BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1 Pengertian Kreativitas Menurut Munandar (2009:25), kreativitas merupakan kemampuan untuk menciptakan gagasan, menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, membuat kombinasi baru berdasarkan data, informasi, atau unsur-unsur yang ada. Siswa memiliki kebebasan berpikir untuk menyatakan gagasan dan pendapat seluas–luasnya tanpa aturan– aturan. Amabile dalam Munandar (2009:40) mendefinisikan, kreativitas sebagai produksi suatu respon atau karya baru sesuai dengan tugas yang dihadapi. Menurut Ayan (2002) mengatakan bahwa hakikat kreativitas adalah kemauan, keinginan atau semangat untuk melakukan eksplorasi, mempertanyakan dan melakukan eksperimen terhadap berbagai objek, peristiwa dan situasi yang ada di lingkungan. 2.1.2 Proses Kreativitas Wallas dalam Munandar (2009:39) yang menyatakan bahwa proses kreatif meliputi empat tahap, yaitu: tahap persiapan, adalah tahap pengumpulan informasi atau data sebagai bahan untuk memecahkan masalah dan percobaan–percobaan atas dasar berbagai pemikiran kemungkinan pemecahan masalah yang dihadapi terjadi pada tahap ini. Tahap inkubasi (incubation), adalah tahap dieraminya proses pemecahan masalah dalam alam prasadar. Tahap iluminasi (illumination), yaitu tahap munculnya inspirasi atau gagasan–gagasan untuk memecahkan masalah. Tahap verifikasi (verification), adalah tahap munculnya aktivitas evaluasi terhadap gagasan secara kritis yang sudah mulai dicocokkan dengan kenyataan nyata atau kondisi realita. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa proses kreatif yaitu: tahap persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi. Tahap inkubasi merupakan tahap yang sangat penting, karena berlangsung proses refleksi yang memerlukan ketenangan dan waktu yang cukup. 7 2.1.3 Karakteristik Kreativitas Menurut Fisher & Wiliams dalam Wijaya (2012:56) terdapat empat karakteristik kreativitas, antara lain: 1) Melibatkan kegiatan berpikir imajinatif Melibatkan berpikir imajinatif yang dimaksud adalah berpikir secara natural dengan bayangan atau imajinasi anak sendiri. 2) Memiliki tujuan yang jelas Memiliki tujuan yang jelas ialah anak memiliki tujuan dari apa yang ia dapatkan dalam berimajinasi untuk ia tuangkan dalam hasil karya kreatif. 3) Karya yang dihasilkan memiliki nilai (value) Karya yang dihasilkan memiliki nilai adalah anak menciptakan hasil karya yang natural dengan unsur keindahan yang telah ia rencanakan dengan sendiri dan tanpa ada unsur plagiasi karena berasal dari diri anak sendiri. Sehingga karya memiliki nilai lebih karena hanya ada satu di dunia. 4) Menghasilkan karya yang orisinal Anak menciptakan hasil karya yang natural dari dalam dirinya, sesuai yang ia gambarkan dalam insting pemikirannya. 2.1.4 Kemampuan dalam Mengembangkan Kreativitas Kemampuan mengelola pengetahuan bukan suatu kemampuan tunggal, melainkan tersusun dari sejumlah kemampuan yang lain. Cropley dalam Wijaya diperhatikan (2012:56) dalam menyebutkan mengembangkan kemampuan kreativitas yang siswa perlu melalui pembelajaran di kelas. Kemampuan tersebut mencakup: 1. Kemampuan untuk (berpikir) fokus (Focusing Skills) Kemampuan untuk (berpikir) fokus berkaitan dengan kemampuan untuk mengidentifikasi konsep kunci (identifying key concepts), mengenal permasalahan (recognizing the problems), dan menetapkan tujuan (setting goals) merupakan komponen dari kemampuan (berpikir) fokus. Cropley menyebutkan kepekaan terhadap masalah (sensitivity to problems) merupakan ciri pertama dari kemampuan berpikir kreatif. Selanjutnya, seorang pemikir yang krratif akan mampu menyatakan 8 ulang permasalahan yang ada dari susut pandang yang berbeda. Cropley menyebut tahap ini sebagai redefinition of problems. 2. Kemampuan mengumpulkan informasi (Informationo-Gathering Skills) dilakukan selanjutnya adalah mengumpulkan informasi yang terkait dengan konsep kunci tersebut. Kemampuan pengamatan, perumusan pertanyaan, serta klarifikasi melalui inkuiri merupakan keterampilan pokok yang dibutuhkan dalam pengumpulan informasi. 3. Kemampuan mengorganisasi (Organizing Skills) Kemampuan mengorganisasi berkaitan dengan penyusunan informasi sehingga mudah dipahami dan bisa disampaikan secara efektif. Kemampuan pengorganisasian terdiri dari keterampilan dalam memabandingkan(comparing), pengategorian(classifying/categorizing), pengurutan (ordering), serta penyajian informasi. 4. Kemampuan menganalisis (Analyzing Skills) Analisis merupakan inti dari kemampuan kritis yang melibatkan proses klarifikasi dan pemeriksaan komponen dan hubungan informasi. Kemampuan mengidentifikasi pola dan hubungan (pattern and relationship) dan menemukan kesalahan (finding errors) merupakan elemen utama dari analisis. 5. Kemampuan generalisasi Kemampuan generalisasi mencakup kemampuan untuk menggunakan pengetahuan awal dan mengembangkannya dengan informasi tambahan. Kemampuan mengembangkan ide-ide baru, mengidentifikasi persamaan dan perbedaan, memperkirakan, dan mengelaborasi ide perlu diperhatikan dalam mengembangkan kemampuan generalisasi. 6. Keterampilan mengintegrasi Keterampilan ini mencakup kemampuan meringkas (summarizing), mengombinasikan informasi, memilih dan memilah informasi yang tidak dibutuhkan, mengorganisasi informasi secara grafis, dan mengonstruksi informasi. 9 7. Keterampilan mengevaluasi Menurut Marzano, Pickering, & Pollock dalam wijaya (2012:570), keterampilan evaluasi mencakup kemampuan untuk menetapkan kriteria dan pembuktian atau verifikasi data. 2.1.5 Ciri-ciri Kreativitas Guilford dalam Munandar (2009:10) dan Hawadi (2001:3) mengemukakan ada empat ciri yang menjadi sifat kreativitas, yaitu kelancaran (fluency) adalah kemampuan untuk memproduksi banyak gagasan; kelenturan atau keluwesan (fleksibility) merupakan kemampuan untuk mengajukan bermacam–macam pendekatan dan atau pemecahan masalah; orisinalitas dalam berpikir merupakan kemamapuan untuk melahirkan gagasan asli sebagai hasil pemikiran sendiri dan tidak klise; elaborasi adalah kemampuan untuk menguraikan sesuatu secara terinci. 2.1.6 Indikator Kreativitas Indikator kreativitas belajar menurut Uno (2009: 21) adalah sebagai berikut: 1. Memiliki rasa ingin tahu Biasanya siswa yang kreatif selalu ingin tahu, memiliki minat yang luas dan mempunyai kegemaran dan aktivitas yang kreatif. 2. Sering mengajukan pertanyaan yang membangun Siswa yang kreatif biasanya dalam belajar selalu bertanya dan pertanyaan yang diajukan selalu berbobot dan sifatnya membangun. 3. Memberikan banyak gagasan dan usul terhadap suatu masalah Siswa yang keatif mampu memberikan gagasan dan usul terhadap suatu masalah yang perlu diselesaikan. Hal ini berarti siswa memiliki kreativitas yang tinggi dalam menyelesaikan masalah. 4. Mampu menunjukkan pendapat secara spontan dan tidak malu Apabila mengeluarkan pendapat secara langsung dan tidak malumalu. Contonya dalam diskusi belajar di kelas menyampaikan pendapatnya secara langsung dalam keadaan setuju ataupun tidak setuju. 10 5. Mempunyai atau menghargai keindahan Minat siswa dalam keindahan juga lebih kuat dari rata-rata, walaupun tidak semua orang kreatif menjadi seniman, tetapi mereka mempunyai minat yang cukup besar terhadap keadaan alam, seni, sastra, musik dan teater. 6. Bebas berfikir dalam belajar Siswa memiliki kekebasan dalam berfikir, dalam hal ini siswa mempunyai kebebasan untuk mengembangkan pengetahuan awal yang diperoleh untuk kemudian diterapkan dalam kehidupannya. 7. Memiliki rasa humor tinggi Siswa kreatif biasanya memiliki rasa humor tinggi, dapat melihat masalah dari berbagai sudut dan memiliki kemampuan untuk bermain dengan ide, konsep atau kemungkinan-kemungkinan yang dikhayalkan. 8. Mempunyai daya imajinasi yang kuat Siswa yang kreatif biasanya lebih tertarik pada hal-hal yang rumit. 9. Mampu mengajukan pemikiran, gagasan pemecahan masalah yang berbeda dengan orang lain Siswa mempunyai rencana yang inovatif serta orisinal yang telah dipikirkan dengan matang terlebih dahulu dengan mempertimbangkan masalah yang mungkin timbul dan implikasinya. 10. Dapat bekerja sendiri Siswa yang kreatif biasanya cukup mandiri dan memiliki rasa percaya diri, sehingga selalu mengerjakan sendiri. Contohnya apabila mendapat tugas selalu berusaha mengerjakan sendiri. 11. Sering mencoba hal-hal baru Biasanya siswa yang kreatif berani mengambil resiko (tetapi dengan perhitungan) dari pada siswa pada umumnya. Artinya dapat melakukan sesuatu yang bagi mereka amat berarti, penting, dan disukai mereka tidak menghiraukan kritik atau ejekan orang lain. 12. Mampu mengembangkan atau merinci suatu gagasan Siswa yang kreatif dapat mengembangkan suatu gagasan yang baru agar dapat berkembang kearah yang lebih baik dan jelas. 11 Catron dan Allen dalam Sujiono dan mengemukakan beberapa indikator kreatif pada anak: sujiono (2010) 1. anak memiliki keinginan untuk mengambil resiko berperilaku secara berbeda dan mencoba hal-hal yang baru dan sulit. 2. anak memiliki selera humor yang luar biasa dalam situasi seharihari. 3. Anak berpendirian tetap, terang-terangan, dan memiliki keinginan untuk berbicara secara terbuka. 4. Anak dapat melakukan hal-hal dg caranya sendiri. 5. Anak mengekspresikan imajinasi secara verbal seperti membuat cerita fantasi. 6. Anak memiliki ketertarika terhadap berbagai hal, memiliki rasa ingin tahu dan senang bertanya. 7. Anak dapat bereksplorasi secara sistematis dan yang disengaja dalam membuat rencana dari suatu kegiatan. 8. Anak memiliki motivasi dan arah sendiri, memiliki imajinasi dan menyukai fantasi. 9. Anak senang menggunakan imajinasinya terutama dalam bermain peran atau pura-pura. 10. Anak menjadi inovatif, mampu menemukan sesuatu yang baru dan memiliki banyak sumber daya. 11. Anak dapat bereksplorasi dan berkesperimen dengan objek. 12. Anak bersifat fleksibel dan mampu mendesain sesuatu. 2.2 Bahan Limbah Limbah adalah zat atau bahan buangan yang dihasilkan dari proses kegiatan manusia (Suharto, 2011). Limbah dapat berupa tumpukkan barang bekas, sisa kotoran hewan, tanaman, atau sayuran. Keseimbangan lingkungan menjadi terganggu jika jumlah hasil buangan tersebut melebihi ambang batas toleransi lingkungan. Konsentrasi dan dan kuantitas melebihi ambang batas, keberadaan limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Bahan limbah dapat dimanfaatkan melihat dari jenis limbah tersebut atau golongan dari limbah tersebut. limbah dibagi menjadi dua golongan besar: 1. Limbah yang dapat mengalami perubahan secara alami (degradable waste/mudah terurai/organik), yaitu limbah yang dapat mengalami 12 dekomposisi oleh bakteri dan jamur, seperti daun-daun, sisa makanan, kotoran, dan lain-lain. 2. Limbah yang tidak atau sangat lambat mengalami perubahan secara alami (nondegradable waste/ tidak mudah terurai/ anorganik), misanya plastik, kaca, kaleng, dan sampah sejenisnya. Berdasarkan Wujudnya menurut Ign Suharto (2011), limbah dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1. Limbah padat, limbah padat adalah limbah yang berwujud padat. Limbah padat bersifat kering, tidak dapat berpindah kecuali ada yang memindahkannya. Limbah padat ini misalnya, sisa makanan, sayuran, potongan kayu, sobekan kertas, sampah, plastik, dan logam 2. Limbah cair, limbah cair adalah limbah yang berwujud cair. Limbah cair terlarut dalam air, selalu berpindah, dan tidak pernah diam. Contoh limbah cair adalah air bekas mencuci pakaian, air bekas pencelupan warna pakaian, dan sebagainya. 3. Limbah gas, limbah gas adalah limbah zat (zat buangan) yang berwujud gas. Limbah gas dapat dilihat dalam bentuk asap. Limbah gas selalu bergerak sehingga penyebarannya sangat luas. Contoh limbah gas adalah gas pembuangan kendaraan bermotor. Pembuatan bahan bakar minyakjuga menghasilkan gas buangan yang berbahaya bagi lingkungan. Langkah-langkah pemanfaatannya pun harus melalui pemilahan, pengumpulan pemrosesan dan pendistribusian. Penulis memilih limbah anorganik yang dapat digunakan ulang untuk dimanfaatkan sebagai media pembelajaran di kelas. Selain itu penulis berharap dengan usaha ini bisa bermanfaat bagi lingkungan sekitar, dalam usaha meminimalisir limbah atau sampah yang ada di sekitar lingkungan. Langkah-langkah penggunaan bahan limbah dalam pembelajaran ini adalah dengan usaha reuse atau recycle yaitu suatu kegiatan memanfaatkan kembali barang bekas tanpa atau dengan pengolahan bahan, untuk tujuan sama atau berbeda dari tujuan asalnya/awalnya. Langkah-langkah daur ulang limbah diawali dengan pemilahan, pengumpulan, kemudian pemrosesan. menurut Sudrajat (2006) sampah adalah material sisa yang tidak diinginkan setelah 13 berakhirnya suatu proses, sampah merupakan konsep buatan dan konsekuensi dari adanya aktivitas manusia yang mana sampah memiliki pengertian berbeda dan subjektif, bagi kalangan tertentu bisa saja menjadi harta berharga. Melalui pendapat tersebut, penulis semakin tergerak untuk mencoba bahan limbah tersebut untuk dijadikan bahan pembelajaran yang mana hasilnya nanti akan menjadi suatu kebanggan bagi siswa sendiri. Bahan limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga). Di mana masyarakat bermukim, di sanalah berbagai jenis limbah akan dihasilkan. Pada hal ini yang penulis gunakan adalah bahan limbah yang bernilai sebagai alat kreativitas yang digunakan dalam pembelajaran untuk membuat suatu bentuk – bentuk bangun geometris, binatang, ataupun makhluk hidup lainnya dengan menggunakan bahan limbah yang di buat sedemikian rupa untuk menciptakan sebuah hasil kreativitas. 2.3.1 Macam-Macam Model Pembelajaran Dalam proses pembelajaran, guru harus ingat bahwasanya tidak ada model pembelajaran yang paling tepat untuk segala situasi dan kondisi. Oleh karena itu, dalam memilih model pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri. Berikut ini disajikan beberapa model pembelajaran menurut Subarkah (2010:102) antara lain : a. Koperatif (CL, Cooperative Learning). Pembelajaran koperatif sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang penuh ketergantungan dengan orang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembagian tugas, dan rasa senasib. Berdasarkan fakta tersebut, dapat dimanfaatkan oleh pihak pengajar untuk mengajarkan anak belajar berkelompok secara koperatif, siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, dan tanggung jawab. Anak diharapkan mampu saling membantu dan berlatih berinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena koperatif adalah miniatur dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing. 14 Model pembelajaran koperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkontruksi konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak-partisipatif), tiap anggota kelompok terdiri dari 4 – 5 orang, siswa heterogen (kemampuan, jenis kelamin, karakter), ada kontrol dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi. Sintaks pembelajaran koperatif adalah informasi, pengarahan-strategi, membentuk kelompok heterogen, kerja kelompok, presentasi hasil kelompok, dan pelaporan. b. Kontekstual (CTL/ Contextual Teaching and Learning) Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang dimulai dengan sajian atau tanya jawab lisan (ramah, terbuka, negosiasi) yang terkait dengan dunia nyata kehidupan siswa (daily life modelling), sehingga akan terasa manfaat dari materi yang akan disajkan, motivasi belajar muncul, dunia pikiran siswa menjadi konkret, dan suasana menjadi kondusif - nyaman dan menyenangkan. Prinsip pembelajaran kontekstual adalah aktivitas siswa, siswa melakukan dan mengalami, tidak hanya menonton dan mencatat, dan pengembangan kemampuan sosialisasi. c. Realistik (RME/ Realistic Mathematics Education) Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan oleh Freud di Belanda dengan pola guided reinvention dalam mengkontruksi konsep-aturan melalui process of mathematization, yaitu matematika horizontal (fakta, konsep, prinsip, algoritma, aturan untuk digunakan dalam menyelesaikan persoalan, proses dunia empirik) dan vertikal ( reorganisasi matematik melalui proses dalam dunia rasio, pengembangan matematika). Prinsip RME adalah aktivitas (doing) konstrukstivis, realitas (kebermaknaan proses-aplikasi), pemahaman (menemukaninformal daam konteks melalui refleksi, informal ke formal), intertwinment (keterkaitan-intekoneksi antar konsep), interaksi (pembelajaran sebagai aktivitas sosial, berbagi), dan bimbingan (dari guru dalam penemuan). d. Pembelajaran Langsung (DL/ Direct Learning) 15 Pengetahuan yang bersifat informasi dan prosedural yang menjurus pada keterampilan dasar akan lebih efektif jika disampaikan dengan cara pembelajaran langsung. Sintaknya adalah menyiapkan siswa, sajian informasi dan prosedur, latihan terbimbing, refleksi, latihan mandiri, dan evaluasi. Cara ini sering disebut dengan metode ceramah atau ekspositori (ceramah bervariasi). e. Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL/ Problem Based Learning) Kehidupan adalah identik dengan menghadapi masalah. Model pembelajaran ini melatih dan mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang berorientasi pada masalah otentik dari kehidupan aktual siswa, untuk merangsang kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kondisi yang tetap harus dipelihara adalah suasana kondusif, terbuka, negosiasi, demokratis, suasana nyaman dan menyenangkan agar siswa dapat berpikir optimal. 2.3.2 Model Pembelajaran Kontekstual (CTL, Contextual Teaching and Learning) 2.3.2.1 Pengertian Pendekatan CTL Pendekatan kontekstual telah lama dikembangkan oleh John Dewey pada tahun 1916 yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi di sekelilingnya (Kesuma, 2010). CTL pertama kali dikembangkan oleh Amerika Serikat dengan dibentuknya Washington State Consortum for Contextual oleh Departemen Pendidikan Amerika Serikat. Antara tahun 1997 sampai 2001 sudah diselenggarakan tujuh proyek besar yang bertujuan untuk mengembangkan, menguji, serta melihat efektivitas penyelenggara pengajaran matematika secara kontekstual. Proyek tersebut melibatkan 11 perguruan tinggi, dan 20 sekolah dengan mengikutsertakan 85 orang guru dan professor serta 75 orang guru yang sudah diberikan pembekalan sebelumnya. Pendekatan kontekstual atau CTL merupakan pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dangan situasi kehidupan nyata 16 sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka (Kesuma, 2010:58). Menurut Kesuma (2010:5) CTL adalah mengajar dan belajar yang menghubungkan isi pelajaran dengan lingkungan, sehingga dapat menjadikan kegiatan belajar mengajar menjadi menyenangkan dan bermakna. Landasan filosofis CTL adalah konstruktivisme, yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, tetapi mengkonstruksikan atau membangun pengetahuan dan keterampilan baru lewat fakta-fakta atau proposisi yang mereka alami dalam kehidupannya (Muslich, 2008). Johnson (2010 : 67) dalam Contextual Teaching and Learning (CTL) menyatakan: CTL adalah sebuah proses pendidikan yang bertujuan menolong para siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka. Sistem tersebut meliputi delapan komponen berikut: membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna, melakukan pekerjaan yang berarti, melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan kerja sama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh berkembang, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian autentik . Sanjaya (2008:109) menjelaskan bahwa: Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan proses pembelajaran yang holistik dan bertujuan membantu siswa untuk memahami makna materi ajar dengan mengaitkannya terhadap konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial dan kultural), sehingga siswa memiliki pengetahuan/ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya. CTL disebut pendekatan kontektual karena konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat. Pendekatan CTL menurut Khaerudin (2007) merupakan “konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota 17 keluarga dan masyarakat”. Sedangkan Nurhadi dkk (2014:12) menjelaskan bahwa “pendekatan kontekstual adalah suatu konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Hal ini senada dengan penjelasan dari Baharudin dan Nur (2007:137) bahwa “pendekatan CTL adalah konsep pembelajaran yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Isriani dan Puspitasari (2012:62-63) juga menjelaskan bahwa “CTL merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia nyata, sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan. Suprijono (2013:79) juga menjelaskan: Proses pembelajaran kontekstual berdasarkan pada pemrosesan informasi, individualisasi, dan interaksi sosial. Pemrosesan informasi menyatakan bahwa peserta didik mengolah informasi, memonitornya, dan menyusun strategi berkaitan dengan informasi tersebut. Inti pemrosesan informasi adalah proses memori dan proses berpikir. Individualisasi beraksentuasi pada proses individu membentuk dan menata realitas keunikannya. Mengajar dalam hal tersebut adalah upaya dalam membantu individu untuk mengembangkan sesuatu yang produktif dengan lingkungannya dan memandang dirinya sebagai pribadi yang cakap, sehingga mampu memperkaya hubungan antarpribadi dan lebih cakap dalam pemrosesan informasi. Interaksi sosial memusatkan pada proses di mana kenyataan ditawarkan secara sosial. Pendekatan kontekstual menurut Sudiono dkk (2003) menjelaskan bahwa: Pendekatan kontekstual berhubungan erat dengan pengetahuan sehari-hari dan selalu dihadapkan pada masalah. Hal ini memerlukan kemampuan berpikir kritis dan kreatif. Kritis untuk menganalisa masalah dan kreatif untuk melahirkan alternatif semacam masalah. Kedua jenis berpikir tersebut, berasal dari rasa ingin tahu dan imajinasi keduanya ada pada diri anak sejak lahir. Pembelajaran kontekstual menurut Suprijono (2013:79) merupakan konsep yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi 18 dunia nyata dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa pendekatan CTL adalah proses pembelajaran yang membantu siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka sehingga siswa mampu berpikir kritis dan kreatif. Tujuannya agar siswa mampu menerapkan apa yang didapat di dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL di kehidupan sehari-hari. 2.3.2.2 Asas-asas Contextual Teaching and Learning Sanjaya (2006:262-267) menyatakan bahwa pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh asas utama yang melandasi pelaksanaan proses pembelajaran, yaitu: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modelling), refleksi (Reflection) dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment). a) Konstruktivisme (Constructivism) Setiap individu dapat membuat struktur kognitif atau mental berdasarkan pengalaman mereka maka setiap individu dapat membentuk konsep atau ide baru, hal ini dikatakan sebagai konstruktivisme. Fungsi guru disini membantu membentuk konsep tersebut melalui metode penemuan (self-discovery), siswa berpartisipasi secara aktif dalam membentuk ide baru. Menurut Piaget dalam Sanjaya (2006:262) menyatakan bahwa pendekatan konstruktivisme mengandung beberapa hakikat pengetahuan. Hakikat pengetahuan yang diperoleh merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek; Subjek membentuk skema kognitif, kategori, dan struktur yang diperlukan untuk pengetahuan dalam proses pembelajaran; Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi tersebut terjadi bila konsepsi itu berhubungan dengan pengalaman-pengalaman seseorang. b) Menemukan (Inquiry) Menemukan merupakan bagian inti dari pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri. Menemukan atau inkuiri dapat diartikan juga sebagai proses 19 pembelajaran yang didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Secara umum proses inkuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulkan data, menguji hipotesis berdasarkan data yang ditemukan, dan membuat kesimpulan. Proses berpikir yang sistematis diharapkan siswa memiliki sikap ilmiah, rasional, dan logis untuk pembentukan kreativitas siswa. c) Bertanya (Questioning) Bertanya merupakan strategi utama dalam pembelajaran kontekstual. Kegiatan bertanya dipandang sebagai refleksi keingintahuan setiap individu dalam belajar. Proses pembelajaran CTL lebih menekankan pada peran guru yang tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi memancing pemikiran siswa agar dapat menemukan sendiri materi yang dipelajari. Pembelajaran yang produktif dengan menggunakan kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk: Menggali informasi, baik administratif maupun akademis; Mengecek pengetahuan awal siswa dan pemahaman siswa; Membangkitkan respon kepada siswa; Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa; Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru; Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa; Menyegarkan kembali pengetahuan siswa. d) Masyarakat belajar (Learning Community) Vygotsky (dalam Sanjaya 2006: 265) menyatakan bahwa “pengetahuan dan pemahaman anak lebih banyak dipengaruhi oleh komunikasi dengan orang lain”. Konsep masyarakat belajar (Learning Community) menyarankan agar hasil pembelajaran yang diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil dalam proses pembelajaran yang diperoleh dari sharring antarsiswa, antarkelompok, dan antarmasyarakat belajar yang sudah tahu dengan yang belum tahu tentang suatu materi. Setiap elemen masyarakat dapat juga berperan disini dengan berbagi pengalaman. e) Pemodelan (Modeling) Pemodelan dalam pembelajaran kontekstual merupakan sebuah keterampilan atau pengetahuan tertentu yang menggunakan suatu model yang bisa ditiru. Model itu dapat berupa cara mengoperasikan sesuatu atau guru memberi contoh cara mengerjakan sesuatu, dalam artian bahwa guru memberi model tentang “bagaimana cara belajar”. Pembelajaran kontekstual menekankan kepada guru untuk dapat merancang model dengan melibatkan siswa agar siswa dapat terlibat aktif dalam pembelajaran. 20 f) Refleksi (Reflection) Refleksi merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah kita lakukan di masa lalu. Siswa merefleksikan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru. Struktur pengetahun yang baru ini merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahun yang baru diterima. Pada kegiatan pembelajaran, refleksi dilakukan oleh seorang guru pada akhir pembelajaran. Guru menyisakan waktu sejenak agar siswa dapat melakukan refleksi yang realisasinya dapat berupa: Pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperoleh pada pembelajaran yang baru saja dilakukan; Catatan atau jurnal di buku siswa; Kesan dan saran mengenai pembelajaran yang telah dilakukan. g) Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment) Penilaian autentik merupakan proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa agar guru dapat memastikan apakah siswa telah mengalami proses belajar yang benar. Penilaian autentik menekankan pada proses pembelajaran sehingga data yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran. Karakteristik authentic assessment diantaranya: dilaksanakan selama dan sesudah proses belajar berlangsung, bisa digunakan untuk formatif maupun sumatif, yang diukur keterampilan dan sikap dalam belajar bukan mengingat fakta, berkesinambungan, terintegrasi, dan dapat digunakan sebagai feedback. Authentic assessment biasanya berupa kegiatan yang dilaporkan, PR, kuis, karya siswa, prestasi atau penampilan siswa, demonstrasi, laporan, jurnal, hasil tes tulis dan karya tulis. 2.3.2.3 Prinsip-prinsip Pendekatan CTL Pendekatan kontekstual menurut Suprijono (2013:80-81) terdapat beberapa prinsip yang digunakan sebagai pegangan, anatara lain: 1. Prinsip Saling Ketergantungan Prinsip saling ketergantungan merumuskan bahwa kehidupan ini merupakan suatu sistem. Lingkungan belajar merupakan sistem mengintegrasikan berbagai komponen pembelajaran dan komponen tersebut saling memmengaruhi secara fungsional. Berdasarkan prinsip itu dalam belajar memungkinkan peserta didik membuat hubungan bermakna. Peserta didik mengidentifikasi hubungan yang menghasilkan pemahaman-pemahaman baru. Peserta didik dapat menargaetkan pencapaian standar akademik yang tinggi. Berdasarkan prinsip itu pula 21 peserta didik harus bekerja sama menemukanpersoalan, merancang rencana, dana mencari pemecahan masalah. Bekerja sama akan membantu pesrta diaik mencapai keberhasilan, mengingat setiap peserta didik mempunyai kemampuan berbeda dan unik. Jika hal tersebut dikolaborasikan dan kooperatif, maka akan tersusun menjadi sesuatu yang lebih besar daripada sekedar penjumlahan dari bagian-bagian itu sendiri. 2. Prisnsip Diferensiasi Diferensiasi merujuk pada entitas-entitas yang beraneka ragam dari realitas kehidupan di sekitar peserta didik. Keanekaragaman mendorong berpikir kritis peserta didik untuk menemukan hubungan diantara entitas-entitas yang beraneka ragam itu. Peserta didik dapat memahami makna bahwa perbedaan itu rahmat. 3. Prinsip Pengaturan Diri Prinsip ini mendorong pentingnya peserta didik mengeluarkan seluruh potensi yang dimilikinya. Ketika peserta didik menghubungkan materi akademik dengan konteks keadaan pribadi mereka, peserta didik terlibat dalam kegiatan yang mengandung prinsip pengaturan diri. Peserta didik menerima tanggung jawab atas keputusan dan perilaku mereka sindiri, memilih alternative, membuat pilihan, mengembangkan rencana, menganalisis informasi dan secara kritias menilai bukti. 2.3.2.4 Komponen-komponen dalam Pendekatan CTL Proses pembelajaran dalam CTL mempunyai delapan komponen, yaitu: membuat hubungan-hubungan yang bermakna; melakukan pekerjaan yang berarti; melaksanakan proses pembelajaran yang diatur sendiri; bekerja sama; berpikir kritis dan kreatif; membantu individu untuk tumbuh dan berkembang; mencapai standar tinggi; menggunakan penilaian autentik (Johnson 2007: 65). Menurut Dharma Kesuma, dkk (2010), komponen-komponen pendekatan CTL mencakup 7 komponen yaitu: 1) Konstruktivisme. Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman; 2) Inkuiri. Inkuiri berarti proses pembelajaran didasarkan pada pencapaian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis; 3) Bertanya. Belajar pada hakekatnya adalah bertanya; 4) masyarakat belajar. Konsep dalam masyarakat belajar dalam CTL menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerjasama dengan orang lain; 6) Pemodelan adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang 22 didapat ditiru oleh setiap siswa; 7) Refleksi, merupakan cara berpikir tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu; 8) Penilaian nyata adalah proses pembelajaran konvensional yang sering dilakukan guru, biasanya ditekankan pada aspek intelektual sehingga alat evaluasi dapat digunakan terbatas pada pengguna tes. 2.3.2.5 Karakteristik dalam Pendekatan CTL Sanjaya (2008: 110) menyatakan bahwa terdapat lima karakteristik penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL, yaitu: Pembelajaran dengan pendekatan CTL merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activiting knowledge), artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari, dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh oleh siswa adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Pembelajaran yang kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan menambah pengetahuan yang baru (acquiring knowledge). Pengetahuan yang baru itu diperoleh secara deduktif, artinya pembelajaran dimulai dengan mempelajari secara keseluruhan, kemudian memerhatikan detailnya. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal, tapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan. mempraktikan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge), artinya pengetahuan dan pemahaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan dan perilaku siswa. melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnaan strategi. 2.3.2.6 Proses Pembelajaran dalam Pendekatan CTL Adapun realisasi proses pembelajaran menggunakan pendekatan CTL menggunakan pertanyaan langsung tentang apa yang diperolehnya hari itu, catatan dan jurnal di buku siswa, kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran pada hari itu, diskusi dan hasil karya. Penilaian autentik, prosedur penilaian yang menunjukkan kemampuan (pengetahuan, ketrampilan, dan sikap) siswa secara nyata. Penekanan penilaian autentik adalah pada pembelajaran yang seharusnya 23 membantu siswa agar mampu mempelajari sesuatu, bukan pada diperolehnya informasi di akhir periode, kemajuan belajar dinilai tidak hanya hasil tetapi lebih pada prosesnya dengan berbagai cara, menilai pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa (Sanjaya 2008: 116). 2.3.2.7 Langkah-langkah Pendekatan CTL Langkah-langkah dalam dalam proses pembelajaran CTL harus dapat dipahami guru terlebih dahulu ketika akan mengajar siswa dalam proses pembelajaran. Langkah-langkah itu merupakan pedoman bagi guru ketika mengajar siswa dikelas, agar proses pembelajaran yang diajarkan bermakna dan menjadi lebih mudah dipahami oleh siswa. Langkah-langkah penerapan pendekatan kontekstual berpedoman pada prisip dan pembelajarannya. Menurut Sutarji (2007:106), langkah-langkah pendekatan kontekstual meliputi: 1) siswa didorong agar menemukan pengetahuan awal tentang konsep yang dibahas. Bila perlu guru memancing dengan memberikan pertanyaan yang problematik tentang kehidupan sehari-hari; 2) Eksplorasi yaitu siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian, penginterpretasian data selama sebuah kegiatan yang telah dirancang oleh guru; 3) penjelasan dan solusi, siswa menyampaikan pendapat, membuat model dan membuat rangkuman serta hasil ringkasan pekerjaan dengan bimbingan guru; 4) pengambilan tindakan, siswa dapat membuat keputusan menggunakan pengetahuan dan keterampilan, berbagai informasi dan gagasan, mengajukan pertanyaan lanjutan, mengajukan sarana baik secara individu maupun secara kelompok yang berhubungan dengan pemecahan masalah. 2.3.2.8 Kelebihan model pembelajaran kontekstual (CTL, Contextual Teaching and Learning) Kelebihan dari model pembelajaran kontekstual Menurut Elaine B. Johnson (2007: 67) adalah: 1. Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi tersebut akan berfungsi secara fungsional, akan 24 tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan. 2. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme, dimana siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstrukivisme siswa diharapkan belajar melalui “mengalami” bukan “menghafal”. 2.3.2.9 Kelemahan Model Pembelajaran Kontekstual (CTL/ Contextual Teaching and Learning) Kelemahan dari model pembelajaran kontekstual Menurut Elaine B. Johnson (2007: 67) adalah: 1. Guru lebih intensif dalam membimbing karena dalam metode CTL guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau “penguasa” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya. 2. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Dalam konteks ini guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula. 2.3.10 Langkah-langkah Model Pembelajaran Kontekstual (CTL, Contextual Teaching and Learning) Keberhasilan proses pembelajaran sangat bergantung pada kreativitas guru meramu beberapa metode pembelajaran menjadi model yg sesuai dan dapat menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif, menyenangkan dan bermakna. 25 Pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh komponen utama dari pembelajaran produktif yaitu : konstruktivisme (Constructivism), membentuk group belajar yang saling membantu (interdependent learning groups), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), pemodelan (Modelling), refleksi (Reflection) dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment) (Depdiknas, 2003:5). Pembelajaran dengan strategi kontekstual melibatkan tujuh komponen utama. Komponen-komponen tersebut yakni sebagai berikut: 1. Constructivism (konstruktivisme, membangun, membentuk) yaitu kegiatan yang mengembangkan pemikiran bahwa pembelajaran akan lebih bermakna apabila siswa bekerja sendiri, menemukan, dan membangun sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. Di sini siswa dapat mengembangkan pengalaman atau membangun pengetahuan barunya berdasarkan pengalaman yang diperolehnya. Pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh tersebut dikonstruksi oleh siswa itu sendiri sehingga proses pembelajaran siswa akan lebih bermakna. 2. Quistioning (bertanya) adalah kegiatan belajar yang mendorong sikap keingintahuan siswa lewat bertanya tentang topik atau permasalahan yang akan dipelajari. 3. Inquiry (menyelidiki, menemukan) adalah kegiatan belajar yang bisa mengkondisikan siswa untuk mengamati, menyelidiki, menganalisis topic atau permasalahan yang dihadapi sehingga ia berhasil “menemukan” sesuatu. 4. Learning Community (masyarakat belajar) adalah kegiatan belajar yang bisa menciptakan suasana belajar bersama atau berkelompok sehingga ia bisa berdiskusi, curah pendapat, bekerja sama, dan saling membantu antar teman. 5. Modelling (pemodelan) adalah kegiatan belajar yang bisa menunjukkan model yang bisa di pakai rujukan atau panutan siswa dalam bentuk penampilan tokoh, demonstrasi kegiatan, penampilan hasil karya, cara mengoprasikan sesuatu. 6. Reflection (refleksi atau umpan balik) adalah kegiatan belajar yang memberikan refleksi atau umpan balik dalam bentuk Tanya jawab dengan siswa tentang kesulitan yang dihadapi dan pemecahannya, mengkonstruksi kegiatan yang telah dilakukan, kesan siswa selama melakukan kegiatan, dan saran atau harapan siswa. 7. Authentic Assessment (penilaian yang sebenarnya) adalah kegiatan belajar yang bisa diamati secara periodik perkembangan kompetensi siswa melalui kegiatan-kegiatan nyata ketika pembelajaran berlangsung. Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa, proses pembelajaran akan lebih bermakna apabila siswa memiliki rasa ingin tahu sehinnga siswa akan terdorong menemukan jawaban serta mencari pemecahan 26 masalah dan siswa akan dapat mengembangkan pengetahuan barunya dengan sendirinya. Kaitannya dengan materi matematika dalam penelitian ini siswa secara langsung mengalami atau menemukan sendiri masalah serta pemecahannya, karena belajar menciptakan hasil karya bukan hanya mendengar, melihat, menulis, tetapi lebih dari itu yakni dengan cara mengkonstuksi pengetahuan dengan pengalaman yang mereka miliki. 2.4 Kajian Penelitian yang Relevan Penelitian yang dilakukan Siti Rukhani tahun 2013 dengan judul “Peningkatan Kemampuan Kreativitas Melalui Model Pembelajaran Kontekstual Pada Anak”. Hasil penelitian tersebut kemudian diuji kebenarannya, agar mengetahui perubahan kemampuan kreativitas anak adalah diperoleh melalui perbandingan antara kemampuan kreativitas sebelum menggunakan model pembelajaran kontekstual dan setelah menggunakan model pembelajaran kontekstual. Pencapaian keberhasilan biasanya ditetapkan berdasarkan suatu ukuran standar yang berlaku. Apabila ditetapkan 80% sebagai lambang keberhasilan, maka pencapaian yang belum mencapai 80% masih perlu dilakukan tindakan lagi. Hasil penelitian bahwa model pembelajaran kontekstual dapat memotivasi anak kelompok B TK Assakinah Wirosari Kabupaten Grobogan. Hal ini dapat dilihat bahwa semula pada kondisi awal menunjukkan 20%, kemudian pada siklus I menunjukkan 70%, dan pada siklus II menunjukkan 90%. Penelitian yang telah dilakukan, perencanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru sudah memilih dan menyiapkan bahan main yang dekat dengan kehidupan anak, pelaksanaan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru sudah sesuai dengan RKM dan RKH yang telah dirancang sebelumnya, hal ini memudahkan guru untuk menyampaikan apersepsi pembelajaran, kelebihan dari pelaksanaan pembelajaran kontekstual, guru dapat menghadirkan suasana nyata dalam menyampaikan kegiatan apersepsi pada awal pembelajaran sehingga anak dapat dengan mudah memahami pembelajaran yang diberikan guru, serta kekurangan dari pelaksanaan pembelajaran kontekstual yaitu guru kurang mengerti konsep pembelajaran kontekstual. 27 2.5 Kerangka Berfikir Selama ini pembelajaran di kelas B1 TK Ngudi Rahayu II Kopeng masih belum maksimal karena belum ada inovasi terhadap kondisi lingkungan kelas, menggunakan pendekatan pemebelajaran mekanistik atau guru lebih banyak memberikan ceramah, sedangkan siswa cenderung pasif, kurang percaya diri jika diberi kesempatan untuk bertanya dan mempresentasikan hasil karya di depan kelas, jika melakukan kesalahan anak akan cenderung putus asa, dan takut membuat kesalahan jika diminta menyampaikan pendapat serta kebanyakan siswa meniru jawaban dari jawaban siswa lain jika diberi pertanyaan. Langkah-langkah pembelajaran atau urutan sajian materi dalam pembelajaran kreativitas yang biasa dilakukan selama ini adalah pembelajaran yang diawali penjelasan singkat oleh guru, pemberian contoh, siswa diajarkan teknik/cara pembuatan, kemudian diakhiri dengan penilaian di depan kelas. Pola itu dilakukan secara monoton dari waktu ke waktu. Dalam pembelajaran ini konsep yang diterima siswa hampir semuanya berasal dari apa yang dikatakan oleh guru. Konsekuensinya, bila siswa diberikan tugas yang berbeda dengan tugas saat latihan maka siswa cenderung membuat kesalahan. Siswa kurang didorong untuk aktif atau cenderung pasif dalam mengikuti pembelajaran sehingga mengakibatkan pembelajaran kurang menarik dan membosankan yang mengakibatkan tingkat pemahaman siswa menjadi rendah dan berdampak terhadap hasil belajar siswa yang rendah. Hal ini ditunjukkan dari rata-rata hasil karya siswa. Berdasarkan kajian teori, dapat diketahui salah satu upaya untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan penerapan pendekatan CTL. Pendekatan CTL adalah proses pembelajaran yang membantu siswa melihat makna di dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi, sosial, dan budaya mereka sehingga siswa mampu berpikir kritis dan kreatif, sehingga dapat menumbuh kembangkan kreativitas dan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. 28 Berdasarkan kerangka pemikiran di atas dapat dituangkan dalam bagan sebagai berikut: Guru belum menggunakan pendekatan CTL dalam pembelajaran. Kondisi Awal Kreativitas anak masih rendah. Tindakan Memanfaatkan bahan limbah menggunakan pendekatan CTL, siswa diharapkan mampu menghubungkan antara pengalaman belajar disekolah dengan kehidupan nyata dan meningkatkan kreativitas. Kondisi Akhir Kreativitas anak meningkat sesuai indikator. Gambar 1 Bagan Kerangka Berpikir 2.6 Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah sesuatu yang dianggap benar untuk alasan atau pengutaraan pendapat (teori, preposisi, dsb) meskipun kebenarannya masih harus dibuktikan. Oleh karena itu agar rumusan jawaban dipecahkan, maka seorang peneliti memerlukan suatu pedoman yang digunakan sebagai tuntunan. Pedoman itu berupa jawaban sementara atau hipotesis. Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian yaitu, “Pendekatan CTL dapat meningkatkan kreativitas siswa memanfaatkan bahan limbah pada kelompok B 1 di TK Ngudi Rahayu II Kopeng kec. Getasan kab. Semarang.” 29