Sistem Kepercayaan Masyarakat Desa Penglipuran, Bangli I Gusti Ngurah Jayanti BPNB Bali, NTB,NTT [email protected] HP.081338399668 ABSTRAK Desa Pengelipuran merupakan salah satu desa kuno, yang hingga kini masih memegang ketat adat dan tradisi.Berbagai bentuk aktivitas ritual maupun dalam kaedah-kaedah dalam kehidupan social kemasyarakatan masih berjalan dan eksis walaupun pengaruh globalisasi terus mengancam dan mempengaruhinya. Menyadari akan keadaan tersebut, masyarakat telah menyadari bahwa perlu adanya strategi untuk mempertahankan tradisi adat dan budaya yang telah diwariskan secara turun-temurun. Pewarisan tersebut, tidak hanya dalam bentuk fisik namun juga dalam wujudnya yang sangat abstrak seperti system kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat Penglipuran.Tulisan ini lebih memfokuskan pada permasalahan yakni system kepercayaan masyarakat penglipuran.Teori yang diperguanakn adalah teori neofungsional dan teori semiotic.Hasil dari penelitian ini bawasannya system kepercayaan pada masyarakat penglipuran masih berpegang pada adat dan tradsi yang diwariskan secara turun-temurun oleh para leluhurnya.Tampak adat yang berupa ritual-ritual maupun konsep kosmologi local masih digunakan sebagai pedoman dalam bertindak atau berprilaku oleh masyarakat Penglipuran. Kata kunci: system kepercayaan, desa adat, dan Penglipuran. ABSTRAC Pengelipuran village is one of the ancient village, which is still holding tight customs and traditions. Various forms of ritual activity and in-Siwak Siwak in community social life still goes on and exist despite the influence of globalization continued to threaten and influence. Aware of the situation, people have realized that the need for strategies to preserve cultural traditions and customs that have been passed down from generation to generation. Inheritance is, not only in physical form but also in its form as a very abstract belief system held by the public Penglipuran. This paper focuses on the problem of public trust Penglipuran system. Diperguanakn theory is a theory neofungsional and semiotic theory. The results of this study bawasannya Penglipuran public confidence in the system is still holding to the tradition and tradsi inherited from generation to generation by their ancestors. Appears in the form of customary rituals and 1 cosmology local concept is still used as a guide in the act or conduct by public Penglipuran. Keywords: belief system, indigenous villages, and Penglipuran. A. PENDAHULUAN Kebudayaan Indonesia sangat beragam dan bervariatif. Keanekaragaman ini menandakan bahwa bangsa Indonesia sangat kaya akan sumber daya budaya, sebagai modal dasar pembangunan. Salah satu sub kebudayaan bangsa Indonesia adalah dalam aspek religi atau paham ideologi yang dianut dan diyakini oleh masyarakat pendukung kebudayaan pada masing-masing tempat atau komunitas. Secara faktual, keberadaan komunitas adat masih sangat eksis di Indonesia. Hal ini tidak dapat dipungkiri komunitas adat inilah sebagai sub-sub kebudayaan yang dapat memberikan warna tersendiri sebagai identitas dalam masyarakat. Komunitas adat semakin berani menonjolkan diri dan telah banyak mendeklarasikan keberadaan komunitasnya sebagai cara untuk dapat eksis dan berkembang dan memperkenalkan corak budayanya. Masing masing komunitas adat memiliki perbedaan satu dengan yang lainnya. Hal ini wajar terjadi karena perbedaan ekologi maupun sistem kepercayaan yang dianutnya.Namun dalam mengkaji sebuah masyarakat dalam arti yang lebih spesifik yakni kumunitas adat, masih banyak yang mempertahankan ajaran-ajaran leluhurnya sebagai pola bagi kelakuan. Sebagian besar dari komunitas adat memiliki ciri-ciri bahwa mereka masih percaya akan kekuatan diluar kemampuan akal manusia. Ritual-ritual sangat menonjol dalam setiap pelaksanaan kegiatan upacara pada setiap fase atau siklus hidup selalu ditandai dengan melakukan penghormatan terhadap roh leluhur. Walaupun dalam jaman modern ini komunitas adat banyak yang telah mengkonfigurasi dengan menganut agama besar seperti agama Islam, Kristen, Hindu, Buda yang ada di Indonesia, namun komunitas adat tidak selalu menghilangkan begitu saja ajaran atau keyakinan local geniusnya.Komunitas adat selalu melakukan akselerasi dan bertahan di tengah pemahaman baru yang muncul diera sekarang ini.Untuk penyebutan komunitas adat di Indonesia sebagai pendukung kebudayaan nasional, masih sangat beragam.Untuk wilayah propinsi Bali istilah komunitas adat kurang menjadi populer namun yang lebih menonjol dalam pengertian di Bali, lebih pada teritorial wilayah seperti penyebutan desa adat. Desa adat atau masyarakat adat secara teritorial di sini akan lebih ditonjolkan. Setiap desa adat di Bali memiliki wilayah teritorial, maupun aturan pranata sosialnya tersendiri. Telah diketahui bahwa sebagaian besar penduduk pulau Bali adalah beragama Hindu.Agama dan adat di Bali telah menyatu dan saling mengisi. Dalam proses sejarah terhadap pembentukan keyakian yang terjadi di Bali, agama Hindu telah menjadi inti dan adat sebagai pembungkus atau mengkemas jalannya keyakinan terhadap komunitas adat atau desa adat yang ada di Bali. Walaupun dalam keyakinannya telah menunjukan adanya pengaruh ajaran agama Hindu dalam setiap desa adat, namun dalam praktek keagamaannya sangat bervariasi dan 2 beragam.Hal ini sangat dipengaruh oleh paham desa kala patra.Desa artinya tempat, kala adalah waktu dan patra berarti keadaan. Dalam penelitian ini akan lebih difokuskan pada praktik-praktik sistem kepercayaan yang dilakukan oleh komunitas adat atau desa adat Penglipuran sebagai desa tua atau bercorakan desa tradisional yang memiliki praktek-praktek keagamaan yang unik. Di samping, dalam praktek mengimplimentasikan ajaran keagamaan atau religi juga dapat dalam penerapan ajaran-ajaran yang bersifat local seperti memandang lingkungan prosesi daur hidup dan lainnya. Desa adat Penglipuran sebagai desa tradisional yang hingga kini masih eksis, dan bertahan terhadap gempuran modernisasi. Desa tradisional Penglipuran memang tidak akan bisa menghindar pengaruh unsur asing. Walaupun begitu menyadari akan tantangan global komunitas adat atau desa adat Penglipuran tetap mejaga dan melestariakan sistem budaya dan warisan leluhurnya baik dalam pemahaman ideologi maupun dalam praktik-praktik prosesi upacara religi yang selalu dilaksanakannya. Melihat fenomena-fenomena budaya yang terdapat di desa Penglipuran membawa daya tarik tersendiri untuk diungkap dan diteliti lebih dalam agar setiap praktik keagamaan yang dilakukan dapat diterjemahkan dan dimengerti. Dengan melihat fenomena tersebut maka dalam tulisan ini akan memfokuskan pada dua permasalahan yakni: Bagaimana sistem kepercayaan desa adat Penglipuran dan bagaimana prosesi ritual daur hidup desa adat Penglipuran. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai yaitu penelitian ini setidaknya dapat memberikan informasi berkenaan dengan fenomena yang terjadi dimasyarakat khususnya dalam hal ini menyangkut tentang sistem kepercayaan desa adat Penglipuran Bangli. Penelitian ini dilengkapi dengan kerangka konseptual seperti konsep Desa Adat Penglipuran.Desa merupakan komunitas kecil atau kesatuan hidup setempat pada masyarakat dan memiliki otonomi dalam bidang penyelenggaraan pemerintahan desa(Surpha, 1993 : 47).Sedangkan adat memiliki arti sebagai habitus.Menurut Prof. Hariaerin adat adalah kehidupan (ranapan) kesusilaan dalam masyarakat yaitu bahwa keadaan-keadaan adat itu sebenarnya berupa keadaan-keadaan kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pangakuan umum dalam masyarakat. Adat diartikan sebagai kebiasaan ini berarti adat dipahamkan sebagai tingkah laku yang berulang-ulang (Dhama Yuda, 1990 : 12-13). Desa Adat adalah suatu lembaga sosial religius yang bersifat Hinduistis, oleh karena Desa Adat berfungsi untuk menata, mengatur dan membina kehidupan sosial warga desanya, terutama sekali di dalam melaksanakan ajaranajaran Agama Hindu yang meliputi tattwa, kesusilaan agama dan upacara agama atau upacara yadnya (Surpha, 1992 : 47). Jadi Desa Adat Penglipuran adalah suatu komunitas adat yang memiliki otonominya sendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Dalam penyelenggaran tersebut memiliki aturan atau peranata sosialnya maupun hukumnya sediri baik dalam urusan pemerintahan maupun dalam bentuk keagamaannya. Sedangkan konsep yang lain yakni konsep komunitas Adat. Komunitas mengacu pada masyarakat sebagai “komunitas” yang memiliki asal usul leluhur secara turun-temurun yang hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi ekonomi, politik, budaya dan social yang 3 khas.Pengertian komunitas dapat juga dioperasionalkan secara sepesifik yakni komunitas merupakan suatu kesatuan social yang dalam melangsungkan interaksinya melibatkan hubungan yang intensif dengan frekuensi yang sangat tinggi sehingga hubungan sosialnya bersifat bertatap muka, kuat dan kokoh menjalankan tradisi yang wujud sejak awal. Dalam hubungan social, komunitas adat berdasarkan : 1) ikatan kekeluargaan; 2) ikatan persahabatan yang erat; 3) mengarah pada perasaan “kekitaan” bagi segenap warganya; dan 4) motivasinya bercorak pada affective. Ciri lain dari komunitas adat adalah sering terjadi penyeragaman kesatuan tempat tinggal, fisik rumah dan aturan. Selain konsep yang telah dikemukakan di atas penulisan ini menggunakan landasan teori yang tentunya dapat digunakan untuk membedah permasalahan yang dikaji.Ratna (2006: 95) menjelaskan bahwa teori adalah alat yang kapasitasnya berfungsi untuk mengarahkan sekaligus membantu memahami obyek secara lebih maksimal.Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Neofungsionalisme, dan teori semiotic.Kedua teori tersebut digunakan untuk membedah permasalahan yang ingin dikaji. B. PEMBAHASAN a. Bentuk Kepercayaan dalam Ritual Keagamaan di Desa Adat Penglipuran Setiap kebudayaan daerah tentu saja memiliki khasan dan paling tidak adanya perbedaan antara sub kebudayaan yang satu dengan yang lainnya. Salah satu di antara semua ciri hal yang paling pokok adalah dalam ideologi atau superstruktur masyarakat tradisional adalah sistem keyakinan atau kepercayaan yang dianutnya. Sistem kepercayaan masyarakat akan sangat ditentukan oleh pengaruh ekologi desa maupun faktor-faktor luar yang lainnya. Namun dalam situasi-situasi yang lain juga dipengaruhi oleh kosmologi maupun sejarah geneologi yang membentuknya. Pada masyarakat Bali umumnya, dalam menjalankan aktivitas keagamaan ditempuh dengan berbagai bentuk dan cara dalam menjalankan kepercyaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan atau agama merupakan satu yang dianggap memiliki nilai yang sangat berharga dalam kehidupan. Mengetahui hal itu tentu saja masyarakat akan melakukan ritual dan aktivitas keagamaan dengan cara yang berbeda-beda sesuai dengan kebudayaannya. Setiap komunitas adat atau masyarakat memiliki kebiasaan dan cara dalam mewujudkan apa yang diyakini. Pada masyarakat Bali, sistem kepercayaan dan agama tetap berjalan seiring dan seirama. Keduanya saling melekat dan cair dalam aktualisasinya di kehidupan masyarakatnya. Wujud dan bentuk dari sistem kepercayaan maupun keagamaanya dapat diidentifikasi dengan melihat aktivitas dan penggunaan simbol-simbol yang bersifat sakral atau magis. Pada masyarakat Bali, menganut kepercayaan dan keagamaan merupakan hal yang sangat penting dalam wujudkan rasa baktinya terhadap Tuhan. Berbagai ritual keagamaan pada masing-masing desa akan dapat dilihat bervariasi bentuk 4 dalam melakukan ritual-ritualnya tersebut. Pada masing-masing ritual yang diselenggarakan memiliki fungsi dan maknanya sendiri. Bagi orang Bali, melakukan persembahan dengan menjalankan ritual-ritual keagamaan merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan sebagai wujud bakti dan keiklasannya terhadap Tuhannya. Bagi masyarakat Bali juga mengenal sistem kepercayaan lokal genius yang ada pada setiap komunitas atau desa adat. Kekuatan-kekuatan yang ada diluar kemampuan berpikir (logika) inilah yang akan mempengaruhi motologi dan keyakinan terhadap yang gaib. Religi atau kepercayaan diklasifikasi menjadi beberapa bagian dan dalam setiap bagian itu masing masing mempunyai fungsinya sendiri, saling berintraksi dan saling terikat. Berbagai pendekatan telah banyak dilakukan oleh para ahli atropologi terkait dengan varian ritual dalam sistem keyakinan masyarakat. Gejala religi itu tidak adapat diterangkan dengan hipotese taur teori semata. Dengan pengertian itu maka saya sendiri mengusulkan agar untuk keperluan analisa antropologi dan sosiolagi konsep religi dipecahkan ke dalam lima komponen yang mempunyai peranannnya sendiri-sendiri, tetapi yang sebagai bagian dari suatu sistem , berkaitan erat satu dengan lainnya (Koentjaraningrat, 1985:43). Adapun komponen religi tersebut, yaitu: a) Emosi keagamaan; b) Sistem keyakinan; c) Sistem ritus dan upacara; d) Peralatan ritus dan upacara; e) Umat agama. Dalam emosi keagamaan, akan ada yang mendorong individu atau kelompok komunitas yang merasakan dirinya sebagai untuk bergerak dengan getaran atau mengerakan jiwa manusia. Di sini emosi keagamaan dimaksud berupa sikap takut terpesona terhadap hal-hal yang gaib serta keramat. Bila dianalisis dengan logika ilmiah mengenai emosi keagamaan tidaklah dapat dijelaskan. Karena hal ini disebabkan oleh pandangan di mana seseorang tidak mampu untuk mengerti fenomena tersebut. Ini berarti pada hakikatnya tidak dapat dijelaskan dengan akal manusia karena diluar dari nalar. Jadi kemponen emosi keagamaan inilah yang merupakan komponen utama dari gejala religi, yang membedakan suatu sistem religi dari semua sistem sosial budaya yang lain dalam masyarakat manusia. Komponen yang lain dari emosi keagamaan ialah sistem keyakinan. Dalam sistem ini tentu saja ada ideologi dan pandangan hidup yang hakiki mendasari keyakinan yang dianut. Sistem keyakinan dalam suatu religi berwujud pikiran dan gagasan manusia, yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib (kosmologi), tentang terjadinya alam dan dunia (kosmogoni), tentang jaman akhirat(esyatologi) tentang wujud dan ciri kekuatan sakti, roh nenek moyang, roh alam, dewa-dewa, roh jahat, hantu dan mahluk-mahluk halus lainnya. Sistem keyakinan juga menyangkut sistem nilai dan sistem norma keagamaan, ajaran kesusilaan dan ajaran dokrin religi lainnya yang mengatur tingkah-laku manusia. Sistem keyakinan di dalam masyarakat diimplimentasikan ke dalam berbagai karya sastra baik yang tertulis maupun lisan dari religi atau agama yang bersangkutan. Dalam sastra suci misalnya berisi mengenai ajaran seperti dokrin, tapsir, serta uraiannya, disertai dengan cerita-cerita lokal atau berupa dongeng suci dan mitologi dalam berbagai bentuk prosa ataupun puisi, yang menceritakan 5 dan melukiskan kehidupan roh, dewa, dan mahluk-mahluk halus dalam dunia gaibnya (Koentjaraningrat, 1985: 43-44). Dalam sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud aktivitas dan tindakanmanusia melakukan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, roh nenek moyang, atau mahluk halus lainnya, dan dalam usahanya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan penghui dunia gaib lainnya. Ritus atau upacara religi itu biasanya berlangsung berulang-ulang baik setiap hari, setiap musim, atau kadangkadang saja tergantung dari isi acaranya, suatu ritus atau upacara religi biasanya terdiri dari suatu kombinasi yang merangkaikan satu-dua atau berupa tindakan, seperti berdoa, bersujud, berkormban, makan bersama, menari dan menyanyi, berprosesi. Berseni drama suci, berpuasa, intoksikasi, bertapa dan bersemadi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam ritus dan upacara leligi biasanya menggunakan berbagai simbol dan sarana maupun peralatan, tempat melakukan pemujaan. Seperti misalnya di masjid, langgar, gereja, pagoda, stupa dan lainnya. Patung dewa, patung orang suci, alat bunyi-bunyian suci (gendrang, gong, bedug, gambelan, lonceng dan lainnya. Para pelaku upacara seringkali harus menggunakan kostim atau pakaian yang juga mempunyai sifat suci (jubah pendeta, jubah biksu, mukenah dan lain-lainnya. Seperti telah diuraikan di atas bahwa religi mengandung 5 (lima) komponen. Dengan mengacu pada konsep tersebut maka komponen yang terakhir adalah umatnya atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan dan yang melaksanakan sistem ritus serta upacara. Pada komunitas adat atau desa adat Penglipuran senantiasa menjalankan seluruh ritual-ritual penting pada setiap pura Tri Khayangan Tiga sesuai dengan ajaran dasar agama Hindu. Pengaruh agama Hindu pada masyarakat Bali dan masyarakat Penglipuran khususnya selalu menjalankan segala kegiatan dalam upacara menggunakan tiga kerangka dasar, yaitu: Tatwa (Filsafat), Susila (etika), Upacara, memberikan berbagai varian dalam pelaksanaan keagamaan. Kerangka dasar inilah sangat memberikan identitas pada masing-masing desa adat khususnya desa adat penglipuran dan masyarakat Bali pada umumnya. Sistem keyakinan atau kepercayaan di masyarakat secara faktual memiliki varian yang berbeda sesuai dengan keadaan dan tempat atau lingkungannya. Di samping itu waktu juga sangat mempengarui kepercayaan dalam masa seperti masa prasejarah dan juga masa sejarah di Bali. Masa ini sangat mempengaruhi berbagai ideologi yang dijalankan di dalam masyarakat itu sendiri. Keadan inilah yang dapat membedakan ciri identitas menjadi dua bagian antara masa prahindu dan zaman Hindu di Bali dan pengaruhnya terhadap komunitas adat atau desa adat akan pula memiliki varian sesuai dengan kuat tidaknya pengaruh ideologi yang masuk kedalam sistem superstruktur masyarakat itu. Pada masa pra Hindu ajaran keyakinan yang ada pada masyarakat Bali adalah sistem kepercayaan terhadap berbagai bentuk manifestasi alam sebagai sumber dan dasar untuk melakukan berbagai ritual. Di sini pada desa adat penglipuran juga memiliki corak kepercayaannya tersendiri sebelum masa Hindu berjalan. Masyarakat Penglipuran percaya terhadap keberadaan roh nenek moyang dan percaya bahwa setiap wilayah maupun tumbuhan ada yang memelihara. Dalam masyarakat penglipuran sesungguhnya meyakini hal hal yang gaib dalam 6 dunia niskala. Mereka juga percaya terhadap kekuatan-kekuatan alam dimana seluruh jalanya perputaran kehidupan ditentukan oleh kekuatan yang gaib dan tidak dapat dipikirkan secara logia rasional. Mereka juga percaya terhadap keberadaan roh dan mahluk halus lainnya. Masyarakat penglipuran percaya bahwa setiap tempat dialam ini ada yang mengendalikan dan sebagai penunggu lingkungan tersebut. Setelah masuknya zaman pra Hindu maka bentuk-bentuk kepercayaan tidaklah menghilang namun menyesuaikan terhadap sistem keagamaan dalam hal ini agama Hindu sebagai yang mempengaruhi lebih dominan. Kepercayankepercayaan lokal masih tetap dipelihara dan terkadang sulit untuk membedakan antara kepercayaan pra Hindu atau zaman Hindu. Untuk melakukan identifiasi terhadap prosesi kepercayaan lokal maka dapat dilihat dari mitologi maupun dalam berbagai bentuk tradisi lokal genius di masing-masing tempat atau komunitas adat atau desa Adat. Ajaran kepercayaan yang telah terkolaborasi menjadi satu dengan ajaran keagamaan pada kepercayaan komunitas adat Penglipuran terimplimentasi lewat berbagai kegiatan atau aktivitas ritual yang cukup tinggi dalam kehidupan seharihari. Dalam menjalankan prosesi ritual itu dapat dilakukan oleh kelompok kerabat ataupun gambungan dari kerabat yang lebih besar maupun komunitas adat. Pada pengaruh Hindu tentu saja dapat dilihat dari ritual-ritual yang berpatokan pada dasar sastra yaitu Weda. Dalam ajaran agama Hindu seluruh jenis upacara pada umumnya di Bali dan Penglipuran khususnya, digolongkan ke dalam lima komponen yang terstruktur yakni disebut dengan panca yadnya, alam arti arfiahnya panca artinya lima dan yadnya artinya korban suci. Adapun lima komponen dari panca yadnya yaitu: a. Manusia yadnya, yaitu meliputi upacara daurhidup dari masa bayi masih dalam kandungan sampai dewasa. b. Pitra yadnya, yaitu : merupakan upacara yang ditunjukan kepada roh-roh leluhur, meliputi upacara kematian sampai pada upacara penyucian roh leluhur. c. Dewa yadnya, yaitu upacara yang dilakukan di pura umum seperti Tri Kahyangan Tiga mapun pura Jagat (pura umum) maupun yang lebih kecil adalah upacara yang dijalankan di pura keluarga. d. Resi yadnya, merupakan upacara yang berhubungan dengan pentasbihan pendeta. e. Bhuta yadnya, meliputi upacara yang ditunjukan kepad bhuta dan kala, yaitu roh-roh halus, yang ada dialam dan disekitar manusia sehingga tidak menggangu kehidupan manusia. Lima komponen tersebut di atas, menjadi pedoman dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban yang tentunya bertujuan untuk mendapatkan keselamatan, kemakmuran atau kesejahteraan terhadap Tuhannya selain lima komponen yang dijadikan dasar juga ada keyakinan-keyakinan lebih khusus terhadap yang gaib. Dalam pandangan agama Hindu dan masyarakat Penglipuran memiliki keyakinan atau kepercayaan dalam konsep “Panca Sradha”. Yang terdiri dari (1) Percaya akan adanya Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), (2) percaya akan adanya atman atau (roh), (3) Percaya akan adanya 7 punarbhawa/renkarnasi(kelahiran kembali), (4) Percaya akan adanya Karma Phala (buah dari perbuatan), (5) Percaya akan adanya Moksa (kebebasan jiwa dari lingkaran kelahiran kembali). Sebagai mana pada masyarakat Penglipuran lainnya juga menjalankan kewajiban, melaksanakan berbagai upacara pada pura umum dalam rangka hari jadi (pengusabaan) pada masing-masing pura yang di sungsung oleh desa. Pada hari-hari tertentu pedewasaan ayu (hari baik) juga banyak ritual keagamaan dilakukan oleh masyarakat Penglipuran. Setiap bulan purnama atau Tilem (bulan mati), masyarakat desa melakukan prosesi upacara di Pura Dalem dan Pura Penataran. Prosesi tersebut dilakukan dengan penuh hikmat dan berbagai peralatan upacara maupun sarana pelengkap upacara digunakan. Pada bulan purnama, persembahyangan dilakukan di pura Penataran dan pada Tilem (bulan mati) dilakukan di pura Dalem. Selain itu pada hari hari biasa masyarakat juga menghaturkan puja atau persembahyangan di prahyangan rumah tempat tinggal masing-masing. b. Sistem Kepercayaan Daur hidup Masyarakat Penglipuran Dalam kehidupan masyarakat tentunya memiliki sistem kepercayaan pada setiap komunitasnya sebagai pembentukan sebuah identitas. Begitu pula pada masyarakat Penglipuran yang hampir seluruhnya menganut agama Hindu sebagai sistem keyakinan terhadap Tuhannya. Masyarakat penglipuran selalu memaknai setiap jenjang atau tingkat kehidupan dengan cara melakukan upacara ritual inisiasi terhadap seseorang yang akan memasuki kehidupan yang lebih dewasa. Ini juga untuk berikan kekuatan lahir batin karena pada saat pralihan menuju tingkat kehidupan yang lebih dewasa sangat riskan terhadap gangguan sekala dan niskala. Gangguan sekala maksudnya sesuatu yang berdampak buruk tersebut tidak menyebakan penyakit terhadap seseorang yang akan mengarungi kehidupan selanjutnya. Aktualisasi dalam pelaksanaan konsep panca yadnya tersebut, di atas terimplimentasikan dari berbagai aktivitas ritual atau persembahan yadnya oleh masyarakat desa Penglipuran. Bentuk dari ajaran panca yadnya pada masyarakat penglipuran terlihat dari berbagai bidang kehidupan yakni mulai dari upacara daur kehidupan yaitu melakukan berbagai ritual peralihan dari berbagai tingkat kehidupan seperti misalnya upacara magedong-gedongan dimana upacara tersebut dilakukan pada saat bayi masih di dalam kandungan. Tujuan dari upacara ini adalah penyambutan dan memohon agar calom bayi lahir dengan selamat. Setelah kelahiran berumur 1 (satu) bulan 7 (tujuh) hari juga diadakan ritual kepus pungsed ritual ini bertujuan agar bayi sehat dan terhindari dari pengaruh buruk alam maupun yang bersifat magis. Beberapa ritual daur hidup lainnya seperti inisiasi bagi orang yang memasuki usia remaja (akil balig). Tradisi dalam upacara menek kelih (menginjak dewasa) di mana seseorang akan dibuatkan semacam ritual dengan menggunakan berbagai saran upacara dan perlengkapan lainnya. Mereka yang diupacarai baik perempuan maupun laki-laki akan dibersihkan dari unsur negatif yang menempel dibadan dan seluruh tubuh. Dengan doa dan sirman tirta bagi mereka yang 8 diupacarai bertujuan memberikan semangat dan motivasi agar diusia yang remaja dapat menjalani kehidupan dengan lebih baik. Pada tahapan selanjutnya seseorang yang akan mengijak kejenjang perkawinan selalu juga diadakan upacara pembersihan (penyucian) bagi mereka yang menikah. Karena pada tingkat ini dianggap suatu yang penting dan sebagian menggap ini sebuah krisis dimana seseorang harus diruat atau didoakan sehingga orang tersebut dapat selamat sehat dan bisa mengarungi bahtera kehidupanya dengan bahagia. Pada masyarakat Penglipuran menganggap peralihan dari remaja ke jenjang pernikahan perlu dilakukan upacara perkawinan yang disahkan secara adat oleh tokoh masyarakat seperti klian adat, jero kubayan dan disaksikan oleh masyarakat lainnya. Pada tahapan ini seseorang yang telah disahkan perkawinannya secara adat akan masuk dalam keanggotan adat (meseke) di samping itu memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan baik dalam ritual keagamaan ataupun dalam adat istiadat sesuai awig-awig yang dikukuhkan masyarakat adat Penglipuran. 1. Kepercayaan masyarakat terkait dengan Ritual Kematian Upacara kematian merupakan ritual yang dianggap penting sebagai siklus perjalanan kehidupan manusia. Upacara kematian atau penguburan terhadap mereka yang meninggal tidak lain bertujuan mendoakan arawah atau roh yang telah meninggal. Dengan ritual ini maka roh yang meninggal tersebut diharapkan mendapat tempat yang layak dialam niskala.Ritual kematian pada masyarakat Penglipuran dilakukan secara kolektif dimana semua warga berparisipasi dalam kelangsungan pelaksanaan upacara tersebut.Pada masyarakat penglipuran sebagaimana masyarakat umumnya di Bali, tidak melakukan pembakaran mayat atau sering disebut ngaben, namun, prosesi upacara dilakukan secara sederhana namun tetap dalam kaedah-kaedah adat maupun agama Hindu. Upacara ritual kematian di desa penglipuran tidaklah melakukan pembakaran mayat namun lebih pada simbolisasi terhadap makna ngaben dimana dalam prosesi ritual kematian, orang yang meninggal di desa Penglipuran digunakan cara dikubur. Ada beberapa asumsi bahwa penguburan lebih cocok karena berada di daerah pegunungan, di samping itu ada kepercayan masyarakat menganggap bahwa daerah di sekitar penglipuran wilayah yang sacral karena dekat dengan Gunung Batur. Untuk menjaga kesucian zona tersebut, dalam awig-awig meniadakan upacara ngabenakan tetapi cara yang dilakukan adalah dengan cara dikuburkan. Ini juga merupakan pengaruh kebudayaan prasejarah di mana budaya local genius masyarakat setempat masih sangat kental.Salah satu unsur-unsur dari budaya Bali kuno adalah menguburkan jenasah dianggap lebih terhormat. c. Kepercayaan Masyarakat Terhadap Penggunaan Letak dan Tata Ruang Pemukiman Melihat keberadaan tata letak pengunaan ruang untuk pemukiman tentunya selalu dipengaruhi oleh kondisi ekologi di tempat tersebut. Keadaan topografi yang relatif tinggi mempengaruhi bahan material yang digunakan untuk pemukiman. Desa adat Penglipuran yang letaknya dipegunungan harus juga menyesuaikan terhadap kondisi ekologi di tempat tersebut. Dengan dasar pemikiran filosofis maupun keyakinan masyarakat maka pola pemukiman selalu 9 berpatokan pada konsep-konsep seperti konsep Tri Mandala dan konsep Tri Hita Karana. (Photo: jalan tengah desa dan angkul-angkul di desa adat Penglipuran) Sedangkan arah atau kiblat untuk tata letak pemukiman mengunakan konsep kaje-kelod, luan-teben yang cenderung mengunakan dikotomi yang saling berlawanan namun dalam satu kesatuan yang dinamis konsep ini sering disebut Rwa Bhineda. Dalam kehidupan masyarakat Penglipuran percaya bahwa segala perputaran waktu memiliki dampak terhadap lingkungan baik itu dampak negatif ataupun positif. Dengan adanya kepercayaan tersebut, bagi masyarakat tentunya memiliki cara tertentu untuk beradaptasi dengan lingkungan alam. Masyarakat penglipuran memiliki cara dalam mengunankan tata guna lahan. Secara terstruktur mengunakan pola keseimbangan dan adaptasi yang tinggi terhadap ekologi di wilayah atau kawasan seperti desa. Begitu pula dalam pola yang dibangun untuk konstruksi rumah tradisional Bali. Telah diketahui bahwa pola rumah di Bali yang menggunakan arsitektur Bali sangat bervariatif berbeda sesuai dengan tempat. Antara daerah satu dengan daerah lainya memiliki perbedaan. Perbedaan ini memberi warnadan kkhasan arsitektur masing-masing daerah di Bali (Wijaya, 2003). Popo Danes (dalam Wijaya, 2003) mengatakan bahwa secara umum pola arsitektur Bali dibagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama, mendiami daerah pegunungan dan desa-desa tua di Bali, sering disebut arsitektur pegunungan. Kelompok kedua mewakili arsitektur belakangan yang mendapat pengaruh dari Jawa- Majapahit, sering disebut arsitektur dataran. Kedua memiliki persamaan dan perbedaan mencolok. Perbedaan itu disebabkan karena pengaruh iklim dan geografis setempat. (Photo: Bangunan Dapur dan Meten di desa adat Penglipuran). 10 Perbedaan tata ruang antara arsitektur Bali pegungan dan arsitektur Bali dataran dapat dilihat dari beberapa unsur seperti tata letak bangunan dan fungsinya akan berbeda sesuai kepercayaan masyarakatnya. Bangunan paon (dapur) dan Meten (kamar tidur) dibuat terpisah. Meten biasanya berada pada posisi arah kaje (utara) dan paon berposisi sebelah barat – selatan (barat daya) dekat pintu gerbang atau pemesuan (angkul-angkul). Namun akan berbeda dengan arsitektur pegunungan dalam hal ini dapat dilihat pada pola tata ruang pemukiman di desa Penglipuran. Begitu pula dalam arsitektur dalam rancangan bangunannya. Bangunan paon (dapur) dan meten (bale paon) berposisi di bagian utara pekarangan. Tempat tidur (dibagian timur), perapian dan tempat air (dibagian barat) menyatu dalam satu ruangan bale paon. Penyatuan ini disebabkan iklim dan suhu di daerah pegunungan yang dingin, sehingga memerlukan “penghangat” ruangan untuk menghilangkan dingin. Lebih daripada itu, umah paon difungsikan sebagai tempat istirahan atau tempat tidur terutama bagi orang tua atau bayi yang baru lahir. Fungsi umah paon pada wilayah penglipuran dapat digunakan untuk kegiatan keagamaan seperti halnya upacara penobatan Kubayan (Tetua Adat). Berposisi di sebelah utara (kaje) setelah pemerajan atau sanggah ditimur laut (kaje kangin) yang berorientasi gunung sebagai simbol kesuburan dan kesucian. Dengan demikian fungsi dapur selain sebagai tempat memasak, tidur orang tua atau bayi juga berfungsi religius tempat upacara yang dianggap suci. Gelebet (2003) mengatakan bahwa konsep arsitektur Bali tidak bisa dilepaskan dari segitiga ilosfi yang dibangun dari tiga aspek, yaitu aspek berbudaya, aspek agama Hindu, dan aspek wawasan lingkungan. Aspek berbudaya itu dilandasi oleh catur purusa artha: dharma, artha, kama dan moksa. Dharma berarti dalam penerapannya menggunakan nilai-nilai Hindu. Artha berarti arsitektur tradisional Bal memiliki kemegahan, keindahan dan kesehatan. Sedangkan kama berarti bangunan itu memiliki ciri kemasyarakatan dalam asitekturnya, dalam arti bagaiman bangunan ditata dengan berpijak pada sikap sosial dan akomotatif maksudnya, bangunannya tidak tertutup melainkan terbuka keculai kamar tidur (umah paon) di penglipuran. Dekat pintu masuk pekarangan rumah angkul angkul biasanya ada dapur (paon) di mana dapur digunakan sebagai aktivitas atau rutinitas sehari-hari orang Penglipuran di dapur. Sedangkan moksa, berarti banguan-bangunan tersebut memberi kesejahtrean lahir batin secara berkelanjutan bagi penghuninya. Berlanjut pada aspek ekologi atau lingkungannya selalu menggunakan pedoman dari filosofi Tri Hita Karana. Hal ini terkait dengan keharmonisan alam. Dalam penggunaan tata ruang tradisional Bali umumnya terbagi kedalam tiga bagian, dan pada setiap bagian tersebut memiliki fungsi dan maknanya. Ada bagian yang berfungsi sebagai parahyangan, Pawongan, dan palemahan. Parahyangan sebagai simbol tempat berstananya para dewa dan manifestaninya ini berupa tempat suci atau pemerajan. Pada bagian ini biasanya disakralkan atau area paling suci. Sedangkan pawongan berada ditengah tengah merupakan tempat penghuni beraktivitas sehari-harinya. Untuk palemahan berada di bagian paling luar karena tingkat kesuciannya paling rendah area ini sering berupa tebe, yaitu penataan drainase dengan kemiringan yang tepat agar air cukup lancara mengalir, kamar madi dan tempat beternak seperti Babi dan lainnnya. 11 Sedangkan pembagian ruang yang lebih khusus mengacu pada tri mandala. Hal ini pembagian menjadi utama mandala, madya mandala dan Nistta mandala. Dalam Utama mandala telah disebutkan sebagai tempat suci (parahyangan). Madya mandala merupakan bangunan tempat tinggal, sedangkan Nistta Mandala adalah tempat mandi atau kamar mandi dan aktivitas lainnya. Lebih spesifik lagi terdapat juga kaedah dalam membuat rancangan bangunan dengan menggunakan konsep tri angga, di mana secara vertikal penggunaan ruang akan dibagi ke dalam tiga tingkatan, yaitu tingkat yang pertama adalah kepala (bagian atas bangunan). Di dalamnya juga disediakan tempat suci sebagai kawasan suci, pada bagian tengah dipersonifikasikan sebagai (badan) atau merupakan bagian tengah dari suatu bangunan yaitu bale-bale, tempat sebagai aktivitas keseharian dan upacara adan adat dan agama, bagian yang paling bawah yaitu bagian dasar dari bangunan. Jadi konsep konsep dalam membuat bangunan akan selalu mengacu pada sastra dan agama. Dengan demikian, ada keseimbangan dan keharmonisan antara orang yang menempatinya (mikrokosmos) dan di tempat (Makrokosmos). Dalam melihat tata letak ruang pemukiman pada masyarakat Penglipuran lebih menggunakan pola linear. Pola ini bukan hanya merupakan hasil perpaduan dari letak geografis dengan fungsi yang diwadahi semata, akan tetapi merupakan ekspresi yang kuat masyarakatnya terhadap konsep dualistik yang dilatarbelakangi oleh orientasi gunung Utara (kaje) dan laut selatan (kelod) yang dibawa oleh leluhur mereka dari Bayung Gede. Orientasi simbul gunung dimaksudkan adalah gunung Batur yang terletak di sebelah Utara Desa Penglipuran yang mereka yakini memiliki kekuatan magis dan religius. Bagi orang Hindu Bali, gunung adalah tempat suci sebagai persemayaman dewa (jensen dan Suryani, 1996: 12). Lebih lanjut Atmaja, 1998) mengatakan bahwa gunung dan matahari merupakan sumber amerta atau sumber kehidupan yang tidak habis-habisnya bagi umat manusia. Jika dilihat dari definsi ruang yang merupakan akselerasi dari budaya lokal, dimana ruang yang terbentuk pada permukiman masyarakat tradisional biasanya merupakan proyeksi imajiner dari budaya yang ada. Maka perlu diungkapkan wujud budaya dalam konteks penciptaan tatanan ruang permukiman menurut J.J Honogman dalam Koentjaraningrat (1981) yaitu : 1. Wujud sebagai sistem budaya atau adat-istiadat sebagai sebagai kompleks dari ide-ide dan nilai-nilai, peraturan, dan sebagainya. Wujud kebudayaan ini merupakan wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak dan tidak dapat diraba atau dirasakan secara kasat mata, karenahanya ada dalam alam pikiran masyarakat dimana kebudayaan bersangkutan hidup. 2. Wujud sebagai sistem sosial yang kompleks suatu atifitas atau tindakan yang berpola dari manusia dalam masyarakat, wujud kebudayaan ini bersifat konkrit, bisa diobservasi dan bisa didokumentasi. 3. Wujud sebagai sistem kebudayaan fisik sebagai benda-benda hasil kebudayaan manuasia yang merupakan seluruh total hasil fisik dari aktifitas serta karya manusia dalam masyarakat. Sehingga memiliki sifat paleng konkeret, dan benda-benda atau hal yang dapat diraba, dilihat dan di dokumentasi d. Kepercayaan masyarakat penglipuran terhadap gejala alam 12 Gejala alam dalam kehidupan di bumi dianggap suatu pertanda untuk memberikan isyarat terhadap kehidupan di Bumi. Gejala-gejala alam sebenarnya sangat banyak namun dalam kesempatan ini akan digambarkan beberapa gejala alam yang terkait dengan mitologi dan kepercayaan masyarakatnya. 1. Kilap/krug (petir) Fenomena alam ini biasanya terjadi pada musim-musim penghujan. Namun gejala alam ini juga bisa terjadi diberbagai tempat dipermukaan bumi tanpa perhitungan waktu terjadinya peristiwa tersebut. Bagi pandangan emik masyarakat Penglipuran, petir adalah peristiwa yang yang gaib. Petir dianggap hidup, mengeluarkan cahaya dan bisa bergerak menyabar berbagai bentuk materi yang ada disekitarnya seperti pohon-pohon, rumah maupun manusia sendiri sampai hangus. Petir juga memberikan pertanda terhadap kehidupan manusia bahwa akan terjadi fenomena lama yang lebih tragis seperti terjadinya badai. Masyarakat pada umumnya mengetahui bahwa petir itu adalah api yang datang dari alam. Bagi masyarakat Penglipuran, petir dapat menjadi bahaya bila mana tempat pemukiman tidak memiliki penangkal petir. Namun pengetahuan lokal menggunakan cara yang sangat tradisional yakni dengan menancapkan bambu runcing di atas atap rumah, juga berfungsi untuk menyanggah dan memperkuat konstrusi bangunan seperti bugbug atap bangunan agar lebih kuat. Bila dikaitkan dengan kepercayaan masyarakat, bambu runcing yang tertancak ke bugbug untuk menjaga keamanan rumah dari gejala alam kilap (petir). Pengetahuan lokal mengenai gejala kilap (petir) dalam pengalaman seharihari juga telah dituturkan secara lisan secara turun-temurun kepada generasi selanjutnya, mengenai cara untuk terhindar dari sambaran kilap yakni dengan cara melemparkan benda-benda dari besi yang sedang dibawa, seperti sabit linggis (perkakas) rumah tangga yang beridium besi. Cara tersebut dianggap cukup efektif terhindar dari gejala petir. 2. Gempa (linuh) Gejala alam seperti linuh (gempa) bisa terjadi di berbagai tempat pada permukan bumi. Pada masyarakat tradisional memiliki pandangan terhadap gempa (linuh) dengan melakukan atau membunyikan benda-benda dan mengucapkan “hidup hidup hidup…! sepanjang terjadinya gempa. Hal ini bertujuan agar linuh (gempa) segera berhenti. Di samping itu membunyikan kentongan atau benda disekelilingnya dengan cara memukul bertujuan agar orang lain tahu terjadi gempa sehingga terhindar dari rubuhan bangunan. Dalam pandangan masyarakat Bali dan masyarakat Penglipuran juga mempercayai mitologi yang berkembang umum mengenai terjadinya gempa. Gempa terjadi karena di cerita di mana dalam dasar bumi terdapat kura-kura yang cukup besar dan bila bergerak akan menyebabkan terjadi guncanan atau gempa. Kura-kura ini diikat oleh naga yang besar juga. Pada masyarakat Bali direfleksikan ke dalam Benawang nala atau simbul di mana kura-kura diikat oleh naga. Simbol-simbol ini biasanya terdapat di Padmasana atau sanggaran agung. Simbol ini menjadi sangat fenomena ditengah kehidupan masyarakat Bali dan penglipuran khususnya. Namun pada lingkungan ekologis yang khas dan berada pada daerah pegunungan mengenal ada dua macam gempa hal ini berdasarkan pengalaman masyarakat penglipuran. Yang pertama adalah gempa sifatnya tutin atau kontinyu setiap terjadi pergantian musim terjadi 13 setiap tahunan (gempa tektonik) dan yang kedua adalah gempa karena gejala alam gunung berapi, di desa adat Penglipuran berdekatan dengan gunung Batur. Gempa bisa terjadi tidak menentu karena pengaruh dari letupan eropsi dari aktivitas gunung berapi. Aktivitas Gunung Batur tidak dapat diperdiksi, walaupun demikian tindakan prepentif dari petugas jaga vulkanonogi terus memantau dan memberikan informasi kepada masyarakat. Sejauh ini dikatakan belum ada dampak yang signifikan terhadap lingkungan ekologi penglipuran akibat gempa. Walaupun di Bali pernah terjadi gempa seperti di Buleleng tahun 1976 dengan kekuatan hingga mencapai 6,2 skala richter dimana berdampak terhadap ekologi, namun di wilayah Bangli (Penglipuran) sampai saat ini belum pernah terjadi gempat sekuat itu yang bisa menyebabkan kerusakan banguna maupun yang lainnya. e. Kepercayaan masyarakat mengenai tenget Tenget merupakan suatu konsep yang digunakan oleh masyarakat lokal dalam menggambarkan atau mendiskripsikan sesuatu yang dikategorikan tenget. Keberadaan tenget akan sangat dipengaruhi oleh tradisi atau adat-istiadat setempat. Dalam arti yang lebih luas tenget merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat Bali. Tenget dalam budaya Bali perlu diuraikan di dalam unsur-unsur yang membentuk kebudayaan, dan untuk memperoleh gambaran yang utuh dari kebudayaan perlu pula di ketengahkan pandangan Koentjaraningrat (2000:2-5) tentang unsur dan wujud kebudayaan sebagai berikut: Unsur universal dan sekaligus sebagai isi yang membentuk keubudayaan yaitu : sistem religi dan upacara agama; sistem dan oraganisasi kemasyarakatan ; sistem pengetahuan; Bahasa; kesenian; sistem mata pencaharian ; sistem teknologi dan peralatan. Sedangkan tiga wujud kebudayan yaitu : 1. Kompleksitas ide-ide; 2 kompleksitas aktivitas/berkelakuan berpola dan 3. Wujud benda atau artefak. Melihat tujuh unsur kebudayaan universal maka dapatlah kebudayaan Bali digunakan dalam kerangka kebudayaan. Kebudayaan Bali merupakan suatu proses dinamis, suatu akumulasi manifestasi kehidupan manuasia sejak jaman Bali Purba sampai pada eksistensi Bali dewasa ini. Kebudayaan Bali selalu akan memiliki keterkaitan dengan sistem religi. Seperti disebutkan dalam tujuh unsur kebudayaan universal. Dalam kebudayaan Bali terdapat sistem kepercayaan tentang kebenaran dan harmoni yang bersumber dari ajaran weda yang diyakini masyarakat Bali sebagai takaran tentang kebenaran. Konsep-konsep kebenaran dalam sistem religi (sebagai unsur utama dari kebudayaan), kemudian terkolaborasi secara adaptif yang kemudian menjiwai setiap unsur-unsur kebudayaan yang lain. Dengan adanya suatu yang dianggap benar maka timbul berbagai fenomena budaya sebagai tatanan yang berpola dan dalam hal ini secara tidak langsung akan sangat mempengaruhi perilaku masyarakat. Di sinilah kan timbul norma-norma seperti adanya larangan atau pantangan yang seharusnya ditaati oleh pendukung kebudayaan tersebut. Jadi dengan adanya pantangan dan keyakinan terhadap sesuatu dimana harus juga menggunakan kaedah-kaedah dalam tatanan sosial sering disebut dengan tenget. Tenget adalah salah satu cara manusia dan 14 masyarakat Bali untuk berkomunikasi; langsung ataupun tidak langsung; pada waktu kehidupan sekarang maupun terhadap generasi berikutnya; antara individu atau kelompok; tentang kebenaran (baik buruk atau boleh dan tidak boleh). Tenget tumbuh dan berkembang dalam sistem nilai budaya sebagai simbol untuk menyampaikan etika tentang keharmonisan interelasi manusia dengan penciptanya, dengan sesama manusia dan dengan lingkungan (Hudyana, 2002:17). Tenget juga berfungsi sebagai simbol. Tenget sebagai simbol yang berfungsi sebagai designator kemudian membentuk sikap mental. Pemahaman makna tenget, sebagai salah satu wujud kearifan lokal mengenai lingkungan dapat direvitalisasi dengan mensinergikannya dengan kaidah pengetahuan ilmiah. Tenget dalam budaya Bali, tidak saja sebagai sistem nilai budaya, tetapi juga bentuk pengetahuan yang disampaikan secara oral, berdasarkan pengalaman dari lingkungan dan dunia transendental yang melingkupinya. Sedangkan keberadaan tenget itu tergantung kepercayaan masyarakat setempat. Tenget dapat mengarah pada benda/fisik yang terkesan mengandung kekuatan magi, ada penggunanya mengandung bahaya yang tidak diketahui seperti kuburan, kuburan, pohon besar yang ada dekat kuburan, ulun pangkung (hulu sungai kecil), dan sudut-sudut tertentu dari hutan bambu di sekitar desa Penglipuran. Tenget sebagai simbol dalam wujud yang abstrak dan berada dalam kesadaran pemikiran berupa kumpulan pengetahuan-pengetahuan akhirnya juga merupakan pengetahuan atau kearifan bersama (Hudyana, 2002). Tenget memiliki makna yang beragam tergantung dari keberadaan masyarakat pada masing-masing kebudayaan. Tenget sesungguhnya memiliki arti penting terhadap keberadaan lingkungan. Hal ini sesungguhnya sangat menguntungkan bagi terpeliharanya ekosistem. Hal-hal yang dikategorikan tenget dalam lingkungan adalah bentuk laten terhadap keinginan masyarakat agar kawasan atau wilayah tertentu menjadi terjaga dan lestari. Pada desa adat Penglipuran kawasan hutan bambu dipercaya merupakan wilayah yang tenget. Dengan adanya tenget seseorang akan selalu berhati-hati dan tidak sembarangan melakukan kegiatan seperti memotong bambu di hutan tanpa ada ritual atau ijin dari pemuka adat. Diketahui bahwa hutan bambu telah membantu keadaan alam yang labil menjadi lebih kuat. Akar bambu dapat menahan longsor sehingga harmonisasi alam menjadi baik. C. PENUTUP Setiap kebudayaan yang ada di dunia memiliki kebiasaan atau adat-istiadat yang disepakati dalam lingkungan tersebut. Dalam adat-istiadat beranekawarna sukubangsa memiliki pegangan dan tatanan yang dijadikan sebagai pola bagi kelakuan. Hal ini tentu saja sebagai pedoman dalam mewujudkan serangkaian tujuan yang ingin dicapai. Serangkaian ritus dan upacara sering dilakukan sebagai wujud dari rasa syukur yang telah didapatkannya. Setiap suku bangsa dalam lingkaran kehidupan meyakini ada hal-hal penting perlu dilakukan guna gejala-gejala alam yang bersifat buruk dapat di atasi. Mereka percaya pada setiap tingkat atau jenjang kehidupan (peralihan), ada proses ritual yang harus dilakukan. Namun dalam jenjang peralihan tersebut tidaklah mutlak atau seragam pada semua kebudayaan 15 itu sendiri. Sepanjang lingkaran kehidupan individu dan yang dengan meniru A. van Gennep juga bisa disebut dengan ritus peralihan. Sepanjang perjalanan hidup dalam jenjang atau tingkatan memasuki kehidupan diperlukan adanya semacam penetralisiran berbagai dampak buruk yang akan menimpa seseorang. Di samping itu juga sebagai rasa syukur kepada Tuhan dimana telah memberikan keselamatan dalam proses kehidupan ini. Setiap jenjang peralihan dianggap suatu krisis oleh kebudayaan sukubangsa pada umumnya. Maka dari itulah hal-hal penting ini perlu dilakukan semacam inisiasi. Pada masyarakat adat penglipuran juga memiliki keyakinan terhadap Tuhannya. Wujud dari keyakinan itu diaktualisasi dengan pengalaman dalam kehidupan sehingga muncul dokrin atau ajaran yang memperkuat asas religi pada masyarakat. Begitu pula pada masyarakat penglipuran dalam menjalankan keyakinannya selalu berpedoman pada sastra suci maupun kitab-kitab yang ada. Masyarakat penglipuran hampir seluruh masyarakatnya mengaut ajaran agama Hindu. Setiap ritual yang diselenggarakan baik secara individu maupun kelompok yang besar di tempat seperti pura dan merajan atau pura Tri Khayangan Tiga selalu berpedoman pada kaedah-kaedah dari ajaran agama Hindu dan dereste yang berlaku di Penglipuran. Masyarakat Penglipuran dalam menjalankan ritual-ritualnya sangat menghormati jero Kubayan, peran serta maupun fungsi belia adalah sebagai pemimpin dalam ritual atau upacara yang berlangsung. Dalam kaitannya dengan masa peralihan atau daur hidup masyarakanya pada umumnya juga menggunakan ritual-ritual maupun peralatan sebagai sarana dalam melangsungkan jalanya ritual tersebut. Dalam kaitan dengan kepercayaan terhadap gejala alam, masyarakat Penglipuran juga percaya terhadap tanda-tanda seperti petir (kilap), gempa, dan juga mereka percaya terhadap penguasa lingkungan alam niskala. Tempat seperti itu diyakini tenget atau angker. Tenget dalam hal ini lebih pada pemaknaan untuk menjaga alam. Masyarakat penglipuran percaya ada tempat-tempat tertentu dianggap tenget. Seperti misalnya di hutan Bambu. Tidak sembarangan orang menebang bambu, ada ritual-ritual tertentu yang harus dilalui yakni dengan menghaturkan sesajen atau perlengkapan upacara lainnya, dengan tujuan memohon keselamatan bagi mereka yang menebang pohon bambu di hutan. DAFTAR PUSTAKA Agger, Bin. 2006. Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya. Terjemahan.Yogyakarta: Kreasi Wacana. Alsa, Asmadi. 2007. Pendekatan kuantitatif & Kualitatif Serta Kombinasinya Dalam Penelitian Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Darma Yuda S. I Made; 1990. Hubungan Adat Dengan Agama dan Kebudayaan. Penerbit : CV Kayumas. Duija I Nengah, Ekspresi Seni Masyarakat Desa Adat Penglipuran Diakses dari wilkipedia.com pada bulan desember 2010. Endraswara, Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Foklor, Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Medpress. 16 Fashri, Fauzi. 2007. Penyingkapan Kuasa Simbol, Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Juxtapose. Hudyana, I Dewa Gede Raka. 2002. “Tenget dalam Pembangunan Berkelanjutan studi kasus: revitasisasi kearifan local mengenai lingkungan di desa adat Penglipuran, Bangli, Bali”. (tesis) Semarang; program Pascasarjana Universitas Diponogoro Koentjaraningrat, 1985.Ritus peralihan di Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka. Kutha Ratna, I Nyoman. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakrata: Pustaka Pelajar. Kutha Ratna, I Nyoman. 2005. Sastra dan Cultural Studies. “Representasi Fiksi dan Fakta.” Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung: PT Remaja Rosda Karya. _____________, Monografi Desa Adat Penglipuran Nawawi, Hadari dan Martini Hadari.1992.Instrumen Penelitian Bidang Sosial.Yogyakarta Gajah Mada University Press. Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2005. Teori Sosiologi Modern. Terjemahan. Jakarta: Prenada Media. Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern. (Terjemahan Muhammad Taufik). Yogyakarta: Kreasi Utama. Ritzer, George. 2004. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Terjemahan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Ratna, Nyoman Kuta. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Surpha, I Wayan; 1993. Eksistensi Desa Adat di Bali. Penerbit PT. Upaca Sastra. Strauss, Anselm & Juliet Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Tatalangkah dan Teknik-teknik Teoritisasi Data. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Zaid, Nashr Hamid Abu. 2004. Hermeneutika Inklusif, Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan. Jakarta: ICIP. Sumber dari Internet http://www.griya-asri.com/2010/02/”desa-adat-penglipuran-bertahan-di-tengaharus-modern”. http://www.navigasi.net/goart.php?a=budsplpr. http://www.balitv.tv/btv2/index.php/program/pesona-wisata-mainmenu-37/1497penglipuran-desa-tradisional-bali. Parwati, Rai. 2009 diakses senin 30 Maret 2009. 17