ANALISIS DAYASAING INDUSTRI CPO INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL Oleh DENNY DWINATA HERIANTO A14105525 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN DENNY DWINATA HERIANTO. Analisis Dayasaing Industri CPO Indonesia di Pasar Internasional. Dibawah bimbingan LUKMAN MOHAMMAD BAGA. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang masih mengandalkan komoditas minyak dan gas bumi (Migas) sebagai penghasil devisa. Komoditas minyak dan gas bumi merupakan jenis sumberdaya alam dengan jumlah yang terbatas dan tidak dapat diperbarui, sehingga perlu penghematan dalam penggunannya. Negara Indonesia tidak selamanya dapat mengandalkan komoditas tersebut (Migas) untuk memperoleh devisa, sehingga peranan dari sektor lain yang mempunyai potensi harus dikembangkan. Salah satu sektor non migas yang mampu memberikan kontribusi positif kepada negara adalah sektor pertanian. Komoditas kelapa sawit menyumbang devisa kepada negara sebesar US$ 2,79 milyar dengan volume ekspor sebesar 5,72 juta ton dari bulan Januari sampai Mei tahun 2007. Permintaan kelapa sawit untuk kebutuhan konsumsi akan terus mengalami peningkatan karena seiring dengan bertambahnya jumlah populasi manusia, sehingga permintaan terhadap CPO akan meningkat sebagai bahan baku minyak goreng dan keperluan lain seperti biofuel (bahan bakar). Peningkatan dayasaing masih CPO Indonesia disebabkan karena penggunaan bibit palsu atau tidak berlabel. Penggunaan bibit yang tidak berkualitas akan mempengaruhi produksi dan produkstivitas CPO. Masalah lain yang berdampak terhadap peningkatan penanaman kelapa sawit di Indonesia yaitu isu negatif dari Negara Di Eropa dan LSM Lingkungan, yang menyatakan kalau pembukaan lahan perkebnan kelapa sawit akan dampak terhadap kerusakan hayati dan penyebab terjadinya pemanasan global. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk ; (1) Mengetahui struktur industri CPO di pasar internasional, (2) Mengetahui keunggulan komparatif industri CPO Indonesia, (3) Mengetahui keunggulan kompetitif industri CPO Indonesia, (4) Mengetahui strategi yang dapat dirumuskan untuk memperkuat dayasaing industri CPO nasional di pasar internasional. Penelitian ini dilakukan dengan lingkup makro, yaitu meliputi keadaan perdagangan CPO secara nasional dan internasional. Struktur pasar CPO di pasar internasional pada tahun 1993-2006 menunjukan kecenderungan kearah pasar Oligopoli ketat. Negara yang termasuk kedalam struktur pasar ini adalah Malaysia, Indonesia, Papua Nugini, dan Costarica. Hasil ini ditunjukan oleh nilai Herifindhal Index sebesar 0,5 dan nilai Concentration Ratio dari empat produsen CPO terbesar sejumlah 94 persen. Malaysia dan Indonesia merupakan negara yang paling besar kontribusi CPO dari empat eksportir utama CPO di pasar internasional. Industri CPO nasional memiliki keunggulan komparatif yang ditunjukan dengan nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) yang lebih besar dari satu. Pada tahun 2006, Indonesia mempunyai nilai RCA sebesar 45. Angka ini menunjukan adanya keunggulan komparatif pada komoditi CPO namun dayasaingya masih rendah jika dibandingkan dengan negara Malaysia dan Papua Nugini. Secara rata-rata negara yang mempunyai keunggulan komparatif terbaik adalah Papua Nugini dengan nilai 68, sedangkan Negara Malaysia mempunyai niai RCA sebesar 42. Negara Papua Nugini mempunyai nilai RCA tertinggi karena kontribusi ekspor CPO terhadap pendapatan total negara lebih besar dibandingkan dengan negara produsen CPO lainnya. Hasil analisis keunggulan kompetitif industri CPO Indonesia menghasilkan bahwa secara keseluruhan atribut seperti sumberdaya, kondisi permintaan domesik memiliki keunggulan kompetitif. Dukungan dari pemerintah dan faktor peluang juga membantu terbentuknya keunggulan Kompetitif Indonesia. Kendala masih terdapat dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit yaitu masih minimnya sarana dan prasarana penunjang industri CPO Indonesia, masih rendahnya penggunaan bibit unggul, dan kurangnya peranan dari penyuluh pertanian lapangan. Strategi untuk meningkatkan dayasaing CPO Indonesia dipasar internasional adalah meningkatkan optimalisasi lahan dengan menggunakan panca usaha tani terutama penggunaan bibit yang berkualitas baik dan tahan terhadap penyakit dengan peranan aktif dari penyuluh pertanian lapangan. Berkembangnya perkebunan kelapa sawit Indonesia saat ini harus didukung oleh sarana dan prasarana penunjang untuk mempermudah aksesbilitas perkebunan, pentingnya pembangunan jalan, pelabuhan merupakan faktor yang mendukung keunggulan kompetitf industri CPO Indonesia. Kegiatan promosi negara Indonesia di pasar internasional perlu ditingkatkan untuk memperkenalkan produk pertanian khususnya produk CPO yang ramah lingkungan untuk mengindari isu negatif mengenai pembukaan lahan perkebunan dengan merusak hutan dan menjadi penyebab terjadinya pemanasan global, kegiatan promosi ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kerjasama investasi pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang berkelanjutan. ANALISIS DAYASAING INDUSTRI CPO INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL Oleh DENNY DWINATA HERIANTO A14105525 Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 Judul :Analisis Dayasaing Industri CPO Indonesia di Pasar Internasional Nama : Denny Dwinata Herianto NRP : A14105525 Program Studi : Ekstensi Manajemen Agribisnis Menyetujui, Dosen Pembimbing Skripsi Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec. NIP. 131 846 873 Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian Prof. Dr. Ir Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019 Tanggal Kelulusan:19 Mei 2008 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “ANALISIS DAYASAING INDUSTRI CPO INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL” ADALAH BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU PADA LEMBAGA MANAPUN. Bogor, Mei 2008 DENNY DWINATA HERIANTO A14105525 RIWAYAT HIDUP Penulis di lahirkan di Bangkinang pada 08 Desember 1983, sebagai anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan T. Simalango dan R. Manalu, SP. Pendidikan dasar di SDN 004 Air Molek Indragiri Hulu (Riau) diselesaikan pada tahun 1996 dan melanjutkan pendidikan pada SLTPN 1 di Air Molek sampai dengan tahun 1999. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan ke kota ‘gudeg’ yaitu di SMU BOPKRI 1 Yogyakarta dan menyelesaikan pendidikan pada tahun 2002. Pada tahun 2002, melanjutkan pendidikan Diploma III ke perguruan tinggi di Universitas Gadjah Mada dengan jurusan Kehutanan Program Pengelolaan Hasil Hutan hingga tahun 2005. Selama di Yogyakarta banyak mengikuti kegiatan organisasi kampus dan di luar kampus yang diikuti. Penulis pernah mengikuti PKM (pekan kreativitas Mahasiswa) dengan tema yang di angkat mengenai hutan mangrove bersama team. Setelah lulus dari program pendidikan Diploma III, pada tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan pada Program Ekstensi Manajemen Agribisnis Institut Pertanian Bogor sampai tahun 2008. KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang bejudul “Analisis Dayasaing Industri CPO Indonesia di Pasar Internasional”. Skripsi ini diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini mengkaji struktur pasar CPO di pasar Internasional. Selain itu, skripsi ini juga mengkaji keunggulan kompetitif dan komparatif industri CPO Indonesia. Penulis menyadari dalam skripsi ini masih terdapat kekurangan. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membacanya. Bogor, Mei 2008 Penulis UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan Kasih-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini 2. Ayahanda dan Ibunda tercinta atas doa dan kasih sayang selama ini 3. Bapak Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec., selaku dosen pembibing skripsi atas segala bimbingan, arahan, serta waktu yang sangat berharga kepada penulis selama menyusun skripsi ini. 4. Ibu Ir. Popong Nurhayati, MM sebagai dosen evaluator atas saran dan kritikan bagi rencana penulisan penelitian skripsi ini. 5. Bapak Muhammad Firdaus, PhD sebagai dosen penguji utama atas saran. 6. Bapak Ir. Joko Purwono, Ms sebagai dosen penguji atas masukan untuk tehnik penulisan. 7. Saudaraku tercinta kakak Loli, Dina dan Meli atas doa dan dukungan yang tak pernah hentinya. 8. Elisya Nurani Kombong atas motivasi dan segala perhatian selama ini dan semoga tidak akan pernah berhenti sampai kapanpun. 9. Teman-teman Diploma III kehutanan Ivane, Darmani, Erna, Dewi, Komang, Angga Bajuri, Fajar, Septian, Ika, Mesi dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu karena banyak sekali teman-teman yang memberikan motivasi sehingga skripsi dapat selesai. 10. Mas Darlin atas kesediaanya menjadi pembahas seminar dan sarannya. 11. Teman-teman GTP (Alex_clv, Kiki, lan Sembiring, Arde, Abah, Pak RT, Ari, Habibi, Hasan, Amanda, Pak Eko, Arrow Budi, Heksa). 12. Om Agus di Surabaya atas kebaikan selama ini. 13. Teman-teman seperjuangan Ekstensi Irma, Lisma, Eko Priyadi, Elfrida, Ebry, Josep, Dedy Maretha, Wawan, Rudy, Mbak Dar, Imel, Siska, Baim, Koko, Rita, Sandra, dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 14. Sekretariat Ekstensi Manajemen Agribisnis atas pelayanan dan bantuan selama ini terutama untuk Mbak Rahmi, Mbak Nur, Mas Agus dan Aji. 15. Penguni Kos Jl Riau Ujung tercinta Mas Riki, Mbak Wida, Mas Tyas, Bapak kost dan Ibu, serta Mas Toto dan Yeni. 16. Teman-teman SMU Bopkri I Cristian, Nando, Dinad, Theresia, Adit atas kekompakan selama ini. 17. Semua pihak lain yang belum disebutkan yang turut membantu terselesainya skripsi ini. Bogor, Mei 2008 Penulis DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................ i DAFTAR TABEL ........................................................................................ iv DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ vii I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1.2. Perumusan Masalah .......................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian.............................................................................. 1.4. Manfaat Penelitian............................................................................ 1 6 11 11 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum Kelapa Sawit ....................................................... 12 2.1.1. Sejarah Kelapa Sawit ............................................................ 12 2.1.2. Karakteristik Tanaman Kelapa Sawit .................................... 12 2.1.3. Bibit Kelapa Sawit ................................................................ 14 2.1.4. Standar Nasional CPO (Crude Palm Oil) .............................. 15 2.1.5. Usaha Tani Kelapa Sawit ...................................................... 16 2.1.6. Pengolahan Kelapa sawit ..................................................... 18 2.1.6.Peranan Kelapa Sawit Dalam Bidang Sosial dan Ekonomi Indonesia ............................................................................. 19 2.2. Penelitian Terdahulu ........................................................................ 21 2.2.1. Penelitian Dayasaing ............................................................. 21 2.2.1. Penelitian Kelapa Sawit ........................................................ 23 2.2.1. Penelitian CPO (Crude Palm Oil) ......................................... 24 III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Teoritis ............................................................................ 3.1.1. Konsep Dayasaing ................................................................ 3.1.1.1. Keunggulan Komparatif ........................................... 3.1.1.2. Keunggulan Kompetitif ............................................ 3.1.2. Struktur Pasar ....................................................................... 3.1.2.1. Pasar Persaingan Sempurna ...................................... 3.1.2.2. Pasar Monopolistik ................................................... 3.1.2.3. Pasar Oligopoli ......................................................... 3.1.2.4. Pasar Monopoli ........................................................ 3.1.3. Teori perdagangan Internasional ........................................... 3.1.4. Pasar dan Pangsa Pasar ......................................................... 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional .................................................... 26 26 27 28 36 36 37 37 38 38 40 41 IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................... 4.2. Jenis dan Sumber Data ................................................................... 4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................................ 4.3.1. Analisis Struktur Industri ...................................................... 4.3.2. RCA (Reveled Comparative Advantage) ............................... 4.3.3. Analisa Berlian Porter ........................................................... 4.3.4. Analisis SWOT ..................................................................... V 44 44 45 45 49 50 51 GAMBARAN UMUM KELAPA SAWIT NASIONAL DAN INTERNASIONAL 5.1. Perkebunan KelapaSawit Indonesia ............................................... 58 5.1.1 Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Pengusahaan 59 5.1.2 Produksi dan Produktivitas Minyak Kelapa Sawit Indonesia . 61 5.1.3 Luas Areal dan Produksi Menurut Provinsi ........................... 63 5.1.4 Penyerapan Tenaga Kerja...................................................... 63 5.1.5 Unit Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit ................................... 64 5.2. Tingkat Harga CPO di Indnesia ...................................................... 66 5.3. Mutu CPO (Crude Palm Oil) Ekspor .............................................. 68 5.4. Bentuk Kelapa Sawit Ekspor .......................................................... 70 5.5. Negara Tujuan Ekspor CPO (Crude Palm Oil) ............................... 70 5.6. Impor Minyak Kelapa Sawit Indonesia ........................................... 71 5.7. Negara Produsen Utama CPO(Crude Palm Oil) Dunia ................... 73 5.7.1 Negara Eksportir Utama CPO ............................................... 74 5.7.2. Harga CPO Dunia ................................................................. 75 5.8. Produksi Minyak Nabati dan Lemak Dunia..................................... 79 5.9. Konsumsi Minyak Nabati dan Lemak Dunia................................... 80 VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Analisis Struktur Industri CPO di Pasar Internasional ..................... 6.2. Analisis Keunggulan Komparatif CPO Indonesia di Pasar Internasional...................................................................... 6.3. Analisis Dayasaing Industri CPO di Indonesia dengan Pendekatan Porter s Diamond ........................................................ 6.3.1 Kondisi Faktor Sumberdaya .................................................. 6.3.2 Kondisi Permintaan.............................................................. 6.3.3 Industri Terkait dan Industri Pendukung................................ 6.3.4 Struktur, Persaingan dan Strategi Industri CPO Nasional ...... 6.3.5 Peran Pemerintah .................................................................. 6.3.6 Peran Kesempatan................................................................ 82 84 85 85 120 123 128 134 136 VII STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI CPO INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL 7.1. Perumusan Strategi Peningkatan Dayasaing Industri CPO Indonesia................................................................... 138 7.1.1 Faktor Eksternal ..................................................................... 139 7.1.1 Peluang ......................................................................... 139 7.1.1 Ancaman ....................................................................... 141 7.1.2 Faktor Internal ....................................................................... 144 7.1.2.1 Kekuatan .................................................................... 144 7.1.2.2 Kelemahan .................................................................. 147 7.2 Program Peningkatan Dayasaing ....................................................... 144 VIII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan .................................................................................... 162 7.2. Saran .............................................................................................. 164 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 165 LAMPIRAN ................................................................................................. 168 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang masih mengandalkan komoditas minyak dan gas bumi (Migas) sebagai penghasil devisa. Komoditas minyak dan gas bumi merupakan jenis sumber daya alam dengan jumlah yang terbatas dan tidak dapat diperbarui, sehingga perlu penghematan untuk penggunannya. Negara Indonesia tidak selamanya dapat mengandalkan komoditas tersebut (Migas) untuk memperoleh devisa, sehingga peranan dari sektor lain yang mempunyai potensi harus dikembangkan. Salah satu sektor non Migas yang mampu memberikan kontribusi positif kepada negara adalah sektor pertanian. Sub sektor perkebunan merupakan salah satu bagian yang menyumbang PDB kepada negara. Salah satu komoditi dari perkebunan adalah kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan tanaman keras sebagai salah satu sumber penghasil minyak nabati yang bermanfaat luas dan memiliki keunggulan dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, kerena minyak kelapa sawit rendah akan kolesterol dan mempunyai betakaroten tinggi (PPKS, 2006). Komoditas kelapa sawit menyumbang devisa kepada negara sebesar US$ 2,79 milyar dengan volume ekspor sebesar 5,72 juta ton pada tahun 2007 pada bulan Januari sampai dengan Mei (Tabel 1). Permintaan kelapa sawit untuk kebutuhan konsumsi akan terus mengalami peningkatan karena seiring dengan bertambahnya jumlah populasi manusia, sehingga permintaan akan CPO meningkat sebagai bahan baku minyak goreng dan keperluan lain seperti biofuel (bahan bakar). Peluang bagi negara Indonesia untuk lebih meningkatkan ekspor minyak kelapa sawit guna meningkatkan devisa dari komoditas kelapa sawit. Pada tahun 2006 Negara Indonesia merupakan pengekspor kelapa sawit terbesar kedua setelah Malaysia, dengan negara tujuan ekspor kelapa sawit ke India, China dan negara-negara di Eropa. Tabel 1 Ekspor Komoditi Kelapa Sawit Indonesia Periode Januari–Mei 2007 Bulan Volume (Ton) Nilai US$ 981.016,155 Januari 408.824.110 Februari 1.375.012,660 619.050.755 Maret 984.758,807 490.255.648 April 1.263.531,568 661.830.044 Mei 1.124.924,937 613.653.763 Total 5.729.244,127 2.793.614.320 Sumber : Departemen Pertanian, 2008 Pada Tabel 2 luasan areal perkebunan untuk komoditi kelapa sawit untuk lima tahun terakhir mengalami peningkatan. Pada tahun 2006 luas lahan perkebunan kelapa sawit sebesar 6,59 juta hektar, sedangkan pada tahun 2002 sampai tahun 2005 luas lahan perkebunan di Indonesia berkisar diatas lima juta hektar. Luas areal perkebunan kelapa sawit dari tahun 1916 sampai dengan tahun 2006 menunjukkan perubahan yang sangat signifikan. Perubahannya terutama antara tahun 1990 sampai dengan tahun 2006, dimana untuk total luas areal dari 1,12 juta hektar menjadi 6,59 juta hektar dan akan terus meningkat seiring kebutuhan minyak nabati dunia1. Tabel 2 Luas Areal Komoditi Perkebunan Indonesia Tahun 2002–2006 (Ha) 1 http://ditjenbun.deptan.go.id/web/index.php?option=com_content&task=blogcategory&id=1&Ite mid=62. Perkembangan Industri Kelapa Sawit di Indonesia Sangat Signifikan dan Fantastis . Diakses 15 Januari 2008. Komoditi Karet Kelapa Sawit Kopi Tebu Kelapa Kakao 2002 3.318.359 5.067.058 1.372.184 350.722 3.884.950 914.051 2003 3.290.112 5.283.557 1.381.730 338.244 3.913.130 961.107 2004 3.262.267 5.284.723 1.303.943 344.793 3.797.004 1.090.960 2005 3.279.391 5.453.817 1.255.272 381.786 3.803.614 1.167.046 2006 3.309.472 6.594.914 1.263.606 384.016 3.817.796 1.191.742 Sumber : Departemen Pertanian, 2007 Pada tahun 2006 perkebunan kelapa sawit, 57 persen dikuasai swasta, 30 persen petani swadaya, dan 13 persen dikuasai negara. Pada Gambar 1 penguasaan lahan perkebunan di Indonesia lebih dari setengahnya dikuasai oleh pihak swasta dan diikuti oleh masyarakat yang mengusahakan kelapa sawit secara swadaya, serta oleh negara. Gambar 1 Penguasaan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Tahun 2006 Peningkatan areal perkebunan kelapa sawit akibat dari menguatnya permintaan CPO sebagai bahan baku bahan bakar nabati (BBN) yang mampu menggantikan komoditi jagung sebagai bahan baku kebutuhan industri, sehingga menyebabkan tingginya permintaan terhadap hasil produksi kelapa sawit. Meningkatnya permintaan akan CPO menyebabkan pemerintah mengadakan kegiatan perluasan dan peremajaan (Revitalisasi) lahan direncanakan pada beberapa daerah, seperti Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Jambi, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Banten, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Papua, dan Irian Jaya Barat. Produksi CPO dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 mengalami peningkatan (Tabel 3). Pada tahun 2002 produksi kelapa sawit sebesar 9,62 juta ton dan mengalami peningkatan untuk tahun 2006 yaitu sebesar 17,35 juta ton. Peningkatan produksi kelapa sawit akibat dari areal penanaman sawit yang juga mengalami peningkatan karena para produsen kelapa sawit melihat kebutuhan minyak goreng serta CPO yang meningkat dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Peningkatan produksi kelapa sawit juga akibat dari mahalnya harga CPO di pasar internasional sehingga banyak produsen mengekspor CPO ke luar negeri. Proyeksi produksi kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2010 menjadi 18 juta ton, pada tahun 2015 akan menjadi 21 juta ton dan pada tahun 2015 akan meningkat sebesar 15 persen atau sebesar 24 juta ton. Proyeksi ekspor kelapa sawit Indonesia ke luar negeri diperkirakan pada tahun 2010 sebesar 12,5 juta ton dan akan meningkat sebesar 25 persen atau sebesar 15 juta ton dan pada tahun 2020 sebesar 16 juta ton2. Tabel 3 Produksi Komoditi Perkebunan Indonesia Tahun 2002–2006 (000Ton) Komoditi 2002 2003 2004 2005 2006 Karet 1.792 2.066 2.271 2.367 1.630 Kelapa Sawit 9.622 10.411 10.830 11.861 17.350 Kopi 640 653 682 664 647 Tebu 2.242 2.235 1.755 1.634 2.052 Kelapa 3.098 3.254 3.054 3.096 3.156 Kakao 619 695 691 748 779 Sumber : Departemen Pertanian, 2007 2 http://id.wikipedia.org/wiki/Kelapa_sawit. Sumbangan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit terhadap PAD. Diakses 15 januari 2008 Dibandingkan dengan Negara Malaysia, kelapa sawit Indonesia memiliki sejumlah keunggulan komparatif. Keunggulan pertama, Indonesia memiliki lahan dan tenaga kerja melimpah. Pada Saat ini ada lahan 9,2 juta hektar lahan yang bisa diperluas menjadi 18 juta hektar, sedangkan perluasan lahan sawit di Malaysia terbatas. Keunggulan kedua, biaya produksi CPO Indonesia lebih rendah daripada Malaysia. Selain mengekspor CPO, Negara Malaysia mengolahnya menjadi berbagai produk hilir bernilai tinggi3. Malaysia unggul untuk produktivitas (3,21 ton CPO per hektar per tahun) dibandingkan dengan Indonesia (2,51 ton CPO per hektar per tahun). Malaysia mampu memanfaatkan 87 persen kapasitas pabrik terpasangnya yang mencapai 86 juta ton tandan buah segar (TBS) per tahun, sedangkan Indonesia 65 juta ton TBS per tahun. Dampak kekurangan pabrik pengolahan sawit di Indonesia tidak hanya pada dayasaing yang rendah untuk produksi dan ekspor CPO, tapi juga mengakibatkan berdirinya pabrik-pabrik pengolahan kelapa sawit tanpa memiliki lahan sawit, hal Ini menyebabkan jumlah produksi minyak sawit, kualitas produksi, dan harga tidak mampu diprediksi serta dikontrol dengan baik. Kondisi inilah yang mendukung perbedaan produksi dan ekspor kedua negara 4. 3 http://www.litbang.deptan.go.id/special/komoditas/b4sawit.Prospek, Arah pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit . Diakses 15 januari 2008. 4 http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg06407.html Industri Kelapa Sawit Indonesia Vs Malaysia. Diakses 20 januari 2008. 1.2 Perumusan Masalah Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari sub sektor perkebunan merupakan sumberdaya yang terus memberikan peluang untuk terus berkembang dan dapat diandalkan sebagai sumber devisa selain dari sektor Migas yang terus mengalami kemunduran akibat dari sifanya yang tidak dapat diperbarui. Perkebunan masih memberikan peluang yang luas selain masih tersedianya lahan perkebunan baru, juga tersedia tenaga kerja dan konsumen akhir yang terus mengalami perkembangan setiap tahunnya. Negara produsen CPO, termasuk Indonesia berusaha untuk memanfaatkan kelapa sawit sebagai penghasil devisa. Munculnya negara industri baru, perkembangan ekonomi dunia dan pertumbuhan penduduk menyebabkan kelapa sawit akan terus termanfaatkan. Permasalahan peningkatan hasil CPO Indonesia di pasar internasional yaitu disebakan oleh banyak faktor kendala, antara lain adalah ; 1. Produktivitas di bawah potensinya Kelapa sawit Indonesia jika dibandingkan dengan Negara Malaysia dari sisi produktivitas masih rendah. Negara Indonesia mempunyai rata-rata produktivitas kelapa sawit sebesar 14-16 ton/hektar/tahun sementara Malaysia mempunyai produktivitas sebesar 18-21 ton/hektar/tahun tandan buah segar sawit. Produktivitas CPO yang dihasilkan Indonesia sebesar 2,51 ton/hektar berbeda dengan Negara Malaysia yang mampu menghasilkan CPO sebesar 3,21 ton/hektar (PPKS, 2006). Rendahnya produktivitas kelapa sawit Indonesia disebabkan oleh penggunaan bibit yang tidak sesuai dengan standar (kualitas rendah dan palsu), perawatan (pemupukan, pembersihan rumput, penyemprotan dan pruning) yang tidak berkesinambungan, hama dan penyakit (ganoderma) yang menggangu tanaman kelapa sawit seperti gajah, babi dan kera, serta faktor alam yang tidak bisa diprediksi. 2. Industri hilir belum berkembang Industri hilir pengolahan CPO di Indonesia saat ini masih terbatas karena iklim investasi yang belum kondusif. Pengolahan minyak sawit mentah untuk diolah menjadi produk yang lebih mempunyai nilai tambah (value add) salah satunya oleokimia (sabun, detergen, margarin) dan minyak goreng masih terbatas, karena investasi pembangunan pabrik pengolahan yang besar. Selain itu masalah pasokan gas bumi dan listrik yang belum mencukupi kebutuhan pabrik pengolahan kelapa sawit. Peluang besar bagi negara Malaysia untuk mencukupi permintaan pasar dunia akan kebutuhan minyak nabati khususnya dari kelapa sawit, dan merupakan peluang belum termanfaatkan oleh negara Indonesia. 3. Infrastruktur yang terbatas Areal penanaman kelapa sawit biasanya pada daerah yang jauh dari pemukiman penduduk dan lokasi pabrik (50-200 km), kerena sebelum dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit lahan tersebut adalah kawasan hutan. Jarak yang jauh antara kebun kelapa sawit dengan pabrik tersebut tidak didukung dengan fasilitas jalan dan jembatan yang baik. Pembangunan jalan yang belum permanen menyebabkan pengangkutan sering mengalami keterlambatan apabila memasuki musim penghujan yang berdampak terhadap penurunan kualitas buah sawit yang akan diolah. 4. Berbagai kebijakan yang tidak kondusif Langkanya minyak goreng dan diikuti oleh mahalnya minyak goreng dalam negeri diakibatkan naiknya harga CPO di pasar internasional. Naiknya harga CPO di pasar internasional menyebabkan produsen dalam negeri banyak mengekspor CPO dari pada menjual CPO di dalam negeri. Tingginya harga CPO dunia juga dipengaruhi oleh permintaan yang semakin tinggi untuk kebutuhan biodiesel dan pengaruh iklim global seperti kekeringan yang berkepanjangan menyebabkan turunnya hasil pertanian baik untuk keperluan pabrik nabati atau biodiesel seperti yang terjadi di Ukraina, China, USA, dan beberapa Negara di Eropa. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka mengatasi kelangkaan minyak goreng adalah dengan meningkatkan pajak ekspor (PE) berdasarkan keputusan menteri keuangan Nomor 61/PMK 001/2007 mengenai peningkatan pajak ekspor untuk CPO dari 1,5 persen menjadi 6,5 persen dan peningkatan pajak ekspor kelapa sawit segar (TBS) sebesar 10 persen dari sebelumnya hanya 3 persen. Dampak yang ditimbukan oleh kebijakan pemerintah dengan adanya pajak ekspor yaitu ; a) Mengurangi pendapatan produsen perkebunan kelapa sawit b) Memicu penyeludupan CPO c) Menguntungkan negara eksportir lain d) Berdampak kehilangan pasar e) Mengganggu iklim investasi f) Menghambat program pemerintah dalam program pengentasan kemiskinan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 357/Kpts/HK.350/5/2002 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, mengatur mengenai luas lahan usaha budidaya perkebunan untuk satu perusahaan atau grup perusahaan yang ditetapkan bahwa luas maksimum lahan usaha perkebunan adalah 20.000 hektar dalam satu Provinsi atau 100.000 hektar untuk seluruh Indonesia. Dikeluarkanya keputusan ini menyebabkan para investor bepikir untuk menanamkan investasi pada sub sektor perkebunan, karena keputusan ini membuat pengusaha perkebunan sulit untuk mengontrol operasional perkebunan yang tersebar di beberapa daerah. 5. Berkembangnya areal swadaya tanpa pabrik kelapa sawit (PKS) Harga kelapa sawit yang tinggi banyak dimanfaatkan petani kelapa sawit, pihak swasta dan Badan Usaha Milik Negara untuk memperoleh keuntungan dengan mengusahakan kelapa sawit. Areal swadaya yang di tanam oleh masyarakat Indonesia saat ini belum didukung oleh pabrik pengolahan kelapa sawit, karena untuk investasi pembangunan pabrik pengolahan membutuhkan modal yang besar yaitu 103 miliar (PPKS, 2006). Akibat yang ditimbulkan oleh kurangnya pabrik pengolahan buah kelapa sawit, menyebabkan buah sawit petani perkebunan swadaya menjadi membusuk dan petani merugi. Integrasi vertikal sangat penting agar antara pabrik dan pemilik kelapa sawit sehingga dapat saling menguntungkan. Dari 22 provinsi yang mengusahakan kelapa sawit di Indonesia, terdapat 420 pabrik pengolahan kelapa sawit yang tersebar di daerah perkebunan kelapa sawit. Akan tetapi ada provinsi yang tidak mempunyai pabrik pengolahan kelapa sawit akan tetapi mempunyai perkebunan sawit, antara lain Kepulauan Riau dan Sulawesi Tenggara (Lampiran 1). 6. Kampanye negatif terhadap produk kelapa sawit di pasar Internasional Peningkatan produksi kelapa sawit dengan pembukaan lahan untuk areal perkebunan kelapa sawit banyak menuai kritikan dari berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional dan Negara di Eropa terutama Inggris. Menurut mereka dampak yang ditimbulkan dari pembukaan lahan kelapa sawit yaitu rusaknya lingkungan, menyebabkan deforestrasi, berkurangnya satwa langka, dan penyumbang pemanasan global terbesar. Perdagangan global menjanjikan pengurangan hambatan berupa tarif, dan proteksi namun di satu sisi muncul tantangan baru berupa hambatan non tarif atau non tarif barrier melalui ketentuan-ketentuan standard code yang dikenal dengan perjanjian technical barrier to trade (TBT) dan perjanjian sanitary and phytosanitary (SPS). Kedua perjanjian tersebut berkaitan dengan standar produk dan jasa, perlindungan kesehatan, keselamatan masyarakat dan lingkungan hidup. Karena itu dalam merebut peluang pasar yang makin terbuka, penyediaan barang dan jasa harus didukung oleh suatu sistem mutu yang diakui secara internasional. Dari uraian permasalahan di atas maka yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana struktur industri CPO di pasar Internasional ? 2. Apakah industri CPO Indonesia memiliki keunggulan komparatif ? 3. Apakah industri CPO Indonesia memiliki keunggulan kompetitif ? 4. Strategi apa yang perlu dirumuskan untuk memperkuat industri CPO Indonesia di pasar internasional ? 1.3 Tujuan Peneitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis struktur industri CPO di pasar Internasional. 2. Menganalisis keunggulan komparatif industri CPO Indonesia. 3. Menganalisis keunggulan kompetitif industri CPO Indonesia. 4. Merumuskan strategi untuk memperkuat dayasaing industri CPO nasional di pasar internasional. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi penulis bermanfaat dalam mengaplikasikan teori dan bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan serta pengetahuan. 2. Bagi pembaca, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi, acuan serta informasi dalam melihat permasalahan kelapa sawit. II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Gambaran Umum Kelapa Sawit 2.1.1 Sejarah Kelapa Sawit Kelapa sawit pertama kali di tanam secara masal pada tahun 1911 di daerah asalnya Afrika Barat. Kegagalan penanaman tersebut menyebabkan perkebunan dipindahkan ke Kongo. Kelapa sawit masuk ke Indonesia pada tahun 1848 sebagai tanaman hias di Kebun Raya Bogor, tanaman kelapa sawit diusahakan sebagai komersial pada tahun 1912 dan di ekspor minyak kelapa sawit pertama dilakukan pada tahun 1919. Industri kelapa sawit Indonesia dan Malaysia berawal ketika empat benih dari Afrika ditanam pada Taman Botani Bogor tahun 1848. Benih kelapa sawit dari Bogor ini kemudian di tanam pada tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaysia pada tahun 1911-1912. 2.1.2 Karakteristik Tanaman Kelapa Sawit Kelapa sawit (Elaeis) termasuk golongan tumbuhan palma. Di Indonesia penyebarannya di daerah Aceh, pantai timur Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Kelapa sawit menjadi populer setelah revolusi industri pada akhir abad ke-19 yang menyebabkan permintaan minyak nabati untuk bahan pangan dan industri sabun menjadi tinggi. Kelapa sawit mempunyai produktivitas lebih tinggi dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya (seperti kacang kedelai, kacang tanah, biji bunga matahari dan tanaman penghasil minyak nabati lainnya), sehingga harga produksi menjadi lebih ringan. Kelapa sawit juga merupakan tanaman yang paling tahan hama dan penyakit dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Jika dilihat dari konsumsi per kapita minyak nabati dunia mencapai angka rata-rata 25 kg/th per orang, kebutuhan ini akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan meningkatnya konsumsi per kapita. Klasifikasi Botani tanaman kelapa sawit : Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Magnoliophyta : Liliopsida : Arecales : Arecaceae : Elaeis : Elaeis guineensis Elaeis oleifera Kelapa sawit dapat mencapai tinggi 25 meter. Bunga dan buahnya berupa tandan, bercabang banyak, ukuran buah kecil, bila masak berwarna merah kehitaman dan daging buahnya padat. Pada daging dan kulit buahnya mengandung minyak. Minyak tersebut digunakan sebagai bahan minyak goreng, sabun, dan lilin. Ampasnya dapat dimanfaatkan untuk makanan ternak, ampas yang disebut bungkil dapat digunakan sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang. Kelapa sawit dapat berkembang biak dengan biji (generatif) dan vegetatif. Tanaman ini tumbuh pada daerah tropis, pada ketinggian 0 - 500 meter di atas permukaan laut. Kelapa sawit membutuhkan tanah yang subur seperti tanah latosol, ultisol, alluvial dengan drainase yang baik serta solum yang cukup dalam kira-kira 1 meter, dengan kelembaban 80 sampai 90 persen. Kelembaban tinggi itu antara lain ditentukan oleh adanya curah hujan yang tinggi, sekitar 2000 - 2500 mm setahun. 2.1.3 Bibit Kelapa Sawit di Indonesia Ketersediaan bibit sangat penting dan strategis karena merupakan tumpuan utama untuk mencapai keberhasilan perkebunan. Kelapa sawit yang berkualitas membutuhkan bibit yang berkualitas sesuai dengan standar yang ditentukan. Pengembangan agribisnis kelapa sawit di Indonesia kedepan didukung secara handal oleh tujuh produsen benih dengan kapasitas 141 juta pada tahun 2006. Produsen penghasil bibit kelapa sawit yaitu: Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) dengan kapasitas produksi 40 juta ton, PT. Socfindo dengan kapasitas produksi 45 juta ton, PT. Lonsum dengan kapasitas produksi 14 juta ton, PT. Dami Mas dengan kapasitas produksi 15 juta ton, PT. Tunggal Yunus dengan kapasaitas produksi 6 juta ton, PT. Bina Sawit Makmur dengan kapasitas produksi 15 juta ton dan PT Tania Selatan sebesar 1 juta ton. Permasalahan benih palsu diyakini dapat teratasi melalui langkah - langkah sistematis dan strategis yang telah disepakati secara nasional. Impor benih kelapa sawit harus dilakukan secara hati - hati terutama dengan pertimbangan penyebaran penyakit. Bibit yang dihasilkan oleh produsen resmi ini mempunyai kualitas baik karena berasal dari induk yang jelas asal usulnya seperti Delidura, Tenera dan Bapak Pisifera. Adapun ciri dari masing - masing jenis kelapa sawit yaitu : 1. Kelapa sawit jenis dura biasanya di tanam sebagai pohon induk dengan ciri : a. Mempunyai ciri daging buah tipis (20 - 65%) b. Tempurung yang tebal (20 - 50%) c. Biji tebal (4 - 20%) 2. Kelapa sawit jenis pisifera biasanya di tanam sebagai tanaman serbuk dengan ciri : a. Mempunyai ciri daging tebal (92 - 97%) b. Tidak mempunyai tempurung c. Biji kecil (3 - 8%) 3. Kelapa sawit jenis tenera biasanya di tanam diperkebunan kelapa sawit dengan ciri : a. Mempunyai ciri daging buah sedang (60 - 96%) b. Tempurung yang tipis (3 - 20 %) c. Biji sedang (3 -15%) 2.1.4 Standar Nasional CPO (Crude Palm Oil) Standar Nasional Indonesia untuk CPO adalah SNI 01-2901-2006 yang merupakan revisi dari SNI 01-2901-1992. Tujuan dari standar ini adalah menyesuaikan standar mutu minyak kelapa sawit mentah Indonesia dengan mutu minyak kelapa sawit yang umum dipakai dalam perdagangan internasional sesuai dengan perkembangan yang terakhir, sehingga minyak kelapa sawit Indonesia dapat bersaing dipasar internasional. Tabel 4 Syarat Mutu Minyak Kelapa Sawit Mentah (CPO) Menurut Badan Standarisasi Nasional (BSN) Kriteria uji Satuan Persyaratan Mutu Warna Jingga kemerahan Kadar air dan kotoran 0,5 maks %, fraksi masa Asam lemak bebas %, fraksi masa 5 maks Bilangan Yodium g yodium/100g 50 - 55 Sumber : Badan Standarisasi Nasional 2.1.5 Usahatani Kelapa Sawit Kebijakan pada sub sektor perkebunan, yang menjadi landasan perundangan adalah Undang-undang No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, yang memiliki ruang lingkup pengaturan meliputi perencanaan perkebunan, penggunaan tanah, pemberdayaan dan pengelolaan usaha, pengelolaan dan pemasaran hasil, penelitian dan pengembangan, pengembangan sumberdaya manusia, pembiayaan, pembinaan dan pengawasan. Pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia dapat dilakukan dalam berbagai pola yaitu; 1. Pola Koperasi Usaha Perkebunan, yaitu pola pengembangan yang modal usahanya 100 persen dimiliki oleh Koperasi Usaha Perkebunan. 2. Pola Patungan Koperasi dengan Investor Koperasi, yaitu pola pengembangan yang sahamnya dimiliki koperasi sebesar 65 persen dan sisanya dimiliki investor atau perusahaan. 3. Pola Patungan Investor Koperasi, yaitu pola pengembangan yang sahamnya 80 persen dimiliki investor atau perusahaan dan 20 persen dimiliki koperasi yang ditingkatkan secara bertahap. 4. Pola BOT (Built Operate and Transfer), yaitu pola pengembangan di mana pembangunan dan pengoperasian dilakukan oleh investor atau perusahaan yang kemudian pada waktu tertentu seluruhnya dialihkan kepada koperasi. 5. Pola BTN, yaitu pola pengembangan di mana investor atau perusahaan membangun kebun atau pabrik pengolahan hasil perkebunan yang kemudian akan dialihkan kepada peminat atau pemilik yang tergabung dalam koperasi. 6. Pola-pola pengembangan lainnya yang saling menguntungkan, memperkuat, membutuhkan antara petani pekebun dengan perusahaan perkebunan. Dalam rangka pengembangan sistem dan usaha agribisnis perkebunan secara optimal, maka pemerintah menyusun langkah pemantapan melalui pendekatan Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN), dimana Pedoman Kriteria dan Standar Klasifikasi KIMBUN dituangkan dalam Keputusan Menteri Pertanian No. 633/Kpts/OT.140/10/2004. Adapun bagan dari strategi pengembangan perkebunan oleh pemerintah saat ini dapat dilihat pada Gambar 2. Dengan adanya pedoman ini diharapkan terciptanya sistem agribisnis perkebunan yang mempunyai dayasaing tinggi, berkelanjutan dan berkeadilan untuk kemakmuran rakyat Indonesia5. PR PERANAN • UUD 45 • UU 12/1992 • UU 9/1995 • UU 25/1992 • TAP XVI/MPR/1 998 • INPRES § Pembentukan PDB § Perkembangan Produksi & Luas Areal § Penyerapan Tenaga Kerja § Sektor Perdagangan § Pembangunan Ekonomi Daerah § Ketahanan Pangan § Pelestarian Lingkungan Hidup Kebijakan • Pengembangan Komoditas • Peningatan Kemampuan SDM & IPTEK • Penumbuhan Kemitraan Usaha • Pengembangan Kelembagaan • Investasi Usaha Perkebunan • Peningkatan Dukungan Pembangunan Ketahanan Pangan • Pengelolaan SDA &Lingkungan Hidup • Pengembangan Sistem Informasi Perkebunan KIMBUN Terwujudnya Sistem AGRIBISBUN yang Utuh, Berdaya Saing Tinggi, berkeadilan, berkelanjutan, untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat PB Gambar 2 Bagan Strategi Pembangunan Perkebunan Sumber : Shobirin, 2003 5 Shobirin.2003. http://sawitwatch.or.id/index?option=com_content&task=view+55&itemid=27&lang. Nasional terkait dengan pengembangan komoditi kelapa sawit. Kebijakan 2.1.6 Pengolahan Kelapa Sawit Industri pengolahan kelapa sawit menurut Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 107 Kep/Kpts/1999, pemberian ijin pendirian pabrik kelapa sawit harus ada jaminan adanya pasokan dari kebun sendiri. Pabrik kelapa sawit standar dengan kapasitas 30 ton Tandan Buah Segar (TBS)/jam, memerlukan dukungan kebun sawit seluas minimal 6000 hektar. Pabrik pengolahan mini dengan kapasitas 10 ton TBS/jam, memerlukan dukungan kebun sawit seluas 2000 hektar. Strategi pengembangan agribisnis kelapa sawit diantaranya adalah integrasi vertikal dan horisontal perkebunan kelapa sawit dalam rangka peningkatan ketahanan pangan masyarakat, pengembangan usaha pengolahan kelapa sawit di pedesaan, menerapkan inovasi teknologi dan kelembagaan dalam rangka pemanfaatan sumber daya perkebunan, dan pengembangan pasar. Strategi tersebut didukung dengan penyediaan infrastruktur (sarana dan prasarana) dan kebijakan pemerintah yang kondusif untuk peningkatan kapasitas agribisnis kelapa sawit. Dalam implementasinya, strategi pengembangan agribisnis kelapa sawit didukung dengan program-program yang komprehensif dari berbagai aspek manajemen, yaitu perencanaan, pelaksanaan (perbenihan, budidaya dan pemeliharaan, pengolahan hasil, pengembangan usaha, dan pemberdayaan masyarakat) hingga evaluasi. 2.1.7 Peranan Kelapa Sawit Dalam Bidang Sosial dan Perekonomian Indonesia Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai banyak manfaat. Kegunaan kelapa sawit yaitu dapat diolah menjadi biofuel dan minyak goreng yang merupakan salah satu bagian dari sembilan bahan pokok. Melihat potensi pasar dalam negeri dan luar negeri untuk permintaan kelapa sawit yang besar, sehingga banyak para produsen di dalam negeri yang mengusahakan kelapa sawit dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang besar dengan mengekspor kelapa sawit dalam bentuk segar (TBS) ataupun dalam bentuk CPO. Para produsen kelapa sawit terdiri dari Badan Usaha Milik Negara atau BUMN atau PTPN (Perusahaan Terbatas Perkebunan Nasional), BUMS atau Badan Usaha Milk Swasta (Sinar Mas, Astra) dan juga masyarakat petani kelapa sawit swadaya. Dampak yang ditimbulkan oleh pembukaan lahan kelapa sawit dan pabrik-pabrik secara sosial pada daerah setempat adalah penyerapan tenaga kerja dalam kegiatan produksi kelapa sawit baik di lapangan maupun di pabrik (penyiapan lahan, pembukaan lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan)6. Selain penyerapan tenaga kerja dampak langsung yang ditimbulkan dengan hadirnya perkebunan kelapa sawit adalah peningkatan pendapatan yang menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat. Pembangunan sarana dan prasarana penunjang perkebunan seperti pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, pembangunan sarana-sarana umum, pendidikan, kesehatan, bantuan bencana alam dan pembangunan tempat ibadah juga merupakan bentuk sosial dari pihak produsen atau perusahaan kelapa sawit kepada masyarakat setempat. 6 Sahrul Mulia Harahap. 2001. Studi Evaluasi Lingkungan Sosial Menuju Penyelesaian Konflik. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Permintaan kelapa sawit dari dalam negeri dan luar negeri dalam bentuk buah segar (TBS) dan bentuk CPO menyebabkan perlunya perluasan areal produksi kelapa sawit. Pengembangan perkebunan untuk menghasilkan produksi kelapa sawit seperti di daerah Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan daerah-daerah lain di Indonesia akan membantu meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) melalui pajak. Daerah-daerah pengembangan kelapa sawit akan berusaha menarik investor dari mancanegara dan domestik melaui promosipromosi yang dilakukannya. Secara nasional kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan andalan Indonesia untuk di ekspor sebagai penghasil devisa. Pada saat ini harga kelapa sawit di pasar internasional sangat tinggi sehingga menyebabkan banyak produsen kelapa sawit yang mengekspor keluar negeri. Fluktuasi harga kelapa sawit dan CPO di pasar internasional dipengaruhi oleh harga minyak goreng dari komoditas lain seperti kedelai, zaitun dan rapeseed7. Produksi dan pengembangan industri kelapa sawit Indonesia menimbulkan sejumlah masalah yaitu ancaman keragaman hayati yang rusak, praktek pembakaran hutan untuk pembukaan lahan, konflik sosial dengan masyarakat lokal. Mengatasi permasalahan itu maka sekarang produsen kelapa sawit harus memproduksi kelapa sawit dengan cara-cara yang lestari yaitu dengan memperhatikan aspek-aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. 7 http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0304/10/ekonomi/248870.htm Kelapa Sawit Indonesia Memang tak Sekedar CPO. Diakses 15 januari 2008 2.2 Penelitian Terdahulu 2.2.1 Penelitian Dayasaing Kristina (2006) melakukan penelitian mengenai dayasaing teh hitam Indonesia di pasar internasional dengan teknik estimasi menggunakan data panel yang diperoleh melalui kombinasi data time series dan cross-section dalam kurun waktu tahun 1993-2003. Pengolahan data menggunakan tiga metode yaitu metode pooled, metode fixed effect dan metode random effect. Selanjutnya dari ketiga metode tersebut dilakukan uji F dan uji Hausman untuk mengetahui metode yang terbaik dalam mengestimasi model. Dari hasil pengolahan data dan uji kesesuaian model diketahui bahwa metode yang terbaik dalam estimasi adalah metode fixed effect. Berdasarkan pengolahan hasil melalui estimasi model menggunakan data panel dengan metode fixed effect diketahui bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pangsa pasar teh hitam Indonesia berdasarkan nilai probabilitasnya yang diperoleh adalah produksi teh hitam dan jumlah konsumsi teh hitam di dalam negeri. Penelitian yang dilakukan oleh Rosalita (1996) tentang Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetif Pengusahaan Minyak Sereh Wangi di Perkebunan Cireundeu, PT Djasulawangi, Kabupaten sukabumi. Menggunakan alat analisis BSD (Biaya Sumber Domestik) menunjukan hasil bahwa pengusahaan minyak sereh wangi menguntungkan secara finansial sebesar Rp. 37.052.337,09 dan mengguntungkan secara ekonomi sebesar Rp. 54.221.721,56. Pengusahaan minyak sereh juga memiliki keunggulan kompetitif dengan nilai KBSD*<1 yaitu sebesar 0,78. Penelitian yang dilakukan oleh Yusran (2006) tentang analisis dayasaing manggis menguntungkan dan efesien secara finansial dan ekonomi. Nilai keuntungan privat yaitu sebesar Rp. 1.471,51/kg (Desa Kracak) dan Rp. 3.621,8/kg (Desa Babakan) dan PCR lebih kecil dari satu yaitu sebesar 0,71 (Desa Kracak) dan 0,44 (Desa Babakan). Keuntungan sosial sebesar Rp.1.984,04/kg (Desa Kracak) dan Rp. 2.614,06/kg (Desa Babakan) dan DRC kurang dari satu yaitu sebesar 0,61 (Desa Kracak) dan 0,50 (Desa Babakan). Hasil perhitungan menunjukan bahwa pengusahaan manggis memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dan memiliki keunggulan diatas normal, baik dalam kondisi adanya distorsi kebijakan maupun dalam pasar persaingan sempurna. 2.2.2 Penelitian Kelapa sawit Penelitan yang dilakukan oleh Dicky Armansyah (2005) mengenai Strategi Pengembangan Bisnis Minyak Kelapa Sawit (CPO) pada PT. Socfindo, Sumatera Utara). Penelitian ini menggunakan analisis QSPM yang akan menghasilkan beberapa strategi. Kondisi eksternal yaitu peluang utama PT. Socfindo adalah produk turunan kelapa sawit yang menghasilkan nilai tambah yang tinggi, sedangkan ancaman utama bagi PT. Socfindo adalah adanya pencurian buah sawit. Kekuatan kondisi Internal perusahaan yaitu produk CPO yang dihasilkan berkualitas tinggi, sedangkan faktor kelemahan utama perusahaan adalah areal perkebunan yang dimiliki tergolong kecil. Lima Strategi yang dapat diprioritaskan berdasarkan besarnya skor yaitu: 1). Memperluas areal perkebunan dan memberikan nilai tambah bagi produk hilir kelapa sawit, 2) Menjaga kualitas produk CPO dan turunnya dan juga nama baik perusahaan, 3) Memperluas wilayah pemasaran CPO dan turunnya di dalam dan di luar negeri serta mempertahankan pasar yang ada, 4) Meningkatkan pengawasan terhadap proses produksi di kebun dan di pabrik, 5) Meningkatkan pengamanan di perkebunan dan juga mengawasi proses distribusi produk. Penelitian yang dilakukan oleh Yolanda Hole (2000) mengenai Partisipasi Petani Dalam Kegiatan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Kelapa Sawit di Manokwari Irian Jaya. Berdasarkan hasil penelitiannya menunjukan bahwa terdapat perbedaan petani transmigrasi lokal dan petani transmigrasi swakarsa yang tercermin pada komponen-komponen partisipasi meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Selanjutnya hasil penelitian ini menyatakan bahwasanya faktor pengalaman kerja dan motivasi ekstrinsik berhubungan nyata dengan tingkat partisipasi petani transmigrasi lokal, dan faktor pengalaman kerja, motivasi intrinsik, dan sifat kosmopolit petani berhubungan dengan tingkat partisipasi petani transmigrasi swakarsa. Penelitian yang dilakukan oleh Berani Purba (2003) mengenai Kontribusi Perkebunan Terhadap Pembangunan Perekonomian di Siak, Provinsi Riau. Analisa yang digunakan adalah Indeks Location Quotient, baik terhadap pendapatan dan penyerapan tenaga kerja pada sub sektor perkebunan. Hasil penelitian menyatakan kelapa sawit di daerah Siak memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan sektor pertanian lainnya. Demkian juga dengan tenaga kerja yang diserap pada kegiatan transpotasi, pengolahan, dan pemasaran berdampak positif terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar perkebunan. 2.2.3 Penelitian CPO (Crude Palm Oil) Penelitian Analisis Integrasi Pasar CPO Dunia dengan Pasar CPO, Minyak Goreng, dan TBS Domestik Serta Pengaruh Tarif Ekspor CPO dan Harga BBM Dunia oleh Yunita (2007). Menggunakan metode pengolahan Vector Auoregression (VAR). Dari hasil penelitian menunjukan bahwa pasar CPO dunia terintegrasi dengan pasar CPO, minyak goreng, dan TBS domestik. Pasar CPO dunia berperan sebagai penentu harga, sedangkan pasar domesik berperan sebagai pengikut harga. Pada pasar domestik, terjadi integrasi pasar antara pasar CPO dengan pasar TBS domestik. Dimana pasar CPO domestik adalah penentu harga bagi pasar TBS domestik. Tarif ekspor CPO yang ditetapkan pemerintah ternyata tidak berpengaruh terhadap integrasi pasar yang terjadi. Dapat dikatakan bahwa tarif ekspor yang berlaku tidak efektif, karena tarif ekspor yang tinggi dapat meminimumkan penghasilan produsen dan eksortir CPO, serta petani, harga BBM dunia berpengaruh terhadap integrasi pasar yang terjadi. Penelitian yang dilakukan oleh Fachnany Siregar (2005) mengenai Strategi Pengembangan Biodiesel Berbasis CPO di Indonesia dengan menggunakan analisis SWOT. Dari hasil penelitian terdapat 5 strategi untuk meningkatkan biodiesel. Pertama pengembangan industri biodiesel kerakyatan, kedua pembuatan standar biodiesel yang mendapat pengakuan dari agen tunggal pemegang merek, ketiga promosi dan sosialisasi kepada masyarakat oleh semua pihak terkait atau stakeholder, keempat pembuatan energi plantation atau lahan sawit khusus biodiesel, dan kelima mengadakan kerjasama dengan pihak asing baik dalam permodalan, pengembangan teknologi dan pemasaran. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah alat analisis yang digunakan untuk menganalisis permasalahan yang berkaitan dengan dayasaing industri CPO Indonesia dipasar internasional, dengan menganalisis keunggulan dayasaing CPO Indonesia secara kompetitif dan komparatif. III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Dayasaing Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam kamus Bahasa Indonesia tahun 1995 berpendapat bawa dayasaing adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu atau bertindak untuk merebut pasar. Sedangkan menurut Brataatmaja (1994) mendefinisikan dayasaing sebagai kekuatan, kemampuan atau kesanggupan untuk bersaing. Pengertian dayasaing juga mengacu pada kemampuan suatu negara untuk memasarkan produk yang dihasilkan negara itu relatif terhadap kemampuan negara lain (Bappenas, 2007). Pengertian dayasaing dapat diterjemahkan dari sisi permintaan (demand side) dan dari sisi penawaran (supply side). Dari sisi permintaan, kemampuan bersaing mengandung arti bahwa produk agribisnis yang dijual haruslah produk yang sesuai dengan atribut yang dituntut konsumen atau produk yang dipersepsikan bernilai tinggi oleh konsumen (Consumer s value perception). Sementara dari sisi penawaran, kemampuan bersaing berkaitan dengan kemampuan merespon perubahan atribut-atribut produk yang dituntut oleh konsumen secara efisien. 3.1.1.1 Keunggulan Komparatif Suatu negara akan memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan negara lain bila negara tersebut berspesialisasi dalam komoditas yang dapat diproduksi dengan lebih efesien (mempunyai keunggulan absolut) dan mengimpor komoditas yang kurang efesien (mengalami kerugian absolut). Konsep keunggulan komparatif (The Law of Comparative Advantage) yang dipopulerkan oleh David Ricado (1823) yang menyatakan bahwa sekalipun suatu negara mengalami kerugian atau ketidakunggulan absolut dalam memproduksi kedua komoditas jika dibandingkan dengan negara lain, namun perdagangan yang saling mengguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang kurang efesien akan berspesialisasi dalam memproduksi komoditas ekspor pada komoditas yang mempunyai kerugian absolut lebih kecil. Dari komoditas ini negara tersebut mempunyai keunggulan komparatif dan akan mengimpor komoditas yang mempunyai kerugian absolut lebih besar. Dari komoditas inilah negara mengalami kerugian komparatif (Salvatore, 1997). Hukum keunggulan komparatif diperkuat oleh keunggulan komparatif berdasarkan Teori Biaya Imbangan (Opportunity Cost Theory), yang dikemukakan oleh Haberler tahun 1936. Harberler menyatakan bahwa biaya dari suatu komoditas adalah jumlah komoditas kedua terbaik yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditas pertama (Salvatore, 1997). Teori keunggulan komparatif yang lebih modern adalah teori HecksherOhlin (1933), yang pada perbedaan bawaan faktor (produksi) antar negara sebagai determinasi perdagangan yang paling penting. Teori Hecksher-Ohlin menggangap bahwa sebuah negara akan mengekspor komoditas yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam waktu bersamaan negara akan mengimpor komoditas yang produksinya memerlukan sumberdaya yang relatif langka dan mahal di negara itu. Keunggulan komparatif yang dimiliki dalam perdagangan memiliki sifat yang dinamis bukan statis. Sifat yang dinamis tersebut membuat negara memiliki keungglan komparatif di sektor tertentu harus mampu mempertahankan agar tidak tersaingi oleh negara lain atau digantikan komoditas subtitusinya. 3.1.1.2 Keunggulan Kompetitif Keunggulan kompetitif adalah alat untuk mengukur kelayakan suatu aktivitas atau keuntungan privat yang dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku (analisis finansial), sehingga konsep keunggulan kompetitif bukan merupakan suatu konsep yang sifatnya menggantikan atau mensubtitusi terhadap konsep keunggulan komparatif, akan tetapi merupakan suatu konsep yang sifatnya saling melengkapi. Analisis keunggulan kompetitif dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur keuntungan privat dengan dasar aktivitas ekonomi diukur pada harga pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku. Maka aktivitas ekonomi suatu negara dapat bersaing di pasar internasional dengan kompetitifnya dalam menghasilkan suatu komoditas dengan asumsi adanya sistem pemasarannya dan intervensi pemerintah. Keunggulan bersaing negara mencakup tersedianya peran sumberdaya dan melihat lebih jauh pada keadaan negara yang mempengaruhi perusahaanperusahaan internasional pada industri yang berbeda. Sebagian besar sumberdaya yang penting seperti keahlian tenaga kerja yang tinggi, teknologi dan sistem manajemen yang canggih diciptakan melalui investasi oleh orang - orang dan perusahaan. Atribut yang merupakan faktor penentu keunggulan bersaing industri nasional yaitu kondisi sumberdaya, kondisi permintaan, industri pendukung dan terkait, serta persaingan, struktur dan strategi perusahaan. Keempat atribut tersebut didukung oleh peranan kesempatan dan peranan pemerintah dalam meningkatkan keunggulan dayasaing industri nasional, dan secara bersama-sama membentuk suatu sistem yang dikenal dengan National Diamond System. Strategi perusahaan, struktur, dan persaingan Kesempatan Kondisi Faktor Kondisi permintaan Industri terkait dan pendukung Gambar 3 “The National Diamond System” Sumber : Porter 1990 Pemerintah Setiap atribut yang terdapat dalam Teori Berlian Porter memiliki poin poin penting yang menjelaskan secara detail atribut yang ada, dengan penjelasnya sebagai berikut ; 1. Kondisi Faktor Sumberdaya Posisi suatu bangsa berdasarkan sumberdaya yang dimilikinya merupakan faktor produksi yang diperlukan untuk bersaing dalam industri tertentu. Faktor produksi tersebut digolongkan pada lima kelompok ; a) Sumberdaya Manusia Sumberdaya manusia yang mempengaruhi daya saing industri nasional terdiri dari jumlah tenaga kerja yang tersedia, kemampuan manajerial dan keterampilan yang dimilikinya, biaya tenaga kerja yang berlaku (tingkat upah) dan etika kerja (termasuk moral). b) Sumberdaya Fisik/Alam Sumberdaya fisik atau sumberdaya alam yang mempengaruhi dayasaing industri nasional mencakup biaya, kualitas, aksesbilitas, ukuran lahan (lokasi), ketersediaan air, mineral dan energi serta sumber daya pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan (termasuk sumberdaya perairan laut lainnya), dan sumber peternakan, serta sumberdaya alam lainnya, baik yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui. Begitu juga kondisi cuaca dan iklim, luas wilayah geografis, kondisi topografis dan lain-lain. c) Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Sumberdaya IPTEK mencakup ketersediaan pengetahuan pasar, pengetahuan ilmiah yang menunjang dan diperlukan dalam memproduksi barang dan jasa. Begitu juga ketersediaan sumber-sumber pengetahuan dan teknologi, seperti perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan, lembaga statistik, literatur bisnis dan ilmiah, basis data, laporan penelitian, asosiasi pengusaha, asosiasi perdagangan dan sumber pengetahuan dan teknologi lainnya. d) Sumberdaya Modal Sumberdaya modal yang mempengaruhi dayasaing nasional terdiri dari jumlah dan biaya (suku bunga) yang tersedia, jenis pembiayaan (sumber modal), aksesibilitas terhadap pembiayaan, kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan, tingkat tabungan masyarakat, peraturan keuangan, kondisi moneter dan fiskal, serta peraturan moneter dan fiskal. e) Sumberdaya Infrastruktur Sumberdaya infrastruktur yang mempengaruhi dayasaing nasional dapat dilihat dari ketersediaan, jenis, mutu, dan biaya penggunaan infrastruktur yang mempengaruhi persaingan, termasuk sistem transportasi, komunikasi, pembayaran dan transfer dana, air bersih, energi listrik dan lain-lain. 2. Kondisi Permintaan Kondisi permintaan dalam negeri merupakan faktor penentu dayasaing industri nasional, terutama mutu pemintaan domestik. Mutu permintaan domestik merupakan sarana pembelajaran perusahaan domestik untuk bersaing di pasar global. Mutu permintaan (pesaingan yang ketat) di dalam negeri memberikan tantangan bagi setiap pasar domestik. Ada tiga faktor kondisi permintaan yang mempengaruhi dayasaing nasional ; a. Komposisi Permintaan Domestik Karakteristik permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing nasional. Karakteristik tersebut meliputi ; 1) Struktur segmen permintaan merupakan faktor penentu dayasaing Industri nasional. Pada sebagian besar industri, permintaan yang ada telah tersegmentasi atau dipersempit menjadi beberapa bagian yang lebih spesifik. Pada umumnya perusahaan lebih mudah memperoleh dayasaing pada struktur segmen permintaan yang lebih luas dibandingkan dengan struktur segmen yang sempit. 2) Pengalaman dan selera pembeli yang tinggi akan meningkatkan tekanan kepada produsen untuk menghasilkan produk yang bermutu dan memenuhi standar yang tinggi, yang mencakup standar mutu produk, fiturfitur pada produk dan pelayanan. 3) Antisipasi kebutuhan pembeli yang baik dari perusahaan dalam negeri merupakan suatu poin dalam memperoleh keunggulan dayasaing. b. Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan Jumlah atau besarnya permintaan domestik mempengaruhi tingkat persaingan dalam negeri, terutama disebabkan oleh jumlah pembeli bebas, tingkat pertumbuhan permintaan domestik, timbulnya permintaan baru, dan kejenuhan permintaan lebih awal sebagai akibat perusahaan domestik melakukan penetrasi pasar lebih awal. Pasar domestik yang luas dapat diarahkan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dalam suatu industri. Hal ini terjadi jika industri dilakukan dalam skala ekonomis melalui adanya penanaman modal dengan membangun fasilitas skala besar, pengembangan teknologi dan peningkatan produktifitas. c. Permintaan Luar Negeri Terhadap Nasional Pembeli lokal yang merupakan pembeli dari luar negeri akan mendorong dayasaing industri nasional kerena dapat membawa produk tersebut keluar negeri. Konsumen yang memiliki mobilitas internasional tinggi dan sering mengunjungi suatu negara juga dapat mendorong dan meningkatkan dayasaing produk negeri yang dikunjungi tersebut. 3. Industri Terkait dan Industri Pendukung Keberadaan industri pendukung dan industri terkait yang memiliki dayasaing global juga akan mempengaruhi dayasaing industri utamanya. Industri hulu yang memiliki dayasaing global akan memasok input bagi industri utama dengan harga lebih murah, mutu yang lebih baik, pelayanan yang cepat, pengiriman tepat waktu dan jumah sesuai dengan kebutuhan industri utama, sehingga industri tersebut juga akan memiliki dayasaing global yang tinggi. Begitu juga industri hilir yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan baku. Apabila industri hilir memiliki dayasaing global maka industri hilir tersebut dapat menarik industri hulunya untuk memperoleh dayasaing global. 4. Struktur, Persaingan dan Strategi Perusahaan Tingkat persaingan dalam industri merupakan salah satu pendorong bagi perusahaan-perusahaan yang berkompetisi untuk terus melakukan inovasi. Keberadaan pesaing lokal yang handal dan kuat merupakan faktor penentu dan sebagai motor penggerak untuk memberikan tekanan antar perusahaan untuk berkompetisi dan terus melakukan inovasi. Keberadaan pesaing lokal yang handal dan kuat merupakan faktor penentu sebagai motor penggerak untuk memberikan tekanan pada perusahaan lain untuk meningkatkan dayasaingnya. Perusahaan- peruahaan yang telah terbukti bersaing ketat dalam industri nasional akan lebih mudah memenangkan persaingan internasional dibandingkan dengan perusahaanperusahaan yang belum memliki dayasaing nasional atau berada dalam industri yang tingkat persaingannya rendah. Strukur industri dan struktur perusahaan juga menentukan dayasaing yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang tercakup dalam industri tersebut. Struktur industri yang monopolistik kurang memiliki daya dorong untuk melakukan perbaikan-perbaikan serta inovasi-inovasi baru dibandingkan dengan struktur industri yang bersaing. Di lain pihak, struktur perusahaan yang berada dalam industri sangat berpengaruh terhadap bagaimana perusahaan yang bersangkutan dikelola dan dikembangkan dalam suasana tekanan persaingan, baik domestik maupun internasional. Di samping itu, juga berpengaruh pada strategi perusahaan untuk memenangkan persaingan domestik dan internasional. Dengan demikian secara tidak langsung akan meningkatkan dayasaing global industri yang bersangkutan. 5. Peran Pemerintah Peran pemerintah merupakan variabel pendukung dari Teori Berlian Porter. Pemerintah dapat mempengaruhi keempat variabel utama. Variabel kondisi faktor sumberdaya dipengaruhi melalui subsidi, kebijakan pasar modal, kebijakan pendidikan dan lain sebagainya. Peranan pemerintah dalam membentuk kondisi permintaan domesik seringkali sulit untuk dijelaskan. Pemerintah juga bertugas menetapkan standar produk lokal melalui departemen - departemen yang ada. Pemerintah juga seringkali menjadi pembeli utama, misalnya pembelian alat telekomunikasi atau penerbangan untuk keperluan negara. Bahkan pemerintah dapat juga menjadi penjual utama atau memegang kekuasaan atas produk-produk vital yang menyangkut kepentingan rakyat banyak. Pada bagian industri pendukung dan terkait, pemerintah dapat membentuk polanya, seperti dengan mengkontrol media periklanan dan membuat regulasi dari pelayanan pendukung. Disamping itu, pemerintah juga dapat mempengaruhi persaingan, struktur dan strategi perusahaan melalui regulasi pasar modal, kebijakan pajak dan peundangundangan. 6. Peran Kesempatan Kesempatan mempunyai dampak yang asimetris atau hanya berlaku satu arah terhadap keempat faktor utama dari Teori Berlian Porter. Faktor Peluang seringkali merupakan suatu hal yang besar di luar kekuatan dari industri dan juga pemerintah dalam mempengaruhi keunggulan kompetitif, yaitu hak paten, perang, keputusan politik dari pemerintah luar negeri dan lainnya. 3.1.2 Struktur Pasar Istilah struktur pasar (market structure) mengacu pada semua aspek yang dapat mempengaruhi perilaku dan kinerja perusahaan di suatu pasar, misalnya jumlah perusahaan di pasar atau jenis produk yang mereka jual (Lipsey,1997). Struktur pasar umumnya dicirikan atas dasar empat karakteristik yang penting, yaitu jumlah dan distribusi ukuran dari penjual dan pembeli yang aktif serta para pendatang potensial, tingkat diferensiasi produk, jumlah dan biaya, informasi tentang harga dan mutu produk, serta kondisi masuk dan keluar pasar. 3.1.2.1 Pasar Persaingan Sempurna Menurut pappas dan Hirchey (1995), pasar persaingan sempurna adalah struktur pasar yang dicirikan dengan sejumlah besar pembeli dan penjual untuk sebuah produk yang homogen, di mana setiap transaksi peserta pasar adalah begitu kecil sehingga tidak memiliki pengaruh terhadap harga dari produk tersebut. Para pembeli dan penjual individual adalah para pengambil harga (price taker). Harga telah ditentukan pasar dan cenderung konstan. Ini berarti bahwa perusahaan–perusahaan mengambil harga sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah dan tidak mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi pasar melalui tindakannya sendiri. Sehingga untuk mendapatkan keuntungan maksimum seorang produsen hanya dapat mencapainya melalui keputusan banyaknya jumlah produk yang akan dijual, dengan kata lain laba maksimum dapat diwujudkan dalam kondisi MR=MC. Pada struktur pasar ini informasi permintaan dan penawaran yang bebas dan lengkap tersedia serta tidak terdapat hambatan masuk dan keluar yang berarti, akibatnya tingkat pengembalian atas investasi hanya dimungkinkan dalam jangka panjang. 3.1.2.2 Pasar Persaingan Monopolistik Menurut Pappas dan Hirchey (1995), persaingan monopolistik adalah pasar yang terdiri dari banyak penjual yang menawarkan produk-produk yang serupa tetapi tidak identik atau terdiferensiasi. Namun barang-barang tersebut tidak bisa saling mensubtitusi. Sehingga konsumen melihat adanya perbedaan penting diantara produk-produk yang ditawarkan oleh setiap produsen individual. Perusahaan dalam persaingan monopolistik dapat memperkenalkan sebuah inovasi dalam produk yang dapat memberikan peningkatan laba ekonomi yang cukup besar dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, peniruan oleh para pesaing akan mengikis pangsa pasar dan laba akhirnya menurun ketingkat normal. Alasan perusahaan dalam industri monopolistik dapat mengontrol harga produknya adalah subyektifitas konsumen yang memandang produk-produknya berbeda. Oleh sebab itu, perusahaan-perusahaan pada industri yang memiiki struktur ini berusaha meyakinkan bahwa produk mereka berbeda dan lebih baik dari perusahaan lainnya. 3.1.2.3 Pasar Oligopoli Menurut Lipsey (1997), Oligopoli adalah industri yang terdiri dari dua atau beberapa perusahaan, sedikitnya satu di antaranya menghasilkan sebagian besar dari keluaran total industri. Para oligopolis memperhitungkan keputusan– keputusan yang diambil oleh berbagai produsen dan mereka memperhitungkan juga dampak keputusan yang diambil oleh berbagai produsen dan mereka memperhitungkan juga dampak keputusan mereka terhadap pesaing-pesaingnya. Bila tedapat perubahan harga sekecil apapun, maka konsumen beralih pada produsen lainnya. Akses yang yang terbatas pada informasi, biaya, dan mutu produk yang dikombinasikan dengan hambatan masuk dan keluar yang tinggi memberikan potensial laba ekonomi dalam jangka panjang. Strategi untuk mendapatkan keuntungan dalam pasar oligopoli antara lain adalah perusahaan-perusahaan yang terlibat dapat bekerjasama dalam beberapa hal yang menyangkut kepentingan bersama, lalu melakukan strategi diferensiasi produk, dan inovasi produk. 3.1.2.4 Pasar Monopoli Menurut Pappas dan Hirchey (1995), pasar monopoli adalah suatu pasar yang dicirikan dengan penjual tunggal dan sebuah produk yang sangat terdiferensiasi. Produsen monopoli dapat menentukan harga. Hambatan masuk atau keluar yang besar seringkali merintangi para pendatang potensial. Monopoli biasa terjadi kerena 3 hal, yaitu monopoli alami, monopoli kerena efisiensi yang superior, dan monopoli kerena paten. 3.1.3 Teori Perdagangan Internasional Pengertian sederhana pedagangan internasional adalah suatu proses yang timbul sehubungan dengan pertukaran komoditas antar negara. Adam Smith dalam Salvatore (1996) menyatakan bahwa perdagangan antara dua negara di dasarkan pada keunggulan absolut (absolute advantage). Jika sebuah negara lebih efisien dari pada (atau memilki keunggulan absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien dibanding (atau memiliki kerugian absolut terhadap) negara lain dalam memproduksi komoditas lainnya, maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masingmasing melakukan spesialisasi dalam memproduksi komoditas yang memiliki keunggulan absolut, dan menukarkannya dengan komoditas lain yang memiliki kerugian absolut. Melalui proses ini sumberdaya di kedua negara dapat digunakan dalam cara yang paling efesien. Output kedua komoditas yang diproduksi pun akan meningkat. Peningkatan dalam output ini akan mengukur keuntungan dari spesialisasi produksi untuk kedua negara yang melakukan perdagangan. Menurut teorema (Heckscher-Ohlin dalam Salvatore, 1996) sebuah negara akan mengekspor komoditi yang diproduksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam waktu yang bersamaan akan mengimpor komoditas yang diproduksinya memerlukan sumberdaya yang relatif langka dan mahal di negara itu. Singkatnya, sebuah negara yang relatif kaya atau berkelimpahan tenaga kerja akan mengekspor komoditas yang relatif padat tenaga keja dan mengimpor komoditas yang relatif padat modal (yang meupakan faktor produksi langka dan mahal di negara bersangkutan). Dalam teori mengenai timbulnya perdagangan Internasional, (HeckscherOhlin dalam Salvatore, 1987) menganggap bahwa negara dicirikan oleh faktor bawaan yang berbeda, sedangkan fungsi produksi di semua negara adalah sama. Dengan menggunakan asumsi tersebut diperoleh kesimpulan bahwa dengan fungsi produksi yang sama dan faktor bawaan yang berbeda antar negara, suatu negara cenderung untuk mengekspor komoditas yang secara relatif intensif dalam menggunakan faktor produksinya lebih banyak dan mengimpor barang-barang yang menggunakan faktor-faktor produksi yang relatif langka dan intensif. Volume ekspor suatu komoditas tertentu dari suatu negara ke negara lain merupakan selisih antara penawaran domestik dan permintaan domestik yang disebut sebagai kelebihan penawaran (excess supply). Di lain pihak kelebihan penawaran dari negara tersebut merupakan permintaan impor bagi negara lain atau merupakan kelebihan permintaan (excess demand). Selain dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran domestik, ekspor juga dipengaruhi oleh faktor-faktor pasar dunia seperti harga komoditas itu sendiri dan komoditas subtitusinya dipasar internasional serta hal-hal yang dapat mempengaruhi harga baik secara langsung maupun tidak langsung (Salvatore, 1996). 3.1.4 Pasar dan Pangsa Pasar Dalam perdagangan dikenal istilah pasar. Menurut Lipsey (1995), pasar merupakan suatu konsep yang memiliki beberapa definisi. Definisi yang pertama yaitu pasar merupakan tempat berlangsungnya negosiasi pertukaran komoditas antara pembeli dan penjual. Definisi yang kedua dari sudut pandang rumah tangga, pasar adalah perusahaan-perusahaan dimana rumah tangga dapat membeli produk. Definisi yang ketiga dari sudut pandang perusahaan, pasar adalah pembeli - pembeli dimana perusahaan dapat menjual produk. Sedangkan pengertian pasar yang dikemukakan oleh WJ. Stanton dalam Swatha (1998) adalah orang-orang yang mempunyai keinginan untuk puas, uang untuk berbelanja dan kemauan untuk membelanjakannya. Istilah pangsa pasar (market share) didefinisikan sebagai persentase penguasaan pasar (Chandradhy, 1978). 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Sub sektor perkebunan merupakan salah satu sektor dari sekian banyak sektor unggulan ekspor Indonesia. Salah satu komoditas unggulan perkebunan adalah kelapa sawit selain keret, teh, kopi dan lain sebagainya. Hal ini terlihat dari kontribusinya terhadap devisa negara dan penyerapan tenaga kerja. Kebutuhan kelapa sawit untuk kebutuhan minyak goreng dan sebagai bahan bakar (biofuel). Industri CPO Indonesia bukan hanya memasok kebutuhan di dalam negeri saja, melainkan negara lain seperti India, China, Belanda, dan Negara Uni Eropa. Permasalahan yang menyebabkan dayasaing CPO negara kita masih rendah dibanding Malaysia antara lain pertama produktivitas kelapa sawit Indonesia masih di bawah potensinya, kedua industri hilir belum berkembang, ketiga infrastruktur yang terbatas, keempat berbagai kebijakan yang tidak kondusif, kelima berkembangnya areal swadaya tanpa pabrik kelapa sawit, dan keenam adanya kampanye negatif terhadap produk kelapa sawit di pasar Internasional. Sehingga perlu perbaikan dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas kelapa sawit agar mampu bersaing dengan pesaing utama yaitu Malaysia. Terbukanya kran perdagangan bebas antar negara merupakan peluang bagi negara Indonesia untuk meningkatkan devisa dari ekspor kelapa sawit. Selain itu tuntutan permintaan CPO dari negara-negara Eropa atau importir yang besar menyebabkan adanya syarat komoditas ekspor yang bersaing dan harus memperhatikn aspek linkungan, ekonomi dan sosial masyarakat sekitar perkebunan. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan dari penelitian “Dayasaing Industri CPO Indonesia di Pasar Internasional” ini adalah menganalisis struktur pasar dalam perdagangan CPO serta menganalisis posisi dayasaing CPO di pasar Internasional. Oleh karena itu, tahapan dalam penelitian ini adalah melakukan pengkajian potensi, kendala, dan peluang komoditas CPO. Analisis situasi tersebut dilakukan dengan pendekatan Teori Berlian Porter (Porter Diamond Theory) tentang keunggulan bersaing suatu negara. Pendekatan lain yang digunakan adalah analisis Herifindahl Index yaitu untuk mengetahui struktur pasar dan pangsa pasar yang dimiliki oleh CPO di pasar internasional. Dalam penelitian ini juga menggunakan analisis kuantitatif lain yaitu Revealed Comparative Index (RCA). Nilai RCA digunakan untuk menjelaskan kekuatan dayasaing komoditas CPO Indonesia secara relatif terhadap produk sejenis dari negara lain (dunia) yang juga menunjukan posisi komparatif Indonesia sebagai produsen CPO dibandingkan dengan negara lainnya dalam pasar minyak sawit mentah internasional. • • Permasalahan didalam negeri yang menyebabkan dayasaing kelapa sawit nasional menurun Persaingan komoditi di pasar Internasional dengan terbukanya kran perdagangan bebas Posisi dayasaing CPO (Crude Palm Oil) Indonesia Analisis struktur industri CPO di pasar Internasional Herifindahl Index dan Rasio Konsenttrasi Analisis keunggulan Komparatif CPO Indonesia Analisis Keunggulan Kompetitif industri CPO Indonesia Revealed Comparatif Advantage (RCA) Teori Berlian Porter Gambaran dayasaing CPO Indonesia menghadapi persaingan Internasional (Identifikasi faktor SWOT) Strategi untuk meningkatkan dayasaing CPO Indonesia di pasar Internasional (Analisis SWOT) Gambar 4 Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada beberapa tempat diantaranya Gedung PAU IPB Lantai 2 yang merupakan pusat organisasi Masyarakat Kelapa Sawit Indonesia (MAKSI), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Dewan Minyak Sawit Indonesia Jakarta, serta Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian Jakarta. Penelitian ini berlangsung pada bulan Febuari hingga April 2008. 4.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data sekunder di peroleh dari Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian antara lain: luas lahan, produksi, produktifitas kelapa sawit, dan ekspor CPO, gambaran umum kelapa sawit, selain itu sumber data yang menunjang penelitian ini diperoleh dari buku-buku literatur, perpustakaan LSI, dan internet. Data primer digunakan untuk melihat gambaran umum keadaan perkelapa sawitan Negara Indonesia saat ini. Data primer merupakan hasil wawancara dengan GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia), Masyarakat Kelapa Sawit Indonesia (MAKSI), dan Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI). 4.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data Analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan menggunakan Teori Berlian Porter dan analisis SWOT, sedangkan analisis kuantitatif menggunakan Herifindahl Index (HI) dan Revealed Comparative Advantage (RCA). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Excel 2007. 4.3.1 Analisis Struktur Industri Herifindahl Index dan Rasio Konsentrasi adalah alat analisis yang digunakan untuk mengetahui struktur pasar yang dihadapi suatu industri. Herfindahl Index merupakan suatu alat untuk mengukur besar kecilnya (ukuran) perusahaan-perusahaan dalam industri dan sebagai indikator jumlah pesaing diantara mereka. Herfindahl Index dan rasio konsentrasi sering digunakan untuk mengukur konsentrasi industri. Nilai Herifindahl Index mencerminkan penguasaan pangsa pasar oleh suatu perusahaan dalam suatu industri. Indeks tersebut merupakan hasil penjumlahan kuadrat pangsa pasar tiap-tiap perusahaan dalam suatu industri. Sij = Xij / TXj Keterangan : Sij Xij TXj : Pangsa pasar CPO Negara i di pasar internasional : Nilai ekspor CPO Negara i dipasar internasional : Total nilai ekspor CPO di pasar internacional Dalam penelitian ini, alat analisis Herifindahl Index digunakan dengan tujuan mengetahui struktur pasar CPO di pasar internasional sekaligus mengukur penguasaan pangsa pasar masing-masing negara terlibat dalam perdagangan CPO. Pangsa pasar CPO suatu negara dihitung dengan membandingkan ekspor CPO tersebut dengan total ekspor dunia. Formula yang sama kemudian digunakan untuk mengukur struktur pasar dan pangsa pasar suatu negara dalam perdagangan CPO internasional, yaitu sebagai berikut HI = S12 + S22 + S32 + +Sn2 Keterangan : HI Si n : Herifindahl Index : Pangsa pasar Negara ke i dalam perdagangan CPO dunia : Jumlah Negara yang terlibat dalam perdagangan CPO Didasarkan pada analisa standar dalam ekonomi industri, bahwa struktur industri dikatakan berbentuk oligopoli bila empat produsen terbesar menguasai minimal 40 persen pangsa pasar penjualan dari industri yang besangkutan (CR4=40 persen). Apabila kekuatan keempat produsen tersebut sama, maka pangsa penjualan atau produksi masing-masing produsen adalah 10 persen dari nilai penjualan atau produksi suatu industri. Apabila penguasaan pasar oleh sepuluh produsen atau kurang dalam suatu industri merupakan batas minimum suatu industri berbentuk oligopolistik, maka terdapat kecendrungan peningkatan derajat penguasaan pasar dari tahun ketahun. Sejalan dengan peningkatan derajat penguasaan pasar tersebut, beberapa sub sektor industri beralih kearah persaingan oligopolistik. Nilai Herifindahl Index ini berkisar antara 0 hingga 1 (atau 10.000 yang merupakan kuadrat dari 100 persen). Jika nilai Herifindahl Index mendekati 0 berarti struktur pasar industri yang bersangkutan cenderung ke pasar persaingan (competitive market), sementara jika indeks bernilai mendekati 1 (atau 10.000) maka struktur pasar industri tersebut cenderung bersifat monopoli. Struktur pasar juga dapat diklasifikasikan berdasarkan rasio konsentrasinya, yaitu : 1. Struktur pasar persaingan sempurna (perfect competition) ditunjukan dengan rasio konsetrasi yang sangat rendah. 2. Struktur pasar persaingan monopolistik (monopolistic competicion) ditunjukan dengan nilai rasio konsetrasi untuk empat produsen terbesar (CR4) di bawah 40 persen. 3. Strukur pasar oligopoli ditunjukan dengan nilai rasio konsentrasi empat produsen terbesar (CR4) diatas 40 persen. 4. Struktur pasar monopoli ditunjukan dengan nilai rasio konsentrasi empat produsen (CR4) mendekati 100 persen. Rasio konsentrasi negara penghasil kelapa sawit di formulasikan sebagai berikut: Keterangan Sij : Pangsa pasar negara ke i penghasil CPO CRni : Menunjukan n-rasio konsentrasi pada pasar internasional Nilai CR yang banyak digunakan adalah CR4 dan CR8 menunjukan persentase output pasar yang dihasilkan oleh keempat atau kedalapan produsen terbesar dalam industri. Semakin besar nilai rasio konsentrasi menunjukan bahwa industri tersebut semakin terkonsentrasi dan semakin sedikit jumlah produsen yang berada dipasar, sedangkan semakin rendah rasio konsentrasi menunjukan konsentrasi pasar yang rendah, persaingan yang lebih ketat dikarenakan tidak ada produsen yang secara signifikan menguasai pasar. Dengan mengetahui nilai Herifindahl Index dan Rasio Konsentrasi empat produsen terbesar ini maka secara tidak langsung dapat diketahui konsentrasi dan struktur pasar persaingan di mana Indonesia dan negara-negara produsen CPO lainnya bersaing, serta menyesuiakan strategi kompetitif yang akan digunakan. Tingkat konsentrasi pasar yang dapat dirumuskan dari dua alat yaitu Herifindahl Index dan CR4 adalah sebagai berikut : 1 Konsentrasi pasar yang tinggi dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar antara 80-100 persen, sedangkan kisaran nilai HI yaitu antara 1.800-10.000. struktur pasar untuk tingkat konsentrasi tinggi adalah monopoli atau oligopoli ketat. 2 Konsentrasi pasar yang sedang dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar antara 50 sampai 80 persen, sedangkan kisaran nilai HI yaitu antara 1.0001.800. struktur pasar yang mungkin untuk tingkat konsentrasi sedang adalah lebih banyak oligopoli. 3 Konsentrasi pasar yang rendah dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar 0 sampai dengan 50 persen, sedangkan kisaran nilai HI antara 0 sampai dengan 1.800. Struktur pasar dengan tingkat konsentrasi rendah adalah struktur pasar persaingan sempurna atau persaingan monopolistik. 4.3.2 Reveled Comparative Advantage (RCA) Salah satu cara untuk mengukur keunggulan komparatif adalah dengan menggunakan Revealed Comparative Advantage Index, yang membandingkan pangsa pasar ekspor sektor tertentu suatu negara dengan pangsa pasar sektor tertentu di pasar dunia. Keuntungan dari menggunakan RCA Index adalah bahwa indeks ini mempertimbangkan keuntungan intrinsik komoditas ekspor tertentu dan konsisten dengan perubahan di dalam suatu ekonomi produktifitas dan faktor anugerah alternatif, kerugiannya bagaimanapun juga indeks ini tidak dapat membedakan antara peningkatan didalam faktor sumberdaya dan penerapan kebijakan perdagangan yang sesuai. Tujuan penggunaan indeks RCA dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui posisi komparatif Indonesia diantara negara produsen kelapa sawit lainnya di pasar internasional. Selain itu indeks ini bermanfaat untuk mengukur dayasaing industri suatu negara, apakah industri cukup tangguh bersaing di pasar internasional atau tidak dapat diketahui secara kuantatif dengan menggunakan indeks ini. Rumus menurut Balasaa dalam Smyth (2005) untuk mengukur keunggulan komparatif sebuah Negara dengan menggunakan Revealed Comparative Advantage, yaitu : RCAi = ( Xij / Xj ) / (Xiw/Xw) Keterangan RCAi : Revealed Comparative Advantage untuk komditi i Xij : Nilai Ekspor komoditas i dari negara j Xj : Total ekspor negara j Xiw : Ekspor komoditas i seluruh dunia Xw : Total ekspor dunia Apabila hasil yang didapat yaitu nilai RCA lebih besar dari satu, maka dapat dikatakan Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk kondisi yang terkait dan mempunyai dayasaing kuat. Apabila nilai RCA kurang dari satu, maka Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif terhadap komoditi tersebut atau komoditi tersebut dayasaingnya lemah. Maka, semakin tinggi nilai RCA-nya semakin kuat dayasaingnya (Swaranindita, 2005) 4.3.3 Analisa Berlian Porter Alat analisis Berlian Porter digunakan untuk mengetahui situasi dan kondisi dari setiap atribut yang ada, seperti kondisi permintaan domestik, kondisi faktor sumberdaya, industri pendukung dan terkait dan persaingan, struktur dan strategi industri CPO nasional. Selain hal tersebut, terdapat juga dua atribut tambahan yaitu peran pemerintah dan peran dari kesempatan yang mempunyai pengaruh terhadap perkembangan industri CPO nasional. Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis industri CPO nasional, yaitu : 1) Menentukan siapa saja yang ada didalam industri. Hal ini dilakukan dengan membuat daftar kasar yang memuat para peserta industri secara langsung. 2) Menelaah industri. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya hasil telaah industri yang relatif cukup lengkap atau sejumlah artikel yang cakupannya luas. 3) Laporan tahunan. Laporan tahunan dapat berupa data-data perdagangan yang bersifat nasional maupun internasional dengan rentang waktu tertentu. 4.3.4 Analisa SWOT Dalam menetapkan strategi dan kebijakan pengembangan kelapa sawit Indonesia ke depan digunakan alat analisis SWOT. Dengan mengidentifikasi peluang dan ancaman yang dihadapi suatu industri serta analisis terhadap fakor kunci yang dijadikan sebagai bahan acuan dalam menetapkan strategi dan kebijakan penanganan kelapa sawit, guna mewujudkan industri yang tangguh melalui penciptaan kondisi yang kondusif. Analisis SWOT yaitu analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman (Strenghts, Weaknesses, Opportunities threats). Analisis SWOT merupakan identifikasi yang bersifat sistematis dari faktor–faktor kekuatan dan kelemahan industri serta peluang dan ancaman lingkungan luar dan strategi yang menyajikan kombinasi terbaik diantara ke empatnya. Setelah diketahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman barulah suatu industri dapat menentukan strategi dengan memanfaatkan kekuatan yang dimilikinya untuk mengambil keuntungan dari peluang-peluang yang ada, sekaligus untuk memperkecil atau bahkan mengatasi kelemahan yang dimilikinya untuk menghindari ancaman yang ada. 1. Analisis Kekuatan (Strengths) Kekuatan merupakan kelebihan khusus yang memberikan keunggulan di dalam suatu industri. Kekuatan akan mendukung perkembangan usaha dengan cara memperhatikan sumber dana, citra, kepemimpinan pasar, hubungan dengan konsumen atau pemasok, serta faktor lainnya. 2. Analisis Kelemahan (Weaknesses) Kelemahan adalah keterbatasan dan kekurangan dalam hal sumberdaya, keahlian dan kemampuan yang secara nyata menghambat aktivitas industri. fasilitas, sumberdaya keuangan, kemampuan manajerial dan pandangan terhadapa industri. 3. Analsis Peluang (Opportunities) Peluang adalah situasi yang diinginkan atau disukai dalam perusahaan atau industri yang diidentifikasi. Segmen pasar, perubahan dalam persaingan atau lingkungan, perubahan teknologi, peraturan baru dapat menjadi peluang bagi industri atau perusahaan. 4. Analisis Ancaman (Threats) Ancaman merupakan situasi yang paling tidak disukai oleh perusahaan atau industri. Ancaman merupakan penghalang bagi posisi yang diharapkan oleh industri. Masuknya pesaing baru, pertumbuhan pasar yang lambat, meningkatnya posisi penawaran pembeli dan pemasok, perubahan teknologi. Peraturan juga dapat menjadi ancaman bagi industri CPO. Matriks SWOT digunakan untuk menyusun strategi yang akan menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman yang dihadapi suatu industri atau perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan organisasi. Matriks SWOT ini menghasilkan 4 kemungkinan alternatif strategi yaitu strategi S – O strategi W – O strategi S – T dan strategi W – T . Internal Eksternal OPPORTUNITIES (O) Daftar 5-10 faktor peluang THREATS (T) Daftar 5-10 faktor Ancaman STRENGHT (S) WEAKNESS (W) Daftar 5-10 faktor kekuatan STRATEGI S-O Daftar 5-10 faktor kelemahan STRATEGI W-O Gunakan kekuatan untuk Atasi kelemahan dengan memanfaatkan peluang. memanfaatkan peluang STRATEGI S-T STRATEGI W-T Gunakan kekuatan untuk meminimalkan menghindari ancaman kelemahan dan menghindari ancaman Gambar 5 Matriks SWOT Terdapat 8 tahapan dalam membentuk matriks SWOT, yaitu ; 1. Tentukan faktor-faktor peluang eksternal organisasi atau perusahaan. 2. Tentukan faktor-faktor ancaman perusahaan atau industri. 3. Tentukan faktor-faktor kelemahan perusahaan atau industri. 4. Tentukan faktor-faktor kekuatan perusahaan atau industri. 5. Sesuaikan kekuatan internal dengan peluang eksternal untuk mendapatkan strategi S-O. 6. Sesuaikan kelemahan internal dengan peluang eksternal untuk ancaman eksternal untuk ancaman eksternal untuk mendapatkan strategi W-O. 7. Sesuiakan kekuatan internal dengan mendapatkan strategi S-T. 8. Sesuaikan kelemahan internal mendapatkan strtegi W-T. dengan Faktor Eksternal Faktor eksternal perusahaan atau industri dipengaruhi oeh lingkungan jauh perusahaan dan lingkungan bisnis perusahaan. Pengidentifikasian berbagai faktor eksternal ini diharapkan dapat memuat berbagai faktor luar yang dianggap sebagai peluang maupun ancaman bagi perusahaan dengan alasan yang kuat. Lingkungan eksernal perusahaan terdiri dari berbagai faktor yang pada dasarnya di luar dan terlepas dari perusahaan. Berbagai faktor utama yang diperhatikan dalam lingkungan eksternal jauh perusahaan ialah faktor politik, ekonomi, sosial, dan teknologi, yang sering disebut dengan PEST. Lingkungan jauh ini menjadi hambatan dan ancaman untuk maju. Penjelasan dari tiap faktor dipaparkan berikut ini. 1. Faktor Politik Arah kebijakan dan stabilitas politik pemerintah menjadi faktor penting bagi pengusaha untuk berusaha. Situasi politik yang tidak kondusif akan berdampak negatif bagi dunia usaha begitu pula sebaliknya. Beberapa hal utama yang harus diperhatikan dari faktor politik agar bisnis dapat berkembang dengan baik ialah undang-undang tentang lingkungan dan perburuhan, peraturan tentang perdagangan luar negeri, stabilitas pemerintah, peraturan tentang keamanan dan kesehatan kerja, dan sistem perpajakan. 2. Faktor Ekonomi Kondisi ekonomi suatu daerah atau negara dapat mempengaruhi iklim bisnis suatu perusahaan. Semakin buruk kondisi ekonomi, semakin buruk pula iklim berbisnis. Beberapa faktor kunci yang perlu diperhatikan dalam menganalisis faktor ekonomi adalah siklus bisnis atau ekonomi, ketersediaan energi, inflasi, suku bunga, investasi, harga-harga produk dan jasa, produkktivitas dan tenaga kerja. 3. Faktor Sosial Kondisi masyarakat berubah-ubah secara dinamis. Kondisi sosial meliputi banyak aspek yaitu sikap, gaya hidup, adat istiadat dan kebiasaan hidup orang-orang di lingkungan eksternal perusahaan, kondisi cultural perusahaan, ekologis demografis, relegius, pendidikan dan etnis. Contoh dari pengaruh kekuatan sosial ialah jika sikap sosial berubah, permintaan untuk berbagai kebutuhan akan berubah. 4. Faktor Teknologi Perkembangan teknologi mengalami kemajuan pesat, baik di bidang bisnis maupun di bidang yang mendukung kegiatan bisnis. Setiap kegiatan usaha yang diinginkan berjalan terus menerus harus selalu mengikuti perkembangan teknologi yang dapat diterapkan pada produk atau jasa yang dihasilkan atau pada cara operasinya. Agar perusahaan tidak tertinggal karena kesalahan penggunaan teknologi, maka ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan yaitu bagaimana kecepatan transfer teknologi. Faktor Internal Audit terhadap lingkungan internal bertujuan untuk mengetahui berbagai hal yang menjadi kekuatan ataupun kelemahan internal organisasi. Organisasi harus terus mengembangkan kekuatan (potensi) yang dimilikinya, diiringi dengan usaha memperbaiki kelemahan internalnya. Audit internal mencakup seluruh fungsi yang terdapat organisasi tersebut. Audit lingkungan internal ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan fungional perusahaan. Pada pendekatan fungsional perusahaan, pengkategorian analisis internal sering diarahkan pada pasar dan pemasaran, kondisi keuangan dan akunting, produksi, sumberdaya manusia, dan struktur organisasi dan manajemen. 1. Pasar dan Pemasaran Ada beberapa faktor yang diperhatikan dalam bidang pemasaran yaitu pangsa pasar, pelayanan purna jual, kepemilkan informasi tentang pasar, pengendalian distributor, kondisi satuan kerja pemasaran, kegiatan promosi, harga jual produk, komitmen manajemen puncak, loyalitas pelanggan dan kebijakan produk baru. 2. Keuangan dan Akuntasi Dana dibutuhkan dalam operasional perusahaan. Oleh karena itu, faktorfaktor yang perlu diperhitungkan adalah kemampuan peusahaan menumpuk modal jangka panjang dan jangka pendek, beban yang harus dipikul sebagai upaya memperoleh modal tambahan, hubungan baik dengan penanam modal dan pemegang saham, pengelolaan keuangan, struktur modal kerja, harga jual produk, pemantau penyebab inefesiensi dan sistem akunting yang handal. 3. Kegiatan Produksi dan Operasi Kegiatan produksi-operasi perusahaan dapat dilihat dari keteguhan dalam prinsip efesiensi, efektivitas dan produktivitas. Oleh karena itu faktor- faktor yang haarus diperhatikan ialah hubungan yang baik dengan pemasok, sistem logistik yang handal, lokasi fasilitas yang tepat, pemanfaatan teknologi yang tepat, organisasi yang memiiki kesatuan, pembiayaan, pendekatan inovatif dan proaktif, kemungkinan terjadinya terobosan dalam proses poduksi dan pengendalian mutu. 4. Sumberdaya Manusia Manusia merupakan sumberdaya yang penting bagi perusahaan. Oleh karena itu manajer perlu berupaya agar terwujud perilaku positif dikalangan karyawan perusahaan. Berbagai faktor yang perlu diperhatikan antara lain langkah-langkah yang jelas mengenai manajemen sumberdaya, keterampilan dan motivasi kerja, produktivitas dan sistem imbalan. V. GAMBARAN UMUM KELAPA SAWIT NASIONAL DAN INTERNASIONAL 5.1 Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Peluang untuk pengembangan agribisnis kelapa sawit masih cukup terbuka bagi Indonesia, terutama karena ketersediaan sumber daya lahan, tenaga kerja, teknologi dan para ahli. Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non migas bagi Indonesia. Cerahnya prospek komoditas minyak sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia sebagai bahan bakar alternatif (biofuel) pengganti bahan bakar minyak bumi telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit. Perkembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia dari tahun 1967 sampai dengan 2007 terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1967 luas areal perkebunan kelapa sawit hanya sebesar 105.808 hektar dengan produksi Crude Palm Oil (CPO) sebesar 197.669 ton dan mengalami peningkatan luasan areal signifikan memasuki tahun 1990 dengan luasan sebesar 1,12 juta hektar dan mampu menghasilkan CPO sebesar 2,41 juta ton. Pada tahun 2007 produksi CPO Indonesia telah mencapai 17,37 juta ton dengan luasan areal perkebunan sebesar 6,61 juta hektar. Untuk saat ini kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mampu memberikan kontribusi nyata terhadap pendapatan negara dan pendapatan masyarakat petani kelapa sawit serta mampu mengurangi tingkat pengganguran di Indonesia. 5.1.1 Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Menurut Pengusahaan Luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia senantiasa mengalami peningkatan setiap tahunnya. Besarnya peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia diakibatkan karena meningkatnya permintaan masyarakat domestik dan internasional terhadap kelapa sawit baik sebagai bahan baku dari bahan pangan, minyak goreng dan sebagai bahan bakar nabati (biofuel). Pada tahun 1994 luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebesar 1,80 juta hektar, pada tahun 2007 luasan areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia mengalami peningkatan menjadi sebesar 6,61 juta hektar dengan kepemilikan lahan terluas dimiliki oleh perkebunan rakyat mencapai 3,56 juta hektar. Luasan perkebunan akan terus bertambah seiring dengan kebutuhan konsumen akan kelapa sawit khususnya turunannya seperti Fatti Acid, Glyserin, Steame Acid dan Fatti Alkohol. Pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini masih didominasi oleh pihak swasta dikarenakan modal investasi yang dimilikinya besar sehingga mampu mengembangkan potensi perkebunan kelapa sawit yang dimilikinya (lebih dari 45 persen perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah milik investor dari Malaysia) 8. Pada saat ini bukan hanya perusahaan swasta dalam negeri yang menginvestasikan modalnya untuk mengusahakan kelapa sawit akan tetapi pihak swasta asing juga berminat untuk menginvestasikan dana yang 8 http://sawitwatch.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=12&Itemid=26%E2%8C %A9=en.Realitas Kebijakan dan Perizinan Usaha Perkebunan Pembelajaran dari sektor Perkebunan Skala Besar. Diakses tanggal 15 Maret 2008. dimilikinya. Potensi kelapa sawit sebagai penghasil minyak nabati dengan harga yang cenderung mengalami peningkatan dipasar internasional menyebabkan banyak pihak yang berminat untuk mengusahakan komoditas ini. Perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh rakyat pada tahun 2009 diperkirakan akan meningkat melebihi luasan perkebunan swasta dengan luas perkebunan rakyat menjadi sebesar 3,30 juta hektar. Kerjasama antara pihak swasta, pemerintah dengan masyarakat lewat PIR (Pengelolaan Inti Rakyat) dimana perusahaan sebagai inti mengikutsertakan masyarakat sebagai plasma dalam pengelolaan perkebunaan kelapa sawit menyebabkan bertambahnya luasan areal pengelolaan kelapa sawit di Indonesia. Tabel 5 Luasan Areal Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1994 – 2007 Luas Area (Ha) Tahun Perkebunan Perkebunan Perkebunan Total Rakyat (PR) Negara (PBN) Swasta (PBS) 1994 572.544 386.309 845.296 1995 658.536 404.732 961.718 1996 738.887 426.804 1.083.823 1997 813.175 517.064 1.592.057 1998 890.506 556.641 2.113.050 1999 1.041.046 576.999 2.283.757 2000 1.166.758 588.125 2.403.194 2001 1.561.031 609.947 2.542.457 2002 1.808.424 631.566 2.627.068 2003 1.854.394 662.803 2.766.360 2004 2.220.338 605.865 2.458.520 2005 2.356.895 529.854 2.567.068 2006 2.549.572 687.428 3.357.914 2007* 2.565.135 687.847 3.358.632 2008** 2.565.172 687.847 3.358.792 2009** 3.300.481 760.010 3.064.840 Sumber : Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007 Keterangan : (*) Angka Sementara (**) Angka Estimasi 1.804.149 2.024.986 2.249.514 2.922.296 3.560.196 3.901.802 4.158.077 4.713.435 5.067.058 5.283.557 5.284.723 5.453.817 6.594.914 6.611.614 6.611.811 7.125.31 5.1.2 Produksi dan Produktivitas Minyak Kelapa Sawit Indonesia Produksi minyak kelapa sawit di Indonesia dari tahun 2004 hingga tahun 2007 mengalami peningkatan yang signifikan. Besarnya produksi minyak sawit dikarenakan para pengusaha kelapa sawit melakukan peningkatan terhadap luas areal penanaman (Tabel 6). Produksi minyak sawit Indonesia hingga tahun 2007 sebesar 17,37 juta ton dengan kontribusi terbesar oleh perkebunan milik swasta sebesar 9,25 juta ton. Produksi CPO yang diusahakan oleh negara mempunyai kontribusi yang paling rendah dengan luasan areal 687.847 hektar pada tahun 2007. Perkebunan negara selain mengusahakan tanaman perkebunan dengan komoditas kelapa sawit lewat perusahaan perkebunan nasional (PTPN), juga mengusahakan tanaman perkebunan lainnya seperti teh dan karet. Investasi yang besar untuk mengembangkan komoditas perkebunan merupakan satu kendala, disamping itu kondisi alam (jenis tanah, curah hujan, ketinggian tempat) juga menyebabkan tidak disemua tempat kelapa sawit dapat dikembangkan. Produktivitas CPO jika dilihat dari tahun 1999 sampai dengan 2007 menurut pengusahaan, perkebunan rakyat mempunyai produktivitas 1,66 ton perhektar, sedangkan perkebunan negara mempunyai produktivitas 3,04 ton per hektar dan perkebunan swasta sebesar 1,95 ton perhektar. Dengan demikian ratarata produktivitas kelapa sawit Indonesia adalah sebesar 2,04 ton perhektar. Berdasarkan rata-rata produktivitas dengan rentang waktu tahun 1994 sampai tahun 2007, dapat disimpulkan perkebunan milik negara mempunyai produktivitas tertinggi selanjutnya perkebunan swasta lalu perkebunan rakyat dengan produktivitas terkecil. Perkebunan milik negara mempunyai produktivitas tertinggi, hal ini dikarenakan jenis tanaman yang diusahakan merupakan klonklon selain itu penguasaan budidaya juga baik. Kondisi yang berbeda ditemukan pada perkebunan milik rakyat dimana penggunaan teknik budidaya tanaman kelapa sawit belum dilakukan dengan bibit yang berkualitas, selain itu penggunaan teknologi juga masih bersifat sederhana sehingga produktivitas perkebunan rakyat masih rendah. Perkebunan milik rakyat mempunyai efisiensi yang cukup baik jika dari sisi tenaga kerja. Tabel 6 Produksi dan Produktivitas CPO di Indonesia Tahun 1994 – 2007 Tahun 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007* Ratarata Sumber Keterangan P.Rakyat 839.334 1.001.443 1.133.547 1.282.823 1.344.569 1.547.811 1.905.653 2.798.032 3.426.740 3.517.324 4.475.000 5.149.000 5.783.088 5.805.125 Produksi (Ton) P.Negara P.Swasta 1.571.501 1.597.227 1.613.848 1.864.379 1.706.852 2.058.259 1.586.879 2.578.806 1.501.747 3.084.099 1.468.949 3.438.830 1.460.954 3.633.901 1.519.289 4.079.151 1.607.734 4.587.871 1.750.651 5.172.859 2.096.000 6.395.000 2.295.000 7.176.000 2.313.729 9.254.031 2.313.976 9.254.101 2.766.672 1.677.362 4.420.045 Jumlah 4.008.062 4.479.670 4.898.658 5.448.508 5.930.415 6.455.590 7.000.508 8.396.472 9.622.345 10.440.834 12.966.000 14.620.000 17.350.848 17.373.202 Produktivitas (Ton/Ha) PR PN PS Rata 1,46 4,06 1,88 2,22 1,52 3,98 1,93 2,21 1,53 3,99 1,89 2,17 1,57 3,06 1,61 1,86 1,52 2,69 1,45 1,66 1,48 2,54 1,50 1,65 1,63 2,48 1,51 1,68 1,52 2,49 1,60 1,78 1,89 2,54 1,74 1,89 1,89 2,64 1,86 1,97 1,52 2,67 2,18 2,04 1,90 2,73 2,30 2,17 2,26 3,36 2,75 2,63 1,52 3,36 2,75 2,62 9.932.660 1,66 3,04 1,95 : Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007 : (*) Angka Sementara 2,04 5.1.3 Luas Areal dan Produksi Menurut Provinsi Pengusahaan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2007 tersebar di 22 provinsi di Indonesia dengan 11 provinsi yang tidak mengusahakan dari total 33 provinsi. Provinsi yang tidak mengusahakan kelapa sawit antara lain adalah DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku dan Maluku Utara. Areal perkebunan kelapa sawit terbesar terletak di Riau dengan luasan sebesar 1,54 juta hektar, dengan kepemilikan lahan terluas dimiliki oleh perkebunan rakyat seluas 749.379 hektar dan mampu memproduksi 4,68 juta ton tandan buah segar pada tahun 2007. Selain Riau, provinsi Sumatera Utara mempunyai luasan perkebunan sawit terbesar kedua dengan luasan areal penanaman sebesar 970.603 hektar, dan mampu memproduksi 3,20 juta ton kelapa sawit. Perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia akan direncanakan dilakukan pada beberapa daerah antara lain provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Jambi, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Banten, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Papua, dan Irian Jaya Barat. 5.1.4 Penyerapan Tenaga Kerja Perkembangan industri kelapa sawit di Indonesia mengalami peningkatan setiap tahunnya baik dari sisi luasan, produksi dan penyerapan tenaga kerja. Sampai tahun 2006 perkebunan kelapa sawit Indonesia mampu menyerap tenaga kerja sebanyak lebih dari tiga juta tenaga kerja, dan ini belum termasuk dalam sub sistem lainnya seperti pembibitan sampai industri hilir. Penyerapan tenaga kerja untuk perkebunan dapat membatu pemerintah mengurangi tingkat pengganguran. Penyerapan tenaga kerja terbesar dari perkebunan kelapa sawit diusahakan oleh perkebunan swasta. Tenaga kerja yang bekerja untuk perkebunan swasta sebanyak 1.371.000 dengan besarnya tingkat pertumbuhan sebesar 15,4 persen, di perkebunan rakyat tenaga kerja yang bekerja sebanyak 1.318.000 dengan tingkat pertumbuhan sebesar 25,9 persen, sedangkan perkebunan negara hingga tahun 2006 hanya mampu menyerap jumlah tenaga kerja 349.000 dengan tingkat pertumbuhan sebesar lima persen. Hingga tahun 2006 besarnya tenaga kerja yang mampu diserap dari sub sektor perkebunan sawit adalah 3.038.000 tenaga kerja dengan pertumbuhan sebesar 12,6 persen pertahun. Tabel 7 Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Perkebunan Kelapa Sawit Tahun 1980 – 2006 Tenaga Kerja Tahun Perkebunan Perkebunan Perkebunan Nasional Rakyat Negara Swasta 1980 3 100 42 145 1990 146 186 232 564 2000 584 294 1.202 2.08 2001 781 305 1.271 2.357 2002 904 316 1.314 2.534 2003 927 332 1.383 2.643 2004 1.11 303 1.23 2.643 2005 1.178 265 1.284 2.727 2006 1.318 349 1.371 3.038 Pert % 25,9 5,0 15,4 12,6 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2007 5.1.5 Unit Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit (PPKS) Pabrik pengolahan kelapa sawit berkembang seiring dengan pertumbuhan luas areal kelapa sawit, baik yang terpadu dengan kebun sendiri atau pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) maupun pabrik kelapa sawit yang mempunyai kebun sendiri dengan bahan baku dari petani swadaya. Penyebaran pabrik kelapa sawit pada tahun 2006 pada Lampiran 1 terlihat bahwasnya jumlah PKS (Pabrik Kelapa Sawit) sebanyak 420 unit dengan kapasitas 18.268 Ton TBS/Jam atau setara dengan minyak sawit 17,26 juta ton. Dengan dukungan pengolahan pabrik yang memadai maka seluruh TBS dapat diolah dengan baik. Akan tetapi terlihat bahwa ada beberapa provinsi yang belum mempunyai pabrik pengolahan kelapa sawit sehingga menyebabkan TBS yang ada didaerah tersebut tidak dapat diolah sendiri melainkan diolah pada daerah lain yang mempunyai pabrik pengolahan yang terdekat dengan daerahnya. Di Indonesia pabrik pengolahan kelapa sawit terletak menyebar pada daerah - daerah perkebunan kelapa sawit. Letak pabrik pengolahan terbanyak pada daerah Sumatera yaitu terdapat 349 pabrik dengan produksi sebesar 14,09 juta ton CPO untuk tahun 2006. Provinsi Riau merupakan daerah yang mempunyai pabrik pengolahan terbanyak dengan 128 pabrik pengolahan, kerena daerah ini merupakan provinsi dengan luas lahan perkebunan terbesar di Indonesia dengan luasan sebesar 1,54 juta hektar sehingga diperlukan pabrik yang mampu mengolah seluruh buah sawit. Pembangunan pabrik di daerah lain yang belum mempunyai pabrik pengolahan kelapa sawit sangat penting karena selain dapat mengurangi biaya pengangkutan juga dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja di daerah pabrik pengolahan tersebut. 5.2 Tingkat Harga CPO di Indonesia Perkembangan harga CPO di Indonesia dipengaruhi oleh harga CPO di tingkat internasional. Hal ini dikarenakan CPO merupakan komoditas ekspor dan hampir sebagian besar CPO Indonesia dijual keluar negeri sehingga harga jual maupun harga beli mengikuti harga yang terbentuk dalam pasar CPO internasional. Harga CPO dan harga TBS berbeda jauh karena adanya perbedaan nilai tambah pada komoditi tersebut. Harga TBS milik petani biasanya dihargai sesuai dengan ketentuan dari perusahaan atau koperasi pengumpul kelapa sawit. Tabel 8 Harga Tandan Buah Segar dan CPO di Indonesia Tahun 2000-2006 Harga TBS Produsen Harga CPO dalam Negeri Tahun (Rp/Ton) (Rp/Ton) 349.879 2000 3.217.151 295.333 2001 3.242.251 2002 4.212.691 385.875 2003 4.267.931 488.417 573.127 2004 4.584.302 2005 4.825.611 499.201 2006 4.701.113 551.186 Sumber : Departemen pertanian, 2007 Harga komoditas kelapa sawit segar milik produsen berfluktuatif. Harga buah sawit yang masih rendah ini diakibatkan karena belum adanya nilai tambah dari pengelolaan lebih lanjut pada sawit tersebut. Rata-rata harga kelapa sawit segar hanya berkisar Rp 300/kg sampai Rp 500/kg TBS (Tandan Buah Sawit). Selain masih belum diberikan nilai tambah pada sawit milik produsen juga dikarenakan posisi tawar produsen yang lemah (Bargaining Position) terhadap para Industri pengolahan lanjutan, khususnya produsen petani kelapa sawit. Para petani yang mengusahakan komoditas kelapa sawit karena tidak mempunyai pabrik pengolahan kelapa sawit untuk diubah menjadi minyak sawit sehingga para pemilik pabrik secara sepihak menentukan harga. Perkembangan harga Tandan Buah Segar di Indonesia tahun 2000-2006 terlihar pada Gambar 7. Gambar 6 Perkembangan Harga TBS Tahun 2000-2006 Harga CPO di Indonesia juga mengalami fluktuasi, dan cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan harga CPO di dalam negeri merupakan dampak dari harga CPO di pasar internasional yang juga mengalami peningkatan. Para produsen CPO yang mempunyai perkebunan kelapa sawit serta pabrik pengolahan rata-rata melakukan ekspor CPO karena tertarik akan keuntungan yang diperoleh dengan mahalnya harga CPO yang diakibatkan mahalnya harga BBM, sehingga para negara importir membutuhkan CPO untuk bahan bakar alternatif. Untuk mengatasi kelangkaan CPO di dalam negeri pemerintah melakukan intervensi dengan menerapkan PE 6,5 persen. Penetapan HPE CPO dilakukan melalui tim interdep yang beranggotakan unsur Departemen Pertanian, Departemen Keuangan, Departemen Perdagangan serta asosiasi-asosiasi terkait. HPE untuk CPO itu dihitung dengan cermat dengan melibatkan semua pemangku kepentingan ,ditentukan berdasarkan harga rata-rata internasional sebulan sebelumnya dikurangi faktor-faktor biaya. Untuk harga patokan ekspor CPO terus melambung seiring meningkatnya harga CPO di Rotterdam yang selama ini menjadi harga referensi dunia, termasuk dalam penetapan HPE untuk CPO di Indonesia. Gambar 7 Perkembangan Harga CPO di Indonesia Tahun 2000-2006 5.3 Mutu CPO Ekspor CPO atau minyak kelapa sawit mentah mempunyai banyak manfaat sehingga permintaan semakin meningkat. CPO tidak hanya cocok untuk industri makanan seperti minyak goreng, margarine dan lain sebagainya tetapi juga untuk industri oleokimia seperti sabun, gliserin, asam laurat, asam palmitat, asam lemak lain, fatty alkohol. Minyak kelapa sawit atau CPO mengandung karoten sebagai sumber Vitamin A, tokoperol sebagai sumber Vitamin E dan minyak esensial seperti asam oleat, dan lain sebagainya. Selain klasifikasi mutu yang sudah ditetapkan oleh Badan Standar Nasional untuk kriteria ekspor minyak kelapa sawit, negara konsumen terutama negara di kawasan Eropa juga menerapkan standar untuk produk minyak kelapa sawit dari produsen. Negara di Eropa meminta agar selain mutu kelapa sawit yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku juga harus mempunyai sertifikat dari RSPO (Roundtable for Sustainable Palm Oil). RSPO merupakan kriteria cara berproduksi berkelanjutan minyak kelapa sawit berisi dengan pengelolaan dan operasi mematuhi hukum mencapai pertumbuhan ekonomi yang viable memperhatikan lingkungan dan menguntungkan sosial. Tabel 9 Klasifikasi CPO Ekspor Free Fatty Acids Iodine value 2.5 % - 5 % 52 - 54 mg/gr Moisture 0,10 % Carotene 297 - 313 ppm Tocopherol 386 - 794 ppm Cu Trace Fe Trace Dobi (Deterioration of Bleachibility Index) Sumber : Pusat Penelitian Kelapa Sawit, 2006 2,3 - 2,4 Selain klasifikasi mutu yang sudah ditetapkan oleh Badan Standar Nasional untuk kriteria ekspor minyak kelapa sawit, negara konsumen terutama negara Eropa juga menerapkan standar untuk produk minyak kelapa sawit dari produsen. Negara di Eropa meminta agar selain mutu kelapa sawit yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku juga harus mempunyai sertifikat dari RSPO (Roundtable for Sustainable Palm Oil). Adapun kriteria RSPO adalah 1). Komitmen terhadap transparasi, 2). Memenuhi hukum dan peraturan yang berlaku, 3). Komitmen terhadap kelayakan ekonomi dan keuangan jangka panjang, 4). Penggunaan praktik terbaik dan tepat oleh pekebun dan pabrik, 5). Tanggung jawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam dan keanekaragaman hayati, 6). Tanggung jawab kepada pekerja, individu dan komunitas dari kebun dan pabrik, 7). Pengembangan kebun baru secara bertanggung jawab, 8). Komitmen terhadap perbaikan terus menerus pada wilayah – wilayah utama aktifitas. 5.4 Bentuk Kelapa Sawit Ekspor Indonesia Saat ini, ekspor kelapa sawit mampu mendatangkan devisa lebih dari US$ 4 miliar pertahun. Namun demikian, sekitar 90 persen volume ekspor pada tahun 1997-2006 masih dalam bentuk primer (CPO) sedangkan volume ekspor berbentuk derivatif (stearic acid, oleic acid, fatty alcohols) hanya sekitar 10 persen. Selain itu, pasokan bahan baku masih jauh di bawah kapasitas terpasang industri hilir dan pasokannya sering terganggu fluktuasi harga CPO di luar negeri. 5.5 Negara Tujuan Ekspor CPO Indonesia Negara tujuan ekspor minyak kelapa sawit Indonesia adalah negaranegara di seluruh dunia. Besarnya volume ekspor minyak kelapa sawit ke negaranegara konsumen selalu berfluktuatif. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan bahwasanya negara tujuan ekspor CPO adalah China, Eropa, India, Bangladesh, USA, Mesir, Russia dan negara lainnya. Tabel 10 Volume Ekspor Minyak Sawit (CPO) di Beberapa Negara Tujuan 2004 -2006 (Ton) 2004 2005 2006 Negara Tujuan Uni Eropa Russia Mesir Bangladesh USA China India Sumber : Oil World, 2007 3,988,000 420,000 704,000 645,000 271,000 3,849,000 3,454,000 4,469,000 601,000 775,000 931,000 420,000 4,321,000 3,316,000 4,740,000 545,000 592,000 812,000 649,000 5,501,000 2,924,000 Negara China, India serta kawasan Eropa merupakan negara tujuan ekspor CPO dari Indonesia. Pada tahun 2006, negara China merupakan negara potensi terbesar ekspor yaitu sebesar 5,50 juta ton. Terjadinya penurunan ekspor ke negara India sejak tahun 2004 sampai tahun 2006 dikarenakan besarnya pajak ekspor yang ditetapkan oleh negara india sehingga banyak eksportir yang mengurangi ekspornya ke negara tersebut. 5.6 Impor Minyak Kelapa Sawit Indonesia Indonesia merupakan salah satu pengekspor komoditas kelapa sawit ke negara konsumen diseluruh dunia. Selain melakukan ekspor Indonesia juga melakukan impor terhadap bentuk-bentuk minyak kelapa sawit untuk mencukupi pasokan industri dalam negeri dalam bentuk minyak kelapa sawit (CPO) dan Minyak Inti Sawit (KPO). Selain Indonesia negara-negara produsen seperti Malaysia juga merupakan negara pengekspor minyak kelapa sawit dari negara Indonesia. Negara Indonesia melakukan impor karena pasokan di dalam negeri akan Crude Palm Oil tidak tersedia. Tidak tersedianya CPO di dalam negeri karena tidak adanya regulasi pemerintah terhadap produsen minyak sawit dalam membatasi ekspor keluar negeri. Pemerintah sudah merumuskan kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) untuk mewajibkan produsen CPO dan produsen minyak goreng mengutamakan pasokan ke pasar domestik. Program ini tidak berjalan sesuai direncanakan karena ada faktor eksternal diluar kendali pemerintah yakni harga CPO di pasar internasional. Kebijakan larangan ekspor CPO bukanlah pilihan terbaik untuk menstabilkan harga minyak goreng di dalam negeri. Sebaliknya bisa merusak kepercayaan pihak luar negeri terhadap komitmen dagang pemerintah Indonesia dan mendorong penyeludupan CPO besar-besaran ke luar negeri. Tabel 11 Volume dan Nilai Impor Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1990-2006 Impor Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Minyak Kelapa Sawit Volume Nilai (Ton) (000 US$) 26.183 37.874 308.743 151.939 123.637 49.785 107.553 91.68 17.618 1.648 4.351 141 9.499 4.014 4.321 10.811 Minyak Inti Sawit Volume Nilai (Ton) (000US$) Jumlah Volume Nilai (Ton) (000 US$) 7.662 13.891 113.511 53.671 55.715 48.113 61.173 55.456 8.459 543 4.021 60 3.267 2,201 1.937 5.374 530 17.493 17.222 3.327 13.917 4.239 3.132 3.159 554 1.209 3.638 4.974 2.362 1.592 3.564 3.257 304 7.803 12.097 1.994 7.988 3.277 2.735 3.011 526 1.004 2.004 2.464 1.478 1.006 3.157 2.992 26.713 55.367 325.965 155.266 137.554 54.024 110.685 94.839 18.172 2.857 7.989 5.115 11.861 5.606 7.885 14.068 7.966 21.694 125.608 55.615 63.703 51.390 63.908 58.467 8.985 1.547 6.025 2.524 4.745 3.267 5.094 8.366 2006 1.645 1.287 Sumber: Departemen Pertanian, 2007 1.386 1.207 3.031 2.494 5.7 Negara Produsen Utama CPO (Crude Palm Oil) Dunia Kebutuhan akan minyak nabati yang berasal dari kelapa sawit atau CPO diproduksi oleh beberapa negara, dengan produsen terbesar yaitu negara Indonesia dan Malaysia. Negara Indonesia menjadi negara produsen terbesar pada tahun 2006 dengan 16.08 juta ton CPO sedangkan Malaysia posisinya tergeser menjadi urutan kedua dengan jumlah produksi sebesar 15.88 juta ton CPO. Dengan pertumbuhan yang sangat signifikan yaitu sebesar 12,64 persen membuat negara Indonesia menjadi negara produsen terbesar produksi CPO. Peningkatan produksi CPO karena tambahan luasan perkebunan di Indonesia. Kebutuhan dunia akan minyak nabati dan peningkatan harga CPO dan turunnya yang semakin mahal menyebabkan banyaknya pekebun yang berusaha meningkatkan luasan perkebunan atau membuka lahan perkebunan baru. Semakin besarnya produksi CPO Indonesia akan mampu mencukupi permintaan pasar internasional akan minyak sawit (CPO). Tabel 12 Produksi CPO Dunia Menurut Negara Produsen Tahun 1993-2006 Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Negara Produsen (000 Ton) Malaysia Indonesia Nigeria Thailand Colombia Lainnya 7.403 7.222 7.811 8.386 9.069 8.319 10.554 10.842 11.804 11.909 13.354 13.974 14.961 15.881 Pert % 6.05 Sumber : Oil World, 2007 Dunia 3.421 3.860 4.040 4.540 5.449 5.930 6.456 7.000 8.396 9.622 10.600 12.380 13.920 16.080 645 640 630 600 680 690 720 740 770 775 785 790 800 815 297 316 354 375 390 475 560 525 620 600 630 668 685 855 324 350 388 410 441 424 501 524 548 528 543 632 661 711 1.716 1.749 1.777 1.923 1.986 1.900 2.040 2.196 2.175 2.224 2.321 2.485 2.563 2.821 13.806 14.137 15.000 16.234 18.015 17.773 20.831 21.827 24.313 25.658 27.450 30.629 33.590 37.163 12,64 1,82 8,47 6,23 3,90 7,91 5.7.1 Negara Eksportir Utama CPO Dunia Ekspor CPO sebagai bahan baku industri pangan, oleokimia dan biodiesel menyebabkan permintaan pasar dunia akan bahan baku nabati khususnya sawit semakin meningkat seiring dengan pertambahan kebutuhan dan konsumsi masyarakat. Negara eksportir terbesar CPO adalah negara Malaysia dan Indonesia. Dari sisi produksi negara Indonesia memang lebih unggul akan tetapi dari sisi ekspor negara Indonesia masih terhalang oleh adanya peraturan dan standar serta isu-isu negatif terhadap CPO Indonesia. Negara Colombia dan Nigeria tidak melakukan ekspor karena CPO yang dihasilkan digunakan untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri. Negara Indonesia diramalkan pada tahun 2010 akan menjadi negara eksportir terbesar menggeser Malaysia. Dengan berbagai macam hambatan dari dalam maupun dari luar negara Indonesia sehingga saat ini membuat hasil CPO Indonesia masih dibawah Malaysia, perlu pembenahan mulai dari sisi produksi sampai dengan promosi minyak sawit yang berkelanjutan di pasar Internasional. Peningkatan ekspor CPO Indonesia di pasar internasional selain dalam bentuk CPO, para produsen juga lebih meningkatkan produksi turunan dari komoditi kelapa sawit. Besarnya tingkat pertumbuhan ekspor Indonesia di bandingkan dengan negara produsen lainnya lebih besar yaitu sebesar 16,51 persen. Pertumbuhan ekspor ini akibat dari penambahan dari luasan perkebunan kelapa sawit sehingga mempengaruhi besarnya produksi kelapa sawit. Tabel 13 Ekspor CPO Dunia Menurut Negara Eksportir Utama Tahun 19932006 Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Pert % Negara Eksportir CPO (000 Ton) Malaysia Indonesia Costarica Thailand Papua.N Lainnya Dunia 6.265 1.720 170 0 243 1.048 9.446 8.895 2.173 148 18 225 571 10.888 8.641 1.790 120 16 230 512 10.285 7.230 1.851 0 267 99 1.288 10.735 7.747 2.988 38 275 73 1.253 12.374 7.748 2.002 32 212 102 1.321 11.417 9.235 3.319 65 253 102 1.198 14.172 9.171 4.140 87 294 96 1.272 15.063 10.733 4.980 180 328 73 2.007 17.793 10.886 6.490 100 324 80 1.558 19.438 12.216 7.370 162 327 106 1.729 21.910 12.582 8.996 166 339 123 1.995 24.201 13.439 10.436 116 295 147 2.112 26.545 14.423 12.540 116 362 147 2.412 30.000 6,62 16,51 -1,11 15,41 3,11 6,62 9,30 Sumber :Oil World, 2007 5.7.2 Harga CPO Dunia Harga minyak kelapa sawit (CPO) dunia seringkali tidak stabil atau berfluktuasi. Harga minyak goreng akan bergerak naik sampai pada puncak, kemudian akan turun kembali. Setiap siklus 10 tahunan, harga akan mengalami puncak yang diikuti dengan penurunan. Hal ini terlihat dari siklus tahun 1974,1984 dan 1994. Fenomena ini terjadi karena penggunaan minyak sawit dapat digantikan oleh minyak nabati lain; minyak kedelai, minyak biji matahari dan biji lobak. Pada saat harga minyak sawit rendah, perusahaan makanan akan menggunakan minyak sawit, sehingga harga minyak sawit akan naik. Pada saat harga dipuncak, perusahaan makanan akan mengganti minyak sawit dengan minyak nabati lain, sehingga harga akan kembali turun. Pada siklus tahun 1994, harga puncak terjadi pada tahun 1998, karena pada tahun tersebut terdapat bencana El Nino diikuti dengan La Nina yang menyebabkan produksi turun. Setelah harga puncak tahun 1998 turun hingga titik terendah pada tahun 2001. Sesuai dengan siklus 10 tahunan harga minyak sawit dunia mencapai titik terendah pada tahun 2001, namun kemudian mengalami peningkatan tahun 2007. Tabel 14 Perkembangan harga CPO (US$ / Ton) CIF Rotterdam Tahun 1980-2007 Tahun Kuwartal I Kuwartal II Kuwartal Kuwartal III IV 1980 659 583 524 571 1981 632 609 547 499 1982 512 525 399 364 1983 372 415 543 676 1984 865 858 584 608 1985 610 606 417 369 289 241 208 289 1986 1987 332 342 316 386 1988 425 440 463 416 1989 394 388 319 297 1990 279 272 283 320 1991 345 315 334 360 1992 385 398 385 403 1993 414 372 356 366 1994 395 476 500 681 1995 667 623 620 603 1996 523 539 512 547 1997 568 549 509 554 1998 651 676 681 679 1999 559 456 346 367 2000 343 336 303 261 2001 248 247 331 306 2002 335 376 410 438 2003 445 418 408 497 2004 525 496 431 427 2005 409 419 414 437 2006 447 460 475 530 2007 609 755 - Rerata 586 578 439 502 729 501 257 243 437 350 290 339 394 378 528 628 531 546 671 436 356 283 390 443 471 422 478 682 Sumber : Oil World, 2007 Kenaikan harga CPO pada kuwartal IV tahun 2006 mencapai US$ 530 per ton, dan mencapai puncak pada kuwartal II tahun 2007 yaitu sebesar US$ 755 per ton. Pada bulan November hingga Desember terjadi penurunan harga minyak sawit yang diakibatkan terjadinya panen raya kedelai di Amerika Selatan seperti Brasil dan Argentina yang mempengauhi turunnya harga minyak nabati di pasaran internasional sehingga menekan harga minyak sawit. Gambar 8 Pergerakan Harga CIF CPO Tahun 1980-2007 Berdasarkan pergerakan harga dari siklus tahun 2005 dan sejenisnya seharusnya menurun, tetapi karena adanya masukan dari beberapa faktor maka permintaan minyak nabati dunia khusunya kelapa sawit turut terpengaruh. Faktor baru yang sangat berperan saat ini adalah tingginya permintaan biofuel yang berasal dan faktor asam lemak trans. Permintaan biofuel yang tinggi disebabkan semakin tingginya harga minyak bumi, sehingga banyak negara mensubtitusi kebutuhan bahan bakar minyak dari minyak bumi ke biofuel yang berasal dari harga minyak hayati. Minyak sawit banyak diminati sebagai biofuel karena harganya relatif lebih murah dibanding minyak nabati lainnya. Faktor asam lemak trans juga berpengaruh terhadap perkembangan permintaan minyak sawit. Mulai tahun 2006, Amerika melalui Food and Drug Administration (FDA) mengeluarkan peraturan pencantuman asam lemak trans (trans fatty acid) pada pelabelan bahan makanan. Peraturan ini akan mempengaruhi permintaan minyak sawit di Amerika, karena minyak sawit tidak mengandung trans fat yang merugikan kesehatan manusia. Peningkatan permintaan minyak sawit akan mempengaruhi peningkatan harga minyak sawit dunia untuk 2006 dan untuk beberapa tahun kedepan. Peningkatan harga tersebut juga dipengaruhi oleh ketidakseimbangan pertumbuhan permintaan yang mencapai laju rata-rata 8,07 persen dengan pertumbuhan produksi sebesar 7,98 persen. Hal tersebut menyebabkan harga minyak sawit dunia akan meningkat pada tahun berikutnya. Tabel 15 Perkembangan Harga Beberapa Minyak Nabati Dunia (US$ / Ton) CIF Rotterdam Tahun 1980-2007 M.Bunga Tahun M.Sawit M.Kedelai M.Repeseed Matahari M.Kelapa 1980 586 254 447 514 566 1990 290 251 505 558 561 2000 356 334 347 392 450 2001 283 306 402 484 318 2002 390 397 485 594 421 2003 443 515 600 593 467 2004 471 627 685 684 661 2005 422 503 669 677 617 2006 478 599 794 658 607 2007 682 750 804 774 756 Sumber: Oil World, 2007 Gambar 9 Perkembangan Harga Minyak Nabati Dunia Tahun 1980-2007 5.8 Produksi Minyak Nabati dan Lemak Dunia Minyak nabati sebagai pengganti bahan bakar minyak (BBM) semakin meningkat permintaan seiring terbatasnya persediaan bahan bakar minyak bumi. Perkembangan produksi komoditas pertanian penghasil minyak nabati dunia setiap tahunnya mengalami peningkatan terutama minyak kelapa sawit. Pertumbuhan produksi minyak kelapa sawit dibandingkan dengan minyak nabati lainnya lebih tinggi dengan tingkat pertumbuhan produksi sebesar 7,98 persen, sedangkan pertumbuhan produksi terendah yaitu sebesar 0,57 persen ditempati oleh minyak kelapa. Secara global produksi minyak nabati semakin meningkat. Peningkatan ini disebabkan penambahan luasan areal perkebunan serta penggunaan bibit unggul sehingga menambah produksi. Dengan bertambahnya jumlah penduduk dunia, akan menambah konsumsi dan produksi minyak nabati dunia. Tabel 16 Produksi Minyak Nabati dan Lemak Dunia Tahun 1993 – 2006 Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Pert % Produksi (000) M.Sawit M.Kedelai M.Repesed M.Bunga Matahai M.Kelapa Lainnya 13.690 13.960 15.211 16.286 17.946 16.920 20.625 21.867 23.984 25.392 28.111 30.909 33.326 37.163 7,98 17.540 18.460 20.404 20.322 21.033 24.008 24.794 25.563 27.828 29.861 31.288 30.713 33.287 35.268 5,52 9.554 10.050 10.955 11.479 11.828 12.290 13.247 14.502 13.730 13.307 12.660 14.904 16.027 18.451 5,19 7.650 7.650 8.556 9.006 9.162 8.407 9.308 9.745 8.200 7.824 8.962 9.402 9.681 11.126 2,92 2.920 2.940 3.350 2.867 3.313 3.153 2.399 3.261 3.499 3.145 3.286 3.037 3.143 3.143 0,57 34.403 35.805 35.950 36.874 37.831 38.029 39.502 39.819 40.387 41.037 41.074 42.774 43.735 43.735 1,86 Sumber : Oil World, 2007 Dunia 85.757 88.865 94.426 96.834 101.113 102.807 109.875 114.757 117.628 120.566 125.381 131.739 139.199 148.886 4,33 5.9 Konsumsi Minyak Nabati dan Lemak Dunia Peningkatan konsumsi minyak nabati dunia yang begitu cepat disebabkan oeh beberapa faktor, selain karena pertumbuhan populasi penduduk dunia, permintaan akan biofuel, juga karena peningkatan trend penggunaan minyak sawit untuk menggantikan minyak kedelai. Hal ini disebabkan adanya penemuan para ahli kesehatan, yang menyatakan bahwa minyak sawit mempunyai kelebihan dari segi kesehatan dibandingkan minyak nontropik (minyak kedelai dan minyak bunga matahari). Kelapa sawit memiliki kandungan asam lemak tak jenuh tunggal (MUFA) yang tinggi, yang dapat menurunkan kolesterol dalam darah, selain itu minyak ini memiliki betakaroten, vitamin E, antioksidan dan yang terpenting bebas dari asam lemak trans. Dengan beberapa keunggulan tersebut maka terjadi peningkatan konsumsi minyak sawit yang pesat terutama di Eropa, minyak sawit juga mulai digunakan sebagai bahan baku biodiesel selain minyak biji lobak, karena minyak sawit mempunyai harga yang kompetitif. Tabel 17 Konsumsi Minyak Nabati dan Lemak Dunia Tahun 1993 – 2006 Tahun M.Sawit M.Kedelai 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 13.200 14.370 14.840 16.070 17.830 17.660 19.830 21.770 23.860 25.590 28.200 30.050 33.150 36.190 17.760 18.470 19.447 20.398 21.446 23.602 24.480 25.135 27.508 29.964 31.246 31.163 32.879 34.670 Pert % 8,07 5,28 Sumber : Oil World, 2007 Konsumsi (000 Ton) M.Repesed M.Bunga M.Kelapa Matahari 9.645 2.930 7.730 10.125 3.020 7.640 10.650 3.247 8.461 10.605 2.960 8.658 11.666 3.092 9.371 12.286 3.167 8.565 13.209 2.707 9.176 14.471 2.962 9.404 13.952 3.467 8.765 13.489 3.291 7.721 12.716 3.322 8.921 14.829 3.054 9.583 15.914 3.047 9.546 18.196 3.047 10.946 5,00 2,71 0,30 Lainnya Dunia 34.857 35.466 35.943 36.903 37.409 37.813 39.280 39.689 40.444 41.472 41.287 42.421 43.666 43.666 86.122 89.091 92.588 96.599 100.817 103.095 108.689 113.432 118.005 121.532 125.693 131.100 138.208 146.717 1,75 4,18 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Struktur Pasar CPO di Pasar Internasional Negara-negara penghasil minyak nabati khususnya produsen minyak sawit berusaha untuk menghasilkan kualitas dan kuantitas minyak sawit mentah (CPO) yang dapat diterima dipasar internasional. Persaingan antara komoditas minyak nabati sebagai pemasok kebutuhan bahan baku industri menyebabkan tingginya tingkat persaingan, selain itu adanya negara saingan juga menyebabkan setiap negara produsen berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk konsumen. Negara Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara penghasil minyak nabati terbesar untuk CPO. Dengan menggunakan rumus Herifindhal Index akan diketahui struktur pasar komoditas CPO di pasar internasional sekaligus mengukur penguasaan pangsa pasar masing-masing negara yang menjadi produsen minyak sawit. Pangsa pasar minyak kelapa sawit Indonesia diukur dengan membandingkan ekspor minyak sawit negara Indonesia dengan total ekspor minyak sawit dunia. Dari hasil analisis diperoleh nilai rata-rata Herifindahl Index dari tahun 1993 sampai 2006 sebesar 0,5 (Tabel 18). Nilai Herifindhal Index yang mendekati nilai satu menunjukkan bahwa industri minyak sawit atau CPO di pasar internasional menunjukan kecenderungan mengarah ke pasar monopoli. Artinya industri CPO dipasar internasional saat ini didominasi oleh beberapa negara seperti Malaysia dan Indonesia. Tabel 18 Hasil Analisis Herifindahl Index Negara – Negara Produsen CPO di Pasar Internasional Pada Tahun 1996-2006 Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rata-rata Nilai Herifindahl Index CPO Nilai CR4 (%) 0.47 0.61 0.60 0.59 0.45 0.60 0.47 0.51 0.41 0.48 0.42 0.47 0.41 0.46 0,50 88 97 95 97 89 97 91 97 88 97 91 97 91 98 94 Nilai CR2 (%) 84 94 92 93 86 94 88 94 85 95 89 95 89 96 91 Hasil perhitungan terhadap empat negara terbesar produsen CPO (CR4) dengan nilai 94 persen, sehingga dapat disimpulkan bahwasanya struktur pasar industri minyak sawit atau CPO merupakan pasar yang cenderung oligopoli ketat, karena Negara Malaysia dan Indonesia merupakan negara produsen terbesar penghasil minyak nabati dari kelapa sawit atau CPO. Dari empat negara eksportir CPO terbesar yaitu Malaysia, Indonesia, Costarica dan Papau Nugini, Negara merupakan produsen terbesar memberikan kontribusi terhadap minyak sawit dunia adalah Negara Malaysia dan Indonesia. Besarnya persentase ekspor CPO negara Malaysia adalah sebesar 51 persen dan Indonesia 44 persen dari total seluruh CPO dunia sedangkan untuk Costarica dan Papua N sebesar 0.5 persen dan 1,29 persen dari total ekspor dunia pada tahun 2006. Penguasaan pangsa pasar Negara Malaysia dan Indonesia(CR2) dari tahun 1993 sampai dengan tahun 2006 dengan nilai konsentrasi CPO di atas 80 persen. Besarnya penguasaan pasar CPO oleh Malaysia dan Indonesia menunjukan kedua negara mendominasi sumber daya CPO di pasar internasional. Untuk rata-rata penguasaan pasar Negara Malaysia dan Indonesia pada tahun 1993 sampai dengan 2006 yaitu sebesar 91 persen. Besarnya nilai penguasaan pasar ini menunjukan struktur pasar yang oligopoli ketat antara negara-negara pengekspor CPO. 6.2 Analisis Keunggulan Komparatif CPO Indonesia di pasar Internasional Keunggulan komparatif minyak kelapa sawit Indonesia di pasar internasional diukur dengan menggunakan Revealed Comparative Advantage (RCA). Indeks ini digunakan untuk membandingkan posisi dayasaing Indonesia dengan negara produsen CPO lainnya. Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan bahwa nilai RCA tahun 2006 Indonesia sebagai salah satu produsen CPO terbesar didunia mempunyai nilai sebesar 45 yang berarti industri CPO Indonesia mempunyai keunggulan komparatif di pasar internasional (Lampiran 7). Negara Malaysia dan Papua Nugini mempunyai nilai RCA secara ratarata sepanjang tahun 1993-2006 (Revealed Comparative Advantage) yang lebih besar dari Indonesia. Negara Indonesia mempunyai rata-rata nilai RCA sebesar 29 sedangkan untuk Negara Malaysia bernilai 42 dan Papua Nugini sebesar 68. Besarnya nilai RCA Negara Malaysia dan Papua Nugini di bandingkan dengan nilai RCA Indonesia merupakan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh kedua negara karena mampu menghasilkan CPO yang mempunyai kontribusi terhadap pendapatan masing-masing negara. Mulai tahun 1993 sampai dengan 2006 negara yang mempunyai keunggulan komparatif lebih unggul di bandingkan dengan negara eksportir CPO lainnya adalah Papua Nugini. Negara Papua Nugini pada tahun 2002 mempunyai nilai RCA yang paling tinggi sepanjang tahun 1993-2006 yaitu sebesar 645, sedangkan Negara Indonesia mempunyai nilai RCA terbesar pada tahun 2004 dan 2005 yaitu sebesar 46. Untuk Negara Malaysia mempunyai nilai RCA terbesar pada tahun 1993-1995 yaitu sebesar 50. 6.3 Analisis Dayasaing Industri CPO di Indonesia dengan Pendekatan Porter s Diamond 6.3.1 Kondisi Faktor Sumberdaya Kondisi faktor sumberdaya yang berpengaruh terhadap industri CPO yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya ilmu pengetahuan dan teknologi, sumberdaya modal, dan sumberdaya infrastruktur. Lima sumberdaya yang telah disebutkan akan dijelaskan secara terurai sebagai berikut. 1). Sumberdaya Perkebunan a). Syarat Kondisi, Luas dan Letak Lahan (1). Syarat dan Kondisi Lahan Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa non migas bagi Indonesia. Cerahnya prospek komoditi minyak sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk meningkatkan pengembangan areal perkebunan kelapa sawit. Daerah pengembangan tanaman kelapa sawit berada pada 15 °LU – 15 °LS. Ketinggian penanaman kelapa sawit yang ideal berkisar antara 0 – 500 meter diatas permukaan laut, dengan curah hujan sebesar 2.000-2.500 mm/tahun. Suhu optimum untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah 29 – 30°C, dengan intensitas penyinaran matahari sekitar 5 – 7 jam/hari dan kelembaban optimum yang ideal sekitar 80 – 90 persen. Kelapa sawit dapat tumbuh pada tanah Podzolik, Latosol, Hidromorfik Kelabu, Alluvial atau Regosol. Nilai pH tanah yang optimum adalah 5,0 – 5,5. Kelapa sawit tumbuh baik pada tanah yang gembur, subur, datar, berdrainase baik dan memiliki lapisan solum yang dalam tanpa lapisan padas. Kondisi topografi pertanaman kelapa sawit sebaiknya tidak lebih dari 150. Kondisi lahan tiap daerah yang tidak berbeda menyebabkan penanaman kelapa sawit sebagai penghasil CPO dapat dilakukan pada banyak daerah. Pada tahun 2007 terdapat 22 provinsi yang mengembangkan usaha perkebunan kelapa sawit baik dari pengusahaan negara, swasta maupun masyarakat. Sedangkan 11 provinsi lagi belum mengusahakan komoditi kelapa sawit ini. Direncanakan pada tahun mendatang akan dilakukan peremajaan dan pengembangan perkebunan kelapa sawit guna meningkatkan ekspor CPO keluar negeri. Daerah yang akan dilakukan pengembangan perkebunan meliputi perluasan dan peremajaan lahan direncanakan pada beberapa daerah, seperti Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Jambi, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Banten, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Papua, dan Irian Jaya Barat. (2) Luas Lahan Pada tahun 1911 kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet yang berkebangsaan Belgia. Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K.Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh dengan luas areal perkebunan mencapai 5.123 Hektar. Pada tahun 1919 Indonesia mengekspor minyak sawit sebesar 576 ton dan pada tahun 1923 mengekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton. Pada masa pendudukan Belanda, perkebunan kelapa sawit maju pesat sampai bisa menggeser dominasi ekspor negara Afrika saat itu. Memasuki masa pendudukan Jepang, perkembangan kelapa sawit mengalami kemunduran. Lahan perkebunan mengalami penyusutan sebesar 16 persen dari total luas lahan yang ada sehingga produksi minyak sawit di Indonesia hanya mencapai 56.000 ton pada tahun 1948/1949, padahal pada tahun 1940 Indonesia mengekspor 250.000 ton minyak sawit. Pada masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan perkebunan diarahkan dalam rangka menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan sektor penghasil devisa negara. Pemerintah terus mendorong pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sampai pada tahun 1980, luas lahan mencapai 294.560 hektar dengan produksi CPO sebesar 721.172 ton. Sejak itu lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan rakyat. Hal ini didukung oleh kebijakan pemerintah yang melaksanakan program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR–BUN). Pada tahun 2007 daerah-daerah yang mengusahakan perkebunan berusaha meningkatkan produksi CPO karena harga yang meningkat di pasaran nasional dan internasional. Guna menghasilkan produksi CPO yang mempunyai kualitas dan kuantitas maka dibutuhkan pengembangan areal penanaman kelapa sawit. Daerah Sumatera merupakan luasan areal yang terbesar penanaman kelapa sawit dengan luas areal sebesar 4,81 juta hektar. Selain daerah Sumatera, daerah Kalimantan merupakan daerah sentra produksi kelapa sawit dengan luasan perkebunan kelapa sawit 1,56 juta hektar. Seiring dengan kebutuhan konsumsi domestik dan dunia akan kebutuhan minyak nabati sebagai bahan baku biofuel, bahan pangan dan Industri oleokimia menyebabkan permintaan dunia akan CPO juga akan meningkat seiring dengan terbatasnya produksi dan mahalnya BBM di dunia. Dengan luas areal yang masih bisa dioptimalkan untuk perkebunan kelapa sawit maka pada tahun 2008 diprediksi luasan perkebunan menjadi 6,61 juta hektar dan pada tahun 2009 diramalkan menjadi 7,12 juta hektar. Sedangkan untuk luasan perkebunan secara nasional yang masih dapat dikembangkan adalah seluas 26,3 juta hektar. (3) Letak Lahan Perkebunan kelapa sawit dari lokasi pemukiman berkisar 50-200 km. Jauhnya lokasi perkebunan dikarenakan daerah untuk perkebunan merupakan konversi dari lahan hutan. Lahan perkebunan kelapa sawit di daerah-daerah yang terpencar dan jauh dari pabrik menyebabkan pentingnya sarana dan prasarana penunjang untuk menghasilkan komoditi yang mempunyai kuantitas serta kualitas yang berkelanjutan. Dengan banyaknya investor yang berminat menginvestasikan modalnya, dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk membangun sarana dan prasarana pendukung perkebunan. Keputusan Menteri Pertanian No. 357/Kpts/HK.350/5/2002 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan mengenai luas lahan usaha budidaya perkebunan untuk satu perusahaan atau grup perusahaan yang ditetapkan bahwa luas maksimum lahan usaha perkebunan adalah 20.000 ha dalam satu Provinsi atau 100.000 hektar untuk seluruh Indonesia. Tujuan dari pemerintah menetapkan peraturan ini guna membantu mensejahterakan masyarakat dan membatasi investasi asing yang masuk ke Indonesia. Sehingga bukan hanya daerah tertentu yang sejahtera akan tetapi merata seluruh Indonesia. b) Aksesbilitas Terhadap Input Aksebilitas terhadap input dimaksudkan sebagai kemudahan para produsen khususnya petani dalam memperoleh bahan-bahan yang digunakan di dalam mengolah lahan kelapa sawit, seperti pupuk, bibit unggul, sarana dan prasarana produksi, serta alat-alat pengolahan. Dalam menunjang tingkat produktivitas yang tinggi tentunya bahan-bahan tersebut harus mudah didapatkan dan tersedia secara kontinyu dan konsisten. 1. Pupuk Kebutuhan nutrisi tanaman dalam bentuk pupuk sangat penting guna meningkatkan produksi kelapa sawit. Dengan pemberian pupuk yang sesuai dosis dan waktu yang tepat diharapkan akan menghasilkan produksi CPO yang besar. Perkebunan kelapa sawit membutuhkan pupuk yang digunakan antara lain adalah NPK, urea, SP 36, KCL. Pemberian pupuk pertama sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan (September – Oktober) dan pemupukan kedua dilakukan pada akhir musim hujan (Maret – April). Petani kelapa sawit saat ini mengalami kesulitan untuk membeli pupuk selain harganya melambung tinggi sebagai akibat dari pengaruh BBM juga karena adanya kelangkaan pupuk di pasar akibat tataniaga pupuk yang menyebar tidak merata. Kesulitan pupuk ini sebenarnya dapat diatasi dengan tataniaga yang efesien dan efektif serta pemberian subsidi yang tepat sasaran. Seperti diketahui bahwa ketentuan yang mengatur Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2007 telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 66/Permentan/OT.140/12/2006. Alokasi pupuk bersubsidi untuk perkebunan rakyat dalam Permentan untuk pupuk urea adalah 948.745 ton (29,73 persen), pupuk SP-36 adalah 240.925 ton (48,13 persen), ZA adalah 278.993 ton (67 persen) dan NPK adalah 191.605 ton (37,69 persen). Jumlah tersebut tentunya belum dapat mencukupi kebutuhan pupuk semua komoditas tanaman perkebunan pada seluruh perkebunan rakyat, dan oleh karena itu pupuk subsidi diprioritaskan bagi para pekebun peserta kegiatan program utama perkebunan. Untuk perkebunan kelapa sawit tidak mendapat subsidi dari pemerintah. Penggunaan pupuk dan bahan kimia sebagai faktor produksi sebaiknya mulai dikurangi untuk kemudian digantikan oleh pupuk organik, pupuk hayati, dan pestisida nabati. Pupuk organik dapat berupa kompos (alam atau buatan), pupuk kandang, mikroorganisme atau yang pupuk hijau. Pupuk hayati sudah teruji mempunyai peran merupakan kultur istimewa dalam meningkatkan kesuburan tanah dan tanaman. Pada tanggal 27 Desember 2006 PT. Perkebunan Nusantara III telah meresmikan sebuah pabrik kompos yang bahan bakunya terdiri dari limbah padat berupa tandan kosong sawit dan limbah cair dari pabrik kelapa sawit di Sei Daun Kabupaten Labuhan Batu. Melalui teknologi khusus yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), petani dapat mengurangi ketergantungan terhadap pupuk dari pabrik. Dengan adanya teknologi pengomposan, memungkinkan tercapainya zero waste, di mana semua limbah yang ada di PKS Sei Daun akan terolah semua dan tidak ada lagi limbah yang dibuang ke lingkungan. PKS Sei Daun memiliki kapasitas olah 60 ton TBS/jam setiap harinya. Limbah TKS (Tandan Kosong Sawit) yang dihasilkan per hari mencapai 230 ton yang biasanya digunakan sebagai mulsa untuk tanaman kelapa sawit, sedangkan limbah cair sekitar 650 m3/hari. Pabrik Kompos Sei Daun (Sumatera Utara) dirancang untuk mengolah kompos dengan kapasitas 100 ton/hari, dengan perincian jika PKS Sei Daun dapat mengolah TBS 1000 ton/hari. Sedangkan kandungan nutrisi kompos dari tandan kosong sawit ini antara lain N>1,5%, P>0,3%, K>2,00%, Ca>0,72%, Mg>0,4%, bahan organik>50%, C/N 15,03% dan kadar air 45-50%. Kompos kelapa sawit tergolong pupuk organik yang fungsi utamanya adalah pembenahan tanah di samping sebagai sumber nutrisi terutama unsur K. Penggunaannya untuk kelapa sawit dapat menghemat pemakaian pupuk mineral. Saat ini Pabrik Kompos Sei Daun sedang dalam proses pendaftaran sebagai proyek CDM (Clean Development Mechanism) yang merupakan salah satu kesepakatan dari Protocol Kyoto yang mengharuskan setiap negara-negara maju untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya pada level 5% di bawah level emisi pada tahun 1990. untuk pengurangan emisi tersebut, negara maju bisa memperoleh emisi tersebut melalui CER (Certified Emission Reduction). Dari hasil perhitungan sementara membuktikan bahwa apabila pabrik kompos Sei Daun beroperasi penuh, maka emisi yang dapat dicegah sekitar 60.000 ton CO2 ekivalen setiap tahunnya. Ketersediaan pupuk Indonesia untuk perkebunan khususnya di pasok oleh produsen pupuk di Indonesia, yaitu ; 1. UREA Seluruh kebutuhannya dapat dipenuhi dari produksi dalam negeri (PT. Pusri, PT. Petrokimia Gresik, PT. Pupuk Kujang, PT. Pupuk Kaltim dan PT. Pupuk Iskandar Muda). Produksi pupuk Urea dalam negeri yang mengalami kelebihan dapat diekspor. 2. SP-36, TSP dan ZA Kebutuhan pupuk SP-36 dan ZA perkebunan kelapa sawit di penuhi dari produksi PT. Petrokimia Gresik. Bila terjadi kekurangan pupuk maka akan di impor (kekurangan pupuk pospat dapat di impor pupuk TSp atau pupuk pospat lainnya). 3. Pupuk KCl Seluruhnya di impor dari produsen penghasil pupuk di negara lain. 2. Bibit Penggunaan bibit yang berkualitas akan membantu menghasilkan produksi yang berkualitas sesuai dengan tuntutan konsumen. Pada saat ini pembibitan kelapa sawit dapat dilakukan dengan cara generatif dan kultur jaringan untuk memperbanyak benih kelapa sawit. Para produsen bibit sawit resmi di Indonesia antara lain Pusat Penelitain Kelapa Sawit (PPKS) di Medan, PT. London Sumatera (PT. Lonsum), PT. Socfindo, PT. Tunggal Yunus Estate (PT. TYE), PT Dami Mas Sejahtera (PT. DMS), PT Bina Sawit Makmur (PT. BSM), dan PT Tania Selatan (PT. TS). Surat keterangan mutu benih yang dikeluarkan oleh Balai Pengawasan Pembibitan Mutu Benih (BP2MB). Pada saat ini bahan tanaman yang dianjurkan adalah persilangan Dura Deli x Pisifera (DxP) dan Dura Dumpy x Pisifera (DyxP). Bahan tanaman kelapa sawit di sediakan dalam bentuk kecambah (germinated seed). Bibit kelapa sawit di Indonesia tidak hanya di suplai oleh tujuh perusahaan penyedia bibit, akan tetapi bibit dari Negara Malaysia juga masuk kedalam negeri. Besarnya impor bibit kelapa sawit dari Negara Malaysia akibat dari permintaan pasar dalam negeri yang besar karena kualitas dan produktivitas yang tinggi. Bibit yang masuk ke Indonesia dari Negara Malaysia tidak semuanya mempunyai kualitas yang baik serta keterbatasan pengetahuan petani pekebun sehingga menyebabkan penanaman kelapa sawit dengan bibit yang tidak baik akan menyebabkan rendahnya kualitas dan produktivitas kelapa sawit. Tabel 19 Produksi Kecambah Kelapa Sawit Indonesia Tahun 1980-2006 (Juta) Tahun 1980 1990 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007* 2008* 2009* PPKS 7,13 32,50 15,90 11,09 14,42 27,23 43,30 35,00 45,00 40,00 48,00 48,00 PT. Sofcindo 0,44 3,86 3,53 5,07 7,49 12,73 22,93 25,00 45,00 35,00 35,00 40,00 PT. Lonsum 0,73 7,57 7,09 5,54 7,77 13,51 13,00 14,00 15,00 15,00 16,00 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan 2007 Keteranagan : *) Proyeksi PT. DMS 4,00 8,00 15,00 18,00 22,00 22,00 PT. TYE 1,00 6,00 6,00 7,00 11,00 11,00 PT. BSM 2,10 10,00 15,00 14,00 20,00 20,00 PT. TS 1,00 1,00 3,20 3,20 Jumlah 7,57 37,09 27,00 23,25 27,45 47,73 86,84 97,00 141,00 130,00 160,20 160,20 3. Sarana dan Prasarana Produksi Perkebunan kelapa sawit membutuhkan sarana dan pasarana penunjang untuk mendukung produksi kelapa sawit yang berkelanjutan. Pada umumnya untuk menghasilkan kelapa sawit yang berkualitas dan mempunyai kuantitas sesuai dengan permintaan konsumen diperlukan biaya yang tidak kecil. Untuk sarana dan prasarana antara perkebunan swasta, perkebunan negara serta milik rakyat mempunyai perbedaan. Perkebunan milik rakyat tidak melakukan penerapan penelitian budidaya dalam pengembangan bibit yang digunakan seperti yang dilakukan oleh perkebunan swasta dan negara hal inilah yang membedakan proses pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit. Adapun sarana dan prasarana produksi kelapa sawit antara lain yaitu ; a. Alat pengolahan lahan Alat yang digunakan untuk pembukaan lahan yaitu traktor. Perkebunan besar milik swasta biasanya menggunakan traktor karena didukung oleh modal yang mendukung. Sedangkan petani dalam pembukaan lahan hanya mengandalkan kampak dan chain saw untuk menebang pohon guna membuka lahan perkebunan baru dan tidak jarang pembukaan lahan dilakukan dengan pembakaran hutan. Keterbatasan modal dan sumberdaya manusia membuat para petani membuka lahan dengan berbagai cara yang murah, cepat dan efesien. b. Alat Penanaman Penanaman kelapa sawit dilapangan dilakukan dengan pembuatan lubang 60x40 cm atau sepanjang leher batang sawit yang akan ditanam. Bantuan cangkul untuk membuat lubang sangat membantu, selain itu penggunaan patok kayu sebagai tanda untuk pembuatan lubang tanaman. Penggunaan patok dimaksudkan untuk mengatur jarak antar pohon agar sesuai dengan jarak tanam ideal yaitu 9x9x9 meter dengan bentuk segitiga. c. Alat Pemeliharaan Pemeliharaan kelapa sawit meliputi kegiatan pruning (pembersihan dahan), pemupukan, penyemprotan hama penyakit dan pembersihaan ilalang atau rumput liar. Pemeliharaan dilakukan agar perkembangan kelapa sawit tidak terganggu oleh hama penyakit. Pemupukan dan penyemprotan dilakukan secara intensif pada awal penanaman agar kelapa sawit dapat tumbuh optimal. d. Alat Panen Pemanenan kelapa sawit dilakukan dengan cara mendodos buah sawit. Kelapa sawit berbuah setelah berumur 2,5 tahun dan buahnya masak. Suatu areal sudah dapat dipanen jika tanaman telah berumur 31 bulan, sedikitnya 60 persen buah telah matang panen. Ciri tandan matang panen adalah sedikitnya ada 5 buah yang lepas/jatuh dari tandan yang beratnya kurang dari 10 kg atau sedikitnya ada 10 buah yang lepas dari tandan yang beratnya 10 kg atau lebih. Ciri lain adalah apabila sebagian buah sudah membrondol (jatuh di piringan) secara alami dgn rata-rata berat 3 kg. e. Alat Transpotasi Transpotasi merupakan sarana penunjang utama dalam produksi kelapa sawit. Untuk mengantarkan kelapa sawit ke tempat tujuan diperlukan jalan yang permanen sehingga dalam penggangkutan tidak terhalang oleh kendala iklim. Selain itu truk untuk pengangkutan kelapa sawit sangat dibutuhkan guna membawa kelapa sawit ke pabrik CPO. Pelabuhan merupakan tempat memuat CPO ke dalam kapal menuju negara importir. Kapal pengantar CPO harus mempunyai 2 lapisan yang bersih dan steril dan terbuat dari bahan tidak berkarat untuk menghindari terjadinya kebocoran. 4. Alat-alat Pengolahan CPO Tandan Buah Segar harus segera diproses dalam 24 jam sejak dipanen untuk menjaga kualitasnya agar tetap memenuhi syarat. Hal ini mengakibatkan perusahaan harus membangun pabrik pemrosesan CPO di sekitar areal perkebunan kelapa sawit. Kelapa sawit yang tiba di pabrik diproses dengan membuat lunak bagian daging buah melalui pemanasan pada temperatur 90°C. Daging yang telah melunak selanjutnya dipress pada silinder berlubang untuk memisahkan bagian inti dan cangkang. Daging inti dan cangkang dipisahkan dengan pemanasan dan teknik pressing. Setelah itu dialirkan ke dalam lumpur sehingga sisa cangkang akan turun ke bagian bawah lumpur. Kernel yang telah dipisahkan dari daging buah selanjutnya diproses untuk menghasilkan minyak. l. Satu pabrik pengolahan CPO dapat dikatakan feasible apabila mampu memproses 30 ton TBS per jam. Kapasitas lebih kecil dapat beroperasi tetapi harus didukung pabrik lain dengan lokasi yang berdekatan. c). Biaya-Biaya yang Terkait Biaya pengembangan kelapa sawit meliputi tenaga kerja yang biasanya dibutuhkan oleh pihak swasta dan perkebunan negara. Tenaga kerja sebagai alat untuk perawatan dan pemanenan mempunyai porsi khusus dan penting, sedangkan perkebunan rakyat untuk mengolah dan merawat kebunnya dilakukan bersama keluarga karena keterbatasan dana dan luas areal perkebunan yang tidak luas (rata-rata lahan perkebunan masyarakat 2 hektar). Badan Kerja Sama Perkebunan Swasta (BKS PPS) mengatakan di Sumatra sedikitnya 300 perda yang memberatkan perkebunan karena dibebani tarif yang mahal mulai dari Rp 5.000 hingga Rp 85.000 per truk untuk angkutan tandan buah segar (TBS). d). Produktivitas Lahan Lahan perkebunan di Indonesia untuk pengembangan kelapa sawit masih terbuka lebar. Produktivitas kelapa sawit Indonesia masih rendah bila dibandingkan dengan negara Malaysia. Prduktivitas kelapa sawit Indonesia sebesar 14-16 ton per hektar tiap tahun, sedangkan Malaysia sudah mencapai 1821 ton per hektar tiap tahunnya. Untuk produktivitas CPO Indonesia juga masih dibawah Malayasia dengan produktivitas 2,51 ton perhektar sedangkan Malaysia mencapai 3,21 ton. Peningkatan produktivitas kelapa sawit diperlukan integrasi berbagai macam faktor sehingga mampu mendukung industri kelapa sawit Indonesia. Penggunaan bibit yang merupakan bibit unggul dapat meningkatkan produksi. Pada saat ini penggunaan bibit unggul hanya terbatas pada perkebunan swasta dan perkebunan negara karena mempunyai bidang penelitian untuk peningkatan budidaya kelapa sawit. Keterbatasan informasi rakyat akan sumber benih menyebabkan benih beredar di pasaran tidak sesuai standar atau palsu. Daur hidup tanaman kelapa sawit dapat mencapai 22-25 tahun. Daur yang panjang menyebabkan produsen dapat menikmati hasil yang panjang. Kegiatan re-planting pada umur 28-30 tahun, untuk mengganti pohon kelapa sawit yang tua harus secara kontinyu dan secara berkala, pemupukan yang kurang intensif menyebabkan produktivitas kelapa sawit Indonesia masih rendah. 2). Sumberdaya Manusia Sumberdaya perkebunan kelapa sawit manusia merupakan sangat dibutuhkan untuk pengembangan industri CPO. Dengan sumberdaya yang berkualitas maka peningkatan kinerja akan meningkat sehingga akan berdampak terhadap peningkatan produksi. Penyerapan tenaga kerja serta meningkatkan kesejahteraan adalah salah satu manfaat dari adanya perkebunan kelapa sawit di Indonesia sehingga taraf kehidupan masyarakat dapat menjadi lebih baik. Faktor sumberdaya dalam perkebunan kelapa sawit mengisi peran sebagai petani, padagang, penyalur atau pedagang, eksportir, dan jabatan lainnya yang berkaitan dengan sistem agribisnis kelapa sawit. a). Petani (1). Jumlah Tenaga Kerja Tenaga kerja untuk perkebunan kelapa sawit membutuhkan jumlah yang besar baik itu untuk pengusahaan perkebunan swasta, negara maupun rakyat. Sampai akhir tahun 2006 jumlah tenaga kerja perkebunan yang terdapat di Sumatera Utara adalah sebanyak 35 orang per 100 hektar lahan. Jumlah pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) mencapai 85 unit dengan kapasitas pengolahan total 3.400 ton tandan buah segar (TBS) per jam. Dalam setiap PKS yang berkapasitas olah 30 ton TBS per jam diperlukan tenaga kerja sebanyak 136 orang, maka untuk seluruh PKS diperlukan 15.400 orang. Tenaga kerja dalam jumlah yang lebih banyak lagi akan dapat diserap oleh industri hilir yang berbahan baku kelapa sawit. (2). Tingkat Upah Dalam era globalisasi yang ditandai dengan semakin mudahnya investor masuk tanpa kendala batas negara mengakibatkan persaingan antar perusahaan menjadi semakin ketat. Efisiensi dan efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki sangat diperlukan untuk meningkatkan dayasaing perusahaan tersebut. Upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas perusahaan akan meningkatkan produktivitas perusahaan. Dari berbagai alternatif peningkatan produktivitas perusahaan, konsentrasi perusahaan pada umumnya lebih tertuju kepada efisiensi dan efektivitas pemanfaatan sumber daya mesin, metode dan material, sedangkan peningkatan produktivitas sumberdaya manusia seringkali terabaikan. Upaya lain dalam peningkatan produksi sawit dapat ditempuh dengan meningkatkan produktivitas karyawan. Cara ini merupakan cara yang lebih efisien dibandingkan dengan penambahan jumlah tenaga kerja perusahaan. Peningkatan produktivitas dan efisiensi hanya mungkin dilaksanakan apabila segenap karyawan memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, loyalitas dan dedikasi yang mantap kepada perusahaan (Heniasih, 2000). Produktivitas tenaga kerja akan tinggi apabila ia memiliki kemampuan yang baik dan motivasi yang tinggi, kedua hal ini sangat terkait erat satu dengan lainnya. Dalam hal ini motivasi yang paling kuat mendorong karyawan memiliki produktivitas yang tinggi adalah motivasi upah (Handoko, 1995). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa apabila imbalan yang diperoleh karyawan memuaskan maka otomatis output yang dihasilkan karyawan akan tinggi. Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja adalah dengan memperbaiki sistem pengupahan yang dapat meningkatkan motivasi kerja karyawan. Salah satu sistem pengupahan yang dapat meningkatkan motivasi kerja adalah sistem insentif (bonus). Sistem ini dapat diterapkan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam upaya peningkatan motivasi kerja tenaga kerja. Tenaga kerja yang dubutuhkan dalam perkebunan kelapa sawit meliputi persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan (pruning, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit) sampai dengan pengolahan kelapa sawit di pabrik. Biaya upah tenaga kerja di perkebunan swasta dan milik negara pada umumnya menggunakan tenaga pegawai perusahaan atau buruh tani yang digaji setiap bulannya. Penggunaan tenaga kerja buruh harian lepas juga sering dilakukan untuk menambah satuan kerja yang ada agar pekerjaan dapat segera terselesaikan. Untuk sisitem borongan terdapat dua sistem pengupahan, yaitu sistem basis borong dan lebih borong. Sistem upah basis borong merupakan sistem pemberian upah yang diberikan kepada karyawan apabila karyawan telah menyelesaikan borongan yang ditetapkan perusahaan, sedangkan sistem upah lebih borong merupakan upah tambahan yang akan didapatkan karyawan yang mampu melebihi borongan yang ditetapkan perusahaan. Pada dasarnya sistem lebih borong merupakan upaya perusahaan dalam meningkatkan produktivitas karyawan. Untuk sistem pengupahan dalam pembukaan lahan perkebunan secara swadaya di Riau dibutuhkan biaya untuk mengupah tenaga kerja. Hari Orang Kerja (HOK) setiap harinya adalah 8 jam kerja dengan upah perhari Rp 25.000. Adapun biaya yang dikeluarkan untuk pembukan lahan sampai dengan pemanenan secara borongan antara lain ; a. Biaya Pembukaan Lahan/Imas Tumbang Pembukaan lahan untuk perkebunan membutuhkan biaya dan tenaga kerja yang besar. Tenaga kerja untuk borongan biasanya bekerja dalam group atau kelompok sebanyak tiga samapi lima orang, sehingga upah yang diterima dibagi sesuai dengan jumlah tenaga kerja. Untuk biaya pembukaan lahan dengan cara menebang pohon-pohon, biaya sebesar Rp 2.000.000 untuk dua hektar. b. Biaya Cincang Purung Cincang purung adalah kegiatan mencacah bagian pohon yang sudah ditebang menjadi bagian yang kecil-kecil sehingga dapat mempermudah penanaman bibit kelapa sawit. Biaya yang harus dikeluarkan untuk kegiatan ini adalah Rp. 2.000.000 per dua hektar. c. Biaya Pemancangan Pemancangan dilakukan untuk tujuan mempermudah penanaman dengan menggunakan tanda berupa kayu. Dalam penanaman kelapa sawit, jarak tanam yang biasa digunakan adalah 9x8 meter, 8,5x9 meter dan 9x9, sehingga dalam satu hektar terdapat 130 – 138 bibit kelapa sawit. Biaya pemancangan di Riau sebesar Rp. 200,000 per hektar, atau sebesar Rp. 1500 tiap pemancangan. d. Pembuatan Lubang, Pelangsiran, Penanaman, dan Penyisipan Setelah pembuatan pancang tanaman, selanjutnya tanaman sawit di langsir atau diantar kelubang yang sebelumnya sudah dipersiapkan. Pembuatan lubang dengan ukuran 40x60 cm dilakukan agar tanaman sawit dapat tumbuh kokoh. Biaya yang dikenakan untuk keseluruhan kegiatan pembuatan lubang, pelangsiran hingga penanaman sebesar Rp. 5.000 tiap lubang sehingga untuk 2 hektar biaya yang dikeluarkan Rp. 1.380.000. Apabila dalam penanaman terjadi kematian pada tanaman sawit maka akan dilakukan penyisipan dengan biaya yang sama sebesar Rp. 5.000/bibit. e. Penyemprotan Hama dan Penyakit Kegiatan penyemprotan merupakan salah satu dari kegiatan pemeliharaan tanaman. Untuk penyemprotan hama dan penyakit, biaya yang dikeluarkan sebesar Rp. 250.000 untuk 2 hektar. Sedangkan untuk obat pestisida dan insekstisida disediakan oleh pemilik kebun. f. Biaya Pemupukan Pemupukan yang teratur akan membantu meningkatan pertumbuhan dan produksi kelapa sawit. Pemupukan yang kontinyu dan sesuai dengan dosis dilakukan agar hasil sawit juga kontinyu setiap bulannya. Biaya pemupukan sebesar Rp. 15.000 tiap karung, dengan ukuran karung 50 kg. g. Biaya Pemanenan Kegiatan pemanenan dilakukan satu kali dalam sepuluh hari untuk perkebunan sawit diatas umur 6 tahun, sedangkan umur 4-6 tahun pemanenan dilakukan dua kali dalam sebulan. Perbedaan dalam waktu pemanenan dilakukan karena umur tanaman yang berbeda sehingga menyebabkan produksi minyak yang dihasilkan dengan rentang umur berbeda juga. Biaya tenaga kerja yang melakukan pendodosan atau pemanenan sebesar Rp. 60 sampai Rp. 70 tiap Kilogram. Berarti misalnya untuk 2 hektar tanaman sawit dapat menghasilkan total produssi sebanya 4 ton maka biaya yang harus dikeluarkan adalah Rp. 240.000 – Rp. 280.000 tiap bulannya. h. Biaya Pengangkutan Pengangkutan kelapa sawit segar atau TBS dari kebun sampai ke pabrik dilakukan harus segera mungkin agar kelapa sawit masih segar dan tidak tercemar oleh air dan zat cemar lainnya. Pengolahan kelapa sawit segar dilakukan 12 jam setelah pemanenan dilakukan. Untuk pengangkutan biaya yang dikeluarkan adalah sebesar Rp. 70 tiap kg sehingga biaya yang dikeluarkan apabila hasil produksi perbulan 4 ton maka biaya sebesar Rp. 280.000 tiap bulannya. (3). Tingkat Pendidikan Petani Tingkat pendidikan petani para petani kelapa sawit merata mulai dari pendidikan dasar (SD), Sekolah lanjutan pertama (SLTP) dan sekolah menegah atas (SMU) dengan rentang umur yang bervariasi. Dengan tingkat pendidikan yang masih rendah menyebabkan proses pengalihan teknologi dan keterampilan belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Walaupun dengan tingkat pendidikan yang masih tergolong rendah akan tetapi petani perkebunan mempunyai pengalaman yang bertahun-tahun dalam pengelolaan kelapa sawit, sehingga pada umumnya keterampilan yang dimiliki petani ialah berasal dari pengalaman bertani yang dimilikinya. b). Padagang Saluran pemasaran TBS (Tandan Buah Segar) kelapa sawit dari tingkat petani dapat dibedakan dari petani PIR dan petani non PIR (lepas). Pada petani PIR, saluran pemasaran TBS kelapa sawit mulai dari petani dijual lewat KUD sawit, lalu dibeli oleh PTPN sebagai inti. TBS dari petani PIR tersebut bersama TBS dari kebun sendiri diekstraksi di pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) milik PTPN menjadi CPO. Sedangkan TBS dari petani lepas, disamping dapat dijual ke KUD sawit juga dijual ke pedagang pengumpul TBS tingkat desa. Pedagang pengumpul desa menjual TBS ke pedagang pengumpul besar TBS yang juga dapat bertindak sebagai agen dari industri PKS. Pada awal kegiatan operasional, ada perlakuan yang berbeda mengenai harga bila petani PIR dan non PIR yang menjual TBS ke KUD tersebut. Namun dalam perkembangannya, terutama produksi sawit telah mulai menurun, KUD juga banyak menerima TBS dari petani lepas (non PIR) sehingga secara otomatis tidak ada pembedaan dalam hal penjualan baik dari petani PIR dan non PIR. KUD kelapa sawit, memiliki unit transportasi sendiri untuk mengambil sawit dari petani dan selanjutnya mengirim sawit ke unit PKS PTPN. Sehingga, ada pengenaan biaya transportasi terhadap TBS yang dijual ke KUD dengan kisaran antara Rp. 60 – Rp. 70/kg. Setelah TBS dari KUD masuk ke unit PKS PTPN dan bersama TBS dari unit kebun sendiri PTPN lalu diekstrak antara lain menjadi CPO. Sesuai dengan kesepakatan diantara PTPN, maka CPO yang diproduksi PTPN dipasarkan melalui Kantor Pemasaran Bersama (KPB) baik untuk kebutuhan di dalam negeri maupun ekspor. KPB dalam hal ini mendapat fee kompensasi sebesar 0,5 persen dari harga jual. Untuk kebutuhan di dalam negeri, KPB bisa langsung menjual ke konsumen. Sedangkan untuk ekspor, KPB harus melalui agen (broker) lokal, baru kemudian broker berhubungan dengan importir (broker/whole saler) di luar negeri seperti di Hamburg, New York dan Bremen-Jerman. Distribusi CPO nasional bisa langsung disalurkan dari pabrik (PKS) ekstraksi TBS dan disalurkan melalui Tank Instalation (TI) dipelabuhan. Bagi industri pengolahan lanjut CPO yang dinamai processor dapat langsung dari unit PKS (ekstraksi) PTPN, sedangkan bagi processor lain harus melalui TI dipelabuhan. Selanjutnya saluran distribusi CPO PTPN di dalam negeri disajikan pada Lampiran 3. Sementara itu, pada alur pemasaran TBS dari petani lepas dijual ke pedagang pengumpul desa dan selanjutnya ke pedagang pengumpul besar dan seterusnya ke pabrik PKS swasta. Disamping itu, PKS swasta juga memperoleh sawit dari kebun sendiri. Distribusi produksi CPO dari perkebunan swasta (PBS) tidak harus dipasarkan melalui KPB. Perkebunan swasta skala kecil adakalanya bergabung dengan perkebunan swasta skala besar dalam memasarkan produknya terutama untuk ekspor, namun banyak juga yang memasarkan langsung ke luar negeri. Untuk mempermudah pencarian pasar, PBS skala besar ada yang menempatkan agen-agennya di luar negeri, dan ada yang melakukan kontrak jual beli. Untuk PBS skala kecil, tampaknya belum dapat melakukan hal tersebut. Untuk pemasaran di dalam negeri, CPO tidak dikemas secara khusus atau masih dalam bentuk curah. Dalam saluran distribusi di atas biasanya TBS yang dihasilkan di kebun-kebun diangkut ke pabrik ekstraksi TBS dengan menggunakan truk atau lori. Selanjutnya hasil CPO disimpan di dalam tangki di pabrik yang kemudian nantinya diangkut dengan mobil tangki ke tempat processor ke tank installation di pelabuhan. Selanjutnya CPO dikemas, dan seterusnya dikapalkan menuju negara importir atau lokasi processor di dalam negeri (Lampiran 4). c). Eksportir Keuntungan adalah tujuan yang ingin dicapai oleh para eksportir. Para produsen CPO di Indonesia antara lain perusahaan milik negara dan perusahaan swasta, sedangkan untuk petani hanya menjual buah sawit kepada perusahaan pengolahan CPO atau kepada tengkulak. Dari para pengumpul kelapa sawit dibawa ke pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) dan akan diolah menjadi CPO. Perusahaan swasta rata-rata mempuyai perkebunan kelapa sawit serta didukung oleh pabrik pengolahan kelapa sawit, sehingga perusahaan dapat mengoptimalkan segala kemampuan perkebunan yang dimiikinya dengan sumberdaya infrastruktur pendukung. Hasil pengolahan kelapa menjadi CPO akan didistribusikan di dalam negeri dan keluar negeri. Perusahaan industri hilir yang menggunakan bahan baku CPO antara lain industri bahan pangan, oleokimia dan biodiesel dan banyak lagi industri yang menggunakan bahan baku nabati. Banyak agen atau perusahaan jasa penyalur CPO keluar negeri yang ikut serta dalam usaha ini walaupun tidak mempunyai lahan ataupun pabrik, karena tertarik akan harga jual yang mahal didalam negeri dan diluar negeri. Perusahaan besar swasta dapat langsung menjual CPO keluar negeri. Perusahaan besar rata-rata mempunyai kantor cabang diluar negeri untuk mempermudah negara importir memesan CPO keperusahaannya. Dengan demikian perusahaan dapat memperoleh keuntungan yang lebih besar daripada melalui agen perantara dalam menjual hasil CPO perusahaanya. Beberapa perusahaan eksportir CPO antara lain PT. Andalas Intigo Lestari, PT. Musim Mas, PT. Sofcin Indonesia, PT. Japfa Comfeed, PT. Tunggal Perkasa Plantions, PT. Astra Agro Lestari, PT. Inti Indosawit Subur, dan lain sebagainya. Unit kebun sendiri TBS TBS Petani K.Sawit Pedagang Pengumpul Desa TBS Pedagang Pengumpul Besar TBS Industri PKS Swasta Agen DN Agen LN Processor DN Processor LN Gambar 10 Saluran Distribusi TBS dan CPO Pada Perkebunan Swasta Sumber : PPKS, 2006 d). Penyuluh Kegiatan penyerapan teknologi tidak dapat langsung diterima oleh petani, sehingga peranan penyuluh dalam memberikan bantuan pemahaman terhadap teknologi baru sangat penting bagi para petani perkebunan. Penyuluh pertanian lapangan (PPL) berfungsi memberikan bantuan kepada petani akan informasi dan teknologi terkini bidang pertanian, sehingga petani dapat memanfaatkan keberadaan penyuluh sebagai sarana untuk memperoleh informasi. Penyuluh pertanian khususnya bidang perkebunan, menyampaikan teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian atau pihak lain kepada petani. Melalui pendampingan yang lebih intensif oleh penyuluh, maka petani dapat mengetahui teknik atau proses budidaya sampai dengan informasi tingkat harga sawit yang harus diterima oleh petani apabila menjual hasil kebunnya. Dengan adanya informasi harga pasar petani dapat mengetahui posisi tawar sawit yang akan dijualnya kepada para pedagang pengumpul. Selain penyuluhan dilakukan oleh PPL, kegiatan penyuluhan juga dilakukan oleh berbagai lembaga-lembaga salah satunya Gapki. Gabungan pengusaha kelapa sawit selain sebagai asosiasi perkumpulan para pengusaha, Gapki mempunyai kegiatan yang berupa penelitian, penyuluhan, informasi, promosi, pemasaran, advokasi, konsultasi dan diskusi serta segala kegiatan yang dapat meningkatkan penghasilan anggotanya. Peranan pemerintah dan lembaga kelapa sawit harus terintegrasi agar segala cara dan upaya peningkatan dayasaing CPO Indonesia dapat terlaksana dengan baik. 3). Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam hal penanaman, pemeliharaan dan pemanenan merupakan hal penting dalam menunjang dayasaing kelapa sawit. Sumberdaya ini mencakup ketersediaan pengetahuan pasar dan pengetahuan ilmiah dalam melakukan produksi yang dapat diperoleh melalui lembaga penelitian, asosiasi pengusaha, asosiasi petani, lembaga, perguruan tinggi, literatur bisnis, basis data, dan sumber pengetahuan dan teknologi lainnya. a. Lembaga Penelitian Peranan lembaga penelitian dalam mengembangkan produksi CPO Indonesia di pasar internasional sangat tergantung pada hasil penelitian dan pengembangan baik budidaya sampai dengan produksi. Di Indonesia terdapat beberapa lembaga penelitian kelapa sawit baik itu instansi pemerintah ataupun perguruan tinggi yaitu Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di Medan, Balai Besar Mekanisasi Pertanian Departemen Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut teknologi Bandung (ITB), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Puspitek dan lembaga penelitian yang dimiliki oleh perusahaan swasta (Lampiran 5). Pusat Penelitian kelapa sawit (PPKS) di Medan merupakan salah satu tempat budidaya indukan bibit sawit berkualitas. Dari PPKS akan dihasilkan bibit sawit yang berkualitas lewat hasil persilangan indukan yang memiliki keturunan baik, selain itu metode kloning juga dilakukan untuk mengahasilkan anakan sawit yang berkualitas sesuai dengan indukan. Kebutuhan akan minyak nabati khususnya sebagai bahan baku biofuel atau sebagai bahan bakar pada kendaraan bermesin diesel semakin meningkat sering dengan mahal dan terbatasnya produski BBM. Berbagai kebijakan negaranegara Eropa dan Indonesia agar tidak terlalu menggantungkan bahan bakar kendaraan dan industri terhadap BBM dan menggantinya dengan bahan bakar nabati (BBN). Permintaan negara maju terhadap biodisel mencapai 71 juta ton atau senilai 28 juta Poundsterling, hal ini merupakan suatu peluang besar bagi negara penghasil biodisel. Dengan besarnya luasan perkebunan kelapa sawit Indonesia maka hasil produksi untuk minyak sawit (CPO) juga akan besar seiring peningkatan luasan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBPT) melihat peluang pasar biodiesel maka pada tahun 2003 badan penelitian ini menciptakan mesin pengolahan CPO yang dapat menghasilkan biodiesel. Kapasitas awal mesin pengolahan CPO yang dibuat oleh BBPT sebesar 1,5 ton perhari dan pada tahun 2008 mampu menambah kapasitas produksi menjadi 3 ton perhari. Beberapa negara Asia yang serius mengembangkan energi biodiesel adalah India, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Thailand dan Vietnam beli CPO dari Indonesia. b. Asosiasi Pengusaha GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) adalah wadah perusahaan produsen minyak sawit (CPO) yang terdiri dari perusahaan PT. Perkebunan Nusantara, Perusahaan Perkebunan Swasta Nasional dan Asing serta peladang Kelapa Sawit yang tergabung dalam Koperasi. GAPKI telah melakukan berbagai upaya untuk memajukan perkelapasawitan Indonesia. GAPKI selaku mitra pemerintah telah memberikan masukan-masukan sebagai bahan pemerintah dalam menyusun berbagai kebijakan tentang masalah perkelapasawitan, termasuk menetapkan kebijakan tata niaga minyak sawit yang memberikan harga jual yang menarik sehingga akan merangsang untuk melakukan investasi pada perkebunan kelapa sawit. Perusahaan anggota GAPKI telah menyediakan minyak sawit sebagai bahan baku untuk kepentingan industri dalam negeri dengan jumlah yang cukup dan terus menerus, sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terutama terhadap kebutuhan minyak goreng dengan harga yang terjangkau, disamping itu juga mengekspor minyak sawit dalam meningkatkan pendapatan devisa negara. Gabungan pengusaha kelapa sawit Indonesia memiliki sembilan kantor cabang, yaitu pada daerah : Sumatera Barat (2001), Jambi (2003), Sulawesi (2004), Kalimantan Tengah (2004), Riau (2004), Kalimantan Selatan (2004), Sumatera Utara (2005), Kalimantan Timur, dan Sumatera Selatan (2007). Adapun beberapa tujuan Gapki yaitu : 1. Mengembangkan usaha-usaha perkelapasawitan seutuhnya dalam rangka menunjang kebijaksanaan pemerintah di bidang perkebunan. 2. Mempersatukan perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia agar menjadi salah satu kekuatan ekonomi yang dapat meningkatkan kemakmuran masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. 3. Meningkatkan dayasaing perusahaan kelapa sawit Indonesia dipasar internasional. c. Asosiasi Petani Kuantitas dari hasil perkebunan yang diperjualbelikan pada umumnya dalam jumlah yang kecil sehingga untuk mendapatkan jumlah atau partai yang besar diperlukan suatu lembaga yang dapat menghimpun produk-produk perkebunan tersebut, di tingkat petani biasanya mereka membentuk suatu koperasi komoditas, sehingga memudahkan dalam penjualannya. Disamping itu para petani membentuk suatu asosiasi petani kelapa sawit Indonesia (Apsakindo) bertujuan antara lain sebagai wadah untuk mengakomodir kepentingan para petani seperti memberdayakan petani, meningkatkan kesejahteraan dan mewujudkan kemitraan. e. Dewan Minyak Sawit Indonesia Pada tanggal 31 Mei 2007 Indonesia memiliki dewan minyak sawit yang mempunyai salah satu tujuan adalah memperbaiki citra minyak sawit Indonesia dipasar internasional. Pembentukan badan tersebut perlu dilakukan terutama untuk mempermudah hubungan dagang antarnegara yang menyangkut masalah kelapa sawit menyusul adanya permintaan Malaysia agar Indonesia supaya segera memiliki badan khusus yang mengurusi masalah persawitan nasional. pembentukan dewan sawit itu memperkokoh Industri sawit terutama menangkis isu negatif yang memengaruhi keberadaan usaha perkebunan, seperti lingkungan, dan kesehatan. d. Lembaga Statistik Lembaga statistik berperan sebagai pengolah segala informasi yang bersifat kuantitatif untuk diolah sedemikian rupa sehingga hasilnya dapat digunakan untuk keperluan umum. Peran dari lembaga statistik ini diwakili oleh Direktorat Jenderal Perkebunan–Departemen Pertanian, Biro Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Perkebunan yang merupakan lembaga yang beperan besar dalam mengolah data statistik perkebunan kelapa sawit baik hasil tandan buah segar serta hasil CPO. Hasil olahan data statistik disimpulkan dalam sebuah buku yang berjudul “Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia” dengan periode tahun yang berbeda-beda. e. Perguruan Tinggi Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggulan yang memberikan kontribusi penting pada pembangunan ekonomi Indonesia, khususnya pada pembangunan agroindustri. Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia tahun 1996 telah mencapai dua juta hektar dengan tingkat produksi terbesar kedua setelah Malaysia. Pada tahun 2010 luas perkebunan kelapa sawit direncanakan akan mencapai tujuh juta hektar, sehingga Indonesia diharapkan akan menjadi negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Dalam rangka mengantisipasi dan mendorong perkembangan kelapa sawit serta mencegah berbagai masalah yang akan timbul, diperlukan adanya wahana untuk kerjasama yang baik antara peneliti, pengembang, industriawan, pengusaha, peminat dan pelaku lainnya di bidang perkelapasawitan, baik dari kalangan pemerintah, perguruan tinggi, lembaga penelitian dan pengembangan maupun dari kalangan industri, pengusaha dan peminat serta pelaku lainnya. Hal ini penting untuk dapat menjamin keberlanjutan pengembangan perkelapasawitan di Indonesia. Menyadari hal tersebut dan atas prakarsa 7 PAU Biosains (PAU Bioteknologi ITB, PAU Ilmu Hayati ITB, PAU Pangan dan Gizi UGM, PAU Bioteknologi UGM, PAU Pangan dan Gizi IPB, PAU Bioteknologi IPB, PAU Ilmu Hayati IPB), Pusat Studi Pembangunan IPB dan Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan, para pakar kelapa sawit menganggap perlu berhimpun dalam suatu paguyuban atau wadah organisasi, maka dibentuklah Masyarakat Perkelapa-sawitan Indonesia (MAKSI) yang berazaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. f. Sumber IPTEK lainnya Sumber IPTEK lainnya dapat berasal dari berbagai media, seperti jurnaljurnal penelitian, warta, surat kabar atau majalah agribisnis, Internet, dan media penyedia informasi lainnya. Sumber IPTEK yang beragam dan lengkap diharapkan dapat mendukung industri CPO Indonesia dalam menerapkan teknologi yang tepat guna. Penerapan teknologi yang tepat tentunya akan meningkatkan produktivitas lahan kelapa sawit dan menghasilkan CPO yang mempunyai mutu yang tinggi. Adanya kemajuan teknologi di bidang pengolahan industri hilir kelapa sawit diharapkan dapat berkembang sehingga negara ini mampu mengekspor kelapa sawit dalam bentuk CPO tetapi dalam bentuk yang sudah mempunyai nilai tambah atau siap digunakan. Hal tersebut tentunya dapat menambah nilai jual kelapa sawit, sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani kelapa sawit juga devisa negara. Untuk dapat mencapai kemajuan tersebut maka dibutuhkan sumberdaya IPTEK yang mendukung. Sumberdaya IPTEK yang mendukung maka akan meningkatkan keunggulan kompetitif kelapa sawit nasional. 4).Sumberdaya Modal Sumber pendanaan modal sangat penting bagi keberlanjutan perkebunan agar mampu menghasilkan komoditi yang berkualitas dan berkuantitas baik. Modal petani perkebunan berasal dari berbagai sumber yaitu dari bantuan pemerintah lewat pinjaman dengan subsidi bunga kredit, dan modal sendiri. Bantuan pemerintah lewat subsidi bunga kredit dimaksudkan untuk membantu petani yang ikut dalam perkebunan inti rakyat (PIR-BUN) lewat bank mitra pemerintah yaitu BRI (Bank Rakyat Indonesia). Revitalisasi perkebunan yaitu lewat peremajaan dan perluasan lahan perkebunan (kelapa sawit, karet, dan kakao), dengan memberikan bunga flat sebesar 10 persen kepada petani plasma yang meminjam modal kepada bank sedangkan sisanya ditanggung pemerintah. Rencana Revitalisasi perkebunan sebesar 2 juta hektar dengan dana investasi 12 triliun siap dikucurkan oleh pemerintah dimana kegiatan ini telah dimulai pada 2007 dan direncanakan selesai pada tahun 2010. Bentuk kerjasama antara pemerintah dan petani plasma dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit lewat berbagai kerjasama salah satunya kerjasama bapak angkat. Sistem ini dilakukan oleh pemerintah lewat perkebunan negara (PTPN) yang seluruh biaya penanaman dan pengembangan kelapa sawit milik petani ditanggung pemerintah, dan setelah menghasilkan maka petani diwajibkan membayar kepada pemerintah. Sumber modal perkebunan swasta sangat besar karena didukung oleh perusahaannya semagai investor utama dan tambahan modal dari modal perusahaan asing yang tertarik dengan prospek CPO. Mahalnya harga CPO di pasar internasional mengembangkan membuat komoditi banyak kelapa perusahaan sawit. Salah yang satu tertarik perusahaan untuk yang mengembangan komoditi perkebunan kelapa sawit adalah Indomal Usahasama yang merupakan grup Indomal. Perusahaan ini bekerjasama dengan Malaysia membangun Palm Oil Centre di Maluku utara. Total investasi yang ditanamkan mencapai Rp 12,5 triliun. Pembuka lahan kelapa sawit seluas 200.000 hektar, membangun pabrik CPO dan pabrik biodiesel masing-masing 7 unit serta infrastruktur pendukung berupa pembangkit listrik 2x10 megawatt. Dengan luas lahan perkebunan tersebut diharapkan bisa memproduksi kelapa sawit 1,5 juta ton per tahun. Sementara untuk pabrik pengolahan biodiesel, direncanakan berkapasitas 150 ribu ton per tahun. dari total investasi Rp 12,5 triliun, sekitar Rp 5 triliun diantaranya digunakan untuk membiayai pembersihan lahan dan penanaman kelapa sawit. Untuk pendanaan proyek Palm Oil Centre ini, beberapa lembaga keuangan telah siap memberikan dukungan yaitu Exim Bank Malaysia dan Gulf Finance House, salah satu lembaga pembiayaan dari Doha, Qatar. Lembaga-lembaga ini akan masuk membiayai hingga 70 persen dari nilai proyek, dengan skema project financing. Sisanya ditanggung oleh modal sendiri peusahaan. 5). Sumberdaya Infrastuktur Sumberdaya infrastruktur meliputi sarana dan prasarana yang digunakan dalam suatu industri. Sarana dan prasarana yang berperan penting dalam proses produksi, pemeliharaan, pemanenan, hingga sampai ketangan konsumen. Pada sarana produksi kelapa sawit, dibutuhkan mesin pengolahan yang mampu mengolah kelapa sawit segar menjadi CPO. Investasi pembelian mesin CPO sangat besar sehingga hanya perusahaan serta negara yang mempunyai dana untuk membeli peralatan pengolahan kelapa sawit, sedangkan petani belum mempunyai pabrik pengolahan secara swadaya. Sarana pengolahan kelapa sawit akan semakin bertambah seiring dengan meningkatnya pembukaan lahan diberbagai daerah dengan investasi besar-besaran dari perusahaan asing dan dalam negeri. Hal ini akan menambah kemampuan pengolahan sawit nasional sehingga dapat meningkatkan hasil CPO untuk konsumsi dalam negeri maupun diekspor keluar negeri. Kebutuhan prasarana industri CPO sangat penting guna membawanya kepada konsumen industri lain yang menggunakan bahan baku CPO. Adapun prasarana untuk mendukung industri CPO nasional antara lain jalan, jembatan, sarana air, listrik, jembatan, pelabuhan, transpotasi dan lain sebagainya. Dibutuhkan dana sekitar Rp 4 triliun untuk bisa menyediakan lapangan terbang standar, pelabuhan laut, pembangunan jalan dan jembatan. Pelabuhan merupakan salah satu alat transpotasi untuk menghantarkan CPO ke tempat tujuan. Fasilitas pelabuhan di Indonesia masih minim dalam menampung kapal besar sehingga terjadi antrian apabila hendak masuk ke pelabuhan. Rata-rata kapal yang dapat besandar di pelabuhan hanya berjumlah 2 sampai 3 kapal, yang menyebabkan waktu tunggu lama dan biaya yang harus ditanggung bertambah besar oleh konsumen atau importir . Berbeda dengan Malaysia yang mempunyai pelabuhan Port Klang yang dapat menampung berapapun kapal yang hendak bersandar dipelabuhan tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut maka di daerah Sumatera Selatan telah dibangun pelabuhan Tanjung Api-Api (TAA) dengan bantuan investasi dari negara Arab sebesar 13 triliun. Selain pembangunan pelabuhan kapal, didaerah Palembang juga dibangun jalur kereta api yang menghubungkan lokasi pabrik CPO dengan pelabuhan. 6.3.2 Kondisi Permintaan 1). Komposisi Permintaan Domestik Kebutuhan konsumen industri pangan, minyak goreng, olein, biodisel akan CPO semakin meningkat seiring peningkatan konsumsi dan jumlah penduduk dunia. Harga minyak sawit mentah dunia yang tinggi menyebabkan para produsen CPO banyak melakukan ekspor dari pada menjual didalam negeri. Pada tahun 2008 harga CPO yang tinggi mencapai level diatas US$ 800/ton, menyebabkan pasokan CPO yang seharusnya untuk mencukupi kebutuhan industri hilir di ekspor tanpa adanya batasan dari pemerintah. Perkembangan Industri hilir pengolahan CPO, salah satunya adalah industri minyak goreng belum mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 dan 2006 jumlah pabrik minyak goreng tidak berubah yaitu sebanyak 74 pabrik yang tersebar diseluruh Indonesia. Kapasitas produksi yang mampu dihasilkan oleh pabrik pengolahan minyak goreng tahun 2005 dan 2006 sama yaitu sebesar 15,43 juta ton, karena jumlah pabrik minyak goreng yang tidak berubah. Produksi minyak goreng berasal dari tanaman kelapa dan kelapa sawit. Untuk tahun 2005 kebutuhan akan minyak goreng domestik sebesar 3,29 ton dan meningkat akibat pertambahan penduduk sehingga terjadi peningkatan konsumsi menjadi 3,54 ton. Tabel 20 Industri Minyak Goreng Indonesia Tahun 2005 – 2006 Keterangan Jumlah Perusahaan Kapasitas Produksi (Juta Ton) Realisasi Produksi (Juta Ton) Utilitas Produksi (%) Ekspor Minyak Goreng (Juta Ton) Konsumsi Minyak goreng Domestik (Juta Ton) 2005 74 15,43 6,62 42,95 3,33 3,29 2006 74 15,43 7,59 49,24 4,05 3,54 Sumber: Departemen Perindustrian, 2007 2). Jumlah Permintaan dan Pola pertumbuhan Pertumbuhan industri pangan, oleokimia, dan minyak goreng serta industri yang menggunakan minyak nabati khususnya CPO semakin meningkat. Dari sisi permintaan, tingkat pertumbuhan konsumsi minyak goreng sebagai produk olahan minyak kelapa sawit cukup pesat, baik di pasar domesik dan pasar ekspor. Hal itu didukung kenaikan faktor permintaan secara agregat seperti pertumbuhan penduduk, daya beli masyarakat, serta kecenderungan dunia mengkonsumsi minyak dari sawit. Permintaan ini tidak terlepas dari kemampuan industri CPO untuk menggeser minyak kelapa (Crude Coconut Oil – CCO) dan kopra sebagai bahan baku minyak goreng. 3). Permintaan Luar Negeri Terhadap CPO Nasional Pertumbuhan penggunaan minyak sawit itu dipicu oleh peningkatan jumlah penduduk dunia dan semakin berkembangnya trend pemakaian bahan dasar oleochemical pada industri makanan, industri shortening, farmasi (kosmetik). Trend ini berkembang karena produk yang menggunakan bahan baku kelapa sawit lebih berdaya saing dibandingkan minyak nabati dengan bahan baku lainnya. Naiknya harga CPO juga disebabkan oleh terus menanjaknya harga minyak kedelai akibat turunnya produksi kedelai dunia tahun ini. Berdasarkan data dari Oil World, trend penggunaan komoditi berbasis minyak kelapa sawit di pasar global terus meningkat dari waktu ke waktu mengalahkan industri berbasis komoditas vegetable oil lainnya seperti minyak gandum, minyak jagung, minyak kelapa. Pangsa konsumsi minyak kelapa sawit terhadap konsumsi minyak nabati dunia sebanyak 34,15 juta ton pada tahun 1963–1967 diperkirakan empat persen dari total minyak nabati dunia. Pangsa ini meningkat menjadi 14,9 persen dari konsmsi minyak nabati dunia sebesar 92 juta ton pada tahun 2003 sampai 2007. Sedangkan pada tahun 2003 sampai 2006 konsumsi minyak dunia meningkat menjadi 18 persen dengan besarnya konsumsi 117 juta ton. Sejak 2004 penggunaan komoditi minyak kelapa sawit telah menduduki posisi tertinggi dalam pasar vegetable oil dunia yaitu mencapai sekitar 30 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata delapan persen per tahun, mengalahkan komoditas minyak kedelai sekitar 25 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 3,8 persen per tahun. Komoditas lainnya yang banyak digunakan adalah minyak bunga matahari yaitu sekitar 11,5 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 2,2 persen per tahun. Indonesia adalah negara net-exporter minyak sawit, tetapi dalam keadaan mendesak juga mengimpor minyak sawit. Negara tujuan utama ekspor minyak sawit Indonesia adalah Eropa Barat, India, Pakistan, Cina, dan Jepang. Produk yang diekspor adalah minyak olahan tahap awal seperti RBD palm oil, CPO dan beberapa produk oleokimia. Secara umum, ekspor minyak sawit Indonesia pada 1980-2005 meningkat 12,9 persen per tahun. Pada tahun 2005 pangsa ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 39,35 persen dari ekspor minyak sawit dunia, dan pada periode yang sama, pangsa ekspor minyak sawit Malaysia sekitar 50,68 persen. Pada tahun 2006 pangsa ekspor minyak sawit Indonesia mencapai 39,18 persen dari ekspor minyak sawit dunia dan Malaysia sekitar 50,31 persen. Dengan demikian, pangsa pasar Malaysia cenderung menurun, sebaliknya pangsa pasar Indonesia makin meningkat seiring dengan peningkatan produksi minyak sawit Indonesia. 6.3.3 Industri Terkait dan Industri Pendukung 1). Industri Terkait Industri terkait merupakan industri yang berada dalam sistem komoditas secara vertikal. Indiustri ini mulai dari pengadaan bahan baku, bahan tambahan, bahan kemasan sampai pemasaran. Selain industri terkait terdapat juga industri pendukung yang merupakan industri yang memberikan kontribusi tidak langsung dalam sistem komoditas secara vertikal. a). Industri Penyediaan Bibit Kelapa sawit Perkembangan Industri CPO Indonesia agar mampu menghasilkan produk yang berkualitas dan berkuantitas baik perlu penggunaan bibit unggul. Dengan bibit unggul yang baik maka akan dihasilkan kelapa sawit segar (TBS) yang baik pula untuk selanjutnya diolah menjadi minyak sawit (CPO). Penyediaan bahan baku bibit berkualitas dan mempunyai sertifikat ekolabeling dan diakui di Indonesia terdapat tujuh produsen benih dengan kapasitas 141 juta per tahun. Produsen bibit kelapa sawit antara lain :Pusat Penelitain Kelapa Sawit (PPKS) di Medan, PT. London Sumatera (PT. Lonsum), PT. Socfindo, PT. Tunggal Yunus Estate (PT. TYE), PT Dami Mas Sejahtera (PT. DMS), PT Bina Sawit Makmur (PT. BSM), dan PT Tania Selatan (PT. TS). b). Industri Penyedia Kelapa Sawit Penyediaan kelapa sawit dalam bentuk segar di usahakan oleh pengusaha swasta, negara, dan petani secara swadaya. Pengusahaan kelapa sawit untuk swasta di dominasi oleh perusahaan-perusahaan besar Perkebunan kelapa sawit swasta yang cukup luas misalnya dimiliki oleh PT Astra Agro Lestari, Sinar Mas group, PT London Sumatra , PT Minamas Gemilang, PT Asian Agri, PT Duta Palma, PT Bakrie Sumatera Plant, PT Salim Ivomas Pratama, PT Surya Dumai dan sebagainya. Selain memiliki kebun inti perkebunan tersebut perusahaan juga memiliki kebun plasma atau KKPA yang cukup besar. Perkebunan rakyat sebagai produksi kelapa sawit mempunyai peranan sebagai penyedia kelapa sawit untuk diolah lebih lanjut menjadi CPO oleh perusahaan yang mempunyai pabrik pengolahan. c). Industri Pengolahan Kelapa Sawit Untuk menghasilkan CPO diperlukan pabrik pengolahan TBS. Produksi dan pengolahan kelapa sawit dikuasai beberapa pengusaha saja. Tercatat namanama besar, seperti PT Astra Agro Lestari, Sinar Mas Group, PT London Sumatera, PT Minamas Gemilang, PT Asian Agri, PT Duta Palma, PT Bakrie Sumatera Plantation, PT Salim Ivomas Pratama, PT Surya Dumai.; dapat disimpulkan bahwa penghasil TBS terbesar di negeri ini adalah petani. Hanya sebagian dari para pemilik perkebunan kelapa sawit ini yang memiliki industri hilir seperti refinery yaitu Sinar Mas, Astra, Salim, Asian Agri, Duta Palma dan beberapa perusahaan lagi dengan kapasitas yang tidak terlalu besar; industri oleochemicals seperti Sinar Mas. d). Industri Pegolahan CPO Industri yang terkait dalam industri kelapa sawit adalah industri makanan, minuman, minyak goreng, biofuel dan lain sebagainya. Industri tersebut merupakan industri dalam industri CPO Indonesia yang memiliki kontribusi langsung pada sistem komoditas secara vertikal karena industri tersebut menggunakan CPO sebagai bahan bakunnya. Potensi pengembangan energi alternatif seperti biofuel di Indonesia sangatlah besar, dimana kebutuhan bahan bakar minyak baik untuk kepentingan industri maupun individu memiliki kecenderungan terus mengalami peningkatan. Perusahaan yang bergerak dalam bidang biodiesel seperti PT Kreatif Energi Indonesia, PT Energi Alternatif, PT Tranaco Utama, PT Eterindo Wahanatama, PT Molindo Raya Industrial, PT Astra Agro Lestari Tbk. (Grup Astra), PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk. (Grup Bakrie), Grup Sinar Mas, juga BUMN PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI). 2). Industri Pendukung a). Industri Jasa Pemasaran Industri jasa pemasaran merupakan lembaga perantara pemasaran, seperti pedagang pengumpul, distributor, pedagang besar, pedagang eceran, dan ekspotir. Di tahun 2004 Lonsum mengkoordinasikan seluruh kegiatan pemasaran dan penjualannya melalui kantornya di Singapura, mengerahkan segenap daya untuk mengembangkan pangsanya di pasar internasional. Pada tahun 2004 Lonsum berhasil melakukan diversifikasi pemasaran CPO sehingga mampu meningkatkan jumlah pelanggan. Perkembangan ini berawal dari selesainya pembangunan instalasi tangki timbun Sei Lais di Palembang, yang merupakan langkah awal upaya Lonsum mengalihkan metode penjualan CPO di Sumatera Selatan dari ex- pabrik ke ex-tangki timbun. Hasilnya perusahaan mampu menambah jumlah pelanggan secara signifikan serta menikmati keuntungan dari perolehan harga pasar CPO yang berlaku. b). Industri Jasa Pendidikan, Pelatihan, Litbang dan Konsultasi Kebutuhan akan permintaan pasar yang terus meningkat terhadap CPO setiap tahunnya memungkinkan produksi minyak kelapa sawit di Indonesia untuk terus ditingkatkan. Sejalan dengan perkembangan itu maka sektor perkebunan kelapa sawit memerlukan ketersediaan tenaga kerja yang terus bertambah dengan tingkat pengetahuan dan keterampilan yang memadai, mulai dari bagian teknis agronomi/tanaman hingga proses pengolahan. Pada era persaingan bebas seperti sekarang, tersedianya tenaga kerja yang terdidik dan terampil menjadi semakin mutlak, karena dengan demikian dapat diharapkan mampu meningkatkan produktivitas tanaman dan mutu CPO yang dihasilkan. Kenyataan membuktikan bahwa tidak semua perkebunan di Indonesia mempunyai pusat pelatihan yang sistimatis (training center). Hanya beberapa perkebunan besar swasta yang memiliki lembaga ini di samping PTPN dengan LPP (Lembaga Pusat Pelatihan). Sebagai upaya menangkap peluang ini, salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan mendirikan sebuah lembaga pelatihan tenaga kerja. Pelatihan tenaga kerja ini dititikberatkan pada praktek kerja nyata di kebun dan pabrik secara langsung. Dengan sistem seperti ini diharapkan agar materi yang disampaikan di kebun dan pabrik dapat diterapkan secara langsung pada dunia kerja secara nyata. Citra Widya Education (CWE) adalah lembaga jasa pendidikan dan pelatihan tenaga kerja yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit. CWE menawarkan berbagai macam program pelatihan yang ditujukan mulai dari tingkat operator, asisten, asisten kepala, sampai dengan tingkat manager. Program pelatihan yang ditawarkan meliputi berbagai aspek pelatihan di bidang teknis, manajemen dan kepemimpinan, administrasi sampai dengan quality control. CWE juga mengemban misi yang berupaya agar lulusan-lulusannya memiliki profesionalisme dalam bekerja sehingga secara tidak langsung dapat memberikan Return of Investment (ROI) yang efektif dan efisien bagi perusahaan dengan sumberdaya manusia yang menjunjung prinsip keselamatan kerja dan keamanan lingkungan. Hubungan CWE yang erat dengan para pelaku industri termasuk di antaranya perkebunan kelapa sawit, supplier sarana pendukung perkebunan, asosiasi perkebunan kelapa sawit, lembaga pendidikan, dan pusat penelitian serta didukung dengan fasilitas pelatihan langsung di lapangan dengan tenaga pengajar yang berasal dari kalangan praktisi perkebunan kelapa sawit jelas sangat mendukung validity dan applicability program pelatihan kami. CWE menjalin hubungan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang memiliki perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di Sulawesi Selatan serta Bengkulu sebagai tempat praktek lapangan. Jika sebagian besar pendidikan akademik melakukan praktek yang terbatas pada simulasi di laboratorium dalam kondisi ideal, maka sistem pelatihan di CWE mengambil tempat pada lokasi aktual lengkap dengan kondisi lapangan sebagai salah satu nilai tambahnya. CWE juga merupakan salah satu lembaga pelatihan yang pertama kali menggunakan Career-Based Curriculum (CBC) dan dilengkapi dengan sistem pendidikan yang menekankan know-why di samping know-how sehingga lulusan CWE memiliki pengetahuan yang valid dan applicable dalam karirnya di industri. Keberadaan CWE diharapkan akan memberikan manfaat bagi dunia industri pengolahan kelapa sawit, sekaligus memberikan kontribusi untuk mengatasi permasalahan mengenai Sumber Daya Manusia (SDM) perkebunan kelapa sawit Indonesia. 6.3.4 Struktur, Persaingan dan Strategi Industri CPO Nasional Perkebunan kelapa sawit sebagai pemasok kelapa sawit di Indonesia diusahakan oleh tiga bentuk pengusahaan yaitu Perkebunan milik Negara, Perkebunan Swasta dan Perkebunan Rakyat. Jumlah pengusahaan perkebunan di Indonesia sangat banyak khususnya yang diusahakan secara swadaya dan Perkebunan Swasta. Jumlah pemasok kelapa sawit yang besar di Indonesia menyebabkan harga kelapa sawit yang berflukuatif mengikuti ketentuan yang berlaku. Harga yang diterima oleh para pengusaha kelapa sawit secara swadaya sering mengikuti harga perusahaan pemilik pabrik kelapa sawit, sehingga harga yang diterima oleh para petani lebih rendah dibandingkan oleh harga yang ditetapkan oleh pemerintah setempat. Industri CPO di Indonesia di dominasi oleh Perusahaan Swasta dan Perusahaan Negara. Pabrik CPO di Indonesia saat ini mencapai 420 pabrik dan akan terus bertambah seiring dengan pertambahan luas penanaman sehingga jumlah perusahaan yang ada dalam industri CPO akan semakin banyak. Perusahaan pengolahan CPO di Indonesia untuk saat ini didominasi oleh perusahaan besar swasta (Astra, Asia Agro Lestari, Sinar Mas) yang mempunyai modal besar untuk pembangunan unit pengolahan CPO Jumlah produsen CPO yang tidak banyak menyebabkan struktur pasar CPO yang terbentuk adalah struktur oligopoli, dengan produsen CPO yang dominan atau mendominasi sumberdaya yang ada. Produksi CPO pada awalnya untuk memasok kekurangan minyak nabati di Indonesia. Peluang bisnis yang terbuka di pasar nasional dan internasional menyebabkan komoditi CPO semakin banyak permintaan dari konsumen industri. Pada saat ini minyak nabati di seluruh dunia terdapat 17 jenis dari komoditi yang berbeda. Banyaknya jumlah minyak nabati menyebabkan terjadinya persaingan diantara para produsen minyak nabati yang semakin ketat, selain dari sisi kualitas, kuantitas maupun kontinyuitas produk. Perkebunan kelapa di Indonesia saat ini menempati urutan pertama dalam menghasilkan komoditi CPO. Negara di Indonesia diharapkan beberapa tahun kedepan merupakan penghasil dan pengekspor CPO terbesar didunia menggeser dominasi Negara Malaysia sebagai eksportir terbesar. Ancaman bagi pengusahaan CPO Indonesia adalah dari Negara Malaysia yang mendirikan pabrik pengolahan lebih lanjut dengan memasok CPO dari dalam Indonesia. Banyaknya ekspor CPO Negara Indonesia dalam bentuk minyak mentah menyebabkan keuntungan yang diperoleh Negara Malaysia menjadi lebih besar karena produk yang dihasilkan mempunyai nilai tambah lebih. Kebutuhan industri terhadap minyak nabati akan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan industri baru. Minyak nabati yang mempunyai produksi besar dan mempunyai kandungan betakaroten adalah minyak sawit (PPKS,2006). Konsumen sebagai pengguna minyak nabati akan mencari komoditi yang dari sisi kualitas baik dan sisi kuantitas yang mampu mencukupi kebutuhan industri. Industri mempunyai banyak pilihan untuk membeli minyak nabati, akan tetapi ketersediaannya di pasaran masih belum pasti. Kelapa sawit mampu menghasilkan buah sepanjang tahun dan tanaman ini tahan terhadap musim kering di bandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Kekuatan pemasok terhadap harga pasar CPO di dalam negeri dan di pasar internasional dipengaruhi oleh harga yang berlaku di pasar berjangka Rotterdam. Pemasok CPO di dalam negeri mengikuti ketentuan harga yang ditetapkan oleh pemerintah lewat kebijakannya setiap bulannya dengan mengikuti pergerakan harga referensi dari Rotterdam. Dengan penetapan harga yang sudah diatur sehingga menyebabkan posisi tawar pemasok CPO yang lemah di sampiang adanya produk subtitusi minyak CPO. Strategi yang ada saat ini untuk mendukung perkembangan industri CPO Indonesia yaitu : 1. Strategi Produk Produk yang sesuai dengan standar mutu akan mampu bersaing dengan produk yang sama dari negara lain. Pada saat ini hampir 90 persen CPO Indonesia diekspor dalam bentuk mentah dan 10 persen untuk produk turunan kelapa sawit. Berbagai syarat tersebut antara lain adalah kadar FFA (free Fatty Acid) berkisar antara 2-5 persen dan mengandung betakaroten tinggi diatas 500 ppm. CPO merupakan minyak mentah sawit yang masih perlu dilakukan pengolahan untuk menjadi suatu produk. Besarnya ekspor kelapa sawit dalam bentuk olahan masih rendah, karena rata-rata kebutuhan industri dinegara konsumen membutuhkan CPO sebagai bahan baku pengganti bahan baku lain yang harganya lebih tinggi. Selain itu dengan sarana dan prasarana pendukung industri hilir yang lengkap serta dukungan teknologi negara kita masih mendominasi dalam bentuk CPO. Strategi pengembangan poduk CPO dapat dilakukan dengan pengolahan CPO lebih lanjut atau diversivikasi produk sehingga nilai jual menjadi lebih tinggi. 2. Strategi Harga Harga yang tinggi untuk komoditi CPO di pasar internasional akan menyebabkan produsen meningkatkan penjualannya. Pemasaran keluar negeri dapat dilakukan melalui pasar berjangka, seperti yang dilakukan oleh PT Lonsum, selama tahun 2005-2006 melakukan penjualan CPO melalui pasar berjangka. Penjualan CPO hasil PT Lonsum ke pasar dunia relatif stabil karena mekanisme penjualan yang digunakan adalah sisitem penjualan berjangka atau kontrak 6 bulan kedepan, oleh karena itu meskipun harga dunia melemah, harga penjualan CPO PT Lonsum stabil. Peranan pemerintah dalam menetapkan harga dalam negeri sangat mempengaruhi akan besaran keuntungan yang akan diperoleh para pengusahaan kelapa sawit. Untuk mengatasi lonjakan harga luar negeri yang sering berfluktuasi karena CPO sebagai salah satu minyak nabati yang banyak digunakan sebagai bahan baku biodiesel, pemerintah menetapkan harga dan menetapkan pajak ekspor. Kebijakan ini merupakan salah satu regulasi pemerintah agar pasokan kebutuhan CPO dalam negeri tercukupi. Melalui kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) pemerintah menginstruksikan kepada para pengusaha kelapa sawit agar kebutuhan CPO dalam negeri tercukupi lebih dahulu. Dengan harga yang tergolong tinggi dipasaran internasional banyak pengusaha yang lebih tertarik menjual CPO keluar negeri. 3. Strategi Promosi Akses Informasi pasar kelapa sawit sangat penting bagi pengetahuan konsumen industri pengolah kelapa sawit. Melalui promosi yang dilakukan oleh produsen, informasi komoditas yang ditawarkan dapat dikenal oleh para konsumen dalam maupun luar negeri. Berbagai macam informasi melalui promosi dapat diperoleh melaui berbagai media antara lain iklan surat kabar, iklan elektronik (internet, televisi), seminar dan pameran. Adanya berbagai isu negatif mengenai industri CPO dalam negeri mempengaruhi penjualan CPO keluar negeri. Kurangnya informasi dan promosi di luar negeri sehingga menyebabkan banyak kritik dari LSM di Eropa menyangkut konversi hutan menjadi lahan perkebunan sehingga berdampak pada climate change dan banyaknya flora serta fauna yang dikorbankan untuk tujuan pembangunan lahan perkebunan kelapa sawit. Mengatasi isu yang muncul pemerintah melakukan upaya yaitu mengirimkan delegasinya yang terdiri dari unsur pemerintah dan pengusaha kelapa sawit (Dewan Minyak Sawit Indonesia). Berbeda dengan Malaysia, mengenai isu negatif yang beredar pemerintah negara ini sudah membentuk suatu organisasi yang mengurusi promosi yang dibiayai oleh para pengusaha eksportir kelapa sawit yaitu Malaysia Palm Oil Board. 4. Strategi Distribusi Pemasaran CPO di dalam dan ke luar negeri belum mempunyai batasan atau kuota. Setiap produsen CPO yang mampu menghasilkan CPO dan mempunyai jaringan kerjasama dengan para distributor melakukan ekspor, kerena permintaan minyak nabati di pasar internasional yang tinggi. Besarnya ekspor CPO akan mempengaruhi ketersediaan CPO di dalam negeri. Perusahaan besar yang mempunyai kebun dan pabrik pengolahan sendiri mendistribusikan hasil produknya didalam maupun ke luar negeri sudah mempunyai kantor pemasaran, sehingga saluran tataniaganya efektif dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mempunyai kantor pemasaran dan hanya mengandalkan distributor sehingga memperpanjang saluran tataniaga yang berakibat berkurangnya margin keuntungan yang diperoleh perusahaan tanpa kantor pemasaran. Berdasarkan keputusan Menteri Pertanian No 339/Kpts/PD.300/5/2007 mengenai pasokan CPO untuk kebutuhan dalam negeri guna stabilisasi harga minyak goreng. Dengan keputusan ini, pengusaha yang tergabung dalam organisasi Gapki dan Non Gapki wajib menyalurkan CPO kepada kepada Asosiasi Minyak Nabati Indonesia untuk diolah menjadi minyak goreng. Dengan adanya keputusan ini, pemerintah mewajibkan penyaluran distribusi CPO pada bulan Mei 2007 sebesar 97.525 dan pada bulan Juni 2007 sebesar 102.800 agar mampu menstabilkan harga minyak goreng didalam negeri. 6.3.5 Peran Pemerintah Kebijakan pemerintah mengembangkan bahan bakar nabati (BBN) sebagai altenatif bahan bakar minyak (BBM) memberi peluang besar bagi industri kelapa sawit untuk lebih berkembang. Sesuai dengan target pemerintah, pada 2010 mendatang sekitar 10 persen dari kebutuhan bahan bakar dalam negeri akan disuplai dengan BBN, dimana tujuh persen diantara berbasis minyak sawit atau dikenal sebagai biodiesel. Untuk itu diperlukan tambahan pasokan atau peningkatan produksi kelapa sawit dalam jumlah besar. Dalam rangka mencapai target proyek BBN, pemerintah antara lain akan mendorong investasi di sektor sawit. Secara keseluruhan pemerintah telah mencadangkan 24,4 juta ha lahan hingga 2010 mendatang. Rinciannya, peluasan lahan perkebunan lima juta hektar, revitalisasi perkebunan kelapa sawit dua juta hektar, rehabilitasi lahan sembilan juta hektar dan reformasi agraria delapan juta hektar. Kebijakan pemerintah ini mendapat sambutan positif seperti terlihat dari minat investor yang cukup besar untuk ikut serta dalam proyek pengembangan BBN ini. Disamping itu, pemerintah juga telah memasukan industri kelapa sawit ke dalam sektor prioritas bersama industri lainnya seperti tekstil, kehutanan, sepatu, elektronika, kelautan, petrokimia. Hal ini tidak terlepas dari potensi dan peran strategis yang bisa dicapai oleh sektor ini dalam pembangunan nasional. Untuk menunjang pertumbuhan industri kelapa sawit pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan antara lain menghapus pengenaan PPN (10 persen) dalam pengolahan CPO dan masuk dalam industri yang mendapat fasilitas insentif PPh (tax alowance) berdasarkan revisi Peraturan Pemerintah No. 148. Kebijakan tersebut diharapkan akan dapat lebih memacu pertumbuhan sektor ini sehingga peran dan kontribusinya dalam perekonomian nasional terus meningkat. Pemerintah juga menyadari bahwa kebijakan tersebut bukan satu-satunya yang dapat menjadi faktor stimulasi, tetapi masih banyak kebijakan yang harus terus menerus dikembangkan seperti penyediaan lahan, kompetensi SDM dan lain-lain. Dialog dan diskusi dengan para pemangku kepentingan perlu terus dilakukan secara kontinyu. Industri kelapa sawit mempunyai rantai bisnis yang cukup panjang dan saling terkait. Mulai dari penyiapan lahan, pembibitan, supporting industri, pengolahan di industri hulu sampai pada industri hilir. Kebijakan pengembangan sektor ini benar-benar harus melalui koordinasi yang kuat antar instansi terkait sehingga bisa mencapai hasil yang optimal bagi pembangunan ekonomi nasional. Oleh karena itu sektor usaha ini, masih membutuhkan kebijakan yang lebih tajam dan komprehensif untuk menghadapi kendala yang masih menghadang mulai dari hulu (sektor perkebunan), manufaktur (pengolahan) dan perdagangan. 6.3.6 Peran Kesempatan Perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini masih merupakan salah satu usaha yang menjadi andalan sektor pertanian untuk berperan dalam perekonomian nasional. Penyerapan tenaga kerja dan peluang invetasi yang terbuka di Indonesia menyebabkan perkebunan kelapa sawit masih merupakan primadona dari sektor pertanian. Devisa yang didapat dari ekspor minyak kelapa sawit dan turunannya pada tahun 2007 mencapai US$ 4,8 miliar. Peluang pengembangan kelapa sawit di tanah air masih terbuka karena didukung oleh sumberdaya dan teknologi, disamping juga peluang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat baik dalam negeri maupun ekspor9. kebutuhan manusia akan produk-produk antara lain untuk minyak makanan ,oleochemical dan biofuel yang belakangan ini cenderung semakin meningkat. Dengan demikian pengembangan kelapa sawit perlu terus kita lakukan pada daerah-daerah yang secara agro-ekonomis memungkinkan pengembangannya. Walau prospek kelapa sawit saat ini sangat baik, tetapi dihadapkan pada citra negatif dalam hal pengembangan, dimana dalam pengembangannya tidak mengikuti kaidah-kaidah pelestarian lingkungan hidup, terlebih pemerintah Uni Eropa dan Amerika memberlakukan keberlanjutan biofuel yang berpotensi dapat menghambat ekspor minyak kelapa sawit ke Eropa. 9 Beritadotcom.blog.com Indonesia Produsen kelapa Sawit Terbesar tapi dikuasi Malaysia (Mentan :Indonesia Produsen Kelapa Sawit Terbesar didunia). Diakses 5 maret 2008 VII STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI CPO INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL 7.1 Perumusan Strategi Peningkatan Dayasaing Industri CPO Indonesia Dalam menetapkan strategi dayasaing industri CPO digunakan alat analisis SWOT dengan menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dari industri CPO Indonesia. Poin dalam faktor-faktor tersebut diperoleh dari analisis keunggulan kompetitif, struktur industri CPO di pasar internasional dan komparatif yang telah dilakukan sebelumnya. Setelah menganalisis keempat faktor yang ada dibentuklah suatu matriks SWOT. Matriks tersebut mencoba untuk mempertemukan keempat faktor yang ada untuk melahirkan strategi yang saling mendukung. Strategi S-O dirumuskan dengan menggunakan kekuatan dari industri CPO nasional untuk memanfaatkan peluang yang ada, sedangkan strategi W-O dirumuskan dengan meminimalkan kelemahan dari industri CPO nasional untuk memanfaatkan peluang. Strategi S-T dirumuskan dengan menggunakan kekuatan industri CPO nasional untuk mengatasi ancaman, sedangkan strategi W-T dirumuskan dengan meminimalakan kelemahan dan menghindari ancaman dari lingkungan eksternal. Perumusan strategi yang ada dilakukan melalui pembentukan matriks SWOT, dimana matriks ini meliputi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang telah diidentifikasikan sebelumnya. Melalui matriks SWOT dapat dirumuskan alternatif strategi yang dapat digunakan untuk pengembangan industri CPO nasional yang berdayasaing tinggi dipasar internasional. 7.1.1 Faktor Eksternal 7.1.1.1 Peluang 1) Meningkatnya permintaan komoditi berbahan baku CPO dan turunannya di pasar nasional dan internasional. Perkembangan kebutuhan masyarakat lokal dan internasional akan bahan bakar nabati akan semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dunia. Menurut Sumber Pusat Penelitian Kelapa Sawit dan Ditjen Perkebunan besarnya produksi CPO akan meningkat dari tahun 2008 hingga tahun 2025. Pada tahun 2008 besarnya produksi CPO sebesar 17,8 juta ton dengan jumlah ekspor mencapai 13,08 juta ton, sedangkan untuk konsumsi dalam negeri mencapai 4,22 juta ton. Tabel 21 Ramalan Produksi, Ekspor dan Konsumsi Dalam Negeri Tahun 2008-2025 ( 000 Ton) Tahun Produksi Ekspor Konsumsi D.Negeri 2008 17.800 13.088 4.227 2009 19.100 13.507 4.502 2010 20.400 14.048 4.795 2015 24.800 17.257 6.570 2020 27.400 18.498 8.028 2025 30.200 18.684 8.109 Sumber : Direkorat Perkebunan dan PPKS, 2007 2) Perundang-undangan serta peraturan untuk CPO baik skala nasional dan internasional. Dengan diberlakukannya peraturan yang bertaraf nasional (SNI) sehingga produk CPO mempunyai kualitas dan standar yang baik. Konsumen atau industri hilir khususnya dari luar negeri pengguna komoditi CPO selain memperhatikan standar nasional juga memperhatikan persyaratan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) yaitu sistem perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Dengan adanya aturan ini menyebabkan semua produsen CPO akan berusaha melaksanakan dengan baik peraturan ini dan merupakan peluang bagi produsen negara Indonesia agar mampu memanfaatkan kondisi ini. 3) Perkembangan harga CPO yang cenderung meningkat dan peningkatan konsumsi produk berbahan baku CPO. Harga CPO yang cenderung meningkat di pasaran internasional menyebabkan banyaknya ekspor produsen keluar negeri. Naiknya harga CPO didorong oleh kebutuhan industri akan komoditi ini semakin meningkat sedangkan produksi komoditi subtitusi kelapa sawit seperti kedelai dan bunga matahari terbatas akibat adanya bencana alam. Tingginya permintaan CPO untuk diolah lebih lanjut menjadi produk hilir salah satunya produk minyak goreng akan semakin meningkatkan permintaan CPO di pasar nasional dan internasional. Hal ini mejadi peluang bagi produsen CPO dan produsen hilir CPO. 4) Perkembangan teknologi produksi dan informasi. Pemanfaatan teknologi dan informasi untuk pengembangan CPO sangat penting guna meningkatkan dayasaing. Teknologi menghasilkan produksi CPO dengan ketersediaan alat pengolahan TBS (tandan Buah Sawit) yang semakin meningkat dimana pabrik pengolahan TBS yang dapat mengolah 30-40 TBS/jam dapat ditingkatkan menjadi 60 TBS/jam. Arus informasi melalui media sarana elektronik dan media cetak akan membantu para produsen mengetahui perkembangan kegiatan dan keadaan perkelapasawitan nasional dan internasional. 5) Ketertarikan investor dalam dan luar negeri terhadap industri CPO. Peluang pengembangan CPO di Indonesia masih terbuka lebar karena masih tersedianya lahan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Masih banyaknya lahan yang luas sehingga akan menarik para investor menanamkan modalnya untuk memperoleh keuntungan, selain itu ketertarikan investor juga dikarenakan untuk memasok kebutuhan pabrik yang dimilikinya dengan bahan baku CPO. 7.1.1.2 Ancaman 1) Stabilitas politik, keamanan, dan pemerintahan nasional dan kebijakan pemerintah. Kondisi keamanan negara dan politik yang kondusif akan mempengaruhi minat investor menanamkan modalnya didalam negeri. Kurang pastinya keamanan dan politik nasional, menyebabkan konflik sosial di masyarakat masih terjadi. Selain itu kebijkan pemerintah yang tidak berpihak kepada investor dengan dikeluarkanya kebijakan pemerintah akan menyebabkan ancaman bagi keberlanjutan investasi perkebunan kelapa sawit. 2) Tingkat inflasi dan suku bunga yang berlaku. Naiknya harga barang dan pangan dunia saat ini diakibatkan oleh inflasi yang tinggi sehingga menyebabkan daya beli masyarakat akan menurun. Besarnya inflasi dalam negeri dan luar negeri akan mempengaruhi jumlah konsumsi masyarakat terhadap kebutuhan CPO sebagai bahan baku minyak goreng yang berdampak terhadap penurunan permintaan. Selain itu dampak yang ditimbulkan oleh suku bunga yang tinggi akan mempengaruhi masuknya investasi kedalam negeri, karena apabila suku bunga yang tinggi akan mempengaruhi besarnya peminjaman modal oleh investor kepada bank. 3) Perkembangan bisnis berbahan baku non kelapa sawit. Banyaknya energi alternatif yang dikembangkan saat ini merupakan dampak dari kemajuan teknologi dan informasi. Salah satu produk berbahan baku selain CPO untuk sumber energi adalah jagung, ubi yang digunakan sebagai bioetanol. Dengan banyaknya energi alternatif akan menyebabkan konsumen akan mencari produk yang berkualitas baik dan ramah lingkungan. Hal ini merupakan ancaman bagi keberlangsungan perkebunan kelapa sawit apabila tidak mampu meningkatkan dayasaingnya. 4) Penerapan pajak ekspor. Pemerintah mempunyai peranan untuk mencukupi kebutuhan rakyat untuk kehidupannya. Penyediaan kebutuhan makanan yang murah serta terjangkau oleh semua lapisan masyarakat adalah tuntutan masyarakat. Salah satu kebutuhan masyarakat untuk sembilan bahan pokok adalah minyak goreng. Minyak goreng merupakan produk turunan dari CPO yang telah diolah lebih lanjut. Mahalnya harga CPO akibat dari kurs dollar yang tinggi serta kebutuhan dunia internasional akan minyak nabati yang besar sehingga menyebabkan banyak produsen mengekspor CPO keluar negeri. Untuk mengatasi permasalahan ini pemerintah dengan kekuasaan yang dimikinya menerapkan pajak ekspor sebesar 6,5 persen, sehingga membuat keuntungan dan penerimaan produsen CPO menurun. 5) Biaya pupuk dan pestisida yang tinggi. Perkembangan harga input perkebunan kelapa sawit seperti pupuk dan pestisida yang tinggi akibat saluran distribusi yang tidak merata dan dicabutnya subsidi kepada perkebunan kelapa sawit menyebabkan ancaman terhadap perkebunan kelapa sawit. Tingginya harga input akan memberatkan para pengusahaan kelapa sawit karena akan menambah biaya dan mengurangi penerimaan. 6) Persaingan dengan Negara Malaysia. Negara Malaysia merupakan negara pesaing untuk ekspor komoditi CPO di pasar internasional. Banyaknya ekspansi perusahaan-perusahaan dari Malaysia untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit di Indonesia akan menyebabkan mengalirnya minyak CPO Indonesia ke Negara Malaysia untk diolah lebih lanjut. Semakin banyaknya CPO yang mengalir ke Malaysia maka akan menguntungkan Malaysia karena CPO akan diolah menjadi produk yang mempunyai nilai tambah 7) Isu terselubung (black campaign) terhadap produk CPO Indonesia akibat dari pembukaan lahan yang menyebabkan global warming. Kebutuhan industri akan minyak nabati sebagai bahan pangan dan non pangan akan semakin meningkat. Pertumbuhan konsumsi CPO di pasar internasional yang tinggi menyebabkan Indonesia akan memenuhi permintaan pasar dengan menambah luasan penanaman perkebunan. Perluasan perkebunan mendapat reaksi keras dari Negara di Eropa karena dapat merusak keanekaragaman hayati dan menyebabkan pemanasan gobal. 7.1.2 Faktor Internal 7.1.2.1 Kekuatan 1) Dukungan sumber modal. Peranan sumberdaya modal bagi keberlangsungan dan pengembangan kelapa sawit sangat penting. Pemerintah memberikan bantuan kepada petani plasma dalam bentuk bantuan kredit lunak dengan total bantuan 12 triliun dan pemberian subsidi bunga kredit. Untuk sektor swasta dukungan dari modal asing merupakan sumber pendanaan perkebunannya. 2) Peranan asosiasi kelapa sawit. Perkembangan informasi dan teknologi yang pesat dibutuhkan peranan asosiasi yang mampu menyampaikan informasi kepada anggotanya. Asosiasi yang menaungi masing-masing kepentingan dari stakeholders sudah banyak terbentuk antara lain Gapki yang merupakan asosiasi bagi para pengusaha dan untuk para petani adalah Asosiasi petani kelapa sawit (Apsakindo). 3) Sumberdaya lahan luas. Negara indonesia dengan lahan yang luas dan iklim yang mendukung menyebabkan negara Indonesia merupakan salah satu tempat perkembangan pengusahaan kelapa sawit. Potensi pengembangan kelapa sawit di indonesia terdapat lebih dari 26,3 juta hektar yang mempunyai potensi untuk perluasan penanaman kelapa sawit di 19 provinsi. Untuk revitalisasi perkebunan kelapa sawit sampai tahun 2010 mencapai 2 juta hektar, dan akan terus bertambah luasan perkebunan akibat kebutuhan akan minyak nabati sebagai bahan bakar alternatif. Tabel 22 Distribusi Lahan Potensial untuk Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia. No 1 2 NAD Sumatera Utara Provinsi Potensi Lahan Untuk Perluasan (Ha) 384.87 344.740 3 Sumtera barat 4 Riau 2.563.150 5 Jambi 1.818,110 6 Sumatera Selatan 1.483.950 7 Bangka belitung 593.030 8 Bengkulu 208.790 9 Lampung 336.870 10 Jawa Barat 224.700 11 Banten 12 Kalimantan Barat 1.681.180 13 Kalimantan Tengah 3.610.810 14 Kalimantan Selatan 1.162.950 15 Kalimantan Timur 4.700.330 16 Sulawesi Tengah 256.230 17 Sulawesi Selatan 192.370 18 Sulawesi Tenggara 19 Irian jaya Luas total 355.810 63.740 10.260 6.331.120 26.323.110 Sumber : Dirjen Bina Produksi Perkebunan, Departemen Pertanian, 2007 4) Produk yang berstandart nasional dan internasional. Produksi CPO Indonesia secara nasional harus memenuhi standar nasional indonesia atau SNI 01-2901-2006. Besarnya produk CPO yang berstandart nasional dan internasional terlihat dari besarnya jumlah CPO Indonesia yang diekspor keluar negeri. 5) Teknik pengembangan budidaya kelapa sawit. Bibit kelapa sawit merupakan cikal bakal pohon sawit yang menghasilkan minyak kelapa sawit. Saat ini terdapat tujuh produsen pembibitan yang diakui untuk menghasilkan bibit berkualitas. Teknik budidaya yang dikembangkan oleh produsen benih kelapa sawit yaitu dengan melakukan perkawinan silang antara indukan-indukan unggul antara lain psifera, delidura dan tenera. 6) Besarnya jumlah dan ketersediaan tenaga kerja perkebunan. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa merupakan potensi tenaga kerja yang besar. Dengan besarnya jumlah tenaga kerja dan diikuti oleh pembangunan sektor perkebunan dengan perluasan dan peremajaan perkebunan sehingga membutuhkan tenaga kerja yang besar. 7) Ketersediaan dan kemudahan akses informasi. Pembangunan perkebunan sawit yang profesional harus didukung oleh kemudahan akses informasi oleh konsumen yang berkepentingan. Pembuatan situs resmi terkait perusahaan perkebunan kelapa sawit sangat banyak dilakukan untuk mempermudah akses konsumen untuk memperoleh informasi mengenai besarnya produksi perusahaan dan halhal yang terkait mengenai perusahaan. 7.1.2.2 Kelemahan 1) Lokasi pabrik dan kebun yang berjauhan. Perusahaan perkebunan rata-rata mempunyai lahan perkebunan yang luas, begitu juga dengan perkebunan negara. Besarnya lahan membuat jarak pabrik dengan kebun yang berjauhan sehingga menyebabkan dalam proses pengantaran kelapa sawit ke pabrik pengolahan membutuhkan waktu yang lama. 2) Tingkat upah yang masih rendah. Produktivitas tenaga kerja mempengaruhi akan besarnya produksi. Perkebunan kelapa sawit membutuhkan tenaga kerja yang besar untuk mengelola lahan. Rata-rata gaji yang rendah diberikan oleh perusahaan menyebabkan tenaga kerja mempunyai motivasi yang rendah sehingga akan mempengaruhi produksi dan produkstivitas CPO. 3) Rendahnya pendidikan pelaku industri. Implementasi teknologi akan semakin cepat apabila sumberdaya manusia yang mempunyai pengetahuan dan pendidikan. Hambatan untuk implementasi teknologi diakibatkan oleh pendidikan para palaku industri yang masih rendah dengan tingkat pendidikan rata-rata SD sampai dengan SMU. 4) Kurangnya promosi penjualan produk. Besarnya produksi CPO Indonesia akibat dari pengaruh perluasan penanaman yang semakin bertambah setiap tahunnya. Pengembangan perluasan penanaman kelapa sawit yaitu pada lahan hutan yang bukan hutan alam/cagar alam dan lahan tidur. Negara di Eropa menentang pembukaan lahan karena akan mempengaruhi pemanasan global dan banyaknya satwa yang mati. Kurangnya komunikasi dan promosi antar negara produsen dan negara konsumen akan mempengaruhi permintaan konsumen terhadap CPO Indonesia. 5) Sarana dan prasarana serta pabrik pengolahan yang masih kurang Sarana dan prasarana pembangunan perkebunan kelapa sawit masih kurang. Sarana dan prasarana yang masih kurang untuk mendukung dayasaing CPO Indonesia adalah jalan yang belum permanen, listrik, serta pelabuhan. Masih tidak meratanya pabrik pengolahan kelapa sawit menyebabkan potensi produksi kelapa sawit belum teroptimlakan dengan baik. Gambar 11 Matriks Analisis SWOT Industri CPO Indonesia Internal Eksternal Peluang (Oppurtunities-O) 1. Meningkatnya permintaan komoditi berbahan baku CPO dan turunannya di pasar nasional dan internasional 2. Perundang-undangan serta peraturan untuk CPO baik skala nasional dan internasional 3. Perkembangan harga CPO yang cenderung meningkat dan peningkatan konsumsi produk berbahan baku CPO 4. Perkembangan teknologi produksi dan informasi 5. Ketertarikan investor dalam dan luar negeri terhadap industri CPO Ancaman (Threaths-T) 1. Stabilitas politik, keamanaan, dan pemerintahan nasional dan kebijakan pemerintah 2. Tingkat Inflasi dan suku bunga yang berlaku 3. Perkembangan bisnis berbahan baku non kelapa sawit 4. Penerapan pajak ekspor 5. Biaya pupuk dan pestisida yang tinggi 6. Persaingan dengan Negara Malaysia 7. Isu terselubung (black campaign) terhadap produk CPO Indonesia akibat dari pembukaan lahan yang menyebabkan global warming Kekuatan (Strengtht-S) 1. Sumberdaya lahan luas 2. Dukungan Sumber modal 3. Peranan Asosiasi kelapa sawit 4. Produksi CPO yang berstandar nasional dan internasional 5. Teknik pengembangan budidaya kelapa sawit 6. Besarnya jumlah dan ketersediaan tenaga kerja perkebunan 7. Ketersediaan dan kemudahan akses informasi Kelemahan (Weaknesses-W) 1. Lokasi pabrik dan kebun sawit yang berjauhan 2. Tingkat upah tenaga kerja pekerja industri kelapa sawit yang rendah 3. Rendahnya pendidikan pelaku industri perkebunan 4. Kurangnya promosi penjualan produk CPO 5. Sarana dan prasarana serta pabrik pengolahan yang masih kurang Strategi S-O 1. 2. 3. Optimalisasi lahan perkebunan untuk peningkatan dayasaing CPO di pasae nasional dan internasional (S1,S2,S4,S5,S6,O1,O5) Pengembangan sistem pemasaran produk industri CPO (S3,S7,O1,O4,O5) Pengembangan industri hulu dan hilir dan peningkatan nilai tambah kelapa sawit (S2,O3,O5) Strategi W-O 1. Pengembangan SDM pelaku industri kelapa sawit dengan pelatihan (W3,O2,O4) 2. Pembangunan sarana dan prasarana perkebunan (W1, W5,O5) 3. Pemberian insentif kepada pekerja perkebunan (W2,O2) 4. Peningkatan kegiatan penyuluhan (W3,O4) Strategi S-T 1. 2. 3. 4. Melakukan hedging terhadap produk CPO Indonesia (S4,T1,T2,T3,T6) Pengkajian ulang terhadap pajak ekspor (S3,T5) Pengembangan perkebunan rakyat melalui program revitalisasi perkebunan (S1,S2,S6,T3) Melakukan promosi sertifikat RSPO (Roundtable on Suistanable Palm Oil) dan peningkatan kualitas para produsen CPO (S4,T4,T7) Strategi W-T 1. Meningkatkan pola kerjasama dengan produsen negara lain dan pelanggan melalui promosi penjualan (W4,T1) A. Strategi S – O 1. Optimalisasi lahan kelapa sawit untuk menghasilkan CPO yang berkualitas dengan cara mengembangkan program Best Management Practices melaui panca usaha tani. Luas perkebunan kelapa sawit yang dapat dikembangakan di Indonesia sebesar 18,2 juta hektar, sehingga perlu kegiatan yang dapat meningkatkan optimalisasi lahan. Adapun kegiatan panca usaha tani untuk meliputi ; a. Penggunaan bahan tanaman kelapa sawit unggul yang memiliki produktivitas tinggi, yaitu : 1) Benih dengan potensi produksi minyak tinggi disertai dengan berbagai karakter sekunder yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen. 2) Klon tanpa abnormalitas yang produksi minyaknya melebihi produksi minyak asal benih. b. Pemberantasan hama khususnya pengendalian penyakit pangkal batang yang disebabkan oleh Ganoderma melalui perakitan tanaman kelapa sawit toleran terhadap serangan Ganoderma. 1) Melaksanakan teknik pengolahan lahan perkebunan yang baik dengan menjaga kualitas lingkungan dengan cara perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah menuju pengusahaan kelapa sawit yang berkelanjutan. 2. 2) Pengaturan irigasi. 3) Pemupukan yang teratur dan sesuai dosis secara kontinyu. Pengembangan sistem pemasaran produk industri CPO yang komprehensif dan terpadu sehingga dapat meningkatkan pangsa pasar industri dipasar internasional, melalui 4 faktor yaitu: Promotion, Product, Place, dan Price. 3. Pengembangan industri hulu dan hilir serta peningkatan nilai tambah kelapa sawit. Dengan strategi ini diharapkan ekspor negara Indonesia tidak hanya didominasi oleh CPO akan tetapi dalam bentuk produk yang mempunyai nilai tambah. Dengan pengembangan industri hilir selain keuntungan yang diperoleh lebih besar, penciptaan lapangan kerja baru merupakan manfaat lain dari pengembangan industri ini. Penerapan strategi ini dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu ; a) Pendirian industri pabrik kelapa sawit terpadu dengan skala 5 – 10 ton TBS/jam diareal yang belum memiliki pabrik dan pendirian pabrik minyak goreng sawit (MGS) skala kecil disentra produksi CPO yang belum memiliki pabrik MGS. b) Peningkatan kerjasama dibidang promosi, penelitian dan pengembangan SDM dengan negara penghasil CPO lainnya. c) Fasilitasi pengembangan biofuel sebagai bahan bakar alternatif masa depan. B. Strategi W – O 1. Pengembangan SDM pelaku industri kelapa sawit. Masih rendahnya kemampuan kualitas dan kuntitas SDM, khususnya pada sektor industri hulu dan hilir kelapa sawit menyebabkan perlu dilakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kualitas/kualifikasi SDM dari berbagai tingkatan. Kegiatan ini meliputi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dari berbagai disiplin ilmu, teknologi dan praktek industri. a) Peningkatan keterampilan petani, dilakukan berbagai kegiatan pelatihan, studi banding, magang, kunjungan kelapangan dan berbagai kegiatan lainnya. b) Peningkatan kemampuan karyawan perusahaan. Bersama dengan berbagai pemangku kepentingan mengembangkan upaya untuk memperoleh kemudahan dalam ketersediaan tenaga kerja sesuai tingkat kebutuhan, rekruitmen karyawan dan berbagai pelatihan penjenjangan. 2. Pembangunan sarana dan prasarana perkebunan, merupakan salah satu langkah untuk mengatasi dari keterbatasan pengembangan perkebunan kelapa sawit. Di Indonesia masih terkendala dengan terbatasnya jumlah pabrik yang tidak merata di seluruh daerah pengembangan perkebunan, sehingga investasi dari para investor dalam dan luar negeri sangat penting dalam bentuk pembangunan pabrik, jembatan dan jalan. Pembangunan pabrik pengolahan merupakan sarana penting bagi pengusahaan kelapa sawit. 3. Pemberian insentif kepada pekerja, adalah salah satu cara meningkatkan motivasi kerja dari karyawan. Rendahnya gaji yang diterima oleh para pekerja berimplikasi terhadap produktivitas, pemberian insentif pada karyawan yang berprestasi merupakan salah satu cara untuk memacu motivasi karyawan bekerja lebih giat. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan karyawan maka perusahaan setiap tahun perlu mengkaji upah karyawan dan lebih memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerja karyawan. 4. Peningkatan kegiatan penyuluhan. Kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh para penyuluh perlu ditingkatkan untuk penyampaian teknologi dan hasil penelitian kepada pekebun. Banyaknya kendala untuk mencapai produksi dan produktivitas optimal maka peranan penyuluh sangat penting, antara lain a) Sosialisasi dan penerapan SNI mutu benih dan sistem pengendalian benih untuk menghindari pemalsuan benih. b) Sosialisasi dan mendorong pekebun untuk dapat menerapkan prinsip dan kriteria Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) kepada pekebun. c) Pengembangan kesadaran dan kemampuan petani dalam pengendalian Organisme Penggangu Tumbuhan (OPT) kelapa sawit. d) Pendampingan dan pengawalan implementasi teknologi dan kelembagaan. C. Strategi S – T 1. Melakukan hedging terhadap produk CPO Indonesia, adalah salah strategi untuk melindungi nilai produk CPO. Dengan hedging, produsen eksportir CPO dapat melakukan kesepakatan harga penjualan produk untuk beberapa waktu kedepan dengan konsumen internasional, sehingga harga yang diterima oleh produsen tidak berpengaruh terhadap perubahan atau gejolak. Hedging dilakukan pada bursa berjangka atau future market dimana pengiriman produk dilakukan pada waktu akan datang. 2. Pengkajian ulang terhadap pajak ekspor. Pengenaan pajak ekspor yang tinggi oleh pemerintah menyebabkan keuntungan yang diterima oleh produsen menjadi berkurang, selain itu dengan pengenan pajak ekspor dayasaing CPO Indonesia menjadi turun sehingga perlu pengkajian ulang akan pajak ekspor dengan peranan dari asosiasi dan lembaga perkelapa sawitan dapat memberikan masukan kepada pemerintah untuk meninjau kembali pengenaan pajak yang memberatkan para eksportir CPO. Domestic Market Obligation (DMO) merupakan salah satu kebijakan yang dapat diaktifkan kembali oleh pemerintah, karena dengan kebijakan ini kebutuhan CPO dalam negeri dapat terpenuhi. Pengenaan pajak ekspor disebabkan para eksportir banyak mengekspor CPO sebagai bahan baku minyak goreng, sehingga kebutuhan CPO dalam negeri tidak tercukupi untuk industri hilir. Kebijakan DMO dapat terlaksana apabila pemerintah serius dalam pengawasan penyaluran tataniaga, serta peranan dari produsen CPO yang harus menyalurkan produksi CPO kepada industri hilir. 3. Pengembangan perkebunan rakyat melalui program revitalisasi perkebunan. Untuk memfasilitasi terwujudnya pengembangan usaha perkebunan rakyat, baik untuk pengembangan perkebunan baru/perluasan dan peremajaan, sehingga progaram kegiatan yamg ditempuh yaitu ; a) Mendorong usaha perkebunan besar untuk melakukan kerjasama dengan masyarakat sekitar/petani untuk pengembangan perkebunan rakyat dalam wadah pola kemitraan. b) Untuk mendukung pendanaan, disediakan sumber pembiayaan bagi pembangunan kebun petani melalui revitalisasi perkebunan. c) Untuk membantu petani sehari-hari dalam kegiatan pengembangan usahataninya disediakan petugas pendamping. 4) Melakukan promosi sertifikat RSPO (Roundtable on Suistanable Palm Oil) dan peningkatan kualitas CPO Indonesia. Pengembangan perkebunan yang berkelanjutan akan mempengaruhi besarnya kemampuan produksi yang kontinyuitas. Banyaknya isu negatif terhadap perkebunan kelapa sawit Indonesia akan mempengaruhi permintaan CPO di pasar internasional. Peranan asosiasi terhadap peningkatan dayasaing CPO Indonesia dapat dilakukan dengan memberikan seminar dan penyuluhan terhadap kriteria dan prinsip-prinsip RSPO. Selain itu penyuluhan terhadap penggunaan bibit berkualitas akan meningkatkan kualitas produksi CPO Indonesia. D. Strategi W – T Meningkatkan pola kerjasama dengan pelanggan melalui promosi penjualan. Hubungan yang terjalin dengan baik dengan para konsumen industri CPO dapat dilakukan dengan mempermudah akses informasi dan memberikan pelayanan lebih. Promosi penjualan dapat dilakukan dengan mengadakan pameran dan seminar yang bertaraf internasional di negara negara konsumen CPO. Kerjasama Dewan minyak minyak sawit yang mewakili pemerintah Indonesia serta Malaysia Palm Oil Board yang mewakili negara Malaysia serta negara-negara produsen CPO agar lebih ditingkatkan untuk menghadapi isu negatif dari LSM lingkungan dan dunia internasional dengan membangun komunikasi yang kontinyu. Peningkatan kerjasama bilateral antara Malaysia dan Indonesia melalui kampanye green product atau countering negative campaign on palm oil di negara tujuan ekspor minyak sawit kedua negara Uni Eropa dan Amerika. Dengan adanya kegiatan ini untuk membangun citra positif terhadap perkebunan kelapa sawit, bahwa disamping memberi manfaat ekonomi melalui penyediaan sumber pendapatan, sumber devisa dan penyediaan lapangan pekerjaan di pedesaan, juga memperhatikan aspek-aspek kelestarian lingkungan. Tabel 23 Program Kegiatan Peningkatan Dayasaing CPO Indonesia No 1 Kegiatan Optimalisasi Lahan Perkebunan Program 1. 2. 3. Program Revitalisasi Perkebunan Program Penyuluhahan Pertanian Program pembuatan Mapping dan Zoning perkebunan Kelapa Sawit Prasarana Dewan Minyak Sawit (DMSI),LSM, Perusahaan Perkebunan Negara dan Perkebunan Swasta Pengembangan Sistem Pemasaran Produk Industri CPO Pengembangan industri hulu dan hilir dan peningkatan nilai tambah kelapa sawit Pengembangan SDM pelaku industri kelapa sawit dengan pelatihan Pembangunan sarana dan prasarana perkebunan Pemberian insentif kepada pekerja perkebunan Peningkatan kegiatan penyuluhan Program Workshop, Seminar Gapki dan DMSI Program Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS) Program Pendidikan , Pelatihan dan Magang MAKSI (Masyarakat Kelapa Sawit Indonesia) 8 Melakukan hedging terhadap produk CPO Indonesia Program Penjualan secara kontrak Gapki 9 Pengkajian ulang terhadap pajak ekspor Pengembangan perkebunan rakyat melalui program revitalisasi perkebunan Meningkatkan pola kerjasama dengan produsen negara lain dan pelanggan melalui promosi penjualan Melakukan promosi sertifikat RSPO (Roundtable on Suistanable Palm Oil) dan peningkatan kualitas CPO Indonesia Pertemuan dan Rapat DMSI, Gapki, Apsakindo Program Kemitraan Dewan Minyak Sawit (DMSI), Perusahaan Swasta, Negara. Dewan Minyak Sawit (DMSI) dan Malaysia Palm Oil On Board 2 3 4 5 6 7 10 11 12 Program Fasilitasi Infrastruktur Program Insentif Program Pendampingan Petugas penyuluh dan Implementasi Teknologi Program Kampanye Green Product atau Countering negative Campaign On Palm Oil Program sosialisasi dan penyuluhan serta seminar mengenai pentingnya pengelolaan perkebunan yang berkelanjutan 7.2 Program Peningkatan Dayasaing CPO Gapki, DMSI, Apsakindo (Asosiasi Petani Kelapa sawit) Seluruh Stakeholders perkebunan di Indonesia Perkebunan Swasta, Negara dan rakyat Departemen Pertanian, Gapki Dewan Minyak Sawit, Gapki, Apsakindo, dan Perusahaan Kelapa Sawit. 1) Program Revitalisasi Perkebunan Program pemerintah untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit melalui Revitalisasi yaitu peremajaan dan perluasan perkebunan. Dengan program revitalisasi perkebunan yang sudah berjalan dari tahun 2006 akan membantu program pemerintah dalam mensejahterakan masyarakat. Sehingga perlunya prasarana atau pelaksana kegiatan revitalisasi ini yaitu Dewan Minyak Sawit yang mewakili pihak pemerintah serta Gapki sebagai kesatuan organisasi pengusaha perkebunan kelapa sawit. 2) Program Penyuluhan Pertanian Program penyuluhan pertanian kepada petani perlu kembali di tingkatkan. Rendahnya pengetahuan petani terhadap teknologi dan informasi sangat penting guna peningkatan kualitas produksi CPO. Program penyuluhan ini dapat dilakukan oleh asosiasi Gapki, pemerintah dan Lembaga Swadaya yang di perbantukan oleh pemerintah. 3) Program pembuatan Mapping dan Zoning perkebunan Kelapa Sawit Program Mapping dan Zoning perkebunan adalah bentuk kegiatan pemetaan daerah pengembangan kelapa sawit yang potensial untuk dikembangkan. Dengan Program ini di harapkan potensi perkebunan kelapa sawit dapat di optimalkan dengan baik. Adapun yang memprakarsai kegiatan ini adalah Dewan Minyak Sawit sebagai koordinator sedangkan untuk lapanagan di prasaranai oleh perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit. 4) Program Workshop dan Seminar Kegiatan workshop dan seminar yang secara kontinyu merupakan salah satu cara untuk memasarkan komoditi CPO Indonesia di dalam maupun di luar negeri dengan sarana kegiatan ini adalah Dewan Minyak Sawit dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit. 5) Program Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS) Program RUSNAS merupakan salah satu cara untuk mendukung integrasi industri hulu dan hilir. Kegiatan RUSNAS ini di koordinator oleh MAKSI (Masyarakat Kelapa Sawit Indonesia) sebagai peneliti untuk pengembangan kelapa sawit dari industri hulu maupun dari hilir. 6) Program Pendidikan , Pelatihan dan Magang Rendahnya pendidikan petani dan para pekerja di perkebunan merupakan salah satu hambatan untuk transfer teknologi. Kegiatan Pelatihan dan Magang yang dilakukan pada LPP (Lembaga Pusat Pelatihan) serta dari pusat pelatihan terpadu yang berada di PPKS (Pusat Penelitian Kelapa Sawit). Kegiatan pelatihan ini di prakarsai oleh keseluruhan stakeholders 7) Program Fasilitasi Infrastruktur Pembangunan sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit sangat penting. Pembangunan sarana dan prasarana penunjang seperti jalan, jembatan dan pabrik pengolahan di perlukan guna mempermudah akses kepada perkebunan. Pembagunan infrastruktur perkebunan dapat dilakukan apabila uang hasil penerimaan pajak ekspor di kembalikan kepada para pengusaha dalam bentuk pembangunan infrastruktur. 8) Program Insentif Rendahnya pendidikan para pekerja pekebun sehingga menyebabkan untuk pengetahuan dan informasi yang rendah. Pendidikan yang rendah akan mempengaruhi dari posisi ataupun jabatan sehingga pendapatannya juga berdasarkan posisinya. Para pekerja buruh yang rata-rata pendidikan sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas. Rendahnya pendapatan akan mempengaruhi dari produktivitas kelapa sawit, sehingga perlunya pemberian insentif guna membantu meningkatkan motivasi. 9) Program Pendampingan Petugas penyuluh dan Implementasi Teknologi Program pendampingan penyuluh dengan merupakan upaya untuk mentransfer pengetahuan dari para penyuluh kepada petani sehingga peranan dari Gapki dan Dewan Minyak Sawit sangat penting guna implementasi teknologi kepada petani. 10) Program Penjualan Secara Kontrak Penjualan produk CPO keluar negeri diperlukan suatu perjanjian yang mengikat antara pembeli dan penjual. Untuk mengatasi permaslahan ketidakpastian harga akibat dari kenaikan faktor-faktor tertentu dapat dilakukan kontrak penjulan atau melakukan hedging (lindungan nilai) dengan prasarana Gapki. 11) Pertemuan dan Rapat Peningkatan pajak ekspor yang dibebankan kepada eksportir akan menyebabkan berkurangnya pendapatan para eksportir. Dampak yang ditimbulkan dengan adanya pajak ekspor adalah dayasaing CPO Indonesia yang rendah, sehingga perlu pengkajian lebih mendalam mengenai pajak eksport ini. 12) Program Kemitraan Program kemitraan merupakan cara untuk membatu mensejahterakan masyarakat dengan cara mengajak masyarakat bekerjasama untuk membangun perkebunan kelapa sawit. Program ini diprakarsai oleh pemerintah dan perusahaan-perusahan swasta yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai inti perusahaan. 13) Program Kampanye Green Product atau Countering negative Campaign On Palm Oil. Banyaknya isu negatif terhadap komoditi kelapa sawit di pasar internasional akan menyebabkan turunnya pendapatan para eksportir. Untuk mengatasi hal ini negara-negara eksportir CPO harus bekerjasama dengan melakukan kampanya green product terhadap komoditi CPO. Kerjasama kontinyuitas antara DMSI dan Malaysia Palm Oil Board untuk meyakinkan kepada negara-negara di Eropa bahwasanya pengembangan kelapa sawit secara lestari harus terus di sampaikan kepada negara-negara lain yang beranggapan negative terhadap kelapa sawit. 14) Program Sosialisasi dan Penyuluhan Serta Seminar Mengenai Pentingnya Pengelolaan Perkebunan Yang Berkelanjutan. RSPO merupakan pedoman untuk menghasilkan kelapa sawit yang baik. Pentingnya sosialisasi antara selutuh stakeholders guna meningkatkan perkebunan kelapa sawit yang lestari dan berkelanjutan. VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan Dari hasil analisis yang telah dilakukan mengenai analisis dayasaing industri CPO Indonesia di pasar internasional, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu : 1. Struktur industri CPO di pasar internasional mengarah ke struktur pasar oligopoli ketat. Kondisi pasar ini ditunjukan dengan rata-rata nilai Herifindhal Index sebesar 0,50 dari tahun 1993 – 2006 dan total nilai CR4 sebesar 94 persen, yang merujuk kepada empat eksportir terbesar yaitu Negara Malaysia, Indonesia, Papua Nugini, dan Costarica merupakan pengekspor CPO terbesar di pasar internasional. Dari empat produsen tersebut, Negara Malaysia dan Indonesia merupakan negara produsen terbesar CPO karena besarnya konsentrasi CPO berada pada kedua negara tersebut . 2. Industri CPO Indonesia memiliki keunggulan komparatif. Hal ini ditunjukan melalui perhitungan nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) yang lebih dari satu. Pada tahun 2006, nilai RCA Indonesia sebesar 45. Angka ini menunjukan adanya keunggulan dayasaing komparatif komoditi CPO Indonesia di pasar internasional. Rata-rata nilai RCA yang terbesar dari tahun 1993-2006 adalah Negara Papua Nugini dengan nilai RCA sebesar 68, sedangkan Malaysia menempati urutan kedua dengan nilai sebesar 42. Untuk Indonesia menempati urutan ketiga yang memiliki keungulan komparatif paling tinggi dengan niai RCA sebesar 29. 3. Industri CPO mempunyai keunggulan kompetitif yang dapat dilihat dari beberapa faktor pendukung kondisi faktor sumberdaya yang secara keseluruhan mendukung industri ini yang ditunjukkan melalui tersedianya tenaga kerja yang banyak, lahan potensial yang bisa dikembangkan sebesar 26,3 juta hektar dan peranan sumberdaya IPTEK yang mendukung melaui peranan dari asosiasi dan media. Faktor penghambat dari peningkatan dayasaing CPO adalah masih rendahnya pendidikan pekebun yang menyebabkan lambatnya penyerapan teknologi, selain itu sarana dan prasarana pendukung yang belum merata di beberapa daerah di Indonesia seperti pembangunan jalan permanen dan pabrik pengolahan CPO. 4. Strategi untuk meningkatkan dayasaing CPO Indonesia di pasar internasional adalah meningkatkan optimalisasi lahan dengan menggunakan panca usaha tani terutama penggunaan bibit yang bermutu dan tahan penyakit. Pembangunan sarana dan prasarana penunjang industri CPO harus ditingkatkan untuk mendukung keunggulan kompetitf industri CPO, strategi promosi industri CPO dipasar internasioanal dengan mengadakan seminar dan kampanye perkebunan kelapa sawit yang lestari dan berkelanjutan akan menarik minat investor untuk melakukan pengembangan investasi pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. 8.2 Saran Beberapa saran yang dapat diberikan dari hasil analisis dayasaing industri CPO Indonesia dipasar internasional yaitu : 1. peningkatan ekspor bahan baku kelapa sawit bukan hanya dalam bentuk CPO akan tetapi dalam bentuk olahan lebih lanjut seperti minyak goreng dan oleokimia. 2. Keunggulan komparatif CPO Indonesia akan tetapi masih kalah bersaing dengan negara Malaysia dan Papua Nugini. Oleh karena itu perlu ditingkatkan nilai ekspor CPO dan turunan CPO sehingga dapat memperbesar kontribusi terhadap penerimaan devisa negara. Kebijakan pemerintah untuk penerapan pajak ekspor perlu ditinjau kembali karena akan mengurangi keuntungan produsen. 3. Peningkatan keunggulan kompetitif industri CPO nasional dengan cara pendampingan penyuluh untuk memberikan sosialisai penggunaan bibit unggul dan penggunaan teknologi terkait peningkatan produktivitas kebun kelapa sawit dengan dukungan dari asosiasi dan lembaga penelitian terhadap peningkatan dayasaing kelapa sawit Indonesia. Perkebunan kelapa sawit juga harus didukung dengan sarana dan prasarana untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas industri CPO Indonesia yang berkelanjutan. 4. Diperlukan pengkajian lebih lanjut untuk dayasaing CPO Indonesia akibat dampak kebijakan pemerintah (pajak ekspor terhadap penerimaan petani kelapa sawit. DAFTAR PUSTAKA Amang, B. 1996. Ekonomi Minyak Goreng di Indonesia. IPB Press Anonim. 2006. Potensi dan Peluang Investasi Industri Kelapa Sawit Indonesia. Pusat Penelitian Kelapa Sawit Anonim.2008. United Nations Statistics Division-comodity Trade Statistics Database (COMTREADE). Http://comtrade.un.org Armansyah, Dicky. 2005. Strategi Pengembangan Bisnis Minyak Kelapa Sawit (CPO) Pada PT. Socfindo, Sumatera Utara). Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Astuty, Ernany. 2000. Kajian Daya Saing Komoditi Ekspor Komoditas Pertanian. Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.Jakarta. Birowo. 1984. “Masalah Struktural dalam Sistem Perkebunan ,Dalam Perkebunan Indonesia di Masa Depan. Yayasan Agro Ekonomi. Jakarta Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Perkebunan Indonesia. Jakarta. Pertanian. 2008. Statistik Direktorat Jenderal Perkebunan. 2007. Roadmap Kelapa Sawit. Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. Fauzi, at all. 2002. Kelapa Sawit. Penebar Swadaya. Jakarta. Firmanzah.2002. ‘Double Diamond Porter dan Inovasi Strategi Perusahaan. www. Lmfeui.com/uploads/file27xxx1-juli-2002PDF. Geo, Bayu. 2007. Dayasaing Komoditas Nenas dan Pisang Indonesia Di Pasar Internasional. Program Studi Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hariyadi, Purwiyanto. 2007. Rencana Induk Kegiatan Riset Ungulan Strategis Nasional Pengembangan Industri Kelapa Sawit. Maksi Hole, Yolanda. 2000. Partisipasi Petani Dalam Kegiatan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Kelapa Sawit di Manokwari Irian Jaya. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Kartodirjo,S dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan Indonesia. Aditya Media. Yogyakarta. Kristina. 2006. Dayasaing Teh Hitam Indonesia di Pasar Internasional. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Lipsey, RG, et al. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Jilid 1. Binarupa Aksara. Jakarta. Mangoensoehardjo,S dan Semangun. 2003. Manajemen Agribisnis Kelapa Sawit Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Mangoensoehardjo,S dan Subagyo,T. 1991. Prosedling :seminar Nilai tambah Minyak kelapa Sawit Untuk Peningkatan Derajat Kesehatan. Asosiasi penelitian dan pengembangan perkebunan Indonesia. Jakarta. Meryana, Ester. 2007. Analisis Dayasaing Kopi Robusta Indonesia Di Pasar Internasional. Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Novianti, Tanti. 1995. Analisis Keunggulan Komparatif dan Komparatif Pengusahaan Kokon Sebagai Bahan Baku Sutera Alam dengan Analisis Biaya Sumber Daya Domestik (BSD). Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pandapotan,G dan Naibaho. 1995. Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit Pola PIR LOK dan Pengaruhnya terhadap pengembangan wilayah. Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit Volume 3 nomor 1 tahun 1995. Porter, Michael E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. Free Press. New York. Porter, Miichael. 1994. Keunggulan Bersaing. Binarupa Aksara. Jakarta Purba, Berani. 2003. Kontribusi Perkebunan Terhadap Pembangunan Perekonomian di Siak, Provinsi Riau. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rangkuti, Frddy. 1999. Analisa SWOT, Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Rosalita. 1996. Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetif Pengusahaan Minyak Sereh Wangi (Studi Kasus Perkebunan Cireundeu, PT Djasulawangi, Kabupaten sukabumi). Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Salvatore, D. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi 1. Erlangga. Jakarta. Saputra, Triono. 1996. Pengkajian Pengembangan Pola Kemitraan Agribisnis Perkebunana. Laporan Penelitian APBN. Badan Peneitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Siregar, Fachnany. 2005. Strategi Pengembangan Biodiesel Berbasis CPO di Indonesia. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soetrisno, L dan Retno Winahyu. 1991. Kajian Sosial Ekonomi Kelapa Sawit. Aditya Media. Yogyakarta. Sudaryanto, Tahlim E dan Achmad. 1993. Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Pusat Peneliian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. Bogor. Suryana. 1983. Perdagangan Minyak Nabati Indonesia dan Prospeknya. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Agronomi. Yunita. 2007. Analisis Integrasi Pasar CPO Dunia dengan Pasar CPO, Minyak Goreng, dan TBS Domestik Serta Pengaruh Tarif Ekspor CPO dan Harga BBM Dunia. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Yusran. 2006. Analisis Dayasaing Manggis Menguntungkan dan Efesien Secara Finansial dan Ekonomi. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. LAMPIRAN Lampiran 1 Tabel Penyebaran Pabrik Kelapa sawit (PKS) Di Indonesia Tahun 2006 Kapasitas (TBS/Jam)Ton No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Provinsi Nanggroe Aceh Sumatera Utara Sumatera barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumtera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung Sumatera Jawa Barat Banten Jawa Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Sulawesi Papua Papua Barat Maluku dan Papua Indonesia Sumber : Departemen Pertanian, 2007 Unit 14 87 20 128 31 50 3 12 4 349 1 1 2 20 24 3 10 57 3 4 1 8 2 2 4 420 410 3,030 1,080 5,645 1,503 2,410 225 540 125 14,968 30 60 90 905 1,245 110 510 2770 90 140 40 270 60 110 170 18.268 Produksi CPO 387.450 2,863,350 1.020,600 5.334,525 1.420,335 2.227,450 212,625 510,300 118,125 14.094.760 28,350 56,700 85.050 855,225 1.176,525 102,950 481,950 2.616.650 85,050 132,300 37,800 255.150 56,700 103,950 160.650 17.263.260 Lampiran 2 Tabel Luas Lahan Perkebunan Kelapa sawit Indonesia Tahun 2007 NO PROVINSI Perkebunan Rakyat Produksi Luas (Ha) (Ton) Perkebunan Negara Produksi Luas (Ha) (Ton) Perkebunan Swasta Produksi Luas (Ha) (Ton) Jumlah Total Luas (Ha) Produksi (Ton) 1 Nanggroe Aceh 92.297 122 54.054 149.1 165.38 498.382 311.730 769.000 2 Sumatera Utara 354.044 943.053 300.55 1156.136 316.009 1101.784 970.600 3.200.970 3 4 5 6 7 8 9 10 Sumatera barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumtera Selatan Bangka Belitung Bengkulu Lampung Sumatera Jawa Barat Banten Jawa Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat 140.384 749.379 84 274.277 288.211 6.617 100.86 77.219 2167.288 0 6.049 6.049 187 114 40.867 71.76 413.527 0 7.98 27.862 350.19 1779.329 0 599.949 735.98 627 202.782 187.702 4,921 0 17.887 17.887 350.171 274.479 40.642 51.243 716.535 0 16.328 94.506 7.836 89.803 0 33.455 45.69 0 3.145 16.743 551.28 6.188 8.028 14.216 44.21 0 4.79 25.978 74.978 6.187 15.519 0 20.878 335.548 0 104.351 149.724 0 11.264 53.752 1980.753 3.25 20.359 23.609 134.886 0 3.204 66.482 204.572 15.604 32.386 0 168.32 709.79 6.849 266.862 296.333 126.667 61.266 63.781 2181.26 3.643 0 3.643 261.325 459.136 199.149 156.089 1075.7 36.18 1.022 47.892 612.829 2571.603 15.495 593.278 730.539 383.922 159.769 169.34 6836.941 10.899 0 10.899 565.393 1109.123 264.067 179.37 2117.953 119.609 1.821 153.364 316.540 1.549.000 90.849 574.590 630.230 133.280 165.270 157.740 4.899.800 9.831 14.077 23.908 492.21 573.36 244.81 253.83 1564.2 42.367 24.521 75.754 984.000 4.686.480 15.495 1.297.580 1.616.000 1.010.920 374.000 410.794 13.730.000 14.000 38.246 52.395 1,050.000 1.383.600 308.000 297.095 3.039.000 135.213 51.000 247.870 0 35.842 9.818 16.527 0 110.834 15.759 23.053 2.966 24.672 12.079 10.207 0 47.99 24.179 32.873 0 85.094 7.939 5 0 274.794 7.932 5.582 2.966 145.61 29.836 31.734 0 433.618 48.000 61.508 26.345 2,622.71 38.812 5,805.13 22.26 687.4 57.052 2.313.976 12.939 3,358.63 13.514 9.254.101 61.544 6.611.195 109.000 17.373.202 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Sulawesi Tenggara Sulawesi Papua Papua Barat Maluku+Papua Indonesia Lampiran 3 Saluran Pemasaran Tandan Buah Segar (TBS) dan CPO dari Petani Ke PTPN Unit Kebun Sendiri PTPN TBS Petani PIR TBS KUD Kelapa Sawit TBS Unit PKS PTPN TBS CPO Petani lepas/ Petani Non PIR KPB (Kantor Pemasaran bersama) CPO Agen LN (Broker/Wholeser) Processor CPOLN CPO CPO Agen DN (Broker/Wholesaler) CPODN Processor Lampiran 4 Proses Pengolahan CPO (Crude Palm Oil) Peneriman TBS Proses Sterilisasi Mesin Bantingan Tandan Kosong Buah Sawit Proses Pendepresan Limbah Cair CPO Kotor Biji Sawit Proses Penjernihan Pemecah Biji Serat HYDRO CYLONE Limbah Cair CPO Jernih Pengolahan Limbah Digunakan untuk pupuk tanaman dilapangan Pengolahan limbah Palm Karnel Pembuangan sesuai ketenuan pemerintah Cangkang Digunakan untuk Bahan Bakar Boiler 172 Lampiran 5 Nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) Negara Eksportir CPO Tahun 1993 - 2006 Tahun Malaysia Indonesia Costarica Thailand 1993 50.00120001 17.568717 32.9303426 0 1994 50.86122131 18.2538024 22.42663579 0.13388323 1995 50.23185519 16.9031643 19.04884913 0.12158528 1996 44.2603531 17.8143038 17.07391696 0 1997 42.43028798 24.1081758 8.085813886 0.2811414 1998 49.24661525 19.0827198 9.219439279 0.27805991 1999 42.47140155 26.5072121 6.30965216 0.43242105 2000 38.70610358 27.627826 7.253577048 0.52410325 2001 40.39075245 29.2836594 5.126660942 0.91825817 2002 37.45089842 36.6372348 5.229271385 0.47510951 2003 39.14507273 40.4993672 6.131587189 0.6767034 2004 36.76992676 46.5096156 7.647388989 0.63830725 2005 36.22506618 46.2917268 7.811179683 0.40029322 2006 33.1731286 45.9733842 7.487752921 0.32828022 Total 591.3638831 413.060909 161.782068 5.20814589 Rata-rata 42.24027736 29.5043507 11.555862 0.37201042 Sumber Keterangan : http://unstats.un.org/unsd/comtrade : #DIV/0! = Tidak tersedianya data Papua N 43.3788499 #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! #DIV/0! 40.1172769 #DIV/0! 50.6296707 60.1909007 645.086641 48.5439188 68.1292108 #DIV/0! #DIV/0! 956.076469 68.2911763 Lampiran 6 Keterlibatan Lembaga Pendukung Dalam Peningkatan Industri Hulu Kelapa Sawit Indonesia. No Nama Lembaga Jenis R&D dan Kegiatan 1 PPKS Medan 1. Beseline study tentang sikap, persepsi dan pengetahuan pengguna terhadap bibit sawit dan mekanisme pengadaanya. 2. Perbaikan kelembagaan, sertifikasi dan kebijakan pengadaan kelapa sawit 3. Penetapan populasi dan analisis pautan genetic berbagai sifat untuk pembuatan peta genomic tanaman kelapa sawit 4. Perakitan tanaman kelapa sawit yang toleran terhadap ganoderma 2 Agronomi IPB 1. Pemetaan genomic tanaman kelapas sawit 2. respons tanaman kelapa sawit terhadap cekaman kekeringan 3. Seleksi tanaman kelapa sawit toleran terhadap cekaman kekeringan 4 SEAMEOBIOTROP 1. Respon tanaman kelapa sawit terhadap cekaman kekeringan secara molekuler 2. Deteksi dini abnormalitas pada perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringa 5 Dept Biologi ITB 1. Pemetaan genomic tanaman kelapa sawit 2. Respon tanaman kelapa sawit terhadap cekaman kekeringan secara molekuler 3. Seleksi tanaman kelapa sawit toleran terhadap cekaman kekeringan 6 Dir.Perbenihan Dept Pertanian 1. Bessline study tentang sikap, persepsi dan pengetahuan pengguna terhadap bibit sawit dan mekanisme peredarannya 2. Perbaikan kelembagaan, sertifikasi dan kebijakan pengadaan benih sawit