BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seringkali ditemukan orang atau berita di televisi yang menyebut kata “metafisika”, hal tersebut selalu dikaitkan kearah yang ghaib (supernatural), ilmu nujum, perbintangan, dan pengobatan jarak jauh yang bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa. Dalam kehidupan sehari-hari secara sadar ataupun tidak manusia selalu membicarakan tentang hal-hal yang berbau metafisika (kepercayaan), hal-hal yang di luar dunia fisik seringkali dikaitkan dengan metafisika. Sebagai contoh sederhana adalah beriman terhadap agama yang dianut, manusia memahami alam semesta diciptakan oleh Tuhan namun seringkali manusia mempertanyakan bagaimana wujud Tuhan?? Apa Tuhan itu ada?? selain itu adanya hantu atau jin. Hal ini menunjukkan hubungan antara manusia dan metafisika. Apa sebenarnya metafisika itu? Metafisika merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang mempelajari dan memahami mengenai penyebab segala sesuatu sehingga hal tertentu menjadi ada, dimana di dalamnya menjelaskan studi keberadaan atau realitas. Belajar dasar-dasar metafisika turut mengarahkan manusia untuk berupaya mengerti lebih dalam keberadaannya. Dengan berpikir matefisis sebagai pengaruh dari belajar dasar-dasar metafisika tersebut dapat meredam hedonisme dan materialisme. Hal ini selaras dengan karakteristik metafisika yang menekankan kepada pengetahuan akal budi, di mana isi dari pengetahuan akal budi itu lebih pasti ketimbang dengan pengetahuan inderawi yang senantiasa dalam perubahan, yang justru metafisika bila dipelajari mendorong orang untuk mempergunakan akal budi dalam proses mencapai realitas rohaniah sebagai realitas mutlak sang pengatur seluruh alam, dan memang realitas mutlak ini dapat digapai oleh akal budi, sehingga memposisikan realitas material tidak penting manakala menghambatnya. Namun watak metafisika mengakui mengenai tetapnya ada perubahan antara rohani dan jasmani. Manusia merupakan makhkluk yang berakal, dengan akalnya memungkinkan untuk dapat berfikir dan belajar. Belajar merupakan suatu aktivitas yang melibatkan indera, akal, dan qalbu menuju perubahan secara terencana, agar tahu, mau, dan mampu hidup pada masanya. Inti berpikir dilihat dari posisi akal berdampingan dengan wahyu, adalah berfilsafat. Sedangkan berfilsafat intinya bermetafisika, bahkan metafisika adalah filsafat itu sendiri, yakni bermetafisis berpikir itu sendiri. Maka manusia adalah makhluk yang bermetafisika. Manusia sebagai makhluk yang bermetafisika dapat menjadi postulat yang mendasari bahwa manusia berkeharusan sekaligus dapat mencari dan menangkap apa yang terdapat di balik yang tampil atau tampak secara fisikal. Manusia mempunyai beberapa pendapat mengenai tafsiran metafisika, diantaranya adalah bahwa terdapat hal-hal gaib (supranatural) dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Metafisika pada masa Yunani Kuno dikatakan sebagai ilmu mengenai yang-ada dalam dirinya sendiri. Dengan metafisika orang ingin memahami realitas dalam dirinya sendiri. Berbicara mengenai yang-ada berarti bergaul dengan sesuatu yang sungguh-sungguh riil, sejauh yang-ada itu 1 sebagai kondisi semua realitas. Metafisika tidak bergaul dengan hal konkret, misalnya pohon ini atau itu. Metafisika mempunyai objek kajian yang mengatasi pengalaman inderawi yang bersifat individual. Metafisika bertugas mencari kedudukan yang individual itu dalam konteks keseluruhan. Metafisika mengajak orang untuk tidak terpaku pada pohon ini atau itu, atau masalah kesehatan manusia dan lain-lain yang tertentu, tetapi melihat semuanya itu dalam konteks bahwa semua itu ada. Metafisika pada masa sekarang menjadi bidang filsafat yang memikirkan dan mempelajari hal-hal yang "mengatasi" atau "di luar" pembahasan tentang hal-hal yang fisik dan empiris, di mana sudut pandang metafisika mengatasai fisika (metaphysica). Uraian tersebut di atas secara tersirat menunjukkan bahwa masalah metafisis adalah masalah universal, yang mengandung arti bahwa bermetafisis dan metafisika itu berlangsung sejak manusia ada hingga manusia yang mendatang, yang memang secara kebetulan, tidak secara keseharusan, penemuan yang berlanjut secara artifisial dikonstruk secara sistematis bahwa metafisis dan metafisika itu diterbitkan di Yunani. Untuk itu maka penulis ingin mengulas lebih dalam lagi dengan karya tulis yang berjudul, “Metafisika”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut. 1. Bagaimana pengertian metafisika? 2. Bagaimana sejarah perkembangan dan tokoh pemikir Metafisika? 3. Apa cabang-cabang metafisika?? 4. Bagaimana penerapan Metafisika dalam kehidupan manusia? C. Tujuan Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat diuraikan tujuan penulisan makalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan dan tokoh pemikir Metafisika. 2. Untuk mengetahui penerapan Metafisika bagi kehidupan manusia. D. Manfaat Manfaat makalah ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi orang lain atau pembacanya guna lebih mengetahui sejarah lahirnya Ilmu Metafisika beserta tokoh-tokoh pemikirnya. Serta untuk mengetahui penerapan ilmu metafisika dalam kehidupan manusia. 2 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Metafisika Metafisika (Bahasa Yunani: μετά (meta) = "setelah atau di balik", φύσικα (phúsika) = "halhal di alam") adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari penjelasan dan pemahaman mengenai asal atau hakekat objek (fisik) di dunia sehingga hal tertentu menjadi ada. Metafisika merupakan studi keberadaan atau realitas. Metafisika mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah sumber dari suatu realitas? Apakah Tuhan ada? Apa tempat manusia di dalam semesta? Sebagai sebuah disiplin filsafat, metafisika telah dimulai sejak zaman yunani kuno, mulai dari filosof-filosof alam sampai Aristoteles (284-322 SM). Aristoteles sendiri tidak pernah memakai istilah ”metafisika” Aristoteles menyebut disiplin yang mengkaji hal-hal yang sifatnya di luar fisika sebagai filsafat pertama (proto philosophia)untuk membedakannya dengan filsafat kedua yaitu disiplin yang mengkaji hal-hal yang bersifat fisika. Istilah metafisika yang kita kenal sekarang, berasal dari bahasa Yunani ta meta ta physika yang artinya “yang datang setelah fisik”. Istilah tersebut diberikan oleh Andronikos dari Rhodos (70 SM) terhadap karya-karya Aristoteles yang disusun sesudah (meta) buku fisika. Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Metaphysica mengemukakan beberapa gagasannya tentang metafisika antara lain: a. Metafisika sebagai kebijaksanaan (sophia), ilmu pengetahuan yang mencari pronsip-prinsip fundamental dan penyebab-penyebab pertama. b. Metafisika sebagai ilmu yang bertugas mempelajari yang ada sebagai yang ada (being qua being) yaitu keseluruhan kenyataan. c. Metafisika sebagai ilmu tertinggi yang mempunyai obyek paling luhur dan sempurna dan menjadi landasan bagi seluruh adaan, yang mana ilmu ini sering disebut dengan theologia. Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiranpemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan. Manusia mempunyai beberapa pendapat mengenai tafsiran metafisika. Tafsiran yang pertama yang dikemukakan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat hal-hal gaib (supernatural) dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Pemikiran seperti ini disebut pemikiran supernaturalisme. Dari sini lahir tafsiran-tafsiran cabang misalnya animisme. Selain paham di atas, ada juga paham yang disebut paham naturalisme, paham ini amat bertentangan dengan paham supernaturalisme. Paham naturalisme menganggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat gaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat dalam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dapat diketahui. Orang-orang yang menganut paham 3 naturalisme ini beranggapan seperti itu karena standar kebenaran yang mereka gunakan hanyalah logika akal semata, sehingga mereka mereka menolak keberadaan hal-hal yang bersifat gaib itu. Dari paham naturalisme ini juga muncul paham materialisme yang menganggap bahwa alam semesta dan manusia berasal dari materi. Salah satu pencetusnya ialah Democritus (460-370 S.M). Adapun bagi mereka yang mencoba mempelajari mengenai makhluk hidup. Timbul dua tafsiran yang masing saling bertentangan yakni paham mekanistik dan paham vitalistik. Kaum mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substansif dengan hanya sekedar gejala kimia-fisika semata. Berbeda halnya dengan telaah mengenai akal dan pikiran, dalam hal ini ada dua tafsiran yang juga saling berbeda satu sama lain. Yakni paham monoistik dan dualistik. sudah merupakan aksioma bahwa proses berpikir manusia menghasilkan pengetahuan tentang zat (objek) yang ditelaahnya. Dari sini aliran monoistik mempunyai pendapat yang tidak membedakan antara pikiran dan zat, keduanya (pikiran dan zat) hanya berbeda dalam gejala disebabkan proses yang berlainan namun mempunyai subtansi yang sama. Pendapat ini ditolak oleh kaum yang menganut paham dualistik. Dalam metafisika, penafsiran dualistik membedakan antara zat dan kesadaran (pikiran) yang bagi mereka berbeda secara substansif. Aliran ini berpendapat bahwa yang ditangkap oleh pikiran adalah bersifat mental. Maka yang bersifat nyata adalah pikiran, sebab dengan berpikirlah maka sesuatu itu lantas ada. B. Sejarah Perkembangan dan Tokoh Pemikir Metafisika Istilah metafisika terjadi oleh sebab sesuatu yang tidak di sengaja. Ketika Aristoteles sedang menyusun buku-bukunya di rak, asistennya meletakkan buku yang berisi tentang segala sesuatu yan diluar kenyataan seperti prinsip pertama dan pengertian tentang ada( being qua being ) setelah buku bertitel ’Fisika’. Atas ketidaksengajaan itulah, buku tersebut dinamai ‘Metafisika’. ‘Metafisika’ berari sesudah ‘Fisika’,yang memang secara harfiah betul-betul buku yang ditempatkan setelah buku ‘Fisika’ di rak Aristoteles. Istilah tersebut jadi terus menerus dipakai untuk menyebut segala sesuatu tentang yang di luar atau di belakang dunia fisik. Dunia modern adalah dunia yang sempat alergi dengan metafisika. Tokoh-Tokoh Pemikir Metafisika 1. David Hume (1711-1776) Merupakan tokoh yang paling brutal. Filsuf Skotlandia ini mengatakan bahwa manusia hanya mendapatkan pengetahuannya dari segenap indranya saja. Apa yang tidak ia serap dengan indra, itu hanya omong kosong. Hume mengatakan bahwa manusia hanya berbasiskan kesan-kesan, misalnya kesan tentang spidol adalah kenyataan bahwa ia sedang melihat spidol dalam wujud yang sejati, berwarna hitam, ada tutupnya berwarna putih. Setelah ia tidak melihat spidol itu, yang tersisa adalah gagasan tentang spidol, yang merupakan fotokopi dari kesan. Kesimpulan Hume adalah gagasan tanpa kesan adalah kosong. Dengan pernyataan ini maka Hume sangat destruktif terhadap metafisika. Konsep-konsep khas metafisika seperti tuhan, ruh, jiwa, malaikat, 4 diri, dan substansi, di lemparkan ke tong sampah karena Hume mempunyai pertanyaan mematikan, “kesan apa yang mendasari gagasan tentang itu semua?? 2. Immanuek Kant (1724-1804) Tokoh ini sedikit lebih toleransi terhadap metafisika. Ia membagi menjadi dua yaitu fenomena dan nomena. Fenomena adalah apa yang terserap indra, sedang kan nomena adalah apa yang di luar itu. Yang bias kita perdebatkan, teliti, observasi, dan eksperimentasi hanyalah dunia fenomena, sedangkan dunia nomena kita tidak mempunyai pengetahuan apapun tentangnya. Ini sekaligus menyerang pemikiran Abad pertengahan yang selalu mencampur aduk kan antara prolem Ketuhanan dengan sains. Bagi Kant, sains ya sains, Tuhan ya Tuhan, keduannya mempunyai wilayah yang berbeda. Namun Kant menganggap konsep-konsep nomena tetaplah penting sebagai tuntunan moral. Kant memang toleransi terhadap metafisika, namun ia sekaligus menegaskan bahwa hal-hal yang metafisik mustahil bias kita telaah oleh sebab pengetahuan tentangnya adalah tidak ada. 3. August Comte (1798-1857) Tokoh ini di sebut sebagai Bapak Positivisme. Ia yang amat bersemangat dan optimis bahwa kelak metafisika bias dihancurkan. Sepenuhnya jika ilmu pengetahuan terus mengalami kemajuan, ia mengajukan tesisnya yaitu law of there stages, bahwa masyarakat itu pada mulanya bertahap teologis, yaitu apa-apa dihubungkan dengan jiwa yang bersemayam dalam benda-benda. Politeisme dan monoteisme juga masuk dalam kategori ini. Tahap berikutnya yang lebih maju adalah tahap metafisik, yaitu manusia mulai mencari prinsip dengan mengandalkan nalarnya. Sehingga segala sesuatu disebut sebagai substansi, contohnya adalah Thales yang mengatakan alam semesta ini adalah air. Comte mengatakan bahwa tahap yang paling maju adalah tahap positif, yaitu ketika manusia bias memecahkan segala sesuatu dengan penjelasan saintifik yang berbasiskan observasi dan eksperimen. Tahap ketiga ini adalah puncak, yang berarti manusia bias mengontrol alam, Comte juga sekaligus mau menegaskan bahwa metafisika lebih terbelakang dari cara berfikir positif yang serba empirik. 4. Ludwig Wittgenstein (1889-1951) Dalam bukunya, Tractatus Logico Philosophicus berpendapat bahwa dunia diberi nama, sehingga ia berkesimpulan bahwa: “Bahasa adalah gambar fakta”. Jika ada faktanya, ada bahasanya, jika ada bahasanya, pasti ada faktanya. Oleh karena itu Metafisika menjadi tidak mungkin, buku Wittgenstein ini di adopsi oleh para ilmuwan yang menjuluki dirinya sebagai Positivisme Logis. Kaum Positivisme Logis menyatakan kalimatnya yang terkenal, “sebuah kalimat hanya bermakna jika bias diverefikasi. Ini adalah momen penghancuran metafisika yang cukup berat karena metafisika diberantas mulai dari yang paling subtil yakni:bahasa. C. Cabang Ilmu Metafisika Metafisika adalah ilmu yang membahas hakekat dibalik sesuatu yang ada. Menurut keterangan Aristoteles tentang metafisika bahwa sebenarnya terdapat dua obyek yang menjadi metafisis Aristoteles yaitu, (a) yang ada sebagai yang ada being qua being dan (b) yang Ilahi. Namun demikian Aristoteles sendiri tidak menjadikan dua obyek kajian sebagai obyek bagi dua disiplin ilmu 5 yang berbeda. Seorang filosof Jerman bernama Christian Wolff cenderung meyakini bahwa pembicaraan tentang yang ada sebagai yang ada dan yang Ilahi harus dipisahkan dan tidak dapat dibicarakan bersama-sama. Oleh karenanya, Wolff memilah metafisika menjadi 2 yaitu : metaphysica generalis (metafisika umum) atau juga sering disebut ontologi dan methapysica specialis (metafisika khusus). 1. Metafisika umum Metafisika umum membahas mengenai yang ada sebagai yang ada, artinya prinsip-prinsip umum yang menata realitas, sedang metafisika khusus membahas penerapan prinsip-prinsip umum ke dalam bidang-bidang khusus: teologi, kosmologi dan psikologi. Pemilahan Wollf tersebut didasarkan pada dapat tidaknya dicerap melalui perangkat inderawi suatu obyek filsafat pertama. Metafisika umum (untuk seterusnya digunakan istilah ontologi) mengkaji realitas sejauh dapat diserap melalui indera sedang metafisika khusus (metafisika) mengkaji realitas yang tidak dapat diserap indera, apakah itu realitas ketuhanan (teologi), semesta sebagai keseluruhan (kosmologi) maupun kejiwaan (psikologi). Kedua disiplin filsafat pada dasarnya tidak sepenuhnya terpisah satu sama lain karena menurut Wollf sendiri pembahasan metafisika tentang realitas supra inderawi, terkait dengan pembahasan ontologi tentang prinsip-prinsip umum yang menata realitas inderawi. Terlepas dari perbedaan mengenai istilah metafisika dan keengganan orang akan metafisika, kedudukan metafisika dalam dunia filsafat sangat kuat. Pertama, metafisika sudah merupakan sebuah cabang ilmu tersendiri dalam pergulatan filosofis. Kedua, seperti yang dikatakan Heideggaer, setiap telaah filosofis terdapat unsur metafisik. Metafisika umum atau yang lebih dikenal dengan ontologi. Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan. Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis ialah seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan dengan kenyataan. Dan pendekatan ontologi dalam filsafat mencullah beberapa paham, yaitu: a. Monoisme Paham ini menganggap bahwa hakikat yang berasal dari kenyataan adalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik berupa materi maupun rohani. Paham ini terbagi menjadi dua aliran : 1. Materialisme : Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering disebut naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta yang hanyalah materi, sedangkan jiwa atau ruh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri. 2. Idealisme : Sebagai lawan dari materialisme yang dinamakan spriritualisme. Dealisme berasal dari kata ”Ideal” yaitu suatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan 6 bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atu sejenis denganntya, yaitu sesuatu yang tidak terbentuk dan menempati ruag. Materi atau zat ini hanyalah suatu jenis dari penjelamaan ruhani. b. Dualisme Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari benda, samasama hakikat, kedua macam hakikat tersebut masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi, hubungan keduanya menciptakan kehidupan di alam ini. Tokoh paham ini adalah Descater (1596-1650 SM) yang dianggap sebagai bapak Filosofi modern) c. Pluralisme Paham ini beranggapan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme tertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata, tokoh aliran ini pada masa Yunani kuno adalah Anaxagoras dan Empedcoles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api dan udara. d. Nihilisme Berasal dari bahasa Yunani yang berati nothing atau tidak ada. Istilah Nihilisme dikenal oleh Ivan Turgeniev dalam novelnya Fadhers an Children yang ditulisnya pada tahun 1862 di Rusia. Doktrin tentang Nihilisme sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani kuno, yaitu pada pandangan Grogias (483-360 SM) yang memberikan tiga proporsi tentang realitas : a. Pertama, tidak ada sesuatupun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada. b. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui ini disebabkan oleh penginderaan itu tidak dapat dipercaya, penginderaan itu sumber ilusi. c. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada oranglain. e. Agnotitisme Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun hakikat ruhani, kata agnosticisme barasal dari bahasa Grick. Ignotos yang berarti Unknow artinya not, Gno artinya Know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara kongkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat dikenal. Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang bisa dipikirkan manusia secara rasional dan yang bisa diamati melalui panca indera manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas pada jangkauan pengetahuan ilmiah manusia. Sementara kajian objek penelaahan yang berada dalam batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pascapengalaman (seperti surga dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar iimu. Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme. 2. Metafisika khusus Adapun metafisika khusus ini terbagi lagi menjadi : a. Teologi 7 Teologi tercakup di dalam pelajaran dalam agama dan sama halnya dengan filsafat. Teologi mengarah kepada pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensi dan sifat Tuhan. Pertanyaan di dalam teologi ini dijawab juga secara jelas oleh filsafat Agama.Aristoteles, seorang filsuf Yunani kuno, memasukkan teologi ke dalam cabang metafisika. Dia juga mengatakan bahwa teologi sebagai pusat dalam filsafat. Pada abad kedua puluh, para filsuf berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis tersebut. Filsafat dan teologi memiliki keterkaitan filsafat menjadi akar di dalam memahami teologi. Pelajaran agama menjadi salah satu contohnya. Perbandingan agama-agama besar di dunia dapat lebih mudah dilakukan dengan menggunakan filsafat. Tradisi empiris di dalam Filsafat Modern sering menjawab pertanyaan-pertanyaan keagamaan sebagai batas jangkauan pengetahuan manusia, dan banyak orang yang mengklaim bahwa bahasa agama tidak berarti secara literel sebab tidak ada pertanyaan yang perlu dijawab. Beberapa filsuf merasa bahwa bukti kesulitan-kesulitan ini tidak relevan. Mereka juga menentang dan meletakkan keagamaan pada bagian moral atau bagian yang lain. 3. Kosmologi Dalam sistematika filsafat, kosmologi merupakan bagian dari kajian metafisika. Dilihat dari kata dasarnya, kosmologi berasal dari kata kosmos yang berarti aturan, atau keseluruhan yang teratur, sebagai lawan dari chaos (kekacau- balauan). Maka sebenarnya kosmologi adalah pengetahuan filosofis tentang keteraturan alam. Dalam dunia kosmologi, ada beberapa pendapat tentang alam, pertama, memandang bahwa alam ini adalah suatu system yang tetap. Kedua, ala mini sebagai sebuah proses. Ketiga, alam sebagaimana manusia mengetahuinya, hakikatnya adalah konstruksi rasio manusia. Perkembangan pemikiran tentang alam jelas membuat corak kosmologi juga mengalami perkembangan. Secara umum dapat dibedakan menjadi dua; yaitu apa yang disebut dengan kosmologi metafisik dan kosmologi empirik yang memarginalkan kosmologi metafisik. Namun dewasa ini sejarah pun mencatat bahwa ada kecenderungan dari kalangan ilmuwan untuk kembali ke kosmologi metafisika, ini terjadi lantaran penglihatan ilmuwan sendiri, atas kelemahan sains modern yang bertumpu pada paradigma Cartesian Newtonian dengan pandangan mekanistis terhadap alam. Alam dilihat hanya sebagai objek dan komponenkomponen yang terkait dengan relsi kausal dan kering sama sekali dari makna. 4. Antropologi Berasal dari kata Yunani; anthropos, yang berarti manusia. Athropologi merupakan bagian dari kajian metafisika yang membicarakan soal hakikat manusia. Dari pertanyaan hakiki tentang manusia ini, telah lahir berbagai cabang ilmu, misalnya psikologi, sosiologi dengan berbagai cabangnya, ilmu biologi, kedokteran juga dengan berbagai cabangnya. Belum lagi dari sudut pandang agama, tradisi, budaya, dll. Semua ini memperlihatkan betapa problem manusia benar- benar merupakan pembicaraan yang menarik sepanjang zaman. Dalam sejarah filasafat, pembicaraan manusia sudah dimulai sejak filsuf Socrates, lalu diikuti oleh Plato yang mengatakan bahwa manusia itu adalah makhluk jasmani yang ‘kasar’ sekaligus makhluk rohani yang dapat bertransendensi, kemudian Aristoteles, hingga pada 8 akhirnya pendapat Aristoteles ini mempengaruhi aliran Rasionalisme dengan metode a priori yaitu kesadaran umum yang merupakan bawaan manusia. Tapi memperoleh respon dari aliran Empirisisme dengan metode a posteriori yang mengatakan bahwa hakikat manusia itu adalah kepekaan menangkap kesan. Kemudian keduanya ini didamaikan oleh Immanuel Kant yang mengakui bahwa hakikat manusia itu baik a priori (pikiran) maupun a posteriori (Inderanya). Kajian soal manusia juga dilakukan oleh Sigmund Freud dengan Psikoanalisanya. Menurutnya, inti manusia adalah jiwanya. Dan jiwa itu terdiri dari tiga, yaitu id (nafsu yang agresif), ego (jiwa manusia yang bertugas memberi pertimbangan), super ego (semacam seperangkat kaidah atau cita- cita, yang secara bawah sadar ‘otomatis’ menunjuk bagaimana potensi itu mesti tampil). Berbagai pendapat tentang manusia ternyata belum semuanya terungkap. Sampai hari ini, diskusi mengenai manusia juga terus berlangsung. Maka ditemukanlah teori tentang IQ (kecerdasan intelegensi) EQ (kecerdasan emosi) SQ (kecerdasan spiritual). Begitulah para filsuf membicarakan mengenai manusia. 5. Eskatologi Eskatologi (dari bahasa Yunani Eschatos yang berarti "terakhir" dan -logi yang berarti "studi tentang") adalah bagian dari teologi dan filsafat yang berkaitan dengan peristiwa-perisitwa pada masa depan dalam sejarah dunia, atau nasib akhir dari seluruh umat manusia, yang biasanya dirujuk sebagai kiamat (akhir zaman). Dalam mistisisme, ungkapan ini merujuk secara metaforis kepada akhir dari realitas biasa, dan kesatuan kembali dengan Yang Illahi. Dalam banyak agama tradisional, konsep ini diajarkan sebagai kejadian sesungguhnya pada masa depan yang dinubuatkan dalam kitab suci atau cerita rakyat. Dalam pengertian yang lebih luas, eskatologi dapat mencakup konsep-konsep terkait seperti, misalnya Era Mesianik atau Mesias, akhir zaman, dan hari-hari terakhir. Kata Yunani αἰών (aeon), yang berarti "abad" (konotasi"zaman"), dapat diterjemahkan sebagai "akhir suatu masa (atau periode sejarah)" dan bukan "akhir dunia". Pembedaan waktu ini juga mempunyai signifikansi teologis; sementara akhir zaman dalam tradisi-tradisi mistis berkaitan dengan kelepasan dari penjara realitas "yang ada", sebagian agama percaya dan mengkhawatirkannya sebagai penghancuran harafiah dari planet kita (atau semua makhluk hidup yang ada) – sementara umat manusia bertahan dalam suatu bentuk yang baru, sehingga mengakhiri "zaman" keberadaan yang ada sekarang D. Pengaruh Pengkajian Metafisika Dalam Kehidupan Manusia dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan Kajian tentang metafisika dapat dikatakan sebagai suatu usaha sistematis, refleksi dalam mencari hal yang berada di belakang fisik dan partikular. Itu berarti usaha mencari prinsip dasar yang mencakup semua hal dan bersifat universal. Pengkajian tentang metafisika membawa pengaruh secara langsung atau tidak langsung dalam kehidupan manusia yang akan melahirkan asumsi yang mendalam dan kesadaran tentang jati dirinya sebagai manusia dan hakikat dirinya. Metafisika mengajak manusia memahami dirinya secara psikis (iman). 9 Metafisika, berbeda dengan kajian-kajian tentang wujud partikular yang ada pada alam semesta. biologi mempelajari wujud dari organisme bernyawa, geologi mempelajari wujud bumi, astronomi mempelajari wujud bintang-bintang, fisika mempelajari wujud perubahan pergerakan dan perkembangan alam. Tetapi metafisika mempelajari sifat-sifat yang dimiliki bersama oleh semua wujud ini. Secara sadar atau tidak, manusia dalam kehidupan sehari-hari, sering membicarakan tentang hal-hal yang berbau metafisika(kepercayaan). Adanya hantu merupakan salah satu contoh sederhana manusia yang percaya pada hal-hal yang metafisik/immateri (idealism). Pengkajian ini membawa pengaruh yang cukup dalam. Manusia yang hanya percaya kepada yang fisik cenderung berfikiran materialis. Berbeda dengan manusia yang percaya kepada hal-hal yang metafisik cenderung lebih bersifat rohani/idealis walaupun tidak mesti. Perjalanan pemikiran metafisika ini telah mengalami perjalanan yang panjang dan telah pula melahirkan tokoh-tokoh cendekiawan. Dalam catatan sejarah, pengkajian mengenai metafisika sebagai sebuah disiplin (ilmu) atau sekurang-kurangnya pengetahuan, telahdimulai sejak sebelum masehi, tepatnya di Yunani. Dimulai dari Thales, Pythagoras (+ 600 SM), Plotinus (204-269 SM), Thomas Aquinas (1224-1274 M, sampai padaSantre (1905-1980). Thales adalah orang pertama yang mempersoalkan substansi mendalam dari segala sesuatu. Tapi yang jelas, perkembangan tersebut telah membawa dampak yang cukup konstributif bagi umat manusia dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan sendiri. Kemajuan yang diperoleh sekarang, tidak terlepas dari peranan pengkajian terhadap metafisika tersebut sehingga manusia lebih bisa memahami jati dirinya sebahai penuntut ilmu serta hakikat ilmu yang dituntutnya itu. Manfaat Metafisika Bagi Pengembangan Ilmu 1. Kontribusi metafisika terletak pada waktu terbentuknya paradigma ilmiah, ketika kumpulan kepercayaan belum lengkap pengumpulan faktanya, maka harus dipasok dari luar, antara lain: metafisika, sainsyglain, kejadian personal dan histories. (Kuhn) 2. Metafisika mengajarkan cara berpikir yang serius, terutama dalam menjawab problem yang bersifat enigmatik (teka-teki), sehingga melahirkan sikap dan rasa ingin tahu yang mendalam. (Kennick) 3. Metafisika mengajarkan sikap open-ended, sehingga hasil sebuah ilmu selalu terbuka untuk temuan & kreativitas baru.(Kuhn) 4. Perdebatan dalam metafisika melahirkan berbagai aliran, mainstream, seperti: monisme, dualisme, pluralisme, sehingga memicu proses ramifikasi, berupa lahirnya percabangan ilmu (Kennick). 5. Metafisika menuntut orisinalitas berpikir, karena setiap metafisikus menyodorkan cara berpikir yang cenderung subjektif dan menciptakan terminology filsafat yang khas. Situasi semacam ini diperlukan untuk pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika (vanPeursen). 6. Metafisika mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama (First principle) sebagai kebenaran yang paling akhir. Kepastian ilmiah dalam metodeskeptis Descartes hanya 10 dapat diperoleh jika kita menggunakan metode deduksi yang bertitik tolak dari premis yang paling kuat (Cogito Ergo Sum). 7. Manusia yang bebas sebagai kunci bagi akhir Pengada,artinya manusia memiliki kebebasan untuk merealisasikan dirinya sekaligus bertanggung jawab bagi diri sendiri, sesama manusia , dan dunia. Penghayatan atas kebebasan di satu pihak dan tanggung jawab di pihak lain merupakan sebuah kontribusi penting bagi pengembangan ilmu yang sarat dengan nilai (not value-free). (Bakker) 8. Metafisika mengandung potensi untuk menjalin komunikasi antara pengada yang satu dengan pengada yang lain. Aplikasi dalam ilmu berupa komuniksi antar ilmuwan mutlakdibutuhkan, tidak hanya antar ilmuwan sejenis, tetapi juga antar disiplin ilmu, sehingga memperkaya pemahaman atas realitas keilmuwan. (Bakker) 11 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa metafisika merupakan salah satu cabang ilmu filsafat yang mempelajari dan memahami mengenai penyebab segala sesuatu sehingga hal tertentu menjadi ada, dimana di dalamnya menjelaskan studi keberadaan atau realitas. Manusia sebagai makhluk yang bermetafisis dalam kehidupan sehari-harinya selalu membicarakan hal-hal yang berbau metafisika, bahwa terdapat hal-hal gaib (supernatural) dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Metafisika mengajak manusia memahami dirinya secara psikis (iman). Pengkajian tentang metafisika membawa pengaruh secara langsung atau tidak langsung dalam kehidupan manusia yang akan melahirkan asumsi yang mendalam dan kesadaran tentang jati dirinya sebagai manusia dan hakikat dirinya. Mempelajari kajian metafisika membawa pengaruh yang cukup dalam kepada manusia, sehingga manusia tidak hanya percaya kepada yang fisik dan berfikiran materialis namun manusia juga dapat mempercayai hal-hal metafisik yang cenderung bersifat rohani. B. Saran Diharapkan kepada semua pihak yang membaca makalah ini, agar kiranya dapat menjadikan sebagai salah satu rujukan yang sifatnya membangun dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Orang bijak mengatakan bahwa manusia perlu berfikir untuk mengetahu siapa dirinya dan kemana arah tujuan perjalanan hidupnya, sehingga tidak hanya berfikir secara materialistik dan hedonis. 12 DAFTAR PUSTAKA Wikipedia.“Metafisika”.http://id.m.wikipedia.org/wiki/Metafisika Fadli. “Ontologi Dalam Keilmuan”. http://fadlibae.wordpress.com/2010/10/04/ontologi-epistemologiaksiologi-dalam-keilmuan/ “Contoh Kajian Filsafat”. http://saymyfuture.blogspot.com/2011/12/cabang-kajian-filsafat-problem.html “Cabang-Cabang Filsafat”.http://wongrowokele.blogspot.com/2011/11/cabang-cabang-filsafat.html http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/22/ontologi/ 13 14