BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Resiliensi Keluarga 1. Definisi

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Resiliensi Keluarga
1. Definisi Resiliensi Keluarga
Menurut McCubbin dan McCubbin (1988), resiliensi keluarga
merupakan pola perilaku positif dan kemampuan fungsional yang dimiliki
oleh individu dan keluarga yang ditampilkan dalam situasi sulit atau
menekan. Pola perilaku positif dan kemampuan fungsional ini menentukan
kemampuan keluarga untuk pulih dengan tetap mempertahankan
integritasnya sebagai sebuah kesatuan dengan tetap mempertahankan dan
memperbaiki kesejahteraan anggota keluarga dan unit keluarga secara
keseluruhan.
Dalam beberapa pengertian, resiliensi keluarga atau family resilience
memiliki makna yang sama dengan family strength dan ketahanan
keluarga. Hal tersebut seperti yang dijelaskan oleh McCubbin (dalam
Puspitawati, 2012) mendefinisikan ketahanan keluarga (family strength
atau family resilience) merupakan suatu konsep holistik yang merangkai
alur pemikiran suatu sistem, mulai dari kualitas ketahanan sumberdaya,
strategi coping dan “appraisal” . Ketahanan keluarga merupakan proses
dinamis dalam keluarga untuk melakukan adaptasi positif terhadap bahaya
dari luar dan dari dalam keluarga.
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
11
Ketahanan keluarga menurut UU No. 10 tahun 1992
merupakan
kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan,
serta mengandung kemampuan fisik-material dan psikis mental spiritual
guna hidup mandiri, mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup
harmonis dan meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin. (Kamus Istilah
Kependudukan dan Keluarga Berencana, 2011)
Sementara itu, The National Network for Family Resilience pada
1995, menyebutkan bahwa ketahanan keluarga menyangkut kemampuan
individu atau keluarga untuk memanfaatkan potensinya dalam menghadapi
tantangan hidup, termasuk kemampuan untuk mengembalikan fungsifungsi keluarga seperti semula dalam menghadapi tantangan dan krisis
(Puspitawati, 2012).
Werner (dalam Walsh, 1996) mengemukakan bahwa keluarga
merupakan faktor yang sangat memengaruhi resiliensi. Krisis dan
tantangan memiliki dampak terhadap seluruh anggota keluarga dan proses
di dalam keluargalah yang dapat membantu memulihkan krisis dan
hubungan di dalam keluarga.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa resiliensi
keluarga yakni mengarah pada kemampuan keluarga menghadapi dan
mengelola masalah dalam situasi sulit dan menekan agar fungsi keluarga
tetap berjalan dengan harmonis untuk mencapai kesejahteraan lahir dan
kebahagaiaan batin anggota keluarganya.
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
12
2. Komponen Resiliensi Keluarga
Resiliensi keluarga tidak bisa dilepaskan dari faktor risiko dan faktor
pelindung (Walsh, 2006). Faktor risiko adalah faktor yang mendorong
munculnya hasil yang negatif pada keluarga. Sedangkan faktor pelindung
adalah faktor yang mengurangi kemungkinan munculnya hasil negatif
tersebut (Mackay dalam Wandasari, 2012).
Untuk mengurangi hasil negatif ini, maka Walsh (2006) menyebutkan
bahwa proses kunci dari resilensi keluarga yang berperan sebagai faktor
pelindung. Ketiga proses kunci tersebut adalah sistem keyakinan, pola
organisasi dan proses komunikasi.
a. Sistem Keyakinan
Walsh (2006) menjelaskan bahwa sistem keyakinan keluarga
merupakan inti dari semua keberfungsian keluarga dan merupakan
dorongan yang kuat bagi terbentuknya resiliensi. Keluarga menghadapi
krisis dan kesulitan dengan memberi makna pada kesulitan tersebut
dengan cara mengaitkan dengan lingkungan sosial, nilai-nilai budaya
dan spritiual, generasi yang sebelumnya, dan dengan harapan serta
keinginan di masa yang akan datang. Bagaimana keluarga memandang
masalah dan pilihan penyelesaiannya dapat membuat keluarga mampu
mengatasi masalah tersebut atau malah menjadi putus asa dan tidak
berfungsi dengan baik.
Belief atau keyakinan merupakan kacamata bagi seseorang dalam
memandang dunianya yang memengaruhi apa yang dilihat atau
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
13
diabaikan serta apa yang dipersepsikan (Wright, Watson & Bell;
Walsh, 2006). Wright dkk. menjelaskan bahwa sistem keyakinan
keluarga meliputi nilai, pendirian, sikap, bias dan asumsi yang
bergabung dan membentuk dasar pemikiran yang memicu respon
emosional, mengarahkan keputusan, dan mengatur tingkah laku
(Walsh, 2006). Walsh mengemukakan tiga area kunci dalam sistem
keyakinan keluarga yaitu: memberi makna pada kesulitan, pandangan
yang positif, serta transenden dan spiritualitas dengan penjelasan
sebagai berikut :
1) Memberi makna pada kesulitan
Pandangan keluarga bahwa kesulitan yang sedang dialami
adalah hal yang masuk akal dan mengambil hikmah dari apa yang
terjadi merupakan hal yang sangat penting bagi resiliensi
(Antonovsky; Walsh, 2006). Keluarga yang melihat kesulitan
sebagai tantangan berasama dan hal yang wajar terjadi dalam
kehidupan keluarga mampu mendorong keluarga untuk bertahan
dan bangkit dari kesulitan tersebut (Walsh, 2006).
2) Pandangan positif
Pandangan positif merupakan hal yang penting bagi resiliensi
(Walsh, 2006). Keluarga yang berpandangan positif memiliki
harapan akan masa depan yang lebih baik, memandang sesuatu
secara optimis, percaya diri dalam menghadapi masalah, serta
memaksimalkan kekuatan dan potensi yang dimiliki. Selain itu,
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
14
pandangan positif juga terlihat pada inisiatif dan usaha yang gigih
anggota keluarga dalam menghadapi kesulitan, serta menguasai
situasi yang dapat dikendalikan dan menerima situasi yang tidak
dapat dikendalikan.
3) Transenden dan spiritualitas
Transenden memberikan makna, tujuan dan hubungan di luar
diri seseorang, keluarganya dan masalah yang dihadapi (Walsh,
2006). Transenden memberikan kejelasan mengenai kehidupan
seseorang dan memberi dukungan ketika mengalami stres. Nilainilai transenden dapat membuat seseorang menilai kehidupan dan
hubungannya dengan orang lain sebagai sesuatu yang berharga dan
penting. Di dalam kelaurga, nilai-nilai transenden dapat membuat
mereka melihat kenyataan dari sudut pandang yang lebih luas dan
selalu memunculkan harapan.
Werner dan Smith menjelaskan bahwa spritualitas merupakan
penghayatan terhadap nilai-nilai yang tertanam yang membuat
seseorang
dapat
memaknai,
merasakan
kesatuan
dan
keterhubungan dengan orang lain. Spritiualitas dapat dialami
seseorang baik di lingkungan agama maupun di luar itu. Agama
dan spiritualitas menawarkan rasa nyaman dan hikmah di balik
kesulitan. Keyakinan pribadi membuat seseorang tangguh dalam
menghadapi kesusahan dan mampu mengatasi tantangan. (Walsh,
2006).
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
15
b. Pola Organisasi
Untuk menghadapi krisis dan kesulitan secara efektif, keluarga
harus menggerakan dan mengatur sumber daya mereka, menahan
tekanan, dan mengatur kembali submber daya tersebut sesui dengan
kondisi yang berubah (Walsh, 1998). Pola organisasi keluarga
dipertahankan
oleh
norma-norma
eksternal
dan
internal
dan
dipengaruhi oleh budaya dan sistem keyakinan keluarga. Terdapat tiga
elemen dari pola organisasi yaitu fleksibilitas, keterhubungan, dan
sumber daya sosial dan ekonomi dengan penjelasan sebagai berikut :
1) Fleksibilitas.
Fleksibilitas
mencakup
kemampuan
untuk
beradaptasi
terhadap perubahan dengan bangkit kembali, mengatur ulang dan
beradaptasi dengan situasi yang berubah. Fleksibilitas juga dapat
terwujud dengan tetap dilaksanakannya kegiatan dan kebiasaan
yang rutin dilakukan keluarga sehingga dapat menjaga kontinuitas
dan mengembalikan stabilitas keluarga yang dapat mendorong
resiliensi. Pola kepemimpinan yang otoritatif, kerja sama dalam
pengasuhan serta adanya kesetaraan dan saling menghargai juga
merupakan salah satu bentuk fleksibilitas yang dapat mendorong
terbentuknya resiliensi.
2) Keterhubungan
Keterhubungan atau kohesi merupakan ikatan struktural dan
emosional pada anggota keluarga. Menurut Olson dan Gorel
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
16
keluarga dengan ikatan yang kuat cenderung merasa puas dan
terhubung dengan apa yang ada di dalam keluarga tersebut (Walsh,
2006). Bentuk keterhubungan dalam keluarga adalah saling
mendukung, bekerja sama, komitmen serta tetap menghormati
perbedaan, keinginan dan batasan individu.
3) Sumber daya sosial dan ekonomi
Dalam menghadapi situasi krisis, keluarga besar dan jaringan
sosial dapat menyediakan bantuan, dukungan emosional dan
adanya rasa keterikatan terhadap sebuah kelompok. Ketika
keluarga mengalami kesulitan dalam menghadap masalah di dalam
keluarga, maka mereka cenderung akan meminta bantuan di luar
seperti keluarga besar, teman, tetangga dan komunitas mereka.
Selain itu, untuk dapat memperkuat keberfungsiannya, keluarga
juga harus memperoleh kestabilan ekonomi dengan tetap menjaga
keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan keluarga.
c. Proses Komunikasi
Komunikasi dapat memfasilitasi seluruh fungsi keluarga dan
merupakan hal yang penting bagi resiliensi (Walsh, 2006). Pada situasi
krisis, komunikasi merupakan hal yang esensial dalam membantu
proses pemecahan masalah. Epstein (dalam Walsh, 2003) menjelaskan
bahwa komunikasi meliputi transmisi keyakinan, pertukaran informasi,
ekspresi emosi dan proses pemecahan masalah. Ada tiga aspek
komunikasi yang baik yaitu kejelasan, ungkapan emosi dan
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
17
penyelesaian masalah yang kolaboratif, seperti yang dijelaskan sebagai
berikut.
1) Kejelasan
Kejelasan dalam berkomunikasi mencakup informasi yang
disampaikan secara langsung, tepat, spesifik, jujur dan masingmasing anggota memiliki informasi dan pemahaman yang sama
mengenai situasi krisis yang dihadapi, serta adanya keterbukaan
komunikasi di dalam keluarga.
2) Ungkapan emosi
Keluarga yang berfungsi dengan baik dapat mengungkapkan
emosi yang dirasakannya dengan nyaman baik emosi positif
seperti bahagia, berterima kasih, cinta dan harapan maupun emosi
negatif seperti sedih, takut, marah dan kecewa. Selain itu, anggota
keluarga juga saling memahami apa yang dirasakan oleh anggota
keluarga lainnya. Anggota keluarga yang juga bertanggung jawab
terhadap apa yang ia rasakan dengan tidak menyalahkan orang lain
atas itu, serta interaksi yang diwarnai dengan hal yang
menyenangkan seperti humor.
3) Pemecahan masalah secara kolaboratif
Pemecahan masalah secara efektif merupakan hal yang
esensial bagi keluarga untuk menghadapi situasi krisis dan
kesulitan. Proses pemecahan masalah yang efektif ini meliputi
masalah
dan
penyebab
terkait,
brainstroming
mengenai
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
18
kemungkinan
pemecahan
masalah,
saling
berbagi
dalam
mengambil keputusan, berfokus pada tujuan dengan mencoba
mengambil langkah-langkah konkret dan belajar dari kesalahan.
Pendapat lain dikemukakan oleh Mackay (2003) yang menjelaskan
beberapa hal yang mendukung terbentuknya resiliensi keluarga (family
resilience) dalam Social Policy Journal of New Zealand yang mencakup
aspek kohesivitas keluarga, sistem kepercayaan keluarga, peranan agama,
strategi coping dan komunikasi. Aspek tersebut dijabarkan sebagai
berikut:
1. Kohesivitas keluarga (family cohesion)
Hubungan emosi antar anggota keluarga adalah hal yang sangat
penting dalam menjalankan fungsi keluarga. Keluarga yang memiliki
pertalian emosi yang baik, lebih baik dalam menghadapi tantangan
untuk mencapai kesejahteraan dan mengatasi tekanan (stress) dengan
baik.
Kohesivitas keluarga adalah hubungan emosional yang erat antar
masing-masing
anggota
keluarga
sehingga
mendukung
fungsi
keluarga, menimbulkan keinginan untuk terus bersatu dengan
keluarganya.
2. Sistem kepercayaan keluarga (family belief systems)
Aspek ini mencakup nilai, sikap, pendirian, prasangka, dan
anggapan yang dimiliki keluarga. Hal tersebut memberikan gambaran
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
19
bagaimanan cara keluarga memandang kehidupan serta menghadapi
persoalan hidup yang dimiliki, sehingga berdampak pada kemampuan
keluarga untuk menghadapi krisis.
3. Peranan agama (the role of religion)
Scazoni dan Arnett (dalam Mackay, 2003) menjelaskan bahwa
kesungguhan beragama memiliki pengaruh positif terhadap komitmen
perkawinan
dan
strategi
penyelesaian
masalah
dalam
perkawinan/keluarga.
Dalam hal ini bagaimana peran agama dalam kehidupan keluarga
dapat berpengaruh terhadap komitmen keluarga untuk tetap bersatu,
menjalankan peran dalam keluarga dan dalam penyelesaian masalah
dalam keluarga.
4. Strategi coping (coping strategies)
Strategi menangani masalah dalam keluarga mewakili kompetensi
dan resiliensi. Coping mengarah pada respon yang sesuai terhadap
tekanan, kompetensi mengarah pada karakteristik yang dibutuhkan
untuk melakukan adaptasi yang baik dan resiliensi mencerminkan hasil
ketika kompetensi dan coping dilakukan.
Strategi coping memberikan gambaran
bagaimana keluarga
menangani masalah, menggunakan respon yang tepat dan mampu
beradaptasi dengan kesulitan sehingga memunculkan kemampuan
menghadapi masalah.
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
20
5. Komunikasi (communication)
Komunikasi merupakan aspek kunci dari keberfungsian keluarga.
Komunikasi efektif sangat penting dibangun dalam keluarga untuk
menentukan pengambilan keputusan, bernegosiasi, menyepakati
keputusan bersama, dan hubungan timbal balik satu sama lain dalam
kehidupan keluarga.
Komponen resiliensi keluarga juga dikemukakan oleh Otto (dalam
McCubin, 1998; Puspitawati, 2012) meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Keutuhan keluarga, loyalitas dan kerjasama dalam keluarga
b. Ikatan emosi yang kuat
c. Saling menghormati antar anggota keluarga
d. Fleksibilitas dalam melaksanakan peran keluarga
e. Kemampuan pengasuhan dan perawatan tumbuh kembang anak
f. Komunikasi yang efektif
g. Kemampuan mendengarkan dengan sensitif
h. Pemenuhan kebutuhan spiritual keluarga
i. Kemampuan memelihara hubungan dengan lingkungan luar keluarga
j. Kemampuan untuk meminta bantuan apabila dibutuhkan
k. Kemampuan untuk berkembang melalui pengalaman
l. Mencintai dan mengerti
m. Komitmen spiritual
n. Berpartisipasi aktif dalam masyarakat.
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
21
Artinya, komponen atau aspek
yang telah disebutkan akan
mendorong terbentuknya keluarga yang resilien, yakni keluarga yang
mampu menghadapi kesulitan, bangkit dengan cara-cara yang positif dari
kesulitan tersebut.
3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Resiliensi Keluarga
Simon, Murphy dan Smith (dalam Wandasari, 2012) menjelaskan
tiga hal yang dapat memengaruhi resiliensi keluarga :
a. Durasi situasi sulit yang dihadapi
Mencakup berapa lama keluarga tersebut mengalami situasi sulit.
McCubbin dan McCubbin (1998) menjelaskan bahwa keluarga yang
mengalami situasi sulit dalam jangka waktu yang relatif singkat,
hanya memerlukan perubahan dalam keluarga, sedangkan keluarga
yang mengalami situasi dalam jangka waktu panjang memerlukan
penyesuaian terhadap situasi yang dialami.
b. Tahap perkembangan keluarga
Tahap perkembangan pada saat keluarga mengalami krisis atau
tantangan,
memengaruhi
resiliensi
keluarga
(McCubbin
dan
McCubbin, 1988; Walsh, 1998). Tahap perkembangan keluarga ini
memengaruhi jenis tantangan atau krisis yang dihadapi dan kekuatan
yang dimiliki keluarga untuk dapat mengatasi dan bangkit dari krisis
atau tantangan tersebut.
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
22
c. Sumber dukungan internal dan eksternal
Sumber dukungan internal dan eksternal yang digunakan saat
menghadapi situasi sulit juga dapat memengaruhi resiliensi (Walsh,
2006). McCubbin dan McCubbin berpendapat bahwa keluarga yang
tidak hanya mengandalkan dukungan internal, tetapi juga mencari
dukungan dari lingkungan sosial seperti keluarga besar, teman dan
anggota komunitasnya menunjukkan resiliensi yang lebih besar
(Murphy dan Smith, 2005;Wandasari, 2012)
B. Keluarga
1. Definisi Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala
keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat
di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI,
1998 dalam Kertamuda, 2009).
Keluarga merupakan hubungan atau interaksi antara dua orang atau
lebih dan mempunyai ikatan darah, ikatan karena pernikahan, kekerabatan
yang didalamnya terdapat suatu sistem yang saling mengikat satu sama
lain seperti adanya aturan, perbedaan budaya dan perbedaan peran setiap
anggota (Kertamuda, 2009).
2. Bentuk-bentuk Keluarga
Kertamuda (2009) menyebutkan bahwa keluarga di Indonesia sangat
kuat dipengaruhi oleh suatu sistem, baik itu kekerabatan, budaya, aturan-
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
23
aturan yang berlaku dan juga sistem nilai yang ada. Bentuk keluarga juga
erat kaitannya dengan semakin kompleksnya kehidupan saat ini yang
ditimbulkan oleh status sosial dan ekonomi dan juga dinamika yang terjadi
dalam keluarga Indonesia. Terdapat beberapa tipe/bentuk keluarga,
diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Keluarga batih (Nuclear family)
Keluarga batih merupakan satu unit keluarga terkecil yang terdiri
atas ayah, ibu dan anak. Keluarga batih tidak menjalin hubungan
fungsional yang berorientasi pada kerabat dari keluarga salah satu
pihak (Goode; Sunarto; Kertamuda, 2009).
Keluarga batih sebagai keluarga inti memiliki keunggulan, yaitu
keakraban yang terjalin dalam hubungan satu anggota keluarga dengan
anggota lain. Keakraban dapat menciptakan suatu komunikasi yang
baik satu dengan yang lain. Di samping keunggulan dalam
komunikasi, keluarga batih di satu sisi memiliki kekurangan, yaitu
keterbatasan anggota dalam keluarga sehingga interaksi yang terjadi
hanya terbatas pada keterlibatan orang yang di luar keluarga akan
sangat sulit diterima.
b. Keluarga luas (Extended family)
Keluarga luas terdiri atas beberapa keluarga batih. Salah satu
ciri keluarga luas adalah joint family, yang terdiri atas beberapa orang
kakak beradik beserta anak-anak mereka, dan saudara kandung
perempuan mereka yang belum menikah (Sunarto, dalam Kertamuda,
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
24
2009). Keluarga luas merupakan keluarga yang di dalamnya termasuk
sejumlah keluarga ini adalah salah satu ciri dari keluarga Indonesia,
dimana ikatan darah menjadi pemersatu dalam hubungan satu dengan
yang lain.
c. Keluarga konjugal atau pertalian (Conjugal family)
Keluarga ini terdiri atas pasangan suami istri beserta anak dan
mepunyai hubungan dengan kerabat dari keluarga yang berorientasi
pada salah atau kedua belah pihak (Goode; Sunarto; Kertamuda, 2009).
Keluarga konjugal yang seringkali ditemui adalah adanya kerabat
(bukan ikatan darah) yang tinggal dengan keluarga tersebut.
d. Keluarga dengan orang tua tunggal (Single parent family)
Keluarga dengan orang tua tunggal merupakan keluarga yang
hanya salah satu dari orang tua yang tinggal bersama anaknya
(mungkin ibu, mungkin ayah) dan bertanggung jawab sepenuhnya atas
anak setelah kematian pasangannya, perceraian atau karena kelahiran
anak di luar nikah (Hurlock dalam Kertamuda, 2009)
3. Fungsi Keluarga
Benokraitis (dalam Kertamuda, 2009) mengemukakan lima fungsi dari
keluarga yang terdiri dari :
a. Mengatur aktivitas seksual
Setiap masyarakat mempunyai norma atau aturan dalam
hubungan seksual. Terdapat banyak hubungan seksual yang melanggar
hukum dan norma yang berlaku di masyarakat. Misalnya, hubungan
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
25
seksual yang terjadi antara saudara sedaran atau dikenal dengan inses
(incest), seperti hubungan antara kakak dan adik, ayah dan anak
kandung, panan dan keponakan, kakek dan cucu.
b. Tempat anak bersosialisasi
Anak menyerap banyak hal dari keluarga seperti sikap,
keyakinan, serta nilai-nilai dalam keluarga, dan anak juga belajar
kemampuan dalam berinteraksi yang kelak dapat bermanfaat dalam
kehidupannya di masa mendatang.
c. Jaminan dan keamanan secara ekonomi
Keluarga sangat berperan dalam pemenuhan kebutuhan baik itu
keamanan stabilitas finansial seperti makanan, perlindungan, pakaian
dan sumber materi untuk kelangsungan hidup.
d. Pemberi dukungan emosional
Keluarga adalah kelompok utama yang penting karena keluarga
memberikan dukungan, cinta dan kebutuhan emosional yang membuat
anggota keluarga terpenuhi kebutuhannya, sehinggga membuat mereka
bahagia.
e. Tempat status sosial
Kelas sosial dapat dikategorikan sama dengan tingkat dalam
kemasyarakatan yang terkait dengan kekayaan, pendidikan, kekuatan,
prestise, dan sumber nilai-nilai. Kelas sosial dapat memengaruhi
kehidupan keluarga. Misalnya dari mana asal keluarga, berapa jumlah
anak, bagaimana hubungan orang tua dan anaknya, hingga bagaimana
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
26
pasangan saling berinteraksi yang dapat mencerminkan kelas sosial
dari suatu keluarga.
C. Fase-Fase dan Dimensi Duka Cita
1. Fase Duka Cita
Duka cita (grieve) adalah kelumpuhan emosional, tidak percaya,
kecemasan akan berpisah, putus asa, sedih dan kesepian yang menyertai di
saat kita kehilangan orang yang kita cintai. (Santrock, 2007).
Feldman, dkk. (2007) menjelaskan bahwa duka karena kehilangan –
kehilangan seseorang yang dirasakan dekat dan proses menyesuaikan diri
dengan kondisi tersebut- secara praktik dapat memengaruhi semua aspek
kehidupan mereka yang ditinggalkan. Kehilangan sering kali membawa
perubahan dalam status dan peran (misalnya, dari seorang isteri menjadi
janda atau dari seorang nak menjadi seorang piatu). Kondisi tersebut dapat
memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi-kehilangan teman dan
terkadang pemasukan. Akan tetapi, pertama-tama adalah rasa duka –
respon emosional yang dialami pada awal fase berduka.
Santrock (2007) menjelaskan bahwa di fase awal, orang yang
ditinggalkan akan merasa terkejut, tidak percaya, dan lumpuh, sering
menangis atau mudah marah. Fase ini terjadi sesaat setelah kematian dan
biasanya berlangsung selama 1-3 hari.
Fase kedua ditandai dengan perasaan sakit yang berkepanjangan
akibat kematian, memori dan gambaran-gambaran visual mengenai
kematian, kesedihan dan susah tidur, mudah tersinggung dan kegelisahan.
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
27
Muncul tidak lama setelah kematian, dan fase ini sering memuncak di
minggu kedua hingga keempat setelah kematian dan biasanya mereda
setelah beberapa bulan, tetapi dapat juga bertahan hingga 1-2 tahun.
Fase ketiga, biasanya terjadi 1 tahun setelah kematian. Fase resolusi
duka cita ini ditandai dengan mengingat aktivitas sehari-hari dengan orang
yang meninggal, kemudian kembali menjalin hubungan baru dengan orang
lain.
Sementara itu, menurut Kubbler-Ross dikutip dari blog.kenz.or.id,
dijelaskan bahwa ada lima fase yang biasanya dilalui oleh seseorang ketika
mengalami duka cita akibat kematian anggota keluarga. Tahapan tersebut
terbagi menjadi lima tahap yakni sebagai berikut :
a. Shock (terkejut)
Pada tahapan ini rasa tidak percaya akan kematian orang tua
terjadi. Anggota keluarga terkejut, diikuti berbagai macam reaksi
psikologis seperti kesedihan,
perasaan kehilangan, menangis dan
tertekan.
b. Denial (penyangkalan)
Pada tahapan kedua, anggota keluarga berusaha menyangkal
kematian dengan mengatakan hal tersebut tidak boleh terjadi karena
tidak ingin berpisah dengan salah satu orang tua.
c. Anger (kemarahan)
Pada tahapan ini, anggota keluarga mulai mengungkit penyebab
kematian
dan
menyalahkan
orang-orang
yang
terlibat
serta
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
28
menyesalinya. Hal tersebut seperti menyalahkan Tuhan, menyalahkan
situasi dan orang lain, dokter, tim medis dan hal lainnya.
d. Mourning (berkabung)
Fase ini merupakan fase yang berlangsung cukup lama, bisa
berlangsung beberapa bulan atau mungkin beberapa tahun. Perasaan
depresi, rasa bersalah, rasa kehilangan, kesepian, panik dan menangis
tanpa pemicu yang jelas bisa saja ditampakkan dalam fase ini, bahkan
bisa termanifestasi dalam penyakit fisik ringan.
e. Recovery (pemulihan)
Pada fase ini, anggota keluarga mulai pulih dari perasaan
kehilangan seiring dengan berjalannya waktu. Anggota keluarga yang
ditinggalkan mulai bisa menjalani aktivitas sehari-hari dengan baik dan
telah menerima kehilangan tanpa kesedihan seperti sebelumnya.
Sementara itu, John Bowlbly (dalam Brooks, 2011) menjelaskan
empat fase dalam proses kedukaan : (1) sebuah periode kekakuan yang
berlangsung berjam-jam atau berminggu-minggu dimana seseorang harus
menerima fakta kematian, tetapi belum mampu meredakan emosi karena
lukanya sangat besar, (2) periode memprotes dan merindukan di mana
seseorang menolak menerima fakta kematian dan mencari-cari orang yang
meninggal, (3) periode kesedihan dan putus asa dimana kenyataan
kematian telah diterima secara emosional dan hidup tanpa orang tersebut
terlihat tidak tertahankan, dan (4) periode pengaturan hidup kembali untuk
meneruskan hidup tanpa orang tersebut.
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
29
Tidak ada waktu spesifik mengenai berapa lama seseorang berduka.
Anak mungkin melalui kedukaan lebih cepat dibandingkan orang dewasa.
Diperkirakan biasanya satu tahun merupakan jangka waktu yang umum
untuk berduka, dan merasa sedih dan berduka setelah setahun
mengindikasikan adanya masalah. Dibutuhkan 2 tahun atau lebih sebelum
orang-orang mengatur kembali hidupnya dan mencapai keseimbangan
emosional yang stabil. Namun, akan tetap ada pengingat dan kemunculan
tiba-tiba pada kedukaan yang mendalam (Brooks, 2011).
2. Dimensi Duka Cita
Menurut Jacob (dalam Santrock, 2007) duka cita tidaklah sederhana,
tidak hanya sekedar pernyataan emosi, tetapi lebih kompleks, proses yang
lambat laun terjadi, bersifat multi-dimensi. Hal tersebut meliputi:
a. Kerinduan terhadap orang yang meninggal
b. Rasa cemasa karena perpisahan dengan orang yang meninggal
c. Reaksi
yang
bersifat
tiba-tiba
terhadap
kehilangan
yang
mengakibatkan emosi tumpul, kelumpuhan dan ketidakpercayaan, dan
ledakan kepanikan atau penuh dengan air mata yang berlebihan
d. Keputusasaan dan kesedihan yang mengandung penolakan, gejala
deprsif, apatis, kehilangan arti mengenai kegiatan yang melibatkan
orang yang telah pergi dan perasaan kesunyian.
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
30
D. Dinamika Resiliensi Keluarga pada Keluarga yang Salah Satu Orang
tuanya telah Meninggal
Nevid dkk. (2003) menjelaskan bahwa peristiwa menyedihkan
kehilangan orang yang dicintai seperti pasangan atau orang tua menjadi
peristiwa perubahan hidup yang menjadi sumber stres dan membutuhkan
penyesuaian diri yang amat sulit.
Bagi anak, kematian orang tua merupakan “kehilangan terburuk”. Anak
telah kehilangan sosok tempat ia bergantung untuk mendapatkan keamanan
dalam hidup, dan orang tua yang masih hidup kehilangan pendampingnya
(Brooks, 2011).
Setelah kematian salah satu orang tua, orang tua yang masih hidup
menghadapi tanggungjawab baru untuk
melindungi anak-anaknya sendiri
(Schonfeld & Quackenbush, 2009). Kematian salah satu orang tua, mengubah
bentuk keluarga yang awalnya terdiri dari ayah, ibu dan anak menjadi
keluarga dengan satu orang tua/single parent family. Keluarga dengan orang
tua tunggal merupakan keluarga yang hanya salah satu dari orang tua yang
tinggal
bersama
anaknya
(mungkin
ibu,
mungkin
ayah)
dan
bertanggungjawab sepenuhnya atas anak setelah kematian pasangannya
(Hurlock dalam Kertamuda, 2009).
Berubahnya bentuk keluarga menuntut keluarga tersebut untuk kembali
menyesuaikan diri pada situasi kehilangan dengan melewati fase-fase sulit
dalam masa duka cita. Dalam masa duka cita, anggota keluarga memiliki
dinamika psikologis seperti kelumpuhan emosional, tidak percaya, kecemasan
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
31
akan berpisah, putus asa, sedih dan kesepian yang menyertai di saat seseorang
kehilangan orang yang dicintai (Santrock, 2007).
Selain dinamika psikologis yang dialami masing-masing anggota
keluarga, Feldman, dkk. (2007) menjelaskan bahwa duka karena kehilangan
–kehilangan seseorang yang dirasakan dekat dan proses menyesuaikan diri
dengan kondisi tersebut– secara praktik dapat memengaruhi semua aspek
kehidupan mereka yang ditinggalkan. Kehilangan sering kali membawa
perubahan dalam status dan peran (misalnya, dari seorang isteri menjadi janda
atau dari seorang anak menjadi seorang piatu). Kondisi tersebut dapat
memiliki konsekuensi sosial dan ekonomi.
Tidak bisa dihindarkan bahwa fase duka dan perasaan kehilangan dalam
keluarga mempengaruhi kondisi keluarga. Beralihnya bentuk keluarga
menjadi keluarga dengan orang tua tunggal membuat fungsi keluarga berubah
dan membutuhkan penyesuaian kembali selama fase krisis. Oleh karena itu,
keluarga harus memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan situasi sulit
secara positif agar dapat kembali bangkit dari masa krisis yang dialami.
Kemampuan tersebut menurut McCubbin dan McCubbin (1998),
disebut dengan resiliensi keluarga. Resiliensi keluarga merupakan pola
perilaku positif dan kemampuan fungsional yang dimiliki oleh individu dan
keluarga yang ditampilkan dalam situasi sulit atau menekan. Pola perilaku
positif dan kemampuan fungsional ini menentukan kemampuan keluarga
untuk pulih dengan tetap mempertahankan integritasnya sebagai sebuah
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
32
kesatuan dengan tetap mempertahankan dan memperbaiki kesejahteraan
anggota keluarga dan unit keluarga secara keseluruhan.
Untuk mengurangi dampak negatif dari kejadian sulit yang dialami
seperti kematian salah satu orang tua,
maka Walsh (2006) menyebutkan
bahwa proses resilensi keluarga berperan sebagai faktor pelindung. Ketiga
proses kunci tersebut adalah sistem keyakinan, pola organisasi dan proses
komunikasi.
Walsh (2003) mengemukakan tiga area kunci dalam sistem keyakinan
keluarga yaitu: memberi makna pada kesulitan, pandangan yang positif, serta
transenden dan spiritualitas. Pada kunci kedua yakni pola organisasi, terdiri
dari fleksibilitas, keterhubungan, dan sumber daya sosial dan ekonomi. Kunci
ketiga yakni proses komunikasi, terdiri dari kejelasan, ungkapan emosi dan
penyelesaian masalah yang kolaboratif.
Untuk mencapai keluarga yang resilien pasca-kematian salah satu orang
tua, diperlukan proses yang panjang dan berbeda-beda pada masing-masing
keluarga. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, tidak menjelaskan apakah
salah satu keluarga dinyatakan resilien atau tidak, melainkan untuk meneliti
dinamika resilensi dalam keluarga. Dinamika resiliensi keluarga dijabarkan
melalui aspek-aspek resiliensi keluarga, yang memberikan gambaran
bagaimana keluarga tersebut menghadapi dan menjalani fase duka sebagai
masa sulit dalam keluarga.
Penjelasan diatas, dapat dijelaskan sebagai kerangka berpikir dalam
penelitian yang digambarkan sebagai berikut :
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
33
Keluarga Inti
Salah satu orang tua
meninggal
1.
Menghadapi duka cita
sebagai masa sulit yang
dialami oleh keluarga
2. Kesulitan yang dihadapi
setelah kematian salah satu
orang tua
1. Pola keyakinan
2. Sistem organisasi
3. Komunikasi
Dinamika Resilensi
Keluarga
Gambar 1. Kerangka berfikir penelitian
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
Dinamika Resiliensi Keluarga…, Maulida Khikmawati, Fakultas Psikologi UMP, 2016
Download