Fenomena Konversi Lahan Sawah di Pulau Jawa restoran, atau pabrik. Konversi lahan sawah nampaknya sudah menjadi bagian dari hukum permintaan dan penawaran. Ketersediaan lahan yang terbatas sementara permintaan terhadap lahan terus meningkat menuntut realokasi penggunaan lahan ke arah yang paling menguntungkan. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, secara garis besar faktor penyebab konversi dapat dipilah menjadi dua, yaitu pada tingkat makro dan mikro. Dalam tataran makro, konversi lahan sawah disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi sektor nonpertanian yang pesat, implementasi undangundang yang lemah, serta nilai tukar petani yang rendah. Dalam skala mikro, alasan utama petani melakukan konversi lahan adalah karena kebutuhan, lahannya berada dalam kawasan industri, serta harga lahan yang menarik. Pajak lahan yang tinggi juga cenderung mendorong petani melakukan konversi. Faktor pendorong konversi yang tidak kalah pentingnya khususnya di Jawa adalah adanya kesempatan membeli lahan di tempat lain yang lebih murah. Semua penyebab konversi itu akhirnya bermuara pada motif ekonomi, yaitu penggunan lahan untuk peruntukan yang baru dipandang lebih menguntungkan daripada digunakan untuk lahan sawah. baga yang berkompeten dalam masalah ini. Akibatnya sering terjadi perdebatan publik dalam menyikapi permasalahan konversi, misalnya apakah konversi lahan sudah dalam taraf yang mengkhawatirkan (terutama bagi produksi padi nasional) atau masih dalam batas yang wajar, atau justru lebih menguntungkan bagi perekonomian. Hasil survei Direktorat Perluasan dan Rehabilitasi Lahan (Dit. PRAL) menunjukkan bahwa selama tahun 1981/82-1985/86, di Jawa terjadi konversi lahan sawah ke nonsawah seluas 216.998,26 hektar (43.396,65 ha/tahun), sedangkan berdasarkan hasil Sensus Pertanian 1993, selama tahun 1990-1993 lahan yang terkonversi di Jawa mencapai 52.772,7 ha atau rata-rata 18.257 ha/tahun. Hasil studi Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian menunjukkan bahwa selama periode 1979-1999, lahan sawah di Jawa (belum termasuk DKI Jakarta) yang terkonversi sebesar 1.002.005 ha atau 50.000 ha/tahun. Penambahan lahan sawah dalam periode tersebut hanya 518.224 ha (25.911 ha/tahun) sehingga lahan sawah di Jawa berkurang sekitar 483.831 ha atau 24.192 ha/tahun. Dilihat dari lokasi terjadinya konversi, sebagian besar konversi terjadi di pantura Jawa. Selama tahun 1990-1993, di wilayah tersebut terjadi konversi lahan sawah seluas 32.036 ha atau 58,5% dari total lahan sawah yang terkonversi di Jawa. Lahan yang terkonversi selanjutnya digunakan untuk perumahan (39%), industri (35%), dan sisanya untuk penggunaan lainnya. Yang cukup mengkhawatirkan dari kondisi ini adalah pantura merupakan daerah penghasil padi, sehingga penyediaan beras nasional banyak ditopang daerah tersebut. Luas Konversi Lahan Sawah Dampak Konversi Lahan Sawah Berapa luas konversi lahan sawah per tahunnya? Pertanyaan ini agak sulit dijawab secara pasti, karena sangat tergantung pada kriteria yang ditetapkan oleh instansi/lem- Secara teoritis, alih fungsi lahan sawah dapat menimbulkan kerugian, terutama hilangnya lahan produktif penghasil beras, di samping tidak menampik adanya manfaat Beberapa pihak khawatir konversi lahan sawah akan mengancam ketahanan pangan nasional. Namun, tidak sedikit yang menganggap koversi justru lebih menguntungkan. B eras akan tetap menjadi komoditas penting dan strategis bagi Indonesia, karena hampir seluruh penduduk dengan jumlah lebih dari 200 juta jiwa itu menjadikan beras sebagai makanan pokok. Upaya diversifikasi pangan tampaknya belum berhasil mengubah selera konsumen terhadap beras. Akibatnya, bahan pangan nonberas seperti jagung, ubi kayu, sagu, talas, dan kacang-kacangan dipandang sebagai komoditas inferior (berstatus rendah). Kedudukan beras yang strategis tersebut pernah mendorong Pemerintah Orde Baru untuk memprioritaskan produksi beras sebagai agenda utama pembangunan pertanian, sehingga pada tahun 1984 Indonesia mampu berswasembada beras. Pencapaian swasembada beras ini tidak bisa luput dari peran Pulau Jawa sebagai sentra produksi beras nasional. Meskipun luasnya hanya 7% dari luas daratan total Indonesia, kontribusi Jawa terhadap produksi beras nasional diperkirakan tidak pernah kurang dari 50%. Oleh karena itu, wajar bila sebagian pihak merasa khawatir bahwa alih fungsi (konversi) lahan sawah ke penggunaan nonpertanian seperti pemukiman dan kawasan industri dalam dua dekade terakhir ini akan membahayakan produksi beras nasional. Penyebab Konversi Lahan Sawah Konversi lahan sawah nampaknya sudah menjadi fenomena yang lazim terjadi di Jawa. Bila pada tahun 1980-an di sepanjang pantura Jawa masih terhampar luas pertanaman padi, kini di lahan yang sama telah banyak berdiri perumahan, 1 ekonomi. Namun demikian, tidaklah mudah untuk membuat kalkulasi pasti dari manfaat dan kerugian akibat konversi ini, karena cukup banyak manfaat dan kerugian yang sulit diukur. Dampak negatif konversi lahan berdasarkan hasil penelitian adalah hilangnya “peluang” memproduksi hasil pertanian di lahan sawah yang terkonversi, di antaranya hilangnya produksi pertanian dan nilainya, pendapatan usaha tani, dan kesempatan kerja pada usaha tani. Konversi juga mengakibatkan hilangnya peluang pendapatan dan kesempatan kerja pada kegiatan ekonomi yang tercipta secara langsung maupun tidak langsung dari kegiatan usaha tani tersebut, misalnya usaha traktor dan penggilingan padi. Kerugian yang terjadi secara tidak langsung adalah meningkatnya pencemaran, banjir, jumlah petani berlahan sempit, dan tingkat kriminalitas. Namun demikian, banyak juga manfaat yang diperoleh pascakonversi lahan. Manfaat itu antara lain berupa kesempatan kerja nonpertanian, peningkatan pendapatan, dan dalam skala makro berupa perkembangan ekonomi wilayah. 2 Kontribusi Jawa dalam Produksi Padi Nasional Peran Jawa dalam produksi beras nasional sangatlah nyata, terutama saat pemerintah sedang gencargencarnya melaksanakan program swasembada beras. Pada waktu itu Jawa mampu memberikan kontribusi 63,12% dari total produksi beras nasional. Angka ini sungguh fantastis, mengingat luas Pulau Jawa hanya 7% dari luas total daratan Indonesia. Oleh karena itu, sangatlah wajar bila konversi lahan yang terjadi secara besar-besaran di Jawa dapat menurunkan produksi beras nasional. Berdasarkan hasil penelitian, walaupun konversi lahan terjadi secara besar-besaran, sampai tahun 2002 Jawa masih memberikan kontribusi yang besar terhadap produksi beras nasional yaitu 56,10%, atau hanya turun 6,05% dalam kurun waktu 16 tahun sejak swasembada beras tahun 1984. Kontribusi Jawa selama tahun 1984-2002 tidak pernah kurang dari 50%, sehingga Jawa masih mantap sebagai lumbung padi nasional. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dari waktu ke waktu kontribusi Pulau Jawa cenderung menurun. Oleh karena itu, usaha pencetakan lahan sawah di luar Jawa diharapkan dapat mendorong peningkatan produksi padi di daerah tersebut. Namun dalam jangka pendek dan menengah, luar Jawa nampaknya belum mampu menggantikan peran Jawa sebagai andalan produksi padi nasional, karena dari sisi produktivitas saja, sawah di luar Jawa masih jauh tertinggal dibandingkan sawah di Jawa. Dengan demikian, mempertahankan keberadaan sawah di Pulau Jawa dipandang masih sangat perlu untuk mendukung ketahanan pangan nasional (Ashari). Untuk informasi lebih lanjut hubungi: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jln. A. Yani No. 70 Bogor 16161 Telepon : (0251) 333964 Faksimile: (0251) 314496 E-mail : [email protected]