BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkebunan Kelapa Sawit Kelapa sawit (Elaeis) adalah tumbuhan industri paling penting penghasil minyak masak di industri maupun bahan bakar (biodiesel). Pengembangan kelapa sawit di Indonesia dimulai sejak 1970 dan mengalami pertumbuhannya yang cukup pesat terutama periode 1980- an. Pada tahun 1980 areal kelapa sawit hanya seluas 294 Ha dan terus meningkat dengan pesat sehingga pada tahun 2009 mencapai 7,32 juta Ha, dengan rincian 47,81 berupa perkebunan besar swasta (PBS), 43,76% perkebunan rakyat (PR), dan 8, 43% perkebunan besar negara (PBN). Dengan luas areal tersebut, Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar di dunia. Pada tahun 2009, produksi minyak sawit Indonesia mencapai 20,6 juta ton, diikuti Malaysia pada urutan kedua dengan produksi 17,57 juta ton. Sebagian besar hasil produksi minyak sawit di Indonesia mencapai 80% dari total produksi. Negara tujuan utama ekspor kelapa sawit Indonesia adalah India dengan pangsa pasar sebesar 33%, Cina sebesar 13% dan Belanda 9% dari total ekspor kelapa sawit Indonesia ( Sitepu, 2013). Tabel.1 Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit 2.549.572 Perkebunan Besar Negara (Ha) 687.428 Perkebunan Besar Swasta (Ha) 3.357.914 2007 2.752.172 606.248 3.408.416 6.766.836 2008 2.881.898 602.963 3.878.986 7.363.847 2009 3.061.413 630.512 4.181.368 7.873.294 2010*) 3.077.629 637.485 4.321.317 8.430.027 2011**) 3.090.407 643.952 4.465.809 8.036.431 Tahun Perkebunan Rakyat (Ha) 2006 *) Angka Sementara **) Angka Estimasi Sumber : Sitepu, 2013 4 Total Nasional (Ha) 6.594.914 2.2 Limbah Kelapa Sawit Limbah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia, maupun proses alam dan tidak atau belum mempunyai nilai ekonomi. Aktivitas pengolahan pada pabrik kelapa sawit menghasilkan dua jenis limbah, antara lain limbah padat dan limbah cair. Limbah POME didapatkan dari tiga sumber yaitu air kondenstat dari proses sterilisasi, sludge dan kotoran, serta air cucian hidrosiklon. Limbah pada pabrik kelapa sawit terdiri dari limbah padat, cair dan gas. Limbah cair yang dihasilkan pabrik pengolah kelapa sawit ialah air kondensat, air cucian pabrik, air hidrocyclone atau claybath. Jumlah air buangan tergantung pada sistem pengolahan, kapasitas olah dan keadaan peralatan klarifikasi. Proses produksi minyak kelapa sawit kasar dari tandan buah segar kelapa sawit terdiri dari beberapa tahapan proses seperti sterilisasi buah, perontokan, pelumatan, pengepresan buah, purifikasi dan klarifikasi hal ini dikarekanan buah kelapa sawit terdiri dari beberapa bagian yaitu sabut, tempurung, dan inti atau kernel. Pengolahan tandan buah segar sampai diperoleh minyak kelapa sawit kasar (CPO=crude palm oil) dan inti sawit dilaksanakan melalui proses yang cukup panjang. Tahapan produksi minyak kelapa sawit secara berurutan terdiri atas pengangkutan buah ke pabrik, perebusan buah (sterilisasi), pelepasan buah dari tandan (stripping), pelumatan buah (digesting), pengeluaran minyak (pengepresan), penyaringan, pemurnian dan penjernihan minyak (klarifikasi), dan pengolahan biji (Agustine, 2011). Minyak kelapa sawit mentah diturunkan dari mesocarpus tandan buah segar (TBS). Pemanasan (steam-heat) TBS dilakukan menggunakan sterilizer horizontal pada tekanan 3 kg/cm3 dan suhu 1400C selama 75-90 menit (Lang, 2007). Setelah dilakukan sterilisasi, TBS dimasukkan ke dalam rotary drum stripper (thresser) dimana TBS dipisahkan dari sprikelet (tandan kosong). Tandan buah segar kemudian dilumatkan dalam digester di bawah kondisi pemanasan uap dengan kisaran suhu 900C. Baling- baling kembar penekan (twin screw presses) biasanya digunakan untuk mengeluarkan minyak dari buah yang telah dilumatkan di bawah tekanan tinggi. 5 Proses ekstraksi minyak yang tidak lengkap dapat meningkatkan effluent chemical oxygen demand (COD). Minyak kelapa sawit mentah secara langsung dibawa ke tangki pemurni (clarification tank) dan suhu dipertahankan sekitar 900C untuk memperbesar pemisahan minyak. Minyak yang sudah dimurnikan selanjutnya dilewatkan melalui pemusing (centrifuge) berkecepatan tinggi dan vakum pengering (vacuum dryer) sebelum penyimpanan. Minyak berserat dan biji dari pengepresan (press cake) dibawa ke pemisah biji dan serat dengan arus udara kuat disebabkan oleh kipas penghisap (suction fan). Kemudian, biji dibawa ke nut cracker dan selanjutnya ke hydrocyclon untuk memisahkan cangkang dari kernel. Kernel tersebut dikeringkan sampai kelembabannya di bawah 7% untuk mencegah pertumbuhan kapang sehingga dapat memperpanjang waktu simpan (Lang, 2007). 2.3 Palm Oil Mill Effluent (POME) Palm oil mill effluent atau limbah cair pabrik kelapa sawit merupakan salah satu limbah agroindustri yang paling sering menyebabkan polusi. Limbah ini memiliki konsentrasi yang tinggi dan berwarna coklat pekat. Limbah cair kelapa sawit (POME) mengandung berbagai senyawa terlarut, termasuk seratserat pendek, hemiselulosa dan turunannya, protein, asam organik bebas dan campuran mineral-mineral. Limbah cair kelapa sawit bersuhu tinggi, berwarna kecoklatan, mengandung padatan terlarut dan tersuspensi berupa koloid dan residu minyak dengan BOD (biological oxygen demand) dan COD (chemical oxygen demand) yang tinggi (Zahara, 2014). Selain itu, Limbah cair kelapa sawit merupakan limbah berwarna kuning dan bersifat asam dengan sifat pencemar tertinggi, dengan rata-rata 25.000 mg/l Biochemical Oxygen Demand (BOD), 55250 mg/l Chemical Oxygen Demand (COD) dan 19610 mg/l Suspended Solid (SS) (Zahara, 2014). Limbah cair kelapa sawit memiliki komposisi dan konsentrasi dari protein, komponen nitrogen, lemak, dan mineral. Lemak adalah satu dari polutan organik utama yang terdapat dalam limbah cair kelapa sawit. Karakteristik POME dapat dilihat pada tabel 2. 6 Tabel 2. Karakteristik Palm Oil Effluent (POME) Tanpa Perlakuan Parameter pH Temperatur BOD 3 hari, 300C COD Total Solid Suspended Solids Total Volatile Solids Amonical-Nitrogen Total Nitrogen Phosporus Potassium Magnesium Kalsium Boron Iron Manganese Copper Zinc Konsentrasi* 4,7 80-90 25.000 50.000 40.500 18.000 34.000 35 750 18 2.270 615 439 7,6 46,5 2,0 0,89 2,3 *Seluruh parameter dalam mg/L kecuali pH dan temperatur (0C) Sumber : Lang, 2007 Pengolahan tandan buah segar menghasilkan dua bentuk limbah cair, yaitu air kondensat dan effluent. Air kondensat biasa digunakan sebagai umpan boiler untuk mengoperasikan mesin pengolahan kelapa sawit. Efflluent yang banyak mengandung unsur hara dimanfaatkan sebagai bahan pengganti pupuk anorganik. Air limbah yang dihasilkan dari proses produksi CPO ini adalah pada proses pemanasan dan sterilisasi, TBS diolah secara sterilisasi uap dengan tekanan uap 2,5- 3,0 kg/cm2, suhu 135- 1400 C selama 90- 100 menit. Pertama dihasilkan air limbah drain (kondensat) dari setiap proses memakai sterilizer di proses ini. Pada proses ekstraksi berikutnya, CPO diperas dengan memasukkan bahan baku ke dalam screw press. Pada proses omo, adakalanya air yang mengandung minyak merembes keluar dari berbagai fasilitas. Pada proses purifikasi CPO ditambahkan air pemanas bersuhu 900 C, lalu CPO dimurnikan dengan mengekstrak zat pengotor di dalam CPO ke sisi lapisan air pemanas. Dari proses ini, kandungan minyak yang ada di dalam air limbah panas berkisar 1%. Setelah itu, minyak yang telah dikumpulkan melalui pengutip minyak dikembalikan ke proses pemisahan 7 minyak dan air masih mengandung minyak, karena itu selain dari kandungan minyak terpisah mengapung pada tangki adjusting, kandungan padatan juga akan mengendap. Air limbah yang kandungan minyaknya telah dipisahkan dialirkan ke proses pengolahan air limbah (Studi Kebijakan bersama Indonesia-Jepang, 2013). Sedangkan, teknik pengolahan limbah cair yang biasanya diterapkan di pabrik kelapa sawit sebelum dialirkan ke sungai atau direduksi ke kebun kelapa sawit sebagai land application, ditunjukan pada gambar 1. Metode Lumpur Aktif Air Limbah Pemisahan Minyak dan air Kolam Anaerob Kolam Oksidasi Teknik kolam stabil biologi, sistem lagoon Dialirkan ke sungai Land Application Sumber : Studi Kebijakan bersama Indonesia- Jepang, 2013 Gambar 1. Alur Pengolahan Limbah Cair Kelapa Sawit yang Umum A. Pengolahan Metode Kolam Stabil Biologis Teknik pengolahan yang dipakai pada umumnya adalah pengolahan memakai metoda kolam stabil biologis, sistem lagoon. Teknik- teknik ini memakai beberapa kolam dengan luas 1- beberapa hektar, kedalmaan 3-5 meter. Secara sekilasi, air limbah dengan kadar minyak tinggi dari pabrik PKS diarahkan mengalir ke kolam anaerob. Bagian dalam kolam anaerob berada pada kondisi anaerob, fermentasi metan akan terjadi. Sebagai hasilnya, zat organik diuraikan menjadi gas karbon dan metan, sehingga konsentrasi zat organik di dalam air limbah turun sampai level tertentu. Setelah itu, mengalirkan air luapan yang mengandung suspended solid dari kolam oksida ke kolam endap, kemudian mengendapkan kandungan suspended solid dan akhirnya mengalirkan ke sungai. Di sebagian pabrik, air luapan kolam oksida diolah pada tangki lumpur aktif, lalu dialirkan ke sungai. Contoh alur metoda kolam stabil biologis yang aktual diperlihatkan pada gambar 2. 8 Air Limbah Cooling Tower Kolam Anaerob III Kolam Adjusting I Kolom Seeding Kolam Anaerob II Kolam anaerob I Kolam Anaerob IV Kolam Endap I Kolam Adjusting II Kolam Aerob II Kolam Endap II Kolam Endap III Sumber : Studi kebijakan bersama Indonesia-Jepang, 2013 Gambar 2. Contoh Alur Pengolahan Kolam Stabil Biologis yang Aktual Pencemaran lingkungan akibat limbah cair dapat diatasi degan cara mengendalikan limbah cair tersebut secara biologis. Pengendalian secara biologis tersebut dapat dilakukan dengan bakteri anaerob (Agustine, 2011). Limbah cair industri pengolahan kelapa sawit memiliki potensi sebagai pencemar lingkungan karena mengandung parameter bermakna yang cukup tinggi. Golongan parameter yang dapat digunakan sebagai parameter penelitian kualitas air, antara lain: (1) biological oxygent demand (BOD) yang merupakan kadar senyawa organik yang dapat dibiodegradasi dalam limbah cair, (2) chemical oxygent demand (COD) yang merupakan jumlah oksigen yang setara dengan bahan organik yang dapat dioksidasi secara kimia (Zeeman et al, 2003), (3) total organic carbon (TOC) dan total oxygent deman (TOD) yang merupakan ukuran untuk kandungan senyawa organik keseluruhan, (4) padatan tersuspensi dan teruapkan (suspended and volatile solids), (5) kandungan padatan keseluruhan, (6) pH alkalinitas dan keasaman, (7) kandungan nitrogen dan fosfor, dan (8) kandungan logam berat. 9 B. Prosedur Pengolohan Limbah Cair Prosedur pengolahan limbah cair kelapa sawit ini diambil dari PT. Mitra Ogan, 2015. Proses pengolahan limbah cair kelapa sawit diolah menggunakan pond. Prosedur pengolahan limbah cair ini meliputi : Pendinginan Limbah cair yang telah dikutip minyaknya pada oil trap (fat pit) mempunyai karakteristik pH 4 – 4,5 ; suhu 60 – 80 oC sebelum limbah dialirkan ke kolam pengasaman (acidification pond) suhunya diturunkan menjadi 40 – 45 o C agar bakteri mesophilik dapat berkembang dengan baik. Proses pendinginan ini dilakukan didalam cooling pond dapat dilihat pada gambar. Gambar 3. Cooling Pond Pengasaman Setelah dari kolam pendingin limbah akan mengalir ke kolam pengasaman yang lebih berfungsi sebagai proses pra kondisi bagi limbah sebelum masuk ke kolam anaerobic. Pada kolam ini, limbah akan dirombak menjadi VFA (Volatile Fatty Acid). Kolam pengasaman dilampirkan dalam bentuk gambar berikut : 10 Gambar 4. Accidification Pond Resirkulasi Resirkulasi dilakukan dengan mengalirkan cairan dari kolam anaerobic yang terakhir ke saluran masuk kolam pengasaman yang bertujuan untuk menaikkan pH dan membantu pendinginan. Pembiakan Bakteri Bakteri yang akan digunakan dalam proses anaerobic pada awalnya dipelihara dalam suatu tempat yang bertujuan untuk memulai pembiakan bakteri. Di dalam pembiakan awal perlu ditambahkan nutrisi yang merupakan sumber energi dalam metabolisme bakteri seperti urea, phosphate dan limbah yang telah diencerkan. Setelah bakteri menunjukkkan perkembangan dengan indikasi timbulnya gelembung-gelembung gas (biasanya 2 – 4 hari), bakteri tersebut dimasukkan ke kolam pembiakan yang sebelumnya telah diisi dengan limbah matang (telah melalui proses pengasaman dan netralisasi dengan pH > 7) dan selanjutnya dialirkan ke kolam anaerobic. Proses Anaerobik Dari kolam pengasaman limbah akan mengalir ke kolam anaerobic primer. Karena pH dari kolam pengasaman masih rendah, maka limbah harus dinetralkan dengan cara mencampurkannya dengan limbah keluaran (pipa outlet) dari kolam 11 anaerobic. Bersamaan dengan ini, bakteri anaerobic yang aktif akan membentuk asam organic dan CO2. Selanjutnya bakteri metahe (Metanogenic Bacteria) akan merubah asam organic menjadi methane dan CO2. BOD limbah pada kolam anaerobic primer masih cukup tinggi maka limbah diproses lebih lanjut pada kolam anaerobic sekunder. Kolam anaerobic sekunder dikatakan beroperasi dengan baik jika setiap saat nilai parameter utamanya berada pada tetapan di bawah ini : pH 6–8 VFA < 300 mg/l Alkalinitas > 2000 mg/l BOD limbah setelah keluar dari kolam anaerobic sekunder maksimum 3500 mg/l dan minimal pH 6. Proses Anaerobik ini dapat dilihat pada gambar. Gambar 5. Anaerob Pond Proses Fakultatif Proses yang terjadi pada kolam ini adalah proses penon-aktifan bakteri anaerobic dan prakondisi proses aerobic. Aktivitas ini dapat diketahui dengan indikasi pada permukaan kolam tidak dijumpai scum dan cairan tampak kehijauhijauan.Proses fakultatif ini dilakukan didalam sedimentasi pond yang terlihat pada gambar berikut : 12 Gambar 6. Sedimentasi Pond Proses Aerobik Proses yang terjadi pada kola aerobic adalah proses aerobic. Pada kolam ini telah tumbuh ganging dan mikroba heterotrof yang berbentuk flocs. Hal ini merupakan proses penyediaan oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba dalam kolam. Metode pengadaan oksigen dapat dilakukan secara alami dan atau menggunakan aerator. Gambar 7. Anaerob Pond (Sirk) Masa Tinggal Dari seluruh rangkaian proses tersebut di atas, masa tinggal limbah selama proses berlangsung mulai kolam pendingin sampai air dibuang ke badan penerima membutuhkan waktu masa tinggal selama lebih kurang 120-150 hari. 13 2.3 Kotoran Sapi Kotoran ternak merupakan bahan baku potensial dalam pembuatan biogas karena mengandung pati dan ligniselulosa (Dublein et al., 2008). Biasanya, kotoran ternak dimanfaatkan sebagai pupuk dan sisanya digunakan untuk memproduksi gas metana menggunakan proses anaerob. Salah satu ternak yang kotorannya biasa dimanfaatkan sebagai pupuk dan bahan baku biogas adalah sapi. Kotoran sapi adalah biomassa yang mengandung karbohidrat, protein dan lemak. Drapcho et al (2008) berpendapat bahwa biomassa yang mengandung karbohidrat tinggi akan menghasilkan gas metana yang rendah dan CO2 yang tinggi, jika dibandingkan dengan biomassa yang mengandung protein dan lemak dalam jumlah yang tinggi. Secara teori, produksi metana yang dihasilkan dari karbohidrat, protein dan lemak berturut- turut adalah 0,37; 1,0; 0,58 m3 CH4/kg bahan kering organik. Kotoran sapi mengandung ketiga unsur bahan organik tersebut sehingga dinilai lebih efektif untuk dikonversi menjadi gas metana (Drapcho et al, 2008). Kotoran sapi adalah limbah dari usaha peternakan sapi yang bersifat padat dan dalam proses pembuangannya sering bercampur dengan urin dan gas, seperti metana dan amoniak. Kandungan unsur hara dalam kotoran sapi bervariasi tergantung pada keadaan tingkat produksinya, jenis, jumlah konsumsi pakan, serta individu ternak sendiri (Abdulgani, 1988). Kandungan unsur hara kotoran sapi, terdiri dari atas nitrogen (0,29%), P2O5 (0,17%) dan K2O (0,35%) (Agustine, 2011). Kotoran sapi yang tinggi kandungan hara dan energinya berpotensi untuk dijadikan bahan baku penghasil biogas (Sucipto, 2009). 2.4 Biogas Biogas merupakan salah satu produk hasil biokonversi dari bahan organik. Biokonversi adalah sebuah proses yang mampu mengubah bahan organik menjadi produk lain yang berguna dan memiliki nilai tambah dengan memanfaatkan proses biologis dari mikroorganisme dan enzim (Sucipto, 2009). Kotoran sapi yang tinggi kandungan hara dan energinya berpotensi untuk dijadikan bahan baku penghasil biogas. Biogas adalah campuran berbagai macam gas yang susunannya 14 tergantung pada komposisi bahan baku masukan. Sahidu (1983) dalam laporan skripsi Sucipto tahun 2009 mengungkapkan bahwa biogas adalah suatu campuran gas-gas yang dihasilkan dalam suatu proses pengomposan bahan organik oleh bakteri dalam keadaan tanpa oksigen (proses anaerob). Definisi lain menyebutkan bahwa biogas adalah campuran beberapa gas yang tergolong bahan bakar hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob dan gas yang dominan adalah metana (CH4) dan karbondioksida (CO2) (Sucipto, 2009). Biogas merupakan energi terbarukan yang fleksibel, dapat menghasilkan panas, dan listrik sebagai pengganti bahan bakar kendaraan. Selain berupa energi terbarukan, proses perombakan anaerob menghasilkan pupuk berharga dan mengurangi emisi serta bau yang tak sedap. Biogas bersifat bersih, tidak berasap hitam seperti kayu bakar dan minyak tanah. Selain itu derajat panasnya lebih tinggi dari bahan bakar minyak tanah dan kayu bakar serta dapat disimpan untuk penggunaan yang akan datang (Sucipto, 2009). Produksi biogas didasarkan pada perombakan anaerob kotoran hewan dan bahan buangan organik lainnya. Selama perombakan anaerob akan menghasilkan gas metana 54-70 %, karbondioksida 2545 %, hidrogen, nitrogen, dan hidrogen sulfida dalam jumlah yang sedikit (Sucipto, 2009) seperti yang terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi Biogas Komponen % Metana (CH4) Karbon Dioksida (CO2) Nitrogen (N2) Hidrogen (H2) Hidrogen Sulfida (H2S) Oksigen (O2) 55-75 25-45 0-0,3 1-5 0-3 0,1-0,5 Sumber :Sitepu, 2013 2.5 Proses Pembentukan Biogas Menurut Fauziah (1998) dalam laporan skripsi Agustine (2011) proses pembentukan biogas dilakukan secara anaerob. Bakteri merombak bahan organik menjadi biogas dan pupuk organik. Proses pelapukan bahan organik ini dilaukan 15 oleh mikroorganisme dalam proses fermentasi anaerob (Agustine, 2011). Reaksi pembentukan biogas dapat dilihat pada gambar 4. Bahan organik + H2O Mikroorganisme Anaerob CH4 + CO2 + H2 + NH3 + H2S + sludge Gambar 8. Reaksi Pembentukan Biogas Proses pembentukan biogas ini memerlukan instalasi khusus yang disebut digester agar perombakan secara anaerobic dapat berlangsung dengan baik. Dalam laporan skripsi Agustine (2011), Barnett et al. (1978) menyatakan bahwa terdapat tiga keuntungan dari instalansi penghasil biogas, yaitu: (1) penggunaan bahan bakar lebih efisien, (2) menambah nilai pupuk, dan (3) menyehatkan lingkungan. selain itu, teknologi biogas memiliki beberapa keuntungan, antara lain: (1) sebagai sumber energi yang aman, (2) stabilisasi limbah, (3) meningkatkan unsur hara, dan (4) menginaktifkan bakteri patogen (Agustine, 2011). Proses perombakan bahan organik secara anaerob yang terjadi di dalam digester, terdiri atas empat tahapan proses yaitu hidrolisis, fermentasi (asidogenesis), asetogenesis dan metanogenesis. A. Hidrolisis Hidrolisis merupakan langkah awal untuk hampir semua proses penguraian dimana bahan organik akan dipecah menjadi bentuk yang lebih sederhana sehingga dapat diurai oleh bakteri pada proses fermentasi (Deublein et al. 2008). Dalam proses hidrolisis, molekul-molekul kompleks seperti karbohidrat, lemak, dan protein dihidrolisis menjadi gula, asam lemak dan asam amino oleh enzim ekstraselular dari bakteri fermentatif (Ahmad dkk., 2011). Pada tahap hidrolisis, bahan organik padat maupun yang mudah larut berupa molekul besar dihancurkan menjadi molekul kecil agar molekul-molekul tersebut larut dalam air. Bakteri yang berperan dalam tahap hidrolisis ini adalah sekelompok bakteri anaerobik. Proses hidrolisis karbohidrat membutuhkan waktu beberapa jam, sedangkan hidrolisis pada protein dan lemak memerlukan waktu beberapa hari. 16 B. Asedogenesis Pada tahap ini produk yang telah dihidrolisa dikonversikan menjadi asam lemak volatil (VFA), alkohol, aldehid, keton, amonia, karbondioksida, air dan hidrogen oleh bakteri pembentuk asam. Asam organik yang terbentuk adalah asam asetat, asam propionat, asam butirat dan asam valeric. Asam lemak volatile dengan rantai lebih dari empat-karbon tidak dapat digunakan langsung oleh metanogen (Lang, 2007). Reaksi asidogenesis dapat di lihat di bawah ini: C6H12O6 CH3CH2CH2COOH + 2 CO + 2 H2 (glukosa) (asam butirat) C6H12O6+ 2 H2 H3CH2COOH (glukosa) + 2 H2O (asam propionat) Sumber: Lee, 2011 Gambar 9. Reaksi Asidogenesis Asidifikasi sangat dipengaruhi oleh suhu sesuai dengan hukum Arrhenius, namun suhu termofilik yang mengakibatkan kematian sel dan biaya energi yang lebih tinggi dapat mengakibatkan suhu sub-optimal yang lebih baik (Broughton, 2009). C. Asetogenesis Produk yang terbentuk selama asetogenesis disebabkan oleh sejumlah mikroba yang berbeda, misalnya, Syntrophobacter wolinii dekomposer propionat dan Wolfei sytrophomonos dekomposer butirat dan pembentuk asam lainnya adalah Clostridium spp, Peptococcus anerobus, Lactobacillus, dan Actinomyces (Mahdalena, 2014). Asam lemak volatil dengan empat atau lebih rantai karbon tidak dapat digunakan secara langsung oleh metanogen. Asam-asam organik ini dioksidasi terlebih dahulu menjadi asam asetat dan hidrogen oleh bakteri asetogenik penghasil hidrogen melalui proses yang disebut asetogenesis. Asetogenesis juga temasuk pada produksi asetat dari hidrogen dan karbon dioksida oleh asetogen dan homoasetogen. Kadang-kadang proses asidogenesis dan asetogenesis dikombinasikan sebagai satu tahapan saja. Reaksi asetogenesis dapat dilihat di bawah ini: 17 CH3CH2COOH CH3COOH + CO2 + 3 H2 (asam propionat) (asam asetat) CH3CH2CH2COOH 2CH3COOH + 2 H2 (asam butirat) (asam asetat) Sumber: Lang, 2007 Gambar 10. Reaksi Asetogenesis Pada tahap asetogenesis, sebagian besar hasil fermentasi asam harus dioksidasi di bawah kondisi anaerobik menjadi asam asetat, CO2, dan hidrogen yang akan menjadi substrat bakteri metanogen. Bakteri pembentuk oksidasi ini adalah bakteri syntrofik atau bakteri asetogen atau mikroba obligat pereduksi proton. Salah satunya adalah asam propionat akan dioksidasi oleh bakteri Syntrophobacter wolinii menjadi produk yang digunakan oleh bakteri metanogen dalam pembentukan gas metana. Saat bakteri asetogen memproduksi asetat, hidrogen akan ikut terbentuk. Jika terjadi akumulasi pembentukan hidrogen dan tekanan hidrogen, hal ini akan mengganggu aktivitas bakteri asetogen dan kehilangan produksi asetat dalam jumlah besar. Oleh karena itu, bakteri asetogen mempunyai hubungan simbiosis dengan bakteri pembentuk metana yang menggunakan hidrogen untuk memproduksi metana. Hubungan simbiosis ini akan mempertahankan konsentrasi hidrogen pada tahap ini tetap rendah, sehingga bakteri asetogen dapat bertahan (Broughton, 2009 dalam skripsi Mahdalena, 2014). D. Metanogenesis Metanogenesis merupakan langkah penting dalam seluruh proses digestasi anaerobik, karena proses reaksi biokimia yang paling lambat. Metanogenesis ini sangat dipengaruhi oleh kondisi operasi. Komposisi bahan baku, laju umpan, temperatur, dan pH adalah contoh faktor mempengaruhi proses pembentukan gas metan. Digester over 18 yang loading, perubahan suhu atau masuknya besar oksigen dapat mengakibatkan penghentian produksi metana (Dueblein et al, 2008). Pada akhirnya gas metana diproduksi dengan dua cara. Pertama adalah mengkonversikan asetat menjadi karbon dioksida dan metana oleh organisme asetropik dan cara lainnya adalah dengan mereduksi karbon dioksida dengan hidrogen oleh organisme hidrogenotropik. Berikut ini adalah reaksi utama (reaksi metanogenesis) yang terlibat dalam konversi substrat menjadi metana dapat dilihat pada gambar 6. CH3COOH CH4 + CO2 (dekarboksilasi asetat) 4CO2 + H2 CH4 + CO2 (reduksi CO2) Gambar 11. Reaksi Pembentukan Metana (CH4) Biogas terbentuk dari perombakan bahan organik kompleks. Bahan ini akan mengalami perombakan secara anaerob melalui empat tahap. Tahapan berikut dapat dilihat secara lengkap pada gambar 12. Sumber : (Grady et al., 1999) dalam Agustine, 2011 Gambar 12. Skema Proses Perombakan secara Anaerob 19 Metanogen yang dominan pada proses ini adalah Methanobacterium, Methanothermobacter, Methanobrevibacter, Methanosarcina dan Methanosaeta (Lang, 2007). Substrat metanogen termasuk asetat, metanol, hidrogen, karbon dioksida, format, metanol, karbon monoksida, methylamines, metil merkaptan, dan logam berkurang. Dalam kebanyakan ekosistem non-gastrointestinal 70% atau lebih dari metana yang terbentuk berasal dari asetat, tergantung dari jenis organik (Broughton, 2009) dan 30% oleh mengkonsumsi hidrogen (Lu, 2006). Hanya ada dua kelompok yang dikenal metanogen yang memecah asetat: Methanosaeta dan Methanosarcina, sementara ada banyak kelompok yang berbeda dari metanogen yang menggunakan gas hidrogen, termasuk Methanobacterium, Methanococcus, Methanogenium dan Methanobrevibacter. Methanosaeta dan Methanosarcina memiliki tingkat pertumbuhan yang berbeda dan juga berbeda mengenai kemampuan mereka untuk memanfaatkan asetat. Methanosarcina tumbuh lebih cepat, tetapi menemukan kesulitan untuk menggunakan asetat pada konsentrasi rendah, dibanding Methanosaeta. Namun, kehadiran organisme ini dipengaruhi tidak hanya oleh konsentrasi asetat, tetapi juga oleh faktor-faktor seperti beban frekuensi dan pencampuran. Karena produsen metana umumnya tumbuh sangat lambat, hal ini sering tahap membatasi laju dari proses biogas (Schnurer, 2009). 2.7 Parameter dalam Proses Fermentasi Anaerob Untuk dapat mengetahui beberapa faktor yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan dalam suatu reaksi fermentasi anaerob dalam pembentukan gas metana, diperlukan pengamatan beberapa parameter untuk menganalisa faktorfaktor tersebut diantaranya adalah sebagai berikut: 2.7.1 Nilai pH Konsentrasi ion-hidrogen merupakan kualitas parameter yang penting di dalam limbah cair. Konsentrasi dari pH dapat diartikan sebagai eksistensi dari kehidupan mikroba di dalam limbah cair (biasanya pH diantara 6 sampai 9). Limbah cair mempunyai konsentrasi pH yang sulit diatur karena adanya proses pengasaman pada limbah cair. pH mempunyai arti yang sangat penting 20 di dalam pengolahan limbah cair karena dari pH kita dapat mengetahui kondisi mikroba yang ada di dalam limbah cair (Zahara, 2014). Tingkat pH memberikan pengaruh terhadap aktivitas enzim di dalam mikroorganisme, setiap enzim hanya dapat aktif pada rentang pH tertentu dan mempunyai aktivitas maksimum pada pH optimal. Setiap kelompok mikroorganisme mempunyai perbedaan rentang pH optimal. Methanogenic archea dapat berfungsi dalam batas interval dari 5,5-8,5 dengan range optimal 6,5-8,0. Bakteri fermentatif dapat berfungsi pada rentang yang luas dari 8,5 menurun hingga pH 4 (Zahara, 2014). Untuk mendapatkan kondisi optimum pada produksi biogas, dimana bakteri yang berperan adalah penghasil metan, nilai pH untuk campuran umpan di dalam digester harus diantara 6 dan 7. Setelah stabilisasi dari proses fermentasi pada kondisi anaerobik, nilai pH akhir harus diantara 7,2 dan 8,2. Untuk memberikan efek penyangga dari penambahan konsentrasi ammonium. Ketika jumlah asam organik yang diproduksi besar pada permulaan fermentasi, pH di dalam digester mungkin menurun sampai 5. Saat digester mempunyai konsentrasi asam volatil yang tinggi, proses fermentasi metan akan terhambat bahkan terhenti. pH yang rendah (dibawah 6, 5) akan memberikan efek racun pada bakteri metanogenik (Zahara, 2014). Oleh karena itu, perlu adanya penambahan natrium bikarbonat (NaHCO3) yang berfungsi untuk menyangga pH. 2.7.2 Suhu Suhu merupakan salah satu faktor yang menentukan keberlangsungan hidup mikroorganisme anaerobik. Suhu tidak terlalu berpengaruh pada terjadinya proses hidrolisis. Hal ini karena bakteri pada proses hidrolisis tidak terlalu peka terhadap perubahan suhu (Gerardi, 2003). Suhu optimal untuk bakteri pembentuk asam yaitu 32-42 0C (mesophilik) dan 48-55 0C (thermophilik), sedangkan bakteri metanogenik kebanyakan hidup pada suhu mesofil dan sebagian kecil lainnya hidup pada suhu thermophil. Selain itu, terdapat beberapa bakteri yang mampu memproduksi metana pada suhu rendah (0,6- 1,2 0C). Bakteri metanogenik sangat 21 sensitif terhadap perubahan suhu. Bakteri metanogenik yang hidup pada suhu thermofil lebih sensitif terhadap perubahan suhu jika dibandingkan dengan bakteri metanogenik mesophil. Oleh karena itu, suhu harus dijaga tidak lebih dari 2 0C (Deublein et al., 2008). Penjagaan suhu digester agar tetap konstan ini didukung oleh pernyataan Price dan Cheremisinoff (1981) yang menyebutkan bahwa produksi gas pada proses perombakan secara anaerobik dapat berlangsung pada kisaran suhu 4-600C jika suhu konstan dan apabila terjadi fluktuasi suhu maka proses akan terganggu. Selanjutnya Price dan Cheremisinoff (1981) berpendapat bahwa, walaupun digester yang lama dari digester dengan suhu mesofil, namun produksi gas, kualitas, dan parameter lain dari kestabilan proses dinilai menguntungkan. Selain itu, digester dengan suhu rendah ini dapat dijadikan altenatif pembuatan biogas di daerah beriklim tropis. Suhu tidak hanya mempengaruhi aktivitas bakteri pembentuk metana tetapi juga mempengaruhi aktivitas bakteri pembentuk asam volatile. Fluktuasi suhu dapat menguntungkan salah satu kelompok bakteri, namun merugikan bakteri kelompok lain. Contohnya, peningkatan suhu sebesar 100C dapat menghentikan produksi metana atau aktivitas bakteri pembentuk metana selama 12 jam, sedangkan pada kondisi yang sama terjadi peningkatan asam volatil. Perubahan aktivitas pada bakteri pembentuk asam volatil akan berpengaruh pada jumlah asam organik dan alkohol yang dihasilkan pada proses fermentasi. Asam organik dan alkohol ini digunakan sebagai substrat bagi bakteri pembentuk metana, sehingga akan mempengaruhi performa digester (Gerardi, 2003). 2.7.3 Rasio C/N Rasio C/N memiliki peranan penting dalam proses pembentukan metana dari bahan biomasa seperti limbah cair kelapa sawit (POME) karena mempengaruhi langsung terhadap pertumbuhan bakteri pembentuk metana. Dimana rasio C/N ini mengindikasikan jumlah nutrisi atau makanan yang dibutuhkan oleh bakteri untuk aktif menguraikan substrat berupa zat organik. Kebutuhan nutrisi sangat rendah seharusnya dari yang sebenarnya dalam proses anaerobic tidak banyak biomasa yang dimasukkan, oleh karena itu untuk 22 pembentukan metana kebutuhan perbandingan nutrisi yaitu C:N:P:S adalah 5001000:15-20:5:3 atau rasio bahan organis adalah COD:N:P:S adalah 800:5:1:0 adalah yang terbaik (Deublein et al, 2008). Substrat dengan rasio C/N rendah dapat menyebabkan meningkatnya produksi amonia dan menghambat produksi metana. Dan tingginya rasio C/N berarti rendahnya kadar nitrogen, dari hal tersebut memiliki konsenkuensi negatif terhadap pembentukan protein, kebutuhan energi material struktural dan mekanisme metabolisme, maka dibutuhkan keseimbangan kadar nitrogen dan karbon untuk pertumbuhan optimum bagi mikroba pembentuk metana (Deublein et al, 2008) 2.7.4 COD (Chemical Oxygent Demand) Kebutuhan oksigen kimia atau chemical oxygent demand (COD) merupakan total oksigen yan dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi (Hasanah, 2011). Chemical Oxygent Demand (COD) digunakan sebagai ukuran kuantitas bahan organik dalam keluaran limbah dan diperkirakan berpotensi untuk produksi biogas. Oksigen ekuivalen dengan bahan organik yang dapat dioksidasi, yang merupakan ukuran kuatnya oksidasi kimia dalam suatu keadaan asam (Zeeman, G, 2003). Selama reaksi prombakan anaerobic bahan organik yang mduah terdegradasi (COD) hadir sebagai bahan organik dan dibuktikan diakhir produk, diberi nama biogas dan terbentuk masa bakteri yang baru. Dalam suatu komponen organik (CnHaObNd) adalah komponenlengkap biodegradable dan semua akan terkonversi dengan bakteri anaerobic (hasil lumpur diasumsikan nol) menjadi CH4, CO2 dan NH3 . Menurut Hasanah, 2011 fluktuasi nilai Chemical Oxygent Demand (COD) disebabkan oleh beberapa faktor yang menyangkut aktivitas bakteri dalam proses fermentasi pembentukan metana. Penurunan nilai parameter COD dalam proses fermentasi anaerobic disebabkan oleh karena terjadinya perombakan bahan- bahan organik yang dilakukan oleh mikrooganisme yang beraktivitas dalam digester anaerob. Dan kenaikan nilai parameter COD dalam proses fermentasi anaerob disebabkan karena adanya 23 penghambat dalam substrat yang menyebabkan terhambatnya proses perombakan bahan organik. Biasanya penghambat ini dapat berupa adanya asam lemak yang berlebih yang menyebabkan timbulnya asam propionat dan menyebabkan suasana asam sehingga mikroba tidak dapat tumbuh optimum dan tidak mampu menguraikan zat organis sehingga nilai COD cenderung naik (Deublein, et al,2008). 2.7.5 Biological Oxygent Demand (BOD) Beberapa parameter dalam pencemaran organik adalah Biological Oxygent Demand (BOD). Nilai BOD ini menrupakan ukuran oksigen yang terlarut yang digunakan oleh bakteri anaerobic di dalam oksidasi kimia biologi material organik selama 5 hari (Zeeman, G, 2003). Menurut Lang, 2007 Limbah cair kelapa sawit memiliki kadar BOD 25000 mg/L. Kadar BOD limbah cair kelapa sawit dapat dilihat mempunyai nilai yang berbeda-beda tergantung dari sumber minyak sawit dan bahan yang digunakan dalam pembuatannya. Namun, berdasarkan baku mutu limbah cair untuk industri minyak sawit yang bersumber dari keputusan menteri Negara lingkungan hidup nomor 51 tahun 1995, kadar maksimum BOD limbah cair kelapa sawit berkisar 250 mg/l. Sehingga limbah cair harus dilakukan pengolahan agar tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan 2.8 Keuntungan dan Kerugian Proses Anaerobic Keuntungan proses anaerobic dalam pengolahan bahan organik adalah sebagai berikut (Zeeman, G, 2003) : a. Ketersediaaan sumber energi melalui recoveri metana. b. Proses anaerobic umumnya mengkonsumsi sedikit energi. Pada temperatur ambien kebutuhan energi diantara 0,05 – 0,1 kWh/m3 ( 0,18 -0,36 MJ/ m3), tergantung dari kebutuhan untuk pemompaan dan recycle limbah. c. Reduksi padatan dapat ditangani, kelebihan produksi lumpur di dasar biodegradable COD di dalam pengoalahan anaerobic lebih signifikan rendah dibandingkan proses aerobic. d. Fasilitas pengeringan lumpur 24 e. Limbah lebih stabil. f. Bebas aroma pada akhir produk. g. Berpotensi sebagai limbah untuk pembuatan pupuk karena memiliki komponen pupuk yaitu nitrogen (N), phospat (P) dan Pottasium (K). h. Proses anaerobic yang modern dapat ditangai dengan cepat, menurunkan nilai COD 30 g/L/ hari sampai 50 g/L/hari untuk kekuatan medium terutama limbah cair. i. Lumpur anaerobic dapat dipelihara untuk perpanjangan waktu tanpa bahan masukan. j. Biaya konstruksi lebih rendah. k. Luasan wilayah pengolahan dengan menggunakan metode pengoalahan anaerobic lebih rendah daripada pengolahan sistem konvensional. Selama pengolahan anaerobic komponen yang dapat terdegradasi bergerak dengan efektif, meninggalkan komponen yang tereduksi di dalam limbah, seperti ammonium, komponen organik, sulfur organik, komponen P dan patogen. Kerugian dari pengolahan anaerobic adalah sebagai berikut (Zeeman, G, 2003): a. Sensitivitas yang tinggi dari bakteri metanogen terhadap bahan organik. b. Instalasi awal pengolahan secara anaerobic tanpa proses aklimatisasi anaerob memakan waktu yang lama karena pertumbuhan bakteri anaerob sangat lambat. c. Saat pengolahan limbah (air) yang mengandung komponen sulfur, pada pengolahan anaerobic dapat membentuk bau dan sulfida. 25