10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Gaya Manajemen

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gaya Manajemen Konflik
1. Pengertian Gaya Manajemen Konflik
Gaya manajemen konflik, menurut Rahim (2002), adalah suatu upaya
untuk mendiagnosis dan mengintervensi sekaligus mengatasi konflik afektif dan
substantif dalam tingkatan interpersonal, intragrup, dan antarkelompok. Intervensi
yang dimaksud adalah untuk menekan perkembangan konflik substantif dan
mengurangi konflik afektif dalam berbagai tingkatan. Thomas (Hendel, Fish, &
Galon, 2005) menambahkan bahwa gaya manajemen konflik dideskripsikan
sebagai suatu usaha untuk mengatasi konflik dengan melibatkan sikap asertif dan
kooperatif dalam berbagai tingkatan. Hendel, Fish, dan Galon (2005)
mengemukakan bahwa pemilihan gaya manajemen konflik berhubungan dengan
efektivitas pengelolaan konflik itu sendiri. Gaya manajemen konflik, selain
merupakan upaya penyelesaian konflik, juga adalah upaya untuk meminimalisir,
mengeliminasi, atau membatasi durasi dari konflik tersebut (Spaho, 2013).
Rahim (Safitri, Burhan, & Zulkarnain, 2013) menerangkan pula bahwa
gaya manajemen konflik merupakan usaha untuk mengelola konflik yang tidak
hanya berfokus pada menghindari, mengurangi, atau menghilangkan konflik,
10
namun juga melibatkan perancangan strategi yang dapat membuat konflik justru
mendapat perolehan insight dalam pengembangan personal. Prause dan Mujtaba
(2015) juga menyatakan bahwa tujuan utama dari gaya manajemen konflik adalah
untuk menciptakan suasana positif dan bebas konflik, menemukan solusi yang
lebih baik untuk suatu masalah, dan mempertahankan hubungan kekeluargaan
dengan orang lain. Karena konflik tidak selalu berakibat negatif, dipastikan ada
suatu gaya manajemen konflik untuk menstimulasi konflik tersebut menjadi
konflik yang konstruktif (Spaho, 2013). Pada intinya, gaya manajemen konflik
dalam bentuk apapun adalah upaya untuk menyelesaikan dan meminimalisir
konflik yang terjadi.
Berdasarkan pendapat-pendapat mengenai manajemen konflik yang sudah
dijabarkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa manajemen konflik adalah
upaya untuk meredakan konflik yang terjadi dengan sikap asertif dan kooperatif.
2. Bentuk-bentuk Gaya Manajemen Konflik
Thomas dan Kilmann (2007) menjabarkan beberapa gaya manajemen
konflik yang banyak dilakukan orang-orang, di antaranya sebagai berikut:
a. Kompetisi
Kompetisi cenderung asertif dan tidak kooperatif, dan berbasis
kekuasaan. Ketika berkompetisi, seseorang mengejar sesuatu yang ia
pedulikan saja dengan biaya atau pengorbanan dari orang lain, menggunakan
kekuasaan apapun yang sekiranya dibutuhkan untuk memenangkan posisinya.
11
Kompetisi dapat berarti mempertahankan hak-hak dan posisi yang diyakini
benar, atau hanya sekedar mencoba untuk menang.
b. Akomodasi
Akomodasi cenderung tidak asertif tetapi kooperatif, hal yang
berkebalikan
dengan
kompetisi.
Ketika
berakomodasi,
seseorang
mengabaikan kebutuhannya sendiri untuk memuaskan kebutuhan orang lain;
dengan kata lain seseorang mengorbankan diri dalam gaya manajemen konflik
ini.
c. Kompromi
Kompromi berada di tengah-tengah baik asertif maupun kooperatif.
Ketika berkompromi, seseorang memiliki tujuan untuk menemukan solusi
yang bijaksana dan dapat diterima yang sebagian dapat memuaskan kedua
belah pihak.
d. Penghindaran
Gaya ini tidak asertif dan tidak kooperatif. Ketika menghindari suatu
masalah, seseorang tidak segera menyelesaikan urusannya maupun urusan
orang lain. Ia cenderung tidak memedulikan konflik yang terjadi.
e. Kolaborasi
Kolaborasi mencakup asertif dan kooperatif. Ketika berkolaborasi,
kedua belah pihak mengusahakan agar kepentingan sendiri dan orang lain
dapat terpenuhi sehingga ditemukan solusi yang memuaskan bagi keduanya.
Hal ini juga termasuk menggali suatu masalah untuk mengidentifikasi
12
kebutuhan pokok kedua belah pihak untuk menemukan alternatif yang
mencukupi bagi keduanya.
Rahim (Safitri, Burhan, & Zulkarnain, 2013) menjabarkan lima gaya
manajemen konflik, yaitu:
a. Integrating
Seseorang berfokus pada keuntungan maksimum dan seimbang bagi
pihak-pihak yang terlibat pertikaian. Orang dengan gaya ini berfokus agar
pihak-pihak yang terlibat dapat berpartisipasi aktif dalam pemecahan masalah,
sehingga kedua belah pihak dapat mendapatkan hasil yang saling
menguntungkan.
b. Obliging
Seseorang cenderung ‘mengalah’ dengan pihak lainnya, sehingga
orang tersebut merelakan kepentingannya, sedangkan pihak yang lain dapat
memperoleh keuntungan maksimum.
c. Dominating
Seseorang sangat menekankan kekuatannya di atas pihak lainnya dan
sangat fokus terhadap kepentingannya sendiri, serta tidak menghiraukan
kepentingan pihak lainnya.
13
d. Avoiding
Seseorang memiliki perilaku acuh, yang tidak menghiraukan
kepentingannya sendiri maupun kepentingan orang lain. Seseorang dengan
gaya manajemen konflik ini cenderung menghindar ketika konflik terjadi.
e. Compromising
Seseorang berupaya menyelesaikan masalah dengan cara mencari
‘jalan tengah’ yang memuaskan sebagian kepentingan dirinya dan sebagian
kepentingan orang lain. Walaupun mirip, gaya ini berbeda dengan gaya
integrating. Compromising lebih menekankan pada ‘jalan tengah’ yang hanya
setengah-setengah yang berarti tidak semua kepentingan kedua belah pihak
terpenuhi dan harus merelakan sesuatu untuk ditukarkan satu sama lain demi
tercapainya ‘jalan tengah’ tersebut, sementara integrating fokus pada ‘jalan
tengah’ yang menguntungkan kedua belah pihak secara maksimal.
Berdasarkan uraian teoritis di atas, dapat dilihat terdapat berbagai macam
aspek dalam gaya manajemen konflik. Adapun aspek-aspek manajemen konflik
yang diambil dari pendapat Thomas-Kilmann (2007) antara lain kompetisi,
akomodasi, kompromi, penghindaran, dan kolaborasi.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gaya Manajemen Konflik
Seperti yang sudah dijabarkan di atas, gaya manajemen konflik ada
bermacam-macam dan digunakan dalam situasi dan kondisi yang berbeda-beda
14
tergantung pihak yang berkonflik dan jenis konfliknya. Menurut Rahim (2002),
manajemen konflik harus memiliki kriteria sebagai berikut:
a) Pembelajaran kelompok dan keefektifan.
Kelompok yang dimaksud tergantung pada pihak-pihak yang terlibat
konflik. Keefektifan jangka panjang disebabkan oleh pembelajaran kelompok.
Untuk mencapai keefektifan itu, gaya manajemen konflik harus dibuat agar
menjunjung pemikiran yang kritis dan inovatif sehingga dapat menelaah
proses intervensi konflik.
b) Kebutuhan akan stakeholder.
Gaya manajemen konflik harus dibuat agar memenuhi kebutuhan dan
ekspektasi dari lingkungan sekitarnya dan mempertahankan keseimbangan
pada mereka. Terkadang pihak yang berkonflik dapat berjumlah lebih dari
dua, dan tantangan yang harus dijawab oleh manajemen konflik adalah
bagaimana melibatkan pihak-pihak terkait dalam proses penyelesaian konflik,
dengan harapan bahwa proses tersebut akan mengarah pada kepuasan
stakeholder.
c) Etika
Seseorang harus bersikap etis, dan untuk dapat bersikap etis seseorang
sebaiknya terbuka dengan informasi baru dan bersedia untuk mengubah pola
pikirnya.
Wirawan
(2010)
menjabarkan
faktor-faktor
manajemen konflik yang berbeda-beda sebagai berikut:
15
yang
mempengaruhi
a. Asumsi mengenai konflik.
Ketika seseorang telah memiliki asumsi tentang konflik, maka ia akan
mencari cara untuk mengatasi konflik yang ia hadapi.
b. Persepsi mengenai penyebab konflik.
Jika seseorang menganggap penting konflik yang dialaminya,
mungkin karena konflik itu menyangkut dirinya pribadi, maka ia akan
berupaya untuk memenangkan konflik dengan berkompetisi. Namun jika ia
tidak beranggapan bahwa konflik itu penting bagi dirinya, besar kemungkinan
ia akan menghindari konflik tersebut.
c. Ekspektasi atas reaksi lawan konfliknya.
Seseorang dapat saja berekspektasi atas reaksi yang akan ditunjukkan
oleh lawan konfliknya. Misalnya ia berekspektasi lawannya akan mengaku
kalah, memenangkan konflik, atau juga menyepakati bahwa konflik sudah
terselesaikan dengan imbang. Apapun ekspektasinya, ia akan mengatur
strategi untuk menghadapi lawan konfliknya tersebut agar sesuai dengan
ekspektasinya.
d. Pola komunikasi dalam interaksi konflik
Di dalam konflik akan terdapat komunikasi antarpihak yang terkait.
Pesan yang disampaikan oleh kedua belah pihak akan diterima dan saling
dimengerti apabila proses komunikasi berjalan dengan lancar. Dalam konteks
ini, pola komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi interpersonal karena
dianggap paling efektif dalam manajemen konflik. Jenis komunikasi ini
16
diyakini dapat memahami pesan dengan benar dan memberikan respon sesuai
keinginan.
e. Kekuasaan yang dimiliki.
Besar kemungkinan salah satu pihak tidak akan mengalah dalam
interaksi konflik, terlebih jika ia memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari
pihak lainnya. Dengan kata lain, ia akan memanfaatkan kekuasaan tersebut
untuk mendapatkan apa yang menjadi kepentingannya.
f. Pengalaman menghadapi situasi konflik.
Orang-orang yang akrab dan dekat tidak jarang mengalami konflik.
Cara mereka menyelesaikan konflik menjadikannya pengalaman, dan
pengalaman yang mereka miliki dalam menyelesaikan konflik akan mereka
gunakan lagi jika suatu hari mereka terlibat dalam konflik lain yang situasi
dan kondisinya mirip.
g. Sumber yang dimiliki.
Sumber yang dimaksudkan adalah, misalnya, kekuasaan, pengetahuan,
pengalaman, dan uang. Sumber-sumber ini dapat mempengaruhi gaya
manajemen konflik yang digunakan.
h. Jenis kelamin.
Menurut stereotype mengenai laki-laki, mereka berpikir menggunakan
logika, sedangkan stereotype mengenai perempuan mengatakan bahwa
mereka berpikir menggunakan perasaan. Kedua pernyataan tersebut
17
mengimplikasikan bahwa jenis kelamin dapat mempengaruhi cara berpikir
dalam berbagai hal, termasuk memikirkan penyelesaian konflik.
i. Kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang mengatasi
dan mengelola emosi dalam menghadapi konflik. Seseorang yang memiliki
kecerdasan emosional dapat menggunakan dan memanfaatkan emosi untuk
membantu pikiran dan juga manajemen konflik.
j. Kepribadian.
Kepribadian jelas mempengaruhi gaya manajemen konflik seseorang.
Jika orang tersebut aktif, pemberani, dan ambisius maka ia akan berupaya
untuk memenangkan konflik. Sebaliknya, jika ia pasif dan penakut, ia akan
memilih untuk menghidari konflik tersebut.
k. Budaya organisasi sistem sosial.
Di Indonesia, anak lebih diajarkan untuk menjadi pasif dan
menghindari konflik, sedangkan di negara-negara Barat, orang tua
menanamkan self-esteem kepada anak mereka sehingga mereka dapat
berkompetisi.
l. Prosedur yang mengatur pengambilan keputusan jika terjadi konflik.
Di dalam organisasi yang sudah mapan, prosedur untuk menyelesaikan
konflik yang terjadi sudah ada dan dilakukan oleh pimpinan dan anggota
organisasinya.
18
m. Situasi konflik dan posisi dalam konflik.
Situasi konflik akan menentukan gaya manajemen konflik. Misalnya,
jika konflik dirasa alot dan tidak akan mungkin dimenangkan, seseorang akan
memikirkan strategi lain agar menang.
n. Pengalaman menggunakan salah satu gaya manajemen konflik.
Pengalaman seseorang tentang keberhasilan gaya manajemen konflik
yang
pernah
digunakan
akan
menjadikan
referensi
baginya
untuk
menggunakannya lagi jika konflik lain terjadi, apalagi jika situasi, kondisi,
dan pihak lawannya adalah orang yang sama.
o. Kemampuan berkomunikasi.
Seseorang dengan kemampuan komunikasi, atau bersinonim dengan
kompetensi komunikasi yang rendah akan mengalami kesulitan jika
menggunakan kompetisi, kolaborasi, atau kompromi karena ketiga gaya
tersebut memerlukan kemampuan komunikasi yang sangat baik untuk
mendisksusikan konflik dengan lawannya. Dengan kata lain, jika ia tidak
meningkatkan kemampuan komunikasinya, ia akan kalah dari lawannya.
Berdasarkan uraian teori di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktorfaktor yang dapat mempengaruhi manajemen konflik adalah pembelajaran
kelompok dan keefektifan, kebutuhan akan stakeholder, etika, asumsi mengenai
konflik, persepsi mengenai penyebab konflik, ekspektasi atas reaksi lawan
konflik, pola komunikasi, kekuasaan, pengalaman, sumber yang dimiliki, jenis
kelamin, kecerdasan emosional, kepribadian, budaya, prosedur pengambilan
19
keputusan, situasi konflik dan posisi dalam konflik, pengalaman menggunakan
gaya tertentu, dan kemampuan atau kompetensi komunikasi.
Dari berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi gaya manajemen
konflik, terdapat satu faktor yang bagi penulis menarik untuk dibahas, yaitu
kemampuan
atau
kompetensi
komunikasi.
Faktor
tersebut
kemudian
dikembangkan menjadi kompetensi komunikasi interpersonal karena merujuk
pada salah satu poin, yakni pola komunikasi yang mencakup komunikasi
interpersonal seperti penjabaran dari Boardman dan Horowitz (Mardianto, 2000).
Faktor
ini
memaparkan
tingkat
kompetensi
komunikasi
yang
bersifat
interpersonal pada para menantu perempuan.
B. Kompetensi Komunikasi Interpersonal
1. Pengertian Kompetensi Komunikasi Interpersonal
Kompetensi komunikasi interpersonal, disebutkan oleh Puggina dan Silva
(2014), adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengekspresikan
pertimbangan nilai mengenai sesuatu hal kepada orang lain. Kemudian Wieman
(Singhal & Nagao, 1993) berpendapat bahwa kompetensi komunikasi
interpersonal didefinisikan sebagai kemampuan para pelaku interaksi untuk
memilih di antara perilaku komunikasi agar mereka dapat menyelesaikan tujuan
interpersonal dengan sukses dalam pertemuan, sambil mempertahankan wajah
dan garis sesama pelaku interaksi dalam keterbatasan situasi mereka. Valkonen
(Purhonen & Valkonen dalam Kokkonen & Almonkari, 2015) menerangkan
20
bahwa kompetensi komunikasi interpersonal adalah pengetahuan tentang
keefektifan dan kegunaan komunikasi interpersonal, motivasi untuk membaur
dalam interaksi sosial, kemampuan meta-kognitif komunikasi, sebagaimana
kemampuan komunikasi interpersonal diperlukan untuk bergerak dalam cara yang
dipersepsikan oleh para pelaku interaksi efektif dan berguna. Dengan kata lain,
kemampuan berkomunikasi secara interpersonal didapat dari pengetahuan
mengenai cara berkomunikasi dan diterapkan.
Kompetensi komunikasi interpersonal, menurut Larson dkk (Salleh,
2011), adalah suatu kemampuan seseorang untuk menunjukkan pengetahuan
mengenai perilaku komunikasi yang tepat dalam situasi tertentu. Senada dengan
Larson dkk, McCroskey dan Beatty (Salleh, 2011) juga mengutarakan bahwa
kompetensi komunikasi interpersonal dapat ditunjukkan dengan mengobservasi
situasi komunikasi dan mengidentifikasi perilaku yang akan cocok atau tidak
cocok dalam situasi tersebut. Cooley dan Roach (Salleh, 2011) pun berpendapat
bahwa kompetensi komunikasi interpersonal adalah pengetahuan mengenai pola
komunikasi yang tepat dalam situasi tertentu dan kemampuan untuk
menggunakan pengetahuan. Seperti pendapat-pendapat sebelumnya, kompetensi
komunikasi interpersonal pada seseorang didapat dari pengetahuan mengenai cara
berkomunikasi dan diterapkan ketika ia berkomunikasi. Dengan begitu, ia akan
lancar berkomunikasi dengan lawan berbicaranya.
21
Berdasarkan uraian teoritis di atas, maka penulis menarik kesimpulan
bahwa
kompetensi
komunikasi
interpersonal
adalah
kemampuan
atau
keterampilan berkomunikasi untuk diterapkan dalam situasi tertentu.
2. Aspek-aspek Kompetensi Komunikasi Interpersonal
Menurut Spritzberg dan Cupach (Salleh, 2011), aspek kompetensi
komunikasi interpersonal adalah sebagai berikut:
a. Motivasi
Motivasi adalah keinginan untuk mendekati atau menghindari
perbincangan atau situasi sosial. Jika seseorang memiliki tujuan
berkomunikasi dengan orang tertentu, ia akan terdorong untuk melakukan
hal-hal yang berkaitan dengan tujuannya tersebut.
b. Pengetahuan
Pengetahuan mencakup ‘tahu bagaimana untuk berlaku’. Ketika
seseorang memutuskan untuk mengejar tujuan berkomunikasi, ia akan
menyusun rencana untuk mendapatkannya. Pengalaman sebelumnya atau
hasil observasi seseorang akan menambah pengetahuannya yang dapat
digunakan untuk menemukan cara berkomunikasi yang tepat.
c. Kemampuan
Kemampuan mencakup perilaku yang terlihat. Seseorang mungkin
termotivasi atau berpengetahuan, tetapi tanpa didasari dengan kemampuan
berkomunikasi, ia akan dinilai ‘kurang’.
22
Kemudian menurut Puggina dan Silva (2014), aspek-aspek kompetensi
komunikasi interpersonal dibagi menjadi:
a. Kontrol lingkungan.
Kontrol lingkungan merupakan kemampuan seseorang untuk dapat
membaur dengan lingkungan di mana ia berada sehingga tujuannya dapat
tercapai. Jika ia berhasil, ia akan lebih mudah mengekspresikan diri di
hadapan orang lain (dalam lingkungan tersebut).
b. Pengungkapan diri.
Pengungkapan
diri
adalah
kemampuan
seseorang
untuk
mengeluarkan pendapat, ide, dan perasaannya melalui komunikasi. Hanya
melalui
pengungkapan
diri
kita
dapat
mengukuhkan
hubungan
interpersonal.
c. Sikap asertif.
Sikap
asertif
mencakup
kemampuan
proaktif
untuk
mempertahankan hak-hak sendiri tanpa menyangkal hak-hak orang lain,
menunjukkan keamanan, keputusan, dan keteguhan dalam sikap dan lisan.
d. Manajemen interaksi.
Manajemen interaksi mencakup pemberian feedback dari dua arah,
baik dalam hal menujukkan pemahaman dan mempersepsi apa yang orang
lain rasakan melalui komunikasi nonverbal. Aspek ini bersifat dinamis dan
dua arah.
23
e. Kesegeraan.
Kesegeraan mengindikasikan bahwa orang yang terbuka dapat
menunjukkan kepada orang lain bahwa ia dapat didatangi (jika
dibutuhkan) dan membuka komunikasi interpersonal. Tingkat kesediaan
dari kedua belah pihak akan sangat dibutuhkan untuk memperdalam
hubungan.
Berdasarkan uraian teoritis di atas, dapat dilihat terdapat berbagai macam
aspek dalam kompetensi komunikasi interpersonal. Adapun aspek-aspek
komunikasi interpersonal yang diambil dari pendapat Puggina dan Silva (2014)
antara lain kontrol lingkungan, pengungkapan diri, sikap asertif, manajemen
interaksi, dan kesegeraan.
C. Hubungan antara Kompetensi Komunikasi Interpersonal dan Gaya
Manajemen Konflik
Terdapat beberapa faktor yang mendasari pengelolaan konflik yang baik,
salah satunya komunikasi. Sayangnya, Marotz-Baden dan Cowan (Lee, 1992)
menemukan bahwa komunikasi tidak banyak digunakan untuk mengelola konflik.
Begitu pula dengan konflik yang terjadi dalam hubungan antara menantu perempuan
dengan ibu mertuanya. Marotz-Baden dan Cowan (Lee, 1992) dalam penelitiannya
menjelaskan bahwa lebih banyak menantu perempuan melaporkan konflik daripada
ibu mertua mereka seiring kebutuhan yang lebih besar untuk penyesuaian dirasakan
24
oleh mereka. Selain itu, strategi manajemen konflik yang sering digunakan oleh para
menantu perempuan jika terjadi konflik dengan ibu mertuanya adalah dengan
menghindari atau membiarkan saja konflik tersebut, diikuti dengan time-out atau
menunggu sampai konflik reda seiring berjalannya waktu, dan komunikasi
menempati urutan terakhir. Dari penjabaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa
komunikasi tidak banyak digunakan dalam mengelola konflik.
Seperti yang telah dijelaskan oleh Grace (Kazimoto, 2013), salah satu
penyebab terjadinya konflik adalah komunikasi yang buruk. Jika komunikasi yang
dibangun dua pihak buruk, kesalahpahaman dan perselisihan dapat terjadi. Misalnya
dalam hubungan menantu perempuan dan ibu mertua, mertua menasihati menantunya
mengenai suatu hal, tetapi menantu tidak dapat menjalankan nasihat tersebut. Bisa
jadi karena cara penyampaian nasihat tersebut kurang mengena di hati menantu, atau
menantu belum paham maksud dari nasihat mertua. Salah menafsirkan nasihat juga
dapat menyebabkan pelimpahan kesalahan kepada satu sama lain. Hal tersebut dapat
dikatakan sebagai hubungan antara kompetensi komunikasi interpersonal yang
kurang baik dengan gaya kompetisi.
Gaya akomodasi adalah gaya yang mengandalkan sikap kooperatif, tetapi
tidak asertif, yang artinya seseorang tidak dapat berkomunikasi dengan cara
mengutarakan pendapat dan keinginannya kepada orang lain. Artinya, seseorang
dengan gaya ini akan mengesampingkan kebutuhannya sendiri untuk memenuhi
kebutuhan orang lain sehingga ia akan sering mengalah ketika terjadi konflik
(Kazimoto, 2013). Gaya ini dinilai mirip dengan gaya kompromi yang menerapkan
25
sistem kalah-kalah, di mana kedua belah pihak tidak benar-benar mendapatkan apa
yang mereka inginkan. Sikap kooperatif dan asertifnya pun masing-masing hanya
setengah. Artinya, jika ada dua pihak yang berkonflik memakai gaya kompromi untuk
mengelola konflik, kemungkinan besar mereka tidak akan merasa terlalu puas dengan
hasil akhirnya (Thomas & Kilmann, 2007). Jika dibandingkan dengan gaya
akomodasi, gaya kompromi dinilai sebagai gaya yang dipakai oleh seseorang yang
memiliki kompetensi komunikasi interpersonal setidaknya dalam taraf rata-rata.
Menurut Maitlo dkk (2012), kompromi dicapai dengan komunikasi yang lebih baik
dari seluruh kepedulian di kalangan orang-orang yang terlibat dan melalui pengakuan
syarat yang sama. Kompromi akan mengarah pada pencapaian tujuan yang berbeda
dibandingkan dengan tujuan yang sesungguhnya.
Selanjutnya, kompetensi komunikasi interpersonal yang buruk dapat
menyebabkan
penggunaan
gaya
manajemen
konflik
yang
kurang
dapat
menyelesaikan masalah, seperti gaya penghindaran. Hal ini dibuktikan oleh MarotzBaden dan Cowan (Lee, 1992) yang menemukan bahwa gaya penghindaran sering
digunakan oleh para menantu perempuan jika terjadi konflik dengan ibu mertuanya
karena kurangnya intensitas komunikasi di antara keduanya. Para menantu
perempuan tersebut akan menunggu sampai konflik reda dengan sendirinya seiring
berjalannya
waktu
tanpa
mengusahakan
penyelesaian
konflik
dan
tanpa
berkomunikasi dengan ibu mertuanya. Gaya penghindaran adalah gaya yang
memungkinkan seseorang untuk menghindari masalah. Gaya ini tidak asertif dan juga
tidak kooperatif, yang artinya seseorang tidak membantu orang lain meraih
26
tujuannya, dan ia juga tidak mengejar tujuannya sendiri. Dengan begitu, ia tidak akan
berusaha berkomunikasi dengan lawan konfliknya walaupun hanya sekedar untuk
mengutarakan pendapat.
Ketika seseorang memiliki kompetensi komunikasi interpersonal yang baik, ia
akan banyak membuka diri, seperti mengutarakan pendapat, sekaligus terbuka dengan
pemikiran dan perasaan orang lain. Faktor seperti ini memungkinkan seseorang untuk
memakai gaya kolaborasi sebagai gaya manajemen konfliknya. Gaya kolaborasi
dinilai sebagai gaya yang ideal di antara seluruh gaya manajemen konflik yang
dipaparkan oleh Thomas-Kilmann (2007). Gaya ini asertif dan kooperatif seperti
kompromi, tetapi dalam gaya kolaborasi kedua sikap tersebut berada dalam tingkat
tinggi. Kedua belah pihak akan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Sistem
gaya kolaborasi adalah menang-menang, sehingga tidak ada pihak yang rugi atau
dirugikan. Kolaborasi dapat menjadi efektif untuk skenario yang kompleks ketika
seseorang membutuhkan solusi yang baru, dan dapat juga berarti mengkonsepkan
kembali tantangan untuk membuat ruang yang lebih besar dan wadah untuk gagasan
semua orang. Namun, gaya ini membutuhkan kepercayaan yang dalam pada orang
lain dan harus mencapai mufakat. Untuk mencapai mufakat dapat memerlukan
banyak waktu dan usaha untuk membuat semua orang ikut serta dan untuk
menyatukan gagasan semua orang. Rotter (Anderson & Narus dalam Zeffane, Tipu,
& Ryan, 2011) berpendapat bahwa komunikasi erat hubungannya dengan
kepercayaan, dan kepercayaan didefinisikan sebagai suatu harapan yang dipegang
oleh seseorang atau sekelompok orang yang kata-katanya, janjinya, dan
27
pernyataannya secara lisan atau tertulis kepada seseorang atau sekelompok orang
yang lain dapat dipercaya, sehingga hubungan antara komunikasi tampak kompleks
dan sulit untuk mengasumsikan arah yang pasti pada dua hal tersebut. Jika
kepercayaan dibangun dengan baik, maka kompetensi komunikasi interpersonal akan
terasah dan membuat komunikasi menjadi lancar, dan jika komunikasi dibangun
dengan kokoh
karena kuatnya kompetensi komunikasi interpersonal, maka
kepercayaan akan tumbuh.
Adhikari (2015) menuturkan bahwa dinamika hubungan antara menantu
perempuan dan ibu mertua sangat signifikan dalam perbincangan sehari-hari dan
budaya populer. Beberapa penelitian menemukan bahwa banyak menantu merasakan
jarak interpersonal yang besar dan cenderung berperilaku negatif terhadap ibu
mertuanya daripada ibu kandungnya sendiri. Tidak banyak evaluasi empiris pada
hubungan menantu dengan mertua karena sedikitnya data dan variasi yang ada
mengenai hal tersebut dalam konteks yang berbeda. Meskipun begitu, hubungan
antara menentu dengan mertua memiliki banyak faktor, seperti kebahagiaan,
stabilitas, dan fungsi sosial, budaya, dan ekonomi lainnya di dalam keluarga.
D. Hipotesis
Dari penjelasan di atas, maka penulis mengajukan hipotesis yang berupa:
1. Akan ada hubungan negatif antara kompetensi komunikasi interpersonal
dengan gaya manajemen konflik kompetisi.
28
2. Akan ada hubungan negatif antara kompetensi komunikasi interpersonal
dengan gaya manajemen konflik akomodasi.
3. Akan ada hubungan positif antara kompetensi komunikasi interpersonal
dengan gaya manajemen konflik kompromi.
4. Akan ada hubungan negatif antara kompetensi komunikasi interpersonal
dengan gaya manajemen konflik penghindaran.
5. Akan ada hubungan positif antara kompetensi komunikasi interpersonal
dengan gaya manajemen konflik kolaborasi.
29
Download