BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gaya Manajemen Konflik 1. Pengertian Gaya Manajemen Konflik Gaya manajemen konflik, menurut Rahim (2002), adalah suatu upaya untuk mendiagnosis dan mengintervensi sekaligus mengatasi konflik afektif dan substantif dalam tingkatan interpersonal, intragrup, dan antarkelompok. Intervensi yang dimaksud adalah untuk menekan perkembangan konflik substantif dan mengurangi konflik afektif dalam berbagai tingkatan. Thomas (Hendel, Fish, & Galon, 2005) menambahkan bahwa gaya manajemen konflik dideskripsikan sebagai suatu usaha untuk mengatasi konflik dengan melibatkan sikap asertif dan kooperatif dalam berbagai tingkatan. Hendel, Fish, dan Galon (2005) mengemukakan bahwa pemilihan gaya manajemen konflik berhubungan dengan efektivitas pengelolaan konflik itu sendiri. Gaya manajemen konflik, selain merupakan upaya penyelesaian konflik, juga adalah upaya untuk meminimalisir, mengeliminasi, atau membatasi durasi dari konflik tersebut (Spaho, 2013). Rahim (Safitri, Burhan, & Zulkarnain, 2013) menerangkan pula bahwa gaya manajemen konflik merupakan usaha untuk mengelola konflik yang tidak hanya berfokus pada menghindari, mengurangi, atau menghilangkan konflik, 10 namun juga melibatkan perancangan strategi yang dapat membuat konflik justru mendapat perolehan insight dalam pengembangan personal. Prause dan Mujtaba (2015) juga menyatakan bahwa tujuan utama dari gaya manajemen konflik adalah untuk menciptakan suasana positif dan bebas konflik, menemukan solusi yang lebih baik untuk suatu masalah, dan mempertahankan hubungan kekeluargaan dengan orang lain. Karena konflik tidak selalu berakibat negatif, dipastikan ada suatu gaya manajemen konflik untuk menstimulasi konflik tersebut menjadi konflik yang konstruktif (Spaho, 2013). Pada intinya, gaya manajemen konflik dalam bentuk apapun adalah upaya untuk menyelesaikan dan meminimalisir konflik yang terjadi. Berdasarkan pendapat-pendapat mengenai manajemen konflik yang sudah dijabarkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa manajemen konflik adalah upaya untuk meredakan konflik yang terjadi dengan sikap asertif dan kooperatif. 2. Bentuk-bentuk Gaya Manajemen Konflik Thomas dan Kilmann (2007) menjabarkan beberapa gaya manajemen konflik yang banyak dilakukan orang-orang, di antaranya sebagai berikut: a. Kompetisi Kompetisi cenderung asertif dan tidak kooperatif, dan berbasis kekuasaan. Ketika berkompetisi, seseorang mengejar sesuatu yang ia pedulikan saja dengan biaya atau pengorbanan dari orang lain, menggunakan kekuasaan apapun yang sekiranya dibutuhkan untuk memenangkan posisinya. 11 Kompetisi dapat berarti mempertahankan hak-hak dan posisi yang diyakini benar, atau hanya sekedar mencoba untuk menang. b. Akomodasi Akomodasi cenderung tidak asertif tetapi kooperatif, hal yang berkebalikan dengan kompetisi. Ketika berakomodasi, seseorang mengabaikan kebutuhannya sendiri untuk memuaskan kebutuhan orang lain; dengan kata lain seseorang mengorbankan diri dalam gaya manajemen konflik ini. c. Kompromi Kompromi berada di tengah-tengah baik asertif maupun kooperatif. Ketika berkompromi, seseorang memiliki tujuan untuk menemukan solusi yang bijaksana dan dapat diterima yang sebagian dapat memuaskan kedua belah pihak. d. Penghindaran Gaya ini tidak asertif dan tidak kooperatif. Ketika menghindari suatu masalah, seseorang tidak segera menyelesaikan urusannya maupun urusan orang lain. Ia cenderung tidak memedulikan konflik yang terjadi. e. Kolaborasi Kolaborasi mencakup asertif dan kooperatif. Ketika berkolaborasi, kedua belah pihak mengusahakan agar kepentingan sendiri dan orang lain dapat terpenuhi sehingga ditemukan solusi yang memuaskan bagi keduanya. Hal ini juga termasuk menggali suatu masalah untuk mengidentifikasi 12 kebutuhan pokok kedua belah pihak untuk menemukan alternatif yang mencukupi bagi keduanya. Rahim (Safitri, Burhan, & Zulkarnain, 2013) menjabarkan lima gaya manajemen konflik, yaitu: a. Integrating Seseorang berfokus pada keuntungan maksimum dan seimbang bagi pihak-pihak yang terlibat pertikaian. Orang dengan gaya ini berfokus agar pihak-pihak yang terlibat dapat berpartisipasi aktif dalam pemecahan masalah, sehingga kedua belah pihak dapat mendapatkan hasil yang saling menguntungkan. b. Obliging Seseorang cenderung ‘mengalah’ dengan pihak lainnya, sehingga orang tersebut merelakan kepentingannya, sedangkan pihak yang lain dapat memperoleh keuntungan maksimum. c. Dominating Seseorang sangat menekankan kekuatannya di atas pihak lainnya dan sangat fokus terhadap kepentingannya sendiri, serta tidak menghiraukan kepentingan pihak lainnya. 13 d. Avoiding Seseorang memiliki perilaku acuh, yang tidak menghiraukan kepentingannya sendiri maupun kepentingan orang lain. Seseorang dengan gaya manajemen konflik ini cenderung menghindar ketika konflik terjadi. e. Compromising Seseorang berupaya menyelesaikan masalah dengan cara mencari ‘jalan tengah’ yang memuaskan sebagian kepentingan dirinya dan sebagian kepentingan orang lain. Walaupun mirip, gaya ini berbeda dengan gaya integrating. Compromising lebih menekankan pada ‘jalan tengah’ yang hanya setengah-setengah yang berarti tidak semua kepentingan kedua belah pihak terpenuhi dan harus merelakan sesuatu untuk ditukarkan satu sama lain demi tercapainya ‘jalan tengah’ tersebut, sementara integrating fokus pada ‘jalan tengah’ yang menguntungkan kedua belah pihak secara maksimal. Berdasarkan uraian teoritis di atas, dapat dilihat terdapat berbagai macam aspek dalam gaya manajemen konflik. Adapun aspek-aspek manajemen konflik yang diambil dari pendapat Thomas-Kilmann (2007) antara lain kompetisi, akomodasi, kompromi, penghindaran, dan kolaborasi. 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gaya Manajemen Konflik Seperti yang sudah dijabarkan di atas, gaya manajemen konflik ada bermacam-macam dan digunakan dalam situasi dan kondisi yang berbeda-beda 14 tergantung pihak yang berkonflik dan jenis konfliknya. Menurut Rahim (2002), manajemen konflik harus memiliki kriteria sebagai berikut: a) Pembelajaran kelompok dan keefektifan. Kelompok yang dimaksud tergantung pada pihak-pihak yang terlibat konflik. Keefektifan jangka panjang disebabkan oleh pembelajaran kelompok. Untuk mencapai keefektifan itu, gaya manajemen konflik harus dibuat agar menjunjung pemikiran yang kritis dan inovatif sehingga dapat menelaah proses intervensi konflik. b) Kebutuhan akan stakeholder. Gaya manajemen konflik harus dibuat agar memenuhi kebutuhan dan ekspektasi dari lingkungan sekitarnya dan mempertahankan keseimbangan pada mereka. Terkadang pihak yang berkonflik dapat berjumlah lebih dari dua, dan tantangan yang harus dijawab oleh manajemen konflik adalah bagaimana melibatkan pihak-pihak terkait dalam proses penyelesaian konflik, dengan harapan bahwa proses tersebut akan mengarah pada kepuasan stakeholder. c) Etika Seseorang harus bersikap etis, dan untuk dapat bersikap etis seseorang sebaiknya terbuka dengan informasi baru dan bersedia untuk mengubah pola pikirnya. Wirawan (2010) menjabarkan faktor-faktor manajemen konflik yang berbeda-beda sebagai berikut: 15 yang mempengaruhi a. Asumsi mengenai konflik. Ketika seseorang telah memiliki asumsi tentang konflik, maka ia akan mencari cara untuk mengatasi konflik yang ia hadapi. b. Persepsi mengenai penyebab konflik. Jika seseorang menganggap penting konflik yang dialaminya, mungkin karena konflik itu menyangkut dirinya pribadi, maka ia akan berupaya untuk memenangkan konflik dengan berkompetisi. Namun jika ia tidak beranggapan bahwa konflik itu penting bagi dirinya, besar kemungkinan ia akan menghindari konflik tersebut. c. Ekspektasi atas reaksi lawan konfliknya. Seseorang dapat saja berekspektasi atas reaksi yang akan ditunjukkan oleh lawan konfliknya. Misalnya ia berekspektasi lawannya akan mengaku kalah, memenangkan konflik, atau juga menyepakati bahwa konflik sudah terselesaikan dengan imbang. Apapun ekspektasinya, ia akan mengatur strategi untuk menghadapi lawan konfliknya tersebut agar sesuai dengan ekspektasinya. d. Pola komunikasi dalam interaksi konflik Di dalam konflik akan terdapat komunikasi antarpihak yang terkait. Pesan yang disampaikan oleh kedua belah pihak akan diterima dan saling dimengerti apabila proses komunikasi berjalan dengan lancar. Dalam konteks ini, pola komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi interpersonal karena dianggap paling efektif dalam manajemen konflik. Jenis komunikasi ini 16 diyakini dapat memahami pesan dengan benar dan memberikan respon sesuai keinginan. e. Kekuasaan yang dimiliki. Besar kemungkinan salah satu pihak tidak akan mengalah dalam interaksi konflik, terlebih jika ia memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari pihak lainnya. Dengan kata lain, ia akan memanfaatkan kekuasaan tersebut untuk mendapatkan apa yang menjadi kepentingannya. f. Pengalaman menghadapi situasi konflik. Orang-orang yang akrab dan dekat tidak jarang mengalami konflik. Cara mereka menyelesaikan konflik menjadikannya pengalaman, dan pengalaman yang mereka miliki dalam menyelesaikan konflik akan mereka gunakan lagi jika suatu hari mereka terlibat dalam konflik lain yang situasi dan kondisinya mirip. g. Sumber yang dimiliki. Sumber yang dimaksudkan adalah, misalnya, kekuasaan, pengetahuan, pengalaman, dan uang. Sumber-sumber ini dapat mempengaruhi gaya manajemen konflik yang digunakan. h. Jenis kelamin. Menurut stereotype mengenai laki-laki, mereka berpikir menggunakan logika, sedangkan stereotype mengenai perempuan mengatakan bahwa mereka berpikir menggunakan perasaan. Kedua pernyataan tersebut 17 mengimplikasikan bahwa jenis kelamin dapat mempengaruhi cara berpikir dalam berbagai hal, termasuk memikirkan penyelesaian konflik. i. Kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang mengatasi dan mengelola emosi dalam menghadapi konflik. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional dapat menggunakan dan memanfaatkan emosi untuk membantu pikiran dan juga manajemen konflik. j. Kepribadian. Kepribadian jelas mempengaruhi gaya manajemen konflik seseorang. Jika orang tersebut aktif, pemberani, dan ambisius maka ia akan berupaya untuk memenangkan konflik. Sebaliknya, jika ia pasif dan penakut, ia akan memilih untuk menghidari konflik tersebut. k. Budaya organisasi sistem sosial. Di Indonesia, anak lebih diajarkan untuk menjadi pasif dan menghindari konflik, sedangkan di negara-negara Barat, orang tua menanamkan self-esteem kepada anak mereka sehingga mereka dapat berkompetisi. l. Prosedur yang mengatur pengambilan keputusan jika terjadi konflik. Di dalam organisasi yang sudah mapan, prosedur untuk menyelesaikan konflik yang terjadi sudah ada dan dilakukan oleh pimpinan dan anggota organisasinya. 18 m. Situasi konflik dan posisi dalam konflik. Situasi konflik akan menentukan gaya manajemen konflik. Misalnya, jika konflik dirasa alot dan tidak akan mungkin dimenangkan, seseorang akan memikirkan strategi lain agar menang. n. Pengalaman menggunakan salah satu gaya manajemen konflik. Pengalaman seseorang tentang keberhasilan gaya manajemen konflik yang pernah digunakan akan menjadikan referensi baginya untuk menggunakannya lagi jika konflik lain terjadi, apalagi jika situasi, kondisi, dan pihak lawannya adalah orang yang sama. o. Kemampuan berkomunikasi. Seseorang dengan kemampuan komunikasi, atau bersinonim dengan kompetensi komunikasi yang rendah akan mengalami kesulitan jika menggunakan kompetisi, kolaborasi, atau kompromi karena ketiga gaya tersebut memerlukan kemampuan komunikasi yang sangat baik untuk mendisksusikan konflik dengan lawannya. Dengan kata lain, jika ia tidak meningkatkan kemampuan komunikasinya, ia akan kalah dari lawannya. Berdasarkan uraian teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktorfaktor yang dapat mempengaruhi manajemen konflik adalah pembelajaran kelompok dan keefektifan, kebutuhan akan stakeholder, etika, asumsi mengenai konflik, persepsi mengenai penyebab konflik, ekspektasi atas reaksi lawan konflik, pola komunikasi, kekuasaan, pengalaman, sumber yang dimiliki, jenis kelamin, kecerdasan emosional, kepribadian, budaya, prosedur pengambilan 19 keputusan, situasi konflik dan posisi dalam konflik, pengalaman menggunakan gaya tertentu, dan kemampuan atau kompetensi komunikasi. Dari berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi gaya manajemen konflik, terdapat satu faktor yang bagi penulis menarik untuk dibahas, yaitu kemampuan atau kompetensi komunikasi. Faktor tersebut kemudian dikembangkan menjadi kompetensi komunikasi interpersonal karena merujuk pada salah satu poin, yakni pola komunikasi yang mencakup komunikasi interpersonal seperti penjabaran dari Boardman dan Horowitz (Mardianto, 2000). Faktor ini memaparkan tingkat kompetensi komunikasi yang bersifat interpersonal pada para menantu perempuan. B. Kompetensi Komunikasi Interpersonal 1. Pengertian Kompetensi Komunikasi Interpersonal Kompetensi komunikasi interpersonal, disebutkan oleh Puggina dan Silva (2014), adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengekspresikan pertimbangan nilai mengenai sesuatu hal kepada orang lain. Kemudian Wieman (Singhal & Nagao, 1993) berpendapat bahwa kompetensi komunikasi interpersonal didefinisikan sebagai kemampuan para pelaku interaksi untuk memilih di antara perilaku komunikasi agar mereka dapat menyelesaikan tujuan interpersonal dengan sukses dalam pertemuan, sambil mempertahankan wajah dan garis sesama pelaku interaksi dalam keterbatasan situasi mereka. Valkonen (Purhonen & Valkonen dalam Kokkonen & Almonkari, 2015) menerangkan 20 bahwa kompetensi komunikasi interpersonal adalah pengetahuan tentang keefektifan dan kegunaan komunikasi interpersonal, motivasi untuk membaur dalam interaksi sosial, kemampuan meta-kognitif komunikasi, sebagaimana kemampuan komunikasi interpersonal diperlukan untuk bergerak dalam cara yang dipersepsikan oleh para pelaku interaksi efektif dan berguna. Dengan kata lain, kemampuan berkomunikasi secara interpersonal didapat dari pengetahuan mengenai cara berkomunikasi dan diterapkan. Kompetensi komunikasi interpersonal, menurut Larson dkk (Salleh, 2011), adalah suatu kemampuan seseorang untuk menunjukkan pengetahuan mengenai perilaku komunikasi yang tepat dalam situasi tertentu. Senada dengan Larson dkk, McCroskey dan Beatty (Salleh, 2011) juga mengutarakan bahwa kompetensi komunikasi interpersonal dapat ditunjukkan dengan mengobservasi situasi komunikasi dan mengidentifikasi perilaku yang akan cocok atau tidak cocok dalam situasi tersebut. Cooley dan Roach (Salleh, 2011) pun berpendapat bahwa kompetensi komunikasi interpersonal adalah pengetahuan mengenai pola komunikasi yang tepat dalam situasi tertentu dan kemampuan untuk menggunakan pengetahuan. Seperti pendapat-pendapat sebelumnya, kompetensi komunikasi interpersonal pada seseorang didapat dari pengetahuan mengenai cara berkomunikasi dan diterapkan ketika ia berkomunikasi. Dengan begitu, ia akan lancar berkomunikasi dengan lawan berbicaranya. 21 Berdasarkan uraian teoritis di atas, maka penulis menarik kesimpulan bahwa kompetensi komunikasi interpersonal adalah kemampuan atau keterampilan berkomunikasi untuk diterapkan dalam situasi tertentu. 2. Aspek-aspek Kompetensi Komunikasi Interpersonal Menurut Spritzberg dan Cupach (Salleh, 2011), aspek kompetensi komunikasi interpersonal adalah sebagai berikut: a. Motivasi Motivasi adalah keinginan untuk mendekati atau menghindari perbincangan atau situasi sosial. Jika seseorang memiliki tujuan berkomunikasi dengan orang tertentu, ia akan terdorong untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan tujuannya tersebut. b. Pengetahuan Pengetahuan mencakup ‘tahu bagaimana untuk berlaku’. Ketika seseorang memutuskan untuk mengejar tujuan berkomunikasi, ia akan menyusun rencana untuk mendapatkannya. Pengalaman sebelumnya atau hasil observasi seseorang akan menambah pengetahuannya yang dapat digunakan untuk menemukan cara berkomunikasi yang tepat. c. Kemampuan Kemampuan mencakup perilaku yang terlihat. Seseorang mungkin termotivasi atau berpengetahuan, tetapi tanpa didasari dengan kemampuan berkomunikasi, ia akan dinilai ‘kurang’. 22 Kemudian menurut Puggina dan Silva (2014), aspek-aspek kompetensi komunikasi interpersonal dibagi menjadi: a. Kontrol lingkungan. Kontrol lingkungan merupakan kemampuan seseorang untuk dapat membaur dengan lingkungan di mana ia berada sehingga tujuannya dapat tercapai. Jika ia berhasil, ia akan lebih mudah mengekspresikan diri di hadapan orang lain (dalam lingkungan tersebut). b. Pengungkapan diri. Pengungkapan diri adalah kemampuan seseorang untuk mengeluarkan pendapat, ide, dan perasaannya melalui komunikasi. Hanya melalui pengungkapan diri kita dapat mengukuhkan hubungan interpersonal. c. Sikap asertif. Sikap asertif mencakup kemampuan proaktif untuk mempertahankan hak-hak sendiri tanpa menyangkal hak-hak orang lain, menunjukkan keamanan, keputusan, dan keteguhan dalam sikap dan lisan. d. Manajemen interaksi. Manajemen interaksi mencakup pemberian feedback dari dua arah, baik dalam hal menujukkan pemahaman dan mempersepsi apa yang orang lain rasakan melalui komunikasi nonverbal. Aspek ini bersifat dinamis dan dua arah. 23 e. Kesegeraan. Kesegeraan mengindikasikan bahwa orang yang terbuka dapat menunjukkan kepada orang lain bahwa ia dapat didatangi (jika dibutuhkan) dan membuka komunikasi interpersonal. Tingkat kesediaan dari kedua belah pihak akan sangat dibutuhkan untuk memperdalam hubungan. Berdasarkan uraian teoritis di atas, dapat dilihat terdapat berbagai macam aspek dalam kompetensi komunikasi interpersonal. Adapun aspek-aspek komunikasi interpersonal yang diambil dari pendapat Puggina dan Silva (2014) antara lain kontrol lingkungan, pengungkapan diri, sikap asertif, manajemen interaksi, dan kesegeraan. C. Hubungan antara Kompetensi Komunikasi Interpersonal dan Gaya Manajemen Konflik Terdapat beberapa faktor yang mendasari pengelolaan konflik yang baik, salah satunya komunikasi. Sayangnya, Marotz-Baden dan Cowan (Lee, 1992) menemukan bahwa komunikasi tidak banyak digunakan untuk mengelola konflik. Begitu pula dengan konflik yang terjadi dalam hubungan antara menantu perempuan dengan ibu mertuanya. Marotz-Baden dan Cowan (Lee, 1992) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa lebih banyak menantu perempuan melaporkan konflik daripada ibu mertua mereka seiring kebutuhan yang lebih besar untuk penyesuaian dirasakan 24 oleh mereka. Selain itu, strategi manajemen konflik yang sering digunakan oleh para menantu perempuan jika terjadi konflik dengan ibu mertuanya adalah dengan menghindari atau membiarkan saja konflik tersebut, diikuti dengan time-out atau menunggu sampai konflik reda seiring berjalannya waktu, dan komunikasi menempati urutan terakhir. Dari penjabaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa komunikasi tidak banyak digunakan dalam mengelola konflik. Seperti yang telah dijelaskan oleh Grace (Kazimoto, 2013), salah satu penyebab terjadinya konflik adalah komunikasi yang buruk. Jika komunikasi yang dibangun dua pihak buruk, kesalahpahaman dan perselisihan dapat terjadi. Misalnya dalam hubungan menantu perempuan dan ibu mertua, mertua menasihati menantunya mengenai suatu hal, tetapi menantu tidak dapat menjalankan nasihat tersebut. Bisa jadi karena cara penyampaian nasihat tersebut kurang mengena di hati menantu, atau menantu belum paham maksud dari nasihat mertua. Salah menafsirkan nasihat juga dapat menyebabkan pelimpahan kesalahan kepada satu sama lain. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai hubungan antara kompetensi komunikasi interpersonal yang kurang baik dengan gaya kompetisi. Gaya akomodasi adalah gaya yang mengandalkan sikap kooperatif, tetapi tidak asertif, yang artinya seseorang tidak dapat berkomunikasi dengan cara mengutarakan pendapat dan keinginannya kepada orang lain. Artinya, seseorang dengan gaya ini akan mengesampingkan kebutuhannya sendiri untuk memenuhi kebutuhan orang lain sehingga ia akan sering mengalah ketika terjadi konflik (Kazimoto, 2013). Gaya ini dinilai mirip dengan gaya kompromi yang menerapkan 25 sistem kalah-kalah, di mana kedua belah pihak tidak benar-benar mendapatkan apa yang mereka inginkan. Sikap kooperatif dan asertifnya pun masing-masing hanya setengah. Artinya, jika ada dua pihak yang berkonflik memakai gaya kompromi untuk mengelola konflik, kemungkinan besar mereka tidak akan merasa terlalu puas dengan hasil akhirnya (Thomas & Kilmann, 2007). Jika dibandingkan dengan gaya akomodasi, gaya kompromi dinilai sebagai gaya yang dipakai oleh seseorang yang memiliki kompetensi komunikasi interpersonal setidaknya dalam taraf rata-rata. Menurut Maitlo dkk (2012), kompromi dicapai dengan komunikasi yang lebih baik dari seluruh kepedulian di kalangan orang-orang yang terlibat dan melalui pengakuan syarat yang sama. Kompromi akan mengarah pada pencapaian tujuan yang berbeda dibandingkan dengan tujuan yang sesungguhnya. Selanjutnya, kompetensi komunikasi interpersonal yang buruk dapat menyebabkan penggunaan gaya manajemen konflik yang kurang dapat menyelesaikan masalah, seperti gaya penghindaran. Hal ini dibuktikan oleh MarotzBaden dan Cowan (Lee, 1992) yang menemukan bahwa gaya penghindaran sering digunakan oleh para menantu perempuan jika terjadi konflik dengan ibu mertuanya karena kurangnya intensitas komunikasi di antara keduanya. Para menantu perempuan tersebut akan menunggu sampai konflik reda dengan sendirinya seiring berjalannya waktu tanpa mengusahakan penyelesaian konflik dan tanpa berkomunikasi dengan ibu mertuanya. Gaya penghindaran adalah gaya yang memungkinkan seseorang untuk menghindari masalah. Gaya ini tidak asertif dan juga tidak kooperatif, yang artinya seseorang tidak membantu orang lain meraih 26 tujuannya, dan ia juga tidak mengejar tujuannya sendiri. Dengan begitu, ia tidak akan berusaha berkomunikasi dengan lawan konfliknya walaupun hanya sekedar untuk mengutarakan pendapat. Ketika seseorang memiliki kompetensi komunikasi interpersonal yang baik, ia akan banyak membuka diri, seperti mengutarakan pendapat, sekaligus terbuka dengan pemikiran dan perasaan orang lain. Faktor seperti ini memungkinkan seseorang untuk memakai gaya kolaborasi sebagai gaya manajemen konfliknya. Gaya kolaborasi dinilai sebagai gaya yang ideal di antara seluruh gaya manajemen konflik yang dipaparkan oleh Thomas-Kilmann (2007). Gaya ini asertif dan kooperatif seperti kompromi, tetapi dalam gaya kolaborasi kedua sikap tersebut berada dalam tingkat tinggi. Kedua belah pihak akan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Sistem gaya kolaborasi adalah menang-menang, sehingga tidak ada pihak yang rugi atau dirugikan. Kolaborasi dapat menjadi efektif untuk skenario yang kompleks ketika seseorang membutuhkan solusi yang baru, dan dapat juga berarti mengkonsepkan kembali tantangan untuk membuat ruang yang lebih besar dan wadah untuk gagasan semua orang. Namun, gaya ini membutuhkan kepercayaan yang dalam pada orang lain dan harus mencapai mufakat. Untuk mencapai mufakat dapat memerlukan banyak waktu dan usaha untuk membuat semua orang ikut serta dan untuk menyatukan gagasan semua orang. Rotter (Anderson & Narus dalam Zeffane, Tipu, & Ryan, 2011) berpendapat bahwa komunikasi erat hubungannya dengan kepercayaan, dan kepercayaan didefinisikan sebagai suatu harapan yang dipegang oleh seseorang atau sekelompok orang yang kata-katanya, janjinya, dan 27 pernyataannya secara lisan atau tertulis kepada seseorang atau sekelompok orang yang lain dapat dipercaya, sehingga hubungan antara komunikasi tampak kompleks dan sulit untuk mengasumsikan arah yang pasti pada dua hal tersebut. Jika kepercayaan dibangun dengan baik, maka kompetensi komunikasi interpersonal akan terasah dan membuat komunikasi menjadi lancar, dan jika komunikasi dibangun dengan kokoh karena kuatnya kompetensi komunikasi interpersonal, maka kepercayaan akan tumbuh. Adhikari (2015) menuturkan bahwa dinamika hubungan antara menantu perempuan dan ibu mertua sangat signifikan dalam perbincangan sehari-hari dan budaya populer. Beberapa penelitian menemukan bahwa banyak menantu merasakan jarak interpersonal yang besar dan cenderung berperilaku negatif terhadap ibu mertuanya daripada ibu kandungnya sendiri. Tidak banyak evaluasi empiris pada hubungan menantu dengan mertua karena sedikitnya data dan variasi yang ada mengenai hal tersebut dalam konteks yang berbeda. Meskipun begitu, hubungan antara menentu dengan mertua memiliki banyak faktor, seperti kebahagiaan, stabilitas, dan fungsi sosial, budaya, dan ekonomi lainnya di dalam keluarga. D. Hipotesis Dari penjelasan di atas, maka penulis mengajukan hipotesis yang berupa: 1. Akan ada hubungan negatif antara kompetensi komunikasi interpersonal dengan gaya manajemen konflik kompetisi. 28 2. Akan ada hubungan negatif antara kompetensi komunikasi interpersonal dengan gaya manajemen konflik akomodasi. 3. Akan ada hubungan positif antara kompetensi komunikasi interpersonal dengan gaya manajemen konflik kompromi. 4. Akan ada hubungan negatif antara kompetensi komunikasi interpersonal dengan gaya manajemen konflik penghindaran. 5. Akan ada hubungan positif antara kompetensi komunikasi interpersonal dengan gaya manajemen konflik kolaborasi. 29