Style : BPostel Judul Indonesia - Buletin Pos dan Telekomunikasi

advertisement
Buletin Pos dan Telekomunikasi Vol. 15 No.1 (2017): 43-54
Kajian Tekno-Ekonomi pada Telehealth di Indonesia
Techno-Economic Study on Telehealth in Indonesia
1
Sri Ariyanti, 2Kautsarina
1, 2
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya, Perangkat, dan Penyelenggaraan Pos dan Informatika
Jl. Medan Merdeka Barat No 9, Jakarta Pusat 10110
e-mail: [email protected], [email protected]
1, 2
IN FO RM ASI AR T IK EL
ABSTRACT
Naskah diterima 5 Juni 2017
Direvisi 20 Juni 2017
Disetujui 30 Juni 2017
Telehealth program can reach people in the rural area, where health service
facilities are not yet equitable. This study aims to obtain the potential
implementation of telehealth in Indonesia by using techno-economic approach.
The research method uses quantitative data approach supported by qualitative
data. The results of the study indicate that the cost of the telehealth program for
the health sector in Indonesia is quite large, but still affordable from the
government budget allocated to the Ministry of Health. In addition, telehealth
can also be a milestone for the implementation of the Internet of Things in the
health sector for the public. Therefore, telehealth implementation is very
possible to be applied in Indonesia.
Keywords:
Telehealth;
Telemedicine;
Techno-economic
ABSTRAK
Kata kunci :
Telehealth;
Telemedis;
Tekno-ekonomi;
Program telehealth di Indonesia dapat menjangkau masyarakat yang berada di
daerah terluar dan perbatasan, dimana fasilitas pelayanan kesehatan belum
merata ketersediaannya. Penelitian ini bertujuan memperoleh potensi
implementasi telehealth di Indonesia dengan menggunakan pendekatan analisis
dari segi ekonomi dan teknologi. Metode penelitian menggunakan pendekatan
data kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Perhitungan biaya program
telehealth dalam penelitian ini direncanakan untuk puskesmas yang berada di
daerah tertinggal di seluruh Indonesia dalam kurun waktu lima tahun (20162020). Hasil kajian menunjukkan bahwa biaya program telehealth untuk sektor
kesehatan di Indonesia cukup besar. Biaya terbesar pada tahun keempat yaitu
berkisar Rp 180 Miliar. Meskipun demikian biaya tersebut masih terjangkau dari
anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk Kementerian Kesehatan. Program
telehealth juga dapat menjadi tonggak untuk implementasi Internet of Things di
sektor kesehatan bagi masyarakat publik. Maka dari itu, implementasi telehealth
sangat mungkin diterapkan di Indonesia.
1. Pendahuluan
Pada dekade terakhir, konvergensi kesehatan dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
menawarkan kesempatan bagi pasien untuk mengatasi masalah kesehatan mereka. Kemajuan dalam TIK
diyakini dapat mendorong keragaman solusi kesehatan yang efektif dan efisien dalam semua aspek
perawatan klinis, meningkatkan kualitas, kesetaraan, dan aksesibilitas perawatan (Feng, Kim, Khadra,
Hudson, & Roux, 2015). Telehealth atau istilah lainnya telemedicine merupakan layanan kesehatan jarak
jauh melalui pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi dapat memberikan solusi pelayanan
kesehatan untuk daerah terpencil dimana fasilitas kesehatan belum memadai. Di India, telemedis
dimanfaatkan untuk menghubungkan seluruh rumah sakit termasuk rumah sakit kecil yang berada di desa
(Majumdar, 2007). Telemedis membentuk unit-unit penanganan jarak jauh di rumah sakit besar yang
memiliki tenaga ahli yang ditangani dokter jaga. Dengan sistem telekonferensi, dokter atau perawat di desa
terpencil dapat melakukan konsultasi jarak jauh dengan dokter ahli di seluruh rumah sakit besar di India.
Apabila dibutuhkan penanganan lebih mendalam, barulah pasien dirujuk ke rumah sakit besar dan lengkap.
Sistem ini juga meningkatkan pengetahuan dokter dan perawat di desa terpencil dengan alih pengetahuan
yang terbentuk. Sebagai negara kepulauan, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan masih
menjadi kendala. Fasilitas kesehatan ini belum sepenuhnya dapat dijangkau oleh masyarakat, terutama
DOI : 10.17933/bpostel.2017.150104
43
Buletin Pos dan Telekomunikasi Vol. 15 No.1 (2017): 43-54
masyarakat di daerah terpencil, tertinggal, dan terluar. Sementara itu telemedis di Indonesia masih dalam
tahap uji coba tahap diagnostik, yaitu teleradiologi, telekardiologi, dan video conference (Kementerian
Kesehatan, 2016).
Dalam beberapa studi disampaikan bahwa tingginya biaya telehealth dilaporkan sebagai penghalang
utama, termasuk dari investasi, perawatan, dan biaya operasional (Merkel & Enste, 2015), sedangkan
telehealth akan memberikan keuntungan antara lain menurunkan angka kematian masyarakat daerah
tertinggal. Berdasarkan data CIA World Factbook tahun 2014, indeks kematian di Indonesia cukup tinggi,
yaitu sebesar 6,34 (pada urutan 155 di dunia). Angka kematian di Indonesia terbesar disebabkan oleh
penyakit tidak menular. Menurut Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek (6 Januari 2016), stroke dan
kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab kematian terbesar di tahun 2015. Sementara penyakit menular
seperti TBC justru ada di peringkat keenam didahului oleh jantung iskemik, kanker, dan diabetes mellitus.
Masyarakat daerah tertinggal dengan fasilitas yang kurang memadai banyak yang tidak tertolong karena
menderita penyakit tersebut. Upaya pemerintah untuk mengurangi tingkat kematian terutama di daerah
pedesaaan salah satunya dengan mencanangkan program telehealth atau telemedicine. Biaya pengadaan
alat tersebut tentu tidak sedikit, oleh karena itu perlu perhitungan yang lebih rinci untuk memberikan
masukan usulan anggaran Kementerian Kesehatan yang akan diajukan pada Kementerian Keuangan.
Tujuan dari penulisan paper ini untuk memperoleh gambaran seberapa besar biaya program telehealth
serta potensi implementasinya di Indonesia dengan menggunakan pendekatan analisis dari segi ekonomi
dan teknologi.
2. Tinjauan Pustaka
Telehealth atau telemedis merupakan bagian dari implementasi kesehatan elektronik (e-health). Secara
umum, e-health merupakan konsep yang luas dan didefinisikan sebagai penggunaan sarana elektronik atau
teknologi digital untuk menyampaikan informasi, sumber daya, dan layanan yang terkait dengan
kesehatan. Hal yang termasuk dalam e-health, di antaranya: catatan kesehatan elektronik (rekam medik),
mobile health (aplikasi, teknologi, alat kesehatan dengan teknologi mobile), telehealth atau telemedis
(misalnya pasien dapat berkonsultasi dengan petugas kesehatan di komputer, tablet, atau ponsel), dan elearning kesehatan.
World Health Organization (WHO) mengadopsi definisi telemedis sebagai berikut (World Health
Organization Global Observatory for eHealth, 2010): Penyampaian layanan perawatan kesehatan oleh
semua profesional perawatan kesehatan, yang mana jarak merupakan faktor kritikal, yang menggunakan
teknologi informasi dan komunikasi untuk pertukaran informasi yang valid untuk diagnosis, pengobatan
dan pencegahan penyakit dan cedera, penelitian dan evaluasi dan untuk pendidikan berkelanjutan
penyedia layanan kesehatan, demi kemajuan kesehatan individu dan komunitas mereka. Empat elemen
yang berhubungan erat dengan telemedis (Hamilton, 2013): tujuannya adalah untuk memberikan dukungan
klinis, dimaksudkan untuk mengatasi hambatan geografis dan menghubungkan pengguna yang tidak
berada di dalam lokasi fisik yang sama, melibatkan penggunaan berbagai jenis TIK, dan tujuannya adalah
untuk meningkatkan hasil kesehatan.
Aplikasi telemedis berdasarkan pada Store & Forward (SAF) dan Twoway InterActive Television
(IATV) (Devaraj & Ezra, 2011). Pada teknologi SAF, penyedia perawatan kesehatan mengambil gambar
diam dari tubuh pasien dan mengirimkannya ke seorang dokter konsultan yang akan mengulas datanya.
Secara garis besar teknologi ini melibatkan perolehan data medis dan sinyal seperti EKG, detak jantung,
tekanan darah, Computed Tomography (CT), Magnetic Resonance Imaging (MRI), dan lainnya kemudian
data tersebut ditransmisikan ke dokter spesialis untuk konsultasi dan evaluasi. Peralatan yang biasa
digunakan adalah kamera digital dengan komputer untuk akses web. Sementara pada teknologi IATV,
biasanya digunakan bila ada kebutuhan pertemuan tatap muka antara pasien dan dokter. Metode ini
membutuhkan komputer dengan web kamera, adaptor terminal, printer laser, dan sistem video konferensi
kualitas tinggi.
44
Kajian Tekno-Ekonomi pada Telehealth di Indonesia (Sri Ariyanti, Kautsarina)
Telehealth merupakan perluasan dari telemedis. Jika telemedis fokus pada aspek kuratif, sementara
telehelth meliputi aspek, pencegahan, promotif, dan kuratif (Ade, Doulamis, Wagle, & Ullah, 2011).
Terkait dengan implementasi telehealth, beberapa studi menyampaikan isu yang perlu diperhatikan adalah
kebutuhan skalabilitas, fleksibilitas/integrasi, keamanan dan privasi, otentikasi, kontrol akses,
interoperabilitas, dan kemudahan penggunaan. Isu yang juga penting adalah pemantauan pasien dan
penjadwalan. Pemantauan pasien menjadi persyaratan utama dalam menyediakan layanan kesehatan
terutama untuk kalangan lanjut usia dan disabilitas yang memerlukan layanan kesehatan spesifik (Ali,
Muhammad, & Alhamid, 2017).
Secara umum, sistem pemantauan pasien membutuhkan sinyal kegawatdaruratan organ vital dan rutin,
penyampaian pesan dalam waktu yang memadai, berjalan tanpa gangguan, dan dapat memberi peringatan
kepada penjaga maupun dokter selama masa gawat darurat. Sistem pemantauan harus memiliki sumber
daya listrik, dukungan terhadap perangkat yang tidak menggunakan baterai, reliabilitas, skalabilitas,
kerahasiaan, dan privasi. Sementara penjadwalan merupakan proses untuk menentukan bagaimana
mengalokasikan sumber daya dari berbagai tugas. Cakupan e-health, telemedis dan telehealth dapat dilihat
pada Gambar 1.




E-Medical Records
E-Resources (Web)
E-Services (Web)
E-Exchange (Web)
AND FORWARD
E-health
Telecardiology
Telepathology
Teledermatology
Telepsychiastry
Telesurgery
Telerehabilitation
Telehealthcare




Telehomecare
Telenursing
Telecoaching
Telerehabilitation
STORE
REAL TIME TELEHEALTH
Telemedicine






REMOTE PATIENT MONITORING
Gambar 1. Cakupan Telehealth (Ade et al., 2011)
Studi terkait perkembangan telehealth Indonesia pernah membahas mengenai pengembangan sistem
telehealth cerdas di Indonesia dengan menggali kemajuan dan tantangan pengembangan tele-EKG dan
tele-USG (Jatmiko et al., 2015). Sistem tele-EKG dibangun untuk deteksi dini dan pemantauan penyakit
jantung dengan tiga komponen utama yaitu sensor EKG, PC atau smartphone, dan server. Sensor EKG
digunakan untuk mendapatkan sinyal detak jantung dari pasien, kemudian direkam dan diproses, untuk
kemudian diklasifikasikan dalam memprediksi kondisi pasien secara otomatis, sehingga diketahui apakah
dalam kondisi normal atau memiliki gejala penyakit jantung. Selanjutnya sinyal dikirim ke server untuk
diverifikasi oleh ahli jantung. Sementara, tele-USG dikembangkan untuk memantau pertumbuhan janin.
Fungsi utama dalam sistem tele-USG adalah pengukuran biometrik janin secara otomatis dan deteksi
gangguan pertumbuhan janin.
45
Buletin Pos dan Telekomunikasi Vol. 15 No.1 (2017): 43-54
Gambar 2. Arsitektur Sistem Telehealth : Tele-EKG dan Tele-USG (Jatmiko et al., 2015)
Hasil riset menunjukkan bahwa tantangan terbesar dari sistem telehealth di Indonesia, khususnya untuk
wilayah terpencil di luar pulau Jawa adalah koneksi internet yang sangat lambat, karena perangkat tersebut
diujicobakan pada seorang pasien di daerah terpencil dan dokter di kota besar.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan data kualitatif. Penelitian
dilakukan di Jakarta, yaitu di Kementerian Kesehatan untuk memperoleh data dan informasi terkait
program Kementerian Kesehatan khususnya program telehealth atau telemedicine. Wawancara kepada
pejabat di Kementerian Kesehatan dilakukan untuk menggali mengenai program telehealth antara lain
roadmap, jumlah peralatan telehealth tiap puskesmas, dan jumlah tenaga medis yang diperlukan untuk
mendukung layanan telehealth. Selain itu dilakukan wawancara pula kepada pihak Indonesia Security
Incident Response Team on Internet Infrastructure (ID SIRTII) mengenai keamanan informasi untuk
program telehealth di Indonesia.
Tekno-ekonomi memuat tentang bagaimana membuat sebuah keputusan yang mana dibatasi oleh
ragam permasalahan, sehingga menghasilkan pilihan yang terbaik dari berbagai alternatif pilihan.
Keputusan yang diambil berdasarkan suatu proses analisis, teknik, dan perhitungan ekonomi. Analisis
tekno-ekonomi melibatkan pembuatan keputusan terhadap berbagai penggunaan sumber daya yang
terbatas. Konsekuensi terhadap hasil keputusan biasanya berdampak jauh ke masa yang akan datang, yang
konsekuensinya tidak bisa diketahui secara pasti. Karena penerapan kegiatan pada umumnya memerlukan
investasi yang relatif besar dan berdampak jangka panjang terhadap aktivitas berikutnya, maka penerapan
aktivitas tersebut menuntut adanya keputusan-keputusan strategis yang memerlukan pertimbangan teknik
maupun ekonomis yang baik dan rasional. Karena itu, tekno-ekonomi sering juga dianggap sebagai sarana
pendukung keputusan, seperti pernah dilakukan pada studi kajian tekno-ekonomi untuk sistem
pemanggilan perawat di Belgia (Vannieuwenborg et al., 2015).
Investasi adalah penanaman modal untuk satu atau dua lebih aktiva yang dimiliki dan biasanya
berjangka waktu lama dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa yang akan datang. Analisis
rencana investasi pada dasarnya merupakan penelitian tentang dapat tidaknya suatu proyek dapat
dilaksanakan dengan berhasil, suatu metode penjajakan dari suatu gagasan tentang kemungkinan layak
46
Kajian Tekno-Ekonomi pada Telehealth di Indonesia (Sri Ariyanti, Kautsarina)
atau tidaknya gagasan tersebut dilaksanakan. Suatu proyek investasi umumnya memerlukan dana yang
besar, oleh karena itu dilakukan perencanaan harus dilakukan dengan teliti. Studi kelayakan proyek
investasi dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang mempelajari secara mendalam tentang suatu kegiatan
yang akan dijalankan, dalam rangka menentukan layak atau tidaknya usaha tersebut dijalankan. Tujuan
dilakukannya studi kelayakan sebelum melakukan suatu kegiatan atau proyek yaitu (Whitman & Terry,
2012): Menghindari risiko kerugian di masa yang akan datang, karena masa tersebut merupakan kondisi
yang tidak pasti; memudahkan pelaksanaan pekerjaan, rencana yang sudah disusun dijadikan acuan di
dalam mengerjakan setiap tahap yang sudah direncanakan; memudahkan pengawasan agar jalannya proyek
tidak keluar dari rencana yang sudah disusun dan memudahkan dalam pengendalian jalannya proyek.
Analisis teknologi dalam penelitian melalui pendekatan kualitatif, data diperoleh dari study literature dan
wawancara kepada ID SIRTII dan Kementerian Kesehatan. Analisis ekonomi dilakukan meliputi langkahlangkah berikut ini:
1. Menentukan jenis program telehealth
2. Menentukan jumlah puskesmas pengampu dan yang diampu
3. Menghitung keseluruhan jumlah peralatan telehealth
4. Menghitung biaya capital expenditure (capex) dan operational expenditure (opex) selama lima tahun
5. Menghitung total biaya yang diperlukan unutk program telehealth selama lima tahun
Jumlah puskesmas
pengampu dan yang
diampu
Jenis Program
telehealth
Jumlah peralatan
telehealth
Biaya Capex
Biaya Opex
Total Biaya
Gambar 3. Diagram Alir Perhitungan Biaya Program telehealth
Diagram alir analisis ekonomi untuk perhitungan biaya program telehealth dapat dilihat pada Gambar 3.
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan
4.1 Analisis Ekonomi
Pada kajian ini analisis ekonomi dihitung dengan melakukan analisis kelayakan pada program
telehealth dengan beberapa asumsi biaya-biaya (capex dan opex) yang dikeluarkan untuk membangun
program telehealth di Indonesia dari tahun 2016 hingga 2020. Asumsi peralatan yang digunakan setiap
tahun ditunjukkan pada Tabel 1. Peralatan telehealth pada tahun pertama berupa tele-EKG, kemudian
tahun kedua ditambah dengan peralatan telekonsultasi, tahun ketiga ditambah dengan peralatan tele-USG,
tahun keempat dan kelima ditambah peralatan teleradiologi. Asumsi peralatan ini berdasarkan dengan
kebutuhan puskesmas dan peta jalan program telehealth oleh Kementerian Kesehatan.
47
Buletin Pos dan Telekomunikasi Vol. 15 No.1 (2017): 43-54
Tabel 1. Asumsi Peralatan Telehealth yang digunakan
Tahun
Peralatan
2016
Tele-EKG
2017
Tele-EKG, Telekonsultasi
2018
Tele-EKG, Telekonsultasi, Tele-USG (simple/ANC)
2019
Tele-EKG, Telekonsultasi, Tele-USG, Teleradiologi
2020
Tele-EKG, Telekonsultasi, Tele-USG, Teleradiologi
Jumlah puskesmas pengampu untuk program telemedicine dalam lima tahun mengacu pada peta
jalan Kementerian Kesehatan (Gambar 4). Peta jalan program telemedicine Kementerian Kesehatan selama
5 tahun (2015-2019) diprioritaskan untuk Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) dimana
fasilitas kesehatan sangat sulit dijangkau oleh masyarakat. Target fasilitas telehealth oleh Kementerian
Kesehatan diprioritaskan pada 120 Puskesmas di DTPK. Target rumah sakit rujukan yang diprogramkan
pada tahun 2015 berkisar 3 rumah sakit pengampu. Target tahun 2019 mencapai 42 rumah sakit rujukan.
Program telehealth pada penelitian ini dimulai pada tahun 2016, dengan target rumah sakit pengampu
sebesar delapan rumah sakit. Apabila diasumsikan jumlah puskesmas yang diampu oleh setiap rumah sakit
pengampu sebanyak 10 puskesmas, maka jumlah puskesmas yang diampu tiap tahun dapat dilihat pada
Gambar 5.
Gambar 4. Sasaran Capaian Indikator Telemedicine Pada Renstra 2015-2019 (Sumber : Kemenkes, 2016)
Gambar 5 menunjukkan jumlah puskesmas yang diampu pada tahun pertama (2016) sebesar 80
puskesmas. Jumlah puskesmas padat tahun 2020 mencapai 680 puskesmas. Target program telehealth ini
diperuntukkan bagi daerah-daerah di luar perbatasan dan tertinggal. Program ini akan berhasil apabila
daerah tersebut sudah memperoleh aliran listrik dan terjangkau oleh layanan data minimal teknologi
generasi ketiga (3G).
48
Kajian Tekno-Ekonomi pada Telehealth di Indonesia (Sri Ariyanti, Kautsarina)
Gambar 5. Jumlah Puskesmas Pengampu dan Diampu se-Indonesia
Tabel 2 menunjukkan asumsi biaya yang dikeluarkan untuk program telehealth. Komponen biaya
terdiri atas capital expenditure (capex) dengan referensi e-katalog yang dikeluarkan oleh Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (LKPP). Sedangkan untuk asumsi biaya per modul
telehealth diperoleh dari referensi harga dari salah satu vendor alat kesehatan. Sedangkan biaya
operational expenditure (opex) dikeluarkan berdasarkan referensi dari berbagai sumber lembaga pelatihan
alat kesehatan. Biaya capex meliputi peralatan telehealth, komputer personal, perangkat lunak (modul),
dan ruang radiologi. Sementara biaya opex meliputi biaya pelatihan dokter umum dan bidan yang ada di
puskesmas, biaya sewa internet, dan biaya pemeliharaan.
Tabel 2. Asumsi Nilai Investasi Program Telehealth per Puskesmas
Komponen Biaya
Biaya
(Rupiah)
Keterangan
Biaya per modul
Harga beli per modul
Sewa per modul
20.000.000
Ref. PT. Kun Telemedika
2.000.000
Fasilitasi Telehealth
Pembangunan ruang radiologi
70.000.000
Tele-EKG
70.291.000
(LKPP, 2016)
Tele-USG
50.000.000
(LKPP, 2016)
226.576.090
(LKPP, 2016)
6.846.265
(LKPP, 2016)
Teleradiologi
Personal Computer (PC)
Sumber: (LKPP,2016)
Besarnya biaya capex ditunjukkan pada Gambar 6. Dalam studi ini, untuk kebutuhan PC per
puskesmas diasumsikan sebanyak 3 buah, yaitu masing-masing untuk keperluan pendaftaran, administrasi
dan telehealth. Besarnya biaya investasi pada tahun ke-4 (2019) mengalami kenaikan sebesar 575%
dibanding dengan tahun sebelumnya dikarenakan pada tahun tersebut terdapat penambahan peralatan
teleradiologi. Peralatan teleradiologi cukup mahal, ditambah dengan pembangunan ruang radiologi tiap
puskesmas yang memerlukan biaya yang cukup besar. Besarnya capex pada tahun ke-5 (2020) lebih sedikit
dibandingkan dengan tahun sebelumnya meskipun jumlah puskesmas yang diampu meningkat sebesar 260
titik, hal ini dikarenakan tidak ada penambahan jumlah perangkat telehealth pada puskesmas yang sudah
49
Buletin Pos dan Telekomunikasi Vol. 15 No.1 (2017): 43-54
diberi perangkat telehealth. Rumah sakit pengampu (sebanyak 26 rumah sakit) maupun puskesmas yang
diampu (sebanyak 260 puskesmas) diberikan perangkat telehealth berupa tele-EKG, telekonsultasi, teleUSG dan teleradiologi. Sedangkan puskesmas yang sebelumnya sudah diberikan perangkat telehealth
tersebut, tidak diberikan penambahan perangkat lagi.
Biaya capex (milyar rupiah)
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
156,556
122,785
23,199
3,673
7,326
2016
2017
2018
2019
2020
Gambar 6. Besarnya biaya capex dalam 5 tahun
Biaya operasional (opex) pada tahun ke-4 (2019) mengalami kenaikan yang cukup besar yaitu
463% dibanding dengan tahun sebelumnya dikarenakan pada tahun tersebut terdapat penambahan
peralatan teleradiologi. Peralatan teleradiologi cukup mahal, ditambah dengan pembangunan ruang
radiologi tiap puskesmas yang memerlukan biaya yang cukup besar. Apabila dibandingkan dengan biaya
investasi (capex), biaya operasional relatif lebih rendah sebesar 15% - 22% dibanding dengan biaya capex.
Hal ini dikarenakan biaya operasional meliputi biaya sewa internet dan biaya pemeliharaan. Besarnya
biaya opex dalam kurun waktu lima tahun dapat ditunjukkan pada Gambar 6. Asumsi untuk perhitungan
biaya operasional ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Asumsi perhitungan biaya operasional
PARAMETER
ASUMSI NILAI
KETERANGAN
Nilai 1 USD
Rp 13.000
Per Oktober 2016
Nilai inflasi
5%
per tahun
Rp. 1,300,000
(kursus dokter,2016)
Rp. 2,000,000
Rp. 10,000,000
(pelatihan USG
2016)
(pelatihan USG
2016)
(batan, 2016)
Sewa internet
Rp. 400,000
Per bulan
Pemeliharaan
10% dari capex
Biaya Pelatihan
EKG
USG
(Antenatal
Obstetric)
USG (Abdomen)
Radiologi
50
Care/
Rp. 3,000,000
kebidanan,
kebidanan,
Kajian Tekno-Ekonomi pada Telehealth di Indonesia (Sri Ariyanti, Kautsarina)
Biaya Opex (milyar rupiah)
30,000
23,88560
25,000
19,97549
20,000
15,000
10,000
4,24391
5,000
0,80332
1,60464
2016
2017
0
2018
2019
2020
Gambar 7. Besarnya Biaya Opex dalam 5 Tahun
Berdasarkan Gambar 6 dan Gambar 7, maka diperoleh besar biaya yang harus dianggarkan oleh
Kementerian Kesehatan tiap tahun yang ditunjukkan pada Gambar 8. Besarnya biaya dari program
telehealth pada tahun pertama sampai ketiga tidak terlalu besar, hanya berkisar 4 miliar sampai dengan 27
miliar rupiah. Biaya penyediaan perangkat telehealth di Indonesia pada tahun pertama tidak cukup besar
karena sebagai permulaan atau perkenalan program tersebut. Namun pada tahun keempat mengalami
kenaikan yang cukup signifikan yaitu sebesar 558% dibanding tahun sebelumnya dikarenakan adanya
penambahan peralatan teleradiologi yang membutuhkan biaya yang cukup besar.
Total Capex dan Opex tahun ke- (juta rupiah)
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
180,44
142,76
27,44
4,48
8,93
1
2
3
4
5
Gambar 8. Total Biaya Capex dan Opex Pembangunan Telehealth
Besarnya biaya capex dan opex pada tahun pertama dan kedua tidak lebih dari 10 miliar rupiah.
Sedangkan biaya tahun ketiga lebih dari 20 miliar rupiah. Biaya tersebut relatif sangat kecil jika
dibandingkan dengan anggaran Kementerian Kesehatan pada tahun 2015 yaitu sebesar 961.4 miliar rupiah
dengan realisasi anggaran sebesar 329.4 miliar rupiah. Biaya terbesar program telehealth dalam kurun
waktu lima tahun yaitu pada tahun keempat, yaitu sebesar 180 miliar rupiah. Apabila dibandingkan dengan
anggaran Ditjen Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan pada tahun 2015 sebesar 961.4 miliar
rupiah, perkiraan biaya program telehealth hanya sekitar 19% dari anggaran biaya tahun 2015. Hal ini
menunjukkan bahwa program telehealth di Indonesia sangatlah mungkin dilakukan, meskipun perkiraan
biaya yang terlihat cukup besar, namun masih sangat terjangkau oleh anggaran Ditjen Bina Upaya
Kesehatan, Kementerian Kesehatan.
51
Buletin Pos dan Telekomunikasi Vol. 15 No.1 (2017): 43-54
Tabel 4. Alokasi dan Realisasi Eselon I Kementerian Kesehatan
No.
Satuan Kerja
Alokasi (Rp)
Realisasi (Rp)
1
Sekretariat Jenderal
24.109.430.118.000
22.764.826.684.410
2
Inspektorat Jenderal
102.971.000.000
82.715.773.073
3
Ditjen Bina Gizi dan KIA
855.595.374.000
663.903.533.350
4
Ditjen Bina Upaya Kesehatan
961.458.985.000
329.446.388.812
5
Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
1.667.006.919.000
1.400.458.440.288
1.826.654.713.000
1.737.654.105.036
Lingkungan
6
Ditjen Bina Kefarasian dan Alat Kesehatan
7
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
367.931.195.000
261.961.835.674
8
Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM
1.177.624.555.000
1.037.683.763.193
31.068.672.859.000
28.278.677.525.836
Kesehatan
Kementerian Kesehatan
Sumber: (Kementerian Kesehatan, 2015)
4.2 Analisis Teknologi
Dari tinjauan literatur dan wawancara diketahui bahwa faktor keamanan merupakan persyaratan
penting dalam keseluruhan stakeholder telehealth, karena terdapat data yang sensitif seperti informasi
klinis. Secara umum, Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Kesehatan telah
menyebutkan Keamanan dan Kerahasiaan Informasi pada Pasal 23. Disebutkan pada peraturan tersebut
bahwa pengamanan informasi kesehatan dilakukan untuk menjamin agar informasi kesehatan tetap tersedia
dan terjaga keutuhannya dan terjaga kerahasiaannya untuk informasi kesehatan yang bersifat tertutup.
Artinya, pengaturan secara detail terkait keamanan teknologi bisa diturunkan melalui Peraturan Menteri.
Faktor lain yang juga berpengaruh pada implementasi telehealth antara lain ketersediaan daya listrik,
infrastruktur jaringan telekomunikasi, dan literasi sumber daya manusia (Masa, 2014). Telehealth sebagai
bagian dari Sistem Informasi Kesehatan memang perlu dirancang sedemikian rupa memenuhi kebutuhan
standar spesifikasi teknologi dan infrastruktur. Spesifikasi mempertimbangkan terbentuknya konektivitas
jejaring komunikasi data kesehatan utama sesuai sebaran sumber data seperti puskesmas, rumah sakit, dan
desa. Kemudian konektivitas jejaring komunikasi data kesehatan antarkota/kabupaten dengan provinsi.
Konektivitas jejaring tersebut dapat memanfaatkan ketersediaan konektivitas sesuai Rencana Pitalebar
Indonesia yang telah menargetkan terpenuhinya penetrasi jaringan akses hingga di tingkat perdesaan pada
2019 mendatang dengan kecepatan 1- 10 Mbps (mobile-fixed).
Industri kesehatan meyakini kehadiran Internet of Things (IoT) akan mengubah industri kesehatan dan
mendefinisikan kembali mengenai bagaimana manusia berinteraksi dengan perangkat dan aplikasi serta
terhubung satu sama lain dalam memberikan solusi kesehatan. IoT menawarkan efisiensi yang membentuk
sistem layanan kesehatan terpadu dengan pandangan untuk memastikan agar pasien dirawat dengan lebih
baik, mengurangi biaya perawatan kesehatan, dan meningkatkan hasil pengobatan (IBM, 2017).
Karakteristik layanan telehealth di masa mendatang dengan menggunakan teknologi IoT yaitu
menyediakan akses terhadap data rekam medis elektronik untuk menambah informasi dan memberikan
diagnosis serta mendukung pengambilan keputusan, menggunakan seluruh data pasien yang relevan dari
sistem informasi kesehatan dan mendukung kolaborasi dari berbagai sumber perangkat kesehatan (Gerdes,
Reichert, Nytun, & Fensli, 2016). Manfaat yang dapat dihasilkan Internet of Things dalam sektor kesehatan
antara lain (Al-Majeed, Al-Mejibli, & Karam, 2015) : Menurunkan biaya; meningkatkan hasil pengobatan;
mengurangi kesalahan; meningkatkan pengalaman pasien; menyempurnakan penatalaksanaan obat-obatan;
dan peningkatan manajemen penyakit. Dengan potensi manfaat IoT di sektor kesehatan yang cukup besar,
maka implementasi telehealth dapat menjadi inisiasi program peningkatan sektor kesehatan untuk
mempersiapkan negara dalam menyiapkan infrastruktur dan mengatur seluruh aspek yang mendukung
telehealth, sehingga penerapan IoT beberapa tahun mendatang akan semakin mulus.
52
Kajian Tekno-Ekonomi pada Telehealth di Indonesia (Sri Ariyanti, Kautsarina)
5. Simpulan dan Saran
Program telehealth sangat penting bagi masyarakat yang berada di daerah tertinggal dan perbatasan.
Perkiraan biaya untuk mendukung program telehealth di Indonesia cukup besar, terutama perkiraan biaya
pada tahun keempat yaitu sebesar Rp. 180 Miliar. Apabila dibandingkan dengan anggaran pemerintah
melalui Kementerian Kesehatan tahun 2015, biaya program telehealth tersebut masih sangat terjangkau,
yaitu sekitar 19% dari anggaran Kementerian Kesehatan Program telehealth bisa dilaksanakan dengan baik
apabila didukung dengan sarana internet yang memadai. Kunci keberhasilan dari program ini adalah
koneksi internet data yang tidak terputus, sehingga masyarakat memperoleh layanan yang baik. Layanan
kesehatan yang baik tersebut akan memberikan pengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat khususnya di
daerah yang cukup jauh dari sarana prasarana maupun fasilitas layanan kesehatan. Selain itu, telehealth
juga bisa menjadi tonggak untuk implementasi IoT di sektor kesehatan untuk masyarakat publik.
6. Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya,
Perangkat, dan Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika yang
telah memberikan dana serta dukungan untuk menyelesaikan penelitian ini. Kami ucapkan terima kasih
pula kepada Bapak Suryanegara serta Bapak Eddy Mutjabar yang telah membimbing kami, serta para
narasumber yang telah bersedia memberikan informasi dan data terkait penelitian ini.
Daftar Pustaka
Ade, M., Doulamis, N., Wagle, S. S., & Ullah, M. G. (2011). TeleHealth: Healthcare technologies and teleHealth emergency
(THE) system. In 2011 2nd International Conference on Wireless Communication, Vehicular Technology, Information
Theory and Aerospace and Electronic Systems Technology, Wireless VITAE 2011 (pp. 1–4).
https://doi.org/10.1109/WIRELESSVITAE.2011.5940870
Al-Majeed, S. S., Al-Mejibli, I. S., & Karam, J. (2015). Home telehealth by Internet of Things (IoT). In 2015 IEEE 28th Canadian
Conference on Electrical and Computer Engineering (CCECE) (pp. 609–613).
https://doi.org/10.1109/CCECE.2015.7129344
Ali, Z., Muhammad, G., & Alhamid, M. F. (2017). An Automatic Health Monitoring System for Patients Suffering from Voice
Complications in Smart Cities. IEEE Access. https://doi.org/10.1109/ACCESS.2017.2680467
Devaraj, S. J., & Ezra, K. (2011). Current Trends And Future Challenges In Wireless Telemedicine System Sujitha. In 2011 3rd
International Conference on Electronics Computer Technology (pp. 417–421).
https://doi.org/10.1109/ICECTECH.2011.5941933
Feng, D., Kim, J., Khadra, M., Hudson, D. L., & Roux, C. (2015). Guest Editorial: Telehealth Systems and Applications. IEEE
Journal of Biomedical and Health Informatics, 19(1), 81. https://doi.org/10.1109/JBHI.2014.2380132
Gerdes, M., Reichert, F., Nytun, J. P., & Fensli, R. (2016). Reference design for smart collaborative telehealth and telecare
services based on iot technologies. In Proceedings - 2015 International Conference on Computational Science and
Computational Intelligence, CSCI 2015 (pp. 817–820). https://doi.org/10.1109/CSCI.2015.135
Hamilton, C. (2013). The WHO-ITU national eHealth strategy toolkit as an effective approach to national strategy development
and implementation. In Studies in Health Technology and Informatics (Vol. 192, pp. 913–916). https://doi.org/10.3233/9781-61499-289-9-913
Jatmiko, W., Isa, S. M., Imah, E. M., Rahmatullah, R., Wiweko, B., & Indonesia, U. (2015). Developing Smart Telehealth System
in Indonesia : Progress and Challenge, 29–36. https://doi.org/10.1109/ICACSIS.2015.7415199
Kementerian Kesehatan. (2015). Profil Kesehatan Indonesia.
Majumdar, A. K. (2007). Advances in Telemedicine and Its Usage in India. In Advanced Computing and Communications, 2007.
ADCOM 2007. International Conference on (pp. 101–109). https://doi.org/10.1109/ADCOM.2007.124
Masa, M. A. (2014). Strategi Pengembangan Implementasi Telemedicine Di Sulawesi Selatan. Incom Tech Jurnal Telekomunikasi
Dan Komputer, 5(227 ISSN 2085-4811), 227–250.
Merkel, S., & Enste, P. (2015). Barriers to the diffusion of telecare and telehealth in the EU: a literature review. In IET
International Conference on Technologies for Active and Assisted Living (TechAAL) (p. 1–6.).
https://doi.org/10.1049/ic.2015.0128
Vannieuwenborg, F., Ongenae, F., Demyttenaere, P., Van Poucke, L., Van Ooteghem, J., Verstichel, S., … Pickavet, M. (2015).
Techno-economic evaluation of an ontology-based nurse call system via discrete event simulations. In 2014 IEEE 16th
53
Buletin Pos dan Telekomunikasi Vol. 15 No.1 (2017): 43-54
International Conference on e-Health Networking, Applications and Services, Healthcom 2014 (pp. 82–87).
https://doi.org/10.1109/HealthCom.2014.7001818
Whitman, D. L., & Terry, R. E. (2012). Fundamentals of Engineering Economics and Decision Analysis. Synthesis Lectures on
Engineering (Vol. 7). https://doi.org/10.2200/S00410ED1V01Y201203ENG018
World Health Organization Global Observatory for eHealth. (2010). Telemedicine: Opportunities and developments in Member
States. World Health Organization (Vol. 2). https://doi.org/10.4258/hir.2012.18.2.153
54
Download