Menjadi Penentu Pasar Dunia

advertisement
Menjadi Penentu Pasar Dunia
Selasa, 23 Juni 2009 | 03:28 WIB
Selasa (23/6) ini merupakan momentun bersejarah bagi Indonesia. Bursa Berjangka Jakarta akan
memulai perdagangan fisik minyak kelapa sawit mentah (CPO) secara elektronik yang pertama kali di
Indonesia.
Inilah sebuah langkah serius menaikkan nilai strategis Indonesia di pasar minyak nabati internasional.
Tiba saatnya Indonesia menjadi penentu pasar CPO, tidak terombang-ambing mengikuti telunjuk negara
lain.
Produsen dan pembeli CPO dapat bertransaksi CPO dari kantor masing-masing. Untuk tahap awal, PT
Perkebunan Nusantara memindahkan pelelangan dari Kantor Pemasaran Bersama PTPN dan
memasarkan produk CPO mereka lewat transaksi elektronik fisik di BBJ.
Apabila KPB PTPN memperdagangkan 2,5 juta ton CPO per tahun, ada 500.000 ton yang akan
diperdagangkan. Semua produsen
memperdagangkan produknya di BBJ.
CPO
di
Indonesia
diharapkan
secara
bertahap
mau
Sistem perdagangan fisik ini bakal memakai mata uang rupiah. Hal ini secara tidak langsung akan
mendukung fondasi perekonomian nasional karena pemakaian rupiah meluas. Harga CPO yang
terbentuk pun bakal menjadi salah satu acuan internasional.
Di tengah minimnya improvisasi pengembangan sektor hilir kelapa sawit nasional, patutlah diapresiasi
terobosan berani BBJ. Sudah semestinya Indonesia memiliki instrumen pendukung untuk menjadi acuan
harga CPO internasional.
Tahun lalu, Indonesia memproduksi 19,2 juta ton CPO dan 14,3 juta ton di antaranya diekspor. Sisanya
diserap pasar domestik dan sedikitnya 3,5 juta ton diproses menjadi minyak goreng. Indonesia masih
mengekspor sedikitnya 60 persen CPO sesuai tuntutan importir. Malaysia, lewat...!
Daya serap industri hilir domestik. Kondisi ini yang membuat Indonesia sangat bergantung pada pasar
internasional agar produksi CPO yang tinggi tidak sia-sia. Kebijakan industri hilir yang lemah membuat
industri pengolahan CPO seperti kehilangan tenaga. Dari kapasitas terpasang 21 juta ton di 62 pabrik,
hanya 54 persen yang terpakai.
Kondisi ini sungguh tidak berimbang dengan pengembangan industri perkebunan kelapa sawit yang
ekspansif. Indonesia kini memiliki perkebunan kelapa sawit seluas 6,7 juta hektar. Sebanyak 2,7 juta ha
milik sedikitnya 2 juta keluarga petani, 800.000 ha oleh badan usaha milik negara, dan 3,2 juta ha di
antaranya dikelola swasta.
Pemerintah pun seperti tersihir dengan pengembangan sektor hulu. Peningkatan produktivitas dan
perluasan lahan menjadi agenda utama.
Kerja sama antarpemerintah dijalin demi mendapatkan benih dari Kamerun dan negara-negara lain yang
memiliki kelapa sawit. Pemerintah pun kini tengah bersiap mendirikan badan usaha milik negara untuk
meneliti dan mengembangkan benih unggul kelapa sawit. Berbekal benih unggul baru, Indonesia bakal
menghasilkan tanaman kelapa sawit yang lebih cepat panen dari sekarang empat tahun setelah tanam
dengan produktivitas minyak 3,5 ton per ha per tahun dari sekarang hanya 1 ton per ha per tahun.
Dengan cara ini, Indonesia bisa memproduksi 40 juta ton CPO tahun 2020.
Dengan kesungguhan semua pihak mengembangkan kelapa sawit yang lestari, tujuan ini pasti tercapai.
Semenanjung Sumatera dan sebagian Kalimantan merupakan kawasan yang cocok untuk tanaman
kelapa sawit. Sayang, semua upaya pengembangan sektor hulu belum didukung sepenuhnya oleh
pemerintah. Sudah berkali-kali pemangku kepentingan kelapa sawit mengeluhkan buruknya infrastruktur
jalan, pelabuhan, dan fasilitas pemompaan CPO ke kapal. Kondisi ini membuat CPO Indonesia kalah
efisien di pasar internasional dari Malaysia. Belum lagi pungutan liar, retribusi berdalih demi penerimaan
asli daerah (PAD), dan biaya perbaikan infrastruktur yang tidak dirawat pemerintah.
Kondisi ini menggambarkan sebenarnya pemerintah belum terlalu memerhatikan kelapa sawit nasional.
Baru setelah Indonesia menjadi produsen terbesar dunia karena Malaysia terkena banjir pada kuartal IV2006 dan harganya melejit naik tahun 2007-2008, pemerintah tersentak. Ternyata, kelapa sawit bagai
emas hijau yang menjanjikan.
Jangka panjang
Pemerintah pun mulai memerhatikan perkembangan industri ini. Para pengambil keputusan di
pemerintahan bersedia berkampanye bahwa produk CPO Indonesia tidak merusak lingkungan agar tidak
digugat aktivis lingkungan. Berbagai cara dilakukan. Namun, tetap saja masih memakai kebijakan jangka
pendek.
Orientasi jangka panjang, komprehensif, terintegrasi dari hulu sampai hilir sudah harus dirancang secara
matang sebelum semuanya terlambat. Industri CPO bukan hanya ”milik” Departemen Pertanian. Dengan
begitu banyaknya turunan produk dari CPO yang bisa dikembangkan memaksa seluruh departemen
terkait dan yang berkepentingan mesti terlibat. Industrialisasi sawit mesti melibatkan Departemen
Perindustrian, Departemen Kesehatan, sampai kementerian Negara Lingkungan Hidup.
Sawit, CPO, bukanlah urusan minyak goreng semata karena ia bahkan bisa diolah menjadi bahan energi
alternatif. Artinya, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral juga harus peduli terhadap
perkembangan sawit. Urusan infrastruktur perhubungan pun tak kalah urgensinya sehingga Departemen
Perhubungan dan PU juga harus peduli.
Status minyak goreng sebagai salah satu kebutuhan pokok indikator kemiskinan membuat pemerintah
setengah mati menjaga stabilitas harga di pasar domestik. Maklum, ada sedikitnya 40 juta keluarga yang
harus dijaga agar tidak jatuh miskin bila tidak mampu membeli minyak goreng. Kebijakan fiskal dengan
instrumen naik-turun tarif bea keluar ekspor CPO pun diandalkan walau konsekuensinya harga tandan
buah segar (TBS) kelapa sawit petani anjlok. Keseimbangan antara kepentingan konsumen dan
produsen alias petani harus dijaga pemerintah.
Ada baiknya pemerintahan mendatang mempertimbangkan pembentukan Departemen Perkebunan dan
Industri Pengolahan agar upaya membangun perkebunan nasional bisa lebih komprehensif dari hulu
sampai hilir.
Butuh waktu untuk melihat keberhasilan. Namun, kita sudah memulai satu langkah kecil untuk ribuan
langkah mencapai tujuan. Sudah cukup 161 tahun Indonesia mengembangkan perkebunan kelapa sawit.
Kini sudah saatnya RI menjadi penentu pasar internasional yang disegani.
Download