MILITER DAN KEKUATAN POLITIK - UIN Repository

advertisement
MILITER DAN KEKUATAN POLITIK:
STUDI TENTANG KETERLIBATAN TNI DALAM PERPOLITIKAN
NASIONAL ERA 1945-1998
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
Hadi Nafis Kamil
NIM: 206033201080
Pembimbing
Dr. Sirajudin Aly,MA.
NIP :150318684
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/2009 M
MILITER DAN KEKUATAN POLITIK:
STUDI TENTANG KETERLIBATAN TNI DALAM PERPOLITIKAN
NASIONAL ERA 1945-1998
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
Hadi Nafis Kamil
NIM: 206033201080
Pembimbing
Dr. Sirajudin Aly,MA.
NIP :150318684
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/2009 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan in telah saya cantumkan
dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 23 Mei 2009
Hadi Nafis Kamil
KATA PENGANTAR
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang penulis
panjatkan kehadirat Allah Swt, shalawat serta salam semoga senantiasa
dilimpahkan kepada Rasulullah Saw. keluarga, sahabat, dan pengikutnya. Amin.
Atas segala karunia-Nya, penulis masih diberi kesempatan dalam upaya
menyelesaikan skripsi ini dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sebagai manusia biasa, penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam
menyelesaikan skripsi ini, masih banyak kekurangan dan kelemahan. Namun
berkat bantuan dan dorongan dari semua pihak, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Militer Dan Kekuatan
Politik: Studi Tentang Keterlibatan TNI Dalam Perpolitikan Nasional Era
1945-1998.”
Sebagai sebuah karya, rasanya skripsi ini akan tidak memiliki makna apaapa apabila di dalamnya tidak merajut untaian terima kasih kepada seluruh pihak
yang telah membantu penyelesaian penulisan skripsi ini. Adapun ucapan
terimakasih saya haturkan sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils dan Ibu Dra. Wiwi Sajaroh, M. Ag
selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A dan Drs. Rifqi Muchtar, M.A selaku
Ketua dan Sekretaris Program Non Reguler Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Dr. Sirajudin Aly, M.A dan keluarga selaku Dosen Pembimbing
atas semua dedikasi dan perhatiannya dalam memberikan masukan dan
arahan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.
6. Ibu Haniah Hanafie, Bapak Agus Nugraha dan seluruh dosen serta
staff pengajar pada Program Studi Pemikiran Politik Islam (PPI) yang
telah sangat banyak mentransformasikan ilmu dan intelektualitas
selama penulis duduk di bangku perkuliahan.
7. Seluruh jajaran, staff, dan petugas di Perpustakaan Utama UIN Jakarta,
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Pusat
Universitas Indonesia, Perpustakaan Miriam Budiardjo (Fakultas
FISIP UI), dan Perpustakaan Pusat Sejarah TNI, yang banyak
memberikan kemudahan penulis dalam mengakses seluruh literatur
yang tersedia.
8. Sebesar-besarnya kebanggaan ini penulis persembahkan kepada kedua
orangtua, Ayahanda dan Ibunda , Kak dan , mereka semua tak pernah
lelah memotivasi penulis untuk menjadi lebih baik. Dan mereka semua
layak mendapat balasan surga dari Allah swt.
9. Kepada seluruh teman-teman kelas PPI Angkatan 2004 Extensi, Asep,
Yusuf, Surono, dan lain-lain. Keyakinan dan kesungguhan merekalah
yang menjadi sumber inspirasi penulis.
10. Rekan-rekan
Akhirnya kesempurnaan hanyalah milik-Nya, dan kita sebagai manusia
sangat tidak layak untuk mengakui kesempurnaan itu. Begitu pula skripsi ini,
yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Penulis berharap dari
ketidaksempurnaan itu, akan hadir kebaikan untuk semua.
Ciputat, 19 Februari 2009
Hadi Nafis Kamil
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
.....................................................................................
i
DAFTAR
ISI
....................................................................................................
iv
BAB I.
PENDAHULUAN
........................................................................ ..................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ...........................................................
............................................................................................ 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................
.......................................................................................... 13
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................
.......................................................................................... 13
D. Studi Kepustakaan....................................................................
.......................................................................................... 14
E. Metodologi Penulisan...............................................................
.......................................................................................... 16
F. Sistematika Penulisan ...........................................................
.......................................................................................... 17
BAB II.
LATAR BELAKANG KEMUNCULAN MILITER DI
INDONESIA ........................ ........................................................
A. Definisi Militer .........................................................................
19
19
B. Berdirinya
BAB III.
TNI
Di
Indonesia
.................................................. ..............................................
21
C. Pola Hubungan Sipil Dan Militer Di Indonesia ......................
28
D. Fungsi Militer Dalam Negara ................................................
44
MILITER SEBAGAI KEKUATAN POLITIK ..... ...................
50
A. Definisi Kekuatan Politik .........................................................
.......................................................................................... 50
B. Penggolongan Kekuatan Kekuatan Politik ..............................
.......................................................................................... 53
C. Kekuatan Politik Militer ........................................................
.......................................................................................... 55
D. Keterlibatan Militer Dalam Politik ........................................
.......................................................................................... 66
E. Militer Profesional .................................................................
.......................................................................................... 69
BAB IV.
KEKUATAN POLITIK MILITER PADA MASA ORDE LAMA
DAN ORDE BARU.....................................................................
................................................................................................. 75
A. Kekuatan Politik Militer Pada Masa Orde Lama.....................
.......................................................................................... 75
1. Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959)........................
...................................................................................... 75
2. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) ..........................
...................................................................................... 84
3. Masa Pemberontakan PKI (Gerakan 30 September)...........
...................................................................................... 92
B. Kekuatan Politik Militer Pada Masa Orde Baru......................
100
1. Dwi Fungsi ABRI................................................... ............
101
BAB V.
PENUTUP
..................................................................................... ...................
117
A. Kesimpulan ...........................................................................
117
B. Saran-Saran ...........................................................................
119
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... .
120
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Militer sebagai sebuah organisasi pertahanan, mutlak di perlukan oleh
setiap negara yang ingin aman dari ancaman-ancaman yang dapat
mengganggu eksistensi negara tersebut. Urgensi akan organisasi militer
tersebut bagi negara yang baru merdeka dari kolonialisme adalah untuk
mempertahankannya dari ancaman kembalinya bangsa kolonial. Sebagai
kalangan yang merasa ikut berperan dalam proses pencapaian kemerdekaan
di Indonesia, militer memang tidak dapat dipungkiri, walaupun bentuknya
belum seperti saat ini. Sehingga tuntutan untuk ikut terlibat dalam
perpolitikanpun harus dipertimbangkan. Beberapa manuver yang dilakukan
militer untuk ke tujuan itupun terekam dalam sejarah, di antaranya pada
“Peristiwa 17 Oktober 1952”1, dan yang tidak dapat dilupakan dan juga
merupakan awal dari sejarah dominasi militer bangsa ini adalah pada
peristiwa ”Gerakan 30 September 19652 sampai Supersemar”3. Dimana
militer mengambil alih tandu kekuasaan demi keselamatan negara.
Geliat militer Indonesia dalam gelanggang politik tidak terjadi secara
alami, tetapi merupakan konsekuensi sejarah sejak lahirnya tentara
Indonesia. Mentalitas umum tentara Indonesia sebelum maupun setelah
1
Peristiwa 17 Oktober 1952 dibahas dalam Skripsi ini pada Bab IV h. 76.
Gerakan 30 September 1965 dibahas dalam Skripsi ini pada Bab IV h. 91.
3
Arbi Sanit, Partai, Pemilu dan Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 239.
2
kemerdekaan adalah peran langsungnya dalam perpolitikan. Harold Crouch
mencatat, “dalam masa revolusi tahun 1945 sampai 1949, tentara terlibat di
dalam perjuangan kemerdekaan di mana tindakan politik dan militer saling
menjalin tak terpisahkan”.4
Apabila dalam keadaan mendesak di mana kedaulatan negara, keutuhan
wilayah, dan keselamatan bangsa terancam, panglima TNI dapat
menggunakan kekuatan TNI sebagai langkah awal mencegah kerugian
negara lebih besar. Padahal, krisis dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) adalah krisis keadilan dan kemakmuran yang kian jauh,
sehingga militer bukan solusinya. Meski dalam konteks Indonesia, militer
pada dasarnya merupakan budaya politik yang kuat dalam kehidupan
masyarakat.
Terdapat pula pendapat yang menolak keras peran sosial politik
ABRI/TNI dikarenakan oleh dua hal,5 Pertama, peran sosial politik militer
terlahir dalam keadaan perang atau keadaan darurat, sehingga untuk masa
kini di mana kondisi darurat perang telah dilewati maka secara otomatis
peran sosial politik akan hilang dengan sendirinya. Artinya meminjam
istilah dalam kaidah “ushul fiqh” peran sosial politik di masa perang adalah
sebuah ruqshoh (keringanan) yang masih bisa ditoleransi. Kedua, karena
panduan politik yang diajukan dalam melihat peran sosial politik adalah
konsep civilian supremacy. Dalam konsep ini fungsi sosial politik militer
4
Crouch, Militer dan Politik Di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), h. 15.
5
A. Dinajani S.H. Mahdi, Peran Sosial Politik ABRI dalam Era Reformasi: Kertas Karya
Perorangan (Taskap) Kursus Singkat Angkatan VII Lemhanas 1998 (Jakarta: Dept. Pertahanan
Keamanan RI dan Lemhanas, 1998), h. 44-45.
akan berhadap-hadapan dengan demokrasi dan demokratisasi. Karena
diyakini budaya militer akan menghambat laju dari demokrasi yang tengah
diupayakan.
Bila kita ingin membenahi negara dan keluar dari krisis multidimensi,
harus dilakukan demiliterisasi total dalam kehidupan politik dan bisnis. Apa
yang diberitakan koran, maraknya penyelundupan dan perdagangan barang
ilegal, karena ada backing (beking), dan biasanya oknum militer, karena
desakan kebutuhan yang tak bisa ditutup oleh pendapatannya yang rendah.
Ini menunjukkan betapa tidak mudahnya membenahi kehidupan militer
menjadi profesional.
Munculnya militer dipanggung politik, sosial dan ekonomi negaranegara berkembang, berpangkal dari lemahnya pihak sipil untuk
mengendalikan unsur-unsur kehidupan masyarakat. Politisi sipil yang
dengan relatif cepat dihadapkan kepada segala masalah seperti penyusunan
suatu sistem politik yang sama sekali lepas dari kekuasaan asing,
mengorganisisr masyarakat yang relatif tergesa-gesa berhadapan dengan
tuntutan modernisasi, masih mencoba model-model yang mungkin
dipergunakan untuk melayani tuntutan-tuntutan masyarakatnya sendiri.6
Kekuatan militer dalam dunia politik di Indonesia, sebenarnya
mempunyai akar sejarah yang panjang dan tidak bisa dihapus begitu saja,
bahkan akan menjadi sesuatu yang musykil. Pada era reformasi, saat partaipartai politik bermunculan, ternyata partai-partai politik mengundang militer
6
Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik, dan
Pembangunan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 49.
masuk di dalamnya. Dianggapnya partai politik akan menjadi kuat bila ada
militernya, apalagi yang sudah berpangkat jenderal. Akibatnya, hampir tidak
ada satu partai pun yang di dalamnya tidak ada militernya.
Peran militer dalam kehidupan politik masih tetap dominan, meski
kepala negara orang sipil, apalagi jika para militer di partai-partai politik
"bermain mata", maka militer tetap akan mengendalikan kehidupan politik
di suatu negara. Munculnya satgas-satgas (satuan tugas) di partai-partai
politik, sebenarnya dapat ditengarai, budaya militer tetap besar dan
mengakar kuat dalam kehidupan politik kita. Bahkan, satgas-satgas itu bisa
menjadi dan bertindak lebih militer daripada militer sendiri. Penampakan
lahiriahnya saja menunjukkan sikap over acting militernya, dengan
memakai baju, topi, sepatu bak seorang militer sejati.
Jika kita ingin mengakhiri peran politik militer dan menjadikannya
profesional, maka budaya militer yang telah berkembang kuat di
masyarakat, harus dirombak lebih dulu. Budaya militer tidak hanya pada
uniformitas berpakaian. Yang mendasar adalah cara berpikir militer yang
ada pada politisi kita, yang suka memaksakan kehendak dan pendapat
sendiri dengan cara mengerahkan massa guna mendukung sikap "pokoknya"
dari para pemimpin partai politik. Bahkan, militer seolah menjadi simbol
kepahlawanan bangsa, sehingga taman makam pahlawan seakan hanya
haknya militer.
Merebaknya budaya militer dalam kehidupan partai politik, akan
merusak kehidupan partai politik, dan menjadi pemicu munculnya
komunalisme, di mana partai politik selalu mengandalkan pengerahan massa
guna melakukan tekanan politik. Komunalisme cenderung destruktif, dan
melemahkan kekuatan akal budi untuk menyelesaikan masalah dengan caracara
cerdas,
komunikatif
dan
mencerahkan.
Komunalisme
dapat
berkembang sebagai bentuk kepanikan politik yang biasanya berujung pada
tindakan kekerasan tak terkendali.
Dalam dunia bisnis, peran militer harus diperkecil, apalagi untuk
menjadi kekuatan beking dunia usaha dan bisnis, yang akan memunculkan
premanisme bisnis dan menyuburkan perdagangan barang ilegal yang
merusak kehidupan masyarakat. Pengurangan peran militer ini hanya
mungkin diwujudkan, jika ada kekuatan hukum yang aktual dalam praktik
hidup masyarakat. Jika hukum masih disubordinir kekuasaan dan
kepentingan politik partai, maka militer akan menjadi tulang punggungnya.
Kolaborasi penguasa, pengusaha, dengan militer akan memperparah dan
menghambat proses demokratisasi dan penegakan hukum yang bertumpu
pada law enforcement.
Dalam laporan Human Rights Watch bertajuk Too High A Price: The
Human Rights Cost of Indonesian Military Economic Activities, fenomena
militer sebagai businessmen dilihat terjadi sebagian karena minimnya
anggaran negara untuk militer.7 Faktor ini pun sering dijadikan pembenaran
bagi setiap aktivitas ekonomi, legal ataupun ilegal, yang dilakukan oleh
militer. Kendati demikian, laporan yang sama juga membongkar mitos
7
Lisa Misol, “Kuasa Militer Indonesia: Antara Bisnis, Politik Dan Kekerasan,” Jakarta
Post, 14 Maret, 2006.
minimnya anggaran untuk militer, karena bukti-bukti aktual yang ada justru
berkata sebaliknya.
Fakta bahwa militer merupakan kekuatan yang menentukan dalam jagat
perpolitikan kita adalah realitas yang tidak bisa ditolak siapa pun. Buktinya
kejatuhan Presiden Soekarno karena berseberangan dengan militer, sehingga
jenderal Soeharto menggantikannya, dan jenderal Soeharto pun lalu jatuh,
karena militer menarik dukungan darinya. Begitu juga dengan kejatuhan
presiden KH Abdurrahman Wahid. Bahkan, fenomena dukungan Megawati
terhadap pencalonan Gubernur DKI Sutiyoso tidak bisa dipisahkan dari
upaya melakukan konspirasi politik dengan militer guna mendukung dan
memantapkan kekuasaannya. Tanpa dukungan militer, maka kekuasaan
Megawati akan jatuh, apalagi di saat-saat seperti sekarang, banyak
kelompok
masyarakat
menggugat
kekuasaannya
sebagai
akibat
kebijakannya yang tidak populis, seperti menaikkan harga BBM, tarif dasar
listrik (TDL).8
Karena itu, yang menjadi persoalan adalah masih kuatnya budaya
militer dalam jagat perpolitikan bangsa, yang ditandai kecenderungan
menguatnya penyelesaian masalah dengan mengandalkan otot ketimbang
nalar. Cara-cara pemaksaan kehendak secara sepihak, baik pemerintah
maupun kelompok-kelompok masyarakat yang sedang terlibat konflik,
dengan mengerahkan massanya dan tidak sabar dengan proses dialektika
8
M. Sadli, Bila Kapal Mempunyai Dua Nakhoda: Esai-Esai Ekonomi Politik Masa
Transisi, (Jakarta: Alvabet, 2002), h. 129.
akal budi untuk mencari jalan keluarnya adalah pertanda kuatnya budaya
militer dalam kehidupan politik kita.
Cara-cara premanisme yang hanya mengandalkan kekerasan dan
kekuatan fisik tidak hanya subur dalam kehidupan masyarakat, tetapi juga
dalam menjalankan pemerintahan, di mana pemerintah, di pusat maupun
daerah, dalam usahanya meningkatkan pendapatannya, melakukan cara-cara
preman, hanya mengandalkan kekuatan kekuasaan, yang sama sekali tidak
cerdas dan mencari gampangnya, yaitu dengan menaikkan tarif dan menarik
pungutan. Padahal, pemerintah seharusnya kreatif, berjiwa entrepreneur
untuk mengelola kekayaan sumber daya alam yang dikuasainya. Jika tidak,
bernapas pun suatu saat akan dikenai pungutan oleh pemerintah, jika sumber
pungutan lain sudah dikuras habis.
Demokrasi pada hakikatnya bertumpu pada kekuatan akal budi guna
mengatasi konflik dan pluralitas, yang sudah menjadi kodrat hidup
masyarakat di mana pun dan kapan pun. Konflik dan pluralitas adalah
realitas fundamental kehidupan masyarakat yang tidak mungkin berakhir,
dan
demokrasi
adalah
cara
paling
sehat
untuk
mengelola
dan
menyelesaikannya, dengan bertumpu proses dialektika akal budi. Jika
kekuatan akal budi menjadi landasan kehidupan politik rendah dan jatuh,
kekuatan otot yang mendasari budaya militer akan menguat. Demokrasi
hanya mungkin dengan demiliterisasi budaya politik bangsa.
Pada dasarnya RUU TNI patut dikritisi, terutama dalam kaitan dengan
kecenderungan mempersubur budaya militer yang ada dalam bawah sadar
pemikiran politik bangsa, yang sudah mulai letih dengan aneka konflik
kekerasan yang tidak segera dapat diselesaikan. Akibatnya, militer dianggap
sebagai satu-satunya solusi mengatasi krisis multidimensi yang melanda
kehidupan bangsa.
Padahal,
kembalinya
kekuasaan politik militer
sebenarnya berlawanan secara fundamental dengan proses demokratisasi.
Dalam konteks ini, gonta-ganti kepala pemerintahan atau presiden
bukan sesuatu yang negatif, justru akan menjadi political exercise bagi
pendewasaan demokrasi, dan siapa saja yang jadi presiden harus melakukan
kontrak kerja dengan rakyatnya untuk mewujudkan keadilan dan
kemakmuran bagi seluruh rakyat. Jika dalam praktiknya tidak mampu
mewujudkannya, ia harus bersedia turun atau diturunkan di tengah jalan,
sepanjang law enforcement tetap terjaga dengan kian meningkatnya disiplin
para aparat penegak hukum dan militer melepaskan diri dari kepentingan
kekuasaan politik dan pemerintahan.
Karena
itu,
harus
dilakukan
perubahan
konstitusi
secara
berkesinambungan, sesuai tuntutan dan tantangan perubahan. Dan,
reformasi tidak akan dirusak akibat gonta-ganti presiden di tengah jalan,
bahkan akan memperjelas arah untuk menegakkan keadilan dan
kemakmuran bagi kehidupan seluruh rakyat, dan akan memacu lahirnya
pemerintahan yang makin bersih dan efektif.
Di dalam suatu perubahan, apalagi suatu perubahan paradigmatis, selalu
terdapat suatu kegelisahan yang muncul karena ketegangan antara kehendak
yang maksimal dan ketersediaan energi politik untuk mewujudkan kehendak
itu. Langkah maju-mundur lalu tampak sebagai bentuk luar dari
kegelisahan. Dan di dalam kegelisahan itulah potensi set back selalu
membayangi proses politik. sebab, kekuatan status quo selalu menunggu di
tikungan kegelisahan, apalagi bila kehendak perubahan ini menyangkut
suatu fondasi yang selama ini menjadi tumpuan politik status quo, yaitu
kedudukan tentara di dalam politik.9
Pada akhir tahun 1950-an ilmuwan politik barat menanggapi bahwa
peranan militer yang memiliki peran bidang pemerintahan demokrasi barat
akan memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan politik di
negara-negara Dunia Ketiga10 pada umumnya. Banyak negara-negara dunia
mencoba mengupayakan sistem demokrasi dengan berlandaskan pada model
yang terdapat di barat, senantiasa akhirnya melahirkan rezim otorian dimana
pihak militer turut serta bermain didalamnya.
Dalam kasus Indonesia, hal ini bisa dijawab karena secara formal,
ideologi sebagai konsepsi kenegaraan yang dipedomani militer Indonesia
untuk mengarahkan posisi dan perannya dalam kedudukan kenegaraan ialah
doktrin Tri Ubaya Cakti dan Catur Darma Eka Paksi. Di samping itu, karena
militer juga berperan dalam menentukan pola kenegaraan serta cara mengisi
kemerdekaan, maka konsep kenegaraan integralistik yang dipedomani dan
dipertahankan militer juga bisa disebut sebagai bagian dari ideologi militer.
9
Rocky Gerung, “Tentara, Politik, dan Perubahan,” dalam Lukas Luwarso dan Imran
Hasibuan, Indonesia di Tengah Transisi (Jakarta: Propatria, 2000), h.178.
10
Dunia Ketiga (Third World): 1) Kelompok negara-negara yang belum maju, misal:
negara-negara Non-Blok; 2) Kelompok minoritas dari suatu negara atau masyarakat. Dalam Save
M. Dogan, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1997),
h. 191.
Di dalam doktrin pertahanan negara dan perjuangan militer, dikenal dua
konsep utama yang secara langsung akan melibatkan militer dalam proses
demokratisasi, yakni konsepsi tentang perang dan konsepsi tentang musuh.
Doktrin militer di Indonesia mengajarkan konsep "perang rakyat semesta"
dimana atas perintah pimpinan militer, seluruh rakyat harus ikut berperang.
Implikasi dari pelaksanaan doktrin ini adalah11:
1. Militer bisa menentukan arah kebijakan politik yang bukan saja harus
dipatuhi oleh kalangan prajurit militer, tetapi juga oleh seluruh
komponen masyarakat sipil.
2. Karena mencakup semua komponen bangsa maka otomatis menutup
peluang bagi pemimpin sipil untuk mengambil kebijakan-kebijakan
politik yang memberikan kebebasan pada rakyat untuk menyalurkan
aspirasi sesuai dengan bisikan hati nuraninya karena yang ada dan
berhak disalurkan hanyalah aspirasi pimpinan militer. Hal ini sangat
erat kaitannya dengan konsepsi militer mengenai "musuh".
Dalam doktrin militer Indonesia terdapat rumusan "ancaman, gangguan,
hambatan, dan tantangan" (AGHT) yang merupakan strategi yang lahir dari
rumusan fungsi hankam ABRI yang menyatakan bahwa tugas militer adalah
"memelihara dan memperkuat ketahanan, kewaspadaan, dan kesiapsiagaan
nasional untuk secara defensif aktif mempertahankan dan mengamankan
kedaulatan serta integritas negara, wilayah, dan bangsa Indonesia.".12 Lewat
11
Bilveer Singh, Dwi Fungsi ABRI: Asal Usul, Aktualisasi, dan Implikasinya bagi Stabilitas
dan Pembangunan, Robert Hariono Imam (penerjemah), (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
1996), h. 56.
12
Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, h. 52.
konsep AGHT-nya militer bisa dengan mudah merumuskan siapa "kawan"
dan "lawan". Dengan begitu akan dengan mudah membungkam setiap
aspirasi yang bernada kritis baik terhadap pemerintah maupun pimpinan
militer. Apalagi dalam konteks Indonesia, antara kepala pemerintahan dan
panglima tertinggi militer berada dalam satu lembaga kepresidenan. Jadi,
sempurnalah otoritas dan kewenangan menentukan "lawan" dan "musuh" itu
dalam satu tangan: presiden.
Di samping itu, konsepsi tentang negara integralistik yang menyatukan
rakyat dengan negara berdampak pada subordinasi seluruh kepentingan dan
aspirasi rakyat pada negara yang sudah diidentifikasi dengan kekuasaan
militer. Dalam konsep ini sulit dibedakan mana militer yang merupakan
bagian dari negara dengan militer yang dikuasai negara. Kosepsi kenegaraan
seperti itu akan membenarkan militer untuk berperan atas nama negara dan
rakyat sekaligus. Di sinilah letak akutnya hubungan antara peran militer
dengan otoritarianisme negara dan dengan demikian berarti demokrasi yang
sejati otomatis akan menjauh dari peran sosial politik militer.
Setelah melalui pergulatan mengenai peristiwa pembentukan organisasi
militer di Indonesia, yang telah berganti-ganti nama, yang tentunya
mempengaruhi terhadap sifat serta orientasi militer. Ketika bernama TNI,
nasionalisme yang tercermin dari nama itu menandakan anggota militer
tidak terbatas pada satu etnis atau suku tertentu, tetapi seluruh warga negara
Indonesia dipersilahkan menjadi anggota militer.
Peran politik yang diperoleh militer dengan susah payah mereka
peroleh, melalui berbagai peristiwa yang terekam dalam sejarah bangsa ini,
menandakan bahwa militer sebagai salah satu unsur yang mutlak dalam
suatu negara keberadaannya tidak dapat dipandang sebelah mata. Fakta
bahwa militer merupakan kekuatan yang menentukan dalam jagat
perpolitikan kita adalah realitas yang tidak bisa ditolak siapa pun. Buktinya
kejatuhan Presiden Soekarno karena berseberangan dengan militer, sehingga
jenderal Soeharto menggantikannya, dan jenderal Soeharto pun lalu jatuh,
karena militer menarik dukungan kepadanya.
Apabila kita melihat proses di atas secara lebih jernih, persoalan
peranan dan keterlibatan TNI dalam konteks dunia politik pada saat itu
adalah awal mula keberagaman proses politik di Indonesia dimana militer
menjadi ornament politik yang diperhitungkan. Melalui pertimbanganpertimbangan yang telah diungkapkan, penulis menganggap betapa
pentingnya dilakukan penelitian atas keterlibatan politik TNI di era orde
lama. Penelitian skripsi ini akan menyoroti proses peranan TNI menjadi
sebuah kekuatan politik sekaligus mencoba melihat seberapa besar
pengaruhnya terhadap stabilitas negara Indonesia. Untuk itu skripsi ini
mengambil judul “ Militer Dan Kekuatan Politik: Studi Tentang
Keterlibatan TNI Dalam Perpolitikan Nasional Era 1945-1998”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk lebih memfokuskan pembahasan tentang Militer Dan Kekuatan
Politik: Studi Tentang Keterlibatan TNI Dalam Perpolitikan Nasional (19451998), maka pembatasan masalah dalam tulisan ini memiliki titik tekan
seperti seberapa besar keterlibatan politik militer pada masa Orde Lama
(1950-1965) dan masa Orde Baru (1965-1998). Periodesasi dikarenakan
pada saat itulah awal mula militer mulai berkecimpung dalam dunia politik.
Yaitu penyelesaian-penyelesaian konflik yang melibatkan militer baik
dalam masalah sosial maupun politik dalam pentas Nasional.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas, maka
permasalahan penelitan ini dirumuskan sebagai berikut:
a.
Bagaimana konsep militer sebagai kekuatan politik?
b.
Bagaimana keterlibatan dan peranannya terhadap proses politik di
Indonesia era Orde Lama dan Orde Baru?
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian yang dilakukan ini adalah :
a.
Mempelajari konsep-konsep yang berkembang mengenai militer
dan politik.
b.
Menganalisa
keterlibatan
militer
Indonesia era orde lama dan orde baru.
dalam
percaturan
politik
2. Manfaat Penulisan
Penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan dan menambah
khazanah dan kepustakaan relasi militer dan politik. Selain itu, hasil
penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan kontribusi akademis dan
ilmiah mengenai dunia politik di lingkungan
jurusan Pemikiran Politik
Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Civitas Academica Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan masyarakat umum.
D. Studi Kepustakaan
Kajian mengenai militer dan politik, khususnya mengenai sepak terjang
TNI di pentas politik nasional bukanlah hal yang baru dalam khazanah
kepustakaan politik Indonesia. Jika kita telusuri kepustakaan mengenai
militer di Indonesia, telah banyak penulis asing maupun lokal yang
mengupas masalah tersebut, baik dalam bentuk buku, artikel, maupun
makalah. Namun demikian, kajian komprehensif yang mengupas secara
menyeluruh mengenai perkembangan reformasi internal TNI –khususnya
dalam lingkup UIN Syarif Hidayatullah– masih belum banyak dilakukan.
Di bawah ini akan penulis sebutkan beberapa literatur (baik dalam
bentuk buku atau skripsi) yang pernah membahas perihal perkembangan
militer Indonesia dengan reformasi internalnya.
1. Abdoel Fatah dengan judul buku Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut
Politik Militer 1945-2004, adalah judul disertasi S-3 di Universitas
Kebangsaan Malaysia yang kemudian diterbitkan menjadi buku oleh
LKIS pada tahun 2005. Buku ini dalam membicarakan sepak terjang TNI
dalam peta perpolitikan Indonesia hingga reformasi internal yang
dilakukan TNI dapat dikatakan lengkap. Namun saya menilai,
kekurangan buku ini adalah dalam hal keseimbangan informasi, data dan
fakta mengenai banyak peristiwa yang dibahas. Karena buku ini terlalu
banyak melihat dari sudut pandang kalangan internal militer. Hal ini
dapat dimaklumi mengingat penulis dari buku ini adalah seorang anggota
TNI Angkatan Laut. Dan dapat dipastikan kesan subjektif sangat kental
dalam pembahasan buku ini.
2. Untuk judul skripsi yang pernah mengulas permasalahan militer
Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta adalah skripsi yang ditulis
oleh Ahmad Syauki dengan judul Konsep Hubungan Sipil-Militer di
Indonesia Menurut A.H. Nasution dan ditulis pada tahun 2006. Dalam
skripsi ini lebih banyak dibicarakan mengenai hubungan sipil-militer
khususnya dalam pandangan A.H. Nasution. Yang menjadi titik tekan
dalam skripsi ini adalah mengenai fakta sejarah yang ada, di mana militer
sejak dahulu kala dapat memainkan peranan penting dalam setiap
perebutan kekuasaan hingga Orde Baru. Dan Nasution adalah pelaku
sejarah yang turut mengotaki terbentuknya kekuatan politik militer di
Indonesia. Menurut saya skripsi ini belum menyinggung perihal
reformasi internal TNI.
3. Skripsi kedua yang saya ketahui dan menjadikan militer sebagai latar
belakang permasalahan utama adalah Saipul Umam dengan judul skripsi
Militer dan Politik: Analisis Terhadap Peran Politik Militer Dalam
Birokrasi Orde Baru pada tahun 2006. Skripsi ini menjadikan salah satu
cabang yang dikuasai lembaga TNI secara penuh pada era Orba, yakni
sistem birokrasi. Keterlibatan militer dalam politik yang sudah terlalu
melebihi ambang kewajaran dapat dilihat dalam skripsi ini. Fokus utama
Saipul adalah birokasi Orde Baru yang sudah dirasuki tangan-tangan
militer dan bagaimana dampak terhadap bangsa Indonesia. Sama halnya
seperti skripsi yang pertama disebutkan, skripsi ini belum menyinggung
persoalan aktual dari perkembangan TNI yakni tentang reformasi internal
TNI.
Walaupun sudah cukup banyak literatur yang berbicara mengenai politik
militer, tetapi dalam studi yang ditulis dalam lingkup UIN perihal kekuatan
politik militer pada masa orde lama khususnya masih sangat terbatas. Dalam
kerangka itulah penulis berusaha menempatkan penelitian skripsi yang
dilakukan ini. Penulis meyakini bahwa persoalan yang akan diteliti dalam
skripsi ini merupakan masalah yang aktual, relevan, dan belum secara
khusus dikaji oleh penulis dalam lingkup UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Metodologi Penulisan
Pembahasan tentang Peran Militer Sebagai Kekuatan Politik Pada Masa
Orde Lama menggunakan metode kualitatif atau kepustakaan (library
research), pengumpulan datanya adalah melalui dokumentasi, yaitu
pengumpulan data dilakukan dengan mencari literatur dalam bentuk buku,
surat kabar, jurnal, majalah dan sebagainya yang bertemakan seputar
kekuatan politik dan politik militer era orde lama dan orde baru.
Adapun metode pembahasan yang digunakan, yaitu deskriptif-analisis.
Sebagaimana yang ditunjukkan oleh namanya, pembahasan deskriptif ini
bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai data-data dalam rangka
menguji hipotesa atau menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah
(pokok masalah).13 Sedangkan analisis secara harfiah berarti uraian, namun
dalam hal ini analisis berarti suatu bahasan dengan cara mengolah data,
memberikan interpretasi terhadap data-data yang terkumpul dan tersusun.
Jadi metode deskriptif-analisis adalah suatu pembahasan yang bertujuan
untuk membuat gambaran terhadap data-data yang telah terkumpul dan
tersusun dengan cara memberikan inpretasi terhadap data tersebut.14
Untuk pedoman penulisan skripsi, Penulis menggunakan buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang
diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta tahun
2007.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam tulisan akan terdiri dari beberapa bab. Bab pertama,
berisikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan penilitian, methodologi penelitian, serta sistematika
penulisan. Bab dua akan mengupas tentang sejarah berdirinya militer di
Indonesia, yang berisi tentang latar belakang berdirinya militer, fungsi serta
definisi militer, urgensinya pembentukan milter di Indonesia. Bab tiga,
mencoba mengeksplorasi kajian teori miiliter sebagai kekuatan politik dan
13
Sunardi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 18
Masri Singarinbun dan Sofian Effendi (ed), Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES,
1989), h. 63.
14
keterlibatannya. Bab empat, mencoba menguraikan tentang peran kekuatan
politik militer di pentas nasional. Bab ini akan mengulas serta melacak
gerakan-gerakan
militer,
keterlibatan-keterlibatan
militer
dalam
menyelesaikan konflik yang terjadi pada masa orde lama dan orde baru.
Sedang Bab lima yang merupakan bab terakhir dalam tulisan ini adalah
penutup sebagai konklusi dai keseluruhan analisa skripsi ini, yang berisikan
kesimpulan.
BAB II
LATAR BELAKANG KEMUNCULAN MILITER DI INDONESIA
A. Definisi Militer
Di dalam bukunya Amos Perlmutter menyebutkan bahwa organisasi
militer adalah sebuah organisasi yang paling sering melayani kepentingan
umum tanpa menyertakan orang-orang yang menjadi sasaran usaha-usaha
organisasi itu. Profesi militer disebut sebagai suatu profesi sukarela karena
setiap individu bebas memilih suatu pekerjaan di dalamnya, namun ia juga
bersifat memaksa karena para anggotanya tidak bebas untuk membentuk
suatu perkumpulan sukarela melainkan terbatas kepada suatu hirarki
birokrasi.15 Lebih lanjut dapat pula diidentifikasi bahwa dalam diri para
prajurit militer terdapat tiga ciri khas sekaligus, yaitu koorporatis (dalam hal
ekskulusifitas), birokratis (dalam hal hirarki), dan profesional (dalam hal
semangat misi).16 Militer adalah organisasi kekerasan fisik yang sah untuk
mengamankan negara atau bangsa dari ancaman luar negeri maupun dalam
negeri. Dalam hal ini, militer berfungsi sebagai alat negara yang menjunjung
tinggi supremasi sipil.17
Ketika kita hendak membahas hubungan sipil-militer, ada baiknya kita
mendefinisikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan terminologi sipil
dan militer, yang sudah umum diketahui. Banyak pengamat militer
memberikan batasan sipil secara beragam, dalam buku Pertahanan Negara
dan Postur TNI Ideal, sipil didefinisikan sebagai masyarakat umum,
lembaga pemerintahan, swasta, para politisi, dan negarawan. Sipil dibatasi
hanya pada masyarakat politik yang diwakili partai politik. Menurut buku
ini masyarakat politik adalah sebuah area di mana masyarakat bernegara
15
Amos Perlmutter, Militer dan Politik (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), h. 3.
Perlmutter, Militer dan Politik, h. 4.
17
http://ahmadfathulbari.multiply.com/journal/item/40/Catatan_Kuliah_Peranan_Militer_da
lam_Politik_
16
secara khusus mengatur dirinya sendiri dalam konstes politik guna
memperoleh fungsi kontrol atas kekuasaan pemerintah dan aparat negara.18
Sedangkan
dalam
mendefinisikan
militer,
Amos
perlmutter19
mengatakan bahwa ketika ia menyebut militer, maka yang dimaksud adalah:
1.
kebanyakan perwira tinggi senior (di atas tingkat kolonel);
2.
perwira yang berorientasi pada lembaga (pada tiap rank);
3.
perwira profesional (tiap rank);
4.
perwira
yang
rank,
status,
kedudukan,
dan
orientasinya
menghubungkan mereka dengan sektor sipil dalam masalah garis
kebijaksanaan politik.
Melalui definisi di atas, Perlmutter membatasi konsep militer hanya
pada semua perwira yang duduk dalam jabatan yang menuntut kecakapan
politik, aspirasi, dan memiliki orientasi yang bersifat politik, serta tidak
memandang kepangkatan, apakah perwira tinggi, menengah, atau pertama.
Sedangkan Cohen mendefinisikan militer sebagai personel militer, lembaga
militer, atau hanya para perwira senior. Dan Letjen TNI (Purn) Sayidiman
Suryohadiprojo yang dikutip Connie mendefinisikan militer sebagai
organisasi kekuatan bersenjata yang bertugas menjaga kedaulatan negara.20
Kecenderungan tentara untuk campur tangan dalam politik dan dalam
pembuatan keputusan dikaitkan dengan peranan-peranan dan orientasi
koorporasi dan birokrasinya. Sebagai sebuah korporasi organisasi militer
18
Connie Rahakundini Bakrie, Pertahanan Negara Dan Postur TNI Ideal (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2007), h. 41.
19
Amos Perlmutter, Militer dan Politik (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000),h. 12.
20
Bakrie, Pertahanan Negara, h. 41.
berusaha melaksanakan pengawasan intern terhadap profesinya dan
melindunginya dari pengawasan politik dari luar, ini dimaksudkan untuk
meningkatkan derajat otonomi organisasi militer. Kaum militer berusaha
mencapai otonomi yang maksimal, dengan konsekuen melancarkan
pengaruh politik, baik melalui lembaga-lembaga dan rezim politik. Sebagai
suatu profesi birokrasi, tentara berkecimpung dalam politik hingga mampu
menjadi partner vital bagi politisi sipil dan birokrat lain di dalam perumusan
dan penerapan kebijaksanaan keamanan nasional.21
B. Berdirinya TNI Di Indonesia
Terdapat semacam kenyataan bahwa TNI adalah tentara yang lahir di
tengah krisis revolusi. Fakta tersebut oleh banyak kalangan dikatakan telah
menjadi sebuah identitas sesungguhnya dari tentara Indonesia, maka
tidaklah terlalu mengherankan jika pada perkembangan selanjutnya watak
Angkatan Bersenjata Indonesia, sekalipun asal-usulnya revolusioner, sangat
dipengaruhi oleh ciri-ciri pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang. 22
Akar pembentukan militer di Indonesia bukanlah hal yang disengaja,
kita harus menyadari bahwa militer Indonesia adalah tentara yang muncul
secara spontan. Tentara bukanlah dibentuk oleh pemerintah, tidak juga oleh
partai politik maupun pemerintahan kolonial. Artinya tentara membentuk
21
Perlmutter, Militer dan Politik, h. 4
Peter Britton, Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia Perspektif TradisiTradisi Jawa dan Barat (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 37.
22
dirinya sendiri, karena elit politik ragu-ragu untuk membentuk tentara pada
hari-hari awal setelah proklamasi kemerdekaan.23
Militer yang membentuk dirinya sendiri ini mengumpulkan anggotanya
dari berbagai organisasi, sebagian diantaranya telah terlibat politik, pada
hari-hari disekitar proklamasi kemerdekaan. Pada dasarnya, terdapat empat
sumber rekruitmen militer pada saat itu, yaitu:
1.
PETA (Tentara Sukarela Pembela Tanah Air), PETA merupakan
pasukan pembantu yang terdiri dari orang-orang Indonesia yang
dibentuk oleh Jepang guna melawan kekuatan Sekutu.24
2.
KNIL (Koninklijke Nederlandshe Indische Leger), KNIL didirikan
sebagai tanggapan langsung terhadap perang Jawa. Selama bagian
akhir abad ke-19 dan awal ke-20 KNIL menjadi suatu kekuatan
utama dalam menegakkan ketenteraman di Jawa dan penaklukan di
daerah-daerah Hindia Belanda lainnya. KNIL adalah tentara yang
dibentuk oleh penjajah Belanda untuk kepentingannya.25
3.
Laskar, Laskar merupakan para pemuda yang mendapat pelatihan
militer dari Jepang selama masa pendudukan.26
4.
Orang-orang yang tidak berasal dari ketiga kelompok yang telah
disebutkan diatas.
23
Said Salim, Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini, dan Kelak, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2001), h. 30.
24
Britton, Profesionalisme, h. 38.
25
Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004
(Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 45.
26
Salim, Militer Indonesia dan Politik, h. 31.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17
Agustus 1945, para tentara eks-KNIL dan PETA merupakan dua sumber
utama bagi korps perwira Republik Indonesia.27
Idealnya pembentukan sebuah kekuatan bersenjata disaat-saat awal
kemerdekaan dipandang sangat penting. Karena, angkatan bersenjata
merupakan alat vital yang menentukan tegak rubuhnya serta timbul
tenggelamnya negara. Tetapi hal ini tidak dilakukan pada saat-saat awal
Indonesia merdeka, bahkan oleh A.H. Nasution hal ini dianggap sebagai
suatu kesalahan dan kekeliruan yang akan menjadi sumber pelbagai
kesulitan-kesulitan negara di kemudian hari.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pemerintahan baru tidak
segera membentuk tentara kebangsaan. Pada sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) ke-2 tanggal 19 Agustus 1945 diputuskan
antara lain untuk membentuk Kabinet Presidensil, terdiri dari dua belas
departemen. Salah satu diantaranya ialah Departemen Keamanan Rakyat.
Dalam sidang pada tanggal 19 Agustus 1945 itu, Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan untuk membentuk sebuah
tentara kebangsaan.28 Namun keputusan itu diralat kembali dalam sidang
PPKI ke-3 tanggal 23 Agustus 1945, dan pemerintah hanya mengumumkan
pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR).
27
Mabes ABRI, Sukardi S. Hadi Handojo, ed., 30 tahun Angkatan bersenjata republik
Indonesia (Jakarta: Pusjarah ABRI, 1976), hal. 17.
28
Soebijono, dkk., Dwi Fungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan
Politik di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), h. 10.
Baru setelah dua bulan Indonesia merdeka dibentuklah organisasi
ketentaraan yang bernama “Tentara Keamanan Rakyat” (TKR) yang
dikepalai pertama kali oleh Mayor Urip Sumohardjo, dan Supriadi sebagai
menteri keamanan rakyat. Pembentukan TKR ini segera diikuti oleh
perintah mobilisasi TKR yang dikeluarkan oleh KNIP, sebagai organ yang
membawahi TKR, pada tanggal 9 oktober, yaitu untuk lebih menyatukan
bekas-bekas tentara PETA, KNIL, Heiho, Laskar-laskar, serta barisanbarisan rakyat yang lainnya.29 Dalam masa itu, barisan-barisan pemuda
bersenjata yang bersifat setengah organisasi militer dan setengah organisasi
politik (laskar-laskar), tetap diperbolehkan berdiri tanpa diperintah untuk
melebur diri ke dalam TKR. Karena itu bebarapa lama kemudian, yaitu
tanggal 6 Desember 1945, untuk menghilangkan kesimpang siuran, Markas
Besar TKR mengeluarkan sebuah Maklumat yang antara lain menyatakan,
bahwa disamping tentara resmi (TKR) diperbolehkan juga tetap adanya
laskar-laskar sebab hak dan kewajiban mempertahankan negara bukanlah
monopoli tentara. 30
Keberadaan TKR ternyata masih menyimpan rasa kecewa dikalangan
orang-orang yang pernah mendapatkan pendidikan atau latihan kemiliteran
(seperti KNIL atau PETA), karena TKR yang masih bersifat kerakyatan atau
masih mengutamakan sekali keamanan di dalam negeri. Mereka yang
merasa kecewa mengatakan bahwa Indonesia lebih membutuhkan suatu alat
dan organisasi pertahanan nasional untuk menghadapi sekutu, terutama
29
Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966,
(Jakarta: Gajah Mada University Press, 1982), h. 24.
30
Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 25.
menghadapi Belanda yang berusaha menjajah Indonesia kembali. Jadi
menurut mereka TKR seharusnya tidak hanya mengutamakan segi
“keamanan”
(polisionil), tetapi tentara yang benar-benar bersifat
“pertahanan” (militer).31
Atas prakarsa dari Markas Tinggi TKR (yang dibentuk pada November
1945), pada tanggal 1 Januari 1946, pemerintah mengeluarkan “Penetapan
Pemerintah No. 2/S.D.1946” yang mengubah Tentara Keamanan Rakyat
menjadi “Tentara Keselamatan Rakyat”,32 dan Kementrian Keamanan
Rakyat menjadi Kementrian Pertahanan. Dua puluh hari
kemudian,
keluarlah “Maklumat Pemerintah 26 Januari 1946” yang mengganti nama
Tentara Keselamatan Rakyat menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Di
dalam Maklumat itu antara lain disebutkan, bahwa TRI bersifat kebangsaan
(nasional) dan merupakan satu-satunya organisasi militer di Indonesia. Akan
tetapi di dalam maklumat tersebut pemerintah tidak menegaskan dan tidak
menentukan tentang bagaimana status dan kedudukan organisasi bersenjata
di luar TRI, seperti Laskar-laskar dan Barisan Rakyat, yang sejak bulan
Desember 1945 diakui hak hidupnya oleh Markas Tinggi TKR.33 Ditetapkan
bahwa TRI adalah satu-satunya organisasi militer di Negara Republik
Indonesia dan akan disusun atas dasar militer internasional.34
Pada tanggal 19 Juli 1946 terbentuk Angkatan Laut Republik Indonesia
, yang disingkat dengan ALRI. Kemudian, berdasarkan “Penetapan
31
Muhaimin, Perkembangan Milite, h. 25.
A. Hasnan Habib, “Hubungan Sipil Militer Pasca Orde baru dan Prospeknya di Masa
Depan.” Progresif, Vol II No. 1, (Jakarta Political Science Forum FISIP UI, 2002), h. 15.
33
Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 17.
34
Soebijono, Dwi Fungsi ABRI, h. 14.
32
Pemerintah No. 6/S.D. 1946” tanggal 9 April, terbentuk TRI bagian udara
yang dikenal dengan nama “Angkatan Udara Republik Indonesia”, disingkat
AURI, dan mengangkat R. Suriadi Surjadarma menjadi kepala stafnya. Dan
untuk menciptakan adanya kesatuan pimpinan militer, pada tanggal 26 Juni
1946, pemerintah (Presiden dengan Menteri Pertahanan) mengangkat
Jendral R. Sudirman menjadi Panglima Besar Angkatan Perang Republik
Indonesia yang meliputi tentara darat, laut, dan udara.35
Pada tanggal 5 Mei 1947, Presiden mengeluarkan Dekrit guna
membentuk suatu panitia yang dipimpin oleh Presiden sendiri. Panitia
negara ini kemudian bernama “Panitia Pembentukan Organisasi Tentara
Nasional Indonesia” dengan beranggotakan sebanyak 21 orang dari
pemimpin pasukan-pasukan bersenjata, termasuk di dalamnya pemimpinpemimpin beberapa laskar yang paling berpengaruh kuat. Setelah beberapa
lama bekerja dengan beberapa kesulitannya, pada tanggal 7 Juni 1947,
keluar sebuah penetapan Presiden yang membentuk satu organisasi tentara,
bernama
“Tentara
Nasional
Indonesia”
disingkat
TNI,36
sebagai
penyempurnaan dari TRI. Di dalam penetapan itu antara lain diputuskan,
bahwa mulai tanggal 3 Juni 1947, dengan resmi berdiri Tentara Nasional
Indonesia, dan segenap Angkatan Perang yang ada serta anggota laskar yang
bersenjata, baik yang sudah atau tidak bergabung dalam biro perjuangan di
masukkan serentak ke dalam Tentara Nasional Indonesia.37
35
Muhaimin, Perkembangan Militer., h. 27.
Fatah, Demiliterisasi Tentara, h. 51.
37
Muhaimin, Perkembangan Militer., h. 28.
36
Dari perkembangan yang berlangsung sejak poklamasi dan sejak
terbentuknya BKR hingga terbentuknya TNI, dapatlah disimpulkan bahwa
TNI lahir dan berdiri dari tiga elemen pokok atau unsur pokok yang masingmasing memiliki karakteristik yang berlainan dan bahkan dengan sifat yang
heterogen, yaitu bekas tentara KNIL, PETA, dan Laskar.
Pada masa perang kemerdekaan di tahun 1945-1949 kepemimpinan
serta komando militer Indonesia sangat carut-marut dan simpang siur. Salah
satunya dikarenakan berlakunya sistem parlementer sejak dikeluarkannya
“Maklumat Wakil Presiden No. X, maka jabatan Presiden sebagai panglima
Tertinggi sebenarnya tidak berwenang lagi; tetapi prakteknya panglima
tertinggi itu tetap dianggap sebagai atasannya langsung oleh Panglima
Besar. Menteri Pertahanan yang seharusnya bertanggung jawab dalam
segala hal atas pimpinan militer, pada hakekatnya hanya menjadi pimpinan
administratif belaka; sedangkan de facto atas pimpinan militer berada pada
tangan Panglima Besar APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) yang
merangkap sebagai Panglima Angkatan Darat, beserta Staf Umumnya dan
gabungan kepala stafnya. Ada lagi lembaga yang bernama Dewan
Pertahanan Nasional yang dipimpin oleh Perdana Menteri yang dapat
disamakan sebagai pemegang kekuasaan militer. disamping itu adanya
Dewan Siasat Militer yang diketuai oleh Presiden sendiri menambah
terpencarnya kepemimpinan militer Indonesia di mana duduk panglima tiap
angkatan. 38
38
Muhaimin, Perkembangan Militer., h. 29.
Pada masa 10 tahun pertama Indonesia merdeka persoalan tentang
militer selalu timbul, terutama mengenai peran politik yang ingin dimiliki
oleh militer, karena mereka merasa juga perlu ikut berperan aktif dalam
perpolitikan bangsa ini. Tetapi, pola hubungan sipil-militer pada masa-masa
ini kurang harmonis, asumsi mengenai peran militer dalam perpolitikan
harus dibatasi, berkembang berbarengan dengan keinginan pihak militer
yang menginginkan berperan dalam perpolitikan.
C. Pola Hubungan Sipil Dan Militer Di Indonesia
Hubungan sipil militer merupakan tema dan agenda utama yang
dibicarakan oleh para ilmuan politik dan pegiat demokrasi. Tentu saja
dengan tujuan untuk menemukan sebuah konsep yang komprehensif yang
bisa
membuat relasi sipil-militer
berjalan
secara
sehat,
sehingga
demokratisasi bisa benar-benar tumbuh dan berkembang dengan sehat pula.
Di Indonesia, upaya ini dilakukan pertama-tama dengan penghapusan
dwifungsi atau reposisi TNI.
Tentang profesionalisme militer, Huntington menggunakan analogi
yang sederhana. Jika tanggung jawab pokok dari seorang dokter adalah
kepada pasiennya, dan seorang pengacara kepada kliennya, maka tanggung
jawab pokok seorang perwira militer adalah kepada negara. Seperti dokter
dan pengacara, perwira hanya mengurusi satu segmen dari berbagai kegiatan
kliennya. Ia hanya menjelaskan kepada kliennya mengenai kebutuhan dalam
bidang ini, menyarankan hal-hal yang dapat memenuhi segala kebutuhan
klien tersebut, dan setelah kliennya tersebut mengambil keputusan,
membantu klien tersebut menerapkan itu semua.
Pada batasan tertentu, perilaku seorang perwira militer terhadap negara
dituntun oleh suatu kode yang tersurat dalam hukum yang setara dengan
norma-norma etika profesional para dokter dan pengacara. Sebagian besar
kode etik perwira diungkapkan dalam kebiasaan, tradisi, dan semangat
profesi
yang
berkesinambungan.
Huntington
menambahkan
bahwa
profesionalisme tidak hanya dimaknai sebagai kemampuan, skill, dan
expertise seseorang atau lembaga terhadap pekerjaan yang menjadi
bidangnya saja, tetapi juga memiliki ciri-ciri khusus lain. Salah satu hal
yang bisa disebut sebagai ciri khusus di sini adalah responsibility.39
Begitu pula dalam dunia militer, profesionalitas tidak hanya dimaknai
sebagai kemahiran atau kemampuan dalam menggunakan senjata, tetapi
tanggung jawab akan tugasnya sebagai lembaga yang bertugas dalam
masalah pertahanan negara. Dalam pandangan Huntington, profesionalitas
militer tidak hanya dalam konteks mahir dalam menggunakan senjata dan
dilatih dalam tugasnya saja, tetapi juga harus dapat menggunakan
kemampuan analisis, pandangan luas, imajinasi dan pertimbangan.
Karena itu, masih dalam pandangan Huntington, militer profesional
mempunyai tiga karakter atau ciri40, yaitu:
39
Samuel P. Huntington, The Soldier and the State: The Theory and Politics CivilMilitary Relation, (Cambridge: Harvard University Press, 2003), h. 13.
40
Huntington, The Soldier and the State, h. 15-17.
1) Keahlian sebagai karakter utama yang karena keahlian ini profesi
militer kian menjadi spesifik serta perlu pengetahuan dan
keterampilan. Militer memerlukan pengetahuan yang mendalam
untuk
mengorganisasi,
merencanakan,
dan
mengarahkan
aktivitasnya, baik dalam kondisi perang maupun damai.
2) Militer profesional mempunyai tanggung jawab sosial yang khusus.
Selain mempunyai nilai-nilai moral yang harus terpisah sama
sekali dari insentif ekonomi, perwira militer mempunyai tanggung
jawab kepada negara. Ini berbeda dengan paradigma yang lazim
sebelumnya bahwa militer seakan-akan ”milik pribadi” komandan
dan harus setia kepadanya, yang dikenal dengan sebutan ”disiplin
mati”. Sebaliknya, pada profesionalisme, perwira militer berhak
mengontrol dan mengoreksi komandannya, jika komandan
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan rasional.
3) Militer profesional memiliki karakter korporasi yang melahirkan
rasa esprit de corps yang kuat. Ketiga ciri militer profesional
tersebut melahirkan apa yang disebut oleh Huntington dengan the
military mind, yang menjadi dasar bagi hubungan militer dan
negara.
Huntington melihat bahwa intervensi politik militer terjadi sehubungan
dengan adanya instabilitas politik dan kemunduran yang berasal dari
politisasi kekuatan-kekuatan sosial serta tidak adanya partai-partai politik
yang melembaga. Ia juga melihat bahwa prajurit profesional klasik lahir
apabila suatu koalisi sipil memperoleh supremasi terhadap militer. Militer
dengan pengetahuan dan keahlian profesionalnya menjadi pelindung tunggal
negara. Sebab itu, di negara-negara yang telah maju, militer berada di bawah
supremasi sipil.
Sistem politik yang telah mapan, pendapatan per kapita yang tinggi,
tingkat industrialisasi yang tinggi, ditambah dengan kesadaran politik dan
hukum rakyat yang tinggi telah mengurangi kemungkinan terjadinya
intervensi militer. Hal ini bukan berarti bahwa di negara-negara maju tidak
ada keikutsertaan militer dalam politik. Militer tetap ikut berpolitik dalam
proses pembuatan kebijakan politik, seperti pembuatan kebijakan politik
luar negeri dan pertahanan.
Militer di negara-negara maju juga ikut dalam mengatasi masalahmasalah sosial ekonomi yang dihadapi oleh negara-negara maju, seperti
aktivitas civic missions untuk menanggulangi bencana alam atau bencana
lainnya. Namun demikian, kadar keikutsertaan militer dalam politik itu
amatlah rendah. Keikutsertaannya dalam bidang-bidang nonmiliter hanyalah
menjalankan fungsi bantuan yang bersifat sementara dan dalam kondisi
darurat. Akhirnya, militer adalah sangat diperlukan dalam sebuah negara.
Negara kuat jika mempunyai kekuatan militer yang hebat dan bisa
diandalkan. Tetapi kekuatan militer ini berada dalam frame work sebagai
alat negara yang profesional yang tidak turut campur dalam masalahmasalah politik dan menyerahkan sepenuhnya menjadi otoritas sipil.
Intervensi militer ke wilayah politik akan menghambat proses demokratisasi
dan bahkan membunuh demokrasi itu sendiri.41
Masalah yang menyangkut hubungan sipil dan militer adalah soal yang
muncul sebagai akibat lahirnya profesi perwira sebagai keahlian tersendiri.
Fenomena ini mulai tampil pada awal abad ke-19 di Eropa. Ketika profesi
perwira masih merupakan monopoli para kerabat istana, maka tidak ada
masalah antara pimpinan politik dengan para perwira sebagai pengelola
kekerasan (manage of violence). Tetapi ketika posisi perwira terbuka untuk
siapa saja yang memenuhi syarat untuk itu, dan pimpinan tentara terpisah
dari pimpinan politik, maka timbullah soal di sekitar hubungan antara
pimpinan politik dan pimpinan tentara.42
Secara empiris, dalam hubungan sipil-militer ada beberapa pola yang
dapat diamati dari sistem pemerintahan suatu negara. Negara-negara liberal
demokratis, biasanya menganut sistem supremasi sipil. Sedangkan negaranegara rezim pemerintahan otoriter, biasanya cenderung menggunakan pola
supremasi militer. Pola lainnya adalah gabungan dari kedua pola di atas,
yakni tidak supremasi sipil atau militer (pola campuran) di mana kedua
pihak sepakat dalam kesetaraan dan kesehjateraan untuk menjalankan
pemerintahan. Hubungan sipil-militer dapat juga diamati melalui misi atau
peran militer yang dijalankan, apakah misinya dalam menghadapi ancaman
terhadap kedaulatan negara berorientasi ke dalam atau keluar atau keduaduanya. Hubungan sipil-militer dalam masa transisi menuju demokrasi juga
41
42
Huntington, The Soldier and the State, h. 18.
Huntington, The Soldier and the State, h. 19.
dapat dilihat dari dua dimensi penting, yaitu kontestasi militer dan hak-hak
istimewa kelembagaan militer.43
Namun sekali lagi dapat dikatakan bahwa pemikiran tentang hubungan
sipil-militer dengan segala varian-variannya yang ada, memang memiliki
perbedaan-perbedaan, sesuai dengan rezim pemerintahannya atau sistem
politik yang dianut oleh suatu negara. Jika pola yang berkembang adalah
supremasi sipil, maka pada akhirnya dalam model seperti ini akan
memberikan dampak pada peran militer yang hanya sebagai alat negara,
yang mengurusi masalah pertahanan ataupun melebur menjadi sub-ordinasi
pemerintahan sipil. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, dimana supremasi
militer yang lebih menonjol, maka peran militer tidak hanya berfungsi
sebagai alat negara, akan tetapi juga menjadi alat kekuasaan. Pada pola ini,
kekuatan militer akan diarahkan untuk mendominasi semua peran yang ada,
termasuk pula mengambil alih peran-peran yang seharusnya merupakan
ranah orang-orang sipil.
Pada umumnya di negara-negara barat, terdapat model hubungan sipilmiliter yang menekankan “supremasi sipil atas militer” (civilian supremacy
upon the military) atau militer adalah sub-ordinat dari pemerintahan sipil
yang dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum.44 “supremasi sipil
atas militer” merupakan konsep yang melekat dalam pengertian demokrasi
di mana sebuah masyarakat yang demokratis hanya akan mungkin tumbuh
43
Bakrie, Pertahanan Negara.
Dewi Fortuna Anwar. Dkk, Gus Dur Versus Militer: Studi tentang Hubungan SipilMiliter di Era Transisi. (Jakarta: PT. Grasindo, 2002), h. 19.
44
jika setiap komponen bangsa, terutama militer karena monopoli formalnya
atas penggunaan kekerasan, tunduk pada institusi kenegaraan yang
dihasilkan secara demokratis beserta kebijakan dan keputusan yang
dikeluarkannya. Model ini juga banyak dianut oleh negara-negara sedang
berkembang yang menerapkan sistem demokrasi liberal.
Konsep tentang “kontrol sipil” lahir “dalam ketakutan abad 18 dan
kebencian terhadap tentara sebagai suatu ancaman terhadap kebebasankebebasan rakyat”.45 Teori-teori yang membahas soal hubungan sipil-militer
ini pada umumnya bertolak dari pengalaman negara-negara demokrasi yang
salah satu cirinya adalah secara tegas menempatkan tentara di bawah
kendali kepemimpinan sipil. Secara khusus mengenai hubungan sipil-militer
di negara industri yang demokratis, Perlmutter yang mengutip Huntington
menyebut dengan istilah objective civilian control (pengendalian sipil
objektif) dan subjective civilian control (pengendalian sipil subjektif).46
Dalam penjelasannya, karakteristik yang terkandung dalam pengertian
objective civilian control (pengendalian sipil objektif) adalah:
1.
Profesionalisme militer yang tinggi dan pengakuan dari pejabat
akan batas-batas profesionalisme yang menjadi bidang mereka;
2.
Sub-ordinasi yang efektif dari militer kepada pemimpin politik
yang membuat keputusan pokok tentang kebijakan luar negeri dan
militer;
45
Bilveer Singh, Dwi Fungsi ABRI: Asal Usul, Aktualisasi, dan Implikasinya bagi
Stabilitas dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 2.
46
Perlmutter, Militer dan Politik, h. 15.
3.
Pengakuan dan persetujuan dari pihak pemimpin politik tesebut
atas kewenangan profesional dan otonomi bagi militer;
4.
Akibatnya, minimalisasi intervensi militer dalam politik dan
minimalisasi politik dalam militer.47
Dapat pula dijelaskan bahwa dalam model kontrol sipil objektif ini
biasanya dilakukan dengan cara militarizing the military.48 Hal ini dapat
dicapai dengan memperbesar profesionalisme kelompok militer di satu sisi,
dan pada sisi yang lain kekuasaan militer harus mengalami pengurangan
yang sedemikian rupa. Namun yang perlu dipertegas dalam hal ini adalah
bahwa kekuasaan militer tersebut tidak serta-merta hilang sama sekali,
melainkan tetap diberikan tetapi dalam bentuk kekuasaan yang terbatas.
Kekuasaan yang diberikan hanya berfungsi untuk digunakan dalam hal-hal
yang terkait dengan permasalahan profesinya. Apabila ada hal yang berada
di luar kepentingan profesinya, dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk
meningkatkan profesionalisme militer, maka secara otomatis kekuasaan
militer harus dipangkas.
Sebaliknya, menurut Salim Said model subjective civilian control
adalah keadaan ketika salah satu dari sejumlah kekuatan berkompetisi dalam
masyarakat berhasil mengontrol tentara dan menggunakannya untuk tujuan
dan kepentingan politik mereka.49 Lebih lanjut bahwa pengendalian sipil
47
Anwar, Gus Dur Versus Militer, h. 20.
P. Anthonius Sitepu, “Militer dan Politik: Suatu Tinjauan terhadap Peranan Militer
dalam Konfigurasi Politik Indonesia Kontemporer,” dalam POLITEIA Jurnal Ilmu Politik
(Medan: Departemen Ilmu Politik dan Labotarium Politik Fisip Universitas Sumatera Utara,
2006), h. 46.
49
Said, Militer Indonesia dan Politik, h. 275.
48
subjektif lazimnya dilakukan dengan cara memperbesar kekuasaan sipil
(maximing civilian power) dibandingkan dengan kekuasaan militer.50
Pengendalian sipil subjektif (subjective civilian control) merujuk pada
upaya politisi sipil untuk mengontrol militer dengan mempolitisasi mereka
dan membuat mereka lebih dekat kepada para politisasi sipil tersebut
(civilianizing the military), baik politisasi pro maupun anti pemerintah,
khususnya di parlemen dan di partai-partai politik. Model kontrol sipil
subjektif ditengarai akan melahirkan pola hubungan sipil dan militer yang
kurang sehat.
Huntington dalam Salim Said menekankan bahwa esensi Objective
civilian control adalah pengakuan pada otonomi profesi militer, sedangkan
subjective civilian control menolak adanya otonomi profesi militer. Dengan
bahasa lain mungkin dapat dikatakan, pada objective civilian control
otonomi yang dimiliki tentara menyebabkan mereka menjadi golongan
profesional yang hanya menjalankan tugas negara. sedang pada subjective
civilian control, tidak adanya otonomi tentara menjadikan mereka hanya alat
bagi penguasa.51
Namun demikian, di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia,
52
dikotomi sipil-militer tersebut dianggap –oleh kalangan militer atau sipil
yang tak mau berkonfrontasi dengan militer– kurang menggambarkan
realitas sesungguhnya, karena dikotomi tersebut hanya akan melahirkan
50
Bakrie, Pertahanan Negara, h. 42.
Said, Militer Indonesia dan Politik, h. 275.
52
Syahdatul Kahfie, “Peran Militer Indonesia: Tuntutan atau Kepentingan” dalam
PROGRESSIF Vol. II, No. 1 (Jakarta: Political Science Forum FISIP UI, 2002), h. 34.
51
konfrontasi.53 Oleh sebab itu, kalangan ini lebih menginginkan terjadinya
“kerja sama”, “hubungan kemitraan” atau “harmoni/keselarasan” antara sipil
dan militer. Dalam model tersebut, dapat saja terjadi militer merupakan “the
first among equals” (pertama di antara yang sederajat) dalam hubungannya
dengan institusi-institusi sipil. Ini khususnya terjadi apabila mitra sipilnya
lemah. Namun, bila institusi-institusi sipil cukup kuat, maka muncullah
gagasan dari militer untuk melakukan “pembagian peran” (role sharing). Di
sini sangat tampak, kalangan militer tidak memandang demokrasi dalam
hubungan vertikal antara sipil dan militer, yang sebenarnya lebih
mengedepankan supremasi sipil atas militer. Pada posisi tersebut, para
tentara lebih senang pada pola hubungan yang setara (equal relationship).
Sambil mengkritik teori Huntington yang dianggapnya lebih bertolak
dari pengalaman tentara di negara-negara maju, Alfred Stepan54 juga
memperkenalkan peranan baru tentara. Peranan baru yang terutama terlihat
di negara-negara baru merdeka bagi Stepan menyebabkan lahirnya konsep
“the new profesionalism of internal security and national development”.
Contoh yang dikemukakan Stepan untuk mendukung teorinya adalah Brazil
dan Peru. Secara teknis militer tingkat profesionalitas tentara Brazil dan
Peru sangat tinggi, tetapi pada saat yang sama keterlibatan mereka ke dalam
urusan keamanan dalam negeri, mereka akhirnya terseret ke urusan politik.
53
Sitepu, Militer dan Politik, h. 46.
Alfred C Stepan, Bambang Cipto (Penerjemah), Militer dan Demokrasi: Pengalaman
Brasil dan Beberapa Negara Lain (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1996).
54
Dalam hubungannya dengan konsep relasi sipil-militer di sebuah sistem
pemerintahan, maka menurut Eric A. Nordlinger, bentuk pemerintahan sipil
dibagi dalam tiga model, yakni: Model Tradisional, Model Liberal, dan
Model Panetrasi atau Serapan.55
1.
Model Tradisional adalah model kontrol sipil di negara monarki.
Bentuk pemerintahan sipil tradisional ini sangat berpengaruh
dalam sistem pemerintahan kerajaan abad ke-17 dan abad ke-18 di
Eropa. Hal itu terjadi karena golongan aristokrat Eropa merupakan
elit sipil dan juga elit militer. Walaupun kedua golongan elit ini
berbeda, akan tetapi dalam kepentingan dan pandangannya hampir
sama karena keduanya berasal dari golongan aristokrat. Golongan
bangsawan tidak bisa memanfaatkan kedudukan militer mereka
untuk menentang raja karena raja masih sangat dihormati sebagai
kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Tindakan menentang
raja justru akan melemahkan kedudukan politik, ekonomi, dan
sosial mereka yang sangat bergantung kepada raja. Dalam model
ini biasanya tidak terjadi konflik antara sipil dan militer. Ketika
terjadi konflik, mereka lebih memilih untuk mempertahankan
statusnya sebagai sipil atau bangsawan yang memiliki previlege.
Dalam model ini, militer dianggap sebagai golongan amatir. Model
ini mulai runtuh di Eropa Barat setelah tahun 1800-an ketika
pendidikan
55
dan
kemahiran
dijadikan
parameter
utama
Eric A. Nordlinger, Militer dalam Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 8-30.
dibandingkan status dan kekayaan warisan. bentuk pemerintahan
sipil di mana tidak ada perbedaan yang mencolok antara sipil dan
militer. Bentuk pemerintahan sipil tradisional ini berpengaruh
sekali di bawah sistem pemerintahan kerajaan pada abad ketujuh
belas dan delapan belas. Golongan aristokrat Eropa (elit Eropa) dan
elit militernya lebih mengutamakan kekuasaan, kekayaan, dan
status sebagai seorang sipil. Bentuk pemerintahan sipil tradisional
ini dapat mempertahankan legitimasi pihak sipil yang disebabkan
oleh tidak adanya perbedaan antara sipil dan militer.
2.
Model Liberal. Model ini dengan jelas mendasarkan pada
diferensiasi tugas dan wewenang sipil dan militer. Militer hanya
bertugas menjaga keamanan dan pertahanan negara. Selain itu,
militer diberikan kemampuan manajemen militer yang mumpuni.
Seluruh kebutuhan militer dipenuhi dengan sebaik-baiknya oleh
sipil. Singkat kata, model ini berupaya melakukan depolitisasi
semaksimal mungkin terhadap militer. Semua hak militer yang
diberikan untuk sipil bukan berarti memberikan kewenangan yang
seenaknya kepada sipil untuk melakukan apapun terhadap militer.
Dalam hal ini, sipil dituntut untuk memiliki civilian ethic. Ada
beberapa etika sipil yang harus dilakukan, antara lain sipil harus
menghormati kehormatan militer, keahlian, dan otonomi, serta
harus menunjukkan sikap netral. Selain itu, sipil tidak boleh
melakukan
intervensi
ke
dalam
profesi
militer
apalagi
menyusupkan ide-ide politik bahkan menggunakan militer untuk
kepentingan politik tertentu. Model liberal ini sebenarnya memiliki
banyak kelebihan, tetapi segalanya bisa bermasalah ketika sipil
tidak konsisten dalam setiap etika yang harus dipenuhi. Model ini
secara jelas mendasarkan diri pada pemisahan para elit militer dan
sipil sesuai dengan keahlian dan tanggung jawab masing-masing
dalam jabatan pemerintahan, baik mereka dipilih melalui pemilihan
umum ataupun diangkat. Elit sipil sesuai dengan kemampuannya
menjalankan tanggungjawab di bidang pembangunan politik,
ekonomi, sosial-budaya, mengawasi dan melaksanakan undangundang, serta menyelesaikan konflik antar-kelompok. Sedangkan
militer sesuai dengan keahliannya, mengelola, dan menggunakan
kekerasan serta bertanggungjawab mempertahankan negara dari
serangan luar dan kekacauan yang timbul dalam negeri. Kelompok
militer juga tidak dapat mencampuri urusan di luar keamanan
nasional. Secara singkat, model liberal menutup kemungkinan
militer ikut campur dalam kegiatan politik. Model pemerintahan
sipil liberal juga didasarkan pada prinsip pihak sipil harus
menghormati
pihak
militer.
Di
dalam
tindakan
dan
pelaksanaannya, pemerintah menghargai kedudukan, kepakaran,
dan netralitas pihak militer. Pemerintah tidak merendahkan peran
para perwira militer ataupun mencampuri urusan profesional
militer dan memasukkan pertimbangan politik ke dalam angkatan
bersenjata, seperti menaikkan pangkat perwira karena alasan
kesetiaan mereka di bidang politik atau melibatkan militer untuk
kepentingan politik domestik. Jika pihak sipil menghargai
keabsahan militer, maka semakin kecil alasan militer untuk
melakukan intervensi.
3.
Model Serapan, adalah suatu model kontrol sipil yang melakukan
penebaran ide-ide politik terhadap perwira militer yang masuk
dalam partai-partai politik. Dalam hal ini, sipil dan militer adalah
satu perangkat ideologi. Model ini hanya bisa diterapkan di suatu
negara yang menerapkan sistem partai tunggal. Kontrol sipil
terhadap militer dilakukan melalui dua struktur yaitu struktur
militer itu sendiri dan struktur partai politik. Militer yang masuk
dalam partai politik harus melepaskan semua aturan militernya dan
masuk dalam aturan partai politik sehingga semua tunduk dalam
aturan partai. Hal ini membuat tidak dominannya peran militer.
Kalaupun ada dominasi militer dalam partai hanya mungkin terjadi
sebatas faksi. Model panetrasi ini biasanya diterapkan di negara
komunis.
Apabila model ini diterapkan,
ia
akan sangat
memperlihatkan supremasi sipil. Akan tetapi dalam keadaan
tertentu, pelaksanaan yang kurang baik akan menimbulkan resiko
yang cukup tinggi. Sama seperti model liberal, dalam model
panetrasi ini akan berakibat buruk ketika setiap aksi kelompok sipil
mengganggu
wilayah
otonom
militer.
Dalam
model
ini
pemerintahan sipil memperoleh pengabdian dan kesetiaan dengan
cara menanamkan ide-ide politik ke dalam tubuh angkatan
bersenjata. Sepanjang hidupnya, militer senantiasa didoktrinasi
dengan ide-ide politik sipil. Baik di dalam akademi militer, pusat
latihan, tempat kursus, sekolah dasar dan lanjutan militer, ataupun
diskusi formal dan informal. Hal ini sering dilakukan untuk
membentuk ide dan sikap politik militer dengan asumsi bahwa ide
dan persamaan politik pihak sipil dan pihak militer yang muncul
kemudian akan menghapuskan gejala
konflik sipil-militer.
Penerimaan para perwira militer terhadap ide-ide politik ortodok
juga digunakan sebagai satu syarat penting dalam kenaikan
pangkat, di samping kemampuan militer.
Dalam konteks mewujudkan militer yang mempunyai profesionalisme
tinggi di bidangnya pada era modern seperti sekarang ini, model liberal
Nordlinger patut diapresiasi oleh semua komponen negara sebagai pilihan
yang terbaik. Hubungan Sipil–Militer yang ideal, tentunya kembali pada
porsi profesionalisme-nya, dimana Militer mengemban tugas utamanya
menjaga Kedaulatan Negara, Pertahanan dan Keamananan, yang tidak
mencampuri urusan atau wilayah Politik Sipil.56
Konsep pengabdian kepada Negara adalah Rakyat yang berdaulat,
Pemerintahan yang sah dan Wilayah kedaulatan Nasional. Militer harus
sadar benar akan Profesionalisme-nya, Netralitasnya sebagai alat Negara
56
http://ahmadfathulbari.multiply.com/journal/item/40/Catatan_Kuliah_Peranan_Militer_
dalam_Politik_
bukan alat Kekuasaan. Sedangkan kalangan Sipil bertanggungjawab
melakukan fungsi-fungsi ke-Negara-an yang menjadi wilayah PolitikPublik, pelayanan masyarakat, menegakan Supremasi Hukum dan
mengembangkan kesejahteraan. Hubungan Sipil-Militer yang Ideal ditandai
oleh rasa saling menghormati Wilayah Kewenangannya, saling percaya
didasarkan atas system peraturan dan perundangan yang telah disepakati
bersama. Dengan demikian, Militer dapat menata dirinya lebih mandiri,
tanpa kekhawatiran di-Intervensi oleh pihak diluar Militer, sehingga para
personil Militer tidak perlu menjadi Opurtunis yang sibuk mendekati
penguasa untuk kedudukannya, sebagai konsekuensi logis penghormatan
Kekuasaan Sipil kepada Institusi Militer.
Secara Teoritis-historis, seperti dikemukakan diatas, Supremasi Sipil
atau Masyarakat Sipil hanya akan dapat menempatkan posisi peran Militer
secara tepat sesuai fungsinya “Profesional”, bila Kepemimpinan Sipil
tersebut memiliki : Managerial State’s Capability (kemampuan mengelola
Negara), Integritas moral, Dukungan Partai Politik yang kuat dan Legitimasi
Konstitusional. Bila salah satu saja dari indikator tersebut hilang, maka
Militer masih memiliki peluang untuk mempermainkan proses Civil
Society. Dan apabila hal itu terjadi, adalah suatu kerugian besar bagi Bangsa
Indonesia mengalami kemunduran dari suatu proses perjuangan menegakan
Demokrasi-Masyarakat Sipil yang telah lama diimpikan.
D. Fungsi Militer Dalam Negara
Negara sebagai suatu organisasi sosial terbesar dalam masyarakat
mempunyai fungsi; melindungi masyarakat dari ancaman atau gangguan
serta
menjamin hak-hak masyarakat. Oleh karena itu Negara sebagai
organisasi yang besar diberikan wewenang oleh masyarakatnya untuk
menjalankan
kewajiban
mengkonsolidasikan
tersebut.
tujuan
dan
Tujuan
negara
kepentingan
adalah
bersama
berupaya
dikalangan
masyarakat secara umum.
Jadi segala sesuatu yang diberikan oleh masyarakat (seperti membayar
pajak, kerelaan untuk tunduk/menurut) kepada negara dapat diukur.
Ukurannya
adalah
sejauhmana
masyarakat
dapat
merasakan
atau
mendapatkan kembali hak-haknya atau hak-haknya tidak terlanggar dan
terpenuhi. Russell Hardin mengatakan: “(w)e need goverment in order to
maintain the order that enables us to invest effort in our own wellbeing and
to deal with others in the expectations that we will not be violated”57.
Dalam suatu sistem demokrasi dimana negara berperan sebagai
pelindung masyarakat dari ancaman dan gangguan, maka posisi militer di
dalam sebuah negara sudah semestinya berfungsi agar ancaman dan
gangguan itu menjadi minimal. Fungsi itu bisa dikatakan sebagai kewajiban
pokok dari sebuah institusi militer. Dengan demikian posisi militer atau
angkatan bersenjata merupakan sebuah institusi yang sah atau lazim dalam
sebuah organisasi yang bernama negara, yang mempunyai kewajiban
berkaitan dengan perlindungan negara demi memproteksi masyarakat dari
57
Russell Hardin, “Do We Want Trust In Government?” Dalam Democracy and Trust,
edited by Mark E. Warren (Cambrigde University press 1999), h. 22.
ancaman fisik. Edward Luttwak dalam hal ini mengatakan bahwa: The
goverment will not only be protected by the professional defenses of the
state; the armed forces, the police, and the security agencies—but it will
also be supported by a whole range of political forces. In a sophisticated
and democratic society these will include political parties, sectional
interest, regional, ethnic, and religious groupings. Their interaction and
mutual opposition results in a particular balance of forces which the
goverment in some way represents.58 (Pemerintah tidak hanya dilindungi
oleh aparatus pertahanan profesional yang dimiliki Negara;
perang, polisi dan badan-badan keamanan
angkatan
tetapi juga ditopang oleh
kekuatan-kekuatan politik secara luas. Dalam masyarakat demokratis dan
kompleks, kekuatan ini mencakup partai politik, kelompok-kelompok
kepentingan, regional, etnis dan kelompok-kelompok agama. Interaksi dari
kekuatan ini dan oposisi yang berjalan menghasilkan sebuah perimbangan
kekuatan terhadap pemerintah).
Lebih jauh mengenai fungsi militer dalam negara demokratis bisa kita
pelajari
dari
prinsip-prinsp
yang
ditawarkan
Mayor
Jenderal
(Purnawirawan) Dr. Dietrich Genschel. Prinsip-prinsip dimaksud, adalah
sebagai berikut:59
1. Militer merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif suatu tatakelola
pemerintahan.
58
Dengan demikian,
militer
merupakan elemen
Edward Luttwak, Coup d’Etat, A Practical Handbook—A Brilliant Guide To Taking
Over A Nation. (Greenwich: Fawcett Premier book, 1969), h. 47.
59
Mayor Jenderal (Purnawirawan) Dr. Dietrich Genschel, Makalah berjudul “Tempat dan
Peran Militer Dalam Masyarakat Sipil Yang Demokratis. Pengalaman Reformasi Militer Jerman”
(Jakarta: Freidrich-Ebert-Stiftung, 2002).
pemisahan kekuasaan dalam sistem politik yang demokratis, yang
ditandai dengan pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif.
2. Militer berada di bawah kepemimpinan politik yang telah disahkan
secara demokratis, dengan jabatan menteri pertahanan dipegang oleh
sipil.
3. Militer mengikuti pedoman politik yang digariskan.
4. Militer patuh dan tunduk pada hukum.
5. Militer dibatasi oleh tugas-tugas yang telah ditetapkan oleh
konstitusi; secara regular menjaga keamanan eksternal negara (dari
serangan atau ancaman dari luar) dan menjaga pertahanan negara.
Dalam kasus-kasus tertentu dengan situasi dan batas-batas tertentu
yang digariskan secara jelas. (Militer dapat dilibatkan) dalam upayaupaya untuk menjaga keamanan internal negara dibawah komando
polisi.
6. Militer bersifat netral dalam politik.
7. Militer tidak dibenarkan memiliki akses untuk memperoleh
dukungan-dukungan keuangan diluar anggaran pendapatan dan
belanja negara.
8. Militer dikendalikan oleh parlemen, kepemimpinan politik,
kekuasaan kehakiman, dan masyarakat sipil secara umum.
9. Militer memiliki tanggung jawab yang jelas berdasarkan keahlian
profesional yang dimilikinya dan dengan itu, memiliki harkat dan
martabatnya.
Untuk menunjang prinsip-prinsip sebagaimana diutarakan di atas
diperlukan prasyarat:60
1. Kerangka konstitusi; menetapkan nilai-nilai sosial (martabat manusia
dan hak asasi manusia) dan pemerintah yang berdasarkan pada
hukum, menetapkan pemisahan kekuasaan (kekuasaan legislatif,
eksekutif, yudikatif), mendefinisikan peran dan tugas militer;
2. Parlemen yang berfungsi; (dipilih melalui) pemilihan secara bebas,
(bersifat) multi partai, (dan memiliki) substruktur-substruktur yang
perlu (seperti panitia anggaran, panitia pertahanan, ombudsman
parlemen);
3. Pemerintahan sipil; dengan rantai komando (politik) yang jelas.
Presiden, Menteri Pertahanan dan dengan menempatkan Kepala
Pertahanan dibawah Menteri Pertahanan – di Jerman mata rantai
Komando ini mulai dari Presiden ke Perdana Menteri, dan
seterusnya;
4. Kekuasan kehakiman yang mandiri; tanpa pengadilanpengadilan
khusus yang berada di luar tanggungjawabnya (seperti pengadilan
militer);
60
Dr. Dietrich Genschel, Makalah berjudul “Tempat dan Peran Militer Dalam Masyarakat Sipil.
5. Organisasi militer; yang terstruktur, terdidik, dan terpimpin
sedemikian rupa sehingga tidak mencampuri atau membahayakan
masyarakat sipil, tetapi dengan tetap mempertahankan efektivitas
militer yang tinggi;
6. Masyarakat sipil yang matang; yang bersatu di bawah ketentuanketentuan dasar konstitusi dan mengambil sikap pluralistik tetapi
toleran dalam kehidupan bermasyarakat, yang pada gilirannya
memerlukan;
7. Publik terdidik; yang bersedia berpartisipasi dalam kehidupan politik
dan kehidupan bermasyarakat, mampu menyeimbangkan kebebasan
individual dan kemandirian dengan komitmen terhadap kebaikan
bersama (termasuk pertahanan), serta media yang bebas dan
beragam;
8. Elit militer dan elite politik yang kompeten
9. Pemegang jabatan pada kantor-kantor publik (baik sipil maupun
militer) yang memiliki kepercayaan diri, bersedia memenuhi
kewajiban, memikul tanggung jawab, dan menerima pembatasanpembatasan (maksudnya; pegawai negeri tidak perlu takut pada
militer.
Sebaliknya,
personil
militer
hendaknya
memenuhi
kewajibankewajiban mereka dengan bangga dalam batasan-batasan
hukum yang diberikan).
Setelah melihat beberapa faktor yang menempatkan militer dalam suatu
negara, tentu perlu pula diperhatikan bahwa dalam menjalankan fungsi-
fungsinya militer tidak boleh berinisiatif sendiri, melainkan atas persetujuan
otoritas politik yang lebih tinggi yaitu Presiden dan Parlemen. Hal itu untuk
menghindarkan militer menjadi lembaga superbody dalam sebuah negara.
BAB III
MILITER SEBAGAI KEKUATAN POLITIK
A. Definisi Kekuatan Politik
Kekuatan
Politik
adalah
kemampuan
suatu
kelompok
dalam
mempengaruhi proses pembuatan dan perumusan keputusan-keputusan
politik yang menyangkut masyarakat umum. Kemampuan mempengaruhi
dilakukan kelompok dengan menggunakan sumber-sumber kekuasaan dan
akses yang dimiliki, sehingga keputusan-keputusan yang dibuat pemerintah
akan menguntungkan mereka. Suatu kelompok akan mempengaruhi
keputusan-keputusan politik, apabila keputusan-keputusan yang dibuat
menyangkut kepentingan mereka, sehingga apapun konsekuensinya akan
dihadapi oleh kelompok-kelompok tersebut dengan berbagai upaya. Upayaupaya yang dilakukan biasanya dengan mengerahkan sumber-sumber
kekuasaan yang dimiliki dan disalurkan melalui saluran-saluran yang
tersedia.61
Kesadaran mengenai perkembangan teori, pendekatan dan wawasan
baru dalam memahami kekuatan-kekuatan politik yang pada dasarnya telah
meletakkan tata susunan politik dan kekuatan politik yang berada di
dalamnya dalam konteks dan hubungannya dengan persoalan-persoalan
yang dalam dan luas ini dengan sendirinya menuntut untuk dipahaminya
61
15
Hand Out Mata Kuliah Haniah Hanafie, Kekuatan-Kekuatan Politik, (Jakarta: 2007), h.
pula perkembangan sejarah, struktur sosial dan ekonomi dimana tata
susunan politik dan kekuatan-kekuatan politik itu berada. Kekuatankekuatan politik kontemporer yang menampilkan diri sebagai partai politik,
militer, pemuda, mahasiswa, kaum intelektual dan golongan pengusaha serta
kelompok-kelompok penekan yang lain pada dasarnya memiliki asal usul di
dalam perubahan-perubahan besar sosial, politik dan ekonomi. Perubahanperubahan ini bukan hanya saja telah menimbulkan pengaruh yang
mendalam , tetapi juga dalam perkembangan sosial, politik dan ekonomi.
Sangatlah penting kiranya untuk segera disadari bahwa perubahanperubahan ini telah menampilkan dimensi-dimensi pokok yang menjelaskan
pemunculan dan perkembangan kekuatan-kekuatan politik kontemporer.
Dimensi-dimensi itu adalah62 :
1) Politik, ekonomi dan masalah-masalah sosial yang lain secara pelanpelan tidak lagi menjadi monopoli kaum bangsawan, tetapi telah
menjadi
masalah-masalah
masyarakat
luas.
Terdapat
suatu
perkembangan nyata menuju suatu perluasan partisipasi politik dan
hak pilih. Proses inilah yang telah mengawali kelahiran partai politik
dan pengelompokan-pengelompokan politik yang lain.
2) Semakin kuatnya peranan kelas menengah di hampir seluruh bidang
kehidupan.
Proses
ini
juga
dibarengi
dengan
pengukuhan
kebudayaan kota. Tampilnya kelas menengah dan pengukuhan
kebudayaan kota inilah yang telah menandai kelahiran kelas
62
Farchan Bulkin, Kekuatan Politik : Perspektif Dan Analisa, Pengantar dalam Seri
Prisma I: Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. x-xi.
menengah, kaum profesional dan golongan intelektual sebagai
kekuatan politik penting yang tidak bisa diabaikan.
3) Pemunculan, pertumbuhan dan perkembangan negara modern dalam
bentuk seperti yang dikenal dewasa ini. Ini berarti bahwa birokrasi
dan aparatur negara secara pelan-pelan telah pula menjadi unsur
penting dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Termasuk
dalam proses ini adalah penampilan angkatan bersenjata sebagai
unsur penting negara yang mulai dipimpin dan diorganisasi sesuai
dengan prinsip-prinsip profesionalisme.
4) Muncul dan berkembangnya nilai-nilai, filsafat dan ideologi yang
memberikan dasar-dasar pengukuhan, pengesahan dan rasionalisasi
untuk berjalan dan berkembangnya tata susunan politik dan
konfigurasi kekuatan-kekuatan politik baru itu.
Bila dilihat dari pendekatan di atas maka dalam kehidupan bernegara
perlu kestabilan sosial, ekonomi dan politik. Militer sebagai sebuah
organisasi yang mempunyai sumber power yang bersinergi dengan negara
berkewajiban atas keamanan dan kenyamanan dalam sektor sosial, ekonomi
dan politik. Dengan sumber powernya, militer telah menjelma sebagai salah
satu kekuatan dalam negara.
B. Penggolongan Kekuatan-Kekuatan Politik
Berdasarkan sumber power maka kekuatan-kekuatan politik dapat
dibedakan, yaitu :
Tabel 163
Kelompok Sosial Budaya
Sumber Kekuasaan
Militer
Senjata, Sistem Komando, Disiplin, Dll
Pengusaha
Modal
Mahasiswa
Kekuatan Moral, Idealisme
Pers
Informasi
Partai Politik
Massa
Buruh
Massa
Intelektual/Cendekiawan
Ilmu/Kepandaian
Agama
Kepercayaan
LSM
Link, Dana, Informasi
Birokrasi
Data
Sedangkan
berdasarkan
gerakannya
(Movement)
pada
sejarah
Indonesia, kekuatan politik dapat digolongkan menjadi64 :
a.
Golongan Radikal, Golongan radikal menghendaki supaya jangan
diberikan kesempatan kepada mereka yang berkolaborasi dengan
Rezim Orde Lama. Baik menegakkan kestabilan dalam arti
63
Hand Out Mata Kuliah Haniah Hanafie, Kekuatan-Kekuatan Politik,h. 16
Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik Dan
Pembangunan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2003), h.14-16.
64
menyusun kembali peta politik, maupun merencanakan serta
melaksanakan pembangunan. Pemuka-pemuka kelompok ini
terutama datang dari kalangan yang lebih condong untuk berpaling
ke Barat.
b.
Golongan Konservatif, Sungguhpun golongan konservatif yang
lebih diwarnai oleh politik sipil juga menghendaki peranan yang
besar di dalam politik Indonesia. Golongan ini berharap bahwa
sekurang-kurangnya di Dalam Dewan Perwakilan Rakyat, Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan sebagainya mereka memperoleh
peranan yang berarti. Untuk itu mereka menghendaki sistem
pemilihan berimbang dimana calon lebih ditentukan oleh partai
melalui daftar calon daripada rakyat di daerah pemilihan sendiri.
Tidak seperti golongan radikal, kelompok ini menghendaki
pembangunan ekonomi yang benar-benar didasarkan kepada
kekuatan modal dalam negeri.
c.
Golongan Moderat, Golongan ini memperhatikan perimbangan
antara tuntutan kedua golongan di atas dan kemungkinankemungkinan yang wajar untuk dilaksanakan, maka golongan
moderat mencari jalan tengah. Golongan ini mengedepankan
kompromi yang kemudian menjadi dasar kehidupan kepartaian
ialah bahwa disamping wakil-wakil partai politik duduk pula wakil
golongan fungsional dan militer di dalam lembaga-lembaga
perwakilan yang semuanya dianggap mewakili rakyat Indonesia.
Di dalam
kehidupan politik, kelompok-kelompok sosial yang
mempunyai sumber kekuasaan tidaklah terkotak sejelas dan sesederhana itu.
Artinya sungguhpun diantara kekuatan-kekuatan politik di atas terdapat
perbedaan kemampuan dan peranan, di dalam menghadapi berbagai
masalah-masalah terdapat semacam jalur penghubung di antara kekuatankekuatan politik tersebut. Dengan demikian maka golongan yang bermain di
dalam mencari penyelesaian persoalan-persoalan yang dihadapi oleh sistem
politik tidak lagi didasarkan kepada militer dan non militer, partai dan bukan
partai. Akan tetapi secara keseluruhan kekuatan-kekuatan politik ini dapat di
kategorikan ke dalam golongan radikal, konservatif atau moderat.
C. Kekuatan Politik Militer
Dalam historiografi sejarah awal militer Indonesia, atau Tentara
Nasional Indonesia (TNI), hanya terdapat satu paradigma tunggal, yaitu
bahwa
TNI
dibentuk
dari
rakyat
yang
sedang
memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda.65 Dalam bahasa Salim
Said mengungkapkan bahwa tentara Indonesia adalah tentara yang
menciptakan diri sendiri.66 TNI diyakini sebagai institusi profesional yang
bukan merupakan warisan institusional negara metropolitan dalam
hubungan kolonial masa lampau, sebagaimana umumnya ditemui di negara-
65
Ikrar Nusa Bhakti, dkk., Tentara Mendamba Mitra: Hasil Penelitian LIPI tentang
Pasang Surut Keterlibatan ABRI dalam Kehidupan Kepartaian di Indonesia. (Bandung: Mizan,
1999), h. 53.
66
Salim Said, Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2001), h. 2.
negara bekas jajahan.67 Terlihat memang ada yang tidak biasa dari proses
terbentuknya Tentara Nasional Indonesia, di mana pemerintah tidak
memiliki peran dalam pembentukan institusi ketentaraan.
Perwujudan peran militer dalam politik Indonesia telah melewati
perjalanan panjang, dan keterlibatan militer dalam politik senantiasa
mengalami pasang surut. Bilveer Singh,68 menyebutkan bahwa kerterlibatan
militer dalam bidang non-militer (politik) disebabkan oleh faktor-faktor
internal dan eksternal. Faktor-faktor internal tersebut terdiri dari; (1) nilainilai dan orientasi para perwira militer, baik secara individu maupun
kelompok, serta (2) kepentingan-kepentingan material korps militer.
Menurut Eric Nordlinger, yang mendorong keterlibatan militer dalam politik
adalah perlindungan otonomi dan kepentingan korporat militer. Begitu juga
menurut S.E. Finer kepentingan korpslah yang menjadi perhatian utama
peran militer.
Kepentingan-kepentingan material angkatan bersenjata juga memainkan
peranan amat penting dalam keputusan militer untuk campur tangan dalam
politik seperti:
a)
Memperjuangkan kepentingan kelompok dan organisasi, baik
untuk memperoleh fasilitas-fasilitas militer seperti alat utama
sistem persenjataan, maupun untuk memberikan gaji yang layak
kepada anggotanya. Jika para pemimpin politik sipil gagal untuk
67
Bhakti, Tentara Mendamba Mitra, h. 53
Bilveer Singh, Dwi Fungsi ABRI: Asal Usul, Aktualisasi, dan Implikasinya bagi
Stabilitas dan Pembangunan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 1-24.
68
memenuhi
kebutuhan-kebutuhan
tersebut,
maka
ada
kecenderungan militer terpolitisasi dan terintervensi dalam politik.
b)
Korps militer adalah wakil penting dari kelas menengah perkotaan,
dan apabila pemerintah gagal untuk memenuhi kebutuhan kelas
menengah, maka kelompok perwira militer diperkirakan akan
melakukan
tekanan
terhadap
pemerintah
kemungkinan
menjatuhkannya.
c)
Para
pemimpin
puncak
militer
dapat
pula
membangun
kepentingan-kepentingan pribadinya melalui intervensi militer
dengan menempatkan mereka dalam kontrol jaringan patronase
pemerintah, bahwa ketidak pedulian pemimpin sipil terhadap
kepentingan militer dapat menyebabkan terjadinya intervensi
militer.
Nilai-nilai dan orientasi militer secara garis besar merupakan hasil dari
sejarah pengalaman yang dimiliki para anggota militer. Pada gilirannya,
sejarah asal-usul dan peran awal militer tersebut membentuk suatu tradisi
dan seperangkat nilai, yang di dalamnya para generasi perwira militer
pendahulu dan penerusnya cenderung mematuhi dan mengekalkannya.
Faktor kunci dalam memperkuat keutuhan militer adalah ancaman terhadap
institusi tersebut. Alfred Stepan mengatakan:69 “Sebenarnya seringkali
ancaman terhadap kepentingan institusional atau kelangsungan hidup
69
Alfred Stepan, Militer dan Demokrasi: Pengalaman Brasil dan Beberapa Negara Lain.
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1996).
(militer) menjadi faktor dalam menciptakan konsensus akhir pejabat tinggi
militer, karena setiapkali area tradisional dari otoritas institusional militer
diganggu, misalnya dalam hal struktur disiplin dan hirarkinya, maka bahkan
non-aktifis dan legalis di dalam jajaran pejabat militer itu akan terprovokasi
untuk bertindak”.
Faktor institusional adalah salah satu variabel yang krusial di antara
ancaman terhadap lembaga militer dan perebutan kekuasaan oleh militer.
Gerakan militer untuk merebut kekuasaan menjadi efektif hanya jika ia
berhubungan dengan perhatian militer untuk mempertahankan kepentingan
dirinya. Di bawah akan kita ketahui faktor apa yang melatarbelakangi terjun
bebasnya militer dalam hiruk-pikuk politik kekuasaan di Indonesia.
Militer yang masuk ke dalam dunia politik didasari oleh banyak faktor
pendukung. Secara kultur yang dibangun dalam dunia milter memang
menjadikan setiap perwira militer memiliki keunggulan yang dapat
dikatakan melebihi kualitas sipil. Indoktrinasi yang dibangun dalam dunia
militer juga memberikan semangat juang yang berbeda dibandingkan
kalangan sipil. Faktor-faktor pendukung itu antara lain adalah jaringan yang
dibangun oleh setiap perwira cukup baik. Jaringan itu dibangun dari
berbagai momen seperti latihan militer bersama, pendidikan militer
bersama, atau hubungan antar pimpinan militer di negara yang berbeda.
Perwira tinggi militer yang memiliki jaringan yang kuat dapat melakukan
koordinasi bahkan bantuan dukungan jaringannya di negara lain. Selain
Jaringan, faktor pendukung lainnya adalah sistem kepemimpinan yang
dibangun dalam dunia militer. Setiap perwira militer sudah dilatih
kepemimpinannya dalam suatu entitas terkecil sampai memimpin satu
angkatan secara keseluruhan. Kultur itu membuat pengalaman seorang
perwira militer benar-benar terlatih sejak dini. Selain itu, ada faktor-faktor
lain yang juga sangat mempengaruhi kualitas seorang perwira militer yang
siap memimpin negara antara lain pendidikan berkualitas yang dididik
dengan orang-orang berkualitas bahkan dari kalangan sipil yang memenuhi
kriteria terbaik seperti Guru Besar, dsb.
Kekuatan politik militer dapat dilihat dari sumber-sumber powernya,
yaitu 70:
a.
Garis komando yang jelas; melalui sistem komando militer lebih
mampu untuk berada didalam suatu organisasi yang utuh.
b.
Sistem Hirarki; lebih utuhnya kepemimpinan militer, disokong
pula oleh sistem hirarki yang dilaksanakan dengan disiplin, amat
membantu
komandan
untuk
mengendalikan
tingkah
laku
anggotanya yang tersebar dideluruh daerah. Dengan demikian
pengendalian dan pengawasan terhadap organisasi tingkat daerah
dapat dilaksanakan dengan efektif.
c.
Rasa keterikatan di antara anggota-anggota militer (esprit decorp);
sebagai kelompok yang memperoleh sosialisasi secara seragam,
diikatkan oleh organisasi dan lambang-lambang yang ditafsirkan
secara seragam oleh keseluruhan anggotanya, maka lebih kecil
70
Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, h. 56-58.
kemungkinan untuk tumbuhnya perbedaan pandangan dalam
militer.
d.
Komunikasi intern yang terpelihara; sebagai organisasi yang paling
modern di dalam masyarakat, militer mempunyai jaringan
komunikasi
yang
terpisah
dari
sistem
komunikasi
yang
dipergunakan masyarakat pada umumnya. Peralatannya termasuk
yang paling efektif untuk menghubungkan pimpinan di pusat
dengan satuan-satuan didaerah.
Meskipun naluri militer adalah ingin terjun ke bidang politik, tetapi hal
itu tergantung pada beberapa faktor, antara lain ialah latar belakang
terbentuknya militer, situasi dan kondisi masyarakat/pemerintahan dan
sistem atau bentuk pemerintahan dalam suatu negara. Menurut Talcot
Parson dalam Arif Yulianto, terdapat tiga hal yang menyebabkan militer
terlibat dalam politik, yaitu71 :
1)
Kelemahan struktural/disorganisasi.
2)
Adanya kelas-kelas yang cenderung terpecah belah dan tidak
mampu melancarkan aksi terpadu, termasuk kelas menengah yang
secara politik impoten.
3)
Rendahnya tingkat aksi sosial dan mobilisasi sumber-sumber
materiil.
Persoalan disorganisasi, tidak dapat dipungkiri, mengingat militer
memiliki kelebihan daripada kelompok lain, yaitu kedisiplinan, sentralisasi
71
Hand Out Mata Kuliah Haniah Hanafie, Kekuatan-Kekuatan Politik, h. 40-41.
sistem komando, disiplin tinggi, sehingga organisasi militer lebih solid dan
mampu mengorganisir dengan baik, apabila militer tampil sebagai penguasa.
Dengan kerapuhan secara struktural yang dialami masyarakat, maka titik
kelemahan ini, menarik militer untuk tampil melekukan intervensi politik.
Motivasi politik tentara untuk terjun ke dalam politik memang sudah ada
pada rezim-rezim yang kekuasaannya mengalami kemunduran. Naluri
militer untuk terjun ke politik dan kondisi pemerinthan yang tidak
demokratis, adalah dua hal yang mempengaruhi motivasi militer untuk
melakukan kudeta. Kudeta dilakukan kelas menengah bukan karena ideologi
atau politik kelas menengah. Menurut Amos Palmutter militer, melakukan
kudeta apabila72:
a.
Tentara merupakan kelompok yang kohesif dan secara politik
teroganisir paling baik pada suatu saat tertentu dan suatu sistem
politik.
b.
Apabila tidak ada kelompok oposisi yang kuat.
c.
Harus mendapat dukungan partai politik tertentu atau kelompok
masyarakat lainnya misalnya kelas pekerja.
Menurut K. Man Haim, ada
tiga faktor yang mendorong militer
berpolitik yaitu73:
1) Ambisi Pribadi
Ambisi-ambisi pribadi para perwira militer untuk merebut posisi
penting di dalam jaringan kekuasaan politik. Ambisi pribadi perwira tinggi
72
73
h. 12-13.
Hand Out Mata Kuliah Haniah Hanafie, Kekuatan-Kekuatan Politik, h. 42.
Rivai Nur, Dkk., Saatnya Militer Keluar Dari Kancah Politik, (Jakarta: PSPK, 2000),
dan menengah militer dapat dilihat dari dua segi yakni keinginan berkuasa
dan keinginan memperoleh materi sebagai konsekuensi dari jabatan itu, atau
karena jabatan tertentu memberi peluang seseorang untuk memperoleh
berbagai fasilitas dan kemudahan yang pada akhirnya bermuara pada
kesenangan materi.
2) Kepentingan Kelompok
Kepentingan kelompok yakni keinginan untuk mendominasi kelompok
yang lain melalui kekuasaan. Keinginan untuk mendominasi kekuasaan
terkait dengan status mereka di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat
para perwira merupakan kelompok elite sesuai konsep ksatria. Para perwira
berusaha untuk memperlihatkan atau menampilkan diri sebagai kelas elite
dengan standar hidup di mana ia berada. Untuk memenuhi standar hidup
tersebut para perwira harus merebut kekuasaan nonmiliter, selanjutnya
secara
sistematis
membangun
hegemoni.
Para
perwira
kemudian
mengalienasi kelas yang lain yang merupakan mayoritas sosial dan
membiarkannya berada pada posisi tertentu yang terabaikan dalam setiap
pengambilan keputusan publik. Dominasi kekuasaan diiringi pula oleh
dominasi bisnis. Hal ini dikaitkan dengan dua hal yaitu Pertama,
penguasaan bisnis bertujuan untuk mengumpulkan materi dalam rangka
pemenuhan standar hidup kelas menengah. Kedua, pengumpulan materi
untuk
membiayai
kegiatan-kegiatan
mempertahankannya.
3) Kepentingan Nasional
memperluas
kekuasaan
dan
Kepentingan Nasional, yakni mempertahankan dan membangun
keamanan negara dan masyarakat, dengan asumsi mereka adalah kekuatan
pengintegrasi bangsa. Artinya, militer menjaga kemungkinan berkembang
suatu pemikiran untuk merubah bentuk negara atau munculnya daerah
tertentu untuk memaksakan kehendaknya untuk memisahkan diri. Militer
tampil melindungi kepentingan segala golongan di dalam negara dan
masyarakat.
Beberapa literatur mendeskripsikan intervensi angkatan bersenjata
dalam politik suatu negara diakibatkan situasi-situasi seperti ini:74
1. Jatuhnya prestise pemerintah atau partai politik yang memegang
pemerintahan, menyebabkan rezim yang bersangkutan semakin
banyak menggunakan paksaan untuk memelihara ketertiban dan
untuk menekankan perlunya persatuan nasional dalam menghadapi
krisis,
yang
selanjutnya
menyebabkan
penindasan
terhadap
perbedaan pendapat;
2.
Perpecahan diantara pemimpin-pemimpin politik, menimbulkan
keragu-raguan pada komandan-komandan militer apakah rezim sipil
masih mampu untuk memerintah secara kolektif;
3. Kecilnya kemungkinan terjadinya intervensi dari luar oleh negara
yang besar atau oleh Negara-negara tetangga dalam hal perebutan
kekuasaan;
74
Robert P Clark, Menguak Kekuasaan dan Politik Di Dunia Ketiga, (Jakarta: Penerbit
Erlangga,1989), h. 155-156.
4. Pengaruh buruk dari perebutan kekuasaan oleh militer di negaranegara tetangga;
5. Permusuhan sosial dalam negeri, yang paling jelas terjadi di negaranegara yang diperintah oleh suatu kelompok minoritas;
6.
Krisis
ekonomi,
yang
menyebabkan
dicabutnya
kebijakan
penghematan yang mempengaruhi sektor-sektor masyarakat kota
yang terorganisir;
7. Korupsi, pejabat-pejabat pemerintahan dan partai yang tidak efesien,
atau
anggapan bahwa
pejabat-pejabat sipil berniat menjual
bangsanya kepada suatu kelompok asing;
8. Struktur kelas yang sangat ketat, yang menyebabkan dinas militer
menjadi satu-satunya saluran yang terbuka untuk anak miskin untuk
status dari bawah ke atas;
9. Kepercayaan yang semakin meningkat tebal pada anggota-anggota
militer bahwa merekalah satu-satunya kelas sosial yang mempunyai
cukup disiplin dan cukup setia kepada modernisasi untuk menarik
negara keluar dari tata-caranya yang tradisional;
10. Pengaruh asing, dapat melibatkan perwakilan militer negara asing,
pengalaman yang diperoleh dalam perang di negara asing, atau
dalam pusat-pusat latihan di luar negeri, atau bantuan asing dalam
bentuk peralatan dan senjata;
11. Kekalahan militer dalam perang dengan Negara lain, khususnya
kalau para pemimpin militer yakin bahwa pemerintahan sipil telah
mengkhianati mereka dengan merundingkan ketentuan-ketentuan
perdamaian
yang
tidak
menguntungkan
atau
karena
salah
menjalankan kegiatan perang di belakang garis pertempuran.
Disamping beberapa alasan yang terpapar di atas, perlu pula kita lihat
alasan-alasan militer merambah ke dunia politik dalam sejarah Indonesia
sendiri. Kusnanto Anggoro melihat ada beberapa faktor yang mendorong
militer maju kepanggung politik, yaitu tidak dewasanya para politisi sipil
dalam mengelola negara, adanya ancaman terhadap keamanan nasional,
ambisi mempertahankan privilege seperti otonomi dalam merumuskan
kebijakan pertahanan, memperoleh dan menggunakan anggaran pertahanan
serta melindungi aset dan akses ekonomi dan tugas sejarah.75
Daniel S. Lev sendiri mengemukakan dalam sejarah militer Indonesia
ada alasan yang sifatnya sangat subjektif dari kalangan perwira TNI itu
sendiri untuk masuk ke ranah politik, yaitu dipersulitnya reorganiasi
kekuatan militer oleh politik pemerintah, dicampurinya urusan internal TNI
oleh pimpinan politik, terjadinya pertentangan dikalangan perwira TNI
sendiri, serta tidak disukainya kondisi politik dan kemimpinan pemerintahan
oleh TNI.76 Setelah melihat beberapa alasan yang bisa dimanfaatkan militer
merebut dan mempertahankan kekuasaan di panggung politik, tentu perlu
75
Apa yang disampaikan oleh Kusnanto ini tentu sangat erat kaitannya dengan menjadi
utamamnya militer dalam politik Indonesia setelah tahun 1966. Sedangkan tugas sejarah seringkali
disurakan oleh para petinggi TNI sampai hari ini. Lihat Kusnanto Anggoro, “ Gagasan Militer
Mengenai Demokrasi, Masyrakat Madani dan Transisi di Indonesia,” dalam Rizal Sukma dan J.
Kristiadi (penyuting) Hubungan Sipil Militer dan Tanrsisi Demokrasi di Indonesia (Jakarta: CSIS,
1999), h. 10.
76
Daniel S. Lev, “ ABRI dan Politik: Politik dan ABRI,” dalam Diponegaro 74, Jurnal
HAM dan Demokrasi, No.7/III/April 1999, YLBHI, h 7-8.
pula diperhatikan bahwa dalam menjalankan fungsi-fungsinya TNI tidak
boleh berinisiatif sendiri, melainkan atas persetujuan otoritas politik yang
lebih tinggi yaitu Presiden dan Parlemen. Hal itu untuk menghindarkan
militer menjadi lembaga superbody dalam sebuah negara.
D. Keterlibatan Militer Dalam Politik (Militer Pretorian)
Supremasi sipil dibangun dengan sebuah budaya politik yang baik.
Budaya politik adalah suatu parameter dimana peran sipil sangat dominan
dalam sebuah negara. Budaya politik yang baik dapat diwujudkan ketika
mesin politik (partai) dapat menyentuh akar rumput dan melakukan
kaderisasi politik yang baik. Pada masa pergerakan nasional di Indonesia,
tidak ada partai politik yang mengakar dan memberikan budaya politik yang
baik ke bawah. Partai-partai politik yang ada saat itu antara lain Sarikat
Islam, Partai Sosialis Indonesia, Partai Nasional Mahasiswa (PNI), dll.
Sarikat Islam merupakan partai yang memiliki massa yang sangat besar saat
itu. Akan tetapi, banyaknya anggota partai tersebut tidak diimbangi dengan
internalisasi budaya politik yang baik ke seluruh anggotanya. Banyaknya
anggota partai itu lebih dikarenakan variabel lainnya yang berpengaruh
seperti ikatan keagamaan maupun ketokohan pimpinannya terutama Hadji
Oemar Said Tjokroaminoto. Begitu juga dengan partai lainnya. Partai-partai
lain juga kurang memiliki budaya politik yang baik. Partai Sosialis
Indonesia pimpinan Sjahrir memang dikenal sebagai partai kalangan
intelektual. Namun, citra partai itu tidak menjadikan budaya politik partai
itu dikatakan baik karena intelektual para pimpinan partainya tidak diiringi
dengan budaya politik yang baik sehingga terbukti bahwa partai ini hanya
memiliki kader-kader berkualitas di tingkat pimpinannya tetapi tidak
memiliki sentuhan politik di lapisan akar rumput.
Gambaran lintasan sejarah di atas memberikan suatu analisis tentang
masuknya militer dalam dunia politik. Faktor dominan masuknya militer
dalam dunia politik adalah budaya politik yang kurang dibangun dengan
baik oleh partai-partai politik. Ketidakbecusan kalangan sipil dalam
mengurus negara membuat kalangan militer berinisiatif untuk masuk
(intervensi) ke dunia politik. Masuknya militer dalam dunia politik disebut
dengan Pretorian.77 Terdapat beberapa cara seorang perwira militer menjadi
pretorian:
•
Mengancam langsung pemerintah dengan kekuatan militer.
•
Intervensi ke dalam pemerintahan dengan penguasaan otoritas
pemerintah dalam bidang kebijakan militer.
Di dalam teori Weber, pretorianisme didefinisikan sebagai dominasi
honoratiores (orang-orang terhormat, ningrat). Ini adalah satu jenis
kekuasan yang diterapkan pada kelompok manorial (ksatria) atau kelompok
patrimonal (suatu unit yang lebih maju dari rumah tangga patriach,78 yang
merupakan unit yang relatif kecil yang didasarkan atas ikatan darah).
77
Pretorian adalah situasi dalam masyarakat yang kalangan militernya dominan sebagai
aktor politik. Dari kata praetorianism, yang mengacu pada situasi di mana golongan militer
memiliki kekuasaan politik yang indenpenden karena kemampuan untuk mengancam atau
menggunakan kekuatan militernya. Konsep itu berasal dari zaman kekaisaran Romawi, abad 2 BC
abad 3 AD. Praetorian adalah anggota Praetorian Guard (pasukan Pengawal Kaisar)yang
mempunyai potensi merebut kekuasaan
78
Sistem Patriach adalah Sistem menurut keturunan Bapak.
Didalam sistem ini, staf penguasa diambil hanya untuk menjamin kepatuhan
pemerintahan Patriachal, sedangkan hubungan-hubungannya didasarkan atas
kepemimpinan feodal, birokrasi atau hanya yang bersifat pribadi.79
Arif Yulianto menyebutkan beberapa ciri kaum pretorian antara lain:80
a.
Sering muncul di negara-negara bersifat agraris/transisi atau secara
ideologi terpecah belah.
b.
Baik secara potensial maupun faktual cenderung melakukan
campur tangan permanen.
c.
Memiliki kekuasaan merubah konstitusi.
d.
Mempengaruhi lembaga militer secara negatif.
e.
Menurunkan standar-standar profesionalisme.
f.
Kudeta silih berganti, lebih mementingkan ideologi militer
daripada skill dan pengetahuan sebagai persyaratan profesional.
g.
Bersifat patrimonal, yang dikatakan Weber sebagai hubunganhubungan ketergantungan didasarkan loyalitas dan kesetiaan.
Walaupun hanya sedikit para perwira militer memilih lapangan politik
sebagai pekerjaannya, namun profesi militer dapat bertindak sebagai suatu
landasan politik. Semakin tinggi kedudukan perwira, semakin ia bersifat
politis, terutama pada situasi-situasi pretorian dan revolusioner yang
mungkin melibatkan seluruh organisasi militer dalam aksi politik. Di dalam
situasi politik yang stabil,
hanya sedikit perwira yang bersedia
menggantikan profesi mereka dengan politik, akan tetapi peranan kelompok
79
80
Amos Perlmutter, Militer Dan Politik, (Jakarta : CV Rajawali, 1984), h. 143.
Hand Out Mata Kuliah Haniah Hanafie, Kekuatan-Kekuatan Politik, h. 31-32.
kecil yang berbuat demikian itu sangat vital terhadap setiap penjajakan
hubungan sipil-militer dan peranan militer-negara.
E. Militer Profesional
Sejarah kelahiran militer profesional sudah dimulai sejak abad 18, yang
muncul dan berkembang di Eropa. Revolusi Prancis tahun 1789 menandai
menggejalanya “profesi militer”. Dengan mengacu pendapat Samuel P.
Huntingon, Burhan Mangenda mengatakan bahwa militer profesional
bercirikan sebagai berikut. Pertama, menyangkut keahlian, sehingga profesi
di bidang kemiliteran kian menjadi spesifik, serta memerlukan pengetahuan
dan keterampilan. Keahlian dan keterampilan itu berkaitan dengan kontrol
terhadap organisasi manusia yang tugas utamanya adalah menggunakan
kekerasan (manager of violence). Kedua, berkait dengan tanggung jawab
sosial yang khusus. Di samping memiliki nilai-nilai moral yang tinggi yang
harus terpisah sama sekali dari insentif ekonomi; seorang perwira militer
juga mempunyai tanggung jawab kepada negara. ketiga, adanya karakter
korporasi (corporate character) para perwira yang melahirkan rasa esprit de
corps yang kuat.81
Huntington dalam buku The Soldier and The State mencatat bahwa
profesionalisme tidak hanya dapat diberi makna sebagai kemampuan, skill
dan expertise seseorang atau lembaga terhadap pekerjaan yang menjadi
bidangnya saja, melainkan juga memiliki beberapa ciri khusus. Salah satu
81
Lihat Burhan D. Mangenda memberikan Kata Penghantar Bahasa Indonesia dalam
Amos Perlmutter, Militer dan Politik,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. vi.
yang dapat disebut sebagai ciri khusus seorang profesional adalah
responsibility. Begitu pula dalam dunia militer, profesionalitas tidak hanya
dimaknai sebagai kemahiran atau kemampuan menggunakan senjata, tetapi
juga tanggung jawabnya sebagai lembaga yang bertugas dalam masalah
pertahanan negara. Dalam pandangan Huntington, profesionalitas militer
tidak hanya dalam konteks mahir menggunakan senjata dan dilatih di bidang
tugasnya saja, tetapi juga harus dapat menggunakan kemampuan analisis,
memiliki pandangan luas, imajinasi dan pertimbangan tertentu.82
Artinya, militer profesional mempunyai tiga karakter atau ciri, pertama,
keahlian (expertise). Keahlian sebagai karakter utama karena profesi militer
semakin spesifik serta perlu pengetahuan dan keterampilan. Militer
memerlukan
bekal
pengetahuan
mendalam
untuk
mengorganisasi,
merencanakan dan mengarahkan aktifitas, baik dalam kondisi perang
maupun damai. Kedua, tanggung jawab sosial (social responsibililty).
Militer profesional mempunyai tanggung jawab sosial yang khusus. Selain
memiliki nilai-nilai moral yang harus terpisah sama sekali dari intensif
ekonomi, perwira militer juga harus bertanggung jawab kepada negara.
dalam konteks itu, profesionalisme militer berarti melindungi negara dan
masyarakat. Perwira militer berhak mengontrol dan mengoreksi komandan
jika melakukan hal-hal bertentangan dengan kepentingan rasional. Ketiga,
militer profesional memiliki karakter korporasi, esprit de corps, yang kuat.
Dimensi itu merujuk pada kesadaran dan loyalitas militer sebagai anggota
82
Samuel P. Huntington, The Soldier And The State, (Cambridge: Harvard University
Press, 1957), h. 83-85.
suatu kelompok atau lembaga khusus yang mempunyai kompetensi
profesionalisme berdasarkan standar formal yang telah ditetapkan.
Menurut Huntington, semakin tinggi tingkat keahlian seorang tentara,
semakin tinggi tingkat profesionalismenya. Dengan demikian semakin kecil
pula keterlibatan mereka dalam ranah politik. Perwira-perwira militer
profesional selalu siap melaksanakan kebijakan politik yang diputuskan
pemerintahan sipil. Namun demikian, profesionalisme militer sering kali
terganggu karena adanya politisasi kekuatan poliitik dan tiadanya partai
politik yang melembaga dengan kuat, sehingga menimbulkan instabilitas
dan kekacauan politik.83
Walaupun menggunakan bahasa yang berbeda, terdapat kesamaan
persepsi di
kalangan
perwira
tinggi militer
mengenai
pentingya
profesionalisme prajurit TNI. Mantan Panglima TNI Jenderal Endriartono
Sutarto, misalnya, memberi arti profesionalisme sebagai orang yang harus
paling tahu tentang tugas dan fungsinya dibandingkan orang lain. 84
Pandangan hampir serupa juga dikemukakan mantan KSAD Jenderal TNI
(Purn) Subagyo HS yang memberi definisi profesionalisme militer sebagai
orang yang ahli serta sangat bergantung pada fungsi, peran, dan tugas
pokoknya.
Ciri dan pengertian profesionalisme di atas bisa berlaku di mana pun,
namun bagi TNI perlu jati diri yang khas supaya arah pembangunan
83
Huntington, The Soldier And The State, h. 85
Yuddy Chrisnandi, Kesaksian Para Jenderal: Sekitar Reformasi Internal dan
Profesionalisme TNI, (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 241.
84
profesionalismenya seiring dengan arah paradigma baru dan reformasi
internalnya. Karena itu, rumusan profesionalisme TNI harus mengandung
kriteria yang memenuhi tuntutan kemampuan sebagai alat pertahanan yang
bersifat umum; memenuhi tuntutan sikap dan perilaku sesuai jati diri TNI
sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, dan tentara nasional; memenuhi
tuntutan moral dan etika keprajuritan; dan memenuhi tuntutan sebagai
tentara dalam negara demokratis dan modern. Dengan kriteria di atas,
Abdoel Fatah membuat rumusan ciri-ciri profesionalisme TNI seperti
berikut:85
1.
Ahli dan mahir dalam melaksanakan tugas pertahanan negara atau
perang melawan ancaman dari musuh negara.
2.
Bersikap netral dan tidak melibatkan diri dalam politik praktis.
3.
Memiliki disiplin, menaati hukum, dan memiliki l’esprit de corps
yang tinggi dan sehat
4.
Memiliki etika dan moral keprajuritan yang tinggi
5.
Menghargai dan membela rakyat secara proporsional
6.
Menghargai pihak berkuasa atau supremasi sipil
Profesi militer merupakan contoh menarik dari profesionalisme
organisasi yang otonom. Seperti halnya profesi-profesi modern lainnya,
profesi militer merupakan ekspresi dari “tipe sosial” yang baru, suatu
pengelompokkan kultural dan sosial yang menyolok yang terdiri atas para
individu yang bukan kapitalis dan bukan buruh dan mereka juga bukan
85
Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004.
(Yogyakarta: LKiS, 2005), h. 247.
administrator pemerintahan dan birokrat. Huntington mengatakan bahwa
semakin tinggi rasionalisasi profesi militer semakin tinggi pulalah
profesionalisasinya, semakin tinggi tanggung jawab politiknya semakin
besar pula kemungkinannya untuk berorientasi kepada suatu peranan yang
tunduk kepada penguasa-penguasa sipil.86
Ciri dan pengertian profesionalisme di atas bisa berlaku di mana pun,
namun bagi TNI perlu jati diri yang khas supaya arah pembangunan
profesionalismenya seiring dengan arah paradigma baru dan reformasi
internalnya. Karena itu, rumusan profesionalisme TNI harus mengandung
kriteria yang memenuhi tuntutan kemampuan sebagai alat pertahanan yang
bersifat umum; memenuhi tuntutan sikap dan perilaku sesuai jati diri TNI
sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, dan tentara nasional; memenuhi
tuntutan moral dan etika keprajuritan; dan memenuhi tuntutan sebagai
tentara dalam negara demokratis dan modern. Karena itu masih dibutuhkan
waktu cukup panjang bagi bangsa Indonesia untuk memiliki tentara
profesional sesuai dengan standar profesionalisme militer yang ideal.
Bagaimanapun juga, profesionalisme sangat terkait dengan kemampuan
negara dalam mengendalikan dan memnuhi kebutuhan anggaran militer
yang diperlukan.
86
Amos Perlmutter, Militer Dan Politik, h. 51.
BAB IV
KEKUATAN POLITIK MILITER PADA MASA ORDE LAMA DAN
ORDE BARU
A. Kekuatan Politik Militer Pada Masa Orde Lama
1. Masa Demokrasi Parlementer (1950-1959)
Pada masa perang kemerdekaan di tahun 1945-1949 kepemimpinan
serta komando militer Indonesia sangat carut-marut dan simpang siur. Salah
satunya dikarenakan berlakunya sistem parlementer sejak dikeluarkannya
“Maklumat Wakil Presiden No. X, maka jabatan Presiden sebagai panglima
Tertinggi sebenarnya tidak berlaku lagi; tetapi prakteknya panglima
tertinggi itu tetap dianggap sebagai atasannya langsung oleh Panglima
Besar. Menteri Pertahanan yang seharusnya bertanggung jawab dalam
segala hal atas pimpinan militer, pada hakekatnya hanya menjadi pimpinan
administratif belaka; sedangkan de facto atas pimpinan militer berada pada
tangan Panglima Besar APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) yang
merangkap sebagai Panglima Angkatan Darat, beserta Staf Umumnya dan
gabungan kepala stafnya. Ada lagi lembaga yang bernama Dewan
Pertahanan Nasional yang dipimpin oleh Perdana Menteri yang dapat
disamakan sebagai pemegang kekuasaan militer. disamping itu adanya
Dewan Siasat Militer yang diketuai oleh Presiden sendiri menambah
terpencarnya kepemimpinan militer Indonesia di mana duduk panglima tiap
angkatan.
Pada masa 10 tahun pertama Indonesia merdeka persoalan tentang
militer selalu timbul, terutama mengenai peran politik yang ingin dimiliki
oleh militer, karena mereka merasa juga perlu ikut berperan aktif dalam
perpolitikan bangsa ini. Tetapi, pola hubungan sipil-militer pada masa-masa
ini kurang harmonis, asumsi mengenai peran militer dalam perpolitikan
harus dibatasi, berkembang berbarengan dengan keinginan pihak militer
yang menginginkan berperan dalam perpolitikan.
Pada masa Kabinet Wilopo terdapat rencana Pimpinan TNI untuk
menjadikan tentara Indonesia sebagai Tentara Profesional dan Tentara Inti.
Rencana ini disetujui serta didukung oleh Menteri Hamengku Buwono IX.
Oleh karena alokasi anggaran belanjanya yang amat terbatas maka pada
pertengahan tahun 1952 Pimpinan TNI-AD memutuskan untuk memulai
melaksanakan
demobilisasi
sebagai
konsekuensi
reorganisasi
dan
rasionalisasi militer tersebut. Tetapi program dari pimpinan TNI tersebut
diatas tidak disetujui oleh beberapa kalangan TNI sendiri, terutama oleh
anggota-anggota tentara yang dahulu berasal dari bekas-bekas PETA dan
Laskar, yang begitu dekat dengan Presiden Sukarno. Oposisi terhadap
reorganisasi dan rasionalisasi militer itu mempunyai dukungan politik yang
cukup besar, ialah dari PNI dan Presiden Sukarno.87
Perpecahan dikalangan TNI, ternyata banyak dimanfaatkan pihak
parlemen untuk menintervensi internal TNI, diantaranya88:
87
Salim Said, Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2001), h. 38.
88
Ikrar Nusa Bhakti, Militer dan Parlemen di Indonesia, dalam Panduan Parlemen
Indonesia, (Jakarta: Yayasan API, 2001), h. 197-198
1. Pada tanggal 23 September 1952, Zainal Baharudin (Ketua Komisi
Pertahanan, dari sayap kiri) mengajukan mosi yang didukung
Partai Murba, Partai Buruh, PRN, dan PKI. Mosi ini menyatakan
“tidak percaya dan tidak menerima policy yang dijalankan Menteri
Pertahanan dalam menyelasaikan konflik di dalam tubuh TNI, dan
minta agar diadakan reformasi serta reorganisasi pimpinan
Kementrian Pertahanan serta Pimpinan Militer”.
2. Pada tanggal 13 Oktober 1952, Kasimo dari Partai Katolik
mengajukan suatu mosi yang didukung oleh wakil-wakil Partai
Masyumi,
Partai
buruh,
Parkindo,
Parindra.
Mosinya
ini
menyatakan agar pemerintah segera membentuk sebuah panitia
yang beranggotakan wakil-wakil dari Parlemen yang memiliki
suara mayoritas dan wakil-wakil pemerintah guna mempelajari
secara objektif dan hati-hati seluruh persoalan di dalam Parlemen
tersebut dan dalam waktu tiga bulan memberi saran “kemungkinan
dilakukannya penyempurnaan struktur dan kementrian pertahanan
dan struktur kemiliteran”.
3. Pada tanggal 14 Oktober 1952, diajukan mosi ketiga yang
disponsori oleh Sekretaris Jendral PNI, Manai Sophian. Mosi yang
ini didukung oleh NU dan PSII itu adalah sebagaimana pernyataan
mosi Kasimo, hanya berbeda mengenai tugas Panitia Negara, yaitu
agar Panitia Negara memberi saran “kemungkinan penyempurnaan
pimpinan
dan
organisasi
Kementeriaan
Pertahanan
dan
Kemiliteran”.
4. Pada tanggal 16 Oktober 1952, diadakan voting untuk ketiga Mosi
tersebut, namun situasi itu menemui jalan buntu.
Lemahnya persatuan di kalangan militer sebelum agresi milter Belanda
kedua menimbulkan masalah antara pemerintah dan Panglima Soedirman,
serta antara mantan perwira KNIL didikan Belanda yang bertipe
“administrator” dan para perwira mantan anggota PETA yang dilatih
Jepang, serta laskar yang bertipe “solidarity makers”. Masalah khusus ini
memuncak dalam peristiwa 17 Oktober 1952.89
Pada tanggal 17 Oktober pagi, suatu Demonstrasi yang mengejutkan
melanda Jakarta, yang dilakukan oleh sekitar 30.000 ribu orang. Pertama
kaum demonstran itu menuju ke tempat gedung Parlemen, dan setelah itu
menuju ke istana Presiden untuk menyampaikan tuntutannya. Pada
pokoknya mereka menunut “supaya Presiden membubarkan Dewan
Perwakilan Rakyat Sementara yang ada dan kemudian segera mengadakan
Pemilu”. Di istana berdiri mobil-mobil berlapis baja dan beberapa meriam,
yang secara jelas terlihat mengarah tepat ke tempat Presiden berbicara.90
Presiden menjanjikan diadakannya Pemilihan Umum secepat mungkin,
tetapi dia menolak membubarkan Parlemen sebab, kata Presiden, hal itu
berarti akan menjadikannya seorang diktator.
89
Untuk mengetahui detail perdebatan pada peristiwa 17 Oktober 1952, dapat dilihat
pada esai yang ditulis oleh Ikrar Nusa Bhakti, Militer dan Parlemen di Indonesia, dalam Panduan
Parlemen Indonesia, (Jakarta: Yayasan API, 2001), h. 185-200.
90
Yahya A. Muhaimin, Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966,
(Jakarta: Gadjah Mada University Press, 1982), h. 73.
Selesai menghadapi para demonstran Presiden kemudian menerima dua
kelompok Perwira TNI; semuanya berjumlah 17 Perwira. Dalam pertemuan
tersebut delegasi TNI itu antara lain menyatakan bahwa Parlemen yang ada
itu “tidak representatif” dan merupakan sumber ketidak-stabilan politik
sehingga menyebabkan kabinet-kabinet tidak bisa melaksanakan programprogramnya dengan waktu yang cukup, dan bahwa intervensi yang langsung
dilakukan oleh Parlemen terhadap TNI amatlah membahayakan negara.
Karena itu mereka menyatakan agar Presiden segera mengatasi masalah itu
dengan membubarkan Parlemen dan membentuknya secepat mungkin sesuai
dengan kehendak rakyat. Dan bahkan lebih dari itu mereka menuntut
Presiden untuk mengganti kabinet dengan pemerintahan triumvirate
(pemernitah oleh tiga penguasa) oleh Sukarno, Hatta dan Hamengku
Buwono IX. Presiden Sukarno tidak ingin memenuhi seluruh keinginan
pihak militer. Dan sampai selesainya pertemuan tersebut tidak didapat suatu
penyelesaian.91 “Peristiwa 17 Oktober” ini walaupun politik militer tidak
hanya sampai di situ dan berekor panjang di kemudian hari, tetapi dapatlah
dikatakan, sejak itu gagallah manuver politik TNI itu.
Sebenarnya presiden Sukarno juga tidak menyukai dan bahkan secara
diam-diam
berusaha
mengganti
sistem
parlementer
yang
amat
membatasinya itu, tetapi Sukarno menolak tawaran pihak militer. Penolakan
Sukarno itu, karena dia takut pada timbulnya suatu Yunta militer. Tetapi
disamping itu, kegagalan political manuver TNI itu juga disebabkan
91
Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 73-75.
terpecahnya Perwira dan Pemimpin TNI. Barangkali justru inilah sebab
pokoknya. Mereka terpecah antara kelompok yang menginginkan TNI atas
dasar profesionalisme. Bahkan dalam peristiwa itu sendiri, pimpinan dan
perwira TNI yang berpaham profesionalisme, yang merupakan penggerak
dari kejadian tersebut, menunjukkan tidak adanya kesatuan arah.
Sebagai akibat dari kejadian ini, pada tanggal 5 Desember 1952,
Kolonel Nasution dibebaskan oleh pemerintah dan berhenti sebagai KSAD,
dan
demikian pula beberapa perwira “pro-17 Oktober 1952” lainnya
mendapat sangsi yang sama. Pada tanggal 16-nya, Kolonel Banmbang
Sugeng ditunjuk oleh pemertintah selaku KSAD., pengangkatan Bambang
Sugeng ini ternyata berdampak timbulnya kesulitan-kesulitan dalam
menyelasaikan masalah itu, terutama mengenai keutuhan TNI, sebab antara
Menteri Pertahanan Hamengku Buwono dengan KSAD Bambang Sugeng
terdapat perbedaan yang besar didalam menyelesaikan perpecahan di dalam
tubuh TNI. Maka pada tanggal 1 Januari 1953, Sultan Hamengku Buwono
IX mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menteri Pertahanan.92
Langkah-langkah kemudian yang dilakukan oleh pemerintah, terutama
oleh Menteri Pertahanan Iwa Kusumasumantri, cenderung memperlebar
keretakan tubuh militer, maka atas inisiatif dan usaha beberapa Perwira TNI
–baik yang “pro-17 Oktober 1952” maupun yang “anti-17 oktober 1952”diadakanlah serangkaian pertemuan guna menciptakan kembali kesatuan
TNI yang retak sejak 17 Oktober 1952. usaha ini mendapat dukungan dan
92
Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 74-75.
dorongan yang kuat dari Bambang Sugeng yang pada waktu akhir-akhir itu
otoritasnya banyak dilangkahi oleh Iwa Kusumasumantri di dalam
mengambil kebijakan mengenai hal-hal yang menyangkut persoalan intern
TNI. Akhirnya pada tanggal 17 Februari 1955, berhasil dilangsungkan
pertemuan di Jogyakarta yang dihadiri oleh sekitar 280 perwira dari kedua
belah pihak. Pertemuan itu berakhir pada tanggal 25 Februari, dengan
menghasilkan suatu Resolusi yang diterima oleh seluruh Perwira yang hadir,
kemudian disahkan oleh KSAD, Bambang Sugeng. Pada upacara penutupan
Konferensi TNI, yang juga dihadiri Presiden Sukarno dan juga Wakil
Presiden Hatta serta para Menteri, mereka berziarah ke makam Almarhum
Jendral Sudirman dan Letnan Jendral Urip Sumohardjo. Di makam itu para
perwira tersebut bersama-sama mencetuskan semacam sumpah setia.93
Resolusi yang berhasil dicetuskan oleh konferensi tersebut terkenal
dengan sebutan “Piagam Jogya” atau “Piagam Keutuhan Angkatan Darat”.
Di dalam keputusan itu antara lain ditekankan bahwa korp Perwira tersebut
akan selalu mempertahankan persatuan dan profesionalisme di dalam tubuh
TNI-AD, dan tidak membenarkan campur tangan politik di dalam masalah
militer, terutama di dalam urusan pengangkatan pada sesuatu jabatan militer
yang harus didasarkan pada senioritas dan kecakapan. Di samping itu, di
dalam hubungannya dengan pemerintah serta Presiden sebagai panglima
tertinggi, resolusi itu menyatakan, bahwa korps Perwira TNI-AD akan
mematuhi segala keputusan yang diambil oleh pemerintah bersama-sama
93
Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 75.
dengan Dwitunggal Sukarno-Hatta –bukan hanya cukup dengan presiden
sekalipun sebenarnya dia sebagai panglima tertinggi. Selain dari itu
konferensi menegaskan suatu pernyataan agar peristiwa 17 Oktober 1952
dianggap tidak pernah ada, dan meminta kepada pemerintah supaya sebelum
hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pemerintah
sudah memberi penyelesaian secara formal mengenai kejadian tersebut
dengan menyerahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan pemerintah. 94
Masalah tersebut kemudian di deponir oleh pemerintah.
Keterlibatan militer dalam dunia politik pada era Demokrasi
Parlementer ditandai pula dengan program civic mission, menjiplak program
tentara Amerika. Konsep tersebut kemudian dalam praktiknya di Indonesia
disalahgunakan dan diplesetkan menjadi “nyivik”, yaitu kegiatan yang
semata-mata bersifat ekonomi, alias “ngobyek”.95
Civic berasal dari bahasa Inggris yang berarti having to do with city or
a citizen; civic berarti pekerjaan dan hal-hal yang berhubungan dengan
kepentingah umum dari suatu masyarakat atau warganya. Dilihat dari sisi
tugasnya, civic-mission adalah tugas atau program militer yang ditujukan
untuk membantu pekerjaan-pekerjaan dan hal-hal yang berhubungan dengan
kepentingan umum.96
Konsep “nyivik” merambah wilayah kegiatan ekonomi berskala besar,
ketika pemerintah melakukan nasionalisasi perusahan-perusahaan Belanda
94
Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 78.
Ikrar Nusa Bhakti, dkk., Tentara Mendamba Mitra: Hasil Penelitian LIPI tentang
Pasang Surut Keterlibatan ABRI dalam Kehidupan Kepartaian di Indonesia. (Bandung: Mizan,
1999), h. 71.
96
Sejarah TNI Jilid II 1950-1959. (Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, 2000), h. 171.
95
pada tahun 1957. Dalam bidang sosial, “nyivik” menjadi bagian yang tak
terpisahkan dalam berbagai operasi militer menghadapi pemberontakan
kedaerahan, yang juga dilakukan oleh perwira daerah, seperti kasus
PRRI/Permesta dan sebagian perwira yang terlibat dalam kasus DI/TII.97
Kekuatan politik militer pada masa Demokrsasi Parlementer bisa
dikatakan dalam masa pembelajaran. Hal ini dapat dilihat dari upaya-upaya
militer dalam membubarkan Parlemen yang gagal total. Dari peristiwa 17
Oktober 1952 tersebut dapat dibuat beberapa kesimpulan: Pertama, para
perwira TNI tetap tidak menginginkan TNI bersikap apolitis; Kedua, para
perwira bertipe administrator tetap ingin berkompetisi dengan para politisi
sipil dalam mengatur negara; Ketiga, konflik internal di dalam TNI telah
menyebabkan terjadinya “Subyektif Civilian Control”; Keempat, TNI akan
mendukung setiap politisi, khususnya Menteri Pertahanan, yang memiliki
kebijakan pertahanan yang menguntungkan mereka, dan tidak menyukai
seorang Menteri Pertahanan yang lemah atau tidak memiliki visi mengenai
pertahanan dan keamanan; Kelima, upaya Parlemen dan Presiden untuk
campur tangan dalam kebijakan pertahanan dan organisasi kemiliteran,
menyebabkan TNI melakukan “kudeta” yang gagal pada 17 Oktober 1952
tersebut; Keenam, agar tidak dianggap kudeta militer, maka TNI
mengerahkan massa rakyat berdemonstrasi untuk memaksa presiden
membubarkan Parlemen. Demonstrasi tersebut merupakan awal dari bentuk
mobilisasi massa yang digerakkan dengan uang; Ketujuh, “kudeta” 17
97
Bhakti, Tentara Mendamba Mitra, h. 71.
Oktober 1952 itu gagal karena tidak mendapatkan dukungan penuh dari
kalangan dalam militer itu sendiri (kelompok PETA dan bekas Laskarlaskar rakyat), tidak di dukung oleh partai-partai politik besar, dan masih
kuatnya legitimasi dan otoritas Sukarno di mata rakyat dan bahkan perwira
militer sendiri.
2. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Pada periode tahun 1957-1959 Tentara Nasional Indonesia melalui
Mayor Jendral A.H. Nasution sebagai KSAD, menitik beratkan tindakannya
untuk mengurangi, dan bahkan untuk menghilangkan kerapuhan politis yang
merupakan kelemahan paling fundamental yang ada pada TNI. Jendral
Nasution menitik beratkan usahanya untuk mendapatkan legitimasi atau
“dasar hukum” bagi TNI untuk melakukan peranan-peranan non militer
dalam hal ini peranan politik yang selama ini belum dimiliki TNI.
Hal ini kemudian mulai terakomodir ketika peranan Nasution dalam
memuluskan jalan bagi terciptanya demokrasi yang terpimpin oleh Sukarno
nampak jelas terlihat. Pada masa demokrasi terpimpin begitu besar peranan
Sukarno dan Nasution dalam memilih anggota kabinet baru, terutama
tindakan Nasution dalam menerapkan idea middle way-nya di tingkat atas.
Beberapa perwira militer berhasil diangkat menjadi menteri serta beberapa
orang dari partai IPKI (partai yang punya hubungan erat dan merupakan
kepercayaan kepentingan TNI-AD, yang dibentuk pada tahun 1954 oleh
Nasution). Walaupun Sukarno dengan baik juga dapat memasukkan
beberapa menteri sayap kiri (pro komunis), tetapi Nasution berhasil
mencegah masuknya PKI ke dalam formasi kabinet, dan programnya
banyak dipenuhi.98
Pada bulan Juli itu Presiden mengumumkan kabinetnya, yang terdiri
dari sembilan Menteri yang disebut “Menteri-menteri kabinet inti” dan 24
orang “Menteri Muda”. Dalam kabinet ini, 12 orang Menteri di antaranya
adalah dari golongan militer, dua orang menjadi “Menteri Kabinet Inti”.
Pada masa inilah untuk pertama kalinya, seorang menteri, dan yang lebih
penting lagi, seorang perwira tinggi TNI-AD yang masih melakukan tugas
kemiliterannya dengan aktif menjadi menteri pertahanan, yaitu Letnan
Jendral A.H. Nasution.
Namun ini tidak berarti bahwa perjalanan TNI dalam politik berjalan
mulus tanpa hambatan. Sukarno tidak ingin kemudian TNI yang menguasai
perpolitikan atau berada di belakangnya, tetapi dia menciptakan situasi
perimbangan antara militer dengan PKI. Pihak militerpun menyadari itu,
namun, melihat usia Sukarno yang lahir pada tahun 1901, maka umur para
perwira tinggi TNI adalah jauh lebih muda dari Sukarno; misalnya, Jendral
A.H. Nasution yang lahir tahun 1918, atau para perwira yang sebaya dengan
mayor Jendral Suharto yang lahir tahun 1920. mengingat faktor usia ini,
agaknya pimpinan TNI menganggap Sukarno tidak membahayakan
kepentingan jangka panjang TNI-AD. Karena hal-hal itu, TNI-AD tidak
mau melancarkan politik langsung konfrontasi dengan Presiden Sukarno,
98
Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 80.
dan lebih bersifat mengimbangi belaka sejauh tidak merugikan posisi TNI.
99
Usaha TNI-AD dalam rangka strategi politiknya yang difokuskan pada
pengembangan dan peningkatan peranan golongan fungsional untuk
“melayani” politik Presiden Sukarno serta menandingi peranan Partai-partai
Politik dengan fokus untuk menghadapi PKI mempunyai tujuan utama
untuk memperkokoh legitimasi yang goyah bersama dengan dicabutnya
SOB (Staat Van Oorlog en Beleg): pemberlakuan darurat perang yang
membolehkan TNI mengambil tindakan apapun dan bagaimanpun
macamnya. Kalau sebelum perkembangan pada 1 Mei 1963, legitimasi
peranan politik TNI-AD sepenuhnya bersandar pada SOB, sedang statusnya
sebagai kekuatan politik golongan fungsional waktu itu hanya dipakai
sebagai reserve dalam kehidupan politik, maka pada masa sesudah
dihapusnya SOB ini TNI-AD menggunakan status golongan fungsional
sebagai landasan utama partisipasi politiknya. Usaha strategi TNI-AD ini,
ditinjau dari satu segi, tidak mendapat hambatan yang berat mengingat TNIAD dengan pimpinan Jendral Nasution telah lama perlahan-lahan giat
merintis peranan politik golongan fungsional sejak tahun 1958/1959 dan
yang kini menjadi pusat perhatian TNI-AD yaitu mengembangkan serta
meningkatkan posisi dan organisasi golongan fungsional sehingga perannya
akan mampu menandingi peranan partai politik, terutama PKI. 100
99
Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 81.
100
Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 138
Walaupun secara kasat mata sepak terjang militer dalam bidang nonhankam telah nyata sejak awal berdirinya republik Indonesia, namun
keterlibatan militer dalam politik baru mendapat pengakuan secara resmi
ketika presiden Soekarno membentuk Dewan nasional pada 6 Mei 1957
berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 7/1957,101 setelah peranan partaipartai politik dilumpuhkan (dengan pengecualian PKI) dan Undang-Undang
Darurat diberlakukan (Staat Van Oorlog en Beleg: SOB), yaitu peraturan
negara dalam keadaan darurat perang.
Tujuan dibentuknya Dewan Nasional oleh Adnan Buyung Nasution
dilihat sebagai upaya Angkatan Darat untuk mengambil alih dan
mengembangkan ide perwakilan fungsional dan menganjurkan supaya UUD
1945 diberlakukan kembali. Cara tersebut membuka jalan bagi Demokrasi
Terpimpin sebagai alternatif kongkret terhadap pemerintahan konstitusional
yang sedang diusahakan konstituante.102
Pada tanggal 9 Juni 1957 Soekarno menyampaikan pidato yang
ditujukan baik kepada personil sipil maupun militer di Serang (Jawa Barat)
mengatakan bahwa Dewan Nasional mencakup person-person dari
golongan-golongan buruh, petani, intelegensia, seniman, kaum wanita,
orang-orang Kristen, Muslim, pengusaha nasional, personil Angkatan Darat,
Angkatan Udara, Angkatan Laut.103
101
Soebijono, Dwi Fungsi ABRI, h. 25.
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi
Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959. (Jakarta: Grafiti, 1995), h. 418.
103
Leo Suryadinata, Golkar dan Militer: Studi tentang Budaya Politik. (Jakarta: LP3ES,
1992), h. 10-11.
102
Untuk memperjelas kedudukannya dalam Dewan nasional, Nasution
melakukan ceramah pada ulang tahun Akademi Militer Nasional di
Magelang tanggal 12 November 1958 yang dinamakan the army’s middle
way. Tujuan Nasution melakukan pidato agar kedudukan tentara yang
statusnya sebagai golongan fungsional menjadi jelas, yaitu membolehkan
keikutsertaan militer dalam pemerintahan dengan atau tanpa UndangUndang Darurat Bahaya Perang (SOB).104
Konsepsi Presiden105 dan Nasution yang menginginkan memasukkan
sebagai golongan fungsional dibahas dalam Dewan Nasional. Dalam banyak
pembahasan didapati bahwa konsepsi-konsepsi tersebut tidak dapat
dilaksanakan dengan Undang Undang Dasar Sementara, oleh karena itu
diusulkanlah agar UUD 1945 diberlakukan kembali. Usulan tersebut
kemudian diusulkan kepada Konstituante, namun dalam perdebatanperdebatan yang terjadi pada sidang-sidang konstituante ternyata usulan
tersebut mengalami jalan buntu. Kebuntuan yang menimpa Konstituante
menyebabkan sistem ketatanegaraan dinyatakan berada dalam keadaan
104
Muhaimin, Perkembangan Militer , h. 110-111.
Pokok-pokok isi konsepsi Presiden adalah:
1. Sistem politik Demokrasi Parlementer secara Barat tidak cocok dengan kepribadian
bangsa Indonesia, oleh karena itu harus diganti dengan sistem Demokrasi terpimpin.
2. Untuk pelaksanaan Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk suatu Kabinet Gotong
Royong, yang anggotanya terdiri dari semua partai dan organisasi berdasarkan
perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Konsepsi Presiden ini
mengetengahkan juga perlunya pembentukan “Kabinet Kaki Empat” yang
mengandung arti bahwa keempat partai besar yakni PNI, Masyumi, NU, dan PKI turut
serta di dalam kabinet untuk menciptakan kegotongroyongan nasional.
3. Pembentukan Dewan Nasional yang beranggotakan wakil-wakil partai dan golongan
fungsional dalam masyarakat. Dalam Nugroho Notosusanto (ed), Pejuang dan
Prajurit, Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984),
h. 76.
105
bahaya. Untuk mengatasi hal itu Presiden Soekarno dengan dukungan penuh
TNI mengeluarkan Dekrit untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945
pada tanggal 5 Juli 1959.106 Dengan diberlakukannya kembali UUD 1945,
maka peranan ABRI/TNI sebagai golongan fungsional/kekuatan sosial
politik memperoleh legitimasi konstitusional.
Era Demokrasi Terpimpin merupakan titik awal dari meluasnya
peranan militer di dalam sistem politik Indonesia.107 Demokrasi Terpimpin
dibangun atas dasar bangunan politik segi tiga yang menempatkan Soekarno
pada posisi puncak, dengan mengikat Partai Komunis Indonesia di sisi kiri
bawah dan TNI khususnya Angkatan Darat di kanan bawah.108
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memuat tiga hal pokok, antara lain: (1)
Pembubaran Konstituante, (2) Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945,
berlaku kembali dan (3) Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya.109
Pada masa-masa setelah dekrit inilah keterlibatan militer beserta wakilwakilnya dalam politik dan lembaga politik meluas dengan cepat. Saat
Soekarno mengumumkan Kabinet Kerja pada 10 Juli 1959, sepertiga
menteri berasal dari militer, di mana duduk delapan perwira ABRI.110
106
Soebijono, Dwi Fungsi ABRI, h. 26.
Bhakti, Tentara Mendamba Mitra, h. 75.
108
Ikrar Nusa Bhakti, Militer dan Parlemen di Indonesia, dalam Panduan Parlemen
Indonesia, (Jakarta: Yayasan API, 2001), h. 202.
109
Soebijono, dkk., Dwi Fungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam Kehidupan
Politik di Indonesia. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), h. 25
110
Soebijono, Dwi Fungsi ABRI, h. 25
107
Nasution sendiri menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan sekaligus tetap
menjabat
Kepala
Staff
Angkatan
Darat.
Juga,
ketika
Soekarno
mengumumkan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, pada 1960, 35
dari 283 anggotanya adalah anggota militer aktif.111
Demokrasi Terpimpin telah menempatkan Soekarno sebagai pemimpin
sentral dengan kekuasaan yang bersifat absolut. Dalam bahasa yang lain
Presiden menjadi penentu baik dan buruknya sebuah kebijakan. Namun
menurut Herbert Feith sesungguhnya pada masa awal Demokrasi Terpimpin
kekuasaan ada pada dua poros utama yaitu Presiden dan Angkatan Darat.112
Barulah setelah Presiden menyadari bahwa beliau membutuhkan satu lagi
kekuatan politik penyeimbang yang mampu menopang kekuasaannya, maka
Soekarno melabuhkan pilihannya kepada PKI yang memang memiliki
semboyan kebersamaan dan kegotongroyongan.
Seperti telah diungkap bahwa Sukarno dan Nasution memiliki
kepentingan yang sama dalam diberlakukannya Demokrasi Terpimpin.
Namun bulan madu Soekarno dan Nasution tak berlangsung lama, karena di
balik “kemesraan” itu sesungguhnya terkandung potensi konflik yang
melibatkan keduanya. Soekarno, yang semakin khawatir akan pertumbuhan
kekuatan militer, khususnya kekuatan Nasution, mencoba mengurangi
ketergantungannya
kepada militer.
Pada
perkembangan selanjutnya
Soekarno terbukti berhasil mengkonsolidasikan kekuasaannya dengan
111
Bhakti, Tentara Mendamba Mitra, h. 77.
Herbert Feith, Tim PSH (Terj.), Soekarno dan Militer dalam Demokrasi Terpimpin.
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), h. 31.
112
membuat posisi tentara semakin terdesak, dengan cara merapatkan diri dan
merangkul kalangan komunis, PKI.
Perselingkuhan politik Soekarno dengan PKI memunculkan keresahan
di benak TNI khususnya garis militer Nasution yang menilainya sebagai
suatu pengkhianatan, karena dengan posisi seperti ini tentunya akan
mengancam keberadaan tentara di dalam sistem pemerintahan. Tentara yang
semakin gelisah dengan manuver-manuver politik yang kian liar berupaya
pula melakukan langkah-langkah preventif guna menghadang laju
pergerakan kaum komunis Indonesia. Tidak dapat disangkal bahwa TNI AD
adalah lawan utama PKI.113
Sampai di sini setidaknya telah sedikit terjelaskan, pada saat awal
hubungan Presiden dengan TNI bersifat simbiosis mutualistik. Di satu pihak
Soekarno membutuhkan dukungan TNI dalam menggolkan ide Demokrasi
Terpimpin. Sedangkan di pihak yang lain, TNI memerlukan Soekarno demi
menjaga peluang TNI untuk terus bisa duduk di kursi pemerintahan. Namun
pada era selanjutnya, ketika Soekarno lebih menempatkan PKI pada posisi
istimewa, otomatis TNI pun meradang menyaksikan realitas politik yang
berkembang. Di tambah lagi dengan seringnya PKI melakukan intrik-intrik
politik yang tidak sungkan-sungkan melakukan penistaan terhadap TNI,
bahkan membunuh anggota TNI. Maka tak ada pilihan lain bagi TNI,
kecuali dengan melakukan perlawanan politik pula. Untuk melempangkan
niatnya ini, pada tahun 1964 TNI segera mengkonsolidasikan kekuatan113
Perseteruan antara tentara dengan PKI dapat dilihat secara jelas dalam Sejarah TNI
Jilid III 1960-1965, (Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, 2000), h. 101.
kekuatan fungsional dalam sebuah wadah bersama, dengan nama Sekretariat
Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).114 Pada akhirnya situasi ini
menciptakan ketegangan-ketegangan yang mengakibatkan posisi TNI vis a
vis Soekarno dan PKI.
Pertikaian politik TNI dan PKI mengalami puncaknya ketika terjadi
suatu peristiwa berdarah yang mengubah wajah sejarah perpolitikan
Indonesia modern secara drastis. Penculikan dan pembunuhan terhadap
tujuh perwira Angkatan Darat pada tanggal 30 September 1965 atau yang
dikenal sebagai peristiwa Gerakan 30 September (G30S) menjadi klimaks
atas permusuhan yang pada masa itu terjadi. Jenazah mereka di masukan ke
dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya tempat latihan sukarelawan
Pemuda Rakyat dan Gerwani, yang merupakan organisasi underbow Partai
Komunis Indonesia. Maka tak heran jika penculikan para Jenderal tersebut
diidentikan sebagai upaya kup dari kekuatan PKI terhadap pemerintahan
yang tidak lagi kuat.
3. Masa Pemberontakan PKI (Gerakan 30 September)
Pergolakan yang di timbulkan “Gerakan 30 September”
telah
menampilkan seorang Jendral yang sebelum meletusnya peristiwa itu
kurang dikenal dalam percaturan politik di Indonesia, seorang Jendral yang
hampir sepenuhnya memainkan kecakapannya di bidang militer melulu;
Mayor Jendral Suharto. Sedikitnya ada dua faktor pokok yang
114
Mengenai kelahiran Sekber Golkar bisa dilihat dalam Leo Suryadinata, Golkar dan
Militer: Studi tentang Budaya Politik (Jakarta: LP3ES, 1992), khususnya dalam Bab I.
menggagalkan kudeta “Gerakan 30 September”. Pertama, anak buah Letnan
Kolonel Untung tidak berhasil menculik dan membinasakan Jendral A.H.
Nasution. Barangkali tidaklah amat mengganggu operasi selanjutnya dari
“Gerakan 30 September” kalau yang lolos dari usaha penculikan tersebut
bukan Jendral A.H. Nasution. Faktor kedua, para perencana dan pimpinan
“Gerakan 30 September” mengabaikan Jendral Suharto sebagai Panglima
Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD) untuk
sekurang-kurangnya dinetralisirkan terlebih dahulu sebelum kudeta itu
dilancarkan. Suharto adalah seorang nasionalis yang kuat serta setia kepada
Jendral Ahmad Yani dan Nasution yang anti komunis.
Banyak penafsiran yang berkembang terhadap kudeta gagal tersebut.
Tjipta Lesmana dan Asvi Warman Adam seperti yang dikutip Abdul Fatah
menulis hampir sama mengenai peristiwa tersebut, antara lain:115
1)
Cornell Paper dan Wertheim menyatakan, kudeta dilakukan oleh
kelompok Angkatan Darat (karena ada konflik internal Angkatan
Darat).
2)
Manai Sophian, Oe Tjie Tat, dan dari pelengkap Nawaksara
(sembilan pokok pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno di
depan MPRS tanggal 22 Juni 1966) menyatakan bahwa G30S/PKI
merupakan sebuah konspirasi unsur-unsur nekolonialisme yang
berusaha menggagalkan revolusi Indonesia.
115
Abdoel Fatah, Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004 (Yogyakarta:
LKiS, 2005), h. 124.
3)
Robinson berbicara tentang peran Amerika Serikat dalam
“memprovokasi” Angkatan Darat melakukan kudeta dan perannya
membangun rezim Soeharto.
4)
Sedangkan Brackman dan Miroslav Fic menafsirkan bahwa kudeta
September 1965 merupakan persekongkolan komunis yang
melibatkan Presiden Soekarno.
Pada tanggal 1 Oktober pagi, setelah Jendral Suharto mendengar dan
menerima laporan tentang penculikan Ahmad Yani, Nasution, dan lainlainnya, dan kemudian mendengar siaran RRI jam 07.20, dia segera
mengambil inisiatif
mengumpulkan Pimpinan
Angkatan Darat
ke
tangannya. Setelah dia berhasil mengadakan kontak dengan Angkatan Laut,
dan Angkatan Kepolisian, sebagai pimpinan sementara anggakatan darat
Jendral suharto mengeluarkan sebuah pengumuman yang disiarkan oleh
Departemen Angkatan Darat No. 002/Peng/Pus/1965 yang antara lain berisi,
bahwa angkatan darat, laut dan kepolisian telah sepakat untuk menumpas
perbuatan kontra revolusioner yang dilakukan “Gerakan 30 September”
adalah merupakan suatu coup terhadap Presiden dan terhadap pimpinan
tertinggi Angkatan Darat.
Setelah Suharto merebut RRI dan memberikan gambaran kepada rakyat
tentang perkembangan yang
sedang berlangsung. Kemudian Suharto
beserta pimpinan lainnya membuat rencana untuk secepat mungkin
membebaskan pangkalan udara “Halim Perdanakusumah”. Masa setelah
jatuhnya “Halim Perdanakusumah” ke tangan Jendral Suharto pada tanggal
2 Oktober, dua orang telah tampil memegang peranan utama dalam
kehidupan politik selanjutnya, yaitu Presiden Sukarno dan Panglima
Angkatan Darat (sementara) Jendral Suharto.
Pada tanggal 2 Oktober, Suharto menemui Presiden di Bogor,
pertemuan itulah yang pertamakalinya antara Presiden Sukarno dan Jendral
Suharto. Pertemuan yang dihadiri beberapa kalangan pejabat pemerintahan
dan militer itu berlangsung dalam suasan yang tegang akibat perbedaan
kebijakan dan tindakan yang telah diambil oleh Sukarno dan oleh Suharto
secara terpisah dan kontroversial dalam waktu yang bersamaan, yakni pada
tanggal 1 Oktober. Hal-hal yang kontras dari kedua pemimpin itu ialah:
a. Jendral Suharto mengutuk “Gerakan 30 September” yang dilakukan
Untung, yang menyebutnya sebagai suatu percobaan kudeta yang
kontra-revolusioner; sedang, Presiden Sukarno tidak menyebutnya
sama sekali sebagai suatu kudeta.
b. Presiden Sukarno memerintahkan kepada masing-masing angkatan
dalam ABRI agar kembali ke posnya masing-masing serta tetap
tinggal tenang; sedangkan Jendral Suharto menyebutkan bahwa telah
disepakati oleh Angkatan-angkatan Darat, laut, dan kepolisian untuk
menghancurkan “Gerakan 30 September”.
c. Presiden Sukarno
mengumumkan,
bahwa
dia sendiri telah
mengambil pimpinan Angkatan Darat ke dalam tangannya, dengan
menunjuk Mayor Jendral Pranoto sebagai pimpinan TNI-AD guna
mengurusi tugas sehari-hari; sedang Mayor Jendral Suharto
mengumumkan bahwa dia telah mengambil alih pimpinan Angkatan
Darat untuk sementara ke dalam tangannya. 116
Pada tanggal 4 Oktober 1965, timbul perkembangan yang merupakan
impetus pergolakan di dalam masyarakat dan kalangan politik, ialah
diketemukannya mayat keenam orang Jendral, serta perwira pertama yang
diculik dalam satu sumur kecil yang dalam di lubang buaya. Atas dorongan
Jendral Nasution, Jendral Suharto dengan baiknya mendramatisir tragedi
pembunuhan tersebut di mata rakyat dan kalangan elit.
Dengan terjadinya perkembangan kejadiaan itu, maka Angkatan Darat
(TNI-AD) telah dipandang sebagai “Pelindung Bangsa” , “Penyelamat
Negara” oleh kekuatan yang anti-komunis, sedang oleh keolmpok yang pro
komunis TNI-AD dipandang sebagai pengancam keselamatan yang
sewaktu-waktu akan mengahabisi hidupnya. Dan sejak saat itu TNI-AD
meraih suatu posisi baru menjadi satu pusat perhatian nasional, dan TNI-AD
menerimanya dengan kaget sekali. Posisi tersebut ternyata justru jatuh ke
tangan Mayor Jendral Suharto, seorang politisi Muallaf yang belum
seminggu memasuki arena politik . karena itu untuk mengimbangi situasi
baru tersebut, Suharto dengan Nasution- bertindak dalam bentuk
memelihara keamanan, mempertahankan negara, dan berusaha menciptakan
status quo baru dengan memandang PKI sebagai musuh negara. Posisi TNIAD ini semakin kuat setelah pada tanggal 16 Oktober Mayor Jendral
Suharto diangkat menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat secara resmi
116
Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 195.
oleh Presiden, sementara Jendral Nasution tetap Menteri koordinator Bidang
Pertahanan Dan Keamanan.
Tindakan Jendral Suharto sesudah menguasai situasi Jakarta, ialah
mengatasi daerah luar Jakarta, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Teristimewa daerah Jawa Timur dimana Aidit telah dipastikan bersembunyi
di sekitar Surakarta, daerah ini disamping merupakan basis kekuatan massa
pro-PKI dan PKI, juga banyak kesatuan dari Divisi “Diponegoro” yang
telah jatuh kedalam pengaruh “Gerakan 30 September” .117
Peranan Presiden Sukarno sebenarnya telah berkurang banyak dengan
digagalkannya Gerakan 30 September oleh Jendral Suharto. Gagalnya
gerakan 30 September bererti rontoknya perimbangan kekuatan politik
antara TNI-AD dan PKI yang telah lama dipertahankan dan diciptakan oleh
Presiden Sukarno. Pada tanggal 8 Oktober, terjadilah demonstrasi besar di
Jakarta yang disponsori oleh kalangan pemuda islam dengan teriakan
menuntut dibubarkannya PKI, serta dengan poster “hancurkan PKI” ,
“bunuh Aidit”.
Presiden sukarno menanggapi demonstran anti-PKI itu dengan keras
sekali. Dia menganggap perbuatan itu sebagai usaha yang dikendalikan
kaum imperialis untuk mebelokkan revolusi Indonesia ke “kanan”. Gerakan
Sukarno untuk membangun kembali image kepemimpinannya dilakukannya
dengan gencar, ia pun berkampanye bahwa PKI tidak bersalah, 118 tidak ada
kaitannya dengan gerakan 30 September. Hal ini tentu membahayakan bagi
117
118
390.
Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 195.
Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, (Jakarta: LP3ES, 1982), h.
masa depan politik TNI-AD, maka. TNI-AD mencoba melawan gerakan –
gerakan Sukarno (dengan tidak secara terang-terangan) dengan memobilsasi
massa mahasiswa
yang membentuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia) yang dengan giat melakukan aksi demonstrasi menuntut di
bebarkannya PKI.. setelah KAMI dibubarkan oleh pemerintah kemudian
terbentuk kembali KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia)
dengan tujuan yang sama dengan KAMI.
Melihat perkembangan yang semakin eksplosif ini, TNI-AD nampak
belum
mau
secara
terbuka
membela
ex-KAMI-KAPPI
dalam
pertarungannya melawan Presiden Sukarno. Ini berarti kelompok Angkatan
Darat belum mau melakukan konfrontasi langsung dalam pergulatannya
dengan Presiden Sukarno. Tetapi tindakan-tindakan Sukarno terhadap para
demonstran yang menentangnya,
dan aksi-aksi demonstran ex-KAMI-
KAPPI yang telah mempengaruhi kaum political elit dan orang-orang
berpengaruh di Jakarta, memaksa TNI-AD untuk mengambil langkah baru
mulai awal Maret ini dengan melakukan tekanan-tekanan langsung terhadap
Presiden, yang akan dilakukan pada tanggal 12 maret, yaitu hari dimana
presiden Sukarno akan melakukan sidang dengan para Pimpinan Militer
termasuk para Panglima Daerah Militer.
Untuk mengatasi situasi yang sangat kacau akhirnya pada tanggal 11
Maret, sesuai dengan rencananya, Presiden mengetuai sidang Kabinetnya
dengan 100 orang Menteri, tetapi Menteri Pangad Jendral Suharto tidak
menghadirinya karena “sakit”. Beberapa saat setelah sidang berlangsung,
pada jam 11.30, Presiden menerima surat dari pengawalnya, Jendral Sabur,
yang memberitahukan kepdanya bahwa “Pasukan tidak dikenal” telah
mengepung istana dan sedang memasuki komplek istana. Setelah dibacanya
Presiden dengan buru-buru meninggalkan ruang sidang, langsung terbang ke
Bogor bersama Subandrio dan Khaerul saleh.119
Suharto segera mengirim tiga Jendral ke Bogor, yaitu Basuki Rahmat,
Muhammad Yusuf dan Amir Mahmud. Mereka berhasil menemui Presiden,
ketiga Jendral tersebut memperingati Presiden, bahwa “Presiden tidak
mempunyai grip lagi kepada situasi” yang sedang berkembang di Jakarta
khususnya. Setelah dilangsungkan pembicaraan antara ketiga Perwira
Tinggi Angkatan Darat tersebut dengan Presiden yang didampingi oleh
ketiga Waperdamnya –Subandrio, Leimena dan Khaerul Saleh- Presiden
menandatangani “konsep” Surat Perintah. Surat perintah Presiden yang
kemudain terkenal dengan nama “Surat Perintah Sebelas Maret” itu, antara
lain berisi “memutuskan dan memerintahkan kepada Letnan Jendral
Suharto, Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk atas nama Presiden,
mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya
keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan”.
Dikeluarkannya sebuah “Surat Perintah” dari Presiden Sukarno kepada
Menteri Panglima Angkatan Darat, Jendral Suharto, pada tanggal 11 maret
1966, yang kemudian terkenal dengan sebutan “Surat Perintah Sebelas
Maret” , mengandung arti yang penting dalam sejarah politik kehidupan
119
Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 213.
bangsa Indonesia, terutama penting bagi TNI-AD dalam huibungannya
dengan sumber legitimasi peranan politik yang dimainkannya. Surat
perintah itu pula yang mengakhiri showdown antara Presiden Sukarno
melawan Angkatan Darat.120
Peristiwa itu juga menjadi awal dimulai dominasi militer dalam
perpolitikan bangsa ini, tidak tanggung-tanggung, rezim militer pimpinan
Suharto bertahan selama 32 tahun. Tentu bukan waktu yang singkat, untuk
merasakan tampuk kekuasaann, sehingga militer merajalela di setiap
lembaga dan lini kehidupan masyarakat.
B. Kekuatan Politik Militer Pada Masa Orde Baru
Sejarah keterlibatan militer dalam politik diawali pada akhir
pemerintahan Soekarno dan semakin begitu mendominasi kehidupan politik
ketika Soeharto mengambil alih pemerintahan yang kemudian berlangsung
selama 32 tahun. Orde Baru tampil dengan mengedepankan dominasi militer
dalam kehidupan politik yang berimplikasi terhadap reperesivitas dan
berbagai bentuk kekerasan politik lainnya. Suasana politik yang represif
dimana suara kritis dibungkam, peran dan fungsi lembaga - lembaga politik
tidak berjalan dengan semestinya serta hukum yang dijalankan berdasarkan
like or dislike, telah menjadi prototipe bagi perjalanan pemerintahan Orde
Baru yang militeristik. Richard Tanter, seorang Pengamat politik militer dari
AS, menilai bahwa Indonesia dibawah Soeharto telah menjadi negara intel.
120
Muhaimin, Perkembangan Militer, h. 211.
Model operasinya, Tanter menyimpulkan bahwa jangan ambil resiko dan
hantam selalu dari belakang. Tanter beranggapan bahwa penggunaan teror
yang dilakukan oleh aparat militer dipandang paling efektif. Represif militer
hanya menimbulkan kebiadaban dan berbagai bentuk kekerasan politik yang
intinya adalah diluar batas kemanusiaan.
Kehancuran sistem Demokrasi Terpimpin yang terjadi setelah bencana
yang menyertai percobaan kudeta di tahun 1965 –diikuti oleh tersingkirnya
PKI dan jatuhnya Soekarno– telah menempatkan Angkatan Darat sebagai
kekuatan politik yang dominan.121 Melalui ketetapan MPRS No.
XXIV/MPRS/1966, pada masa permulaan Orba dengan tandas meletakkan
posisi ABRI pada “kedudukan ABRI adalah sebagai alat revolusi dan alat
negara yang dalam pelaksanaannya menggunakan sistem persenjataan fisik
teknologis dan sistem persenjataan sosial politik”.122
1. Dwi Fungsi ABRI
Sejarah kekuasaan Orde Baru adalah sejarah neo-fasisme (militer),
yaitu suatu pemerintahan yang dibangun dengan cara mengandalkan
elitisme,
irasionalisme,
nasionalisme
dan
korporatisme.
Ciri
dari
Pemerintahan neo-fasisme militer ini adalah mengandalkan kekuatan militer
untuk menghancurkan organisasi-organisasi massa (kekuatan sipil) dan
121
Harold Crouch, Militer dan Politik Di Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999),
h. 15.
122
Cholisin, Militer dan Gerakan Prodemokrasi, Studi Analisis tentang Respons Militer
terhadap Gerakan Prodemokrasi di Indonesia (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002), hal. 11.
menghilangkan semua gerakan militan123. Bibit-bibitnya telah muncul sejak
masa Demokrasi Terpimpin, dan diaplikasikan "nyaris" sempurna pada
masa Orde Baru. Meskipun ketetapan bahwa Tentara Nasional Indonesia
(TNI) sebagai kekuatan sosial baru dikukuhkan pada tahun 1982, yaitu
melalui UU No. 20/1982, namun prakteknya peran sosial-politik TNI telah
berjalan sejak tahun 1960-an. Terutama, sejak Soeharto berkuasa pada tahun
1966, peran sosial-politik TNI semakin membesar. Peran sosial-politik TNI
ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan "dwi fungsi ABRI/TNI".
Konsep dwi fungsi TNI pertama kali dilontarkan oleh Abdul Haris
Nasution pada peringatan ulang tahun Akademi Militer Nasional (AMN)
pada 12 November 1958 di Magelang, dan istilah "dwi fungsi"
diperkenalkan kemudian pada rapat pimpinan Polri di Porong tahun 1960.
Dwi fungsi merupakan istilah untuk menyebut dua peran militer, yaitu
fungsi tempur dan fungsi "pembina wilayah" atau pembina masyarakat124 .
Nasution menganggap bahwa, "TNI bukan sekedar sebagai alat sipil
sebagaimana terjadi di negara-negara Barat dan bukan pula sebagai rezim
militer yang memegang kekuasaan negara. Dwi fungsi merupakan kekuatan
sosial, kekuatan rakyat yang bahu-membahu dengan kekuatan rakyat
lainnya".
Mayor Jendral Nasution, meski berasal dari kalangan militer yang
netral, pada tahun 1965 merumuskan sebuah konsep yang dia namai “Jalan
Tengah”. Dalam seminar pertama yang diselenggarakan pada April 1965,
123
Iswandi, Bisnis Militer Orde Baru, (Bandung: Rosda Karya, 1998), h. 61
AH. Nasution, Konsistensi TNI dalam Pasang Surut Republik, Catatan dan Pemikiran
Jenderal Besar A.H. Nasution, (Jakarta: Komite Penegak Keadilan dan Kebenaran, 2001), h. 3
124
tentara mencetuskan suatu doktrin yang menyatakan bahwa angkatan
bersenjata memiliki peran rangkap, yaitu sebagai “kekuatan militer” dan
“kekuatan sosial-politik”. Sebagai kekuatan “sosial-politik”, kegiatan tentara
meliputi bidang-bidang: “ideologi, politik, sosial, ekonomi, budaya dan
keagamaan.”
Peran rangkap militer ini, walau belum tercetuskan secara resmi, sering
dijadikan alasan untuk meraih kendali kekuasaan ke tangan mereka,
terutama ketika sistem pemerintahan sedang mengalami kemerosotan.
Konflik-konflik yang terjadi di masa Demokrasi Terpimpin, seperti
“Peristiwa Madiun”, membuat tentara menyadari peran ekstrem mereka.
Perkawinan antara kalangan militer netral yang lebih terdidik dengan
kalangan militer yang haus kekuasaan seperti Soeharto, sekurangnya dalam
ruang lingkup yang paling dominan di dalam TNI, berhasil meredam
perpecahan lebih jauh di kalangan militer Indonesia yang pada waktu itu
terbagi-bagi menjadi divisi-divisi kecil yang memegang ideologi politik
tertentu. Setiap konflik yang terjadi membuat militer memiliki alasan untuk
memberlakukan situasi darurat, kemudian menuai kendali-kendali politik
dan ekonomi setelah konflik berhasil diredam.
Dwi fungsi ABRI adalah satu point penting yang memungkinkan ABRI
memasuki hampir seluruh lapangan kehidupan, bukan saja sebagai aparat
pertahanan dan keamanan, melainkan juga sebagai kekuatan sosial politik.
Dwifungsi ABRI menurut Soebiyanto adalah:125 “Bahwa ABRI itu
mempunyai dua fungsi, adalah sebagai kekuatan hankam, maka ABRI
merupakan aparatur negara dan bangsa terhadap serangan/ancaman/bahaya
yang datang dari luar maupun dari dalam negeri. Dalam fungsinya sebagai
kekuatan sosial ABRI, merupakan salah satu golongan karya yang ikut
secara aktif dalam segala usaha dan kegiatan masyarakat dan negara di
semua bidang dalam rangka pencapaian tujuan nasional. Sebagai aparatur
negara ABRI menegakkan dan membela negara, sebagai golongan karya
ABRI mengisi dan membangun negara”.
Dwi fungsi TNI ini muncul sebagai refleksi atas pengalaman politik
masa sebelumnya. Sebelum tahun 1952, hampir semua keputusan-keputusan
politik ditentukan oleh politisi sipil, sementara campur tangan militer di
politik sangat minim dan tidak signifikan. Akibatnya, keberadaan militer
menjadi bergantung kepada kemauan politisi sipil. Ketika Kabinet Wilopo
melakukan berbagai penghematan dalam anggaran dan belanja negara,
termasuk memperkecil anggaran di sektor pertahanan, Menteri Pertahanan
Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan rasionalisasi organisasi TNI.
Akibatnya, sekitar 80.000 anggota militer terancam di-demobilisasi.
Kompleksitas persoalan dan konflik politik saat itu, telah menyebabkan
militer melakukan kudeta pada 17 Oktober 1952. Terdapat dua kelompok
militer (AD) yang bertikai: yaitu kelompok yang setuju perubahan
organisasi, dan kelompok yang tidak setuju perubahan. Rumor bahwa
125
Soebiyanto, Catatan-catatan tentang Dwifungsi dan kekaryaan ABRI, dalam Diktat
Kursus Pembinaan Mental ABRI. (Dephankam: Pusat pembinaan mental ABRI, 1976), h. 4-8.
kelompok yang akan terkena demobilisasi adalah laskar-laskar rakyat telah
mempertajam konflik, karena laskar rakyat merupakan underbouw partaipartai politik, seperti Masyumi, PNI, PKI, PSI dan Murba. Akibatnya
konflik tersebut berubah menjadi konflik politik di parlemen. Partai-partai
kiri seperti Partai Murba, Partai Buruh dan PKI menyatakan mosi tidak
percaya terhadap pemerintah, dalam hal ini Kementrian Pertahanan dan
Angkatan Perang. Di sisi lain, partai-partai kanan seperti Masyumi dan
Partai Katolik melakukan counter motion untuk mengakhiri penggunaan
Misi Militer Belanda dan setuju untuk melanjutkan demobilisasi.
Pada 28 Juli 1952 parlemen mengadakan serangkaian sidang yang
membahas persoalan-persoalan Kementrian Pertahanan dan Angkatan
Perang, khususnya persoalan internal TNI AD. Namun pimpinan TNI AD
menganggap bahwa debat tersebut telah membuka aib TNI AD. Sehingga,
para pimpinan TNI AD, terutama yang berhaluan kanan marah karena
menganggap para politisi sipil telah mencampuri urusan internal TNI AD.
Meskipun Sukarno berhasil menggagalkan kudeta, namun militer
berhasil mendapatkan bargaining position di arena politik nasional. Pada
tahun 1957, terjadi pemberontakan di beberapa daerah, sehingga peran
militer semakin dibutuhkan, dan sejak saat itu, perannya semakin besar pula
di bidang politik.
Satu-satunya kelompok sipil yang kritis terhadap militer AD hanyalah
Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah pemberangusan partai-partai
politik di awal tahun 1960-an, kekuatan politik nasional hanya terdiri dari
tiga, yaitu Sukarno, PKI dan militer (AD). Antara PKI dan TNI saling
bersaing dan melakukan "manuver" untuk menarik perhatian Sukarno. Sejak
tahun 1963, peristiwa demi peristiwa telah mempengaruhi dinamika
hubungan segitiga kekuasaan tersebut. Sebagai misal, pergantian KSAD dari
Nasution kepada Ahmad Yani pada Juni 1962, pencabutan Undang-undang
Keadaan
Bahaya
(SOB)
pada
November
1962,
dianggap
telah
menguntungkan PKI. Perihal diangkatnya Yani tersebut dianggap sebagai
kemunduran serius bagi kelompok Nasution yang mendukung militer
sebagai kekuatan politik yang utuh. Setelah dilantik sebagai KSAD, A. Yani
segera mengganti sejumlah Panglima daerah yang berani menentang
Sukarno dengan isu-isu komunis126.
Tetapi, ketika Maret 1963 terjadi kerusuhan anti-Cina di Jawa Barat
pada saat Sukarno berkunjung ke Cina, kelompok AD dinggap berhasil
mempermalukan Sukarno dan sekaligus memperlemah PKI. Kerusuhan
tersebut disinyalir sengaja dilakukan oleh militer karena pada saat itu
sejumlah komandan militer setempat terlihat bekerjasama dengan para
perusuh127 .
Kemudian, pada tahun 1965, terjadi peristiwa kontroversial "G-30-S",
yang tidak saja mematikan gerakan PKI di Indonesia, tetapi juga
merubuhkan kekuasaan politik Sukarno. Sehingga, militer menjadi satusatunya pemenang, dan segeralah babak Orde Baru dimulai. Sejak saat itu,
126
Herbert Feith, Soekarno dan Militer, dalam Demokrasi Terpimpin, cet. kedua,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2001), h. 136-137
127
Feith, Soekarno dan Militer, h. 138
militer mendominasi hampir di seluruh bidang sosial, politik dan ekonomi
nasional.
Agar keberadaan militer di bidang sosial-politik diakui, maka
pemerintah militer Orde Baru melakukan langkah-langkah yuridis sebagai
berikut: (1) memasukkan dwi fungsi ABRI dalam GBHN tentang ABRI
sebagai modal dasar pembangunan; (2) UU No. 20/1982 tentang Pokokpokok Hankam Negara; (3) UU No. 2/1988; dan (4) UU No. 1/1989. Dua
produk UU yang terakhir merupakan penyempurnaan dari produk UU
sebelumnya.
Setidak-tidaknya, terdapat tiga peran militer pada masa Orde Baru yang
berakibat buruk bagi kehidupan demokrasi. Pertama adalah menempati
jabatan-jabatan politis seperti menteri, gubernur, bupati, anggota Golkar dan
duduk mewakilinya dirinya di DPR. Misalnya, pada tahun 1966, anggota
militer yang menjadi menteri sebanyak 12 orang dari 27 anggota kabinet
dan 11 anggota militer yang menempati jabatan strategis di departemendepartemen urusan sipil. Di DPR, sebanyak 75 anggota militer duduk
mewakili militer. Di tingkat daerah, pada tahun 1968, sebanyak 68%
gubernur dijabat oleh anggota militer, dan 92% pada tahun 1970.
Sementara, pada tahun 1968, terdapat sebanyak 59% bupati di Indonesia
berasal dari anggota militer. Kemudian pada tahun 1973, jumlah militer
yang menjadi menteri sebanyak 13 orang; sebanyak 400 anggota militer
dikaryakan di tingkat pusat, dan 22 dari 27 gubernur di Indonesia dijabat
oleh militer. Hingga tahun 1982, sebanyak 89% jabatan-jabatan strategis di
tingkat pusat yang berkaitan dengan persoalan sipil dijabat oleh anggota
militer. Kemudian paska pemilu 1987, sebanyak 80% anggota DPR dari
Fraksi ABRI dan sebanyak 34 perwira senior menjadi anggota DPR melalui
Fraksi Golkar. Kemudian, 120 anggota militer terpilih sebagai pimpinan
Golkar daerah dan hampir 70% wakil daerah dalam kongres nasional Golkar
berasal di militer. Jumlah fraksi ABRI di DPR juga meningkat dari 75
menjadi 100. Kenaikan ini dianggap tidak layak, karena jumlah ABRI hanya
500.000 orang (0,3% dari jumlah penduduk Indonesia) tetapi mendapatkan
kursi 20% di parlemen128 .
Banyaknya
anggota
militer
yang
duduk
di
parlemen
telah
mempengaruhi keputusan-keputusan yang dibuat oleh DPR. Misalnya,
pengalaman masa kerja DPR dari 1971-1977 dan 1977-1982, Fraksi ABRI
terlihat paling keras menentang penggunaan hak interpelasi dan angket pada
kasus korupsi di Pertamina yang diusulkan oleh F-PP dan F-DI129. Sikap
yang sama juga ditunjukkan oleh F-ABRI dalam menolak usulan
penggunaan hak angket pada kasus pembunuhan massal di Tanjung Priok.
Kedua adalah menghegemoni kekuatan-kekuatan sipil. Contoh yang
paling mencolok pada kasus ini adalah pembentukan Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia (ICMI), yang dapat diartikan sebagai salah satu upaya
"mengendalikan" kekuatan intelektual melalui sebuah lembaga. Hal ini
128
Cholisin, Militer dan Gerakan Prodemokrasi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), h.
23
129
Muchtar Pakpahan, DPR RI Semasa Orde Baru, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1994), h. 159
bertentangan dengan hakikat cendekiawan yang berpikiran bebas dan
kreatif, tetapi diikat dalam suatu wadah yang bersifat ideologis.
Sebelumnya, militer selalu menganggap bahwa intelektual Indonesia terlalu
"bias Barat". Dengan kelahiran ICMI, diharapkan intelektual tidak lagi "bias
Barat", tetapi lebih "bersahabat" dengan militer. Contoh lain terjadi pada
Maret 1997, di mana Kassospol ABRI, Letjen Syarwan Hamid
mengumpulkan para guru besar dari seluruh Indonesia di Bogor. Tujuan dari
pengumpulan para profesor tersebut adalah untuk "memberi informasi"
mengenai bahaya Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan bangkitnya
komunisme baru. Rejim militer Orde Baru menganggap bahwa PRD
dianggap berbahaya selain karena beraliran kiri dan diasosiasikan dengan
komunis dan PKI, PRD juga dituduh sebagai dalang kerusuhan peristiwa 27
Juli 1996.
Militer mendikotomikan antara Barat dan Timur secara oposisional.
Barat adalah sesuatu yang berbau asing, sekular dan sangat bertentangan
dengan Timur yang relijius dan menjunjung tinggi kesantunan. Oleh karena
itu, untuk melihat Indonesia maka tidak dapat dipahami dengan kerangka
struktural Barat yang liberal. Hal tersebut juga berlaku untuk melihat
kedudukan militer di Indonesia. Dalam menghadapi berbagai persoalan,
termasuk isu demokratisasi dan hak asasi manusia, militer selalu
mendefinisikan bahwa Indonesia memiliki keunikan tersendiri sehingga
memerlukan penanganan sendiri seusai dengan kepentingan militer.
Ketiga adalah melakukan tindakan-tindakan represif terhadap rakyat.
Beberapa kasus yang terjadi pada masa ini adalah: Orde Baru melakukan
pembunuhan terhadap ratusan ribu anggota PKI dan pendukung Sukarno,
serta memenjarakan ribuan lainnya tanpa proses pengadilan (1966-1971),
pembunuhan massal terhadap anggota kelompok Islam di Tanjung Priok
(1984); kasus tanah petani di Jenggawah (1989); pelaksanaan operasi militer
di Aceh (1989-1999), Timor Lorosae (1980-199) dan Papua (1960-an-199);
penggusuran dan intimidasi penduduk di Kedung Ombo, Jawa Tengah
(1989); penembakan penduduk di sekitar waduk Nipah, Madura (1993),
intimidasi terhadap pendukung non-Golkar menjelang setiap pemilu (1971,
1977, 1982, 1987, 1992, 1987), penyerangan terhadap kantor PDI (1996),
penculikan aktivis pro demokrasi (1997), penembakan empat mahasiswa
Trisakti (1998), tragedi Semanggi (1998) dan masih banyak lagi peristiwaperistiwa lainnya, yang karena terjadi di wilayah pedalaman dan jumlah
korbannya sedikit sehingga tidak diberitakan secara luas130.
Terdapat dua penjelasan mengapa militer banyak terlibat dalam kasus
kekerasan di Indonesia. Pertama, karena pada dasarnya militer memang
tidak dilatih untuk melindungi rakyat. Semua prajurit adalah dilatih untuk
menyerang, membunuh dan menghancurkan lawan. Dalam pendidikan
militer selalu ditekankan untuk merangsang insting kebuasannya. Begitu
juga, teknologi yang dikembangkan oleh militer adalah lebih banyak untuk
130
Mashudi Noorsalim, "Involvement of the Indonesian Military in Human Rights
Violations", makalah dipresentasikan pada South East Asian Advanced Programme on Human
Rights yang diselenggarakan oleh Office of Human Rights Studies and Social Development,
Faculty of Graduate Studies, Mahidol University – Thailand, Maret 17-28, 2003.
menyerang, membunuh dan menghancurkan lawan. Kedua, adalah doktrin
pertahanan dan keamanan yang menekankan perang gerilya yang
menggunakan rakyat sipil sebagai bumper. Dalam doktrin yang disebut
Sishankamrata (sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta) tersebut
tidak membedakan antara militer (combatans) dan penduduk sipil.
Sehingga, penduduk sipil yang dianggap tidak membela militer dianggap
musuh yang perlu dibunuh.
ABRI telah menjadikan perannya berdwifungsi itu sebagai senjata
utama untuk mematikan segala bentuk kehidupan yang demokratis. Dalam
posisi seperti itu, ABRI (TNI AD) menjadi satu-satunya institusi politik
yang berkuasa dan dapat mengatur sendiri seluruh kehidupan masyarakat.
Lebih jauh, Daniel S. Lev menuliskan bahwa dwi-fungsi ABRI bukan saja
memonopoli politik dan makna politik tetapi juga menyumbang secara luar
biasa bagi kerusakan kelembagaan kenegaraan, karena seluruh lembaga
negara diposisikan berada dibawah kekuasaan institusi militer.
Bibit
dari
perluasan
penguasaan
muncul
sejak
masa
paska
kemerdekaan. Misalnya penolakan Jenderal Sudirman terhadap rencana
pembentukan staf pendidikan untuk TKR (Tentara Keamanan Rakyat)
dibawah kementerian Pertahanan, pada januari 1946. Alasannya kekuatan
militer adalah kekuatan politik, dan militer pecaya bahwa mereka harus
menjadi pemimpin Indonesia.131
131
h. 53-56
Peter Britton, Profesionalisme Dan Ideologi Militer Indonesia,(Jakarta:LP3ES, 1996),
Sementara Perluasaan penguasaan militer terhadap seluruh lembaga
kenegaraan sejak 1965 paska G30S, Soeharto mengembangkan apa yang
saat ini dikenal sebagai komando teritorial.132 Disamping pengembangan
kekuasaan territorial juga dibangun jaringan intelijen secara ekstra yaitu
melalui Kopkamtib dan BAKIN. Kekuasaan teritorial dan peranan
dwifungsi itu membentang mulai dari pusat sampai ke-jajaran desa. Boleh
dikatakan bahwa kekuasaan teritorial itu menandingi kekuasaan birokrasi
sipil dan dalam beberapa kasus bisa mengatasinya.
Hal itu terjadi karena seluruh jajaran birokrasi sipil itu tak luput pula
dikuasai oleh para perwira militer, baik yang aktif maupun purnawirawan.
Akibatnya otonomi lembaga pemerintahan menjadi kerdil, termasuk
Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung, 133 Peter Britton dalam bukunya
Profesionalisme
Dan
Ideologi
Militer
Indonesia
lebih
tegas
mengungkapkan;134
“...bagian teritorial dari Angkatan Darat memastikan kehadirannya
disetiap kota dan di sementara daerah, di setiap daerah, di setiap desa
dengan tugas memelihara keamanan, mengawasi kegiatan-kegiatan
aparat pemerintahan sipil dan bertindak sebagai pengawas-pengawas
politik. Para perwira militer, baik yang masih aktif maupun yang sudah
pensiun, semakin banyak yang beralih kepada kedudukan-kedudukan
penting sebagai pejabat-pejabat pemerintah. Pemerintah daerah,
pemerintah pusat dan industri, semuanya menjadi berada dibawah
pengendalian AD”.
Geliat militer dalam perpolitikan tidak terjadi secara alami, tetapi
merupakan konsekuensi sejarah sejak lahirnya tentara Indonesia. Mentalitas
132
Daniel S. Lev, “ ABRI dan Politik: Politik dan ABRI,” dalam Diponegaro 74, Jurnal
HAM dan Demokrasi, No.7/III/April 1999, YLBHI, h. 10-11.
133
Daniel S. Lev, “ ABRI dan Politik: Politik dan ABRI,” h. 11
134
Peter Britton, Profesionalisme Dan Ideologi Militer Indonesia, LP3ES,
Jakarta, 1996. h. 126
umum tentara Indonesia sebelum maupun setelah kemerdekaan adalah peran
langsungnya dalam perpolitikan. Harold Crouch mencatat, “dalam masa
revolusi tahun 1945 sampai 1949, tentara terlibat di dalam perjuangan
kemerdekaan di mana tindakan politik dan militer saling menjalin tak
terpisahkan.”
Adapun dua arus gerakan militer di masa itu adalah: yang berpendirian
netral dalam urusan politik, dan yang tidak sungkan-sungkan untuk terlibat
dalam perpolitikan. Pimpinan-pimpinan militer non-politis kebanyakan
berasal dari kalangan kaum berpunya Indonesia yang lulus dari akademi
kemiliteran di Belanda. Sementara yang kedua, yang menganggap bahwa
militer harus secara langsung mempengaruhi jalannya pemerintahan, berasal
dari divisi-divisi tentara lokal yang cenderung memiliki pengikut
berdasarkan ideologi politik dan daerah divisi tersebut berasal.
Sejak Pemerintahan Orde Baru, keterlibatan militer dalam berbagai
keidupan non - militer telah merupakan sebuah keniscayaan. Baik melalui
doktrin peran sosial politik ABRI maupun ketentuan perundangan yang
mendasarinya, sampai ke implementasi strukturalnya, kehadiran ABRI
dalam berbagai kehidupan telah menjadi tak terpisahkan dari perjalanan
Republik ini. Dalam pemikiran William Liddle, pelembagaan Dwifungsi
ABRI di era Soeharto merupakan bagian dari pelembagaan Piramida Orde
Baru yang mencakup seorang Presiden dengan kekuasaan yang sangat
dominan, angkatan bersenjata yang sangat aktif berpolitik, proses decision
making yang berpusat pada birokrasi, dan pola hubungan state - society
yang mengkombinasikan kooptasi responsivitas dengan represi. Fenomena
tersebut kemudian menimbulkan keraguan masyarakat akan efektivitas
konsep Dwifungsi ABRI.
Dekonstruksi dan kaji ulang terhadap konsep Dwifungsi ABRI
merupkan kebutuhan politik yang mendesak disaat angin reformasi sedang
berhembus. Ketika masyarakat mulai sepakat mendefinisikan reformasi
sebagai redemokratisasi, muncul beberapa pertanyaan akan posisi ABRI
dalam proses reformasi serta bagaiman seandainya ABRI mempertahankan
status quo. Beberapa pemikiran kemudian muncul untuk melenyapkan
militer dari panggung politik.
Kontroversi dari Dwifungsi ABRI timbul karena adanya ekses negatif
di masyarakat seperti stabilitas menjadi tujuan, dinamika masyarakat
menjadi terhambat, aspirasi akan pluralitas dikalahkan keseragaman dan
monoloyalitas, sementara asas desentralisasi melemah bersama menguatnya
sentralisasi, sehingga demokrasi sulit dicapai karena adanya pelembagaan
otoritarianisme.
Secara struktural, banyak pula dikalangan militer yang diposkan pada
posisi yang sebelumnya dianggap domain - nya orang sipil. Kaji ulang
Dwifungsi ABRI banyak dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Beberapa hal yang menyangkut meningkatnya stabilitas politik, menguatnya
civil society, globalnya tuntutan demokratisasi serta diferensiasi dan
profesionalisme, merupakan faktor bagi militer untuk re - thinking terhadap
keterlibatannya dalam militer. Selain itu, kekerasan politik sebagai ekses
dari prakter militeristik begitu mendominasi kehidupan politik rezim Orde
Baru. Diawal orde Baru, korban- korban kekerasan dan penyiksaan adalah
para tersangka G 30 S dan pendukung Soekarno, di era 70 - an korban
penyiksaan bergeser ke mahasiswa kritis, lalu 80 - an korban bergeser ke
kalangan tokoh islam kritis, dan memasuki era 90 - an mahasiswa dan
aktivis Pro Demokrasi selalu menjadi korban dari praktek politik yang
militeristik. Pola - pola penyiksaan yang bertentangan dengan Deklarasi
Universal HAM tersebut terus berlangsung selama 32 tahun kekuasaan
rezime Orde Baru. 135
Telah menjadi kepentingan kita semua bahwa peran politik ABRI
dimasa mendatang bagaimanapun harus dihilangkan. Dalam konteks politik
Indonesia menurut Harold Crouch, diperkirakan munculnya friksi atau
perpecahan antar elite penguasa khususnya militer, merupakan faktor kunci
untuk demokratisasi terlebih bila tiap kubu menjalin aliansi dengan
kelompok
-
kelompok
masyarakat.
Namun
perjuanmgan
kearah
demokratisasi dan penguatan civil society tidak dapat mengharapkan dari
konflik antar elite ataupun political will dari penguasa, melainkan sesuatu
yang harus diperjuangkan dari generasi ke generasi.
Optimalisasi partisipasi politik rakyat serta lembaga - lembag politik
menjadi agenda terpenting dalam mendorong proses demokratisasi untuk
meminimalisir peran politik militer. Berbagai wacana politik yang kita
pelajari hampir selalu mengajari kita bahwa dalam sistem politik idealnya
135
http://www.watchindonesia.org/Proposalguide/Propo_65.htm
lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif memiliki kekuasaan seimbang,
dengan sesuatu kekuatan check and balances tanpa mengikutsertakan militer
didalamnya sebagai kekuatan politik. Alhasil, dengan kekuatan dan
mekanisme sedemikian tersebut diharapkan akan dapat menjamin bagi
terwujudnya suatu pemerintahan ( state ) yang merefleksikan kemauan dan
berorientasi pada kepentingan rakyat ( society ). Karena itu, merupakan
kepentingan kita untuk mengajak semua kekuatan Pro Demokrasi untuk
memberikan kontribusi pemikiran sebagai landasan perjuangan dalam
menolak
segala
bentuk
pemerintahan
yang
bersifat
militeristik.
Perkembangan arus demokratisasi yang begitu kuat ditengah proses
reformasi saat ini, melahirkan pemikiran baru bahwa militer sebagai sebuah
kekuatan politik sudah tidak diperlukan lagi.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari seluruh paparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa lemahnya
institusi Negara yang dikelola oleh para politisi sipil menjadikan militer
mudah kembali masuk kedalam arena politik. Apalagi dalam rentang
negosiasi transisi politik, politisi sipil tidak memiliki posisi tawar yang kuat
dengan militer. Pada gilirannya otoritas politik yang ada, parlemen dan
kekuatan partai politik yang semestinya mampu mengkoreksi seluruh watak
dan sepak terjang militer justru malah bersekutu dengan militer. Selain itu
juga, dapat disimpulkan bahwa militer saat ini tidak menyumbang secara
signifikan terhadap konsolidasi demokrasi di Indonesia. Hal ini terjadi
karena militer tidak mau dikoreksi disatu sisi dan lemahnya posisi politik
elit sipil yang berkuasa, baik di parlemen maupun eksekutif, dihadapan TNI.
Oleh karena itu sebagai kekuatan politik dari rezim lama, TNI tetap
menjalankan watak otoriteriannya dengan pola terror, intimidasi, kekerasan
atau pengintaian untuk menundukkan kekuatan politik lain atau massa
rakyat.
Dalam suatu sistem demokrasi dimana negara berperan sebagai
pelindung masyarakat dari ancaman dan gangguan, maka posisi militer di
dalam sebuah negara sudah semestinya berfungsi agar ancaman dan
gangguan itu menjadi minimal. Fungsi itu bisa dikatakan sebagai kewajiban
pokok dari sebuah institusi militer. Dengan demikian posisi militer atau
angkatan bersenjata merupakan sebuah institusi yang sah atau lazim jika
memang disepakati dalam sebuah organisasi yang bernama negara, yang
mempunyai kewajiban berkaitan dengan perlindungan negara demi
memproteksi masyarakat dari ancaman fisik.
Setelah melalui pergulatan mengenai peristiwa pembentukan organisasi
militer di Indonesia, yang telah berganti-ganti nama, yang tentunya
mempengaruhi terhadap sifat serta orientasi militer. Ketika bernama TNI,
nasionalisme yang tercermin dari nama itu menandakan anggota militer
tidak terbatas pada satu etnis atau suku tertentu, tetapi seluruh warga negara
Indonesia dipersilahkan menjadi anggota militer. Peran politik yang
diperoleh militer dengan susah payah mereka peroleh, melalui berbagai
peristiwa yang terekam dalam sejarah bangsa ini, menandakan bahwa
militer sebagai salah satu unsur yang mutlak dalam suatu negara
keberadaannya tidak dapat dipandang sebelah mata. Fakta bahwa militer
merupakan kekuatan yang menentukan dalam jagat perpolitikan kita adalah
realitas yang tidak bisa ditolak siapa pun. Buktinya kejatuhan Presiden
Soekarno karena berseberangan dengan militer, sehingga jenderal Soeharto
mengudetanya, dan jenderal Soeharto pun lalu jatuh, karena militer menarik
dukungan kepadanya.
B. Saran-Saran
Setelah penulis melakukan penelitian yang telah dipaparkan di atas
maka adapun saran-saran untuk hal tersebut yaitu:
1. Perlu memformulasikan tempat dan posisi TNI dalam politik saat ini
secara lebih jelas dalam kendali otoritas sipil. Sehingga TNI tidak
mudah memanipulasi masa lalunya yang menjadi alat kekuasaan
untuk kembali berpolitik, menindas dan korup. Dalam hal ini sangat
diperlukan adanya pembongkaran sejarah secara resmi terhadap
segala bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan
terhadap institusi militer di masa lalu.
2. TNI sendiri juga harus merubah paradigma, doktrin dan tindakannya
agar mampu menjadi bagian yang integral bagi bangsa Indonesia
yang demokratis. Sebaliknya, jika TNI masih terus mengedepankan
penguasaan, apalagi menggunakan kekerasan, maka TNI hanya akan
kembali menjadi “negara dalam negara”.
3. TNI harus tunduk pada otoritas sipil yang demokratis. TNI harus
tunduk pada penegakkan hukum, termasuk proses peradilan hak asasi
manusia. TNI harus dipimpin oleh seseorang yang cerdas, yang
mampu menempatkan diri dalam perwujudan masyarakat yang
demokratis, menjunjung supremasi sipil, dan konstitusional.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Dewi Fortuna. dkk. Gus Dur Versus Militer: Studi tentang Hubungan
Sipil-Militer di Era Transisi. Jakarta: PT. Grasindo, 2002.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Azca, M. Najib. Ketika Moncong Senjata Ikut Berniaga: Laporan Penelitian
Tim Kontras Mengenai Keterlibatan Militer Di Bojonegoro, Boven Digoel
dan Poso. Jakarta: Kontras, 2004.
Bachtiar, Harsja. Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Darat. Jakarta: Djembatan, 1988.
Bakrie, Connie Rahakundini. Pertahanan Negara Dan Postur TNI Ideal.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007.
Bhakti, Ikrar Nusa, “Militer dan Parlemen di Indonesia.” dalam Panduan
Parlemen Indonesia. Jakarta: Yayasan API, 2001.
________________. dkk. Tentara Mendamba Mitra: Hasil Penelitian LIPI
tentang Pasang Surut Keterlibatan ABRI dalam Kehidupan Kepartaian di
Indonesia. Bandung: Mizan, 1999.
________________. dkk. Tentara Yang Gelisah: Hasil Penelitian YIPIKA
Tentang Posisi ABRI Dalam Gerakan Reformasi. Jakarta: Mizan, 1999.
Britton, Peter. Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia Perspektif
Tradisi-Tradisi Jawa dan Barat. Jakarta: LP3ES, 1996.
Cholisin. Militer dan Gerakan Prodemokrasi, Studi Analisis tentang Respons
Militer terhadap Gerakan Prodemokrasi di Indonesia. Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2002.
Chrisnandi, Yuddy. Kesaksian Para Jenderal: Sekitar Reformasi Internal dan
Profesionalisme TNI. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006.
Crouch, Harold. Militer dan Politik Di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1999.
Desch, Michael C. Politisi VS Jenderal: Kontrol Sipil atas Militer di Tengah
Arus yang Bergeser. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.
Diamond, Larry. Developing Democracy: Toward Consolidation, terjemahan
dengan judul yang sama, Yogyakarta: IRE, 2003.
Dogan, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Lembaga Pengkajian
Kebudayaan Nusantara, 1997.
Eko, Sutoro, “Demiliterisasi dan Demokratisasi.” dalam Arie Sujitno dan
Sutoro Eko, ed. Demiliterisasi, Demokratisasi, dan Desentralisasi.
Yogyakarta: IRE Press, 2002.
Fatah, Abdoel. Demiliterisasi Tentara: Pasang Surut Politik Militer 1945-2004.
Yogyakarta: LKiS, 2005.
Feith, Herbert, Tim PSH, Terj. Soekarno dan Militer dalam Demokrasi
Terpimpin. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Gerung, Rocky. “Tentara, Politik, dan Perubahan.” dalam Lukas Luwarso
dan Imran Hasibuan. Indonesia di Tengah Transisi. Jakarta: Propatria,
2000.
Habib, A. Hasnan. “Hubungan Sipil Militer Pasca Orde baru dan
Prospeknya di Masa Depan.” Progresif, Vol II No. 1. Jakarta Political
Science Forum FISIP UI, 2002.
_______________, “Peranan ABRI Selama Perjuangan Reformasi.” dalam
Selo Soemardjan, ed. Kisah Perjuangan Reformasi. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 1999.
Hadiz, Vedi R. Dinamika Kekuasaan, Ekonomi-Politik Indonesia PascaSoeharto. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005.
Hanafie, Haniah. Hand Out Mata Kuliah: Kekuatan-Kekuatan Politik.
Jakarta: 2007
Handojo, Sukardi S. Hadi, ed. 30 tahun Angkatan bersenjata republik
Indonesia. Jakarta: Pusjarah ABRI, 1976.
Huntington, Samuel P. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 1995.
__________________, “Mereformasi Hubungan Sipil-Militer.” dalam Larry
Diamond dan F. Plattner ed. Hubungan Sipil Militer dan Konsolidasi
Demokrasi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
Kadi, Saurip. TNI- AD: Dahulu, Sekarang dan Masa Depan. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 2000.
Kahfie, Syahdatul. “Peran Militer Indonesia: Tuntutan atau Kepentingan.”
PROGRESSIF Vol. II, no. 1 Jakarta: Political Science Forum FISIP UI,
2002.
Karim, Muhammad Rusli. Peranan ABRI dalam Politik dan Pengaruhnya
terhadap Pendidikan Politik di Indonesia 1965-1979. Jakarta: Haji
Masagung, 1989.
Lane, Max. Bangsa Yang Belum Selesai: Indonesia, Sebelum dan Sesudah
Soeharto. Jakarta: Reform Institute, 2007.
Mabes ABRI, Sukardi S. Hadi Handojo, ed. 30 tahun Angkatan bersenjata
republik Indonesia. Jakarta: Pusjarah ABRI, 1976.
Mahdi, A. Dinajani S.H. Peran Sosial Politik ABRI dalam Era Reformasi:
Kertas Karya Perorangan (Taskap) Kursus Singkat Angkatan VII
Lemhanas 1998. Jakarta: Dept. Pertahanan Keamanan RI dan
Lemhanas, 1998.
Makalah Hasil Seminar ABRI. Peran ABRI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi,
dan Reaktualisasi Peran ABRI dalam Kehidupan Bangsa. Bandung:
Mabes TNI, 1998.
Markas Besar TNI. Bunga Rampai Paradigma Baru. Jakarta: Staff
Komunikasi TNI, 2003.
Markas Besar TNI. Implementasi Paradigma Baru TNI dalam Berbagai
Keadaan Mutakhir. Jakarta: Mabes TNI, 2001.
Muhaimin, Yahya. Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 19451966. Yogyakarta: Gadjah Mada University, 1982.
Nasikun. ”Konsosiasionalisme dan Transisi Demokrasi dalam Masyarakat
Majemuk.” dalam A. E. Priyono, Stanley Adi Prasetyo, dan Olle
Tornquist ed. Gerakan Demokrasi di Indonesia Pasca Soeharto. Jakarta:
Demos, 2003.
Nasution, A.H. Memenuhi Panggilan Tugas. Jakarta: Gunung Agung, 1982.
Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia:
Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959. Jakarta: Grafiti, 1995.
Nordlinger, Eric A. Militer dalam Politik. Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Notosusanto, Nugroho ed. Pejuang dan Prajurit, Konsepsi dan Implementasi
Dwifungsi ABRI. Jakarta: Sinar Harapan, 1984.
Perlmutter, Amos. Militer dan Politik. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2000.
Rinakit, Sukardi. dalam “Tentara Nasional Indonesia Sudah Melempar
Dadu.” sebagai Kata Pengantar Buku Yuddy Chrisnandi. Kesaksian
Para Jenderal: Sekitar Reformasi Internal dan Profesionalisme Tentara
Nasional Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2006.
Sadli, M. Bila Kapal Mempunyai Dua Nakhoda: Esai-Esai Ekonomi Politik Masa
Transisi. Jakarta: Alvabet, 2002.
Said, Salim. Militer Indonesia dan Politik: Dulu, Kini dan Kelak. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2001.
Said, Salim. Tumbuh dan Tumbangnya Dwifungsi: Perkembangan Pemikiran
Politik Militer Indonesia 1958-2000. Jakarta: Aksara Kurnia, 2002.
Samego, Indria. TNI Di Era Perubahan. Jakarta: Erlangga, 2000.
Sanit, Arbi. Partai, Pemilu dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1997.
, Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik,
dan Pembangunan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003
Schmitter, Philippe C, dan Guillermo O’Donnell. Transisi Menuju
Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan Ketidakpastian. Jakarta:
LP3ES., 1993.
Sejarah TNI Jilid II 1950-1959. Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi TNI,
2000.
Sejarah TNI Jilid III 1960-1965. Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi TNI,
2000.
Singh, Bilveer. Dwi Fungsi ABRI: Asal Usul, Aktualisasi, dan Implikasinya
bagi Stabilitas dan Pembangunan. Robert Hariono Imam penerjemah,
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Sitepu, P. Anthonius. “Militer dan Politik: Suatu Tinjauan terhadap Peranan
Militer dalam Konfigurasi Politik Indonesia Kontemporer.” dalam
POLITEIA Jurnal Ilmu Politik Medan: Departemen Ilmu Politik dan
Labotarium Politik Fisip Universitas Sumatera Utara, 2006.
Soebijono, dkk. Dwi Fungsi ABRI: Perkembangan dan Peranannya dalam
Kehidupan Politik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1995.
Soebiyanto. Catatan-catatan tentang Dwifungsi dan kekaryaan ABRI. dalam
Diktat Kursus Pembinaan Mental ABRI. Dephankam: Pusat
pembinaan mental ABRI, 1976.
Stepan, Alfred C dan Linz, Juan J. “Mendefinisikan dan Membangun
Demokrasi.” dalam Ikrar Nusa Bhakti. dan Riza Sihbudi. ed. Menjauhi
Demokrasi Kaum Penjahat. Bandung: Mizan-LIPI-Ford Foundation,
2001.
Stepan, Alfred C. Bambang Cipto Penerjemah, Militer dan Demokrasi:
Pengalaman Brasil dan Beberapa Negara Lain. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1996.
Sundhansen, Ulf. Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi
ABRI. Jakarta: LP3ES, 1986.
Suryadinata, Leo. Golkar dan Militer: Studi tentang Budaya Politik. Jakarta:
LP3ES, 1992.
Widodo, Cerdik Menyusun Proposal Penelitian Skripsi, Tesis, dan Disertasi.
Jakarta: Magna Script, 2004.
Widoyoko, Danang, dkk. Bisnis Militer Mencari Legitimasi. Jakarta:
Indonesian Corruption Watch, 2003.
Wirahadikusumah, Agus. “Reformasi TNI.” dalam Agus Wirahadikusumah,
dkk. Indonesia Baru dan Tantangan TNI: Pemikiran Masa Depan.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999.
Zen, Kivlan. Konflik dan Integrasi TNI-AD. Jakarta: Institue for Policy
Studies, 2004.
Berita, artikel koran dan website
Chrisnandi, Yuddy. “Hubungan Sipil-Militer dan 'Otoritas' TNI yang Dikebiri.”
Republika, 5 Oktober 2004.
________________. “Militer Ditengah Kemelut Politik.” diakses dari www.
dephan.go.id.
Fathulbari, Ahmad. “Peranan Militer Dalam Politik”. Diakses dari
http://ahmadfathulbari.multiply.com/journal/item/40/Catatan_Kuliah_Peran
an_Militer_dalam_Politik_
Haramain, A. Malik. “Demokrasi dan Supremasi Sipil.” Kompas, Kamis, 8
November 2001.
Misol, Lisa. “Kuasa Militer Indonesia: Antara Bisnis, Politik Dan Kekerasan,”
Jakarta Post, 14 Maret, 2006.
Prasetyono, Edy. “Supremasi Sipil dan Profesionalisme TNI.” Kompas, Selasa, 05
Oktober 2004.
Suyanto, Djoko. “TNI Profesional dan Dedikatif.” Kompas, 5 Oktober 2006.
“KSAD: Anggota TNI Jangan Berpolitik Praktis.” artikel dimuat pada
Rabu 16 April 2008, dari www.okezone.com.
“Presiden: TNI Jangan Berpolitik Selasa:
diperdebatkan.” Republika,14 Februari 2006.
Hak
pilih
TNI
masih
“Supremasi Sipil atas Militer Bukan Balas Dendam Politik.” Kompas,
Minggu, 23 April 2000.
Download