9 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Daging Ayam Daging didefinisikan

advertisement
9
II
KAJIAN KEPUSTAKAAN
2.1 Daging Ayam
Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk
hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang dapat dikonsumsi serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Daging yang
dikonsumsi dapat berasal dari sapi, kerbau, babi, kuda, domba, kambing, ikan,
atau unggas (Soeparno, 2005). Protein adalah komponen bahan kering terbesar
dari daging. Nilai nutrisi daging yang tinggi disebabkan karena daging
mengandung
asam-asam
amino
esensial
yang
lengkap
dan
seimbang
(Tien R. Muchtadi,dkk., 2011).
Menurut Soeparno (2011) Komposisi kimia daging secara umum yaitu
terdiri dari air sekitar 75%, protein 19%, lemak 2,5%, karbohidrat 1,2%, substansi
non-protein yang larut 2,3%, termasuk substansi nitrogenus 1,65% dan substansi
anorganik 0,65%, dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak dan dalam air,
relatif sangat sedikit. Substansi nitrogenus pada daging meliputi asam-asam
amino, peptida sederhana, kreatin, kreatin fosfat, kreatinin, sejumlah vitamin
nukleosid, dan nukleotida termasuk Adenosina Trifospat (ATP). Substansi
anorganik daging yaitu kalsium, magnesium, potasium, sodium, zat besi, fosfor,
sulfur, seng, dan klorin.
Komposisi daging ayam terdiri dari air 75%, protein 22,8%, lemak 0,9%,
Abu 1,2%, dan kalori 105 per 100g (Heinz dan Hautzinger, 2007). Menurut
Soeparno (2011) komposisi kimia daging dada berbeda dengan komposisi kimia
daging selain dada (non-dada). Daging ayam broiler umur 7 minggu lebih banyak
mengandung air dan lemak, sedangkan kandungan protein lebih rendah daripada
10
daging ayam broiler umur 6 minggu. Komposisi kimia daging ayam broiler jantan
dan betina umur 6 dan 7 minggu dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Daging Ayam Broiler Jantan dan Betina Umur
6 dan 7 Minggu
Jenis Kelamin / umur
Jantan / 6 minggu
Betina / 6 minggu
Jantan / 7 minggu
Betina / 7 minggu
Macam daging
Daging dada
Daging non-dada
Daging dada
Daging non-dada
Daging dada
Daging non-dada
Daging dada
Daging non-dada
Komposisi kimia (persen)
Air
Protein Lemak Abu
.... % ....
73,27
22,08
2,98
0,72
73,56
20,21
5,43
0,47
72,59
22,07
3,16
0,68
73,22
19,42
6,36
0,55
73,38
21,95
3,51
0,50
74,17
18,27
6,64
0,62
73,64
20,81
4,11
0,48
74,29
17,57
7,55
0,51
Sumber : Soeparno (2011).
Kandungan lemak yang lebih tinggi dengan meningkatnya umur ayam
broiler disebabkan oleh jumlah sel lemak yang masih berlangsung selama proses
pertumbuhan (March dan Hansen, 1977). Ayam broiler betina biasanya lebih
berlemak daripada ayam broiler jantan, karena adanya perbedaan laju
pertumbuhan dan kebutuhan nutrisi, termasuk kebutuhan protein dan energi
(Gyles, 1988). Ayam broiler betina membutuhkan lebih sedikit protein selama
pertumbuhan, sehingga efisiensi konsumsi protein/energi lebih tinggi, dan
kelebihan energi dapat ditimbun sebagai lemak. Perlemakan yang lebih tinggi
biasanya sejalan dengan kandungan protein yang lebih rendah. Daging dada ayam
broiler mengandung lemak yang lebih rendah, dan protein yang lebih tinggi
daripada daging non-dada. Perbedaan tersebut berhubungan dengan perbedaan
aktivitas di antara otot. Otot yang lebih aktif misalnya otot bagian paha, sehingga
lebih banyak membutuhkan energi, dan seperti telah dijelaskan bahwa kelebihan
energi dapat ditimbun menjadi lemak (Soeparno, 2011).
11
2.2. Sosis
2.2.1 Definisi Sosis
Sosis atau sausage berasal dari kata Latin “salsus” yang berarti
menggiling dengan garam. Istilah tersebut sesuai dengan tujuan awal pembuatan
sosis, yaitu untuk mengawetkan daging segar. Sosis merupakan produk olahan
pangan yang dibuat dari daging yang digiling dan dihaluskan, kemudian dicampur
bumbu-bumbu kemudian diaduk hingga tercampur rata dan dimasukan kedalam
selongsong (Bull, 1951). Menurut Winarno (1990) Sosis merupakan daging atau
campuran beberapa daging yang dihaluskan serta dicampur dengan bumbu-bumbu
atau rempah-rempah. Menurut Badan Standardisasi Nasional (BSN) (1995), yang
dimaksud dengan sosis daging adalah produk makanan yang diperoleh dari
campuran daging halus (mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan
tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu dan bahan tambahan
makanan lain yang diizinkan dan dimasukan kedalam selongsong sosis.
Pada umumnya sosis dibuat dari daging ayam, ikan, sapi, dan kelinci
(Army dan Simon, 2015). Dilihat dari jenis dagingnya, sosis dapat terdiri dari
beberapa jenis yaitu sosis ayam, sosis sapi, dan sosis babi. Sosis yang beredar
dipasaran terbuat dari campuran daging, tepung, dan sodium tripolypospat (STTP)
sebagai bahan pengikatnya. STTP merupakan senyawa anorganik berwujud kristal
putih yang biasanya digunakan untuk pengawet makanan dan texturizer
(Kementrian perdagangan, 2011). Jumlah penambahan fosfat dalam makanan
tidak boleh lebih dari 5% dan produk akhir harus mengandung fosfat kurang dari
0,5% (Soeparno, 2011).
Berdasarkan tingkat kehalusan penggilingan daging, sosis dibedakan
menjadi sosis daging giling dan emulsi. Pada sosis daging giling, daging tidak
dihaluskan sehingga masih terlihat serat-serat daging yang belum hancur dan
12
menghasilkan tekstur khas. Sosis emulsi yaitu sosis yang dibuat dengan cara
menggiling daging sampai halus dan terbentuk emulsi serta menggunakan lemak
yang ditambahkan (Wootton, 1987). Sosis yang banyak dipasarkan di Indonesia
adalah sosis emulsi segar (Fresh sausage) tanpa fermentasi. Sosis yang beredar di
pasaran biasa disebut dalam bentuk asal bahan baku, seperti beef sausage dari
sapi, chicken sausage dari ayam dan pork sausage dari daging babi (Lembaga
Penelitian, Pengawas Obat dan Makanan, Majelis Ulama Indonesia, 2001).
Soeparno (2005) membagi sosis menjadi beberapa jenis, yaitu (1) sosis
segar yang dibuat daging segar, tidak dikuring (tidak dilakukan penggaraman),
dicacah, dilumatkan atau digiling, diberi garam dan bumbu-bumbu, dimasukan
dan dipadatkan di dalam selongsong serta harus dimasak sebelum dimakan,
(2) sosis masak yang dibuat dari daging segar, bisa dikuring atau tidak, dimasukan
dan dipadatkan dalam selongsong, tidak diasap, dan setelah dibuat harus segera
dimakan, (3) sosis spesialis daging masak yang dibuat dari daging khusus,
dikuring atau tidak dikuring, dimasak dan jarang diasap, sering dibuat dalam
bentuk batangan atau daging loaf, dan biasa dijual dalam bentuk irisan-irisan yang
dipak atau dibungkus, dapat dikonsumsi dalam keadaan dingin, (4) sosis kering
dan agak kering yang dibuat dari daging yang dikuring dan dikeringkan udara,
dapat diasap sebelum pengeringan, serta dapat dikonsumsi dalam keadaan dingin
atau setelah masak.
2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses Pengolahan Sosis.
2.2.2.1 Emulsi
Emulsi merupakan sistem heterogen, terdiri atas cairan yang tidak
tercampurkan yang terdispersi dengan baik sekali dalam cairan yang lain,
berbentuk tetesan dengan diameter biasanya lebih dari 0,1µm, dan terdiri dari dua
13
fase yaitu fase minyak dan air. Jika air sebagai fase sinambung atau fase luar dan
minyak sebagai fase terdispersi, emulsi ini disebut emulsi jenis minyak dalam air
(O/W), dan sebaliknya jika minyak sebagai fase pendispersi dan air sebagai fase
terdispersi maka emulsi tersebut disebut emulsi jenis air dalam minyak (W/O)
(John M deMan, 1997).
Masalah yang dihadapi dalam pembuatan sosis adalah pecahnya emulsi.
Emulsi dapat pecah karena penggilingan yang berlebihan, penggunaan daging
yang nisbah miosin, kolagen yang tidak seimbang (daging pendek), pemanasan
yang berlebihan dengan waktu yang cepat selama proses pengolahan
(Winarno, 1993). Penggilingan yang berlebihan menyebabkan pecahnya emulsi,
hal tersebut disebabkan diameter partikel menjadi semakin besar, sehingga protein
tidak cukup untuk menyelubungi semua partikel lemak dan menyebabkan lemak
yang tidak diselubungi protein akan keluar dari emulsi sehingga akan terbentuk
kantung lemak atau lemak akan terpisah dan keluar dari sosis (Lawrie,1995).
Penggilingan daging bersama es dan garam serta penyimpanan selama beberapa
jam akan menyebabkan ekstraksi protein dan kemampuan protein mengikat lemak
dan air yang lebih efisien dan mempengaruhi kandungan protein sosis (Soeparno,
2011).
Diperlukan bahan penggabung untuk menstabilkan emulsi yang disebut
dengan pengemulsi. Pengemulsi merupakan senyawa aktif permukaan yang
mampu menurunkan tegangan antar permukaan yaitu antar muka udara-cairan
dan cairan-cairan. Kegunaan pengemulsi dapat diperkuat dengan adanya
penstabil. Kemampuan tersebut merupakan akibat dari struktur molekul
pengemulsi yaitu molekulnya mengandung dua bagian yang jelas, satu bagian
mempunyai sifat polar atau sifat hidrofil, dan bagian yang lain bersifat non polar
atau hidrofob (John M deMan, 1997).
14
Sosis merupakan salah satu produk emulsi minyak dalam air (O/W)
dengan protein sebagai emulsifier. Pada suatu emulsi, biasanya terdapat tiga
bagian utama, yaitu bagian yang terdispersi yang terdiri dari butir-butir lemak,
bagian kedua disebut media pendispersi yang dikenal sebagai continous phase,
biasanya terdiri dari air, dan bagian ketiga adalah emulsifier yang berfungsi
menjaga agar butir minyak tetap tersuspensi di dalam air. Molekul-molekul
emulsifier mempunyai afinitas terhadap kedua cairan tersebut. Daya afinitasnya
harus parsial dan tidak sama terhadap kedua cairan tersebut (Winarno, 1979).
2.2.2.2 Bahan Pengikat dan Pengisi
Maksud penambahan bahan pengikat dan bahan pengisi dalam pembuatan
sosis adalah untuk meningkatkan stabilitas emulsi, meningkatkan daya ikat air,
meningkatkan flavor, mengurangi pengerutan selama pemasakan, meningkatkan
karakteristik irisan produk, dan mengurangi biaya produksi, perbedaan antara
bahan pengikat dan pengisi terletak pada kemampuannya mengemulsi lemak.
Bahan pengikat mengandung protein lebih besar dibandingkan dengan bahan
pengisi yang mengandung lebih banyak karbohidrat (Kramlich, dkk., 1973).
Bahan pengisi berfungsi sebagai pengisi ruang antar globula lemak
sehingga sistem emulsi akan menjadi lebih stabil. Bahan pengisi dalam proses
gelatinisasi dapat mengikat lebih banyak air, dan air dapat membantu melarutkan
garam dan meningkatkan jumlah protein yang tereksrak sehingga produk yang
dihasilkan akan menjadi tampak lebih berisi, bertekstur baik. Bahan pengikat
adalah bahan material bukan daging yang dapat meningkatkan daya ikat air
daging dan emulsifikasi lemak pada pembuatan sosis (Soeparno, 2011).
Bahan pengikat dan pengisi dibedakan berdasarkan persentase proteinnya.
Bahan pengikat mengandung protein yang lebih tinggi dibanding bahan pengisi
pada pembuatan sosis (Kramlich, 1973). Penambahan bahan pengikat bertujuan
15
untuk memperbaiki elastisitas dari produk akhir dan berfungsi untuk menarik air,
memberikan warna, dan membentuk tekstur yang padat (Buckle, dkk., 1987).
Menurut Kramlich (1971) bahan pengikat diklasifikasikan menurut asalnya, yaitu
dari hewan dan tumbuhan. Bahan pengikat dari hewan antara lain susu bubuk
tanpa lemak (skim), susu bubuk tanpa lemak tetapi kalsium dikurangi, sodium
caseinat, dan tepung darah sedangkan bahan pengikat dari tumbuhan biasanya
adalah produk olahan kedelai.
2.2.2.3 Selongsong Sosis
Selongsong atau casing untuk sosis terdiri dari dua jenis, yaitu selongsong
alami dan selongsong buatan. Selongsong alami berasal dari saluran pencernaan
yaitu dari usus kecil, usus besar, dapat berasal dari sapi ataupun domba muda
(Payne dan Williamson, 1996).
Pada dasarnya selongsong buatan terdiri dari empat kelompok yaitu
terbuat dari sellulosa, kolagen yang dapat dimakan, kolagen yang tidak dapat
dimakan, dan dari plastik (Kramlich,1989). Selongsong dari plastik tidak dapat
ditembus oleh asap dan cairan sehingga biasa digunakan dalam pembuatan sosis
yang tidak diasap, misalnya pada sosis segar dan sosis mentah (Soeparno, 2011).
Selongsong yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap lemak akan
menyebabkan selongsong mudah rusak dan berbau, karena lemak bersifat mudah
menyerap bau bila teroksidasi.
Selongsong yang umumnya digunakan dalam industri adalah selongsong
sintetis dan selongsong kolagen. Penggunaan selongsong ini digunakan untuk
menggantikan selongsong alami yang terbuat dari usus hewan yang memiliki sifat
kurang awet dan keseragaman ukuran yang rendah. Selongsong kolagen terbuat
dari agar-agar atau kulit hewan sehingga dapat dimakan, sedangkan selongsong
sintetis umumnya terbuat dari plastik polyamid sehingga tidak dapat dimakan.
16
2.2.2.4 Bumbu-Bumbu dan Air
Bahan-bahan yang ditambahkan pada pembuatan sosis diantaranya yaitu
air, lemak, garam, binder atau filler, bumbu-bumbu dan zat lain sesuai keperluan
(Winarno, 1993). Pangan olahan daging umumnya mengalami kenaikan persentasi
mineral, dan kalori. Presentasi mineral daging olahan naik karena penambahan
bumbu-bumbu dan garam, dan penambahan jumlah kalori disebabkan oleh
penambahan karbohidrat dan protein dari biji-bijian, tepung, dan susu skim
(Gamen dan Sherington, 1994). Penggunaan bahan penyedap dan bumbu seperti
pala, merica, dan bawang putih dapat menambah daya awet dari produk olahan
daging karena beberapa bumbu tersebut mempunyai sifat sebagai antioksidan,
sehingga dapat menghambat perkembangan jamur dan bakteri (Soekarto, 1981).
Menurut Buckle, dkk (1987) konsentrasi garam yang digunakan dalam
pembuatan pangan olahan tidak mempunyai batasan yang pasti tergantung pada
faktor-faktor lain yaitu pH dan suhu. Garam menjadi lebih efektif pada suhu yang
lebih rendah dan kondisi asam. Garam dapur beryodium ditambahkan sebagai
penambah rasa dan selain itu garam dapur beryodium dapat memperbaiki tekstur
dan menambah daya awet sosis (Soeparno, 2011).
Garam merupakan salah satu faktor penting dalam pembuatan sosis untuk
menghasilkan emulsi, protein daging berupa miosin dilarutkan dan dikeluarkan
dari serat-serat daging sehingga dapat mempertinggi daya ikat partikel daging.
Larutan garam mempercepat kelarutan protein otot dan memperbaiki daya ikat air,
dan
biasanya
sosis
mengandung
garam
sebanyak
1-5%
atau
3%
(Wilson, dkk., 1981 ; Kramlich, 1971).
Air merupakan salah satu komponen dalam pembuatan sosis dengan
kandungan sekitar 45-55% dari berat total sosis, tergantung jumlah cairan yang
ditambahkan dan macam daging (Soeparno, 2011). Air yang ditambahkan dalam
17
pembuatan sosis umumnya berbentuk es. Penambahan air es berfungsi
menurunkan suhu adonan selama proses cutter, sehingga mencegah denaturasi
protein akibat suhu yang meningkat saat cutting. Selain itu air es berfungsi
melarutkan protein miosin yang merupakan pembentuk emulsi sehingga
dihasilkan emulsi yang stabil (Lawrie, 2003). Protein miosin hanya dapat larut
pada suhu 4-5oC sehingga sangat penting menggunakan air dingin atau es dalam
pembuatan sosis (Kramlich, dkk., 1971). Air es juga berfungsi melarutkan bumbubumbu dan garam, sehingga dapat tersebar lebih merata. Air akan mempengaruhi
terkstur produk, daya awet, dan penampakan produk (Winarno, 1979).
2.2.2.5 Pemasakan Sosis
Pemasakan sosis dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya yaitu
dengan perebusan, pengukusan, dan pengasapan serta kombinasi ketiganya.
Pemasakan sosis bertujuan untuk menyatukan komponen adonan, memantapkan
warna, dan mengurangi mikroorganisme yang tidak diharapkan. Pemanasan dapat
menyebabkan terjadinya perubahan dalam kandungan dan struktur lemak serta
protein sehingga dapat menimbulkan cita rasa yang dikehendaki (Winarno, 1993).
Pemasakan sosis bertujuan untuk menyatukan komponen-komponen sosis,
memantapkan warna dan menonaktifkan mikroba. Proses pendinginan sosis
setelah pemasakan bertujuan untuk menurunkan temperatur internal sosis,
menghilangkan bau, dan mempermudah pengupasan selongsong (Koapaha, dkk.,
2011).
2.3 Jamur Tiram Putih (Pleurotus Ostreatus)
Jamur tiram merupakan jamur kayu yang tumbuh berderet menyamping
pada batang kayu lapuk, dinamakan jamur tiram karena bentuknya yang
menyerupai tiram atau oyster dan memiliki tubuh buah yang tumbuh mekar
18
membentuk corong dangkal seperti kulit kerang. Ada beberapa jenis jamur tiram
yaitu jamur tiram putih susu, jamur tiram merah jambu, jamur tiram kelabu, jamur
tiram coklat, dan jamur tiram putih yang paling terkenal karena rasanya yang enak
dan banyak disukai masyarakat (Sumarmi, 2006).
Ditinjau dari morfologisnya, jamur tiram terdiri dari tudung (pileus) dan
tangkai (stipe atau stalk). Pileus berbentuk mirip cangkang tiram atau telinga
dengan ukuran diameter 5-15 cm dan permukaan bagian bawah berlapis-lapis
seperti insang (lamella atau giling) berwarna putih dan lunak yang berisi
basidiospora. Bentuk pelekatan lamella memanjang sampai ke tangkai atau
disebut dicdirent. Panjang tangkai sekitar 2 sampai 6 cm tergantung pada kondisi
lingkungan dan iklim yang mempengaruhi pertumbuhannya (Widodo, 2007).
Taksonomi jamur tiram putih menurut Rial dan Desi (2012) adalah sebagai
berikut :
Kingdom
: Myceteae
Divisio
: Amastigomycota
Kelas
: Basisiomycetes
Ordo
: Agaricales
Famili
: Agaricaeae
Genus
: Pleurotus
Spesies
: Pleurotus ostreatus
Ilustrasi I.
Jamur Tiram Putih
(Pleurotus ostreatus)
19
Menurut Sumarsih (2010), jamur tiram merupakan salah satu dari jamur
edibel komersial, bernilai ekonomi tinggi. Dari segi gizinya, jamur tiram termasuk
bahan makanan yang tinggi protein, mengandung berbagai mineral anorganik, dan
rendah lemak yaitu 1,6% (Cahyana, dkk., 1999).
Presentase protein dalam jamur tiram lebih tinggi bila dibandingkan
dengan jenis jamur lain. Jamur tiram putih mengandung protein, lemak, fosfor,
besi, thiamin dan riboflavin lebih tinggi dibandingkan jenis jamur lain (Nunung,
2001).
Jamur tiram putih merupakan sumber mineral yang baik, kandungan
mineral utama yang terkandung didalamnya diantaranya adalah K, Na, P, Ca, dan
Fe. Jamur tiram juga berkhasiat menurunkan kolesterol, mencegah diabetes, dan
berperan sebagai anti kanker (Cahyana dan Muchrodji, 1999).
Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan jamur yang digunakan
oleh bangsa India dan Cina sebagai bahan obat untuk mengobati penyakit
hiperkolestero-lemia (Chirinang, dkk., 2009 ; Alam, dkk., 2011). Menurut
Alarcon, dkk., (2003) dalam ekstrak jamur tiram putih terdapat senyawa lovastin
yang dapat menghambat terbentuknya kolesterol dalam darah. Senyawa tersebut
akan menghambat sintesis kolesterol dalam darah manusia. Secara tidak langsung
adanya lovastin dalam jamur tiram putih menjadi agen dalam mengobati penyakit
jantung koroner di masyarakat. Mekanisme penurunan kolesterol dan lipid darah
oleh jamur tiram meliputi penghambatan enzim pensintesis kolesterol,
peningkatan ekskresi kolesterol, dan peningkatan ekskresi garam empedu. Statin
dan β-glucan pada jamur tiram merupakan molekul yang berkontribusi dalam
aktivitas hipokolesterolemik jamur tiram. Statin merupakan molekul yang
memiliki kemiripan struktur dengan kolesterol, sehingga mampu menjadi
inhibitor enzim . β-glucan merupakan serat pangan yang mampu mengikat
20
kolesterol dan garam empedu untuk kemudian diekskesikan dalam feses
(Guillamon, dkk., 2010 dalam Eni dan Deera, 2010).
Kalsum, dkk., (2011) menyatakan bahwa kandungan senyawa kimia jamur
tiram secara klinis berkhasiat mengobati berbagai penyakit seperti tekanan darah
tinggi, diabetes, anemia, meningkatkan daya tahan tubuh terhadap serangan polio,
influenza, dan kekurangan gizi. Jamur tiram juga mempunyai khasiat untuk
kesehatan adalah menghentikan pendarahan dan mempercepat pengeringan luka
pada permukaan tubuh, mencegah penyakit diabetes melitus, penyempitan
pembuluh darah, menurunkan kolesterol darah, kanker, serta memperlancar buang
air besar.
Stamets (2005) dan Tjokrokusumo (2008) menyatakan bahwa kandungan
serat jamur tiram yang kaya khitin cukup baik untuk memperbaiki kinerja
metabolisme pencernaan dan kandungan lemak yang rendah jamur tiram sangat
disukai oleh masyarakat karena membantu mengurangi kandungan lemak dalam
darah sehingga mampu mencegah penyakit jantung
koroner dan gula dalam
darah, sehingga cocok bagi orang yang menjalankan diet, penyakit kolesterol dan
darah tinggi.
Menurut Sumoprastowo (2000) jamur tiram mudah rusak jika terlalu lama
disimpan di udara terbuka, walaupun di lemari pendingin. Jamur akan lebih lama
disimpan dalam keadaan kering, bahkan akan tahan selama satu tahun. Menurut
Achyadi, dkk., (2004) dan Gea, dkk (2013), hal tersebut disebabkan jamur tiram
memiliki kandungan air yang cukup tinggi, yaitu 86,6%. Kandungan air yang
cukup tinggi dapat mempengaruhi daya tahan terhadap serangan mikroorganisme.
Semakin tinggi air bebas yang terkandung, maka semakin cepat bahan pangan
rusak akibat aktifitas mikroorganisme.
21
Perubahan mutu jamur tiram antara lain layu, warna menjadi coklat, lunak,
dan cita rasanya berubah. Salah satu cara untuk memperpanjang masa simpan dan
mempertahankan mutu jamur tiram adalah dengan mengolah jamur tiram menjadi
tepung jamur tiram. Selain itu pengolahan jamur tiram menjadi tepung dapat
memperluas aplikasi penggunaan jamur tiram dalam aneka ragam produk
(Gea, dkk., 2013). Menurut Widyastuti, dkk., (2012) melalui penelitiannya, jamur
tiram dapat diolah menjadi tepung yang bertujuan untuk memperpanjang daya
simpan. Pengeringan jamur tiram dan pengolahannya menjadi tepung bertujuan
untuk mengurangi kandungan air dalam jamur tiram, dengan kandungan air yang
berkurang, mikroba pembusuk tidak dapat hidup di dalamnya dan masa simpan
jamur tiram menjadi lebih lama (Wiardani, 2010). Komposisi kimia tepung jamur
tiram putih (Pleurotus ostreatus) selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Kimia Tepung Tamur Tiram Putih
No
Komposisi Kimia
1
2
3
4
5
Protein
Karbohidrat
Air
Lemak
Serat Kasar
Sumber :
Tepung Jamur Tiram Putih
... % ...
16,43 (a)
62,80 (a)
10,14 (a)
03,03 (a)
13,97 (b)
(a). Nela dan Simon (2013)
(b). Suprihana, dkk., (2010)
Tepung jamur tiram putih dapat diaplikasikan untuk olahan daging tiruan,
nugget, sosis, dan flake. Pada olahan daging tiruan dengan substitusi tepung
jamur tiram, daging tiruan yang dihasilkan tidak mengandung lemak hewani dan
tidak mengandung kolesterol sehingga baik untuk kesehatan, Tekstur yang dapat
dirasakan oleh selaput lendir mulut adalah butiran atau serabut yang menyerupai
daging asli, sehingga daging tiruan tersebut dapat dijadikan makanan alternatif
22
yang baik bagi para vegetarian yang tidak dapat mengkonsumsi daging
(Permadi, 2009).
2.4 Susu Skim
Susu skim adalah bagian dari cairan susu yang tertinggal setelah krim
diambil sebagian atau seluruhnya. Susu Skim mengandung semua komponen gizi
dari susu yang tidak dipisahkan, kecuali lemak dan vitamin-vitamin yang larut
dalam lemak (Buckle, dkk., 1987). Dijelaskan lebih lanjut oleh Varnam dan
Sutherland (1994) karena telah dipisahkan dari lemaknya, maka susu skim hanya
mengandung 0,5–2% lemak. Protein susu dapat diklasifikasikan menjadi dua grup
utama, yaitu kasein dan protein whey. Kasein merupakan fraksi utama protein
yang mengendap saat susu segar diasamkan pada pH 4.6 pada suhu 20oC. Kasein
menyusun 76-86% dari total protein susu skim dan terdapat pada susu dalam
bentuk partikel koloidal, misel, yang mengandung kalsium, fosfat, sitrat, dan
magnesium (Thomphson, dkk., 1965).
Menurut Dewi dan Andang (2009) susu skim adalah susu yang kandungan
lemaknya telah dikurangi hingga berada dibawah batas minimal yang telah
ditetapkan, dan merupakan bagian susu yang tertinggal sesudah krim diambil
sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung zat makanan dari susu kecuali
lemak dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak. Susu skim dapat digunakan
oleh orang yang menginginkan kalori rendah dalam makanannya, karena susu
skim hanya mengandung 55% dari seluruh energi susu dan dapat juga digunakan
dalam pembuatan keju dan yoghurt dengan kandungan lemak yang rendah
(Buckle, dkk., 1987)
Penggunaan susu skim susu skim pada berbagai produk makanan memiliki
beberapa keuntungan diantaranya yaitu mudah dicerna, dan dapat dicampur
dengan makanan padat atau semi padat, mengandung nilai gizi yang tinggi dan
23
mengandung asam amino esensial, serta susu skim dapat disimpan lebih lama
daripada whole milk karena kandungan lemaknya yang sangat rendah. Menurut
Liana (1987) meskipun susu skim merupakan sumber protein yang baik, tetapi
susu skim memiliki kandungan energi yang rendah.
Susu skim dapat digunakan sebagai campuran pada pembuatan sosis
karena bersifat adesif dan menambah nilai gizi. Penambahan susu skim pada
pembuatan sosis dapat memacu pembentukan gel dari karagenan karena susu skim
menyumbang ion Ca2+ yang dibutuhkan karagenan untuk membentuk gel (Wilson,
1960). Penggunaan susu bubuk skim pada sosis dapat menghambat pengumpulan
lemak pada ruang antar selongsong dan daging sosis. Kemampuan susu bubuk
skim dalam mencegah pemisahan lemak tergantung pada beberapa faktor, yaitu
formulasi sosis, kelarutan relatif susu bubuk skim, pengolahan sosis, dan teknik
pemasakan yang digunakan dalam pembuatan sosis. Sosis yang menggunakan
susu bubuk skim mempunyai tekstur dan kehalusan penampakan yang lebih baik
dibandingkan sosis yang tidak menggunakan susu bubuk skim (Karmas, 1967).
2.5. Protein
Menurut Soeparno (2011) protein daging dapat dibagi menjadi tiga grup
utama, yaitu protein miofibrilar, protein sarkoplasmik, dan protein jaringan ikat
dan organela atau protein stromal. Protein miofibrilar dikelompokan kedalam tiga
kelompok utama, yaitu protein kontraktil, protein pengatur (regulator), dan protein
sitoskeletal. Protein miofibrilar yang berjumlah kira-kira 50-56% dari total protein
otot skeletal tidak larut dalam air, tetapi sebagian besar larut dalam garam pada
konsentrasi lebih besar dari 1%. Grup protein miofibrilar terdiri atas kira-kira 20
protein yang berbeda yang diorganisasikan di dalam suatu miofibril otot utuh.
Protein sarkoplasmik berjumlah 30-35% dari total protein otot, berada di
bagian dalam membran sel otot dalam sarkoplasma. Protein-prtein tersebut larut
24
dalam air atau larutan-larutan dengan kekuatan ionik rendah, lebih kecil dari 0,6 µ
(Smith, 2001). Protein sarkoplasmik meliputi enzim-enzim oksidatif, miglobin,
dan pigmen-pigmen heme lain, enzim-enzim glikolitik yang bertanggung jawab
atas glikolisis, dan enzim-enzim lisosomal (Soeparno, 2011).
Mioglobin adalah protein yang menentukan warna daging, namun secara
umum, mioglobin mempunyai peranan yang kecil dalam fungsional protein
daging. Mioglobin berjumlah sekitar 80-90% dari total pigmen otot. Hemoglobin
mempunyai kontribusi kecil terhadap warna daging (Smith, 2001). Mioglobin
merupakan suatu protein globular rantai tunggal dari 153 asam amino, dan
merupakan pigmen pembawa oksigen di dalam jaringan otot. Faktor-faktor yang
berdampak pada warna daging, antara lain adalah jumlah mioglobin, status kimia
mioglobin, aktivitas reduksi metmioglobin, pakan ternak khususnya vitamin E,
aktivitas bakteri, dan prosessing termasuk curring daging. Jumlah mioglobin
bervariasi di antara umur dalam spesies, spesies yang berbeda, tipe otot, aktivitas
otot, jumlah suplai darah, availabilitas oksigen, dan jenis kelamin ternak
(Soeparno, 2011).
Secara kuantitatif fungsi utama protein makanan bagi tubuh adalah sebagai
sumber asam-asam amino esensial yang akan digunakan untuk sintesis asam-asam
amino non esensial dan sintesis protein dalam tubuh. Protein yang disintesis
tubuh berfungsi sebagai zat pembangun tubuh, sebagai zat pengatur dalam tubuh,
mengganti bagian-bagian tubuh (sel dan jaringan tubuh) yang rusak, serta
mempertahankan tubuh dari serangan mikroba penyebab penyakit (sebagai
antibodi). Berdasarkan sifatnya, sumber protein yang konvensional dibagi menjadi
dua golongan yaitu sumber protein nabati seperti biji-bijian (serealia) dan kacangkacangan, dan sumber protein hewani seperti daging, ikan, susu dan telur (Dedi
Muchtadi, 2008).
25
Sejumlah asam amino dapat disintesis di dalam tubuh dengan jumlah yang
cukup, dan sejumlah lainnya tidak. Asam-asam amino yang tidak dapat disintesis
dalam tubuh dinamakan asam amino esensial,
karena itu untuk memenuhi
kebutuhan asam amino esensial dibutuhkan komponen pangan. Asam amino
esensial untuk sintesis protein pada manusia antara lain adalah: asam-asam amino
bercabang yaitu isoleusin, leusin, dan valin, metionin yang mengandung sulfur,
asam-asam amino hidrofilik lisin dan treonin, dan asam-asam amino aromatik
fenilananin dan triptofan. Asam amino arginin dan histidin disintesis di dalam selsel manusia, tetapi secara lambat dan dapat dianggap esensial jika asam-asam
amino ini menjadi faktor pembatas laju sintesis protein (Buehler, 2003). Menurut
Soeparno (2011) asam-asam amino esensial meliputi histidin, isoleusin, leusin,
lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptopan, dan valin (untuk tanaman dan
mikroorganisme) ditambah histidin (untuk manusia dan hewan), sedangkan asamasam amino nonesensial yaitu alanin, arginin, aspartat, asparagin, sistein,
glutamat, glutamin, glisin, prolin, hidroksiprolin, serin, dan tirosin.
2.6 Lemak
Tubuh ternak mengandung beberapa kelas lipid, yang dominan adalah
lipid-lipid netral (asam-asam lemak dan gliserida). Istilah lipid meliputi satu gup
molekul hidrofobik dan amfipatik yang secara struktural berbeda, yaitu asamasam lemak, lemak (trigliserida), fosfolipid, steroid (dan hormon-hormon steroid),
eikosanoid, dan vitamin-vitamin yang larut dalam lemak (Lawrie, 1991).
Lemak adalah sekelompok ikatan organik yang terdiri atas unsur-unsur
karbon (C), hidrogen (H) dan oksigen (O) yang mempunyai sifat dapat larut
dalam zat-zat pelarut tertentu (zat pelarut lemak), seperti petroleum benzene,
ether.
Lemak mempunyai titik lebur tinggi bersifat padat pada suhu kamar,
sedangkan yang mempunyai titik lebur redah bersifat cair (Achmad Djaeni
26
Sediaoetama, 2006). Lemak tersusun atas ester-ester gliserol dari asam-asam
karboksilik. Lemak adalah non polar, sehingga tidak larut dalam air. Trigliserida
merupakan lemak daging yang dominan. Gliserol mempunyai tiga grup hidroksil,
dan setiap molekul gliserol dapat bereaksi dengan satu, dua, atau tiga asam lemak
membentuk mono-, di-, atau trigliserida (molekul lemak). Pada dasarnya ada dua
tipe asam lemak, yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh
(Gamen dan Sherrington, 1994).
Asam lemak jenuh atau saturated fatty acid (SFA) tidak mempunyai
ikatan rangkap, sedangkan asam lemak tidak jenuh atau Unsaturated fatty acid
memiliki sekurang-kurangnya satu ikatan rangkap. Predominan asam-asam lemak
tidak jenuh atau Unsaturated Faty Acid (UFA) pada lemak ternak adalah
palmitoleat dan oleat (C16 dan C18, masing-masing dengan 1 ikatan rangkap),
linoleat (C18, 2 ikatan rangkap), dan linolenat (C18, 3 ikatan rangkap). Lemak
jenuh dan kolesterol dapat menyebabkan deposisi material-material berlemak
pada dinding pembuluh-pembuluh darah. Keseimbangan kolesterol dalam tubuh
dikontrol oleh hati yang mengatur laju perputaran kolesterol melalui partikelpartikel lipoprotein (Soeparno, 2011).
Fungsi lemak dalam susunan makanan diantaranya yaitu : (1) sebagai
sumber energi, (2) Lemak yang tidak segera diperlukan untuk energi disimpan
dalam jaringan adipose yang berfungsi untuk cadangan energi, membentuk
lapisan isolator panas serta mencegah kehilangan panas yang berlebihan dari
dalam tubuh sehingga membantu menjaga suhu tubuh tetap stabil, (3) Melindungi
organ yang peka seperti ginjal dari kerusakan fisik, (4) Sebagai sumber asamasam lemak esensial yang diperlukan tubuh, dan (5) Sebagai pelarut lemak
(Gaman dan Sherrington,1994).
27
Beberapa faktor yang berhubungan dengan kandungan kolesterol daging
segar dan daging masak adalah potongan atau bagian karkas, metode preparasi,
grade karkas atau daging, tipe daging, spesies, bangsa ternak, dan umur ternak,
serta kandungan marbling. Kandungan kolesterol daging ayam segar masak
yaitu75-95 mg/g. Kandungan kolesterol daging unggas masak (ayam, itik, dan
kalkun) rata-rata kurang dari 95mg/100g, bahkan sate (stewed) daging dada
(daging putih) hanya mengandung kolesterol sekitar 75 mg / 100 g, dan yang lebih
tinggi adalah daging paha (daging merah) masak kering (roasted) sekitar 93
mg/100 g. Perbedaan kandungan kolesterol daging unggas tersebut antara lain
disebabkan oleh perbedaan kandungan lemak daging antara daging putih dan
daging merah, dan kandungan lemak yang tinggi pada daging dapat meningkatkan
kandungan kolesterol dalam darah (Mast dan Clouser, 1988). Faktor resiko
penyebab Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah kolesterol, semakin banyak
konsumsi makanan berlemak, maka akan semakin besar peluangnya untuk
menaikan kolesterol (Suryanti, 2010).
Penambahan lemak dalam pembuatan sosis bertujuan membentuk sosis
yang kompak, meningkatkan keempukan sosis, melembabkan tekstur sosis dan
meningkatkan
flavor.
Penambahan
lemak
secara
perlahan-lahan
dapat
memperbaiki stabilitas emulsi yang dihasilkan. Minyak nabati maupun minyak
hewani dapat ditambahkan dalam pembuatan sosis. Lemak nabati lebih mudah
membentuk emulsi daripada lemak hewani karena lemak nabati lebih banyak
mengandung asam lemak tidak jenuh (oleat, linoleat) daripada lemak hewani
(Swift, dkk., 1968 dalam Hapsari, 2002)
Jumlah lemak yang ditambahkan harus seimbang, lemak yang terlalu
banyak akan menghasilkan sosis yang tidak enak dan permukaan sosis menjadi
keriput setelah dimasak karena sebagian lemak terpisah dari emulsi, sedangkan
28
penggunaan lemak yang terlalu sedikit akan menghasilkan sosis yang keras dan
kering, oleh sebab itu penambahan lemak dalam pembuatan sosis dibatasi untuk
mempertahankan tekstur selama pengolahan dan penanganannya, lemak yang
ditambahkan pada sosis tidak boleh lebih dari 30% dari bobot daging
(Romans,1994).
2.7. Serat
Dalam ilmu gizi, serat sayuran dan buah yang kita makan disebut dengan
serat kasar (Crude Fiber). Selain serat kasar terdapat juga serat makanan yang
tidak hanya terdapat pada sayur dan buah, tetapi juga ada dalam makanan lain,
misalnya beras, kentang, kacang-kacangan dan umbi-umbian. Serat dalam
makanan biasa disebut dengan dietary fiber yang sangat baik untuk kesehatan
manusia. Istilah diettary fiber digunakan untuk membedakan serat makanan
dengan crude fiber yaitu polisakarida yang tidak terhidrolisa oleh kerja sekresi
usus manusia (Clara, 2006).
Serat kasar adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh
bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menentukan kandungan serat kasar
yaitu asam sulfat (H2SO4 1.25%) dan natrium hidroksida (NaOH 1.25%). Para
ahli menemukan, bahwa serat makanan memiliki banyak manfaat lain yaitu
mencegah dan menyembuhkan kanker usus besar (colon cancer) dan luka serta
benjolan dalam usus besar (diverticulitis), juga dapat menurunkan kandungan
kolesterol dalam darah (Unimus, 2006).
Serat kasar mengandung senyawa
selulosa, lignin dan zat lain yang belum dapat didefinisikan dengan pasti. Serat
kasar adalah senyawa yang tidak dapat dicerana dalam organ pencernaan manusia
ataupun binatang. Analisis penentuan serat kasar diperhitungkan banyaknya zatzat yang tak larut dalam asam encer ataupun basa encer dalam kondisi tertentu.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis serat kasar yaitu terdiri dari
29
(1) proses Defatting, yaitu menghilangkan lemak yang terkandung dalam sampel
menggunakan pelarut lemak dan (2) Proses Digestion, yang terdiri dua tahapan
yaitu pelarutan dengan asam dan pelarutan dengan basa. Kedua macam proses
digesti ini dilakukan dalam keadaan tertutup pada suhu terkontrol (mendidih) dan
sedapat mungkin dihilangkan dari pengaruh luar (Slamet Sudarmadji, dkk., 2010).
Serat makanan terutama yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin
sebagian besar tidak dapat dihancurkan oleh enzim-enzim dan bakteri di dalam
saluran pencernaan. Serat makanan ini dapat menyerap air dalam usus, sehingga
volume feses menjadi lebih besar dan akan merangsang syaraf pada rektum
sehingga menimbulkan keinginan untuk defekasi, dengan demikian kurun waktu
masuknya makanan dan dikeluarkannya sebagai sisa makanan yang tidak
dibutuhkan oleh tubuh menjadi lebih singkat, sehingga dapat mencegah penyakit
di dalam usus dan rektum. Selain itu serat makanan juga menyerap asam empedu
sehingga hanya sedikit asam empedu yang dapat merangsang mukosa kolorektal,
sehingga timbulnya karsinorma kolekteral dapat dicegah (Daldiyono, dkk., 1990).
Memenuhi kecukupan asupan serat sangat dianjurkan, menginat banyak
manfaat yang menguntungkan untuk kesehatan tubuh, adequate intake (AI) untuk
serat makanan sebagai acuan untuk menjaga kesehatan saluran pencernaan dan
kesehatan lainnya telah dikeluarhan oleh Badan Kesehatan Internasional. AI untuk
serat makanan bagi orang dewasa adalah 30-35 g/hari (Clara, 2006). Menurut
Hardiansyah dan Tambunan (2004) angka kecukupan serat bagi orang dewasa
adalah 19-30 g/ hari sedangkan bagi anak-anak adalah 10-14 g/1000 kkal.
2.8 Komposisi Kimia Tepung Jamur Tiram Putih dan Susu Skim
Komposisi kimia bahan untuk perlakuan yang terdiri dari susu skim dan
tepung jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) disajikan pada Tabel 3.
30
Tabel 3. Komposisi Kimia Bahan untuk Perlakuan Pembuatan Sosis Ayam
No
1
2
3
4
Komposisi
Kimia
Air
Protein
Serat Kasar
Lemak
Tepung Jamur Tiram
Susu Skim
Hasil analisis Literatur Hasil analisis
Literatur
................................ % ................................
3,50 (c)
5,70
10,14 (a)
2,16
35,60 (c)
23,05
16,43 (a)
20,23
0,85 (c)
9,11
13,97 (b)
1,00 (c)
1,66
3,03 (a)
1,71
Keterangan : (a). Nela dan Simon (2013)
(b). Suprihana, dkk., (2010)
(c). Badriyah, (2013)
Tabel 3
menunjukkan bahwa berdasarkan hasil analisis, kandungan
protein kasar pada tepung jamur tiram putih lebih tinggi dari pada susu skim hal
tersebut tidak sesuai dengan literatur yang menunjukkan protein jamur tiram putih
(Pleurotus ostreatus) lebih rendah dari pada susu skim, begitu pula dengan
kandungan lemak kasar. Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan lemak
kasar tepung jamur tiram putih hampir sama dengan kandungan lemak susu skim
sedangkan literatur menunjukkan kandungan lemak tepung jamur tiram putih
lebih besar dari pada susu skim.
Menurut
Novia, dkk., (2011) perbedaan kandungan protein pada bahan
segar bahan pangan mempengaruhi jumlah protein akhir pada proses pengolahan,
selain itu perubahan persentase protein dipengaruhi oleh kadar air. Menurut Gea,
dkk., (2013) suhu dan lama waktu pengeringan berpengaruh nyata terhadap kadar
air dan protein tepung jamur tiram putih. Semakin tinggi suhu dan lama
pengeringan yang dipakai, kandungan air pada tepung jamur tiram semakin
berkurang, sedangkan proteinnya semakin tinggi, dijelaskan lebih lanjut oleh
Permadi (2009) bahwa proses pengeringan jamur tiram putih memerlukan
kombinasi suhu dan lama pengeringan yang tepat untuk menghasilkan tepung
yang halus dan baik.
31
Menurut Idrus Kadir (2010) penurunan nilai kandungan air yang terjadi
dihubungkan dengan meningkatnya suhu dan waktu pengeringan yang digunakan.
Pada suhu pengeringan yang rendah, panas yang diterima oleh bahan pangan
hanya dapat menguapkan sebagian air yang ada di permukaan, sehingga
penurunan kandungan air bahan relatif kecil, sedangkan pada suhu pengeringan
yang lebih tinggi dengan waktu yang lebih lama, panas yang diterima oleh bahan
selain digunakan untuk menguapkan air pada permukaan bahan, juga menguapkan
air di dalam bahan pangan sehingga penurunan kandungan air relatif lebih besar.
Download