kajian arsitektur hijau desa adat penglipuran bali

advertisement
KAJIAN ARSITEKTUR HIJAU
DESA ADAT PENGLIPURAN BALI
NIKKO DWIJAYASASTRA
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Arsitektur Hijau
Desa Adat Penglipuran Bali adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Nikko Dwijayasastra
NIM A44090003
ABSTRAK
NIKKO DWIJAYASASTRA. Kajian Arsitektur Hijau Desa Adat Penglipuran
Bali. Dibimbing oleh FITRIYAH NURUL H UTAMI.
Arsitektur hijau merupakan salah satu jawaban dari permasalahan
lingkungan global yang tengah terjadi. Hal ini telah dimulai oleh masyarakat masa
lalu. Salah satu contohnya ialah budaya arsitektur dan penataan lanskap pada
masyarakat tradisional Desa Adat Penglipuran. Terdapat standar penilaian tingkat
hijau yang dikeluarkan oleh United States Green Building Council, yaitu
Leadership in Energy and Environmental Design (LEED). Kajian ini dilakukan
untuk mengidentifikasi dan menganalisis konsep arsitektur hijau pada tatanan
lanskap juga arsitektural Desa Adat Penglipuran serta mengukur tingkat hijau desa
menggunakan LEED for Neighborhood Development. Penelitian ini dilakukan
pada Desa Adat Penglipuran yang terletak pada dataran tinggi Kabupaten Bangli,
Provinsi Bali dengan tahapan inventarisasi, analisis dan penilaian berdasarkan
LEED for Neighborhood Development, sintesis, dan rekomendasi. Berdasarkan
observasi, wawancara, dan studi literatur, desa ini memiliki tatanan lanskap, pola
permukiman, dan arsitektur yang utuh hingga sekarang. Desa Adat Penglipuran
memperoleh tingkat Silver berdasarkan penilaian LEED for Neighborhood
Development. Hal ini menguatkan bahwa kearifan lokal masyarakat Desa Adat
Penglipuran telah menerapkan konsep arsitektur hijau sejak dahulu.
Kata kunci: arsitektur hijau, tingkat hijau, LEED, kearifan lokal
ABSTRACT
NIKKO DWIJAYASASTRA. Green Architecture Study of Penglipuran
Traditional Village in Bali. Supervised by FITRIYAH NURUL H UTAMI.
Green architecture is one of the solution for global environment problems
that were happening. This have been initiated by past communities. One example
is landscape and architecture culture in Penglipuran Traditional Village. There is a
green level rating system by United States Green Building Council, which name is
Leadership in Energy and Environmental Design (LEED). The objectives of this
study were to identified and analyzed green architecture concept in Penglipuran
Traditional Village landscape also architecture, and determined the green level of
Penglipuran Traditional Village using LEED for Neighborhood Development.
The Research activities carried out at Penglipuran Traditional Village which is
located in Bangli District plateau, Province of Bali through the phases of
inventory, analysis and assessment by LEED for Neighborhood Development,
synthesis, and also recommendation. Based on observation, interview, and
literature it have a landscape, settlement pattern, and architecture that hadn't been
changed until now. Penglipuran Traditional Village acquired a Silver level by
LEED for Neighborhood Development. This is confirmed that local wisdom of
Penglipuran Traditional Village communities had implemented the concept of
green architecture since first.
Keywords: green architecture, green level, LEED, local wisdom
KAJIAN ARSITEKTUR HIJAU
DESA ADAT PENGLIPURAN BALI
NIKKO DWIJAYASASTRA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Penelitian : Kajian Arsitektur Hijau Desa Adat Penglipuran Bali
Nama
: Nikko Dwijayasastra
NIM
: A44090003
Disetujui oleh
Fitriyah Nurul H Utami, ST MT
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Nurisjah, MSLA
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan
anugerahNya sehingga karya ilmiah yang berjudul "Kajian Arsitektur Hijau Desa
Adat Penglipuran Bali" dapat diselesaikan. Penelitian dilakukan dari bulan MaretMei 2013 pada Desa Adat Penglipuran, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Fitriyah Nurul H Utami, ST
MT selaku dosen pembimbing atas bimbingan, masukan, dan arahannya selama
persiapan penelitian hingga penyusunan karya ilmiah ini. Penghargaan penulis
sampaikan kepada Bapak Wayan Supat selaku Ketua Adat Desa Penglipuran serta
masyarakat Desa Adat Penglipuran, yang telah membantu selama pengumpulan
data. Terima kasih kepada Bapak Tri Harso Karyono atas bantuannya dalam
pemahaman mengenai arsitektur hijau. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada Papa, Mama, Kakak, Alwin, Theresia, Djajasastra, dan Dalung
atas semangat dan doanya. Terima kasih pula kepada seluruh keluarga besar
Arsitektur Lanskap angkatan 46 serta segenap pihak yang telah membantu dan
mendukung terselesaikannya karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2013
Nikko Dwijayasastra
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang
1
1.2 Tujuan Penelitian
2
1.3 Manfaat Penelitian
2
1.4 Kerangka Pikir Penelitian
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
4
2.1 Latar Belakang Arsitektur Hijau
4
2.2 Arsitektur Hijau
4
2.3 Standar Pengukuran Arsitektur Hijau
5
2.4 Arsitektur Tradisional di Indonesia
8
2.5 Masyarakat dan Budaya Arsitektur Bali
8
2.6 Tata Ruang Desa Penglipuran
3 METODOLOGI
10
12
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
12
3.2 Metode Penelitian
13
3.3 Batasan Penelitian
19
4 KONDISI UMUM DESA PENGLIPURAN
20
4.1 Aspek Fisik
20
4.2 Aspek Sejarah
21
4.2 Aspek Sosial dan Budaya
22
4.3 Aspek Ekonomi
23
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
24
5.1 Lanskap dan Arsitektur Desa Adat Penglipuran
24
5.2 Identifikasi dan Analisis Konsep Arsitektur Hijau
28
5.2.1 Pemilihan Tapak dan Penghubung
28
5.2.2 Desain dan Pola Permukiman
36
5.2.3 Teknologi dan Konstruksi Hijau
43
5.3 Penilaian LEED Neighborhood Development Rating System
51
5.3.1 Pemilihan Tapak dan Penghubung
51
5.3.2 Desain dan Pola Permukiman
52
5.3.3 Teknologi dan Konstruksi Hijau
54
5.3.4 Tingkat Hijau Lanskap Desa Adat Penglipuran
55
5.4 Rekomendasi
6 SIMPULAN DAN SARAN
57
60
6.1 Simpulan
61
6.2 Saran
61
DAFTAR PUSTAKA
62
LAMPIRAN
64
RIWAYAT HIDUP
91
DAFTAR TABEL
1 Parameter LEED for neighborhood development rating system
2 Jenis, bentuk, cara pengambilan, dan sumber data yang akan diambil
3 Kriteria LEED for neighborhood development rating system yang
digunakan
4 Penggunaan lahan Desa Adat Penglipuran
5 Jumlah penduduk desa berdasarkan kelompok umur
6 Proporsi penduduk berdasarkan mata pencaharian
7 Penilaian berdasarkan parameter pemilihan tapak dan penghubung
8 Penilaian berdasarkan parameter desain dan pola permukiman
9 Penilaian berdasarkan parameter teknologi dan konstruksi hijau
10 Tingkat hijau Desa Adat Penglipuran
6
14
15
20
23
23
51
52
54
55
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
Kerangka Pikir Penelitian
Hierarki ruang secara vertikal dan horizontal
Penerapan sembilan orientasi pada pekarangan
Ukuran bagian tubuh sebagai dasar ukur di Bali
Pola Desa Adat Penglipuran
Lokasi Desa Adat Penglipuran
Letak sampel tempat tinggal pada area inti desa
Tata guna lahan Desa Adat Penglipuran
Karakteristik lanskap Desa Adat Penglipuran
Sketsa pola rumah tinggal Desa Adat Penglipuran
Material alami pada bangunan desa
Pola rumah tinggal pada keempat sampel
Ilustrasi pola permukiman permulaan
Perkembangan Desa Adat Penglipuran
Peta lingkungan sekitar desa
Pola berundag-undag pada permukiman desa
Peta kontur area inti permukiman desa
Sekolah Dasar Negeri 2 pada bagian selatan desa
Gigantochloa aya Widjaja & Astuti dan Gigantochloa taluh
Widjaja & Astuti
Kopi Kopyol Bali
Tanaman kamboja pada rumah warga
Kondisi sungai
Area perhitungan kepadatan rumah tinggal
Satu kavling rumah tinggal
Fasilitas publik desa dan jaraknya dari rumah tinggal
Fasilitas parkir pada keempat sampel rumah tinggal
Pola sirkulasi pada Desa Adat Penglipuran
Potongan jalan lingkar Desa Adat Penglipuran
Kondisi lanskap jalan utama desa
Potongan jalan utama desa
3
9
9
10
11
12
13
21
24
26
26
27
28
29
30
31
32
33
33
34
34
35
36
37
38
38
39
40
41
41
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
Letak ruang terbuka desa dan empat sampel rumah tinggal
Lapangan untuk berolahraga
Bale Banjar dan area terbuka di sekitarnya
Taman makam pahlawan
Pekarangan pada kavling rumah tinggal
Rumah tinggal pada luar area inti desa
Kayu bakar sebagai bahan bakar pada dapur tradisional
Pengelolaan limbah cair pada keempat sampel rumah tinggal
Tempat sampah akhir Desa Adat Penglipuran
a. Pura pada rumah tinggal
b. Angkul-angkul salah satu sampel
a. Bale saka enem pada sampel rumah nomor 4
b. Dapur tradisional
Bangunan rumah tinggal dengan ornamen khas Bali
Material-material yang digunakan pada fasilitas umum
dan elemen keras lainnya
Model lanskap Desa Adat Penglipuran dengan prinsip arsitektur hijau
Konsep warna Nawa Sanga
a. alur energi biogas
b. struktur biogas
Model pola pekarangan rumah tinggal Desa Adat Penglipuran
42
43
43
43
44
45
46
47
47
48
49
49
50
58
59
59
60
DAFTAR LAMPIRAN
1 Standar Penilaian LEED for Neighborhood Development
Rating System 2007
2 Glosarium
64
90
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pesatnya perkembangan teknologi membawa perubahan besar dalam dunia
arsitektur Indonesia. Terdapat kekeliruan pemahaman antara arsitektur dan
teknologi. Pekerjaan arsitektur tidak lagi mempertimbangkan arah mata angin,
arah datangnya sinar matahari, posisi bangunan terhadap angin dan matahari,
suhu, serta kondisi awal tapak. Penggunaan air conditioner (AC), pemborosan
energi, ketidaktepatan material bangunan, peningkatan jumlah limbah, dan
perubahan fisik lahan secara ekstrim menjadi hal umum bagi pembangunan kini
(Karyono 2010). Pembangunan yang eksploitatif tersebut melahirkan dampak
berbahaya bagi lingkungan dan kehidupan manusia. Pembangunan yang tidak
mempedulikan kondisi iklim dan lingkungan tersebut berimplikasi terhadap
banyaknya gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfir sebagai penyebab pemanasan
global. Lingkungan alam, seperti daerah-daerah aliran sungai, area resapan air
hujan, ruang terbuka hijau, serta keanekaragaman hayati mengalami penurunan
kualitas dan kuantitas. Hal tersebut melahirkan berbagai upaya untuk
menghasilkan solusi yang tepat bagi permasalahan lingkungan.
Konsep arsitektur hijau menjadi salah satu jawaban yang tepat dari
fenomena yang terjadi. Menggunakan seminimal mungkin bahan non-renewable
dan pencemar lingkungan serta menanamkan ide berkelanjutan dalam
perencanaan menjadi konsep dalam arsitektur hijau. Arsitektur hijau juga
menciptakan keselarasan antara penataan ruang dalam (interior), bentuk muka
bangunan, dan ruang luar (eksterior). Digunakannya bahan dan material ramah
lingkungan serta keselarasan, arsitektur hijau dapat meminimalisir dampak
kerusakan dan membantu memperbaiki keadaan iklim global. Sejumlah lembaga
di dunia melakukan pengukuran implementasi arsitektur hijau dalam realitas
bangunan dan lingkungan. Salah satu standar pengukuran dikembangkan oleh
U.S. Green Building Council (USGBC), yaitu Leadership in Energy and
Environmental Design (LEED) (Barliana MS et al. 2012). Standar pengukuran
arsitektur hijau kini dimiliki oleh banyak negara lain termasuk Indonesia dengan
Greenship yang dikeluarkan oleh Green Building Council Indonesia (GBCI).
Budaya masyarakat masa lalu telah melakukan konsep arsitektur hijau dan
bersahabat dengan lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Pemilihan tapak yang
tepat sehingga pemukiman tradisional dapat bertahan sampai ratusan tahun tanpa
mendapat gangguan bencana alam seperti tanah longsor, banjir, gempa, letusan
gunung dan lainnya. Material dan bahan bangunan dipilih dari lingkungan tempat
tinggal yang kemudian disesuaikan dengan iklim setempat. Bentuk atau arsitektur
rumah tinggal masyarakat pada masa lalu juga menyesuaikan dengan kondisi
iklim setempat. Masyarakat pada masa lalu memiliki kepercayaan dan tradisi yang
menjunjung tinggi alam tempat tinggal mereka sehingga mereka tidak akan
merusak dan mengeksploitasi alam secara berlebihan.
Indonesia merupakan negeri yang kaya akan kebudayaan, sehingga
memiliki beragam tradisi arsitektur tradisional dengan konsep hijau yang beragam
pula. Salah satunya adalah budaya arsitektur dan penataan lanskap pada
2
masyarakat tradisional Bali yang sarat keagamaan tersebut. Kebudayaan Bali
merupakan kebudayaan yang berwajah natural dan berjiwa ritual. Jiwa ritual
dipengaruhi oleh sistem religi Hindu yang datang dari India. Hal ini sangat
mempengaruhi pembentukan elemen-elemen arsitekturnya. Setiap corak, ruang,
elemen, dan ragam hias memiliki filosofi yang pada hakikatnya merupakan bentuk
penghormatan dan penghargaan terhadap alam dan Pencipta. Seperti ketentuan
yang telah diatur didalam lontar Asta Dewa dan Asta Kosala/Kosali dimana setiap
material dan bahan konstruksi berasal dari alam, contohnya kayu, ijuk, alangalang, batu alam, dan sebagainya. Salah satu desa adat tradisional Bali yang masih
sarat akan tradisi dan ritual dalam tatanan lanskap dan arsitektural adalah Desa
Adat Penglipuran.
Desa Adat Penglipuran adalah salah satu desa tua di Bali atau sering disebut
Bali Aga atau Bali Mula. Desa ini memiliki budaya dan tradisi khas yang tetap
terpelihara dengan baik sampai saat ini. Budaya dan tradisi khas tersebut ialah
pola tata ruang dan arsitektur bangunan (Astuti 2002). Budaya lain yang juga
menonjol dari desa ini, yaitu awig-awig (peraturan adat) tentang pemeliharaan
lingkungan, sistem pembuangan limbah, pemilihan material bangunan, juga tata
lanskap. Material pada setiap rumah berupa tanah atau bambu untuk tembok dan
bambu untuk atap (Arrafiani 2012). Penilaian prinsip arsitektur hijau pada budaya
masyarakat tradisional Desa Adat Penglipuran akan dilakukan sehingga dapat
mempelajari dan melestarikan arsitektur hijau serta kearifan lokal yang ada.
1.2 Tujuan Penelitian
1.
2.
3.
Tujuan dari penelitian ini adalah:
mengidentifikasi dan menganalisis konsep arsitektur hijau pada tatanan
lanskap serta arsitektural Desa Adat Penglipuran,
mengukur tingkat hijau dari lanskap Desa Adat Penglipuran menggunakan
LEED for Neighborhood Development Rating System, dan
memberikan rekomendasi bagi desa berdasarkan hasil pengukuran tingkat
hijau untuk menjaga dan melestarikan nilai hijau dari tatanan lanskap Desa
Adat Penglipuran.
1.3 Manfaat Penelitian
1.
2.
3.
Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah:
membantu Desa Adat Penglipuran dalam mempertahankan dan
mengembangkan prinsip-prinsip hijau yang telah ada pada desa,
menjadi bahan referensi arsitektur hijau yang dapat diterapkan pemerintah
pada pembangunan permukiman hingga perkotaan,
memberikan masukan bagi para akademisi dan praktisi di bidang arsitektur
hijau dalam membentuk standar penilaian arsitektur hijau terutama untuk
permukiman tradisional di Indonesia,
3
1.4 Kerangka Pikir Penelitian
Desa Adat Penglipuran merupakan sebuah lanskap tradisional yang
memiliki prinsip ekologis dalam adat dan budaya masyarakatnya. Arsitektur hijau
sendiri memiliki parameter dalam pengukuran tingkat hijau. Kedua hal tersebut
dikaitkan sehingga didapatkan prinsip-prinsip arsitektur hijau dalam lanskap Desa
Penglipuran Bali. Prinsip tersebut diperoleh melalui studi pustaka, wawancara,
dan survei lapang yang kemudian dilakukan suatu penilaian dengan melihat 3
parameter dalam LEED for Neighborhood Development Rating System. Hasil dari
penilaian tersebut berupa tingkat hijau lanskap Desa Adat Penglipuran. Tingkat
hijau yang diperoleh akan diketahui kelebihan dan kekurangan/kelemahan dari
desa tersebut terutama dalam prinsip-prinsip arsitektur hijau. Hal-hal yang
menjadi kekurangan/kelemahan tersebut akan dijadikan rekomendasi yang dapat
menjaga dan meningkatkan tingkat hijau dari Desa Adat Penglipuran. Proses
berfikir pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Arsitektur Hijau
Parameter
Arsitektur
Hijau
Lanskap Tradisional Desa
Penglipuran
Bali
Adat
Penglipuran
Prinsip-prinsip Ekologis Masyarakat
Tradisional Desa
DesaAdat
Panglipuran
Bali
Tradisional
Penglipuran
Studi Pustaka
Wawancara Masyarakat / Pakar
Survei Lapang
Prinsip-prinsip Arsitektur Hijau dalam Lanskap Tradisional Desa
Penglipuran
Adat Penglipuran menurut
LEED for Bali
Neighborhood Development
Smart Location and
Linkage
Neighbourhood
Pattern and Design
Green Construction
and Technology
Tingkat
Penglipuran
TingkatHijau
HijauLanskap
LanskapDesa
DesaAdat
Penglipuran
Baliberdasarkan
berdasarkan
LEEDfor
forNeighbourhood
Neighborhood Development
LEED
DevelopmentRating
RatingSystem
System
Penglipuran
Rekomendasi bagi Desa
Desa Adat
Penglipuran
Bali dalam menjaga dan
meningkatkan tingkat hijaunya
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Latar Belakang Arsitektur Hijau
Vitruvius dalam bukunya Ten Books on Architecture terjemahan Morris H.
Morgan (1960) menyatakan bahwa arsitektur harus memenuhi tiga unsur, yaitu
Firmitas (ketahanan), Utilitas (kegunaan), dan Venustas (keindahan). Membuat
karya yang kokoh dan indah berarti kita menciptakan karya seni murni seperti
patung, dan bila kita membuat karya yang hanya fungsional dan kokoh, maka kita
menciptakan bangunan. Karya arsitektur harus memenuhi ketiga unsur diatas atau
penambahan unsur keindahan pada sebuah bangunan. Hal tersebut yang menjadi
konsep perkembangan arsitektur klasik. Kehidupan, bentuk aktivitas, ilmu
pengetahuan dan teknologi telah berkembang sehingga membawa pertambahan
terhadap sumber energi sampai pada penggunaan bahan bakar minyak, listrik, dan
nuklir. Ketergantungan bangunan terhadap penggunaan energi semakin tinggi
ketika arsitek membuat bangunan tinggi yang harus dilengkapi dengan mesin
angkut vertikal (elevator), pompa air, mesin pendingin ruangan, dan lainnya.
Penggunaan energi besar-besaran merupakan suatu faktor yang selalu melekat
dalam karya arsitektur (Karyono 2010).
Embargo minyak terhadap Blok Barat (Amerika dan sekutunya di Eropa
Barat) oleh negara Arab pada tahun 1973 menyebabkan krisis energi pada negaranegara barat. Hal tersebut membawa perubahan besar dalam dunia arsitektur. Para
arsitek di negara Barat mulai sadar betapa pentingnya energi bagi dunia arsitektur.
Komisi PBB untuk lingkungan dan pembangunan membuat suatu deklarasi yang
dikenal dengan Brundtland report yang di dalamnya mendefinisikan tentang
Pembangunan Berkelanjutan (Karyono 2010). Menurut World Commision and
Environment Development (WCED) (1987) dalam Pranoto (2008), Pembangunan
Berkelanjutan adalah “the development which meets the needs of present, without
compromising the ability of future generation to meet with their own needs”.
Pernyataan tersebut bertujuan agar sebuah desain berkelanjutan dapat
meminimalisasi dampak negatif terhadap sumberdaya sosial, ekonomi, dan
ekologi.
Dalam mencapai kondisi berkelanjutan tersebut muncullah pemikiranpemikiran dan pendekatan-pendekatan baru dalam desain diantaranya desain
ekologis (ecological design), desain berkelanjutan secara ekologis (ecologically
sustainable design), desain hijau (green design), dan lainnya adalah istilah-istilah
yang menggambarkan penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam merancang
bangunan maupun lanskap (Kibert 2008).
2.2 Arsitektur Hijau
Arsitektur hijau merupakan arsitektur yang berwawasan lingkungan dan
berlandaskan kepedulian tentang konservasi lingkungan global alami dengan
penekanan pada efisiensi energi (energy-efficient), pola berkelanjutan
(sustainable) dan pendekatan holistik (holistic approach). Credo form follows
energy diperluas menjadi form follows environment yang berdasarkan pada prinsip
recycle, reuse, reconfigure (Priatman 2002).
5
Robert dan Brenda Vale (1991) mengatakan bahwa pendekatan hijau untuk
lingkungan binaan melibatkan pendekatan holistik dengan desain bangunan,
semua sumber daya yang masuk pada sebuah gedung akan menjadi material,
bahan bakar, atau kontribusi pengguna yang perlu untuk dipertimbangkan jika
arsitektur berkelanjutan dibuat untuk kesehatan manusia. Pendapat Sim Van Der
Ryn dan Calthorpe (1996) menjelaskan bahwa kita harus dapat memasukkan
sebuah pemahaman ekologi yang mendalam pada suatu desain dari produk,
bangunan, dan lanskap.
Menurut Brenda dan Robert Vale (1991), terdapat 6 prinsip dasar dalam
perencanaan Green Architecture:
1.
Conserving energy, yang berarti sebuah karya arsitektur seharusnya didesain
atau dibangun dengan pertimbangan yang meminimalisir penggunaan bahan
bakar fosil.
2.
Working with climate, suatu karya arsitektur seharusnya didesain untuk
bekerja baik dengan iklim dan sumber daya energi alam.
3.
Minimizing new resources, suatu karya arsitektur seharusnya didesain untuk
meminimalisir penggunaan sumber daya dan pada akhir penggunaan dapat
dimanfaatkan untuk keperluan lainnya.
4.
Respect for users, arsitektur hijau mempertimbangkan kepentingan manusia
yang terlibat didalamnya.
5.
Respect for site, suatu karya arsitektur didesain dengan meminimalisir
perusakan alam.
6.
Holism, semua prinsip diatas harus menyeluruh dijadikan sebagai
pendekatan dalam membangun sebuah lingkungan.
2.3 Standar Pengukuran Arsitektur Hijau
Tingkat kehijauan suatu bangunan atau kawasan harus dapat diposisikan
dalam tingkat yang dapat dimengerti atau diukur oleh suatu acuan (standar)
tertentu. Karyono (2010) menjabarkan beberapa alat ukur atau standar yang telah
banyak dirumuskan di negara-negara maju, yaitu:
1.
BREEAM (Building Research Establishment’s Environmental Assessment
Method). BREEAM merupakan acuan penilaian tingkat hijau tertua di
dunia. Parameter yang dinilai BREEAM meliputi 10 aspek, yaitu
manajemen, kesehatan dan kualitas hidup, energi, transportasi, air, material,
limbah, tata guna lahan dan ekologi, polusi, dan inovasi. Standar ini
memberikan lima kategori hasil penilaian, yaitu Pass, Good, Very Good,
Excellent, dan Outstanding.
2.
LEED (Leadership in Energy and Environmental Design). Sistem penilaian
LEED menggolongkan enam tipe proyek, fasilitas, atau bangunan, yakni
bangunan baru, bangunan eksisting, ruang (interior), inti bangunan dan
selubung bangunan, rumah, pengembangan lingkungan perumahan, sekolah,
dan bangunan perbelanjaan. Empat penggolongan sertifikasi yang diberikan
LEED adalah Certified, Silver, Gold, dan Platinum. LEED pada objek
pengembangan lingkungan perumahan terdapat 49 kriteria hijau dalam 4
parameter yang digunakan (Tabel 1).
6
Tabel 1 Parameter LEED for Neighborhood Development Rating System
(Pengembangan Lingkungan Perumahan)
Rating
1. Smart Location & Linkage
a. Brownfield Redevelopment
Nilai Maksimum
2
b. High Priority Brownfield Redevelopment
1
c. Preffered Locations
10
d. Reduced Automobile Dependence
8
e. Bicycle Network
1
f. Housing and Jobs Proximity
3
g. School Proximity
1
h. Steep Slope Protection
1
i. Site Design for Habitat or Wetland Conservation
1
j. Restoration of Habitat or Wetland
1
k. Conservation Management of Habitat or Wetlands
1
2. Neighborhood Pattern & Design
a. Compact Development
7
b. Diversity of Uses
4
c. Diversity of Housing Types
3
d. Affordable Rental Housing
2
e. Affordable For-Sale Housing
2
f. Reducing Parking Footprint
2
g. Walkable Streets
8
h. Street Network
2
i. Transit facilities
1
j. Transportation Demand Management
2
k. Access to Surrounding Vicinity
1
l. Access to Public Spaces
1
m. Access to the Active Space
1
n. Universal Accessibility
1
o. Community Outreach and Involvement
1
p. Food Production
1
3. Green Construction and Technology
a. Certified Green Building
3
b. Energy Efficiency in Building
3
c. Reduced Water Use
3
d. Building Reuse and Adaptive Reuse
2
e. Reuse of Historic Building
1
f. Minimize Site Disturbance through Site Design
1
g. Minimize Site Disturbance during Construction
1
h. Contaminant Reduction
1
i. Stormwater Management
5
j. Heat Island Reduction
1
7
Tabel 1 Parameter LEED for Neighborhood Development Rating System
(lanjutan)
Rating
3. Green Construction and Technology
1
a. Solar Orientation
1
b. On-Site Energy Generation
1
c. On-Site Renewable Energy Sources
1
d. District Heating and Cooling
1
e. Infrastructure Energy Efficiency
1
f. Wastewater Management
1
g. Recycle Content in Infrastructure
1
h. Construction Waste Management
1
i. Comprehensive Waste Management
1
j. Light Pollution Reduction
1
4. Innovation and Design Process
a. Innovation and Exemplary Performance
5
b. LEED Accredited Professional
1
Total
106
Sumber: USGBC (2007)
3.
4.
5.
Green Star (Standar Bangunan Hijau Australia). Standar penilaian Green
Star dicetuskan oleh Green Building Council Australia (GBCA) tahun 2002.
Penilaian ini membagi bangunan ke dalam sejumlah tipe, yakni bangunan
hunian, kesehatan, perbelanjaan, pendidikan, perkantoran baru, dan
perkantoran eksisting.
Green Mark (Standar Bangunan Hijau Singapura). Green Mark dikeluarkan
oleh Building Council Association (BCA) Singapura pada tahun 2005.
Standar ini memberikan penilaian terhadap sejumlah tipe bangunan dan
proyek, yakni bangunan hunian, non-hunian, bangunan eksisting, interior
bangunan kantor, bangunan menapak tanah, infrastruktur, dan taman
baru/lama. Parameter yang dipakai adalah efisiensi penggunaan energi,
efisiensi penggunaan air, perlindungan terhadap lingkungan, kualitas fisik
ruang dalam, aspek hijau lainnya dan inovasi desain. Bangunan yang dinilai
dengan BCA Green Mark diberi predikat tersertifikasi emas, emas plus, dan
platinum.
Greenship (Standar Bangunan Hijau Indonesia). Greenship merupakan
standar bangunan hijau yang dikembangkan oleh Green Building Council
Indonesia (GBCI). Green Building Council Indonesia menyusun standar
bangunan hijau dengan tujuh aspek yang menjadi penilaian, yaitu ketepatan
pengembangan tapak, efisiensi energi, penghematan air, sumber material,
kesehatan serta kenyamanan ruang dalam, dan kondisi lingkungan
bangunan.
8
2.4 Arsitektur Tradisional di Indonesia
Wiranto (1999) mengatakan bahwa kebudayaan Indonesia bukan sesuatu
yang padu dan bulat tetapi tersusun dari berbagai rona elemen budaya yang
bervariasi. Perjalanan sejarah Indonesia yang panjang membentuk sistem
kebudayaan yang berlapis-lapis. Empat lapis kebudayaan Indonesia tersebut,
yakni kebudayaan Indonesia asli, kebudayaan India, kebudayaan Arab-Islam, dan
kebudayaan modern Eropa-Amerika. Salah satu bentuk budaya hasil dari
perjalanan waktu dan keunikan tempat adalah arsitektur tradisional.
Menurut Prijotomo & Sulistyowati (2009), istilah ‘Arsitektur Tradisional
Indonesia’ merupakan istilah yang diberikan oleh ilmuwan dan penulis kolonial
Belanda di zaman sebelum perang dunia dua. Sebutan yang berasal dari kata
Belanda ‘traditioneele architectuur’ itu diberikan bagi karya-karya arsitektur asli
daerah di Indonesia dengan beberapa alasan. Alasan pertama adalah untuk
membedakan jenis arsitektur yang timbul, berkembang dan merupakan
karakteristik suku-suku bangsa di Indonesia dari jenis arsitektur yang tumbuh atas
dasar perkembangan arsitektur di Eropa, khususnya Belanda. Alasan kedua adalah
karena masyarakat asli Indonesia masih mempertahankan bentuk arsitekturnya
sebagai warisan dari generasi ke generasi tanpa menunjukkan adanya perubahan
mendasar.
2.5 Masyarakat dan Budaya Arsitektur Bali
Masyarakat Bali menerapkan sendi-sendi agama, adat istiadat, kepercayaan,
dan religi dalam segala aspek kehidupan sehari-hari, termasuk juga dalam budaya
arsitektur mereka. Penerapan sendi-sendi agama, adat istiadat, kepercayaan, dan
religi masyarakat tradisional Bali pada arsitektur mereka, terangkum dalam kaidah
dasar arsitektur tradisional Bali atau yang biasa dikenal dengan Asta Kosala
Kosali. Oleh Budihardjo (1991) kaidah ini dikonsepsikan menjadi tujuh kaidah
dasar arsitektur tradisional Bali.
2.5.1 Hirarki Ruang
Masyarakat Bali yakin untuk menciptakan sebuah kehidupan bahagia yang
harmonis bersumber pada keharmonisan tiga hubungan, yaitu hubungan antara
manusia dengan Tuhannya, manusia dengan alam semesta, dan manusia dengan
sesama. Keyakinan ini dirangkum dalam sebuah konsep Tri Hita Karana, yang
kemudian dimanifestasikan dalam konsep Tri Angga dan Tri Loka. Secara umum,
kedua konsep ini merupakan turunan dari tiga unsur pengatur keseimbangan yang
telah dijelaskan dalam Tri Hita Karana dalam bentuk tiga nilai fisik, yaitu Utama,
Madya, dan Nista.
9
Gambar 2 Hierarki ruang secara vertikal dan horizontal
(Budihardjo, 1991)
2.5.2 Orientasi Kosmologi
Pada pembentukan ruang, konsep Tri Angga maupun Tri Loka digunakan
sebagai dasar konsep tata ruang secara vertikal, dimana daerah tertinggi memiliki
nilai Utama dan daerah terendah bernilai Nista, sedangkan diantaranya bernilai
Madya. Secara horizontal, pembentukan ruang menggunakan konsep turunan Tri
Angga dan Tri Loka, konsep Nawa Sanga yang membagi ruang menjadi 9
orientasi, yaitu 8 arah mata angin dan satu titik pusat atau Puseh.
Gambar 3 Penerapan sembilan orientasi pada pekarangan
(Budihardjo 1991)
2.5.3 Keseimbangan Kosmologi
Agama Hindu sebagai kepercayaan hampir semua penduduk Bali,
mengajarkan umatnya untuk hidup harmonis dengan alam semesta dan segala
isinya yang tersirat dalam konsep manik ring cucupu. Di dalam konsep ini,
seluruh kehidupan dan keadaan alam semesta yang terdiri dari lima unsur
pembentuk (Panca Mahabhuta), yaitu cairan, sinar, angin, udara, tanah, dan zat
padat, masing-masing memiliki nilai yang berlawanan (Rwa Bhineda). Hal ini
juga diterapkan pada arsitektur tradisional Bali.
2.5.4 Ukuran Tubuh Manusia
Keunikan lain dari arsitektur tradisional Bali adalah masyarakat Bali
menentukan ukuran-ukuran bangunan mereka berdasarkan ukuran dari bagian
tubuh mereka, seperti tangan jari, telapak kaki, dan sebagainya. Dengan
menerapkan ukuran bagian dari tubuh mereka pada ukuran-ukuran bangunan,
ruang hidup mereka menyesuaikan dengan proporsi dan skala mereka yang hidup
disana, sehingga tercapai kenyamanan didalamnya.
10
Gambar 4 Ukuran bagian tubuh sebagai
dasar ukur di Bali (Adhika 1994)
2.5.5 Konsep Open Air
Massa bangunan arsitektur tradisional Bali cenderung terdiri dari unit-unit
bangunan terpisah dengan lahan terbuka sebagai elemen penghubung. Konsep
open air ini juga dinilai cocok untuk menghadapi kondisi fisik alam Bali yang
beriklim tropis.
2.5.6 Kejelasan Struktur
Struktur pada bangunan diperlihatkan secara eksplisit, menjelaskan
bagaimana metode struktur bekerja. Konsep ini menampakkan kejujuran dan
keteraturan pada setiap struktur.
2.5.7 Kejujuran Material
Arsitektur tradisional Bali menampilkan material bangunan dengan semua
karakter asli secara jujur seperti apa yang terlihat pada alam sebagai suatu cara
untuk mencapai keharmonisan.
2.6 Tata Ruang Desa Penglipuran
Dwijendra (2009) menyatakan bahwa falsafah hubungan yang selaras antara
alam dan manusia, dan kearifan manusia yang mendayagunakan alam dapat
membentuk suatu ruang kehidupan yang seimbang antara buana agung dan buana
alit yang diwujudkan dalam konsep Tri Hita Karana (Parahyangan, Pawongan,
Palemahan). Konsep ini terlihat jelas dan dijabarkan dalam tata letak dalam desa
ini. Pola desa yang terbentuk tak lepas dari pengaruh kepercayaan yang dianut
masyarakat Penglipuran yang dibawa leluhurnya, yaitu dari Desa Bayung Gede.
Pola tersebut terbagi dalam 2 bagian sebagai berikut:
11
Gambar 5 Pola Desa Adat Penglipuran (Dwijendra 2009)
Data monografi Desa Adat Penglipuran 2001 menyatakan bahwa pola
penataan ruang dan tata letak bangunan tradisional di Penglipuran menggunakan
pola dasar Nawa Sanga, yaitu penggabungan orientasi antara gunung dan laut
serta terhadap peredaran matahari. Ciri yang menonjol adalah As Utara Selatan
(Kaja-Kelod dengan Axis Linier). Axis ini juga berfungsi sebagai ruang terbuka
untuk kegiatan bersama. Ruang terbuka membagi desa menjadi dua bagian BaratTimur (Kauh-Kangin). Ruang terbuka Desa Penglipuran menanjak kearah gunung
(utara) dimana terdapat bangunan suci yang berorientasi kepada Gunung Batur.
Masyarakat Desa Penglipuran yang keseluruhannya beragama Hindu ini
memiliki tata ruang desa yang khas, dengan konsep Tri Mandala, dimana arah
timur laut merupakan Utama Mandala atau tempat paling suci untuk bangunan
pura, Madya Mandala untuk aktivitas keluarga sehari-hari dan tempat tinggal, dan
Nista Mandala di bagian selatan untuk kuburan warga. Pola tata ruang pekarangan
sangat jelas pada rumah keluarga di jejer barat, dimana bagian depan merupakan
Utama Mandala, bagian tengah merupakan Madya Mandala, dan bagian belakang
merupakan Nista Mandala, terdapat kamar kecil, kandang ternak, tempat sampah,
dan lainnya (Astuti 2002).
12
3 METODOLOGI
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Adat Penglipuran yang secara administratif
terletak di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali
(Gambar 6). Waktu penelitian di lapang dilakukan selama dua bulan, pada bulan
Maret dan April 2013. Pengolahan data dilakukan pada bulan Mei dan Juni 2013.
Gambar 6 Lokasi Desa Adat Penglipuran
(BAPPEDAPM Bangli 2005)
13
3.2 Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui tahapan inventarisasi, analisis dan penilaian
berdasarkan LEED for Neighborhood Development Rating System, serta sintesis.
Adapun penjelasan mengenai tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1.
Inventarisasi atau pengumpulan data dengan metode survei. Data yang
dikumpulkan meliputi pemilihan tapak, desain dan pola permukiman, dan
teknologi konstruksi hijau (Tabel 2). Data didapatkan melalui observasi
lapang, wawancara, dan studi pustaka. Observasi lapang dilakukan untuk
mengetahui kondisi eksisting Desa Adat Penglipuran yang menjadi objek
secara spasial. Pengambilan data mengenai kondisi rumah tinggal dalam
area inti desa dilakukan dengan menentukan sampel rumah tinggal secara
acak pada pemukiman bagian barat dan timur yang memiliki fisik berbeda.
Pemukiman pada inti desa juga terbagi oleh sirkulasi menjadi bagian utara
dan selatan. Sampel yang diambil berjumlah 4 rumah secara acak, yang
masing-masing mewakili setiap bagian pada area inti desa (Gambar 7).
Gambar 7 Letak sampel tempat tinggal pada area inti desa
14
Wawancara dilakukan secara langsung kepada Ketua Adat Desa
Penglipuran, Kepala Lingkungan Desa Penglipuran, dan 2 tokoh masyarakat
Desa Adat Penglipuran. Dalam wawancara responden sebagai narasumber
harus benar-benar bebas dari pengaruh luar (Sugiyono 2007) dan responden
tidak mengetahui bahwa selama percakapan secara informal tersebut
bertujuan untuk pengumpulan data. Studi pustaka dilakukan dengan
mengumpulkan data-data sekunder dari dokumen desa, hasil penelitian lain,
dan instansi pemerintah setempat. Mencari informasi dan data dari literatur
yang terkait tentang Desa Adat Penglipuran dan arsitektur hijau.
Tabel 2 Jenis, bentuk, cara pengambilan, dan sumber data yang akan diambil
Jenis Data
1.
a.
Pemilihan tapak dan penghubung
Kondisi awal tapak, kondisi
lingkungan sekitar tapak, tata guna
lahan, rekayasa lanskap, topografi,
aksesibilitas desa, persebaran
vegetasi dan satwa, kondisi badan air,
pengelolaan habitat lokal
2.
a.
Desain dan pola permukiman
Kepadatan rumah tinggal, peruntukan
rumah tinggal, letak fasilitas publik
sekitar desa
Fasilitas parkir, pola sirkulasi,
kondisi fisik jalan
b.
c.
3.
a.
2.
Luas dan jarak ruang terbuka dari
rumah tinggal, fasilitas jalan dan
transportasi, partisipasi masyarakat
dalam pembangunan, letak pasar
tradisional dan lahan pertanian
Teknologi dan konstruksi hijau
Sistem & pengelolaan air irigasi,
penggunaan kembali bangunan tidak
terpakai, rehabilitasi cagar budaya,
pemeliharaan tapak terkontaminasi,
sumber energi alternatif, infrastruktur
hemat energi, pengelolaan limbah
(cair dan padat), material pada
hardscape
Bentuk Data
Cara
Pengambilan
Sumber
Peta, foto, teks
Survei, studi
pustaka,
wawancara
Lapang,
BALITBANG
pengelola,
penduduk asli,
literatur
Peta, foto, teks
Survei,
wawancara
Lapang,
penduduk asli
Peta, foto, teks
Survei, studi
pustaka
Lapang,
pengelola
Peta, foto, teks
Survei
Lapang
Foto, teks
Survei,
wawancara
Lapang,
pengelola,
penduduk asli
Analisis dan penilaian berdasarkan LEED for Neighborhood Development
Rating System (USGBC 2007) dilakukan dengan metode skoring dari
parameter-parameter yang diukur didalamnya. Parameter yang dinilai,
meliputi smart location and linkage (pemilihan tapak dan penghubung),
Neighborhood pattern and design (desain dan pola permukiman), green
construction and technology (teknologi dan konstruksi hijau). Kriteriakriteria yang digunakan sebagai dasar penilaian tercantum pada Tabel 3.
15
Tabel 3 Kriteria LEED for Neighborhood Development Rating System yang
digunakan
Rating
Tolok Ukur
1. Smart Location & Linkage
Brownfield
Redevelopment
Preffered
Locations
Reduced
Automobile
Dependence
Bicycle Network
Housing and
Jobs Proximity
Pemukiman berada pada tapak yang
terkontaminasi oleh polusi (udara, tanah,
air), dan harus melakukan pemulihan atau
remediasi untuk penggunaan di masa
yang akan datang.
Pemukiman berada pada tapak dimana
75% dari luasnya telah terbangun (adanya
konstruksi awal, paving, dan rekayasa
lanskap) (10 poin), atau
Pemukiman berada pada tapak dimana
25% dari luasnya telah terbangun (adanya
konstruksi awal, paving, dan rekayasa
lanskap) (5 poin).
Sejumlah 50% dari rumah tinggal dan
tempat bekerja berada pada jarak 400
meter dari halte angkutan umum.
Memiliki jalur khusus sepeda yang
menghubungkan permukiman dan tempat
bekerja terdekat, dan fasilitas parkir
sepeda pada bangunan yang bukan rumah
tinggal.
Sejumlah 25% tempat bekerja penduduk
terletak pada jarak 800 meter dari 50%
rumah tinggal pada permukiman.
Nilai Evaluasi
Nilai
Nilai
Maksimum
21
2
2
5-10
10
1
1
1
1
3
3
School Proximity
Pemukiman berada dalam jarak 800
meter dari sekolah terdekat.
1
1
Steep Slope
Protection
Minimum dalam melakukan pengubahan
bentuk lahan (slope protection) (<15%)
1
1
Site Design for
Habitat or
Wetland
Conservation
Tidak mengganggu habitat spesies
dilindungi jika terdapat pada tapak atau
membuat penyangga disekitarnya, atau
melakukan perlindungan terhadap badan
air yang terdapat pada tapak (jika
terdapat badan air pada tapak).
1
1
Restoration of
Habitat or
Wetland
Menggunakan tanaman lokal, atau
memulihkan habitat lokal atau badan air
pada tapak seluas minimal 10% area
terbangun.
1
1
16
Tabel 3 Kriteria LEED for Neighborhood Development Rating System yang
digunakan (lanjutan)
Rating
Tolok Ukur
Nilai Evaluasi
Nilai
Nilai
Maksimum
1. Smart Location & Linkage
Conservation
Management of
Habitat or
Wetlands
Membuat rencana pengelolaan jangka
panjang untuk konservasi habitat lokal
(pada tapak dengan habitat lokal
dilindungi) atau membuat rencana
pengelolaan jangka panjang untuk
konservasi badan air (pada tapak dengan
badan air).
1
1
2. Neighborhood Pattern & Design
Compact
Development
Kepadatan pemukiman memenuhi nilai
dibawah ini (DU/acre):
a.
10-20 (1 poin)
b.
20-30 (2 poin)
c.
30-40 (3 poin)
d.
40-50 (4 poin)
e.
50-60 (5 poin)
f.
60-70 (6 poin)
1
14
1-7
7
1-4
4
1-3
3
g.
Diversity of Uses
Diversity of
Housing Types
>70
(7 poin)
Sejumlah 50% unit rumah tinggal berada
dalam jarak 800 meter dari 2 (1 poin), 4
(2 poin), 7 (3 poin), dan 10 (4 poin)
tempat-tempat publik berikut (list of
diverse uses):
a. Bank
b. Toko kebutuhan sehari-hari
c. Fasilitas rekreasi outdoor
d. Perpustakaan
e. Rumah Sakit atau Puskesmas
f. Apotek
g. Tempat ibadah
h Kantor polisi
i. Kantor pos
j. Sekolah
k. Pasar tradisional.
Memenuhi angka Simpson Diversity
Index (1-Σ(n/N)2) sebesar:
a.
0.5-0.6 (1 poin)
b.
0.6-0.7 (2 poin)
c.
> 0.7
(3poin)
n: jumlah DU dengan satu kepala
keluarga
N: jumlah DU dengan >1 kepala keluarga
17
Tabel 3 Kriteria LEED for Neighborhood Development Rating System yang
digunakan (lanjutan)
Rating
Tolok Ukur
Nilai Evaluasi
Nilai
Nilai
Maksimum
2. Neighborhood Pattern & Design
Reducing Parking
Footprint
Walkable Streets
Street Network
Transit Facilities
Transportation
Demand
Management
Access to
Surrounding
Vicinity
Menempatkan seluruh fasilitas parkir
pada bagian samping atau belakang
bangunan, dan membiarkan bagian
depan bangunan bebas dari fasilitas
tersebut.
Fasad bangunan menghadap ke
fasilitas publik seperti jalan, plaza, dan
taman (4 poin). Lebar pedestrian
minimal 1.2 meter (4 poin) atau jalan
yang ada pada area pemukiman
dikhususkan untuk kecepatan
kendaraan maksimum 20 km/jam
(4 poin).
Terdapat pedestrian yang
menghubungkan setiap bagian cul-dessacs dari pemukiman.
Terdapat halte angkutan umum
setengah tertutup dengan atap dan
minimal sebuah bangku pada bagian
terluar pemukiman.
Terdapat fasilitas transportasi publik
dari pemukiman menuju pusat kota.
20
2
2
4-8
8
2
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
Universal
Accessibility
Terdapat minimal satu buah fasilitas
jalan penyebrangan setiap 250 m pada
jalan yang dilalui kendaraan bermotor
dalam area pemukiman.
Terdapat ruang terbuka (taman atau
plaza) sebagai area publik dengan luas
minimal 600 m2 dan berada pada jarak
maksimal 300 meter dari rumah
tinggal.
Terdapat ruang terbuka untuk
berolahraga atau kegiatan aktif dengan
jarak 800 meter dari rumah tinggal.
Pedestrian pemukiman dapat dilalui
oleh penduduk segala usia dan cacat.
Community
Outreach and
Involvement
Melibatkan masyarakat setempat dalam
melakukan pembangunan pemukiman
yang ada.
1
1
Food Production
Terdapat budidaya pertanian penduduk
asli atau pasar tradisional dengan jarak
400 meter dari pemukiman.
1
1
Access to Public
Spaces
Access to Active
Spaces
18
Tabel 3 Kriteria LEED for Neighborhood Development Rating System yang
digunakan (lanjutan)
Rating
Tolok Ukur
Nilai Evaluasi
Nilai
Nilai
Maksimum
3. Green Construction and Technology
Reduced Water
Use
Building Reuse
and Adaptive
Reuse
Reuse of Historic
Building
Minimize Site
Disturbance
through Site
Design
Contaminant
Reduction
Heat Island
Reduction
On-Site
Renewable Energy
Sources
Infrastructure
Energy Efficiency
Wastewater
Management
Recycle Content in
Infrastructure
Construction
Waste
Management
Comprehensive
Waste
Management
Menggunakan air tangkapan hujan atau
olahan air buangan untuk kebutuhan
irigasi. dan pekarangan tidak
membutuhkan sistem irigasi permanen.
Menggunakan kembali bangunan yang
tidak terpakai untuk peruntukan
lainnya dan melakukan perbaikan 50%
dari struktur eksisting bangunan.
Melakukan rehabilitasi bangunan cagar
budaya yang telah ditetapkan oleh
pemerintah.
Pengembangan permukiman hanya
dilakukan pada area yang sebelumnya
telah terbangun dan tidak merusak
lingkungan alami yang ada.
Melakukan pemeliharaan berkelanjutan
pada tapak yang terkontaminasi
(Brownfield Redevelopment).
Pada area terbuka (pedestrian, parkir)
menggunakan material dengan nilai
SRI maksimal 29 atau menempatkan
fasilitas parkir pada area ternaungi
(pohon, bawah tanah) dan
50% bangunan permukiman
menggunakan atap hijau (vegetasi)
Terdapat sumber energi alternatif
ramah lingkungan seperti solar, angin,
biomasa, panas bumi, dan lainnya.
Terdapat lampu taman, lampu jalan,
pompa air, dan infrastruktur lainnya
yang hemat energi (mereduksi 15%
energi).
Terdapat pengelolaan air buangan
untuk digunakan kembali sebesar 50%
dari jumlah total air buangan.
Menggunakan material yang dapat
didaur ulang pada jalan, area parkir,
pedestrian, dan elemen keras lainnya.
Menggunakan kembali/mendaur ulang
kurang lebih 50% puing atau sisa
konstruksi yang tidak beracun.
Terdapat tempat pembuangan khusus
untuk sampah berbahaya atau beracun.
Terdapat tempat pemisahan dan
pembuangan sampah yang dapat didaur
ulang kembali serta pengomposan.
12
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
19
3.
Sintesis merupakan tahapan pengolahan hasil analisis dan penilaian
berdasarkan LEED for Neighborhood Development Rating System. Tahap
ini dilakukan penjumlahan semua nilai skoring untuk didapatkan suatu
tingkat hijau dari lanskap Desa Adat Penglipuran. Kemudian dari tingkat
hijau dan penilaian tersebut akan dirumuskan rekomendasi bagi Desa Adat
Penglipuran guna menjaga dan meningkatkan tingkat hijau desa tersebut.
3.3 Batasan Penelitian
Penelitian Kajian Arsitektur Hijau Desa Adat Penglipuran di Bali ini hanya
menggunakan 36 kriteria dalam 3 parameter (dari total 49 kriteria dalam 4
parameter) untuk melakukan penilaian tingkat hijau berdasarkan LEED for
Neighborhood Development Rating System yang dikeluarkan oleh USGBC.
Rekomendasi berupa model lanskap desa diberikan berdasarkan hasil penilaian
tingkat hijau dan tata ruang Desa Adat Penglipuran.
20
4 KONDISI UMUM DESA PENGLIPURAN
4.1 Aspek Fisik
4.1.1 Geografis
Desa Adat Penglipuran termasuk dalam batas administratif pemerintahan
wilayah Desa Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Desa Adat
Penglipuran memiliki luas wilayah 113 Ha yang terdiri dari pekarangan, hutan
bambu, hutan vegetasi lainnya, lahan pertanian, dan permukiman. Desa Adat
Penglipuran terletak 5,5 km sebelah utara Kota Bangli, serta memiliki batas-batas
fisik wilayah sebagai berikut:
Utara
: Desa Adat Kayang
Timur
: Desa Adat Kubu
Selatan
: Desa Adat Gunaksa
Barat
: Desa Adat Cekeng, Sungai Sangsang
Sungai Sangsang yang terdapat pada sebelah barat desa memiliki tebing
yang curam dan air yang bersih mengalir dari utara ke selatan. Sungai ini masih
dimanfaatkan penduduk sekitarnya sebagai pemandian umum, juga sebagai
sumber air ketika air PDAM sedang mati. Jarak tempuh dari Desa Adat
Penglipuran menuju sungai tersebut kurang lebih 750 meter (Pemkab Bangli
2010).
4.1.2 Topografi
Desa Adat Penglipuran terletak pada ketinggian 500-600 m diatas
permukaan laut, sehingga termasuk wilayah dataran tinggi. Permukaan tanah pada
desa mempunyai perbedaan tinggi 5-15 m. Jenis tanah berupa lempung berpasir
berwarna kemerahan (latosol). Terletak pada dataran tinggi yang berlereng
membuat daerah sekitar desa ini banyak dikelilingi kondisi tanah yang curam dan
berupa hutan. Desa ini memanjang dari utara hingga ke selatan dengan kontur
yang menurun (Dwijendra 2003).
4.1.3 Tata Guna Lahan
Tata guna lahan di Desa Adat Penglipuran dilandasi oleh filosofi Tri Angga,
yaitu Hulu (kepala), Antara (badan), Teben (kaki) yang sekaligus menjadi tata
nilai utama, madya, dan nista (Tri Mandala). Penggunaan lahan pada zona Hulu
secara dominan berupa tempat suci/laba pura dan hutan. Zona Antara berisikan
permukiman, fasilitas umum, tegalan, dan hutan. Zona Teben secara dominan
berupa pemakaman, tegalan, dan hutan (Gambar 8). Berdasarkan catatan Statistik
Lingkungan Penglipuran, penggunaan lahan desa sebagai berikut:
Tabel 4 Penggunaan lahan Desa Penglipuran
No
1
2
3
4
5
6
Jenis Penggunaan Lahan
Permukiman dan fasilitas umum
Tegalan
Hutan
Tempat suci
Kuburan
Lain-lain
Total
Sumber: BPS Pemkab Bangli (2008)
Luas (Ha)
5.6
56
41
0.8
7
2.6
113
21
Gambar 8 Tata guna lahan Desa Adat Penglipuran
4.1.4 Iklim
Ditinjau dari segi iklim, Desa Adat Penglipuran memiliki suhu berkisar
antara 18-32 C dan curah hujan rata-rata berkisar 2000-2500 mm/tahun. Curah
hujan tertinggi terjadi bulan Desember-Maret dan terendah pada bulan Agustus
(BPS Pemkab Bangli 2008). Pada tahun 2009 Desa Adat Penglipuran memiliki
curah hujan rata-rata sebesar 2573 mm/tahun, suhu rata-rata mencapai 29 C
dengan kelembaban udara mencapai 85% (BPS Pemkab Bangli 2010).
4.2 Aspek Sejarah
Desa Adat Penglipuran secara pasti tidak diketahui kapan pertama kali
ditempati. Masyarakat mengakui bahwa desa ini terbentuk pada jaman Kerajaan
Bangli yang dimana Kota Bangli sendiri saat ini sudah berusia kurang lebih 793
tahun (Dwijendra 2009).
Kata Penglipuran sendiri memiliki dua arti berbeda yang diakui oleh
masyarakat dan pemuka adat setempat. Arti yang pertama berasal dari kata lipur
yang berarti menghibur. Pondok di hutan sebagai tempat untuk menghibur hati
22
sembari bekerja di ladang yang kemudian menjadi sebuah desa Penglipuran. Arti
kedua berasal dari pengeling pura, sebuah tempat suci untuk mengenang leluhur.
Konon masyarakat Penglipuran pernah bertempur mewakili Kerajaan Bangli
melawan Kerajaan Gianyar sehingga dihadiahkan sebuah tanah oleh Raja Bangli
yang lokasinya sekarang adalah Desa Penglipuran (Dwijendra 2009).
Desa Adat Penglipuran merupakan sebuah desa yang tidak terkena pengaruh
besar pada masa Hindu-Majapahit karena letaknya yang jauh dari pusat kekuasaan
Samprangan-Gianyar. Padmasana sebagai wujud fisik dan simbol pemersatu
umat Hindu yang saat itu terpecah dalam kasta, baru diterima oleh masyarakat
Penglipuran pada tahun 1930. Rumah-rumah tinggal pada Desa Adat Penglipuran
belum semua memiliki padmasana sampai saat ini (Bagus 1979). Desa Adat
Penglipuran mulai ditetapkan sebagai Desa Wisata oleh Pemerintah Daerah Bali
pada tahun 1992 (Astuti 2002).
4.2 Aspek Sosial dan Budaya
Data tahun 2008 diketahui bahwa jumlah penduduk Penglipuran sejumlah
219 KK atau 920 jiwa. Proporsi penduduk laki-laki dan perempuan terbilang
sama, yaitu penduduk laki-laki berjumlah 468 jiwa dan penduduk perempuan
berjumlah 452 jiwa (Tabel 5). Dari tabel tersebut dapat dilihat proporsi penduduk
Desa Adat Penglipuran didominasi oleh kelompok umur 19 tahun keatas yang
mencapai 75.5%, sehingga sebagian besar penduduk Desa Adat Penglipuran
sudah dalam usia dewasa dan tidak berada dalam jenjang pendidikan dasar (BPS
Pemkab Bangli 2008).
Desa Adat Penglipuran merupakan sebuah desa adat sehingga memiliki hak
otonomi, yang berarti memiliki kontribusi besar dalam membantu pemerintah baik
fisik maupun nonfisik. Krama (masyarakat) Desa Adat Penglipuran terdiri atas 2
jenis, yaitu krama pengarep, dan krama pengerob.
Keluarga pengarep merupakan keluarga yang memiliki tanggung jawab
terhadap pembangunan fisik dan menyungsung Pura Kahyangan Tiga. Awig-awig
atau peraturan adat desa telah menetapkan bahwa Desa Adat Penglipuran
memiliki 76 unit kavling Karang Ayahan Desa dan masing-masing kavling
terdapat satu keluarga pengarep. Krama pengarep memiliki kedudukan paling
menonjol dalam suatu keluarga dan dipilih melalui musyawarah keluarga.
Kewajiban dari krama pengarep adalah ngayah (gotong royong dalam upacara),
sembahyang, menyungsung pura dan aset-aset desa adat, serta membayar iuran.
Keluarga pengerob merupakan keluarga Desa Adat Penglipuran selain
Keluarga pengarep. Kewajiban dari krama pengerob adalah ngayah fisik (gotong
royong desa), sembahyang, serta membayar iuran. Krama pengerob sendiri dibagi
menjadi beberapa kelompok atau biasa disebut Sekaa, yaitu Sekaa Baris
(mengatur tarian untuk upacara adat), Sekaa Gong (mengatur penggunaan alat
musik tradisional saat upacara), Sekaa Pratangan (juru masak dalam berbagai
kegiatan), dan Sekaa Teruna (dikhususkan bagi yang belum menikah) (Dwijendra
2009).
23
Masyarakat mengelola wilayah desa mereka secara tradisi turun temurun,
sehingga tidak boleh diperjualbelikan dan hanya diwariskan pada anak laki-laki
yang disetujui keluarga. Bagi yang tidak memiliki anak laki-laki dapat menunjuk
anak dari keluarga besar mereka maupun yang disepakati oleh sistem komunitas
dan keberadaannya. Melakukan poligami tidak diijinkan bagi penduduk desa ini,
hal ini merupakan satu-satunya tradisi yang masih tetap dipertahankan desa sejak
dahulu. Selain merupakan sebuah peraturan adat desa setempat, hal tersebut juga
bertujuan untuk mengendalikan perkembangan penduduk. Hukuman atau sangsi
bagi yang melanggar peraturan adat tersebut akan dikucilkan ke sebuah area
khusus yang disebut karang memadu, sampai saat ini area tersebut belum pernah
dihuni oleh penduduk desa.
Tabel 5 Jumlah Penduduk Desa Berdasarkan Kelompok Umur
No
Kelompok Umur (tahun)
Jumlah
1
0-3
51
2
4-6
34
3
7-12
85
4
13-15
33
5
16-18
36
6
>19
691
Total
920
Sumber: BPS Pemkab Bangli (2008)
4.3 Aspek Ekonomi
Penduduk Desa Adat Penglipuran sebagian besar berprofesi sebagai petani.
Profesi lain yang terdapat pada desa adalah peternak, pedagang, pengrajin, buruh,
tukang, PNS, TNI AD, dan lainnya (Tabel 6).
Tabel 6 Proporsi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
No
Mata Pencaharian
Jumlah
Presentase (%)
1
Petani
115
25
2
Pedagang
25
5
3
Pengrajin
98
22
4
Tukang
45
10
5
Buruh
80
18
6
PNS
38
8
7
TNI
6
1
8
Swasta
16
4
9
Peternak
30
7
Sumber: BPS Pemkab Bangli (2008)
Penduduk Desa Adat Penglipuran yang bermatapencaharian sebagai petani
memiliki proporsi 25% dari jumlah penduduk. Komoditi pertanian yang
dihasilkan dari desa berupa kelapa, bambu, salak, kopi, singkong, jagung, dan ubi
jalar. Hasil pertanian tersebut hanya dipasarkan hingga tingkat kecamatan saja
karena terbilang usaha pertanian skala kecil. Hasil ternak berupa ayam potong
pada desa ini terbilang cukup baik sehingga banyak perusahaan swasta yang
memberikan modal pada peternak di desa ini.
24
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Lanskap dan Arsitektur Desa Adat Penglipuran
Desa Adat Penglipuran terbagi atas tiga zona besar (hulu, antara, dan teben)
yang memanjang dari utara sampai selatan termasuk dalam desa dengan pola
linier. Sumbu linier pertama terlihat jelas berupa ruang terbuka dan jalan pada
bagian tengah desa yang memanjang dari arah utara hingga selatan desa (vertikal).
Sumbu linier ini membagi desa menjadi dua bagian besar, yaitu barat dan timur
(horizontal). Sumbu linier kedua merupakan pola memanjang (arah barat-timur)
dari kavling rumah tinggal pada area inti desa. Ruang terbuka di tengah dan
kavling rumah tinggal ini merupakan perwujudan dari pola dasar Nawa Sanga
(Gambar 9).
Gambar 9 Karakteristik lanskap Desa Adat Penglipuran
Pola linier desa ini mendapat aksen dengan mengikuti arah gunung dan laut
sehingga menjadikan Desa Adat Penglipuran memiliki tempat tertinggi pada
bagian utara (gunung) dan terendah pada bagian selatan (laut). Pada ujung utara
(kaja/hulu/utama) terdapat Pura Puseh Desa (tempat memuja Dewa Brahma
25
sebagai manifestasi Tuhan selaku pencipta) dan Pura Penataran (tempat memuja
Dewa Wisnu sebagai manifestasi Tuhan selaku pemelihara) serta hutan bambu
sebagai area laba pura (lahan yang hasilnya khusus diperuntukkan untuk
kepentingan pura/ibadah/suci). Bagian utara ini merupakan tempat paling suci
pada desa. Bagian tengah desa (madya/antara) merupakan area pemukiman inti
desa dimana terdapat kebun atau tegalan, balai desa atau balai banjar, dan kavling
rumah tinggal yang memanjang dari arah barat sampai timur. Bagian ujung
selatan (Nista/Teben) yang merupakan tempat terendah pada desa terdapat
kuburan desa, Pura Dalem (tempat memuja Dewa Ciwa sebagai manifestasi
Tuhan selaku pelebur), Taman Makam Pahlawan (monumen perjuangan untuk
mengenang leluhur), sekolah dasar, kandang ternak (ayam, sapi, dan babi) dan
tegalan (Gambar 9). Sirkulasi Desa Adat Penglipuran terbagi menjadi dua, yaitu
sirkulasi khusus pejalan kaki dan sirkulasi untuk kendaraan bermotor. Jalan yang
mengikuti pola linier pada bagian tengah desa merupakan sirkulasi khusus pejalan
kaki dan menjadi jalur utama desa yang berupa jalur pedestrian. Jalur pedestrian
ini memanjang pada bagian inti desa dari utara hingga selatan. Sirkulasi untuk
kendaraan bermotor melingkari bagian terluar inti desa yang biasa disebut oleh
masyarakat desa sebagai jalan lingkar. Setiap kavling rumah tinggal pada area inti
desa terhubung pada jalan lingkar ini.
Pola Desa Adat Penglipuran selain terbagi menjadi tiga bagian (utama/suci,
madya, nista) dapat terlihat dari letak hutan serta tegalan yang berada pada bagian
terluar area inti desa. Hutan dan tegalan ini seakan-akan membentengi area inti
desa dari lingkungan luar dan menjadi batas terluar desa. Sebuah jalan berukuran
4 meter menghubungkan pintu masuk desa dengan jalan kolektor pada Kelurahan
Kubu.
Pemukiman penduduk terdiri dari kavling-kavling rumah tinggal dengan
lebar rata-rata 8.5 m dan memanjang kebelakang sampai pada jalan lingkar
disekeliling area pemukiman. Masing-masing kavling terbagi atas tiga zona secara
horizontal (Konsep Tri Mandala), yaitu area tempat suci keluarga (sanggah)
sebagai zona utama pada bagian timur laut (kaja-kangin), area tempat tinggal
(pawongan) sebagai zona madya pada bagian tengah, dan area MCK, tempat
sampah, serta kandang ternak terletak pada zona terluar (nista) dari kavling
tersebut. Area tempat tinggal pada zona madya terdiri dari dapur tradisional di
sebelah utara, Bale Saka Enem di bagian selatan, dan Loji di sebelah barat sebagai
tempat tidur keluarga dan tempat menerima tamu. Ruang terbuka juga terdapat
pada bagian tengah kavling rumah tinggal berupa pekarangan. Pola ini masih
terlihat utuh hingga sekarang dan dipertahankan dalam setiap kegiatan
pembangunan oleh warga desa. Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan
perubahan pada zona nista dengan mendirikan bangunan-bangunan tempat tinggal
baru. Hasil observasi lapang juga menunjukkan banyaknya bangunan-bangunan
rumah tinggal baru diluar area inti desa (Gambar 10). Menurut Jro Bayan
Duwuran dan Jro Bendesa (sesepuh desa), jumlah kavling di Desa Adat
Penglipuran sejak semula sampai kini tetap, yaitu 77 buah. Salah satu diantaranya
disebut karang memadu dan 76 buah sisanya disebut karang kerti (tempat
pengabdian/tempat tinggal). Setiap karang kerti disertai sebidang tanah garapan
yang disebut cecatu (sawah, tegalan, dan hutan bambu). Seluruh kavling rumah
tinggal beserta lahan di dalam area Desa Adat Penglipuran sepenuhnya menjadi
milik Desa Adat sedangkan penghuninya hanya memperoleh hak pakai dan hak
26
guna bangunan. Kavling rumah beserta lahan garapan tidak diijinkan untuk
dibangun diluar ketentuan adat dan awig-awig sehingga tidak mungkin untuk
diperjualbelikan.
jalan utama desa
Gambar 10 Sketsa pola rumah tinggal Desa Adat Penglipuran
Bangunan rumah tinggal, dapur tradisional, dan lainnya memiliki arsitektur
khas tradisional Bali daerah pegunungan dengan atap lancip (kemiringan 45%),
berdinding pendek dan berdiri diatas umpak atau pondasi batu padas. Material
bangunan memakai bahan alami yang ada disekitar desa, yaitu batu dan tanah
lempung untuk pondasi atau lantai, kayu dan bambu untuk bahan konstruksi,
struktur dinding, dan atap (Gambar 11). Seluruh bangunan terlihat hampir serupa,
mencerminkan kesederhanaan, dan keserasian alam dan lingkungan. Penggunaan
ornamen-ornamen khas Bali terlihat menonjol pada bangunan tempat suci
sedangkan pada bangunan rumah tinggal hampir tidak terdapat ornamen yang
berarti. Bahan dan material bangunan ditampilkan apa adanya dengan jujur dan
serasi dengan alam yang merupakan prinsip arsitektural tradisional Bali.
Hasil observasi keempat sampel kavling rumah tinggal pada area inti desa
menunjukkan pola rumah tinggal yang serupa pada keempatnya. Susunan dan
letak bangunan-bangunannya tidak berbeda satu sama lain. Tempat suci di bagian
timur laut, dapur tradisional di utara, bale saka enem di selatan, dan loji di sebelah
barat. Pola tersebut selalu terlihat sama pada keempat sampel rumah tinggal
sedangkan pada zona nista yang seharusnya sebagai tempat ternak, MCK, dan
tempat sampah tersebut terlihat telah berdiri bangunan-bangunan rumah tinggal
dan garasi kendaraan yang berbeda-beda setiap sampelnya. Perbedaan
kemampuan ekonomi keluarga yang tinggal pada masing-masing kavling sampel
rumah tinggal tersebut menimbulkan adanya perbedaan penggunaan material serta
ornamen tradisional pada bangunan-bangunan rumah tinggal yang terletak pada
zona nista yang telah mengalami perubahan bentuk fungsi (Gambar 12).
Gambar 11 Material alami pada bangunan desa
27
Gambar 12 Pola rumah tinggal pada keempat sampel
28
5.2 Identifikasi dan Analisis Konsep Arsitektur Hijau
5.2.1 Pemilihan Tapak dan Penghubung
Aspek pemilihan tapak dan penghubung menjelaskan kearifan yang
digunakan masyarakat penglipuran dalam menentukan lokasi tapak desa dan
membangun Desa Adat Penglipuran. Penentuan lokasi juga memperhatikan
hubungan tapak dengan lingkungan sekitanya. Identifikasi konsep arsitektur hijau
desa pada aspek ini akan dilihat dalam hal berikut ini: kondisi awal desa dan
perkembangannya, kondisi lingkungan sekitar desa, rekayasa lanskap,
aksesibilitas desa, tanaman lokal, kondisi badan air, dan pengelolaan habitat lokal.
5.2.1.1 Kondisi Awal Desa dan Perkembangannya
Desa Adat Penglipuran awalnya merupakan tempat peristirahatan di tengah
hutan bagi prajurit Kerajaan Bangli yang berasal dari Desa Bayung Gede. Letak
tapak desa yang dekat dengan pusat Kota Bangli menjadikan tapak ini dihuni oleh
prajurit yang berasal dari wilayah pegunungan di utara (Desa Bayung Gede).
Hutan bambu yang luas menjadi alasan untuk membuat tempat tinggal pada tapak
ini. Masyarakat tradisional pada saat itu menggunakan bambu sebagai bahan
utama rumah tinggal. Bentuk penataan desa saat itu mengadopsi konsep dari Desa
Bayung Gede.
Desa Adat Penglipuran mulanya hanya berupa barisan pekarangan dan
rumah tradisional di sepanjang poros utama desa yang masing-masing memiliki
luas sama yaitu sikut satak (250 m2). Wilayah lainnya masih merupakan kawasan
tak terbangun berupa hutan dan tegalan (Gambar 13). Perkembangan permukiman
pada zona terluar mulai terjadi pada awal tahun 1980 dimana perkembangan
permukiman tersebut melebar ke arah barat dan timur namum tetap sepanjang
akses linier utara-selatan. Perkembangan yang lebih pesat terjadi pada bagian
timur desa karena letaknya dekat dengan akses jalan menuju pusat Kota Bangli.
Sebuah jalan lingkar yang mengelilingi desa dibangun pada akhir tahun 1980
untuk mengantisipasi perkembangan permukiman yang semakin terus melebar.
Jumlah penduduk yang terus meningkat tidak dapat ditampung oleh kawasan
permukiman inti sehingga banyak permukiman yang muncul di sepanjang jalan
lingkar desa hingga ke bagian selatan. Permukiman modern dengan penggunaan
ganda (sarana tinggal dan komersial) mulai muncul juga di sepanjang jalan lingkar
tersebut pada awal tahun 2000 (Gambar 14).
Gambar 13 Ilustrasi pola permukiman permulaan
29
Gambar 14 Perkembangan Desa Adat Penglipuran
(Kasuma 2009)
5.2.1.2 Kondisi Lingkungan Sekitar Desa
Desa Adat Penglipuran terhubung dengan jalan kolektor menuju pusat Kota
Bangli sehingga memudahkan akses penduduk desa menuju kota yang berjarak
kurang lebih 5 km (Gambar 15). Hasil observasi lapang menunjukkan bahwa
secara garis besar areal Desa Penglipuran terbagi atas tiga bagian besar, yaitu area
permukiman / hunian penduduk yang terletak di tengah-tengah, area pertanian
berupa tegalan (kebun dan ladang), dan area hutan bambu maupun hutan alami.
Area pertanian banyak terdapat pada bagian tengah dan selatan desa diluar area
inti desa. Alih fungsi lahan sawah untuk ditanami cengkeh pada saat dahulu
membuat masyarakat tidak dapat menanami lahan dengan padi kembali. Pada saat
ini warga menanami lahan mereka dengan tanaman seperti singkong, jagung, ubi
jalar, kopi, dan kelapa. Lahan pertanian terdapat pada area yang relatif datar
sedangkan area yang memiliki kemiringan tinggi berupa hutan alami dan hutan
bambu yang terdapat pada bagian utara desa. Pura Penataran pada bagian paling
utara desa yang berbatasan langsung dengan jalan lingkar dan hutan bambu.
Beberapa fasilitas umum atau publik terdapat pada desa ini, seperti Sekolah Dasar,
lapangan terbuka, Bale banjar/bale desa, dan taman makam pahlawan. Akses
menuju fasilitas-fasilitas publik tersebut terbilang baik dan dekat sehingga dapat
dicapai hanya dengan berjalan kaki. Selain berfungsi sebagai tempat tinggal,
beberapa rumah pada area permukiman memiliki fungsi komersial seperti menjual
barang-barang keperluan sehari-hari hingga makanan khas desa ini.
30
Pada area pertanian (tegalan) selain kebun dan ladang juga terdapat kandang
ternak. Ternak yang banyak dihasilkan di desa ini ialah ayam potong. Kandang
ayam potong terletak pada bagian selatan dekat dengan jalan lingkar desa.
Fasilitas Agro Tourism juga terdapat di sebelah selatan desa pada area ini.
Gambar 15 Peta lingkungan sekitar desa
31
5.2.1.3 Rekayasa Lanskap
Letak Desa Adat Penglipuran yang berada dekat dengan wilayah
pegunungan menyebabkan bentuk lahan desa ini berlereng menurun ke arah
selatan dengan kemiringan rata-rata antara 10-45% dengan jenis tanah lempung
berpasir, sehingga sangat cocok untuk area pertanian (Hudyana 2002). Hal
tersebut menjadi indikator bahwa dalam perkembangan area ini hingga menjadi
sebuah desa yang memiliki jumlah penduduk tinggi telah dilakukan rekayasa atau
perubahan bentuk lahan untuk menjadi area terbangun.
Kepala Lingkungan Desa Adat Penglipuran, Ketua Adat, dan masyarakat
setempat mengatakan bahwa warga desa sejak dahulu telah melakukan
pengubahan bentuk lahan tersebut sehingga wilayah yang dahulunya didominasi
oleh hutan bambu tersebut dapat dijadikan area permukiman warga. Namun
pengubahan bentuk lahan tersebut dilakukan dengan kaidah-kaidah adat yang
leluhur mereka percayai dapat menjaga kelestarian lingkungan disektarnya. Salah
satunya dengan melakukan rekayasa secara terasering atau berundag-undag
dengan arah tegak lurus lereng khusus pada wilayah permukiman.
U
Gambar 16 Pola berundag-undag pada permukiman desa
Pengubahan bentuk lahan tersebut dilakukan seminimal mungkin pada area
terbangun saja dan tidak mengganggu lingkungan alami yang secara adat mereka
pelihara untuk keberlangsungan ekologis desa mereka. Mereka percaya bahwa
dengan melakukan terasering tegak lurus arah lereng juga dapat mencegah
bencana alam seperti longsor dan erosi. Hasil observasi lapang menunjukkan
bentuk kontur dari area inti permukiman desa pada Gambar 17.
Area yang diarsir merupakan area terbangun yang telah dilakukan
pengubahan bentuk lahan secara terasering tersebut. Bagian luarnya dikelilingi
tegalan, hutan bambu, dan hutan alami yang tidak diubah bentukan lahannya.
Area terbangun tersebut terdiri dari permukiman warga, jalan desa, pura, dan
fasilitas umum dengan luas 13.64% (15,28 Ha) dari luas seluruhnya.
32
Gambar 17 Peta kontur area inti permukiman desa
5.2.1.4 Aksesibilitas Desa
Berdasarkan data Statistik Lingkungan Penglipuran (2008), profesi petani
(25%), pengrajin (22%), dan tukang (10%) memiliki presentase yang besar
dibanding dengan yang lain. Hasil observasi dan wawancara dengan kepala adat
desa menunjukkan bahwa setiap warga mempunyai lahan pertanian di dalam area
Desa Adat Penglipuran. Profesi pengrajin yang dimaksud adalah pengrajin bambu
yang dilakukan oleh para ibu rumah tangga dan dilakukan pada rumah tinggal
masing-masing. Hasil kerajinan bambu dijual di dalam desa dan di Kota Bangli.
Warga yang berprofesi sebagai tukang bangunan sebagian besar bekerja di dalam
desa sendiri. Mereka dipekerjakan untuk melakukan pekerjaan pembangunan
desa.
Akses menuju tempat pekerjaan bagi profesi petani, pengrajin, dan tukang
tergolong dekat dan dapat dicapai dengan berjalan kaki karena masih berada
dalam area desa mereka sendiri. Lokasi pekerjaan bagi profesi PNS (8%), TNI
(1%), dan Swasta (4%) berada di luar area desa dan pusat Kota Bangli. Akses
Desa Adat Penglipuran menuju area luar desa dan pusat Kota Bangli tidak dilalui
33
oleh angkutan umum sehingga warga desa harus menggunakan kendaran seperti
sepeda motor untuk mencapainya. Desa Adat Penglipuran memiliki satu Sekolah
Dasar pada bagian selatan desa yang berjarak 450 m dari area permukiman
sehingga dapat ditempuh dengan berjalan kaki.
Gambar 18 Sekolah Dasar Negeri 2
pada bagian selatan desa
Beberapa warga desa melakukan aktivitas bekerja mereka menggunakan
sepeda. Namun Desa Adat Penglipuran sendiri belum memiliki jalur khusus
sepeda dan fasilitas parkir sepeda.
5.2.1.5 Tanaman Lokal Desa Penglipuran
Kabupaten Bangli dapat dikatakan sebagai salah satu kabupaten di Bali yang
kaya akan varietas bambu. Subur (2003) menyatakan bahwa di Desa Penglipuran
saja terdapat 15 jenis bambu sedangkan menurut Lugrayasa et al. (2003)
menyatakan di Kabupaten Bangli telah diinventarisasi dan dapat dikumpulkan
sebanyak 18 nomor bambu. Fungsi dan kegunaan bambu sangat beragam baik
sebagai bahan bangunan, bahan baku industri kerajinan, sarana upacara adat,
bahan makanan, bahan baku serat, tanaman penahan erosi, dan konservasi tanah
dan air serta masih banyak yang lainnya. Desa Penglipuran sendiri memiliki hutan
bambu seluas 37.7 Ha (Hudyana 2002). Terdapat 2 spesies bambu yang
teridentifikasi berasal dari Desa Penglipuran sendiri, yaitu Gigantochloa aya
Widjaja & Astuti yang dikenal dengan nama jajang aya dan Gigantochloa taluh
Widjaja & Astuti yang dikenal pula dengan nama jajang taluh oleh penduduk
setempat. Bambu tersebut ditemukan pada hutan bambu sebelah utara desa
(Widjaja et al. 2004) (Gambar 19).
Gambar 19 Gigantochloa aya Widjaja & Astuti (kiri) dan
Gigantochloa taluh Widjaja & Astuti (kanan)
(Widjaja et.al. 2004)
34
Berdasarkan wawancara dengan Ketua Adat Penglipuran dan studi pustaka,
tanaman lokal yang terdapat pada Desa Adat Penglipuran hanyalah kedua jenis
bambu dari marga Gigantochloa tersebut. Namun terdapat tanaman kopi khas
daerah Bangli yang ditanam di Desa Penglipuran yang disebut oleh masyarakat
setempat sebagai Kopi Kopyol Bali. Kopi Kopyol Bali sebenarnya merupakan
kopi jenis arabika sehingga bukan merupakan tanaman spesies lokal dari daerah
ini (Gambar 20).
Hasil observasi lapang menunjukkan bahwa setiap rumah tinggal pada area
permukiman desa memiliki minimal satu buah pohon kamboja. Bunga dari pohon
ini dimanfaatkan oleh masyarakat Bali dan juga warga desa untuk keperluan
upacara dan ibadah mereka. Bentuk percabangan yang unik, ukuran batang yang
besar, dan bunga yang banyak menjadikan kamboja di daerah Bali ini khas atau
berbeda dari kamboja di daerah lain (Gambar 21).
Gambar 20 Kopi Kopyol Bali (Dinas Perkebunan Bali 2011)
Gambar 21 Tanaman kamboja
pada rumah warga
5.2.1.6 Kondisi Badan Air
Sebuah sungai mengalir melewati area perbatasan Desa Adat Penglipuran
dengan Desa Cekeng pada bagian timur. Masyarakat menyebut sungai ini dengan
nama Sungai Sangsang. Hasil observasi dan wawancara dengan Ketua Adat
Penglipuran menunjukkan bahwa badan air yang terdapat pada desa hanyalah
sungai ini. Terletak pada area berlereng, curam, dan dalam sehingga dari titik
pengamatan tidak terlihat dengan jelas keseluruhan bagian sungai (Gambar 22).
Menurut informasi dari Ketua Adat Penglipuran dan masyarakat desa, sungai ini
35
memiliki air yang masih bersih dan dapat digunakan untuk keperluan sehari-hari.
Namun karena sungai ini terletak pada lereng yang curam, masyarakat desa jarang
memanfaatkan sungai ini. Masyarakat desa menggunakan PAM sebagai sumber
air bersih mereka. Peraturan adat desa melarang warganya membuang sampah dan
limbah apapun pada sungai ini karena badan air ataupun sumber air merupakan
benda yang disucikan.
Gambar 22 Kondisi sungai
5.2.1.7 Pengelolaan Habitat Lokal
Menurut Alikodra (2002), habitat adalah suatu kesatuan dari faktor fisik
maupun biotik yang digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup dari
makhluk hidup di dalamnya. Habitat lokal yang dimaksudkan ialah habitat yang
didalamnya terdapat spesies lokal Desa Adat Penglipuran. Hutan Bambu
merupakan habitat lokal dari desa ini, dimana terdapat spesies Gigantochloa aya
Widjaja & Astuti dan Gigantochloa taluh Widjaja & Astuti.
Seluruh Penduduk Desa Adat Penglipuran beragama Hindu dan berpegang
teguh pada tradisi yang mereka warisi secara turun temurun. Peraturan adat atau
yang biasa disebut awig-awig menerangkan bagaimana berperilaku terhadap
lingkungan alam (tumbuhan dan satwa). Informasi mengenai isi awig-awig yang
menerangkan tentang memelihara lingkungan didapat dari wawancara dengan
Ketua Adat Penglipuran, antara lain dapat diringkas sebagai berikut:
1.
Alam (Bhuana Agung) dan diri manusia (Bhuana Alit) adalah analog. Alam
dan Manusia terbentuk dari unsur-unsur yang sama yang disebut dengan
Panca Maha Bhuta, yaitu apah (zat cair), pertiwi (zat padat), bayu (gas), teja
(energi), dan akasa (ruang atau media). Berdasarkan keyakinan tersebut
muncul pemahaman tentang Tattwamasi (aku adalah engkau) yang juga
berlaku terhadap manusia dengan segala isi alam. Apapun yang
diperlakukan manusia terhadap alam maka alampun akan memperlakukan
manusia dengan cara yang sama.
2.
Hubungan manusia dengan alam diibaratkan bagai hubungan janin dengan
ibunya yang lazim diistilahkan dengan manik ing cacupu (janin dalam
rahim). Kalau saja manusia mau menyadari kodratnya sesungguhnya alam
telah menyediakan kebutuhan yang secukupnya.
3.
Menebang bambu (keperluan sehari-hari, adat, dan industri) hanya diijinkan
pada hari tertentu menurut wariga (perhitungan tentang baik-buruknya hari).
4.
Sebagian besar dari luas hutan bambu yang ada dikelola langsung dibawah
Desa Adat sebagai Laba Pura. Sisanya dikelola oleh setiap penduduk
dengan status nanggap atau hak pakai.
36
5.
6.
7.
Hutan bambu tidak diijinkan diubah fungsinya menjadi lahan pertanian, area
terbangun, ataupun fungsi lainnya. Apabila dalam keadaan harus melalui
musyawarah adat bersama warga.
Seluruh makhluk hidup yang terdapat di dalam hutan bambu tersebut tidak
diijinkan untuk diburu atau dibunuh.
Warga yang tidak mematuhi peraturan adat tersebut akan mendapat sanksi
sosial berupa pengucilan.
5.2.2 Desain dan Pola Permukiman
Aspek desain dan pola permukiman menjelaskan budaya dan nilai-nilai
yang terdapat dalam pengaturan ruang Desa Adat Penglipuran. Desa Adat
Penglipuran yang merupakan salah satu desa tradisional menunjukkan pengaruh
pengaturan ruang yang mereka miliki terhadap keberlanjutan desa. Hal tersebut
mengindikasikan adanya konsep arsitektur hijau di dalamnya. Identifikasi konsep
arsitektur hijau desa pada aspek ini akan dilihat dalam hal berikut ini: kepadatan
rumah tinggal, peruntukan rumah tinggal, letak fsilitas publik, fasilitas parkir, pola
sirkulasi desa, kondisi fisik jalan, dan letak ruang terbuka serta pasar tradisional.
5.2.2.1 Kepadatan Rumah Tinggal
Berdasarkan data observasi lapang, luas area inti permukiman Desa Adat
Penglipuran adalah sebesar 8.14 Ha (20.12 acre). Luasan tersebut mencakup 76
kavling rumah tinggal dan 1 kavling karang memadu yang berada pada poros
utama jalan desa dikurangi dengan luas jalan dan luas area selain 77 kavling
rumah tinggal. Kepadatan rumah tinggal merupakan seberapa besar jumlah area
yang digunakan untuk sebuah rumah tinggal. Nilai kepadatan rumah tinggal
didapatkan dari perbandingan antara luasan tersebut dengan jumlah dwelling unit
yang dalam hal ini berupa 76 kavling rumah tinggal. Nilai kepadatan rumah
tinggal dari area inti Desa Adat Penglipuran sebesar 3.78 DU/acre
Gambar 23 Area perhitungan kepadatan rumah tinggal
37
5.2.2.2 Peruntukan rumah tinggal
Dwelling Unit (DU) merupakan sebuah unit rumah tinggal. Karang kerti
atau sebuah kavling rumah tinggal dapat dikatakan sebagai 1 DU. Satu unit
kavling tersebut dapat terdiri dari lebih dari satu kepala keluarga dan belum tentu
terdapat hubungan keluarga diantaranya. Pengembangan unit kavling tersebut ke
bagian belakang menjadi penyebab banyaknya kepala keluarga yang menghuni
unit kavling tersebut (Gambar 24).
Peruntukan rumah tinggal yang dimaksud disini adalah bagaimana
masyarakat Desa Adat Penglipuran memanfaatkan satu unit kavling tersebut
sebagai tempat tinggal. Hal tersebut dianalisis menggunakan Simpson Diversity
Index dengan terlebih dahulu membuat dua kategori, yaitu jumlah DU dengan
seorang kepala keluarga dan jumlah DU dengan lebih dari satu kepala keluarga.
Hasil pengamatan dan data dari Statistik Lingkungan Desa Adat Penglipuran
tahun 2011 menujukkan bahwa terdapat 21 DU dengan seorang kepala keluarga
dan 55 DU untuk lebih dari satu kepala keluarga sehingga didapatkan nilai
Simpson Diversity Index sebesar 1-(21/55)2 = 0.854 .
Gambar 24 Satu kavling rumah tinggal (DU)
5.2.2.3 Letak fasilitas publik desa
Letak Desa Adat Penglipuran pada dataran tinggi dan berjarak 5.5 km dari
pusat kota membuat desa ini tidak memiliki fasilitas-fasilitas publik seperti rumah
sakit, kantor polisi, pasar tradisional, serta perpustakaan dalam jarak dekat.
Tempat-tempat publik tersebut berada dekat dengan pusat kota. Desa Adat
Penglipuran membangun sendiri beberapa fasilitas publik pada desa mereka untuk
memenuhi kebutuhan warganya. Fasilitas publik seperti sekolah dasar, toko
kebutuhan sehari-hari, dan tempat ibadah umat hindu bagi warga desa terdapat di
dalam area Desa Adat Penglipuran dengan jarak tidak lebih 600 m dari
permukiman warga (Gambar 25).
5.2.2.4 Fasilitas parkir
Area inti permukiman Desa Adat Penglipuran merupakan sebuah area yang
dirancang agar bebas dari kendaraan bermotor. Jalan yang berada di tengah desa
tersebut hanya dapat dilalui oleh pejalan kaki dan sepeda sehingga bagi kendaraan
bermotor hanya dapat melalui jalan lingkar yang mengelilingi area inti
permukiman desa tersebut. Adanya jalan lingkar yang terhubung pada bagian
belakang setiap kavling rumah tinggal menciptakan pola yang seragam, yaitu
fasilitas parkir bagi kendaraan bermotor pada bagian belakang kavling rumah
tinggal. Hal tersebut menciptakan bagian depan rumah tinggal menjadi bebas dari
fasilitas parkir serta kendaraan.
38
Fasilitas parkir pada setiap rumah hampir serupa, yaitu berupa lahan kosong
yang ternaungi oleh atap. Pengamatan lapang pada 4 rumah sampel menunjukkan
dua rumah tinggal tersebut membangun sebuah bangunan khusus untuk
kendaraan (garasi) sedangkan 2 rumah lainnya hanya menggunakan area-area
yang ternaungi untuk memarkir kendaraan mereka (Gambar 26).
Gambar 25 Fasilitas publik desa dan jaraknya dari rumah tinggal
Gambar 26 Fasilitas parkir pada keempat sampel rumah tinggal
39
5.2.2.5 Pola sirkulasi dan jalur pedestrian desa
Sirkulasi Desa Adat Penglipuran terbagi menjadi tiga, yaitu sirkulasi pejalan
kaki, sirkulasi antar kavling rumah tinggal, dan sirkulasi kendaraan bermotor.
Ketiga sirkulasi ini memiliki pola yang berbeda-beda dan telah menghubungkan
seluruh area dalam desa. Khususnya sirkulasi pejalan kaki yang menghubungkan
area permukiman desa dengan tempat bekerja, sekolah, tempat ibadah, hutan, dan
fasilitas desa lainnya.(Gambar 27).
Gambar 27 Pola sirkulasi pada Desa Adat Penglipuran
40
Pedestrian pada area permukiman Desa Adat Penglipuran terbentuk
mengikuti pola sirkulasi pejalan kaki desa ini, yaitu jalan utama desa yang
memanjang dari utara sampai selatan. Jalan utama desa termasuk pedestrian
karena diperuntukkan bagi pejalan kaki bukan untuk kendaraan (sirkulasi pejalan
kaki). Jalan lingkar luar yang mengelilingi area inti desa dan dikhususkan untuk
kendaraan tersebut, belum memiliki pedestrian bagi pejalan kaki.
5.2.2.6 Kondisi fisik jalan desa
Jalan yang terdapat pada desa terdiri dari 2 jenis, yaitu jalan pedestrian
utama desa dan jalan lingkar desa. Kedua jalan ini memiliki kondisi lanskap yang
berbeda. Lanskap jalan lingkar terlihat alami karena disekelilingnya berupa
tegalan dan hutan alami pada bagian barat dan selatan desa. Jalan lingkar bagian
utara dikelilingi oleh hutan bambu yang tebal sehingga terkesan gelap sedangkan
pada bagian timur desa rumah-rumah tinggal diluar area inti mengelilingi jalan
lingkar ini. Kurangnya pohon peneduh terjadi pada jalan lingkar bagian timur ini.
Pada jalan lingkar yang merupakan jalur sirkulasi bagi kendaraan bermotor belum
terdapat sarana penyebrangan khusus. Jalan lingkar desa memiliki lebar 4 m dan
terdapat drainase pada bagian kanan dan kirinya (Gambar 28).
Kondisi lanskap pada jalan pedestrian utama desa dikelilingi oleh angkulangkul (gerbang masuk menuju kavling rumah tinggal warga) dimana seluruh
fasad angkul-angkul tersebut menghadap pada jalur pedestrian ini. Bagian depan
gerbang masuk tersebut terdapat area yang ditumbuhi tanaman hias sepanjang
jalur utama desa. Kombinasi angkul-angkul tradisional khas Desa Adat
Penglipuran, barisan tanaman hias, kontur desa yang berundag-undag
menciptakan suasana budaya tradisional yang kental serta nyaman bagi pengguna
(Gambar 29). Lebar jalur pedestrian ini sebesar 2.6 m dengan drainase dan rumput
di bagian kiri dan kanannya (Gambar 30). Jalur pedestrian yang berundag-undag
ini belum memiliki fasilitas khusus bagi orang berkebutuhan khusus.
Gambar 28 Potongan jalan lingkar Desa Adat Penglipuran
41
Gambar 29 Kondisi lanskap jalan utama desa
Gambar 30 Potongan jalan utama desa (pedestrian)
5.2.2.7 Luas dan jarak ruang terbuka dari rumah tinggal
Desa Adat Penglipuran memiliki ruang terbuka yang berfungsi sebagai
ruang publik dan kegiatan olahraga yang letaknya dekat dari permukiman. Bale
banjar/bale desa dan Taman Makam Pahlawan merupakan sebuah ruang terbuka
yang digunakan untuk kegiatan publik, seperti pertemuan-pertemuan desa
(berkumpul dan musyawarah), kegiatan kelompok-kelompok desa, dan berbagai
kegiatan upacara adat. Ruang terbuka yang berfungsi sebagai sarana olahraga
masyarakat desa terletak pada bagian utara desa berupa lapangan. Lapangan ini
biasa digunakan untuk bermain sepak bola dan bulu tangkis. Gambar berikut
menunjukkan luas dan jarak ruang terbuka tersebut dari keempat sampel rumah
tinggal yang diamati (Gambar 31).
42
Jarak sampel pertama, kedua, ketiga, dan keempat secara berurutan menuju
lapangan adalah 144 m, 187 m, 347 m, dan 386 m. Jarak sampel pertama, kedua,
ketiga, dan keempat secara berurutan menuju bale banjar adalah 224 m, 170 m,
98 m, dan 138 m. Jarak sampel pertama, kedua, ketiga, dan keempat secara
berurutan menuju taman makam pahlawan adalah 523 m, 459 m, 338 m, dan 293
m. Jarak tersebut seluruhnya ditempuh melalui jalur pedestrian desa. Luas
lapangan terbuka yang berbatasan dengan area Pura Penataran, hutan alami dan
rumah tinggal warga adalah 1776 m2. Bale banjar yang terletak dekat pintu masuk
desa memiliki luas sebesar 630 m2. Taman makam pahlawan di sebelah selatan
desa dan terletak dekat dengan sekolah dasar memiliki luas 976 m2.
Gambar 31 Letak ruang terbuka desa dan empat sampel rumah tinggal
43
Gambar 32 Lapangan untuk berolahraga
Gambar 33 Bale Banjar dan area terbuka di sekitarnya
Gambar 34 Taman Makam Pahlawan
5.2.2.8 Pasar tradisional dan hasil pertanian
Masyarakat Desa Adat Penglipuran tidak memiliki pasar tradisional sendiri
yang letaknya di dalam area desa. Pasar tradisional terdekat dari desa terdapat di
Kota Bangli yang berjarak 5.5 km. Mereka menggunakan kendaraan sepeda motor
untuk menuju ke pasar tradisional tersebut. Masyarakat Desa Adat Penglipuran
memang bermatapencaharian utama sebagai petani namun mereka belum dapat
memenuhi seluruh kebutuhan sehari-harinya dari lahan pertanian sendiri. Hasil
pertanian dan perkebunan masyarakat Desa Adat Penglipuran berupa kelapa,
bambu, salak, kopi, singkong, jagung, ubi jalar, dan ternak ayam potong.
5.2.3 Teknologi dan Konstruksi Hijau
Aspek teknologi dan konstruksi hijau menjelaskan kearifan masyarakat
dalam mengelola keberlanjutan desa. Penggunaan material pada bangunan dan
sumber energi alternatif desa juga menjadi bagian dalam keberlanjutan desa.
Identifikasi konsep arsitektur hijau desa pada aspek ini akan dilihat dalam hal
berikut ini: pengelolaan air, pengelolaan bangunan, pengelolaan lingkungan alami,
44
penggunaan sumber energi alternatif, penggunaan infrastruktur hemat energi,
pengelolaan limbah, dan pengelolaan material.
5.2.3.1 Sistem dan pengelolaan air irigasi untuk rumah tinggal
Area permukiman Desa Adat Penglipuran memiliki taman atau pekarangan
pada setiap kavling rumah tinggal mereka. Taman tersebut terletak sepanjang
area luar tembok rumah tinggal dan pada halaman dalam rumah tinggal mereka.
Pola tersebut dimiliki oleh keempat sampel rumah tinggal yang diamati (Gambar
35). Berdasarkan informasi yang didapat dari wawancara dengan Kepala Adat
Desa Penglipuran dan penghuni keempat sampel rumah tinggal, mereka tidak
secara khusus menyiapkan saluran irigasi untuk menyirami tanaman hias yang ada
pada rumah tinggal mereka. Mereka mengandalkan air hujan yang turun untuk
kebutuhan irigasi taman mereka dimana curah hujan rata-rata pada tahun 2009
sebesar 2573 mm. Tanaman yang terlihat kering baru akan disiram menggunakan
air dari PAM yang terdapat pada masing-masing rumah tinggal. Warga tidak
memiliki pengelolaan air untuk irigasi seperti air tangkapan hujan maupun air
sungai untuk digunakan.
Gambar 35 Pekarangan pada kavling rumah tinggal
5.2.3.2 Penggunaan bangunan tidak terpakai
Menurut sumber dari Kepala Adat Desa Penglipuran dalam wawancara,
walaupun umur desa mencapai ratusan tahun tetapi desa tidak pernah memiliki
bangunan-bangunan yang sama sekali tidak terpakai. Rumah tinggal yang diwarisi
nenek moyang mereka selalu dihuni oleh anak cucu mereka hingga saat ini.
Kavling rumah tinggal yang berjumlah 77 tersebut sejak awal hingga sekarang
selalu diwarisi bagi keturunan keluarga mereka masing-masing. Bangunanbangunan yang ada sudah memiliki peranan dan fungsinya yang disesuaikan
dengan peraturan adat.
45
5.2.3.3 Rehabilitasi cagar budaya
Berdasarkan UU RI No 11 Tahun 2010, Cagar Budaya adalah warisan
budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar
Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya
di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki
nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau
kebudayaan melalui proses penetapan. Desa Adat Penglipuran dapat ditetapkan
sebagai sebuah Kawasan Cagar Budaya yang didalamnya terdapat lebih dari satu
Bangunan Cagar Budaya namun Kepala Adat dan warga desa menolak untuk
menjadikan desa mereka sebagai Kawasan Cagar Budaya yang ditetapkan oleh
pemerintah. Mereka beralasan bahwa desa ini merupakan milik adat dan leluhur
mereka yang sudah ditetapkan dalam awig-awig desa untuk dijaga keberlanjutan
dan keasliannya sehingga dapat mendatangkan manfaat positif bagi mereka
sendiri. Kepemilikan oleh adat tersebut menjadikan lahan, rumah tinggal, dan
bangunan-bangunan mereka tidak dapat beralih tangan dan dijual kepada orang
lain. Hak pakai hanya diperoleh bagi warga asli Desa Adat Penglipuran.
5.2.3.4 Pengembangan pemukiman
Sejak awal leluhur Desa Adat Penglipuran sudah menetapkan bahwa desa
ini terdiri dari 77 kavling permukiman beserta area pengembangan pada zona
nista di bagian paling belakang setiap kavling rumah tinggal. Hal tersebut berarti
masyarakat dahulu sudah memikirkan apabila terjadi pertambahan jumlah
penduduk area tersebut dapat digunakan sebagai pengembangan permukiman.
Jumlah 77 kavling rumah tinggal tersebut memang tidak berubah hingga saat ini,
namun munculnya rumah tinggal-rumah tinggal baru di luar area inti desa tidak
sesuai dengan konsep awal dari peraturan adat. Peraturan adat menetapkan bahwa
area permukiman hanya pada area inti desa (77 kavling). Hal ini bertujuan
menjaga area penyangga desa yang berupa lingkungan alami desa (hutan alami,
hutan bambu, dan tegalan). Berdasarkan hasil observasi lapang, rumah tinggal
baru diluar area inti tersebut mengambil lokasi pada lingkungan alami desa yang
berupa hutan alami dan tegalan desa (Gambar 36).
Gambar 36 Rumah tinggal pada luar area inti desa
5.2.3.5 Pemeliharaan tapak terkontaminasi
Berdasarkan wawancara dengan kepala adat Desa Penglipuran, desa tidak
memiliki tapak atau area yang terkontaminasi dan mengalami kerusakan yang
berarti saat ini sehingga tidak adanya pemeliharaan khusus bagi tapak yang
terkontaminasi. Warga desa sendiri menjaga dan memelihara lingkungan desa
46
mereka sendiri seperti yang telah diatur dalam peraturan adat dan agama mereka.
Setiap tanggal dan bulan tertentu warga secara khusus melakukan upacara adat
untuk mendoakan alam dan lingkungan tempat tinggal mereka. Mereka percaya
bahwa alam dan lingkungan tersebut memiliki dampak positif dan negatif bagi
keberlangsungan hidup mereka. Merusak alam dan lingkungan seperti membuang
sampah, mencemari sungai, dan menebang pohon sembarangan selain
mendapatkan sanksi adat yaitu pengucilan secara sosial juga merupakan hal yang
dilarang oleh agama mereka.
5.2.3.6 Sumber energi dan infrastruktur hemat energi
Penggunaan sumber energi alternatif ramah lingkungan pada Desa Adat
Penglipuran, seperti tenaga angin, matahari, biogas, dan lainnya belum terlihat.
Warga masih menggunakan listrik sebagai sumber energi utama mereka dalam
berkegiatan sehari-hari. Desa Adat Penglipuran memiliki dapur tradisional yang
masih digunakan sampai saat ini. Dapur tradisional ini masih menggunakan kayu
bakar sebagai bahan bakarnya (Gambar 37). Kayu bakar tidak termasuk sumber
energi yang ramah lingkungan dikarenakan mengeluarkan banyak asap dan
memerlukan potongan kayu-kayu yang ditebang dari pohon sehingga hal tersebut
memiliki dampak negatif bagi lingkungan. Kepala Adat Desa Penglipuran
menyatakan bahwa penerapan sumber energi alternatif pada warga Desa Adat
Penglipuran kurang efektif karena memerlukan biaya tinggi dan kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut. Tidak adanya penggunaan sumber
energi alternatif berdampak pada belum adanya infrastruktur hemat energi seperti,
lampu jalan dan lampu taman yang menggunakan sumber energi ramah
lingkungan.
Gambar 37 Kayu bakar sebagai bahan bakar
5.2.3.7 Pengelolaan limbah cair dan padat
Warga Desa Adat Penglipuran belum memiliki suatu pengelolaan khusus
bagi air buangan rumah tangga untuk dapat dipergunakan kembali. Observasi di
lapang terhadap 4 rumah sampel menunjukkan bahwa keempat rumah tinggal
tersebut melakukan kegiatan mencuci alat-alat rumah tangga mereka pada bagian
luar rumah mereka. Keempat rumah tinggal tersebut membuang limbah cair
mereka langsung kedalam tanah (Gambar 38). Bagian terluar rumah tinggal
mereka, yaitu jalan utama desa, memang memiliki saluran drainase yang
memanjang sepanjang jalan tersebut namun warga tidak diperbolehkan
membuang limbah cair dari rumah mereka pada saluran ini. Saluran drainase ini
dikhususkan sebagai saluran buangan air hujan.
Pengelolaan limbah padat seperti pemisahan sampah, belum terlihat pada
Desa Adat Penglipuran. Semua warga mengumpulkan sampah mereka pada satu
47
tempat (Gambar 39). Tempat sampah tersebut dikelola langsung oleh Dinas Tata
Kota Kabupaten Bangli. Pengolahan limbah kamar mandi pada rumah-rumah
tinggal warga saat ini menggunakan septic tank pada bagian belakang kavling
seperti rumah tinggal pada umumnya. Sisa bahan bangunan yang tidak terpakai
dan rusak digunakan warga sebagai bahan konstruksi kandang ternak pada rumah
mereka.
Gambar 38 Pengelolaan limbah cair pada
keempat sampel rumah tinggal
Gambar 39 Tempat sampah Desa Adat Penglipuran
5.2.3.8 Material pada hardscape
Frick (1998) memaparkan tentang klasifikasi bahan atau material bangunan
secara ekologis sebagai berikut:
1.
Bahan bangunan yang dapat dibudidayakan kembali (regeneratif), yaitu
bahan bangunan organik nabati atau hewani yang dapat diaplikasikan
langsung tanpa transformasi dan membutuhkan energi sangat kecil dalam
penggunaannya (kayu, rotan, bambu, alang-alang, kulit binatang, dan
lainnya).
2.
Bahan bangunan alam yang dapat digunakan kembali, yaitu bahan organik
bukan nabati atau hewani yang dapat digunakan langsung, tidak terbarukan
namum dapat digunakan kembali dengan proses sederhana (tanah liat, pasir,
batu alam, dan lainnya).
3.
Bahan bangunan alam yang mengalami perubahan transformasi sederhana,
yaitu bahan mentah bersumber dari alam dan tidak terbarukan yang
kemudian ditransformasi menjadi bentuk lain (batu bata, genting, dan
lainnya). Bahan ini dapat digunakan kembali dengan perlakuan tertentu.
48
4.
Bahan bangunan yang mengalami beberapa tingkat transformasi. Bahan
bangunan yang menggunakan bahan mentah fosil (minyak bumi, arang atau
gas). Material yang dihasilkan berupa material sintetis seperti: plastik,
epoksi, polikarbonat, pvc, dan lainnya.
Desa Adat Penglipuran menggunakan bahan bangunan alami yang dapat
diambil dari lingkungan mereka sebagai bahan bangunan utamanya. Material
alami tersebut banyak terlihat pada bangunan-bangunan tradisional pada desa.
Hasil pengamatan lapang pada empat sampel rumah tinggal dan studi pustaka
menyimpulkan pemilihan material yang seragam terdapat pada hunian mereka
sebagai berikut:
1.
Pura (Merajan) menggunakan bahan batu alam pada bagian lantainya,
konstruksi menggunakan bahan kayu atau bambu. Material penutup atap
menggunakan sirap bambu atau alang-alang (Gambar 40).
2.
Angkul-angkul menggunakan bahan batu alam, batu bata, atau plesteran
dengan konstruksi dari bambu dan penutup atap berupa sirap bambu atau
alang-alang (Gambar 40).
3.
Bale Adat menggunakan kayu sebagai konstruksi. Lantai terbuat dari batu
paras, semen, atau batu bata. Rangka atap terbuat dari bambu atau kayu
dengan penutup atap dari sirap bambu (Gambar 41).
4.
Paon (Dapur tradisional) menggunakan kayu atau bambu sebagai
konstruksi. Tembok terbuat dari bedeg bambu (anyaman bambu), atap
menggunakan rangka bambu, dan penutup atap menggunakan sirap bambu
(Gambar 41).
5.
Bangunan tempat tinggal yang terletak pada bagian belakang menggunakan
bahan utama yang sering digunakan bangunan pada saat ini, yaitu batu bata
dan beton bertulang. Bangunan tersebut masih menggunakan gaya arsitektur
tradisional terlihat dari ornamen-ornamen yang digunakan. Menggunakan
genting untuk penutup atap (Gambar 42).
a
b
Gambar 40 a. Pura pada rumah tinggal b. angkul-angkul salah satu sampel
rumah tinggal
49
a
b
Gambar 41 a. Bale saka enem pada sampel rumah nomor 4
b. Dapur tradisional
Gambar 42 Bangunan rumah tinggal dengan ornamen khas Bali
Pemilihan material pada fasilitas umum seperti jalan, pedestrian, area parkir,
papan penanda, bangku taman, dan bale banjar memiliki kesamaan seperti pada
rumah tinggal mereka. Jalan umum untuk kendaraan memakai material aspal dan
pedestrian dalam area permukiman desa menggunakan beton dengan kombinasi
pasir dan batu kali. Penggunaan paving blok terdapat pada area masuk desa yang
difungsikan sebagai lahan parkir. Pada desa ini belum terlihat adanya penggunaan
material jalan, atap, dan lainnya yang khusus untuk mengurangi efek radiasi dari
sinar matahari. Papan penanda menggunakan material bambu dan kayu yang dicat
agar lebih tahan lama (Gambar 43). Hal serupa juga digunakan pada konstruksi
dan rangka atap dari bale banjar sedangkan bangku taman menggunakan
campuran semen dan pasir yang dibentuk.
Material bambu, kayu, dan alang-alang tergolong bahan bangunan yang
dapat dibudidayakan. Bahan ini dapat diperoleh langsung dari tapak, begitu pula
dengan pengolahannya dilakukan masih dalam area desa sehingga dibutuhkan
energi transportasi yang relatif kecil. Material ini dipergunakan dengan proses
pengolahan yang sederhana dan menghasilkan emisi dalam jumlah kecil. Hampir
75% bangunan dan elemen keras yang ada pada desa menggunakan bahan ini
50
sehingga penggunaannya tergolong efisien dan optimal. Sisa sebagai bahan
mentah dari material bangunan digunakan kembali untuk kebutuhan upacara adat
warga. Hal ini meminimalkan sampah pada lingkungan sehingga bahan dan
material ini tergolong ramah lingkungan.
Gambar 43 Material-material yang digunakan pada fasilitas umum dan
elemen keras lainnya
Material berupa pasir dan batu alam seperti batu padas, batu kali, dan
lainnya termasuk bahan bangunan yang dapat digunakan kembali. Material ini
dapat digunakan langsung untuk bangunan dan fasilitas lainnya dengan proses
sangat sederhana yang membutuhkan energi relatif rendah dan emisi yang kecil.
Walaupun bahan ini bersumber dari materi yang tidak dapat terbarukan tetapi
dapat digunakan terus menerus dengan pengolahan tertentu sehingga bahan ini
tergolong bahan bangunan ramah lingkungan. Material yang mengalami
transformasi sederhana juga digunakan pada bangunan dan jalan pada desa ini.
Penggunaan kembali bahan beton, batu bata, dan genting membuat bahan tersebut
tergolong ramah lingkungan. Warga Desa Adat Penglipuran masih memanfaatkan
sisa genting dan batu bata sebagai bahan untuk membuat kandang ternak disekitar
permukiman mereka sehingga sampah yang dibuang pada lingkungan dapat
diminimalkan.
Material aspal pada jalan lingkar desa tergolong bahan yang tidak ramah
lingkungan karena membutuhkan energi yang besar dalam pengolahannya.
Penggunaan bahan kimia atau fosil juga terdapat didalamnya sehingga
membutuhkan energi dan menghasilkan emisi yang tinggi.
51
5.3 Penilaian LEED for Neighborhood Development Rating System
5.3.1 Pemilihan tapak dan penghubung
Terdapat 10 kriteria tolak ukur dalam parameter pemilihan tapak dan
penghubung. Kriteria yang digunakan dalam penilaian pada parameter ini adalah
Brownfield Redevelopment, Preffered Locations, Reduced Automobile
Dependence, Bicycle Network, Housing and Jobs Proximity, School Proximity,
Steep Slope Protection, Site Design for Habitat or Wetland Conservation,
Restoration of Habitat or Wetland, dan Conservation Management of Habitat or
Wetlands (Tabel 3). Melalui kriteria-kriteria tersebut diketahui presentase nilai
paramater pemilihan tapak penghubung yang didapat oleh Desa Adat Penglipuran.
Penilaian berdasarkan parameter pemilihan tapak dan penghubung disajikan pada
Tabel 7.
Tabel 7 Penilaian berdasarkan parameter pemilihan tapak dan penghubung
Kriteria
Persyaratan Penilaian
Kondisi Fisik Desa
Nilai
1. Smart Location & Linkage
Brownfield
Redevelopment
Menempatkan permukiman pada
tapak terkontaminasi untuk
dilakukan pemulihan pada tapak
tersebut (2 poin)
Desa Adat Penglipuran pada
awalnya berada pada tapak yang
dominan berupa hutan bambu
alami dan tidak terdapat
pencemaran dalam tapak.
0
Menempatkan permukiman pada
tapak yang telah terdapat
konstruksi awal, atau paving atau
rekayasa lanskap.
75% dari luas tapak (10 poin)
25% dari luas tapak (5 poin)
Kondisi awal Desa Adat
Penglipuran berupa area alami
yang tidak terdapat lahan
terbangun sebelumnya (tidak
adanya konstruksi awal, dan
rekayasa lanskap).
0
Reduced
Automobile
Dependence
50% rumah tinggal dan tempat
bekerja berjarak 400 m dari halte
angkutan umum (1 poin).
Tidak terdapat halte angkutan
umum dalam jarak 400 meter dari
Desa Adat Penglipuran.
0
Bicycle
Network
Memiliki jalur sepeda antara
permukiman dan tempat bekerja
dan fasilitas parkir sepeda bukan
pada rumah tinggal (1 poin).
25 % tempat kerja terletak pada
jarak 800 m dari 50 % rumah
tinggal (3 poin).
Tidak terdapat jalur khusus
sepeda antara permukiman dan
tempat bekerja serta fasilitas
parkir sepeda.
Seluruh petani (25%) dan
pengrajin (22%) memiliki tempat
bekerja di dalam area desa dalam
jarak kurang dari 800 m dari area
rumah tinggal inti desa.
School
Proximity
Pemukiman berada dalam jarak
800 meter dari sekolah terdekat
(1 poin).
Sekolah dasar terdapat pada
bagian selatan desa dalam jarak
450 m dari area rumah tinggal inti
desa.
1
Steep Slope
Protection
Minimum dalam melakukan
pengubahan bentuk lahan
(1 poin).
Pengubahan bentuk lahan secara
terasering atau berundag-undag
dilakukan pada area terbangun
dengan presentase 13.64% (15.28
ha) dari total luas 113 ha.
1
Preffered
Locations
Housing and
Jobs Proximity
0
3
52
Tabel 7 Penilaian berdasarkan parameter pemilihan tapak dan penghubung (lanjutan)
Kriteria
Persyaratan Penilaian
Kondisi Fisik Desa
Nilai
1. Smart Location & Linkage
Site Design for
Habitat or
Wetland
Conservation
Tidak mengganggu habitat spesies
dilindungi atau membuat
penyangga disekitarnya, atau
melakukan perlindungan pada
badan air (1 poin).
Restoration of
Habitat or
Wetland
Menggunakan tanaman lokal,
atau memulihkan habitat lokal
atau badan air pada tapak minimal
seluas 10 % area terbangun
(1 poin).
Terdapat rencana pengelolaan
untuk habitat lokal atau badan air
(1 poin).
Conservation
Management of
Habitat or
Wetlands
Tidak terdapat spesies dilindungi
pada tapak desa. Badan air yang
terdapat pada tapak berupa sungai
yang dikelilingi oleh hutan alami.
Peraturan adat desa melarang
untuk merusak badan air.
Penggunaan tanaman lokal berupa
spesies bambu, tanaman kopi
kopyol, dan kamboja khas Bali.
Tidak terdapat pemulihan habitat
lokal dan badan air.
Adanya peraturan adat beserta
sangsi-sangsinya untuk menjaga
badan air yang terdapat pada Desa
Adat Penglipuran ini.
1
1
1
8
Subtotal
5.3.2 Desain dan pola permukiman
Parameter desain dan pola permukiman memiliki 14 kriteria tolak ukur
didalamnya. Kriteria yang digunakan dalam penilaian pada parameter ini adalah
Compact Development, Diversity of Uses, Diversity of Housing Types, Reducing
Parking Footprint, Walkable Streets, Street Network, Transit Facilities,
Transportation Demand Management, Access to Surrounding Vicinity, Access to
Public Spaces, Access to Active Spaces, Universal Accessibility, Community
Outreach and Involvement, dan Food Production (Tabel 3). Penilaian berdasarkan
parameter desain dan pola permukiman disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Penilaian berdasarkan parameter desain dan pola permukiman
Kriteria
Persyaratan Penilaian
Kondisi Fisik Desa
Nilai
2. Neighborhood Pattern and Design
Compact
Development
Diversity of
Uses
Diversity of
Housing Types
Nilai kepadatan penduduk
(DU/Acre): 10-20 (1 poin); 20-30
(2 poin); 30-40 (3 poin); 40-50 (4
poin); 50-60 (5 poin); 60-70 (6
poin); >70 (7 poin).
Nilai kepadatan desa sebesar 3.78
(DU/Acre) dimana tidak
memenuhi rentang nilai yang telah
ditentukan
50 % unit rumah tinggal berada
dalam jarak 800 m dari 2 (1 poin),
4 (2 poin), 7 (3 poin), dan 10 (4
poin) tempat-tempat publik.
Sekolah dasar, toko kebutuhan
sehari-hari, fasilitas rekreasi, dan
tempat ibadah warga desa terdapat
di dalam area desa dengan < 600
m dari rumah tinggal warga.
Simpson Diversity Index (1Σ(n/N)2) sebesar: 0.5-0.6 (1 poin);
0.6-0.7 (2 poin); >0.7 (3 poin).
n: DU dengan satu KK; N: DU
dengan >1 KK.
Nilai Simpson Diversity Index
Desa Adat Penglipuran sebesar
0.854.
0
2
3
53
Tabel 8 Penilaian berdasarkan parameter desain dan pola permukiman (lanjutan)
Kriteria
Persyaratan Penilaian
Kondisi Fisik Desa
Nilai
2. Neighborhood Pattern and Design
Reducing
Parking
Footprint
Fasilitas parkir pada bagian
samping atau belakang bangunan
(2 poin).
Walkable
Streets
Fasad bangunan menghadap ke
fasilitas publik seperti jalan, plaza,
dan taman (4 poin). Lebar
pedestrian >1.2 meter (4 poin)
atau Jalan pada area permukiman
dikhususkan untuk kecepatan
maksimum 20 km/jam (4 poin).
Pedestrian yang menghubungkan
setiap bagian cul-des-sacs dari
pemukiman (2 poin).
Terdapat halte angkutan umum
setengah tertutup dengan atap dan
minimal sebuah bangku pada
bagian terluar permukiman
(1 poin).
Terdapat fasilitas transportasi
publik dari permukiman menuju
pusat kota (1 poin)
Terdapat minimal satu buah
fasilitas jalan penyebrangan setiap
250 m pada jalan yang dilalui
kendaraan bermotor (1 poin).
Terdapat ruang terbuka sebagai
area publik dengan luas > 600 m2
dan berada pada jarak < 300 m
dari rumah tinggal (1 poin).
Street Network
Transit
Facilities
Transportation
Demand
Management
Access to
Surrounding
Vicinity
Access to
Public Spaces
Access to
Active Spaces
Universal
Accessibility
Community
Outreach and
Involvement
Food
Production
Subtotal
Terdapat ruang terbuka untuk
olahraga atau kegiatan aktif
dengan jarak 800 m dari rumah
tinggal (1 poin).
Terdapat fasilitas khusus bagi
penduduk balita, lanjut usia, dan
cacat pada pedestrian
permukiman (1 poin).
Melibatkan masyarakat setempat
dalam melakukan pembangunan
permukiman yang ada (1 poin).
Terdapat budidaya tanaman
pangan atau pasar tradisional
dengan jarak 400 meter dari
permukiman (1 poin).
Fasilitas parkir 4 sampel rumah
berada pada bagian belakang
rumah yang terhubung dengan
jalan lingkar desa.
Fasad angkul-angkul menghadap
jalan utama/pedestrian desa. Lebar
pedestrian desa sebesar 2.4 m.
Jalan lingkar desa tidak
dikhususkan untuk kecepatan
kendaraan maksimum 20 km/jam.
Pedestrian/jalan utama desa telah
menghubungkan setiap bagian
cul-de-sac desa (Gambar 26).
Tidak terdapat halte
angkutan/transportasi umum pada
desa.
Tidak terdapat fasilitas
transportasi umum yang melalui
desa.
Tidak terdapat fasilitas
penyebrangan pada jalan lingkar
desa.
Taman makam pahlawan (976
m2) terdapat dalam jarak rata-rata
403 m, Bale banjar (630 m2)
memiliki jarak rata-rata 158 m
dari 4 sampel rumah tinggal.
Lapangan olahraga dengan luas
1776 m2 dengan jarak rata-rata
266 m dari keempat sampel
rumah.
Tidak terdapat fasilitas khusus
bagi penduduk balita, lanjut usia,
dan cacat pada pedestrian
permukiman.
Musyawarah desa selalu
dilakukan dalam setiap keputusan
yang tidak tercapai oleh peraturan
adat dan adanya gotong royong.
Tidak terdapat budidaya budidaya
tanaman pangan atau pasar
tradisional dalam desa.
2
8
2
0
0
0
1
1
0
1
0
20
54
5.3.3 Teknologi dan konstruksi hijau
Terdapat 12 kriteria tolak ukur penilaian dalam parameter teknologi hijau
dan penghubung, yaitu Reduced Water Use, Building Reuse and Adaptive Reuse,
Reuse of Historic Building, Minimize Site Disturbance through Site Design,
Contaminant Reduction, Heat Island Reduction, On-Site Renewable Energy
Sources, Infrastructure Energy Efficiency, Wastewater Management, Recycled
Content in Infrastructure, Construction Waste Management, dan Comprehensive
Waste Management (Tabel 3). Penilaian berdasarkan parameter desain dan pola
permukiman disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Penilaian berdasarkan parameter teknologi dan konstruksi hijau
Kriteria
Persyaratan Penilaian
Kondisi Fisik Desa
Nilai
3. Green Construction and Technology
Reduced Water
Use
Menggunakan air tangkapan
hujan atau olahan air buangan
untuk irigasi, atau
Pekarangan tidak membutuhkan
sistem irigasi permanen (1 poin).
Pekarangan dalam tiap kavling
rumah tinggal tidak memiliki
sistem irigasi yang permanen
dan mengamdalkan air hujan
untuk menyiram pekarangan.
1
Building Reuse
and Adaptive
Reuse
Menggunakan kembali bangunan
yang tidak terpakai untuk
peruntukan lainnya (1 poin).
Bangunan rumah tinggal selalu
digunakan untuk setiap
keturunan keluarga mereka.
1
Reuse of
Historic Building
Melakukan rehabilitasi bangunan
cagar budaya (1 poin).
Minimize Site
Disturbance
through Site
Design
Contaminant
Reduction
Pengembangan permukiman tidak
merusak lingkungan alami yang
ada (1 poin).
Bangunan-bangunan tradisional
dijaga dan dilestarikan oleh
masyarakat desa.
Pengembangan permukiman
pada luar area inti desa
menggunakan lahan alami yang
dimiliki oleh desa.
Desa melakukan memelihara
lingkungan sekitar tapak yang
diatur dalam peraturan adat.
Melakukan pemeliharaan
berkelanjutan pada tapak yang
terkontaminasi (1 poin).
Pada area terbuka (pedestrian,
parkir) menggunakan material
dengan nilai SRI maksimal 29
atau menempatkan fasilitas parkir
pada area ternaungi (pohon,
bawah tanah) dan
50% bangunan permukiman
menggunakan atap hijau (1 poin).
On-Site
Renewable
Energy Sources
Infrastructure
Energy
Efficiency
Terdapat sumber energi alternatif
ramah lingkungan (1 poin).
Atap rumah tinggal tradisional
desa menggunakan bahan
bambu, namun infrastruktur
belum memiliki material dengan
nilai SRI seperti yang
ditentukan, penempatan plaza
parkir tidak pada tempat
ternaungi, dan tidak adanya atap
hijau.
Tidak terdapat sumber energi
alternatif ramah lingkungan.
Terdapat lampu taman, lampu
jalan, pompa air, dan infrastruktur
hemat energi lain (1 poin).
Tidak terdapat lampu taman,
lampu jalan, dan infrastruktur
lainnya yang hemat energi.
Wastewater
Management
Terdapat pengelolaan air buangan
untuk digunakan kembali sebesar
50% dari jumlah total air buangan
(1 poin).
Tidak Terdapat pengelolaan air
buangan.
Heat Island
Reduction
1
0
1
0
0
0
0
55
Tabel 9 Penilaian berdasarkan parameter teknologi dan konstruksi hijau (lanjutan)
Kriteria
Persyaratan Penilaian
Kondisi Fisik Desa
Nilai
3. Green Construction and Technology
Recycled
Content in
Infrastructure
Menggunakan material yang dapat
didaur ulang pada jalan, area
parkir, pedestrian, dan elemen
keras lainnya (1 poin).
Construction
Waste
Management
Menggunakan kembali / mendaur
ulang kurang lebih 50% puing
atau sisa konstruksi yang tidak
beracun (1 poin).
Terdapat tempat pembuangan
khusus untuk sampah berbahaya
atau beracun, dan
Terdapat tempat pemisahan dan
pembuangan sampah yang dapat
didaur ulang kembali (1 poin).
Comprehensive
Waste
Management
Jalan, area parkir, pedestrian,
papan penanda, bangunan rumah
tinggal, dan bangunan adat
menggunakan material yang dapat
digunakan kembali melalu proses
yang relatif sederhana.
Penggunaan kembali puing atau
sisa bahan bangunan sebagai
material kandang ternak.
Tidak terdapat perlakuan khusus
seperti pemilahan sampah beracun
atau yang dapat didaur ulang pada
desa.
1
1
0
6
Subtotal
5.3.4 Tingkat Hijau Lanskap Desa Adat Penglipuran
Penilaian tingkat hijau berdasarkan LEED for Neighborhood Development
Rating System memberikan 4 tingkat sertifikasi (certification levels), yaitu
certified (37.74%), silver (47.17%), gold (56.60%),dan platinum (75.47%).
LEED Neighborhood Development Rating System terdiri dari 4 parameter dan 49
kriteria tolak ukur memiliki total nilai sebesar 106 poin (100%). Penilaian tingkat
hijau Desa Adat Penglipuran menggunakan 3 parameter dan 36 kriteria tolak ukur
yang ada dalam LEED for Neighborhood Development Rating System sehingga
memiliki total nilai 68 poin. Berikut nilai dan tingkat hijau yang diperoleh oleh
Desa Adat Penglipuran.
Tabel 10 Tingkat hijau Desa Adat Penglipuran
Tingkat Hijau
Certified
Silver
Gold
Platinum
LEED
Penelitian
40-49 poin
(37.74%)
50-59 poin
(47.17%)
60-79 poin
(56.60%)
80-106 poin
(75.47%)
26-31 poin
(37.74%)
32-37 poin
(47.17%)
38-51 poin
(56.60%)
52-68 poin
(75.47%)
Desa Adat Penglipuran
34 poin
Desa Adat Penglipuran mendapa tingkat Silver (34 poin) dalam penilaian
LEED for Neighborhood Development Rating System. Berdasarkan hasil penilaian
tersebut, terlihat masing-masing parameter memiliki nilai presentase yang berbeda
satu sama lain. Penilaian berdasarkan parameter pemilihan tapak dan penghubung
Desa Adat Penglipuran memperoleh nilai 8 poin dari total nilai keseluruhan
sebesar 22 poin atau sebesar 36.36%. Nilai yang didapat Desa Adat Penglipuran
56
dalam penilaian berdasarkan parameter desain dan pola permukiman sebesar 20
poin dari total nilai keseluruhan 34 poin atau sebesar 58.82% sedangkan
berdasarkan parameter teknologi dan konstruksi hijau memperoleh nilai 6 poin
dari total nilai sejumlah 12 poin atau sebesar 50.00%.
Pada parameter atau aspek pemilihan tapak dan penghubung terdapat
kriteria penilaian LEED for Neighborhood Development Rating System yang
tidak dapat dipenuhi oleh Desa Adat Penglipuran. Kriteria brownfield
redevelopment dan preffered locations memiliki persyaratan dimana tapak awal
suatu pemukiman harus menempati area terkontaminasi dan sebelumnya telah
terdapat lahan terbangun. Desa Adat Penglipuran tidak memenuhi syarat tersebut,
namun desa telah memiliki prinsip hijau dalam pemilihan tapak awal pemukiman.
Pemilihan letak awal pemukiman berada pada lanskap alami hutan bambu yang
dekat dengan sumber air (sungai) dan pusat pemerintahan Kerajaan Bangli saat
itu. Hutan bambu dan sungai menjadi sumber daya alam utama yang
dimanfaatkan oleh masyarakat desa saat itu. Kriteria reduced automobile
dependence dan bicycle network yang memiliki persyaratan pemukiman berjarak
dekat dengan halte dan memiliki fasilitas sepeda (jalur dan parkir) juga tidak
dipenuhi oleh Desa Adat Penglipuran. Masyarakat Desa Adat Penglipuran
melakukan mobilisasi di dalam area desa dengan berjalan kaki. Masyarakat desa
dominan memiliki tempat bekerja di dalam area desa sehingga tidak diperlukan
fasilitas sepeda dan angkutan umum dalam mencapai lokasi pekerjaan. Hal
tersebut juga memiliki prinsip yang ramah akan lingkungan.
Pada parameter desain dan pola permukiman juga terdapat kriteria penilaian
yang tidak dapat dipenuhi oleh desa. Kriteria compact development yang menilai
kepadatan pemukiman dalam DU/acre dimana semakin tinggi nilai kepadatan
semakin baik, tidak dipenuhi oleh Desa Adat Penglipuran. Karakteristik suatu
lanskap pedesaan ialah memiliki banyak ruang terbuka dan jarak pandang yang
luas. Hal ini terdapat pada penataan lanskap Desa Adat Penglipuran. Memiliki
banyak ruang terbuka dan jarak pandang luas berarti meminimalkan lahan
terbangun yang berguna untuk konservasi lahan dan mengurangi dampak
kerusakan lingkungan. Kriteria acces to surrounding vicinity memiliki persyaratan
dimana terdapat suatu fasilitas penyebrangan pada jalan yang dilalui kendaraan
bermotor. Desa Adat Penglipuran tidak memenuhi syarat tersebut, namun desa
memiliki jalan lingkar yang dilalui kendaraan bermotor, berukuran kecil, dan
hanya dilalui oleh warga desa saja sehingga pejalan kaki tidak terganggu oleh
kendaraan bermotor. Kriteria universal accessibility memiliki persyaratan jalan
pedestrian desa memiliki fasilitas khusus bagi balita, lanjut usia, penderita cacat.
Hal tersebut tidak dapat dipenuhi oleh desa, tetapi pola penataan pemukiman Desa
Adat Penglipuran memiliki akses penghubung antar rumah tinggal berupa tangga
rendah dengan bahan alami rumput.
Pada parameter teknologi dan konstruksi hijau terdapat 2 kriteria yang tidak
dipenuhi namun desa memiliki kearifan lokal yang masih berkaitan. Kriteria
pertama ialah minimize site disturbance through site design yang memiliki
persyaratan pengembangan pemukiman dilakukan pada area yang sudah
ditetapkan dan tidak merusak lingkungan alami yang ada. Pertambahan jumlah
penduduk pada Desa Adat Penglipuran menyebabkan pengembangan pemukiman
di luar area inti desa sehingga mengambil lingkungan alami desa. Setiap kavling
rumah tinggal warga memiliki pola sama yang diatur dalam peraturan adat (awig-
57
awig) dimana terdapat area terbuka hijau/halaman yang lebih luas dari area
terbangun. Hal tersebut menunjukkan bahwa warga desa tetap menjaga kelestarian
lingkungan alami mereka dalam setiap pengembangan rumah tinggal. Kriteria
kedua ialah heat island reduction yang memiliki persyaratan, yaitu penggunaan
material pada area terbuka terbangun (pedestrian, parkir, jalan) memiliki nilai SRI
maksimal 29 atau menempatkan fasilitas parkir pada area ternaungi. Desa Adat
Penglipuran memiliki jumlah area terbangun 13.64% (25.68 ha) dari 113 ha luas
desa. Hal tersebut menunjukkan bahwa lanskap alami desa lebih dominan
dibanding area terbangun sehingga efek pemanasan lingkungan menjadi lebih
kecil.
Hasil penilaian dari lanskap Desa Adat Penglipuran menggunakan LEED for
Neighborhood Development Rating System menunjukkan bahwa kriteria
keberlanjutan LEED dapat menilai tingkat hijau suatu pemukiman tradisional,
namun terdapat kriteria LEED yang kurang sesuai dengan lanskap, arsitektur, dan
kearifan lokal tradisional Desa Adat Penglipuran. Kearifan lokal para leluhur
sejak dahulu sudah memiliki konsep bagaimana keberlanjutan lingkungan dan
alam harus dijaga. Kearifan lokal tersebut secara turun temurun dilestarikan salah
satunya melalui peraturan adat desa (awig-awig) hingga saat ini. Hal tersebut
menunjukkan bahwa Desa Adat Penglipuran memiliki kelebihan dan kekurangan
dalam budaya serta nilai kehidupan mereka yang berhubungan dengan arsitektur
hijau sehingga diperlukan beberapa perbaikan untuk meningkatkan nilai dan
karakter hijau desa.
5.4 Rekomendasi
Berdasarkan hasil penilaian LEED for Neighborhood Development Rating
System dapat disusun suatu model lanskap Desa Adat Penglipuran dengan prinsip
arsitektur hijau. Rekomendasi ini bertujuan melestarikan prinsip keberlanjutan
yang telah dimiliki desa, serta meningkatkan tingkat hijau dari Desa Adat
Penglipuran. Model lanskap desa dengan prinsip arsitektur hijau ini dihasilkan
dari penyesuaian kriteria LEED yang dapat diterapkan pada desa dengan tata
ruang tradisional Desa Adat Penglipuran (Gambar 44). Kriteria LEED tersebut
ialah diversity of uses, transit facilities, transportation demand management, food
production, dan comprehensive waste management.
Rekomendasi model lanskap desa tetap mengikuti tata ruang tradisional
Nawa Sanga dan konsep tri mandala, yaitu utara sebagai tempat suci, bagian
tengah sebagai pemukiman, dan selatan sebagai nista (kotor). Pada model lanskap
ini terdapat fasilitas publik tambahan, seperti puskesmas dan pasar tradisional di
bagian pemukiman desa (tengah). Terdapat budidaya tanaman pangan produktif,
seperti singkong, ubi, kacang tanah, kedelai, cabai, tomat, bunga kol, kangkung,
dan lainnya pada area tegalan desa. Bagian selatan desa terdapat tempat
pengolahan limbah berupa sumber energi listrik alternatif biogas untuk disalurkan
pada pemukiman warga dalam jarak lebih dari 500 m (Skøtt 2006) (Gambar 45).
Penambahan fasilitas transportasi umum yang menghubungkan Desa Adat
Penglipuran dengan Kota Bangli beserta fasilitas halte pada jalan masuk bagian
timur desa.
58
Gambar 44 Model lanskap Desa Adat Penglipuran dengan prinsip
arsitektur hijau
59
Rekomendasi model lanskap desa tersebut diikuti dengan model pola
pekarangan rumah tinggal Desa Adat Penglipuran. Pola pekarangan rumah tinggal
dibuat mengikuti konsep tri mandala dan warna Nawa Sanga dalam pemilihan
tanaman, yaitu:
1.
sebelah utara tanaman berwarna gelap (hijau tua),
2.
sebelah selatan tanaman berwarna merah,
3.
sebelah barat tanaman berwarna kuning,
4.
sebelah timur tanaman berwarna terang (putih, merah muda) (Gambar 45).
Tanaman digunakan sebagai salah satu upakara (persembahan) oleh
masyarakat Bali. Bagian tanaman yang banyak dipakai sebagai upakara ialah
bunga dan buah, sehingga penempatan atau penanaman tanaman pada pekarangan
mengikuti warna dari bunga dan buah (konsep warna Nawa Sanga) (Prajoko
2012). Penggunaan konsep peletakkan tanaman tersebut bertujuan untuk
memunculkan karakteristik dari taman tradisional Bali. Selain itu, model
pekarangan juga ditambahkan prinsip hijau untuk konservasi air dengan membuat
sumur resapan dan pengelolaan limbah rumah tangga (Gambar 46).
Gambar 45 Konsep warna Nawa Sanga
Gambar 46 a. alur energi biogas b. struktur biogas (Singh 2011)
Gambar 47 Model pola pekarangan rumah tinggal Desa Adat Penglipuran
60
61
6 SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Desa Adat Penglipuran merupakan permukiman tradisional yang terletak
pada dataran tinggi sebelah utara Kota Bangli. Budaya masyarakat yang selalu
berorientasi pada gunung serta arah terbit dan tenggelamnya matahari sebagai urat
nadi kehidupan, mempengaruhi bentuk permukiman dan elemen lanskap pada
desa mereka. Kebudayaan dan kehidupan beragama masyarakat yang selalu
berdampingan menjadi sebuah karakter kuat pada desa mereka. Kearifan lokal
yang diwarisi masyarakat desa sejak dahulu tersebut membawa prinsip-prinsip
hijau pada tatanan lanskap dan arsitektur yang mereka miliki. Hal tersebut terlihat
dari pola permukiman dan rumah tinggal, pemilihan material bangunan, dan
peraturan adat tentang lingkungan alami desa (awig-awig). Pola permukiman dan
rumah tinggal yang berbentuk linier (orientasi arah utara-selatan & barat-timur)
dan terbagi atas tiga bagian besar membentuk ruang serta sirkulasi yang harmonis
dengan alam. Pola permukiman yang terbentuk menciptakan suatu ruang inti desa
yang bebas dari kendaraan bermotor dan banyak memiliki area terbuka (open
spaces). Material bangunan yang digunakan ialah material yang berasal dari
lanskap alami desa mereka sendiri. Kearifan lokal tersebut masih terpelihara utuh
hingga saat ini akibat peraturan adat yang mereka ciptakan sejak awal
terbentuknya desa ini. Mereka melakukan konservasi akan tradisi dan budaya
yang membawa desa ini kepada keberlanjutan.
Penilaian tingkat hijau berdasarkan LEED Neighborhood Development
Rating System pada Desa Adat Penglipuran menghasilkan tingkat Silver dengan
total poin 34 poin. Tingkat hijau tersebut didapat melalui penilaian 36 kriteria
dalam 3 parameter. Parameter dan kriteria LEED Neighborhood Development
Rating System telah menunjukkan adanya keenam prinsip dasar arsitektur hijau
didalamnya. Hal ini menguatkan bahwa sebuah desa adat tradisional yang
mempertahankan kearifan lokalnya hingga saat ini telah menerapkan konsep
arsitektur hijau dalam kehidupannya sejak dahulu. Terdapat kriteria LEED yang
kurang sesuai dengan kondisi lanskap, arsitektur, dan kearifan lokal tradisional
Desa Adat Penglipuran sehingga diperlukan penyesuaian kriteria. Hal tersebut
juga menunjukkan perlunya perbaikan dalam upaya menjaga dan meningkatkan
nilai-nilai hijau yang dimiliki desa sehinggadiusulkan rekomendasi model lanskap
Desa Adat Penglipuran dan model pola pekarangan rumah tinggal.
6.2 Saran
Kearifan lokal masyarakat tradisional dapat menjadi sumber pengetahuan
baru akan konsep arsitektur hijau bagi masyarakat saat ini. Rekomendasi yang
telah disusun diharapkan dapat menjadi masukkan bagi Desa Adat Penglipuran
atau pemerintah daerah dalam usaha menjaga keberlanjutan desa. Selain itu,
diperlukan penelitian lanjut mengenai penyesuaian standar penilaian LEED untuk
arsitektur permukiman tradisional.
62
DAFTAR PUSTAKA
Adhika IM. 1994. Peran banjar dalam penataan komunitas: studi kasus kota
Denpasar [tesis]. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwa Liar. Bogor (ID): Yayasan Penerbit
Fakultas Kehutanan.
Arrafiani. 2012. Rumah Etnik Bali. Bogor (ID): Griya Kreasi.
Astuti W. 2002. Pariwisata Sehat Desa Penglipuran. Jakarta (ID): Pusat Promosi
Depkes RI.
[BAPPEDAPM Bangli] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan
Penanaman Modal Kabupaten Bangli. 2005. RDTRK Kecamatan Bangli.
Bangli (ID): BAPPEDAPM Bangli.
[BPS Pemkab Bangli] Badan Pusat Statistik Pemerintah Kabupaten Bangli. 2010.
Bangli dalam Angka Tahun 2010. Bangli (ID): BPS Pemkab Bangli.
[BPS Pemkab Bangli] Badan Pusat Statistik Pemerintah Kabupaten Bangli. 2008.
Statistik lingkungan penglipuran 2008. Bangli (ID): BPS Pemkab Bangli.
Bagus IGN. 1979. Prasejarah dan Klasik di Bali. Denpasar (ID): Balai Pustaka
Denpasar.
Barliana MS, Nuryanto, Cahyani D. 2012. Pola pembelajaran pewarisan tradisi
arsitektur berkelanjutan: dari etnoarsitektur ke etnopedadogi. Di dalam: Temu
Ilmiah IPLBI; 2012 November; Bandung, Indonesia. Bandung (ID): IPLBI.
Hlm 117-120.
Budihardjo E. 1986. Architectural Conservation in Bali. Yogyakarta (ID): Gajah
Mada Univ Pr.
[Disbun Bali] Dinas Perkebunan Bali. 2011. Kopi arabika kopyol [internet].
[diacu 2013 Mei 22]. Tersedia pada: http://www.disbunbali.info
/komoditi_unggulan.php?id_komoditi_unggulan=10.html
Dwijendra KA. 2003. Perumahan dan permukiman tradisional Bali. J
Permukiman Natah. 1(1):4-11.
Dwijendra KA. 2009. Arsitektur dan Kebudayaan Bali Kuno. Denpasar (ID):
Udayana Univ Pr.
Frickz H. 1998. Ilmu Bahan Bangunan.Yogyakarta (ID): Kanisius.
Hudyana IDGR. 2002. Tenget dalam pembangunan berkelanjutan studi kasus:
revitalisasi kearifan lokal mengenai lingkungan di Desa Adat Penglipuran
Bangli [tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro.
Karyono TH. 2010. Green architecture: Pengantar Pemahaman Arsitektur Hijau
di Indonesia. Jakarta (ID): Rajawali Pers.
Kasuma IPAW. 2009. Persepsi Masyarakat Adat Sebagai Dasar Perumusan
Konsep Tata Ruang Desa Adat Penglipuran Bali [skripsi]. Surabaya (ID):
Institut Teknologi Sepuluh November.
Kibert CJ. 2008. Sustainable Construction: Green Building Design and Delivery.
Ed ke-2. Canada (US): John Wiley and Sons.
Lugrayasa IN, Sana IW, Mastra IW. 2003. Laporan Eksplorasi dan Penelitian
Bambu untuk Menunjang Industri Kerajinan Rumah Tangga di Kabupaten
Bangli. Denpasar (ID): UPT Konservasi Tumbuhan KRE Bali LIPI.
Maryland Department of the Environment. 1986. Sediment and Stormwater
Administration. Maryland (US): Maryland Dept of the Environment.
63
Morgan HM. 1960. Vitruvius:The Ten Book On Architecture. New York (US):
Dover Publications.
[Pemkab Bangli] Pemerintah Kabupaten Bangli. 2010. Monografi Desa Adat
Penglipuran Kelurahan Kubu. Bangli (ID): Pemkab Bangli.
Prajoko A. 2012. Pertamanan tradisional Bali berlandaskan unsur satyam, siwam,
sundaram, relegi, dan usada [internet]. [diacu 2013 September 18]. Tersedia
pada: http://www.parissweethome.com/bali/cultural_my.php?id=11
Pranoto M. 2008. Multilevel urban green area : solusi terhadap global warming
dan high energy building. J Rekayasa Perencanaan. 4(3):1-15.
Priatman J. 2002. ”Energy-efficient architecture” paradigma dan manifestasi
arsitektur hijau. Dimensi Teknik Arsitektur. 30(2):167-175.
Prijotomo J, Sulistyowati M. 2009. Nusantara Architecture as Tropical
Architecture. Surabaya (ID): ITS Pr.
Singh P. 2011. Biogas: more than a source energy [internet]. [diacu 2013 Juli 23].
Tersedia pada: http://www.heifer.org/blog/2011/10/biogas-more-than-a-sourceof-energy.html
Skøtt T. 2006. How much do biogas plant smell. Bioenergy research. 16(1):4-5.
Subur IW. 2003. Pengalaman dalam Mengembangkan Bambu oleh Petani Bambu
Kabupaten Bangli. Bangli (ID): Dinas Pertanian Perkebunan dan Perhutanan
Pemkab Bangli.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung (ID):
Alfabeta.
[USGBC] United States Green Building Council. 2007. Pilot version: LEED for
neighborhood development rating system February 2007. Washington DC
(US): USGBC.
Vale B, Vale R. 1991. Green Architecture: Design for a Sustainable Future. New
York (US): Thames and Hudson Ltd.
Van Der Ryn S, Calthorpe P. 1996. Ecological Design. Washington DC (US):
Island Press.
Wiranto. 1999. Arsitektur vernakular Indonesia: perannya dalam pengembangan
jati diri. Dimensi Teknik Arsitektur. 27(2):15-20.
Widjaja EA, Astuti IP, Arinasa IBK. 2004. New species of bamboos (poaceaebambusoideae) from Bali. Reinwardtia. 12(2):199-204.
64
Lampiran 1 Standar Penilaian LEED for Neighborhood Development Rating
System 2007.
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
Lampiran 2 Glosarium
Angkul-angkul
Asta Kosala kosali/Dewa
Awig-awig
Bali aga / mula
Bale
Bale banjar/desa
Bedeg
Berundag-undag
Karang ayahan desa
Karang kerti
Karang memadu
Krama
Laba Pura
Loji
Madya
Mandala
Nawa Sanga
Nista
Padmasana
Palemahan
Parahyangan
Pawongan
Pura Kahyangan Tiga
Sekaa
Sekaa baris
Sekaa gong
Sekaa pratangan
Sekaa teruna
Tri Angga dan Tri Loka
Tri Hita Karana
Utama
: Bangunan tradisional Bali yang berfungsi sebagai
gerbang masuk menuju suatu pekarangan
: Dasar-dasar pengukuran bangunan tradisional Bali
: Peraturan adat
: Masyarakat Bali asli atau mula-mula
: Sebutan satu unit bangunan tradisional Bali
: Tempat pertemuan pada suatu desa
: Anyaman
: Terasering
: Lahan yang pemanfaatannya diatur oleh desa
: Pekarangan rumah tinggal
: Satu kavling rumah tinggal sebagai tempat
pengasingan bagi warga yang melakukan poligami
: Masyarkat, warga
: Lahan yang peruntukannya untuk keberlanjutan
Pura pada Desa Adat Penglipuran
: Bangunan tempat tinggal
: Nilai tengah, tingkat kedua
: Ruang
: Sembilan petak yang membagi suatu kawasan
menjadi tiga golongan yaitu, utama, madya, dan
nista
: Tingkat paling tidak suci
: Bangunan suci umat hindu
: Unsur atau fisik lingkungan alam dalam Tri Hita
Karana
: Unsur Tuhan dalam Tri Hita Karana
: Unsur manusia dan sesama dalam Tri Hita Karana
: Tiga pura dalam satu kesatuan desa adat yang
terdiri dari Pura Puseh, Pura desa, dan Pura
Dalem
: Satuan atau kelompok masyarakat yang
mempunyai kegiatan dan profesi sama
: Kelompok yang berkaitan dengan tarian tradisional
: Kelompok yang berkaitan dengan alat musik
tradisional
: Kelompok yang berkaitan dengan makanan
: Kelompok anak remaja atau pemuda dan pemudi
: Susunan fisik yang terdiri dari bagian kepala,
badan, dan kaki
: Konsep keselarasan hubungan antara Tuhan,
manusia, dan alam; konsep holistik tiga penyebab
kesempurnaan
: Tingkat paling suci
91
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 1991 dari ayah Albert
Susilo Kristanto dan ibu Henni Djajasastra. Penulis merupakan putra kedua dari
tiga bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 3 Denpasar pada tahun 2009. Pada
tahun yang sama penulis diterima di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB.
Selama masa perkuliahan penulis aktif mengikuti kepanitian dan organisasi
kemahasiswaan. Organisasi yang aktif diikuti penulis salah satunya adalah
Himpunan Keprofesian Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP). Penulis
juga pernah menjadi ketua panitia pada kegiatan mahasiswa di Departemen
Arsitektur Lanskap, yaitu Indonesia Landscape Architecture Student Workshop
2012. Lomba desain Landmark Summarecon Bekasi pernah diikuti penulis secara
berkelompok.
Penulis pernah mengikuti kegiatan praktik kerja selama menjadi mahasiswa.
Pada bulan Mei 2011 penulis melakukan praktik kerja dengan membuat gambar
rancang taman auditorium di Balai Penelitian Tananaman Rempah dan Obat
(Balittro). Bulan Maret-April 2013 penulis melakukan praktik kerja pada
konsultan desain lanksap dan arsitektur PT Wijaya Tribwana International di Bali.
Penulis juga menerima beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) dari
DIKTI pada tahun 2011-2012. Selanjutnya pada tahun 2012-2013 penulis
menerima beasiswa dari Tanoto Foundation.
Download