KAJIAN ARSITEKTUR HIJAU DESA ADAT PENGLIPURAN BALI NIKKO DWIJAYASASTRA DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Arsitektur Hijau Desa Adat Penglipuran Bali adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2013 Nikko Dwijayasastra NIM A44090003 ABSTRAK NIKKO DWIJAYASASTRA. Kajian Arsitektur Hijau Desa Adat Penglipuran Bali. Dibimbing oleh FITRIYAH NURUL H UTAMI. Arsitektur hijau merupakan salah satu jawaban dari permasalahan lingkungan global yang tengah terjadi. Hal ini telah dimulai oleh masyarakat masa lalu. Salah satu contohnya ialah budaya arsitektur dan penataan lanskap pada masyarakat tradisional Desa Adat Penglipuran. Terdapat standar penilaian tingkat hijau yang dikeluarkan oleh United States Green Building Council, yaitu Leadership in Energy and Environmental Design (LEED). Kajian ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan menganalisis konsep arsitektur hijau pada tatanan lanskap juga arsitektural Desa Adat Penglipuran serta mengukur tingkat hijau desa menggunakan LEED for Neighborhood Development. Penelitian ini dilakukan pada Desa Adat Penglipuran yang terletak pada dataran tinggi Kabupaten Bangli, Provinsi Bali dengan tahapan inventarisasi, analisis dan penilaian berdasarkan LEED for Neighborhood Development, sintesis, dan rekomendasi. Berdasarkan observasi, wawancara, dan studi literatur, desa ini memiliki tatanan lanskap, pola permukiman, dan arsitektur yang utuh hingga sekarang. Desa Adat Penglipuran memperoleh tingkat Silver berdasarkan penilaian LEED for Neighborhood Development. Hal ini menguatkan bahwa kearifan lokal masyarakat Desa Adat Penglipuran telah menerapkan konsep arsitektur hijau sejak dahulu. Kata kunci: arsitektur hijau, tingkat hijau, LEED, kearifan lokal ABSTRACT NIKKO DWIJAYASASTRA. Green Architecture Study of Penglipuran Traditional Village in Bali. Supervised by FITRIYAH NURUL H UTAMI. Green architecture is one of the solution for global environment problems that were happening. This have been initiated by past communities. One example is landscape and architecture culture in Penglipuran Traditional Village. There is a green level rating system by United States Green Building Council, which name is Leadership in Energy and Environmental Design (LEED). The objectives of this study were to identified and analyzed green architecture concept in Penglipuran Traditional Village landscape also architecture, and determined the green level of Penglipuran Traditional Village using LEED for Neighborhood Development. The Research activities carried out at Penglipuran Traditional Village which is located in Bangli District plateau, Province of Bali through the phases of inventory, analysis and assessment by LEED for Neighborhood Development, synthesis, and also recommendation. Based on observation, interview, and literature it have a landscape, settlement pattern, and architecture that hadn't been changed until now. Penglipuran Traditional Village acquired a Silver level by LEED for Neighborhood Development. This is confirmed that local wisdom of Penglipuran Traditional Village communities had implemented the concept of green architecture since first. Keywords: green architecture, green level, LEED, local wisdom KAJIAN ARSITEKTUR HIJAU DESA ADAT PENGLIPURAN BALI NIKKO DWIJAYASASTRA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 Judul Penelitian : Kajian Arsitektur Hijau Desa Adat Penglipuran Bali Nama : Nikko Dwijayasastra NIM : A44090003 Disetujui oleh Fitriyah Nurul H Utami, ST MT Pembimbing Diketahui oleh Dr Ir Siti Nurisjah, MSLA Ketua Departemen Tanggal Lulus: PRAKATA Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan anugerahNya sehingga karya ilmiah yang berjudul "Kajian Arsitektur Hijau Desa Adat Penglipuran Bali" dapat diselesaikan. Penelitian dilakukan dari bulan MaretMei 2013 pada Desa Adat Penglipuran, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Fitriyah Nurul H Utami, ST MT selaku dosen pembimbing atas bimbingan, masukan, dan arahannya selama persiapan penelitian hingga penyusunan karya ilmiah ini. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Wayan Supat selaku Ketua Adat Desa Penglipuran serta masyarakat Desa Adat Penglipuran, yang telah membantu selama pengumpulan data. Terima kasih kepada Bapak Tri Harso Karyono atas bantuannya dalam pemahaman mengenai arsitektur hijau. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Papa, Mama, Kakak, Alwin, Theresia, Djajasastra, dan Dalung atas semangat dan doanya. Terima kasih pula kepada seluruh keluarga besar Arsitektur Lanskap angkatan 46 serta segenap pihak yang telah membantu dan mendukung terselesaikannya karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, September 2013 Nikko Dwijayasastra DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi 1 PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Tujuan Penelitian 2 1.3 Manfaat Penelitian 2 1.4 Kerangka Pikir Penelitian 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 2.1 Latar Belakang Arsitektur Hijau 4 2.2 Arsitektur Hijau 4 2.3 Standar Pengukuran Arsitektur Hijau 5 2.4 Arsitektur Tradisional di Indonesia 8 2.5 Masyarakat dan Budaya Arsitektur Bali 8 2.6 Tata Ruang Desa Penglipuran 3 METODOLOGI 10 12 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 12 3.2 Metode Penelitian 13 3.3 Batasan Penelitian 19 4 KONDISI UMUM DESA PENGLIPURAN 20 4.1 Aspek Fisik 20 4.2 Aspek Sejarah 21 4.2 Aspek Sosial dan Budaya 22 4.3 Aspek Ekonomi 23 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 24 5.1 Lanskap dan Arsitektur Desa Adat Penglipuran 24 5.2 Identifikasi dan Analisis Konsep Arsitektur Hijau 28 5.2.1 Pemilihan Tapak dan Penghubung 28 5.2.2 Desain dan Pola Permukiman 36 5.2.3 Teknologi dan Konstruksi Hijau 43 5.3 Penilaian LEED Neighborhood Development Rating System 51 5.3.1 Pemilihan Tapak dan Penghubung 51 5.3.2 Desain dan Pola Permukiman 52 5.3.3 Teknologi dan Konstruksi Hijau 54 5.3.4 Tingkat Hijau Lanskap Desa Adat Penglipuran 55 5.4 Rekomendasi 6 SIMPULAN DAN SARAN 57 60 6.1 Simpulan 61 6.2 Saran 61 DAFTAR PUSTAKA 62 LAMPIRAN 64 RIWAYAT HIDUP 91 DAFTAR TABEL 1 Parameter LEED for neighborhood development rating system 2 Jenis, bentuk, cara pengambilan, dan sumber data yang akan diambil 3 Kriteria LEED for neighborhood development rating system yang digunakan 4 Penggunaan lahan Desa Adat Penglipuran 5 Jumlah penduduk desa berdasarkan kelompok umur 6 Proporsi penduduk berdasarkan mata pencaharian 7 Penilaian berdasarkan parameter pemilihan tapak dan penghubung 8 Penilaian berdasarkan parameter desain dan pola permukiman 9 Penilaian berdasarkan parameter teknologi dan konstruksi hijau 10 Tingkat hijau Desa Adat Penglipuran 6 14 15 20 23 23 51 52 54 55 DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Kerangka Pikir Penelitian Hierarki ruang secara vertikal dan horizontal Penerapan sembilan orientasi pada pekarangan Ukuran bagian tubuh sebagai dasar ukur di Bali Pola Desa Adat Penglipuran Lokasi Desa Adat Penglipuran Letak sampel tempat tinggal pada area inti desa Tata guna lahan Desa Adat Penglipuran Karakteristik lanskap Desa Adat Penglipuran Sketsa pola rumah tinggal Desa Adat Penglipuran Material alami pada bangunan desa Pola rumah tinggal pada keempat sampel Ilustrasi pola permukiman permulaan Perkembangan Desa Adat Penglipuran Peta lingkungan sekitar desa Pola berundag-undag pada permukiman desa Peta kontur area inti permukiman desa Sekolah Dasar Negeri 2 pada bagian selatan desa Gigantochloa aya Widjaja & Astuti dan Gigantochloa taluh Widjaja & Astuti Kopi Kopyol Bali Tanaman kamboja pada rumah warga Kondisi sungai Area perhitungan kepadatan rumah tinggal Satu kavling rumah tinggal Fasilitas publik desa dan jaraknya dari rumah tinggal Fasilitas parkir pada keempat sampel rumah tinggal Pola sirkulasi pada Desa Adat Penglipuran Potongan jalan lingkar Desa Adat Penglipuran Kondisi lanskap jalan utama desa Potongan jalan utama desa 3 9 9 10 11 12 13 21 24 26 26 27 28 29 30 31 32 33 33 34 34 35 36 37 38 38 39 40 41 41 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 Letak ruang terbuka desa dan empat sampel rumah tinggal Lapangan untuk berolahraga Bale Banjar dan area terbuka di sekitarnya Taman makam pahlawan Pekarangan pada kavling rumah tinggal Rumah tinggal pada luar area inti desa Kayu bakar sebagai bahan bakar pada dapur tradisional Pengelolaan limbah cair pada keempat sampel rumah tinggal Tempat sampah akhir Desa Adat Penglipuran a. Pura pada rumah tinggal b. Angkul-angkul salah satu sampel a. Bale saka enem pada sampel rumah nomor 4 b. Dapur tradisional Bangunan rumah tinggal dengan ornamen khas Bali Material-material yang digunakan pada fasilitas umum dan elemen keras lainnya Model lanskap Desa Adat Penglipuran dengan prinsip arsitektur hijau Konsep warna Nawa Sanga a. alur energi biogas b. struktur biogas Model pola pekarangan rumah tinggal Desa Adat Penglipuran 42 43 43 43 44 45 46 47 47 48 49 49 50 58 59 59 60 DAFTAR LAMPIRAN 1 Standar Penilaian LEED for Neighborhood Development Rating System 2007 2 Glosarium 64 90 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pesatnya perkembangan teknologi membawa perubahan besar dalam dunia arsitektur Indonesia. Terdapat kekeliruan pemahaman antara arsitektur dan teknologi. Pekerjaan arsitektur tidak lagi mempertimbangkan arah mata angin, arah datangnya sinar matahari, posisi bangunan terhadap angin dan matahari, suhu, serta kondisi awal tapak. Penggunaan air conditioner (AC), pemborosan energi, ketidaktepatan material bangunan, peningkatan jumlah limbah, dan perubahan fisik lahan secara ekstrim menjadi hal umum bagi pembangunan kini (Karyono 2010). Pembangunan yang eksploitatif tersebut melahirkan dampak berbahaya bagi lingkungan dan kehidupan manusia. Pembangunan yang tidak mempedulikan kondisi iklim dan lingkungan tersebut berimplikasi terhadap banyaknya gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfir sebagai penyebab pemanasan global. Lingkungan alam, seperti daerah-daerah aliran sungai, area resapan air hujan, ruang terbuka hijau, serta keanekaragaman hayati mengalami penurunan kualitas dan kuantitas. Hal tersebut melahirkan berbagai upaya untuk menghasilkan solusi yang tepat bagi permasalahan lingkungan. Konsep arsitektur hijau menjadi salah satu jawaban yang tepat dari fenomena yang terjadi. Menggunakan seminimal mungkin bahan non-renewable dan pencemar lingkungan serta menanamkan ide berkelanjutan dalam perencanaan menjadi konsep dalam arsitektur hijau. Arsitektur hijau juga menciptakan keselarasan antara penataan ruang dalam (interior), bentuk muka bangunan, dan ruang luar (eksterior). Digunakannya bahan dan material ramah lingkungan serta keselarasan, arsitektur hijau dapat meminimalisir dampak kerusakan dan membantu memperbaiki keadaan iklim global. Sejumlah lembaga di dunia melakukan pengukuran implementasi arsitektur hijau dalam realitas bangunan dan lingkungan. Salah satu standar pengukuran dikembangkan oleh U.S. Green Building Council (USGBC), yaitu Leadership in Energy and Environmental Design (LEED) (Barliana MS et al. 2012). Standar pengukuran arsitektur hijau kini dimiliki oleh banyak negara lain termasuk Indonesia dengan Greenship yang dikeluarkan oleh Green Building Council Indonesia (GBCI). Budaya masyarakat masa lalu telah melakukan konsep arsitektur hijau dan bersahabat dengan lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Pemilihan tapak yang tepat sehingga pemukiman tradisional dapat bertahan sampai ratusan tahun tanpa mendapat gangguan bencana alam seperti tanah longsor, banjir, gempa, letusan gunung dan lainnya. Material dan bahan bangunan dipilih dari lingkungan tempat tinggal yang kemudian disesuaikan dengan iklim setempat. Bentuk atau arsitektur rumah tinggal masyarakat pada masa lalu juga menyesuaikan dengan kondisi iklim setempat. Masyarakat pada masa lalu memiliki kepercayaan dan tradisi yang menjunjung tinggi alam tempat tinggal mereka sehingga mereka tidak akan merusak dan mengeksploitasi alam secara berlebihan. Indonesia merupakan negeri yang kaya akan kebudayaan, sehingga memiliki beragam tradisi arsitektur tradisional dengan konsep hijau yang beragam pula. Salah satunya adalah budaya arsitektur dan penataan lanskap pada 2 masyarakat tradisional Bali yang sarat keagamaan tersebut. Kebudayaan Bali merupakan kebudayaan yang berwajah natural dan berjiwa ritual. Jiwa ritual dipengaruhi oleh sistem religi Hindu yang datang dari India. Hal ini sangat mempengaruhi pembentukan elemen-elemen arsitekturnya. Setiap corak, ruang, elemen, dan ragam hias memiliki filosofi yang pada hakikatnya merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap alam dan Pencipta. Seperti ketentuan yang telah diatur didalam lontar Asta Dewa dan Asta Kosala/Kosali dimana setiap material dan bahan konstruksi berasal dari alam, contohnya kayu, ijuk, alangalang, batu alam, dan sebagainya. Salah satu desa adat tradisional Bali yang masih sarat akan tradisi dan ritual dalam tatanan lanskap dan arsitektural adalah Desa Adat Penglipuran. Desa Adat Penglipuran adalah salah satu desa tua di Bali atau sering disebut Bali Aga atau Bali Mula. Desa ini memiliki budaya dan tradisi khas yang tetap terpelihara dengan baik sampai saat ini. Budaya dan tradisi khas tersebut ialah pola tata ruang dan arsitektur bangunan (Astuti 2002). Budaya lain yang juga menonjol dari desa ini, yaitu awig-awig (peraturan adat) tentang pemeliharaan lingkungan, sistem pembuangan limbah, pemilihan material bangunan, juga tata lanskap. Material pada setiap rumah berupa tanah atau bambu untuk tembok dan bambu untuk atap (Arrafiani 2012). Penilaian prinsip arsitektur hijau pada budaya masyarakat tradisional Desa Adat Penglipuran akan dilakukan sehingga dapat mempelajari dan melestarikan arsitektur hijau serta kearifan lokal yang ada. 1.2 Tujuan Penelitian 1. 2. 3. Tujuan dari penelitian ini adalah: mengidentifikasi dan menganalisis konsep arsitektur hijau pada tatanan lanskap serta arsitektural Desa Adat Penglipuran, mengukur tingkat hijau dari lanskap Desa Adat Penglipuran menggunakan LEED for Neighborhood Development Rating System, dan memberikan rekomendasi bagi desa berdasarkan hasil pengukuran tingkat hijau untuk menjaga dan melestarikan nilai hijau dari tatanan lanskap Desa Adat Penglipuran. 1.3 Manfaat Penelitian 1. 2. 3. Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah: membantu Desa Adat Penglipuran dalam mempertahankan dan mengembangkan prinsip-prinsip hijau yang telah ada pada desa, menjadi bahan referensi arsitektur hijau yang dapat diterapkan pemerintah pada pembangunan permukiman hingga perkotaan, memberikan masukan bagi para akademisi dan praktisi di bidang arsitektur hijau dalam membentuk standar penilaian arsitektur hijau terutama untuk permukiman tradisional di Indonesia, 3 1.4 Kerangka Pikir Penelitian Desa Adat Penglipuran merupakan sebuah lanskap tradisional yang memiliki prinsip ekologis dalam adat dan budaya masyarakatnya. Arsitektur hijau sendiri memiliki parameter dalam pengukuran tingkat hijau. Kedua hal tersebut dikaitkan sehingga didapatkan prinsip-prinsip arsitektur hijau dalam lanskap Desa Penglipuran Bali. Prinsip tersebut diperoleh melalui studi pustaka, wawancara, dan survei lapang yang kemudian dilakukan suatu penilaian dengan melihat 3 parameter dalam LEED for Neighborhood Development Rating System. Hasil dari penilaian tersebut berupa tingkat hijau lanskap Desa Adat Penglipuran. Tingkat hijau yang diperoleh akan diketahui kelebihan dan kekurangan/kelemahan dari desa tersebut terutama dalam prinsip-prinsip arsitektur hijau. Hal-hal yang menjadi kekurangan/kelemahan tersebut akan dijadikan rekomendasi yang dapat menjaga dan meningkatkan tingkat hijau dari Desa Adat Penglipuran. Proses berfikir pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Arsitektur Hijau Parameter Arsitektur Hijau Lanskap Tradisional Desa Penglipuran Bali Adat Penglipuran Prinsip-prinsip Ekologis Masyarakat Tradisional Desa DesaAdat Panglipuran Bali Tradisional Penglipuran Studi Pustaka Wawancara Masyarakat / Pakar Survei Lapang Prinsip-prinsip Arsitektur Hijau dalam Lanskap Tradisional Desa Penglipuran Adat Penglipuran menurut LEED for Bali Neighborhood Development Smart Location and Linkage Neighbourhood Pattern and Design Green Construction and Technology Tingkat Penglipuran TingkatHijau HijauLanskap LanskapDesa DesaAdat Penglipuran Baliberdasarkan berdasarkan LEEDfor forNeighbourhood Neighborhood Development LEED DevelopmentRating RatingSystem System Penglipuran Rekomendasi bagi Desa Desa Adat Penglipuran Bali dalam menjaga dan meningkatkan tingkat hijaunya Gambar 1 Kerangka pikir penelitian 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Latar Belakang Arsitektur Hijau Vitruvius dalam bukunya Ten Books on Architecture terjemahan Morris H. Morgan (1960) menyatakan bahwa arsitektur harus memenuhi tiga unsur, yaitu Firmitas (ketahanan), Utilitas (kegunaan), dan Venustas (keindahan). Membuat karya yang kokoh dan indah berarti kita menciptakan karya seni murni seperti patung, dan bila kita membuat karya yang hanya fungsional dan kokoh, maka kita menciptakan bangunan. Karya arsitektur harus memenuhi ketiga unsur diatas atau penambahan unsur keindahan pada sebuah bangunan. Hal tersebut yang menjadi konsep perkembangan arsitektur klasik. Kehidupan, bentuk aktivitas, ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang sehingga membawa pertambahan terhadap sumber energi sampai pada penggunaan bahan bakar minyak, listrik, dan nuklir. Ketergantungan bangunan terhadap penggunaan energi semakin tinggi ketika arsitek membuat bangunan tinggi yang harus dilengkapi dengan mesin angkut vertikal (elevator), pompa air, mesin pendingin ruangan, dan lainnya. Penggunaan energi besar-besaran merupakan suatu faktor yang selalu melekat dalam karya arsitektur (Karyono 2010). Embargo minyak terhadap Blok Barat (Amerika dan sekutunya di Eropa Barat) oleh negara Arab pada tahun 1973 menyebabkan krisis energi pada negaranegara barat. Hal tersebut membawa perubahan besar dalam dunia arsitektur. Para arsitek di negara Barat mulai sadar betapa pentingnya energi bagi dunia arsitektur. Komisi PBB untuk lingkungan dan pembangunan membuat suatu deklarasi yang dikenal dengan Brundtland report yang di dalamnya mendefinisikan tentang Pembangunan Berkelanjutan (Karyono 2010). Menurut World Commision and Environment Development (WCED) (1987) dalam Pranoto (2008), Pembangunan Berkelanjutan adalah “the development which meets the needs of present, without compromising the ability of future generation to meet with their own needs”. Pernyataan tersebut bertujuan agar sebuah desain berkelanjutan dapat meminimalisasi dampak negatif terhadap sumberdaya sosial, ekonomi, dan ekologi. Dalam mencapai kondisi berkelanjutan tersebut muncullah pemikiranpemikiran dan pendekatan-pendekatan baru dalam desain diantaranya desain ekologis (ecological design), desain berkelanjutan secara ekologis (ecologically sustainable design), desain hijau (green design), dan lainnya adalah istilah-istilah yang menggambarkan penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam merancang bangunan maupun lanskap (Kibert 2008). 2.2 Arsitektur Hijau Arsitektur hijau merupakan arsitektur yang berwawasan lingkungan dan berlandaskan kepedulian tentang konservasi lingkungan global alami dengan penekanan pada efisiensi energi (energy-efficient), pola berkelanjutan (sustainable) dan pendekatan holistik (holistic approach). Credo form follows energy diperluas menjadi form follows environment yang berdasarkan pada prinsip recycle, reuse, reconfigure (Priatman 2002). 5 Robert dan Brenda Vale (1991) mengatakan bahwa pendekatan hijau untuk lingkungan binaan melibatkan pendekatan holistik dengan desain bangunan, semua sumber daya yang masuk pada sebuah gedung akan menjadi material, bahan bakar, atau kontribusi pengguna yang perlu untuk dipertimbangkan jika arsitektur berkelanjutan dibuat untuk kesehatan manusia. Pendapat Sim Van Der Ryn dan Calthorpe (1996) menjelaskan bahwa kita harus dapat memasukkan sebuah pemahaman ekologi yang mendalam pada suatu desain dari produk, bangunan, dan lanskap. Menurut Brenda dan Robert Vale (1991), terdapat 6 prinsip dasar dalam perencanaan Green Architecture: 1. Conserving energy, yang berarti sebuah karya arsitektur seharusnya didesain atau dibangun dengan pertimbangan yang meminimalisir penggunaan bahan bakar fosil. 2. Working with climate, suatu karya arsitektur seharusnya didesain untuk bekerja baik dengan iklim dan sumber daya energi alam. 3. Minimizing new resources, suatu karya arsitektur seharusnya didesain untuk meminimalisir penggunaan sumber daya dan pada akhir penggunaan dapat dimanfaatkan untuk keperluan lainnya. 4. Respect for users, arsitektur hijau mempertimbangkan kepentingan manusia yang terlibat didalamnya. 5. Respect for site, suatu karya arsitektur didesain dengan meminimalisir perusakan alam. 6. Holism, semua prinsip diatas harus menyeluruh dijadikan sebagai pendekatan dalam membangun sebuah lingkungan. 2.3 Standar Pengukuran Arsitektur Hijau Tingkat kehijauan suatu bangunan atau kawasan harus dapat diposisikan dalam tingkat yang dapat dimengerti atau diukur oleh suatu acuan (standar) tertentu. Karyono (2010) menjabarkan beberapa alat ukur atau standar yang telah banyak dirumuskan di negara-negara maju, yaitu: 1. BREEAM (Building Research Establishment’s Environmental Assessment Method). BREEAM merupakan acuan penilaian tingkat hijau tertua di dunia. Parameter yang dinilai BREEAM meliputi 10 aspek, yaitu manajemen, kesehatan dan kualitas hidup, energi, transportasi, air, material, limbah, tata guna lahan dan ekologi, polusi, dan inovasi. Standar ini memberikan lima kategori hasil penilaian, yaitu Pass, Good, Very Good, Excellent, dan Outstanding. 2. LEED (Leadership in Energy and Environmental Design). Sistem penilaian LEED menggolongkan enam tipe proyek, fasilitas, atau bangunan, yakni bangunan baru, bangunan eksisting, ruang (interior), inti bangunan dan selubung bangunan, rumah, pengembangan lingkungan perumahan, sekolah, dan bangunan perbelanjaan. Empat penggolongan sertifikasi yang diberikan LEED adalah Certified, Silver, Gold, dan Platinum. LEED pada objek pengembangan lingkungan perumahan terdapat 49 kriteria hijau dalam 4 parameter yang digunakan (Tabel 1). 6 Tabel 1 Parameter LEED for Neighborhood Development Rating System (Pengembangan Lingkungan Perumahan) Rating 1. Smart Location & Linkage a. Brownfield Redevelopment Nilai Maksimum 2 b. High Priority Brownfield Redevelopment 1 c. Preffered Locations 10 d. Reduced Automobile Dependence 8 e. Bicycle Network 1 f. Housing and Jobs Proximity 3 g. School Proximity 1 h. Steep Slope Protection 1 i. Site Design for Habitat or Wetland Conservation 1 j. Restoration of Habitat or Wetland 1 k. Conservation Management of Habitat or Wetlands 1 2. Neighborhood Pattern & Design a. Compact Development 7 b. Diversity of Uses 4 c. Diversity of Housing Types 3 d. Affordable Rental Housing 2 e. Affordable For-Sale Housing 2 f. Reducing Parking Footprint 2 g. Walkable Streets 8 h. Street Network 2 i. Transit facilities 1 j. Transportation Demand Management 2 k. Access to Surrounding Vicinity 1 l. Access to Public Spaces 1 m. Access to the Active Space 1 n. Universal Accessibility 1 o. Community Outreach and Involvement 1 p. Food Production 1 3. Green Construction and Technology a. Certified Green Building 3 b. Energy Efficiency in Building 3 c. Reduced Water Use 3 d. Building Reuse and Adaptive Reuse 2 e. Reuse of Historic Building 1 f. Minimize Site Disturbance through Site Design 1 g. Minimize Site Disturbance during Construction 1 h. Contaminant Reduction 1 i. Stormwater Management 5 j. Heat Island Reduction 1 7 Tabel 1 Parameter LEED for Neighborhood Development Rating System (lanjutan) Rating 3. Green Construction and Technology 1 a. Solar Orientation 1 b. On-Site Energy Generation 1 c. On-Site Renewable Energy Sources 1 d. District Heating and Cooling 1 e. Infrastructure Energy Efficiency 1 f. Wastewater Management 1 g. Recycle Content in Infrastructure 1 h. Construction Waste Management 1 i. Comprehensive Waste Management 1 j. Light Pollution Reduction 1 4. Innovation and Design Process a. Innovation and Exemplary Performance 5 b. LEED Accredited Professional 1 Total 106 Sumber: USGBC (2007) 3. 4. 5. Green Star (Standar Bangunan Hijau Australia). Standar penilaian Green Star dicetuskan oleh Green Building Council Australia (GBCA) tahun 2002. Penilaian ini membagi bangunan ke dalam sejumlah tipe, yakni bangunan hunian, kesehatan, perbelanjaan, pendidikan, perkantoran baru, dan perkantoran eksisting. Green Mark (Standar Bangunan Hijau Singapura). Green Mark dikeluarkan oleh Building Council Association (BCA) Singapura pada tahun 2005. Standar ini memberikan penilaian terhadap sejumlah tipe bangunan dan proyek, yakni bangunan hunian, non-hunian, bangunan eksisting, interior bangunan kantor, bangunan menapak tanah, infrastruktur, dan taman baru/lama. Parameter yang dipakai adalah efisiensi penggunaan energi, efisiensi penggunaan air, perlindungan terhadap lingkungan, kualitas fisik ruang dalam, aspek hijau lainnya dan inovasi desain. Bangunan yang dinilai dengan BCA Green Mark diberi predikat tersertifikasi emas, emas plus, dan platinum. Greenship (Standar Bangunan Hijau Indonesia). Greenship merupakan standar bangunan hijau yang dikembangkan oleh Green Building Council Indonesia (GBCI). Green Building Council Indonesia menyusun standar bangunan hijau dengan tujuh aspek yang menjadi penilaian, yaitu ketepatan pengembangan tapak, efisiensi energi, penghematan air, sumber material, kesehatan serta kenyamanan ruang dalam, dan kondisi lingkungan bangunan. 8 2.4 Arsitektur Tradisional di Indonesia Wiranto (1999) mengatakan bahwa kebudayaan Indonesia bukan sesuatu yang padu dan bulat tetapi tersusun dari berbagai rona elemen budaya yang bervariasi. Perjalanan sejarah Indonesia yang panjang membentuk sistem kebudayaan yang berlapis-lapis. Empat lapis kebudayaan Indonesia tersebut, yakni kebudayaan Indonesia asli, kebudayaan India, kebudayaan Arab-Islam, dan kebudayaan modern Eropa-Amerika. Salah satu bentuk budaya hasil dari perjalanan waktu dan keunikan tempat adalah arsitektur tradisional. Menurut Prijotomo & Sulistyowati (2009), istilah ‘Arsitektur Tradisional Indonesia’ merupakan istilah yang diberikan oleh ilmuwan dan penulis kolonial Belanda di zaman sebelum perang dunia dua. Sebutan yang berasal dari kata Belanda ‘traditioneele architectuur’ itu diberikan bagi karya-karya arsitektur asli daerah di Indonesia dengan beberapa alasan. Alasan pertama adalah untuk membedakan jenis arsitektur yang timbul, berkembang dan merupakan karakteristik suku-suku bangsa di Indonesia dari jenis arsitektur yang tumbuh atas dasar perkembangan arsitektur di Eropa, khususnya Belanda. Alasan kedua adalah karena masyarakat asli Indonesia masih mempertahankan bentuk arsitekturnya sebagai warisan dari generasi ke generasi tanpa menunjukkan adanya perubahan mendasar. 2.5 Masyarakat dan Budaya Arsitektur Bali Masyarakat Bali menerapkan sendi-sendi agama, adat istiadat, kepercayaan, dan religi dalam segala aspek kehidupan sehari-hari, termasuk juga dalam budaya arsitektur mereka. Penerapan sendi-sendi agama, adat istiadat, kepercayaan, dan religi masyarakat tradisional Bali pada arsitektur mereka, terangkum dalam kaidah dasar arsitektur tradisional Bali atau yang biasa dikenal dengan Asta Kosala Kosali. Oleh Budihardjo (1991) kaidah ini dikonsepsikan menjadi tujuh kaidah dasar arsitektur tradisional Bali. 2.5.1 Hirarki Ruang Masyarakat Bali yakin untuk menciptakan sebuah kehidupan bahagia yang harmonis bersumber pada keharmonisan tiga hubungan, yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan sesama. Keyakinan ini dirangkum dalam sebuah konsep Tri Hita Karana, yang kemudian dimanifestasikan dalam konsep Tri Angga dan Tri Loka. Secara umum, kedua konsep ini merupakan turunan dari tiga unsur pengatur keseimbangan yang telah dijelaskan dalam Tri Hita Karana dalam bentuk tiga nilai fisik, yaitu Utama, Madya, dan Nista. 9 Gambar 2 Hierarki ruang secara vertikal dan horizontal (Budihardjo, 1991) 2.5.2 Orientasi Kosmologi Pada pembentukan ruang, konsep Tri Angga maupun Tri Loka digunakan sebagai dasar konsep tata ruang secara vertikal, dimana daerah tertinggi memiliki nilai Utama dan daerah terendah bernilai Nista, sedangkan diantaranya bernilai Madya. Secara horizontal, pembentukan ruang menggunakan konsep turunan Tri Angga dan Tri Loka, konsep Nawa Sanga yang membagi ruang menjadi 9 orientasi, yaitu 8 arah mata angin dan satu titik pusat atau Puseh. Gambar 3 Penerapan sembilan orientasi pada pekarangan (Budihardjo 1991) 2.5.3 Keseimbangan Kosmologi Agama Hindu sebagai kepercayaan hampir semua penduduk Bali, mengajarkan umatnya untuk hidup harmonis dengan alam semesta dan segala isinya yang tersirat dalam konsep manik ring cucupu. Di dalam konsep ini, seluruh kehidupan dan keadaan alam semesta yang terdiri dari lima unsur pembentuk (Panca Mahabhuta), yaitu cairan, sinar, angin, udara, tanah, dan zat padat, masing-masing memiliki nilai yang berlawanan (Rwa Bhineda). Hal ini juga diterapkan pada arsitektur tradisional Bali. 2.5.4 Ukuran Tubuh Manusia Keunikan lain dari arsitektur tradisional Bali adalah masyarakat Bali menentukan ukuran-ukuran bangunan mereka berdasarkan ukuran dari bagian tubuh mereka, seperti tangan jari, telapak kaki, dan sebagainya. Dengan menerapkan ukuran bagian dari tubuh mereka pada ukuran-ukuran bangunan, ruang hidup mereka menyesuaikan dengan proporsi dan skala mereka yang hidup disana, sehingga tercapai kenyamanan didalamnya. 10 Gambar 4 Ukuran bagian tubuh sebagai dasar ukur di Bali (Adhika 1994) 2.5.5 Konsep Open Air Massa bangunan arsitektur tradisional Bali cenderung terdiri dari unit-unit bangunan terpisah dengan lahan terbuka sebagai elemen penghubung. Konsep open air ini juga dinilai cocok untuk menghadapi kondisi fisik alam Bali yang beriklim tropis. 2.5.6 Kejelasan Struktur Struktur pada bangunan diperlihatkan secara eksplisit, menjelaskan bagaimana metode struktur bekerja. Konsep ini menampakkan kejujuran dan keteraturan pada setiap struktur. 2.5.7 Kejujuran Material Arsitektur tradisional Bali menampilkan material bangunan dengan semua karakter asli secara jujur seperti apa yang terlihat pada alam sebagai suatu cara untuk mencapai keharmonisan. 2.6 Tata Ruang Desa Penglipuran Dwijendra (2009) menyatakan bahwa falsafah hubungan yang selaras antara alam dan manusia, dan kearifan manusia yang mendayagunakan alam dapat membentuk suatu ruang kehidupan yang seimbang antara buana agung dan buana alit yang diwujudkan dalam konsep Tri Hita Karana (Parahyangan, Pawongan, Palemahan). Konsep ini terlihat jelas dan dijabarkan dalam tata letak dalam desa ini. Pola desa yang terbentuk tak lepas dari pengaruh kepercayaan yang dianut masyarakat Penglipuran yang dibawa leluhurnya, yaitu dari Desa Bayung Gede. Pola tersebut terbagi dalam 2 bagian sebagai berikut: 11 Gambar 5 Pola Desa Adat Penglipuran (Dwijendra 2009) Data monografi Desa Adat Penglipuran 2001 menyatakan bahwa pola penataan ruang dan tata letak bangunan tradisional di Penglipuran menggunakan pola dasar Nawa Sanga, yaitu penggabungan orientasi antara gunung dan laut serta terhadap peredaran matahari. Ciri yang menonjol adalah As Utara Selatan (Kaja-Kelod dengan Axis Linier). Axis ini juga berfungsi sebagai ruang terbuka untuk kegiatan bersama. Ruang terbuka membagi desa menjadi dua bagian BaratTimur (Kauh-Kangin). Ruang terbuka Desa Penglipuran menanjak kearah gunung (utara) dimana terdapat bangunan suci yang berorientasi kepada Gunung Batur. Masyarakat Desa Penglipuran yang keseluruhannya beragama Hindu ini memiliki tata ruang desa yang khas, dengan konsep Tri Mandala, dimana arah timur laut merupakan Utama Mandala atau tempat paling suci untuk bangunan pura, Madya Mandala untuk aktivitas keluarga sehari-hari dan tempat tinggal, dan Nista Mandala di bagian selatan untuk kuburan warga. Pola tata ruang pekarangan sangat jelas pada rumah keluarga di jejer barat, dimana bagian depan merupakan Utama Mandala, bagian tengah merupakan Madya Mandala, dan bagian belakang merupakan Nista Mandala, terdapat kamar kecil, kandang ternak, tempat sampah, dan lainnya (Astuti 2002). 12 3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Adat Penglipuran yang secara administratif terletak di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali (Gambar 6). Waktu penelitian di lapang dilakukan selama dua bulan, pada bulan Maret dan April 2013. Pengolahan data dilakukan pada bulan Mei dan Juni 2013. Gambar 6 Lokasi Desa Adat Penglipuran (BAPPEDAPM Bangli 2005) 13 3.2 Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui tahapan inventarisasi, analisis dan penilaian berdasarkan LEED for Neighborhood Development Rating System, serta sintesis. Adapun penjelasan mengenai tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Inventarisasi atau pengumpulan data dengan metode survei. Data yang dikumpulkan meliputi pemilihan tapak, desain dan pola permukiman, dan teknologi konstruksi hijau (Tabel 2). Data didapatkan melalui observasi lapang, wawancara, dan studi pustaka. Observasi lapang dilakukan untuk mengetahui kondisi eksisting Desa Adat Penglipuran yang menjadi objek secara spasial. Pengambilan data mengenai kondisi rumah tinggal dalam area inti desa dilakukan dengan menentukan sampel rumah tinggal secara acak pada pemukiman bagian barat dan timur yang memiliki fisik berbeda. Pemukiman pada inti desa juga terbagi oleh sirkulasi menjadi bagian utara dan selatan. Sampel yang diambil berjumlah 4 rumah secara acak, yang masing-masing mewakili setiap bagian pada area inti desa (Gambar 7). Gambar 7 Letak sampel tempat tinggal pada area inti desa 14 Wawancara dilakukan secara langsung kepada Ketua Adat Desa Penglipuran, Kepala Lingkungan Desa Penglipuran, dan 2 tokoh masyarakat Desa Adat Penglipuran. Dalam wawancara responden sebagai narasumber harus benar-benar bebas dari pengaruh luar (Sugiyono 2007) dan responden tidak mengetahui bahwa selama percakapan secara informal tersebut bertujuan untuk pengumpulan data. Studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan data-data sekunder dari dokumen desa, hasil penelitian lain, dan instansi pemerintah setempat. Mencari informasi dan data dari literatur yang terkait tentang Desa Adat Penglipuran dan arsitektur hijau. Tabel 2 Jenis, bentuk, cara pengambilan, dan sumber data yang akan diambil Jenis Data 1. a. Pemilihan tapak dan penghubung Kondisi awal tapak, kondisi lingkungan sekitar tapak, tata guna lahan, rekayasa lanskap, topografi, aksesibilitas desa, persebaran vegetasi dan satwa, kondisi badan air, pengelolaan habitat lokal 2. a. Desain dan pola permukiman Kepadatan rumah tinggal, peruntukan rumah tinggal, letak fasilitas publik sekitar desa Fasilitas parkir, pola sirkulasi, kondisi fisik jalan b. c. 3. a. 2. Luas dan jarak ruang terbuka dari rumah tinggal, fasilitas jalan dan transportasi, partisipasi masyarakat dalam pembangunan, letak pasar tradisional dan lahan pertanian Teknologi dan konstruksi hijau Sistem & pengelolaan air irigasi, penggunaan kembali bangunan tidak terpakai, rehabilitasi cagar budaya, pemeliharaan tapak terkontaminasi, sumber energi alternatif, infrastruktur hemat energi, pengelolaan limbah (cair dan padat), material pada hardscape Bentuk Data Cara Pengambilan Sumber Peta, foto, teks Survei, studi pustaka, wawancara Lapang, BALITBANG pengelola, penduduk asli, literatur Peta, foto, teks Survei, wawancara Lapang, penduduk asli Peta, foto, teks Survei, studi pustaka Lapang, pengelola Peta, foto, teks Survei Lapang Foto, teks Survei, wawancara Lapang, pengelola, penduduk asli Analisis dan penilaian berdasarkan LEED for Neighborhood Development Rating System (USGBC 2007) dilakukan dengan metode skoring dari parameter-parameter yang diukur didalamnya. Parameter yang dinilai, meliputi smart location and linkage (pemilihan tapak dan penghubung), Neighborhood pattern and design (desain dan pola permukiman), green construction and technology (teknologi dan konstruksi hijau). Kriteriakriteria yang digunakan sebagai dasar penilaian tercantum pada Tabel 3. 15 Tabel 3 Kriteria LEED for Neighborhood Development Rating System yang digunakan Rating Tolok Ukur 1. Smart Location & Linkage Brownfield Redevelopment Preffered Locations Reduced Automobile Dependence Bicycle Network Housing and Jobs Proximity Pemukiman berada pada tapak yang terkontaminasi oleh polusi (udara, tanah, air), dan harus melakukan pemulihan atau remediasi untuk penggunaan di masa yang akan datang. Pemukiman berada pada tapak dimana 75% dari luasnya telah terbangun (adanya konstruksi awal, paving, dan rekayasa lanskap) (10 poin), atau Pemukiman berada pada tapak dimana 25% dari luasnya telah terbangun (adanya konstruksi awal, paving, dan rekayasa lanskap) (5 poin). Sejumlah 50% dari rumah tinggal dan tempat bekerja berada pada jarak 400 meter dari halte angkutan umum. Memiliki jalur khusus sepeda yang menghubungkan permukiman dan tempat bekerja terdekat, dan fasilitas parkir sepeda pada bangunan yang bukan rumah tinggal. Sejumlah 25% tempat bekerja penduduk terletak pada jarak 800 meter dari 50% rumah tinggal pada permukiman. Nilai Evaluasi Nilai Nilai Maksimum 21 2 2 5-10 10 1 1 1 1 3 3 School Proximity Pemukiman berada dalam jarak 800 meter dari sekolah terdekat. 1 1 Steep Slope Protection Minimum dalam melakukan pengubahan bentuk lahan (slope protection) (<15%) 1 1 Site Design for Habitat or Wetland Conservation Tidak mengganggu habitat spesies dilindungi jika terdapat pada tapak atau membuat penyangga disekitarnya, atau melakukan perlindungan terhadap badan air yang terdapat pada tapak (jika terdapat badan air pada tapak). 1 1 Restoration of Habitat or Wetland Menggunakan tanaman lokal, atau memulihkan habitat lokal atau badan air pada tapak seluas minimal 10% area terbangun. 1 1 16 Tabel 3 Kriteria LEED for Neighborhood Development Rating System yang digunakan (lanjutan) Rating Tolok Ukur Nilai Evaluasi Nilai Nilai Maksimum 1. Smart Location & Linkage Conservation Management of Habitat or Wetlands Membuat rencana pengelolaan jangka panjang untuk konservasi habitat lokal (pada tapak dengan habitat lokal dilindungi) atau membuat rencana pengelolaan jangka panjang untuk konservasi badan air (pada tapak dengan badan air). 1 1 2. Neighborhood Pattern & Design Compact Development Kepadatan pemukiman memenuhi nilai dibawah ini (DU/acre): a. 10-20 (1 poin) b. 20-30 (2 poin) c. 30-40 (3 poin) d. 40-50 (4 poin) e. 50-60 (5 poin) f. 60-70 (6 poin) 1 14 1-7 7 1-4 4 1-3 3 g. Diversity of Uses Diversity of Housing Types >70 (7 poin) Sejumlah 50% unit rumah tinggal berada dalam jarak 800 meter dari 2 (1 poin), 4 (2 poin), 7 (3 poin), dan 10 (4 poin) tempat-tempat publik berikut (list of diverse uses): a. Bank b. Toko kebutuhan sehari-hari c. Fasilitas rekreasi outdoor d. Perpustakaan e. Rumah Sakit atau Puskesmas f. Apotek g. Tempat ibadah h Kantor polisi i. Kantor pos j. Sekolah k. Pasar tradisional. Memenuhi angka Simpson Diversity Index (1-Σ(n/N)2) sebesar: a. 0.5-0.6 (1 poin) b. 0.6-0.7 (2 poin) c. > 0.7 (3poin) n: jumlah DU dengan satu kepala keluarga N: jumlah DU dengan >1 kepala keluarga 17 Tabel 3 Kriteria LEED for Neighborhood Development Rating System yang digunakan (lanjutan) Rating Tolok Ukur Nilai Evaluasi Nilai Nilai Maksimum 2. Neighborhood Pattern & Design Reducing Parking Footprint Walkable Streets Street Network Transit Facilities Transportation Demand Management Access to Surrounding Vicinity Menempatkan seluruh fasilitas parkir pada bagian samping atau belakang bangunan, dan membiarkan bagian depan bangunan bebas dari fasilitas tersebut. Fasad bangunan menghadap ke fasilitas publik seperti jalan, plaza, dan taman (4 poin). Lebar pedestrian minimal 1.2 meter (4 poin) atau jalan yang ada pada area pemukiman dikhususkan untuk kecepatan kendaraan maksimum 20 km/jam (4 poin). Terdapat pedestrian yang menghubungkan setiap bagian cul-dessacs dari pemukiman. Terdapat halte angkutan umum setengah tertutup dengan atap dan minimal sebuah bangku pada bagian terluar pemukiman. Terdapat fasilitas transportasi publik dari pemukiman menuju pusat kota. 20 2 2 4-8 8 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Universal Accessibility Terdapat minimal satu buah fasilitas jalan penyebrangan setiap 250 m pada jalan yang dilalui kendaraan bermotor dalam area pemukiman. Terdapat ruang terbuka (taman atau plaza) sebagai area publik dengan luas minimal 600 m2 dan berada pada jarak maksimal 300 meter dari rumah tinggal. Terdapat ruang terbuka untuk berolahraga atau kegiatan aktif dengan jarak 800 meter dari rumah tinggal. Pedestrian pemukiman dapat dilalui oleh penduduk segala usia dan cacat. Community Outreach and Involvement Melibatkan masyarakat setempat dalam melakukan pembangunan pemukiman yang ada. 1 1 Food Production Terdapat budidaya pertanian penduduk asli atau pasar tradisional dengan jarak 400 meter dari pemukiman. 1 1 Access to Public Spaces Access to Active Spaces 18 Tabel 3 Kriteria LEED for Neighborhood Development Rating System yang digunakan (lanjutan) Rating Tolok Ukur Nilai Evaluasi Nilai Nilai Maksimum 3. Green Construction and Technology Reduced Water Use Building Reuse and Adaptive Reuse Reuse of Historic Building Minimize Site Disturbance through Site Design Contaminant Reduction Heat Island Reduction On-Site Renewable Energy Sources Infrastructure Energy Efficiency Wastewater Management Recycle Content in Infrastructure Construction Waste Management Comprehensive Waste Management Menggunakan air tangkapan hujan atau olahan air buangan untuk kebutuhan irigasi. dan pekarangan tidak membutuhkan sistem irigasi permanen. Menggunakan kembali bangunan yang tidak terpakai untuk peruntukan lainnya dan melakukan perbaikan 50% dari struktur eksisting bangunan. Melakukan rehabilitasi bangunan cagar budaya yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pengembangan permukiman hanya dilakukan pada area yang sebelumnya telah terbangun dan tidak merusak lingkungan alami yang ada. Melakukan pemeliharaan berkelanjutan pada tapak yang terkontaminasi (Brownfield Redevelopment). Pada area terbuka (pedestrian, parkir) menggunakan material dengan nilai SRI maksimal 29 atau menempatkan fasilitas parkir pada area ternaungi (pohon, bawah tanah) dan 50% bangunan permukiman menggunakan atap hijau (vegetasi) Terdapat sumber energi alternatif ramah lingkungan seperti solar, angin, biomasa, panas bumi, dan lainnya. Terdapat lampu taman, lampu jalan, pompa air, dan infrastruktur lainnya yang hemat energi (mereduksi 15% energi). Terdapat pengelolaan air buangan untuk digunakan kembali sebesar 50% dari jumlah total air buangan. Menggunakan material yang dapat didaur ulang pada jalan, area parkir, pedestrian, dan elemen keras lainnya. Menggunakan kembali/mendaur ulang kurang lebih 50% puing atau sisa konstruksi yang tidak beracun. Terdapat tempat pembuangan khusus untuk sampah berbahaya atau beracun. Terdapat tempat pemisahan dan pembuangan sampah yang dapat didaur ulang kembali serta pengomposan. 12 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 19 3. Sintesis merupakan tahapan pengolahan hasil analisis dan penilaian berdasarkan LEED for Neighborhood Development Rating System. Tahap ini dilakukan penjumlahan semua nilai skoring untuk didapatkan suatu tingkat hijau dari lanskap Desa Adat Penglipuran. Kemudian dari tingkat hijau dan penilaian tersebut akan dirumuskan rekomendasi bagi Desa Adat Penglipuran guna menjaga dan meningkatkan tingkat hijau desa tersebut. 3.3 Batasan Penelitian Penelitian Kajian Arsitektur Hijau Desa Adat Penglipuran di Bali ini hanya menggunakan 36 kriteria dalam 3 parameter (dari total 49 kriteria dalam 4 parameter) untuk melakukan penilaian tingkat hijau berdasarkan LEED for Neighborhood Development Rating System yang dikeluarkan oleh USGBC. Rekomendasi berupa model lanskap desa diberikan berdasarkan hasil penilaian tingkat hijau dan tata ruang Desa Adat Penglipuran. 20 4 KONDISI UMUM DESA PENGLIPURAN 4.1 Aspek Fisik 4.1.1 Geografis Desa Adat Penglipuran termasuk dalam batas administratif pemerintahan wilayah Desa Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Desa Adat Penglipuran memiliki luas wilayah 113 Ha yang terdiri dari pekarangan, hutan bambu, hutan vegetasi lainnya, lahan pertanian, dan permukiman. Desa Adat Penglipuran terletak 5,5 km sebelah utara Kota Bangli, serta memiliki batas-batas fisik wilayah sebagai berikut: Utara : Desa Adat Kayang Timur : Desa Adat Kubu Selatan : Desa Adat Gunaksa Barat : Desa Adat Cekeng, Sungai Sangsang Sungai Sangsang yang terdapat pada sebelah barat desa memiliki tebing yang curam dan air yang bersih mengalir dari utara ke selatan. Sungai ini masih dimanfaatkan penduduk sekitarnya sebagai pemandian umum, juga sebagai sumber air ketika air PDAM sedang mati. Jarak tempuh dari Desa Adat Penglipuran menuju sungai tersebut kurang lebih 750 meter (Pemkab Bangli 2010). 4.1.2 Topografi Desa Adat Penglipuran terletak pada ketinggian 500-600 m diatas permukaan laut, sehingga termasuk wilayah dataran tinggi. Permukaan tanah pada desa mempunyai perbedaan tinggi 5-15 m. Jenis tanah berupa lempung berpasir berwarna kemerahan (latosol). Terletak pada dataran tinggi yang berlereng membuat daerah sekitar desa ini banyak dikelilingi kondisi tanah yang curam dan berupa hutan. Desa ini memanjang dari utara hingga ke selatan dengan kontur yang menurun (Dwijendra 2003). 4.1.3 Tata Guna Lahan Tata guna lahan di Desa Adat Penglipuran dilandasi oleh filosofi Tri Angga, yaitu Hulu (kepala), Antara (badan), Teben (kaki) yang sekaligus menjadi tata nilai utama, madya, dan nista (Tri Mandala). Penggunaan lahan pada zona Hulu secara dominan berupa tempat suci/laba pura dan hutan. Zona Antara berisikan permukiman, fasilitas umum, tegalan, dan hutan. Zona Teben secara dominan berupa pemakaman, tegalan, dan hutan (Gambar 8). Berdasarkan catatan Statistik Lingkungan Penglipuran, penggunaan lahan desa sebagai berikut: Tabel 4 Penggunaan lahan Desa Penglipuran No 1 2 3 4 5 6 Jenis Penggunaan Lahan Permukiman dan fasilitas umum Tegalan Hutan Tempat suci Kuburan Lain-lain Total Sumber: BPS Pemkab Bangli (2008) Luas (Ha) 5.6 56 41 0.8 7 2.6 113 21 Gambar 8 Tata guna lahan Desa Adat Penglipuran 4.1.4 Iklim Ditinjau dari segi iklim, Desa Adat Penglipuran memiliki suhu berkisar antara 18-32 C dan curah hujan rata-rata berkisar 2000-2500 mm/tahun. Curah hujan tertinggi terjadi bulan Desember-Maret dan terendah pada bulan Agustus (BPS Pemkab Bangli 2008). Pada tahun 2009 Desa Adat Penglipuran memiliki curah hujan rata-rata sebesar 2573 mm/tahun, suhu rata-rata mencapai 29 C dengan kelembaban udara mencapai 85% (BPS Pemkab Bangli 2010). 4.2 Aspek Sejarah Desa Adat Penglipuran secara pasti tidak diketahui kapan pertama kali ditempati. Masyarakat mengakui bahwa desa ini terbentuk pada jaman Kerajaan Bangli yang dimana Kota Bangli sendiri saat ini sudah berusia kurang lebih 793 tahun (Dwijendra 2009). Kata Penglipuran sendiri memiliki dua arti berbeda yang diakui oleh masyarakat dan pemuka adat setempat. Arti yang pertama berasal dari kata lipur yang berarti menghibur. Pondok di hutan sebagai tempat untuk menghibur hati 22 sembari bekerja di ladang yang kemudian menjadi sebuah desa Penglipuran. Arti kedua berasal dari pengeling pura, sebuah tempat suci untuk mengenang leluhur. Konon masyarakat Penglipuran pernah bertempur mewakili Kerajaan Bangli melawan Kerajaan Gianyar sehingga dihadiahkan sebuah tanah oleh Raja Bangli yang lokasinya sekarang adalah Desa Penglipuran (Dwijendra 2009). Desa Adat Penglipuran merupakan sebuah desa yang tidak terkena pengaruh besar pada masa Hindu-Majapahit karena letaknya yang jauh dari pusat kekuasaan Samprangan-Gianyar. Padmasana sebagai wujud fisik dan simbol pemersatu umat Hindu yang saat itu terpecah dalam kasta, baru diterima oleh masyarakat Penglipuran pada tahun 1930. Rumah-rumah tinggal pada Desa Adat Penglipuran belum semua memiliki padmasana sampai saat ini (Bagus 1979). Desa Adat Penglipuran mulai ditetapkan sebagai Desa Wisata oleh Pemerintah Daerah Bali pada tahun 1992 (Astuti 2002). 4.2 Aspek Sosial dan Budaya Data tahun 2008 diketahui bahwa jumlah penduduk Penglipuran sejumlah 219 KK atau 920 jiwa. Proporsi penduduk laki-laki dan perempuan terbilang sama, yaitu penduduk laki-laki berjumlah 468 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 452 jiwa (Tabel 5). Dari tabel tersebut dapat dilihat proporsi penduduk Desa Adat Penglipuran didominasi oleh kelompok umur 19 tahun keatas yang mencapai 75.5%, sehingga sebagian besar penduduk Desa Adat Penglipuran sudah dalam usia dewasa dan tidak berada dalam jenjang pendidikan dasar (BPS Pemkab Bangli 2008). Desa Adat Penglipuran merupakan sebuah desa adat sehingga memiliki hak otonomi, yang berarti memiliki kontribusi besar dalam membantu pemerintah baik fisik maupun nonfisik. Krama (masyarakat) Desa Adat Penglipuran terdiri atas 2 jenis, yaitu krama pengarep, dan krama pengerob. Keluarga pengarep merupakan keluarga yang memiliki tanggung jawab terhadap pembangunan fisik dan menyungsung Pura Kahyangan Tiga. Awig-awig atau peraturan adat desa telah menetapkan bahwa Desa Adat Penglipuran memiliki 76 unit kavling Karang Ayahan Desa dan masing-masing kavling terdapat satu keluarga pengarep. Krama pengarep memiliki kedudukan paling menonjol dalam suatu keluarga dan dipilih melalui musyawarah keluarga. Kewajiban dari krama pengarep adalah ngayah (gotong royong dalam upacara), sembahyang, menyungsung pura dan aset-aset desa adat, serta membayar iuran. Keluarga pengerob merupakan keluarga Desa Adat Penglipuran selain Keluarga pengarep. Kewajiban dari krama pengerob adalah ngayah fisik (gotong royong desa), sembahyang, serta membayar iuran. Krama pengerob sendiri dibagi menjadi beberapa kelompok atau biasa disebut Sekaa, yaitu Sekaa Baris (mengatur tarian untuk upacara adat), Sekaa Gong (mengatur penggunaan alat musik tradisional saat upacara), Sekaa Pratangan (juru masak dalam berbagai kegiatan), dan Sekaa Teruna (dikhususkan bagi yang belum menikah) (Dwijendra 2009). 23 Masyarakat mengelola wilayah desa mereka secara tradisi turun temurun, sehingga tidak boleh diperjualbelikan dan hanya diwariskan pada anak laki-laki yang disetujui keluarga. Bagi yang tidak memiliki anak laki-laki dapat menunjuk anak dari keluarga besar mereka maupun yang disepakati oleh sistem komunitas dan keberadaannya. Melakukan poligami tidak diijinkan bagi penduduk desa ini, hal ini merupakan satu-satunya tradisi yang masih tetap dipertahankan desa sejak dahulu. Selain merupakan sebuah peraturan adat desa setempat, hal tersebut juga bertujuan untuk mengendalikan perkembangan penduduk. Hukuman atau sangsi bagi yang melanggar peraturan adat tersebut akan dikucilkan ke sebuah area khusus yang disebut karang memadu, sampai saat ini area tersebut belum pernah dihuni oleh penduduk desa. Tabel 5 Jumlah Penduduk Desa Berdasarkan Kelompok Umur No Kelompok Umur (tahun) Jumlah 1 0-3 51 2 4-6 34 3 7-12 85 4 13-15 33 5 16-18 36 6 >19 691 Total 920 Sumber: BPS Pemkab Bangli (2008) 4.3 Aspek Ekonomi Penduduk Desa Adat Penglipuran sebagian besar berprofesi sebagai petani. Profesi lain yang terdapat pada desa adalah peternak, pedagang, pengrajin, buruh, tukang, PNS, TNI AD, dan lainnya (Tabel 6). Tabel 6 Proporsi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian No Mata Pencaharian Jumlah Presentase (%) 1 Petani 115 25 2 Pedagang 25 5 3 Pengrajin 98 22 4 Tukang 45 10 5 Buruh 80 18 6 PNS 38 8 7 TNI 6 1 8 Swasta 16 4 9 Peternak 30 7 Sumber: BPS Pemkab Bangli (2008) Penduduk Desa Adat Penglipuran yang bermatapencaharian sebagai petani memiliki proporsi 25% dari jumlah penduduk. Komoditi pertanian yang dihasilkan dari desa berupa kelapa, bambu, salak, kopi, singkong, jagung, dan ubi jalar. Hasil pertanian tersebut hanya dipasarkan hingga tingkat kecamatan saja karena terbilang usaha pertanian skala kecil. Hasil ternak berupa ayam potong pada desa ini terbilang cukup baik sehingga banyak perusahaan swasta yang memberikan modal pada peternak di desa ini. 24 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Lanskap dan Arsitektur Desa Adat Penglipuran Desa Adat Penglipuran terbagi atas tiga zona besar (hulu, antara, dan teben) yang memanjang dari utara sampai selatan termasuk dalam desa dengan pola linier. Sumbu linier pertama terlihat jelas berupa ruang terbuka dan jalan pada bagian tengah desa yang memanjang dari arah utara hingga selatan desa (vertikal). Sumbu linier ini membagi desa menjadi dua bagian besar, yaitu barat dan timur (horizontal). Sumbu linier kedua merupakan pola memanjang (arah barat-timur) dari kavling rumah tinggal pada area inti desa. Ruang terbuka di tengah dan kavling rumah tinggal ini merupakan perwujudan dari pola dasar Nawa Sanga (Gambar 9). Gambar 9 Karakteristik lanskap Desa Adat Penglipuran Pola linier desa ini mendapat aksen dengan mengikuti arah gunung dan laut sehingga menjadikan Desa Adat Penglipuran memiliki tempat tertinggi pada bagian utara (gunung) dan terendah pada bagian selatan (laut). Pada ujung utara (kaja/hulu/utama) terdapat Pura Puseh Desa (tempat memuja Dewa Brahma 25 sebagai manifestasi Tuhan selaku pencipta) dan Pura Penataran (tempat memuja Dewa Wisnu sebagai manifestasi Tuhan selaku pemelihara) serta hutan bambu sebagai area laba pura (lahan yang hasilnya khusus diperuntukkan untuk kepentingan pura/ibadah/suci). Bagian utara ini merupakan tempat paling suci pada desa. Bagian tengah desa (madya/antara) merupakan area pemukiman inti desa dimana terdapat kebun atau tegalan, balai desa atau balai banjar, dan kavling rumah tinggal yang memanjang dari arah barat sampai timur. Bagian ujung selatan (Nista/Teben) yang merupakan tempat terendah pada desa terdapat kuburan desa, Pura Dalem (tempat memuja Dewa Ciwa sebagai manifestasi Tuhan selaku pelebur), Taman Makam Pahlawan (monumen perjuangan untuk mengenang leluhur), sekolah dasar, kandang ternak (ayam, sapi, dan babi) dan tegalan (Gambar 9). Sirkulasi Desa Adat Penglipuran terbagi menjadi dua, yaitu sirkulasi khusus pejalan kaki dan sirkulasi untuk kendaraan bermotor. Jalan yang mengikuti pola linier pada bagian tengah desa merupakan sirkulasi khusus pejalan kaki dan menjadi jalur utama desa yang berupa jalur pedestrian. Jalur pedestrian ini memanjang pada bagian inti desa dari utara hingga selatan. Sirkulasi untuk kendaraan bermotor melingkari bagian terluar inti desa yang biasa disebut oleh masyarakat desa sebagai jalan lingkar. Setiap kavling rumah tinggal pada area inti desa terhubung pada jalan lingkar ini. Pola Desa Adat Penglipuran selain terbagi menjadi tiga bagian (utama/suci, madya, nista) dapat terlihat dari letak hutan serta tegalan yang berada pada bagian terluar area inti desa. Hutan dan tegalan ini seakan-akan membentengi area inti desa dari lingkungan luar dan menjadi batas terluar desa. Sebuah jalan berukuran 4 meter menghubungkan pintu masuk desa dengan jalan kolektor pada Kelurahan Kubu. Pemukiman penduduk terdiri dari kavling-kavling rumah tinggal dengan lebar rata-rata 8.5 m dan memanjang kebelakang sampai pada jalan lingkar disekeliling area pemukiman. Masing-masing kavling terbagi atas tiga zona secara horizontal (Konsep Tri Mandala), yaitu area tempat suci keluarga (sanggah) sebagai zona utama pada bagian timur laut (kaja-kangin), area tempat tinggal (pawongan) sebagai zona madya pada bagian tengah, dan area MCK, tempat sampah, serta kandang ternak terletak pada zona terluar (nista) dari kavling tersebut. Area tempat tinggal pada zona madya terdiri dari dapur tradisional di sebelah utara, Bale Saka Enem di bagian selatan, dan Loji di sebelah barat sebagai tempat tidur keluarga dan tempat menerima tamu. Ruang terbuka juga terdapat pada bagian tengah kavling rumah tinggal berupa pekarangan. Pola ini masih terlihat utuh hingga sekarang dan dipertahankan dalam setiap kegiatan pembangunan oleh warga desa. Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan perubahan pada zona nista dengan mendirikan bangunan-bangunan tempat tinggal baru. Hasil observasi lapang juga menunjukkan banyaknya bangunan-bangunan rumah tinggal baru diluar area inti desa (Gambar 10). Menurut Jro Bayan Duwuran dan Jro Bendesa (sesepuh desa), jumlah kavling di Desa Adat Penglipuran sejak semula sampai kini tetap, yaitu 77 buah. Salah satu diantaranya disebut karang memadu dan 76 buah sisanya disebut karang kerti (tempat pengabdian/tempat tinggal). Setiap karang kerti disertai sebidang tanah garapan yang disebut cecatu (sawah, tegalan, dan hutan bambu). Seluruh kavling rumah tinggal beserta lahan di dalam area Desa Adat Penglipuran sepenuhnya menjadi milik Desa Adat sedangkan penghuninya hanya memperoleh hak pakai dan hak 26 guna bangunan. Kavling rumah beserta lahan garapan tidak diijinkan untuk dibangun diluar ketentuan adat dan awig-awig sehingga tidak mungkin untuk diperjualbelikan. jalan utama desa Gambar 10 Sketsa pola rumah tinggal Desa Adat Penglipuran Bangunan rumah tinggal, dapur tradisional, dan lainnya memiliki arsitektur khas tradisional Bali daerah pegunungan dengan atap lancip (kemiringan 45%), berdinding pendek dan berdiri diatas umpak atau pondasi batu padas. Material bangunan memakai bahan alami yang ada disekitar desa, yaitu batu dan tanah lempung untuk pondasi atau lantai, kayu dan bambu untuk bahan konstruksi, struktur dinding, dan atap (Gambar 11). Seluruh bangunan terlihat hampir serupa, mencerminkan kesederhanaan, dan keserasian alam dan lingkungan. Penggunaan ornamen-ornamen khas Bali terlihat menonjol pada bangunan tempat suci sedangkan pada bangunan rumah tinggal hampir tidak terdapat ornamen yang berarti. Bahan dan material bangunan ditampilkan apa adanya dengan jujur dan serasi dengan alam yang merupakan prinsip arsitektural tradisional Bali. Hasil observasi keempat sampel kavling rumah tinggal pada area inti desa menunjukkan pola rumah tinggal yang serupa pada keempatnya. Susunan dan letak bangunan-bangunannya tidak berbeda satu sama lain. Tempat suci di bagian timur laut, dapur tradisional di utara, bale saka enem di selatan, dan loji di sebelah barat. Pola tersebut selalu terlihat sama pada keempat sampel rumah tinggal sedangkan pada zona nista yang seharusnya sebagai tempat ternak, MCK, dan tempat sampah tersebut terlihat telah berdiri bangunan-bangunan rumah tinggal dan garasi kendaraan yang berbeda-beda setiap sampelnya. Perbedaan kemampuan ekonomi keluarga yang tinggal pada masing-masing kavling sampel rumah tinggal tersebut menimbulkan adanya perbedaan penggunaan material serta ornamen tradisional pada bangunan-bangunan rumah tinggal yang terletak pada zona nista yang telah mengalami perubahan bentuk fungsi (Gambar 12). Gambar 11 Material alami pada bangunan desa 27 Gambar 12 Pola rumah tinggal pada keempat sampel 28 5.2 Identifikasi dan Analisis Konsep Arsitektur Hijau 5.2.1 Pemilihan Tapak dan Penghubung Aspek pemilihan tapak dan penghubung menjelaskan kearifan yang digunakan masyarakat penglipuran dalam menentukan lokasi tapak desa dan membangun Desa Adat Penglipuran. Penentuan lokasi juga memperhatikan hubungan tapak dengan lingkungan sekitanya. Identifikasi konsep arsitektur hijau desa pada aspek ini akan dilihat dalam hal berikut ini: kondisi awal desa dan perkembangannya, kondisi lingkungan sekitar desa, rekayasa lanskap, aksesibilitas desa, tanaman lokal, kondisi badan air, dan pengelolaan habitat lokal. 5.2.1.1 Kondisi Awal Desa dan Perkembangannya Desa Adat Penglipuran awalnya merupakan tempat peristirahatan di tengah hutan bagi prajurit Kerajaan Bangli yang berasal dari Desa Bayung Gede. Letak tapak desa yang dekat dengan pusat Kota Bangli menjadikan tapak ini dihuni oleh prajurit yang berasal dari wilayah pegunungan di utara (Desa Bayung Gede). Hutan bambu yang luas menjadi alasan untuk membuat tempat tinggal pada tapak ini. Masyarakat tradisional pada saat itu menggunakan bambu sebagai bahan utama rumah tinggal. Bentuk penataan desa saat itu mengadopsi konsep dari Desa Bayung Gede. Desa Adat Penglipuran mulanya hanya berupa barisan pekarangan dan rumah tradisional di sepanjang poros utama desa yang masing-masing memiliki luas sama yaitu sikut satak (250 m2). Wilayah lainnya masih merupakan kawasan tak terbangun berupa hutan dan tegalan (Gambar 13). Perkembangan permukiman pada zona terluar mulai terjadi pada awal tahun 1980 dimana perkembangan permukiman tersebut melebar ke arah barat dan timur namum tetap sepanjang akses linier utara-selatan. Perkembangan yang lebih pesat terjadi pada bagian timur desa karena letaknya dekat dengan akses jalan menuju pusat Kota Bangli. Sebuah jalan lingkar yang mengelilingi desa dibangun pada akhir tahun 1980 untuk mengantisipasi perkembangan permukiman yang semakin terus melebar. Jumlah penduduk yang terus meningkat tidak dapat ditampung oleh kawasan permukiman inti sehingga banyak permukiman yang muncul di sepanjang jalan lingkar desa hingga ke bagian selatan. Permukiman modern dengan penggunaan ganda (sarana tinggal dan komersial) mulai muncul juga di sepanjang jalan lingkar tersebut pada awal tahun 2000 (Gambar 14). Gambar 13 Ilustrasi pola permukiman permulaan 29 Gambar 14 Perkembangan Desa Adat Penglipuran (Kasuma 2009) 5.2.1.2 Kondisi Lingkungan Sekitar Desa Desa Adat Penglipuran terhubung dengan jalan kolektor menuju pusat Kota Bangli sehingga memudahkan akses penduduk desa menuju kota yang berjarak kurang lebih 5 km (Gambar 15). Hasil observasi lapang menunjukkan bahwa secara garis besar areal Desa Penglipuran terbagi atas tiga bagian besar, yaitu area permukiman / hunian penduduk yang terletak di tengah-tengah, area pertanian berupa tegalan (kebun dan ladang), dan area hutan bambu maupun hutan alami. Area pertanian banyak terdapat pada bagian tengah dan selatan desa diluar area inti desa. Alih fungsi lahan sawah untuk ditanami cengkeh pada saat dahulu membuat masyarakat tidak dapat menanami lahan dengan padi kembali. Pada saat ini warga menanami lahan mereka dengan tanaman seperti singkong, jagung, ubi jalar, kopi, dan kelapa. Lahan pertanian terdapat pada area yang relatif datar sedangkan area yang memiliki kemiringan tinggi berupa hutan alami dan hutan bambu yang terdapat pada bagian utara desa. Pura Penataran pada bagian paling utara desa yang berbatasan langsung dengan jalan lingkar dan hutan bambu. Beberapa fasilitas umum atau publik terdapat pada desa ini, seperti Sekolah Dasar, lapangan terbuka, Bale banjar/bale desa, dan taman makam pahlawan. Akses menuju fasilitas-fasilitas publik tersebut terbilang baik dan dekat sehingga dapat dicapai hanya dengan berjalan kaki. Selain berfungsi sebagai tempat tinggal, beberapa rumah pada area permukiman memiliki fungsi komersial seperti menjual barang-barang keperluan sehari-hari hingga makanan khas desa ini. 30 Pada area pertanian (tegalan) selain kebun dan ladang juga terdapat kandang ternak. Ternak yang banyak dihasilkan di desa ini ialah ayam potong. Kandang ayam potong terletak pada bagian selatan dekat dengan jalan lingkar desa. Fasilitas Agro Tourism juga terdapat di sebelah selatan desa pada area ini. Gambar 15 Peta lingkungan sekitar desa 31 5.2.1.3 Rekayasa Lanskap Letak Desa Adat Penglipuran yang berada dekat dengan wilayah pegunungan menyebabkan bentuk lahan desa ini berlereng menurun ke arah selatan dengan kemiringan rata-rata antara 10-45% dengan jenis tanah lempung berpasir, sehingga sangat cocok untuk area pertanian (Hudyana 2002). Hal tersebut menjadi indikator bahwa dalam perkembangan area ini hingga menjadi sebuah desa yang memiliki jumlah penduduk tinggi telah dilakukan rekayasa atau perubahan bentuk lahan untuk menjadi area terbangun. Kepala Lingkungan Desa Adat Penglipuran, Ketua Adat, dan masyarakat setempat mengatakan bahwa warga desa sejak dahulu telah melakukan pengubahan bentuk lahan tersebut sehingga wilayah yang dahulunya didominasi oleh hutan bambu tersebut dapat dijadikan area permukiman warga. Namun pengubahan bentuk lahan tersebut dilakukan dengan kaidah-kaidah adat yang leluhur mereka percayai dapat menjaga kelestarian lingkungan disektarnya. Salah satunya dengan melakukan rekayasa secara terasering atau berundag-undag dengan arah tegak lurus lereng khusus pada wilayah permukiman. U Gambar 16 Pola berundag-undag pada permukiman desa Pengubahan bentuk lahan tersebut dilakukan seminimal mungkin pada area terbangun saja dan tidak mengganggu lingkungan alami yang secara adat mereka pelihara untuk keberlangsungan ekologis desa mereka. Mereka percaya bahwa dengan melakukan terasering tegak lurus arah lereng juga dapat mencegah bencana alam seperti longsor dan erosi. Hasil observasi lapang menunjukkan bentuk kontur dari area inti permukiman desa pada Gambar 17. Area yang diarsir merupakan area terbangun yang telah dilakukan pengubahan bentuk lahan secara terasering tersebut. Bagian luarnya dikelilingi tegalan, hutan bambu, dan hutan alami yang tidak diubah bentukan lahannya. Area terbangun tersebut terdiri dari permukiman warga, jalan desa, pura, dan fasilitas umum dengan luas 13.64% (15,28 Ha) dari luas seluruhnya. 32 Gambar 17 Peta kontur area inti permukiman desa 5.2.1.4 Aksesibilitas Desa Berdasarkan data Statistik Lingkungan Penglipuran (2008), profesi petani (25%), pengrajin (22%), dan tukang (10%) memiliki presentase yang besar dibanding dengan yang lain. Hasil observasi dan wawancara dengan kepala adat desa menunjukkan bahwa setiap warga mempunyai lahan pertanian di dalam area Desa Adat Penglipuran. Profesi pengrajin yang dimaksud adalah pengrajin bambu yang dilakukan oleh para ibu rumah tangga dan dilakukan pada rumah tinggal masing-masing. Hasil kerajinan bambu dijual di dalam desa dan di Kota Bangli. Warga yang berprofesi sebagai tukang bangunan sebagian besar bekerja di dalam desa sendiri. Mereka dipekerjakan untuk melakukan pekerjaan pembangunan desa. Akses menuju tempat pekerjaan bagi profesi petani, pengrajin, dan tukang tergolong dekat dan dapat dicapai dengan berjalan kaki karena masih berada dalam area desa mereka sendiri. Lokasi pekerjaan bagi profesi PNS (8%), TNI (1%), dan Swasta (4%) berada di luar area desa dan pusat Kota Bangli. Akses Desa Adat Penglipuran menuju area luar desa dan pusat Kota Bangli tidak dilalui 33 oleh angkutan umum sehingga warga desa harus menggunakan kendaran seperti sepeda motor untuk mencapainya. Desa Adat Penglipuran memiliki satu Sekolah Dasar pada bagian selatan desa yang berjarak 450 m dari area permukiman sehingga dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Gambar 18 Sekolah Dasar Negeri 2 pada bagian selatan desa Beberapa warga desa melakukan aktivitas bekerja mereka menggunakan sepeda. Namun Desa Adat Penglipuran sendiri belum memiliki jalur khusus sepeda dan fasilitas parkir sepeda. 5.2.1.5 Tanaman Lokal Desa Penglipuran Kabupaten Bangli dapat dikatakan sebagai salah satu kabupaten di Bali yang kaya akan varietas bambu. Subur (2003) menyatakan bahwa di Desa Penglipuran saja terdapat 15 jenis bambu sedangkan menurut Lugrayasa et al. (2003) menyatakan di Kabupaten Bangli telah diinventarisasi dan dapat dikumpulkan sebanyak 18 nomor bambu. Fungsi dan kegunaan bambu sangat beragam baik sebagai bahan bangunan, bahan baku industri kerajinan, sarana upacara adat, bahan makanan, bahan baku serat, tanaman penahan erosi, dan konservasi tanah dan air serta masih banyak yang lainnya. Desa Penglipuran sendiri memiliki hutan bambu seluas 37.7 Ha (Hudyana 2002). Terdapat 2 spesies bambu yang teridentifikasi berasal dari Desa Penglipuran sendiri, yaitu Gigantochloa aya Widjaja & Astuti yang dikenal dengan nama jajang aya dan Gigantochloa taluh Widjaja & Astuti yang dikenal pula dengan nama jajang taluh oleh penduduk setempat. Bambu tersebut ditemukan pada hutan bambu sebelah utara desa (Widjaja et al. 2004) (Gambar 19). Gambar 19 Gigantochloa aya Widjaja & Astuti (kiri) dan Gigantochloa taluh Widjaja & Astuti (kanan) (Widjaja et.al. 2004) 34 Berdasarkan wawancara dengan Ketua Adat Penglipuran dan studi pustaka, tanaman lokal yang terdapat pada Desa Adat Penglipuran hanyalah kedua jenis bambu dari marga Gigantochloa tersebut. Namun terdapat tanaman kopi khas daerah Bangli yang ditanam di Desa Penglipuran yang disebut oleh masyarakat setempat sebagai Kopi Kopyol Bali. Kopi Kopyol Bali sebenarnya merupakan kopi jenis arabika sehingga bukan merupakan tanaman spesies lokal dari daerah ini (Gambar 20). Hasil observasi lapang menunjukkan bahwa setiap rumah tinggal pada area permukiman desa memiliki minimal satu buah pohon kamboja. Bunga dari pohon ini dimanfaatkan oleh masyarakat Bali dan juga warga desa untuk keperluan upacara dan ibadah mereka. Bentuk percabangan yang unik, ukuran batang yang besar, dan bunga yang banyak menjadikan kamboja di daerah Bali ini khas atau berbeda dari kamboja di daerah lain (Gambar 21). Gambar 20 Kopi Kopyol Bali (Dinas Perkebunan Bali 2011) Gambar 21 Tanaman kamboja pada rumah warga 5.2.1.6 Kondisi Badan Air Sebuah sungai mengalir melewati area perbatasan Desa Adat Penglipuran dengan Desa Cekeng pada bagian timur. Masyarakat menyebut sungai ini dengan nama Sungai Sangsang. Hasil observasi dan wawancara dengan Ketua Adat Penglipuran menunjukkan bahwa badan air yang terdapat pada desa hanyalah sungai ini. Terletak pada area berlereng, curam, dan dalam sehingga dari titik pengamatan tidak terlihat dengan jelas keseluruhan bagian sungai (Gambar 22). Menurut informasi dari Ketua Adat Penglipuran dan masyarakat desa, sungai ini 35 memiliki air yang masih bersih dan dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari. Namun karena sungai ini terletak pada lereng yang curam, masyarakat desa jarang memanfaatkan sungai ini. Masyarakat desa menggunakan PAM sebagai sumber air bersih mereka. Peraturan adat desa melarang warganya membuang sampah dan limbah apapun pada sungai ini karena badan air ataupun sumber air merupakan benda yang disucikan. Gambar 22 Kondisi sungai 5.2.1.7 Pengelolaan Habitat Lokal Menurut Alikodra (2002), habitat adalah suatu kesatuan dari faktor fisik maupun biotik yang digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup dari makhluk hidup di dalamnya. Habitat lokal yang dimaksudkan ialah habitat yang didalamnya terdapat spesies lokal Desa Adat Penglipuran. Hutan Bambu merupakan habitat lokal dari desa ini, dimana terdapat spesies Gigantochloa aya Widjaja & Astuti dan Gigantochloa taluh Widjaja & Astuti. Seluruh Penduduk Desa Adat Penglipuran beragama Hindu dan berpegang teguh pada tradisi yang mereka warisi secara turun temurun. Peraturan adat atau yang biasa disebut awig-awig menerangkan bagaimana berperilaku terhadap lingkungan alam (tumbuhan dan satwa). Informasi mengenai isi awig-awig yang menerangkan tentang memelihara lingkungan didapat dari wawancara dengan Ketua Adat Penglipuran, antara lain dapat diringkas sebagai berikut: 1. Alam (Bhuana Agung) dan diri manusia (Bhuana Alit) adalah analog. Alam dan Manusia terbentuk dari unsur-unsur yang sama yang disebut dengan Panca Maha Bhuta, yaitu apah (zat cair), pertiwi (zat padat), bayu (gas), teja (energi), dan akasa (ruang atau media). Berdasarkan keyakinan tersebut muncul pemahaman tentang Tattwamasi (aku adalah engkau) yang juga berlaku terhadap manusia dengan segala isi alam. Apapun yang diperlakukan manusia terhadap alam maka alampun akan memperlakukan manusia dengan cara yang sama. 2. Hubungan manusia dengan alam diibaratkan bagai hubungan janin dengan ibunya yang lazim diistilahkan dengan manik ing cacupu (janin dalam rahim). Kalau saja manusia mau menyadari kodratnya sesungguhnya alam telah menyediakan kebutuhan yang secukupnya. 3. Menebang bambu (keperluan sehari-hari, adat, dan industri) hanya diijinkan pada hari tertentu menurut wariga (perhitungan tentang baik-buruknya hari). 4. Sebagian besar dari luas hutan bambu yang ada dikelola langsung dibawah Desa Adat sebagai Laba Pura. Sisanya dikelola oleh setiap penduduk dengan status nanggap atau hak pakai. 36 5. 6. 7. Hutan bambu tidak diijinkan diubah fungsinya menjadi lahan pertanian, area terbangun, ataupun fungsi lainnya. Apabila dalam keadaan harus melalui musyawarah adat bersama warga. Seluruh makhluk hidup yang terdapat di dalam hutan bambu tersebut tidak diijinkan untuk diburu atau dibunuh. Warga yang tidak mematuhi peraturan adat tersebut akan mendapat sanksi sosial berupa pengucilan. 5.2.2 Desain dan Pola Permukiman Aspek desain dan pola permukiman menjelaskan budaya dan nilai-nilai yang terdapat dalam pengaturan ruang Desa Adat Penglipuran. Desa Adat Penglipuran yang merupakan salah satu desa tradisional menunjukkan pengaruh pengaturan ruang yang mereka miliki terhadap keberlanjutan desa. Hal tersebut mengindikasikan adanya konsep arsitektur hijau di dalamnya. Identifikasi konsep arsitektur hijau desa pada aspek ini akan dilihat dalam hal berikut ini: kepadatan rumah tinggal, peruntukan rumah tinggal, letak fsilitas publik, fasilitas parkir, pola sirkulasi desa, kondisi fisik jalan, dan letak ruang terbuka serta pasar tradisional. 5.2.2.1 Kepadatan Rumah Tinggal Berdasarkan data observasi lapang, luas area inti permukiman Desa Adat Penglipuran adalah sebesar 8.14 Ha (20.12 acre). Luasan tersebut mencakup 76 kavling rumah tinggal dan 1 kavling karang memadu yang berada pada poros utama jalan desa dikurangi dengan luas jalan dan luas area selain 77 kavling rumah tinggal. Kepadatan rumah tinggal merupakan seberapa besar jumlah area yang digunakan untuk sebuah rumah tinggal. Nilai kepadatan rumah tinggal didapatkan dari perbandingan antara luasan tersebut dengan jumlah dwelling unit yang dalam hal ini berupa 76 kavling rumah tinggal. Nilai kepadatan rumah tinggal dari area inti Desa Adat Penglipuran sebesar 3.78 DU/acre Gambar 23 Area perhitungan kepadatan rumah tinggal 37 5.2.2.2 Peruntukan rumah tinggal Dwelling Unit (DU) merupakan sebuah unit rumah tinggal. Karang kerti atau sebuah kavling rumah tinggal dapat dikatakan sebagai 1 DU. Satu unit kavling tersebut dapat terdiri dari lebih dari satu kepala keluarga dan belum tentu terdapat hubungan keluarga diantaranya. Pengembangan unit kavling tersebut ke bagian belakang menjadi penyebab banyaknya kepala keluarga yang menghuni unit kavling tersebut (Gambar 24). Peruntukan rumah tinggal yang dimaksud disini adalah bagaimana masyarakat Desa Adat Penglipuran memanfaatkan satu unit kavling tersebut sebagai tempat tinggal. Hal tersebut dianalisis menggunakan Simpson Diversity Index dengan terlebih dahulu membuat dua kategori, yaitu jumlah DU dengan seorang kepala keluarga dan jumlah DU dengan lebih dari satu kepala keluarga. Hasil pengamatan dan data dari Statistik Lingkungan Desa Adat Penglipuran tahun 2011 menujukkan bahwa terdapat 21 DU dengan seorang kepala keluarga dan 55 DU untuk lebih dari satu kepala keluarga sehingga didapatkan nilai Simpson Diversity Index sebesar 1-(21/55)2 = 0.854 . Gambar 24 Satu kavling rumah tinggal (DU) 5.2.2.3 Letak fasilitas publik desa Letak Desa Adat Penglipuran pada dataran tinggi dan berjarak 5.5 km dari pusat kota membuat desa ini tidak memiliki fasilitas-fasilitas publik seperti rumah sakit, kantor polisi, pasar tradisional, serta perpustakaan dalam jarak dekat. Tempat-tempat publik tersebut berada dekat dengan pusat kota. Desa Adat Penglipuran membangun sendiri beberapa fasilitas publik pada desa mereka untuk memenuhi kebutuhan warganya. Fasilitas publik seperti sekolah dasar, toko kebutuhan sehari-hari, dan tempat ibadah umat hindu bagi warga desa terdapat di dalam area Desa Adat Penglipuran dengan jarak tidak lebih 600 m dari permukiman warga (Gambar 25). 5.2.2.4 Fasilitas parkir Area inti permukiman Desa Adat Penglipuran merupakan sebuah area yang dirancang agar bebas dari kendaraan bermotor. Jalan yang berada di tengah desa tersebut hanya dapat dilalui oleh pejalan kaki dan sepeda sehingga bagi kendaraan bermotor hanya dapat melalui jalan lingkar yang mengelilingi area inti permukiman desa tersebut. Adanya jalan lingkar yang terhubung pada bagian belakang setiap kavling rumah tinggal menciptakan pola yang seragam, yaitu fasilitas parkir bagi kendaraan bermotor pada bagian belakang kavling rumah tinggal. Hal tersebut menciptakan bagian depan rumah tinggal menjadi bebas dari fasilitas parkir serta kendaraan. 38 Fasilitas parkir pada setiap rumah hampir serupa, yaitu berupa lahan kosong yang ternaungi oleh atap. Pengamatan lapang pada 4 rumah sampel menunjukkan dua rumah tinggal tersebut membangun sebuah bangunan khusus untuk kendaraan (garasi) sedangkan 2 rumah lainnya hanya menggunakan area-area yang ternaungi untuk memarkir kendaraan mereka (Gambar 26). Gambar 25 Fasilitas publik desa dan jaraknya dari rumah tinggal Gambar 26 Fasilitas parkir pada keempat sampel rumah tinggal 39 5.2.2.5 Pola sirkulasi dan jalur pedestrian desa Sirkulasi Desa Adat Penglipuran terbagi menjadi tiga, yaitu sirkulasi pejalan kaki, sirkulasi antar kavling rumah tinggal, dan sirkulasi kendaraan bermotor. Ketiga sirkulasi ini memiliki pola yang berbeda-beda dan telah menghubungkan seluruh area dalam desa. Khususnya sirkulasi pejalan kaki yang menghubungkan area permukiman desa dengan tempat bekerja, sekolah, tempat ibadah, hutan, dan fasilitas desa lainnya.(Gambar 27). Gambar 27 Pola sirkulasi pada Desa Adat Penglipuran 40 Pedestrian pada area permukiman Desa Adat Penglipuran terbentuk mengikuti pola sirkulasi pejalan kaki desa ini, yaitu jalan utama desa yang memanjang dari utara sampai selatan. Jalan utama desa termasuk pedestrian karena diperuntukkan bagi pejalan kaki bukan untuk kendaraan (sirkulasi pejalan kaki). Jalan lingkar luar yang mengelilingi area inti desa dan dikhususkan untuk kendaraan tersebut, belum memiliki pedestrian bagi pejalan kaki. 5.2.2.6 Kondisi fisik jalan desa Jalan yang terdapat pada desa terdiri dari 2 jenis, yaitu jalan pedestrian utama desa dan jalan lingkar desa. Kedua jalan ini memiliki kondisi lanskap yang berbeda. Lanskap jalan lingkar terlihat alami karena disekelilingnya berupa tegalan dan hutan alami pada bagian barat dan selatan desa. Jalan lingkar bagian utara dikelilingi oleh hutan bambu yang tebal sehingga terkesan gelap sedangkan pada bagian timur desa rumah-rumah tinggal diluar area inti mengelilingi jalan lingkar ini. Kurangnya pohon peneduh terjadi pada jalan lingkar bagian timur ini. Pada jalan lingkar yang merupakan jalur sirkulasi bagi kendaraan bermotor belum terdapat sarana penyebrangan khusus. Jalan lingkar desa memiliki lebar 4 m dan terdapat drainase pada bagian kanan dan kirinya (Gambar 28). Kondisi lanskap pada jalan pedestrian utama desa dikelilingi oleh angkulangkul (gerbang masuk menuju kavling rumah tinggal warga) dimana seluruh fasad angkul-angkul tersebut menghadap pada jalur pedestrian ini. Bagian depan gerbang masuk tersebut terdapat area yang ditumbuhi tanaman hias sepanjang jalur utama desa. Kombinasi angkul-angkul tradisional khas Desa Adat Penglipuran, barisan tanaman hias, kontur desa yang berundag-undag menciptakan suasana budaya tradisional yang kental serta nyaman bagi pengguna (Gambar 29). Lebar jalur pedestrian ini sebesar 2.6 m dengan drainase dan rumput di bagian kiri dan kanannya (Gambar 30). Jalur pedestrian yang berundag-undag ini belum memiliki fasilitas khusus bagi orang berkebutuhan khusus. Gambar 28 Potongan jalan lingkar Desa Adat Penglipuran 41 Gambar 29 Kondisi lanskap jalan utama desa Gambar 30 Potongan jalan utama desa (pedestrian) 5.2.2.7 Luas dan jarak ruang terbuka dari rumah tinggal Desa Adat Penglipuran memiliki ruang terbuka yang berfungsi sebagai ruang publik dan kegiatan olahraga yang letaknya dekat dari permukiman. Bale banjar/bale desa dan Taman Makam Pahlawan merupakan sebuah ruang terbuka yang digunakan untuk kegiatan publik, seperti pertemuan-pertemuan desa (berkumpul dan musyawarah), kegiatan kelompok-kelompok desa, dan berbagai kegiatan upacara adat. Ruang terbuka yang berfungsi sebagai sarana olahraga masyarakat desa terletak pada bagian utara desa berupa lapangan. Lapangan ini biasa digunakan untuk bermain sepak bola dan bulu tangkis. Gambar berikut menunjukkan luas dan jarak ruang terbuka tersebut dari keempat sampel rumah tinggal yang diamati (Gambar 31). 42 Jarak sampel pertama, kedua, ketiga, dan keempat secara berurutan menuju lapangan adalah 144 m, 187 m, 347 m, dan 386 m. Jarak sampel pertama, kedua, ketiga, dan keempat secara berurutan menuju bale banjar adalah 224 m, 170 m, 98 m, dan 138 m. Jarak sampel pertama, kedua, ketiga, dan keempat secara berurutan menuju taman makam pahlawan adalah 523 m, 459 m, 338 m, dan 293 m. Jarak tersebut seluruhnya ditempuh melalui jalur pedestrian desa. Luas lapangan terbuka yang berbatasan dengan area Pura Penataran, hutan alami dan rumah tinggal warga adalah 1776 m2. Bale banjar yang terletak dekat pintu masuk desa memiliki luas sebesar 630 m2. Taman makam pahlawan di sebelah selatan desa dan terletak dekat dengan sekolah dasar memiliki luas 976 m2. Gambar 31 Letak ruang terbuka desa dan empat sampel rumah tinggal 43 Gambar 32 Lapangan untuk berolahraga Gambar 33 Bale Banjar dan area terbuka di sekitarnya Gambar 34 Taman Makam Pahlawan 5.2.2.8 Pasar tradisional dan hasil pertanian Masyarakat Desa Adat Penglipuran tidak memiliki pasar tradisional sendiri yang letaknya di dalam area desa. Pasar tradisional terdekat dari desa terdapat di Kota Bangli yang berjarak 5.5 km. Mereka menggunakan kendaraan sepeda motor untuk menuju ke pasar tradisional tersebut. Masyarakat Desa Adat Penglipuran memang bermatapencaharian utama sebagai petani namun mereka belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan sehari-harinya dari lahan pertanian sendiri. Hasil pertanian dan perkebunan masyarakat Desa Adat Penglipuran berupa kelapa, bambu, salak, kopi, singkong, jagung, ubi jalar, dan ternak ayam potong. 5.2.3 Teknologi dan Konstruksi Hijau Aspek teknologi dan konstruksi hijau menjelaskan kearifan masyarakat dalam mengelola keberlanjutan desa. Penggunaan material pada bangunan dan sumber energi alternatif desa juga menjadi bagian dalam keberlanjutan desa. Identifikasi konsep arsitektur hijau desa pada aspek ini akan dilihat dalam hal berikut ini: pengelolaan air, pengelolaan bangunan, pengelolaan lingkungan alami, 44 penggunaan sumber energi alternatif, penggunaan infrastruktur hemat energi, pengelolaan limbah, dan pengelolaan material. 5.2.3.1 Sistem dan pengelolaan air irigasi untuk rumah tinggal Area permukiman Desa Adat Penglipuran memiliki taman atau pekarangan pada setiap kavling rumah tinggal mereka. Taman tersebut terletak sepanjang area luar tembok rumah tinggal dan pada halaman dalam rumah tinggal mereka. Pola tersebut dimiliki oleh keempat sampel rumah tinggal yang diamati (Gambar 35). Berdasarkan informasi yang didapat dari wawancara dengan Kepala Adat Desa Penglipuran dan penghuni keempat sampel rumah tinggal, mereka tidak secara khusus menyiapkan saluran irigasi untuk menyirami tanaman hias yang ada pada rumah tinggal mereka. Mereka mengandalkan air hujan yang turun untuk kebutuhan irigasi taman mereka dimana curah hujan rata-rata pada tahun 2009 sebesar 2573 mm. Tanaman yang terlihat kering baru akan disiram menggunakan air dari PAM yang terdapat pada masing-masing rumah tinggal. Warga tidak memiliki pengelolaan air untuk irigasi seperti air tangkapan hujan maupun air sungai untuk digunakan. Gambar 35 Pekarangan pada kavling rumah tinggal 5.2.3.2 Penggunaan bangunan tidak terpakai Menurut sumber dari Kepala Adat Desa Penglipuran dalam wawancara, walaupun umur desa mencapai ratusan tahun tetapi desa tidak pernah memiliki bangunan-bangunan yang sama sekali tidak terpakai. Rumah tinggal yang diwarisi nenek moyang mereka selalu dihuni oleh anak cucu mereka hingga saat ini. Kavling rumah tinggal yang berjumlah 77 tersebut sejak awal hingga sekarang selalu diwarisi bagi keturunan keluarga mereka masing-masing. Bangunanbangunan yang ada sudah memiliki peranan dan fungsinya yang disesuaikan dengan peraturan adat. 45 5.2.3.3 Rehabilitasi cagar budaya Berdasarkan UU RI No 11 Tahun 2010, Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Desa Adat Penglipuran dapat ditetapkan sebagai sebuah Kawasan Cagar Budaya yang didalamnya terdapat lebih dari satu Bangunan Cagar Budaya namun Kepala Adat dan warga desa menolak untuk menjadikan desa mereka sebagai Kawasan Cagar Budaya yang ditetapkan oleh pemerintah. Mereka beralasan bahwa desa ini merupakan milik adat dan leluhur mereka yang sudah ditetapkan dalam awig-awig desa untuk dijaga keberlanjutan dan keasliannya sehingga dapat mendatangkan manfaat positif bagi mereka sendiri. Kepemilikan oleh adat tersebut menjadikan lahan, rumah tinggal, dan bangunan-bangunan mereka tidak dapat beralih tangan dan dijual kepada orang lain. Hak pakai hanya diperoleh bagi warga asli Desa Adat Penglipuran. 5.2.3.4 Pengembangan pemukiman Sejak awal leluhur Desa Adat Penglipuran sudah menetapkan bahwa desa ini terdiri dari 77 kavling permukiman beserta area pengembangan pada zona nista di bagian paling belakang setiap kavling rumah tinggal. Hal tersebut berarti masyarakat dahulu sudah memikirkan apabila terjadi pertambahan jumlah penduduk area tersebut dapat digunakan sebagai pengembangan permukiman. Jumlah 77 kavling rumah tinggal tersebut memang tidak berubah hingga saat ini, namun munculnya rumah tinggal-rumah tinggal baru di luar area inti desa tidak sesuai dengan konsep awal dari peraturan adat. Peraturan adat menetapkan bahwa area permukiman hanya pada area inti desa (77 kavling). Hal ini bertujuan menjaga area penyangga desa yang berupa lingkungan alami desa (hutan alami, hutan bambu, dan tegalan). Berdasarkan hasil observasi lapang, rumah tinggal baru diluar area inti tersebut mengambil lokasi pada lingkungan alami desa yang berupa hutan alami dan tegalan desa (Gambar 36). Gambar 36 Rumah tinggal pada luar area inti desa 5.2.3.5 Pemeliharaan tapak terkontaminasi Berdasarkan wawancara dengan kepala adat Desa Penglipuran, desa tidak memiliki tapak atau area yang terkontaminasi dan mengalami kerusakan yang berarti saat ini sehingga tidak adanya pemeliharaan khusus bagi tapak yang terkontaminasi. Warga desa sendiri menjaga dan memelihara lingkungan desa 46 mereka sendiri seperti yang telah diatur dalam peraturan adat dan agama mereka. Setiap tanggal dan bulan tertentu warga secara khusus melakukan upacara adat untuk mendoakan alam dan lingkungan tempat tinggal mereka. Mereka percaya bahwa alam dan lingkungan tersebut memiliki dampak positif dan negatif bagi keberlangsungan hidup mereka. Merusak alam dan lingkungan seperti membuang sampah, mencemari sungai, dan menebang pohon sembarangan selain mendapatkan sanksi adat yaitu pengucilan secara sosial juga merupakan hal yang dilarang oleh agama mereka. 5.2.3.6 Sumber energi dan infrastruktur hemat energi Penggunaan sumber energi alternatif ramah lingkungan pada Desa Adat Penglipuran, seperti tenaga angin, matahari, biogas, dan lainnya belum terlihat. Warga masih menggunakan listrik sebagai sumber energi utama mereka dalam berkegiatan sehari-hari. Desa Adat Penglipuran memiliki dapur tradisional yang masih digunakan sampai saat ini. Dapur tradisional ini masih menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakarnya (Gambar 37). Kayu bakar tidak termasuk sumber energi yang ramah lingkungan dikarenakan mengeluarkan banyak asap dan memerlukan potongan kayu-kayu yang ditebang dari pohon sehingga hal tersebut memiliki dampak negatif bagi lingkungan. Kepala Adat Desa Penglipuran menyatakan bahwa penerapan sumber energi alternatif pada warga Desa Adat Penglipuran kurang efektif karena memerlukan biaya tinggi dan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut. Tidak adanya penggunaan sumber energi alternatif berdampak pada belum adanya infrastruktur hemat energi seperti, lampu jalan dan lampu taman yang menggunakan sumber energi ramah lingkungan. Gambar 37 Kayu bakar sebagai bahan bakar 5.2.3.7 Pengelolaan limbah cair dan padat Warga Desa Adat Penglipuran belum memiliki suatu pengelolaan khusus bagi air buangan rumah tangga untuk dapat dipergunakan kembali. Observasi di lapang terhadap 4 rumah sampel menunjukkan bahwa keempat rumah tinggal tersebut melakukan kegiatan mencuci alat-alat rumah tangga mereka pada bagian luar rumah mereka. Keempat rumah tinggal tersebut membuang limbah cair mereka langsung kedalam tanah (Gambar 38). Bagian terluar rumah tinggal mereka, yaitu jalan utama desa, memang memiliki saluran drainase yang memanjang sepanjang jalan tersebut namun warga tidak diperbolehkan membuang limbah cair dari rumah mereka pada saluran ini. Saluran drainase ini dikhususkan sebagai saluran buangan air hujan. Pengelolaan limbah padat seperti pemisahan sampah, belum terlihat pada Desa Adat Penglipuran. Semua warga mengumpulkan sampah mereka pada satu 47 tempat (Gambar 39). Tempat sampah tersebut dikelola langsung oleh Dinas Tata Kota Kabupaten Bangli. Pengolahan limbah kamar mandi pada rumah-rumah tinggal warga saat ini menggunakan septic tank pada bagian belakang kavling seperti rumah tinggal pada umumnya. Sisa bahan bangunan yang tidak terpakai dan rusak digunakan warga sebagai bahan konstruksi kandang ternak pada rumah mereka. Gambar 38 Pengelolaan limbah cair pada keempat sampel rumah tinggal Gambar 39 Tempat sampah Desa Adat Penglipuran 5.2.3.8 Material pada hardscape Frick (1998) memaparkan tentang klasifikasi bahan atau material bangunan secara ekologis sebagai berikut: 1. Bahan bangunan yang dapat dibudidayakan kembali (regeneratif), yaitu bahan bangunan organik nabati atau hewani yang dapat diaplikasikan langsung tanpa transformasi dan membutuhkan energi sangat kecil dalam penggunaannya (kayu, rotan, bambu, alang-alang, kulit binatang, dan lainnya). 2. Bahan bangunan alam yang dapat digunakan kembali, yaitu bahan organik bukan nabati atau hewani yang dapat digunakan langsung, tidak terbarukan namum dapat digunakan kembali dengan proses sederhana (tanah liat, pasir, batu alam, dan lainnya). 3. Bahan bangunan alam yang mengalami perubahan transformasi sederhana, yaitu bahan mentah bersumber dari alam dan tidak terbarukan yang kemudian ditransformasi menjadi bentuk lain (batu bata, genting, dan lainnya). Bahan ini dapat digunakan kembali dengan perlakuan tertentu. 48 4. Bahan bangunan yang mengalami beberapa tingkat transformasi. Bahan bangunan yang menggunakan bahan mentah fosil (minyak bumi, arang atau gas). Material yang dihasilkan berupa material sintetis seperti: plastik, epoksi, polikarbonat, pvc, dan lainnya. Desa Adat Penglipuran menggunakan bahan bangunan alami yang dapat diambil dari lingkungan mereka sebagai bahan bangunan utamanya. Material alami tersebut banyak terlihat pada bangunan-bangunan tradisional pada desa. Hasil pengamatan lapang pada empat sampel rumah tinggal dan studi pustaka menyimpulkan pemilihan material yang seragam terdapat pada hunian mereka sebagai berikut: 1. Pura (Merajan) menggunakan bahan batu alam pada bagian lantainya, konstruksi menggunakan bahan kayu atau bambu. Material penutup atap menggunakan sirap bambu atau alang-alang (Gambar 40). 2. Angkul-angkul menggunakan bahan batu alam, batu bata, atau plesteran dengan konstruksi dari bambu dan penutup atap berupa sirap bambu atau alang-alang (Gambar 40). 3. Bale Adat menggunakan kayu sebagai konstruksi. Lantai terbuat dari batu paras, semen, atau batu bata. Rangka atap terbuat dari bambu atau kayu dengan penutup atap dari sirap bambu (Gambar 41). 4. Paon (Dapur tradisional) menggunakan kayu atau bambu sebagai konstruksi. Tembok terbuat dari bedeg bambu (anyaman bambu), atap menggunakan rangka bambu, dan penutup atap menggunakan sirap bambu (Gambar 41). 5. Bangunan tempat tinggal yang terletak pada bagian belakang menggunakan bahan utama yang sering digunakan bangunan pada saat ini, yaitu batu bata dan beton bertulang. Bangunan tersebut masih menggunakan gaya arsitektur tradisional terlihat dari ornamen-ornamen yang digunakan. Menggunakan genting untuk penutup atap (Gambar 42). a b Gambar 40 a. Pura pada rumah tinggal b. angkul-angkul salah satu sampel rumah tinggal 49 a b Gambar 41 a. Bale saka enem pada sampel rumah nomor 4 b. Dapur tradisional Gambar 42 Bangunan rumah tinggal dengan ornamen khas Bali Pemilihan material pada fasilitas umum seperti jalan, pedestrian, area parkir, papan penanda, bangku taman, dan bale banjar memiliki kesamaan seperti pada rumah tinggal mereka. Jalan umum untuk kendaraan memakai material aspal dan pedestrian dalam area permukiman desa menggunakan beton dengan kombinasi pasir dan batu kali. Penggunaan paving blok terdapat pada area masuk desa yang difungsikan sebagai lahan parkir. Pada desa ini belum terlihat adanya penggunaan material jalan, atap, dan lainnya yang khusus untuk mengurangi efek radiasi dari sinar matahari. Papan penanda menggunakan material bambu dan kayu yang dicat agar lebih tahan lama (Gambar 43). Hal serupa juga digunakan pada konstruksi dan rangka atap dari bale banjar sedangkan bangku taman menggunakan campuran semen dan pasir yang dibentuk. Material bambu, kayu, dan alang-alang tergolong bahan bangunan yang dapat dibudidayakan. Bahan ini dapat diperoleh langsung dari tapak, begitu pula dengan pengolahannya dilakukan masih dalam area desa sehingga dibutuhkan energi transportasi yang relatif kecil. Material ini dipergunakan dengan proses pengolahan yang sederhana dan menghasilkan emisi dalam jumlah kecil. Hampir 75% bangunan dan elemen keras yang ada pada desa menggunakan bahan ini 50 sehingga penggunaannya tergolong efisien dan optimal. Sisa sebagai bahan mentah dari material bangunan digunakan kembali untuk kebutuhan upacara adat warga. Hal ini meminimalkan sampah pada lingkungan sehingga bahan dan material ini tergolong ramah lingkungan. Gambar 43 Material-material yang digunakan pada fasilitas umum dan elemen keras lainnya Material berupa pasir dan batu alam seperti batu padas, batu kali, dan lainnya termasuk bahan bangunan yang dapat digunakan kembali. Material ini dapat digunakan langsung untuk bangunan dan fasilitas lainnya dengan proses sangat sederhana yang membutuhkan energi relatif rendah dan emisi yang kecil. Walaupun bahan ini bersumber dari materi yang tidak dapat terbarukan tetapi dapat digunakan terus menerus dengan pengolahan tertentu sehingga bahan ini tergolong bahan bangunan ramah lingkungan. Material yang mengalami transformasi sederhana juga digunakan pada bangunan dan jalan pada desa ini. Penggunaan kembali bahan beton, batu bata, dan genting membuat bahan tersebut tergolong ramah lingkungan. Warga Desa Adat Penglipuran masih memanfaatkan sisa genting dan batu bata sebagai bahan untuk membuat kandang ternak disekitar permukiman mereka sehingga sampah yang dibuang pada lingkungan dapat diminimalkan. Material aspal pada jalan lingkar desa tergolong bahan yang tidak ramah lingkungan karena membutuhkan energi yang besar dalam pengolahannya. Penggunaan bahan kimia atau fosil juga terdapat didalamnya sehingga membutuhkan energi dan menghasilkan emisi yang tinggi. 51 5.3 Penilaian LEED for Neighborhood Development Rating System 5.3.1 Pemilihan tapak dan penghubung Terdapat 10 kriteria tolak ukur dalam parameter pemilihan tapak dan penghubung. Kriteria yang digunakan dalam penilaian pada parameter ini adalah Brownfield Redevelopment, Preffered Locations, Reduced Automobile Dependence, Bicycle Network, Housing and Jobs Proximity, School Proximity, Steep Slope Protection, Site Design for Habitat or Wetland Conservation, Restoration of Habitat or Wetland, dan Conservation Management of Habitat or Wetlands (Tabel 3). Melalui kriteria-kriteria tersebut diketahui presentase nilai paramater pemilihan tapak penghubung yang didapat oleh Desa Adat Penglipuran. Penilaian berdasarkan parameter pemilihan tapak dan penghubung disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Penilaian berdasarkan parameter pemilihan tapak dan penghubung Kriteria Persyaratan Penilaian Kondisi Fisik Desa Nilai 1. Smart Location & Linkage Brownfield Redevelopment Menempatkan permukiman pada tapak terkontaminasi untuk dilakukan pemulihan pada tapak tersebut (2 poin) Desa Adat Penglipuran pada awalnya berada pada tapak yang dominan berupa hutan bambu alami dan tidak terdapat pencemaran dalam tapak. 0 Menempatkan permukiman pada tapak yang telah terdapat konstruksi awal, atau paving atau rekayasa lanskap. 75% dari luas tapak (10 poin) 25% dari luas tapak (5 poin) Kondisi awal Desa Adat Penglipuran berupa area alami yang tidak terdapat lahan terbangun sebelumnya (tidak adanya konstruksi awal, dan rekayasa lanskap). 0 Reduced Automobile Dependence 50% rumah tinggal dan tempat bekerja berjarak 400 m dari halte angkutan umum (1 poin). Tidak terdapat halte angkutan umum dalam jarak 400 meter dari Desa Adat Penglipuran. 0 Bicycle Network Memiliki jalur sepeda antara permukiman dan tempat bekerja dan fasilitas parkir sepeda bukan pada rumah tinggal (1 poin). 25 % tempat kerja terletak pada jarak 800 m dari 50 % rumah tinggal (3 poin). Tidak terdapat jalur khusus sepeda antara permukiman dan tempat bekerja serta fasilitas parkir sepeda. Seluruh petani (25%) dan pengrajin (22%) memiliki tempat bekerja di dalam area desa dalam jarak kurang dari 800 m dari area rumah tinggal inti desa. School Proximity Pemukiman berada dalam jarak 800 meter dari sekolah terdekat (1 poin). Sekolah dasar terdapat pada bagian selatan desa dalam jarak 450 m dari area rumah tinggal inti desa. 1 Steep Slope Protection Minimum dalam melakukan pengubahan bentuk lahan (1 poin). Pengubahan bentuk lahan secara terasering atau berundag-undag dilakukan pada area terbangun dengan presentase 13.64% (15.28 ha) dari total luas 113 ha. 1 Preffered Locations Housing and Jobs Proximity 0 3 52 Tabel 7 Penilaian berdasarkan parameter pemilihan tapak dan penghubung (lanjutan) Kriteria Persyaratan Penilaian Kondisi Fisik Desa Nilai 1. Smart Location & Linkage Site Design for Habitat or Wetland Conservation Tidak mengganggu habitat spesies dilindungi atau membuat penyangga disekitarnya, atau melakukan perlindungan pada badan air (1 poin). Restoration of Habitat or Wetland Menggunakan tanaman lokal, atau memulihkan habitat lokal atau badan air pada tapak minimal seluas 10 % area terbangun (1 poin). Terdapat rencana pengelolaan untuk habitat lokal atau badan air (1 poin). Conservation Management of Habitat or Wetlands Tidak terdapat spesies dilindungi pada tapak desa. Badan air yang terdapat pada tapak berupa sungai yang dikelilingi oleh hutan alami. Peraturan adat desa melarang untuk merusak badan air. Penggunaan tanaman lokal berupa spesies bambu, tanaman kopi kopyol, dan kamboja khas Bali. Tidak terdapat pemulihan habitat lokal dan badan air. Adanya peraturan adat beserta sangsi-sangsinya untuk menjaga badan air yang terdapat pada Desa Adat Penglipuran ini. 1 1 1 8 Subtotal 5.3.2 Desain dan pola permukiman Parameter desain dan pola permukiman memiliki 14 kriteria tolak ukur didalamnya. Kriteria yang digunakan dalam penilaian pada parameter ini adalah Compact Development, Diversity of Uses, Diversity of Housing Types, Reducing Parking Footprint, Walkable Streets, Street Network, Transit Facilities, Transportation Demand Management, Access to Surrounding Vicinity, Access to Public Spaces, Access to Active Spaces, Universal Accessibility, Community Outreach and Involvement, dan Food Production (Tabel 3). Penilaian berdasarkan parameter desain dan pola permukiman disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Penilaian berdasarkan parameter desain dan pola permukiman Kriteria Persyaratan Penilaian Kondisi Fisik Desa Nilai 2. Neighborhood Pattern and Design Compact Development Diversity of Uses Diversity of Housing Types Nilai kepadatan penduduk (DU/Acre): 10-20 (1 poin); 20-30 (2 poin); 30-40 (3 poin); 40-50 (4 poin); 50-60 (5 poin); 60-70 (6 poin); >70 (7 poin). Nilai kepadatan desa sebesar 3.78 (DU/Acre) dimana tidak memenuhi rentang nilai yang telah ditentukan 50 % unit rumah tinggal berada dalam jarak 800 m dari 2 (1 poin), 4 (2 poin), 7 (3 poin), dan 10 (4 poin) tempat-tempat publik. Sekolah dasar, toko kebutuhan sehari-hari, fasilitas rekreasi, dan tempat ibadah warga desa terdapat di dalam area desa dengan < 600 m dari rumah tinggal warga. Simpson Diversity Index (1Σ(n/N)2) sebesar: 0.5-0.6 (1 poin); 0.6-0.7 (2 poin); >0.7 (3 poin). n: DU dengan satu KK; N: DU dengan >1 KK. Nilai Simpson Diversity Index Desa Adat Penglipuran sebesar 0.854. 0 2 3 53 Tabel 8 Penilaian berdasarkan parameter desain dan pola permukiman (lanjutan) Kriteria Persyaratan Penilaian Kondisi Fisik Desa Nilai 2. Neighborhood Pattern and Design Reducing Parking Footprint Fasilitas parkir pada bagian samping atau belakang bangunan (2 poin). Walkable Streets Fasad bangunan menghadap ke fasilitas publik seperti jalan, plaza, dan taman (4 poin). Lebar pedestrian >1.2 meter (4 poin) atau Jalan pada area permukiman dikhususkan untuk kecepatan maksimum 20 km/jam (4 poin). Pedestrian yang menghubungkan setiap bagian cul-des-sacs dari pemukiman (2 poin). Terdapat halte angkutan umum setengah tertutup dengan atap dan minimal sebuah bangku pada bagian terluar permukiman (1 poin). Terdapat fasilitas transportasi publik dari permukiman menuju pusat kota (1 poin) Terdapat minimal satu buah fasilitas jalan penyebrangan setiap 250 m pada jalan yang dilalui kendaraan bermotor (1 poin). Terdapat ruang terbuka sebagai area publik dengan luas > 600 m2 dan berada pada jarak < 300 m dari rumah tinggal (1 poin). Street Network Transit Facilities Transportation Demand Management Access to Surrounding Vicinity Access to Public Spaces Access to Active Spaces Universal Accessibility Community Outreach and Involvement Food Production Subtotal Terdapat ruang terbuka untuk olahraga atau kegiatan aktif dengan jarak 800 m dari rumah tinggal (1 poin). Terdapat fasilitas khusus bagi penduduk balita, lanjut usia, dan cacat pada pedestrian permukiman (1 poin). Melibatkan masyarakat setempat dalam melakukan pembangunan permukiman yang ada (1 poin). Terdapat budidaya tanaman pangan atau pasar tradisional dengan jarak 400 meter dari permukiman (1 poin). Fasilitas parkir 4 sampel rumah berada pada bagian belakang rumah yang terhubung dengan jalan lingkar desa. Fasad angkul-angkul menghadap jalan utama/pedestrian desa. Lebar pedestrian desa sebesar 2.4 m. Jalan lingkar desa tidak dikhususkan untuk kecepatan kendaraan maksimum 20 km/jam. Pedestrian/jalan utama desa telah menghubungkan setiap bagian cul-de-sac desa (Gambar 26). Tidak terdapat halte angkutan/transportasi umum pada desa. Tidak terdapat fasilitas transportasi umum yang melalui desa. Tidak terdapat fasilitas penyebrangan pada jalan lingkar desa. Taman makam pahlawan (976 m2) terdapat dalam jarak rata-rata 403 m, Bale banjar (630 m2) memiliki jarak rata-rata 158 m dari 4 sampel rumah tinggal. Lapangan olahraga dengan luas 1776 m2 dengan jarak rata-rata 266 m dari keempat sampel rumah. Tidak terdapat fasilitas khusus bagi penduduk balita, lanjut usia, dan cacat pada pedestrian permukiman. Musyawarah desa selalu dilakukan dalam setiap keputusan yang tidak tercapai oleh peraturan adat dan adanya gotong royong. Tidak terdapat budidaya budidaya tanaman pangan atau pasar tradisional dalam desa. 2 8 2 0 0 0 1 1 0 1 0 20 54 5.3.3 Teknologi dan konstruksi hijau Terdapat 12 kriteria tolak ukur penilaian dalam parameter teknologi hijau dan penghubung, yaitu Reduced Water Use, Building Reuse and Adaptive Reuse, Reuse of Historic Building, Minimize Site Disturbance through Site Design, Contaminant Reduction, Heat Island Reduction, On-Site Renewable Energy Sources, Infrastructure Energy Efficiency, Wastewater Management, Recycled Content in Infrastructure, Construction Waste Management, dan Comprehensive Waste Management (Tabel 3). Penilaian berdasarkan parameter desain dan pola permukiman disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Penilaian berdasarkan parameter teknologi dan konstruksi hijau Kriteria Persyaratan Penilaian Kondisi Fisik Desa Nilai 3. Green Construction and Technology Reduced Water Use Menggunakan air tangkapan hujan atau olahan air buangan untuk irigasi, atau Pekarangan tidak membutuhkan sistem irigasi permanen (1 poin). Pekarangan dalam tiap kavling rumah tinggal tidak memiliki sistem irigasi yang permanen dan mengamdalkan air hujan untuk menyiram pekarangan. 1 Building Reuse and Adaptive Reuse Menggunakan kembali bangunan yang tidak terpakai untuk peruntukan lainnya (1 poin). Bangunan rumah tinggal selalu digunakan untuk setiap keturunan keluarga mereka. 1 Reuse of Historic Building Melakukan rehabilitasi bangunan cagar budaya (1 poin). Minimize Site Disturbance through Site Design Contaminant Reduction Pengembangan permukiman tidak merusak lingkungan alami yang ada (1 poin). Bangunan-bangunan tradisional dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat desa. Pengembangan permukiman pada luar area inti desa menggunakan lahan alami yang dimiliki oleh desa. Desa melakukan memelihara lingkungan sekitar tapak yang diatur dalam peraturan adat. Melakukan pemeliharaan berkelanjutan pada tapak yang terkontaminasi (1 poin). Pada area terbuka (pedestrian, parkir) menggunakan material dengan nilai SRI maksimal 29 atau menempatkan fasilitas parkir pada area ternaungi (pohon, bawah tanah) dan 50% bangunan permukiman menggunakan atap hijau (1 poin). On-Site Renewable Energy Sources Infrastructure Energy Efficiency Terdapat sumber energi alternatif ramah lingkungan (1 poin). Atap rumah tinggal tradisional desa menggunakan bahan bambu, namun infrastruktur belum memiliki material dengan nilai SRI seperti yang ditentukan, penempatan plaza parkir tidak pada tempat ternaungi, dan tidak adanya atap hijau. Tidak terdapat sumber energi alternatif ramah lingkungan. Terdapat lampu taman, lampu jalan, pompa air, dan infrastruktur hemat energi lain (1 poin). Tidak terdapat lampu taman, lampu jalan, dan infrastruktur lainnya yang hemat energi. Wastewater Management Terdapat pengelolaan air buangan untuk digunakan kembali sebesar 50% dari jumlah total air buangan (1 poin). Tidak Terdapat pengelolaan air buangan. Heat Island Reduction 1 0 1 0 0 0 0 55 Tabel 9 Penilaian berdasarkan parameter teknologi dan konstruksi hijau (lanjutan) Kriteria Persyaratan Penilaian Kondisi Fisik Desa Nilai 3. Green Construction and Technology Recycled Content in Infrastructure Menggunakan material yang dapat didaur ulang pada jalan, area parkir, pedestrian, dan elemen keras lainnya (1 poin). Construction Waste Management Menggunakan kembali / mendaur ulang kurang lebih 50% puing atau sisa konstruksi yang tidak beracun (1 poin). Terdapat tempat pembuangan khusus untuk sampah berbahaya atau beracun, dan Terdapat tempat pemisahan dan pembuangan sampah yang dapat didaur ulang kembali (1 poin). Comprehensive Waste Management Jalan, area parkir, pedestrian, papan penanda, bangunan rumah tinggal, dan bangunan adat menggunakan material yang dapat digunakan kembali melalu proses yang relatif sederhana. Penggunaan kembali puing atau sisa bahan bangunan sebagai material kandang ternak. Tidak terdapat perlakuan khusus seperti pemilahan sampah beracun atau yang dapat didaur ulang pada desa. 1 1 0 6 Subtotal 5.3.4 Tingkat Hijau Lanskap Desa Adat Penglipuran Penilaian tingkat hijau berdasarkan LEED for Neighborhood Development Rating System memberikan 4 tingkat sertifikasi (certification levels), yaitu certified (37.74%), silver (47.17%), gold (56.60%),dan platinum (75.47%). LEED Neighborhood Development Rating System terdiri dari 4 parameter dan 49 kriteria tolak ukur memiliki total nilai sebesar 106 poin (100%). Penilaian tingkat hijau Desa Adat Penglipuran menggunakan 3 parameter dan 36 kriteria tolak ukur yang ada dalam LEED for Neighborhood Development Rating System sehingga memiliki total nilai 68 poin. Berikut nilai dan tingkat hijau yang diperoleh oleh Desa Adat Penglipuran. Tabel 10 Tingkat hijau Desa Adat Penglipuran Tingkat Hijau Certified Silver Gold Platinum LEED Penelitian 40-49 poin (37.74%) 50-59 poin (47.17%) 60-79 poin (56.60%) 80-106 poin (75.47%) 26-31 poin (37.74%) 32-37 poin (47.17%) 38-51 poin (56.60%) 52-68 poin (75.47%) Desa Adat Penglipuran 34 poin Desa Adat Penglipuran mendapa tingkat Silver (34 poin) dalam penilaian LEED for Neighborhood Development Rating System. Berdasarkan hasil penilaian tersebut, terlihat masing-masing parameter memiliki nilai presentase yang berbeda satu sama lain. Penilaian berdasarkan parameter pemilihan tapak dan penghubung Desa Adat Penglipuran memperoleh nilai 8 poin dari total nilai keseluruhan sebesar 22 poin atau sebesar 36.36%. Nilai yang didapat Desa Adat Penglipuran 56 dalam penilaian berdasarkan parameter desain dan pola permukiman sebesar 20 poin dari total nilai keseluruhan 34 poin atau sebesar 58.82% sedangkan berdasarkan parameter teknologi dan konstruksi hijau memperoleh nilai 6 poin dari total nilai sejumlah 12 poin atau sebesar 50.00%. Pada parameter atau aspek pemilihan tapak dan penghubung terdapat kriteria penilaian LEED for Neighborhood Development Rating System yang tidak dapat dipenuhi oleh Desa Adat Penglipuran. Kriteria brownfield redevelopment dan preffered locations memiliki persyaratan dimana tapak awal suatu pemukiman harus menempati area terkontaminasi dan sebelumnya telah terdapat lahan terbangun. Desa Adat Penglipuran tidak memenuhi syarat tersebut, namun desa telah memiliki prinsip hijau dalam pemilihan tapak awal pemukiman. Pemilihan letak awal pemukiman berada pada lanskap alami hutan bambu yang dekat dengan sumber air (sungai) dan pusat pemerintahan Kerajaan Bangli saat itu. Hutan bambu dan sungai menjadi sumber daya alam utama yang dimanfaatkan oleh masyarakat desa saat itu. Kriteria reduced automobile dependence dan bicycle network yang memiliki persyaratan pemukiman berjarak dekat dengan halte dan memiliki fasilitas sepeda (jalur dan parkir) juga tidak dipenuhi oleh Desa Adat Penglipuran. Masyarakat Desa Adat Penglipuran melakukan mobilisasi di dalam area desa dengan berjalan kaki. Masyarakat desa dominan memiliki tempat bekerja di dalam area desa sehingga tidak diperlukan fasilitas sepeda dan angkutan umum dalam mencapai lokasi pekerjaan. Hal tersebut juga memiliki prinsip yang ramah akan lingkungan. Pada parameter desain dan pola permukiman juga terdapat kriteria penilaian yang tidak dapat dipenuhi oleh desa. Kriteria compact development yang menilai kepadatan pemukiman dalam DU/acre dimana semakin tinggi nilai kepadatan semakin baik, tidak dipenuhi oleh Desa Adat Penglipuran. Karakteristik suatu lanskap pedesaan ialah memiliki banyak ruang terbuka dan jarak pandang yang luas. Hal ini terdapat pada penataan lanskap Desa Adat Penglipuran. Memiliki banyak ruang terbuka dan jarak pandang luas berarti meminimalkan lahan terbangun yang berguna untuk konservasi lahan dan mengurangi dampak kerusakan lingkungan. Kriteria acces to surrounding vicinity memiliki persyaratan dimana terdapat suatu fasilitas penyebrangan pada jalan yang dilalui kendaraan bermotor. Desa Adat Penglipuran tidak memenuhi syarat tersebut, namun desa memiliki jalan lingkar yang dilalui kendaraan bermotor, berukuran kecil, dan hanya dilalui oleh warga desa saja sehingga pejalan kaki tidak terganggu oleh kendaraan bermotor. Kriteria universal accessibility memiliki persyaratan jalan pedestrian desa memiliki fasilitas khusus bagi balita, lanjut usia, penderita cacat. Hal tersebut tidak dapat dipenuhi oleh desa, tetapi pola penataan pemukiman Desa Adat Penglipuran memiliki akses penghubung antar rumah tinggal berupa tangga rendah dengan bahan alami rumput. Pada parameter teknologi dan konstruksi hijau terdapat 2 kriteria yang tidak dipenuhi namun desa memiliki kearifan lokal yang masih berkaitan. Kriteria pertama ialah minimize site disturbance through site design yang memiliki persyaratan pengembangan pemukiman dilakukan pada area yang sudah ditetapkan dan tidak merusak lingkungan alami yang ada. Pertambahan jumlah penduduk pada Desa Adat Penglipuran menyebabkan pengembangan pemukiman di luar area inti desa sehingga mengambil lingkungan alami desa. Setiap kavling rumah tinggal warga memiliki pola sama yang diatur dalam peraturan adat (awig- 57 awig) dimana terdapat area terbuka hijau/halaman yang lebih luas dari area terbangun. Hal tersebut menunjukkan bahwa warga desa tetap menjaga kelestarian lingkungan alami mereka dalam setiap pengembangan rumah tinggal. Kriteria kedua ialah heat island reduction yang memiliki persyaratan, yaitu penggunaan material pada area terbuka terbangun (pedestrian, parkir, jalan) memiliki nilai SRI maksimal 29 atau menempatkan fasilitas parkir pada area ternaungi. Desa Adat Penglipuran memiliki jumlah area terbangun 13.64% (25.68 ha) dari 113 ha luas desa. Hal tersebut menunjukkan bahwa lanskap alami desa lebih dominan dibanding area terbangun sehingga efek pemanasan lingkungan menjadi lebih kecil. Hasil penilaian dari lanskap Desa Adat Penglipuran menggunakan LEED for Neighborhood Development Rating System menunjukkan bahwa kriteria keberlanjutan LEED dapat menilai tingkat hijau suatu pemukiman tradisional, namun terdapat kriteria LEED yang kurang sesuai dengan lanskap, arsitektur, dan kearifan lokal tradisional Desa Adat Penglipuran. Kearifan lokal para leluhur sejak dahulu sudah memiliki konsep bagaimana keberlanjutan lingkungan dan alam harus dijaga. Kearifan lokal tersebut secara turun temurun dilestarikan salah satunya melalui peraturan adat desa (awig-awig) hingga saat ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa Desa Adat Penglipuran memiliki kelebihan dan kekurangan dalam budaya serta nilai kehidupan mereka yang berhubungan dengan arsitektur hijau sehingga diperlukan beberapa perbaikan untuk meningkatkan nilai dan karakter hijau desa. 5.4 Rekomendasi Berdasarkan hasil penilaian LEED for Neighborhood Development Rating System dapat disusun suatu model lanskap Desa Adat Penglipuran dengan prinsip arsitektur hijau. Rekomendasi ini bertujuan melestarikan prinsip keberlanjutan yang telah dimiliki desa, serta meningkatkan tingkat hijau dari Desa Adat Penglipuran. Model lanskap desa dengan prinsip arsitektur hijau ini dihasilkan dari penyesuaian kriteria LEED yang dapat diterapkan pada desa dengan tata ruang tradisional Desa Adat Penglipuran (Gambar 44). Kriteria LEED tersebut ialah diversity of uses, transit facilities, transportation demand management, food production, dan comprehensive waste management. Rekomendasi model lanskap desa tetap mengikuti tata ruang tradisional Nawa Sanga dan konsep tri mandala, yaitu utara sebagai tempat suci, bagian tengah sebagai pemukiman, dan selatan sebagai nista (kotor). Pada model lanskap ini terdapat fasilitas publik tambahan, seperti puskesmas dan pasar tradisional di bagian pemukiman desa (tengah). Terdapat budidaya tanaman pangan produktif, seperti singkong, ubi, kacang tanah, kedelai, cabai, tomat, bunga kol, kangkung, dan lainnya pada area tegalan desa. Bagian selatan desa terdapat tempat pengolahan limbah berupa sumber energi listrik alternatif biogas untuk disalurkan pada pemukiman warga dalam jarak lebih dari 500 m (Skøtt 2006) (Gambar 45). Penambahan fasilitas transportasi umum yang menghubungkan Desa Adat Penglipuran dengan Kota Bangli beserta fasilitas halte pada jalan masuk bagian timur desa. 58 Gambar 44 Model lanskap Desa Adat Penglipuran dengan prinsip arsitektur hijau 59 Rekomendasi model lanskap desa tersebut diikuti dengan model pola pekarangan rumah tinggal Desa Adat Penglipuran. Pola pekarangan rumah tinggal dibuat mengikuti konsep tri mandala dan warna Nawa Sanga dalam pemilihan tanaman, yaitu: 1. sebelah utara tanaman berwarna gelap (hijau tua), 2. sebelah selatan tanaman berwarna merah, 3. sebelah barat tanaman berwarna kuning, 4. sebelah timur tanaman berwarna terang (putih, merah muda) (Gambar 45). Tanaman digunakan sebagai salah satu upakara (persembahan) oleh masyarakat Bali. Bagian tanaman yang banyak dipakai sebagai upakara ialah bunga dan buah, sehingga penempatan atau penanaman tanaman pada pekarangan mengikuti warna dari bunga dan buah (konsep warna Nawa Sanga) (Prajoko 2012). Penggunaan konsep peletakkan tanaman tersebut bertujuan untuk memunculkan karakteristik dari taman tradisional Bali. Selain itu, model pekarangan juga ditambahkan prinsip hijau untuk konservasi air dengan membuat sumur resapan dan pengelolaan limbah rumah tangga (Gambar 46). Gambar 45 Konsep warna Nawa Sanga Gambar 46 a. alur energi biogas b. struktur biogas (Singh 2011) Gambar 47 Model pola pekarangan rumah tinggal Desa Adat Penglipuran 60 61 6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Desa Adat Penglipuran merupakan permukiman tradisional yang terletak pada dataran tinggi sebelah utara Kota Bangli. Budaya masyarakat yang selalu berorientasi pada gunung serta arah terbit dan tenggelamnya matahari sebagai urat nadi kehidupan, mempengaruhi bentuk permukiman dan elemen lanskap pada desa mereka. Kebudayaan dan kehidupan beragama masyarakat yang selalu berdampingan menjadi sebuah karakter kuat pada desa mereka. Kearifan lokal yang diwarisi masyarakat desa sejak dahulu tersebut membawa prinsip-prinsip hijau pada tatanan lanskap dan arsitektur yang mereka miliki. Hal tersebut terlihat dari pola permukiman dan rumah tinggal, pemilihan material bangunan, dan peraturan adat tentang lingkungan alami desa (awig-awig). Pola permukiman dan rumah tinggal yang berbentuk linier (orientasi arah utara-selatan & barat-timur) dan terbagi atas tiga bagian besar membentuk ruang serta sirkulasi yang harmonis dengan alam. Pola permukiman yang terbentuk menciptakan suatu ruang inti desa yang bebas dari kendaraan bermotor dan banyak memiliki area terbuka (open spaces). Material bangunan yang digunakan ialah material yang berasal dari lanskap alami desa mereka sendiri. Kearifan lokal tersebut masih terpelihara utuh hingga saat ini akibat peraturan adat yang mereka ciptakan sejak awal terbentuknya desa ini. Mereka melakukan konservasi akan tradisi dan budaya yang membawa desa ini kepada keberlanjutan. Penilaian tingkat hijau berdasarkan LEED Neighborhood Development Rating System pada Desa Adat Penglipuran menghasilkan tingkat Silver dengan total poin 34 poin. Tingkat hijau tersebut didapat melalui penilaian 36 kriteria dalam 3 parameter. Parameter dan kriteria LEED Neighborhood Development Rating System telah menunjukkan adanya keenam prinsip dasar arsitektur hijau didalamnya. Hal ini menguatkan bahwa sebuah desa adat tradisional yang mempertahankan kearifan lokalnya hingga saat ini telah menerapkan konsep arsitektur hijau dalam kehidupannya sejak dahulu. Terdapat kriteria LEED yang kurang sesuai dengan kondisi lanskap, arsitektur, dan kearifan lokal tradisional Desa Adat Penglipuran sehingga diperlukan penyesuaian kriteria. Hal tersebut juga menunjukkan perlunya perbaikan dalam upaya menjaga dan meningkatkan nilai-nilai hijau yang dimiliki desa sehinggadiusulkan rekomendasi model lanskap Desa Adat Penglipuran dan model pola pekarangan rumah tinggal. 6.2 Saran Kearifan lokal masyarakat tradisional dapat menjadi sumber pengetahuan baru akan konsep arsitektur hijau bagi masyarakat saat ini. Rekomendasi yang telah disusun diharapkan dapat menjadi masukkan bagi Desa Adat Penglipuran atau pemerintah daerah dalam usaha menjaga keberlanjutan desa. Selain itu, diperlukan penelitian lanjut mengenai penyesuaian standar penilaian LEED untuk arsitektur permukiman tradisional. 62 DAFTAR PUSTAKA Adhika IM. 1994. Peran banjar dalam penataan komunitas: studi kasus kota Denpasar [tesis]. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwa Liar. Bogor (ID): Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan. Arrafiani. 2012. Rumah Etnik Bali. Bogor (ID): Griya Kreasi. Astuti W. 2002. Pariwisata Sehat Desa Penglipuran. Jakarta (ID): Pusat Promosi Depkes RI. [BAPPEDAPM Bangli] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal Kabupaten Bangli. 2005. RDTRK Kecamatan Bangli. Bangli (ID): BAPPEDAPM Bangli. [BPS Pemkab Bangli] Badan Pusat Statistik Pemerintah Kabupaten Bangli. 2010. Bangli dalam Angka Tahun 2010. Bangli (ID): BPS Pemkab Bangli. [BPS Pemkab Bangli] Badan Pusat Statistik Pemerintah Kabupaten Bangli. 2008. Statistik lingkungan penglipuran 2008. Bangli (ID): BPS Pemkab Bangli. Bagus IGN. 1979. Prasejarah dan Klasik di Bali. Denpasar (ID): Balai Pustaka Denpasar. Barliana MS, Nuryanto, Cahyani D. 2012. Pola pembelajaran pewarisan tradisi arsitektur berkelanjutan: dari etnoarsitektur ke etnopedadogi. Di dalam: Temu Ilmiah IPLBI; 2012 November; Bandung, Indonesia. Bandung (ID): IPLBI. Hlm 117-120. Budihardjo E. 1986. Architectural Conservation in Bali. Yogyakarta (ID): Gajah Mada Univ Pr. [Disbun Bali] Dinas Perkebunan Bali. 2011. Kopi arabika kopyol [internet]. [diacu 2013 Mei 22]. Tersedia pada: http://www.disbunbali.info /komoditi_unggulan.php?id_komoditi_unggulan=10.html Dwijendra KA. 2003. Perumahan dan permukiman tradisional Bali. J Permukiman Natah. 1(1):4-11. Dwijendra KA. 2009. Arsitektur dan Kebudayaan Bali Kuno. Denpasar (ID): Udayana Univ Pr. Frickz H. 1998. Ilmu Bahan Bangunan.Yogyakarta (ID): Kanisius. Hudyana IDGR. 2002. Tenget dalam pembangunan berkelanjutan studi kasus: revitalisasi kearifan lokal mengenai lingkungan di Desa Adat Penglipuran Bangli [tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro. Karyono TH. 2010. Green architecture: Pengantar Pemahaman Arsitektur Hijau di Indonesia. Jakarta (ID): Rajawali Pers. Kasuma IPAW. 2009. Persepsi Masyarakat Adat Sebagai Dasar Perumusan Konsep Tata Ruang Desa Adat Penglipuran Bali [skripsi]. Surabaya (ID): Institut Teknologi Sepuluh November. Kibert CJ. 2008. Sustainable Construction: Green Building Design and Delivery. Ed ke-2. Canada (US): John Wiley and Sons. Lugrayasa IN, Sana IW, Mastra IW. 2003. Laporan Eksplorasi dan Penelitian Bambu untuk Menunjang Industri Kerajinan Rumah Tangga di Kabupaten Bangli. Denpasar (ID): UPT Konservasi Tumbuhan KRE Bali LIPI. Maryland Department of the Environment. 1986. Sediment and Stormwater Administration. Maryland (US): Maryland Dept of the Environment. 63 Morgan HM. 1960. Vitruvius:The Ten Book On Architecture. New York (US): Dover Publications. [Pemkab Bangli] Pemerintah Kabupaten Bangli. 2010. Monografi Desa Adat Penglipuran Kelurahan Kubu. Bangli (ID): Pemkab Bangli. Prajoko A. 2012. Pertamanan tradisional Bali berlandaskan unsur satyam, siwam, sundaram, relegi, dan usada [internet]. [diacu 2013 September 18]. Tersedia pada: http://www.parissweethome.com/bali/cultural_my.php?id=11 Pranoto M. 2008. Multilevel urban green area : solusi terhadap global warming dan high energy building. J Rekayasa Perencanaan. 4(3):1-15. Priatman J. 2002. ”Energy-efficient architecture” paradigma dan manifestasi arsitektur hijau. Dimensi Teknik Arsitektur. 30(2):167-175. Prijotomo J, Sulistyowati M. 2009. Nusantara Architecture as Tropical Architecture. Surabaya (ID): ITS Pr. Singh P. 2011. Biogas: more than a source energy [internet]. [diacu 2013 Juli 23]. Tersedia pada: http://www.heifer.org/blog/2011/10/biogas-more-than-a-sourceof-energy.html Skøtt T. 2006. How much do biogas plant smell. Bioenergy research. 16(1):4-5. Subur IW. 2003. Pengalaman dalam Mengembangkan Bambu oleh Petani Bambu Kabupaten Bangli. Bangli (ID): Dinas Pertanian Perkebunan dan Perhutanan Pemkab Bangli. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung (ID): Alfabeta. [USGBC] United States Green Building Council. 2007. Pilot version: LEED for neighborhood development rating system February 2007. Washington DC (US): USGBC. Vale B, Vale R. 1991. Green Architecture: Design for a Sustainable Future. New York (US): Thames and Hudson Ltd. Van Der Ryn S, Calthorpe P. 1996. Ecological Design. Washington DC (US): Island Press. Wiranto. 1999. Arsitektur vernakular Indonesia: perannya dalam pengembangan jati diri. Dimensi Teknik Arsitektur. 27(2):15-20. Widjaja EA, Astuti IP, Arinasa IBK. 2004. New species of bamboos (poaceaebambusoideae) from Bali. Reinwardtia. 12(2):199-204. 64 Lampiran 1 Standar Penilaian LEED for Neighborhood Development Rating System 2007. 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 Lampiran 2 Glosarium Angkul-angkul Asta Kosala kosali/Dewa Awig-awig Bali aga / mula Bale Bale banjar/desa Bedeg Berundag-undag Karang ayahan desa Karang kerti Karang memadu Krama Laba Pura Loji Madya Mandala Nawa Sanga Nista Padmasana Palemahan Parahyangan Pawongan Pura Kahyangan Tiga Sekaa Sekaa baris Sekaa gong Sekaa pratangan Sekaa teruna Tri Angga dan Tri Loka Tri Hita Karana Utama : Bangunan tradisional Bali yang berfungsi sebagai gerbang masuk menuju suatu pekarangan : Dasar-dasar pengukuran bangunan tradisional Bali : Peraturan adat : Masyarakat Bali asli atau mula-mula : Sebutan satu unit bangunan tradisional Bali : Tempat pertemuan pada suatu desa : Anyaman : Terasering : Lahan yang pemanfaatannya diatur oleh desa : Pekarangan rumah tinggal : Satu kavling rumah tinggal sebagai tempat pengasingan bagi warga yang melakukan poligami : Masyarkat, warga : Lahan yang peruntukannya untuk keberlanjutan Pura pada Desa Adat Penglipuran : Bangunan tempat tinggal : Nilai tengah, tingkat kedua : Ruang : Sembilan petak yang membagi suatu kawasan menjadi tiga golongan yaitu, utama, madya, dan nista : Tingkat paling tidak suci : Bangunan suci umat hindu : Unsur atau fisik lingkungan alam dalam Tri Hita Karana : Unsur Tuhan dalam Tri Hita Karana : Unsur manusia dan sesama dalam Tri Hita Karana : Tiga pura dalam satu kesatuan desa adat yang terdiri dari Pura Puseh, Pura desa, dan Pura Dalem : Satuan atau kelompok masyarakat yang mempunyai kegiatan dan profesi sama : Kelompok yang berkaitan dengan tarian tradisional : Kelompok yang berkaitan dengan alat musik tradisional : Kelompok yang berkaitan dengan makanan : Kelompok anak remaja atau pemuda dan pemudi : Susunan fisik yang terdiri dari bagian kepala, badan, dan kaki : Konsep keselarasan hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam; konsep holistik tiga penyebab kesempurnaan : Tingkat paling suci 91 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 1991 dari ayah Albert Susilo Kristanto dan ibu Henni Djajasastra. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 3 Denpasar pada tahun 2009. Pada tahun yang sama penulis diterima di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Selama masa perkuliahan penulis aktif mengikuti kepanitian dan organisasi kemahasiswaan. Organisasi yang aktif diikuti penulis salah satunya adalah Himpunan Keprofesian Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP). Penulis juga pernah menjadi ketua panitia pada kegiatan mahasiswa di Departemen Arsitektur Lanskap, yaitu Indonesia Landscape Architecture Student Workshop 2012. Lomba desain Landmark Summarecon Bekasi pernah diikuti penulis secara berkelompok. Penulis pernah mengikuti kegiatan praktik kerja selama menjadi mahasiswa. Pada bulan Mei 2011 penulis melakukan praktik kerja dengan membuat gambar rancang taman auditorium di Balai Penelitian Tananaman Rempah dan Obat (Balittro). Bulan Maret-April 2013 penulis melakukan praktik kerja pada konsultan desain lanksap dan arsitektur PT Wijaya Tribwana International di Bali. Penulis juga menerima beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) dari DIKTI pada tahun 2011-2012. Selanjutnya pada tahun 2012-2013 penulis menerima beasiswa dari Tanoto Foundation.