ANALISIS DAYASAING INDUSTRI CPO

advertisement
ANALISIS DAYASAING INDUSTRI CPO INDONESIA
DI PASAR INTERNASIONAL
Oleh
DENNY DWINATA HERIANTO
A14105525
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
RINGKASAN
DENNY DWINATA HERIANTO. Analisis Dayasaing Industri CPO Indonesia
di Pasar Internasional. Dibawah bimbingan LUKMAN MOHAMMAD BAGA.
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang masih mengandalkan
komoditas minyak dan gas bumi (Migas) sebagai penghasil devisa. Komoditas
minyak dan gas bumi merupakan jenis sumberdaya alam dengan jumlah yang
terbatas dan tidak dapat diperbarui, sehingga perlu penghematan dalam
penggunannya. Negara Indonesia tidak selamanya dapat mengandalkan komoditas
tersebut (Migas) untuk memperoleh devisa, sehingga peranan dari sektor lain yang
mempunyai potensi harus dikembangkan. Salah satu sektor non migas yang
mampu memberikan kontribusi positif kepada negara adalah sektor pertanian.
Komoditas kelapa sawit menyumbang devisa kepada negara sebesar US$ 2,79
milyar dengan volume ekspor sebesar 5,72 juta ton dari bulan Januari sampai Mei
tahun 2007. Permintaan kelapa sawit untuk kebutuhan konsumsi akan terus
mengalami peningkatan karena seiring dengan bertambahnya jumlah populasi
manusia, sehingga permintaan terhadap CPO akan meningkat sebagai bahan baku
minyak goreng dan keperluan lain seperti biofuel (bahan bakar). Peningkatan
dayasaing masih CPO Indonesia disebabkan karena penggunaan bibit palsu atau
tidak berlabel. Penggunaan bibit yang tidak berkualitas akan mempengaruhi
produksi dan produkstivitas CPO. Masalah lain yang berdampak terhadap
peningkatan penanaman kelapa sawit di Indonesia yaitu isu negatif dari Negara Di
Eropa dan LSM Lingkungan, yang menyatakan kalau pembukaan lahan
perkebnan kelapa sawit akan dampak terhadap kerusakan hayati dan penyebab
terjadinya pemanasan global.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk ; (1)
Mengetahui struktur industri CPO di pasar internasional, (2) Mengetahui
keunggulan komparatif industri CPO Indonesia, (3) Mengetahui keunggulan
kompetitif industri CPO Indonesia, (4) Mengetahui strategi yang dapat
dirumuskan untuk memperkuat dayasaing industri CPO nasional di pasar
internasional. Penelitian ini dilakukan dengan lingkup makro, yaitu meliputi
keadaan perdagangan CPO secara nasional dan internasional.
Struktur pasar CPO di pasar internasional pada tahun 1993-2006
menunjukan kecenderungan kearah pasar Oligopoli ketat. Negara yang termasuk
kedalam struktur pasar ini adalah Malaysia, Indonesia, Papua Nugini, dan
Costarica. Hasil ini ditunjukan oleh nilai Herifindhal Index sebesar 0,5 dan nilai
Concentration Ratio dari empat produsen CPO terbesar sejumlah 94 persen.
Malaysia dan Indonesia merupakan negara yang paling besar kontribusi CPO dari
empat eksportir utama CPO di pasar internasional.
Industri CPO nasional memiliki keunggulan komparatif yang ditunjukan
dengan nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) yang lebih besar dari satu.
Pada tahun 2006, Indonesia mempunyai nilai RCA sebesar 45. Angka ini
menunjukan adanya keunggulan komparatif pada komoditi CPO namun
dayasaingya masih rendah jika dibandingkan dengan negara Malaysia dan Papua
Nugini. Secara rata-rata negara yang mempunyai keunggulan komparatif terbaik
adalah Papua Nugini dengan nilai 68, sedangkan Negara Malaysia mempunyai
niai RCA sebesar 42. Negara Papua Nugini mempunyai nilai RCA tertinggi
karena kontribusi ekspor CPO terhadap pendapatan total negara lebih besar
dibandingkan dengan negara produsen CPO lainnya.
Hasil analisis keunggulan kompetitif industri CPO Indonesia
menghasilkan bahwa secara keseluruhan atribut seperti sumberdaya, kondisi
permintaan domesik memiliki keunggulan kompetitif. Dukungan dari pemerintah
dan faktor peluang juga membantu terbentuknya keunggulan Kompetitif
Indonesia. Kendala masih terdapat dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit
yaitu masih minimnya sarana dan prasarana penunjang industri CPO Indonesia,
masih rendahnya penggunaan bibit unggul, dan kurangnya peranan dari penyuluh
pertanian lapangan.
Strategi untuk meningkatkan dayasaing CPO Indonesia dipasar
internasional adalah meningkatkan optimalisasi lahan dengan menggunakan panca
usaha tani terutama penggunaan bibit yang berkualitas baik dan tahan terhadap
penyakit dengan peranan aktif dari penyuluh pertanian lapangan. Berkembangnya
perkebunan kelapa sawit Indonesia saat ini harus didukung oleh sarana dan
prasarana penunjang untuk mempermudah aksesbilitas perkebunan, pentingnya
pembangunan jalan, pelabuhan merupakan faktor yang mendukung keunggulan
kompetitf industri CPO Indonesia. Kegiatan promosi negara Indonesia di pasar
internasional perlu ditingkatkan untuk memperkenalkan produk pertanian
khususnya produk CPO yang ramah lingkungan untuk mengindari isu negatif
mengenai pembukaan lahan perkebunan dengan merusak hutan dan menjadi
penyebab terjadinya pemanasan global, kegiatan promosi ini merupakan salah
satu cara untuk meningkatkan kerjasama investasi pembangunan perkebunan
kelapa sawit di Indonesia yang berkelanjutan.
ANALISIS DAYASAING INDUSTRI CPO INDONESIA
DI PASAR INTERNASIONAL
Oleh
DENNY DWINATA HERIANTO
A14105525
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk memperoleh
Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Judul
:Analisis Dayasaing Industri CPO Indonesia di Pasar
Internasional
Nama
: Denny Dwinata Herianto
NRP
: A14105525
Program Studi
: Ekstensi Manajemen Agribisnis
Menyetujui,
Dosen Pembimbing Skripsi
Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec.
NIP. 131 846 873
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir Didy Sopandie, M.Agr
NIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan:19 Mei 2008
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“ANALISIS DAYASAING INDUSTRI CPO INDONESIA DI PASAR
INTERNASIONAL” ADALAH BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL
KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI
ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU PADA
LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Mei 2008
DENNY DWINATA HERIANTO
A14105525
RIWAYAT HIDUP
Penulis di lahirkan di Bangkinang pada 08 Desember 1983, sebagai anak
kedua dari empat bersaudara dari pasangan T. Simalango dan R. Manalu, SP.
Pendidikan dasar di SDN 004 Air Molek Indragiri Hulu (Riau) diselesaikan pada
tahun 1996 dan melanjutkan pendidikan pada SLTPN 1 di Air Molek sampai
dengan tahun 1999. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan ke kota
‘gudeg’ yaitu di SMU BOPKRI 1 Yogyakarta dan menyelesaikan pendidikan
pada tahun 2002.
Pada tahun 2002, melanjutkan pendidikan Diploma III ke perguruan tinggi
di Universitas Gadjah Mada dengan jurusan Kehutanan Program Pengelolaan
Hasil Hutan hingga tahun 2005. Selama di Yogyakarta banyak mengikuti kegiatan
organisasi kampus dan di luar kampus yang diikuti. Penulis pernah mengikuti
PKM (pekan kreativitas Mahasiswa) dengan tema yang di angkat mengenai hutan
mangrove bersama team. Setelah lulus dari program pendidikan Diploma III, pada
tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan pada Program Ekstensi Manajemen
Agribisnis Institut Pertanian Bogor sampai tahun 2008.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang bejudul “Analisis
Dayasaing Industri CPO Indonesia di Pasar Internasional”. Skripsi ini
diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Skripsi ini mengkaji struktur pasar CPO di pasar Internasional. Selain itu,
skripsi ini juga mengkaji keunggulan kompetitif dan komparatif industri CPO
Indonesia. Penulis menyadari dalam skripsi ini masih terdapat kekurangan.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
semua pihak yang membacanya.
Bogor, Mei 2008
Penulis
UCAPAN TERIMAKASIH
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada :
1. Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan Kasih-Nya yang telah
diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini
2. Ayahanda dan Ibunda tercinta atas doa dan kasih sayang selama ini
3. Bapak Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec., selaku dosen pembibing skripsi atas
segala bimbingan, arahan, serta waktu yang sangat berharga kepada
penulis selama menyusun skripsi ini.
4. Ibu Ir. Popong Nurhayati, MM sebagai dosen evaluator atas saran dan
kritikan bagi rencana penulisan penelitian skripsi ini.
5. Bapak Muhammad Firdaus, PhD sebagai dosen penguji utama atas saran.
6. Bapak Ir. Joko Purwono, Ms sebagai dosen penguji atas masukan untuk
tehnik penulisan.
7. Saudaraku tercinta kakak Loli, Dina dan Meli atas doa dan dukungan yang
tak pernah hentinya.
8. Elisya Nurani Kombong atas motivasi dan segala perhatian selama ini dan
semoga tidak akan pernah berhenti sampai kapanpun.
9. Teman-teman Diploma III kehutanan Ivane, Darmani, Erna, Dewi,
Komang, Angga Bajuri, Fajar, Septian, Ika, Mesi dan teman-teman yang
tidak dapat disebutkan satu persatu karena banyak sekali teman-teman
yang memberikan motivasi sehingga skripsi dapat selesai.
10. Mas Darlin atas kesediaanya menjadi pembahas seminar dan sarannya.
11. Teman-teman GTP (Alex_clv, Kiki, lan Sembiring, Arde, Abah, Pak RT,
Ari, Habibi, Hasan, Amanda, Pak Eko, Arrow Budi, Heksa).
12. Om Agus di Surabaya atas kebaikan selama ini.
13. Teman-teman seperjuangan Ekstensi Irma, Lisma, Eko Priyadi, Elfrida,
Ebry, Josep, Dedy Maretha, Wawan, Rudy, Mbak Dar, Imel, Siska, Baim,
Koko, Rita, Sandra, dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu
persatu.
14. Sekretariat Ekstensi Manajemen Agribisnis atas pelayanan dan bantuan
selama ini terutama untuk Mbak Rahmi, Mbak Nur, Mas Agus dan Aji.
15. Penguni Kos Jl Riau Ujung tercinta Mas Riki, Mbak Wida, Mas Tyas,
Bapak kost dan Ibu, serta Mas Toto dan Yeni.
16. Teman-teman SMU Bopkri I Cristian, Nando, Dinad, Theresia, Adit atas
kekompakan selama ini.
17. Semua pihak lain yang belum disebutkan yang turut membantu
terselesainya skripsi ini.
Bogor, Mei 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ........................................................................................ iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ vii
I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................................
1.2. Perumusan Masalah ..........................................................................
1.3. Tujuan Penelitian..............................................................................
1.4. Manfaat Penelitian............................................................................
1
6
11
11
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Umum Kelapa Sawit ....................................................... 12
2.1.1. Sejarah Kelapa Sawit ............................................................ 12
2.1.2. Karakteristik Tanaman Kelapa Sawit .................................... 12
2.1.3. Bibit Kelapa Sawit ................................................................ 14
2.1.4. Standar Nasional CPO (Crude Palm Oil) .............................. 15
2.1.5. Usaha Tani Kelapa Sawit ...................................................... 16
2.1.6. Pengolahan Kelapa sawit ..................................................... 18
2.1.6.Peranan Kelapa Sawit Dalam Bidang Sosial dan Ekonomi
Indonesia ............................................................................. 19
2.2. Penelitian Terdahulu ........................................................................ 21
2.2.1. Penelitian Dayasaing ............................................................. 21
2.2.1. Penelitian Kelapa Sawit ........................................................ 23
2.2.1. Penelitian CPO (Crude Palm Oil) ......................................... 24
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Teoritis ............................................................................
3.1.1. Konsep Dayasaing ................................................................
3.1.1.1. Keunggulan Komparatif ...........................................
3.1.1.2. Keunggulan Kompetitif ............................................
3.1.2. Struktur Pasar .......................................................................
3.1.2.1. Pasar Persaingan Sempurna ......................................
3.1.2.2. Pasar Monopolistik ...................................................
3.1.2.3. Pasar Oligopoli .........................................................
3.1.2.4. Pasar Monopoli ........................................................
3.1.3. Teori perdagangan Internasional ...........................................
3.1.4. Pasar dan Pangsa Pasar .........................................................
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ....................................................
26
26
27
28
36
36
37
37
38
38
40
41
IV METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ..........................................................
4.2. Jenis dan Sumber Data ...................................................................
4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................................
4.3.1. Analisis Struktur Industri ......................................................
4.3.2. RCA (Reveled Comparative Advantage) ...............................
4.3.3. Analisa Berlian Porter ...........................................................
4.3.4. Analisis SWOT .....................................................................
V
44
44
45
45
49
50
51
GAMBARAN UMUM KELAPA SAWIT NASIONAL DAN
INTERNASIONAL
5.1. Perkebunan KelapaSawit Indonesia ............................................... 58
5.1.1 Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Pengusahaan 59
5.1.2 Produksi dan Produktivitas Minyak Kelapa Sawit Indonesia . 61
5.1.3 Luas Areal dan Produksi Menurut Provinsi ........................... 63
5.1.4 Penyerapan Tenaga Kerja...................................................... 63
5.1.5 Unit Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit ................................... 64
5.2. Tingkat Harga CPO di Indnesia ...................................................... 66
5.3. Mutu CPO (Crude Palm Oil) Ekspor .............................................. 68
5.4. Bentuk Kelapa Sawit Ekspor .......................................................... 70
5.5. Negara Tujuan Ekspor CPO (Crude Palm Oil) ............................... 70
5.6. Impor Minyak Kelapa Sawit Indonesia ........................................... 71
5.7. Negara Produsen Utama CPO(Crude Palm Oil) Dunia ................... 73
5.7.1 Negara Eksportir Utama CPO ............................................... 74
5.7.2. Harga CPO Dunia ................................................................. 75
5.8. Produksi Minyak Nabati dan Lemak Dunia..................................... 79
5.9. Konsumsi Minyak Nabati dan Lemak Dunia................................... 80
VI HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Analisis Struktur Industri CPO di Pasar Internasional .....................
6.2. Analisis Keunggulan Komparatif CPO Indonesia
di Pasar Internasional......................................................................
6.3. Analisis Dayasaing Industri CPO di Indonesia dengan
Pendekatan Porter s Diamond ........................................................
6.3.1 Kondisi Faktor Sumberdaya ..................................................
6.3.2 Kondisi Permintaan..............................................................
6.3.3 Industri Terkait dan Industri Pendukung................................
6.3.4 Struktur, Persaingan dan Strategi Industri CPO Nasional ......
6.3.5 Peran Pemerintah ..................................................................
6.3.6 Peran Kesempatan................................................................
82
84
85
85
120
123
128
134
136
VII STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI CPO INDONESIA DI
PASAR INTERNASIONAL
7.1. Perumusan Strategi Peningkatan Dayasaing
Industri CPO Indonesia................................................................... 138
7.1.1 Faktor Eksternal ..................................................................... 139
7.1.1 Peluang ......................................................................... 139
7.1.1 Ancaman ....................................................................... 141
7.1.2 Faktor Internal ....................................................................... 144
7.1.2.1 Kekuatan .................................................................... 144
7.1.2.2 Kelemahan .................................................................. 147
7.2 Program Peningkatan Dayasaing ....................................................... 144
VIII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan .................................................................................... 162
7.2. Saran .............................................................................................. 164
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 165
LAMPIRAN ................................................................................................. 168
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang masih
mengandalkan komoditas minyak dan gas bumi (Migas) sebagai penghasil devisa.
Komoditas minyak dan gas bumi merupakan jenis sumber daya alam dengan
jumlah yang terbatas dan tidak dapat diperbarui, sehingga perlu penghematan
untuk penggunannya. Negara Indonesia tidak selamanya dapat mengandalkan
komoditas tersebut (Migas) untuk memperoleh devisa, sehingga peranan dari
sektor lain yang mempunyai potensi harus dikembangkan. Salah satu sektor non
Migas yang mampu memberikan kontribusi positif kepada negara adalah sektor
pertanian.
Sub sektor perkebunan merupakan salah satu bagian yang menyumbang
PDB kepada negara. Salah satu komoditi dari perkebunan adalah kelapa sawit.
Kelapa sawit merupakan tanaman keras sebagai salah satu sumber penghasil
minyak nabati yang bermanfaat luas dan memiliki keunggulan dibandingkan
dengan minyak nabati lainnya, kerena minyak kelapa sawit rendah akan kolesterol
dan mempunyai betakaroten tinggi (PPKS, 2006).
Komoditas kelapa sawit menyumbang devisa kepada negara sebesar US$
2,79 milyar dengan volume ekspor sebesar 5,72 juta ton pada tahun 2007 pada
bulan Januari sampai dengan Mei (Tabel 1). Permintaan kelapa sawit untuk
kebutuhan konsumsi akan terus mengalami peningkatan karena seiring dengan
bertambahnya jumlah populasi manusia, sehingga permintaan akan CPO
meningkat sebagai bahan baku minyak goreng dan keperluan lain seperti biofuel
(bahan bakar). Peluang bagi negara Indonesia untuk lebih meningkatkan ekspor
minyak kelapa sawit guna meningkatkan devisa dari komoditas kelapa sawit. Pada
tahun 2006 Negara Indonesia merupakan pengekspor kelapa sawit terbesar kedua
setelah Malaysia, dengan negara tujuan ekspor kelapa sawit ke India, China dan
negara-negara di Eropa.
Tabel 1 Ekspor Komoditi Kelapa Sawit Indonesia Periode Januari–Mei 2007
Bulan
Volume (Ton)
Nilai US$
981.016,155
Januari
408.824.110
Februari
1.375.012,660
619.050.755
Maret
984.758,807
490.255.648
April
1.263.531,568
661.830.044
Mei
1.124.924,937
613.653.763
Total
5.729.244,127
2.793.614.320
Sumber : Departemen Pertanian, 2008
Pada Tabel 2 luasan areal perkebunan untuk komoditi kelapa sawit untuk
lima tahun terakhir mengalami peningkatan. Pada tahun 2006 luas lahan
perkebunan kelapa sawit sebesar 6,59 juta hektar, sedangkan pada tahun 2002
sampai tahun 2005 luas lahan perkebunan di Indonesia berkisar diatas lima juta
hektar. Luas areal perkebunan kelapa sawit dari tahun 1916 sampai dengan tahun
2006 menunjukkan perubahan yang sangat signifikan. Perubahannya terutama
antara tahun 1990 sampai dengan tahun 2006, dimana untuk total luas areal dari
1,12 juta hektar menjadi 6,59 juta hektar dan akan terus meningkat seiring
kebutuhan minyak nabati dunia1.
Tabel 2 Luas Areal Komoditi Perkebunan Indonesia Tahun 2002–2006 (Ha)
1
http://ditjenbun.deptan.go.id/web/index.php?option=com_content&task=blogcategory&id=1&Ite
mid=62. Perkembangan Industri Kelapa Sawit di Indonesia Sangat Signifikan dan Fantastis .
Diakses 15 Januari 2008.
Komoditi
Karet
Kelapa Sawit
Kopi
Tebu
Kelapa
Kakao
2002
3.318.359
5.067.058
1.372.184
350.722
3.884.950
914.051
2003
3.290.112
5.283.557
1.381.730
338.244
3.913.130
961.107
2004
3.262.267
5.284.723
1.303.943
344.793
3.797.004
1.090.960
2005
3.279.391
5.453.817
1.255.272
381.786
3.803.614
1.167.046
2006
3.309.472
6.594.914
1.263.606
384.016
3.817.796
1.191.742
Sumber : Departemen Pertanian, 2007
Pada tahun 2006 perkebunan kelapa sawit, 57 persen dikuasai swasta, 30
persen petani swadaya, dan 13 persen dikuasai negara. Pada Gambar 1
penguasaan lahan perkebunan di Indonesia lebih dari setengahnya dikuasai oleh
pihak swasta dan diikuti oleh masyarakat yang mengusahakan kelapa sawit secara
swadaya, serta oleh negara.
Gambar 1 Penguasaan Lahan
Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Tahun 2006
Peningkatan areal perkebunan kelapa sawit akibat dari menguatnya
permintaan CPO sebagai bahan baku bahan bakar nabati (BBN) yang mampu
menggantikan komoditi jagung sebagai bahan baku kebutuhan industri, sehingga
menyebabkan tingginya permintaan terhadap hasil produksi kelapa sawit.
Meningkatnya permintaan akan CPO menyebabkan pemerintah mengadakan
kegiatan perluasan dan peremajaan (Revitalisasi) lahan direncanakan pada
beberapa daerah, seperti Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Jambi,
Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Banten, Bali, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Papua, dan Irian Jaya Barat.
Produksi CPO dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 mengalami
peningkatan (Tabel 3). Pada tahun 2002 produksi kelapa sawit sebesar 9,62 juta
ton dan mengalami peningkatan untuk tahun 2006 yaitu sebesar 17,35 juta ton.
Peningkatan produksi kelapa sawit akibat dari areal penanaman sawit yang juga
mengalami peningkatan karena para produsen kelapa sawit melihat kebutuhan
minyak goreng serta CPO yang meningkat dari dalam negeri maupun dari luar
negeri. Peningkatan produksi kelapa sawit juga akibat dari mahalnya harga CPO
di pasar internasional sehingga banyak produsen mengekspor CPO ke luar negeri.
Proyeksi produksi kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2010 menjadi 18 juta ton,
pada tahun 2015 akan menjadi 21 juta ton dan pada tahun 2015 akan meningkat
sebesar 15 persen atau sebesar 24 juta ton. Proyeksi ekspor kelapa sawit Indonesia
ke luar negeri diperkirakan pada tahun 2010 sebesar 12,5 juta ton dan akan
meningkat sebesar 25 persen atau sebesar 15 juta ton dan pada tahun 2020 sebesar
16 juta ton2.
Tabel 3 Produksi Komoditi Perkebunan Indonesia Tahun 2002–2006
(000Ton)
Komoditi
2002
2003
2004
2005
2006
Karet
1.792
2.066
2.271
2.367
1.630
Kelapa Sawit
9.622
10.411
10.830
11.861
17.350
Kopi
640
653
682
664
647
Tebu
2.242
2.235
1.755
1.634
2.052
Kelapa
3.098
3.254
3.054
3.096
3.156
Kakao
619
695
691
748
779
Sumber : Departemen Pertanian, 2007
2
http://id.wikipedia.org/wiki/Kelapa_sawit. Sumbangan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit terhadap
PAD. Diakses 15 januari 2008
Dibandingkan dengan Negara Malaysia, kelapa sawit Indonesia memiliki
sejumlah keunggulan komparatif. Keunggulan pertama, Indonesia memiliki lahan
dan tenaga kerja melimpah. Pada Saat ini ada lahan 9,2 juta hektar lahan yang bisa
diperluas menjadi 18 juta hektar, sedangkan perluasan lahan sawit di Malaysia
terbatas. Keunggulan kedua, biaya produksi CPO Indonesia lebih rendah daripada
Malaysia. Selain mengekspor CPO, Negara Malaysia mengolahnya menjadi
berbagai produk hilir bernilai tinggi3.
Malaysia unggul untuk produktivitas (3,21 ton CPO per hektar per tahun)
dibandingkan dengan Indonesia (2,51 ton CPO per hektar per tahun). Malaysia
mampu memanfaatkan 87 persen kapasitas pabrik terpasangnya yang mencapai 86
juta ton tandan buah segar (TBS) per tahun, sedangkan Indonesia 65 juta ton TBS
per tahun. Dampak kekurangan pabrik pengolahan sawit di Indonesia tidak hanya
pada dayasaing yang rendah untuk produksi dan ekspor CPO, tapi juga
mengakibatkan berdirinya pabrik-pabrik pengolahan kelapa sawit tanpa memiliki
lahan sawit, hal Ini menyebabkan jumlah produksi minyak sawit, kualitas
produksi, dan harga tidak mampu diprediksi serta dikontrol dengan baik. Kondisi
inilah yang mendukung perbedaan produksi dan ekspor kedua negara 4.
3
http://www.litbang.deptan.go.id/special/komoditas/b4sawit.Prospek,
Arah
pengembangan
Agribisnis Kelapa Sawit . Diakses 15 januari 2008.
4
http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg06407.html Industri Kelapa Sawit
Indonesia Vs Malaysia. Diakses 20 januari 2008.
1.2 Perumusan Masalah
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari sub sektor perkebunan merupakan
sumberdaya yang terus memberikan peluang untuk terus berkembang dan dapat
diandalkan sebagai sumber devisa selain dari sektor Migas yang terus mengalami
kemunduran akibat dari sifanya yang tidak dapat diperbarui. Perkebunan masih
memberikan peluang yang luas selain masih tersedianya lahan perkebunan baru,
juga tersedia tenaga kerja dan konsumen akhir yang terus mengalami
perkembangan setiap tahunnya. Negara produsen CPO, termasuk Indonesia
berusaha untuk memanfaatkan kelapa sawit sebagai penghasil devisa. Munculnya
negara industri baru, perkembangan ekonomi dunia dan pertumbuhan penduduk
menyebabkan kelapa sawit akan terus termanfaatkan.
Permasalahan peningkatan hasil CPO Indonesia di pasar internasional
yaitu disebakan oleh banyak faktor kendala, antara lain adalah ;
1.
Produktivitas di bawah potensinya
Kelapa sawit Indonesia jika dibandingkan dengan Negara Malaysia dari
sisi produktivitas masih rendah. Negara Indonesia mempunyai rata-rata
produktivitas kelapa sawit sebesar 14-16 ton/hektar/tahun sementara Malaysia
mempunyai produktivitas sebesar 18-21 ton/hektar/tahun tandan buah segar sawit.
Produktivitas CPO yang dihasilkan Indonesia sebesar 2,51 ton/hektar berbeda
dengan Negara Malaysia yang mampu menghasilkan CPO sebesar 3,21 ton/hektar
(PPKS, 2006). Rendahnya produktivitas kelapa sawit Indonesia disebabkan oleh
penggunaan bibit yang tidak sesuai dengan standar (kualitas rendah dan palsu),
perawatan (pemupukan, pembersihan rumput, penyemprotan dan pruning) yang
tidak berkesinambungan, hama dan penyakit (ganoderma) yang menggangu
tanaman kelapa sawit seperti gajah, babi dan kera, serta faktor alam yang tidak
bisa diprediksi.
2.
Industri hilir belum berkembang
Industri hilir pengolahan CPO di Indonesia saat ini masih terbatas karena
iklim investasi yang belum kondusif. Pengolahan minyak sawit mentah untuk
diolah menjadi produk yang lebih mempunyai nilai tambah (value add) salah
satunya oleokimia (sabun, detergen, margarin) dan minyak goreng masih terbatas,
karena investasi pembangunan pabrik pengolahan yang besar. Selain itu masalah
pasokan gas bumi dan listrik yang belum mencukupi kebutuhan pabrik
pengolahan kelapa sawit. Peluang besar bagi negara Malaysia untuk mencukupi
permintaan pasar dunia akan kebutuhan minyak nabati khususnya dari kelapa
sawit, dan merupakan peluang belum termanfaatkan oleh negara Indonesia.
3.
Infrastruktur yang terbatas
Areal penanaman kelapa sawit biasanya pada daerah yang jauh dari
pemukiman penduduk dan lokasi pabrik (50-200 km), kerena sebelum dikonversi
menjadi perkebunan kelapa sawit lahan tersebut adalah kawasan hutan. Jarak yang
jauh antara kebun kelapa sawit dengan pabrik tersebut tidak didukung dengan
fasilitas jalan dan jembatan yang baik. Pembangunan jalan yang belum permanen
menyebabkan pengangkutan sering mengalami keterlambatan apabila memasuki
musim penghujan yang berdampak terhadap penurunan kualitas buah sawit yang
akan diolah.
4.
Berbagai kebijakan yang tidak kondusif
Langkanya minyak goreng dan diikuti oleh mahalnya minyak goreng
dalam negeri diakibatkan naiknya harga CPO di pasar internasional. Naiknya
harga CPO di pasar internasional menyebabkan produsen dalam negeri banyak
mengekspor CPO dari pada menjual CPO di dalam negeri. Tingginya harga CPO
dunia juga dipengaruhi oleh permintaan yang semakin tinggi untuk kebutuhan
biodiesel dan pengaruh iklim global seperti kekeringan yang berkepanjangan
menyebabkan turunnya hasil pertanian baik untuk keperluan pabrik nabati atau
biodiesel seperti yang terjadi di Ukraina, China, USA, dan beberapa Negara di
Eropa.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka mengatasi
kelangkaan minyak goreng adalah dengan meningkatkan pajak ekspor (PE)
berdasarkan keputusan menteri keuangan Nomor 61/PMK 001/2007 mengenai
peningkatan pajak ekspor untuk CPO dari 1,5 persen menjadi 6,5 persen dan
peningkatan pajak ekspor kelapa sawit segar (TBS) sebesar 10 persen dari
sebelumnya hanya 3 persen. Dampak yang ditimbukan oleh kebijakan pemerintah
dengan adanya pajak ekspor yaitu ;
a) Mengurangi pendapatan produsen perkebunan kelapa sawit
b) Memicu penyeludupan CPO
c) Menguntungkan negara eksportir lain
d) Berdampak kehilangan pasar
e) Mengganggu iklim investasi
f) Menghambat program pemerintah dalam program pengentasan kemiskinan
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 357/Kpts/HK.350/5/2002 tentang
Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, mengatur mengenai luas lahan usaha
budidaya perkebunan untuk satu perusahaan atau grup perusahaan yang ditetapkan
bahwa luas maksimum lahan usaha perkebunan adalah 20.000 hektar dalam satu
Provinsi atau 100.000 hektar untuk seluruh Indonesia. Dikeluarkanya keputusan
ini menyebabkan para investor bepikir untuk menanamkan investasi pada sub
sektor perkebunan, karena keputusan ini membuat pengusaha perkebunan sulit
untuk mengontrol operasional perkebunan yang tersebar di beberapa daerah.
5.
Berkembangnya areal swadaya tanpa pabrik kelapa sawit (PKS)
Harga kelapa sawit yang tinggi banyak dimanfaatkan petani kelapa sawit,
pihak swasta dan Badan Usaha Milik Negara untuk memperoleh keuntungan
dengan mengusahakan kelapa sawit. Areal swadaya yang di tanam oleh
masyarakat Indonesia saat ini belum didukung oleh pabrik pengolahan kelapa
sawit, karena untuk investasi pembangunan pabrik pengolahan membutuhkan
modal yang besar yaitu 103 miliar (PPKS, 2006). Akibat yang ditimbulkan oleh
kurangnya pabrik pengolahan buah kelapa sawit, menyebabkan buah sawit petani
perkebunan swadaya menjadi membusuk dan petani merugi. Integrasi vertikal
sangat penting agar antara pabrik dan pemilik kelapa sawit sehingga dapat saling
menguntungkan. Dari 22 provinsi yang mengusahakan kelapa sawit di Indonesia,
terdapat 420 pabrik pengolahan kelapa sawit yang tersebar di daerah perkebunan
kelapa sawit. Akan tetapi ada provinsi yang tidak mempunyai pabrik pengolahan
kelapa sawit akan tetapi mempunyai perkebunan sawit, antara lain Kepulauan
Riau dan Sulawesi Tenggara (Lampiran 1).
6.
Kampanye negatif terhadap produk kelapa sawit di pasar Internasional
Peningkatan produksi kelapa sawit dengan pembukaan lahan untuk areal
perkebunan kelapa sawit banyak menuai kritikan dari berbagai Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) internasional dan Negara di Eropa terutama Inggris. Menurut
mereka dampak yang ditimbulkan dari pembukaan lahan kelapa sawit yaitu
rusaknya lingkungan, menyebabkan deforestrasi, berkurangnya satwa langka, dan
penyumbang pemanasan global terbesar.
Perdagangan global menjanjikan pengurangan hambatan berupa tarif, dan
proteksi namun di satu sisi muncul tantangan baru berupa hambatan non tarif atau
non tarif barrier melalui ketentuan-ketentuan standard code yang dikenal dengan
perjanjian technical barrier to trade (TBT) dan perjanjian sanitary and
phytosanitary (SPS). Kedua perjanjian tersebut berkaitan dengan standar produk
dan jasa, perlindungan kesehatan, keselamatan masyarakat dan lingkungan hidup.
Karena itu dalam merebut peluang pasar yang makin terbuka, penyediaan barang
dan jasa harus didukung oleh suatu sistem mutu yang diakui secara internasional.
Dari uraian permasalahan di atas maka yang akan dikaji dalam penelitian ini
adalah:
1.
Bagaimana struktur industri CPO di pasar Internasional ?
2.
Apakah industri CPO Indonesia memiliki keunggulan komparatif ?
3.
Apakah industri CPO Indonesia memiliki keunggulan kompetitif ?
4.
Strategi apa yang perlu dirumuskan untuk memperkuat industri CPO
Indonesia di pasar internasional ?
1.3 Tujuan Peneitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1.
Menganalisis struktur industri CPO di pasar Internasional.
2.
Menganalisis keunggulan komparatif industri CPO Indonesia.
3.
Menganalisis keunggulan kompetitif industri CPO Indonesia.
4.
Merumuskan strategi untuk memperkuat dayasaing industri CPO
nasional di pasar internasional.
1.4 Manfaat Penelitian
1.
Bagi penulis bermanfaat dalam mengaplikasikan teori dan bermanfaat
untuk meningkatkan kemampuan serta pengetahuan.
2.
Bagi pembaca, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi,
acuan serta informasi dalam melihat permasalahan kelapa sawit.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Gambaran Umum Kelapa Sawit
2.1.1 Sejarah Kelapa Sawit
Kelapa sawit pertama kali di tanam secara masal pada tahun 1911 di
daerah asalnya Afrika Barat. Kegagalan penanaman tersebut menyebabkan
perkebunan dipindahkan ke Kongo. Kelapa sawit masuk ke Indonesia pada tahun
1848 sebagai tanaman hias di Kebun Raya Bogor, tanaman kelapa sawit
diusahakan sebagai komersial pada tahun 1912 dan di ekspor minyak kelapa sawit
pertama dilakukan pada tahun 1919. Industri kelapa sawit Indonesia dan Malaysia
berawal ketika empat benih dari Afrika ditanam pada Taman Botani Bogor tahun
1848. Benih kelapa sawit dari Bogor ini kemudian di tanam pada tepi jalan
sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an dan di Rantau
Panjang, Kuala Selangor, Malaysia pada tahun 1911-1912.
2.1.2 Karakteristik Tanaman Kelapa Sawit
Kelapa sawit (Elaeis) termasuk golongan tumbuhan palma. Di Indonesia
penyebarannya di daerah Aceh, pantai timur Sumatera, Jawa, dan Sulawesi.
Kelapa sawit menjadi populer setelah revolusi industri pada akhir abad ke-19 yang
menyebabkan permintaan minyak nabati untuk bahan pangan dan industri sabun
menjadi tinggi.
Kelapa sawit mempunyai produktivitas lebih tinggi dibandingkan
tanaman penghasil minyak nabati lainnya (seperti kacang kedelai, kacang tanah,
biji bunga matahari dan tanaman penghasil minyak nabati lainnya), sehingga
harga produksi menjadi lebih ringan. Kelapa sawit juga merupakan tanaman yang
paling tahan hama dan penyakit dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati
lainnya. Jika dilihat dari konsumsi per kapita minyak nabati dunia mencapai
angka rata-rata 25 kg/th per orang, kebutuhan ini akan terus meningkat seiring
dengan pertumbuhan penduduk dan meningkatnya konsumsi per kapita.
Klasifikasi Botani tanaman kelapa sawit :
Filum
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies
: Magnoliophyta
: Liliopsida
: Arecales
: Arecaceae
: Elaeis
: Elaeis guineensis
Elaeis oleifera
Kelapa sawit dapat mencapai tinggi 25 meter. Bunga dan buahnya berupa
tandan, bercabang banyak, ukuran buah kecil, bila masak berwarna merah
kehitaman dan daging buahnya padat. Pada daging dan kulit buahnya
mengandung minyak. Minyak tersebut digunakan sebagai bahan minyak goreng,
sabun, dan lilin. Ampasnya dapat dimanfaatkan untuk makanan ternak, ampas
yang disebut bungkil dapat digunakan sebagai salah satu bahan pembuatan
makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang.
Kelapa sawit dapat berkembang biak dengan biji (generatif) dan
vegetatif. Tanaman ini tumbuh pada daerah tropis, pada ketinggian 0 - 500 meter
di atas permukaan laut. Kelapa sawit membutuhkan tanah yang subur seperti
tanah latosol, ultisol, alluvial dengan drainase yang baik serta solum yang cukup
dalam kira-kira 1 meter, dengan kelembaban 80 sampai 90 persen. Kelembaban
tinggi itu antara lain ditentukan oleh adanya curah hujan yang tinggi, sekitar 2000
- 2500 mm setahun.
2.1.3 Bibit Kelapa Sawit di Indonesia
Ketersediaan bibit sangat penting dan strategis karena merupakan
tumpuan utama untuk mencapai keberhasilan perkebunan. Kelapa sawit yang
berkualitas membutuhkan bibit yang berkualitas sesuai dengan standar yang
ditentukan. Pengembangan agribisnis kelapa sawit di Indonesia kedepan didukung
secara handal oleh tujuh produsen benih dengan kapasitas 141 juta pada tahun
2006. Produsen penghasil bibit kelapa sawit yaitu: Pusat Penelitian Kelapa Sawit
(PPKS) dengan kapasitas produksi 40 juta ton, PT. Socfindo dengan kapasitas
produksi 45 juta ton, PT. Lonsum dengan kapasitas produksi 14 juta ton, PT.
Dami Mas dengan kapasitas produksi 15 juta ton, PT. Tunggal Yunus dengan
kapasaitas produksi 6 juta ton, PT. Bina Sawit Makmur dengan kapasitas produksi
15 juta ton dan PT Tania Selatan sebesar 1 juta ton. Permasalahan benih palsu
diyakini dapat teratasi melalui langkah - langkah sistematis dan strategis yang
telah disepakati secara nasional. Impor benih kelapa sawit harus dilakukan secara
hati - hati terutama dengan pertimbangan penyebaran penyakit.
Bibit yang dihasilkan oleh produsen resmi ini mempunyai kualitas baik
karena berasal dari induk yang jelas asal usulnya seperti Delidura, Tenera dan
Bapak Pisifera. Adapun ciri dari masing - masing jenis kelapa sawit yaitu :
1.
Kelapa sawit jenis dura biasanya di tanam sebagai pohon induk dengan
ciri :
a.
Mempunyai ciri daging buah tipis (20 - 65%)
b.
Tempurung yang tebal (20 - 50%)
c.
Biji tebal (4 - 20%)
2.
Kelapa sawit jenis pisifera biasanya di tanam sebagai tanaman serbuk
dengan ciri :
a.
Mempunyai ciri daging tebal (92 - 97%)
b.
Tidak mempunyai tempurung
c.
Biji kecil (3 - 8%)
3.
Kelapa sawit jenis tenera biasanya di tanam diperkebunan kelapa sawit
dengan ciri :
a.
Mempunyai ciri daging buah sedang (60 - 96%)
b.
Tempurung yang tipis (3 - 20 %)
c.
Biji sedang (3 -15%)
2.1.4 Standar Nasional CPO (Crude Palm Oil)
Standar Nasional Indonesia untuk CPO adalah SNI 01-2901-2006 yang
merupakan revisi dari SNI 01-2901-1992. Tujuan dari standar ini adalah
menyesuaikan standar mutu minyak kelapa sawit mentah Indonesia dengan mutu
minyak kelapa sawit yang umum dipakai dalam perdagangan internasional sesuai
dengan perkembangan yang terakhir, sehingga minyak kelapa sawit Indonesia
dapat bersaing dipasar internasional.
Tabel 4 Syarat Mutu Minyak Kelapa Sawit Mentah (CPO) Menurut Badan
Standarisasi Nasional (BSN)
Kriteria uji
Satuan
Persyaratan Mutu
Warna
Jingga kemerahan
Kadar air dan kotoran
0,5 maks
%, fraksi masa
Asam lemak bebas
%, fraksi masa
5 maks
Bilangan Yodium
g yodium/100g
50 - 55
Sumber : Badan Standarisasi Nasional
2.1.5 Usahatani Kelapa Sawit
Kebijakan pada sub sektor perkebunan, yang menjadi landasan
perundangan adalah Undang-undang No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan,
yang memiliki ruang lingkup pengaturan meliputi perencanaan perkebunan,
penggunaan tanah, pemberdayaan dan pengelolaan usaha, pengelolaan dan
pemasaran hasil, penelitian dan pengembangan, pengembangan sumberdaya
manusia, pembiayaan, pembinaan dan pengawasan. Pengembangan perkebunan
kelapa sawit di Indonesia dapat dilakukan dalam berbagai pola yaitu;
1. Pola Koperasi Usaha Perkebunan, yaitu pola pengembangan yang modal
usahanya 100 persen dimiliki oleh Koperasi Usaha Perkebunan.
2. Pola
Patungan
Koperasi
dengan
Investor
Koperasi,
yaitu
pola
pengembangan yang sahamnya dimiliki koperasi sebesar 65 persen dan
sisanya dimiliki investor atau perusahaan.
3. Pola Patungan Investor Koperasi, yaitu pola pengembangan yang
sahamnya 80 persen dimiliki investor atau perusahaan dan 20 persen
dimiliki koperasi yang ditingkatkan secara bertahap.
4. Pola BOT (Built Operate and Transfer), yaitu pola pengembangan di mana
pembangunan dan pengoperasian dilakukan oleh investor atau perusahaan
yang kemudian pada waktu tertentu seluruhnya dialihkan kepada koperasi.
5. Pola BTN, yaitu pola pengembangan di mana investor atau perusahaan
membangun kebun atau pabrik pengolahan hasil perkebunan yang
kemudian akan dialihkan kepada peminat atau pemilik yang tergabung
dalam koperasi.
6. Pola-pola
pengembangan
lainnya
yang
saling
menguntungkan,
memperkuat, membutuhkan antara petani pekebun dengan perusahaan
perkebunan.
Dalam rangka pengembangan sistem dan usaha agribisnis perkebunan
secara optimal, maka pemerintah menyusun langkah pemantapan melalui
pendekatan Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN), dimana
Pedoman Kriteria dan Standar Klasifikasi KIMBUN dituangkan dalam Keputusan
Menteri Pertanian No. 633/Kpts/OT.140/10/2004. Adapun bagan dari strategi
pengembangan perkebunan oleh pemerintah saat ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Dengan adanya pedoman ini diharapkan terciptanya sistem agribisnis perkebunan
yang mempunyai dayasaing tinggi, berkelanjutan dan berkeadilan untuk
kemakmuran rakyat Indonesia5.
PR
PERANAN
• UUD 45
• UU
12/1992
• UU 9/1995
• UU
25/1992
• TAP
XVI/MPR/1
998
• INPRES
§ Pembentukan
PDB
§ Perkembangan
Produksi & Luas
Areal
§ Penyerapan
Tenaga Kerja
§ Sektor
Perdagangan
§ Pembangunan
Ekonomi Daerah
§ Ketahanan
Pangan
§ Pelestarian
Lingkungan Hidup
Kebijakan
• Pengembangan
Komoditas
• Peningatan Kemampuan
SDM & IPTEK
• Penumbuhan Kemitraan
Usaha
• Pengembangan
Kelembagaan
• Investasi
Usaha
Perkebunan
• Peningkatan Dukungan
Pembangunan
Ketahanan Pangan
• Pengelolaan
SDA
&Lingkungan Hidup
• Pengembangan Sistem
Informasi Perkebunan
KIMBUN
Terwujudnya
Sistem
AGRIBISBUN
yang Utuh,
Berdaya Saing
Tinggi,
berkeadilan,
berkelanjutan,
untuk sebesar
besarnya
kemakmuran
rakyat
PB
Gambar 2 Bagan Strategi Pembangunan Perkebunan
Sumber : Shobirin, 2003
5
Shobirin.2003.
http://sawitwatch.or.id/index?option=com_content&task=view+55&itemid=27&lang.
Nasional terkait dengan pengembangan komoditi kelapa sawit.
Kebijakan
2.1.6 Pengolahan Kelapa Sawit
Industri
pengolahan
kelapa
sawit
menurut
Keputusan
Menteri
Kehutanan dan Perkebunan No. 107 Kep/Kpts/1999, pemberian ijin pendirian
pabrik kelapa sawit harus ada jaminan adanya pasokan dari kebun sendiri. Pabrik
kelapa sawit standar dengan kapasitas 30 ton Tandan Buah Segar (TBS)/jam,
memerlukan dukungan kebun sawit seluas minimal 6000 hektar. Pabrik
pengolahan mini dengan kapasitas 10 ton TBS/jam, memerlukan dukungan kebun
sawit seluas 2000 hektar.
Strategi pengembangan agribisnis kelapa sawit diantaranya adalah
integrasi vertikal dan horisontal perkebunan kelapa sawit dalam rangka
peningkatan ketahanan pangan masyarakat, pengembangan usaha pengolahan
kelapa sawit di pedesaan, menerapkan inovasi teknologi dan kelembagaan dalam
rangka pemanfaatan sumber daya perkebunan, dan pengembangan pasar. Strategi
tersebut didukung dengan penyediaan infrastruktur (sarana dan prasarana) dan
kebijakan pemerintah yang kondusif untuk peningkatan kapasitas agribisnis
kelapa sawit. Dalam implementasinya, strategi pengembangan agribisnis kelapa
sawit didukung dengan program-program yang komprehensif dari berbagai aspek
manajemen,
yaitu
perencanaan, pelaksanaan
(perbenihan, budidaya
dan
pemeliharaan, pengolahan hasil, pengembangan usaha, dan pemberdayaan
masyarakat) hingga evaluasi.
2.1.7 Peranan Kelapa Sawit Dalam Bidang Sosial dan Perekonomian
Indonesia
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang
mempunyai banyak manfaat. Kegunaan kelapa sawit yaitu dapat diolah menjadi
biofuel dan minyak goreng yang merupakan salah satu bagian dari sembilan bahan
pokok. Melihat potensi pasar dalam negeri dan luar negeri untuk permintaan
kelapa sawit yang besar, sehingga banyak para produsen di dalam negeri yang
mengusahakan kelapa sawit dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang
besar dengan mengekspor kelapa sawit dalam bentuk segar (TBS) ataupun dalam
bentuk CPO. Para produsen kelapa sawit terdiri dari Badan Usaha Milik Negara
atau BUMN atau PTPN (Perusahaan Terbatas Perkebunan Nasional), BUMS atau
Badan Usaha Milk Swasta (Sinar Mas, Astra) dan juga masyarakat petani kelapa
sawit swadaya.
Dampak yang ditimbulkan oleh pembukaan lahan kelapa sawit dan
pabrik-pabrik secara sosial pada daerah setempat adalah penyerapan tenaga kerja
dalam kegiatan produksi kelapa sawit baik di lapangan maupun di pabrik
(penyiapan lahan, pembukaan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan)6.
Selain penyerapan tenaga kerja dampak langsung yang ditimbulkan dengan
hadirnya perkebunan kelapa sawit adalah peningkatan pendapatan yang
menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat. Pembangunan sarana
dan prasarana penunjang perkebunan seperti pembangunan infrastruktur seperti
jalan, jembatan, pembangunan sarana-sarana umum, pendidikan, kesehatan,
bantuan bencana alam dan pembangunan tempat ibadah juga merupakan bentuk
sosial dari pihak produsen atau perusahaan kelapa sawit kepada masyarakat
setempat.
6
Sahrul Mulia Harahap. 2001. Studi Evaluasi Lingkungan Sosial Menuju Penyelesaian Konflik.
Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.
Permintaan kelapa sawit dari dalam negeri dan luar negeri dalam bentuk
buah segar (TBS) dan bentuk CPO menyebabkan perlunya perluasan areal
produksi kelapa sawit. Pengembangan perkebunan untuk menghasilkan produksi
kelapa sawit seperti di daerah Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan
daerah-daerah lain di Indonesia akan membantu meningkatkan pendapatan asli
daerah (PAD) melalui pajak. Daerah-daerah pengembangan kelapa sawit akan
berusaha menarik investor dari mancanegara dan domestik melaui promosipromosi yang dilakukannya. Secara nasional kelapa sawit merupakan salah satu
komoditas perkebunan andalan Indonesia untuk di ekspor sebagai penghasil
devisa. Pada saat ini harga kelapa sawit di pasar internasional sangat tinggi
sehingga menyebabkan banyak produsen kelapa sawit yang mengekspor keluar
negeri. Fluktuasi harga kelapa sawit dan CPO di pasar internasional dipengaruhi
oleh harga minyak goreng dari komoditas lain seperti kedelai, zaitun dan
rapeseed7.
Produksi
dan
pengembangan
industri
kelapa
sawit
Indonesia
menimbulkan sejumlah masalah yaitu ancaman keragaman hayati yang rusak,
praktek pembakaran hutan untuk pembukaan lahan, konflik sosial dengan
masyarakat lokal. Mengatasi permasalahan itu maka sekarang produsen kelapa
sawit harus memproduksi kelapa sawit dengan cara-cara yang lestari yaitu dengan
memperhatikan aspek-aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.
7
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0304/10/ekonomi/248870.htm Kelapa Sawit Indonesia
Memang tak Sekedar CPO. Diakses 15 januari 2008
2.2 Penelitian Terdahulu
2.2.1 Penelitian Dayasaing
Kristina (2006) melakukan penelitian mengenai dayasaing teh hitam
Indonesia di pasar internasional dengan teknik estimasi menggunakan data panel
yang diperoleh melalui kombinasi data time series dan cross-section dalam kurun
waktu tahun 1993-2003. Pengolahan data menggunakan tiga metode yaitu metode
pooled, metode fixed effect dan metode random effect. Selanjutnya dari ketiga
metode tersebut dilakukan uji F dan uji Hausman untuk mengetahui metode yang
terbaik dalam mengestimasi model. Dari hasil pengolahan data dan uji kesesuaian
model diketahui bahwa metode yang terbaik dalam estimasi adalah metode fixed
effect. Berdasarkan pengolahan hasil melalui estimasi model menggunakan data
panel dengan metode fixed effect diketahui bahwa faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap pangsa pasar teh hitam Indonesia berdasarkan nilai probabilitasnya yang
diperoleh adalah produksi teh hitam dan jumlah konsumsi teh hitam di dalam
negeri.
Penelitian yang dilakukan oleh Rosalita (1996) tentang Analisis
Keunggulan Komparatif dan Kompetif Pengusahaan Minyak Sereh Wangi di
Perkebunan Cireundeu, PT Djasulawangi, Kabupaten sukabumi. Menggunakan
alat analisis BSD (Biaya Sumber Domestik) menunjukan hasil bahwa
pengusahaan minyak sereh wangi menguntungkan secara finansial sebesar Rp.
37.052.337,09 dan mengguntungkan secara ekonomi sebesar Rp. 54.221.721,56.
Pengusahaan minyak sereh juga memiliki keunggulan kompetitif dengan nilai
KBSD*<1 yaitu sebesar 0,78.
Penelitian yang dilakukan oleh Yusran (2006) tentang analisis dayasaing
manggis menguntungkan dan efesien secara finansial dan ekonomi. Nilai
keuntungan privat yaitu sebesar Rp. 1.471,51/kg (Desa Kracak) dan Rp.
3.621,8/kg (Desa Babakan) dan PCR lebih kecil dari satu yaitu sebesar 0,71 (Desa
Kracak) dan 0,44 (Desa Babakan). Keuntungan sosial sebesar Rp.1.984,04/kg
(Desa Kracak) dan Rp. 2.614,06/kg (Desa Babakan) dan DRC kurang dari satu
yaitu sebesar 0,61 (Desa Kracak) dan 0,50 (Desa Babakan). Hasil perhitungan
menunjukan bahwa pengusahaan manggis memiliki keunggulan komparatif dan
kompetitif dan memiliki keunggulan diatas normal, baik dalam kondisi adanya
distorsi kebijakan maupun dalam pasar persaingan sempurna.
2.2.2 Penelitian Kelapa sawit
Penelitan yang dilakukan oleh Dicky Armansyah (2005) mengenai
Strategi Pengembangan Bisnis Minyak Kelapa Sawit (CPO) pada PT. Socfindo,
Sumatera Utara). Penelitian ini menggunakan analisis QSPM yang akan
menghasilkan beberapa strategi. Kondisi eksternal yaitu peluang utama PT.
Socfindo adalah produk turunan kelapa sawit yang menghasilkan nilai tambah
yang tinggi, sedangkan ancaman utama bagi PT. Socfindo adalah adanya
pencurian buah sawit. Kekuatan kondisi Internal perusahaan yaitu produk CPO
yang dihasilkan berkualitas tinggi, sedangkan faktor kelemahan utama perusahaan
adalah areal perkebunan yang dimiliki tergolong kecil. Lima Strategi yang dapat
diprioritaskan berdasarkan besarnya skor yaitu: 1). Memperluas areal perkebunan
dan memberikan nilai tambah bagi produk hilir kelapa sawit, 2) Menjaga kualitas
produk CPO dan turunnya dan juga nama baik perusahaan, 3) Memperluas
wilayah pemasaran CPO dan turunnya di dalam dan di luar negeri serta
mempertahankan pasar yang ada, 4) Meningkatkan pengawasan terhadap proses
produksi di kebun dan di pabrik, 5) Meningkatkan pengamanan di perkebunan dan
juga mengawasi proses distribusi produk.
Penelitian yang dilakukan oleh Yolanda Hole (2000) mengenai
Partisipasi Petani Dalam Kegiatan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Kelapa Sawit di
Manokwari Irian Jaya. Berdasarkan hasil penelitiannya menunjukan bahwa
terdapat perbedaan petani transmigrasi lokal dan petani transmigrasi swakarsa
yang tercermin pada komponen-komponen partisipasi meliputi kegiatan
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Selanjutnya hasil penelitian ini
menyatakan bahwasanya faktor pengalaman kerja dan motivasi ekstrinsik
berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi petani transmigrasi lokal, dan faktor
pengalaman kerja, motivasi intrinsik, dan sifat kosmopolit petani berhubungan
dengan tingkat partisipasi petani transmigrasi swakarsa.
Penelitian yang dilakukan oleh Berani Purba (2003) mengenai Kontribusi
Perkebunan Terhadap Pembangunan Perekonomian di Siak, Provinsi Riau.
Analisa yang digunakan adalah Indeks Location Quotient, baik terhadap
pendapatan dan penyerapan tenaga kerja pada sub sektor perkebunan. Hasil
penelitian menyatakan kelapa sawit di daerah Siak memiliki keunggulan
komparatif dibandingkan dengan sektor pertanian lainnya. Demkian juga dengan
tenaga kerja yang diserap pada kegiatan transpotasi, pengolahan, dan pemasaran
berdampak positif terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar
perkebunan.
2.2.3 Penelitian CPO (Crude Palm Oil)
Penelitian Analisis Integrasi Pasar CPO Dunia dengan Pasar CPO,
Minyak Goreng, dan TBS Domestik Serta Pengaruh Tarif Ekspor CPO dan Harga
BBM Dunia oleh Yunita (2007). Menggunakan metode pengolahan Vector
Auoregression (VAR). Dari hasil penelitian menunjukan bahwa pasar CPO dunia
terintegrasi dengan pasar CPO, minyak goreng, dan TBS domestik. Pasar CPO
dunia berperan sebagai penentu harga, sedangkan pasar domesik berperan sebagai
pengikut harga. Pada pasar domestik, terjadi integrasi pasar antara pasar CPO
dengan pasar TBS domestik. Dimana pasar CPO domestik adalah penentu harga
bagi pasar TBS domestik. Tarif ekspor CPO yang ditetapkan pemerintah ternyata
tidak berpengaruh terhadap integrasi pasar yang terjadi. Dapat dikatakan bahwa
tarif ekspor yang berlaku tidak efektif, karena tarif ekspor yang tinggi dapat
meminimumkan penghasilan produsen dan eksortir CPO, serta petani, harga BBM
dunia berpengaruh terhadap integrasi pasar yang terjadi.
Penelitian yang dilakukan oleh Fachnany Siregar (2005) mengenai
Strategi Pengembangan
Biodiesel
Berbasis
CPO
di Indonesia dengan
menggunakan analisis SWOT. Dari hasil penelitian terdapat 5 strategi untuk
meningkatkan biodiesel. Pertama pengembangan industri biodiesel kerakyatan,
kedua pembuatan standar biodiesel yang mendapat pengakuan dari agen tunggal
pemegang merek, ketiga promosi dan sosialisasi kepada masyarakat oleh semua
pihak terkait atau stakeholder, keempat pembuatan energi plantation atau lahan
sawit khusus biodiesel, dan kelima mengadakan kerjasama dengan pihak asing
baik dalam permodalan, pengembangan teknologi dan pemasaran.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah alat
analisis yang digunakan untuk menganalisis permasalahan yang berkaitan dengan
dayasaing industri CPO Indonesia dipasar internasional, dengan menganalisis
keunggulan dayasaing CPO Indonesia secara kompetitif dan komparatif.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1 Konsep Dayasaing
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam kamus Bahasa Indonesia
tahun 1995 berpendapat bawa dayasaing adalah kemampuan untuk melakukan
sesuatu atau bertindak untuk merebut pasar. Sedangkan menurut Brataatmaja
(1994)
mendefinisikan
dayasaing
sebagai
kekuatan,
kemampuan
atau
kesanggupan untuk bersaing. Pengertian dayasaing juga mengacu pada
kemampuan suatu negara untuk memasarkan produk yang dihasilkan negara itu
relatif terhadap kemampuan negara lain (Bappenas, 2007).
Pengertian dayasaing dapat diterjemahkan dari sisi permintaan (demand
side) dan dari sisi penawaran (supply side). Dari sisi permintaan, kemampuan
bersaing mengandung arti bahwa produk agribisnis yang dijual haruslah produk
yang sesuai dengan atribut yang dituntut konsumen atau produk yang
dipersepsikan bernilai tinggi oleh konsumen (Consumer s value perception).
Sementara dari sisi penawaran, kemampuan bersaing berkaitan dengan
kemampuan merespon perubahan atribut-atribut produk yang dituntut oleh
konsumen secara efisien.
3.1.1.1 Keunggulan Komparatif
Suatu negara akan memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan
negara lain bila negara tersebut berspesialisasi dalam komoditas yang dapat
diproduksi dengan lebih efesien (mempunyai keunggulan absolut) dan mengimpor
komoditas yang kurang efesien (mengalami kerugian absolut). Konsep
keunggulan komparatif (The Law of Comparative Advantage) yang dipopulerkan
oleh David Ricado (1823) yang menyatakan bahwa sekalipun suatu negara
mengalami kerugian atau ketidakunggulan absolut dalam memproduksi kedua
komoditas jika dibandingkan dengan negara lain, namun perdagangan yang saling
mengguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang kurang efesien akan
berspesialisasi dalam memproduksi komoditas ekspor pada komoditas yang
mempunyai kerugian absolut lebih kecil. Dari komoditas ini negara tersebut
mempunyai keunggulan komparatif dan akan mengimpor komoditas yang
mempunyai kerugian absolut lebih besar. Dari komoditas inilah negara mengalami
kerugian komparatif (Salvatore, 1997).
Hukum keunggulan komparatif diperkuat oleh keunggulan komparatif
berdasarkan
Teori
Biaya
Imbangan
(Opportunity
Cost
Theory),
yang
dikemukakan oleh Haberler tahun 1936. Harberler menyatakan bahwa biaya dari
suatu komoditas adalah jumlah komoditas kedua terbaik yang harus dikorbankan
untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit
tambahan komoditas pertama (Salvatore, 1997).
Teori keunggulan komparatif yang lebih modern adalah teori HecksherOhlin (1933), yang pada perbedaan bawaan faktor (produksi) antar negara sebagai
determinasi perdagangan yang paling penting. Teori Hecksher-Ohlin menggangap
bahwa sebuah negara akan mengekspor komoditas yang produksinya lebih banyak
menyerap faktor produksi relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam
waktu bersamaan negara akan mengimpor komoditas yang produksinya
memerlukan sumberdaya yang relatif langka dan mahal di negara itu. Keunggulan
komparatif yang dimiliki dalam perdagangan memiliki sifat yang dinamis bukan
statis. Sifat yang dinamis tersebut membuat negara memiliki keungglan
komparatif di sektor tertentu harus mampu mempertahankan agar tidak tersaingi
oleh negara lain atau digantikan komoditas subtitusinya.
3.1.1.2 Keunggulan Kompetitif
Keunggulan kompetitif adalah alat untuk mengukur kelayakan suatu
aktivitas atau keuntungan privat yang dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai
tukar resmi yang berlaku (analisis finansial), sehingga konsep keunggulan
kompetitif bukan merupakan suatu konsep yang sifatnya menggantikan atau
mensubtitusi terhadap konsep keunggulan komparatif, akan tetapi merupakan
suatu konsep yang sifatnya saling melengkapi.
Analisis keunggulan kompetitif dapat digunakan sebagai alat untuk
mengukur keuntungan privat dengan dasar aktivitas ekonomi diukur pada harga
pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku. Maka aktivitas ekonomi suatu negara
dapat bersaing di pasar internasional dengan kompetitifnya dalam menghasilkan
suatu komoditas dengan asumsi adanya sistem pemasarannya dan intervensi
pemerintah.
Keunggulan bersaing negara mencakup tersedianya peran sumberdaya
dan melihat lebih jauh pada keadaan negara yang mempengaruhi perusahaanperusahaan internasional pada industri yang berbeda. Sebagian besar sumberdaya
yang penting seperti keahlian tenaga kerja yang tinggi, teknologi dan sistem
manajemen yang canggih diciptakan melalui investasi oleh orang - orang dan
perusahaan. Atribut yang merupakan faktor penentu keunggulan bersaing industri
nasional yaitu kondisi sumberdaya, kondisi permintaan, industri pendukung dan
terkait, serta persaingan, struktur dan strategi perusahaan. Keempat atribut
tersebut didukung oleh peranan kesempatan dan peranan pemerintah dalam
meningkatkan keunggulan dayasaing industri nasional, dan secara bersama-sama
membentuk suatu sistem yang dikenal dengan National Diamond System.
Strategi perusahaan,
struktur, dan persaingan
Kesempatan
Kondisi Faktor
Kondisi permintaan
Industri terkait dan
pendukung
Gambar 3 “The National Diamond System”
Sumber : Porter 1990
Pemerintah
Setiap atribut yang terdapat dalam Teori Berlian Porter memiliki poin poin penting yang menjelaskan secara detail atribut yang ada, dengan penjelasnya
sebagai berikut ;
1.
Kondisi Faktor Sumberdaya
Posisi suatu
bangsa berdasarkan
sumberdaya
yang dimilikinya
merupakan faktor produksi yang diperlukan untuk bersaing dalam industri
tertentu. Faktor produksi tersebut digolongkan pada lima kelompok ;
a)
Sumberdaya Manusia
Sumberdaya manusia yang mempengaruhi daya saing industri nasional
terdiri dari jumlah tenaga kerja yang tersedia, kemampuan manajerial dan
keterampilan yang dimilikinya, biaya tenaga kerja yang berlaku (tingkat upah) dan
etika kerja (termasuk moral).
b)
Sumberdaya Fisik/Alam
Sumberdaya fisik atau sumberdaya alam yang mempengaruhi dayasaing
industri nasional mencakup biaya, kualitas, aksesbilitas, ukuran lahan (lokasi),
ketersediaan air, mineral dan energi serta sumber daya pertanian, perkebunan,
kehutanan, perikanan (termasuk sumberdaya perairan laut lainnya), dan sumber
peternakan, serta sumberdaya alam lainnya, baik yang dapat diperbarui maupun
yang tidak dapat diperbarui. Begitu juga kondisi cuaca dan iklim, luas wilayah
geografis, kondisi topografis dan lain-lain.
c)
Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Sumberdaya
IPTEK
mencakup
ketersediaan
pengetahuan
pasar,
pengetahuan ilmiah yang menunjang dan diperlukan dalam memproduksi barang
dan jasa. Begitu juga ketersediaan sumber-sumber pengetahuan dan teknologi,
seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga
statistik, literatur bisnis dan ilmiah, basis data, laporan penelitian, asosiasi
pengusaha, asosiasi perdagangan dan sumber pengetahuan dan teknologi lainnya.
d)
Sumberdaya Modal
Sumberdaya modal yang mempengaruhi dayasaing nasional terdiri dari
jumlah dan biaya (suku bunga) yang tersedia, jenis pembiayaan (sumber modal),
aksesibilitas terhadap pembiayaan, kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan,
tingkat tabungan masyarakat, peraturan keuangan, kondisi moneter dan fiskal,
serta peraturan moneter dan fiskal.
e)
Sumberdaya Infrastruktur
Sumberdaya infrastruktur yang mempengaruhi dayasaing nasional dapat
dilihat dari ketersediaan, jenis, mutu, dan biaya penggunaan infrastruktur yang
mempengaruhi persaingan, termasuk sistem transportasi, komunikasi, pembayaran
dan transfer dana, air bersih, energi listrik dan lain-lain.
2.
Kondisi Permintaan
Kondisi permintaan dalam negeri merupakan faktor penentu dayasaing
industri nasional, terutama mutu pemintaan domestik. Mutu permintaan domestik
merupakan sarana pembelajaran perusahaan domestik untuk bersaing di pasar
global. Mutu permintaan (pesaingan yang ketat) di dalam negeri memberikan
tantangan bagi setiap pasar domestik. Ada tiga faktor kondisi permintaan yang
mempengaruhi dayasaing nasional ;
a.
Komposisi Permintaan Domestik
Karakteristik permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing
nasional. Karakteristik tersebut meliputi ;
1) Struktur segmen permintaan merupakan faktor penentu dayasaing Industri
nasional. Pada sebagian besar industri, permintaan yang ada telah
tersegmentasi atau dipersempit menjadi beberapa bagian yang lebih
spesifik. Pada umumnya perusahaan lebih mudah memperoleh dayasaing
pada struktur segmen permintaan yang lebih luas dibandingkan dengan
struktur segmen yang sempit.
2)
Pengalaman dan selera pembeli yang tinggi akan meningkatkan tekanan
kepada produsen untuk menghasilkan produk yang bermutu dan
memenuhi standar yang tinggi, yang mencakup standar mutu produk, fiturfitur pada produk dan pelayanan.
3)
Antisipasi kebutuhan pembeli yang baik dari perusahaan dalam negeri
merupakan suatu poin dalam memperoleh keunggulan dayasaing.
b.
Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan
Jumlah atau besarnya permintaan domestik mempengaruhi tingkat
persaingan dalam negeri, terutama disebabkan oleh jumlah pembeli bebas, tingkat
pertumbuhan permintaan domestik, timbulnya permintaan baru, dan kejenuhan
permintaan lebih awal sebagai akibat perusahaan domestik melakukan penetrasi
pasar lebih awal. Pasar domestik yang luas dapat diarahkan untuk mendapatkan
keunggulan kompetitif dalam suatu industri. Hal ini terjadi jika industri dilakukan
dalam skala ekonomis melalui adanya penanaman modal dengan membangun
fasilitas skala besar, pengembangan teknologi dan peningkatan produktifitas.
c.
Permintaan Luar Negeri Terhadap Nasional
Pembeli lokal yang merupakan pembeli dari luar negeri akan mendorong
dayasaing industri nasional kerena dapat membawa produk tersebut keluar negeri.
Konsumen yang memiliki mobilitas internasional tinggi dan sering mengunjungi
suatu negara juga dapat mendorong dan meningkatkan dayasaing produk negeri
yang dikunjungi tersebut.
3.
Industri Terkait dan Industri Pendukung
Keberadaan industri pendukung dan industri terkait yang memiliki
dayasaing global juga akan mempengaruhi dayasaing industri utamanya. Industri
hulu yang memiliki dayasaing global akan memasok input bagi industri utama
dengan harga lebih murah, mutu yang lebih baik, pelayanan yang cepat,
pengiriman tepat waktu dan jumah sesuai dengan kebutuhan industri utama,
sehingga industri tersebut juga akan memiliki dayasaing global yang tinggi.
Begitu juga industri hilir yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan
baku. Apabila industri hilir memiliki dayasaing global maka industri hilir tersebut
dapat menarik industri hulunya untuk memperoleh dayasaing global.
4.
Struktur, Persaingan dan Strategi Perusahaan
Tingkat persaingan dalam industri merupakan salah satu pendorong bagi
perusahaan-perusahaan yang berkompetisi untuk terus melakukan inovasi.
Keberadaan pesaing lokal yang handal dan kuat merupakan faktor penentu dan
sebagai motor penggerak untuk memberikan tekanan antar perusahaan untuk
berkompetisi dan terus melakukan inovasi. Keberadaan pesaing lokal yang handal
dan kuat merupakan faktor penentu sebagai motor penggerak untuk memberikan
tekanan pada perusahaan lain untuk meningkatkan dayasaingnya. Perusahaan-
peruahaan yang telah terbukti bersaing ketat dalam industri nasional akan lebih
mudah memenangkan persaingan internasional dibandingkan dengan perusahaanperusahaan yang belum memliki dayasaing nasional atau berada dalam industri
yang tingkat persaingannya rendah.
Strukur industri dan struktur perusahaan juga menentukan dayasaing
yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang tercakup dalam industri tersebut.
Struktur industri yang monopolistik kurang memiliki daya dorong untuk
melakukan perbaikan-perbaikan serta inovasi-inovasi baru dibandingkan dengan
struktur industri yang bersaing. Di lain pihak, struktur perusahaan yang berada
dalam industri sangat berpengaruh terhadap bagaimana perusahaan yang
bersangkutan dikelola dan dikembangkan dalam suasana tekanan persaingan, baik
domestik maupun internasional. Di samping itu, juga berpengaruh pada strategi
perusahaan untuk memenangkan persaingan domestik dan internasional. Dengan
demikian secara tidak langsung akan meningkatkan dayasaing global industri
yang bersangkutan.
5.
Peran Pemerintah
Peran pemerintah merupakan variabel pendukung dari Teori Berlian
Porter. Pemerintah dapat mempengaruhi keempat variabel utama. Variabel
kondisi faktor sumberdaya dipengaruhi melalui subsidi, kebijakan pasar modal,
kebijakan pendidikan dan lain sebagainya. Peranan pemerintah dalam membentuk
kondisi permintaan domesik seringkali sulit untuk dijelaskan. Pemerintah juga
bertugas menetapkan standar produk lokal melalui departemen - departemen yang
ada. Pemerintah juga seringkali menjadi pembeli utama, misalnya pembelian alat
telekomunikasi atau penerbangan untuk keperluan negara. Bahkan pemerintah
dapat juga menjadi penjual utama atau memegang kekuasaan atas produk-produk
vital yang menyangkut kepentingan rakyat banyak. Pada bagian industri
pendukung dan terkait, pemerintah dapat membentuk polanya, seperti dengan
mengkontrol media periklanan dan membuat regulasi dari pelayanan pendukung.
Disamping itu, pemerintah juga dapat mempengaruhi persaingan, struktur dan
strategi perusahaan melalui regulasi pasar modal, kebijakan pajak dan peundangundangan.
6.
Peran Kesempatan
Kesempatan mempunyai dampak yang asimetris atau hanya berlaku satu
arah terhadap keempat faktor utama dari Teori Berlian Porter. Faktor Peluang
seringkali merupakan suatu hal yang besar di luar kekuatan dari industri dan juga
pemerintah dalam mempengaruhi keunggulan kompetitif, yaitu hak paten, perang,
keputusan politik dari pemerintah luar negeri dan lainnya.
3.1.2 Struktur Pasar
Istilah struktur pasar (market structure) mengacu pada semua aspek yang
dapat mempengaruhi perilaku dan kinerja perusahaan di suatu pasar, misalnya
jumlah perusahaan di pasar atau jenis produk yang mereka jual (Lipsey,1997).
Struktur pasar umumnya dicirikan atas dasar empat karakteristik yang penting,
yaitu jumlah dan distribusi ukuran dari penjual dan pembeli yang aktif serta para
pendatang potensial, tingkat diferensiasi produk, jumlah dan biaya, informasi
tentang harga dan mutu produk, serta kondisi masuk dan keluar pasar.
3.1.2.1 Pasar Persaingan Sempurna
Menurut pappas dan Hirchey (1995), pasar persaingan sempurna adalah
struktur pasar yang dicirikan dengan sejumlah besar pembeli dan penjual untuk
sebuah produk yang homogen, di mana setiap transaksi peserta pasar adalah
begitu kecil sehingga tidak memiliki pengaruh terhadap harga dari produk
tersebut. Para pembeli dan penjual individual adalah para pengambil harga (price
taker). Harga telah ditentukan pasar dan cenderung konstan. Ini berarti bahwa
perusahaan–perusahaan mengambil harga sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah
dan tidak mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi pasar melalui tindakannya
sendiri. Sehingga untuk mendapatkan keuntungan maksimum seorang produsen
hanya dapat mencapainya melalui keputusan banyaknya jumlah produk yang akan
dijual, dengan kata lain laba maksimum dapat diwujudkan dalam kondisi
MR=MC. Pada struktur pasar ini informasi permintaan dan penawaran yang bebas
dan lengkap tersedia serta tidak terdapat hambatan masuk dan keluar yang berarti,
akibatnya tingkat pengembalian atas investasi hanya dimungkinkan dalam jangka
panjang.
3.1.2.2 Pasar Persaingan Monopolistik
Menurut Pappas dan Hirchey (1995), persaingan monopolistik adalah
pasar yang terdiri dari banyak penjual yang menawarkan produk-produk yang
serupa tetapi tidak identik atau terdiferensiasi. Namun barang-barang tersebut
tidak bisa saling mensubtitusi. Sehingga konsumen melihat adanya perbedaan
penting diantara produk-produk yang ditawarkan oleh setiap produsen individual.
Perusahaan dalam persaingan monopolistik dapat memperkenalkan
sebuah inovasi dalam produk yang dapat memberikan peningkatan laba ekonomi
yang cukup besar dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, peniruan oleh
para pesaing akan mengikis pangsa pasar dan laba akhirnya menurun ketingkat
normal.
Alasan perusahaan dalam industri monopolistik dapat mengontrol harga
produknya adalah subyektifitas konsumen yang memandang produk-produknya
berbeda. Oleh sebab itu, perusahaan-perusahaan pada industri yang memiiki
struktur ini berusaha meyakinkan bahwa produk mereka berbeda dan lebih baik
dari perusahaan lainnya.
3.1.2.3 Pasar Oligopoli
Menurut Lipsey (1997), Oligopoli adalah industri yang terdiri dari dua
atau beberapa perusahaan, sedikitnya satu di antaranya menghasilkan sebagian
besar dari keluaran total industri. Para oligopolis memperhitungkan keputusan–
keputusan yang diambil oleh berbagai produsen dan mereka memperhitungkan
juga dampak keputusan yang diambil oleh berbagai produsen dan mereka
memperhitungkan juga dampak keputusan mereka terhadap pesaing-pesaingnya.
Bila tedapat perubahan harga sekecil apapun, maka konsumen beralih pada
produsen lainnya.
Akses yang yang terbatas pada informasi, biaya, dan mutu produk yang
dikombinasikan dengan hambatan masuk dan keluar yang tinggi memberikan
potensial laba ekonomi dalam jangka panjang. Strategi untuk mendapatkan
keuntungan dalam pasar oligopoli antara lain adalah perusahaan-perusahaan yang
terlibat dapat bekerjasama dalam beberapa hal yang menyangkut kepentingan
bersama, lalu melakukan strategi diferensiasi produk, dan inovasi produk.
3.1.2.4 Pasar Monopoli
Menurut Pappas dan Hirchey (1995), pasar monopoli adalah suatu pasar
yang dicirikan dengan penjual tunggal dan sebuah produk yang sangat
terdiferensiasi. Produsen monopoli dapat menentukan harga. Hambatan masuk
atau keluar yang besar seringkali merintangi para pendatang potensial. Monopoli
biasa terjadi kerena 3 hal, yaitu monopoli alami, monopoli kerena efisiensi yang
superior, dan monopoli kerena paten.
3.1.3 Teori Perdagangan Internasional
Pengertian sederhana pedagangan internasional adalah suatu proses yang
timbul sehubungan dengan pertukaran komoditas antar negara. Adam Smith
dalam Salvatore (1996) menyatakan bahwa perdagangan antara dua negara di
dasarkan pada keunggulan absolut (absolute advantage). Jika sebuah negara lebih
efisien dari pada (atau memilki keunggulan absolut terhadap) negara lain dalam
memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dibanding (atau memiliki
kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi komoditas lainnya,
maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masingmasing melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditas yang memiliki
keunggulan absolut, dan menukarkannya dengan komoditas lain yang memiliki
kerugian absolut. Melalui proses ini sumberdaya di kedua negara dapat digunakan
dalam cara yang paling efesien. Output kedua komoditas yang diproduksi pun
akan meningkat. Peningkatan dalam output ini akan mengukur keuntungan dari
spesialisasi produksi untuk kedua negara yang melakukan perdagangan.
Menurut teorema (Heckscher-Ohlin dalam Salvatore, 1996) sebuah
negara akan mengekspor komoditi yang diproduksinya lebih banyak menyerap
faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam waktu
yang bersamaan akan mengimpor komoditas yang diproduksinya memerlukan
sumberdaya yang relatif langka dan mahal di negara itu. Singkatnya, sebuah
negara yang relatif kaya atau berkelimpahan tenaga kerja akan mengekspor
komoditas yang relatif padat tenaga keja dan mengimpor komoditas yang relatif
padat modal (yang meupakan faktor produksi langka dan mahal di negara
bersangkutan).
Dalam teori mengenai timbulnya perdagangan Internasional, (HeckscherOhlin dalam Salvatore, 1987) menganggap bahwa negara dicirikan oleh faktor
bawaan yang berbeda, sedangkan fungsi produksi di semua negara adalah sama.
Dengan menggunakan asumsi tersebut diperoleh kesimpulan bahwa dengan fungsi
produksi yang sama dan faktor bawaan yang berbeda antar negara, suatu negara
cenderung untuk mengekspor komoditas yang secara relatif intensif dalam
menggunakan faktor produksinya lebih banyak dan mengimpor barang-barang
yang menggunakan faktor-faktor produksi yang relatif langka dan intensif.
Volume ekspor suatu komoditas tertentu dari suatu negara ke negara lain
merupakan selisih antara penawaran domestik dan permintaan domestik yang
disebut sebagai kelebihan penawaran (excess supply). Di lain pihak kelebihan
penawaran dari negara tersebut merupakan permintaan impor bagi negara lain
atau merupakan kelebihan permintaan (excess demand). Selain dipengaruhi oleh
permintaan dan penawaran domestik, ekspor juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
pasar dunia seperti harga komoditas itu sendiri dan komoditas subtitusinya dipasar
internasional serta hal-hal yang dapat mempengaruhi harga baik secara langsung
maupun tidak langsung (Salvatore, 1996).
3.1.4 Pasar dan Pangsa Pasar
Dalam perdagangan dikenal istilah pasar. Menurut Lipsey (1995), pasar
merupakan suatu konsep yang memiliki beberapa definisi. Definisi yang pertama
yaitu pasar merupakan tempat berlangsungnya negosiasi pertukaran komoditas
antara pembeli dan penjual. Definisi yang kedua dari sudut pandang rumah
tangga, pasar adalah perusahaan-perusahaan dimana rumah tangga dapat membeli
produk. Definisi yang ketiga dari sudut pandang perusahaan, pasar adalah pembeli
- pembeli dimana perusahaan dapat menjual produk. Sedangkan pengertian pasar
yang dikemukakan oleh WJ. Stanton dalam Swatha (1998) adalah orang-orang
yang mempunyai keinginan untuk puas, uang untuk berbelanja dan kemauan
untuk membelanjakannya. Istilah pangsa pasar (market share) didefinisikan
sebagai persentase penguasaan pasar (Chandradhy, 1978).
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Sub sektor perkebunan merupakan salah satu sektor dari sekian banyak
sektor unggulan ekspor Indonesia. Salah satu komoditas unggulan perkebunan
adalah kelapa sawit selain keret, teh, kopi dan lain sebagainya. Hal ini terlihat dari
kontribusinya terhadap devisa negara dan penyerapan tenaga kerja. Kebutuhan
kelapa sawit untuk kebutuhan minyak goreng dan sebagai bahan bakar (biofuel).
Industri CPO Indonesia bukan hanya memasok kebutuhan di dalam negeri saja,
melainkan negara lain seperti India, China, Belanda, dan Negara Uni Eropa.
Permasalahan yang menyebabkan dayasaing CPO negara kita masih
rendah dibanding Malaysia antara lain pertama produktivitas kelapa sawit
Indonesia masih di bawah potensinya, kedua industri hilir belum berkembang,
ketiga infrastruktur yang terbatas, keempat berbagai kebijakan yang tidak
kondusif, kelima berkembangnya areal swadaya tanpa pabrik kelapa sawit, dan
keenam adanya kampanye negatif terhadap produk kelapa sawit di pasar
Internasional. Sehingga perlu perbaikan dalam meningkatkan kualitas dan
kuantitas kelapa sawit agar mampu bersaing dengan pesaing utama yaitu
Malaysia. Terbukanya kran perdagangan bebas antar negara merupakan peluang
bagi negara Indonesia untuk meningkatkan devisa dari ekspor kelapa sawit. Selain
itu tuntutan permintaan CPO dari negara-negara Eropa atau importir yang besar
menyebabkan adanya syarat komoditas ekspor yang bersaing dan harus
memperhatikn aspek linkungan, ekonomi dan sosial masyarakat sekitar
perkebunan.
Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan dari penelitian “Dayasaing
Industri CPO Indonesia di Pasar Internasional” ini adalah menganalisis struktur
pasar dalam perdagangan CPO serta menganalisis posisi dayasaing CPO di pasar
Internasional. Oleh karena itu, tahapan dalam penelitian ini adalah melakukan
pengkajian potensi, kendala, dan peluang komoditas CPO. Analisis situasi
tersebut dilakukan dengan pendekatan Teori Berlian Porter (Porter Diamond
Theory) tentang keunggulan bersaing suatu negara.
Pendekatan lain yang digunakan adalah analisis Herifindahl Index yaitu
untuk mengetahui struktur pasar dan pangsa pasar yang dimiliki oleh CPO di
pasar internasional. Dalam penelitian ini juga menggunakan analisis kuantitatif
lain yaitu Revealed Comparative Index (RCA). Nilai RCA digunakan untuk
menjelaskan kekuatan dayasaing komoditas CPO Indonesia secara relatif terhadap
produk sejenis dari negara lain (dunia) yang juga menunjukan posisi komparatif
Indonesia sebagai produsen CPO dibandingkan dengan negara lainnya dalam
pasar minyak sawit mentah internasional.
•
•
Permasalahan didalam negeri
yang menyebabkan dayasaing
kelapa sawit nasional menurun
Persaingan komoditi di pasar
Internasional dengan
terbukanya kran perdagangan
bebas
Posisi dayasaing CPO
(Crude Palm Oil) Indonesia
Analisis struktur
industri CPO di pasar
Internasional
Herifindahl Index
dan Rasio
Konsenttrasi
Analisis keunggulan
Komparatif CPO
Indonesia
Analisis Keunggulan
Kompetitif industri
CPO Indonesia
Revealed
Comparatif
Advantage (RCA)
Teori Berlian Porter
Gambaran dayasaing CPO
Indonesia menghadapi persaingan
Internasional
(Identifikasi faktor SWOT)
Strategi untuk meningkatkan
dayasaing CPO Indonesia di pasar
Internasional
(Analisis SWOT)
Gambar 4 Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada beberapa tempat diantaranya Gedung
PAU IPB Lantai 2 yang merupakan pusat organisasi Masyarakat Kelapa Sawit
Indonesia (MAKSI), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI),
Dewan Minyak Sawit Indonesia Jakarta, serta Direktorat Jenderal Perkebunan
Departemen Pertanian Jakarta. Penelitian ini berlangsung pada bulan Febuari
hingga April 2008.
4.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Data sekunder di peroleh dari Direktorat Jenderal Perkebunan,
Departemen Pertanian antara lain: luas lahan, produksi, produktifitas kelapa sawit,
dan ekspor CPO, gambaran umum kelapa sawit, selain itu sumber data yang
menunjang penelitian ini diperoleh dari buku-buku literatur, perpustakaan LSI,
dan internet. Data primer digunakan untuk melihat gambaran umum keadaan
perkelapa sawitan Negara Indonesia saat ini. Data primer merupakan hasil
wawancara dengan GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia),
Masyarakat Kelapa Sawit Indonesia (MAKSI), dan Dewan Minyak Sawit
Indonesia (DMSI).
4.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis
kualitatif dilakukan dengan menggunakan Teori Berlian Porter dan analisis
SWOT, sedangkan analisis kuantitatif menggunakan Herifindahl Index (HI) dan
Revealed Comparative Advantage (RCA). Pengolahan data dilakukan dengan
menggunakan software Microsoft Excel 2007.
4.3.1 Analisis Struktur Industri
Herifindahl Index dan Rasio Konsentrasi adalah alat analisis yang
digunakan untuk mengetahui struktur pasar yang dihadapi suatu industri.
Herfindahl Index merupakan suatu alat untuk mengukur besar kecilnya (ukuran)
perusahaan-perusahaan dalam industri dan sebagai indikator jumlah pesaing
diantara mereka. Herfindahl Index dan rasio konsentrasi sering digunakan untuk
mengukur
konsentrasi
industri.
Nilai
Herifindahl
Index
mencerminkan
penguasaan pangsa pasar oleh suatu perusahaan dalam suatu industri. Indeks
tersebut merupakan hasil penjumlahan kuadrat pangsa pasar tiap-tiap perusahaan
dalam suatu industri.
Sij = Xij / TXj
Keterangan :
Sij
Xij
TXj
: Pangsa pasar CPO Negara i di pasar internasional
: Nilai ekspor CPO Negara i dipasar internasional
: Total nilai ekspor CPO di pasar internacional
Dalam penelitian ini, alat analisis Herifindahl Index digunakan dengan
tujuan mengetahui struktur pasar CPO di pasar internasional sekaligus mengukur
penguasaan pangsa pasar masing-masing negara terlibat dalam perdagangan CPO.
Pangsa pasar CPO suatu negara dihitung dengan membandingkan ekspor CPO
tersebut dengan total ekspor dunia. Formula yang sama kemudian digunakan
untuk mengukur struktur pasar dan pangsa pasar suatu negara dalam perdagangan
CPO internasional, yaitu sebagai berikut
HI = S12 + S22 + S32 + +Sn2
Keterangan :
HI
Si
n
: Herifindahl Index
: Pangsa pasar Negara ke i dalam perdagangan CPO dunia
: Jumlah Negara yang terlibat dalam perdagangan CPO
Didasarkan pada analisa standar dalam ekonomi industri, bahwa struktur
industri dikatakan berbentuk oligopoli bila empat produsen terbesar menguasai
minimal 40 persen pangsa pasar penjualan dari industri yang besangkutan
(CR4=40 persen). Apabila kekuatan keempat produsen tersebut sama, maka
pangsa penjualan atau produksi masing-masing produsen adalah 10 persen dari
nilai penjualan atau produksi suatu industri. Apabila penguasaan pasar oleh
sepuluh produsen atau kurang dalam suatu industri merupakan batas minimum
suatu industri berbentuk oligopolistik, maka terdapat kecendrungan peningkatan
derajat penguasaan pasar dari tahun ketahun. Sejalan dengan peningkatan derajat
penguasaan pasar tersebut, beberapa sub sektor industri beralih kearah persaingan
oligopolistik. Nilai Herifindahl Index ini berkisar antara 0 hingga 1 (atau 10.000
yang merupakan kuadrat dari 100 persen). Jika nilai Herifindahl Index mendekati
0 berarti struktur pasar industri yang bersangkutan cenderung ke pasar persaingan
(competitive market), sementara jika indeks bernilai mendekati 1 (atau 10.000)
maka struktur pasar industri tersebut cenderung bersifat monopoli.
Struktur
pasar
juga
dapat
diklasifikasikan
berdasarkan
rasio
konsentrasinya, yaitu :
1.
Struktur pasar persaingan sempurna (perfect competition) ditunjukan
dengan rasio konsetrasi yang sangat rendah.
2.
Struktur pasar persaingan monopolistik (monopolistic competicion)
ditunjukan dengan nilai rasio konsetrasi untuk empat produsen terbesar
(CR4) di bawah 40 persen.
3.
Strukur pasar oligopoli ditunjukan dengan nilai rasio konsentrasi empat
produsen terbesar (CR4) diatas 40 persen.
4.
Struktur pasar monopoli ditunjukan dengan nilai rasio konsentrasi empat
produsen (CR4) mendekati 100 persen.
Rasio konsentrasi negara penghasil kelapa sawit di formulasikan sebagai
berikut:
Keterangan
Sij
: Pangsa pasar negara ke i penghasil CPO
CRni
: Menunjukan n-rasio konsentrasi pada pasar internasional
Nilai CR yang banyak digunakan adalah CR4 dan CR8 menunjukan
persentase output pasar yang dihasilkan oleh keempat atau kedalapan produsen
terbesar dalam industri. Semakin besar nilai rasio konsentrasi menunjukan bahwa
industri tersebut semakin terkonsentrasi dan semakin sedikit jumlah produsen
yang berada dipasar, sedangkan semakin rendah rasio konsentrasi menunjukan
konsentrasi pasar yang rendah, persaingan yang lebih ketat dikarenakan tidak ada
produsen yang secara signifikan menguasai pasar.
Dengan mengetahui nilai Herifindahl Index dan Rasio Konsentrasi empat
produsen terbesar ini maka secara tidak langsung dapat diketahui konsentrasi dan
struktur pasar persaingan di mana Indonesia dan negara-negara produsen CPO
lainnya bersaing, serta menyesuiakan strategi kompetitif yang akan digunakan.
Tingkat konsentrasi pasar yang dapat dirumuskan dari dua alat yaitu
Herifindahl Index dan CR4 adalah sebagai berikut :
1 Konsentrasi pasar yang tinggi dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar antara
80-100 persen, sedangkan kisaran nilai HI yaitu antara 1.800-10.000. struktur
pasar untuk tingkat konsentrasi tinggi adalah monopoli atau oligopoli ketat.
2
Konsentrasi pasar yang sedang dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar
antara 50 sampai 80 persen, sedangkan kisaran nilai HI yaitu antara 1.0001.800. struktur pasar yang mungkin untuk tingkat konsentrasi sedang adalah
lebih banyak oligopoli.
3
Konsentrasi pasar yang rendah dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar 0
sampai dengan 50 persen, sedangkan kisaran nilai HI antara 0 sampai dengan
1.800. Struktur pasar dengan tingkat konsentrasi rendah adalah struktur pasar
persaingan sempurna atau persaingan monopolistik.
4.3.2 Reveled Comparative Advantage (RCA)
Salah satu cara untuk mengukur keunggulan komparatif adalah dengan
menggunakan Revealed Comparative Advantage Index, yang membandingkan
pangsa pasar ekspor sektor tertentu suatu negara dengan pangsa pasar sektor
tertentu di pasar dunia. Keuntungan dari menggunakan RCA Index adalah bahwa
indeks ini mempertimbangkan keuntungan intrinsik komoditas ekspor tertentu dan
konsisten dengan perubahan di dalam suatu ekonomi produktifitas dan faktor
anugerah alternatif, kerugiannya bagaimanapun juga indeks ini tidak dapat
membedakan antara peningkatan didalam faktor sumberdaya dan penerapan
kebijakan perdagangan yang sesuai.
Tujuan penggunaan indeks RCA dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui posisi komparatif Indonesia diantara negara produsen kelapa sawit
lainnya di pasar internasional. Selain itu indeks ini bermanfaat untuk mengukur
dayasaing industri suatu negara, apakah industri cukup tangguh bersaing di pasar
internasional atau tidak dapat diketahui secara kuantatif dengan menggunakan
indeks ini.
Rumus menurut Balasaa dalam Smyth (2005) untuk mengukur keunggulan
komparatif sebuah Negara dengan menggunakan Revealed Comparative
Advantage, yaitu :
RCAi = ( Xij / Xj ) / (Xiw/Xw)
Keterangan
RCAi : Revealed Comparative Advantage untuk komditi i
Xij
: Nilai Ekspor komoditas i dari negara j
Xj
: Total ekspor negara j
Xiw
: Ekspor komoditas i seluruh dunia
Xw
: Total ekspor dunia
Apabila hasil yang didapat yaitu nilai RCA lebih besar dari satu, maka
dapat dikatakan Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk kondisi yang
terkait dan mempunyai dayasaing kuat. Apabila nilai RCA kurang dari satu, maka
Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif terhadap komoditi tersebut atau
komoditi tersebut dayasaingnya lemah. Maka, semakin tinggi nilai RCA-nya
semakin kuat dayasaingnya (Swaranindita, 2005)
4.3.3 Analisa Berlian Porter
Alat analisis Berlian Porter digunakan untuk mengetahui situasi dan
kondisi dari setiap atribut yang ada, seperti kondisi permintaan domestik, kondisi
faktor sumberdaya, industri pendukung dan terkait dan persaingan, struktur dan
strategi industri CPO nasional. Selain hal tersebut, terdapat juga dua atribut
tambahan yaitu peran pemerintah dan peran dari kesempatan yang mempunyai
pengaruh terhadap perkembangan industri CPO nasional.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis industri CPO nasional,
yaitu :
1) Menentukan siapa saja yang ada didalam industri. Hal ini dilakukan dengan
membuat daftar kasar yang memuat para peserta industri secara langsung.
2) Menelaah industri. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya hasil telaah
industri yang relatif cukup lengkap atau sejumlah artikel yang cakupannya
luas.
3) Laporan tahunan. Laporan tahunan dapat berupa data-data perdagangan yang
bersifat nasional maupun internasional dengan rentang waktu tertentu.
4.3.4 Analisa SWOT
Dalam menetapkan strategi dan kebijakan pengembangan kelapa sawit
Indonesia ke depan digunakan alat analisis SWOT. Dengan mengidentifikasi
peluang dan ancaman yang dihadapi suatu industri serta analisis terhadap fakor
kunci yang dijadikan sebagai bahan acuan dalam menetapkan strategi dan
kebijakan penanganan kelapa sawit, guna mewujudkan industri yang tangguh
melalui penciptaan kondisi yang kondusif.
Analisis SWOT yaitu analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman (Strenghts, Weaknesses, Opportunities threats). Analisis SWOT
merupakan identifikasi yang bersifat sistematis dari faktor–faktor kekuatan dan
kelemahan industri serta peluang dan ancaman lingkungan luar dan strategi yang
menyajikan kombinasi terbaik diantara ke empatnya.
Setelah diketahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman barulah
suatu industri dapat menentukan strategi dengan memanfaatkan kekuatan yang
dimilikinya untuk mengambil keuntungan dari peluang-peluang yang ada,
sekaligus untuk memperkecil atau bahkan mengatasi kelemahan yang dimilikinya
untuk menghindari ancaman yang ada.
1. Analisis Kekuatan (Strengths)
Kekuatan merupakan kelebihan khusus yang memberikan keunggulan di
dalam suatu industri. Kekuatan akan mendukung perkembangan usaha
dengan cara memperhatikan sumber dana, citra, kepemimpinan pasar,
hubungan dengan konsumen atau pemasok, serta faktor lainnya.
2. Analisis Kelemahan (Weaknesses)
Kelemahan adalah keterbatasan dan kekurangan dalam hal sumberdaya,
keahlian dan kemampuan yang secara nyata menghambat aktivitas
industri. fasilitas, sumberdaya keuangan, kemampuan manajerial dan
pandangan terhadapa industri.
3. Analsis Peluang (Opportunities)
Peluang adalah situasi yang diinginkan atau disukai dalam perusahaan atau
industri yang diidentifikasi. Segmen pasar, perubahan dalam persaingan
atau lingkungan, perubahan teknologi, peraturan baru dapat menjadi
peluang bagi industri atau perusahaan.
4. Analisis Ancaman (Threats)
Ancaman merupakan situasi yang paling tidak disukai oleh perusahaan
atau industri. Ancaman merupakan penghalang bagi posisi yang
diharapkan oleh industri. Masuknya pesaing baru, pertumbuhan pasar yang
lambat, meningkatnya posisi penawaran pembeli dan pemasok, perubahan
teknologi. Peraturan juga dapat menjadi ancaman bagi industri CPO.
Matriks SWOT digunakan untuk menyusun strategi yang akan
menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman yang dihadapi
suatu industri atau perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan
organisasi. Matriks SWOT ini menghasilkan 4 kemungkinan alternatif strategi
yaitu strategi S – O strategi W – O strategi S – T dan strategi W – T .
Internal
Eksternal
OPPORTUNITIES
(O)
Daftar 5-10 faktor
peluang
THREATS (T)
Daftar 5-10 faktor
Ancaman
STRENGHT (S)
WEAKNESS (W)
Daftar 5-10 faktor
kekuatan
STRATEGI S-O
Daftar 5-10 faktor
kelemahan
STRATEGI W-O
Gunakan kekuatan untuk Atasi kelemahan dengan
memanfaatkan peluang.
memanfaatkan peluang
STRATEGI S-T
STRATEGI W-T
Gunakan kekuatan untuk meminimalkan
menghindari ancaman
kelemahan dan
menghindari ancaman
Gambar 5 Matriks SWOT
Terdapat 8 tahapan dalam membentuk matriks SWOT, yaitu ;
1. Tentukan faktor-faktor peluang eksternal organisasi atau perusahaan.
2. Tentukan faktor-faktor ancaman perusahaan atau industri.
3. Tentukan faktor-faktor kelemahan perusahaan atau industri.
4. Tentukan faktor-faktor kekuatan perusahaan atau industri.
5. Sesuaikan kekuatan internal dengan peluang eksternal untuk mendapatkan
strategi S-O.
6. Sesuaikan
kelemahan
internal
dengan
peluang
eksternal
untuk
ancaman
eksternal
untuk
ancaman
eksternal
untuk
mendapatkan strategi W-O.
7. Sesuiakan
kekuatan
internal
dengan
mendapatkan strategi S-T.
8. Sesuaikan
kelemahan
internal
mendapatkan strtegi W-T.
dengan
Faktor Eksternal
Faktor eksternal perusahaan atau industri dipengaruhi oeh lingkungan
jauh perusahaan dan lingkungan bisnis perusahaan. Pengidentifikasian berbagai
faktor eksternal ini diharapkan dapat memuat berbagai faktor luar yang dianggap
sebagai peluang maupun ancaman bagi perusahaan dengan alasan yang kuat.
Lingkungan eksernal perusahaan terdiri dari berbagai faktor yang pada dasarnya
di luar dan terlepas dari perusahaan. Berbagai faktor utama yang diperhatikan
dalam lingkungan eksternal jauh perusahaan ialah faktor politik, ekonomi, sosial,
dan teknologi, yang sering disebut dengan PEST. Lingkungan jauh ini menjadi
hambatan dan ancaman untuk maju. Penjelasan dari tiap faktor dipaparkan berikut
ini.
1. Faktor Politik
Arah kebijakan dan stabilitas politik pemerintah menjadi faktor
penting bagi pengusaha untuk berusaha. Situasi politik yang tidak
kondusif akan berdampak negatif bagi dunia usaha begitu pula
sebaliknya. Beberapa hal utama yang harus diperhatikan dari faktor
politik agar bisnis dapat berkembang dengan baik ialah undang-undang
tentang lingkungan dan perburuhan, peraturan tentang perdagangan
luar negeri, stabilitas pemerintah, peraturan tentang keamanan dan
kesehatan kerja, dan sistem perpajakan.
2. Faktor Ekonomi
Kondisi ekonomi suatu daerah atau negara dapat mempengaruhi iklim
bisnis suatu perusahaan. Semakin buruk kondisi ekonomi, semakin
buruk pula iklim berbisnis. Beberapa faktor kunci yang perlu
diperhatikan dalam menganalisis faktor ekonomi adalah siklus bisnis
atau ekonomi, ketersediaan energi, inflasi, suku bunga, investasi,
harga-harga produk dan jasa, produkktivitas dan tenaga kerja.
3. Faktor Sosial
Kondisi masyarakat berubah-ubah secara dinamis. Kondisi sosial
meliputi banyak aspek yaitu sikap, gaya hidup, adat istiadat dan
kebiasaan hidup orang-orang di lingkungan eksternal perusahaan,
kondisi cultural perusahaan, ekologis demografis, relegius, pendidikan
dan etnis. Contoh dari pengaruh kekuatan sosial ialah jika sikap sosial
berubah, permintaan untuk berbagai kebutuhan akan berubah.
4. Faktor Teknologi
Perkembangan teknologi mengalami kemajuan pesat, baik di bidang
bisnis maupun di bidang yang mendukung kegiatan bisnis. Setiap
kegiatan usaha yang diinginkan berjalan terus menerus harus selalu
mengikuti perkembangan teknologi yang dapat diterapkan pada produk
atau jasa yang dihasilkan atau pada cara operasinya. Agar perusahaan
tidak tertinggal karena kesalahan penggunaan teknologi, maka ada
beberapa hal penting yang harus diperhatikan yaitu bagaimana
kecepatan transfer teknologi.
Faktor Internal
Audit terhadap lingkungan internal bertujuan untuk mengetahui berbagai
hal yang menjadi kekuatan ataupun kelemahan internal organisasi. Organisasi
harus terus mengembangkan kekuatan (potensi) yang dimilikinya, diiringi dengan
usaha memperbaiki kelemahan internalnya. Audit internal mencakup seluruh
fungsi yang terdapat organisasi tersebut.
Audit
lingkungan
internal
ini
dilakukan
dengan
menggunakan
pendekatan fungional perusahaan. Pada pendekatan fungsional perusahaan,
pengkategorian analisis internal sering diarahkan pada pasar dan pemasaran,
kondisi keuangan dan akunting, produksi, sumberdaya manusia, dan struktur
organisasi dan manajemen.
1. Pasar dan Pemasaran
Ada beberapa faktor yang diperhatikan dalam bidang pemasaran yaitu
pangsa pasar, pelayanan purna jual, kepemilkan informasi tentang pasar,
pengendalian distributor, kondisi satuan kerja pemasaran, kegiatan
promosi, harga jual produk, komitmen manajemen puncak, loyalitas
pelanggan dan kebijakan produk baru.
2. Keuangan dan Akuntasi
Dana dibutuhkan dalam operasional perusahaan. Oleh karena itu, faktorfaktor
yang perlu
diperhitungkan
adalah
kemampuan peusahaan
menumpuk modal jangka panjang dan jangka pendek, beban yang harus
dipikul sebagai upaya memperoleh modal tambahan, hubungan baik
dengan penanam modal dan pemegang saham, pengelolaan keuangan,
struktur modal kerja, harga jual produk, pemantau penyebab inefesiensi
dan sistem akunting yang handal.
3. Kegiatan Produksi dan Operasi
Kegiatan produksi-operasi perusahaan dapat dilihat dari keteguhan dalam
prinsip efesiensi, efektivitas dan produktivitas. Oleh karena itu faktor-
faktor yang haarus diperhatikan ialah hubungan yang baik dengan
pemasok, sistem logistik yang handal, lokasi fasilitas yang tepat,
pemanfaatan teknologi yang tepat, organisasi yang memiiki kesatuan,
pembiayaan, pendekatan inovatif dan proaktif, kemungkinan terjadinya
terobosan dalam proses poduksi dan pengendalian mutu.
4. Sumberdaya Manusia
Manusia merupakan sumberdaya yang penting bagi perusahaan. Oleh
karena itu manajer perlu berupaya agar terwujud perilaku positif
dikalangan karyawan perusahaan. Berbagai faktor yang perlu diperhatikan
antara lain langkah-langkah yang jelas mengenai manajemen sumberdaya,
keterampilan dan motivasi kerja, produktivitas dan sistem imbalan.
V. GAMBARAN UMUM KELAPA SAWIT NASIONAL
DAN INTERNASIONAL
5.1 Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia
Peluang untuk pengembangan agribisnis kelapa sawit masih cukup
terbuka bagi Indonesia, terutama karena ketersediaan sumber daya lahan, tenaga
kerja, teknologi dan para ahli. Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak
sawit dan inti sawit merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang
menjadi sumber penghasil devisa non migas bagi Indonesia. Cerahnya prospek
komoditas minyak sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia sebagai bahan
bakar alternatif (biofuel) pengganti bahan bakar minyak bumi telah mendorong
pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa
sawit. Perkembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia dari tahun 1967 sampai
dengan 2007 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1967 luas areal
perkebunan kelapa sawit hanya sebesar 105.808 hektar dengan produksi Crude
Palm Oil (CPO) sebesar 197.669 ton dan mengalami peningkatan luasan areal
signifikan memasuki tahun 1990 dengan luasan sebesar 1,12 juta hektar dan
mampu menghasilkan CPO sebesar 2,41 juta ton. Pada tahun 2007 produksi CPO
Indonesia telah mencapai 17,37 juta ton dengan luasan areal perkebunan sebesar
6,61 juta hektar. Untuk saat ini kelapa sawit merupakan salah satu komoditas
perkebunan yang mampu memberikan kontribusi nyata terhadap pendapatan
negara dan pendapatan masyarakat petani kelapa sawit serta mampu mengurangi
tingkat pengganguran di Indonesia.
5.1.1 Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Pengusahaan
Luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia senantiasa mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Besarnya peningkatan luas areal perkebunan kelapa
sawit di Indonesia diakibatkan karena meningkatnya permintaan masyarakat
domestik dan internasional terhadap kelapa sawit baik sebagai bahan baku dari
bahan pangan, minyak goreng dan sebagai bahan bakar nabati (biofuel). Pada
tahun 1994 luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebesar 1,80 juta
hektar, pada tahun 2007 luasan areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia
mengalami peningkatan menjadi sebesar 6,61 juta hektar dengan kepemilikan
lahan terluas dimiliki oleh perkebunan rakyat mencapai 3,56 juta hektar. Luasan
perkebunan akan terus bertambah seiring dengan kebutuhan konsumen akan
kelapa sawit khususnya turunannya seperti Fatti Acid, Glyserin, Steame Acid dan
Fatti Alkohol.
Pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini masih
didominasi oleh pihak swasta dikarenakan modal investasi yang dimilikinya besar
sehingga mampu mengembangkan potensi perkebunan kelapa sawit yang
dimilikinya (lebih dari 45 persen perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah
milik investor dari Malaysia) 8. Pada saat ini bukan hanya perusahaan swasta
dalam negeri yang menginvestasikan modalnya untuk mengusahakan kelapa sawit
akan tetapi pihak swasta asing juga berminat untuk menginvestasikan dana yang
8
http://sawitwatch.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=12&Itemid=26%E2%8C
%A9=en.Realitas Kebijakan dan Perizinan Usaha Perkebunan Pembelajaran dari sektor
Perkebunan Skala Besar. Diakses tanggal 15 Maret 2008.
dimilikinya. Potensi kelapa sawit sebagai penghasil minyak nabati dengan harga
yang cenderung mengalami peningkatan dipasar internasional menyebabkan
banyak pihak yang berminat untuk mengusahakan komoditas ini.
Perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh rakyat pada tahun 2009
diperkirakan akan meningkat melebihi luasan perkebunan swasta dengan luas
perkebunan rakyat menjadi sebesar 3,30 juta hektar. Kerjasama antara pihak
swasta, pemerintah dengan masyarakat lewat PIR (Pengelolaan Inti Rakyat)
dimana perusahaan sebagai inti mengikutsertakan masyarakat sebagai plasma
dalam pengelolaan perkebunaan kelapa sawit menyebabkan bertambahnya luasan
areal pengelolaan kelapa sawit di Indonesia.
Tabel 5 Luasan Areal Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1994 –
2007
Luas Area (Ha)
Tahun Perkebunan
Perkebunan
Perkebunan
Total
Rakyat (PR) Negara (PBN) Swasta (PBS)
1994
572.544
386.309
845.296
1995
658.536
404.732
961.718
1996
738.887
426.804
1.083.823
1997
813.175
517.064
1.592.057
1998
890.506
556.641
2.113.050
1999
1.041.046
576.999
2.283.757
2000
1.166.758
588.125
2.403.194
2001
1.561.031
609.947
2.542.457
2002
1.808.424
631.566
2.627.068
2003
1.854.394
662.803
2.766.360
2004
2.220.338
605.865
2.458.520
2005
2.356.895
529.854
2.567.068
2006
2.549.572
687.428
3.357.914
2007*
2.565.135
687.847
3.358.632
2008**
2.565.172
687.847
3.358.792
2009**
3.300.481
760.010
3.064.840
Sumber
: Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007
Keterangan : (*) Angka Sementara
(**) Angka Estimasi
1.804.149
2.024.986
2.249.514
2.922.296
3.560.196
3.901.802
4.158.077
4.713.435
5.067.058
5.283.557
5.284.723
5.453.817
6.594.914
6.611.614
6.611.811
7.125.31
5.1.2 Produksi dan Produktivitas Minyak Kelapa Sawit Indonesia
Produksi minyak kelapa sawit di Indonesia dari tahun 2004 hingga tahun
2007 mengalami peningkatan yang signifikan. Besarnya produksi minyak sawit
dikarenakan para pengusaha kelapa sawit melakukan peningkatan terhadap luas
areal penanaman (Tabel 6). Produksi minyak sawit Indonesia hingga tahun 2007
sebesar 17,37 juta ton dengan kontribusi terbesar oleh perkebunan milik swasta
sebesar 9,25 juta ton.
Produksi CPO yang diusahakan oleh negara mempunyai kontribusi yang
paling rendah dengan luasan areal 687.847 hektar pada tahun 2007. Perkebunan
negara selain mengusahakan tanaman perkebunan dengan komoditas kelapa sawit
lewat perusahaan perkebunan nasional (PTPN), juga mengusahakan tanaman
perkebunan lainnya seperti teh dan karet. Investasi yang besar untuk
mengembangkan komoditas perkebunan merupakan satu kendala, disamping itu
kondisi alam (jenis tanah, curah hujan, ketinggian tempat) juga menyebabkan
tidak disemua tempat kelapa sawit dapat dikembangkan.
Produktivitas CPO jika dilihat dari tahun 1999 sampai dengan 2007
menurut pengusahaan, perkebunan rakyat mempunyai produktivitas 1,66 ton
perhektar, sedangkan perkebunan negara mempunyai produktivitas 3,04 ton per
hektar dan perkebunan swasta sebesar 1,95 ton perhektar. Dengan demikian ratarata produktivitas kelapa sawit Indonesia adalah sebesar 2,04 ton perhektar.
Berdasarkan rata-rata produktivitas dengan rentang waktu tahun 1994 sampai
tahun 2007, dapat disimpulkan perkebunan milik negara mempunyai produktivitas
tertinggi selanjutnya perkebunan swasta lalu perkebunan rakyat dengan
produktivitas terkecil. Perkebunan milik negara mempunyai produktivitas
tertinggi, hal ini dikarenakan jenis tanaman yang diusahakan merupakan klonklon selain itu penguasaan budidaya juga baik. Kondisi yang berbeda ditemukan
pada perkebunan milik rakyat dimana penggunaan teknik budidaya tanaman
kelapa sawit belum dilakukan dengan bibit yang berkualitas, selain itu
penggunaan teknologi juga masih bersifat sederhana sehingga produktivitas
perkebunan rakyat masih rendah. Perkebunan milik rakyat mempunyai efisiensi
yang cukup baik jika dari sisi tenaga kerja.
Tabel 6 Produksi dan Produktivitas CPO di Indonesia Tahun 1994 – 2007
Tahun
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007*
Ratarata
Sumber
Keterangan
P.Rakyat
839.334
1.001.443
1.133.547
1.282.823
1.344.569
1.547.811
1.905.653
2.798.032
3.426.740
3.517.324
4.475.000
5.149.000
5.783.088
5.805.125
Produksi (Ton)
P.Negara
P.Swasta
1.571.501 1.597.227
1.613.848 1.864.379
1.706.852 2.058.259
1.586.879 2.578.806
1.501.747 3.084.099
1.468.949 3.438.830
1.460.954 3.633.901
1.519.289 4.079.151
1.607.734 4.587.871
1.750.651 5.172.859
2.096.000 6.395.000
2.295.000 7.176.000
2.313.729 9.254.031
2.313.976 9.254.101
2.766.672
1.677.362
4.420.045
Jumlah
4.008.062
4.479.670
4.898.658
5.448.508
5.930.415
6.455.590
7.000.508
8.396.472
9.622.345
10.440.834
12.966.000
14.620.000
17.350.848
17.373.202
Produktivitas (Ton/Ha)
PR PN
PS Rata
1,46 4,06 1,88 2,22
1,52 3,98 1,93 2,21
1,53 3,99 1,89 2,17
1,57 3,06 1,61 1,86
1,52 2,69 1,45 1,66
1,48 2,54 1,50 1,65
1,63 2,48 1,51 1,68
1,52 2,49 1,60 1,78
1,89 2,54 1,74 1,89
1,89 2,64 1,86 1,97
1,52 2,67 2,18 2,04
1,90 2,73 2,30 2,17
2,26 3,36 2,75 2,63
1,52 3,36 2,75 2,62
9.932.660 1,66 3,04 1,95
: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007
: (*) Angka Sementara
2,04
5.1.3 Luas Areal dan Produksi Menurut Provinsi
Pengusahaan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2007 tersebar di 22
provinsi di Indonesia dengan 11 provinsi yang tidak mengusahakan dari total 33
provinsi. Provinsi yang tidak mengusahakan kelapa sawit antara lain adalah DKI
Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Sulawesi
Utara, Gorontalo, Maluku dan Maluku Utara. Areal perkebunan kelapa sawit
terbesar terletak di Riau dengan luasan sebesar 1,54 juta hektar, dengan
kepemilikan lahan terluas dimiliki oleh perkebunan rakyat seluas 749.379 hektar
dan mampu memproduksi 4,68 juta ton tandan buah segar pada tahun 2007. Selain
Riau, provinsi Sumatera Utara mempunyai luasan perkebunan sawit terbesar
kedua dengan luasan areal penanaman sebesar 970.603 hektar, dan mampu
memproduksi 3,20 juta ton kelapa sawit. Perluasan perkebunan kelapa sawit di
Indonesia akan direncanakan dilakukan pada beberapa daerah antara lain provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Jambi, Riau, Kepulauan Riau,
Sumatera Barat, Banten, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi
Tengah, Papua, dan Irian Jaya Barat.
5.1.4 Penyerapan Tenaga Kerja
Perkembangan industri kelapa sawit di Indonesia mengalami peningkatan
setiap tahunnya baik dari sisi luasan, produksi dan penyerapan tenaga kerja.
Sampai tahun 2006 perkebunan kelapa sawit Indonesia mampu menyerap tenaga
kerja sebanyak lebih dari tiga juta tenaga kerja, dan ini belum termasuk dalam sub
sistem lainnya seperti pembibitan sampai industri hilir.
Penyerapan tenaga kerja untuk perkebunan dapat membatu pemerintah
mengurangi tingkat pengganguran. Penyerapan tenaga kerja terbesar dari
perkebunan kelapa sawit diusahakan oleh perkebunan swasta. Tenaga kerja yang
bekerja untuk perkebunan swasta sebanyak 1.371.000 dengan besarnya tingkat
pertumbuhan sebesar 15,4 persen, di perkebunan rakyat tenaga kerja yang bekerja
sebanyak 1.318.000 dengan tingkat pertumbuhan sebesar 25,9 persen, sedangkan
perkebunan negara hingga tahun 2006 hanya mampu menyerap jumlah tenaga
kerja 349.000 dengan tingkat pertumbuhan sebesar lima persen. Hingga tahun
2006 besarnya tenaga kerja yang mampu diserap dari sub sektor perkebunan sawit
adalah 3.038.000 tenaga kerja dengan pertumbuhan sebesar 12,6 persen pertahun.
Tabel 7 Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Perkebunan Kelapa Sawit
Tahun 1980 – 2006
Tenaga Kerja
Tahun Perkebunan Perkebunan
Perkebunan
Nasional
Rakyat
Negara
Swasta
1980
3
100
42
145
1990
146
186
232
564
2000
584
294
1.202
2.08
2001
781
305
1.271
2.357
2002
904
316
1.314
2.534
2003
927
332
1.383
2.643
2004
1.11
303
1.23
2.643
2005
1.178
265
1.284
2.727
2006
1.318
349
1.371
3.038
Pert %
25,9
5,0
15,4
12,6
Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007
5.1.5 Unit Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit (PPKS)
Pabrik pengolahan kelapa sawit berkembang seiring dengan pertumbuhan
luas areal kelapa sawit, baik yang terpadu dengan kebun sendiri atau pola PIR
(Perkebunan Inti Rakyat) maupun pabrik kelapa sawit yang mempunyai kebun
sendiri dengan bahan baku dari petani swadaya. Penyebaran pabrik kelapa sawit
pada tahun 2006 pada Lampiran 1 terlihat bahwasnya jumlah PKS (Pabrik Kelapa
Sawit) sebanyak 420 unit dengan kapasitas 18.268 Ton TBS/Jam atau setara
dengan minyak sawit 17,26 juta ton.
Dengan dukungan pengolahan pabrik yang memadai maka seluruh TBS
dapat diolah dengan baik. Akan tetapi terlihat bahwa ada beberapa provinsi yang
belum mempunyai pabrik pengolahan kelapa sawit sehingga menyebabkan TBS
yang ada didaerah tersebut tidak dapat diolah sendiri melainkan diolah pada
daerah lain yang mempunyai pabrik pengolahan yang terdekat dengan daerahnya.
Di Indonesia pabrik pengolahan kelapa sawit terletak menyebar pada
daerah - daerah perkebunan kelapa sawit. Letak pabrik pengolahan terbanyak pada
daerah Sumatera yaitu terdapat 349 pabrik dengan produksi sebesar 14,09 juta ton
CPO untuk tahun 2006. Provinsi Riau merupakan daerah yang mempunyai pabrik
pengolahan terbanyak dengan 128 pabrik pengolahan, kerena daerah ini
merupakan provinsi dengan luas lahan perkebunan terbesar di Indonesia dengan
luasan sebesar 1,54 juta hektar sehingga diperlukan pabrik yang mampu mengolah
seluruh buah sawit. Pembangunan pabrik di daerah lain yang belum mempunyai
pabrik pengolahan kelapa sawit sangat penting karena selain dapat mengurangi
biaya pengangkutan juga dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja di daerah
pabrik pengolahan tersebut.
5.2 Tingkat Harga CPO di Indonesia
Perkembangan harga CPO di Indonesia dipengaruhi oleh harga CPO di
tingkat internasional. Hal ini dikarenakan CPO merupakan komoditas ekspor dan
hampir sebagian besar CPO Indonesia dijual keluar negeri sehingga harga jual
maupun harga beli mengikuti harga yang terbentuk dalam pasar CPO
internasional. Harga CPO dan harga TBS berbeda jauh karena adanya perbedaan
nilai tambah pada komoditi tersebut. Harga TBS milik petani biasanya dihargai
sesuai dengan ketentuan dari perusahaan atau koperasi pengumpul kelapa sawit.
Tabel 8 Harga Tandan Buah Segar dan CPO di Indonesia Tahun 2000-2006
Harga TBS Produsen
Harga CPO dalam Negeri
Tahun
(Rp/Ton)
(Rp/Ton)
349.879
2000
3.217.151
295.333
2001
3.242.251
2002
4.212.691
385.875
2003
4.267.931
488.417
573.127
2004
4.584.302
2005
4.825.611
499.201
2006
4.701.113
551.186
Sumber : Departemen pertanian, 2007
Harga komoditas kelapa sawit segar milik produsen berfluktuatif. Harga
buah sawit yang masih rendah ini diakibatkan karena belum adanya nilai tambah
dari pengelolaan lebih lanjut pada sawit tersebut. Rata-rata harga kelapa sawit
segar hanya berkisar Rp 300/kg sampai Rp 500/kg TBS (Tandan Buah Sawit).
Selain masih belum diberikan nilai tambah pada sawit milik produsen juga
dikarenakan posisi tawar produsen yang lemah (Bargaining Position) terhadap
para Industri pengolahan lanjutan, khususnya produsen petani kelapa sawit. Para
petani yang mengusahakan komoditas kelapa sawit karena tidak mempunyai
pabrik pengolahan kelapa sawit untuk diubah menjadi minyak sawit sehingga para
pemilik pabrik secara sepihak menentukan harga. Perkembangan harga Tandan
Buah Segar di Indonesia tahun 2000-2006 terlihar pada Gambar 7.
Gambar 6 Perkembangan Harga TBS Tahun 2000-2006
Harga CPO di Indonesia juga mengalami fluktuasi, dan cenderung
mengalami peningkatan. Peningkatan harga CPO di dalam negeri merupakan
dampak dari harga CPO di pasar internasional yang juga mengalami peningkatan.
Para produsen CPO yang mempunyai perkebunan kelapa sawit serta pabrik
pengolahan rata-rata melakukan ekspor CPO karena tertarik akan keuntungan
yang diperoleh dengan mahalnya harga CPO yang diakibatkan mahalnya harga
BBM, sehingga para negara importir membutuhkan CPO untuk bahan bakar
alternatif. Untuk mengatasi kelangkaan CPO di dalam negeri pemerintah
melakukan intervensi dengan menerapkan PE 6,5 persen.
Penetapan HPE CPO dilakukan melalui tim interdep yang beranggotakan
unsur Departemen Pertanian, Departemen Keuangan, Departemen Perdagangan
serta asosiasi-asosiasi terkait. HPE untuk CPO itu dihitung dengan cermat dengan
melibatkan semua pemangku kepentingan ,ditentukan berdasarkan harga rata-rata
internasional sebulan sebelumnya dikurangi faktor-faktor biaya. Untuk harga
patokan ekspor CPO terus melambung seiring meningkatnya harga CPO di
Rotterdam yang selama ini menjadi harga referensi dunia, termasuk dalam
penetapan HPE untuk CPO di Indonesia.
Gambar 7 Perkembangan Harga CPO di Indonesia
Tahun 2000-2006
5.3 Mutu CPO Ekspor
CPO atau minyak kelapa sawit mentah mempunyai banyak manfaat
sehingga permintaan semakin meningkat. CPO tidak hanya cocok untuk industri
makanan seperti minyak goreng, margarine dan lain sebagainya tetapi juga untuk
industri oleokimia seperti sabun, gliserin, asam laurat, asam palmitat, asam lemak
lain, fatty alkohol. Minyak kelapa sawit atau CPO mengandung karoten sebagai
sumber Vitamin A, tokoperol sebagai sumber Vitamin E dan minyak esensial
seperti asam oleat, dan lain sebagainya.
Selain klasifikasi mutu yang sudah ditetapkan oleh Badan Standar
Nasional untuk kriteria ekspor minyak kelapa sawit, negara konsumen terutama
negara di kawasan Eropa juga menerapkan standar untuk produk minyak kelapa
sawit dari produsen. Negara di Eropa meminta agar selain mutu kelapa sawit yang
sesuai dengan ketentuan yang berlaku juga harus mempunyai sertifikat dari RSPO
(Roundtable for Sustainable Palm Oil). RSPO merupakan kriteria cara
berproduksi berkelanjutan minyak kelapa sawit berisi dengan pengelolaan dan
operasi mematuhi hukum mencapai pertumbuhan ekonomi yang viable
memperhatikan lingkungan dan menguntungkan sosial.
Tabel 9 Klasifikasi CPO Ekspor
Free Fatty Acids
Iodine value
2.5 % - 5 %
52 - 54 mg/gr
Moisture
0,10 %
Carotene
297 - 313 ppm
Tocopherol
386 - 794 ppm
Cu
Trace
Fe
Trace
Dobi (Deterioration of Bleachibility Index)
Sumber : Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2006
2,3 - 2,4
Selain klasifikasi mutu yang sudah ditetapkan oleh Badan Standar
Nasional untuk kriteria ekspor minyak kelapa sawit, negara konsumen terutama
negara Eropa juga menerapkan standar untuk produk minyak kelapa sawit dari
produsen. Negara di Eropa meminta agar selain mutu kelapa sawit yang sesuai
dengan ketentuan yang berlaku juga harus mempunyai sertifikat dari RSPO
(Roundtable for Sustainable Palm Oil).
Adapun kriteria RSPO adalah 1). Komitmen terhadap transparasi, 2).
Memenuhi hukum dan peraturan yang berlaku, 3). Komitmen terhadap kelayakan
ekonomi dan keuangan jangka panjang, 4). Penggunaan praktik terbaik dan tepat
oleh pekebun dan pabrik, 5). Tanggung jawab lingkungan dan konservasi
kekayaan alam dan keanekaragaman hayati, 6). Tanggung jawab kepada pekerja,
individu dan komunitas dari kebun dan pabrik, 7). Pengembangan kebun baru
secara bertanggung jawab, 8). Komitmen terhadap perbaikan terus menerus pada
wilayah – wilayah utama aktifitas.
5.4 Bentuk Kelapa Sawit Ekspor Indonesia
Saat ini, ekspor kelapa sawit mampu mendatangkan devisa lebih dari
US$ 4 miliar pertahun. Namun demikian, sekitar 90 persen volume ekspor pada
tahun 1997-2006 masih dalam bentuk primer (CPO) sedangkan volume ekspor
berbentuk derivatif (stearic acid, oleic acid, fatty alcohols) hanya sekitar 10
persen. Selain itu, pasokan bahan baku masih jauh di bawah kapasitas terpasang
industri hilir dan pasokannya sering terganggu fluktuasi harga CPO di luar negeri.
5.5 Negara Tujuan Ekspor CPO Indonesia
Negara tujuan ekspor minyak kelapa sawit Indonesia adalah negaranegara di seluruh dunia. Besarnya volume ekspor minyak kelapa sawit ke negaranegara konsumen selalu berfluktuatif. Berdasarkan data Direktorat Jenderal
Perkebunan bahwasanya negara tujuan ekspor CPO adalah China, Eropa, India,
Bangladesh, USA, Mesir, Russia dan negara lainnya.
Tabel 10 Volume Ekspor Minyak Sawit (CPO) di Beberapa Negara Tujuan
2004 -2006 (Ton)
2004
2005
2006
Negara Tujuan
Uni Eropa
Russia
Mesir
Bangladesh
USA
China
India
Sumber : Oil World, 2007
3,988,000
420,000
704,000
645,000
271,000
3,849,000
3,454,000
4,469,000
601,000
775,000
931,000
420,000
4,321,000
3,316,000
4,740,000
545,000
592,000
812,000
649,000
5,501,000
2,924,000
Negara China, India serta kawasan Eropa merupakan negara tujuan
ekspor CPO dari Indonesia. Pada tahun 2006, negara China merupakan negara
potensi terbesar ekspor yaitu sebesar 5,50 juta ton. Terjadinya penurunan ekspor
ke negara India sejak tahun 2004 sampai tahun 2006 dikarenakan besarnya pajak
ekspor yang ditetapkan oleh negara india sehingga banyak eksportir yang
mengurangi ekspornya ke negara tersebut.
5.6 Impor Minyak Kelapa Sawit Indonesia
Indonesia merupakan salah satu pengekspor komoditas kelapa sawit ke
negara konsumen diseluruh dunia. Selain melakukan ekspor Indonesia juga
melakukan impor terhadap bentuk-bentuk minyak kelapa sawit untuk mencukupi
pasokan industri dalam negeri dalam bentuk minyak kelapa sawit (CPO) dan
Minyak Inti Sawit (KPO). Selain Indonesia negara-negara produsen seperti
Malaysia juga merupakan negara pengekspor minyak kelapa sawit dari negara
Indonesia.
Negara Indonesia melakukan impor karena pasokan di dalam negeri akan
Crude Palm Oil tidak tersedia. Tidak tersedianya CPO di dalam negeri karena
tidak adanya regulasi pemerintah terhadap produsen minyak sawit dalam
membatasi ekspor keluar negeri. Pemerintah sudah merumuskan kebijakan DMO
(Domestic Market Obligation) untuk mewajibkan produsen CPO dan produsen
minyak goreng mengutamakan pasokan ke pasar domestik. Program ini tidak
berjalan sesuai direncanakan karena ada faktor eksternal diluar kendali pemerintah
yakni harga CPO di pasar internasional. Kebijakan larangan ekspor CPO bukanlah
pilihan terbaik untuk menstabilkan harga minyak goreng di dalam negeri.
Sebaliknya bisa merusak kepercayaan pihak luar negeri terhadap komitmen
dagang pemerintah Indonesia dan mendorong penyeludupan CPO besar-besaran
ke luar negeri.
Tabel 11 Volume dan Nilai Impor Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1990-2006
Impor
Tahun
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Minyak Kelapa Sawit
Volume
Nilai
(Ton)
(000 US$)
26.183
37.874
308.743
151.939
123.637
49.785
107.553
91.68
17.618
1.648
4.351
141
9.499
4.014
4.321
10.811
Minyak Inti Sawit
Volume
Nilai
(Ton)
(000US$)
Jumlah
Volume
Nilai
(Ton)
(000 US$)
7.662
13.891
113.511
53.671
55.715
48.113
61.173
55.456
8.459
543
4.021
60
3.267
2,201
1.937
5.374
530
17.493
17.222
3.327
13.917
4.239
3.132
3.159
554
1.209
3.638
4.974
2.362
1.592
3.564
3.257
304
7.803
12.097
1.994
7.988
3.277
2.735
3.011
526
1.004
2.004
2.464
1.478
1.006
3.157
2.992
26.713
55.367
325.965
155.266
137.554
54.024
110.685
94.839
18.172
2.857
7.989
5.115
11.861
5.606
7.885
14.068
7.966
21.694
125.608
55.615
63.703
51.390
63.908
58.467
8.985
1.547
6.025
2.524
4.745
3.267
5.094
8.366
2006
1.645
1.287
Sumber: Departemen Pertanian, 2007
1.386
1.207
3.031
2.494
5.7 Negara Produsen Utama CPO (Crude Palm Oil) Dunia
Kebutuhan akan minyak nabati yang berasal dari kelapa sawit atau CPO
diproduksi oleh beberapa negara, dengan produsen terbesar yaitu negara Indonesia
dan Malaysia. Negara Indonesia menjadi negara produsen terbesar pada tahun
2006 dengan 16.08 juta ton CPO sedangkan Malaysia posisinya tergeser menjadi
urutan kedua dengan jumlah produksi sebesar 15.88 juta ton CPO. Dengan
pertumbuhan yang sangat signifikan yaitu sebesar 12,64 persen membuat negara
Indonesia menjadi negara produsen terbesar produksi CPO.
Peningkatan produksi CPO karena tambahan luasan perkebunan di
Indonesia. Kebutuhan dunia akan minyak nabati dan peningkatan harga CPO dan
turunnya yang semakin mahal menyebabkan banyaknya pekebun yang berusaha
meningkatkan luasan perkebunan atau membuka lahan perkebunan baru. Semakin
besarnya produksi CPO Indonesia akan mampu mencukupi permintaan pasar
internasional akan minyak sawit (CPO).
Tabel 12 Produksi CPO Dunia Menurut Negara Produsen Tahun 1993-2006
Tahun
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Negara Produsen (000 Ton)
Malaysia Indonesia Nigeria Thailand Colombia Lainnya
7.403
7.222
7.811
8.386
9.069
8.319
10.554
10.842
11.804
11.909
13.354
13.974
14.961
15.881
Pert %
6.05
Sumber : Oil World, 2007
Dunia
3.421
3.860
4.040
4.540
5.449
5.930
6.456
7.000
8.396
9.622
10.600
12.380
13.920
16.080
645
640
630
600
680
690
720
740
770
775
785
790
800
815
297
316
354
375
390
475
560
525
620
600
630
668
685
855
324
350
388
410
441
424
501
524
548
528
543
632
661
711
1.716
1.749
1.777
1.923
1.986
1.900
2.040
2.196
2.175
2.224
2.321
2.485
2.563
2.821
13.806
14.137
15.000
16.234
18.015
17.773
20.831
21.827
24.313
25.658
27.450
30.629
33.590
37.163
12,64
1,82
8,47
6,23
3,90
7,91
5.7.1 Negara Eksportir Utama CPO Dunia
Ekspor CPO sebagai bahan baku industri pangan, oleokimia dan biodiesel
menyebabkan permintaan pasar dunia akan bahan baku nabati khususnya sawit
semakin meningkat seiring dengan pertambahan kebutuhan dan konsumsi
masyarakat. Negara eksportir terbesar CPO adalah negara Malaysia dan
Indonesia. Dari sisi produksi negara Indonesia memang lebih unggul akan tetapi
dari sisi ekspor negara Indonesia masih terhalang oleh adanya peraturan dan
standar serta isu-isu negatif terhadap CPO Indonesia. Negara Colombia dan
Nigeria tidak melakukan ekspor karena CPO yang dihasilkan digunakan untuk
mencukupi kebutuhan dalam negeri.
Negara Indonesia diramalkan pada tahun 2010 akan menjadi negara
eksportir terbesar menggeser Malaysia. Dengan berbagai macam hambatan dari
dalam maupun dari luar negara Indonesia sehingga saat ini membuat hasil CPO
Indonesia masih dibawah Malaysia, perlu pembenahan mulai dari sisi produksi
sampai dengan promosi minyak sawit yang berkelanjutan di pasar Internasional.
Peningkatan ekspor CPO Indonesia di pasar internasional selain dalam bentuk
CPO, para produsen juga lebih meningkatkan produksi turunan dari komoditi
kelapa sawit.
Besarnya tingkat pertumbuhan ekspor Indonesia di bandingkan dengan
negara produsen lainnya lebih besar yaitu sebesar 16,51 persen. Pertumbuhan
ekspor ini akibat dari penambahan dari luasan perkebunan kelapa sawit sehingga
mempengaruhi besarnya produksi kelapa sawit.
Tabel 13 Ekspor CPO Dunia Menurut Negara Eksportir Utama Tahun 19932006
Tahun
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Pert %
Negara Eksportir CPO (000 Ton)
Malaysia Indonesia Costarica Thailand Papua.N Lainnya Dunia
6.265
1.720
170
0
243
1.048
9.446
8.895
2.173
148
18
225
571 10.888
8.641
1.790
120
16
230
512 10.285
7.230
1.851
0
267
99
1.288 10.735
7.747
2.988
38
275
73
1.253 12.374
7.748
2.002
32
212
102
1.321 11.417
9.235
3.319
65
253
102
1.198 14.172
9.171
4.140
87
294
96
1.272 15.063
10.733
4.980
180
328
73
2.007 17.793
10.886
6.490
100
324
80
1.558 19.438
12.216
7.370
162
327
106
1.729 21.910
12.582
8.996
166
339
123
1.995 24.201
13.439
10.436
116
295
147
2.112 26.545
14.423
12.540
116
362
147
2.412 30.000
6,62
16,51
-1,11
15,41
3,11
6,62
9,30
Sumber :Oil World, 2007
5.7.2 Harga CPO Dunia
Harga minyak kelapa sawit (CPO) dunia seringkali tidak stabil atau
berfluktuasi. Harga minyak goreng akan bergerak naik sampai pada puncak,
kemudian akan turun kembali. Setiap siklus 10 tahunan, harga akan mengalami
puncak yang diikuti dengan penurunan. Hal ini terlihat dari siklus tahun
1974,1984 dan 1994. Fenomena ini terjadi karena penggunaan minyak sawit dapat
digantikan oleh minyak nabati lain; minyak kedelai, minyak biji matahari dan biji
lobak. Pada saat harga minyak sawit rendah, perusahaan makanan akan
menggunakan minyak sawit, sehingga harga minyak sawit akan naik. Pada saat
harga dipuncak, perusahaan makanan akan mengganti minyak sawit dengan
minyak nabati lain, sehingga harga akan kembali turun.
Pada siklus tahun 1994, harga puncak terjadi pada tahun 1998, karena
pada tahun tersebut terdapat bencana El Nino diikuti dengan La Nina yang
menyebabkan produksi turun. Setelah harga puncak tahun 1998 turun hingga titik
terendah pada tahun 2001. Sesuai dengan siklus 10 tahunan harga minyak sawit
dunia mencapai titik terendah pada tahun 2001, namun kemudian mengalami
peningkatan tahun 2007.
Tabel 14 Perkembangan harga CPO (US$ / Ton) CIF Rotterdam
Tahun 1980-2007
Tahun
Kuwartal I Kuwartal II Kuwartal
Kuwartal
III
IV
1980
659
583
524
571
1981
632
609
547
499
1982
512
525
399
364
1983
372
415
543
676
1984
865
858
584
608
1985
610
606
417
369
289
241
208
289
1986
1987
332
342
316
386
1988
425
440
463
416
1989
394
388
319
297
1990
279
272
283
320
1991
345
315
334
360
1992
385
398
385
403
1993
414
372
356
366
1994
395
476
500
681
1995
667
623
620
603
1996
523
539
512
547
1997
568
549
509
554
1998
651
676
681
679
1999
559
456
346
367
2000
343
336
303
261
2001
248
247
331
306
2002
335
376
410
438
2003
445
418
408
497
2004
525
496
431
427
2005
409
419
414
437
2006
447
460
475
530
2007
609
755
-
Rerata
586
578
439
502
729
501
257
243
437
350
290
339
394
378
528
628
531
546
671
436
356
283
390
443
471
422
478
682
Sumber : Oil World, 2007
Kenaikan harga CPO pada kuwartal IV tahun 2006 mencapai US$ 530
per ton, dan mencapai puncak pada kuwartal II tahun 2007 yaitu sebesar US$ 755
per ton. Pada bulan November hingga Desember terjadi penurunan harga minyak
sawit yang diakibatkan terjadinya panen raya kedelai di Amerika Selatan seperti
Brasil dan Argentina yang mempengauhi turunnya harga minyak nabati di pasaran
internasional sehingga menekan harga minyak sawit.
Gambar 8 Pergerakan Harga CIF CPO Tahun 1980-2007
Berdasarkan pergerakan harga dari siklus tahun 2005 dan sejenisnya
seharusnya menurun, tetapi karena adanya masukan dari beberapa faktor maka
permintaan minyak nabati dunia khusunya kelapa sawit turut terpengaruh. Faktor
baru yang sangat berperan saat ini adalah tingginya permintaan biofuel yang
berasal dan faktor asam lemak trans. Permintaan biofuel yang tinggi disebabkan
semakin tingginya harga minyak bumi, sehingga banyak negara mensubtitusi
kebutuhan bahan bakar minyak dari minyak bumi ke biofuel yang berasal dari
harga minyak hayati. Minyak sawit banyak diminati sebagai biofuel karena
harganya relatif lebih murah dibanding minyak nabati lainnya.
Faktor asam lemak trans juga berpengaruh terhadap perkembangan
permintaan minyak sawit. Mulai tahun 2006, Amerika melalui Food and Drug
Administration (FDA) mengeluarkan peraturan pencantuman asam lemak trans
(trans fatty acid) pada pelabelan bahan makanan. Peraturan ini akan
mempengaruhi permintaan minyak sawit di Amerika, karena minyak sawit tidak
mengandung trans fat yang merugikan kesehatan manusia. Peningkatan
permintaan minyak sawit akan mempengaruhi peningkatan harga minyak sawit
dunia untuk 2006 dan untuk beberapa tahun kedepan. Peningkatan harga tersebut
juga dipengaruhi oleh ketidakseimbangan pertumbuhan permintaan yang
mencapai laju rata-rata 8,07 persen dengan pertumbuhan produksi sebesar 7,98
persen. Hal tersebut menyebabkan harga minyak sawit dunia akan meningkat pada
tahun berikutnya.
Tabel 15 Perkembangan Harga Beberapa Minyak Nabati Dunia (US$ / Ton)
CIF Rotterdam Tahun 1980-2007
M.Bunga
Tahun M.Sawit M.Kedelai M.Repeseed
Matahari
M.Kelapa
1980
586
254
447
514
566
1990
290
251
505
558
561
2000
356
334
347
392
450
2001
283
306
402
484
318
2002
390
397
485
594
421
2003
443
515
600
593
467
2004
471
627
685
684
661
2005
422
503
669
677
617
2006
478
599
794
658
607
2007
682
750
804
774
756
Sumber: Oil World, 2007
Gambar 9 Perkembangan Harga Minyak Nabati Dunia
Tahun 1980-2007
5.8 Produksi Minyak Nabati dan Lemak Dunia
Minyak nabati sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM) semakin
meningkat permintaan seiring terbatasnya persediaan bahan bakar minyak bumi.
Perkembangan produksi komoditas pertanian penghasil minyak nabati dunia
setiap tahunnya mengalami peningkatan terutama minyak kelapa sawit.
Pertumbuhan produksi minyak kelapa sawit dibandingkan dengan minyak nabati
lainnya lebih tinggi dengan tingkat pertumbuhan produksi sebesar 7,98 persen,
sedangkan pertumbuhan produksi terendah yaitu sebesar 0,57 persen ditempati
oleh minyak kelapa.
Secara global produksi minyak nabati semakin meningkat. Peningkatan
ini disebabkan penambahan luasan areal perkebunan serta penggunaan bibit
unggul sehingga menambah produksi. Dengan bertambahnya jumlah penduduk
dunia, akan menambah konsumsi dan produksi minyak nabati dunia.
Tabel 16 Produksi Minyak Nabati dan Lemak Dunia Tahun 1993 – 2006
Tahun
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Pert
%
Produksi (000)
M.Sawit
M.Kedelai
M.Repesed
M.Bunga
Matahai
M.Kelapa
Lainnya
13.690
13.960
15.211
16.286
17.946
16.920
20.625
21.867
23.984
25.392
28.111
30.909
33.326
37.163
7,98
17.540
18.460
20.404
20.322
21.033
24.008
24.794
25.563
27.828
29.861
31.288
30.713
33.287
35.268
5,52
9.554
10.050
10.955
11.479
11.828
12.290
13.247
14.502
13.730
13.307
12.660
14.904
16.027
18.451
5,19
7.650
7.650
8.556
9.006
9.162
8.407
9.308
9.745
8.200
7.824
8.962
9.402
9.681
11.126
2,92
2.920
2.940
3.350
2.867
3.313
3.153
2.399
3.261
3.499
3.145
3.286
3.037
3.143
3.143
0,57
34.403
35.805
35.950
36.874
37.831
38.029
39.502
39.819
40.387
41.037
41.074
42.774
43.735
43.735
1,86
Sumber : Oil World, 2007
Dunia
85.757
88.865
94.426
96.834
101.113
102.807
109.875
114.757
117.628
120.566
125.381
131.739
139.199
148.886
4,33
5.9 Konsumsi Minyak Nabati dan Lemak Dunia
Peningkatan konsumsi minyak nabati dunia yang begitu cepat disebabkan
oeh beberapa faktor, selain karena pertumbuhan populasi penduduk dunia,
permintaan akan biofuel, juga karena peningkatan trend penggunaan minyak sawit
untuk menggantikan minyak kedelai. Hal ini disebabkan adanya penemuan para
ahli kesehatan, yang menyatakan bahwa minyak sawit mempunyai kelebihan dari
segi kesehatan dibandingkan minyak nontropik (minyak kedelai dan minyak
bunga matahari). Kelapa sawit memiliki kandungan asam lemak tak jenuh tunggal
(MUFA) yang tinggi, yang dapat menurunkan kolesterol dalam darah, selain itu
minyak ini memiliki betakaroten, vitamin E, antioksidan dan yang terpenting
bebas dari asam lemak trans. Dengan beberapa keunggulan tersebut maka terjadi
peningkatan konsumsi minyak sawit yang pesat terutama di Eropa, minyak sawit
juga mulai digunakan sebagai bahan baku biodiesel selain minyak biji lobak,
karena minyak sawit mempunyai harga yang kompetitif.
Tabel 17 Konsumsi Minyak Nabati dan Lemak Dunia Tahun 1993 – 2006
Tahun
M.Sawit
M.Kedelai
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
13.200
14.370
14.840
16.070
17.830
17.660
19.830
21.770
23.860
25.590
28.200
30.050
33.150
36.190
17.760
18.470
19.447
20.398
21.446
23.602
24.480
25.135
27.508
29.964
31.246
31.163
32.879
34.670
Pert
%
8,07
5,28
Sumber : Oil World, 2007
Konsumsi (000 Ton)
M.Repesed M.Bunga M.Kelapa
Matahari
9.645
2.930
7.730
10.125
3.020
7.640
10.650
3.247
8.461
10.605
2.960
8.658
11.666
3.092
9.371
12.286
3.167
8.565
13.209
2.707
9.176
14.471
2.962
9.404
13.952
3.467
8.765
13.489
3.291
7.721
12.716
3.322
8.921
14.829
3.054
9.583
15.914
3.047
9.546
18.196
3.047
10.946
5,00
2,71
0,30
Lainnya
Dunia
34.857
35.466
35.943
36.903
37.409
37.813
39.280
39.689
40.444
41.472
41.287
42.421
43.666
43.666
86.122
89.091
92.588
96.599
100.817
103.095
108.689
113.432
118.005
121.532
125.693
131.100
138.208
146.717
1,75
4,18
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Analisis Struktur Pasar CPO di Pasar Internasional
Negara-negara penghasil minyak nabati khususnya produsen minyak
sawit berusaha untuk menghasilkan kualitas dan kuantitas minyak sawit mentah
(CPO) yang dapat diterima dipasar internasional. Persaingan antara komoditas
minyak nabati sebagai pemasok kebutuhan bahan baku industri menyebabkan
tingginya tingkat persaingan, selain itu adanya negara saingan juga menyebabkan
setiap negara produsen berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk
konsumen. Negara Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara penghasil
minyak nabati terbesar untuk CPO.
Dengan menggunakan rumus Herifindhal Index akan diketahui struktur
pasar komoditas CPO di pasar internasional sekaligus mengukur penguasaan
pangsa pasar masing-masing negara yang menjadi produsen minyak sawit. Pangsa
pasar minyak kelapa sawit Indonesia diukur dengan membandingkan ekspor
minyak sawit negara Indonesia dengan total ekspor minyak sawit dunia. Dari hasil
analisis diperoleh nilai rata-rata Herifindahl Index dari tahun 1993 sampai 2006
sebesar 0,5 (Tabel 18). Nilai Herifindhal Index yang mendekati nilai satu
menunjukkan bahwa industri minyak sawit atau CPO di pasar internasional
menunjukan kecenderungan mengarah ke pasar monopoli. Artinya industri CPO
dipasar internasional saat ini didominasi oleh beberapa negara seperti Malaysia
dan Indonesia.
Tabel 18 Hasil Analisis Herifindahl Index Negara – Negara Produsen CPO di
Pasar Internasional Pada Tahun 1996-2006
Tahun
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Rata-rata
Nilai Herifindahl Index
CPO
Nilai CR4
(%)
0.47
0.61
0.60
0.59
0.45
0.60
0.47
0.51
0.41
0.48
0.42
0.47
0.41
0.46
0,50
88
97
95
97
89
97
91
97
88
97
91
97
91
98
94
Nilai CR2
(%)
84
94
92
93
86
94
88
94
85
95
89
95
89
96
91
Hasil perhitungan terhadap empat negara terbesar produsen CPO (CR4)
dengan nilai 94 persen, sehingga dapat disimpulkan bahwasanya struktur pasar
industri minyak sawit atau CPO merupakan pasar yang cenderung oligopoli ketat,
karena Negara Malaysia dan Indonesia merupakan negara produsen terbesar
penghasil minyak nabati dari kelapa sawit atau CPO.
Dari empat negara eksportir CPO terbesar yaitu Malaysia, Indonesia,
Costarica dan Papau Nugini, Negara merupakan produsen terbesar memberikan
kontribusi terhadap minyak sawit dunia adalah Negara Malaysia dan Indonesia.
Besarnya persentase ekspor CPO negara Malaysia adalah sebesar 51 persen dan
Indonesia 44 persen dari total seluruh CPO dunia sedangkan untuk Costarica dan
Papua N sebesar 0.5 persen dan 1,29 persen dari total ekspor dunia pada tahun
2006.
Penguasaan pangsa pasar Negara Malaysia dan Indonesia(CR2) dari
tahun 1993 sampai dengan tahun 2006 dengan nilai konsentrasi CPO di atas 80
persen. Besarnya penguasaan pasar CPO oleh Malaysia dan Indonesia
menunjukan kedua negara mendominasi sumber daya CPO di pasar internasional.
Untuk rata-rata penguasaan pasar Negara Malaysia dan Indonesia pada tahun
1993 sampai dengan 2006 yaitu sebesar 91 persen. Besarnya nilai penguasaan
pasar ini menunjukan struktur pasar yang oligopoli ketat antara negara-negara
pengekspor CPO.
6.2 Analisis Keunggulan Komparatif CPO Indonesia di pasar Internasional
Keunggulan komparatif minyak kelapa sawit Indonesia di pasar
internasional diukur dengan menggunakan Revealed Comparative Advantage
(RCA). Indeks ini digunakan untuk membandingkan posisi dayasaing Indonesia
dengan negara produsen CPO lainnya. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan
bahwa nilai RCA tahun 2006 Indonesia sebagai salah satu produsen CPO terbesar
didunia mempunyai nilai sebesar 45 yang berarti industri CPO Indonesia
mempunyai keunggulan komparatif di pasar internasional (Lampiran 7).
Negara Malaysia dan Papua Nugini mempunyai nilai RCA secara ratarata sepanjang tahun 1993-2006 (Revealed Comparative Advantage) yang lebih
besar dari Indonesia. Negara Indonesia mempunyai rata-rata nilai RCA sebesar 29
sedangkan untuk Negara Malaysia bernilai 42 dan Papua Nugini sebesar 68.
Besarnya nilai RCA Negara Malaysia dan Papua Nugini di bandingkan dengan
nilai RCA Indonesia merupakan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh kedua
negara karena mampu menghasilkan CPO yang mempunyai kontribusi terhadap
pendapatan masing-masing negara.
Mulai tahun 1993 sampai dengan 2006 negara yang mempunyai
keunggulan komparatif lebih unggul di bandingkan dengan negara eksportir CPO
lainnya adalah Papua Nugini. Negara Papua Nugini pada tahun 2002 mempunyai
nilai RCA yang paling tinggi sepanjang tahun 1993-2006 yaitu sebesar 645,
sedangkan Negara Indonesia mempunyai nilai RCA terbesar pada tahun 2004 dan
2005 yaitu sebesar 46. Untuk Negara Malaysia mempunyai nilai RCA terbesar
pada tahun 1993-1995 yaitu sebesar 50.
6.3 Analisis Dayasaing Industri CPO di Indonesia dengan Pendekatan
Porter s Diamond
6.3.1 Kondisi Faktor Sumberdaya
Kondisi faktor sumberdaya yang berpengaruh terhadap industri CPO
yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya ilmu pengetahuan dan
teknologi, sumberdaya modal, dan sumberdaya infrastruktur. Lima sumberdaya
yang telah disebutkan akan dijelaskan secara terurai sebagai berikut.
1). Sumberdaya Perkebunan
a). Syarat Kondisi, Luas dan Letak Lahan
(1). Syarat dan Kondisi Lahan
Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit merupakan salah
satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non
migas bagi Indonesia. Cerahnya prospek komoditi minyak sawit dalam
perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk
meningkatkan pengembangan areal perkebunan kelapa sawit.
Daerah pengembangan tanaman kelapa sawit berada pada 15 °LU – 15
°LS. Ketinggian penanaman kelapa sawit yang ideal berkisar antara 0 – 500 meter
diatas permukaan laut, dengan curah hujan sebesar 2.000-2.500 mm/tahun. Suhu
optimum untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah 29 – 30°C, dengan intensitas
penyinaran matahari sekitar 5 – 7 jam/hari dan kelembaban optimum yang ideal
sekitar 80 – 90 persen. Kelapa sawit dapat tumbuh pada tanah Podzolik, Latosol,
Hidromorfik Kelabu, Alluvial atau Regosol. Nilai pH tanah yang optimum adalah
5,0 – 5,5. Kelapa sawit tumbuh baik pada tanah yang gembur, subur, datar,
berdrainase baik dan memiliki lapisan solum yang dalam tanpa lapisan padas.
Kondisi topografi pertanaman kelapa sawit sebaiknya tidak lebih dari 150.
Kondisi lahan tiap daerah yang tidak berbeda menyebabkan penanaman
kelapa sawit sebagai penghasil CPO dapat dilakukan pada banyak daerah. Pada
tahun 2007 terdapat 22 provinsi yang mengembangkan usaha perkebunan kelapa
sawit baik dari pengusahaan negara, swasta maupun masyarakat. Sedangkan 11
provinsi lagi belum mengusahakan komoditi kelapa sawit ini. Direncanakan pada
tahun mendatang akan dilakukan peremajaan dan pengembangan perkebunan
kelapa sawit guna meningkatkan ekspor CPO keluar negeri. Daerah yang akan
dilakukan pengembangan perkebunan meliputi perluasan dan peremajaan lahan
direncanakan pada beberapa daerah, seperti Nanggroe Aceh Darussalam,
Sumatera Utara, Jambi, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Banten, Bali,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Papua, dan Irian Jaya
Barat.
(2) Luas Lahan
Pada tahun 1911 kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan
secara komersial. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah
Adrien Hallet yang berkebangsaan Belgia. Budidaya yang dilakukannya diikuti
oleh K.Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan
Aceh dengan luas areal perkebunan mencapai 5.123 Hektar.
Pada tahun 1919 Indonesia mengekspor minyak sawit sebesar 576 ton
dan pada tahun 1923 mengekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton. Pada masa
pendudukan Belanda, perkebunan kelapa sawit maju pesat sampai bisa menggeser
dominasi ekspor negara Afrika saat itu. Memasuki masa pendudukan Jepang,
perkembangan kelapa sawit mengalami kemunduran. Lahan perkebunan
mengalami penyusutan sebesar 16 persen dari total luas lahan yang ada sehingga
produksi minyak sawit di Indonesia hanya mencapai 56.000 ton pada tahun
1948/1949, padahal pada tahun 1940 Indonesia mengekspor 250.000 ton minyak
sawit.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan perkebunan
diarahkan
dalam
rangka
menciptakan
kesempatan
kerja,
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, dan sektor penghasil devisa negara. Pemerintah terus
mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sampai pada tahun 1980,
luas lahan mencapai 294.560 hektar dengan produksi CPO sebesar 721.172 ton.
Sejak itu lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama
perkebunan rakyat. Hal ini didukung oleh kebijakan pemerintah yang
melaksanakan program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR–BUN).
Pada tahun 2007 daerah-daerah yang mengusahakan perkebunan
berusaha meningkatkan produksi CPO karena harga yang meningkat di pasaran
nasional dan internasional. Guna menghasilkan produksi CPO yang mempunyai
kualitas dan kuantitas maka dibutuhkan pengembangan areal penanaman kelapa
sawit. Daerah Sumatera merupakan luasan areal yang terbesar penanaman kelapa
sawit dengan luas areal sebesar 4,81 juta hektar. Selain daerah Sumatera, daerah
Kalimantan merupakan daerah sentra produksi kelapa sawit dengan luasan
perkebunan kelapa sawit 1,56 juta hektar. Seiring dengan kebutuhan konsumsi
domestik dan dunia akan kebutuhan minyak nabati sebagai bahan baku biofuel,
bahan pangan dan Industri oleokimia menyebabkan permintaan dunia akan CPO
juga akan meningkat seiring dengan terbatasnya produksi dan mahalnya BBM di
dunia. Dengan luas areal yang masih bisa dioptimalkan untuk perkebunan kelapa
sawit maka pada tahun 2008 diprediksi luasan perkebunan menjadi 6,61 juta
hektar dan pada tahun 2009 diramalkan menjadi 7,12 juta hektar. Sedangkan
untuk luasan perkebunan secara nasional yang masih dapat dikembangkan adalah
seluas 26,3 juta hektar.
(3) Letak Lahan
Perkebunan kelapa sawit dari lokasi pemukiman berkisar 50-200 km.
Jauhnya lokasi perkebunan dikarenakan daerah untuk perkebunan merupakan
konversi dari lahan hutan. Lahan perkebunan kelapa sawit di daerah-daerah yang
terpencar dan jauh dari pabrik menyebabkan pentingnya sarana dan prasarana
penunjang untuk menghasilkan komoditi yang mempunyai kuantitas serta kualitas
yang berkelanjutan. Dengan banyaknya investor yang berminat menginvestasikan
modalnya, dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk membangun sarana dan
prasarana pendukung perkebunan.
Keputusan Menteri Pertanian No. 357/Kpts/HK.350/5/2002 tentang
Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan mengenai luas lahan usaha budidaya
perkebunan untuk satu perusahaan atau grup perusahaan yang ditetapkan bahwa
luas maksimum lahan usaha perkebunan adalah 20.000 ha dalam satu Provinsi
atau 100.000 hektar untuk seluruh Indonesia. Tujuan dari pemerintah menetapkan
peraturan ini guna membantu mensejahterakan masyarakat dan membatasi
investasi asing yang masuk ke Indonesia. Sehingga bukan hanya daerah tertentu
yang sejahtera akan tetapi merata seluruh Indonesia.
b) Aksesbilitas Terhadap Input
Aksebilitas terhadap input dimaksudkan sebagai kemudahan para
produsen khususnya petani dalam memperoleh bahan-bahan yang digunakan di
dalam mengolah lahan kelapa sawit, seperti pupuk, bibit unggul, sarana dan
prasarana produksi, serta alat-alat pengolahan. Dalam menunjang tingkat
produktivitas yang tinggi tentunya bahan-bahan tersebut harus mudah didapatkan
dan tersedia secara kontinyu dan konsisten.
1.
Pupuk
Kebutuhan nutrisi tanaman dalam bentuk pupuk sangat penting guna
meningkatkan produksi kelapa sawit. Dengan pemberian pupuk yang sesuai dosis
dan waktu yang tepat diharapkan akan menghasilkan produksi CPO yang besar.
Perkebunan kelapa sawit membutuhkan pupuk yang digunakan antara lain adalah
NPK, urea, SP 36, KCL. Pemberian pupuk pertama sebaiknya dilakukan pada
awal musim hujan (September – Oktober) dan pemupukan kedua dilakukan pada
akhir musim hujan (Maret – April).
Petani kelapa sawit saat ini mengalami kesulitan untuk membeli pupuk
selain harganya melambung tinggi sebagai akibat dari pengaruh BBM juga karena
adanya kelangkaan pupuk di pasar akibat tataniaga pupuk yang menyebar tidak
merata. Kesulitan pupuk ini sebenarnya dapat diatasi dengan tataniaga yang
efesien dan efektif serta pemberian subsidi yang tepat sasaran. Seperti diketahui
bahwa ketentuan yang mengatur Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET)
Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2007 telah dituangkan
dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 66/Permentan/OT.140/12/2006.
Alokasi pupuk bersubsidi untuk perkebunan rakyat dalam Permentan untuk pupuk
urea adalah 948.745 ton (29,73 persen), pupuk SP-36 adalah 240.925 ton (48,13
persen), ZA adalah 278.993 ton (67 persen) dan NPK adalah 191.605 ton (37,69
persen). Jumlah tersebut tentunya belum dapat mencukupi kebutuhan pupuk
semua komoditas tanaman perkebunan pada seluruh perkebunan rakyat, dan oleh
karena itu pupuk subsidi diprioritaskan bagi para pekebun peserta kegiatan
program utama perkebunan. Untuk perkebunan kelapa sawit tidak mendapat
subsidi dari pemerintah.
Penggunaan pupuk dan bahan kimia sebagai faktor produksi sebaiknya
mulai dikurangi untuk kemudian digantikan oleh pupuk organik, pupuk hayati,
dan pestisida nabati. Pupuk organik dapat berupa kompos (alam atau buatan),
pupuk
kandang,
mikroorganisme
atau
yang
pupuk
hijau.
Pupuk
hayati
sudah teruji mempunyai
peran
merupakan
kultur
istimewa
dalam
meningkatkan kesuburan tanah dan tanaman. Pada tanggal 27 Desember 2006
PT. Perkebunan Nusantara III telah meresmikan sebuah pabrik kompos yang
bahan bakunya terdiri dari limbah padat berupa tandan kosong sawit dan limbah
cair dari pabrik kelapa sawit di Sei Daun Kabupaten Labuhan Batu. Melalui
teknologi khusus yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS),
petani dapat mengurangi ketergantungan terhadap pupuk dari pabrik.
Dengan adanya teknologi pengomposan, memungkinkan tercapainya
zero waste, di mana semua limbah yang ada di PKS Sei Daun akan terolah semua
dan tidak ada lagi limbah yang dibuang ke lingkungan. PKS Sei Daun memiliki
kapasitas olah 60 ton TBS/jam setiap harinya. Limbah TKS (Tandan Kosong
Sawit) yang dihasilkan per hari mencapai 230 ton yang biasanya digunakan
sebagai mulsa untuk tanaman kelapa sawit, sedangkan limbah cair sekitar 650
m3/hari. Pabrik Kompos Sei Daun (Sumatera Utara) dirancang untuk mengolah
kompos dengan kapasitas 100 ton/hari, dengan perincian jika PKS Sei Daun dapat
mengolah TBS 1000 ton/hari.
Sedangkan kandungan nutrisi kompos dari tandan kosong sawit ini antara
lain N>1,5%, P>0,3%, K>2,00%, Ca>0,72%, Mg>0,4%, bahan organik>50%,
C/N 15,03% dan kadar air 45-50%. Kompos kelapa sawit tergolong pupuk
organik yang fungsi utamanya adalah pembenahan tanah di samping sebagai
sumber nutrisi terutama unsur K. Penggunaannya untuk kelapa sawit dapat
menghemat pemakaian pupuk mineral. Saat ini Pabrik Kompos Sei Daun sedang
dalam proses pendaftaran sebagai proyek CDM (Clean Development Mechanism)
yang merupakan salah satu kesepakatan dari Protocol Kyoto yang mengharuskan
setiap negara-negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya pada level
5% di bawah level emisi pada tahun 1990. untuk pengurangan emisi tersebut,
negara maju bisa memperoleh emisi tersebut melalui CER (Certified Emission
Reduction). Dari hasil perhitungan sementara membuktikan bahwa apabila pabrik
kompos Sei Daun beroperasi penuh, maka emisi yang dapat dicegah sekitar
60.000 ton CO2 ekivalen setiap tahunnya.
Ketersediaan pupuk Indonesia untuk
perkebunan khususnya di pasok oleh produsen pupuk di Indonesia, yaitu ;
1.
UREA
Seluruh kebutuhannya dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri (PT.
Pusri, PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Kujang, PT. Pupuk Kaltim dan
PT. Pupuk Iskandar Muda). Produksi pupuk Urea dalam negeri yang
mengalami kelebihan dapat diekspor.
2.
SP-36, TSP dan ZA
Kebutuhan pupuk SP-36 dan ZA perkebunan kelapa sawit di penuhi dari
produksi PT. Petrokimia Gresik. Bila terjadi kekurangan pupuk maka
akan di impor (kekurangan pupuk pospat dapat di impor pupuk TSp atau
pupuk pospat lainnya).
3. Pupuk KCl
Seluruhnya di impor dari produsen penghasil pupuk di negara lain.
2.
Bibit
Penggunaan bibit yang berkualitas akan membantu menghasilkan
produksi yang berkualitas sesuai dengan tuntutan konsumen. Pada saat ini
pembibitan kelapa sawit dapat dilakukan dengan cara generatif dan kultur jaringan
untuk memperbanyak benih kelapa sawit. Para produsen bibit sawit resmi di
Indonesia antara lain Pusat Penelitain Kelapa Sawit (PPKS) di Medan, PT.
London Sumatera (PT. Lonsum), PT. Socfindo, PT. Tunggal Yunus Estate (PT.
TYE), PT Dami Mas Sejahtera (PT. DMS), PT Bina Sawit Makmur (PT. BSM),
dan PT Tania Selatan (PT. TS). Surat keterangan mutu benih yang dikeluarkan
oleh Balai Pengawasan Pembibitan Mutu Benih (BP2MB). Pada saat ini bahan
tanaman yang dianjurkan adalah persilangan Dura Deli x Pisifera (DxP) dan Dura
Dumpy x Pisifera (DyxP). Bahan tanaman kelapa sawit di sediakan dalam bentuk
kecambah (germinated seed).
Bibit kelapa sawit di Indonesia tidak hanya di suplai oleh tujuh
perusahaan penyedia bibit, akan tetapi bibit dari Negara Malaysia juga masuk
kedalam negeri. Besarnya impor bibit kelapa sawit dari Negara Malaysia akibat
dari permintaan pasar dalam negeri yang besar karena kualitas dan produktivitas
yang tinggi. Bibit yang masuk ke Indonesia dari Negara Malaysia tidak semuanya
mempunyai kualitas yang baik serta keterbatasan pengetahuan petani pekebun
sehingga menyebabkan penanaman kelapa sawit dengan bibit yang tidak baik
akan menyebabkan rendahnya kualitas dan produktivitas kelapa sawit.
Tabel 19 Produksi Kecambah Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1980-2006
(Juta)
Tahun
1980
1990
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007*
2008*
2009*
PPKS
7,13
32,50
15,90
11,09
14,42
27,23
43,30
35,00
45,00
40,00
48,00
48,00
PT.
Sofcindo
0,44
3,86
3,53
5,07
7,49
12,73
22,93
25,00
45,00
35,00
35,00
40,00
PT.
Lonsum
0,73
7,57
7,09
5,54
7,77
13,51
13,00
14,00
15,00
15,00
16,00
Sumber
: Direktorat Jenderal Perkebunan 2007
Keteranagan : *) Proyeksi
PT.
DMS
4,00
8,00
15,00
18,00
22,00
22,00
PT.
TYE
1,00
6,00
6,00
7,00
11,00
11,00
PT.
BSM
2,10
10,00
15,00
14,00
20,00
20,00
PT.
TS
1,00
1,00
3,20
3,20
Jumlah
7,57
37,09
27,00
23,25
27,45
47,73
86,84
97,00
141,00
130,00
160,20
160,20
3.
Sarana dan Prasarana Produksi
Perkebunan kelapa sawit membutuhkan sarana dan pasarana penunjang
untuk mendukung produksi kelapa sawit yang berkelanjutan. Pada umumnya
untuk menghasilkan kelapa sawit yang berkualitas dan mempunyai kuantitas
sesuai dengan permintaan konsumen diperlukan biaya yang tidak kecil. Untuk
sarana dan prasarana antara perkebunan swasta, perkebunan negara serta milik
rakyat mempunyai perbedaan. Perkebunan milik rakyat tidak melakukan
penerapan penelitian budidaya dalam pengembangan bibit yang digunakan seperti
yang dilakukan oleh perkebunan swasta dan negara hal inilah yang membedakan
proses pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit.
Adapun sarana dan prasarana produksi kelapa sawit antara lain yaitu ;
a.
Alat pengolahan lahan
Alat yang digunakan untuk pembukaan lahan yaitu traktor. Perkebunan
besar milik swasta biasanya menggunakan traktor karena didukung oleh
modal yang mendukung. Sedangkan petani dalam pembukaan lahan
hanya mengandalkan kampak dan chain saw untuk menebang pohon
guna membuka lahan perkebunan baru dan tidak jarang pembukaan lahan
dilakukan
dengan
pembakaran
hutan.
Keterbatasan modal dan
sumberdaya manusia membuat para petani membuka lahan dengan
berbagai cara yang murah, cepat dan efesien.
b.
Alat Penanaman
Penanaman kelapa sawit dilapangan dilakukan dengan pembuatan lubang
60x40 cm atau sepanjang leher batang sawit yang akan ditanam. Bantuan
cangkul untuk membuat lubang sangat membantu, selain itu penggunaan
patok kayu sebagai tanda untuk pembuatan lubang tanaman. Penggunaan
patok dimaksudkan untuk mengatur jarak antar pohon agar sesuai dengan
jarak tanam ideal yaitu 9x9x9 meter dengan bentuk segitiga.
c.
Alat Pemeliharaan
Pemeliharaan kelapa sawit meliputi kegiatan pruning (pembersihan
dahan), pemupukan, penyemprotan hama penyakit dan pembersihaan
ilalang atau rumput liar. Pemeliharaan dilakukan agar perkembangan
kelapa sawit tidak terganggu oleh hama penyakit. Pemupukan dan
penyemprotan dilakukan secara intensif pada awal penanaman agar
kelapa sawit dapat tumbuh optimal.
d.
Alat Panen
Pemanenan kelapa sawit dilakukan dengan cara mendodos buah sawit.
Kelapa sawit berbuah setelah berumur 2,5 tahun dan buahnya masak.
Suatu areal sudah dapat dipanen jika tanaman telah berumur 31 bulan,
sedikitnya 60 persen buah telah matang panen. Ciri tandan matang panen
adalah sedikitnya ada 5 buah yang lepas/jatuh dari tandan yang beratnya
kurang dari 10 kg atau sedikitnya ada 10 buah yang lepas dari tandan
yang beratnya 10 kg atau lebih. Ciri lain adalah apabila sebagian buah
sudah membrondol (jatuh di piringan) secara alami dgn rata-rata berat 3
kg.
e.
Alat Transpotasi
Transpotasi merupakan sarana penunjang utama dalam produksi kelapa
sawit. Untuk mengantarkan kelapa sawit ke tempat tujuan diperlukan
jalan yang permanen sehingga dalam penggangkutan tidak terhalang oleh
kendala iklim. Selain itu truk untuk pengangkutan kelapa sawit sangat
dibutuhkan guna membawa kelapa sawit ke pabrik CPO.
Pelabuhan merupakan tempat memuat CPO ke dalam kapal menuju
negara importir. Kapal pengantar CPO harus mempunyai 2 lapisan yang
bersih dan steril dan terbuat dari bahan tidak berkarat untuk menghindari
terjadinya kebocoran.
4.
Alat-alat Pengolahan CPO
Tandan Buah Segar harus segera diproses dalam 24 jam sejak dipanen
untuk menjaga kualitasnya agar tetap memenuhi syarat. Hal ini mengakibatkan
perusahaan harus membangun pabrik pemrosesan CPO di sekitar areal
perkebunan kelapa sawit. Kelapa sawit yang tiba di pabrik diproses dengan
membuat lunak bagian daging buah melalui pemanasan pada temperatur 90°C.
Daging yang telah melunak selanjutnya dipress pada silinder berlubang untuk
memisahkan bagian inti dan cangkang. Daging inti dan cangkang dipisahkan
dengan pemanasan dan teknik pressing. Setelah itu dialirkan ke dalam lumpur
sehingga sisa cangkang akan turun ke bagian bawah lumpur. Kernel yang telah
dipisahkan dari daging buah selanjutnya diproses untuk menghasilkan minyak. l.
Satu pabrik pengolahan CPO dapat dikatakan feasible apabila mampu memproses
30 ton TBS per jam. Kapasitas lebih kecil dapat beroperasi tetapi harus didukung
pabrik lain dengan lokasi yang berdekatan.
c). Biaya-Biaya yang Terkait
Biaya pengembangan kelapa sawit meliputi tenaga kerja yang biasanya
dibutuhkan oleh pihak swasta dan perkebunan negara. Tenaga kerja sebagai alat
untuk perawatan dan pemanenan mempunyai porsi khusus dan penting, sedangkan
perkebunan rakyat untuk mengolah dan merawat kebunnya dilakukan bersama
keluarga karena keterbatasan dana dan luas areal perkebunan yang tidak luas
(rata-rata lahan perkebunan masyarakat 2 hektar). Badan Kerja Sama Perkebunan
Swasta (BKS PPS) mengatakan di Sumatra sedikitnya 300 perda yang
memberatkan perkebunan karena dibebani tarif yang mahal mulai dari Rp 5.000
hingga Rp 85.000 per truk untuk angkutan tandan buah segar (TBS).
d). Produktivitas Lahan
Lahan perkebunan di Indonesia untuk pengembangan kelapa sawit masih
terbuka lebar. Produktivitas kelapa sawit Indonesia masih rendah bila
dibandingkan dengan negara Malaysia. Prduktivitas kelapa sawit Indonesia
sebesar 14-16 ton per hektar tiap tahun, sedangkan Malaysia sudah mencapai 1821 ton per hektar tiap tahunnya. Untuk produktivitas CPO Indonesia juga masih
dibawah Malayasia dengan produktivitas 2,51 ton perhektar sedangkan Malaysia
mencapai 3,21 ton.
Peningkatan produktivitas kelapa sawit diperlukan integrasi berbagai
macam faktor sehingga mampu mendukung industri kelapa sawit Indonesia.
Penggunaan bibit yang merupakan bibit unggul dapat meningkatkan produksi.
Pada saat ini penggunaan bibit unggul hanya terbatas pada perkebunan swasta dan
perkebunan negara karena mempunyai bidang penelitian untuk peningkatan
budidaya kelapa sawit. Keterbatasan informasi rakyat akan sumber benih
menyebabkan benih beredar di pasaran tidak sesuai standar atau palsu.
Daur hidup tanaman kelapa sawit dapat mencapai 22-25 tahun. Daur
yang panjang menyebabkan produsen dapat menikmati hasil yang panjang.
Kegiatan re-planting pada umur 28-30 tahun, untuk mengganti pohon kelapa
sawit yang tua harus secara kontinyu dan secara berkala, pemupukan yang kurang
intensif menyebabkan produktivitas kelapa sawit Indonesia masih rendah.
2). Sumberdaya Manusia
Sumberdaya perkebunan kelapa sawit manusia merupakan sangat
dibutuhkan untuk pengembangan industri CPO. Dengan sumberdaya yang
berkualitas maka peningkatan kinerja akan meningkat sehingga akan berdampak
terhadap peningkatan produksi. Penyerapan tenaga kerja serta meningkatkan
kesejahteraan adalah salah satu manfaat dari adanya perkebunan kelapa sawit di
Indonesia sehingga taraf kehidupan masyarakat dapat menjadi lebih baik. Faktor
sumberdaya dalam perkebunan kelapa sawit mengisi peran sebagai petani,
padagang, penyalur atau pedagang, eksportir, dan jabatan lainnya yang berkaitan
dengan sistem agribisnis kelapa sawit.
a). Petani
(1). Jumlah Tenaga Kerja
Tenaga kerja untuk perkebunan kelapa sawit membutuhkan jumlah yang
besar baik itu untuk pengusahaan perkebunan swasta, negara maupun rakyat.
Sampai akhir tahun 2006 jumlah tenaga kerja perkebunan yang terdapat di
Sumatera Utara adalah sebanyak 35 orang per 100 hektar lahan. Jumlah pabrik
pengolahan kelapa sawit (PKS) mencapai 85 unit dengan kapasitas pengolahan
total 3.400 ton tandan buah segar (TBS) per jam. Dalam setiap PKS yang
berkapasitas olah 30 ton TBS per jam diperlukan tenaga kerja sebanyak 136
orang, maka untuk seluruh PKS diperlukan 15.400 orang. Tenaga kerja dalam
jumlah yang lebih banyak lagi akan dapat diserap oleh industri hilir yang
berbahan baku kelapa sawit.
(2). Tingkat Upah
Dalam era globalisasi yang ditandai dengan semakin mudahnya investor
masuk tanpa kendala batas negara mengakibatkan persaingan antar perusahaan
menjadi semakin ketat. Efisiensi dan efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan
sumberdaya yang dimiliki sangat diperlukan untuk meningkatkan dayasaing
perusahaan tersebut. Upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas perusahaan akan
meningkatkan produktivitas perusahaan. Dari berbagai alternatif peningkatan
produktivitas perusahaan, konsentrasi perusahaan pada umumnya lebih tertuju
kepada efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumber daya mesin, metode dan
material, sedangkan peningkatan produktivitas sumberdaya manusia seringkali
terabaikan.
Upaya lain dalam peningkatan produksi sawit dapat ditempuh dengan
meningkatkan produktivitas karyawan. Cara ini merupakan cara yang lebih efisien
dibandingkan dengan penambahan jumlah tenaga kerja perusahaan. Peningkatan
produktivitas dan efisiensi hanya mungkin dilaksanakan apabila segenap
karyawan memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, loyalitas dan dedikasi yang
mantap kepada perusahaan (Heniasih, 2000). Produktivitas tenaga kerja akan
tinggi apabila ia memiliki kemampuan yang baik dan motivasi yang tinggi, kedua
hal ini sangat terkait erat satu dengan lainnya.
Dalam hal ini motivasi yang paling kuat mendorong karyawan memiliki
produktivitas yang tinggi adalah motivasi upah (Handoko, 1995). Oleh karena itu
dapat dikatakan bahwa apabila imbalan yang diperoleh karyawan memuaskan
maka otomatis output yang dihasilkan karyawan akan tinggi. Salah satu cara
untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja adalah dengan memperbaiki
sistem pengupahan yang dapat meningkatkan motivasi kerja karyawan. Salah satu
sistem pengupahan yang dapat meningkatkan motivasi kerja adalah sistem insentif
(bonus). Sistem ini dapat diterapkan baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam upaya peningkatan motivasi kerja tenaga kerja.
Tenaga kerja yang dubutuhkan dalam perkebunan kelapa sawit meliputi
persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan (pruning, pemupukan, pengendalian
hama dan penyakit) sampai dengan pengolahan kelapa sawit di pabrik. Biaya upah
tenaga kerja di perkebunan swasta dan milik negara pada umumnya menggunakan
tenaga pegawai perusahaan atau buruh tani yang digaji setiap bulannya.
Penggunaan tenaga kerja buruh harian lepas juga sering dilakukan untuk
menambah satuan kerja yang ada agar pekerjaan dapat segera terselesaikan.
Untuk sisitem borongan terdapat dua sistem pengupahan, yaitu sistem
basis borong dan lebih borong. Sistem upah basis borong merupakan sistem
pemberian upah yang diberikan kepada karyawan apabila karyawan telah
menyelesaikan borongan yang ditetapkan perusahaan, sedangkan sistem upah
lebih borong merupakan upah tambahan yang akan didapatkan karyawan yang
mampu melebihi borongan yang ditetapkan perusahaan. Pada dasarnya sistem
lebih borong merupakan upaya perusahaan dalam meningkatkan produktivitas
karyawan.
Untuk sistem pengupahan dalam pembukaan lahan perkebunan secara
swadaya di Riau dibutuhkan biaya untuk mengupah tenaga kerja. Hari Orang
Kerja (HOK) setiap harinya adalah 8 jam kerja dengan upah perhari Rp 25.000.
Adapun biaya yang dikeluarkan untuk pembukan lahan sampai dengan
pemanenan secara borongan antara lain ;
a.
Biaya Pembukaan Lahan/Imas Tumbang
Pembukaan lahan untuk perkebunan membutuhkan biaya dan tenaga
kerja yang besar. Tenaga kerja untuk borongan biasanya bekerja dalam
group atau kelompok sebanyak tiga samapi lima orang, sehingga upah
yang diterima dibagi sesuai dengan jumlah tenaga kerja. Untuk biaya
pembukaan lahan dengan cara menebang pohon-pohon, biaya sebesar Rp
2.000.000 untuk dua hektar.
b.
Biaya Cincang Purung
Cincang purung adalah kegiatan mencacah bagian pohon yang sudah
ditebang menjadi bagian yang kecil-kecil sehingga dapat mempermudah
penanaman bibit kelapa sawit. Biaya yang harus dikeluarkan untuk
kegiatan ini adalah Rp. 2.000.000 per dua hektar.
c.
Biaya Pemancangan
Pemancangan dilakukan untuk tujuan mempermudah penanaman dengan
menggunakan tanda berupa kayu. Dalam penanaman kelapa sawit, jarak
tanam yang biasa digunakan adalah 9x8 meter, 8,5x9 meter dan 9x9,
sehingga dalam satu hektar terdapat 130 – 138 bibit kelapa sawit. Biaya
pemancangan di Riau sebesar Rp. 200,000 per hektar, atau sebesar Rp.
1500 tiap pemancangan.
d.
Pembuatan Lubang, Pelangsiran, Penanaman, dan Penyisipan
Setelah pembuatan pancang tanaman, selanjutnya tanaman sawit di
langsir atau diantar kelubang yang sebelumnya sudah dipersiapkan.
Pembuatan lubang dengan ukuran 40x60 cm dilakukan agar tanaman
sawit dapat tumbuh kokoh. Biaya yang dikenakan untuk keseluruhan
kegiatan pembuatan lubang, pelangsiran hingga penanaman sebesar Rp.
5.000 tiap lubang sehingga untuk 2 hektar biaya yang dikeluarkan
Rp.
1.380.000. Apabila dalam penanaman terjadi kematian pada tanaman
sawit maka akan dilakukan penyisipan dengan biaya yang sama sebesar
Rp. 5.000/bibit.
e.
Penyemprotan Hama dan Penyakit
Kegiatan penyemprotan merupakan salah satu dari kegiatan pemeliharaan
tanaman. Untuk penyemprotan hama dan penyakit, biaya yang
dikeluarkan sebesar Rp. 250.000 untuk 2 hektar. Sedangkan untuk obat
pestisida dan insekstisida disediakan oleh pemilik kebun.
f.
Biaya Pemupukan
Pemupukan yang teratur akan membantu meningkatan pertumbuhan dan
produksi kelapa sawit. Pemupukan yang kontinyu dan sesuai dengan
dosis dilakukan agar hasil sawit juga kontinyu setiap bulannya. Biaya
pemupukan sebesar Rp. 15.000 tiap karung, dengan ukuran karung 50 kg.
g.
Biaya Pemanenan
Kegiatan pemanenan dilakukan satu kali dalam sepuluh hari untuk
perkebunan sawit diatas umur 6 tahun, sedangkan umur 4-6 tahun
pemanenan dilakukan dua kali dalam sebulan. Perbedaan dalam waktu
pemanenan dilakukan karena umur tanaman yang berbeda sehingga
menyebabkan produksi minyak yang dihasilkan dengan rentang umur
berbeda juga. Biaya tenaga kerja yang melakukan pendodosan atau
pemanenan sebesar Rp. 60 sampai Rp. 70 tiap Kilogram. Berarti
misalnya untuk 2 hektar tanaman sawit dapat menghasilkan total produssi
sebanya 4 ton maka biaya yang harus dikeluarkan adalah Rp. 240.000 –
Rp. 280.000 tiap bulannya.
h.
Biaya Pengangkutan
Pengangkutan kelapa sawit segar atau TBS dari kebun sampai ke pabrik
dilakukan harus segera mungkin agar kelapa sawit masih segar dan tidak
tercemar oleh air dan zat cemar lainnya. Pengolahan kelapa sawit segar
dilakukan 12 jam setelah pemanenan dilakukan. Untuk pengangkutan
biaya yang dikeluarkan adalah sebesar Rp. 70 tiap kg sehingga biaya
yang dikeluarkan apabila hasil produksi perbulan 4 ton maka biaya
sebesar Rp. 280.000 tiap bulannya.
(3). Tingkat Pendidikan Petani
Tingkat pendidikan petani para petani kelapa sawit merata mulai dari
pendidikan dasar (SD), Sekolah lanjutan pertama (SLTP) dan sekolah menegah
atas (SMU) dengan rentang umur yang bervariasi. Dengan tingkat pendidikan
yang masih rendah menyebabkan proses pengalihan teknologi dan keterampilan
belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Walaupun dengan tingkat
pendidikan yang masih tergolong rendah akan tetapi petani perkebunan
mempunyai pengalaman yang bertahun-tahun dalam pengelolaan kelapa sawit,
sehingga pada umumnya keterampilan yang dimiliki petani ialah berasal dari
pengalaman bertani yang dimilikinya.
b). Padagang
Saluran pemasaran TBS (Tandan Buah Segar) kelapa sawit dari tingkat
petani dapat dibedakan dari petani PIR dan petani non PIR (lepas). Pada petani
PIR, saluran pemasaran TBS kelapa sawit mulai dari petani dijual lewat KUD
sawit, lalu dibeli oleh PTPN sebagai inti. TBS dari petani PIR tersebut bersama
TBS dari kebun sendiri diekstraksi di pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) milik
PTPN menjadi CPO.
Sedangkan TBS dari petani lepas, disamping dapat dijual ke KUD sawit
juga dijual ke pedagang pengumpul TBS tingkat desa. Pedagang pengumpul desa
menjual TBS ke pedagang pengumpul besar TBS yang juga dapat bertindak
sebagai agen dari industri PKS.
Pada awal kegiatan operasional, ada perlakuan yang berbeda mengenai
harga bila petani PIR dan non PIR yang menjual TBS ke KUD tersebut. Namun
dalam perkembangannya, terutama produksi sawit telah mulai menurun, KUD
juga banyak menerima TBS dari petani lepas (non PIR) sehingga secara otomatis
tidak ada pembedaan dalam hal penjualan baik dari petani PIR dan non PIR. KUD
kelapa sawit, memiliki unit transportasi sendiri untuk mengambil sawit dari petani
dan selanjutnya mengirim sawit ke unit PKS PTPN. Sehingga, ada pengenaan
biaya transportasi terhadap TBS yang dijual ke KUD dengan kisaran antara Rp. 60
– Rp. 70/kg.
Setelah TBS dari KUD masuk ke unit PKS PTPN dan bersama TBS dari
unit kebun sendiri PTPN lalu diekstrak antara lain menjadi CPO. Sesuai dengan
kesepakatan diantara PTPN, maka CPO yang diproduksi PTPN dipasarkan
melalui Kantor Pemasaran Bersama (KPB) baik untuk kebutuhan di dalam negeri
maupun ekspor. KPB dalam hal ini mendapat fee kompensasi sebesar 0,5 persen
dari harga jual. Untuk kebutuhan di dalam negeri, KPB bisa langsung menjual ke
konsumen. Sedangkan untuk ekspor, KPB harus melalui agen (broker) lokal, baru
kemudian broker berhubungan dengan importir (broker/whole saler) di luar negeri
seperti di Hamburg, New York dan Bremen-Jerman.
Distribusi CPO nasional bisa langsung disalurkan dari pabrik (PKS)
ekstraksi TBS dan disalurkan melalui Tank Instalation (TI) dipelabuhan. Bagi
industri pengolahan lanjut CPO yang dinamai processor dapat langsung dari unit
PKS (ekstraksi) PTPN, sedangkan bagi processor lain harus melalui TI
dipelabuhan. Selanjutnya saluran distribusi CPO PTPN di dalam negeri disajikan
pada Lampiran 3. Sementara itu, pada alur pemasaran TBS dari petani lepas dijual
ke pedagang pengumpul desa dan selanjutnya ke pedagang pengumpul besar dan
seterusnya ke pabrik PKS swasta. Disamping itu, PKS swasta juga memperoleh
sawit dari kebun sendiri.
Distribusi produksi CPO dari perkebunan swasta (PBS) tidak harus
dipasarkan melalui KPB. Perkebunan swasta skala kecil adakalanya bergabung
dengan perkebunan swasta skala besar dalam memasarkan produknya terutama
untuk ekspor, namun banyak juga yang memasarkan langsung ke luar negeri.
Untuk mempermudah pencarian pasar, PBS skala besar ada yang menempatkan
agen-agennya di luar negeri, dan ada yang melakukan kontrak jual beli. Untuk
PBS skala kecil, tampaknya belum dapat melakukan hal tersebut.
Untuk pemasaran di dalam negeri, CPO tidak dikemas secara khusus atau
masih dalam bentuk curah. Dalam saluran distribusi di atas biasanya TBS yang
dihasilkan di kebun-kebun diangkut ke pabrik ekstraksi TBS dengan
menggunakan truk atau lori. Selanjutnya hasil CPO disimpan di dalam tangki di
pabrik yang kemudian nantinya diangkut dengan mobil tangki ke tempat
processor ke tank installation di pelabuhan. Selanjutnya CPO dikemas, dan
seterusnya dikapalkan menuju negara importir atau lokasi processor di dalam
negeri (Lampiran 4).
c). Eksportir
Keuntungan adalah tujuan yang ingin dicapai oleh para eksportir. Para
produsen CPO di Indonesia antara lain perusahaan milik negara dan perusahaan
swasta, sedangkan untuk petani hanya menjual buah sawit kepada perusahaan
pengolahan CPO atau kepada tengkulak. Dari para pengumpul kelapa sawit
dibawa ke pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) dan akan diolah menjadi CPO.
Perusahaan swasta rata-rata mempuyai perkebunan kelapa sawit serta didukung
oleh pabrik pengolahan kelapa sawit, sehingga perusahaan dapat mengoptimalkan
segala kemampuan perkebunan yang dimiikinya dengan sumberdaya infrastruktur
pendukung.
Hasil pengolahan kelapa menjadi CPO akan didistribusikan di dalam
negeri dan keluar negeri. Perusahaan industri hilir yang menggunakan bahan baku
CPO antara lain industri bahan pangan, oleokimia dan biodiesel dan banyak lagi
industri yang menggunakan bahan baku nabati. Banyak agen atau perusahaan jasa
penyalur CPO keluar negeri yang ikut serta dalam usaha ini walaupun tidak
mempunyai lahan ataupun pabrik, karena tertarik akan harga jual yang mahal
didalam negeri dan diluar negeri.
Perusahaan besar swasta dapat langsung menjual CPO keluar negeri.
Perusahaan besar rata-rata mempunyai kantor cabang diluar negeri untuk
mempermudah negara importir memesan CPO keperusahaannya. Dengan
demikian perusahaan dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar daripada
melalui agen perantara dalam menjual hasil CPO perusahaanya. Beberapa
perusahaan eksportir CPO antara lain PT. Andalas Intigo Lestari, PT. Musim Mas,
PT. Sofcin Indonesia, PT. Japfa Comfeed, PT. Tunggal Perkasa Plantions, PT.
Astra Agro Lestari, PT. Inti Indosawit Subur, dan lain sebagainya.
Unit kebun
sendiri
TBS
TBS
Petani
K.Sawit
Pedagang
Pengumpul
Desa
TBS
Pedagang
Pengumpul
Besar
TBS
Industri
PKS
Swasta
Agen
DN
Agen
LN
Processor
DN
Processor
LN
Gambar 10 Saluran Distribusi TBS dan CPO Pada Perkebunan Swasta
Sumber : PPKS, 2006
d). Penyuluh
Kegiatan penyerapan teknologi tidak dapat langsung diterima oleh petani,
sehingga peranan penyuluh dalam memberikan bantuan pemahaman terhadap
teknologi baru sangat penting bagi para petani perkebunan. Penyuluh pertanian
lapangan (PPL) berfungsi memberikan bantuan kepada petani akan informasi dan
teknologi terkini bidang pertanian, sehingga petani dapat memanfaatkan
keberadaan penyuluh sebagai sarana untuk memperoleh informasi.
Penyuluh pertanian khususnya bidang perkebunan, menyampaikan
teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian atau pihak lain kepada petani.
Melalui pendampingan yang lebih intensif oleh penyuluh, maka petani dapat
mengetahui teknik atau proses budidaya sampai dengan informasi tingkat harga
sawit yang harus diterima oleh petani apabila menjual hasil kebunnya. Dengan
adanya informasi harga pasar petani dapat mengetahui posisi tawar sawit yang
akan dijualnya kepada para pedagang pengumpul.
Selain penyuluhan dilakukan oleh PPL, kegiatan penyuluhan juga
dilakukan oleh berbagai lembaga-lembaga salah satunya Gapki. Gabungan
pengusaha kelapa sawit selain sebagai asosiasi perkumpulan para pengusaha,
Gapki mempunyai kegiatan yang berupa penelitian, penyuluhan, informasi,
promosi, pemasaran, advokasi, konsultasi dan diskusi serta segala kegiatan yang
dapat meningkatkan penghasilan anggotanya. Peranan pemerintah dan lembaga
kelapa sawit harus terintegrasi agar segala cara dan upaya peningkatan dayasaing
CPO Indonesia dapat terlaksana dengan baik.
3). Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam hal penanaman,
pemeliharaan dan pemanenan merupakan hal penting dalam menunjang dayasaing
kelapa sawit. Sumberdaya ini mencakup ketersediaan pengetahuan pasar dan
pengetahuan ilmiah dalam melakukan produksi yang dapat diperoleh melalui
lembaga penelitian, asosiasi pengusaha, asosiasi petani, lembaga, perguruan
tinggi, literatur bisnis, basis data, dan sumber pengetahuan dan teknologi lainnya.
a. Lembaga Penelitian
Peranan lembaga penelitian dalam mengembangkan produksi CPO
Indonesia di pasar internasional sangat tergantung pada hasil penelitian dan
pengembangan baik budidaya sampai dengan produksi. Di Indonesia terdapat
beberapa lembaga penelitian kelapa sawit baik itu instansi pemerintah ataupun
perguruan tinggi yaitu Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di Medan, Balai
Besar Mekanisasi Pertanian Departemen Pertanian, Institut Pertanian Bogor
(IPB), Institut teknologi Bandung (ITB), Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) di Puspitek dan lembaga penelitian yang dimiliki oleh
perusahaan swasta (Lampiran 5).
Pusat Penelitian kelapa sawit (PPKS) di Medan merupakan salah satu
tempat budidaya indukan bibit sawit berkualitas. Dari PPKS akan dihasilkan bibit
sawit yang berkualitas lewat hasil persilangan indukan yang memiliki keturunan
baik, selain itu metode kloning juga dilakukan untuk mengahasilkan anakan sawit
yang berkualitas sesuai dengan indukan.
Kebutuhan akan minyak nabati khususnya sebagai bahan baku biofuel
atau sebagai bahan bakar pada kendaraan bermesin diesel semakin meningkat
sering dengan mahal dan terbatasnya produski BBM. Berbagai kebijakan negaranegara Eropa dan Indonesia agar tidak terlalu menggantungkan bahan bakar
kendaraan dan industri terhadap BBM dan menggantinya dengan bahan bakar
nabati (BBN). Permintaan negara maju terhadap biodisel mencapai 71 juta ton
atau senilai 28 juta Poundsterling, hal ini merupakan suatu peluang besar bagi
negara penghasil biodisel. Dengan besarnya luasan perkebunan kelapa sawit
Indonesia maka hasil produksi untuk minyak sawit (CPO) juga akan besar seiring
peningkatan luasan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBPT) melihat
peluang pasar biodiesel maka pada tahun 2003 badan penelitian ini menciptakan
mesin pengolahan CPO yang dapat menghasilkan biodiesel. Kapasitas awal mesin
pengolahan CPO yang dibuat oleh BBPT sebesar 1,5 ton perhari dan pada tahun
2008 mampu menambah kapasitas produksi menjadi 3 ton perhari. Beberapa
negara Asia yang serius mengembangkan energi biodiesel adalah India, Filipina,
Thailand, dan Vietnam. Thailand dan Vietnam beli CPO dari Indonesia.
b. Asosiasi Pengusaha
GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) adalah wadah
perusahaan produsen minyak sawit (CPO) yang terdiri dari perusahaan PT.
Perkebunan Nusantara, Perusahaan Perkebunan Swasta Nasional dan Asing serta
peladang Kelapa Sawit yang tergabung dalam Koperasi. GAPKI telah melakukan
berbagai upaya untuk memajukan perkelapasawitan Indonesia. GAPKI selaku
mitra pemerintah telah memberikan masukan-masukan sebagai bahan pemerintah
dalam menyusun berbagai kebijakan tentang masalah perkelapasawitan, termasuk
menetapkan kebijakan tata niaga minyak sawit yang memberikan harga jual yang
menarik sehingga akan merangsang untuk melakukan investasi pada perkebunan
kelapa sawit. Perusahaan anggota GAPKI telah menyediakan minyak sawit
sebagai bahan baku untuk kepentingan industri dalam negeri dengan jumlah yang
cukup dan terus menerus, sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
terutama terhadap kebutuhan minyak goreng dengan harga yang terjangkau,
disamping itu juga mengekspor minyak sawit dalam meningkatkan pendapatan
devisa negara.
Gabungan pengusaha kelapa sawit Indonesia memiliki sembilan kantor
cabang, yaitu pada daerah : Sumatera Barat (2001), Jambi (2003), Sulawesi
(2004), Kalimantan Tengah (2004), Riau (2004), Kalimantan Selatan (2004),
Sumatera Utara (2005), Kalimantan Timur, dan Sumatera Selatan (2007). Adapun
beberapa tujuan Gapki yaitu :
1. Mengembangkan usaha-usaha perkelapasawitan seutuhnya dalam rangka
menunjang kebijaksanaan pemerintah di bidang perkebunan.
2. Mempersatukan perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia agar
menjadi salah satu kekuatan ekonomi yang dapat meningkatkan
kemakmuran masyarakat, bangsa dan negara Indonesia.
3. Meningkatkan dayasaing perusahaan kelapa sawit Indonesia dipasar
internasional.
c. Asosiasi Petani
Kuantitas dari hasil perkebunan yang diperjualbelikan pada umumnya
dalam jumlah yang kecil sehingga untuk mendapatkan jumlah atau partai yang
besar diperlukan suatu lembaga yang dapat menghimpun produk-produk
perkebunan tersebut, di tingkat petani biasanya mereka membentuk suatu koperasi
komoditas, sehingga memudahkan dalam penjualannya.
Disamping itu para petani membentuk suatu asosiasi petani kelapa sawit
Indonesia (Apsakindo) bertujuan antara lain sebagai wadah untuk mengakomodir
kepentingan
para
petani
seperti
memberdayakan
petani,
meningkatkan
kesejahteraan dan mewujudkan kemitraan.
e. Dewan Minyak Sawit Indonesia
Pada tanggal 31 Mei 2007 Indonesia memiliki dewan minyak sawit yang
mempunyai salah satu tujuan adalah memperbaiki citra minyak sawit Indonesia
dipasar internasional. Pembentukan badan tersebut perlu dilakukan terutama untuk
mempermudah hubungan dagang antarnegara yang menyangkut masalah kelapa
sawit menyusul adanya permintaan Malaysia agar Indonesia supaya segera
memiliki badan khusus yang mengurusi masalah persawitan nasional.
pembentukan dewan sawit itu memperkokoh Industri sawit terutama menangkis
isu negatif yang memengaruhi keberadaan usaha perkebunan, seperti lingkungan,
dan kesehatan.
d. Lembaga Statistik
Lembaga statistik berperan sebagai pengolah segala informasi yang
bersifat kuantitatif untuk diolah sedemikian rupa sehingga hasilnya dapat
digunakan untuk keperluan umum. Peran dari lembaga statistik ini diwakili oleh
Direktorat Jenderal Perkebunan–Departemen Pertanian, Biro Pusat Statistik
(BPS), Direktorat Jenderal Perkebunan yang merupakan lembaga yang beperan
besar dalam mengolah data statistik perkebunan kelapa sawit baik hasil tandan
buah segar serta hasil CPO. Hasil olahan data statistik disimpulkan dalam sebuah
buku yang berjudul “Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia” dengan
periode tahun yang berbeda-beda.
e. Perguruan Tinggi
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggulan yang
memberikan kontribusi penting pada pembangunan ekonomi Indonesia,
khususnya pada pembangunan agroindustri. Luas perkebunan kelapa sawit di
Indonesia tahun 1996 telah mencapai dua juta hektar dengan tingkat produksi
terbesar kedua setelah Malaysia. Pada tahun 2010 luas perkebunan kelapa sawit
direncanakan akan mencapai tujuh juta hektar, sehingga Indonesia diharapkan
akan menjadi negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Dalam rangka
mengantisipasi dan mendorong perkembangan kelapa sawit serta mencegah
berbagai masalah yang akan timbul, diperlukan adanya wahana untuk kerjasama
yang baik antara peneliti, pengembang, industriawan, pengusaha, peminat dan
pelaku lainnya di bidang perkelapasawitan, baik dari kalangan pemerintah,
perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan maupun dari kalangan
industri, pengusaha dan peminat serta pelaku lainnya. Hal ini penting untuk dapat
menjamin
keberlanjutan
pengembangan
perkelapasawitan
di
Indonesia.
Menyadari hal tersebut dan atas prakarsa 7 PAU Biosains (PAU Bioteknologi
ITB, PAU Ilmu Hayati ITB, PAU Pangan dan Gizi UGM, PAU Bioteknologi
UGM, PAU Pangan dan Gizi IPB, PAU Bioteknologi IPB, PAU Ilmu Hayati
IPB), Pusat Studi Pembangunan IPB dan Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan,
para pakar kelapa sawit menganggap perlu berhimpun dalam suatu paguyuban
atau wadah organisasi, maka dibentuklah Masyarakat Perkelapa-sawitan
Indonesia (MAKSI) yang berazaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
f. Sumber IPTEK lainnya
Sumber IPTEK lainnya dapat berasal dari berbagai media, seperti jurnaljurnal penelitian, warta, surat kabar atau majalah agribisnis, Internet, dan media
penyedia informasi lainnya. Sumber IPTEK yang beragam dan lengkap
diharapkan dapat mendukung industri CPO Indonesia dalam menerapkan
teknologi yang tepat guna. Penerapan teknologi yang tepat tentunya akan
meningkatkan produktivitas lahan kelapa sawit dan menghasilkan CPO yang
mempunyai mutu yang tinggi. Adanya kemajuan teknologi di bidang pengolahan
industri hilir kelapa sawit diharapkan dapat berkembang sehingga negara ini
mampu mengekspor kelapa sawit dalam bentuk CPO tetapi dalam bentuk yang
sudah mempunyai nilai tambah atau siap digunakan. Hal tersebut tentunya dapat
menambah nilai jual kelapa sawit, sehingga dapat meningkatkan pendapatan
petani kelapa sawit juga devisa negara. Untuk dapat mencapai kemajuan tersebut
maka dibutuhkan sumberdaya IPTEK yang mendukung.
Sumberdaya IPTEK
yang mendukung maka akan meningkatkan keunggulan kompetitif kelapa sawit
nasional.
4).Sumberdaya Modal
Sumber pendanaan modal sangat penting bagi keberlanjutan perkebunan
agar mampu menghasilkan komoditi yang berkualitas dan berkuantitas baik.
Modal petani perkebunan berasal dari berbagai sumber yaitu dari bantuan
pemerintah lewat pinjaman dengan subsidi bunga kredit, dan modal sendiri.
Bantuan pemerintah lewat subsidi bunga kredit dimaksudkan untuk membantu
petani yang ikut dalam perkebunan inti rakyat (PIR-BUN) lewat bank mitra
pemerintah yaitu BRI (Bank Rakyat Indonesia).
Revitalisasi perkebunan yaitu lewat peremajaan dan perluasan lahan
perkebunan (kelapa sawit, karet, dan kakao), dengan memberikan bunga flat
sebesar 10 persen kepada petani plasma yang meminjam modal kepada bank
sedangkan sisanya ditanggung pemerintah. Rencana Revitalisasi perkebunan
sebesar 2 juta hektar dengan dana investasi 12 triliun siap dikucurkan oleh
pemerintah dimana kegiatan ini telah dimulai pada 2007 dan direncanakan selesai
pada tahun 2010. Bentuk kerjasama antara pemerintah dan petani plasma dalam
pengembangan perkebunan kelapa sawit lewat berbagai kerjasama salah satunya
kerjasama bapak angkat. Sistem ini dilakukan oleh pemerintah lewat perkebunan
negara (PTPN) yang seluruh biaya penanaman dan pengembangan kelapa sawit
milik petani ditanggung pemerintah, dan setelah menghasilkan maka petani
diwajibkan membayar kepada pemerintah.
Sumber modal perkebunan swasta sangat besar karena didukung oleh
perusahaannya semagai investor utama dan tambahan modal dari modal
perusahaan asing yang tertarik dengan prospek CPO. Mahalnya harga CPO di
pasar
internasional
mengembangkan
membuat
komoditi
banyak
kelapa
perusahaan
sawit.
Salah
yang
satu
tertarik
perusahaan
untuk
yang
mengembangan komoditi perkebunan kelapa sawit adalah Indomal Usahasama
yang merupakan grup Indomal. Perusahaan ini bekerjasama dengan Malaysia
membangun Palm Oil Centre di Maluku utara. Total investasi yang ditanamkan
mencapai Rp 12,5 triliun. Pembuka lahan kelapa sawit seluas 200.000 hektar,
membangun pabrik CPO dan pabrik biodiesel masing-masing 7 unit serta
infrastruktur pendukung berupa pembangkit listrik 2x10 megawatt. Dengan luas
lahan perkebunan tersebut diharapkan bisa memproduksi kelapa sawit 1,5 juta ton
per tahun. Sementara untuk pabrik pengolahan biodiesel, direncanakan
berkapasitas 150 ribu ton per tahun. dari total investasi Rp 12,5 triliun, sekitar Rp
5 triliun diantaranya digunakan untuk membiayai pembersihan lahan dan
penanaman kelapa sawit. Untuk pendanaan proyek Palm Oil Centre ini, beberapa
lembaga keuangan telah siap memberikan dukungan yaitu Exim Bank Malaysia
dan Gulf Finance House, salah satu lembaga pembiayaan dari Doha, Qatar.
Lembaga-lembaga ini akan masuk membiayai hingga 70 persen dari nilai proyek,
dengan skema project financing. Sisanya ditanggung oleh modal sendiri
peusahaan.
5). Sumberdaya Infrastuktur
Sumberdaya infrastruktur meliputi sarana dan prasarana yang digunakan
dalam suatu industri. Sarana dan prasarana yang berperan penting dalam proses
produksi, pemeliharaan, pemanenan, hingga sampai ketangan konsumen. Pada
sarana produksi kelapa sawit, dibutuhkan mesin pengolahan yang mampu
mengolah kelapa sawit segar menjadi CPO. Investasi pembelian mesin CPO
sangat besar sehingga hanya perusahaan serta negara yang mempunyai dana untuk
membeli peralatan pengolahan kelapa sawit, sedangkan petani belum mempunyai
pabrik pengolahan secara swadaya. Sarana pengolahan kelapa sawit akan semakin
bertambah seiring dengan meningkatnya pembukaan lahan diberbagai daerah
dengan investasi besar-besaran dari perusahaan asing dan dalam negeri. Hal ini
akan menambah kemampuan pengolahan sawit nasional sehingga dapat
meningkatkan hasil CPO untuk konsumsi dalam negeri maupun diekspor keluar
negeri.
Kebutuhan prasarana industri CPO sangat penting guna membawanya
kepada konsumen industri lain yang menggunakan bahan baku CPO. Adapun
prasarana untuk mendukung industri CPO nasional antara lain jalan, jembatan,
sarana air, listrik, jembatan, pelabuhan, transpotasi dan lain sebagainya.
Dibutuhkan dana sekitar Rp 4 triliun untuk bisa menyediakan lapangan terbang
standar, pelabuhan laut, pembangunan jalan dan jembatan.
Pelabuhan merupakan salah satu alat transpotasi untuk menghantarkan
CPO ke tempat tujuan. Fasilitas pelabuhan di Indonesia masih minim dalam
menampung kapal besar sehingga terjadi antrian apabila hendak masuk ke
pelabuhan. Rata-rata kapal yang dapat besandar di pelabuhan hanya berjumlah 2
sampai 3 kapal, yang menyebabkan waktu tunggu lama dan biaya yang harus
ditanggung bertambah besar oleh konsumen atau importir . Berbeda dengan
Malaysia yang mempunyai pelabuhan Port Klang yang dapat menampung
berapapun kapal yang hendak bersandar dipelabuhan tersebut. Untuk mengatasi
hal tersebut maka di daerah Sumatera Selatan telah dibangun pelabuhan Tanjung
Api-Api (TAA) dengan bantuan investasi dari negara Arab sebesar 13 triliun.
Selain pembangunan pelabuhan kapal, didaerah Palembang juga dibangun jalur
kereta api yang menghubungkan lokasi pabrik CPO dengan pelabuhan.
6.3.2 Kondisi Permintaan
1). Komposisi Permintaan Domestik
Kebutuhan konsumen industri pangan, minyak goreng, olein, biodisel
akan CPO semakin meningkat seiring peningkatan konsumsi dan jumlah
penduduk dunia. Harga minyak sawit mentah dunia yang tinggi menyebabkan
para produsen CPO banyak melakukan ekspor dari pada menjual didalam negeri.
Pada tahun 2008 harga CPO yang tinggi mencapai level diatas US$ 800/ton,
menyebabkan pasokan CPO yang seharusnya untuk mencukupi kebutuhan
industri hilir di ekspor tanpa adanya batasan dari pemerintah.
Perkembangan Industri hilir pengolahan CPO, salah satunya adalah
industri minyak goreng belum mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 dan 2006
jumlah pabrik minyak goreng tidak berubah yaitu sebanyak 74 pabrik yang
tersebar diseluruh Indonesia. Kapasitas produksi yang mampu dihasilkan oleh
pabrik pengolahan minyak goreng tahun 2005 dan 2006 sama yaitu sebesar 15,43
juta ton, karena jumlah pabrik minyak goreng yang tidak berubah. Produksi
minyak goreng berasal dari tanaman kelapa dan kelapa sawit. Untuk tahun 2005
kebutuhan akan minyak goreng domestik sebesar 3,29 ton dan meningkat akibat
pertambahan penduduk sehingga terjadi peningkatan konsumsi menjadi 3,54 ton.
Tabel 20 Industri Minyak Goreng Indonesia Tahun 2005 – 2006
Keterangan
Jumlah Perusahaan
Kapasitas Produksi (Juta Ton)
Realisasi Produksi (Juta Ton)
Utilitas Produksi (%)
Ekspor Minyak Goreng (Juta Ton)
Konsumsi Minyak goreng Domestik (Juta Ton)
2005
74
15,43
6,62
42,95
3,33
3,29
2006
74
15,43
7,59
49,24
4,05
3,54
Sumber: Departemen Perindustrian, 2007
2). Jumlah Permintaan dan Pola pertumbuhan
Pertumbuhan industri pangan, oleokimia, dan minyak goreng serta
industri yang menggunakan minyak nabati khususnya CPO semakin meningkat.
Dari sisi permintaan, tingkat pertumbuhan konsumsi minyak goreng sebagai
produk olahan minyak kelapa sawit cukup pesat, baik di pasar domesik dan pasar
ekspor. Hal itu didukung kenaikan faktor permintaan secara agregat seperti
pertumbuhan penduduk, daya beli masyarakat, serta kecenderungan dunia
mengkonsumsi minyak dari sawit. Permintaan ini tidak terlepas dari kemampuan
industri CPO untuk menggeser minyak kelapa (Crude Coconut Oil – CCO) dan
kopra sebagai bahan baku minyak goreng.
3). Permintaan Luar Negeri Terhadap CPO Nasional
Pertumbuhan penggunaan minyak sawit itu dipicu oleh peningkatan
jumlah penduduk dunia dan semakin berkembangnya trend pemakaian bahan
dasar oleochemical pada industri makanan, industri shortening, farmasi
(kosmetik). Trend ini berkembang karena produk yang menggunakan bahan baku
kelapa sawit lebih berdaya saing dibandingkan minyak nabati dengan bahan baku
lainnya. Naiknya harga CPO juga disebabkan oleh terus menanjaknya harga
minyak kedelai akibat turunnya produksi kedelai dunia tahun ini. Berdasarkan
data dari Oil World, trend penggunaan komoditi berbasis minyak kelapa sawit di
pasar global terus meningkat dari waktu ke waktu mengalahkan industri berbasis
komoditas vegetable oil lainnya seperti minyak gandum, minyak jagung, minyak
kelapa.
Pangsa konsumsi minyak kelapa sawit terhadap konsumsi minyak nabati
dunia sebanyak 34,15 juta ton pada tahun 1963–1967 diperkirakan empat persen
dari total minyak nabati dunia. Pangsa ini meningkat menjadi 14,9 persen dari
konsmsi minyak nabati dunia sebesar 92 juta ton pada tahun 2003 sampai 2007.
Sedangkan pada tahun 2003 sampai 2006 konsumsi minyak dunia meningkat
menjadi 18 persen dengan besarnya konsumsi 117 juta ton. Sejak 2004
penggunaan komoditi minyak kelapa sawit telah menduduki posisi tertinggi dalam
pasar vegetable oil dunia yaitu mencapai sekitar 30 juta ton dengan pertumbuhan
rata-rata delapan persen per tahun, mengalahkan komoditas minyak kedelai
sekitar 25 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 3,8 persen per tahun. Komoditas
lainnya yang banyak digunakan adalah minyak bunga matahari yaitu sekitar 11,5
juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 2,2 persen per tahun.
Indonesia adalah negara net-exporter minyak sawit, tetapi dalam keadaan
mendesak juga mengimpor minyak sawit. Negara tujuan utama ekspor minyak
sawit Indonesia adalah Eropa Barat, India, Pakistan, Cina, dan Jepang. Produk
yang diekspor adalah minyak olahan tahap awal seperti RBD palm oil, CPO dan
beberapa produk oleokimia. Secara umum, ekspor minyak sawit Indonesia pada
1980-2005 meningkat 12,9 persen per tahun. Pada tahun 2005 pangsa ekspor
minyak sawit Indonesia mencapai 39,35 persen dari ekspor minyak sawit dunia,
dan pada periode yang sama, pangsa ekspor minyak sawit Malaysia sekitar 50,68
persen. Pada tahun 2006 pangsa ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 39,18
persen dari ekspor minyak sawit dunia dan Malaysia sekitar 50,31 persen. Dengan
demikian, pangsa pasar Malaysia cenderung menurun, sebaliknya pangsa pasar
Indonesia makin meningkat seiring dengan peningkatan produksi minyak sawit
Indonesia.
6.3.3 Industri Terkait dan Industri Pendukung
1). Industri Terkait
Industri terkait merupakan industri yang berada dalam sistem komoditas
secara vertikal. Indiustri ini mulai dari pengadaan bahan baku, bahan tambahan,
bahan kemasan sampai pemasaran. Selain industri terkait terdapat juga industri
pendukung yang merupakan industri yang memberikan kontribusi tidak langsung
dalam sistem komoditas secara vertikal.
a). Industri Penyediaan Bibit Kelapa sawit
Perkembangan Industri CPO Indonesia agar mampu menghasilkan
produk yang berkualitas dan berkuantitas baik perlu penggunaan bibit unggul.
Dengan bibit unggul yang baik maka akan dihasilkan kelapa sawit segar (TBS)
yang baik pula untuk selanjutnya diolah menjadi minyak sawit (CPO). Penyediaan
bahan baku bibit berkualitas dan mempunyai sertifikat ekolabeling dan diakui di
Indonesia terdapat tujuh produsen benih dengan kapasitas 141 juta per tahun.
Produsen bibit kelapa sawit antara lain :Pusat Penelitain Kelapa Sawit (PPKS) di
Medan, PT. London Sumatera (PT. Lonsum), PT. Socfindo, PT. Tunggal Yunus
Estate (PT. TYE), PT Dami Mas Sejahtera (PT. DMS), PT Bina Sawit Makmur
(PT. BSM), dan PT Tania Selatan (PT. TS).
b). Industri Penyedia Kelapa Sawit
Penyediaan kelapa sawit dalam bentuk segar di usahakan oleh pengusaha
swasta, negara, dan petani secara swadaya. Pengusahaan kelapa sawit untuk
swasta di dominasi oleh perusahaan-perusahaan besar Perkebunan kelapa sawit
swasta yang cukup luas misalnya dimiliki oleh PT Astra Agro Lestari, Sinar Mas
group, PT London Sumatra , PT Minamas Gemilang, PT Asian Agri, PT Duta
Palma, PT Bakrie Sumatera Plant, PT Salim Ivomas Pratama, PT Surya Dumai
dan sebagainya. Selain memiliki kebun inti perkebunan tersebut perusahaan juga
memiliki kebun plasma atau KKPA yang cukup besar. Perkebunan rakyat sebagai
produksi kelapa sawit mempunyai peranan sebagai penyedia kelapa sawit untuk
diolah lebih lanjut menjadi CPO oleh perusahaan yang mempunyai pabrik
pengolahan.
c). Industri Pengolahan Kelapa Sawit
Untuk menghasilkan CPO diperlukan pabrik pengolahan TBS. Produksi
dan pengolahan kelapa sawit dikuasai beberapa pengusaha saja. Tercatat namanama besar, seperti PT Astra Agro Lestari, Sinar Mas Group, PT London
Sumatera, PT Minamas Gemilang, PT Asian Agri, PT Duta Palma, PT Bakrie
Sumatera Plantation, PT Salim Ivomas Pratama, PT Surya Dumai.; dapat
disimpulkan bahwa penghasil TBS terbesar di negeri ini adalah petani. Hanya
sebagian dari para pemilik perkebunan kelapa sawit ini yang memiliki industri
hilir seperti refinery yaitu Sinar Mas, Astra, Salim, Asian Agri, Duta Palma dan
beberapa perusahaan lagi dengan kapasitas yang tidak terlalu besar; industri
oleochemicals seperti Sinar Mas.
d). Industri Pegolahan CPO
Industri yang terkait dalam industri kelapa sawit adalah industri
makanan, minuman, minyak goreng, biofuel dan lain sebagainya. Industri tersebut
merupakan industri dalam industri CPO Indonesia yang memiliki kontribusi
langsung pada sistem komoditas secara vertikal karena industri tersebut
menggunakan CPO sebagai bahan bakunnya. Potensi pengembangan energi
alternatif seperti biofuel di Indonesia sangatlah besar, dimana kebutuhan bahan
bakar minyak baik untuk kepentingan industri maupun individu memiliki
kecenderungan terus mengalami peningkatan. Perusahaan yang bergerak dalam
bidang biodiesel seperti PT Kreatif Energi Indonesia, PT Energi Alternatif, PT
Tranaco Utama, PT Eterindo Wahanatama, PT Molindo Raya Industrial, PT Astra
Agro Lestari Tbk. (Grup Astra), PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk. (Grup
Bakrie), Grup Sinar Mas, juga BUMN PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).
2). Industri Pendukung
a). Industri Jasa Pemasaran
Industri jasa pemasaran merupakan lembaga perantara pemasaran, seperti
pedagang pengumpul, distributor, pedagang besar, pedagang eceran, dan ekspotir.
Di tahun 2004 Lonsum mengkoordinasikan seluruh kegiatan pemasaran dan
penjualannya melalui kantornya di Singapura, mengerahkan segenap daya untuk
mengembangkan pangsanya di pasar internasional. Pada tahun 2004 Lonsum
berhasil melakukan diversifikasi pemasaran CPO sehingga mampu meningkatkan
jumlah pelanggan. Perkembangan ini berawal dari selesainya pembangunan
instalasi tangki timbun Sei Lais di Palembang, yang merupakan langkah awal
upaya Lonsum mengalihkan metode penjualan CPO di Sumatera Selatan dari ex-
pabrik ke ex-tangki timbun. Hasilnya perusahaan mampu menambah jumlah
pelanggan secara signifikan serta menikmati keuntungan dari perolehan harga
pasar CPO yang berlaku.
b). Industri Jasa Pendidikan, Pelatihan, Litbang dan Konsultasi
Kebutuhan akan permintaan pasar yang terus meningkat terhadap CPO
setiap tahunnya memungkinkan produksi minyak kelapa sawit di Indonesia untuk
terus ditingkatkan. Sejalan dengan perkembangan itu maka sektor perkebunan
kelapa sawit memerlukan ketersediaan tenaga kerja yang terus bertambah dengan
tingkat pengetahuan dan keterampilan yang memadai, mulai dari bagian teknis
agronomi/tanaman hingga proses pengolahan. Pada era persaingan bebas seperti
sekarang, tersedianya tenaga kerja yang terdidik dan terampil menjadi semakin
mutlak, karena dengan demikian dapat diharapkan mampu meningkatkan
produktivitas tanaman dan mutu CPO yang dihasilkan. Kenyataan membuktikan
bahwa tidak semua perkebunan di Indonesia mempunyai pusat pelatihan yang
sistimatis (training center). Hanya beberapa perkebunan besar swasta yang
memiliki lembaga ini di samping PTPN dengan LPP (Lembaga Pusat Pelatihan).
Sebagai upaya menangkap peluang ini, salah satu alternatif yang dapat
dilakukan adalah dengan mendirikan sebuah lembaga pelatihan tenaga kerja.
Pelatihan tenaga kerja ini dititikberatkan pada praktek kerja nyata di kebun dan
pabrik secara langsung. Dengan sistem seperti ini diharapkan agar materi yang
disampaikan di kebun dan pabrik dapat diterapkan secara langsung pada dunia
kerja secara nyata.
Citra Widya Education (CWE) adalah lembaga jasa pendidikan dan
pelatihan tenaga kerja yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit. CWE
menawarkan berbagai macam program pelatihan yang ditujukan mulai dari tingkat
operator, asisten, asisten kepala, sampai dengan tingkat manager. Program
pelatihan yang ditawarkan meliputi berbagai aspek pelatihan di bidang teknis,
manajemen dan kepemimpinan, administrasi sampai dengan quality control. CWE
juga mengemban misi yang berupaya agar lulusan-lulusannya memiliki
profesionalisme dalam bekerja sehingga secara tidak langsung dapat memberikan
Return of Investment (ROI) yang efektif dan efisien bagi perusahaan dengan
sumberdaya manusia yang menjunjung prinsip keselamatan kerja dan keamanan
lingkungan.
Hubungan CWE yang erat dengan para pelaku industri termasuk di
antaranya perkebunan kelapa sawit, supplier sarana pendukung perkebunan,
asosiasi perkebunan kelapa sawit, lembaga pendidikan, dan pusat penelitian serta
didukung dengan fasilitas pelatihan langsung di lapangan dengan tenaga pengajar
yang berasal dari kalangan praktisi perkebunan kelapa sawit jelas sangat
mendukung validity dan applicability program pelatihan kami.
CWE menjalin hubungan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang
memiliki perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di Sulawesi Selatan serta
Bengkulu sebagai tempat praktek lapangan. Jika sebagian besar pendidikan
akademik melakukan praktek yang terbatas pada simulasi di laboratorium dalam
kondisi ideal, maka sistem pelatihan di CWE mengambil tempat pada lokasi
aktual lengkap dengan kondisi lapangan sebagai salah satu nilai tambahnya. CWE
juga merupakan salah satu lembaga pelatihan yang pertama kali menggunakan
Career-Based Curriculum (CBC) dan dilengkapi dengan sistem pendidikan yang
menekankan know-why di samping know-how sehingga lulusan CWE memiliki
pengetahuan yang valid dan applicable dalam karirnya di industri. Keberadaan
CWE diharapkan akan memberikan manfaat bagi dunia industri pengolahan
kelapa sawit, sekaligus memberikan kontribusi untuk mengatasi permasalahan
mengenai Sumber Daya Manusia (SDM) perkebunan kelapa sawit Indonesia.
6.3.4 Struktur, Persaingan dan Strategi Industri CPO Nasional
Perkebunan kelapa sawit sebagai pemasok kelapa sawit di Indonesia
diusahakan oleh tiga bentuk pengusahaan yaitu Perkebunan milik Negara,
Perkebunan Swasta dan Perkebunan Rakyat. Jumlah pengusahaan perkebunan di
Indonesia sangat banyak khususnya yang diusahakan secara swadaya dan
Perkebunan Swasta. Jumlah pemasok kelapa sawit yang besar di Indonesia
menyebabkan harga kelapa sawit yang berflukuatif mengikuti ketentuan yang
berlaku. Harga yang diterima oleh para pengusaha kelapa sawit secara swadaya
sering mengikuti harga perusahaan pemilik pabrik kelapa sawit, sehingga harga
yang diterima oleh para petani lebih rendah dibandingkan oleh harga yang
ditetapkan oleh pemerintah setempat.
Industri CPO di Indonesia di dominasi oleh Perusahaan Swasta dan
Perusahaan Negara. Pabrik CPO di Indonesia saat ini mencapai 420 pabrik dan
akan terus bertambah seiring dengan pertambahan luas penanaman sehingga
jumlah perusahaan yang ada dalam industri CPO akan semakin banyak.
Perusahaan pengolahan CPO di Indonesia untuk saat ini didominasi oleh
perusahaan besar swasta (Astra, Asia Agro Lestari, Sinar Mas) yang mempunyai
modal besar untuk pembangunan unit pengolahan CPO Jumlah produsen CPO
yang tidak banyak menyebabkan struktur pasar CPO yang terbentuk adalah
struktur oligopoli, dengan produsen CPO yang dominan atau mendominasi
sumberdaya yang ada.
Produksi CPO pada awalnya untuk memasok kekurangan minyak nabati
di Indonesia. Peluang bisnis yang terbuka di pasar nasional dan internasional
menyebabkan komoditi CPO semakin banyak permintaan dari konsumen industri.
Pada saat ini minyak nabati di seluruh dunia terdapat 17 jenis dari komoditi yang
berbeda. Banyaknya jumlah minyak nabati menyebabkan terjadinya persaingan
diantara para produsen minyak nabati yang semakin ketat, selain dari sisi kualitas,
kuantitas maupun kontinyuitas produk.
Perkebunan kelapa di Indonesia saat ini menempati urutan pertama dalam
menghasilkan komoditi CPO. Negara di Indonesia diharapkan beberapa tahun
kedepan merupakan penghasil dan pengekspor CPO terbesar didunia menggeser
dominasi Negara Malaysia sebagai eksportir terbesar. Ancaman bagi pengusahaan
CPO Indonesia adalah dari Negara Malaysia yang mendirikan pabrik pengolahan
lebih lanjut dengan memasok CPO dari dalam Indonesia. Banyaknya ekspor CPO
Negara Indonesia dalam bentuk minyak mentah menyebabkan keuntungan yang
diperoleh Negara Malaysia menjadi lebih besar karena produk yang dihasilkan
mempunyai nilai tambah lebih.
Kebutuhan industri terhadap minyak nabati akan semakin meningkat
seiring dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan industri baru. Minyak
nabati yang mempunyai produksi besar dan mempunyai kandungan betakaroten
adalah minyak sawit (PPKS,2006). Konsumen sebagai pengguna minyak nabati
akan mencari komoditi yang dari sisi kualitas baik dan sisi kuantitas yang mampu
mencukupi kebutuhan industri. Industri mempunyai banyak pilihan untuk
membeli minyak nabati, akan tetapi ketersediaannya di pasaran masih belum
pasti. Kelapa sawit mampu menghasilkan buah sepanjang tahun dan tanaman ini
tahan terhadap musim kering di bandingkan dengan tanaman penghasil minyak
nabati lainnya.
Kekuatan pemasok terhadap harga pasar CPO di dalam negeri dan di
pasar internasional dipengaruhi oleh harga yang berlaku di pasar berjangka
Rotterdam. Pemasok CPO di dalam negeri mengikuti ketentuan harga yang
ditetapkan oleh pemerintah lewat kebijakannya setiap bulannya dengan mengikuti
pergerakan harga referensi dari Rotterdam. Dengan penetapan harga yang sudah
diatur sehingga menyebabkan posisi tawar pemasok CPO yang lemah di sampiang
adanya produk subtitusi minyak CPO.
Strategi yang ada saat ini untuk mendukung perkembangan industri CPO
Indonesia yaitu :
1.
Strategi Produk
Produk yang sesuai dengan standar mutu akan mampu bersaing dengan
produk yang sama dari negara lain. Pada saat ini hampir 90 persen CPO
Indonesia diekspor dalam bentuk mentah dan 10 persen untuk produk
turunan kelapa sawit. Berbagai syarat tersebut antara lain adalah kadar
FFA (free Fatty Acid) berkisar antara 2-5 persen dan mengandung
betakaroten tinggi diatas 500 ppm. CPO merupakan minyak mentah
sawit yang masih perlu dilakukan pengolahan untuk menjadi suatu
produk. Besarnya ekspor kelapa sawit dalam bentuk olahan masih
rendah, karena rata-rata kebutuhan industri dinegara konsumen
membutuhkan CPO sebagai bahan baku pengganti bahan baku lain yang
harganya lebih tinggi. Selain itu dengan sarana dan prasarana pendukung
industri hilir yang lengkap serta dukungan teknologi negara kita masih
mendominasi dalam bentuk CPO. Strategi pengembangan poduk CPO
dapat dilakukan dengan pengolahan CPO lebih lanjut atau diversivikasi
produk sehingga nilai jual menjadi lebih tinggi.
2.
Strategi Harga
Harga yang tinggi untuk komoditi CPO di pasar internasional akan
menyebabkan produsen meningkatkan penjualannya. Pemasaran keluar
negeri dapat dilakukan melalui pasar berjangka, seperti yang dilakukan
oleh PT Lonsum, selama tahun 2005-2006 melakukan penjualan CPO
melalui pasar berjangka. Penjualan CPO hasil PT Lonsum ke pasar dunia
relatif stabil karena mekanisme penjualan yang digunakan adalah sisitem
penjualan berjangka atau kontrak 6 bulan kedepan, oleh karena itu
meskipun harga dunia melemah, harga penjualan CPO PT Lonsum stabil.
Peranan pemerintah dalam menetapkan harga dalam negeri sangat
mempengaruhi akan besaran keuntungan yang akan diperoleh para
pengusahaan kelapa sawit. Untuk mengatasi lonjakan harga luar negeri
yang sering berfluktuasi karena CPO sebagai salah satu minyak nabati
yang banyak digunakan sebagai bahan baku biodiesel, pemerintah
menetapkan harga dan menetapkan pajak ekspor. Kebijakan ini
merupakan salah satu regulasi pemerintah agar pasokan kebutuhan CPO
dalam negeri tercukupi. Melalui kebijakan DMO (Domestic Market
Obligation) pemerintah menginstruksikan kepada para pengusaha kelapa
sawit agar kebutuhan CPO dalam negeri tercukupi lebih dahulu. Dengan
harga yang tergolong tinggi dipasaran internasional banyak pengusaha
yang lebih tertarik menjual CPO keluar negeri.
3.
Strategi Promosi
Akses Informasi pasar kelapa sawit sangat penting bagi pengetahuan
konsumen industri pengolah kelapa sawit. Melalui promosi yang
dilakukan oleh produsen, informasi komoditas yang ditawarkan dapat
dikenal oleh para konsumen dalam maupun luar negeri. Berbagai macam
informasi melalui promosi dapat diperoleh melaui berbagai media antara
lain iklan surat kabar, iklan elektronik (internet, televisi), seminar dan
pameran.
Adanya berbagai isu negatif mengenai industri CPO dalam negeri
mempengaruhi penjualan CPO keluar negeri. Kurangnya informasi dan
promosi di luar negeri sehingga menyebabkan banyak kritik dari LSM di
Eropa menyangkut konversi hutan menjadi lahan perkebunan sehingga
berdampak pada climate change dan banyaknya flora serta fauna yang
dikorbankan untuk tujuan pembangunan lahan perkebunan kelapa sawit.
Mengatasi isu yang muncul pemerintah melakukan upaya yaitu
mengirimkan delegasinya yang terdiri dari unsur pemerintah dan
pengusaha kelapa sawit (Dewan Minyak Sawit Indonesia). Berbeda
dengan Malaysia, mengenai isu negatif yang beredar pemerintah negara
ini sudah membentuk suatu organisasi yang mengurusi promosi yang
dibiayai oleh para pengusaha eksportir kelapa sawit yaitu Malaysia Palm
Oil Board.
4.
Strategi Distribusi
Pemasaran CPO di dalam dan ke luar negeri belum mempunyai batasan
atau kuota. Setiap produsen CPO yang mampu menghasilkan CPO dan
mempunyai jaringan kerjasama dengan para distributor melakukan
ekspor, kerena permintaan minyak nabati di pasar internasional yang
tinggi. Besarnya ekspor CPO akan mempengaruhi ketersediaan CPO di
dalam negeri. Perusahaan besar yang mempunyai kebun dan pabrik
pengolahan sendiri mendistribusikan hasil produknya didalam maupun ke
luar negeri sudah mempunyai kantor pemasaran, sehingga saluran
tataniaganya efektif dibandingkan dengan perusahaan yang tidak
mempunyai kantor pemasaran dan hanya mengandalkan distributor
sehingga memperpanjang saluran tataniaga yang berakibat berkurangnya
margin keuntungan yang diperoleh perusahaan tanpa kantor pemasaran.
Berdasarkan keputusan Menteri Pertanian No 339/Kpts/PD.300/5/2007
mengenai pasokan CPO untuk kebutuhan dalam negeri guna stabilisasi
harga minyak goreng. Dengan keputusan ini, pengusaha yang tergabung
dalam organisasi Gapki dan Non Gapki wajib menyalurkan CPO kepada
kepada Asosiasi Minyak Nabati Indonesia untuk diolah menjadi minyak
goreng. Dengan adanya keputusan ini, pemerintah mewajibkan
penyaluran distribusi CPO pada bulan Mei 2007 sebesar 97.525 dan pada
bulan Juni 2007 sebesar 102.800 agar mampu menstabilkan harga
minyak goreng didalam negeri.
6.3.5 Peran Pemerintah
Kebijakan pemerintah mengembangkan bahan bakar nabati (BBN)
sebagai altenatif bahan bakar minyak (BBM) memberi peluang besar bagi industri
kelapa sawit untuk lebih berkembang. Sesuai dengan target pemerintah, pada
2010 mendatang sekitar 10 persen dari kebutuhan bahan bakar dalam negeri akan
disuplai dengan BBN, dimana tujuh persen diantara berbasis minyak sawit atau
dikenal sebagai biodiesel. Untuk itu diperlukan tambahan pasokan atau
peningkatan produksi kelapa sawit dalam jumlah besar. Dalam rangka mencapai
target proyek BBN, pemerintah antara lain akan mendorong investasi di sektor
sawit. Secara keseluruhan pemerintah telah mencadangkan 24,4 juta ha lahan
hingga 2010 mendatang. Rinciannya, peluasan lahan perkebunan lima juta hektar,
revitalisasi perkebunan kelapa sawit dua juta hektar, rehabilitasi lahan sembilan
juta hektar dan reformasi agraria delapan juta hektar.
Kebijakan pemerintah ini mendapat sambutan positif seperti terlihat dari
minat investor yang cukup besar untuk ikut serta dalam proyek pengembangan
BBN ini. Disamping itu, pemerintah juga telah memasukan industri kelapa sawit
ke dalam sektor prioritas bersama industri lainnya seperti tekstil, kehutanan,
sepatu, elektronika, kelautan, petrokimia. Hal ini tidak terlepas dari potensi dan
peran strategis yang bisa dicapai oleh sektor ini dalam pembangunan nasional.
Untuk menunjang pertumbuhan industri kelapa sawit pemerintah juga telah
mengeluarkan kebijakan antara lain menghapus pengenaan PPN (10 persen)
dalam pengolahan CPO dan masuk dalam industri yang mendapat fasilitas insentif
PPh (tax alowance) berdasarkan revisi Peraturan Pemerintah No. 148. Kebijakan
tersebut diharapkan akan dapat lebih memacu pertumbuhan sektor ini sehingga
peran dan kontribusinya dalam perekonomian nasional terus meningkat.
Pemerintah juga menyadari bahwa kebijakan tersebut bukan satu-satunya yang
dapat menjadi faktor stimulasi, tetapi masih banyak kebijakan yang harus terus
menerus dikembangkan seperti penyediaan lahan, kompetensi SDM dan lain-lain.
Dialog dan diskusi dengan para pemangku kepentingan perlu terus dilakukan
secara kontinyu.
Industri kelapa sawit mempunyai rantai bisnis yang cukup panjang dan
saling terkait. Mulai dari penyiapan lahan, pembibitan, supporting industri,
pengolahan di industri hulu sampai pada industri hilir. Kebijakan pengembangan
sektor ini benar-benar harus melalui koordinasi yang kuat antar instansi terkait
sehingga bisa mencapai hasil yang optimal bagi pembangunan ekonomi nasional.
Oleh karena itu sektor usaha ini, masih membutuhkan kebijakan yang lebih tajam
dan komprehensif untuk menghadapi kendala yang masih menghadang mulai dari
hulu (sektor perkebunan), manufaktur (pengolahan) dan perdagangan.
6.3.6 Peran Kesempatan
Perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini masih merupakan salah
satu usaha yang menjadi andalan sektor pertanian untuk berperan dalam
perekonomian nasional. Penyerapan tenaga kerja dan peluang invetasi yang
terbuka di Indonesia menyebabkan perkebunan kelapa sawit masih merupakan
primadona dari sektor pertanian. Devisa yang didapat dari ekspor minyak kelapa
sawit dan turunannya pada tahun 2007 mencapai US$ 4,8 miliar. Peluang
pengembangan kelapa sawit di tanah air masih terbuka karena didukung oleh
sumberdaya dan teknologi, disamping juga peluang untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat baik dalam negeri maupun ekspor9.
kebutuhan manusia akan produk-produk antara lain untuk minyak
makanan ,oleochemical dan biofuel yang belakangan ini cenderung semakin
meningkat. Dengan demikian pengembangan kelapa sawit perlu terus kita lakukan
pada
daerah-daerah
yang
secara
agro-ekonomis
memungkinkan
pengembangannya. Walau prospek kelapa sawit saat ini sangat baik, tetapi
dihadapkan pada citra negatif dalam hal pengembangan, dimana dalam
pengembangannya tidak mengikuti kaidah-kaidah pelestarian lingkungan hidup,
terlebih pemerintah Uni Eropa dan Amerika memberlakukan keberlanjutan biofuel
yang berpotensi dapat menghambat ekspor minyak kelapa sawit ke Eropa.
9
Beritadotcom.blog.com Indonesia Produsen kelapa Sawit Terbesar tapi dikuasi Malaysia (Mentan
:Indonesia Produsen Kelapa Sawit Terbesar didunia). Diakses 5 maret 2008
VII STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI CPO INDONESIA DI
PASAR INTERNASIONAL
7.1 Perumusan Strategi Peningkatan Dayasaing Industri CPO Indonesia
Dalam menetapkan strategi dayasaing industri CPO digunakan alat
analisis SWOT dengan menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman
dari industri CPO Indonesia. Poin dalam faktor-faktor tersebut diperoleh dari
analisis keunggulan kompetitif, struktur industri CPO di pasar internasional dan
komparatif yang telah dilakukan sebelumnya. Setelah menganalisis keempat
faktor yang ada dibentuklah suatu matriks SWOT. Matriks tersebut mencoba
untuk mempertemukan keempat faktor yang ada untuk melahirkan strategi yang
saling mendukung.
Strategi S-O dirumuskan dengan menggunakan kekuatan dari industri
CPO nasional untuk memanfaatkan peluang yang ada, sedangkan strategi W-O
dirumuskan dengan meminimalkan kelemahan dari industri CPO nasional untuk
memanfaatkan peluang. Strategi S-T dirumuskan dengan menggunakan kekuatan
industri CPO nasional untuk mengatasi ancaman, sedangkan strategi W-T
dirumuskan dengan meminimalakan kelemahan dan menghindari ancaman dari
lingkungan eksternal.
Perumusan strategi yang ada dilakukan melalui pembentukan matriks
SWOT, dimana matriks ini meliputi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman
yang telah diidentifikasikan sebelumnya. Melalui matriks SWOT dapat
dirumuskan alternatif strategi yang dapat digunakan untuk pengembangan industri
CPO nasional yang berdayasaing tinggi dipasar internasional.
7.1.1 Faktor Eksternal
7.1.1.1 Peluang
1) Meningkatnya permintaan komoditi berbahan baku CPO dan turunannya
di pasar nasional dan internasional.
Perkembangan kebutuhan masyarakat lokal dan internasional akan bahan
bakar nabati akan semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah
penduduk dunia. Menurut Sumber Pusat Penelitian Kelapa Sawit dan
Ditjen Perkebunan besarnya produksi CPO akan meningkat dari tahun
2008 hingga tahun 2025. Pada tahun 2008 besarnya produksi CPO sebesar
17,8 juta ton dengan jumlah ekspor mencapai 13,08 juta ton, sedangkan
untuk konsumsi dalam negeri mencapai 4,22 juta ton.
Tabel 21 Ramalan Produksi, Ekspor dan Konsumsi Dalam Negeri Tahun
2008-2025 ( 000 Ton)
Tahun
Produksi
Ekspor
Konsumsi
D.Negeri
2008
17.800
13.088
4.227
2009
19.100
13.507
4.502
2010
20.400
14.048
4.795
2015
24.800
17.257
6.570
2020
27.400
18.498
8.028
2025
30.200
18.684
8.109
Sumber : Direkorat Perkebunan dan PPKS, 2007
2) Perundang-undangan serta peraturan untuk CPO baik skala nasional dan
internasional.
Dengan diberlakukannya peraturan yang bertaraf nasional (SNI) sehingga
produk CPO mempunyai kualitas dan standar yang baik. Konsumen atau
industri hilir khususnya dari luar negeri pengguna komoditi CPO selain
memperhatikan standar nasional juga memperhatikan persyaratan RSPO
(Roundtable on Sustainable Palm Oil) yaitu sistem perkebunan kelapa
sawit yang berkelanjutan. Dengan adanya aturan ini menyebabkan semua
produsen CPO akan berusaha melaksanakan dengan baik peraturan ini dan
merupakan peluang bagi produsen negara Indonesia agar mampu
memanfaatkan kondisi ini.
3) Perkembangan harga CPO yang cenderung meningkat dan peningkatan
konsumsi produk berbahan baku CPO.
Harga CPO yang cenderung meningkat di pasaran internasional
menyebabkan banyaknya ekspor produsen keluar negeri. Naiknya harga
CPO didorong oleh kebutuhan industri akan komoditi ini semakin
meningkat sedangkan produksi komoditi subtitusi kelapa sawit seperti
kedelai dan bunga matahari terbatas akibat adanya bencana alam.
Tingginya permintaan CPO untuk diolah lebih lanjut menjadi produk hilir
salah satunya produk minyak goreng akan semakin meningkatkan
permintaan CPO di pasar nasional dan internasional. Hal ini mejadi
peluang bagi produsen CPO dan produsen hilir CPO.
4) Perkembangan teknologi produksi dan informasi.
Pemanfaatan teknologi dan informasi untuk pengembangan CPO sangat
penting guna meningkatkan dayasaing. Teknologi menghasilkan produksi
CPO dengan ketersediaan alat pengolahan TBS (tandan Buah Sawit) yang
semakin meningkat dimana pabrik pengolahan TBS yang dapat mengolah
30-40 TBS/jam dapat ditingkatkan menjadi 60 TBS/jam.
Arus informasi melalui media sarana elektronik dan media cetak akan
membantu para produsen mengetahui perkembangan kegiatan dan keadaan
perkelapasawitan nasional dan internasional.
5) Ketertarikan investor dalam dan luar negeri terhadap industri CPO.
Peluang pengembangan CPO di Indonesia masih terbuka lebar karena
masih tersedianya lahan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Masih
banyaknya lahan yang luas sehingga akan menarik para investor
menanamkan modalnya untuk memperoleh keuntungan, selain itu
ketertarikan investor juga dikarenakan untuk memasok kebutuhan pabrik
yang dimilikinya dengan bahan baku CPO.
7.1.1.2 Ancaman
1) Stabilitas politik, keamanan, dan pemerintahan nasional dan kebijakan
pemerintah.
Kondisi keamanan negara dan politik yang kondusif akan mempengaruhi
minat investor menanamkan modalnya didalam negeri. Kurang pastinya
keamanan dan politik nasional, menyebabkan konflik sosial di masyarakat
masih terjadi. Selain itu kebijkan pemerintah yang tidak berpihak kepada
investor dengan dikeluarkanya kebijakan pemerintah akan menyebabkan
ancaman bagi keberlanjutan investasi perkebunan kelapa sawit.
2) Tingkat inflasi dan suku bunga yang berlaku.
Naiknya harga barang dan pangan dunia saat ini diakibatkan oleh inflasi
yang tinggi sehingga menyebabkan daya beli masyarakat akan menurun.
Besarnya inflasi dalam negeri dan luar negeri akan mempengaruhi jumlah
konsumsi masyarakat terhadap kebutuhan CPO sebagai bahan baku
minyak goreng yang berdampak terhadap penurunan permintaan.
Selain itu dampak yang ditimbulkan oleh suku bunga yang tinggi akan
mempengaruhi masuknya investasi kedalam negeri, karena apabila suku
bunga yang tinggi akan mempengaruhi besarnya peminjaman modal oleh
investor kepada bank.
3) Perkembangan bisnis berbahan baku non kelapa sawit.
Banyaknya energi alternatif yang dikembangkan saat ini merupakan
dampak dari kemajuan teknologi dan informasi. Salah satu produk
berbahan baku selain CPO untuk sumber energi adalah jagung, ubi yang
digunakan sebagai bioetanol. Dengan banyaknya energi alternatif akan
menyebabkan konsumen akan mencari produk yang berkualitas baik dan
ramah lingkungan. Hal ini merupakan ancaman bagi keberlangsungan
perkebunan
kelapa
sawit
apabila
tidak
mampu
meningkatkan
dayasaingnya.
4) Penerapan pajak ekspor.
Pemerintah mempunyai peranan untuk mencukupi kebutuhan rakyat untuk
kehidupannya. Penyediaan kebutuhan makanan yang murah serta
terjangkau oleh semua lapisan masyarakat adalah tuntutan masyarakat.
Salah satu kebutuhan masyarakat untuk sembilan bahan pokok adalah
minyak goreng. Minyak goreng merupakan produk turunan dari CPO yang
telah diolah lebih lanjut. Mahalnya harga CPO akibat dari kurs dollar yang
tinggi serta kebutuhan dunia internasional akan minyak nabati yang besar
sehingga menyebabkan banyak produsen mengekspor CPO keluar negeri.
Untuk mengatasi permasalahan ini pemerintah dengan kekuasaan yang
dimikinya menerapkan pajak ekspor sebesar 6,5 persen, sehingga
membuat keuntungan dan penerimaan produsen CPO menurun.
5) Biaya pupuk dan pestisida yang tinggi.
Perkembangan harga input perkebunan kelapa sawit seperti pupuk dan
pestisida yang tinggi akibat saluran distribusi yang tidak merata dan
dicabutnya subsidi kepada perkebunan kelapa sawit menyebabkan
ancaman terhadap perkebunan kelapa sawit. Tingginya harga input akan
memberatkan para pengusahaan kelapa sawit karena akan menambah
biaya dan mengurangi penerimaan.
6) Persaingan dengan Negara Malaysia.
Negara Malaysia merupakan negara pesaing untuk ekspor komoditi CPO
di pasar internasional. Banyaknya ekspansi perusahaan-perusahaan dari
Malaysia untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit di Indonesia
akan menyebabkan mengalirnya minyak CPO Indonesia ke Negara
Malaysia untk diolah lebih lanjut. Semakin banyaknya CPO yang mengalir
ke Malaysia maka akan menguntungkan Malaysia karena CPO akan diolah
menjadi produk yang mempunyai nilai tambah
7) Isu terselubung (black campaign) terhadap produk CPO Indonesia akibat
dari pembukaan lahan yang menyebabkan global warming.
Kebutuhan industri akan minyak nabati sebagai bahan pangan dan non
pangan akan semakin meningkat. Pertumbuhan konsumsi CPO di pasar
internasional yang tinggi menyebabkan Indonesia akan memenuhi
permintaan pasar dengan menambah luasan penanaman perkebunan.
Perluasan perkebunan mendapat reaksi keras dari Negara di Eropa karena
dapat merusak keanekaragaman hayati dan menyebabkan pemanasan
gobal.
7.1.2 Faktor Internal
7.1.2.1 Kekuatan
1) Dukungan sumber modal.
Peranan sumberdaya modal bagi keberlangsungan dan pengembangan
kelapa sawit sangat penting. Pemerintah memberikan bantuan kepada
petani plasma dalam bentuk bantuan kredit lunak dengan total bantuan 12
triliun dan pemberian subsidi bunga kredit. Untuk sektor swasta dukungan
dari modal asing merupakan sumber pendanaan perkebunannya.
2) Peranan asosiasi kelapa sawit.
Perkembangan informasi dan teknologi yang pesat dibutuhkan peranan
asosiasi yang mampu menyampaikan informasi kepada anggotanya.
Asosiasi yang menaungi masing-masing kepentingan dari stakeholders
sudah banyak terbentuk antara lain Gapki yang merupakan asosiasi bagi
para pengusaha dan untuk para petani adalah Asosiasi petani kelapa sawit
(Apsakindo).
3) Sumberdaya lahan luas.
Negara indonesia dengan lahan yang luas dan iklim yang mendukung
menyebabkan
negara
Indonesia
merupakan
salah
satu
tempat
perkembangan pengusahaan kelapa sawit. Potensi pengembangan kelapa
sawit di indonesia terdapat lebih dari 26,3 juta hektar yang mempunyai
potensi untuk perluasan penanaman kelapa sawit di 19 provinsi. Untuk
revitalisasi perkebunan kelapa sawit sampai tahun 2010 mencapai 2 juta
hektar, dan akan terus bertambah luasan perkebunan akibat kebutuhan
akan minyak nabati sebagai bahan bakar alternatif.
Tabel 22 Distribusi Lahan Potensial untuk Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia.
No
1
2
NAD
Sumatera Utara
Provinsi
Potensi Lahan Untuk Perluasan (Ha)
384.87
344.740
3
Sumtera barat
4
Riau
2.563.150
5
Jambi
1.818,110
6
Sumatera Selatan
1.483.950
7
Bangka belitung
593.030
8
Bengkulu
208.790
9
Lampung
336.870
10
Jawa Barat
224.700
11
Banten
12
Kalimantan Barat
1.681.180
13
Kalimantan Tengah
3.610.810
14
Kalimantan Selatan
1.162.950
15
Kalimantan Timur
4.700.330
16
Sulawesi Tengah
256.230
17
Sulawesi Selatan
192.370
18
Sulawesi Tenggara
19
Irian jaya
Luas total
355.810
63.740
10.260
6.331.120
26.323.110
Sumber : Dirjen Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian, 2007
4) Produk yang berstandart nasional dan internasional.
Produksi CPO Indonesia secara nasional harus memenuhi standar nasional
indonesia atau SNI 01-2901-2006. Besarnya produk CPO yang berstandart
nasional dan internasional terlihat dari besarnya jumlah CPO Indonesia
yang diekspor keluar negeri.
5) Teknik pengembangan budidaya kelapa sawit.
Bibit kelapa sawit merupakan cikal bakal pohon sawit yang menghasilkan
minyak kelapa sawit. Saat ini terdapat tujuh produsen pembibitan yang
diakui untuk menghasilkan bibit berkualitas. Teknik budidaya yang
dikembangkan oleh produsen benih kelapa sawit yaitu dengan melakukan
perkawinan silang antara indukan-indukan unggul antara lain psifera,
delidura dan tenera.
6) Besarnya jumlah dan ketersediaan tenaga kerja perkebunan.
Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa
merupakan potensi tenaga kerja yang besar. Dengan besarnya jumlah
tenaga kerja dan diikuti oleh pembangunan sektor perkebunan dengan
perluasan dan peremajaan perkebunan sehingga membutuhkan tenaga
kerja yang besar.
7) Ketersediaan dan kemudahan akses informasi.
Pembangunan perkebunan sawit yang profesional harus didukung oleh
kemudahan akses informasi oleh konsumen yang berkepentingan.
Pembuatan situs resmi terkait perusahaan perkebunan kelapa sawit sangat
banyak
dilakukan
untuk
mempermudah
akses
konsumen
untuk
memperoleh informasi mengenai besarnya produksi perusahaan dan halhal yang terkait mengenai perusahaan.
7.1.2.2 Kelemahan
1) Lokasi pabrik dan kebun yang berjauhan.
Perusahaan perkebunan rata-rata mempunyai lahan perkebunan yang luas,
begitu juga dengan perkebunan negara. Besarnya lahan membuat jarak
pabrik dengan kebun yang berjauhan sehingga menyebabkan dalam proses
pengantaran kelapa sawit ke pabrik pengolahan membutuhkan waktu yang
lama.
2) Tingkat upah yang masih rendah.
Produktivitas tenaga kerja mempengaruhi akan besarnya produksi.
Perkebunan kelapa sawit membutuhkan tenaga kerja yang besar untuk
mengelola lahan. Rata-rata gaji yang rendah diberikan oleh perusahaan
menyebabkan tenaga kerja mempunyai motivasi yang rendah sehingga
akan mempengaruhi produksi dan produkstivitas CPO.
3) Rendahnya pendidikan pelaku industri.
Implementasi teknologi akan semakin cepat apabila sumberdaya manusia
yang mempunyai pengetahuan dan pendidikan.
Hambatan untuk
implementasi teknologi diakibatkan oleh pendidikan para palaku industri
yang masih rendah dengan tingkat pendidikan rata-rata SD sampai dengan
SMU.
4) Kurangnya promosi penjualan produk.
Besarnya produksi CPO Indonesia akibat dari pengaruh perluasan
penanaman yang semakin bertambah setiap tahunnya. Pengembangan
perluasan penanaman kelapa sawit yaitu pada lahan hutan yang bukan
hutan alam/cagar alam dan lahan tidur. Negara di Eropa menentang
pembukaan lahan karena akan mempengaruhi pemanasan global dan
banyaknya satwa yang mati. Kurangnya komunikasi dan promosi antar
negara produsen dan negara konsumen akan mempengaruhi permintaan
konsumen terhadap CPO Indonesia.
5) Sarana dan prasarana serta pabrik pengolahan yang masih kurang
Sarana dan prasarana pembangunan perkebunan kelapa sawit masih
kurang. Sarana dan prasarana yang masih kurang untuk mendukung
dayasaing CPO Indonesia adalah jalan yang belum permanen, listrik, serta
pelabuhan. Masih tidak meratanya pabrik pengolahan kelapa sawit
menyebabkan potensi produksi kelapa sawit belum teroptimlakan dengan
baik.
Gambar 11 Matriks Analisis SWOT Industri CPO Indonesia
Internal
Eksternal
Peluang
(Oppurtunities-O)
1. Meningkatnya permintaan
komoditi berbahan baku CPO
dan turunannya di pasar
nasional dan internasional
2. Perundang-undangan serta
peraturan untuk CPO baik
skala nasional dan
internasional
3. Perkembangan harga CPO
yang cenderung meningkat dan
peningkatan konsumsi produk
berbahan baku CPO
4. Perkembangan teknologi
produksi dan informasi
5. Ketertarikan investor dalam
dan luar negeri terhadap
industri CPO
Ancaman (Threaths-T)
1. Stabilitas politik, keamanaan,
dan pemerintahan nasional dan
kebijakan pemerintah
2. Tingkat Inflasi dan suku bunga
yang berlaku
3. Perkembangan bisnis berbahan
baku non kelapa sawit
4. Penerapan pajak ekspor
5. Biaya pupuk dan pestisida
yang tinggi
6. Persaingan dengan Negara
Malaysia
7. Isu terselubung (black
campaign) terhadap produk
CPO Indonesia akibat dari
pembukaan lahan yang
menyebabkan global warming
Kekuatan (Strengtht-S)
1. Sumberdaya lahan luas
2. Dukungan Sumber modal
3. Peranan Asosiasi kelapa sawit
4. Produksi CPO yang berstandar
nasional dan internasional
5. Teknik pengembangan budidaya
kelapa sawit
6. Besarnya jumlah dan ketersediaan
tenaga kerja perkebunan
7. Ketersediaan dan kemudahan
akses informasi
Kelemahan
(Weaknesses-W)
1. Lokasi pabrik dan kebun
sawit yang berjauhan
2. Tingkat upah tenaga kerja
pekerja industri kelapa sawit
yang rendah
3. Rendahnya pendidikan
pelaku industri perkebunan
4. Kurangnya promosi
penjualan produk CPO
5. Sarana dan prasarana serta
pabrik pengolahan yang
masih kurang
Strategi S-O
1.
2.
3.
Optimalisasi lahan
perkebunan untuk
peningkatan dayasaing
CPO di pasae nasional
dan internasional
(S1,S2,S4,S5,S6,O1,O5)
Pengembangan sistem
pemasaran produk
industri CPO
(S3,S7,O1,O4,O5)
Pengembangan industri
hulu dan hilir dan
peningkatan nilai tambah
kelapa sawit (S2,O3,O5)
Strategi W-O
1. Pengembangan SDM
pelaku industri kelapa
sawit dengan pelatihan
(W3,O2,O4)
2. Pembangunan sarana dan
prasarana perkebunan
(W1, W5,O5)
3. Pemberian insentif kepada
pekerja perkebunan
(W2,O2)
4. Peningkatan kegiatan
penyuluhan (W3,O4)
Strategi S-T
1.
2.
3.
4.
Melakukan hedging
terhadap produk CPO
Indonesia
(S4,T1,T2,T3,T6)
Pengkajian ulang
terhadap pajak ekspor
(S3,T5)
Pengembangan
perkebunan rakyat melalui
program revitalisasi
perkebunan (S1,S2,S6,T3)
Melakukan promosi
sertifikat RSPO
(Roundtable on
Suistanable Palm Oil) dan
peningkatan kualitas para
produsen CPO (S4,T4,T7)
Strategi W-T
1.
Meningkatkan pola
kerjasama dengan
produsen negara lain dan
pelanggan melalui
promosi penjualan
(W4,T1)
A.
Strategi S – O
1. Optimalisasi lahan kelapa sawit untuk menghasilkan CPO yang berkualitas
dengan cara mengembangkan program Best Management Practices melaui
panca
usaha
tani.
Luas
perkebunan
kelapa
sawit
yang
dapat
dikembangakan di Indonesia sebesar 18,2 juta hektar, sehingga perlu
kegiatan yang dapat meningkatkan optimalisasi lahan. Adapun kegiatan
panca usaha tani untuk meliputi ;
a.
Penggunaan bahan tanaman kelapa sawit unggul yang memiliki
produktivitas tinggi, yaitu :
1)
Benih dengan potensi produksi minyak tinggi disertai dengan
berbagai karakter sekunder yang dapat memenuhi kebutuhan
konsumen.
2)
Klon tanpa abnormalitas yang produksi minyaknya melebihi
produksi minyak asal benih.
b.
Pemberantasan hama khususnya pengendalian penyakit pangkal
batang yang disebabkan oleh Ganoderma melalui perakitan tanaman
kelapa sawit toleran terhadap serangan Ganoderma.
1)
Melaksanakan teknik pengolahan lahan perkebunan yang baik
dengan menjaga kualitas lingkungan dengan cara perbaikan sifat
fisik, kimia dan biologi tanah menuju pengusahaan kelapa sawit
yang berkelanjutan.
2.
2)
Pengaturan irigasi.
3)
Pemupukan yang teratur dan sesuai dosis secara kontinyu.
Pengembangan
sistem
pemasaran
produk
industri
CPO
yang
komprehensif dan terpadu sehingga dapat meningkatkan pangsa pasar
industri dipasar internasional, melalui 4 faktor yaitu: Promotion, Product,
Place, dan Price.
3. Pengembangan industri hulu dan hilir serta peningkatan nilai tambah
kelapa sawit. Dengan strategi ini diharapkan ekspor negara Indonesia tidak
hanya didominasi oleh CPO akan tetapi dalam bentuk produk yang
mempunyai nilai tambah. Dengan pengembangan industri hilir selain
keuntungan yang diperoleh lebih besar, penciptaan lapangan kerja baru
merupakan manfaat lain dari pengembangan industri ini. Penerapan
strategi ini dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu ;
a) Pendirian industri pabrik kelapa sawit terpadu dengan skala 5 – 10
ton TBS/jam diareal yang belum memiliki pabrik dan pendirian
pabrik minyak goreng sawit (MGS) skala kecil disentra produksi
CPO yang belum memiliki pabrik MGS.
b) Peningkatan
kerjasama
dibidang
promosi,
penelitian
dan
pengembangan SDM dengan negara penghasil CPO lainnya.
c) Fasilitasi pengembangan biofuel sebagai bahan bakar alternatif
masa depan.
B.
Strategi W – O
1. Pengembangan SDM pelaku industri kelapa sawit. Masih rendahnya
kemampuan kualitas dan kuntitas SDM, khususnya pada sektor industri
hulu dan hilir kelapa sawit menyebabkan perlu dilakukan kegiatan yang
dapat meningkatkan kualitas/kualifikasi SDM dari berbagai tingkatan.
Kegiatan ini meliputi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dari
berbagai disiplin ilmu, teknologi dan praktek industri.
a) Peningkatan keterampilan petani, dilakukan berbagai kegiatan
pelatihan, studi banding, magang, kunjungan kelapangan dan
berbagai kegiatan lainnya.
b) Peningkatan kemampuan karyawan perusahaan. Bersama dengan
berbagai pemangku kepentingan mengembangkan upaya untuk
memperoleh kemudahan dalam ketersediaan tenaga kerja sesuai
tingkat kebutuhan, rekruitmen karyawan dan berbagai pelatihan
penjenjangan.
2. Pembangunan sarana dan prasarana perkebunan, merupakan salah satu
langkah untuk mengatasi dari keterbatasan pengembangan perkebunan
kelapa sawit. Di Indonesia masih terkendala dengan terbatasnya jumlah
pabrik yang tidak merata di seluruh daerah pengembangan perkebunan,
sehingga investasi dari para investor dalam dan luar negeri sangat penting
dalam bentuk pembangunan pabrik, jembatan dan jalan. Pembangunan
pabrik pengolahan merupakan sarana penting bagi pengusahaan kelapa
sawit.
3. Pemberian insentif kepada pekerja, adalah salah satu cara meningkatkan
motivasi kerja dari karyawan. Rendahnya gaji yang diterima oleh para
pekerja berimplikasi terhadap produktivitas, pemberian insentif pada
karyawan yang berprestasi merupakan salah satu cara untuk memacu
motivasi karyawan bekerja lebih giat. Seiring dengan meningkatnya
kebutuhan karyawan maka perusahaan setiap tahun perlu mengkaji upah
karyawan dan lebih memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerja
karyawan.
4. Peningkatan kegiatan penyuluhan. Kegiatan sosialisasi yang dilakukan
oleh para penyuluh perlu ditingkatkan untuk penyampaian teknologi dan
hasil penelitian kepada pekebun. Banyaknya kendala untuk mencapai
produksi dan produktivitas optimal maka peranan penyuluh sangat
penting, antara lain
a) Sosialisasi dan penerapan SNI mutu benih dan sistem pengendalian
benih untuk menghindari pemalsuan benih.
b) Sosialisasi dan mendorong pekebun untuk dapat menerapkan
prinsip dan kriteria Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)
kepada pekebun.
c) Pengembangan
kesadaran
dan
kemampuan
petani
dalam
pengendalian Organisme Penggangu Tumbuhan (OPT) kelapa
sawit.
d) Pendampingan dan pengawalan implementasi teknologi dan
kelembagaan.
C.
Strategi S – T
1. Melakukan hedging terhadap produk CPO Indonesia, adalah salah strategi
untuk melindungi nilai produk CPO. Dengan hedging, produsen eksportir
CPO dapat melakukan kesepakatan harga penjualan produk untuk
beberapa waktu kedepan dengan konsumen internasional, sehingga harga
yang diterima oleh produsen tidak berpengaruh terhadap perubahan atau
gejolak. Hedging dilakukan pada bursa berjangka atau future market
dimana pengiriman produk dilakukan pada waktu akan datang.
2. Pengkajian ulang terhadap pajak ekspor. Pengenaan pajak ekspor yang
tinggi oleh pemerintah menyebabkan keuntungan yang diterima oleh
produsen menjadi berkurang, selain itu dengan pengenan pajak ekspor
dayasaing CPO Indonesia menjadi turun sehingga perlu pengkajian ulang
akan pajak ekspor dengan peranan dari asosiasi dan lembaga perkelapa
sawitan dapat memberikan masukan kepada pemerintah untuk meninjau
kembali pengenaan pajak yang memberatkan para eksportir CPO.
Domestic Market Obligation (DMO) merupakan salah satu kebijakan yang
dapat diaktifkan kembali oleh pemerintah, karena dengan kebijakan ini
kebutuhan CPO dalam negeri dapat terpenuhi. Pengenaan pajak ekspor
disebabkan para eksportir banyak mengekspor CPO sebagai bahan baku
minyak goreng, sehingga kebutuhan CPO dalam negeri tidak tercukupi
untuk industri hilir. Kebijakan DMO dapat terlaksana apabila pemerintah
serius dalam pengawasan penyaluran tataniaga, serta peranan dari
produsen CPO yang harus menyalurkan produksi CPO kepada industri
hilir.
3. Pengembangan
perkebunan
rakyat
melalui
program
revitalisasi
perkebunan. Untuk memfasilitasi terwujudnya pengembangan usaha
perkebunan rakyat, baik untuk pengembangan perkebunan baru/perluasan
dan peremajaan, sehingga progaram kegiatan yamg ditempuh yaitu ;
a) Mendorong usaha perkebunan besar untuk melakukan kerjasama
dengan masyarakat sekitar/petani untuk pengembangan perkebunan
rakyat dalam wadah pola kemitraan.
b) Untuk mendukung pendanaan, disediakan sumber pembiayaan bagi
pembangunan kebun petani melalui revitalisasi perkebunan.
c) Untuk membantu petani sehari-hari dalam kegiatan pengembangan
usahataninya disediakan petugas pendamping.
4) Melakukan promosi sertifikat RSPO (Roundtable on Suistanable Palm
Oil) dan peningkatan kualitas CPO Indonesia.
Pengembangan perkebunan yang berkelanjutan akan mempengaruhi
besarnya kemampuan produksi yang kontinyuitas. Banyaknya isu negatif
terhadap perkebunan kelapa sawit Indonesia akan mempengaruhi
permintaan CPO di pasar internasional. Peranan asosiasi terhadap
peningkatan
dayasaing
CPO
Indonesia
dapat
dilakukan
dengan
memberikan seminar dan penyuluhan terhadap kriteria dan prinsip-prinsip
RSPO. Selain itu penyuluhan terhadap penggunaan bibit berkualitas akan
meningkatkan kualitas produksi CPO Indonesia.
D.
Strategi W – T
Meningkatkan pola kerjasama dengan pelanggan melalui promosi
penjualan. Hubungan yang terjalin dengan baik dengan para konsumen
industri CPO dapat dilakukan dengan mempermudah akses informasi dan
memberikan pelayanan lebih. Promosi penjualan dapat dilakukan dengan
mengadakan pameran dan seminar yang bertaraf internasional di negara negara konsumen CPO.
Kerjasama Dewan minyak minyak sawit yang mewakili pemerintah
Indonesia serta Malaysia Palm Oil Board yang mewakili negara Malaysia
serta negara-negara produsen CPO agar lebih ditingkatkan untuk
menghadapi isu negatif dari LSM lingkungan dan dunia internasional
dengan membangun komunikasi yang kontinyu. Peningkatan kerjasama
bilateral antara Malaysia dan Indonesia melalui kampanye green product
atau countering negative campaign on palm oil di negara tujuan ekspor
minyak sawit kedua negara Uni Eropa dan Amerika. Dengan adanya
kegiatan ini untuk membangun citra positif terhadap perkebunan kelapa
sawit, bahwa disamping memberi manfaat ekonomi melalui penyediaan
sumber pendapatan, sumber devisa dan penyediaan lapangan pekerjaan di
pedesaan, juga memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan.
Tabel 23 Program Kegiatan Peningkatan Dayasaing CPO Indonesia
No
1
Kegiatan
Optimalisasi Lahan
Perkebunan
Program
1.
2.
3.
Program Revitalisasi
Perkebunan
Program
Penyuluhahan
Pertanian
Program pembuatan
Mapping dan Zoning
perkebunan Kelapa
Sawit
Prasarana
Dewan Minyak Sawit
(DMSI),LSM,
Perusahaan Perkebunan
Negara dan Perkebunan
Swasta
Pengembangan Sistem
Pemasaran Produk Industri
CPO
Pengembangan industri hulu
dan hilir dan peningkatan
nilai tambah kelapa sawit
Pengembangan SDM pelaku
industri kelapa sawit dengan
pelatihan
Pembangunan sarana dan
prasarana perkebunan
Pemberian insentif kepada
pekerja perkebunan
Peningkatan kegiatan
penyuluhan
Program Workshop,
Seminar
Gapki dan DMSI
Program Riset Unggulan
Strategis Nasional
(RUSNAS)
Program Pendidikan ,
Pelatihan dan Magang
MAKSI (Masyarakat
Kelapa Sawit Indonesia)
8
Melakukan hedging terhadap
produk CPO Indonesia
Program Penjualan secara
kontrak
Gapki
9
Pengkajian ulang terhadap
pajak ekspor
Pengembangan perkebunan
rakyat melalui program
revitalisasi perkebunan
Meningkatkan pola kerjasama
dengan produsen negara lain
dan pelanggan melalui
promosi penjualan
Melakukan promosi sertifikat
RSPO (Roundtable on
Suistanable Palm Oil) dan
peningkatan kualitas CPO
Indonesia
Pertemuan dan Rapat
DMSI, Gapki, Apsakindo
Program Kemitraan
Dewan Minyak Sawit
(DMSI), Perusahaan
Swasta, Negara.
Dewan Minyak Sawit
(DMSI) dan Malaysia
Palm Oil On Board
2
3
4
5
6
7
10
11
12
Program Fasilitasi
Infrastruktur
Program Insentif
Program Pendampingan
Petugas penyuluh dan
Implementasi Teknologi
Program Kampanye Green
Product atau Countering
negative Campaign On
Palm Oil
Program sosialisasi dan
penyuluhan serta seminar
mengenai pentingnya
pengelolaan perkebunan
yang berkelanjutan
7.2 Program Peningkatan Dayasaing CPO
Gapki, DMSI, Apsakindo
(Asosiasi Petani Kelapa
sawit)
Seluruh Stakeholders
perkebunan di Indonesia
Perkebunan Swasta,
Negara dan rakyat
Departemen Pertanian,
Gapki
Dewan Minyak Sawit,
Gapki, Apsakindo, dan
Perusahaan Kelapa Sawit.
1) Program Revitalisasi Perkebunan
Program pemerintah untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit
melalui Revitalisasi yaitu peremajaan dan perluasan perkebunan. Dengan
program revitalisasi perkebunan yang sudah berjalan dari tahun 2006 akan
membantu program pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat.
Sehingga perlunya prasarana atau pelaksana kegiatan revitalisasi ini yaitu
Dewan Minyak Sawit yang mewakili pihak pemerintah serta Gapki
sebagai kesatuan organisasi pengusaha perkebunan kelapa sawit.
2) Program Penyuluhan Pertanian
Program penyuluhan pertanian kepada petani perlu kembali di tingkatkan.
Rendahnya pengetahuan petani terhadap teknologi dan informasi sangat
penting guna peningkatan kualitas produksi CPO. Program penyuluhan ini
dapat dilakukan oleh asosiasi Gapki, pemerintah dan Lembaga Swadaya
yang di perbantukan oleh pemerintah.
3) Program pembuatan Mapping dan Zoning perkebunan Kelapa Sawit
Program Mapping dan Zoning perkebunan adalah bentuk kegiatan
pemetaan daerah pengembangan kelapa sawit yang potensial untuk
dikembangkan. Dengan Program ini di harapkan potensi perkebunan
kelapa sawit dapat di optimalkan dengan baik. Adapun yang memprakarsai
kegiatan ini adalah Dewan Minyak Sawit sebagai koordinator sedangkan
untuk lapanagan di prasaranai oleh perusahaan-perusahaan perkebunan
kelapa sawit.
4) Program Workshop dan Seminar
Kegiatan workshop dan seminar yang secara kontinyu merupakan salah
satu cara untuk memasarkan komoditi CPO Indonesia di dalam maupun di
luar negeri dengan sarana kegiatan ini adalah Dewan Minyak Sawit dan
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit.
5) Program Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS)
Program RUSNAS merupakan salah satu cara untuk mendukung integrasi
industri hulu dan hilir. Kegiatan RUSNAS ini di koordinator oleh MAKSI
(Masyarakat
Kelapa
Sawit
Indonesia)
sebagai
peneliti
untuk
pengembangan kelapa sawit dari industri hulu maupun dari hilir.
6) Program Pendidikan , Pelatihan dan Magang
Rendahnya pendidikan petani dan para pekerja di perkebunan merupakan
salah satu hambatan untuk transfer teknologi. Kegiatan Pelatihan dan
Magang yang dilakukan pada LPP (Lembaga Pusat Pelatihan) serta dari
pusat pelatihan terpadu yang berada di PPKS (Pusat Penelitian Kelapa
Sawit). Kegiatan pelatihan ini di prakarsai oleh keseluruhan stakeholders
7) Program Fasilitasi Infrastruktur
Pembangunan sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit sangat
penting. Pembangunan sarana dan prasarana penunjang seperti jalan,
jembatan dan pabrik pengolahan di perlukan guna mempermudah akses
kepada
perkebunan.
Pembagunan
infrastruktur
perkebunan
dapat
dilakukan apabila uang hasil penerimaan pajak ekspor di kembalikan
kepada para pengusaha dalam bentuk pembangunan infrastruktur.
8) Program Insentif
Rendahnya pendidikan para pekerja pekebun sehingga menyebabkan
untuk pengetahuan dan informasi yang rendah. Pendidikan yang rendah
akan mempengaruhi dari posisi ataupun jabatan sehingga pendapatannya
juga berdasarkan posisinya. Para pekerja buruh yang rata-rata pendidikan
sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas. Rendahnya
pendapatan akan mempengaruhi dari produktivitas kelapa sawit, sehingga
perlunya pemberian insentif guna membantu meningkatkan motivasi.
9) Program Pendampingan Petugas penyuluh dan Implementasi Teknologi
Program pendampingan penyuluh dengan merupakan upaya untuk
mentransfer pengetahuan dari para penyuluh kepada petani sehingga
peranan dari Gapki dan Dewan Minyak Sawit sangat penting guna
implementasi teknologi kepada petani.
10) Program Penjualan Secara Kontrak
Penjualan produk CPO keluar negeri diperlukan suatu perjanjian yang
mengikat antara pembeli dan penjual. Untuk mengatasi permaslahan
ketidakpastian harga akibat dari kenaikan faktor-faktor tertentu dapat
dilakukan kontrak penjulan atau melakukan hedging (lindungan nilai)
dengan prasarana Gapki.
11) Pertemuan dan Rapat
Peningkatan pajak ekspor yang dibebankan kepada eksportir akan
menyebabkan berkurangnya pendapatan para eksportir. Dampak yang
ditimbulkan dengan adanya pajak ekspor adalah dayasaing CPO Indonesia
yang rendah, sehingga perlu pengkajian lebih mendalam mengenai pajak
eksport ini.
12) Program Kemitraan
Program kemitraan merupakan cara untuk membatu mensejahterakan
masyarakat dengan cara mengajak masyarakat bekerjasama untuk
membangun perkebunan kelapa sawit. Program ini diprakarsai oleh
pemerintah dan perusahaan-perusahan swasta yang ditunjuk oleh
pemerintah sebagai inti perusahaan.
13) Program Kampanye Green Product atau Countering negative Campaign
On Palm Oil.
Banyaknya isu negatif terhadap komoditi kelapa sawit di pasar
internasional akan menyebabkan turunnya pendapatan para eksportir.
Untuk mengatasi hal ini negara-negara eksportir CPO harus bekerjasama
dengan melakukan kampanya green product terhadap komoditi CPO.
Kerjasama kontinyuitas antara DMSI dan Malaysia Palm Oil Board untuk
meyakinkan kepada negara-negara di Eropa bahwasanya pengembangan
kelapa sawit secara lestari harus terus di sampaikan kepada negara-negara
lain yang beranggapan negative terhadap kelapa sawit.
14) Program Sosialisasi dan Penyuluhan Serta Seminar Mengenai Pentingnya
Pengelolaan Perkebunan Yang Berkelanjutan.
RSPO merupakan pedoman untuk menghasilkan kelapa sawit yang baik.
Pentingnya sosialisasi antara selutuh stakeholders guna meningkatkan
perkebunan kelapa sawit yang lestari dan berkelanjutan.
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan
Dari hasil analisis yang telah dilakukan mengenai analisis dayasaing industri CPO
Indonesia di pasar internasional, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu :
1.
Struktur industri CPO di pasar internasional mengarah ke struktur pasar
oligopoli ketat. Kondisi pasar ini ditunjukan dengan rata-rata nilai
Herifindhal Index sebesar 0,50 dari tahun 1993 – 2006 dan total nilai CR4
sebesar 94 persen, yang merujuk kepada empat eksportir terbesar yaitu
Negara Malaysia, Indonesia, Papua Nugini, dan Costarica merupakan
pengekspor CPO terbesar di pasar internasional. Dari empat produsen
tersebut, Negara Malaysia dan Indonesia merupakan negara produsen
terbesar CPO karena besarnya konsentrasi CPO berada pada kedua negara
tersebut .
2.
Industri CPO Indonesia memiliki keunggulan komparatif. Hal ini
ditunjukan melalui perhitungan nilai Revealed Comparative Advantage
(RCA) yang lebih dari satu. Pada tahun 2006, nilai RCA Indonesia sebesar
45. Angka ini menunjukan adanya keunggulan dayasaing komparatif
komoditi CPO Indonesia di pasar internasional. Rata-rata nilai RCA yang
terbesar dari tahun 1993-2006 adalah Negara Papua Nugini dengan nilai
RCA sebesar 68, sedangkan Malaysia menempati urutan kedua dengan
nilai sebesar 42. Untuk Indonesia menempati urutan ketiga yang memiliki
keungulan komparatif paling tinggi dengan niai RCA sebesar 29.
3. Industri CPO mempunyai keunggulan kompetitif yang dapat dilihat dari
beberapa faktor pendukung kondisi faktor sumberdaya yang secara
keseluruhan mendukung industri ini yang ditunjukkan melalui tersedianya
tenaga kerja yang banyak, lahan potensial yang bisa dikembangkan
sebesar 26,3 juta hektar dan peranan sumberdaya IPTEK yang mendukung
melaui peranan dari asosiasi dan media. Faktor penghambat dari
peningkatan dayasaing CPO adalah masih rendahnya pendidikan pekebun
yang menyebabkan lambatnya penyerapan teknologi, selain itu sarana dan
prasarana pendukung yang belum merata di beberapa daerah di Indonesia
seperti pembangunan jalan permanen dan pabrik pengolahan CPO.
4. Strategi untuk meningkatkan dayasaing CPO Indonesia di pasar
internasional
adalah
meningkatkan
optimalisasi
lahan
dengan
menggunakan panca usaha tani terutama penggunaan bibit yang bermutu
dan tahan penyakit. Pembangunan sarana dan prasarana penunjang industri
CPO harus ditingkatkan untuk mendukung keunggulan kompetitf industri
CPO, strategi promosi industri CPO dipasar internasioanal dengan
mengadakan seminar dan kampanye perkebunan kelapa sawit yang lestari
dan berkelanjutan akan menarik minat investor untuk melakukan
pengembangan investasi pembangunan perkebunan kelapa sawit di
Indonesia.
8.2 Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan dari hasil analisis dayasaing industri CPO
Indonesia dipasar internasional yaitu :
1. peningkatan ekspor bahan baku kelapa sawit bukan hanya dalam bentuk
CPO akan tetapi dalam bentuk olahan lebih lanjut seperti minyak goreng
dan oleokimia.
2. Keunggulan komparatif CPO Indonesia akan tetapi masih kalah bersaing
dengan negara Malaysia dan Papua Nugini. Oleh karena itu perlu
ditingkatkan nilai ekspor CPO dan turunan CPO sehingga dapat
memperbesar kontribusi terhadap penerimaan devisa negara. Kebijakan
pemerintah untuk penerapan pajak ekspor perlu ditinjau kembali karena
akan mengurangi keuntungan produsen.
3.
Peningkatan keunggulan kompetitif industri CPO nasional dengan cara
pendampingan penyuluh untuk memberikan sosialisai penggunaan bibit
unggul dan penggunaan teknologi terkait peningkatan produktivitas kebun
kelapa sawit dengan dukungan dari asosiasi dan lembaga penelitian
terhadap peningkatan dayasaing kelapa sawit Indonesia. Perkebunan
kelapa sawit juga harus didukung dengan sarana dan prasarana untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas industri CPO Indonesia yang
berkelanjutan.
4.
Diperlukan pengkajian lebih lanjut untuk dayasaing CPO Indonesia
akibat dampak kebijakan pemerintah (pajak ekspor terhadap penerimaan
petani kelapa sawit.
DAFTAR PUSTAKA
Amang, B. 1996. Ekonomi Minyak Goreng di Indonesia. IPB Press
Anonim. 2006. Potensi dan Peluang Investasi Industri Kelapa Sawit Indonesia.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit
Anonim.2008. United Nations Statistics Division-comodity Trade Statistics
Database (COMTREADE). Http://comtrade.un.org
Armansyah, Dicky. 2005. Strategi Pengembangan Bisnis Minyak Kelapa Sawit
(CPO) Pada PT. Socfindo, Sumatera Utara). Program Studi Manajemen
Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Astuty, Ernany. 2000. Kajian Daya Saing Komoditi Ekspor Komoditas Pertanian.
Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia.Jakarta.
Birowo.
1984. “Masalah Struktural dalam Sistem Perkebunan ,Dalam
Perkebunan Indonesia di Masa Depan. Yayasan Agro Ekonomi. Jakarta
Direktorat
Jenderal Perkebunan, Departemen
Perkebunan Indonesia. Jakarta.
Pertanian.
2008.
Statistik
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007. Roadmap Kelapa Sawit. Departemen
Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta.
Fauzi, at all. 2002. Kelapa Sawit. Penebar Swadaya. Jakarta.
Firmanzah.2002. ‘Double Diamond Porter dan Inovasi Strategi Perusahaan.
www. Lmfeui.com/uploads/file27xxx1-juli-2002PDF.
Geo, Bayu. 2007. Dayasaing Komoditas Nenas dan Pisang Indonesia Di Pasar
Internasional. Program Studi Manajemen Agribisnis Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hariyadi, Purwiyanto. 2007. Rencana Induk Kegiatan Riset Ungulan Strategis
Nasional Pengembangan Industri Kelapa Sawit. Maksi
Hole, Yolanda. 2000. Partisipasi Petani Dalam Kegiatan Perusahaan Inti Rakyat
(PIR) Kelapa Sawit di Manokwari Irian Jaya. Program Studi
Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor
Kartodirjo,S dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan Indonesia. Aditya
Media. Yogyakarta.
Kristina. 2006. Dayasaing Teh Hitam Indonesia di Pasar Internasional. Program
Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. Bogor
Lipsey, RG, et al. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Jilid 1. Binarupa Aksara.
Jakarta.
Mangoensoehardjo,S dan Semangun. 2003. Manajemen Agribisnis Kelapa Sawit
Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Mangoensoehardjo,S dan Subagyo,T. 1991. Prosedling :seminar Nilai tambah
Minyak kelapa Sawit Untuk Peningkatan Derajat Kesehatan. Asosiasi
penelitian dan pengembangan perkebunan Indonesia. Jakarta.
Meryana, Ester. 2007. Analisis Dayasaing Kopi Robusta Indonesia Di Pasar
Internasional. Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Novianti, Tanti. 1995. Analisis Keunggulan Komparatif dan Komparatif
Pengusahaan Kokon Sebagai Bahan Baku Sutera Alam dengan Analisis
Biaya Sumber Daya Domestik (BSD). Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial
Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Pandapotan,G dan Naibaho. 1995. Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Pola
PIR LOK dan Pengaruhnya terhadap pengembangan wilayah. Warta
Pusat Penelitian Kelapa Sawit Volume 3 nomor 1 tahun 1995.
Porter, Michael E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. Free Press. New
York.
Porter, Miichael. 1994. Keunggulan Bersaing. Binarupa Aksara. Jakarta
Purba,
Berani. 2003. Kontribusi Perkebunan Terhadap Pembangunan
Perekonomian di Siak, Provinsi Riau. Program Studi Manajemen
Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rangkuti, Frddy. 1999. Analisa SWOT, Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Rosalita. 1996. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetif Pengusahaan
Minyak Sereh Wangi (Studi Kasus Perkebunan Cireundeu, PT
Djasulawangi, Kabupaten sukabumi). Program Studi Manajemen
Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi 1. Erlangga. Jakarta.
Saputra, Triono. 1996. Pengkajian Pengembangan Pola Kemitraan Agribisnis
Perkebunana. Laporan Penelitian APBN. Badan Peneitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor.
Siregar, Fachnany. 2005. Strategi Pengembangan Biodiesel Berbasis CPO di
Indonesia. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soetrisno, L dan Retno Winahyu. 1991. Kajian Sosial Ekonomi Kelapa Sawit.
Aditya Media. Yogyakarta.
Sudaryanto, Tahlim E dan Achmad. 1993. Perspektif Pengembangan Agribisnis di
Indonesia. Pusat Peneliian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian Bogor. Bogor.
Suryana. 1983. Perdagangan Minyak Nabati Indonesia dan Prospeknya. Laporan
Penelitian. Pusat Penelitian Agronomi.
Yunita. 2007. Analisis Integrasi Pasar CPO Dunia dengan Pasar CPO, Minyak
Goreng, dan TBS Domestik Serta Pengaruh Tarif Ekspor CPO dan
Harga BBM Dunia. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Yusran. 2006. Analisis Dayasaing Manggis Menguntungkan dan Efesien Secara
Finansial dan Ekonomi. Program Studi Manajemen Agribisnis.
Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Tabel Penyebaran Pabrik Kelapa sawit (PKS) Di Indonesia
Tahun 2006
Kapasitas
(TBS/Jam)Ton
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Provinsi
Nanggroe Aceh
Sumatera Utara
Sumatera barat
Riau
Kepulauan Riau
Jambi
Sumtera Selatan
Bangka Belitung
Bengkulu
Lampung
Sumatera
Jawa Barat
Banten
Jawa
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Kalimantan
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Sulawesi Tenggara
Sulawesi
Papua
Papua Barat
Maluku dan Papua
Indonesia
Sumber : Departemen Pertanian, 2007
Unit
14
87
20
128
31
50
3
12
4
349
1
1
2
20
24
3
10
57
3
4
1
8
2
2
4
420
410
3,030
1,080
5,645
1,503
2,410
225
540
125
14,968
30
60
90
905
1,245
110
510
2770
90
140
40
270
60
110
170
18.268
Produksi
CPO
387.450
2,863,350
1.020,600
5.334,525
1.420,335
2.227,450
212,625
510,300
118,125
14.094.760
28,350
56,700
85.050
855,225
1.176,525
102,950
481,950
2.616.650
85,050
132,300
37,800
255.150
56,700
103,950
160.650
17.263.260
Lampiran 2 Tabel Luas Lahan Perkebunan Kelapa sawit Indonesia Tahun 2007
NO
PROVINSI
Perkebunan Rakyat
Produksi
Luas (Ha)
(Ton)
Perkebunan Negara
Produksi
Luas (Ha)
(Ton)
Perkebunan Swasta
Produksi
Luas (Ha)
(Ton)
Jumlah Total
Luas (Ha)
Produksi (Ton)
1
Nanggroe Aceh
92.297
122
54.054
149.1
165.38
498.382
311.730
769.000
2
Sumatera Utara
354.044
943.053
300.55
1156.136
316.009
1101.784
970.600
3.200.970
3
4
5
6
7
8
9
10
Sumatera barat
Riau
Kepulauan Riau
Jambi
Sumtera Selatan
Bangka Belitung
Bengkulu
Lampung
Sumatera
Jawa Barat
Banten
Jawa
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Kalimantan
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
140.384
749.379
84
274.277
288.211
6.617
100.86
77.219
2167.288
0
6.049
6.049
187
114
40.867
71.76
413.527
0
7.98
27.862
350.19
1779.329
0
599.949
735.98
627
202.782
187.702
4,921
0
17.887
17.887
350.171
274.479
40.642
51.243
716.535
0
16.328
94.506
7.836
89.803
0
33.455
45.69
0
3.145
16.743
551.28
6.188
8.028
14.216
44.21
0
4.79
25.978
74.978
6.187
15.519
0
20.878
335.548
0
104.351
149.724
0
11.264
53.752
1980.753
3.25
20.359
23.609
134.886
0
3.204
66.482
204.572
15.604
32.386
0
168.32
709.79
6.849
266.862
296.333
126.667
61.266
63.781
2181.26
3.643
0
3.643
261.325
459.136
199.149
156.089
1075.7
36.18
1.022
47.892
612.829
2571.603
15.495
593.278
730.539
383.922
159.769
169.34
6836.941
10.899
0
10.899
565.393
1109.123
264.067
179.37
2117.953
119.609
1.821
153.364
316.540
1.549.000
90.849
574.590
630.230
133.280
165.270
157.740
4.899.800
9.831
14.077
23.908
492.21
573.36
244.81
253.83
1564.2
42.367
24.521
75.754
984.000
4.686.480
15.495
1.297.580
1.616.000
1.010.920
374.000
410.794
13.730.000
14.000
38.246
52.395
1,050.000
1.383.600
308.000
297.095
3.039.000
135.213
51.000
247.870
0
35.842
9.818
16.527
0
110.834
15.759
23.053
2.966
24.672
12.079
10.207
0
47.99
24.179
32.873
0
85.094
7.939
5
0
274.794
7.932
5.582
2.966
145.61
29.836
31.734
0
433.618
48.000
61.508
26.345
2,622.71
38.812
5,805.13
22.26
687.4
57.052
2.313.976
12.939
3,358.63
13.514
9.254.101
61.544
6.611.195
109.000
17.373.202
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Sulawesi Tenggara
Sulawesi
Papua
Papua Barat
Maluku+Papua
Indonesia
Lampiran 3 Saluran Pemasaran Tandan Buah Segar (TBS) dan CPO dari Petani Ke PTPN
Unit Kebun Sendiri PTPN
TBS
Petani PIR
TBS
KUD Kelapa Sawit
TBS
Unit PKS PTPN
TBS
CPO
Petani lepas/ Petani
Non PIR
KPB (Kantor Pemasaran bersama)
CPO
Agen LN
(Broker/Wholeser)
Processor
CPOLN
CPO
CPO
Agen DN
(Broker/Wholesaler)
CPODN
Processor
Lampiran 4 Proses Pengolahan CPO (Crude Palm Oil)
Peneriman TBS
Proses Sterilisasi
Mesin Bantingan
Tandan Kosong
Buah Sawit
Proses Pendepresan
Limbah Cair
CPO Kotor
Biji Sawit
Proses
Penjernihan
Pemecah Biji
Serat
HYDRO CYLONE
Limbah Cair
CPO Jernih
Pengolahan
Limbah
Digunakan untuk
pupuk tanaman
dilapangan
Pengolahan limbah
Palm Karnel
Pembuangan sesuai
ketenuan
pemerintah
Cangkang
Digunakan untuk
Bahan Bakar Boiler
172
Lampiran 5 Nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) Negara Eksportir CPO Tahun 1993 - 2006
Tahun
Malaysia
Indonesia
Costarica
Thailand
1993
50.00120001
17.568717
32.9303426
0
1994
50.86122131
18.2538024
22.42663579
0.13388323
1995
50.23185519
16.9031643
19.04884913
0.12158528
1996
44.2603531
17.8143038
17.07391696
0
1997
42.43028798
24.1081758
8.085813886
0.2811414
1998
49.24661525
19.0827198
9.219439279
0.27805991
1999
42.47140155
26.5072121
6.30965216
0.43242105
2000
38.70610358
27.627826
7.253577048
0.52410325
2001
40.39075245
29.2836594
5.126660942
0.91825817
2002
37.45089842
36.6372348
5.229271385
0.47510951
2003
39.14507273
40.4993672
6.131587189
0.6767034
2004
36.76992676
46.5096156
7.647388989
0.63830725
2005
36.22506618
46.2917268
7.811179683
0.40029322
2006
33.1731286
45.9733842
7.487752921
0.32828022
Total
591.3638831
413.060909
161.782068
5.20814589
Rata-rata
42.24027736
29.5043507
11.555862
0.37201042
Sumber
Keterangan
: http://unstats.un.org/unsd/comtrade
: #DIV/0! = Tidak tersedianya data
Papua N
43.3788499
#DIV/0!
#DIV/0!
#DIV/0!
#DIV/0!
40.1172769
#DIV/0!
50.6296707
60.1909007
645.086641
48.5439188
68.1292108
#DIV/0!
#DIV/0!
956.076469
68.2911763
Lampiran 6 Keterlibatan Lembaga Pendukung Dalam Peningkatan Industri Hulu
Kelapa Sawit Indonesia.
No
Nama Lembaga
Jenis R&D dan Kegiatan
1
PPKS Medan
1. Beseline study tentang sikap, persepsi dan
pengetahuan pengguna terhadap bibit sawit dan
mekanisme pengadaanya.
2. Perbaikan kelembagaan, sertifikasi dan
kebijakan pengadaan kelapa sawit
3. Penetapan populasi dan analisis pautan genetic
berbagai sifat untuk pembuatan peta genomic
tanaman kelapa sawit
4. Perakitan tanaman kelapa sawit yang toleran
terhadap ganoderma
2
Agronomi IPB
1. Pemetaan genomic tanaman kelapas sawit
2. respons tanaman kelapa sawit terhadap
cekaman kekeringan
3. Seleksi tanaman kelapa sawit toleran terhadap
cekaman kekeringan
4
SEAMEOBIOTROP
1. Respon tanaman kelapa sawit terhadap
cekaman kekeringan secara molekuler
2. Deteksi dini abnormalitas pada perbanyakan
tanaman dengan teknik kultur jaringa
5
Dept Biologi ITB
1. Pemetaan genomic tanaman kelapa sawit
2. Respon tanaman kelapa sawit terhadap
cekaman kekeringan secara molekuler
3. Seleksi tanaman kelapa sawit toleran terhadap
cekaman kekeringan
6
Dir.Perbenihan Dept
Pertanian
1. Bessline study tentang sikap, persepsi dan
pengetahuan pengguna terhadap bibit sawit dan
mekanisme peredarannya
2. Perbaikan kelembagaan, sertifikasi dan
kebijakan pengadaan benih sawit
Download