Tugas Terstuktur Manajemen Agroekosistem POLA ROTASI TAMAN PADA LAHAN BASAH DAN LAHAN KERING Dosen Pengampu : Ir. Lilik Setyobudi, MS., Ph.D. Disusun oleh: KELOMPOK 2 KELAS A Gusti Ngurah Ketut B. 125040200111001 Joko Ariswanto 125040200111033 Asfin Kurnia 125040200111038 Dewinda Ika Wulandari 125040200111168 Lasmiati 125040200111187 Imtikhanna Dyanuar W. 125040201111053 Amul Heksa Bajafitri 125040201111131 M. Bayu Mario 125040201111238 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014 BAB I : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Agroekosistem memiliki berbagai macam komponen yang saling berkaitan satu sama lain, baik antara faktor biotik maupun faktor abiotik. Dalam mengelola agroekosistem, kita harus mengetahui pengaruh dari faktor-faktor tersebut terhadap tanaman yang dibudidayakan, misalnya pengaruh dari sinar matahari, suhu, hama dan penyakit terhadap pertumbuhan tanaman. Hal itu sangat penting dilakukan agar tidak terjadi kerugian akibat ketidakseimbangan ekosistem. Salah satu metode yang dapat dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekosistem adalah dengan melakukan rotasi tanaman. Rotasi tanaman merupakan praktek penanaman berbagai jenis tanaman secara bergiliran di satu lahan. Rotasi tanaman diketahui memberikan banyak manfaat bagi tanah antara lain meningkatkan kualitas struktur tanah, mengurangi tingkat kehilangan tanah akibat erosi oleh air dan mempertahankan kesuburan dengan melakukan pergantian antara tanaman berakar dalam dengan tanaman berakar dangkal. Selain itu, rotasi tanaman mencegah terakumulasinya patogen dan hama yang sering menyerang satu spesies saja. Rotasi/pergiliran tanaman yang baik adalah bila jenis tanaman yang ditanam pada musim berikutnya bukan merupakan inang hama yang menyerang tanaman yang ditanam pada musim sebelumnya. Dengan pemutusan ketersediaan inang pada musim berikutnya populasi hama yang sudah meningkat pada musim sebelumnya dapat ditekan pada musim berikutnya. Oleh karena itu diperlukan pemilihan rotasi tanaman yang tepat untuk menekan populasi hama pada musim sebelumnya sehingga hasil produksi meningkat dan memenuhi kriteria lima komponen dalam manajemen agroekosistem. 1.2 Tujuan Memilih lahan basah dan lahan kering yang akan digunakan untuk rotasi tanaman Memilih komoditas yang sesuai untuk rotasi tanaman Memilih pola tanam dan sistem tanam yang sesuai untuk dilakukan rotasi tanaman 1.3 Manfaat Mengetahui sistem rotasi tanaman yang paling sesuai untuk lahan basah dan lahan kering sehingga bisa mencapai indikator keberhasilan manajemen agroekosistem yang berupa pemerataan dan autonomi. produktivitas, stabilitas, sustainabilitas, BAB II : KAJIAN LITERATUR 2.1 Deskripsi Lahan Menurut Suparman (2012) lahan sawah adalah jenis lahan basah, karena ketika untuk penanaman padi sangat membutuhkan banyak air untuk menggenangi permukaannya. Karena kondisi digenangi, sudaah pasti kandungan air dalam tanah pun cukup tinggi. Menurut Puspita (2010) tegalan adalah suatu daerah dengan lahan kering yang bergantung pada pengairan air hujan, ditanami tanaman musiman atau tahunan dan terpisah dari lingkungan dalam sekitar rumah. Lahan tegalan tanahnya sulit untuk dibuat pengairan irigasi karena permukaan yang tidak rata. Pada saat musim kemarau lahan tegalan akan kering dan sulit untuk ditubuhi tanaman pertanian. 2.2 Deskripsi Komoditas Padi Tanaman padi dapat tumbuh pada derah mulai dari daratan rendah sampai daratan tinggi. Tumbuh di daerah tropis/subtropis pada 45 derajat LU sampai 45 derajat LS dengan cuaca panas dan kelembaban tinggi dengan musim hujan 4 bulan. Rata-rata curah hujan yang baik adalah 200 mm/bulan atau 1500-2000 mm/tahun. Padi dapat ditanam di musim kemarau atau hujan. Pada musim kemarau produksi meningkat asalkan air irigasi selalu tersedia. Di musim hujan, walaupun air melimpah prduksi dapat menurun karena penyerbukan kurang intensif. Di dataran rendah padi memerlukan ketinggian 0650 m dpl dengan temperatur 22-27oC sedangkan di dataran tinggi 650-1.500 m dpl dengan temperatur 19-23 derajat C. Tanaman padi memerlukan penyinaram matahari penuh tanpa naungan. Padi sawah ditanam di tanah berlempung yang berat atau tanah yang memiliki lapisan keras 30 cm di bawah permukaan tanah. Menghendaki tanah lumpur yang subur dengan ketebalan 1822 cm. Keasaman tanah antara pH 4,0-7,0. Pada padi sawah, penggenangan akan mengubah pH tanam menjadi netral (7,0) (BAPPENAS1, 2000). Pada areal beririgasi, lahan dapat ditanami padi 3 x setahun, tetapi pada sawah tadah hujan harus dilakukan pergiliran tanaman dengan palawija. Pergiliran tanaman ini juga dilakukan pada lahan beririgasi, biasanya setelah satu tahun menanam padi (BAPPENAS 1, 2000). Varietas padi merupakan salah satu teknologi utama yang mampu meningkatkan produktivitas padi dan pendapatan petani. Varietas unggul adalah varietas yang dapat ditanam berkali-kali disertai dengan perlakuan yang baik. Hasil dari panen varietas ini bisa dijadikan benih kembali. Varietas padi unggul biasanya telah dilepas oleh pemerintah dengan SK Menteri Pertanian. Varietas unggul memegang peranan paling menonjol dalam peningkatan hasil dan juga merupakan komponen utama dalam pengendalian hama dan penyakit yang suka menyerang komoditas tanaman pangan ini. Ada beberapa varietas padi unggul yaitu: a. Varietas Unggul Produktivitas Tinggi Padi Hibrida Maro, Rokan, Hipa-4, Hipa-5, Hipa-6 Potensi produksi 7-12 ton/ha, tahan terhadap wereng coklat, tahan terhadap hawar daun bakteri. Gilingsing, Cimelati, Ciapus, Fatmawati Potensi produksi 10-15 ton/ha, jumlah anakkan 6-12 anakkan tetapi semua terisi, batang kokoh, daun tegak dan tebal, jumlah gabah >250 butir per malai, rasio gabah / jerami > 0,5 sehingga efisien dalam penggunaan hama. b. Varietas Unggul Hasil Stabil Memberamo, Widas, Ciherang, Cimelati Varietas yang tahan hama wereng coklat dengan rasa nasi enak. Tukad Petanu, Tukad Undo, Tukad Balian, Kalimas, Bondo yudo. Varietas tahan tungro. Angke, code. Varietas tahan hawar daun. Indra giri, Punggur, Marta pura, Mendawan, Mergasari, Siak raya, Tenggulang. Varietas padi lahan surut toleran thd kandungan Fe tinggi, Al dan Asam Sulfat. Danau Gaung, Batutegi, Silu gonggo, situ Patenggang, Situ Bagendit Varietas padi gogo toleran terhadap tanah asam (keracunan Al), toleran terhadap kekeringan dan naungan. c. Varietas Unggul Mutu Cita Rasa Ciherang, Cigeulis, Cibogo Varietas beras pulen Batang Lembang, Batang Piaman Varietas beras pera d. Varietas Unggul Mutu Gizi Aek Sibundong (hasil persilangan Way Apoburu, Widas dan sitali) Beras merah, warna merah (antosianin) merupakan komponen flavonoid yang bersifat anti oksidan dan anti kanker, kaya vit B Kompleks dan asam Folat, memperlambat penurunan daya ingat, menyingkirkan sumbatan darah pemicu stroke dan jantung koroner. Produktivitas nya 8 ton/ha, umur genjah 110-120 hari, tahan wereng coklat biotipe 2 dan 3, tahan penyakit hawar daun bakteri strain IV, rasa enak dan pulen, kaya vit. B kompleks dan Asam Folat. e. Varietas Unggul Sawah Dataran Tinggi Sarinah Produktivitasnya 6,98 ton/ha, potensinya seperti Ciherang yang hanya dapat di gunakan di dataran rendah. f. Varietas Umur Genjah Silu gonggo dan Ciujug, Keunggulannya: cocok untuk antisipasi kekeringaan akibat anomali iklim. Dengan penanaman dan pemeliharaan yang intensif, diharapkan produksi mencapai 7 ton/ha. Saat ini hasil yang didapat hanya 4-5 ton/ha dengan perkiraan keuntungan sebesar Rp. 3.096.745,00 (BAPPENAS 1, 2000). Jagung Jagung (zea mays) ialah komoditas pangan penting setelah beras yang tingkat kebutuhannya terus meningkat. Jagung banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pakan ternak, makanan, minuman dan kebutuhan industri lainnya. Diperkirakan lebih dari 55% kebutuhan jagung dalam negeri digunakan untuk pakan, sedangkan untuk konsumsi pangan hanya sekitar 30%, dan selebihnya untuk kebutuhan industri lainnya dan bibit. Jagung adalah tanaman golongan C4 menghendaki pencahayaan secara langsung, memiliki habitus tinggi, tegak, dan tidak bercabang dengan kanopi yang renggang, memungkinkan tanaman ini memperoleh pencahayaan secara langsung dan dapat memberikan kesempatan bagi tanaman lain tumbuh dibawahnya. Tanaman jagung memiliki sistem perakaran serabut yang menyebar dangkal, selama pertumbuhannya membutuhkan dalam jumlah besar, khususnya unsur N (Koswara, 1983). Syarat tumbuh tanaman jagung meliputi curah hujan ideal sekitar 85-200 mm/bulan dan harus merata. Pada fase pembungaan dan pengisian biji perlu mendapatkan cukup air. Sebaiknya ditanam awal musim hujan atau menjelang musim kemarau. Membutuhkan sinar matahari, tanaman yang ternaungi, pertumbuhannya akan terhambat dan memberikan hasil biji yang tidak optimal. Suhu optimum antara 230 C - 300 C. Jagung tidak memerlukan persyaratan tanah khusus, namun tanah yang gembur, subur dan kaya humus akan berproduksi optimal. pH tanah antara 5,6-7,5. Aerasi dan ketersediaan air baik, kemiringan tanah kurang dari 8%. Daerah dengan tingkat kemiringan lebih dari 8%, sebaiknya dilakukan pembentukan teras dahulu. Ketinggian antara 10001800 mdpl dengan ketinggian optimum antara 50-600 mdpl (Prabowo, 2007). Tanaman jagung cocok ditanam di Indonesia, karena kondisi tanah dan iklim yang sesuai. Di samping itu, tanaman jagung tidak banyak menuntut persyaratan tumbuh serta pemeliharaannya pun lebih mudah, maka wajar para petani selalu mengusahakan lahannya untuk menanam jagung. Produksi pada tingkat optimal yang dilakukan oleh petani, mampu memberikan hasil 17 ton/ha (BAPPENAS2 , 2000). Kedelai Kedelai termasuk golongan tanaman C3. Tanaman ini memiliki habitus yang pendek, tegak dan bercabang dengan kanopi yang rapat. Sistem perakarannya berupa akar tunggang yang menyebar lebih dalam dan membentuk bintil akar yang mampu menfiksasi Nitrogen secara simbiosis dengan bakteri Rhizobium sp. Kedelai merupakan salah satu komoditas penting dalam hal penyediaan pangan, pakan, dan bahan-bahan industri, sehingga telah menjadi komoditas utama dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Tanaman kedelai sebagian besar tumbuh di daerah yang beriklim tropis dan subtropis. Sebagai barometer iklim yang cocok bagi kedelai adalah bila cocok bagi tanaman jagung. Bahkan daya tahan kedelai lebih baik daripada jagung. Iklim kering lebih disukai tanaman kedelai dibandingkan iklim lembab. Tanaman kedelai dapat tumbuh baik di daerah yang memiliki curah hujan sekitar 100-400 mm/bulan. Sedangkan untuk mendapatkan hasil optimal, tanaman kedelai membutuhkan curah hujan antara 100-200 mm/bulan. Suhu yang dikehendaki tanaman kedelai antara 21-34 derajat C, akan tetapi suhu optimum bagi pertumbuhan tanaman kedelai 23-27 derajat C. Pada proses perkecambahan benih kedelai memerlukan suhu yang cocok sekitar 30 derajat C. Saat panen kedelai yang jatuh pada musim kemarau akan lebih baik dari pada musim hujan, karena berpengaruh terhadap waktu pemasakan biji dan pengeringan hasil. Pada dasarnya kedelai menghendaki kondisi tanah yang tidak terlalu basah, tetapi air tetap tersedia. Jagung merupakan tanaman indikator yang baik bagi kedelai (BAPPENAS3 , 2000). Pemilihan waktu tanam kedelai ini harus tepat, agar tanaman yang masih muda tidak terkena banjir atau kekeringan. Karena umur kedelai menurut varietas yang dianjurkan berkisar antara 75-120 hari, maka sebaiknya kedelai ditanam menjelang akhir musim penghujan, yakni saat tanah agak kering tetapi masih mengandung cukup air. Waktu tanam yang tepat pada masing-masing daerah sangat berbeda. Sebagai pedoman: bila ditanam di tanah tegalan, waktu tanam terbaik adalah permulaan musim penghujan. Bila ditanam di tanah sawah, waktu tanam paling tepat adalah menjelang akhir musim penghujan. Di lahan sawah dengan irigasi, kedelai dapat ditanam pada awal sampai pertengahan musim kemarau (BAPPENAS3, 2000). Beberapa karakter tanaman kedelai di antaranya sebagai berikut; 1. Pertumbuhannya sangat peka terhadap perubahan lingkungan tumbuh yang disebabkan oleh kondisi iklim. 2. Mulai dari saat pembenihan tanaman sampai kepada tanaman mendekati panen banyaknya hama yang menyerang tanaman yakni ada sekitar 23 spesies yang potensial. 3. Walaupun hanya sebagai tanaman palawiija yang tidak banyak membutuhkan air, namun pada waktu stadia awal tumbuh, pembungaan, pembentukan dan pengisian polong ketersediaan air sangat dibutuhkan. Apabila mengalami kekeringan maka produkktifitas kedelai dapat menurun sampai 40 – 65 %. Kurangnya pengetahuan petani akan teknik budidaya kedelai yang benar serta berbagai informasi penting seperti yang telah disebutkan di atas, mengakibatkan produktifitas kedelai masih belum bisa dioptimalkan. Produktifitas kedelai yang dihasilkan masih sekitar 1 ton/ha dan memiliki senjang hasil dari potensi penelitian dengan angka di atas 1 ton/ha. Produksi kedelai yang didasilkan para petani Indonesia rata-rata 600-700 kg/ha dengan perkiraan keuntungan yang dapat didapat adalah sebesar Rp. 1.620.000,00 (BAPPENAS3, 2000). Pisang Indonesia, pisang menduduki tempat pertama di antara jenis buah-buahan lainnya, baik dari segi sebaran, luas pertanamannya maupun dari segi produksinya. Total produksi pisang Indonesia tahun 2006 sekitar 5.037.472 ton dan Lampung menyumbang 535.732 ton, atau 10,6% dari produksi pisang nasional. Namun demikian secara umum produktivitas pisang yang dikembangkan masyarakat masih sangat rendah, seperti di Lampung produktivitas pisang hanya 10-15 ton/ha, padahal potensi produktivitasnya bisa mencapai 35-40 ton/ha. Kesenjangan produktivitas tersebut terutama disebabkan teknik budidaya tidak tepat dan tingginya gangguan hama dan penyakit terutama oleh serangan dua penyakit paling berbahaya dan mematikan, yaitu penyakit layu bakteri atau penyakit darah dan penyakit layu Fusarium (Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 2008). Pisang dapat tumbuh di daerah tropis baik di dataran rendah maupun dataran tinggi dengan ketinggian tidak lebih dari 1.600 m di atas permukaan laut (dpl). Suhu optimum untuk pertumbuhan adalah 27 oC, dan suhu maksimumnya 38oC, dengan keasaman tanah (pH) 4,5-7,5. Curah hujan 20002500 mm/tahun atau paling tidak 100 mm/bulan. Apabila suatu daerah mempunyai bulan kering berturut-turut melebihi 3 bulan maka tanaman pisang memerlukan tambahan pengairan agar dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik (Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 2008). Pisang dapat tumbuh di tanah yang kaya humus, mengandung kapur atau tanah berat. Tanaman ini rakus makanan sehingga sebaiknya pisang ditanam di tanah berhumus dengan pemupukan. Tanah harus mudah meresapkan air. Pisang tidak hidup pada tanah yang mengandung garam 0,07% (BAPPENAS 4 , 2000). Belum ada standard produksi pisang di Indonesia, di sentra pisang dunia produksi 28 ton/ha/tahun hanya ekonomis untuk perkebunan skala rumah tangga. Untuk perkebunan kecil (10-30 ha) dan perkebunan besar (> 30 ha), produksi yang ekonomis harus mencapai sedikitnya 46 ton/ha/tahun. Dengan perkiraan harga 1 tandan Rp. 7.500,00, maka keuntungan selama 4 tahun penanaman dapat mencapai Rp. 23.363.700,00 dengan keuntungan/tahun Rp. 5.840.925,00 (BAPPENAS4, 2000). Jahe Di antara tanaman obat, jahe merupakan salah satu komoditas yang menempati posisi penting dalam perekonomian Indonesia, karena merupakan empat besar tanaman obat yang banyak diminta untuk keperluan jamu, industri obat, bumbu dan ekspor. Terdapat tiga jenis jahe yang biasa diperdagangkan yaitu jahe putih besar (Zingiber officinale Rosc var. officinale), jahe putih kecil (Zingiber officinale Rosc var rubrum) dan jahe merah (Zingiber officinale Rosc var amarum). Jahe putih besar dipergunakan untuk bumbu dan dieskpor, jahe putih kecil dan jahe merah untuk kebutuhan industri obat tradional dan jamu. Jahe putih besar, jahe putih kecil dan jahe merah juga dapat diekstrak untuk menghasilkan oleoresin sebagai bahan dasar farmasi (Pribadi 2009). Jahe merah, rimpangnya berwarna merah dan lebih kecil dari pada jahe putih kecil sama seperti jahe kecil, jahe merah selalu dipanen setelah tua, dan juga memiliki kandungan minyak atsiri yang sama dengan jahe kecil, sehingga cocok untuk ramuan obat-obatan. Tanaman jahe membutuhkan curah hujan relatif tinggi, yaitu antara 2.500-4.000 mm/tahun. Pada umur 2,5 sampai 7 bulan atau lebih tanaman jahe memerlukan sinar matahari. Dengan kata lain penanaman jahe dilakukan di tempat yang terbuka sehingga mendapat sinar matahari sepanjang hari. Suhu udara optimum untuk budidaya tanaman jahe antara 20-35oC. Tanaman jahe paling cocok ditanam pada tanah yang subur, gembur dan banyak mengandung humus. Tekstur tanah yang baik adalah lempung berpasir, liat berpasir dan tanah laterik. Tanaman jahe dapat tumbuh pada keasaman tanah (pH) sekitar 4,3-7,4. Tetapi keasaman tanah (pH) optimum untuk jahe gajah adalah 6,8-7,0. Jahe tumbuh baik di daerah tropis dan subtropis dengan ketinggian 0 - 2.000 mdpl dan untuk di Indonesia pada umumnya ditanam pada ketinggian 200 600 mdpl (BAPPENAS5, 2000). Periode Panen Waktu panen sebaiknya dilakukan sebelum musim hujan, yaitu diantara bulan Juni – Agustus. Saat panen biasanya ditandai dengan mengeringnya bagian atas tanah. Namun demikian apabila tidak sempat dipanen pada musim kemarau tahun pertama ini sebaiknya dilakukan pada musim kemarau menyebabkan tahun rusaknya berikutnya. rimpang dan Pemanenan pada menurunkan musim kualitas hujan rimpang sehubungan dengan rendahnya bahan aktif karena lebih banyak kadar airnya. Perkiraan Hasil Panen Produksi rimpang segar untuk klon jahe gajah berkisar antara 15-25 ton/hektar, sedangkan untuk klon jahe emprit atau jahe sunti berkisar antara 10-15 ton/hektar (Penerimaan: 10.000 bh @ 1.500,-= Rp. 15.000.000,00) (BAPPENAS5, 2000). Kacang Tanah Kacang tanah adalah komoditas agrobisnis yang bernilai ekonomis cukup tinggi dan merupakan salah satu sumber protein dalam pola pangan penduduk Indonesia. Kebutuhan kacang tanah dari tahun ketahun terus meningkat, sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan gizi masyarakat, kapasitas industri pakan dan makanan Indonesia (Fachruddin, 2000 dalam Pinem, et al.). Ketinggian tempat yang baik dan ideal untuk tanaman kacang tanah adalah pada ketinggian antara 500 m dpl. Jenis kacang tanah tertentu dapat ditanam pada ketinggian tempat tertentu untuk dapat tumbuh optimal. Curah hujan yang sesuai untuk tanaman kacang tanah antara 800-1.300 mm/tahun. Hujan yang terlalu keras akan mengakibatkan rontok dan bunga tidak terserbuki oleh lebah. Selain itu, hujan yang terus-menerus akan meningkatkan kelembaban di sekitar pertanaman kacang tanah. Suhu udara bagi tanaman kacang tanah tidak terlalu sulit, karena suhu udara minimal bagi tumbuhnya kacang tanah sekitar 28–32 derajat C. Bila suhunya di bawah 10 oC menyebabkan pertumbuhan tanaman sedikit terhambat, bahkan jadi kerdil dikarenakan pertumbuhan bunga yang kurang sempurna. Kelembaban udara untuk tanaman kacang tanah berkisar antara 65-75 %. Adanya curah hujan yang tinggi akan meningkatkan kelembaban terlalu tinggi di sekitar pertanaman (BAPPENAS6 , 2000). Kacang tanah dapat dibudidayakan di lahan kering (tegalan) maupun lahan sawah setelah padi. Kacang tanah dapat ditanam pada tanah bertekstur ringan maupun agak berat, yang penting tanah tersebut dapat mengatuskan air sehingga tidak menggenang. Tanah yang paling sessuai adalah tanah yang bertekstur ringan, berdrainase baik, remah, dan gembur. Di tanah yang berat (lempung), bila terlalu becek, tanaman mati atau tidak berpolong. Dalam kondisi kering, tanah lempung juga terlalu keras, sehingga ginofor (calon polong) tidak dapt masuk dalam tanah, perkembangan polong terhambat dan pada saat panen banyak polong tertinggal dalam tanah. Pada tanah yang kandungan bahan organiknya tinggi (>2%), polong yang dihasilkan berwarna kehitaman sehingga menjadi kurang menarik. Kacang tanah masih dapat berproduksi dengan baik pada tanah yang ber-pH tinggi (7,5-8,5), kacang tanah sering mengalami klorosis, yakni daun menguning. Apabila tidak diatasi, polong menjadi hitam dan hasil menurun hingga 40% (Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, 2009). Varietas unggul kacang tanah yang memiliki potensi produksi tinggi antara lain varietas Turangga, Domba, Kelinci, dan Singa dengan biji 3 atau 4. Untuk varietas Turangga, potensi hasil yang dapat dicapai hingga 3,6 ton/ha polong kering, dengan umur panen 100-110 hari. Varietas ini tahan terhadap layu, agak tahan bercak daun, agak tahan karat dan A. flavus, toleran kekeringan, dan sesuai untuk tumpangsari. Varietas Domba memiliki potensi produksi 4,2 ha/ton polong kering dengan umur panen 90-95 hari. Varietas ini agak tahan terhadap bercak dan karat daun, agak tahan A. flavus, toleran klorosis, dan adaptif di lahan Alfisol alkalis. Varietas kelinci memiliki potensi produksi 4,3 ton/ha polong kering dengan umur panen 95 hari. Varietas ini agak tahan penyakit layu bakteri, tahan karat daun, dan toleran bercak daun. Varietas Singa memiliki potensi hasil 4,5 ton/ha polong kering dengan umur panen 90-95 hari. Vrietas ini toleran penyakit layu, tahan karat daun, agak tahan bercak daun, toleran kekeringan, dan memiliki adaptasi yang luas (Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, 2009). Jumlah produksi panen yang normal dalam satuan luas, misalnya untuk lahan seluas satu hektar produksi normal berkisar antara 1,5-2,5 ton polong kering. Berdasarkan analisis usaha tani yang dilakukan dapat diperoleh pendapatan Rp. 4.000.000,00 (Berupa polong kering 2.000 kg @ Rp. 2.000,00) dan Rp. 4.800.000,00 (berupa biji kering (rendemen 0,6): 2.000 kg @ Rp. 4.000,00)/ sedangkan keuntungan bersih yang dapat didapatkan yakni Rp. 1.032.500,00 berupa polong kering maupun Rp. 1.832.500,00 berupa biji kering (BAPPENAS6, 2000). Menurut penelitian yang dilakukan Herlina (2011) berdasarkan kajian variasi jarak dan waktu tanam jagung manis dalam sistem tumpangsari jagung manis dan kacang tanah didapatkan hasil kacang tanah yakni 2,07 ton/ha dengan jarak tanam 70 x 20 cm. 2.3 Pola Tanam dan Sistem Rotasi Tanam Pola tanam merupakan suatu urutan tanam pada sebidang lahan dalam satu tahun, termasuk didalamnya masa pengolahan tanah. Menurut Aak (1993), pola tanam merupakan bagian atau sub sistem dari sistem budidaya tanaman, maka dari sistem budidaya tanaman dapat dikembangkan satu atau lebih sistem pola tanam. Pola tanam di daerah tropis seperti Indonesia, biasanya disusun selama satu tahun dengan memperhatikan curah hujan, terutama pada daerah atau lahan yang sepenuhnya tergantung dari hujan. Maka pemilihan jenis/varietas yang ditanam pun perlu disesuaikan dengan keadaan air yang tersedia ataupun curah hujan. Pengetahuan tentang pola tanam sangat perlu bagi petani, terutama petani yang berusaha ingin maju. Sebab dari usaha tani yang dilakukan, diharapkan dapat mendatangkan hasil yang maksimal. Tidak hanya menjadi objek, bahkan keuntungan maksimum sangat mereka dambakan, disamping tidak mengabaikan pengawetan tanah dan menjaga kestabilan kesuburan tanah. Sebagai contoh pola tanam yang telah diterapkan yaitu padi-padi-padi; padi-padi-jagung; padi-jagung-ubi jalar; padi-buncis-kubis; dan padi-buncisjagung selama satu tahun (Karo-Karo & Trivianto, 1983). Dalam sistem tanam tanaman dapat dibagi menjadi 2 macam yaitu sistem tanam tunggal atau monokultur dan sistem tanam ganda atau polikultur. Sistem tanam monokultur yaitu sistem tanam dengan menanam satu jenis tanaman saja secara terus-menerus pada suatu lahan. Sedangkan, polikultur yaitu sistem tanam dengan menanam dua atau lebih jenis tanaman pada satu tahun tanam di suatu lahan. Pada sistem tanam polikultur dapat dibagi lagi menjadi dua macam yaitu sequantial cropping dan intercropping. Sistem tanam sequantial cropping atau beruntun yaitu penanaman 2 atau lebih jenis tanaman pada satu tahun tanam dengan jenis tanaman lain ditanam pada saat setelah jenis tanaman sebelumnya dipanen yang dilakukan secara beruntun pada suatu lahan. Contohnya padipalawija-padi-palawija. Sedangkan sistem tanam intercropping atau tumpang sari yaitu penanaman dua atau lebih jenis tanaman yang ditanam secara bersamaan pada suatu lahan. Contohnya jagung dan kedelai atau jagung dan kacang tanah. Perbedaan antara pola tanam dan sistem tanam yang telah kami uraikan diatas yaitu ditinjau dari beberapa sudut pandang. Pola tanam ditinjau dari sudut pandang dimensi waktu yang berhubungan dengan rotasi tanaman selama satu tahun sedangkan, sistem tanam ditinjau dari sudut pandang dimensi ruang yang lebih berfokus pada tata letak tanaman pada satu lahan dalam satu musim tanam yang sama. Contoh sistem tanam tumpang sari yaitu jagung dan kangkung; jagung dan kedelai; jagung dan kangkung; jagung dan kacang tanah. 1. Sawah a. Monokultur padi dengan menggunakan metode SRI (System of Rice Intensification) Perbedaan antara pola tanam pada metode Konvensional dan pada metode SRI terdapat pada jarak tanam dan cara menanam bibit padi. Pada Metode Konvensional, biasanya jarak tanam yang umumnya dipakai yaitu 20 cm x 20 cm, dan menanam beberapa bibit padi dalam satu lubang dengan posisi taman yang dalam, sedangkan pada metode SRI, biasanya jarak tanam sekitar 40 cm x 40 cm, dan menanam hanya satu bibit padi dalam satu lubang dengan posisi tanam dangkal. Pola tanam padi model SRI adalah cara bertanam padi kembali ke alam. Artinya, petani tidak lagi menggunakan pupuk kimia, tapi memanfaatkan jerami, limbah geraji, sekam, pohon pisang, pupuk kandang yang diolah untuk pupuk tanahnya (Kurniadiningsih, 2013). Pola tanam padi metode SRI, pada prakteknya memiliki banyak perbedaan dengan sistem tanam Konvensional seperti terlihat pada tabel berikut ini (Kurniadiningsih, 2013): No. Komponen Konvensional SRI 1. Kebutuhan benih 30-40 kg/ha 2. Pengujian benih Tidak dilakukan 3. Umur di persemaian 20-30 HSS 7-10 HSS 4. Pengolahan tanah 2-3 kali (struktur 4 kali (struktur lumpur) lumpur dan rata) 5. Jumlah tanaman perlubang 6. Kebutuhan Air Irigasi 0,61 liter/detik 7. Posisi akar waktu tanam Tidak teratur 8. Pengairan Terus digenangi rata-rata 5 pohon/lubang 5-7 kg/ha Dilakukan pengujuan 1 pohon/lubang 0,42 liter/detik Posisi akar horizontal (L) Disesuaikan dengan kebutuhan 9. Pemupukan 10. 11. Penyiangan Rendemen Mengutamakan Hanya dengan pupuk kimia pupuk organik Diarahkan Diarahkan kepada kepada pemberantasan pengelolaan gulma perakaran 50-60% 60-70% Keterangan: HSS = hari setelah semai Secara umum penerapan pola SRI lebih ditekankan pada pola penghematan dalam penggunaan air. Namun demikian penerapan pola SRI juga bertahap telah mendorong pada substansi penggunaan input produksi usaha tani, seperti penggunaan pupuk anorganik dan pestisida yang sebelumnya dipergunakan oleh sebagaian besar petani padi. Pemahaman usaha tani pada SRI sebagai padi organic dengan tidak mempergunakan pupuk anorganik, selain produksinya lebih bebas residu kimia bagi kesehatan tubuh manusia, juga secara langsung mendukung penyehatan tanah dan lingkungan.Hal tersebut menjadi dasar dilaksanakannya SR (Kurniadiningsih, 2013). Model SRI mampu menghemat saprodi berupa benih, pupuk dan insektisida. Namun demikian, model SRI lebih boros dalam penggunaan kompos. Kalau biaya kompos diperhitungkan maka usahatani padi model SRI akan menghasilkan sedikit keuntungan. Paket teknologi yang diterapkan dalam usahatani SRI secara nyata telah menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan input. Selain itu juga terjadi penghematan benih. Jika pada cara konvensional kebutuhan benih mencapai 25-30 kg per hektar, dalam pola SRI hanya sekitar 5-7 kg per hektar. Model SRI tidak merekomendasikan penggunaan pupuk kimia. Tanpa penggunaan pupuk kimia, secara signifikan mengurangi biaya tunai petani meskipun dikompensasi dengan pencurahan tenaga lebih besar dalam pembuatan kompos (Kurniadiningsih, 2013). Efisiensi penggunaan input yang signifikan adalah penggunaan air irigasi. Dengan kebutuhan pengairan yang hanya macak-macak saja, kebutuhan jumlah air per hektar mengalami penurunan sangat drastis.Hal ini membawa dampak pada kemampuan air irigasi dalam mengairi sawah, terutama pada musim kemarau jika pola SRI diterapkan dalam skala luas. Berikut ini perbedaan rata-rata pertumbuhan antara metode organik dan konventional (Kurniadiningsih, 2013): Berikut ini perbedaan biaya antara usaha tani metode SRI dan konvensional dalam 1 ha (Kurniadiningsih, 2013): Berikut ini analisis usaha tani yang menggunakan metode SRI dan Konventional (Kurniadiningsih, 2013): Budidaya padi model SRI mampu meningkatkan hasil dibanding budidaya model konvensional. Peningkatan hasil padi berkisar antara 40%. Peningkatan hasil hanya dialami oleh petani yang telah melakukan kegiatan SRI lebih dari dua musim, tetapi bagi petani pemula umumnya mengalami penurunan hasil dibanding usahatani konvensional (Kurniadiningsih, 2013). Dari hasil usaha tani, di dapat R/C pada budidaya metode SRI sebesar 2,95 sedangkan pada metode konvensional di dapat angka R/C sebesar 2,13. Pada hasil R/C yang didapat dari metode SRI menunjukan angka lebih tinggi dibandingkan dengan metode konvensional dan dari hasil tersebut, metode SRI sebenarnya layak untuk dikembangkan dikarenakan hasil yang didapat lebih dari angka 1 (Kurniadiningsih, 2013). b. Tumpangsari jagung dan kedelai Tanaman yang ditanam secara tumpangsari sebaiknya mempunyai umur atau periode pertumbuhan yang tidak sama, karena mempunyai perbedaan kebutuhan terhadap faktor lingkungan seperti air, kelembaban, cahaya dan unsur hara tanaman, karena itu akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil kedua tanaman tersebut. Beberapa keuntungan dari sistem tumpangsari antara lain pemanfaatan lahan kosong disela-sela tanaman pokok, peningkatan produksi total persatuan luas karena lebih efektif dalam penggunaan cahaya, air serta unsur hara, disamping dapat mengurangi resiko kegagalan panen dan menekan pertumbuhan gulma (Thahir dan Hatmadi dalam Sagala et al. (2012)). Tanaman kedelai dan jagung memungkinkan untuk ditumpangsari karena tanaman jagung menghendaki nitrogen tinggi, sementara kedelai dapat memfiksasi nitrogen dari udara bebas sehingga kekurangan nitrogen pada jagung terpenuhi oleh kelebihan nitrogen pada kedelai (Lakitan dalam Sagala et al. (2012)). Kedelai dan jagung yang ditanam secara tumpangsari akan terjadi kompetisi dalam memperebutkan unsur hara, air dan sinar matahari. Sehingga pengaturan populasi dan pengaturan selang waktu tanam penting untuk mengurangi terjadinya kompetisi tersebut (Subhan dalam Sagala et al. (2012)). Diantara faktor iklim yang penting dan langsung mempengaruhi dalam pola tanam ganda terutama faktor cahaya, sebab tanaman kedelai merupakan tanaman yang peka terhadap intensitas cahaya. Menurut beberapa hasil penelitian, produksi jagung maupun kedelai akan turun apabila tanaman tersebut ternaungi. Hasil penelitian Barus Afriani dalam Sagala et al. (2012), penundaan saat tanam 10 hari setelah Jagung dengan populasi 40.000 tanaman per hektar dapat menurunkan hasil 67% dibanding dengan tanam bersamaan dan pada populsi 80.000 tanaman per hektar dapat menurunkan 93%. Hasil penelitian Indriati dalam Sagala et al. (2012), juga menunjukkan dimana populasi tiga kedelai dan satu jagung menunjukkan pertumbuhan kedelai yang meningkat tetapi menekan pertumbuhan jagung. Populasi dan saat tanam sangat penting pada sistem tanaman ganda, terutama pada tanaman yang peka terhadap naungan. Untuk mengurangi pengaruh tersebut, waktu tanam dan populasi kedelai dan jagung perlu diatur agar pada periode kritis dari suatu pertumbuhan terhadap persaingan dapat ditekan. Tanaman kedelai termasuk tanaman yang membutuhkan sinar matahari penuh. Intensitas cahaya dan lama penaungan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil kedelai. Penurunan intensitas cahaya menjadi 40% sejak perkecambahan mengakibatkan penurunan jumlah buku, cabang, diameter batang,jumlah polong dan hasil biji serta kadar protein. Tanaman kedelai yang dinaungi atau ditumpangsarikan akan mengalami penurunan hasil 6-52% pada tumpangsari kedelai dan jagung dan 2-56% pada tingkat naungan 33% (Asadi, et al. dalam Sagala et al. (2012)). Berdasarkan hasil penelitian Sagala et al. (2012) yang berjudul “Pengaruh Populasi dan Selang Waktu Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai yang Ditumpangsarikan dengan Jagung” diketahui bahwa pada perlakuan populasi tinggi terdapat hasil yang lebih tinggi seperti perlakuan populasi 3 baris kedelai 1 baris jagung memberikan pengaruh lebih baik atau tertinggi pada tanaman kedelai dibanding perlakuan lainnya dan juga perlakuan 1 baris kedelai 1 baris jagung pada tanaman jagung. Hal ini dikarenakan pada populasi 3 baris kedelai 1 baris jagung, dalam satuan luas lahan terdapat lebih tinggi populasi kedelai daripada tanaman jagung maupun perlakuan populasi lainnya, sehingga kedelai bisa mendapatkan cahaya matahari lebih banyak yang sangat dibutuhkan dalam proses fotosintesis juga berkurangnya kompetisi dalam menyerap cahaya matahari, air, dan hara dari tanah. Sehingga tanaman kedelai mampu tumbuh dengan baik dan jumlah cabangnya semakin banyak sehingga mampu berproduksi lebih baik begitu juga sebaliknya tanaman jagung pada perlakuan 1 baris kedelai 1 baris jagung. Pada umumnya produksi tiap satuan luas tinggi tercapai dengan populasi tinggi, karena tercapainya penggunaan cahaya secara maksimum diawal pertumbuhan dan tanaman memberikan respon dengan mengurangi ukuran baik pada seluruh tanaman maupun pada bagian-bagian tertentu (Harjadi dalam Sagala et al. (2012)). Perlakuan waktu tanam kedelai yang ditumpangsarikan dengan jagung mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kedelai dan jagung, hal ini dikarenakan tumpangsari mengakibatkan lamanya kedelai ternaungi akan berbeda-beda dan periode penaungan juga berbeda untuk setiap perlakuan. Dari hasil penelitian Sagala et al. (2012) didapat bahwa perlakuan selang waktu tanam berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman kedelai, jumlah buku subur ,panjang tongkol, jumlah biji per tongkol, serta bobot biji per petak dan per hektar. Selang waktu tanam dua minggu setelah tanam jagung mampu meningkatkan tinggi tanaman pada awal pertumbuhan yaitu 2 MST dan 4 MST. Hal ini disebabkan pada pertumbuhan vegetatif tanaman kedelai yang ditanam dua minggu setelah tanam jagung mengalami etiolasi, karena adanya naungan tanaman jagung yang menyebabkan tanaman kedelai berusaha mencari cahaya matahari sehingga terjadi pemanjangan batang (Fahmi dalam Sagala et al. (2012)). Selain itu juga adanya penurunan dalam intensitas dan perubahan dalam kualitas cahaya. Kualitas cahaya yang akhirnya jatuh pada tanaman yang dinaungi akan lebih banyak sinar infra merah sehingga banyak tanaman jika hanya disinari oleh sinar ini akan memperlihatkan pemanjangan batang. Pengaruh naungan tanaman jagung secara tidak langsung mempengaruhi iklim mikro sekitar tanaman kedelai yaitu kelembaban udara menjadi lebih tinggi dan radiasi matahari lebih rendah (Khali dalam Sagala et al. (2012)). Perlakuan selang waktu tanam secara dua minggu setelah tanam jagung memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap hasil jagung, seperti panjang tongkol, jumlah biji per tongkol dan bobot biji per petak dan per hektar. Hal ini dikarenakan perakaran jagung dapat menyerap air dan hara serta cahaya yang cukup untuk proses fotosistesis yang dibutuhkan pertumbuhan dan pembentukan biji. Selain itu juga diduga karena kacang kedelai telah mampu menyumbangkan N hasil fiksasi kedalam tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh jagung. Sesuai dengan Marthiana dalam Sagala et al. (2012) yang menyatakan perembesan nitrogen dan bintil akar nyata pengaruhnya terhadap penambahan hasil biji jagung yang ditanam dengan leguminosa. Secara keseluruhan perlakuan populasi dan selang waktu tanam pada tumpangsari jagung dan kedelai menunjukkan pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan kedelai maupun jagung, namun tidak menunjukkan hasil yang baik terhadap tanaman kedelai. Sehingga didapat hasil jagung lebih baik daripada hasil kedelai yang disebabkan terjadinya gagal pada pengisian polong. Rendahnya produksi kedelai atau tingginya persentasi polong hampa pada penelitian ini diduga karena terbatasnya unsur hara, antar tanaman terjadi persaingan yang kuat dalam unsur hara. Pengaruh-pengaruh ini diakibatkan kurangnya hasil fotosintesis pada masa vegetatif dan generatif, dimana hasil fotosintesis daun yang ternaungi menjadi sedikit sehingga pada suatu saat dimana sangat dibutuhkan untuk pengisian dan perkembangan polong, asimilat tidak mencukupi. Hal ini sesuai dengan pendapat Baharsjah dalam Sagala et al. (2012), yang menyatakan bahwa penaungan pada kacang tanah dan kedelai pada masa sebelum pembungaan akan mengganggu pertumbuhan akar dan penaungan pada masa pembungaan akan menggugurkan bunga serta penaungan pada awal pengisian polong akan menghambat laju pengisian polong. Banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman tersebut seperti keadaan lingkungan yaitu iklim atau curah hujan dan tanah. Pengaruh naungan tanaman jagung secara tidak langsung mempengaruhi iklim mikro sekitar tanaman kedelai yaitu kelembaban udara menjadi lebih tinggi dan radiasi matahari lebih rendah menyebabkan tanaman mengalami etiolasi. Sehingga seperti pada perlakuan selang dua minggu setelah jagung terdapat pertumbuhan kedelai yang baik yaitu pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Hama juga sangat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil tanaman seperti penyebab gagal pembentukan biji seperti kepik piezodorus (Piezodorus rubrofasciatus Fabricius) dan kepik polong (Riptortus linearis Fabricius) menyerang dengan menusuk polong dan biji serta mengisap cairan biji pada stadia pertumbuhan polong dan biji (Marwoto dalam Sagala et al, 2012). Selama periode penanaman ini kebutuhan air untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman sudah mencukupi karena adanya curah hujan yang merata. Kebutuhan air semakin bertambah seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Kebutuhan air paling tinggi terjadi pada saat masa berbunga dan pengisian polong. Kondisi kekeringan menjadi sangat kritis pada saat tanaman kedelai berada pada stadia perkecambahan dan pembentukan polong (Prihatman dalam Sagala et al., 2012). Berdasarkan hasil analisis Nisbah Kesetaraan Lahan (NKL), bahwa pada tumpangsari kedelai dengan jagung perlakuan yang menguntungkan adalah satu baris kedelai satu baris jagung yang ditanam dua minggu setelah tanam jagung, hal ini dapat dilihat dari nilai NKL= 1,25 artinya untuk mendapatkan hasil yang sama dengan satu hektar diperlukan 1,25 hektar pertanaman secara monokultur. Dari penelitian Sagala et al. (2012) dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Tumpangsari yang menguntungkan untuk kedelai adalah perlakuan 3 baris kedelai dan 1 baris jagung yang ditanam bersamaan, sedangkan untuk tanaman jagung perlakuan yang menguntungkan adalah 1 baris kedelai dan 1 baris jagung yang ditanam selang dua minggu setelah jagung. 2. Populasi tanaman memberikan hasil yang baik terhadap bobot 100 biji, bobot biji per petak pada tanam kedelai, jumlah biji pertongkol. Bobot biji per petak dan biji per hektar. 3. Selang waktu tanam memberikan hasil yang baik terhadap tinggi tanaman 2 MST, 4 MST dan jumlah buku subur tanaman kedelai, jumlah biji pe rtongkol, bobot biji per petak bobot 100 biij, bobot biji per hektar tanaman jagung. 2. Ladang a. Tumpangsari pisang dan jagung b. Tumpangsari pisang dan jahe merah Pembudidayaan jahe secara monokultur pada suatu daerah tertentu memang dinilai cukup rasional, karena mampu memberikan produksi dan produksi tinggi. Namun di daerah, pembudidayaan tanaman jahe secara monokultur kurang dapat diterima karena selalu menimbulkan kerugian. Penanaman jahe secara tumpangsari dengan tanaman lain mempunyai keuntungan-keuntungan sebagai berikut (Warintek, 2005): 1. Mengurangi kerugian yang disebabkan naik turunnya harga. 2. Menekan biaya kerja, seperti: tenaga kerja pemeliharaan tanaman. 3. Meningkatkan produktivitas lahan. 4. Memperbaiki sifat fisik dan mengawetkan tanah akibat rendahnya pertumbuhan gulma (tanaman pengganggu). Praktek di lapangan, ada jahe yang ditumpangsarikan dengan sayur-sayuran, seperti ketimun, bawang merah, cabe rawit, buncis dan lain-lain. Ada juga yang ditumpangsarikan dengan palawija, seperti jagung, kacang tanah dan beberapa kacang-kacangan lainnya. Dari literatur diatas, memilih untuk menanam jahe dengan sistem tumpangsari bersama tanaman pisang, karena pisang memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi, dan tidak membutuhkan perawatan yang intensif sehingga bisa mengurangi biaya kerja untuk pemeliharaan. Tanaman jahe mampu tumbuh di bawah naungan, akan tetapi apabila mendapatkan intensitas cahaya penuh akan meningkatkan laju fotosintesa, karbohidrat terlarut, dan akumulasi biomas, namun sebaliknya produksi metabolit sekunder flavonoid dan fenol menurun (Rahardjo, 2012) BAB III : PEMBAHASAN 3.1 Pola Rotasi Tanam pada Lahan Sawah dan Tegalan 3.1.1 Analisis Pola Rotasi Tanam Pada Lahan Sawah Lahan Sawah Caturwulan I ( Januari – April ) Padi Varietas A Lahan Sawah Caturwulan II ( Mei - Agustus ) Jagung Kedelai Lahan Sawah Caturwulan III ( September – Desember ) Padi Varietas B Lahan awah adalah suatu tipe penggunaan lahan, yang untuk pengelolaannya memerlukan genangan air, oleh karena itu sawah selalu memiliki permukaan datar atau yang didatarkan (dibuat teras) dan dibatasi oleh pematang untuk menahan air genangan (Puslitbangtanak, 2003 dalam Ritung, 2013). Pemilihan sawah sebagai area pengembangan pertanian didasari oleh potensi lahan sawah yang sangat strategis sebagai penghasil tanaman pangan utama masyarakat Indonesia yakni padi. Sebagai gambaran, pada tahun 2003 dari total produksi sebesar 52,1 juta ton padi, ternyata 49,3 juta ton (94,7%) diantaranya dihasilkan dari lahan sawah dan sisanya 2,8 juta ton (5,3%) dari lahan kering (BPS, 2003 dalam Ritung, 2013). Selain itu, budidaya padi di lahan sawah telah menjadi tradisi turun temurun bagi petani Indonesia. Mereka lebih terbiasa menanam padi daripada tanaman pangan lainnya. Dari lahan sawah seluas satu hektar, kami menanaminya dengan padi. Namun, selama satu tahun lahan sawah tidak selalu ditanamai padi. Padi hanya ditanam dua kali musim tanam secara monokultur. Penanaman musim pertama dilakukan sekitar bulan September-Desember, selanjutnya musim tanam ke dua dilakukan pada bulan Januari-April. Penggunaan varietas padi juga kami perhatikan. Penggunaan varietas yang sama terus-menerus sebaiknya dihindari karena dapat memicu peledakan hama utama padi. Ditinjau dari hal tersebut padi yang kami gunakan di setiap musim tanam kami bedakan dengan musim tanam selanjutnya. Usahatani beberapa komoditas secara rotasi dengan tanaman lain mampu memberikan keuntungan yang lebih baik ditinjau dari kualitas dan karakteristik tanah, dalam kaitannya dengan persyaratan tumbuh tanaman. Rotasi tanaman antara padi sawah dan palawija berdampak terhadap .penyegaran. sifat fisik-kimia tanah, selain itu pengurasan unsur hara tertentu juga dapat dihindari (Djaenudin dan Hendrisman 2006). Oleh karena itu, pada musim tanam ketiga, yaitu sekitaran bualan Mei-Agustus, kami merekomendasikan rotasi tanaman padi dengan tanaman jagung yang ditumpangsarikan dengan kedelai. Sebagai pangan sekunder jagung dianggap sangat potensial untuk dibudidayakan. Selain sebagai pangan hasil sampingan jagung dapat digunakan sebagai sumber bio-energi. Disisi lain kedelai juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi seiring dengan tingginya permintaan bahan olahan seperti tempe dan tahu di Indonesia. Dilihat dari kompatibilitas tanaman, kombinasi kedelai dan jagung sangat serasi. Hal ini berhubungan dengan beberapa sifat yang dimiliki oleh kedua jenis tanaman, dimana kedelai termasuk tanaman golongan C3 yang cukup peka terhadap sinar matahari yang mempunyai akar tunggang dan mampu menfiksasi N 2 secara simbiosis dengan bakteri Rhizobium sp, sedangkan jagung tergolong tanaman C4 yang membutuhkan pencahayaan secara langsung dan membutuhkan unsur hara yang besar terutama unsur N. 3.1.2 Analisis Pola Rotasi Tanam Pada Lahan Tegalan Lahan Tegalan Caturwulan I ( Januari – April ) Pisang Jagung Kacang Tanah Lahan Tegalan Caturwulan II ( Mei – Agustus ) Pisang Jahe Merah Kacang Tanah Lahan Tegalan Caturwulan III ( September – Desember ) Pisang Kacang Tanah Pola tanam merupakan salah satu komponen terpenting dalam suatu proses budidaya, dimana pola tanam merupakan urutan jenis komoditi tanaman yang akan ditanam dalam jangka waktu tertentu (± 1 tahun). Pola tanam yang kami rekomendasikan pada lahan tegalan Caturwulan I ( Januari – April ) adalah tumpang sari pisang-jagung-kacang tanah, Caturwulan II ( Mei – Agustus ) pisang-kacang tanah-jahe merah, dan Caturwulan III ( September – Desember ) pisang- kacang tanah. Menurut Warsana (2009), Tumpangsari merupakan suatu usaha menanam beberapa jenis tanaman pada lahan dan waktu yang sama, yang diatur sedemikian rupa dalam barisan-barisan tanaman. Penanaman dengan cara ini bisa dilakukan pada dua atau lebih jenis tanaman yang relatif seumur, misalnya jagung dan kacang tanah atau bisa juga pada beberapa jenis tanaman yang umurnya berbeda-beda. Komoditi utama yang kami rekomendasikan adalah pisang, Menurut Arifin, et. al., (2006) Kebanyakan tanaman yang ditanam tegalan adalah tanaman tahunan separti pisang, jambu dan lain-lain karena hasil dari tanamn tersebut dapat dimanfaatkan sepanjang tahun. Pada Caturwulan I ( Januari – April ) tegalan ditanami tumpang sari pisang-jagung-kacang tanah. Kombinasi ini dipilih karena kacang tanah dan jagung merupakan tanaman semusim dan umur panen ± 3 bulan sehingga hasil panen jagung dan kacang tanah dapat jangka waktu yang cukup singkat. dimanfaatkan oleh masyarakat dalam Setelah dipanen biomasa jagung dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau, dimana berdasarkan hasil penelitian Kusno (2009), biomasa tanaman jagung mengandung kadar hara yang cukup tinggi yaitu N sebesar 29,7 Kg/ton, P sebesar 3,0 Kg/ton, dan K sebesar 23,9 Kg/ton, sehingga biomasa tanaman jagung dapat menambah hara dalam tanah. Caturwulan II ( Mei – Agustus ) tegalan ditanami tumpang sari pisangkacang tanah-jahe merah. Kombinasi ini dipilih karena tanaman jahe merah memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi yaitu sebesar Rp 30.000/Kg (Liputan6.com, 2012). Selain itu jahe merah dipilih karena mampu beradaptasi terhadap naungan tanaman pisang, tingkat naungan tanaman jahe merah berkiar 030% (Rostiana, et. al., 2007). Caturwulan III ( September – Desember ) tegalan ditanami tumpangsari pisang- kacang tanah. Kacang tanah ditanam sepanjang tahun dikarenakan kacang tanah merupakan tanaman famili Legume yang mwngandung Bakteri Rhizobium sp. yang mampu mengikat Nitrogen bebas diudara menjadi N tersedia bagi tanaman (Hidayat, 2008). Sealin itu biomasa kacang tanah dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau, karena biomasa kacang tanah mengandung unsur hara makro yang cukup tinggi yaitu N sebesar 45,9 Kg/ton, P sebesar 2,5 Kg/ton, dan K sebesar 20,3 Kg/ton (Kusno, 2009). Sehingga penanaman tumpangsari kacang tanah mampu menambah kandungan hara tanah melalui fiksasi nitrogen oleh Bakteri Rhizobium sp.dan dari biomasa kacang tanah yang dikembalikan kedalam tanah. Pengaplikasian pola tanam ini diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan tegalan sebagai agroekosistem serta dapat memenuhi lima komponen penilaian agroekosistem yang meliputi produktivitas, stabilitas, keberlanjutan, kemerataan dan autonomi demi tercapainya ketahan pangan. 3.2 Analisis Agroekosistem Berdasarkan Pola Rotasi Tanam yang Dipakai Dalam mengusahakan pertanian dalam agroekosistem ada beberapa hal yang harus menjadi pokok perhatian. Hal tersebut meliputi produktivitas, keberlanjutan, kesetaraan, kemandirian (otonomi) serta stabilitas. Semua komponen tersebut menjadi acuan untuk melaksanakan berbagai teknik baik itu pola tanam, komoditas tanaman yang dipilih maupun cara budidaya tanaman. 3.2.1 Analisis Agroekosistem Lahan Sawah 1. Produktivitas Produktivitas adalah jumlah bahan pangan, energi atau serat yang dihasilkan oleh agroekosistem yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia (Marten, 1988). Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa produktivitas pada agroekosistem sawah adalah hasil produksi pada lahan tersebut tiap musim tanam, dan apabila dihubungkan dengan rotasi tanaman, maka produktivitas agroekosistem sawah merupakan hasil produksi pada lahan tersebut setiap kali rotasi tanaman dilakukan. Pada lahan sawah yang dipilih, rotasi tanaman dilakukan dengan menanam padi dengan pola tanam monokultur dan menanam jagung dengan kedelai pada pola tanam polikultur. Apabila dianalisis dari segi produktivitas, produksi padi yang ditanam dengan monokultur lebih tinggi daripada polikultur jagung dan kedelai. Setiap musim tanam produksi padi secara monokultur sekitar 6 ton/ha (varietas ciherang) (Asep, 2010), dan produksi jagung dengan kedelai politkultur sekitar 2-2,5 ton/ha jagung dan sekitar 1,5-1,7 ton/ha kedelai (Anonymous, 2008). Apabila dibandingkan, pada kedua jenis pola tanam tersebut memiliki perbedaan hasil, dimana pola tanam monokultur lebih tinggi hasilnya daripada polikultur, tetapi keberagaman hasilnya lebih banyak yang polikultur sehingga keuntungan pada masing-masing komoditas dapat saling menambah sehingga meminmalkan kerugian produksi. 2. Sustainabilitas Menurut Marten (1988), sustainabilitas adalah kemampuan agroekosistem dalam mempertahankan hasil produksinya dalam jangka waktu yang lama. Ditinjau dari definisi tersebut, pada agroekosistem sawah yang dilakukan rotasi tanaman akan memiliki sustainabilitas lebih tinggi daripada sawah yang tidak dilakukan rotasi tanaman. Hal tersebut dikarenakan, pada sawah yang dilakukan rotasi tanaman dapat meminimalkan serangan hama dan penyakit yang monofag, mengurangi terjadinya defisiensi unsur hara akibat penyerapan unsur hara yang sama dalam jangka waktu yang panjang dan meningkatkan keseimbangan ekosistem karena pola tanam yang berbeda akan memberikan keragaman unsur biotik dan abiotik yang berbeda-beda. 3. Stabilitas Stabilitas adalah kemampuan agrekosistem untuk memberikan hasil produksi yang konsisten (stabil) (Marten, 1988). Dari tinjauan stabilitas, agroekosistem yang memiliki pola tanam monokultur akan memiliki stabilitas yang rendah, ada kalanya naik dan adakalanya turun. Sedangkan apabila dilakukan pola tanam monokultur, hasilnya akan beragam dan stabilitasnya akan meningkat. Apabila kedua pola tanam tersebut digabngkan, maka produksi pada agroekosistem tersebut akan lebih stabil dibandingkan hanya menggunakan polikultur atau monokultu saja. hal tersebut dikarenakan variasi pola tanam akan mempengaruhi faktor-faktor lain dalam agroekosistem yang menyebabkan agroekosistem tersebut memiliki keseimbangan yang tinggi yang berpengaruh pada meningkatnya stabilitas produksi 4. Ekuitabilitas Menurut Marten (1988), ekuitabilitas berhubungan dengan pembagian hasil produksi yang wajar. Wajar disini bisa berarti seimbang antara satu pihak dengan pihak lainnya. Ditinjau dari segi ekuitabilitas, agroekosistem sawah dengan pola tanam monokultur dan polikultur yang dilakukan scara bergantian akan memiliki ekuitabilitas yang tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil produksi dengan biaya prduksi yang dikeluarkan. Pada pola tanam monokultur, hasilnya cenderung naik dan keuntungannya lebih banyak dibandingkan dengan polikultur. Namun apabila terjadi ledakan hama karena pola tanam yang sama dalam jangka panjang, maka penurunan produksinya akan sangat banyak. Sedangkan pada pola tanam polikultur, biayanya cenderung banyak dan hasilnya beragam. Hasil beragam tersebut yang akan menutupi kekurangan biaya yang telah dikeluarkan. Apabila keduanya digabungkan, keuntungan yang diperoleh akan jauh lebih banyak. 5. Otonomi Marten (1988) menyatakan bahwa otonomi merupakan kemampuan suatu agroekosistem yang berhubugan dengan kemandirian di dalam agroekosistem tersebut. Kemandirian ini berupa kemampuan suatu agroekosistem untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Dari tinjauan otonomi, agroekosistem sawah yang dilakukan rotasi denngan pola tanam monokultur dan polikultur memiliki otonomi yang rendah. Hal tersebut dapat dilihat pada pola tanam monokultur padi yang membutuhkan banyak campur tangan manusia, terutama dalam hal penyediaan air (irigasi), penyiangan, pemupukan, dan pemeliharaan hama dan penyakit. Sedangkan pada pola tanam polikutur jagung dan kedelai, campur tangan manusia lebih sedikit, terutama yang berhubungan dengan pengendalian hama dan penyakit. Karena pada pola tanam polikutur jagung dan kedelai, ada musuh alami dari kedua tanaman yang dapat membantu pengendalian hama dan penyakit. Selain itu, keduanya memiliki perakaran yang berbeda sehingga dapat menjaga unsur hara yang ada di dalam tanah. 3.2.2 Analisis Agroekosistem Lahan Tegalan 1. Produktivitas Lahan tegalan pada caturwulan pertama ditanam pisang, jagung serta kacang tanah. Pisang merupakan tanaman asli Indonesia yang hingga kini memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi sehingga hal tersebut menjadi alasan yang cukup kuat mengapa pisang harus ditanam pada lahan tegalan. Selain itu tanaman pisang yang telah berbuah dan tidak produktif lagi, batangnya dapat digunakan sebagai pakan ternak sehingga mengurangi anggaran membeli pakan ternak sekaligus membuka peluang ganda pertanian sekaligus peternakan. Tanaman jagung yang ditumpangsarikan pada lahan tegalan merupakan tanaman pangan potensial yang bisa diupayakan di lahan kering. Selanjutnya adalah kacang tanah yang merupakan sumber utama bahan baku industri pangan kacang sangat potensial dikembangkan pada lahan kering. Tujuan dari tumpangsari adalah untuk memberi keuntungan relatif jika suatu saat terjadi gagal panen dari salah satu tanaman. Selain itu tumpangsari juga mencegah adanya anjlok harga komoditas tertentu ketika panen raya karena hasil panen tumpangsari lebih beragam. Penanaman jahe merah pada caturwulan kedua didasarkan atas nilai ekonomi jahe merah yang sangat tinggi sebagai tanaman obat. 2. Keberlanjutan Dalam mengusahakan pertanian maka tidak hanya memperhatikan produktivitas namun juga keberlanjutan ekosistem. Upaya-upaya yang dilakukan seperti halnya pada lahan basah yaitu adanya rotasi tanaman dari tanaman padi dengan tanaman jagung. Dalam satu periode basah tanaman padi telah diusahakan namun pada periode kering lahan harus diistirahatkan dengan menanam tanaman yang tidak membutuhkan air terlalu banyak seperti jagung dan kacang tanah. Selanjutnya setelah tanaman jagung dan kacang tanah dipanen maka bisa ditanami tanaman padi kembali. Selain itu indikator keberlanjutan juga ditinjau dari cara pengolahan tanah yang tidak terlalu intensif, penggunaan bahan kimia sintetik yang ditekan, penggunaan pestisida yang harus dikurangi. Sebab jika bahan-bahan tersebut digunakan secara berlebihan maka ekosistem akan terganggu, menimbulkan permasalahan baru seperti pemadatan tanah, rusaknya mikroekosistem tanah, serta peledakan hama. Hal yang sama juga berlaku pada lahan kering. Petani harus beralih dari sistem pertanian konvensional ke pertanian konservatif. Sistem pertanian konvensional disamping menghasilkan produksi panenan yang meningkat namun juga telah terbukti menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem pertanian itu sendiri dan juga lingkungan lainnya (Aryanta, 2010). Keberhasilan dalam sistem pertanian konvensional juga bersifat sementara, akrena lambat laun ternyata tidak dapat dipertahankan akibat rusaknya habitat pertaian itu. Oleh karena itu perlu adanya upaya memperbaiki sistem konvensional ini dengan mengeddepankan kaidah-kaidah ekosistem berkelanjutan. 3. Kesetaraan Dalam analisis kesetaraan berkaitan dengan upah tenaga kerja dan hasil yang diperoleh dari budidaya harus dapat dinikmati oleh seluruh petani atau pekerja yang mengusahakan budidaya tanaman baik pada lahan basah (sawah) maupun lahan kering (tegalan). Dalam hal ini pada lahan sawah pada periode 1 memerlukan banyak tenaga kerja karena digunakan untuk pengolahan tanah, pembukaan irigasi dan penyemaian sedangkan pada periode 2 (palawija) relatif lebih sedikit karena tidak menggunakan irigasi. Sedangkan pada lahan tegalan lebih sedikit menggunakan tenaga kerja dibandingkan lahan basah. Jika ditinjau dari hasil maka terjadi keseimbangan antara hasil tanaman pangan, palawija dengan tanaman obat-obatan sehingga diharapkan dengan penanaman pada periode tertentu akan ada selang untuk investasi pendapatan untuk memberi upah pekerja maupun membagi hasil budidaya baik interval penanaman pada lahan basah maupun lahan kering 4. Stabilitas Stabilitas bergantung pada kemampuan lahan, ketersediaan tenaga kerja, ketersediaan alat dan mesin pertanian secara berkala, penyediaan saprodi serta kondisi iklim yang mendukung pada setiap periode. Selain itu hal ini juga berkaitan langsung dengan lingkungan yang menentukan daya dukung lahan. Lahan basah lebih rentan terhadap ketidakstabilan hasil karena sangat menggantungkan air irigasi yang harus kontinyu. Jika kondisi iklim yang terus berubah maka ketersediaan air tidak bisa diprediksi sehingga irigasi mutlak terganggu. Selain itu lahan basah juga memerlukan tenaga kerja lebih banyak jika orientasinya kepada pertanian konvensional serta memerlukan saprodi yang lumayan kompleks. 5. Otonomi Lahan basah relatif memiliki otonomi atau kemandirian yang rendah karena sangat menggantungkan dari tenaga kerja, saprodi serta teknologi. Sedangkan lahan kering seperti tegalan sifatnya hanya menggantungkan dari air hujan sehingga teknologi untuk pembuatan irigasi tidak dibutuhkan, tenaga kerja yang dibutuhkan juga tidak terlalu besar. Selain itu dengan karakteristiknya yang tidak membutuhkan irigasi maka kondisi iklim memiliki peran yang penting sebagai penyedia air. Kemandirian itu juga nantinya tidak hanya dilihat dari sisi on-farm namun juga off farm pada saat pasca panen. Lahan kering tegalan relatif lebih mandiri dibandingkan sawah padi karena tidak membutuhkan alat giling dan sebagainya sehingga panen bisa dilakukan sendiri dengan teknologi yang sudah dikenal masyarakat petani tertetntu. BAB IV : KESIMPULAN Pola tanam merupakan suatu urutan tanam pada sebidang lahan dalam satu tahun, termasuk didalamnya masa pengolahan tanah. Dalam pola tanam terdapat dimensi ruang dan waktu. Dimensi ruang mencangkup pengaturan jenis dan tata letak tanaman, sedangkat dimensi waktu erat kaitannya dengan rotasi tanaman. Pada agroekosistem lahan basah kami memimlih lahan sawah. Hal tersebut didasari oleh nilai strategis lahan sawah untuk produksi padi sebgagai tanaman pangan utama yang dikomsumsi masyarakat Indonesia. Pola tanam monokultur padi jagung kami kombinasikan denggan rotasi tanam tumpangsari jagungkedelai. Untuk agroekosistem lahan kering kami merekommendasikan pola tanam tumpangsari dimana dalam satu tahun, pada caturwulan I (Januari – April) daitanami tumpangsari pisang-jagung-kacang tanah, pada caturwulan II (Mei – Agustus) pisang-kacang tanah-jahe merah, dan pada caturwulan III (September – Desember) pisang- kacang tanah. Dengan system pola tanam dan rotasi tanaman pada sawah dan tegalan seperti dijelaskan sebelumnya, pola tanam polikutur yang diikuti rotasi tanaman yang berbeda secara umum akan menyebabkan diversifikasi hasil produksi dan biodifersitas ekosistem yang tinggi. Dari indikator tersebut diharapkan rancangan agroekosistem yang telah kami pilih mampu mencapai keberhasilan agroekosistem berupa produktivitas, stabilitas, sustainabilitas, pemerataan dan autonomi secara seimbang. DAFTAR PUSTAKA Aak. 1993. Teknik Bercocok Tanam Jagung. Yogyakarta: Kanisius. Anonymus. 2008. Budidaya Kedelai. list.blogspot.com/2008/05/budidaya-kedelai.html 2014 (online) http://taskdiakses pada 13 Mei Arifin, et. al.,.2006. revitalisasi pekaranga sebagai agroekosistem dalam mendukung ketahan pangan didaerah pedesaan. Prosiding semiloka nasional 22-23 desember 2006.fakultas pertanian:ITB Aryanta, I Nyoman P. 2010. Membangun Sistem Pertanian Berkelanjutan Bandung : KPP Ilmu hayati LPPM-ITB. Asep. 2010. Padi Ciherang. (online) http://epetani.pertanian.go.id/blog/padiciherang-1462 diakses pada 13 Mei 2014 Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2008. Teknologi Budidaya Pisang. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 2009. Teknologi Produksi Kedelai, Kacang Tanah, Kacang Hijau, Ubi Kayu, dan Ubi Jalar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. BAPPENAS1. 2000. Padi. Jakarta: Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan BAPPENAS BAPPENAS2. 2000. Jagung. Jakarta: Sistim Pembangunan di Perdesaan BAPPENAS Informasi Manajemen BAPPENAS3. 2000. Kedelai. Jakarta: Sistim Pembangunan di Perdesaan BAPPENAS Informasi Manajemen BAPPENAS4. 2000. Pisang. Jakarta: Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan BAPPENAS BAPPENAS5. 2000. Budidaya Jahe. Jakarta: Pembangunan di Perdesaan BAPPENAS Sistim Informasi Manajemen BAPPENAS6. 2000. Kacang Tanah. Jakarta: Pembangunan di Perdesaan BAPPENAS Sistim Informasi Manajemen Djaenudin, D., dan M. Hendrisman. 2006. Evaluasi lahan secara kuantitatif studi kasuspada tanaman jagung, kacang tanah, dan kacang hijau di daerah Paguyaman, ProvinsiGorontalo. Jurn. Tanah dan Lingkungan 7 (1):27-34 Herlina. 2011. Kajian Variasi Jarak dan Waktu Tanam Jagung Manis dalam Sistem Tumpang Sari Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt) dan Kacang Tanah (Arachis hypogaea L). Padang: Universitas Andalas Hidayat. 2008. Pertumbuhan dan produktivitas kacang tanah varietas lokal Karo-Karo, Kasta & Trivianto, Rosihan Yudhi. 1983. Sistim Pola Tanam Setahun Pada Lahan Sawah Irigasi Studi Kasus Di Kelurahan Girikerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Koswara, J. 1983. Jagung (Diktat Matakuliah Tanaman Setahun) Dept. Agronomi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Kurniadiningsih, Yanti. 2013 . Evaluasi Untung Rugi Penerapan Metode SRI (System of Rice Intensification) Di D.I. Cihea Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Program Studi Magister Sumber Daya Air. Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan. Institut Teknologi Bandung Kusno. 2009. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah. Balai Penelitian Tanah. Departemen Pertanian RI. Liputan6.com. 2012. Harga komoditi Jahe merah. http// liputan6.com. diakses tanggal 13 mei 2014. madura pada berbagai jarak tanam dan dosis pupuk phospor. AGROVIGOR VOL.1 NO.1. Fakulttas Pertanian Universitas Trunojoyo. Marten, Gerald G. 1988. Productivity, Stability, Sustainability, Equitability and Autonomy as Properties for Agroecosystem Assessment. Agricultural Systems 26 (1988) 291-316 Pinem, et al. ____. Kajian Waktu Tanam dan Populasi Kacang Tanah terhadap Hasil Jagung dan Kacang Tanah dalam Sistem Tumpangsari Jagung/Kacang Tanah. Fakultas Pertanian Unand, Padang. Prabowo A. 2007. Teknis Budidaya Agrokomplek. (Online) budidaya-jagung.html Diakses tanggal 12 Mei 2014 Pribadi, Ekwasita Rini. 2009. Usaha Tani dan Pemasaran Jahe. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Puspita, Dara. 2010. Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap. Jakarta: Pustaka Media. Rahardjo, Mono. 2011. PENGARUH STRES AIR, INTENSITAS CAHAYA, KONSENTRASI KARBON DIOKSIDA DAN SALINITAS TERHADAP PARAMETER FISIOLOGIS DAN MORFOLOGIS TANAMAN JAHE (Zingiber officinale Rosc.) . Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik: Bogor Ritung, Sofyan dkk. 2013. Peluang Perluasan Lahan Sawah. (online) http://balittanah.litbang.deptan.go.id/eng/dokumentasi/buku/tanahsawah/t nahsawah8.pdf diakses pada 13 Mei 2014 Rostiana, et. al. 2007. Budidaya jahe merah. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Sagala, Mei F., Ratna A. W., dan Farida Z. 2012. Pengaruh Populasi dan Selang Waktu Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai yang Ditumpangsarikan dengan Jagung. Program Studi Agronomi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya Suparman. 2012. Bercocok Tanam Ubi Jalar. Jakarta: Ganeca Exact. Warintek. 2005. Tanaman Jahe (Zingiber officinale Rosc.). (online) www.iptek.net.id/ind/warintek/?mnu=6&ttg=2&doc=2d1. Diakses pada tanggal 13 Mei 2014. Warsana. 2009. Introduksi Teknologi Tumpangsari Jagung dan Kacang Tanah. BPTP Jawa Tengah. Dimuat dalam Tabloid Sinar Tani, 25 Pebruar2009