Dampaknya bagi Kesultanan Aceh dan Kesultanan Banten

advertisement
18
Artikel
Lada Si Emas Panas:
Dampaknya bagi Kesultanan Aceh dan Kesultanan Banten
Ery Soedewo
Balai Arkeologi Medan
Lada menjadi komoditas ekspor utama pada abad ke-17 dari kepulauan nusantara,
terutama di Sumatera dan Jawa (Banten). Pada awal abad ke-16, Aceh tidak banyak
menghasilkan lada. Hingga awal abad ke-17 pun kondisi tersebut tidak berubah.
Pusat-pusat penghasil utama lada di Pulau Sumatera mula-mula lebih ke selatan
letaknya, di pantai baratnya.
1. Pendahuluan
Lada atau merica merupakan salah
satu rempah yang dihasilkan di kepulauan
nusantara.
Rempah
ini
tampaknya
diperkenalkan sedini abad ke-14 oleh para
pedagang dari India (terutama Malabar) di
beberapa tempat di bagian utara Pulau
Sumatera, bersamaan dengan penyebaran
agama Islam (Lombard, 2006: 59).
Hasil nyata dari diperkenalkannya
tanaman ini dilihat langsung oleh Ma Huan
seorang penerjemah muslim Cina dalam
ekspedisi maritim laksamana kekaisaran
Dinasti Ming, Cheng Ho pada abad ke-15
M. Pelayaran armada Cheng Ho yang
dimulai pada tanggal 19 Januari 1431 dari
pelabuhan Nanking akhirnya tiba di Su-menta-la (Samudera) pada tanggal 12 September
1432 setelah singgah di beberapa tempat
dalam perjalanannya (Chun, 1979: 15-17).
Saat berada di Samudera itulah Ma Huan
menyaksikan kebun lada dibudidayakan di
lereng pegunungan. Ma Huan memerikan
budi daya tanaman itu sebagai berikut,
“tumbuhannya menjalar, menghasilkan bunga
yang berwarna putih dan kuning; ladanya
sendiri dihasilkan dari buahnya; berwarna
hijau saat muda dan berwarna merah saat
sudah tua; para petani menunggu untuk
memanennya hingga buahnya setengah tua.
Setelah dipanen, buahnya dijemur di bawah
terik matahari, setelah kering lalu dijualnya.
Setiap 100 chin dihargai 80 keping uang
emas, yang senilai 1 liang perak” (Chun,
1979: 118).
Harga yang tinggi dari rempah
tersebut mengundang banyak pedagang dari
berbagai negara berdatangan ke pusat-pusat
HISTORISME
penghasil dan perdagangan lada. Di kepulauan
nusantara dua tempat yang dikenal sejak abad
ke-16 sebagai penghasil lada adalah Aceh dan
Banten. Kedua kesultanan tersebut menikmati
masa-masa kejayaan perdagangan lada yang
mengakibatkan tidak saja makin makmurnya
kedua negara tersebut pada suatu masa,
namun juga suatu akibat buruk yang
mungkin tidak pernah diperkirakan akan
menghampiri kedua kesultanan itu.
Dalam tulisan singkat ini akan
dipaparkan bagaimana pertumbuhan dan
perkembangan budi daya lada sekaligus
perdagangannya yang membawa berbagai
dampak bagi peradaban di Aceh dan Banten.
2. Pusat-Pusat Budidaya Lada
2.1 Pulau Sumatera dan Semenanjung
Malaka
Lada menjadi komoditas ekspor
utama pada abad ke-17 dari kepulauan
nusantara, terutama di Sumatera dan Jawa
(Banten). Pada awal abad ke-16 dikatakan
oleh Pires bahwa Aceh tidak banyak
menghasilkan lada. Hingga awal abad ke17 pun kondisi tersebut tidak berubah,
menurut Beaulieu (pada tahun 1621),
”Sekarang ini belum mencapai 500 bahar
setiap tahun, lagi pula kecil-kecil ladanya”,
lebih lanjut dikatakannya bahwa karena
keperluan akan beras, salah seorang raja
terdahulu telah menyuruh cabut pohonpohon lada (Lombard, 2006: 101).1
1
“Dahulu jumlahnya besar, tetapi sang raja
melihat bahwa orang Aceh terlalu gemar menanamnya
sampai melalaikan penggarapan tanah sehingga setiap
tahun bahan makanan mahal sekali; maka raja itu
menyuruh cabut semuanya”.
ERY SOEDEWO
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
Universitas Sumatera Utara
19
Artikel
Pusat-pusat penghasil utama lada
di Pulau Sumatera mula-mula lebih ke selatan
letaknya, di pantai baratnya. Parmentier pada
tahun 1529 singgah di pelabuhan Tiku untuk
mengisi palka kapalnya dengan rempah yang
tinggi nilainya itu. Kata Beaulieu, “Di
Pasaman, kebun-kebun lada mulai ditemukan,
letaknya pada kaki sebuah gunung yang tinggi
sekali, yang kelihatan dari jarak tiga puluh
mil jika langit cerah, ladanya bagus-bagus
dan besar, tujuh mil dari sana terletak Tiku
yang lebih berlimpah-limpah lagi ladanya;
di tempat-tempat tadi ada saja ladanya”
(Lombard, 2006: 102).
Kelompok perkebunan yang kedua
terdapat di Semenanjung Malaka, Pulau
Langkawi, dan Kedah. Oleh karena kesal
disuruh Iskandar membayar harga lada terlalu
tinggi, Beaulieu pada suatu pagi membongkar
sauh dan menuju ke utara dengan harapan
akan mendapat harga yang lebih baik dari
Sultan Kedah, saingan Sultan Aceh. Ia
singgah di Langkawai yang perkebunan
ladanya, “ada di kaki gunung seperti juga di
dataran rendah sepanjang 3 hingga 4 mil,
tumbuhannya dipelihara seperti tumbuhan
anggur yang tinggi cabang-cabangnya...yang
merawat di situ tak lebih dari 100 tawanan”
(Lombard, 2006: 102).
Lalu Beaulieu ke Kedah minta izin
pada sultan untuk mengadakan pembelian;
dilihatnya bahwa di sana pun tumbuh
tanaman lada, bukan main indahnya,
meskipun kurang banyak jumlahnya. Dalam
hubungan inilah Beaulieu memerikan
tentang tanaman lada dan pemeliharaannya:
“..., tumbuhnya di tanah yang baru dibuka
dan yang gemuk; di negeri ini lada ditanam
pada kaki segala macam pohon, dan pohon
itu yang dililiti dan dijalarinya seperti cara
tanaman hop. Mereka yang mau membuat
tanaman lada, menanam tunas dari pohon
lada yang sudah tua di salah satu semak;
semua rerumputan yang tumbuh di
sekitarnya harus dibersihkan atau disiangi
dengan tekun. Tunas itu tumbuh tanpa
berbuah sampai tahun ketiga; lalu mulailah
ia pada tahun keempat keluarlah buahnya
berlimpah-limpah dan besar-besar, dan
tanaman semacam itu menghasilkan enam,
tujuh pon lada, dan tak pernah buahnya
sebesar dan sebanyak pada tahun panen
HISTORISME
pertama dan kedua, dan juga tahun ketiga
yang rata-rata boleh dikatakan sama. Pada
panen ke-4, ke-5, dan ke-6 hasilnya kurang
sepertiga, yaitu pada umur sembilan tahun.
Tahun kesepuluh, kesebelas, dan keduabelas
buahnya hampir tak ada lagi dan kecil-kecil;
lalu habis sama sekali” (Lombard, 2006: 102-103).
“Pada bulan Agustus lada itu besar
dan hijau, dan rasanya sangat pedas, tapi
oleh penduduk dimakan sebagai salada atau
diacar, yaitu dicampur dengan buah-buahan
lain dalam kuah cuka yang dapat disimpan
satu tahun penuh. Pada bulan Oktober lada
itu merah, pada bulan November warnanya
menjadi hitam...” (Lombard, 2006: 103).
Dalam dunia beriklim sesuai, lada
merupakan tanaman yang bandel, mudah
tumbuh dari setekan pada beberapa batang
yang berbuku, melilitkan diri pada setiap
benda yang berdiri dekatnya, dan berpegang
dengan akar yang tumbuh dari tiap-tiap
buku, dengan panjang ruas kira-kira enam
sampai sepuluh inci. Mungkin tanaman ini
mengambil sebagian dari makanannya
melalui akar-akar ini. Bila dibiarkan di tanah,
akar itu akan menjadi panjang masuk tanah
dan tanaman lada tak akan berbuah karena
junjungan diperlukan untuk memungkinkan
lada mengeluarkan tangkai buahnya. Batang
lada dapat mencapai dua puluh hingga dua
puluh lima kaki, akan tetapi akan tumbuh
lebih subur bila dibatasi pada dua belas atau
lima belas kaki. Bila lada mencapai dua puluh
kaki, bagian bawah batang tak berdaun dan
tak berbuah, sedangkan pada ketinggian lima
belas kaki batangnya akan berbuah kira-kira
satu kaki di atas tanah. Batangnya segera
kayu, dalam waktu singkat akan tumbuh
menjadi besar. Daunnya hijau tua dengan
permukaan yang mengkilap, berbentuk
jantung, ujungnya runcing, rasanya tidak
pedas, dan hampir tidak ada baunya.
Cabangnya rendah, tak tumbuh melebihi dua
kali batangnya dan mudah patah pada
sendinya. Bunganya kecil dan putih,
sedangkan buahnya bulat menjadi berwarna
merah menyala bila matang dan tak
mengalami kerusakan. Tangkai buah tumbuh
subur dari cabang-cabang dalam gerombol
kira-kira dua puluh sampai lima puluh butir
tiap tandan yang memanjang, tiap butir
ERY SOEDEWO
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
Universitas Sumatera Utara
20
Artikel
berpegang pada tangkai yang sama, yang
mengakibatkan butir-butirnya tumbuh dan
membuat tangkainya kaku (Marsden, 1999:
94-95).
2.2 Pulau Jawa
Pusat perdagangan dan perkebunan
lada di Pulau Jawa yang terbesar adalah
Banten. Pada abad ke-16 aktivitas
perdagangan ladanya telah menarik banyak
pedagang mancanegara. Pada tahun 1522
Banten mengekspor 1000 bahar lada setiap
tahun ke berbagai penjuru dunia, terutama ke
Cina dan Eropa (Chris, 1881: 4 dalam Untoro,
2006: 167). Pada masa itu, lada merupakan
bahan rempah yang sangat diminati oleh
orang-orang di benua Eropa, sehingga para
pedagang asing berdatangan ke kawasan
penghasil lada di Nusantara. Menurut J.
Bastin (1960: 9--10), keperluan lada Eropa
pada abad ke-16 terus meningkat, tercatat
sebelum 1506 sebanyak 1,5 juta ton per
tahun, menjelang tahun yang sama naik 2
juta ton, bahkan di tahun 1509 menjadi 6
hingga 7 juta ton (Untoro, 2006: 167).
Lada yang dikeluarkan dari pelabuhan
Banten selain dihasilkan dari kebun-kebun di
Banten sendiri, juga diproduksi di kebun-kebun
lada di wilayah kekuasaan Banten di Pulau
Sumatera seperti Lampung, Palembang, dan
Bengkulu (Untoro, 2006: 167).
Di
Banten
sendiri,
lada
dibudidayakan di kawasan pedalaman, namun
tidak disebutkan secara pasti lokasinya di
daerah mana. Colenbrader (1923: 163)
menjelaskan banyak petani lada datang
dengan perahu dari pedalaman ke Kota
Banten di pesisir pada waktu musim hujan
(Untoro, 2006: 169). Kedatangan petani lada
ini sangat diharapkan oleh para saudagar,
karena mereka dapat membeli dan
mengumpulkannya sebelum dibawa ke
negeri masing-masing. Setiap tahun mereka
berusaha mendapatkan lada sebanyak
mungkin agar dapat diangkut sesuai dengan
kapasitas kapal (Untoro, 2006: 169).
3.
Dampak Budidaya
Perdagangan Lada
dan
Dampak langsung dari meningkatnya
permintaan lada oleh pasar luar negeri
HISTORISME
adalah timbulnya persaingan antar para
pedagang asing, sehingga masing-masing
berusaha untuk memperkuat posisinya
dengan bermacam cara. VOC misalnya,
berusaha mempengaruhi Sultan Banten agar
mendapatkan hak monopoli perdagangan
lada. Sedangkan para pedagang dari Cina
tidak lagi menunggu kedatangan petani lada
di pasar, tetapi langsung ke tempat penanaman
lada di pedalaman (Untoro, 2006: 169). Usaha
ini tampaknya mendatangkan keuntungan
berlipat ganda, sehingga ada pedagang dari
Cina memindahkan pemukimannya ke arah
selatan. Walaupun jumlah lada yang mereka
dapatkan terbatas karena sarana transportasi
tidak memadai, jalan darat sulit ditembus
dan jalan satu-satunya adalah melalui sungai,
namun kegiatan tersebut tetap berlangsung.
Bahkan tidak jarang para pedagang dari
Cina menukarkan barang dagangan yang
dibawa dari negerinya, dengan lada secara
langsung (Untoro, 2006: 170).
Lada yang dikeluarkan dari
pelabuhan Banten setiap tahun cukup banyak.
Tercatat di tahun 1603, orang Belanda
mengimpor dari pelabuhan ini sejumlah
259.200 pon lada, sedangkan pada tahun 1608
kapal Belanda bernama Bantam berhasil
mengapalkan 8.440 karung lada. Pada tahun
1618, tampak 10 kapal dagang Cina dengan
kekuatan antara 1000 hingga 1500 ton datang
ke Banten dengan membawa berbagai mata
dagangan. Kapal-kapal ini memuati bahan
rempah terutama lada sekembalinya ke Cina
(Untoro, 2006: 170).
Permintaan lada yang besar dan
harganya yang tinggi, mengakibatkan
pemasukan devisa yang sangat besar bagi kas
Kesultanan Banten. Selain itu pendapatan
diperoleh pula dari bea cukai terhadap
barang yang masuk dan keluar pelabuhan
Banten. Untuk barang ekspor yang bukan
hasil Banten sendiri, dikenakan pajak yang
lebih besar daripada hasil dalam negeri
seperti lada. Besarnya pajak yang berlaku
agaknya tidak sama untuk setiap saudagar,
disebutkan pedagang Belanda dikenakan 8%,
sedangkan pedagang Cina hanya 5%, tetapi
para pedagang Cina diharuskan membawa
hadiah barang keramik dari negerinya
(Untoro, 2006: 171).
ERY SOEDEWO
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
Universitas Sumatera Utara
21
Artikel
Dalam bercocok tanam lada (Piper
nigrum) faktor utama penentu keberhasilan
panen lada adalah pemilihan tempat yang
cocok. Biasanya, tempat yang paling cocok
adalah tanah di tepi sungai atau anak
sungai. Ketinggian permukaan tanah jangan
terlalu rendah sehingga dapat digenangi air
karena humus biasanya terdapat di tempat
seperti itu (Marsden, 1999: 92). Sebenarnya, air
pun mempermudah pengangkutan hasilnya
kelak. Lereng-lereng curam harus dihindarkan,
kecuali lereng landai karena kegemburan
tanah akan bertambah akibat penanaman,
biasanya, humus pun hanyut terbawa air
bila hujan lebat. Tanah-tanah datar yang
tidak ditumbuhi atau hanya ditutupi rumput
yang hijau terbukti tidak memenuhi syarat.
Tanpa bantuan bajak atau pupuk kandang,
kesuburan tanah habis terkena terik matahari
(Marsden 1999: 92--93). Biasanya para petani
lada akan mengganti ladangnya dan
meninggalkan lahannya yang dipersiapkan
dengan susah payah setelah menanamnya
selama satu atau dua musim. Hal ini berarti
hutan-hutan ditebangi dan tanahnya dibersihkan
untuk penanaman lada langsung (Marsden,
1999: 93).
Di Banten akibat sistem pertanian
lada yang ekstensif ini mengakibatkan
terjadinya sedimentasi yang besar. Dampak
langsungnya tentu saja pendangkalan alur
sungai dan bahkan yang terparah adalah
terjadinya sedimentasi di daerah muara
sungai yang berakibat makin dangkalnya
pelabuhan alam Banten. Hal ini mengakibatkan
kapal-kapal besar tidak dapat lagi merapat di
pelabuhan Banten (Untoro, 2006: 183).
Kondisi demikian digambarkan
oleh para pelaut asing yang berdagang di
Banten pada abad ke-18. Seperti yang
diuraikan oleh Valentijn (1726) bahwa
untuk masuk ke pedalaman melalui sungai
sangat sulit, sebab sungai Cibanten sudah
sangat dangkal. Kecuali bila musim hujan
tiba, air sungai agak tinggi, sehingga dapat
dimanfaatkan untuk keperluan itu (Untoro,
2006: 192). Berdasarkan data tersebut dapat
ditafsirkan bahwa kelancaran transportasi
antara pedalaman dan pesisir yang
dihubungkan lewat Sungai Cibanten telah
mengalami hambatan. Akibatnya sumber
daya yang berasal dari pedalaman tidak
HISTORISME
mudah lagi untuk dibawa ke pesisir setiap
saat, demikian sebaliknya komoditi yang
berasal dari Kota Banten akan sulit
menembus masuk ke daerah hulu (Untoro,
2006: 192). Van Breugel (1787) menyatakan
bahwa pantai Banten penuh lumpur
sehingga kapal perang tidak dapat
mendekati kota. Meskipun secara tidak
langsung kondisi lingkungan semacam ini
dapat menjadi pertahanan alami yang
ampuh di masa perang, namun menjadi
kendala besar bagi pelabuhan dan kota
dagang di masa damai. Kapal-kapal dagang
dengan muatan yang sarat akan sulit
merapat (Untoro, 2006: 192).
Sebagaimana di Kesultanan Banten,
budi daya dan perdagangan lada telah
mendatangkan banyak pemasukan bagi kas
kesultanan. Namun, demikian halnya
dengan Banten, sisi negatif perdagangan
lada juga dirasakan oleh Aceh di samping
beragam keuntungan yang diperoleh
darinya. Lada bagi Aceh bukan saja berfungsi
sebagai mata dagangan yang mendatangkan
devisa, namun juga dimanfaatkan sebagai alat
diplomasi politik dengan negara lain. Hal ini
terjadi ketika Aceh memohon bantuan dari
Turki persenjataan berat untuk menyerang
Malaka. Sultan Iskandar Muda mengutus
para duta menuju Turki dengan di bekali
padi, beras, dan lada ke dalam 3 buah kapal.
Namun dalam perjalanan para awak
menjumpai banyak kesulitan, sehingga
mereka baru mencapai Konstantinopel setelah
3 tahun, dalam masa itu mereka memakan
nasi dari beras yang di bawa dan menjual
hampir seluruh lada yang dimuat dalam 3
kapal itu, dan yang tertinggal hanyalah
secupak lada. Meskipun demikian, Sultan Rum
(Turki) berbaik hati dengan menganugerahkan
kepada para utusan itu permintaan yang
mereka harapkan sebagai mana yang
dikehendaki oleh Sultan Aceh. Di samping
meriam-meriam itu Sultan Turki juga
mengirimkan pada Aceh para tukang untuk
membangun benteng besar di Aceh, istana,
dan juga Gunongan.
Di akhir abad ke-18, terjadi
perkembangan yang luar biasa
dalam
pembudidayaan lada di daerah selatan
pantai barat Sumatera yang berada dalam
wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh.
ERY SOEDEWO
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
Universitas Sumatera Utara
22
Artikel
Menjelang tahun 1820 daerah ini
menyediakan sekitar setengah dari pasokan
lada dunia. Sementara kompeni dagang
Belanda dan Inggris masih harus berjuang
untuk mendapatkan muatan terbatas dari
pos-pos dagang mereka di daerah tersebut,
para pedagang swasta berduyun-duyun ke
Aceh untuk membeli lada dari wilayah ini
(Reid, 2005: 164).
Para pedagang swasta tersebut
terdiri dari para pedagang Inggris dan Cina
dari Pulau Penang, pedagang dari Perancis,
Arab, India, dan Amerika. Pada tahun 1823
empat kapal besar Perancis yang bersaing
dengan 27 kapal Amerika berhasil mengangkut
muatan berupa lada dari pantai-pantai di Aceh.
Dua puluh tahun kemudian para pedagang
Perancis menduduki tempat ketiga setelah
para pedagang swasta Amerika dan Inggris.
Sembilan atau sepuluh kapal Perancis
mengunjungi Pulau Penang setiap tahunnya, dan
sebagian besarnya mengunjungi pelabuhanpelabuhan di Aceh untuk membeli lada (Reid,
2005: 164).
Keberhasilan perdagangan lada di
Aceh ditentukan antara lain oleh kefasihan para
pedagang swasta asing tersebut dalam
berbahasa Melayu atau Aceh, sebagai alat
antisipasi terhadap beragam bahaya selama
transaksi dengan para pedagang maupun
penguasa di pelabuhan-pelabuhan Aceh.
Mereka yang berhasil menguasai kemampuan
tersebut akan terjamin keberhasilannya dalam
perdagangan bahkan nyawa mereka. Salah satu
contoh tentang keberhasilan ini adalah seorang
pedagang swasta Perancis yakni Kapten Martin
dari Marseilles. Dia meninggalkan pelabuhan
Marseilles pada tahun 1838 menuju Sumatera
via Bourbon untuk membeli lada yang
kemudian dijualnya di pelabuhan Pulau
Penang. Dia lalu datang lagi untuk mengangkut
muatan lada keduanya yang dijualnya di
Singapura. Akhirnya dia memuat 80.000 kg
timah di Pulau Penang bersamaan dengan
muatan ladanya yang ketiga dari Aceh, lalu
kembali lagi ke Perancis via Bourbon dan tiba
di Marseilles pada bulan November 1839,
suatu perjalanan selama 20 bulan (Reid, 2005:
165).
Pada akhir abad ke-18 hingga abad
ke-19 ketika kekuasaan sultan-sultan Aceh
terhadap pelabuhan-pelabuhannya semakin
HISTORISME
melemah, perdagangan lada di tempattempat itu berlangsung sebagaimana masa
western di Amerika, yang dikenal sebagai
masa “diplomasi kapal perang”. Para kapten
kapal dagang yang mampu menunjukkan arah
dengan baik menuju pelabuhan-pelabuhan
lada di Aceh, disertai kesabaran, serta
kejujuran tidak akan banyak menemui
kesulitan, bahkan bakal mendapatkan
kepercayaan yang tinggi dari para pedagang
lada di Aceh (Reid, 2005: 165).
Namun, sebagai akibat naik
turunnya harga yang begitu cepat dalam
perdagangan lada, mengakibatkan timbulnya
banyak konflik yang tidak dapat
diselesaikan oleh otoritas politik Aceh.
Untuk menyelesaikan itu para pedagang
asing tersebut tidak jarang menggunakan
kekuatan senjata api untuk menyelesaikannya.
Hal demikian acap kali dilakukan oleh
Inggris dan Belanda di kepulauan nusantara,
termasuk di antaranya di pelabuhanpelabuhan Aceh. Selain para pedagang dari
kedua negara tersebut ternyata orang
Amerika pun pernah juga menggunakan
cara ini. Hal itu dilakukan ketika lima awak
kapal dagang Frienship tewas oleh
serangan yang dilakukan oleh penguasa
pelabuhan Kuala Batee di pantai barat
Aceh. Peristiwa terbunuhnya kelima awak
kapal tersebut mendorong terjadinya
serangan pertama kali oleh Angkatan Laut
Amerika Serikat di perairan Asia Tenggara
pada Februari 1832, dengan dikerahkannya
kapal perang Pottomac yang menghancurkan
Kuala Batee (Reid, 1995: 235).2 Serangan
serupa dilakukan lagi pada tahun 1838
terhadap Meukek yang terletak tidak jauh
dari Kuala Batee sebagai balasan atas
terbunuhnya Kapten Endcot dan Kapten
Wilkins di pelabuhan lada tersebut (Reid,
2005: 165). Belum lagi hilang dari ingatan
serangan Angkatan Laut Amerika Serikat
pada tahun 1838, setahun berikutnya (1839)
terjadi lagi serangan atas Meukek, kali ini
oleh Angkatan Laut Perancis. Hal ini terjadi
setelah seorang kapten Perancis bernama Van
Tseghem dari Nantes mengalami luka tusuk
akibat diserang oleh seorang pedagang Aceh
2
Anthony Reid, 1995. Witnesses to
Sumatra A Travellers’ Anthology. Kuala Lumpur:
Oxford University Press, Hal.235.
ERY SOEDEWO
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
Universitas Sumatera Utara
23
Artikel
kaya setelah terjadi percekcokan antara
keduanya. Gempuran terhadap Meuke kali ini
dilakukan oleh kapal perang Angkatan Laut
Perancis, La Dordogne yang berpangkalan di
Bourbon (Reid, 2005: 165).
4. Penutup
Lada banyak dicari oleh para
pedagang mancanegara untuk dipasarkan lagi
di tempat asal masing-masing baik sebagai
bumbu masakan maupun bahan obat-obatan.
Kebutuhan yang tinggi terhadap rempah yang
satu ini meningkatkan harga jualnya di
pasaran internasional. Kondisi demikian
mengakibatkan persaingan antar pedagang tak
terelakkan. Mereka mencoba memaksakan
monopoli terhadap mata dagangan eksklusif
ini. Akibatnya, para pedagang asing itu tidak
hanya bersaing antar mereka, bahkan juga
menimbulkan tentangan dari para produsen
lada, seperti Aceh dan Banten. Lebih jauh lagi
upaya monopoli oleh kompeni dagang asing
terhadap lada ternyata mengakibatkan
kedaulatan kedua negara tersebut hilang,
dalam masa yang berbeda. Banten sejak akhir
abad ke-17 otomatis sudah sangat tergantung
pada VOC, sedangkan Aceh baru pada awal
abad ke-20 secara politis –secara de facto–
sudah tidak berwujud sebagai suatu negara
dengan menyerahnya Sultan Aceh terakhir
Alauddin Muhammad Daud Syah pada
tahun 1903 kepada Belanda.
Dampak lain yang diakibatkan
oleh ekstensifikasi budi daya lada –
sebagaimana kasus Banten– adalah rusaknya
lingkungan, khususnya daerah perairan baik
pedalaman maupun pesisirnya. Terjadinya
sedimentasi yang tinggi mengakibatkan
pendangkalan alur sungai dan pelabuhan
laut, sehingga proses pengangkutan hasil
HISTORISME
produksi dari pedalaman ke pelabuhan
menjadi terganggu, juga kapal-kapal besar
yang hendak mengangkut lada dari pantai
kesulitan untuk berlabuh karena terjadinya
pendangkalan di daerah pelabuhan.
Singkat kata budi daya dan
perdagangan lada memang membawa
kemakmuran bagi Aceh dan Banten, namun
ketidakarifan
dalam
pengelolaannya
mengakibatkan kehancuran bagi kedua
negara itu. Keuntungan yang diberikan lada
pada puncak kejayaannya bagaikan emas
bagi yang berusaha darinya, tetapi lada juga
benar-benar pedas tidak saja secara harfiah
namun juga panas bagi pihak-pihak yang
berkecimpung dalam bisnisnya.
Kepustakaan
Chun, Feng Chen. 1979. Ma Huan Ying-Yai
Sheng-Lan ‘The Overall Survey of The
Ocean’s Shores’. London: Cambridge
University Press.
Lombard, Denys. 2006. Kerajaan Aceh
Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, Forum Jakarta Paris, École
française d’Extrême-Orient.
Marsden, William. 1999. Sejarah Sumatra.
Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya.
Reid, Anthony. 1995. Witnesses to Sumatra A
Travellers’ Anthology. Kuala Lumpur:
Oxford University Press.
.........., 2005. An Indonesian Frontier Acehnese
& Other Histories of Sumatra.
Singapore: Singapore Unioversity Press
Untoro, Heriyanti O. 2006. Kebesaran dan
Tragedi Kota Banten. Jakarta: Yayasan
Kota Kita.
ERY SOEDEWO
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
Universitas Sumatera Utara
Download