akhirnya situasi ini menciptakan ketegangan-ketegangan yang mengakibatkan posisi TNI vis a vis Soekarno dan PKI. Pertikaian politik TNI dan PKI mengalami puncaknya ketika terjadi suatu peristiwa berdarah yang mengubah wajah sejarah perpolitikan Indonesia modern secara drastis. Penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh perwira Angkatan Darat pada tanggal 30 September 1965 atau yang dikenal sebagai peristiwa Gerakan 30 September (G30S) menjadi klimaks atas permusuhan yang pada masa itu terjadi. Jenazah mereka di masukan ke dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya tempat latihan sukarelawan Pemuda Rakyat dan Gerwani, yang merupakan organisasi underbow Partai Komunis Indonesia. Maka tak heran jika penculikan para Jenderal tersebut diidentikan sebagai upaya kup dari kekuatan PKI terhadap pemerintahan yang tidak lagi kuat. 3. Masa Pemberontakan PKI (Gerakan 30 September) Pergolakan yang di timbulkan “Gerakan 30 September” telah menampilkan seorang Jendral yang sebelum meletusnya peristiwa itu kurang dikenal dalam percaturan politik di Indonesia, seorang Jendral yang hampir sepenuhnya memainkan kecakapannya di bidang militer melulu; Mayor Jendral Suharto. Sedikitnya ada dua faktor pokok yang 114 Mengenai kelahiran Sekber Golkar bisa dilihat dalam Leo Suryadinata, Golkar dan Militer: Studi tentang Budaya Politik (Jakarta: LP3ES, 1992), khususnya dalam Bab I. menggagalkan kudeta “Gerakan 30 September”. Pertama, anak buah Letnan Kolonel Untung tidak berhasil menculik dan membinasakan Jendral A.H. Nasution. Barangkali tidaklah amat mengganggu operasi selanjutnya dari “Gerakan 30 September” kalau yang lolos dari usaha penculikan tersebut bukan Jendral A.H. Nasution. Faktor kedua, para perencana dan pimpinan “Gerakan 30 September” mengabaikan Jendral Suharto sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD) untuk sekurang-kurangnya dinetralisirkan terlebih dahulu sebelum kudeta itu dilancarkan. Suharto adalah seorang nasionalis yang kuat serta setia kepada Jendral Ahmad Yani dan Nasution yang anti komunis. Banyak penafsiran yang berkembang terhadap kudeta gagal tersebut. Tjipta Lesmana dan Asvi Warman Adam seperti yang dikutip Abdul Fatah menulis hampir sama mengenai peristiwa tersebut, antara lain:115 1) Cornell Paper dan Wertheim menyatakan, kudeta dilakukan oleh kelompok Angkatan Darat (karena ada konflik internal Angkatan Darat). 2) Manai Sophian, Oe Tjie Tat, dan dari pelengkap Nawaksara (sembilan pokok pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno di depan MPRS tanggal 22 Juni 1966) menyatakan bahwa G30S/PKI merupakan sebuah konspirasi unsur-unsur nekolonialisme yang berusaha menggagalkan revolusi Indonesia. 115 Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004 (Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 124. 3) Robinson berbicara tentang peran Amerika Serikat dalam “memprovokasi” Angkatan Darat melakukan kudeta dan perannya membangun rezim Soeharto. 4) Sedangkan Brackman dan Miroslav Fic menafsirkan bahwa kudeta September 1965 merupakan persekongkolan komunis yang melibatkan Presiden Soekarno. Pada tanggal 1 Oktober pagi, setelah Jendral Suharto mendengar dan menerima laporan tentang penculikan Ahmad Yani, Nasution, dan lainlainnya, dan kemudian mendengar siaran RRI jam 07.20, dia segera mengambil inisiatif mengumpulkan Pimpinan Angkatan Darat ke tangannya. Setelah dia berhasil mengadakan kontak dengan Angkatan Laut, dan Angkatan Kepolisian, sebagai pimpinan sementara anggakatan darat Jendral suharto mengeluarkan sebuah pengumuman yang disiarkan oleh Departemen Angkatan Darat No. 002/Peng/Pus/1965 yang antara lain berisi, bahwa angkatan darat, laut dan kepolisian telah sepakat untuk menumpas perbuatan kontra revolusioner yang dilakukan “Gerakan 30 September” adalah merupakan suatu coup terhadap Presiden dan terhadap pimpinan tertinggi Angkatan Darat. Setelah Suharto merebut RRI dan memberikan gambaran kepada rakyat tentang perkembangan yang sedang berlangsung. Kemudian Suharto beserta pimpinan lainnya membuat rencana untuk secepat mungkin membebaskan pangkalan udara “Halim Perdanakusumah”. Masa setelah jatuhnya “Halim Perdanakusumah” ke tangan Jendral Suharto pada tanggal 2 Oktober, dua orang telah tampil memegang peranan utama dalam kehidupan politik selanjutnya, yaitu Presiden Sukarno dan Panglima Angkatan Darat (sementara) Jendral Suharto. Pada tanggal 2 Oktober, Suharto menemui Presiden di Bogor, pertemuan itulah yang pertamakalinya antara Presiden Sukarno dan Jendral Suharto. Pertemuan yang dihadiri beberapa kalangan pejabat pemerintahan dan militer itu berlangsung dalam suasan yang tegang akibat perbedaan kebijakan dan tindakan yang telah diambil oleh Sukarno dan oleh Suharto secara terpisah dan kontroversial dalam waktu yang bersamaan, yakni pada tanggal 1 Oktober. Hal-hal yang kontras dari kedua pemimpin itu ialah: a. Jendral Suharto mengutuk “Gerakan 30 September” yang dilakukan Untung, yang menyebutnya sebagai suatu percobaan kudeta yang kontra-revolusioner; sedang, Presiden Sukarno tidak menyebutnya sama sekali sebagai suatu kudeta. b. Presiden Sukarno memerintahkan kepada masing-masing angkatan dalam ABRI agar kembali ke posnya masing-masing serta tetap tinggal tenang; sedangkan Jendral Suharto menyebutkan bahwa telah disepakati oleh Angkatan-angkatan Darat, laut, dan kepolisian untuk menghancurkan “Gerakan 30 September”. c. Presiden Sukarno mengumumkan, bahwa dia sendiri telah mengambil pimpinan Angkatan Darat ke dalam tangannya, dengan menunjuk Mayor Jendral Pranoto sebagai pimpinan TNI-AD guna mengurusi tugas sehari-hari; sedang Mayor Jendral Suharto mengumumkan bahwa dia telah mengambil alih pimpinan Angkatan Darat untuk sementara ke dalam tangannya. 116 Pada tanggal 4 Oktober 1965, timbul perkembangan yang merupakan impetus pergolakan di dalam masyarakat dan kalangan politik, ialah diketemukannya mayat keenam orang Jendral, serta perwira pertama yang diculik dalam satu sumur kecil yang dalam di lubang buaya. Atas dorongan Jendral Nasution, Jendral Suharto dengan baiknya mendramatisir tragedi pembunuhan tersebut di mata rakyat dan kalangan elit. Dengan terjadinya perkembangan kejadiaan itu, maka Angkatan Darat (TNI-AD) telah dipandang sebagai “Pelindung Bangsa” , “Penyelamat Negara” oleh kekuatan yang anti-komunis, sedang oleh keolmpok yang pro komunis TNI-AD dipandang sebagai pengancam keselamatan yang sewaktu-waktu akan mengahabisi hidupnya. Dan sejak saat itu TNI-AD meraih suatu posisi baru menjadi satu pusat perhatian nasional, dan TNI-AD menerimanya dengan kaget sekali. Posisi tersebut ternyata justru jatuh ke tangan Mayor Jendral Suharto, seorang politisi Muallaf yang belum seminggu memasuki arena politik . karena itu untuk mengimbangi situasi baru tersebut, Suharto dengan Nasution- bertindak dalam bentuk memelihara keamanan, mempertahankan negara, dan berusaha menciptakan status quo baru dengan memandang PKI sebagai musuh negara. Posisi TNIAD ini semakin kuat setelah pada tanggal 16 Oktober Mayor Jendral Suharto diangkat menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat secara resmi 116 Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 195. oleh Presiden, sementara Jendral Nasution tetap Menteri koordinator Bidang Pertahanan Dan Keamanan. Tindakan Jendral Suharto sesudah menguasai situasi Jakarta, ialah mengatasi daerah luar Jakarta, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Teristimewa daerah Jawa Timur dimana Aidit telah dipastikan bersembunyi di sekitar Surakarta, daerah ini disamping merupakan basis kekuatan massa pro-PKI dan PKI, juga banyak kesatuan dari Divisi “Diponegoro” yang telah jatuh kedalam pengaruh “Gerakan 30 September” .117 Peranan Presiden Sukarno sebenarnya telah berkurang banyak dengan digagalkannya Gerakan 30 September oleh Jendral Suharto. Gagalnya gerakan 30 September bererti rontoknya perimbangan kekuatan politik antara TNI-AD dan PKI yang telah lama dipertahankan dan diciptakan oleh Presiden Sukarno. Pada tanggal 8 Oktober, terjadilah demonstrasi besar di Jakarta yang disponsori oleh kalangan pemuda islam dengan teriakan menuntut dibubarkannya PKI, serta dengan poster “hancurkan PKI” , “bunuh Aidit”. Presiden sukarno menanggapi demonstran anti-PKI itu dengan keras sekali. Dia menganggap perbuatan itu sebagai usaha yang dikendalikan kaum imperialis untuk mebelokkan revolusi Indonesia ke “kanan”. Gerakan Sukarno untuk membangun kembali image kepemimpinannya dilakukannya dengan gencar, ia pun berkampanye bahwa PKI tidak bersalah, 118 tidak ada kaitannya dengan gerakan 30 September. Hal ini tentu membahayakan bagi 117 118 390. Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 195. Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. masa depan politik TNI-AD, maka. TNI-AD mencoba melawan gerakan – gerakan Sukarno (dengan tidak secara terang-terangan) dengan memobilsasi massa mahasiswa yang membentuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang dengan giat melakukan aksi demonstrasi menuntut di bebarkannya PKI.. setelah KAMI dibubarkan oleh pemerintah kemudian terbentuk kembali KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia) dengan tujuan yang sama dengan KAMI. Melihat perkembangan yang semakin eksplosif ini, TNI-AD nampak belum mau secara terbuka membela ex-KAMI-KAPPI dalam pertarungannya melawan Presiden Sukarno. Ini berarti kelompok Angkatan Darat belum mau melakukan konfrontasi langsung dalam pergulatannya dengan Presiden Sukarno. Tetapi tindakan-tindakan Sukarno terhadap para demonstran yang menentangnya, dan aksi-aksi demonstran ex-KAMI- KAPPI yang telah mempengaruhi kaum political elit dan orang-orang berpengaruh di Jakarta, memaksa TNI-AD untuk mengambil langkah baru mulai awal Maret ini dengan melakukan tekanan-tekanan langsung terhadap Presiden, yang akan dilakukan pada tanggal 12 maret, yaitu hari dimana presiden Sukarno akan melakukan sidang dengan para Pimpinan Militer termasuk para Panglima Daerah Militer. Untuk mengatasi situasi yang sangat kacau akhirnya pada tanggal 11 Maret, sesuai dengan rencananya, Presiden mengetuai sidang Kabinetnya dengan 100 orang Menteri, tetapi Menteri Pangad Jendral Suharto tidak menghadirinya karena “sakit”. Beberapa saat setelah sidang berlangsung, pada jam 11.30, Presiden menerima surat dari pengawalnya, Jendral Sabur, yang memberitahukan kepdanya bahwa “Pasukan tidak dikenal” telah mengepung istana dan sedang memasuki komplek istana. Setelah dibacanya Presiden dengan buru-buru meninggalkan ruang sidang, langsung terbang ke Bogor bersama Subandrio dan Khaerul saleh.119 Suharto segera mengirim tiga Jendral ke Bogor, yaitu Basuki Rahmat, Muhammad Yusuf dan Amir Mahmud. Mereka berhasil menemui Presiden, ketiga Jendral tersebut memperingati Presiden, bahwa “Presiden tidak mempunyai grip lagi kepada situasi” yang sedang berkembang di Jakarta khususnya. Setelah dilangsungkan pembicaraan antara ketiga Perwira Tinggi Angkatan Darat tersebut dengan Presiden yang didampingi oleh ketiga Waperdamnya –Subandrio, Leimena dan Khaerul Saleh- Presiden menandatangani “konsep” Surat Perintah. Surat perintah Presiden yang kemudain terkenal dengan nama “Surat Perintah Sebelas Maret” itu, antara lain berisi “memutuskan dan memerintahkan kepada Letnan Jendral Suharto, Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk atas nama Presiden, mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan”. Dikeluarkannya sebuah “Surat Perintah” dari Presiden Sukarno kepada Menteri Panglima Angkatan Darat, Jendral Suharto, pada tanggal 11 maret 1966, yang kemudian terkenal dengan sebutan “Surat Perintah Sebelas Maret” , mengandung arti yang penting dalam sejarah politik kehidupan 119 Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 213. bangsa Indonesia, terutama penting bagi TNI-AD dalam huibungannya dengan sumber legitimasi peranan politik yang dimainkannya. Surat perintah itu pula yang mengakhiri showdown antara Presiden Sukarno melawan Angkatan Darat.120 Peristiwa itu juga menjadi awal dimulai dominasi militer dalam perpolitikan bangsa ini, tidak tanggung-tanggung, rezim militer pimpinan Suharto bertahan selama 32 tahun. Tentu bukan waktu yang singkat, untuk merasakan tampuk kekuasaann, sehingga militer merajalela di setiap lembaga dan lini kehidupan masyarakat. B. Kekuatan Politik Militer Pada Masa Orde Baru Sejarah keterlibatan militer dalam politik diawali pada akhir pemerintahan Soekarno dan semakin begitu mendominasi kehidupan politik ketika Soeharto mengambil alih pemerintahan yang kemudian berlangsung selama 32 tahun. Orde Baru tampil dengan mengedepankan dominasi militer dalam kehidupan politik yang berimplikasi terhadap reperesivitas dan berbagai bentuk kekerasan politik lainnya. Suasana politik yang represif dimana suara kritis dibungkam, peran dan fungsi lembaga - lembaga politik tidak berjalan dengan semestinya serta hukum yang dijalankan berdasarkan like or dislike, telah menjadi prototipe bagi perjalanan pemerintahan Orde Baru yang militeristik. Richard Tanter, seorang Pengamat politik militer dari AS, menilai bahwa Indonesia dibawah Soeharto telah menjadi negara intel. 120 Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 211. Model operasinya, Tanter menyimpulkan bahwa jangan ambil resiko dan hantam selalu dari belakang. Tanter beranggapan bahwa penggunaan teror yang dilakukan oleh aparat militer dipandang paling efektif. Represif militer hanya menimbulkan kebiadaban dan berbagai bentuk kekerasan politik yang intinya adalah diluar batas kemanusiaan. Kehancuran sistem Demokrasi Terpimpin yang terjadi setelah bencana yang menyertai percobaan kudeta di tahun 1965 –diikuti oleh tersingkirnya PKI dan jatuhnya Soekarno– telah menempatkan Angkatan Darat sebagai kekuatan politik yang dominan.121 Melalui ketetapan MPRS No. XXIV/MPRS/1966, pada masa permulaan Orba dengan tandas meletakkan posisi ABRI pada “kedudukan ABRI adalah sebagai alat revolusi dan alat negara yang dalam pelaksanaannya menggunakan sistem persenjataan fisik teknologis dan sistem persenjataan sosial politik”.122 1. Dwi Fungsi ABRI Sejarah kekuasaan Orde Baru adalah sejarah neo-fasisme (militer), yaitu suatu pemerintahan yang dibangun dengan cara mengandalkan elitisme, irasionalisme, nasionalisme dan korporatisme. Ciri dari Pemerintahan neo-fasisme militer ini adalah mengandalkan kekuatan militer untuk menghancurkan organisasi-organisasi massa (kekuatan sipil) dan 121 Harold Crouch, Militer dan Politik Di Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), h. 15. 122 Cholisin, Militer dan Gerakan Prodemokrasi, Studi Analisis tentang Respons Militer terhadap Gerakan Prodemokrasi di Indonesia (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), hal. 11. menghilangkan semua gerakan militan123. Bibit-bibitnya telah muncul sejak masa Demokrasi Terpimpin, dan diaplikasikan "nyaris" sempurna pada masa Orde Baru. Meskipun ketetapan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai kekuatan sosial baru dikukuhkan pada tahun 1982, yaitu melalui UU No. 20/1982, namun prakteknya peran sosial-politik TNI telah berjalan sejak tahun 1960-an. Terutama, sejak Soeharto berkuasa pada tahun 1966, peran sosial-politik TNI semakin membesar. Peran sosial-politik TNI ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan "dwi fungsi ABRI/TNI". Konsep dwi fungsi TNI pertama kali dilontarkan oleh Abdul Haris Nasution pada peringatan ulang tahun Akademi Militer Nasional (AMN) pada 12 November 1958 di Magelang, dan istilah "dwi fungsi" diperkenalkan kemudian pada rapat pimpinan Polri di Porong tahun 1960. Dwi fungsi merupakan istilah untuk menyebut dua peran militer, yaitu fungsi tempur dan fungsi "pembina wilayah" atau pembina masyarakat124 . Nasution menganggap bahwa, "TNI bukan sekedar sebagai alat sipil sebagaimana terjadi di negara-negara Barat dan bukan pula sebagai rezim militer yang memegang kekuasaan negara. Dwi fungsi merupakan kekuatan sosial, kekuatan rakyat yang bahu-membahu dengan kekuatan rakyat lainnya". Mayor Jendral Nasution, meski berasal dari kalangan militer yang netral, pada tahun 1965 merumuskan sebuah konsep yang dia namai “Jalan Tengah”. Dalam seminar pertama yang diselenggarakan pada April 1965, 123 Iswandi, Bisnis Militer Orde Baru, (Bandung: Rosda Karya, 1998), h. 61 AH. Nasution, Konsistensi TNI dalam Pasang Surut Republik, Catatan dan Pemikiran Jenderal Besar A.H. Nasution, (Jakarta: Komite Penegak Keadilan dan Kebenaran, 2001), h. 3 124 tentara mencetuskan suatu doktrin yang menyatakan bahwa angkatan bersenjata memiliki peran rangkap, yaitu sebagai “kekuatan militer” dan “kekuatan sosial-politik”. Sebagai kekuatan “sosial-politik”, kegiatan tentara meliputi bidang-bidang: “ideologi, politik, sosial, ekonomi, budaya dan keagamaan.” Peran rangkap militer ini, walau belum tercetuskan secara resmi, sering dijadikan alasan untuk meraih kendali kekuasaan ke tangan mereka, terutama ketika sistem pemerintahan sedang mengalami kemerosotan. Konflik-konflik yang terjadi di masa Demokrasi Terpimpin, seperti “Peristiwa Madiun”, membuat tentara menyadari peran ekstrem mereka. Perkawinan antara kalangan militer netral yang lebih terdidik dengan kalangan militer yang haus kekuasaan seperti Soeharto, sekurangnya dalam ruang lingkup yang paling dominan di dalam TNI, berhasil meredam perpecahan lebih jauh di kalangan militer Indonesia yang pada waktu itu terbagi-bagi menjadi divisi-divisi kecil yang memegang ideologi politik tertentu. Setiap konflik yang terjadi membuat militer memiliki alasan untuk memberlakukan situasi darurat, kemudian menuai kendali-kendali politik dan ekonomi setelah konflik berhasil diredam. Dwi fungsi ABRI adalah satu point penting yang memungkinkan ABRI memasuki hampir seluruh lapangan kehidupan, bukan saja sebagai aparat pertahanan dan keamanan, melainkan juga sebagai kekuatan sosial politik. Dwifungsi ABRI menurut Soebiyanto adalah:125 “Bahwa ABRI itu mempunyai dua fungsi, adalah sebagai kekuatan hankam, maka ABRI merupakan aparatur negara dan bangsa terhadap serangan/ancaman/bahaya yang datang dari luar maupun dari dalam negeri. Dalam fungsinya sebagai kekuatan sosial ABRI, merupakan salah satu golongan karya yang ikut secara aktif dalam segala usaha dan kegiatan masyarakat dan negara di semua bidang dalam rangka pencapaian tujuan nasional. Sebagai aparatur negara ABRI menegakkan dan membela negara, sebagai golongan karya ABRI mengisi dan membangun negara”. Dwi fungsi TNI ini muncul sebagai refleksi atas pengalaman politik masa sebelumnya. Sebelum tahun 1952, hampir semua keputusan-keputusan politik ditentukan oleh politisi sipil, sementara campur tangan militer di politik sangat minim dan tidak signifikan. Akibatnya, keberadaan militer menjadi bergantung kepada kemauan politisi sipil. Ketika Kabinet Wilopo melakukan berbagai penghematan dalam anggaran dan belanja negara, termasuk memperkecil anggaran di sektor pertahanan, Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan rasionalisasi organisasi TNI. Akibatnya, sekitar 80.000 anggota militer terancam di-demobilisasi. Kompleksitas persoalan dan konflik politik saat itu, telah menyebabkan militer melakukan kudeta pada 17 Oktober 1952. Terdapat dua kelompok militer (AD) yang bertikai: yaitu kelompok yang setuju perubahan organisasi, dan kelompok yang tidak setuju perubahan. Rumor bahwa 125 Soebiyanto, Catatan-catatan tentang Dwifungsi dan kekaryaan ABRI, dalam Diktat Kursus Pembinaan Mental ABRI. (Dephankam: Pusat pembinaan mental ABRI, 1976), h. 4-8. kelompok yang akan terkena demobilisasi adalah laskar-laskar rakyat telah mempertajam konflik, karena laskar rakyat merupakan underbouw partaipartai politik, seperti Masyumi, PNI, PKI, PSI dan Murba. Akibatnya konflik tersebut berubah menjadi konflik politik di parlemen. Partai-partai kiri seperti Partai Murba, Partai Buruh dan PKI menyatakan mosi tidak percaya terhadap pemerintah, dalam hal ini Kementrian Pertahanan dan Angkatan Perang. Di sisi lain, partai-partai kanan seperti Masyumi dan Partai Katolik melakukan counter motion untuk mengakhiri penggunaan Misi Militer Belanda dan setuju untuk melanjutkan demobilisasi. Pada 28 Juli 1952 parlemen mengadakan serangkaian sidang yang membahas persoalan-persoalan Kementrian Pertahanan dan Angkatan Perang, khususnya persoalan internal TNI AD. Namun pimpinan TNI AD menganggap bahwa debat tersebut telah membuka aib TNI AD. Sehingga, para pimpinan TNI AD, terutama yang berhaluan kanan marah karena menganggap para politisi sipil telah mencampuri urusan internal TNI AD. Meskipun Sukarno berhasil menggagalkan kudeta, namun militer berhasil mendapatkan bargaining position di arena politik nasional. Pada tahun 1957, terjadi pemberontakan di beberapa daerah, sehingga peran militer semakin dibutuhkan, dan sejak saat itu, perannya semakin besar pula di bidang politik. Satu-satunya kelompok sipil yang kritis terhadap militer AD hanyalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah pemberangusan partai-partai politik di awal tahun 1960-an, kekuatan politik nasional hanya terdiri dari tiga, yaitu Sukarno, PKI dan militer (AD). Antara PKI dan TNI saling bersaing dan melakukan "manuver" untuk menarik perhatian Sukarno. Sejak tahun 1963, peristiwa demi peristiwa telah mempengaruhi dinamika hubungan segitiga kekuasaan tersebut. Sebagai misal, pergantian KSAD dari Nasution kepada Ahmad Yani pada Juni 1962, pencabutan Undang-undang Keadaan Bahaya (SOB) pada November 1962, dianggap telah menguntungkan PKI. Perihal diangkatnya Yani tersebut dianggap sebagai kemunduran serius bagi kelompok Nasution yang mendukung militer sebagai kekuatan politik yang utuh. Setelah dilantik sebagai KSAD, A. Yani segera mengganti sejumlah Panglima daerah yang berani menentang Sukarno dengan isu-isu komunis126. Tetapi, ketika Maret 1963 terjadi kerusuhan anti-Cina di Jawa Barat pada saat Sukarno berkunjung ke Cina, kelompok AD dinggap berhasil mempermalukan Sukarno dan sekaligus memperlemah PKI. Kerusuhan tersebut disinyalir sengaja dilakukan oleh militer karena pada saat itu sejumlah komandan militer setempat terlihat bekerjasama dengan para perusuh127 . Kemudian, pada tahun 1965, terjadi peristiwa kontroversial "G-30-S", yang tidak saja mematikan gerakan PKI di Indonesia, tetapi juga merubuhkan kekuasaan politik Sukarno. Sehingga, militer menjadi satusatunya pemenang, dan segeralah babak Orde Baru dimulai. Sejak saat itu, 126 Herbert Feith, Soekarno dan Militer, dalam Demokrasi Terpimpin, cet. kedua, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2001), h. 136-137 127 Feith, Soekarno dan Militer, h. 138 militer mendominasi hampir di seluruh bidang sosial, politik dan ekonomi nasional. Agar keberadaan militer di bidang sosial-politik diakui, maka pemerintah militer Orde Baru melakukan langkah-langkah yuridis sebagai berikut: (1) memasukkan dwi fungsi ABRI dalam GBHN tentang ABRI sebagai modal dasar pembangunan; (2) UU No. 20/1982 tentang Pokokpokok Hankam Negara; (3) UU No. 2/1988; dan (4) UU No. 1/1989. Dua produk UU yang terakhir merupakan penyempurnaan dari produk UU sebelumnya. Setidak-tidaknya, terdapat tiga peran militer pada masa Orde Baru yang berakibat buruk bagi kehidupan demokrasi. Pertama adalah menempati jabatan-jabatan politis seperti menteri, gubernur, bupati, anggota Golkar dan duduk mewakilinya dirinya di DPR. Misalnya, pada tahun 1966, anggota militer yang menjadi menteri sebanyak 12 orang dari 27 anggota kabinet dan 11 anggota militer yang menempati jabatan strategis di departemendepartemen urusan sipil. Di DPR, sebanyak 75 anggota militer duduk mewakili militer. Di tingkat daerah, pada tahun 1968, sebanyak 68% gubernur dijabat oleh anggota militer, dan 92% pada tahun 1970. Sementara, pada tahun 1968, terdapat sebanyak 59% bupati di Indonesia berasal dari anggota militer. Kemudian pada tahun 1973, jumlah militer yang menjadi menteri sebanyak 13 orang; sebanyak 400 anggota militer dikaryakan di tingkat pusat, dan 22 dari 27 gubernur di Indonesia dijabat oleh militer. Hingga tahun 1982, sebanyak 89% jabatan-jabatan strategis di tingkat pusat yang berkaitan dengan persoalan sipil dijabat oleh anggota militer. Kemudian paska pemilu 1987, sebanyak 80% anggota DPR dari Fraksi ABRI dan sebanyak 34 perwira senior menjadi anggota DPR melalui Fraksi Golkar. Kemudian, 120 anggota militer terpilih sebagai pimpinan Golkar daerah dan hampir 70% wakil daerah dalam kongres nasional Golkar berasal di militer. Jumlah fraksi ABRI di DPR juga meningkat dari 75 menjadi 100. Kenaikan ini dianggap tidak layak, karena jumlah ABRI hanya 500.000 orang (0,3% dari jumlah penduduk Indonesia) tetapi mendapatkan kursi 20% di parlemen128 . Banyaknya anggota militer yang duduk di parlemen telah mempengaruhi keputusan-keputusan yang dibuat oleh DPR. Misalnya, pengalaman masa kerja DPR dari 1971-1977 dan 1977-1982, Fraksi ABRI terlihat paling keras menentang penggunaan hak interpelasi dan angket pada kasus korupsi di Pertamina yang diusulkan oleh F-PP dan F-DI129. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh F-ABRI dalam menolak usulan penggunaan hak angket pada kasus pembunuhan massal di Tanjung Priok. Kedua adalah menghegemoni kekuatan-kekuatan sipil. Contoh yang paling mencolok pada kasus ini adalah pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang dapat diartikan sebagai salah satu upaya "mengendalikan" kekuatan intelektual melalui sebuah lembaga. Hal ini 128 Cholisin, Militer dan Gerakan Prodemokrasi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h. 23 129 Muchtar Pakpahan, DPR RI Semasa Orde Baru, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), h. 159 bertentangan dengan hakikat cendekiawan yang berpikiran bebas dan kreatif, tetapi diikat dalam suatu wadah yang bersifat ideologis. Sebelumnya, militer selalu menganggap bahwa intelektual Indonesia terlalu "bias Barat". Dengan kelahiran ICMI, diharapkan intelektual tidak lagi "bias Barat", tetapi lebih "bersahabat" dengan militer. Contoh lain terjadi pada Maret 1997, di mana Kassospol ABRI, Letjen Syarwan Hamid mengumpulkan para guru besar dari seluruh Indonesia di Bogor. Tujuan dari pengumpulan para profesor tersebut adalah untuk "memberi informasi" mengenai bahaya Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan bangkitnya komunisme baru. Rejim militer Orde Baru menganggap bahwa PRD dianggap berbahaya selain karena beraliran kiri dan diasosiasikan dengan komunis dan PKI, PRD juga dituduh sebagai dalang kerusuhan peristiwa 27 Juli 1996. Militer mendikotomikan antara Barat dan Timur secara oposisional. Barat adalah sesuatu yang berbau asing, sekular dan sangat bertentangan dengan Timur yang relijius dan menjunjung tinggi kesantunan. Oleh karena itu, untuk melihat Indonesia maka tidak dapat dipahami dengan kerangka struktural Barat yang liberal. Hal tersebut juga berlaku untuk melihat kedudukan militer di Indonesia. Dalam menghadapi berbagai persoalan, termasuk isu demokratisasi dan hak asasi manusia, militer selalu mendefinisikan bahwa Indonesia memiliki keunikan tersendiri sehingga memerlukan penanganan sendiri seusai dengan kepentingan militer. Ketiga adalah melakukan tindakan-tindakan represif terhadap rakyat. Beberapa kasus yang terjadi pada masa ini adalah: Orde Baru melakukan pembunuhan terhadap ratusan ribu anggota PKI dan pendukung Sukarno, serta memenjarakan ribuan lainnya tanpa proses pengadilan (1966-1971), pembunuhan massal terhadap anggota kelompok Islam di Tanjung Priok (1984); kasus tanah petani di Jenggawah (1989); pelaksanaan operasi militer di Aceh (1989-1999), Timor Lorosae (1980-199) dan Papua (1960-an-199); penggusuran dan intimidasi penduduk di Kedung Ombo, Jawa Tengah (1989); penembakan penduduk di sekitar waduk Nipah, Madura (1993), intimidasi terhadap pendukung non-Golkar menjelang setiap pemilu (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1987), penyerangan terhadap kantor PDI (1996), penculikan aktivis pro demokrasi (1997), penembakan empat mahasiswa Trisakti (1998), tragedi Semanggi (1998) dan masih banyak lagi peristiwaperistiwa lainnya, yang karena terjadi di wilayah pedalaman dan jumlah korbannya sedikit sehingga tidak diberitakan secara luas130. Terdapat dua penjelasan mengapa militer banyak terlibat dalam kasus kekerasan di Indonesia. Pertama, karena pada dasarnya militer memang tidak dilatih untuk melindungi rakyat. Semua prajurit adalah dilatih untuk menyerang, membunuh dan menghancurkan lawan. Dalam pendidikan militer selalu ditekankan untuk merangsang insting kebuasannya. Begitu juga, teknologi yang dikembangkan oleh militer adalah lebih banyak untuk 130 Mashudi Noorsalim, "Involvement of the Indonesian Military in Human Rights Violations", makalah dipresentasikan pada South East Asian Advanced Programme on Human Rights yang diselenggarakan oleh Office of Human Rights Studies and Social Development, Faculty of Graduate Studies, Mahidol University – Thailand, Maret 17-28, 2003. menyerang, membunuh dan menghancurkan lawan. Kedua, adalah doktrin pertahanan dan keamanan yang menekankan perang gerilya yang menggunakan rakyat sipil sebagai bumper. Dalam doktrin yang disebut Sishankamrata (sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta) tersebut tidak membedakan antara militer (combatans) dan penduduk sipil. Sehingga, penduduk sipil yang dianggap tidak membela militer dianggap musuh yang perlu dibunuh. ABRI telah menjadikan perannya berdwifungsi itu sebagai senjata utama untuk mematikan segala bentuk kehidupan yang demokratis. Dalam posisi seperti itu, ABRI (TNI AD) menjadi satu-satunya institusi politik yang berkuasa dan dapat mengatur sendiri seluruh kehidupan masyarakat. Lebih jauh, Daniel S. Lev menuliskan bahwa dwi-fungsi ABRI bukan saja memonopoli politik dan makna politik tetapi juga menyumbang secara luar biasa bagi kerusakan kelembagaan kenegaraan, karena seluruh lembaga negara diposisikan berada dibawah kekuasaan institusi militer. Bibit dari perluasan penguasaan muncul sejak masa paska kemerdekaan. Misalnya penolakan Jenderal Sudirman terhadap rencana pembentukan staf pendidikan untuk TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dibawah kementerian Pertahanan, pada januari 1946. Alasannya kekuatan militer adalah kekuatan politik, dan militer pecaya bahwa mereka harus menjadi pemimpin Indonesia.131 131 h. 53-56 Peter Britton, Profesionalisme Dan Ideologi Militer Indonesia,(Jakarta:LP3ES, 1996), Sementara Perluasaan penguasaan militer terhadap seluruh lembaga kenegaraan sejak 1965 paska G30S, Soeharto mengembangkan apa yang saat ini dikenal sebagai komando teritorial.132 Disamping pengembangan kekuasaan territorial juga dibangun jaringan intelijen secara ekstra yaitu melalui Kopkamtib dan BAKIN. Kekuasaan teritorial dan peranan dwifungsi itu membentang mulai dari pusat sampai ke-jajaran desa. Boleh dikatakan bahwa kekuasaan teritorial itu menandingi kekuasaan birokrasi sipil dan dalam beberapa kasus bisa mengatasinya. Hal itu terjadi karena seluruh jajaran birokrasi sipil itu tak luput pula dikuasai oleh para perwira militer, baik yang aktif maupun purnawirawan. Akibatnya otonomi lembaga pemerintahan menjadi kerdil, termasuk Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung, 133 Peter Britton dalam bukunya Profesionalisme Dan Ideologi Militer Indonesia lebih tegas mengungkapkan;134 “...bagian teritorial dari Angkatan Darat memastikan kehadirannya disetiap kota dan di sementara daerah, di setiap daerah, di setiap desa dengan tugas memelihara keamanan, mengawasi kegiatan-kegiatan aparat pemerintahan sipil dan bertindak sebagai pengawas-pengawas politik. Para perwira militer, baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun, semakin banyak yang beralih kepada kedudukan-kedudukan penting sebagai pejabat-pejabat pemerintah. Pemerintah daerah, pemerintah pusat dan industri, semuanya menjadi berada dibawah pengendalian AD”. Geliat militer dalam perpolitikan tidak terjadi secara alami, tetapi merupakan konsekuensi sejarah sejak lahirnya tentara Indonesia. Mentalitas 132 Daniel S. Lev, “ ABRI dan Politik: Politik dan ABRI,” dalam Diponegaro 74, Jurnal HAM dan Demokrasi, No.7/III/April 1999, YLBHI, h. 10-11. 133 Daniel S. Lev, “ ABRI dan Politik: Politik dan ABRI,” h. 11 134 Peter Britton, Profesionalisme Dan Ideologi Militer Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1996. h. 126 umum tentara Indonesia sebelum maupun setelah kemerdekaan adalah peran langsungnya dalam perpolitikan. Harold Crouch mencatat, “dalam masa revolusi tahun 1945 sampai 1949, tentara terlibat di dalam perjuangan kemerdekaan di mana tindakan politik dan militer saling menjalin tak terpisahkan.” Adapun dua arus gerakan militer di masa itu adalah: yang berpendirian netral dalam urusan politik, dan yang tidak sungkan-sungkan untuk terlibat dalam perpolitikan. Pimpinan-pimpinan militer non-politis kebanyakan berasal dari kalangan kaum berpunya Indonesia yang lulus dari akademi kemiliteran di Belanda. Sementara yang kedua, yang menganggap bahwa militer harus secara langsung mempengaruhi jalannya pemerintahan, berasal dari divisi-divisi tentara lokal yang cenderung memiliki pengikut berdasarkan ideologi politik dan daerah divisi tersebut berasal. Sejak Pemerintahan Orde Baru, keterlibatan militer dalam berbagai keidupan non - militer telah merupakan sebuah keniscayaan. Baik melalui doktrin peran sosial politik ABRI maupun ketentuan perundangan yang mendasarinya, sampai ke implementasi strukturalnya, kehadiran ABRI dalam berbagai kehidupan telah menjadi tak terpisahkan dari perjalanan Republik ini. Dalam pemikiran William Liddle, pelembagaan Dwifungsi ABRI di era Soeharto merupakan bagian dari pelembagaan Piramida Orde Baru yang mencakup seorang Presiden dengan kekuasaan yang sangat dominan, angkatan bersenjata yang sangat aktif berpolitik, proses decision making yang berpusat pada birokrasi, dan pola hubungan state - society yang mengkombinasikan kooptasi responsivitas dengan represi. Fenomena tersebut kemudian menimbulkan keraguan masyarakat akan efektivitas konsep Dwifungsi ABRI. Dekonstruksi dan kaji ulang terhadap konsep Dwifungsi ABRI merupkan kebutuhan politik yang mendesak disaat angin reformasi sedang berhembus. Ketika masyarakat mulai sepakat mendefinisikan reformasi sebagai redemokratisasi, muncul beberapa pertanyaan akan posisi ABRI dalam proses reformasi serta bagaiman seandainya ABRI mempertahankan status quo. Beberapa pemikiran kemudian muncul untuk melenyapkan militer dari panggung politik. Kontroversi dari Dwifungsi ABRI timbul karena adanya ekses negatif di masyarakat seperti stabilitas menjadi tujuan, dinamika masyarakat menjadi terhambat, aspirasi akan pluralitas dikalahkan keseragaman dan monoloyalitas, sementara asas desentralisasi melemah bersama menguatnya sentralisasi, sehingga demokrasi sulit dicapai karena adanya pelembagaan otoritarianisme. Secara struktural, banyak pula dikalangan militer yang diposkan pada posisi yang sebelumnya dianggap domain - nya orang sipil. Kaji ulang Dwifungsi ABRI banyak dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Beberapa hal yang menyangkut meningkatnya stabilitas politik, menguatnya civil society, globalnya tuntutan demokratisasi serta diferensiasi dan profesionalisme, merupakan faktor bagi militer untuk re - thinking terhadap keterlibatannya dalam militer. Selain itu, kekerasan politik sebagai ekses dari prakter militeristik begitu mendominasi kehidupan politik rezim Orde Baru. Diawal orde Baru, korban- korban kekerasan dan penyiksaan adalah para tersangka G 30 S dan pendukung Soekarno, di era 70 - an korban penyiksaan bergeser ke mahasiswa kritis, lalu 80 - an korban bergeser ke kalangan tokoh islam kritis, dan memasuki era 90 - an mahasiswa dan aktivis Pro Demokrasi selalu menjadi korban dari praktek politik yang militeristik. Pola - pola penyiksaan yang bertentangan dengan Deklarasi Universal HAM tersebut terus berlangsung selama 32 tahun kekuasaan rezime Orde Baru. 135 Telah menjadi kepentingan kita semua bahwa peran politik ABRI dimasa mendatang bagaimanapun harus dihilangkan. Dalam konteks politik Indonesia menurut Harold Crouch, diperkirakan munculnya friksi atau perpecahan antar elite penguasa khususnya militer, merupakan faktor kunci untuk demokratisasi terlebih bila tiap kubu menjalin aliansi dengan kelompok - kelompok masyarakat. Namun perjuanmgan kearah demokratisasi dan penguatan civil society tidak dapat mengharapkan dari konflik antar elite ataupun political will dari penguasa, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan dari generasi ke generasi. Optimalisasi partisipasi politik rakyat serta lembaga - lembag politik menjadi agenda terpenting dalam mendorong proses demokratisasi untuk meminimalisir peran politik militer. Berbagai wacana politik yang kita pelajari hampir selalu mengajari kita bahwa dalam sistem politik idealnya 135 http://www.watchindonesia.org/Proposalguide/Propo_65.htm lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif memiliki kekuasaan seimbang, dengan sesuatu kekuatan check and balances tanpa mengikutsertakan militer didalamnya sebagai kekuatan politik. Alhasil, dengan kekuatan dan mekanisme sedemikian tersebut diharapkan akan dapat menjamin bagi terwujudnya suatu pemerintahan ( state ) yang merefleksikan kemauan dan berorientasi pada kepentingan rakyat ( society ). Karena itu, merupakan kepentingan kita untuk mengajak semua kekuatan Pro Demokrasi untuk memberikan kontribusi pemikiran sebagai landasan perjuangan dalam menolak segala bentuk pemerintahan yang bersifat militeristik. Perkembangan arus demokratisasi yang begitu kuat ditengah proses reformasi saat ini, melahirkan pemikiran baru bahwa militer sebagai sebuah kekuatan politik sudah tidak diperlukan lagi. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari seluruh paparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa lemahnya institusi Negara yang dikelola oleh para politisi sipil menjadikan militer mudah kembali masuk kedalam arena politik. Apalagi dalam rentang negosiasi transisi politik, politisi sipil tidak memiliki posisi tawar yang kuat dengan militer. Pada gilirannya otoritas politik yang ada, parlemen dan kekuatan partai politik yang semestinya mampu mengkoreksi seluruh watak dan sepak terjang militer justru malah bersekutu dengan militer. Selain itu juga, dapat disimpulkan bahwa militer saat ini tidak menyumbang secara signifikan terhadap konsolidasi demokrasi di Indonesia. Hal ini terjadi karena militer tidak mau dikoreksi disatu sisi dan lemahnya posisi politik elit sipil yang berkuasa, baik di parlemen maupun eksekutif, dihadapan TNI. Oleh karena itu sebagai kekuatan politik dari rezim lama, TNI tetap menjalankan watak otoriteriannya dengan pola terror, intimidasi, kekerasan atau pengintaian untuk menundukkan kekuatan politik lain atau massa rakyat. Dalam suatu sistem demokrasi dimana negara berperan sebagai pelindung masyarakat dari ancaman dan gangguan, maka posisi militer di dalam sebuah negara sudah semestinya berfungsi agar ancaman dan gangguan itu menjadi minimal. Fungsi itu bisa dikatakan sebagai kewajiban pokok dari sebuah institusi militer. Dengan demikian posisi militer atau angkatan bersenjata merupakan sebuah institusi yang sah atau lazim jika memang disepakati dalam sebuah organisasi yang bernama negara, yang mempunyai kewajiban berkaitan dengan perlindungan negara demi memproteksi masyarakat dari ancaman fisik. Setelah melalui pergulatan mengenai peristiwa pembentukan organisasi militer di Indonesia, yang telah berganti-ganti nama, yang tentunya mempengaruhi terhadap sifat serta orientasi militer. Ketika bernama TNI, nasionalisme yang tercermin dari nama itu menandakan anggota militer tidak terbatas pada satu etnis atau suku tertentu, tetapi seluruh warga negara Indonesia dipersilahkan menjadi anggota militer. Peran politik yang diperoleh militer dengan susah payah mereka peroleh, melalui berbagai peristiwa yang terekam dalam sejarah bangsa ini, menandakan bahwa militer sebagai salah satu unsur yang mutlak dalam suatu negara keberadaannya tidak dapat dipandang sebelah mata. Fakta bahwa militer merupakan kekuatan yang menentukan dalam jagat perpolitikan kita adalah realitas yang tidak bisa ditolak siapa pun. Buktinya kejatuhan Presiden Soekarno karena berseberangan dengan militer, sehingga jenderal Soeharto mengudetanya, dan jenderal Soeharto pun lalu jatuh, karena militer menarik dukungan kepadanya. B. Saran-Saran Setelah penulis melakukan penelitian yang telah dipaparkan di atas maka adapun saran-saran untuk hal tersebut yaitu: 1. Perlu memformulasikan tempat dan posisi TNI dalam politik saat ini secara lebih jelas dalam kendali otoritas sipil. Sehingga TNI tidak mudah memanipulasi masa lalunya yang menjadi alat kekuasaan untuk kembali berpolitik, menindas dan korup. Dalam hal ini sangat diperlukan adanya pembongkaran sejarah secara resmi terhadap segala bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan terhadap institusi militer di masa lalu. 2. TNI sendiri juga harus merubah paradigma, doktrin dan tindakannya agar mampu menjadi bagian yang integral bagi bangsa Indonesia yang demokratis. Sebaliknya, jika TNI masih terus mengedepankan penguasaan, apalagi menggunakan kekerasan, maka TNI hanya akan kembali menjadi “negara dalam negara”. 3. TNI harus tunduk pada otoritas sipil yang demokratis. TNI harus tunduk pada penegakkan hukum, termasuk proses peradilan hak asasi manusia. TNI harus dipimpin oleh seseorang yang cerdas, yang mampu menempatkan diri dalam perwujudan masyarakat yang demokratis, menjunjung supremasi sipil, dan konstitusional. DAFTAR PUSTAKA Anwar, Dewi Fortuna. dkk. Gus Dur Versus Militer: Studi tentang Hubungan Sipil-Militer di Era Transisi. Jakarta: PT. Grasindo, 2002. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Azca, M. Najib. Ketika Moncong Senjata Ikut Berniaga: Laporan Penelitian Tim Kontras Mengenai Keterlibatan Militer Di Bojonegoro, Boven Digoel dan Poso. Jakarta: Kontras, 2004. Bachtiar, Harsja. Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Jakarta: Djembatan, 1988. Bakrie, Connie Rahakundini. Pertahanan Negara Dan Postur TNI Ideal. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007. Bhakti, Ikrar Nusa, “Militer dan Parlemen di Indonesia.” dalam Panduan Parlemen Indonesia. Jakarta: Yayasan API, 2001. ________________. dkk. Tentara Mendamba Mitra: Hasil Penelitian LIPI tentang Pasang Surut Keterlibatan ABRI dalam Kehidupan Kepartaian di Indonesia. Bandung: Mizan, 1999. ________________. dkk. Tentara Yang Gelisah: Hasil Penelitian YIPIKA Tentang Posisi ABRI Dalam Gerakan Reformasi. Jakarta: Mizan, 1999. Britton, Peter. Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia Perspektif Tradisi-Tradisi Jawa dan Barat. Jakarta: LP3ES, 1996. Cholisin. Militer dan Gerakan Prodemokrasi, Studi Analisis tentang Respons Militer terhadap Gerakan Prodemokrasi di Indonesia. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002. Chrisnandi, Yuddy. Kesaksian Para Jenderal: Sekitar Reformasi Internal dan Profesionalisme TNI. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006. Crouch, Harold. Militer dan Politik Di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999. Desch, Michael C. Politisi VS Jenderal: Kontrol Sipil atas Militer di Tengah Arus yang Bergeser. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002. Diamond, Larry. Developing Democracy: Toward Consolidation, terjemahan dengan judul yang sama, Yogyakarta: IRE, 2003. Dogan, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1997. Eko, Sutoro, “Demiliterisasi dan Demokratisasi.” dalam Arie Sujitno dan Sutoro Eko, ed. Demiliterisasi, Demokratisasi, dan Desentralisasi. Yogyakarta: IRE Press, 2002. Fatah, Abdoel. Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004. Yogyakarta: LKiS, 2005. Feith, Herbert, Tim PSH, Terj. Soekarno dan Militer dalam Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995. Gerung, Rocky. “Tentara, Politik, dan Perubahan.” dalam Lukas Luwarso dan Imran Hasibuan. Indonesia di Tengah Transisi. Jakarta: Propatria, 2000. Habib, A. Hasnan. “Hubungan Sipil Militer Pasca Orde baru dan Prospeknya di Masa Depan.” Progresif, Vol II No. 1. Jakarta Political Science Forum FISIP UI, 2002. _______________, “Peranan ABRI Selama Perjuangan Reformasi.” dalam Selo Soemardjan, ed. Kisah Perjuangan Reformasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999. Hadiz, Vedi R. Dinamika Kekuasaan, Ekonomi-Politik Indonesia PascaSoeharto. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005. Hanafie, Haniah. Hand Out Mata Kuliah: Kekuatan-Kekuatan Politik. Jakarta: 2007 Handojo, Sukardi S. Hadi, ed. 30 tahun Angkatan bersenjata republik Indonesia. Jakarta: Pusjarah ABRI, 1976. Huntington, Samuel P. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995. __________________, “Mereformasi Hubungan Sipil-Militer.” dalam Larry Diamond dan F. Plattner ed. Hubungan Sipil Militer dan Konsolidasi Demokrasi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000. Kadi, Saurip. TNI- AD: Dahulu, Sekarang dan Masa Depan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2000. Kahfie, Syahdatul. “Peran Militer Indonesia: Tuntutan atau Kepentingan.” PROGRESSIF Vol. II, no. 1 Jakarta: Political Science Forum FISIP UI, 2002. Karim, Muhammad Rusli. Peranan ABRI dalam Politik dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan Politik di Indonesia 1965-1979. Jakarta: Haji Masagung, 1989. Lane, Max. Bangsa Yang Belum Selesai: Indonesia, Sebelum dan Sesudah Soeharto. Jakarta: Reform Institute, 2007. Mabes ABRI, Sukardi S. Hadi Handojo, ed. 30 tahun Angkatan bersenjata republik Indonesia. Jakarta: Pusjarah ABRI, 1976. Mahdi, A. Dinajani S.H. Peran Sosial Politik ABRI dalam Era Reformasi: Kertas Karya Perorangan (Taskap) Kursus Singkat Angkatan VII Lemhanas 1998. Jakarta: Dept. Pertahanan Keamanan RI dan Lemhanas, 1998. Makalah Hasil Seminar ABRI. Peran ABRI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi Peran ABRI dalam Kehidupan Bangsa. Bandung: Mabes TNI, 1998. Markas Besar TNI. Bunga Rampai Paradigma Baru. Jakarta: Staff Komunikasi TNI, 2003. Markas Besar TNI. Implementasi Paradigma Baru TNI dalam Berbagai Keadaan Mutakhir. Jakarta: Mabes TNI, 2001. Muhaimin, Yahya. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 19451966. Yogyakarta: Gadjah Mada University, 1982. Nasikun. ”Konsosiasionalisme dan Transisi Demokrasi dalam Masyarakat Majemuk.” dalam A. E. Priyono, Stanley Adi Prasetyo, dan Olle Tornquist ed. Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca Soeharto. Jakarta: Demos, 2003. Nasution, A.H. Memenuhi Panggilan Tugas. Jakarta: Gunung Agung, 1982. Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959. Jakarta: Grafiti, 1995. Nordlinger, Eric A. Militer dalam Politik. Jakarta: Rineka Cipta, 1990. Notosusanto, Nugroho ed. Pejuang dan Prajurit, Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI. Jakarta: Sinar Harapan, 1984. Perlmutter, Amos. Militer dan Politik. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000. Rinakit, Sukardi. dalam “Tentara Nasional Indonesia Sudah Melempar Dadu.” sebagai Kata Pengantar Buku Yuddy Chrisnandi. Kesaksian Para Jenderal: Sekitar Reformasi Internal dan Profesionalisme Tentara Nasional Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006. Sadli, M. Bila Kapal Mempunyai Dua Nakhoda: Esai-Esai Ekonomi Politik Masa Transisi. Jakarta: Alvabet, 2002. Said, Salim. Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001. Said, Salim. Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi: Perkembangan Pemikiran Politik Militer Indonesia 1958-2000. Jakarta: Aksara Kurnia, 2002. Samego, Indria. TNI Di Era Perubahan. Jakarta: Erlangga, 2000. Sanit, Arbi. Partai, Pemilu dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. , Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik, dan Pembangunan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003 Schmitter, Philippe C, dan Guillermo O’Donnell. Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian. Jakarta: LP3ES., 1993. Sejarah TNI Jilid II 1950-1959. Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, 2000. Sejarah TNI Jilid III 1960-1965. Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, 2000. Singh, Bilveer. Dwi Fungsi ABRI: Asal Usul, Aktualisasi, dan Implikasinya bagi Stabilitas dan Pembangunan. Robert Hariono Imam penerjemah, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996. Sitepu, P. Anthonius. “Militer dan Politik: Suatu Tinjauan terhadap Peranan Militer dalam Konfigurasi Politik Indonesia Kontemporer.” dalam POLITEIA Jurnal Ilmu Politik Medan: Departemen Ilmu Politik dan Labotarium Politik Fisip Universitas Sumatera Utara, 2006. Soebijono, dkk. Dwi Fungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan Politik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995. Soebiyanto. Catatan-catatan tentang Dwifungsi dan kekaryaan ABRI. dalam Diktat Kursus Pembinaan Mental ABRI. Dephankam: Pusat pembinaan mental ABRI, 1976. Stepan, Alfred C dan Linz, Juan J. “Mendefinisikan dan Membangun Demokrasi.” dalam Ikrar Nusa Bhakti. dan Riza Sihbudi. ed. Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat. Bandung: Mizan-LIPI-Ford Foundation, 2001. Stepan, Alfred C. Bambang Cipto Penerjemah, Militer dan Demokrasi: Pengalaman Brasil dan Beberapa Negara Lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1996. Sundhansen, Ulf. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI. Jakarta: LP3ES, 1986. Suryadinata, Leo. Golkar dan Militer: Studi tentang Budaya Politik. Jakarta: LP3ES, 1992. Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Jakarta: Magna Script, 2004. Widoyoko, Danang, dkk. Bisnis Militer Mencari Legitimasi. Jakarta: Indonesian Corruption Watch, 2003. Wirahadikusumah, Agus. “Reformasi TNI.” dalam Agus Wirahadikusumah, dkk. Indonesia Baru dan Tantangan TNI: Pemikiran Masa Depan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999. Zen, Kivlan. Konflik dan Integrasi TNI-AD. Jakarta: Institue for Policy Studies, 2004. Berita, artikel koran dan website Chrisnandi, Yuddy. “Hubungan Sipil-Militer dan 'Otoritas' TNI yang Dikebiri.” Republika, 5 Oktober 2004. ________________. “Militer Ditengah Kemelut Politik.” diakses dari www. dephan.go.id. Fathulbari, Ahmad. “Peranan Militer Dalam Politik”. Diakses dari http://ahmadfathulbari.multiply.com/journal/item/40/Catatan_Kuliah_Peran an_Militer_dalam_Politik_ Haramain, A. Malik. “Demokrasi dan Supremasi Sipil.” Kompas, Kamis, 8 November 2001. Misol, Lisa. “Kuasa Militer Indonesia: Antara Bisnis, Politik Dan Kekerasan,” Jakarta Post, 14 Maret, 2006. Prasetyono, Edy. “Supremasi Sipil dan Profesionalisme TNI.” Kompas, Selasa, 05 Oktober 2004. Suyanto, Djoko. “TNI Profesional dan Dedikatif.” Kompas, 5 Oktober 2006. “KSAD: Anggota TNI Jangan Berpolitik Praktis.” artikel dimuat pada Rabu 16 April 2008, dari www.okezone.com. “Presiden: TNI Jangan Berpolitik Selasa: diperdebatkan.” Republika,14 Februari 2006. Hak pilih TNI masih “Supremasi Sipil atas Militer Bukan Balas Dendam Politik.” Kompas, Minggu, 23 April 2000.