II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Quality of Work Life (QWL) Pada prinsipnya Quality of Work Life (QWL) perlu diciptakan oleh organisasi untuk memberikan keseimbangan pada karyawan dalam melaksanakan karyawan dan kehidupan pribadi. Program kualitas kehidupan kerja ini dilakukan karena beberapa alasan yaitu ; Organisasi memiliki tujuan untuk memikat, memotivasi dan mempertahankan karyawan yang memiliki kompetensi sesuai harapan. Selain itu sebagian karyawan dalam organisasi seringkali harus bekerja melebihi jam kerja dan hari kerja, sehingga mereka membutuhkan waktu kerja yang fleksibel untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan pribadi. Kualitas kehidupan kerja seringkali diartikan secara berbeda. Berikut ini pengertian kualitas kehidupan kerja dari beberapa sumber: 1. Kualitas kehidupan kerja merupakan teknik manajemen yang mencakup gugus kendali mutu, job enrichment, suatu pendekatan untuk bernegosiasi dengan karyawan, hubungan industrial yang serasi, manajemen partisipatif dan bentuk pengembangan organisasional menurut French dalam Arifin, 1999. 2. Menurut Wayne (1989), ada dua pandangan mengenai maksud dari Kualitas Kehidupan Kerja. Pertama, Kualitas Kehidupan Kerja adalah sejumlah keadaan dan praktek dari organisasi (contoh: pengkayaan penyelia yang demokratis, keterlibatan pekerja, dan kondisi kerja yang aman). Sementara yang kedua, Kualitas Kehidupan Kerja adalah persepsi karyawan bahwa mereka ingin rasa aman, secara rela mereka puas, dan mendapatkan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang sebagai layaknya manusia. 3. Kualitas kehidupan kerja berfokus pada pentingnya penghargaan kepada sumberdaya manusia di lingkungan kerja (Luthan, 1995). Titin Ekowati. 2009. Jurnal Quality of Work Life : Upaya Antisipasi Stress di Tempat Kerja 7 Dessler (2005) mengemukakan bahwa QWL merupakan keadaan dimana para karyawan dapat memenuhi kebutuhan mereka yang penting dengan bekerja dalam organisasi, dan kemudian untuk melakukan hal itu bergantung pada apakah terdapat adanya: 1. Perlakuan yang fair, adil dan suportif terhadap para karyawan. 2. Kompensasi yang cukup dan fair. 3. Lingkungan yang aman dan sehat. 4. Kesempatan bagi tiap karyawan untuk menggunakan kemampuan secara penuh dan kesempatan untuk mewujudkan diri, yaitu untuk menjadi orang yang mereka rasa mampu mewujudkannya. 5. Komunikasi terbuka dan saling mempercayai di antara semua karyawan 6. Kesempatan bagi semua karyawan untuk berperan secara aktif dalam pengambilan keputusan-keputusan penting yang melibatkan karyawankaryawan mereka. Menurut Bernardin dan Russel (1993), Quality of Work Life (QWL) is the degree to which individuals are able to satisfy their important personal need (e.g. need for independent) while imployed by the firm. yaitu tingkat individu-individu yang merasa puas atas kebutuhan-kebutuhan penting mereka seperti kebutuhan untuk bebas dimana mereka bekerja dalam suatu perusahaan. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa kualitas kehidupan kerja ditentukan oleh bagaimana pekerja merasakan perannya dalam setiap organisasi. Peran disini diartikan sebagai bagian dari cara yang sistematis dimana karyawan berpartisipasi didalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut masalah sikap dan terkait dengan pekerjaan, kegiatan, dan organisasi mereka, sehingga peran tersebut mampu memberikan rasa tanggung jawab dan merasa memiliki (sense of belonging) terhadap setiap pekerjaan yang muncul dari kesepakatan dan keputusan bersama. Ada delapan kategori utama sebagai kerangka untuk menganalisis QWL, yaitu: 1. Kompensasi yang adil dan memadai. 2. Kondisi kerja yang aman dan sehat. 3. Kesempatan untuk menggunakan dan mengembangkan kemampuan. 4. Jaminan keamanan untuk tumbuh di masa depan. 8 5. Integrasi sosial dalam perusahaan. 6. Peraturan dalam perusahaan yang berkaitan dengan hak-hak karyawan. 7. Kerja dan ruang kerja secara keseluruhan. 8. Relevansi sosial dalam kehidupan kerja. Gitosudarmo dan Sudita (1997) mengatakan QWL umumnya berkaitan dengan berbagai macam perubahan metode kerja tradisional. Program pemerkayaan dan berbagai macam pola kerja merupakan contoh dari program QWL. Beberapa program kualitas kehidupan kerja (QWL) seperti tim kerja otonomi (autonomous work team), komite karyawanmanajemen, dan quality circles. Komponen utama dari semua jenis program QWL, umumnya adalah bahwa program tersebut mencari cara untuk meningkatkan kualitas kehidupan kerja dengan menciptakan pekerjaan yang lebih baik. Hampir semua program QWL memiliki empat sasaran umum, yaitu: 1. Program QWL mencoba menciptakan organisasi yang lebih demokratis dimana setiap orang memiliki suara yang besar terhadap sesuatu yang mempengaruhi kehidupannya. 2. Program QWL mencoba memberikan andil imbalan finansial dari organisasi sehingga setiap orang mendapatkan manfaat dari kerjasama yang lebih baik, produktivitas yang tinggi, dan meningkatkan probabilitas hak pekerja. 3. Program QWL mencoba meningkatkan pengembangan individu dengan menciptakan kondisi yang mendukung terhadap pertumbuhan pribadi. 4. Program QWL mencoba mencar cara untuk menciptakan keamanan kerja yang lebih besar dengan meningkatkan daya hidup organisasi dan lebih meningkatkan hak pekerja. 9 Identitas Perusahaan Partisipasi Kemasyarakatan Kepedulian Lingkungan Kewarganegaraan yang sah Gaji dan Keuntungan yang Kompetitif Kerjasama Karyawan Dalam Tim Partisipasi Karyawan Dalam Rapat Peningkatan Kualitas Tim Partisipasi Karyawan Kebanggaan Pengembangan Karir Perlindungan Jabatan Pelatihan/Pendidikan Penilaian Kemajuan Promosi Dari Dalam Kompensasi Yang Layak Penyelesaian Konflik QWL Lingkungan Yang Aman Keterbukaan Proses Penyampaian Keluhan secara Formal Pertukaran Pendapat Komunikasi Program Pensiun Komite Keamanan Program Keselamatan Kerja Keselamatan Kerja Komite Keselamatan Tim Pertolongan Gawat Darurat Kesehatan Pertemuan Individu Pertemuan Kelompok Publikasi Pusat Kesehatan Pusat Kesehatan Gigi Program Rekreasi Program Konseling Program Pusat Kebugaran Gambar 1. Quality of Work Life (Cascio, 1995) Menurut Cascio (1995), usaha-usaha untuk merealisasikan QWL secara berhasil memerlukan beberapa persyaratan antara lain: 1. Manajer seyogyanya menjadi pemimpin dan pembimbing dan bukannya seorang bos di kantor. 2. Keterbukaan dan saling percaya merupakan persyaratan utama menerapkan konsep QWL dalam manajemen. 3. QWL tidak dapat dilaksanakan secara sepihak oleh manajemen saja, melainkan peran serta para karyawan perlu ditingkatkan. 4. QWL harus mengalami secara berkelanjutan mulai dari proses pemecahan masalah yang dihadapi oleh manajemen dan para karyawan hingga sampai membentuk mitra kerja diantara mereka. 10 5. Informasi yang berkaitan dengan kegiatan dan manajemen harus diinformasikan kepada para karyawan, dan saran-saran dari mereka harus diperhatikan secara serius. Dari berbagai definisi dan QWL di atas, yang selanjutnya oleh Arifin (1999) disimpulkan bahwa QWL mempunyai empat dimensi yang perlu diterapkan oleh manajemen untuk mencapai kinerja yang unggul dan produktifitas kerja karyawan, yaitu; lingkugan kerja, sistem imbalan yang inovatif, partisipasi pemecahan masalah dan restrukturisasi kerja. 2.1.1 Lingkungan Kerja Lingkungan kerja dalam suatu perusahaan sangat penting untuk diperhatikan manajemen. Meskipun lingkungan kerja tidak melaksanakan proses produksi dalam suatu perusahaan, namun lingkungan kerja mempunyai melaksanakan pengaruh proses langsung produksi terhadap tersebut. para karyawan Lingkungan kerja yang yang memusatkan bagi karyawannya dapat meningkatkan kinerja. Sebaliknya lingkungan kerja yang tidak memadai akan dapat menurunkan kinerja dan akhirnya menurunkan motivasi kerja karyawan. Suatu kondisi lingkungan kerja dikatakan baik atau sesuai apabila manusia dapat melaksnakan kegiatan secara optimal, sehat, aman dan nyaman. Kesesuaian lingkungan kerja dapat dilihat akibatnya dalam jangka waktu yang lama. Lebih jauh lagi lingkungan-lingkungan kerja yang kurang baik dapat menuntut tenaga kerja dan waktu yang lebih banyak dan tidak mendukung diperolehnya rencangan sistem kerja yang efisien. Beberapa ahli mendifinisikan lingkungan kerja antara lain sebagai berikut: 1. Nitisemito (2000), mendefinisikan lingkungan kerja sebagai berikut: “Lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugastugas yang diembankan”. 11 2. Sedarmayati (2001), mendefinisikan lingkungan kerja sebagai berikut: “Lingkungan kerja adalah keseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi, lingkungan sekitarnya di mana seseorang bekerja, metode kerjanya, serta pengaturan kerjanya baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok”. Dari beberapa pendapat di atas, disimpulkan bahwa lingkungan kerja merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar karyawan pada saat bekerja, baik yang berbentuk fisik ataupun non fisik, langsung atau tidak langsung, yang dapat mempengaruhi dirinya dan pekerjaanya saat bekerja. Sedarmayanti (2001), menyatakan bahwa secara garis besar, jenis lingkungan kerja terbagi menjadi 2 yaitu: a. Lingkungan kerja Fisik Menurut Sedarmayanti (2001), “Lingkungan kerja fisik adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Lingkungan kerja fisik dapat dibagi dalam dua kategori, yakni: (a) lingkungan yang langsung berhubungan dengan karyawan (Seperti: pusat kerja, kursi, meja dan sebagainya) (b) lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga disebut lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya :temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau tidak sedap, warna, dan lain-lain. b. Lingkungan Kerja Non Fisik Menurut Sadarmayanti (2001), “Lingkungan kerja non fisik adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan kerja, baik hubungan dengan atasan maupun hubungan sesama rekan kerja, ataupun hubungan dengan bawahan”. Lingkungan non fisik ini juga merupakan kelompok lingkungan kerja yang tidak bisa diabaikan. Sentoso (2001) yang mengutip pernyataan Prof. Myon Woo Lee sang pencetus teori W dalam Ilmu Manajemen Sumber Daya Manusia, bahwa pihak manajemen perusahaan hendaknya membangun suatu iklim 12 dan suasana kerja yang bisa membangkitkan rasa kekeluargaan untuk mencapai tujuan bersama. Pihak manajemen perusahaan juga hendaknya mampu mendorong inisiatif dan kreativitas. Kondisi seperti inilah yang selanjutnya menciptakan antusiasme untuk bersatu dalam organisasi perusahaan untuk mencapai tujuan. Berikut ini beberapa faktor yang diuraikan Sedarmayanti (2001) yang dapat mempengaruhi terbentuknya suatu kondisi lingkungan kerja dikaitkan dengan kemampuan karyawan, diantaranya adalah: 1. Penerangan/cahaya di tempat kerja 2. Temperatur/suhu udara di tempat kerja 3. Kelembaban di tempat kerja 4. Sirkulasi udara di tempat kerja 5. Kebisingan di tempat kerja 6. Getaran mekanis di tempat kerja 7. Bau tidak sedap ditempat kerja 8. Tata warna di tempat kerja 9. Dekorasi di tempat kerja 10. Musik di tempat kerja 11. Keamanan di tempat kerja 2.1.2 Sistem Imbalan yang Inovatif Sistem imbalan/kompensasi juga berpotensi sebagai salah satu sarana terpenting dalam membentuk perilaku dan mempengaruhi kinerja. Secara umum kompensasi merupakan sebagian kunci pemecahan bagaimana membuat karyawan berbuat sesuai dengan keinginan organisasi. Sistem kompensasi ini akan membantu menciptakan kemauan diantara orang-orang yang berkualitas untuk bergabung dengan organisasi dan melakukan tindakan yang diperlukan organisasi. Secara umum berarti bahwa karyawan harus merasa bahwa dengan melakukannya, mereka akan mendapatkan kebutuhan penting yang mereka perlukan. Dimana didalamnya termasuk interaksi sosial, status, penghargaan, pertumbuhan dan perkembangan. 13 Menurut Handoko (2003), “Faktor pendorong penting yang menyebabkan manusia bekerja adalah adanya kebutuhan dalam diri manusia yang harus dipenuhi” Dengan kata lain, berangkat dari keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia bekerja dengan menjual tenaga, pikiran dan juga waktu yang dimilikinya kepada perusahaan dengan harapan mendapatkan kompensasi (imbalan). Masalah kompensasi bukan hanya penting karena merupakan dorongan utama seseorang menjadi karyawan, tapi juga besar pengaruh terhadap semangat dan kegairahan kerja para karyawan. Dengan demikian maka setiap badan usaha harus dapat menetapkan kompensasi yang paling tepat, sehingga dapat menopang mencapai tujuan badan usaha secara lebih efektif dan lebih efisien. Seberapa besar kompensasi diberikan harus sedemikian rupa sehingga mampu mengikat para karyawan. Hal ini adalah sangat penting sebab bila komponen yang diberikan kepada para karyawan terlalu kecil bila dibandingkan badan usaha lain, maka hal ini dapat menyebabkan karyawan pindah ke badan usaha yang lain. Dalam perkembangannya sistem kompensasi sendiri mempunyai tiga komponen pokok, yaitu: 1. Upah dasar (based pay), merupakan komponen upah dasar bagi kebanyakan karyawan, dan pada umumnya berdasarkan hitungan waktu, seperti jam, hari, minggu, bulan atau per tahun. 2. Upah berdasar kinerja (performance related pay), berkaitan dengan monetary reward dengan basis ukuran atau merupakan upah yang didasarkan pada ukuran kinerja individu, kelompok atau organisasi. 3. Upah tidak langsung dikenal sebagai employee benefit “keuntungan bagi karyawan” terdiri dari barang-barang jasa non cash item atau services yang secara langsung memuaskan sejumlah kebutuhan spesifik karyawan, seperti jaminan keamanan pendapatan (income security) termasuk asuransi jiwa, perlindungan kesehatan termasuk medical & dental plan dan pensiun. Menurut Mondy (2003), bentuk dari kompensasi yang diberikan perusahaan kepada karyawan dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu: 14 1. Financial compensation (kompensasi finansial), Kompensasi finansial artinya kompensasi yang diwujudkan dengan sejumlah uang kartal kepada karyawan yang bersangkutan. Kompensasi finansial implementasinya dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: a. Direct Financial compensation (kompensasi finansial langsung) Kompensasi finansial langsung adalah pembayaran berbentuk uang yang karyawan terima secara langsung dalam bentuk gaji/upah, tunjangan ekonomi, bonus dan komisi. Gaji adalah balas jasa yang dibayar secara periodik kepada karyawan tetap serta mempunyai jaminan yang pasti, sedangkan upah adalah balas jasa yang dibayarkan kepada pekerja dengan berpedoman pada perjanjian yang disepakati pembayarannya. b. Indirect Financial compensation (kompensasi finansial tak langsung) Kompensasi finansial tidak langsung adalah termasuk semua penghargaan keuangan yang tidak termasuk kompensasi langsung. Wujud dari kompensasi tak langsung meliputi program asuransi tenaga kerja (jamsostek), pertolongan sosial, pembayaran biaya sakit (berobat), cuti dan lain-lain. 2. Non-financial compensation (kompensasi non finansial), Kompensasi non-finansial adalah balas jasa yang diberikan perusahaan kepada karyawan bukan berbentuk uang, tapi berwujud fasilitas. Kompensasi jenis ini dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: a. Non financial the job (kompensasi berkaitan dengan pekerjaan) Kompensasi non finansial mengenai pekerjaan ini dapat berupa pekerjaan yang menarik, kesempatan untuk berkembang, pelatihan, wewenang dan tanggung jawab, penghargaan atas kinerja. Kompensasi bentuk ini merupakan perwujudan dari pemenuhan kebutuhan harga diri (esteem) dan aktualisasi (self actualization). b. Non financial job environment (kompensasi berkaitan dengan lingkungan pekerjaan) Kompensasi non finansial mengenai lingkungan pekerjaan ini dapat berupa supervisi kompetensi (competent supervision), kondisi kerja 15 yang mendukung (comfortable working conditions), pembagian kerja (job sharing). Kepentingan perusahaan dengan pemberian kompensasi yaitu memperoleh imbalan prestasi kerja yang lebih besar dari karyawan. Sedangkan kepentingan karyawan atas kompensasi yang diterima, yaitu dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya dan menjadi keamanan ekonomi rumah tangganya. Bagi perusahaan, kompensasi merupakan faktor utama dalam kepegawaian. Kebijakan sumber daya manusia banyak berhubungan dengan pertimbangan untuk menentukan kompensasi karyawan. Tingkat besar-kecilnya kompensasi sangat berkaitan dengan tingkat pendidikan, tingkat jabatan, dan masa kerja karyawan. 2.1.3 Partisipasi dalam Pemecahan Masalah Pandangan dari pemecahan masalah secara partisipatif melibatkan anggota-anggota organisasi pada berbagai tingkatan. Manajemen partisipatif adalah suatu sistem dimana anggota-anggotanya dilibatkan dalam pelaksanaan operasional atau kegiatan bisnis di bawah arahan dari penyelia. Dalam hal ini pekerja memiliki kesempatan untuk berpartisipasi atau terlibat didalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi secara langsung ataupun tidak langsung terhadap pekerjaan mereka. Kualitas kehidupan kerja tidak dapat didelegasikan secara sepihak oleh manajemen, namun melalui kesepakatan antara atasan dan bawahan yang kemudian oleh Arifin (1999) istilah tersebut dikenal dengan konsep employee involment (keterlibatan pekerja). Secara teoritis manajemen partisipatif diklasifikasi menjadi dua bagian. Pertama, setiap individu dalam suatu organisasi sanggup untuk menyumbangkan perbaikan-perbaikan dalam kerja yang mereka lakukan. Ini berarti bahwa setiap orang dalam tugas-tugas khusus adalah pekerja yang paling tahu bidang garapannya masing-masing. Terlebih jika pekerja dimotivasi untuk dikembangkan lebih banyak untuk mempengaruhi situasi kerja. Para pekerja lebih cenderung untuk lebih komitmen terhadap pencapaian tujuan dan perubahan dimana mereka turut membentuknya. 16 Kedua, bahwa hasil dari kelompok kerja bersama-sama akan lebih besar dari pada jumlah usaha individu secara terpisah. Penetapan jam kerja harus memperhatikan dan memperhitungkan bahwa daya tahan manusia ada batasnya. Misalnya di Indonesia jam kerja rata-rata per hari adalah 8 sampai dengan 9 Jam dengan istirahat. Oleh karena itu, ada ketentuan cuti yang bisa diambil oleh seluruh karyawan. Peraturan yang ditetapkan seharusnya juga dapat mendorong karyawan bekerja dengan leluasa sesuai dengan kreasi dan daya ciptanya. 2.1.4 Restrukturisasi Kerja Perhatian selanjutnya dalam konteks kualitas kehidupan kerja adalah restrukturisasi kerja yang secara alami dilakukan oleh karyawan dan sistem kerja yang melingkupinya. restrukturisasi kerja mencakup pengawasan, penetapan kerja terutama prosedur dalam pengembangan para pekerja dengan keterlibatan pekerja. Dengan demikian akan membuat pekerja menjadi interdependensi sehingga akan terbentur kerjasama yang solid antar tim. Jika kondisi ini sudah menjadi budaya dalam organisasi, maka untuk mencapai tingkat kerja yang diinginkan tidak sulit. Dalam hal ini, kualitas kehidupan kerja mengandung pengertian bahwa kehidupan kerja seseaorang, terdapat kemungkinan untuk mengembangkan keterampilan dan kemampuan yang dimilikinya. Restrukturisasi kerja mencakup perkayaan karyawan, penggunaan kelompok-kelompok kerja (work group), yang otonom atau desain dan sistem-sistem teknis yang lengkap dan penetapan kerja, terutama prosedurnya dalam pengembangan para karyawan baru dengan keterlibatan yang tinggi. Dalam hal ini, QWL mengandung pengertian bahwa dalam kehidupan kerja seseorang, terdapat kemungkinan untuk mengembangkan kemampuannya dan tersedia kesempatan menggunakan keterampilan atau pengetahuan baru yang dimiliki. Mendesain ulang karyawan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: 1. Job rotation (rotasi karyawan), yaitu pemindahan seorang karyawan dari satu karyawan ke karyawan lain. 17 2. Job enlargement (perluasan karyawan), yaitu memperbanyak tugas dan karyawanan kepada seorang karyawan dalam jabatannya untuk mengurangi sifat karyawan yang membosankan secara horizontal. 3. Job enrichment (pemerkaya karyawan), yaitu teknik untuk memotivasi karyawan dengan memberikan tanggung jawab dan penambahan kesempatan yang lebih besar agar dapat meningkatkan pengakuan, pertumbuhan, dan pencapaian prestasi secara vertikal. Jika kondisi ini sudah menjadi budaya dalam organisasi, maka untuk mencapai tingkat kinerja yang diinginkan tidak terlampau sulit. QWL dalam hal ini mengandung pengertian bahwa dalam kehidupan kerja seseorang terdapat kemungkinan untuk mengembangkan kemampuannya dan tersedia kesempatan menggunakan keterampilan atau pengetahuan baru yang dimiliki. 2.2. Pengertian Kinerja Lower dan Porter (1968) dalam Wijaya (1989) menyebutkan bahwa prestasi kerja merupakan perpaduan antara motivasi dan kemampuan dalam menyelesaikan karyawan atau prestasi seseorang tergantung kepada keinginan untuk berprestasi dan kemampuan yang bersangkutan untuk melakukannya. Menurut Karjantoro dalam Schuler (1996), kinerja pada dasarnya merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Menurut Rivai (2004) mengemukakan kinerja adalah “merupakan perilaku yang nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan”. Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson Terjamahaan Jimmy Sadeli dan Bayu Prawira (2001), “menyatakan bahwa kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan”. Witmore dalam Coaching for Perfomance (1997) “kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seorang atau suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum keterampilan”. Kinerja merupakan 18 suatu kondisi yang harus diketahui dan dikonfirmasikan kepada pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang dilaksanakan suatu organisasi atau perusahaan serta mengetahui dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan operasional. Mink (1993) mengemukakan pendapatnya bahwa individu yang memiliki kinerja yang tinggi memiliki beberapa karakteristik, yaitu diantaranya: (a) berorientasi pada prestasi, (b) memiliki percaya diri, (c) berpengendalian diri, (d) kompetensi. Di samping itu, dampaknya tidak memotivasi, tetapi justru akan menurunkan prestasi kerja karyawan. Untuk dapat meningkatkan prestasi kerja perlu diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu motivasi, kepuasan kerja, tingkat stres, kondisi fisik karyawanan, sistem kompensasi, aspek-aspek ekonomi, aspek-aspek teknis, dan perilaku lainnya. Menurut Wahyudi (1996) mengatakan bahwa penilaian kinerja bermanfaat untuk: 1. Mengukur prestasi kerja. 2. Mengukur keberhasilan pekerjaan dalam mengikuti program pelatihan dan pengembangan. 3. Mengumpulkan data yang akan dipergunakan bagi perbaikan kerja. 4. Pengembangan dalam mutasi personal dan pemberian insentif. Hansen dan Mowen (1995) membedakan pengukuran kinerja secara tradisional dan kontemporer. Pengukuran kinerja tradisional dilakukan dengan membandingkan kinerja actual dengan kinerja yang dianggarkan atau biaya standar sesuai dengan karakteristik pertanggungjawabannya, sedangkan pengukuran kinerja kontemporer menggunakan aktivitas sebagai pondasinya. Ukuran kinerja dirancang untuk menilai seberapa baik aktivitas dilakukan dan dapat mengidentifikasi apakah telah dilakukan perbaikan yang berkesinambungan. Prinsip-prinsip dalam pengukuran kinerja adalah : a Konsistensi dengan tujuan perusahaan. b Memiliki adaptabilitas pada kebutuhan. c Dapat mengukur aktivitas yang signifikan. d Mudah diaplikasikan. 19 e Akseptabilitas dari atas ke bawah. Kompetensi adalah apa yang dibawa oleh seseorang ke dalam pekerjaannya dalam bentuk jenis dan tingkatan perilaku yang berbeda. Berikut ini adalah sebuah contoh daftar kompetensi yang dipergunakan oleh Standar Chartered (Amstrong, 1997) dalam manajemen kinerja organisasinya: 1. Pengetahuan kerja dan professional; 2. Kesadaran komersial atau konsumen; 3. Komunikasi; 4. Keahlian interpersonal; 5. Kerjasama tim; 6. Inisiatif atau kemampuan beradaptasi; 7. Keahlian-keahlian analitis atau pengambilan keputusan; 8. Produktifitas; 9. Kualitas; 10. Manajemen atau pengawasan; 11. Kepemimpinan. Pada kenyataannya, manajemen kinerja dapat dianggap sebagai suatu daur yang terus-menerus memperbaharui diri sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 2. Proses yang paling efektif adalah memiliki hubungan yang jelas dengan daur perencanaan bisnis. Suatu faktor yang memiliki pengaruh yang besar terhadap keberhasilan pengintegrasian proses tersebut ke dalam proses manajemen sehari-hari. Berikut ini, ilustrasi Daur Manajemen Kinerja (Amstrong, 1997) pada Gambar 2. 20 RENCANA DAN SASARAN ORGANISASI DEPARTEMENTAL DAN TIM KESEPAKATAN KINERJA EVALUASI KINERJA RENCANA KINERJA TINDAKAN MONITOR, UMPAN BALIK SERTA EVALUASI Gambar 2. Daur Manajemen Kinerja (Amstrong, 1994) 2.2.1 Evaluasi Kerja Arep dan Tanjung (2003) menyatakan bahwa faktor-faktor manajerial dan sikap yang diukur dalam menilai prestasi kerja karyawan. Berikut Pengaruh Kinerja Individu dan Kelompok Terhadap Kinerja Perusahaan pada Gambar 3. KINERJA INDIVIDUAL KINERJA KELOMPOK KINERJA ORGANISASI Faktor Kinerja : 1. Pengetahuan 2. Keterampilan 3. Motivasi 4. Peran. Faktor Kinerja : 1. Keeratan tim 2. Kepemimpinan 3. Kekompakan 4. Struktur Tim 5. Peran Tim 6. Norma Faktor Kinerja : 1. Lingkungan 2. Kepemimpinan 3. Struktur Perusahaan 4. Pilihan Strategi 5. Teknologi 6. Kultur Perusahaan 7. Proses Organisasi Gambar 3. Pengaruh Kinerja Individu dan Kelompok Terhadap Kinerja Perusahaan Pada Gambar 3, kinerja individu dipengaruhi oleh faktor-faktor pengetahuan, keterampilan, motivasi dan peran individu yang bersangkutan. Kinerja individu ini akan mempengaruhi kinerja kelompok 21 dan pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja perusahaan. Evaluasi kerja membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan organisasi dan karyawan dengan cara: 1. Memberikan kesempatan kepada manajer untuk mengindikasikan minat dalam pengembangan karyawan. 2. Memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengindikasikan arah dan tingkat ambisi mereka. 3. Menyediakan dorongan bagi karyawan yang telah mencoba untuk bekerja dengan baik. 4. Mengidentifikasikan bidang-bidang dimana pelatihan khusus dibutuhkan atau diinginkan dan tersedia. 5. Menyediakan sarana untuk menyampaikan dan mendokumentasikan ketidakpuasan terhadap kinerja karyawan yang tidak dapat diterima dan upaya-upaya untuk memperbaikinya. Masalah-masalah utama yang timbul dalam pelaksanaan evaluasi kinerja, sebagaimana yang diidentifikasikan oleh Clive Fletchefr (1993), adalah: 1. Mengidentifikasikan kriteria untuk mengevaluasi kinerja. 2. Mengumpulkan informasi yang akurat dan lengkap mengenai kinerja karyawan. 3. Menyelesaikan perselisihan di antara evaluastor dan orang yang dievaluasi. 4. Perilaku defensive dari individu yang dinilai dalam menanggapi kritik. 2.2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Dari beberapa faktor yang mempengaruhi prestasi kerja di atas, faktor-faktor yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah motivasi kerja, kepuasan kerja, kondisi fisik karyawanan, dan kemampuan kerja. Penilaian prestasi kerja, sebagaimana halnya fungsi-fungsi lain dalam perusahaan, memiliki manfaat dan tujuan. Manfaat atau tujuan dari penilaian prestasi kerja atau yang disebut juga penilaian kinerja menurut Mangkuprawira (2002) adalah: 22 1. Perbaikan Kinerja Umpan balik kinerja bermanfaat bagi karyawan, manajer, dan spesialis personal dalam bentuk kegiatan yang tepat untuk memperbaiki kinerja. 2. Penyesuaian Kompensasi Penilaian kinerja membantu pengambil keputusan menentukan siapa yang seharusnya menerima peningkatan pembayaran dalam bentuk upah dan bonus yang didasarkan pada sistem merit (balas jasa). 3. Kesalahan Rancangan Karyawan Kinerja buruk mungkin sebagai sebuah gejala dari rancangan karyawanan yang keliru. Lewat penilaian dapat didiagnosis kesalahankesalahan tersebut. 4. Kesempatan Kerja yang Sama Penilaian kinerja yang akurat yang secara aktual menghitung kaitannya dengan kinerja dapat menjamin bahwa keputusan penempatan internal bukanlah sesuatu yang bersifat diskriminasi. 5. Keputusan Penempatan Promosi, transfer, dan penurunan jabatan biasanya didasarkan pada kinerja masa lalu dan antisipatif , misalnya dalam bentuk penghargaan. 6. Kebutuhan Pelatihan Kinerja buruk mengindikasikan sebuah kebutuhan untuk melakukan pelatihan kembali. Setiap karyawan hendaknya selalu mampu mengembangkan diri. 7. Perencanaan dan Pengembangan Karir Umpan balik kinerja membantu proses pengambilan keputusan tentang karir spesifik karyawan. 8. Defisiensi Proses Penempatan Staf Baik buruknya kinerja berimplikasi dalam hal kekuatan dan kelemahan dalam prosedur penempatan staf di departemen SDM. 9. Ketidakakuratan Informasi Kinerja buruk dapat mengindikasikan kesalahan dalam informasi analisis karyawanan, rencana SDM, atau hal lain dari system manajemen personal. Hal demikian akan mengarah pada ketidaktepatan 23 dalam keputusan menyewa karyawan, pelatihan, dan keputusan konseling. 10. Tantangan-tantangan Eksternal Kadang-kadang kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan karyawanan, seperti keluarga, financial, kesehatan, atau masalahmasalah lainnya. Jika masalah-masalah tersebut tidak diatasi melalui penilaian, departemen SDM mungkin mampu menyediakan bantuannya. 11. Umpan Balik pada SDM Kinerja yang baik dan buruk di seluruh organisasi mengindikasikan bagaimana baiknya fungsi departemen SDM diterapkan. 2.2.3 Penilaian Kinerja Penilaian kinerja (performance appraisal) pada dasarnya merupakan faktor kunci guna mengembangkan suatu organisasi secara efektif dan efisien, karena adanya kebijakan atau program yang lebih baik atas sumber daya manusia yang ada dalam organisasi. Penilaian kinerja individu sangat bermanfaat bagi dinamika pertumbuhan organisasi secara keseluruhan, melalui penilaian tersebut maka dapat diketahui kondisi sebenarnya tentang bagaimana kinerja karyawan. Menurut Bernardin dan Russel (1993) “A way of measuring the contribution of individuals to their organization“. Penilaian kinerja adalah cara mengukur konstribusi individu (karyawan) kepada organisasi tempat mereka bekerja. Sistem penilaian kinerja yang dilakukan oleh atasan atau manajer terhadap bawahannya memiliki unsur-unsur atau kriteria yang mendapat perhatian utama. Menurut Hasibuan (2001), kriteria atau unsur-unsur tersebut meliputi beberapa hal, yaitu: 1 Kesetiaan, penilai mengukur kesetiaan karyawan terhadap pekerjaannya, jabatan dan organisasinya. 2 Prestasi kerja, penilai menilai hasil kerja baik kualitas maupun kuantitas yang dapat digunakan karyawan tersebut dari uraian pekerjaannya. 24 3 Kreativitas, penilai menilai kemampuan karyawan dalam mengembangkan kreativitasnya dalam penyelesaian tugas. 4 Kepemimpinan, penilai menilai kemampuan untuk memimpin, mempunyai pengaruh yang kuat dan dapat memotivasi orang lain atau bawahannya untuk bekerja efektif. 5 Kepribadian, penilai menilai karyawan dari sikap perilaku, kesopanan dan penampilan. 6 Kejujuran, penilai menilai kejujuran dalam melaksanakan tugastugasnya memenuhi perjanjian bagi dirinya sendiri maupun orang lain. 7 Kerjasama, atasan menilai kesediaan karyawan berpatisipasi dan bekerja sama dengan karyawan lainnya. 8 Kedisiplinan, penilai menilai kedisiplinan dalam mematuhi aturanaturan yang ada. 9 Tanggung jawab, penilai menilai kesediaan karyawan dalam mempertanggungjawabkan kebijaksanaannya, pekerjaan dan hasil kerjanya, sarana dan prasarana yang digunakan serta perilaku kerjanya. 10 Prakarsa, penilai menilai kemampuan berpikir orisinil dan berdasarkan inisiatif sendiri untuk menyelesaikan masalah. 11 Kecakapan, penilai menilai kecakapan karyawan dalam menyatukan dan menyelaraskan berbagai macam elemen dalam penyusunan kebijaksanaan. 2.2.4 Metode Penilaian Kinerja Manfaat Penilaian Kinerja Kontribusi hasil-hasil penilaian merupakan suatu yang sangat bermanfaat bagi perencanaan kebijakan organisasi adapun secara terperinci penilaian kinerja bagi organisasi adalah: 1. Penyesuaian-penyesuaian kompensasi. 2. Perbaikan kinerja. 3. Kebutuhan latihan dan pengembangan. 4. Pengambilan keputusan dalam hal penempatan promosi, mutasi, pemecatan, pemberhentian dan perencanaan tenaga kerja. 5. Untuk kepentingan penelitian pegawai. 25 6. Membantu diaknosis terhadap kesalahan desain pegawai. Menurut Rivai (2003), metode atau teknik penilaian kinerja yang dapat digunakan dengan pendekatan yang berorientasi masa lalu dan masa depan, metode-metode tersebut yaitu : 1. Metode Penilaian Berorientasi Masa Lalu Teknik-teknik penilaian kinerja berorientasi masa lalu meliputi : a. Skala Peringkat (Rating Scale) Metode yang paling tua dan banyak digunakan dalam penilaian prestasi kerja, dimana para ahli diharuskan melakukan suatu penilaian yang berhubungan dengan hasil kerja karyawan dalam skala-skala tertentu. b. Metode Peristiwa Kritis (Critical Incident Methode) Metode ini merupakan pemilihan yang mendasarkan pada catatan kritis penilai atas perilaku karyawan. c. Metode Catatan Prestasi Metode ini berkaitan erat dengan metode peristiwa kritis, yaitu catatan penyempurnaan. d. Skala Peringkat Dikaitkan Dengan Tingkah Laku (Behaviorally Anchored Rating Scale=BARS) Metode ini merupakan suatu cara penilaian prestasi kerja karyawan untuk dalam kurun waktu tertentu di masa lalu dengan mengaitkan skala peringkat prestasi kerja dengan perilaku tertentu. e. Pendekatan Evaluasi Komparatif (Comparative Evaluation Approach) Metode ini mengutamakan perbandingan prestasi kerja seseorang dengan karyawan lain yang menyelenggarakan kegiatan sejenis. f. Metode Peninjauan Lapangan (Field Review Methode) Metode ini meletakkan tanggung jawab utama dalam melakukan penilaian pada para ahli penilaian yang bertugas di bagian SDM. 26 g. Tes dan Observasi Prestasi Kerja (Performance Test and Observation) Jenis-jenis pekerjaan tertentu, penilaian karyawan dapat berupa tes dan observasi. 2. Metode Penilaian Berorientasi Masa Depan Metode penilaian masa depan menggunakan asumsi bahwa karyawan tidak lagi sebagai objek penilaian yang tunduk dan tergantung dengan penyelia, tetapi karyawan dilibatkan dalam proses penilaian. Metode-metode ini yaitu : a. Penilaian diri sendiri adalah penilaian yang dilakukan oleh karyawan sendiri dengan harapan karyawan tersebut dapat lebih mengenal kekuatan dan kelemahannya. b. Manajemen berdasarkan sasaran (Management by Obyektive). Manajemen berdasarkan sasaran yang artinya suatu bentuk penilaian dimana karyawan dan penyelia bersama-sama menetapkan tujuantujuan pelaksanaan kerja di waktu yang akan datang. c. Assessment Centers. Suatu prosedur untuk mengukur tingkat pengetahuan, keahlian dan kemampuan seseorang dengan menggunakan beberapa instrumen. 2.3. Hasil Penelitian Terdahulu Tresna (2006) melakukan penelitian mengenai analisis pengaruh quality of work life terhadap motivasi berprestasi karyawan (studi kasus Kantor pusat PT. Pos Indonesia). Tresna menggunakan metode regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; 1) Motivasi berprestasi karyawan PT. Pos Indonesia cenderung baik yang ditunjukkan dengan nilai rataan skor sebesar 4.22 (dalam skala 5) yang berarti bahwa karyawan berada dalam kondisi termotivasi, 2) Kualitas kehidupan kerja karyawan PT. Pos Indonesia cenderung baik, pada urutan pertama adalah partisipasi dalam pemecahan masalah, diikuti oleh sistem imbalan yang inovatis, perbaikan lingkungan kerja, dan terakhir restrukturisasi kerja, 3) Dari hasil analisis regresi linier berganda, diperoleh faktor yang paling berpengaruh terhadap 27 motivasi berprestasi adalah faktor perbaikan lingkungan kerja dengan nilai koefisien korelasi sebesar 2.816. Parameter yang digunakan untuk mengukur motivasi berprestasi berdasarkan tanggung jawab adalah kesediaan untuk melakukan pekerjaan dengan lebih baik, kesediaan untuk menjadi panutan dan kesediaan untuk memperbaiki kesalahan. Thahir (2001) melakukan penelitian mengenai analisis peningkatan motivasi berprestasi karyawan melalui penerapan quality of work life (studi kasus di PT. Indomilk, Jakarta). Hasil penelitiannya dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman adalah faktor-faktor pemberian tanggung jawab, kepercayaan, perhatian, koreksi dan desain pekerjaan memiliki hubungan yang kuat dengan motivasi berprestasi karyawan. Responden merasa QWL penting untuk motivasi berprestasi, namun perusahaan belum mengimplementasikan QWL dalam suatu program yang formal, sehingga motivasi berprestasi responden belum dicapai secara maksimal. Secara umum, faktor QWL yang dikaji memliki hubungan nyata dengan motivasi berprestasi karyawan Departemen Produksi SCM Sachet dab Bulk PT. Indomilk dengan kekuatan pengaruhnya sebagai berikut : kerjasama dalam tim, desain pekerjaan partisipatif, quality circle, supervisi yang demokratis, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan gain-sharing atau profitsharing. Artinya, bilamana penerapan QWL sesuai faktor-faktor pengukur, maka diduga dapat meningkatkan motivasi berprestasi karyawan. Berdasarkan kajian terdahulu, maka didapatkan fokus penelitian ”Pengaruh Faktor-Faktor Quality Of Work Life Terhadap Peningkatan Kinerja Karyawan Pada Bank Tabungan Negara (Persero)” adalah mengetahui persepsi karyawan terhadap peningkatan kinerja dan QWL, menganalisa faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan kinerja karyawan dan menganalisa besarnya QWL terhadap peningkatan kinerja pada sebuah perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang saat ini berada dalam persaingan kompetitif sehingga dituntut untuk membenahi sumber daya yang dimilikinya agar dapat bertahan menghadapi persaingan.