representasi militer dalam film generasi biru

advertisement
REPRESENTASI MILITER DALAM FILM GENERASI BIRU
Oleh: Pandu Wicaksono (070517610)
[email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini meneliti tentang bagaimana penggambaran militer dalam film “Generasi
Biru”. Mengabdi kepada Negara dalam artian militer mempunyai tanggung jawab menjaga
stabilitas keamanan dari luar maupun dalam negri. Namun faktanya kerap terjadi konflik yang
mengakibatkan militer dan masyarakat sipil saling bermusuhan. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif dan menggunakan metode analisis
semiotic dengan teori milik Pierce. Unit analisis pada penelitian ini yaitu teks gambar yang
terdiri dari adegan ynag menggambarkan sosok miliiter pada film Generasi Biru. Hasil penelitian
ini menggambarkan bahwa sosok militer tidak digambarkan sebagaimana perannya yang
mempunyai tugas dan kewajiban sebagai pelindung masyarakat. Militer disini juga digambarkan
sering dijadikan sebagai alat untuk suatu kepentingan. Dalam artian militer digambaran ikut
berpatisipasi dalam dunia politik. Hal tersebut membuktikan bahwa militer tidak menjalankan
perannya sebagai militer profesional.
Kata Kunci: Semiotik, representasi, militer, film.
PENDAHULUAN
Militer adalah angkatan bersenjata dari suatu Negara dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan angkatan bersenjata yang terdiri atas prajurit atau serdadu. Militer juga
sebuah organisasi yang diberi otoritas oleh organisasi diatasnya (negara) untuk menggunakan
kekuatan yang mematikan untuk membela/mempertahankan negaranya dari ancaman actual
ataupun hal-hal yang dianggap ancaman.
Sedangkan di Indonesia, yang disebut militer adalah TNI (Tentara Nasional Indonesia),
yaitu organisasi yang merupakan kekuatan bersenjata dan yang harus menjaga kedaulatan negara
Republik Indonesia. Anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia) sendiri terdiri dari masyarakat
Indonesia, jadi yang menjadi TNI adalah seluruh Rakyat yang sedang bertugas sebagai kekuatan
bersenjata untuk membela Negara.1 Menilik dari sejarahnya, Tentara Nasional Indonesia (TNI)
merupakan perkembangan organisasi yang berawal dari Badan Keamanan Rakyat (BKR),
selanjutnya pada tanggal 5 Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan untuk
memperbaiki susunan yang sesuai dengan dasar militer international, dirubah menjadi Tentara
Republik Indonesia (TRI). Selanjutnya usaha pemerintah untuk menyempurnakan tentara
1
http://www.detik.com/berita/199905/sayidiman.html
1
kebangsaan terus berjalan, dipersatukanlah dua kekuatan bersenjata yaitu TRI sebagai tentara
regular dan badan-badan perjuangan rakyat, maka pada tanggal 3 Juni 1947 Presiden
mengesyahkan dengan resmi berdirinya Tentara Nasional Indonesia (TNI).2
Setelah terbentuknya Tentara Nasional Indonesia (TNI), disepakati ada empat jati diri
TNI, yaitu:
a. Tentara Rakyat, yaitu tentara yang anggotanya berasal dari warga negara Indonesia;
b. Tentara Pejuang, yaitu tentara yang berjuang menegakkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan tidak mengenal menyerah dalam melaksanakan dan menyelesaikan
tugasnya;
c. Tentara Nasional, yaitu tentara kebangsaan Indonesia yang bertugas demi
kepentingan negara di atas kepentingan daerah, suku, ras, dan golongan agama; dan
d. Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik,
tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti
kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi
manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.3
Militer profesional, sebuah istilah yang sering dikemukakan oleh Samuel P. Huntington
adalah gambaran militer yang memiliki spesifikasi keahlian di bidang pertahanan, memiliki
tanggung jawab sosial yaitu mengabdi kepada negara atau dengan kata lain memperhatikan
kepentingan nasional, dan memiliki karakter korporasi sehingga melahirkan esprit de corps yang
kuat.4 Huntington juga melihat ada 3 aspek yang harus diperhatikan dalam militer yang
professional.Adapun 3 aspek yang dikemukakan Huntington adalah militer harus mempunyai
keahlian, tanggung jawab sosial, dan kelompok/lembaga.
Ketiga ciri militer profesional tersebut melahirkan apa yang Huntington sebut dengan the
military mind yang menjadi dasar bagi hubungan militer dan Negara. Yang dimaksud dengan
the military mind adalah suatu ideology yang berisi pengakuan militer professional terhadap
supremasi sipil.Negara yang kuat hanya mungkin jika ada kekuatan militer yang kuat, tapi
2
http://www.tni.mil.id/
Ibid
4
Samuel P. Huntington, The Soldier and the State: The Theori and Politics Civil-military Relations, Hacard
University Press, Cambridge, 1957
3
2
kekuatan militer ini adalah abdi Negara.5 Oleh karena itu Huntington menyatakan, semakin
tinggi tingkat profesionalisme militer harus semakin jauh dari politik.Militer yang profesional
harus selalu siap sedia melaksanakan putusan politik yang dilakukan oleh politisi sipil dan yang
mempunyai legitimasi politik.
Sosok militer pun sering diangkat dalam sebuah karya audio visual atau film,
dikarenakan film merupakan salah satu representasi dari realitas yang ada di masyarakat, dan
sosok militer merupakan salah satu organisasi yang di semua Negara mempunyai sejarah tentang
terbentuknya militer yang berbeda–beda. Contohnya film besutan sutradara Usmar Ismail yaitu
“Enam Djam di Jogja” (1951), lalu dibuat ulang lagi dalam film "Janur Kuning" (1979) dan
"Serangan Fajar" (1981). Film tersebut menceritakan kota Yogyakarta yang pada saat itu
diduduki Belanda (Desember 1948), pasukan Republik Indonesia melakukan perang gerilya.
Pada suatu ketika Yogya diserbu dan bisa diduduki, walau cuma selama enam jam. "Serangan
Oemoem" pada 1 Maret 1949 itu sekedar menunjukkan kepada dunia internasional, bahwa RI
masih punya kekuatan, dan tidak hancur walaupun dipropagandakan Belanda.6
Film yang mengangkat sosok militer pun kerap diproduksi di perusahaan film luar
negeri.7 Di pertengahan dekade 1980-an, ada titik balik dalam industri film Amerika Serikat. Di
era ini, industri Hollywood bersama pemerintah dan militer Amerika Serikat bekerja sama dalam
memproduksi film-film yang menarasikan kepahlawanan dan patriotisme militer Amerika
sekaligus menjadi klaim pembenaran atas keterlibatan militer Amerika Serikat dalam berbagai
operasi militer.8 Contoh beberapa film Hollywood yang mengangkat tema militer, adalah “Top
Gun” yang dibintangi Tom Cruise, film “Missing In Action” (1984-1986) yang dibintangi Chuck
Norris, menceritakan kemenangan serdadu Amerika Serikat di medan perang Vietnam. Selain itu
ada film “Rambo” yang diproduksi hingga 4 episode, diawali dengan Rambo1: “First Blood”
(1982), “First Blood II” (1985), Rambo III (1988), dan sekuel ke 4 tahun 2008. Yang mana ke
empat film Rambo tersebut diperankan oleh Sylvester Stallone. Beberapa film di atas
menggambarkan perjalanan kembali ke Vietnam dari sebuah tim mantan veteran, atau dari
seorang veteran pahlawan super seperti Rambo, untuk menyelamatkan sekelompok tentara
5
Ibid, Huntington, hal 79
http://indonesiancinematheque.com/2010/04/revolusi-dalam-film-film-indonesia.html
7
Junaedi, Fajar (2012). Menyulap Kekalahan Operasi Militer AS dalam Film Hollywood & Layar TV. Yogyakarta,
Mata Padi Presindo
8
Ibid
6
3
Amerika yang “hilang dalam tugas” (“missing in action”) yang masih dipenjara oleh tentara
Vietnam dan para sekutu Soviet mereka yang jahat.9
Walaupun film tersebut tidak sesuai dengan kenyataannya, bahwa Amerika Serikat telah
gagal melakukan operasi militer di Vietnam, Dimana pada saat itu pasukan militer Amerika
membantu tentara Vietnam Selatan menghadapi serangan pasukan gerilya komunis Vietnam
Selatan yang dikenal dengan sebutan Vietcong yang didukung oleh Vietnam Utara. 10 Namun
film Rambo merupakan salah satu film sukses di zamannya. Film tersebut dibuka di 2074
gedung bioskop, rekor tertinggi pada masa itu, dan mendapatkan pendapatan kotor pembukaaan
terbesar ketiga dalam sejarah perfilman: $32.548.262 dalam enam hari pertamanya (New York
Times, 30 Mei 1985.
Kali ini sosok militer diangkat kembali dalam karya sutradara Garin Nugroho. Generasi
Biru, merupakan film yang menyajikan potret realita Indonesia dan ke-Indonesiaan dari kaca
mata grup band Slank, yang didalamnya banyak unsur sosial, budaya, dan juga mengangkat
sosok militer. Namun film ini disajikan dengan konsep yang berbeda, film besutan Garin
Nugroho beserta dua sutradara lainnya yaitu John De Rantau dan Dosy Omar ini berkonsepkan
semi dokumenter, teater, musikal serta animasi. Mereka menyulap film tersebut menjadi film
yang sangat berbeda dan cukup idealis jika ditampilkan di Indonesia. Film ini menceritakan
kisah perjalanan grup band Slank selama perjalanan karirnya. Tidak hanya itu, lagu-lagu Slank
yang sering mengangkat tema kehidupan sosial, politik, serta kehidupan sehari-hari dituangkan
melalui lirik-lirik lagunya sekarang di tampilkan melalui karya audio visual. Pada film ini Garin
selaku sutradara memperlihatkan sejumlah fragmen yang kerap disisipi footage maupun
testimonial dari slankers terhadap kiprah Slank. Untuk memperkuat cerita setiap fragmen, Garin
mencomot sekitar 15 lagu Slank. Penyajian fragmen yang dilakukan seperti merangkai sebuah
sindiran atas situasi Indonesia pada saat itu. Dengan tampilan dan alur cerita seperti itu sekaligus
menjadi jembatan untuk menyajikan kisah-kisah personal yang dialami setiap personel Slank
sepanjang 25 tahun perjalanan grup musik ini.11
Pesan atau ide yang disampaikan melalui musik atau lagu biasanya memiliki keterkaitan
dengan konteks historis. Muatan lagu tidak hanya sebuah gagasan untuk menghibur, tetapi
9
Kellner, Douglas (2010). Budaya Media: Cutural Studies, Identitas, dan Politik antara Modern dan Postmodern.
Yogyakarta: Jalasutra, Hal:86
10
Ibid, Fajar Junaedi, hal: 18
11
http://www.Slank.com/en/about_en.htm
4
memiliki pesan moral atau idealisme atau sekaligus memiliki kekuatan ekonomis. Seperti halnya
Slank, merupakan salah satu kelompok musik yang menerjemahkan realitas sosial, politik,
budaya, alam, dan dunia pendidikan yang kerap melanda bangsa Indonesia dengan bahasa anak
muda yang dituangkan ke dalam musik ala Slank. Perpaduan musik pop, blues, reggae dan
rock’s menjadi ciri musik slank dan tidak cengeng. Selanjutnya, Slank lebih menawarkan musik
yang sederhana dan kritis terhadap suatu hal, mulai dari pesan kritik, sindiran dan pesan moral
yang kerap mereka lontarkan.
Dilatar belakangi fenomena tersebut peneliti ingin melihat bagaimana representasi
militer yang digambarkan dalam film “Generasi biru”. Mulai dari tema yang diusung melalui
lirik lagu Slank lalu divisualisasikan dengan penyajian konsep berbeda yang disajikan oleh Garin
Nugroho, John De Rantau serta Dosy Omar membuat peneliti untuk menemukan penggambaran
militer seperti apa yang dimunculkan dalam film “Generasi Biru”. Selain itu Peneliti berharap
penelitian ini dapat menjadi salah satu data yang menghasilkan gambaran mengenai militer dan
mengerti apa nilai-nilai yang ditampilkan dalam film ini sehingga dapat dikaji ulang tentang efek
yang mungkin ditimbulkan dari representasi tersebut, serta mampu menambah kajian-kajian
mengenai Ilmu Komunikasi selanjutnya khususnya dalam bidang kajian sinema.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, di mana pendekatan ini diarahkan
untuk mengungkap aspek-aspek penyusunan sebuah teks dalam suatu media. Tipe penelitian
deskriptif digunakan peneliti untuk memaparkan bagaimana militer direpresentasikan dalam film
Generasi Biru. Sedangkan untuk menganalisis konsep militer dalam film Generasi Biru, peneliti
menggunggunakan metode semiotik yang dibuat Peirce, dimana Peirce mengemukakan teori
segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign),
object, dan interpretant. Data yang digunakan untuk memperoleh hasil penelitian berupa
representasi militer dalam film Generasi Biru didapatkan melalui tanda-tanda yang muncul
dalam adegan yang merepresentasikan militer mulai dari Simbol (tanda yang muncul dari
kesepakatan), Ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul
dari hubungan sebab-akibat).
5
PEMBAHASAN
Representasi Militer dalam Tokoh Jendral Nambe
Pada film Generasi biru, digambarkan dalam negri antah berantah terdapat satu sosok
penguasa yaitu Jendral Nambe. Jendral Nambe adalah sosok penguasa yang digambarkan penuh
dengan sifat otoriter. Dalam film tersebut digambarkan sosok Jendral Nambe mempunyai kuasa
penuh dalam megambil keputusan, disetiap ucapan jendral yang tidak jelas mampu membakar
semangat para orang-orang berseragam. Yang dimaksud orang-orang berseragam tersebut adalah
bawahan Jendral yang selalu mengiringi dimana Jendral pergi. Mereka selalu melangkah
bersama, berbaris, sambil berteriak penuh semangat. Dan diperlihatkan sebagian orang
berseragam yang memegang senjata dan mengacungkan senjatanya kearah udara, seakan ingin
menunjukkan kekuasaanya.
Dalam scene tersebut, dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin khususnya pemimpin
sebuah pemerintahan militer memiliki kekuasaan penuh dalam mengambil keputusan. Seperti
yang dikemukakan Ninik Widiyanti, yaitu gaya kepemimpinan pemerintahan militer ini memiliki
karakteristik yang menjelaskan bahwa dalam pemerintahan militer, untuk menggerakkan
bawahannya digunakan system perintah yang biasa digunakan dalam ketentaraan, gerak geriknya
senantiasa tergantung kepada pangkat dan jabatannya senang akan formalitas yang berlebihberlebihan, menuntut disiplin keras dan kaku dari bawahannya, senang akan upacara-upacara
untuk berbagai-bagai keadaan dan tidak menerima kritik dari bawahannya dan lain sebagainya.
Di scene berikutnya, Jendral Nambe lagi-lagi menunjukkan kekuasaannya melalui
pemilihan umum. Jendral mengerahkan beberapa pasukannya untuk memaksa masyarakat antah
berantah untuk mencoblosnya di pemilihan umum ssaat itu. dengan menggunakan senjata dan
kekuasaanya sang Jendral beserta pasukannya memanfaatkan keadaan tersebut untuk
mempertahankan kedudukannya sebagai penguasa tertinggi dalam negri antah berantah.
Dari beberapa cuplikan adegan diatas, pasti kita teringat pada masa kekuasaan
Soeharto,pada masa itulah dapat dikatakan masa keemasan militer. Militer mendapatkan
legitimasi sebagai penopang kekuasaan Soeharto dengan konsep Dwifungsi ABRI, yaitu yang
pertama sebagai alat pertahanan dan keamanan atau fungsi hankam Negara dan sebagai kekuatan
sosial (politik) atau fungsi non-hankam. Bukan menjadi persoalan apabila hanya melihat pada
6
fungsi pertama namun menjadi perdebatan dengan fungsi kedua karena ini mendorong
militerisasi dan militerisme.12
Salah satu jenderal, Letjen TNI (Purn) A. Hasnan Habib membahas dua fungsi militer
yaitiu sebagai alat pertahanan dan keamanan, tentara Negara adalah alat negara yang
dikendalikan oleh pemerintah yang sah, dan merupakan inti dari sistem hankamrata (sama
dengan fungsi angakatan perang lainnya di dunia). Namun dalam menjalankan fungsi yang
kedua yaitu kekuatan sosial dan politik ABRI bukanlah alat negara atau alat pemerintah
melainkan salah satu dari kekuatan sosial politik dalam masyarakat Indonesia. Pada masa
pemerintahannya, Soeharto berusaha meletakkan pondasi kekuatannya dengan menguatkan
kekuasaan atas ABRI, dengan membersihkan unsur Soekarno, misalnya dengan meletakkan
kekuasaan ABRI dalam komandonya, Soeharto terutama menjadikan ABRI dalam satu
komando, yakni Angkatan Darat (AD).13
Soeharto didukung oleh militer semata demi melanggengkan kekuasaannya, juga
ditopang oleh birokrasi dan partai politik dalam hal ini adalah golkar. Ada beberapa cara yang
digunakan oleh penguasa untuk menancapkan hegemoninya. Pertama, menggunakan kharisma
yang dimiliki oleh pemimpin mereka. Kedua, membentuk dan memperkuat organisasi angkatan
bersenjata, polisi, gerakan, birokrasi, partai politik. Ketiga, mengembangkan suatu ideology
tertentu (missal, pancasila). Keempat, memberikan hadiah atau imbalan kepada kroninya atau
pada orang yang dipercayai. Kelima, mengintimdasi lawan atau kawan
yang diragukan
keperayaannya. Keenam, membangun perekoniman domestik. Ketujuh, memperluas partisipasi
politik. Kedelapan, memanfaatkan kebijakan luar negeri. Dalam hal ini Soeharto berhasil
mengoptimalkan strategi kedua, keempat, dan kelima.
Seperti Jendral Nambe, sang jendral di antah berantah tersebut juga menggunakan
strategi untuk menancapkan hegemoninya. Terlihat dari cuplikan gambar diatas yaitu sang
jendral mempunyai anggota/pasukan militer yang kuat, hingga dalam mempertahankan posisinya
tidaklah sulit.
Dari sedikit cupilikan scene/adegan diatas, jenis militer yang digambarkan dalam film
tersebut merupakan jenis militer pretorian. Ada tiga jenis organisasi militer yang timbul di dalam
Negara/bangsa yang modern. Masing-masing bertindak sebagai reaksi terhadap jenis kekuasaan
12
13
Tim Peneliti Yayasan Insan Politika, 1999, Tentara yang Gelisah; Hasil penelitian YIPIKA
Crouch, Harold, 1986, Militer dan Politik di Indonesia, Sinar Harapan Indonesia, Jakarta.hal346
7
sipil yang dilembagakan. Ketiga jenis miter tersebut adalah, professional klasik, menonjol di
dalam system-sistem politik yang stabil. Kedua jenis pretorian, berkembang subur dalam
lingkungan ketidakstabilan politik. Dan yang terakhir jenis revolusioner manunggal, dengan
suatu orde politik yang stabil sekalipun asal-usulnya datang dari suatu system politik yang tidak
stabil, yang kebetulan sedang mengalami kemunduran atau memang baru.
Representasi Militer dalam Fenomena Sosial pada Film Generasi Biru
Selain ditampilkan dalam bentuk teater, musical, animasi film ini menyisipkan sedikit
scene berupa documenter. memperlihatkan dimana tragedi semanggi pada tahun 1998. Dimana
tragedy semanggi I terjadi pada tanggal 11 -13 november 1998 di masa pemerintah transisi
Indonesia, yamg menyebabkan 17 warga sipil meninggal, tragedi semanggi II terjadi pada
tanggal 24 September 1999, yang membuat seorang mahasiswa dan sebelas lainnya meninggal
serta 217 korban luka. Setelah soeharto turun tahta, pemerintahan transisi Indonesia mengadakan
Sidang Istimewa untuk membahas Pemilu berikutnya, serta membahas agenda pemerintahan
transisi. Mahasiswa kembali turun ke jalan karena mereka tak mengakui pemerintahan BJ
Habibie dan tak percaya kepada para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak agar
militer tersingkir dari dunia politik. Intinya, ingin pemerintahan bersih dari orang – orang Orde
Baru. Masyarakat bersatu dengan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 serta menentang
Dwifungsi ABRI/TNI.
Mahasiswa menentang Dwifungsi ABRi yang di berlakukankan sejak era Orde Baru
karena tidak sesuai dengan apa yang menjadi kewajiban militer professional. Dimana jati diri
seorang TNI adalah menjadi militer yang professional, yaitu militer tentara yang terlatih,
terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin
kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi,
supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang
telah diratifikasi.14
Dari tragedy tersebut banyak sekali korban yang hilang. Beberapa nama yang masuk
dalam daftar orang hilang di antaranya adalah: Andi Arief, Ketua Solidaritas Mahasiswa
Indonesia untuk Demokrasi (Organisasi di bawah Partai Rakyat Demokrasi) yang hilang di
Bandar Lampung, terakhir diketahui berada di tahanan Markas Besar Kepolisian, Jakarta. Namun
pada tanggal 17 April 1998 sudah kembali/dilepaskan; Herman Hendrawan hilang pada 12 Maret
14
http://www.tni.mil.id/
8
1998; Faizol Riza, hilang pada 12 Maret 1998, kini sudah kembali/dilepaskan; Rahardjo Waluyo
Djati, hilang pada 12 Maret 1998, tetapi kini sudah kembali/dilepaskan; Nezar Patria, hilang
pada tanggal 12 Maret 1998, terakhir berada di tahanan Polda Metro Jaya, Jakarta, namun
dilepaskan; Mugianto, hilang pada tanggal 4 Februari 1998, kini sudah dilepaskan; Bimo Petrus,
hilang pada minggu pertama Maret 1998; Yani Avri, hilang pada 26 April 1997, terakhir sudah
dilpeaskan dari tahanan Kodim Jakarta Utara; Sonny, hilang pada tanggal 26 April 1997; Deddy
Omar Hamdun, suami Eva Arnaz; Noval Alkatiri, hilang pada 29 Mei 1997; M. Yusuf, hilang
pada 29 Mei 1997; Yadin Muhidin dan Hendra Hambalie, hilang pada 14 Mei 1998; Ucok
Munandar Siahaan hilang pada 4 mei 1997; A. Nasir hilangsejak 14 April 1998. Sementara yang
hilang terkait perkara politik, antara lain karena peristiwa pembantaian Santra Cruz, Prahara 27
Juli 1996, dan beberapa lainnya karena terkait dengan sebutan Gerakan Pengacau Keamanan
Aceh dan Peristiwa Tanjung Priok 1984. Selain itu, dalam kaitannya dengan peristiwa G30S/PKI
pada tahun 1965-1966 ribuan orang hilang, sebagian besar dibunuh dan tidak diketahui
kuburnya.
KESIMPULAN
Pada film Generasi Biru, militer direpresentasikan sebagai sosok yang mempunyai kuasa
penuh dalam kehidupan sehari-hari. Dimana digambarkan dalam film tersebut sosok jendral yang
mempunyai kekuasaan dan mempunyai banyak pengawal itu mempunyai keinginan yang tidak
bisa di tolak oleh siapapun dan sangat otoriter. Semua yang diminta harus selalu dilaksanakan
pengawalnya. Serta siapa yang menentangnya akan langsung di tahan oleh para pengawalnya
dan diberi hukuman.
Pembentukan representasi militer dalam film ini dipengaruhi oleh konteks diluar film
tersebut, dalam arti fenomena social yang terjadi de kehidupan nyata. Fenomena militer yang
terjadi adalah ketika militer dianggap tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai militer
professional dikarenakan adanya kebijakan Dwifunsi ABRI dimana ABRI berperan ganda selain
menjaga stabilitas keaman Negara juga terjun ke dunia politik. Sehingga film ini
menggambarkan apa yang terjadi pada militer di Indonesia.
Selain itu peneliti juga menyimpulkan bahawa sosok militer yang direpresentasikan
dalam film Generasi Biru jauh dari konsep militer professional. Dimana militer adalah tentara
yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan
9
dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip
demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum
internasional yang telah diratifikasi. Di film ini digambarkan sebaliknya, bahwa militer
digambarkan ikut berpatisipasi dalam dunia politik, sering melakukan pelanggaran HAM dan
tidak memberikan keadilan bagi para korban dan keluarganya.
DAFTAR PUSTAKA
Samuel P. Huntington, The Soldier and the State: The Theori and Politics Civil-military
Relations, Hacard University Press, Cambridge, 1957
Junaedi, Fajar (2012). Menyulap Kekalahan Operasi Militer AS dalam Film Hollywood & Layar
TV. Yogyakarta, Mata Padi Presindo
Kellner, Douglas (2010). Budaya Media: Cutural Studies, Identitas, dan Politik antara Modern
dan Postmodern. Yogyakarta: Jalasutra, Hal:86
Tim Peneliti Yayasan Insan Politika, 1999, Tentara yang Gelisah; Hasil penelitian YIPIKA
Crouch, Harold, 1986, Militer dan Politik di Indonesia, Sinar Harapan Indonesia, Jakarta.hal346
http://www.detik.com/berita/199905/sayidiman.html
http://www.tni.mil.id/
http://indonesiancinematheque.com/2010/04/revolusi-dalam-film-film-indonesia.html
http://www.Slank.com/en/about_en.htm
10
Download